referat hipotensi-spinal

34
Referat Maret 2010 PENATALAKSANAAN HIPOTENSI PADA ANESTESI SPINAL Oleh Ronggo Baskoro Peserta PPDS I Anestesiologi dan Reanimasi FK UGM / RS Dr. Sardjito Pembimbing Moderator Dr. Sudadi, SpAn Dr. Pandit Sarosa, SpAn (K)

Transcript of referat hipotensi-spinal

Page 1: referat hipotensi-spinal

ReferatMaret 2010

PENATALAKSANAAN HIPOTENSI

PADA ANESTESI SPINAL

Oleh

Ronggo Baskoro

Peserta PPDS I Anestesiologi dan Reanimasi

FK UGM / RS Dr. Sardjito

Pembimbing Moderator

Dr. Sudadi, SpAn Dr. Pandit Sarosa, SpAn (K)

SMF / BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI

FK UGM / RSUP Dr. SARDJITO

YOGYAKARTA

2010

Page 2: referat hipotensi-spinal

PENDAHULUAN

Anestesi spinal merupakan salah satu tehnik anestesi dengan menyuntikan

sejumlah obat lokal anestesi ke dalam ruang subarachnoid. Tehnik ini mempunyai

onset yang cepat, tingkat keberhasilan yang tinggi, simpel, efektif, dan relatif

mudah dilakukan. Tetapi selain itu, anestesi spinal juga memiliki beberapa

komplikasi yang sering terjadi, diantaranya efek terhadap hemodinamik yaitu

hipotensi. (Salinas, 2009)

Komplikasi hemodinamik pada anestesi spinal yang paling sering terjadi

adalah hipotensi. Hal ini merupakan perubahan fisiologis yang sering terjadi pada

anestesi spinal. (Liguori, 2007)

Insidensi kejadian hipotensi pada anestesi spinal mencapai 8 – 33 %. Dan

dalam penelitiannya, Scott, 1991., menyebutkan bahwa pada 11.000 kasus yang

dilakukan anestesi spinal, 38 % diantaranya mengalami hipotensi. (Covino, 1994;

Liguori, 2007)

Penyebab utama dari terjadinya hipotensi pada anestesi spinal adalah

blokade simpatis. Dimana derajat hipotensi berhubungan dengan tingkat

penyebaran obat anestesi lokal. Level blok yang hanya mencapai sacral maupun

lumbal biasanya hanya sedikit ataupun tidak berpengaruh terhadap tekanan darah,

dibandingkan dengan level blok yang lebih tinggi. (Covino, 1994; Liguori, 2007)

Mengingat frekuensi kejadian hipotensi yang ada pada anestesi spinal, maka

penulis memandang perlu untuk menulis referat ini dengan tujuan untuk

memahami pengetahuan tentang faktor - faktor yang berpengaruh terhadap

perubahan kardiovaskuler pada anestesi spinal yang digunakan, dimana hal ini

diperlukan untuk menghindari hipotensi yang hebat yang akan berpengaruh

terhadap organ vital dan memahami tindakan preventif serta pemilihan terapi yang

tepat.

Page 3: referat hipotensi-spinal

I. REGULASI FISIOLOGIS TEKANAN DARAH

Tekanan darah ditentukan oleh tahanan vaskuler sistemik dan curah jantung.

Curah jantung ditentukan oleh laju nadi dan stroke volume, sementara stroke

volume sendiri dipengaruhi oleh kontraktilitas otot jantung, after load dan

preload, dimana hal ini semua berhubungan dengan venous retun. Venous return

sendiri dipengaruhi oleh gravitasi (gaya berat), tekanan intratorakal dan derajat

tonus venomotor. Tahanan vaskuler sistemik ditentukan oleh tonus simpatis

vasomotor dan dipengaruhi oleh hormon-hormon seperti renin, angiotensin,

aldosteron dan hormon antidiuretik, metabolik lokal (pada jaringan dan darah),

serta konsentrasi 02 dan C02. (Covino, 1994)

Perubahan dalam mikrosirkulasi juga mempengaruhi tekanan arterial, faktor

tersebut bertanggung jawab untuk autoregulasi terhadap aliran darah. Ada dua

mekanisme utama yaitu myogenik dan Chemical. Aksi autoregulasi myogenik

melalui reseptor regangan pada dinding pembuluh darah dimana akan

menyebabkan konstriksi ketika tekanan menurun. Autoregulasi chemical

dipengaruhi oleh konsentrasi lokal dari metabolit vasoaktif. Dengan adanya

vasodilatasi akibat blokade simpatis, peningkatan aliran akan mengencerkan

metabolit dan menghasilkan reflek vasokonstriksi. (Paul, 1994; Viscomi, 2004)

Jadi hipotensi selama anestesi spinal berhubungan dengan luasnya blokade

simpatis, dimana mempengaruhi tahanan vaskuler perifer dan curah jantung.

