(Komas) Kemerdekaan Pers Di Indonesia

19
I. PENDAHULUAN Kemerdekaan pers dalam arti luas adalah pengungkapan kebebasan berpendapat secara kolektif dari hak berpendapat secara individu yang diterima sebagai hak asasi manusia. Masyarakat demokratis dibangun atas dasar konsepsi kedaulatan rakyat, dan keinginan-keinginan pada masyarakat demokratis itu ditentukan oleh opini publik yang dinyatakan secara terbuka. Hak publik untuk tahu inilah inti dari kemerdekaan pers, sedangkan wartawan profesional, penulis, dan produsen hanya pelaksanaan langsung. Tidak adanya kemerdekaan pers ini berarti tidak adanya hak asasi manusia (HAM). Pembahasan RUU pers terakhir 1998 dan awal 1999 yang kemudian menjadi UU no. 40 Tahun 1999 tentang pers sangat gencar. Independensi pers, dalam arti jangan ada lagi campur tangan birokrasi terhadap pembinaan dan pengembangan kehidupan pers nasional juga diperjuangkan oleh kalangan pers. Komitmen seperti itu sudah diuslukan sejak pembentukan Persatuan Wartawan Indonesia PWI tahun 1946. Pada saat pembahasan RUU pers itu di DPR-RI, kalangan pers dengan gigih memperjuangkan independensi pers. Hasil perjuangan itu memang tercapai dengan bulatnya pendirian sehingga muncul jargon “biarkanlah pers mengatur dirinya sendiri sedemikian rupa, sehingga tidak ada lagi campur tangan birokrasi”. Aktualisasi keberhasilan perjuangan itu adalah dibentuknya Dewan Pers yang independen sebagaimana ditetapkan dalam UUD No. 40 tahun 1999 tentang Pers. 1

Transcript of (Komas) Kemerdekaan Pers Di Indonesia

Page 1: (Komas) Kemerdekaan Pers Di Indonesia

I. PENDAHULUAN

Kemerdekaan pers dalam arti luas adalah pengungkapan kebebasan berpendapat

secara kolektif dari hak berpendapat secara individu yang diterima sebagai hak asasi manusia.

Masyarakat demokratis dibangun atas dasar konsepsi kedaulatan rakyat, dan keinginan-

keinginan pada masyarakat demokratis itu ditentukan oleh opini publik yang dinyatakan

secara terbuka. Hak publik untuk tahu inilah inti dari kemerdekaan pers, sedangkan wartawan

profesional, penulis, dan produsen hanya pelaksanaan langsung. Tidak adanya kemerdekaan

pers ini berarti tidak adanya hak asasi manusia (HAM).

Pembahasan RUU pers terakhir 1998 dan awal 1999 yang kemudian menjadi UU no.

40 Tahun 1999 tentang pers sangat gencar. Independensi pers, dalam arti jangan ada lagi

campur tangan birokrasi terhadap pembinaan dan pengembangan kehidupan pers nasional

juga diperjuangkan oleh kalangan pers. Komitmen seperti itu sudah diuslukan sejak

pembentukan Persatuan Wartawan Indonesia PWI tahun 1946. Pada saat pembahasan RUU

pers itu di DPR-RI, kalangan pers dengan gigih memperjuangkan independensi pers. Hasil

perjuangan itu memang tercapai dengan bulatnya pendirian sehingga muncul jargon

“biarkanlah pers mengatur dirinya sendiri sedemikian rupa, sehingga tidak ada lagi campur

tangan birokrasi”. Aktualisasi keberhasilan perjuangan itu adalah dibentuknya Dewan Pers

yang independen sebagaimana ditetapkan dalam UUD No. 40 tahun 1999 tentang Pers.

Kemerdekaan pers berasal dari kedaulatan rakyat dan digunakan sebagai perisai bagi

rakyat dari ancaman pelanggaran HAM oleh kesewenang-wenangan kekuasaan atau uang.

Dengan kemerdekan pers terjadilah keseimbangan dalam kehidupan bangsa dan bernegara.

Kemerdekaan pers berhasil diraih, karena keberhasilan reformasi yang mengakhiri kekuasan

rezim Orde Baru pada tahun 1998.

