Kompilasi PI - Lampiran 6 - Seminar Legislasi Nasional

7

Click here to load reader

description

PENGARUH HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP PROSES LEGISLASI oleh Romli Atmasasmita**Makalah disampaikan pada “Seminar Legislasi Nasional” Badan Legislasi DPR RI pada tanggal 21 Mei 2008*Romli Atmasasmita adalah Guru besar Hukum Pidana Internasional UNPADFor any Question and further information please send it to : [email protected]

Transcript of Kompilasi PI - Lampiran 6 - Seminar Legislasi Nasional

Page 1: Kompilasi PI - Lampiran 6 - Seminar Legislasi Nasional

Pendahuluan

Betapa pentingnya mempersoalkan dan mengkaji serta memahami bagaimana pengaruh

hukum internasional terhadap perkembangan hukum nasional (sistem hukum dan hukum

positif) di Indonesia karena pertama, masalah tersebut masih selalu dikaitkan dengan

prinsip “state sovereignty” dan kepentingan perlindungan hukum suatu (bangsa) Negara

didalam memasuki terutama abad globalisasi ini. Globalisasi sering diartikan secara

kurang tepat, “dunia tanpa batas”, sedangkan justru dalam abad 21 globalisasi masalah

batas wilayah Negara dan yurisdiksi Negara merupakan isu yang sangat penting terutama

bagi Negara berkembang. Kedua, secara geografis, ethnografis dan secara cultural telah

diakui eksistensi keragaman antara bangsa tersebut sehingga hambatan implementasi

hukum internasional yang telah diakui oleh Pemerintah Indonesia (melalui ratifikasi)

sering erbentur kepada masalah penerimaan pengaruh asing (hukum internasional) ke

dalam kehidupan nyata yang berkembang di Indonesia. Ketiga, kerentanan masalah

hukum asing tersebut berkaitan denan pengakuan atas hak ekonomi, hak social dan hak

politik yang berkembang dalam masyarakat.

Pengertian istilah “pengaruh” dalam konteks penyusunan program legislasi nasional dan

implementasinya kurang tepat, lebih baik digunakan istilah “aspek” sehingga yang

dipersoalkan adalah melakukan formulasi aspek internasional ke dalam tata cara

pembentukan peraturan perundang-undangan nasional. Jika formulasi tersebut dapat

dilaksaakan secara lengkap dan memadai maka prasangka buruk terhadap masuknya

pengaruh asing melalui proses pembentukan peraturan perundang-undangan dapat

dicegah dan diatasi. Formulasi dimaksud sampai saat ini beum dituangkan ke dalam suatu

kebijakan legislasi nasional. Selain itu pengertian istilah “pengaruh” menempatkan hukum

nasional selalu dalam posisi “underdog” atau objek yang selalu dapat dipengaruhi

sedangkan dari prinsip kebijakan uar negeri bebas dan aktif serta prinsip ”kedaulatan

Negara” (State sovereignty), posisi sedemikian adalah mustahil dan terdengar sangat naïf

bagi suatu bangsa dan Negara yang meredeka dan berdaulat.

67

PENGARUH HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP PROSES LEGISLASI oleh Romli Atmasasmita*

LAMPIRAN 6

*Makalah disampaikan pada “Seminar Legislasi Nasional” Badan Legislasi DPR RI pada tanggal 21 Mei 2008

*Romli Atmasasmita adalah Guru besar Hukum Pidana Internasional UNPAD

Page 2: Kompilasi PI - Lampiran 6 - Seminar Legislasi Nasional

Judul makalah ini seharusnya menjadi, “Aspek (hukum) internasional didalam proses

penyusunan program legislasi nasional dan implementasinya.”