Besarnya perubahan kardiovaskuler tergantung atas derajat dari tonus simpatis

yang timbul dengan segera setelah injeksi spinal. (Covino, 1994)

TAHANAN VASKULER PERIFER

Blok simpatis yang terbatas pada daerah thorax bagian bawah dan tengah

menyebabkan vasodilatasi dari anggota badan dibawahnya dengan kompensasi

vasokonstriksi anggota badan diatasnya. Jadi tahanan vaskuler perifer hanya

menurun ringan yang membatasi derajat hipotensi. Bila blokade meluas lebih

tinggi, vasodilatasi akan meningkat, dan beberapa saat kemudian kemampuan

untuk vasokonstriksi sebagai kompensasi akan menurun. (Covino, 1994)

Page 4: referat hipotensi-spinal

Arterial Blood Pressure

Cardiac Output

Stroke Volume

Heart Rate

Preload

Contactility

Afterload

Venous Return

Arterial resistance

CURAH JANTUNG

Anestesi spinal, yang hanya sampai level torakal tengah, tidak menyebabkan

perubahan yang nyata pada curah jantung asalkan posisi pasien horizontal atau

head down. Anestesi spinal yang meluas sampai ke level torakal bagian atas atau

servikal, menyebabkan pengurangan yang nyata pada curah jantung karena

adanya perubahan pada laju nadi, venous return dan kontraktilitas. (Covino, 1994)

Gambar. 1

Faktor – Faktor Yang Berpengaruh Pada Tekanan Darah

(Covino, 1994)

LAJU NADI

Serabut simpatis dari T1 - T5 mengontrol laju nadi. Anestesi spinal yang

memblokade serabut tersebut menyebabkan denervasi yang nyata dari persyarafan

simpatis jantung. Sebagaimana normalnya derajat tonus simpatis terhadap

jantung, denervasi tersebut menyebabkan penurunan laju nadi. Bradikardi yang

hebat tampak pada beberapa pasien dengan anestesi spinal tinggi, hal ini

kemungkinan disebabkan oleh peningkatan aktifitas vagal sebagaimana terjadi

selama vasovagal syncope atau oleh reflek intrakardial. (Covino, 1994; Viscomi,

2004)

Page 5: referat hipotensi-spinal

STROKE VOLUME

Stroke volume dapat berkurang selama spinal anestesi tinggi dengan

pengurangan pada venous return dan penurunan kontraktilitas jantung. (Covino,

1994)

VENOUS RETURN

Pada pasien yang tonus simpatisnya sudah dihilangkan, venous return akan

tergantung pada gaya berat dan posisi tubuh. Kontrol simpatis pada sistem

pembuluh darah sesungguhnya untuk mempertahankan venous return dan

kardiovaskuler homeostasis selama perubahan postural. Pembuluh darah vena

membentuk sistem tekanan darah dan merupakan proporsi yang besar dalam

darah sirkulasi (mendekati 70%). Ketika anestesi spinal menghasilkan blokade

simpatis, kontrol tersebut hilang dan venous return tergantung gravitasi. Pada

anggota badan yang berada dibawah atrium kanan, pembuluh darah yang

didenervasi akan dilatasi, sehingga menyimpan sejumlah besar volume darah.

Gabungan dari penurunan venous return dan curah jantung serta dengan

penurunan tahanan perifer dapat menyebabkan hipotensi yang hebat. (Covino,

1994)

KONTRAKTILITAS

Blokade persyarafan simpatis jantung dapat menyebabkan penurunan

inotropism atau sifat inotropiknya yang mengakibatkan penurunan pada cardiac

out put (5%). (Covino, 1994)

Page 6: referat hipotensi-spinal

Gambar. 2

Hubungan Antara Ketinggian Blok Pada Anestesi Spinal Terhadap Perubahan Kardiovaskuler

Keterangan :PR = Peripheral resistance; HR = Heart Rate; CO = Cardiac Output; VR = Venous Return; C = Contractility; MAP = Mean Arterial Pressure; NC = No Change.

(Covino, 1994)

Page 7: referat hipotensi-spinal

II. HIPOTENSI PADA ANESTESI SPINAL

Hipotensi adalah suatu keadaan tekanan darah yang rendah yang

abnormal, yang ditandai dengan tekanan darah sistolik yang mencapai dibawah

80 mmHg atau 90 mmHg, atau dapat juga ditandai dengan penurunan sistolik

atau MAP (Mean Arterial Pressure) mencapai dibawah 30 % dari baseline.

