kolelitiasis.doc
-
Upload
maria-risky-admadewi -
Category
Documents
-
view
33 -
download
4
Transcript of kolelitiasis.doc
Disusun oleh :
Amalia Rahmonita U.1102004013
Maria Risky A. 1110221018
Bambang Lesmana Z. 1102006055
Pembimbing :
Dr. Bara Langi Tambing, SpA
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT ANAK
RS. TK II MOHAMMAD RIDWAN MEUREKSA KESDAM JAYA
PERIODE 21 JANUARI 2013 – 31 MARET 2013
Definisi
Kolelitiasis adalah material atau kristal tidak berbentuk yang terbentuk dalam kandung
empedu.1 Komposisi dari kolelitiasis adalah campuran dari kolesterol, pigmen empedu, kalsium
dan matriks inorganik.2,3 Lebih dari 70% batu saluran empedu pada anak-anak adalah tipe batu
pigmen, 15-20% tipe batu kolesterol dan sisanya dengan komposisi yang tidak diketahui.2 Di
negara-negara Barat, komponen utama dari batu empedu adalah kolesterol, sehingga sebagian
batu empedu mengandung kolesterol lebih dari 80%.3
Anatomi
Kandung empedu (Vesica fellea) adalah kantong berbentuk buah pear yang terletak pada
permukaan visceral hepar, panjangnya sekitar 7 – 10 cm. Kapasitasnya sekitar 30-50 cc dan
dalam keadaan terobstruksi dapat menggembung sampai 300 cc. Vesica fellea dibagi menjadi
fundus, corpus dan collum. Fundus berbentuk bulat dan biasanya menonjol dibawah pinggir
inferior hepar yang dimana fundus berhubungan dengan dinding anterior abdomen setinggi ujung
rawan costa IX kanan. Corpus bersentuhan dengan permukaan visceral hati dan arahnya keatas,
belakang dan kiri. Collum dilanjutkan sebagai duktus cysticus yang berjalan dalam omentum
minus untuk bersatu dengan sisi kanan ductus hepaticus comunis membentuk duktus koledokus.
Peritoneum mengelilingi fundus vesica fellea dengan sempurna menghubungkan corpus dan
collum dengan permukaan visceral hati.
Pembuluh arteri kandung empedu adalah arteri cystica, cabang arteri hepatica kanan.
Vena cystica mengalirkan darah lengsung kedalam vena porta. Sejumlah arteri yang sangat kecil
dan vena – vena juga berjalan antara hati dan kandung empedu.
Pembuluh limfe berjalan menuju ke nodi lymphatici cysticae yang terletak dekat collum
vesica fellea. Dari sini, pembuluh limfe berjalan melalui nodi lymphatici hepaticum sepanjang
perjalanan arteri hepatica menuju ke nodi lymphatici coeliacus. Saraf yang menuju kekandung
empedu berasal dari plexus coeliacus.
Gambar 2: Anatomi vesica fellea dan organ sekitarnya.
Fisiologi Saluran Empedu
Vesica fellea berperan sebagai resevoir empedu dengan kapasitas sekitar 50 ml. Vesica
fellea mempunya kemampuan memekatkan empedu. Dan untuk membantu proses ini,
mukosanya mempunyai lipatan-lipatan permanen yang satu sama lain saling berhubungan.
Sehingga permukaanya tampak seperti sarang tawon. Sel- sel thorak yang membatasinya juga
mempunyai banyak mikrovilli.
Empedu dibentuk oleh sel-sel hati ditampung di dalam kanalikuli. Kemudian disalurkan
ke duktus biliaris terminalis yang terletak di dalam septum interlobaris. Saluran ini kemudian
keluar dari hati sebagai duktus hepatikus kanan dan kiri. Kemudian keduanya membentuk duktus
biliaris komunis. Pada saluran ini sebelum mencapai doudenum terdapat cabang ke kandung
empedu yaitu duktus sistikus yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan empedu sebelum
disalurkan ke duodenum.
Gambar 3: Posisi anatomis dari vesica fellea dan organ sekitarnya.