Prinsip Kedaulatan Negara (State Sovereignty)

Prisip kedaulatan Negara atau “state sovereignty” merupakan prinsip umum hukum

internasional yang bersifat internasional.1 Prinsip ini telah menjadi perdebatan para ahli

hukum internasional sejak lama yang kemudian dijlaskan melalui teori dualisme dan

monisme.2 Perkembangan kedua teori tersebut oleh setiap Negara ditanggapi berbeda-

beda sesuai dengan kepentingan nasional Negara masing-masing. Ada Negara ang

mengutamakan teorimonisme primat hukum nasional dan ada Negara yang

mengutamakan monisme primat huku internasional.3

Di dalam Mukadimah UUD 1945 dan batang tubuhnya menegaskan bahwa NKRI

merupakan Negara Kesatuan –territorial integrity-, yang mengutamakan prinsip

teritorialitas sebagai acuan utama. Prinsip kedaulatan dalam bentuk asli adalah

menjagakeutuhan wilayah territorial dan mencegah terjadinya investasi dari Negara lain.

Sedangkan “Montevideo Convention on The Rights and Dutiesnof States” tahun 1933

menegaskan bahwa, Negara selaku subjek hukum internasional memiliki 4 (emapat)

kualifikasi, yaitu : (a). penduduk yang tetap; (b). batas wilayah tertentu; (c).

pemerintahan; (d). kapasitas dan kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan

Negara lain. Singkatnya Konvensi tersebut menentukan syarat Negara untuk diakui

sebagai subjek hukum internasional.4

Dalam konteks kemampuan melakukan hubungan internasional, diperlukan agen

diplomatic Indonesia di dalam proses negosiasi satu draft konvensi. Kemampuan itu

sendiri tidak dilahirkan melainkan dipelajari dan dilaksanakan secara benar. Untuk

memahami dengan benar tentang perjanjian internasional dan sejauh manakah peranan

Negara di dalam menyikapisuatu treaty perlu dijelaskan beberapa hal dibawah ini.

Treaty adalah perjanjian antara dua Negara atau lebih untuk mengikatkan diri ke dalam

suatu kepentingan bersama mengenai suatu objek tertentu. Hukum Perjanjian

1 Prinsip “state sovereignty” memiliki 3 (tiga) pengertian, yaitu: “Equality of States”;”Territorial Integrity”; dan “Non-intervention” (Article 4 United Nations Convention Against Transnational Organized Crime – “Protection of Sovereignty” – 2000; Article 4 United Nations Convention Against Corruption – 2003).

2 Mochtar Kusumaatmadja, “Pengantar Hukum Internasional” Bagian Kesatu;Bina Cipta, tahun ..............3 Ketentuan Pasal 9 KUHP menegaskan bahwa ketentuan dalam Buku Kesatu Bab I Pasal 2 – Pasal 8 dibatasi

berlakunya oleh hukum internasional yang telah diakui (telah ratifikasi,sic!). Ketentuan hukum pidana tersebut merupakan pengakuan atas diterimanya teori monisme primat hukum internasional, dan mengenyampingkan teori monisme primat hukum nasional.

4 Dikutip dari Lung-Chu Chen, “An Introduction to Contemporary International Law”: A Policy Oriented Perspective; Yale University Press, 2nd ad; p. 25-26.

68

Page 3: Kompilasi PI - Lampiran 6 - Seminar Legislasi Nasional

Internasional yang bersumber dari The Law of the Treaties – United Convention on the Law

of the Treaty – UNCLT (1969) menegaskan harus dipenuhi syarat “pacta sunt servanda” =

suatu perjanjian yang menimbulkan kewajiban moral dan hukum bagi para pihak dengan

itikad baik melaksanakan isi suatu perjanjian yang bersangkutan.

Cara mengikatkan diri kedalam suatu perjanjian internasional berbeda-beda sesuai

dengan sistem hukum yang dianut suatu Negara – “Civil Law system” atau “Common Law

System”. Di dalam sistem hukum “Civil Law”, penandatanganan suatu perjanjian tidak

serta merta menjadi sumber hukum nasional sebelum dilakukan ratifikasi oleh parlemen.

Sedangkan sebaliknya di dalam sistem hukum “Common Law”, penandatanganan suatu

perjanjian serta merta merupakan sumber hukum nasional.