Pembredelan Tempo serta perlawanannya terhadap pemerintah Orde Baru

Pembredelan 1994 ibarat hujan, jika bukan badai dalam ekologi politik Indonesia

secara menyeluruh. Tidak baru, tidak aneh dan tidak istimewa jika dipahami dalam

ekosistemnya.

Sebelum dibredel pada 21 Juni 2004, Tempo menjadi majalah berita mingguan yang

paling penting di Indonesia. Pemimpin Editornya adalah Gunawan Mohammad yang

merupakan seorang panyair dan intelektual yang cukup terkemuka di Indonesia. Pada 1982

majalah Tempo pernah ditutup untuk sementara waktu, karena berani melaporkan situasi

1

Page 2: (Komas) Kemerdekaan Pers Di Indonesia

pemilu saat itu yang ricuh. Namun dua minggu kemudian, Tempo diizinkan kembali untuk

terbit. Pemerintah Orde Baru memang selalu was-was terhadap Tempo, sehingga majalah ini

selalu dalam pengawasan pemerintah. Majalah ini memang popular dengan independensinya

yang tinggi dan juga keberaniannya dalam mengungkap fakta di lapangan. Selain itu kritikan-

kritikan Tempo terhadap pemerintah di tuliskan dengan kata-kata yang pedas dan bombastis.

Goenawan pernah menulis di majalah Tempo, bahwa kritik adalah bagian dari kerja

jurnalisme. Motto Tempo yang terkenal adalah “ enak dibaca dan perlu”.

Meskipun berani melawan pemerintah, namun tidak berarti Tempo bebas dari

tekanan. Apalagi dalam hal menerbitkan sebuah berita yang menyangkut politik serta

keburukan pemerintah, Tempo telah mendapatkanberkali-kali maendapatkan peringatan.

Hingga akhirnya Tempo harus rela dibungkam dengan aksi pembredelan itu.

Namun perjuangan Tempo tidak berhenti sampai disana. Pembredelan bukanlah akhir

dari riwayat Tempo. Untuk tetap survive, ia harus menggunakan trik dan startegi.Salah satu

trik dan strategi yang digunakan Tempo adalah yang pertama adalah mengganti kalimat aktif

menjadi pasif dan yang kedua adalah stategi pinjam mulut. Semua strategi itu dilakukan

Tempo untuk menjamin kelangsungannya sebagai media yang independen dan terbuka.

Tekanan yang dating bertubi-tubi dari pemerintah tidak meluluhkan semangat Tempo untuk

terus menyampaikan kebenaran kepada masyarakat.

Setelah pembredelan 21 Juni 1994, wartawan Tempo aktif melakukan gerilya, seperti

dengan mendirikan Tempo Interaktif atau mendirikan ISAI (Institut Studi Arus Informasi)

pada tahun 1995. Perjuangan ini membuktikan komitmen Tempo untuk menjunjung

kebebasan pers yang terbelenggu ada pada zaman Orde Baru. Kemudian Tempo terbit

kembali pada tanggal 6 Oktober 1998, setelah jatuhnya Orde Baru.

II. PEMBAHASAN

Kemerdekaan Pers di Indonesia

Kemerdekaan Pers Masa Penjajahan Belanda

Di Indonesia jurnalistik pers mulai dikenal abad 18, tepatnya tahun 1744, ketika

sebuah surat kabar bernama Bataviasche Nouvelles diterbitkan dengan penguasaan orang-

orang Belanda. Pada 1776 di Jakarta terbit surat kabar Vendu Niews yang mengutamakan

2

Page 3: (Komas) Kemerdekaan Pers Di Indonesia

pada berita pelelangan. Abad 19 terbit berbagai surat kabar lainnya yang kesemuanya masih

dikelola orang-orang Belanda untuk para pembaca orang Belanda atau bangsa pribumi yang

mengerti bahasa Belanda, yang umumnya merupakan kelompok kecil saja. Sedangkan surat

kabar pertama sebagai bacaan untuk kaum pribumi dimulai pada 1854 ketika majalah

Bianglala diterbitkan, disususl oleh Bromartani pada 1885, keduanmya di Weltevreden, dan

tahun 1856 terbit Soerat Kabar Bahasa Melajoe di Surabaya.