Pengosongan Kandung Empedu
Empedu dialirkan sebagai akibat kontraksi dan pengosongan parsial kandung empedu.
Mekanisme ini diawali dengan masuknya makanan berlemak kedalam duodenum. Lemak
menyebabkan pengeluaran hormon kolesistokinin dari mukosa duodenum, hormon
kemudian masuk kedalam darah, menyebabkan kandung empedu berkontraksi. Pada saat
yang sama, otot polos yang terletak pada ujung distal duktus coledokus dan ampula
relaksasi, sehingga memungkinkan masuknya empedu yang kental ke dalam duodenum.
Garam – garam empedu dalam cairan empedu penting untuk emulsifikasi lemak dalam
usus halus dan membantu pencernaan dan absorbsi lemak. Proses koordinasi kedua
aktifitas ini disebabkan oleh dua hal yaitu:
a) Hormonal: Zat lemak yang terdapat pada makanan setelah sampai duodenum akan
merangsang mukosa sehingga hormon Cholecystokinin akan terlepas. Hormon ini
yang paling besar peranannya dalam kontraksi kandung empedu.
b) Neurogen:
Stimulasi vagal yang berhubungan dengan fase Cephalik dari sekresi cairan
lambung atau dengan refleks intestino-intestinal akan menyebabkan kontraksi dari
kandung empedu.
Rangsangan langsung dari makanan yang masuk sampai ke duodenum dan
mengenai Sphincter Oddi. Sehingga pada keadaan dimana kandung empedu
lumpuh, cairan empedu akan tetap keluar walaupun sedikit.
Pengosongan empedu yang lambat akibat gangguan neurologis maupun hormonal
memegang peran penting dalam perkembangan inti batu.
Komposisi Cairan Empedu
Komponen Dari Hati Dari Kandung Empedu
Air 97,5 gm % 95 gm %
Garam Empedu 1,1 gm % 6 gm %
Bilirubin 0,04 gm % 0,3 gm %
Kolesterol 0,1 gm % 0,3 – 0,9 gm %
Asam Lemak 0,12 gm % 0,3 – 1,2 gm %
Lecithin 0,04 gm % 0,3 gm %
Elektrolit - -
a. Garam Empedu
Asam empedu berasal dari kolesterol. Asam empedu dari hati ada dua macam yaitu :
Asam Deoxycholat dan Asam Cholat.
Fungsi garam empedu adalah:
o Menurunkan tegangan permukaan dari partikel lemak yang terdapat dalam
makanan, sehingga partikel lemak yang besar dapat dipecah menjadi partikel-
partikel kecil untuk dapat dicerna lebih lanjut.
o Membantu absorbsi asam lemak, monoglycerid, kolesterol dan vitamin yang
larut dalam lemak.
Garam empedu yang masuk ke dalam lumen usus oleh kerja kuman-kuman usus
dirubah menjadi deoxycholat dan lithocholat. Sebagian besar (90 %) garam empedu
dalam lumen usus akan diabsorbsi kembali oleh mukosa usus sedangkan sisanya
akan dikeluarkan bersama feses dalam bentuk lithocholat. Absorbsi garam empedu
tersebut terjadi disegmen distal dari ilium. Sehingga bila ada gangguan pada daerah
tersebut misalnya oleh karena radang atau reseksi maka absorbsi garam empedu akan
terganggu.
b. Bilirubin
Hemoglobin yang terlepas dari eritrosit akan pecah menjadi heme dan globin. Heme
bersatu membentuk rantai dengan empat inti pyrole menjadi bilverdin yang segera
berubah menjadi bilirubin bebas. Zat ini di dalam plasma terikat erat oleh albumin.
Sebagian bilirubin bebas diikat oleh zat lain (konjugasi) yaitu 80% oleh glukuronide.
Bila terjadi pemecahan sel darah merah berlebihan misalnya pada malaria maka
bilirubin yang terbentuk sangat banyak.