(Liguori, 2007)

Insiden terjadinya hipotensi pada anestesi spinal cukup signifikan. Pada

beberapa penelitian menyebutkan insidensinya mencapai 8 – 33 %. (Liguori,

2007)

Tabel.1. Insidensi Hipotensi Pada Neuraxial Anesthesia

(Liguori, 2007)

Penyebab utama terjadinya hipotensi pada anestesi spinal adalah blokade

tonus simpatis. Blok simpatis ini akan menyebabkan terjadinya hipotensi, hal

ini disebabkan oleh menurunnya resistensi vaskuler sistemik dan curah

jantung. Pada keadaan ini terjadi pooling darah dari jantung dan thoraks ke

mesenterium, ginjal, dan ekstremitas bawah. (Liguori, 2007; Salinas, 2009)

Manifestasi fisiologi yang umum pada anestesi spinal adalah hipotensi

dengan derajat yang bervariasi dan bersifat individual. Terjadinya hipotensi

biasanya terlihat pada menit ke 20 – 30 pertama setelah injeksi, kadang dapat

terjadi setelah menit ke 45 – 60. Derajat hipotensi berhubungan dengan

kecepatan obat lokal anestesi ke dalam ruang subarachnoid dan meluasnya

Page 8: referat hipotensi-spinal

blok simpatis. Blok yang terbatas pada dermatom lumbal dan sakral

menyebabkan sedikit atau tidak ada perubahan tekanan darah. Anestesi spinal

yang meluas sampai ke ting kat thorax tengah berakibat dalam turunnya

tekanan darah yang sedang . Anestesi spinal yang tinggi, di atas thorax 4 – 5,

menyebabkan blokade simpatis dari serabut-serabut yang menginervasi

jantung, mengakibatkan penurunan frekwensi jantung dan karena kotraktilitas

jantung dan venous return menyebabkan penurunan curah jantung. Semuanya

itu menyebabkan hipotensi y ang dalam. (Covino, 1994; Salinas, 2009)

Gambar. 3

Patofisiologi Hipotensi Dan Bradikardi Pada Anestesi Spinal

(Liguori, 2007)

Page 9: referat hipotensi-spinal

Faktor-faktor pada anestesi spinal yang mempengaruhi terjadinya hipotensi :

1. Ketinggian blok simpatis

Hipotensi selama anestesi spinal dihubungkan dengan meluasnya blokade

simpatis dimana mempengaruhi tahanan vaskuler perifer dan curah jantung.

Blokade simpatis yang terbatas pada rongga thorax tengah atau lebih rendah

menyebabkan vasodilatasi anggota gerak bawah dengan kompensasi

vasokonstriksi pada anggota gerak atas atau dengan kata lain vasokonstriksi

yang terjadi diatas level dari blok, diharapkan dapat mengkompensasi

terjadinya vasodilatasi yang terjadi dibawah level blok. (Covino, 1994;

Liguori, 2007)

Pada beberapa penelitian dikatakan efek terhadap kardiovaskuler lebih

minimal pada blok yang terjadi dibawah T5. (Liguori, 2007; Salinas, 2009)

Gambar. 4

Hubungan Antara Perubahan Tekanan Darah

Dengan Ketinggian Blok Pada Anestesi Spinal

(Covino, 1994)

Page 10: referat hipotensi-spinal

2. Posisi Pasien

Kontrol simpatis pada sistem vena sangat penting dalam memelihara

venous return dan karenanya kardiovaskuler memelihara homeostasis selama

perubahan postural. Vena-vena mempunyai tekanan darah dan berisi sebagian

besar darah sirkulasi (70%). Blokade simpatis pada anestesi spinal

menyebabkan hilangnya fungsi kontrol dan venous return menjadi terg antung

pada gravitasi. Jika anggota gerak bawah lebih rendah dari atrium kanan, vena-

vena dilatasi, terjadi sequestering volume darah yang banyak (pooling vena).

Penurunan venous return dan curah jantung bersama-sama dengan penurunan

tahanan perifer dapat menyebabkan hipotensi yang berat. Hipotensi pada

anestesi spinal sangat dipengaruhi oleh posisi pasien. Pasien dengan posisi head-

up akan cenderung terjadi hipotensi diakibatkan oleh venous pooling. Oleh

karena itu pasien sebaiknya pada posisi slight head-down selama anestesi spinal

untuk mempertahankan venous return. (Covino, 1994)

Gambar. 5

Hubungan Antara Ketinggian Blok Pada Anestesi

Spinal Dengan Posisi Pasien

(Covino, 1994)