Sejarah jurnalistik pers abad 20, ditandai dengan munculnya surat kabar pertama

milik bangsa Indonesia. Namanya Medan Prijaji terbit di Bandung. Dengan modal bangsa

Indonesia untuk bangsa Indonesia. Medan Prijaji yang dimiliki dan dikelola oleh Tirto

Hadisurjo alias Raden Mas Djokomono tahun 1907, berbentuk mingguan. Tiga tahun

kemudian pada tahun 1910 berubah menjadi harian. Tirto Hadisurjo inilah yang dianggap

sebagai pelopor yang meletakkan dasar-dasar jurnalistik modern di Indonesia. baik secara

pemberitahuan maupun cara pemuatan karangan dan iklan1.

Pemerintah penjajah Belanda sejak menguasai Indonesia, mengetahui dengan benar

pengaruh surat kabar terhadap masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu dipandang perlu

membuat undang-undang khusus untuk membendung pengaruh pers Indonesia, karena

merupakan momok yang harus diperangi.

Saruhum dalam tulisannya yang berjudul “Perjuangan Surat Kabar Indonesia” yang

dimuat dalam sekilas “Perjuangan Surat Kabar”, menyatakan: “Maka untuk membatasi

pengaruh momok ini, pemerintah Hindia Belanda memandang tidak cukup mengancamnya

saja denagn Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Setelah ternyata dengan KUHP itu saja

tidak mempan, maka diadakanlah pula artikel-artikel tambahan seperti artikel 153 bis dan ter.

161 bis dan ter. dan artikel 154 KUHP. Hal itu pun belum dianggap cukup, sehingga

diadakan pula Persbreidel Ordonantie, yang memberikan hak kepada pemerintah penjajah

Belanda untuk menghentikan penerbitan surat kabar / majalah Indonesia yang dianggap

berbahaya”2. Pemberhentian ini dilakukan paling lama delapan hari. Tetapi jika sesudah

delapan hari surat kabar yang bersangkutan dinilai mengganggu lagi “ketertiban umum,”

maka larangan terbit bisa menjadi lebih lama3.

Tindakan lain, di samping Persbeidel Ordonantie adalah Haatzai Artikelen, karena

pasal-pasalnya mengancam hukuman terhadap siapapun yang menyebarkan perasaan

permusuhan, kebencian serta penghinaan terhadap pemerintah Nederland dan Hindia Belanda

1 Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia:  Menulis   Berita  Dan   Feature   Panduan   Praktis   Jurnalis   Profesional (Bandung: Simbiosa Rekatma Media, 2005), h. 19-20.2 Eko Kahya, Perbandingan Sistem dan Kemerdekaan Pers (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004), h. 92-93.3 Nurudin, Jurnalisme Masa Kini (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009), h. 38.

3

Page 4: (Komas) Kemerdekaan Pers Di Indonesia

(Pasal 154 dan 155) dan terhadap sesuatu atau sejumlah kelompok penduduk di Hindia

Belanda (Pasal 156 dan 157). Akibatnya, banyak korban berjatuhan, antara lain S.K.

Trimurti, sampai melahirkan di penjara, bahkan ada yang sampai di buang ke Boven Digul.

Kemerdekaan Pers Masa Penjajahan Jepang

Di zaman pendudukan Jepang yang totaliter dan facistis, orang-orang surat kabar

(pers) Indonesia banyak yang berjuang tidak dengan ketajaman penanya (tulisan), melainkan

menempuh cara dan jalan lain (misalnya melalui organisasi keagamaan, pendidikan, politik,

dan sebagainya). Hal ini menggambarkan bahwa kehidupan pers ketika itu sangat tertekan4.

Tahun 1942, Indonesia dijajah oleh Jepang dan surat kabar Belanda ditutup. Segala

penerbitan diurus oleh Jepang. Seperti terbitnya koran Sinar Selatan itu modalnya berasal dari

Jepang. Sebelum 1942, Jepang sudah tertarik pada penerbitan di Indonesia. Pada tahun 1924-

1932, Tuan Ogawa menerbitkan surat kabar Bendee di Solo.

Pada zaman penjajahan Jepang, penguasa Jawa-Madura mengatur sarana publikasi

dan komunikasi dengan Undang-Undang No. 16. Dua segi yang menonjol dari UU itu adalah

berlakunya sistem izin terbit dan sensor preventif. Di pulau Jawa hanya boleh terbit 5 buah

harian dalam bahasa Indonesia. Diantaranya Asia Raya (di Jakarta), Tjahaja (di Bandung),

Sinar Baroe (di Semarang), Sinar Matahari (di Yogya), dan Soeara Asia (di Surabaya). Pada

masa ini, surat-surat kabar di Indonesia hanya sebagai alat pemerintah Jepang. Berita dan

karangan yang dimuat hanya yang pro Jepang. Penyebarannya rata-rata antara 20.000-30.000

eksemplar per hari.