Bagi Indonesia yang masih menganut sistem hukum “Civil Law”, pemberlakuan perjanjian

nternasional ke dalam sistem hukum nasional masih memerlukan proses ratifikasi oleh

DPR RI. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam UUD 1945 tentang sahnya suatu perjanjian

internasional dan merujuk kepada Undang-undang RI No. 37 tahun 1999 tentang

Hubungan Luar Negeri dan Undang-undang No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian

Internasional.

Peratifikasian suatu perjanjian internasional yang telah ditandatangani pemerintah

Indonesia mutatis mutandis merupakan hukum nasional (hukum positif) sebagai dasar

penerapannya di dalam praktik. Namun demikian dalam proses legislasi di Indonesia,

peratifikasian tersebut diwujudkan dalam suatu “undang-undang pengesahan”.

Implementasi undang-undang ratifikasi tersebut masih harus melalui suatu proses

harmonisasi dengan undang-undang lama dalam hal objek perjanjian internasional teah

dimuat sebagian atau seluruhnya di dalam ketentuan peraturan perundang-undangan

yang berlaku. Proses harmonisasi tersebut akan melahirkan suatu UU tentang Perubahan.

Jika objek perjanjian yang telah melalui proses ratifikasi belum diatur sama sekali di

sistem hukum nasional, maka dilakukan proses perancangan undang-undang baru.

Bagaimana kedua proses legislasi tersebut di atas seharusnya diterapkan di dalam sistem

hukum Indonesia, berikut akan dibahas mengenai sejauh mana ketentuan dalam suatu

perjanjian internasional dapat dirumuskan menjadi suatu hukum (nasional) baru?

Proses dan pengaruh ratifikasi perjanjian internasional ke dalam proses

legislasi

69

Page 4: Kompilasi PI - Lampiran 6 - Seminar Legislasi Nasional

Yang dimaksud dengan perjanjian internasional dalam judul di atas adalah perjanjian

internasional yang telah ditandatangani dan diratifikasi oleh pemerintah dalam bentuk

suatu undang-undang tentang pengesahan perjanjian internasional.5

Di dalam menyikapi suatu perjanjian intrnasional pemerintah memerlukan penelitian yang

bersifat komprehensif selama melakukan proses negosiasi atas draft konvensi dan harus

mengetahui dan memahami karakteristik Negara pengambil inisiatif pengajuan draft

konvensi (like minded countries) serta latar belakang politik dari pengajuan suatu draft

konvensi tersebut dihubungkan dengan kepentingan nasional Indonesia.

Departemen Luar Negeri adalah pelaksana utama dari seluruh proses tersebut sejak

negosiasi, adopsi, penandatanganan, dan ratifikasi, dibantu oleh Kementrian Politik,

Hukum, dan Keamanan atau Kementrian coordinator lain dan kementrian terkait. Kata

kunci dari keberhasilan seluruh proses tersebut terletak pada kesatuan visi dan misi

serta pemahaman mengenai kedaulatan Negara dan kepentingan nasional di

bidang pertahanan, keamanan, sosial, ekonomi, budaya, hukum dan

kepentingan politik. Untuk mencapai hal tersebut diperlukan prasyarat yang tidak

dapat ditawar-tawar lagi, yaitu mengutamakan kepentingan bangsa dan Negara di atas

kepentingan sektoral, perorangan, kelompok dengan berbagai alas an latar belakang dan

kepentingan partai politik.

Selain prasyarat tersebut diatas, di dalam proses negosiasi dan ratifikasi suatu perjanjian

internasional harus telah dipertimbangkan, apakah perjanjian internasional dimaksud

termasuk “non-reserved convention”6 atau “konvensi dengan klausul reservasi” atau

konvensi yang memberikan kesempatan untuk di-reservasi. Mengapa hal tersebut di atas

menjadi penting? Hal ini disebabkan UNCLT menegaskan bahwa Negara pihak (yang telah

meratifikasi) dalam suatu perjanjian tidak boleh mengemukakan alas an untuk tidak

melaksanakan isi suatu perjanjian dengan pertimbangan bahwa isi perjanjian tersebut

bertentangan dengan sistem hukum nasional Negara yang bersangkutan.7

5 Contoh UU RI No. 11 Tahun 2006 tentang Pengesahan International Covenant and Economic, Social, and Cultural Rights (Kovenan tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya); UU RI No. 12 tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik; dan UU RI No. 7 tahun 2006 tentang Pengesahan UN Convention Against Corruption.