Page 11: referat hipotensi-spinal

3. Faktor yang berhubungan dengan kondisi pasien

Kondisi fisik pasien yang dihubungkan dengan tonus simpatis basal, juga

mempengaruhi derajat hipotensi. Hipovolemia dapat menyebabkan depresi yang

serius pada sistem kardiovaskuler selama anestesi spinal. Pada hipovolemia,

tekanan darah dipertahankan dengan peningkatan tonus simpatis yang

menyebabkan vasokonstriksi perifer. Blok simpatis oleh karena anestesi spinal

mungkin mencetuskan hipotensi yang dalam. Karenanya hipovolemia

merupakan kontraindikasi relative pada anestesi spinal. Tetapi, anestesi spinal

dapat dilakukan jika normovolemi dapat dicapai dengan penggantian volume

cairan. Pasien hamil, sensitif terhadap blokade sympatis dan hipotensi. Hal ini

dikarenakan obstruksi mekanis venous return oleh uterus gravid. Pasien hamil

harus ditempatkan dengan posisi miring lateral, segera setelah induksi anestesi

spinal untuk mencegah kompresi vena cava. Demikian juga pasien dengan tumor

abdomen, atau masa abdomen, mungkin menyebabkan hipotensi berat pada

anestesi spinal. Pasien-pasien tua dengan hipertensi dan ischemia jantung sering

menjadi hipotensi selama anestesi spinal dibanding dengan pasien - pasien muda

sehat. (Covino, 1994; Tarkkila, 2007)

4. Faktor Agent Anestesi Spinal

Derajat hipotensi tergantung juga pada agent anestesi spinal. Pada level

anestesi yang sama, bupivacaine mengakibatkan hipotensi yang lebih kecil

dibandingkan tetracaine. Hal ini mungkin disebabkan karena blokade serabut-

serabut simpatis yang lebih besar dengan tetracain di banding bupivacaine.

Barisitas agent anestesi juga dapat berpengaruh terhadap hipotensi selama

anestesi spinal. Agent tetracaine maupun bupivacaine yang hiperbarik dapat

lebih menyebabkan hipotensi dibandingkan dengan agent yang isobarik ataupun

hipobarik. Hal ini dihubungkan dengan perbedaan level blok sensoris dan

simpatis. Dimana agent hiperbarik menyebar lebih jauh daripada agent isobarik

maupun hipobarik sehingga menyebabkan blokade simpatis yang lebih tinggi.

(Covino, 1994; Tsai, 2007)

Page 12: referat hipotensi-spinal

Mekanisme lain yang dapat menjelaskan bagaimana anestesi spinal dapat

menyebabkan hipotensi adalah efek sistemik dari obat anestesi lokal itu sendiri.

Obat anestesi lokal tersebut mempunyai efek langsung terhadap miokardium

maupun otot polos vaskuler perifer. Semua obat anestesi mempunyai efek

inotropik negatif terhadap otot jantung. Obat anestesi lokal tetracaine maupun

bupivacaine mempunyai efek depresi miokard yang lebih besar dibandingkan

dengan lidocaine ataupun mepivacaine. (Liguori, 2007)

Adapun beberapa faktor resiko lain terjadinya hipotensi pada anestesi spinal,

diantaranya adalah hipertensi preoperatif, usia lebih dari 40 th, obesitas,

kombinasi general anestesi dan regional anestesi, alkoholisme yang kronis, dan

tekanan darah baseline kurang dari 120 mmHg. (Liguori, 2007; Salinas, 2009)

Page 13: referat hipotensi-spinal

III. PENATALAKSANAAN HIPOTENSI

1. TINDAKAN PREVENTIF

Pemberian preloading pada pasien yang akan dilakukan anestesi spinal

dengan 1 – 2 liter cairan intravena (kristaloid atau koloid) sudah secara luas

dilakukan untuk mencegah hipotensi pada anestesi spinal. Pemberian cairan

tersebut secara rasional untuk meningkatkan volume sirkulasi darah dalam rangka

mengkompensasi penurunan resistensi perifer. (Covino, 1994)

Kleinman dan Mikhail mengatakan hipotensi akibat efek kardiovaskuler

dari anestesi spinal dapat diantisipasi dengan loading 10 – 20 ml/kg cairan

intravena (kristaloid atau koloid) pada pasien sehat akan dapat mengkompensasi

terjadinya venous pooling. (Kleinman, 2006)

Pada beberapa penelitian yang lain dikatakan bahwa preloading cairan

intravena pada pasien yang akan dilakukan anestesi spinal adalah tidak efektif.