Pada 14 Agustus 1945 (Jepang menyerah pada sekutu), muncul surat kabar yang

didirikan oleh Regering Voorlichtings Dienst (RVD), seperti Warta Indonesia (Jakarta) dan

Persatoean (Bandung). Di kota-kota yang diduduki sekutu berdiri surat-surat kabar nasional,

seperti di Jakarta Harian Merdeka (BM Diah) dan Harian Rakyat (Sjamsuddin Sutan

Makmur). Pada Juni 1949 (setelah persetujuan Roem-Royen), surat kabar nasional mulai

bangkit. Pelopor surat kabar setelah revolusi adalah Berita Indonesia (BI)5.

Kemerdekaan Pers Masa Revolusi Fisik

Periode revolusi fisik terjadi antara tahun 1945 sampai 1949. Masa itu adalah masa

bangsa Indonesia berjuang mempertahankan kemerdekaan yang berhasil diraihnya pada

4 Kahya, Perbandingan Sistem dan Kemerdekaan Pers, h. 92-93.5 Nurudin, Jurnalisme Masa Kini (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009), h. 39.

4

Page 5: (Komas) Kemerdekaan Pers Di Indonesia

tanggal 17 Agustus 1945. Belanda ingin kembali menduduki Indonesia, sehingga terjadilah

perang mempertahankan kemerdekaan. Pada saat itu, pers terbagi menjadi dua golongan,

yaitu :

1) Pers yang diterbitkan dan diusahakan oleh tentara pendudukan Sekutu dan Belanda yang

selanjutnya dinamakan Pers Nica (Belanda).

2) Pers yang diterbitkan dan diusahakan oleh orang Indonesia yang disebut Pers Republik.

Kedua golongan ini sangat berlawanan. Pers Republik disuarakan oleh kaum

Republik, yang berisi semangat mempertahankan kemerdekaan dan menentang usaha

pendudukan Sekutu. Pers ini benar-benar menjadi alat perjuangan masa itu. Sebaliknya, Pers

Nica berusaha mempengaruhi rakyat Indonesia agar menerima kembali Belanda untuk

berkuasa di Indonesia.

Beberapa contoh Koran Republik yang muncul pada masa itu, antara lain harian

“Merdeka”, “Sumber”, “Pemandangan”, “Kedaulatan Rakyat”, “Nasional” dan “Pedoman”.

Jawatan Penerangan Belanda menerbitkan Pers Nica, antara lain “Warta Indonesia” di

Jakarta, “Persatuan” di Bandung, “Suluh Rakyat” di Semarang, “Pelita Rakyat” di Surabaya

dan “Mustika” di Medan. Pada masa revolusi fisik inilah, Persatuan Wartawan Indonesia

(PWI) dan Serikat Pengusaha Surat Kabar (SPS) “lahir”. Kedua organisasi ini mempunyai

kedudukan penting dalam sejarah pers Indonesia.

Pemerintah republik Indonesia untuk pertama kali mengeluarkan peraturan yang

membatasi kemerdekaan pers terjadi pada tahun 1948. Menurut Smith, “dalam kegembiraan

kemerdekaan ini, pers dan pemerintah bekerja bergandengan tangan erat sekali dalam seratus

hari pertama masa merdeka itu”.

Pemerintah memperlihatkan itikad baik terhadap pers dan berusaha membantunya

dengan mengimpor dan mensubsidi kertas koran dan dengan memberikan pinjaman

keuangan. Pada awalnya semua berjalan lancar, namun saat pers mulai bertindak dengan

menyerang pemerintah dan tokoh-tokoh masyarakat sampai pada presiden sendiri,

nampaknya pemerintah yang baru ketika itu belum dapat menerima kritikan yang pedas.

Sesuai dengan fungsi, naluri dan tradisinya, pers harus menjadi penjaga kepentingan

publik. Pers telah menyampaikan saran-saran yang amat diperlukan oleh pemerintah. Kritik-

kritik pers yang pedas dan menjengkelkan, menjadi beban pemerintah yang terlampau berat,

sehingga pemerintah mulai memukul balik kepada pers. Konflik keduanya berkembang

menjadi pertentangan permanen dan pers dipaksa tunduk di bawah kekuasaan pemerintah6.