Epidemiologi
Kolelitiasis termasuk penyakit yang jarang pada anak.1 Di Amerika Serikat, prevalensi
kolelitiasis pada anak dilaporkan hanya 0,15-0,22%, sedangkan pada orang dewasa berkisar 4-
11%.4 Ganesh et al4 dalam pengamatannya dari Januari 1999 sampai Desember 2003 di Kanchi
Kamakoti Child Trust Hospital, mendapatkan dari 13.675 anak yang mendapat pemeriksaan
ultrasonografi (USG), 43 (0,31%) terdeteksi memiliki batu kandung empedu. Rasio laki-laki dan
perempuan adalah 2,3:1. Median umur untuk anak laki-laki adalah 5 tahun (3 bulan-14 tahun)
dan median umur untuk anak perempuan adalah 9 tahun (7 bulan-15 tahun). Semua ukuran batu
kurang dari 5 mm dan 56% merupakan batu yang soliter. Empat puluh satu anak (95,3%) dengan
gejala asimtomatik dan hanya 2 anak dengan gejala. Bakhotmah5 dalam pengamatannya di
Rumah Sakit Universitas Jeddah antara Januari 1986 sampai Juli 1996 hanya mendapatkan 8
kasus dengan kolelitiasis. Kumar et al6 dalam pengamatannya tentang kolelitiasis pada anak
antara tahun 1979-1996 mendapatkan dari 2000 tindakan bedah di Rumah Sakit Anak Royal
Alexandra antara tahun 1979-1987 dan 2500 tindakan bedah antara tahun 1988-1996 didapatkan
insiden tindakan operasi karena kolelitiasis sebesar 0,2%.
Etiologi dan Faktor Risiko
Penyebab dan faktor risiko terbentuknya batu kandung empedu tidak secara jelas
dibedakan. Ada yang menyebutkan faktor tertentu sebagai penyebab, namun sumber lain
menyebutnya sebagai faktor risiko. Kumar et al6 mendapatkan penyebab batu kandung empedu
adalah idiopatik, penyakit hemolitik dan penyakit spesifik non hemolitik. Schweizer et al7 anak
yang mendapat nutrisi parenteral total yang lama, setelah menjalani operasi by pass
kardiopulmonal, reseksi usus, kegemukan dan anak perempuan yang mengkonsumsi kontrasepsi
hormonal mempunyai risiko untuk menderita kolelitiasis. Suchy2 menyebutkan beberapa kondisi
yang berhubungan dengan kolelitiasis adalah penyakit hemolitik kronik (anemia sel sickle,
sferositosis), kegemukan, penyakit atau reseksi ileum, fibrosis kistik, penyakit hati kronis,
penyakit Crohn, nutrisi parenteral yang lama, prematuritas dengan komplikasi bedah atau non
bedah, pengobatan kanker pada anak.2 Schirmer et al8 menyebutkan faktor-faktor risiko
terbentuknya batu kandung empedu adalah kegemukan, diabetes melitus, hormon estrogen dan
kehamilan, penyakit hemolitik dan sirosis.
Berdasarkan jenis batu yang terbentuk, faktor risiko yang mempengaruhi terbentuknya
batu berbeda-beda sesuai jenis batunya. Kondisi-kondisi yang merupakan faktor predisposisi
terbentuknya batu pigmen hitam adalah penyakit hemolitik yang kronik, pemberian nutrisi
parenteral total, kolestasis kronik dan sirosis, pemberian obat (ceftriaxone). Ceftriaxone
didapatkan dalam konsentrasi tinggi di kandung empedu dalam keadaan yang utuh. Sedangkan
faktor predisposisi terbentuknya batu pigmen coklat adalah adanya infestasi parasit seperti
Ascharis lumbricoides. Batu pigmen coklat ini sangat jarang dijumpai pada bayi dan anak. Untuk
batu kolesterol, faktor risikonya adalah kegemukan, reseksi ileum, penyakit Crohn’s ileal dan
fibrosis kistik.9
Kegemukan merupakan faktor yang signifikan untuk terjadinya batu kandung empedu.