Coe et al. dalam penelitiannya mengatakan bahwa prehidrasi pada pasien yang

akan dilakukan anestesi spinal tidak mempunyai efek yang signifikan dalam

mencegah terjadinya hipotensi. Hal ini juga dibenarkan oleh Buggy et al. Berbeda

dengan Arndt et al. dia mengatakan bahwa prehidrasi dapat secara signifikan

menurunkan insidensi terjadinya hipotensi, namun hanya dalam waktu 15 menit

pertama setelah dilakukan anestesi spinal. (Liguori, 2007)

Salinas mengatakan bahwa penurunan tekanan darah dapat dicegah dengan

pemberian preloading cairan kristaloid. Namun hal ini tergantung dari waktu

pemberian cairan tersebut. Dia mengatakan pemberian 20 ml/kg ringer laktat (RL)

sesaat setelah dilakukan anestesi spinal dapat secara efektif menurunkan frekuensi

terjadinya hipotensi, bila dibandingkan dengan preloading 20 menit atau lebih

sebelum dilakukan anestesi spinal. (Salinas, 2009)

Mojica, et.al., pada penelitiannya menilai efektivitas pemberian RL 20 cc/kg

20 menit sebelum dilakukan anestesi spinal dengan pemberian RL 20 cc/kg pada

saat dilakukan anestesi spinal. Penelitian tersebut membandingkan kedua cara

diatas dengan pemberian placebo (RL 1 – 2 cc/min). Dan didapatkan hasil bahwa

pemberian kristaloid sebelum dilakukan anestesi spinal tidak menurunkan

Page 14: referat hipotensi-spinal

insidensi terjadinya hipotensi yang dibandingkan dengan pemberian placebo. Hal

ini disebabkan oleh karena waktu paruh kristaloid yang pendek, dimana saat mulai

terjadinya hipotensi, kristaloid sudah mulai berdifusi ke ruang interstitial,

sehingga tidak dapat mempertahankan venous return dan curah jantung. Berbeda

dengan pemberian kristaloid saat dilakukan anestesi spinal, ternyata cara ini lebih

efektif dalam menurunkan insidensi terjadinya hipotensi, karena dengan cara ini

kristaloid masih dapat memberikan volume intravaskuler tambahan (additional

fluid) untuk mempertahankan venous return dan curah jantung. (Mojica, et.al.,

2002)

Gambar. 6

Perbandingan pengaruh pemberian kristaloid sebelum dan sesaat anestesi spinal terhadap tekanan darah

(Mojica, et.al., 2002)

Mengenai pemilihan cairan, Zorco, et al., dalam penelitiannya tentang efek

posisi trendelenburg, ringer laktat, dan HES 6% terhadap curah jantung setelah

anestesi spinal didapatkan bahwa ketiga cara diatas dapat mencegah terjadinya

penurunan curah jantung. Pemberian RL (kristaloid) maupun HES 6 % (koloid)

pada saat anestesi spinal, ternyata tidak hanya dapat mencegah penurunan curah

Page 15: referat hipotensi-spinal

jantung, tapi dapat meningkatkan curah jantung. Namun saat efek kristaloid mulai

berkurang terhadap curah jantung akibat cepatnya kristaloid berdifusi ke ruang

interstitial, koloid masih dapat bertahan di intravaskuler dan masih dapat

mempertahankan curah jantung. Namun dari segi ekonomis koloid lebih mahal

dibandingkan kristaloid, dan koloid dapat menyebabkan terjadinya anafilaksis

walaupun sedikit angka kejadiannya. (Zorco N., et al., 2009)

Gambar. 7

Efek posisi trendelenburg, ringer laktat, dan HES 6% terhadap curah jantung setelah anestesi spinal

(Zorco N., et al., 2009)

Vercauteren, et.al., dalam penelitiannya mengatakan pemberian ephedrine

sebelum anestesi spinal juga dapat digunakan sebagai tindakan preventif

terjadinya hipotensi. Dalam penelitiannya dengan pemberian 5 mg ephedrine IV

(bolus) dapat mengurangi insidensi terjadinya hipotensi. Dalam penelitiannya

yang lain, dikatakan pemberian ephedrine intramuskuler masih dalam perdebatan,

karena absorbsi sistemik dan peak effect dari pemberian intramuskuler sulit

diprediksi. (Vercauteren, et al, 2000)

Page 16: referat hipotensi-spinal

Kol, et.al., dalam penelitiannya juga mengatakan bahwa pemberian

ephedrine 0.5 mg/kg sebagai profilaksis dapat secara signifikan menurunkan

angka kejadian hipotensi pada anestesi spinal. Pemberian ephedrine sebagai

profilaksis dapat menurunkan angka kejadian hipotensi dari 95 % menjadi 38 %.

(Kol, et.al., 2009)

Penggunaan infus vasopresor terutama ephedrine sebagai profilaksis, secara

signifikan dapat mengurangi insidensi terjadinya hipotensi dibandingkan dengan

prehidrasi menggunakan kristaloid. Pada penelitian tersebut tidak didapatkan

adanya hipertensi pada pasien yang diberikan infus ephedrine. (Liguori, 2007)