6 Edward Cecil Smith, Sejarah Pembredelan Pers di Indonesia (Jakarta: Pustaka Grafitti, 1986), h. 73.

5

Page 6: (Komas) Kemerdekaan Pers Di Indonesia

Untuk menangani masalah-masalah pers, pemerintah membentuk Dewan Pers pada

tanggal 17 Maret 1950. Dewan Pers tersebut terdiri dari orang-orang persuratkabaran,

cendikiawan, dan pejabat-pejabat pemerintah, dengan tugas :

1) Penggantian undang-undang pers kolonial,

2) Pemberian dasar sosial ekonomis yang lebih kuat kepada pers Indonesia (artinya, fasilitas-

fasilitas kredit dan mungkin juga bantuan pemerintah),

3) Peningkatan mutu jurnalisme Indonesia,

4) Pengaturan yang memadai tentang kedudukan sosial dan hukum bagi wartawan

Indonesia (artinya, tingkat hidup dan tingkat gaji, perlindungan hukum, etik jurnalistik

dan lain-lain).

Namun akibat kekuasaan pemerintah yang tidak terlawan, menyebabkan organisasi-

organisasi pers tidak berkutik. Tidak tampak bukti bahwa lembaga-lembaga ini berhasil

membelokkan jalannya kegiatan-kegiatan anti pers, secara berarti.

Pers di Era Demokrasi Liberal (1949-1959)

Di era demokrasi liberal, landasan kemerdekaan pers adalah Konstitusi Republik

Indonesia Serikat (RIS 1949) dan Undang-Undang Dasar Sementara (1950). Dalam

Konstitusi RIS -- yang isinya banyak mengambil dari Piagam Pernyataan Hak Asasi Manusia

sedunia Universal Declaration of Human Rights, -- pada pasal 19 menyebutkan “Setiap orang

berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat”. Isi pasal ini kemudian

dicantumkan kembali dalam Undang-Undang Dasar Sementara (1950)7.

Saat kebebasan Pers tercantum dalam UUDS, tepatnya pada bagian V yang mengatur

hak-hak dan kebebasan-kebebasan dasar manusia yang terdiri dari pasal 7 sampai pasal 34,

pada masa pemerintahan ini pemerintah masih kejam, dan banyak surat kabar yang dibredel

serta banyak pula wartawan yang ditangkap. Berdasarkan undang-undang tersebut maka

Penguasa Perang Daerah (Peperda) menetapkan keputusan bagi setiap penerbitasn surat kabar

dan majalah untuk dapat mendaftarkan diri sebelum tanggal 1 oktober 1958 kepada Penguasa

Perang Daerah (Peperda). Dan ini dilakukan untuk mendapatkan surat izin terbit (SIT).

Meskipun demikian tidak selamanya surat izin lansung diterbitkan, hal ini terbukti ketika

harian Indonesia Raya (HI) begitu mengajukan SIT kepada Peperda (Penguasa Perang

Daerah) tidak langsung diberikan SIT. Dengan tidak diterbitkannya SIT, maka surat kabar

tersebut tidak bisa terbit lagi.

7 Eko Kahya, Perbandingan Sistem dan Kemerdekaan Pers (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004), h. 96.

6

Page 7: (Komas) Kemerdekaan Pers Di Indonesia

Tanggal 1 Oktober 1958 merupakan awal matinya kebebasan Pers di Indonesia.

Dimana penguasa pada saat itu telah menjadikan Pers sebagai alat penguasa untuk

memerdekakan tindakan-tindakan penguasa. Dan pada tahun inilah sejarah hitam Pers

Indonesia, dimana pada saat itu telah tercatat kurang lebih 42 peristiwa yang dialami Pers

Indonesia, sebagain besar mereka mengalami pembredelan, penahanan, dan penganiayaan

wartawan.