6 Statuta ICC atau StatutaRoma 1998 efektif berlaku tanggal 17 Juli 2002 termasuk konvensi yang tidak dapat direservasi . Sedangkan UN Transnational Organized Crime (UNTOC) tahun 2000 dan UN Conv. Against Corruption tahun 2003 merupakan konvensi yang tidak dianjurkan untuk diresrvasi oleh negara pihak. Ketentuan tentang boleh tidak diresrvasi dicantumkan pada bagian akhir dari suatu perjanjian. Begitu juga dalam hal ketentuan mengenai Penyelesaian Sengketa.

7 Article 27 UNCLT menegaskan, “A Party may not invoke the provisions of its internal as justification for its failure to perform a treaty, this rule is without prejudice to Article 46”. Article 46 menegaskan sebagai berikut: “A state may not invoke the fact that its consent to be bound by a treaty has been expressed in violation of a provision of its internal law regarding competence to conclude treaties as invalidating its consent unless that violation was manidest and concerned a rule of its internal law of fundamental importance.”

70

Page 5: Kompilasi PI - Lampiran 6 - Seminar Legislasi Nasional

Pertimbangan lain dalam menyusun suatu undang-undang pasca ratifikasi adalah harus

secara teliti mempertimbangkan sifat dari suatu ketentuan konvensi : bersifat

“mandatory” (mandatory obligation) atau bersifat non-mandatory obligation.8

Penutup

Bertitik tolak dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Proses negosiasi draft konvensi internasional merupakan proses yang bersifat krusial

dalam perubahan hukum nasional untuk dapat menentukan perlu tidaknya

pemerintah Indonesia ikut serta menandatangani konvensi setelah diadopsi menjadi

bagian dari ketentuan hukum internasional.

2. Adopsi yang akan disusul dengan penandatnganan suatu konvensi internasional

memerlukan suatu proses nasional yang bersifat antar lembaga serta perlu

mempertimbangkan masukkan DPR RI terutama sepanjang berkaitan dengan

pertahanan dan keamanan nasional, kekayaan alam dan sumber daya manusia,

ekonomi nasional dan hak asasi manusia.

3. Proses ratifikasi suatu konvensi internasional bukan hanya proses persetujuan

semata-mata melainkan seharusnya merupakan forum pertanggungjawaban politis

pemerintah dihadapan DPR RI.

4. Pasca ratifikasi tidaklah berhenti dengan dikeluarkannya UU Pengesahan Konvensi

melainkan harus ditindak lanjuti dengan serangkaian proses: harmonisasi substantive

dan sinkronisasi kelembagaan terkait dalam pelaksanaan konvensi dimaksud; dan

perancangan draft RUU sebagai sumber hukum nasional yang diakui di dalam sistem

perundang-undangan berdasarkan UUD 1945.

5. Keseluruhan proses menuju kepada ratifikasi suatu konvensi internasional

mencerminkan politik nasional di dalam meningkatkan hubungan internasional. Atas

dasar pertimbangan tersebut proses dimaksud harus direncanakan secara serius,

konsisten dan berkesinambungan oleh instansi terkait di bawah koordinasi

Departeman Luar Negeri, dan berkonsultasi dengan DPR RI.

8 Mandatory Obligation diterjemahkan dalam kalimat “shall” atau “shall consider adopting”; sedangkan non-madatory obligation diterjemahkan dalam kalimat “may” atau “may consider”. Contoh: di dalam UNCAC 2003 atau Konvensi PBB Anti Korupsi menyebutkan: “Each State Party shall, in accordance with the fundamental principles of its legal system, develop and implement or maintain effective, coordinated anti-corruption policies that promote the participation of society and reflect the principles of the rule of law... (Pasal 5). Pasal 31 para 8: “Each State Parties may consider the ossibility of requiring that an offender demonstrate the lawful origin of alleged proceeds of crime or other property liable to confiscation...”

71