Lim, et.al., dalam penelitiannya mengatakan bahwa pemberian atropine IV

setelah preloading dengan kristaloid dapat menurunan angka kejadian hipotensi

dan menurunkan penggunaan ephedrine. Pada penelitiannya terhadap 75 pasien,

dimana 25 pasien diberikan placebo, 25 pasien diberikan 5 μg atropine IV, dan 25

pasien diberikan 10 μg atropine IV, didapatkan hasil angka kejadian hipotensi

berturut-turut adalah 76 %, 52 % dan 40 %. Dan pada penelitian tersebut, efek

samping seperti angina, perubahan ST segmen pada EKG dan confusion tidak

didapatkan. Penelitian ini dibatasi untuk tidak diberikan pada pasien dengan

riwayat penyakit jantung iskemik dan pasien yang menggunakan β bloker. Lim,

et.al., mengatakan bahwa pemberian atropine secara rutin sebagai premedikasi

pada anestesi spinal tidak direkomendasikan, namun pemberian atropine dapat

dipertimbangkan pada pasien-pasien dengan baseline laju nadi yang rendah

maupun pasien dengan baseline hipotensi dan bradikardi. (Lim, et.al., 2000)

2. Penatalaksanaan hipotensi

Derajat hipotensi yang membutuhkan terapi aktif masih dalam perdebatan,

hal ini disebabkan karena adanya data-data ilmiah yang menunjukkan bahwa

hipotensi masih dapat ditoleransi pada pasien yang sehat. (Covino, 1994)

Penatalaksanaan hipotensi pada anestesi spinal tergantung pada penyebab

dasarnya. Jika terjadi hipotensi secara mendadak yang kemudian diikuti dengan

bradikardia dan nausea, hal ini mungkin disebabkan akibat vasovagal syncope.

Page 17: referat hipotensi-spinal

Atropine dapat diberikan pada keadaan ini, namun tidak se-efektif bila diberikan

vasopresor. (Covino,1994)

Untuk mengatasi hipotensi secara efektif, penyebab utama dari hipotensi

harus dikoreksi. Penurunan curah jantung dan venous return harus diatasi,

pemberian kristaloid sering kali berguna untuk memperbaiki venous return.

Dalam prakteknya pemberian preloading 500 – 1500 ml kristaloid dapat

menurunkan terjadinya hipotensi, walaupun pada beberapa penelitian lain tidak

efektif. (Tsai, 2007)

Pada pasien tanpa adanya gangguan pada target organ dan asimptomatik,

dengan penurunan tekanan darah mencapai 33 % belum perlu perlu dikoreksi.

(Tsai, 2007)

Monitoring tekanan darah dan juga pemberian suplemen oksigen harus

diperhatikan pada anestesi spinal. Pemberian cairan juga harus dimonitor secara

hati-hati, karena pemberian cairan yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya

congestive heart failure, oedem paru, ataupun keduanya. (Tsai, 2007; Salinas,

2009)

Penggunaan hanya dengan cairan intra vena tidak cukup efektif dalam

penanganan hipotensi akibat anestesi spinal. Respon tekanan darah terhadap

pemberian cairan intra vena membutuhkan waktu beberapa menit, sedangkan pada

beberapa kasus hal itu tidak cukup cepat, oleh karena itu sebagai obat pilihan

utama diberikan vasopresor. (Liguori, 2007; Salinas, 2009)

Jika sudah ada indikasi penatalaksanaan dengan medikamentosa, vasopresor

merupakan pilihan obat utamanya. Kombinasi α dan β adrenergik agonis lebih

baik dari pada α agonis murni dalam menangani penurunan tekanan darah,

ephedrine merupakan obat pilihan utamanya. Dengan ephedrine curah jantung dan

resistensi vaskuler perifer dapat meningkat, sehingga dapat meningkatkan tekanan

darah. (Tsai, 2007)

Secara fisiologis penatalaksanaan hipotensi adalah dengan mengembalikan

preload. Cara yang efektif adalah dengan memposisikan pasien menjadi

trendelenburg atau dengan head down. Posisi ini tidak boleh lebih dari 20 °,

karena dengan posisi trendelenburg yang terlalu ekstrim dapat menyebabkan

Page 18: referat hipotensi-spinal

penurunan prefusi cerebral dan dapat meningkatkan tekanan vena jugularis, dan

bila ketinggian blok pada anestesi spinal belum menetap, posisi trendelenburg

dapat meningkatkan ketinggian level blok pada pasien yang mendapatkan agen

hiperbarik, yang dapat memperburuk keadaan hipotensinya. Hal ini dapat

dihindari dengan menaikkan bagian atas tubuh menggunakan bantal dibawah bahu

ketika bagian bawah tubuh sedikit dinaikkan diatas jantung. (Tsai, 2007; Salinas,

2009)

Algoritme penatalaksanaan hipotensi pada anestesi spinal : (Tsai, 2007)

1. Pada pasien sehat

Bila terjadi penurunan tekanan darah mencapai 30 % atau lebih, dilakukan

loading cairan kristaloid 500 – 1000 ml dengan mempertimbangkan diberikan

vasopresor, bila laju nadi sekitar 70 kali/mnt dapat diberikan ephedrine 5 – 10

mg IV, dan bila laju nadi sekitar 80 kali/mnt dapat diberikan phenylephrine

50 – 100 mcg IV, pemberian vasopresor tersebut dapat diulang setiap 2 – 3

mnt bila perlu sampai tekanan darah kembali normal. Perlu dipertimbangkan

juga untuk mengubah posisi menjadi trendelenburg.