Dalam sejarah kebebasan Pers di Indonesia 1949-1959 yang lazimnya diartikan

sebagai kebebasan Demokrasi Liberal yang digunakan sebebas-bebasnya oleh Pers. Liberal

pada saat itu diartikan sebagai kebebasan politik (saling mencaci, memfitnah lawan politik)

serta sensasi dan pornografi. Apalagi setelah munculnya Party Bound Press (pers dibawah

kendali partai politik), seperti Abadi (Masyumi), Duta Masyarakat (NU), suluh Indonesia

(PNI), harian Rakyat (PKI). Begitulah sejarah singkatpers mulai zaman klasik hingga

modern, tepatnya ketika pers tersebut masuk ke Indonesia yang mengalami pasang surut8.

Pers di Zaman Orde Lama atau Pers Terpimpin (1956-1966)

Lebih kurang 10 hari setelah Dekrit Presiden R.I. yang menyatakan kembali ke UUD

1945, tindakan tekanan terhadap pers terus berlangsung, yaitu pembredelan terhadap Kantor

berita PIA dan Surat Kabar Republik, Pedoman, Berita Indonesia, dan Sin Po yang dilakukan

oleh Penguasa Perang Jakarta.

Upaya untuk membatasi kebebasan pers itu tercermin dari pidato Menteri Muda

Penerangan Maladi, ketika menyambut HUT Proklamasi Kemerdekaan R.I ke-14, antara lain

ia menyatakan; “...Hak kebebasan individu disesuaikan dengan hak kolektif seluruh bangsa

dalam melaksanakan kedaulatan rakyat. Hak berfikir, menyatakan pendapat, dan memperoleh

penghasilan sebagaimana yang dijamin Undang-Undang Dasar 1945 harus ada batasnya:

keamanan negara, kepentingan bangsa, moral dan kepribadian Indonesia, serta tanggung

jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa”.

Pada tahun 1960, penekanan kepada kebebasan pers diawali dengan peringatan

Menteri Muda Penerangan Maladi bahwa “langkah-langkah tegas akan dilakukan terhadap

surat kabar, majalah-majalah, dan kantor-kantor berita yang tidak mentaati peraturan yang

diperlukan dalam usaha menerbitkan pers nasional”. Masih pada tahun 1960, penguasa

perang mulai mengenakan sanksi-sanksi perizinan terhadap pers. Demi kepentingan

8 Nurudin, Jurnalisme Masa Kini (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009), h. 45-46.

7

Page 8: (Komas) Kemerdekaan Pers Di Indonesia

pemeliharaan ketertiban umum dan ketenangan, penguasa perang mencabut izin terbit Harian

Republik.

Memasuki tahun 1964 kondisi kebebasan pers semakin memburuk, hal ini

digambarkan oleh Edward Cecil Smith dengan mengutip dari “Army Handbook“ bahwa

Kementerian Penerangan dan badan-badannya mengontrol semua kegiatan pers. Perubahan

yang ada hampir-hampir tidak lebih dari sekedar perubahan sumber wewenang karena sensor

tetap ketat dan dilakukan secara sepihak.

Berdasarkan uraian di atas, tindakan-tindakan penekanan terhadap kemerdekaan pers

oleh penguasa Orde Lama, bertambah bersamaan dengan meningkatnya ketegangan dalam

pemerintahan. Tindakan-tindakan penekanan terhadap kebebasan pers merosot, ketika

ketegangan dalam pemerintahan menurun. Lebih-lebih setelah percetakan-percatakan diambil

alih oleh pemerintah dan para wartawan diwajibkan untuk berjanji mendukung politik

pemerintah, sangat sedikit pemerintah melakukan tindakan penekanan kepada pers9.

Pers di Era Demokrasi Pancasila dan Orde Baru

Pers menyandang berbagai atribut yang menyebabkan sering terpojok pada posisi

yang dilematis. Di satu sisi tuntutan masyarakat mengharuskan memotret realitas sosial

sehingga pers berfungsi sebagai alat kontrol. Namun pada posisi lain, sebagai institusi yang

tidak lepas dari pemerintah, menyebabkan pers cenderung tidak vis a vis terhadap

pemerintah. Ini artinya, pers mau tidak mau harus mematuhi mekanisme yang menjadi

otoritas pemerintah. Inilah yang membuat pers sulit menentukan pilihan, antara kewajiban

moral terhadap masyarakat dan keharusan untuk mematuhi aturan pemerintah sebagai

konsekuensi logis. Jalan alternatif yang harus dilakukan adalah melakukan harmonisasi

hubungan pers, pemerintah, dan masyarakat10.