Pada keadaan ini hepar memproduksi kolesterol yang berlebih, kemudian dialirkan ke kandung
empedu sehingga konsentrasinya dalam kandung empedu menjadi sangat jenuh. Keadaan ini
merupakan factor predisposisi terbentuknya batu. Kejadian batu kandung empedu meningkat
pada wanita gemuk dan pubertas.9,10
Hubungan antara pemberian nutrisi parenteral total dengan batu kandung empedu,
dibuktikan oleh Roslyn et al11 yang menyelidiki secara prospektif 21 anak yang mendapat nutrisi
parenteral total yang lama, ternyata insiden terjadinya batu kandung empedu adalah 43%. Tipe
batu yang terbentuk adalah batu nonkolesterol.
Risiko terjadinya kolelitiasis juga dijumpai pada anak dengan sindrom Down. Toscano et
al12 melaporkan adanya kolelitiasis pada anak dengan sindrom Down. Dari 126 anak dengan
sindrom Down yang menjalani pemeriksaan Ultrasonografi (USG), 4,7% dijumpai adanya
kolelitiasis.
Insidensi kolelitiasis meningkat pada anak yang menderita penyakit anemia sel sickle.
Umur dan adanya hemolisis yang kronik diduga sebagai risiko terbentuknya batu pigmen.
Pembentukan batu pada pasien ini 15% terjadi umur kurang dari 10 tahun dan meningkat 50%
pada yang sudah berumur 20 tahun.13
Faktor genetik diduga berperan dalam terjadinya batu kandung empedu. Risiko menderita
batu kandung empedu meningkat apabila kita memiliki keluarga dengan batu kandung empedu.
Beberapa gen mungkin terlibat. Faktor etnis mungkin berperan dalam terjadinya batu kandung
empedu. Sebagai contoh insiden kolelitiasis tinggi pada penduduk Indian Pima di Amerika dan
penduduk asli di Chili dan Peru. Perempuan Indian Pima mempunyai risiko 80% untuk
menderita batu kandung empedu.10
Faktor lain yang diduga berhubungan dengan kejadian kolelitiasis dan kolesistitis adalah
adanya infeksi Helicobacter pylori dalam jaringan kandung empedu maupun cairan empedu.
Silva et al14 menemukan adanya Helicobacter DNA pada jaringan kandung empedu maupun
cairan empedu penderita kolelitiasis. Namun hanya Helicobacter DNA pada jaringan kandung
empedu yang mempunyai hubungan yang bermakna secara statistik dengan kejadian kolelitiasis.
Tidak ditemukan adanya organisme Helicobacter pylori dalam kandung empedu maupun cairan
empedu. Bor et al15 meneliti hubungan antara pemberian terapi ceftriaxone dengan terbentuknya
batu kandung empedu, mendapatkan dari 38 anak (umur 1 bulan-17 tahun) yang mendapat terapi
ceftriaxone selama 10 hari, 28,9% dideteksi menderita kolelitiasis dan 7,9% didapatkan endapan
empedu pada kandung empedunya. Namun pada hari ke 90 setelah selesai pengobatan, semuanya
menunjukkan hasil USG yang normal. Terjadi batu kandung empedu pada pemberian ceftriaxone
bersifat reversibel, tidak menunjukkan gejala dan biasanya hilang spontan begitu pengobatan
dihentikan.15
Sakopoulos et al17 melaporkan dalam penelitiannya dari bulan Mei 1985 sampai
Desember 1998, dari 311 anak-anak yang mendapat transplantasi jantung, 3,2% diketahui
menderita kolelitiasis. Delapan puluh persen dari penderita tersebut menerima transplantasi pada
umur kurang dari 3 bulan. Walaupun angka insiden ini kecil, tetapi semua kejadian tersebut
signifikan berhubungan dengan transplantasi jantung.16
Jenis Batu Kandung Empedu
Schirmer et al8 membagi batu kandung empedu menjadi tiga jenis yaitu batu kolesterol,