2. Pada pasien dengan adanya penyakit jantung dan kardiovaskuler serta

penyakit di susunan saraf pusat

Bila terjadi penurunan tekanan darah mencapai 30 % atau lebih dan

ditemukan adanya gejala seperti nausea vomitus, nyeri dada, dsb.

Dengan laju nadi 70 kali/mnt dapat diberikan ephedrine 10 – 20 mg IV, jika

tidak ada respon sampai dengan 2 kali pemberian, dapat diberikan

epinephrine 8 – 16 mg IV atau infus titrasi epinephrine 0.15 – 0.3

mcg/kg/min.

Dengan laju nadi 80 kali/mnt dapat diberikan phenylephrine 100 – 200 mcg

IV, jika tidak ada respon sampai dengan 2 kali pemberian, dapat diberikan

infus titrasi phenylephrine 0.15 – 0.75 mcg/kg/min atau infus titrasi

norepinephrine 0.01 – 0.1 mcg/kg/min.

Page 19: referat hipotensi-spinal

Gambar. 8

Algoritme Penatalaksanaan Hipotensi Pada Anestesi Spinal

(Tsai, 2007)

EPHEDRINE

Ephedrine memiliki efek kardiovaskuler seperti epinephrine, dapat

meningkatkan tekanan darah, laju nadi, kontraktilitas, dan curah jantung.

Ephedrine juga memiliki efek bronkodilator. Perbedaannya, ephedrine memiliki

durasi yang lebih panjang, kurang poten, memiliki efek langsung maupun tidak

langsung dan dapat menstimulasi susunan saraf pusat. Efek tidak langsung dari

ephedrine dapat menstimulasi sentral, melepaskan norepinephrine perifer

postsinaps, dan menghambat reuptake norepinephrine. (Morgan, 2006)

Efek tidak langsungnya dapat meningkatkan vasokonstriksi dengan jalan

meningkatkan pelepasan dari noradrenaline dan menstimulasi secara langsung

Page 20: referat hipotensi-spinal

kedua reseptor (ß) beta untuk meningkatkan curah jantung, laju nadi, tekanan

darah sistolik dan diastolik. (Morgan, 2006)

Ephedrine tidak menyebabkan penurunan uterine blood flow, sehingga

dapat digunakan sebagai vasopresor kasus-kasus obstetri. Ephedrine juga

memiliki efek antiemetik. (Morgan, 2006)

Pada dewasa, dosis yang digunakan adalah 5 – 10 mg IV dengan durasi 5 –

10 menit atau 25 mg IM dengan durasi yang lebih panjang. Dapat pula diberikan

dalam infus, dengan dosis 25 – 30 mg ephedrine dalam 1 liter ringer laktat. Dosis

untuk anak-anak dapat diberikan dengan dosis 0.1 mg/kg. (Morgan, 2006; Salinas,

2009)

PHENYLEPHRINE

Obat ini bersifat langsung dan dominan terhadap α1-agonis reseptor, dengan

dosis tinggi dapat menstimulasi α 2 dan β reseptor. Efek utamanya adalah

vasokonstriksi perifer, dan dapat meningkatkan resistensi vaskuler sistemik dan

tekanan darah arteri. Phenylephrine dapat menimbulkan reflek bradikardi,

sehingga dapat menyebabkan penurunan curah jantung. (Morgan, 2006; Salinas,

2009)

Dengan pemberian dosis 50 – 100 μg (0.5 – 1 μg/kg) secara cepat dapat

mengembalikan hipotensi yang disebabkan vasodilatasi perifer akibat anestesi

spinal. Dengan infus kontinyu (0.25 – 1 μg/kg/min) dapat mempertahankan

tekanan darah arteri, namun dapat menurunkan renal blood flow. (Morgan, 2006;

Salinas, 2009)

NOREPINEPHRINE

Norepinephrine dapat menyebabkan vasokonstriksi pada pembuluh darah

arteri maupun vena, hal ini dipicu oleh stimulasi langsung pada reseptor α 1 ketika

tidak adanya aktivitas β 2. Norepinephrine mempunyai efek terhadap β 1 yang

dapat meningkatkan kontraktilitas miokard, sehingga dapat menyebabkan

terjadinya peningkatan tekanan darah arteri. Norepinephrine memiliki efek

menurunkan renal blood flow dan meningkatkan kebutuhan miokard akan

Page 21: referat hipotensi-spinal

oksigen, sehingga penggunaannya dibatasi pada keadaan syok refrakter.