Di awal pemerintahan Orde Baru, menyatakan bahwa akan membuang jauh-jauh

praktek demokrasi terpimpin dan menggantinya dengan Demokrasi Pancasila. Pernyataan

tersebut tentu saja membuat para tokoh politik, kaum intelektual, tokoh umum, tokoh pers

terkemuka dan lain-lain menyambutmya dengan antusias sehingga lahirlah istilah Pers

Pancasila.

Pemerintahan Orde Baru sangat menekankan pentingnya pemahaman tentang Pers

Pancasila. Menurut rumusan Sidang Pleno XXV Dewan Pers, (Desember 1984) bahwa “Pers 9 Eko Kahya, Perbandingan Sistem dan Kemerdekaan Pers (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004), h. 98.

10 Nurudin, Sistem Komunikasi Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), h. 80.

8

Page 9: (Komas) Kemerdekaan Pers Di Indonesia

Pancasila adalah pers Indonesia dalam arti pers yang orientasi, sikap dan tingkah lakunya

berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Hakekat Pers Pancasila adalah pers

yang sehat, yakni pers yang bebas dan bertanggung jawab dalam menjalankan fungsinya

sebagai penyebar informasi yang benar dan obyektif, penyalur aspirasi rakyat dan kontrol

sosial yang konstrukrif”

Masa “bulan madu” antara pers dan pemerintah ketika itu dipermanis dengan

keluarnya Undang-undang Pokok Pers (UUPP) Nomor 11 Tahun 1966, yang dijamin tidak

ada sensor dan pembredelan, serta penegasan bahwa setiap warga negara mempunyai hak

untuk menerbitkan pers yang bersifat kolektif, dan tidak diperlukan surat izin terbit.

Kemesraan tersebut ternyata hanya berlangsung kurang lebih delapan tahun, karena sejak

terjadinya “Peristiwa Malari” (peristiwa lima belas Januari 1974), kebebasan pers mengalami

set-back (kembali seperti zaman Orde Lama).

Terjadinya Peristiwa Malari tahun 1974, berakibat beberapa surat kabar dilarang terbit

Tujuh surat kabar terkemuka di Jakarta (termasuk Kompas) diberangus untuk beberapa waktu

dan baru diijinkan terbit kembali, setelah para pemimpin redaksinya menandatangani surat

pernyataan maaf. Penguasa lebih menggiatkan larangan-larangan melalui telepon supaya pers

tidak menyiarkan suatu berita, ataupun para wartawan lebih diperingatkan untuk mentaati

kode etik jurnalistik sebagai “self censorship”(penyensoran diri).

Pers pasca Malari merupakan pers yang cenderung “mewakili” kepentingan penguasa,

pemerintah atau negara. Pada saat itu pers jarang, malah tidak pernah melakukan kontrol

sosial secara krisis, tegas dan berani. Pers pasca Malari tidak artikulatif dan mirip dengan

jaman rezim Demokrasi Terpimpin. Perbedaan hanya pada kemasan yakni rezim Orde Baru

melihat pers tidak lebih dari sekedar institusi politik yang harus diatur dan dikontrol seperti

halnya dengan organisasi massa dan Partai Politik11.

Kebebasan Pers di Era Reformasi

Sejak masa reformasi tahun 1998, pers nasional kembali menikmati kebebasan pers.

Hal demikian sejalan dengan alam reformasi, keterbukaan dan demokrasi yang

diperjuangkan rakyat Indonesia. Pemerintahan pada masa reformasi sangat mempermudah

izin penerbitan pers. Akibatnya, pada awal reformasi banyak sekali penerbitan pers atau

koran-koran, majalah atau tabloid baru bermunculan. Bisa dikatakan pada awal reformasi

kemunculan pers ibarat jamur di musim hujan.

11 Eko Kahya, Perbandingan Sistem dan Kemerdekaan Pers (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004), h. 115-120.

9

Page 10: (Komas) Kemerdekaan Pers Di Indonesia

Kalangan pers mulai bernafas lega ketika di era reformasi pemerintah mengeluarkan

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang

Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Kendati belum sepenuhnya memenuhi keinginan

kalangan pers, kelahiran undang-undang pers tersebut disambut gembira, karena tercatat

beberapa kemajuan penting dibanding dengan undang-undang sebelumnya, yaitu Undang-

Undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Pokok-Pokok Pers (UUPP).