batu pigmen dan campuran (tabel 1).1,8,17 Batu kolesterol mengandung lebih dari 50% kolesterol
dari seluruh beratnya, sisanya terdiri dari protein dan garam kalsium.9 Batu kolesterol sering
mengandung kristal kolesterol dan musin glikoprotein. Kristal kolesterol yang murni biasanya
agak lunak dan adanya protein menyebabkan kosistensi batu empedu menjadi lebih keras.3
Batu pigmen merupakan campuran dari garam kalsium yang tidak larut, terdiri dari
kalsium bilirubinat, kalsium fosfat dan kalsium karbonat. Kolesterol terdapat dalam batu pigmen
dalam jumlah kecil yaitu 10% dalam batu pigmen hitam dan 10-30% dalam batu pigmen coklat.9
Batu pigmen dibedakan menjadi dua yaitu batu pigmen hitam dan batu pigmen coklat, keduanya
mengandung garam kalsium dari bilirubin. Batu pigmen hitam mengandung polimer dari
bilirubin dengan musin glikoprotein dalam jumlah besar, sedangkan batu pigmen coklat
mengandung garam kalsium dengan sejumlah protein dan kolesterol yang bervariasi. Batu
pigmen hitam umumnya dijumpai pada pasien sirosis atau penyakit hemolitik kronik seperti
talasemia dan anemia sel sickle. Batu pigmen coklat sering dihubungkan dengan kejadian
infeksi.1,3,17
Patogenesis Kolelitiasis
Patogenesis terbentuknya batu telah diselidiki dalam beberapa tahun terakhir. Walaupun
beberapa aspek yang berperan sebagai penyebab belum diketahui sepenuhnya, namun komposisi
kimia dan adanya lipid dalam cairan empedu memegang peran penting dalam proses
terbentuknya batu.
Kira-kira 8% dari lipid empedu dalam bentuk kolesterol dan 15-20% dalam bentuk
fosfolipid. Keduanya tidak larut dalam air, dalam cairan empedu terikat dengan garam empedu
dengan komposisi 70-80% dari lipid empedu.1
Empedu adalah suatu cairan aqueous yang terdiri dari lemak hidropobik yang tidak larut
(kolesterol dan fosfolipid), yang selanjutnya bisa terlarut dengan bantuan suatu asam empedu.9
Empedu terdiri dari air (97,5 g/dL) garam empedu (1,1 g/dL) bilirubin (0,04 g/dL) kolesterol (0,1
g/dL) asam lemak (0,12 g/dL) leshitin/fosfolipid (0,04 g/dL) Na+ (145 mEq/L), K+ (5 mEq/L),
Ca2+ (5 mEq/L), Cl- (100 mEq/L), HCO3- (28mEq/L).18
Kolesterol dalam empedu bercampur dengan garam empedu dan fosfolipid membentuk
campuran micelles dan vesikel.3 Micelles adalah kumpulan lemak yang mempunyai dinding
yang hidrofilik (larut dalam air) dan inti yang hidrofobik (tidak larut dalam air).20 Vesikel adalah
suatu bentukan sferik bilayers dari fosfolipid yang terdiri dari 2 rantai yaitu rantai nonpolar
hidrokarbon menghadap dan rantai polar mengarah ke larutan. Pada keadaan kosentrasi
kolesterol yang tinggi vesikel membawa kolesterol dalam jumlah besar.3
Hubungan antara kolesterol, fosfolipid dan garam empedu digambarkan dalam suatu
segitiga yang sering disebut Triangular Coordinats yang menggambarkan konsentrasi kelarutan
kolesterol dalam suatu campuran dengan fosfolipid dan garam empedu (gambar 1). The
maximum equilibrium solubility dari kolesterol ditentukan oleh rasio kolesterol, fosfolipid dan
garam empedu, yang dinyatakan dalam indeks saturasi kolesterol.1,3,9 Micelles terbentuk jika titik
potong konsentrasi relatif dari ketiga komponen (kolesterol, lesitin dan garam empedu) terletak
pada area micellar. Keadaan ini berada dalam kondisi stabil untuk mencegah terbentuknya batu.