Ekstravasasi dari norepinephrine dapat menyebabkan terjadinya nekrosis jaringan.

(Morgan, 2006)

Norepinephrine dapat diberikan dengan dosis 0.1 μg/kg, atau dapat dengan

infus kontinyu dengan dosis 4 mg dalam 500 ml D5 dengan kecepatan 2 – 20

μg/min. (Morgan, 2006)

KESIMPULAN

Hipotensi merupakan salah satu respon fisiologis selama spinal anestesia

yang disebabkan oleh karena terjadinya blokade pada serabut syaraf simpatis.

Namun diketahui pula bahwa banyak faktor lain yang bisa menyebabkan hal ini

terjadi. Pengetahuan tentang faktor - faktor yang berpengaruh terhadap perubahan

kardiovaskuler tersebut, seperti anatomi, fisiologi, farmakologi spinal anestesia

dan obat - obatan yang digunakan sangat diperlukan untuk menghindari hipotensi

yang hebat yang akan berpengaruh terhadap organ vital dan untuk tindakan

preventif serta pemilihan terapi yang tepat.

Sebagai tindakan preventif pemberian kristaloid yang dilakukan pada saat

anestesi spinal ternyata lebih efektif bila dibandingkan dengan preloading atau

pemberian kristaloid sebelum dilakukan anestesi spinal. Dan penggunaan

vasopresor, dalam hal ini ephedrine juga dapat secara signifikan menurunkan

insidensi terjadinya hipotensi.

Dan untuk penatalaksaan hipotensi pada anestesi spinal yang efektif,

penyebab utama dari hipotensi harus dikoreksi. Penurunan curah jantung dan

venous return harus diatasi, pemberian kristaloid sering kali berguna untuk

memperbaiki venous return. Meskipun penggunaan hanya dengan cairan intra

vena terkadang tidak cukup efektif dalam penanganan hipotensi akibat anestesi

spinal, oleh karena itu sebagai obat pilihan utama diberikan vasopresor

Page 22: referat hipotensi-spinal

DAFTAR PUSTAKA

Covino, B.G., et al., Handbook of spinal anaesthesia and analgesia . 1994 : 1-

168.

Hartman., et al., The Incidence and Risk Factors for Hypotension After Spinal

Anesthesia Induction: An Analysis with Automated Data Collection.,

Anesth Analg., 2002;94:1521–9.

Kleiman, W., Mikhail, M., Spinal, Epidural, & Caudal Blocks., Clinical

Anesthesiology., 4th Ed., 2006 : 289 – 323.

Kol, I.O., et al., The Effects of Intravenous Ephedrine During Spinal Anesthesia

for Cesarean Delivery: A Randomized Controlled Trial., J Korean Med Sci.,

2009; 24: 883-8.

Liguori, G.A., Hemodynamic Complications., Complications in Regional

Anesthesia and Pain Medicine., 1st Ed., 2007 : 43 – 52.

Lim, H.H., et al., The Use of Intravenous Atropine After a Saline Infusion in the

Prevention of Spinal Anesthesia-Induced Hypotension in Elderly Patients.,

Anesth Analg 2000;91:1203–6.

Morgan, G.E., Mikhail, M.S., Murray, M.J., Adrenergic Agonist & Antagonists.,

Clinical Anesthesiology., 2006 : 242 – 254.

Mojica, J.L., et al., The Timing of Intravenous Crystalloid Administration and

Incidence of Cardiovascular Side Effects During Spinal Anesthesia: The

Results from a Randomized Controlled Trial., Anesth Analg 2002;94:432–7.

Salinas, FV., Spinal Anesthesia., A Practical Approach to Regional Anesthesia.,

4th ed., 2009 : 60 – 102.

Tarkkila, P., Complications Associated with Spinal Anesthesia. Complication of

Regional Anesthesia, 2nd Ed., 2007 : 149 – 166.

Tsai, T., Greengrass, R., Spinal Anesthesia., Textbook of Regional Anesthesia

and Acute Pain Management., 2007 : 193 – 221.

Viscomi, CM., Spinal Anesthesia, Regional Anesthesia, 2004 : 114 – 127.

Page 23: referat hipotensi-spinal

Vercuteren., et al., Prevention of Hypotension by a Single 5-mg Dose of

Ephedrine During Small-Dose Spinal Anesthesia in Prehydrated Cesarean

Delivery Patients., Anesth Analg., 2000;90:324 –7.

Zorco, N., et al., The Effect of Trendelenburg Position, Lactated Ringer’s

Solution and 6% Hydroxyethyl Starch Solution on Cardiac Output After

Spinal Anesthesia., Anesth Analg., 2009;108:655–9.