Di dalam Undang-undang Pers yang baru ini, dengan tegas menjamin adanya

kemerdekaan pers, sebagai hak asasi warga negara (Pasal 4). Itulah sebabnya mengapa tidak

lagi di singgung perlu tidaknya surat izin terbit. Di samping itu ada jaminan lain yang

diberikan oleh undang undang ini, yaitu terhadap pers nasional tidak di kenakan penyensoran,

pembredelan dan pelarangan penyiaran sebagaima tercantum dalam Pasal 4 ayat (2).

Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan

mempunyai hak tolak. Tujuan hak tolak adalah agar wartawan dapat melindungi sumber

informasi, dengan cara menolak menyebutkan identitas sumber informasi. Hak tersebut dapat

digunakan jika wartawan dimintai keterangan oleh penjabat penyidik dan atau dimintai

menjadi saksi di pengadilan. Hak tolak dapat dibatalkan demi kepentingan dan keselamatan

negara atau ketertiban umum yang dinyatakan oleh pengadilan.

Pada masa reformasi ini dengan keluarnya Undang-Undang tentang pers, yaitu

Undang- Undang No. 40 Tahun 1999 tentang pers, maka pers nasional melaksanakan peranan

sebagai berikut :

1) Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan informasi.

2) Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan

hak asasi manusia, serta menghormati kebhinekaan.

3) Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar.

4) Melakukan pengawasan, kritik, koreksi dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan

dengan kepentingan umum.

5) Memperjuangkan keadilan dan kebenaran12.

III. KESIMPULAN

12 Eko Kahya, Perbandingan Sistem dan Kemerdekaan Pers (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004), h. 120.

10

Page 11: (Komas) Kemerdekaan Pers Di Indonesia

Pers Indonesia senantiasa berkembang dan berubah sejalan dengan tuntutan

perkembangan zaman. Pers di Indonesia telah mengalami beberapa perubahan identitas.

Adapun perubahan-perubahan tersebut adalah sebagai berikut:

Tahun 1945-an, pers Indonesia dimulai sebagai pers perjuangan.

Tahun 1950-an dan tahun 1960-an menjadi pers partisan yang mempunyai tujuan sama

dengan partai-partai politik yang mendanainya.

Tahun 1970-an dan tahun 1980-an menjadi periode pers komersial, dengan pencarian

dana masyarakat serta jumlah pembaca yang tinggi.

Awal tahun 1990-an, pers memulai proses repolitisasi.

Awal reformasi 1999, lahir pers bebas di bawah kebijakan pemerintahan B.J. Habibie

yang kemudian diteruskan pemerintahan Abdurrahman Wahid dan Megawati

Soekarnoputri.

Daftar Pustaka

11

Page 12: (Komas) Kemerdekaan Pers Di Indonesia

Eisy, M Ridlo. Peranan Media dalam Masyarakat. Jakarta: Dewan Pers, 2007.

Siregar, RH. Setengah Abad Pergulatan Etika Pers. Jakarta: Dewan Kehormatan PWI, 2005.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Wartawan Independen, Sebuah Pertanggungjawaban AJI.

Jakarta: Aliansi Jurnalis Independen (AJI), 1995.

Sumadiria, Haris. Jurnalistik Indonesia: Menulis Berita Dan Feature Panduan Praktis

Jurnalis Profesional. Bandung: Simbiosa Rekatma Media, 2005.

Kahya, Eko. Perbandingan Sistem dan Kemerdekaan Pers. Bandung: Pustaka Bani Quraisy,

2004.

Nurudin. Jurnalisme Masa Kini. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009.

Nurudin. Sistem Komunikasi Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007.

Smith, Edward Cecil. Sejarah Pembredelan Pers di Indonesia. Jakarta: Pustaka Grafitti,

1986.

Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas. “Pers Indonesia.” Artikel diakses pada 29

Oktober 2013 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Pers_Indonesia

Ardy, Vera Widiaswari. “Sistem Pers Indonesia, Sistem Komunikasi Pada Masa Orde Baru,

Terbelenggunya Media Massa Dalam Kekuasaan Orde Baru (Kasus Pembredelan Majalah

Tempo).” Artikel diakses pada 29 Oktober 2013 dari

http://disinijurnalvera.blogspot.com/2008/12/sistem-pers-indonesia-masa-orde-baru.html

12