Jika titik potong konsentrasi empedu terletak di luar area tersebut maka empedu bersifat
litogenik. Berbagai kondisi dapat menyebabkan ketidakstabilan komposisi dari ketiga komponen
tersebut, seperti terlihat dalam tabel 2.1
Patogenesis Batu Empedu Kolesterol
Terbentuknya batu kolesterol diawali adanya presipitasi kolesterol yang membentuk
kristal kolesterol. Beberapa kondisi yang menyebabkan terjadinya presipitasi kolesterol adalah:
1. absorpsi air,
2. absorpsi garam empedu dan fosfolipid18
3. sekresi kolesterol yang berlebihan pada empedu,9,20
4. adanya inflamasi pada epitel kandung empedu20 dan
5. kegagalan untuk mengosongkan isi kandung empedu,9
6. adanya ketidakseimbangan antara sekresi kolesterol,
7. fosfolipid dan asam empedu, peningkatan produksi musin di kandung empedu dan
penurunan kontraktilitas dari kandung empedu.19 Batu kolesterol terbentuk ketika
konsentrasi kolesterol dalam saluran empedu melebihi kemampuan empedu untuk
mengikatnya dalam suatu pelarut, kemudian terbentuk kristal yang selanjutnya
membentuk batu.3,20
Pembentukan batu kolesterol melibatkan tiga proses yang panjang yaitu pembentukan
empedu yang sangat jenuh (supersaturasi), pembentukan kristal kolesterol dan agregasi serta
proses pertumbuhan batu. Proses supersaturasi terjadi akibat peningkatan sekresi kolesterol,
penurunan sekresi garam empedu atau keduanya.17
Konsentrasi empedu yang melebihi indeks saturasi kolesterol membuat empedu menjadi
sangat jenuh. Akibatnya terjadi peningkatan kolesterol dalam vesikel. Vesikel unilamelar yang
jenuh kolesterol ini bergabung membentuk vesikel kolesterol multilamelar, kemudian terbentuk
cluster yang dapat bertindak sebagai inti pembentukan Kristal kolesterol. Pembentukan inti ini
bisa bersifat homogen dan heterogen. Inti homogen terjadi apabila pembentukan Kristal tanpa
material asing, sedangkan heterogen apabila pembentukan kristal disertai material asing seperti
sel epitel, protein, garam kalsium atau benda asing. Pembentukan inti yang bersifat heterogen
lebih sering terjadi dibandingkan dengan homogen. Kristal kolesterol ini terus tumbuh dan
menggumpal dengan musin membentuk suatu batu (Gambar 2).3,9,17
Pembentukan kristal kolesterol dapat dipacu (promoter) dan dihambat (inhibitor) oleh suatu
zat tertentu. Diperkirakan promoter dan inhibitor tersebut berperan saat pembentukan inti
kolesterol. Protein dapat bertindak sebagai promoter dan inhibitor. Protein bilier dengan berat
molekul lebih dari 130 kDa (Kilo Dalton) merupakan suatu promoter, sedangkan protein dalam
empedu normal merupakan suatu inhibitor. Faktor antinukleasi dari protein tersebut menjaga
kestabilan vesikel kolesterol fosfolipid dalam empedu normal dan menghambat proses
kristalisasi. Faktor antinukleasi tersebut adalah Apolipoprotein A-I dan Apolipoprotein A-II.
Musin dari kandung empedu juga merupakan promoter. Musin mempercepat pembentukan
kristal kolesterol. Pemberian obat aspirin yang menghambat pengeluaran musin dikatakan
mampu menghambat pembentukan Kristal kolesterol. Kecepatan pembentukan kristal ini
dipengaruhi oleh keseimbangan antara faktor pro dan antinukleasi.9
Stasis dari kandung empedu juga mempengaruhi pembentukan kristal empedu dari bentuk
mikroskopik menjadi bentuk makroskopik. Pergerakan kandung empedu menghambat
pembentukan batu.9
Patogenesis Batu Non Kolesterol (Batu Pigmen)
Batu pigmen sebagian besar terbentuk dari bilirubin yang tak terkonjugasi. Bilirubin tak
terkonjugasi terdapat dalam pigmen empedu normal dalam jumlah yang sedikit, namun sangat
sensitif untuk mengalami presipitasi oleh ion kalsium. Proses ini belum sepenuhnya diketahui,
namun diduga sebagai awal terbentuknya batu adalah terjadi proses polimerisasi sehingga
terbentuk polymers of cross-linked bilirubin tetrapyrroles. Pencetus terjadinya proses
polimerisasi juga belum diketahui, namun diduga disebabkan oleh radikal bebas atau singlet
oksigen yang diproduksi oleh hepar atau oleh makrofag atau neutrofil dalam mukosa kandung
empedu.2 Pada manusia peningkatan kadar bilirubin tak terkonjugasi merupakan akibat dari
peningkatan kadar hemoglobin.
Peningkatan bilirubin tak terkonjugasi dapat juga timbul akibat peningkatan proses
hidrolisis enzimatik (beta glukoronidase) dari bilirubin terkonjugasi atau penurunan jumlah
inhibitor beta glukoronidase yaitu asam glutarat.9
Musin glikoprotein merupakan kerangka terbentuknya batu pigmen. Musin diproduksi
oleh kripta kandung empedu. Hipersekresi musin juga memainkan peranan penting dalam
pembentukan batu pigmen.3,9
Patogenesis Batu Pigmen Hitam
Batu pigmen hitam banyak dijumpai pada pasien-pasien sirosis, penyakit hemolitik
seperti talasemia dan anemia sel sickle.2 Batu pigmen hitam dijumpai dalam empedu yang steril
dalam kandung empedu. Pada gambaran radiologis hamper 50% terlihat sebagai gambaran
radioopak, akibat mengandung kalsium karbonat dan kalsium fosfat dalam konsentrasi yang
tinggi. Batu pigmen hitam biasanya mengkilat atau tumpul seperti aspal, sedangkan batu pigmen
coklat lembek, dengan konsistensi seperti sabun.9,17
Batu pigmen hitam terjadi akibat melimpahnya bilirubin tak terkonjugasi dalam cairan
empedu. Peningkatan ini disebabkan oleh karena peningkatan sekresi bilirubin akibat hemolisis,
proses konjugasi bilirubin yang tidak sempurna (penyakit sirosis hati) dan proses dekonjugasi.
Bilirubin tak terkonjugasi ini kemudian membentuk kompleks dengan ion kalsium bebas
membentuk kalsium bilirubinat yang mempunyai sifat sangat tidak larut. Proses asidifikasi yang
tidak sempurna menyebabkan peningkatan pH, dan keadaan ini merangsang pembentukan garam
kalsium. Kalsium bilirubinat yang terbentuk terikat dengan musin tertahan di kandung empedu.
Hal ini sebagai awal proses terbentuknya batu (gambar 3).9,17
Pada penyakit batu pigmen hitam, empedu biasanya jenuh oleh adanya kalsium
bilirubinat, kalsium karbonat dan kalsium fosfat. Garam kalsium ini merupakan akibat dari
peningkatan jumlah bilirubin tak terkonjugasi atau peningkatan kalsium yang terionisasi.
Peningkatan kalsium yang terionisasi biasanya akibat peningkatan jumlah kalsium terionisasi
dalam plasma atau penurunan jumlah zat pengikat kalsium di dalam cairan empedu seperti garam
empedu micellar dan vesikel lesitin kolesterol.9
Patogenesis Batu Pigmen Coklat
Batu pigmen coklat umumnya terbentuk dalam duktus biliaris yang terinfeksi. Gambaran
radiologisnya biasanya radiolusen karena mengandung kalsium karbonat dan fosfat dalam
konsentrasi yang kecil. Batu pigmen coklat mengandung lebih banyak kolesterol dibanding batu
pigmen hitam, karena terbentuknya batu mengandung empedu dengan kolesterol yang sangat
jenuh.3,9
Garam asam lemak merupakan komponen penting dalam batu pigmen coklat. Palmitat
dan stearat yang merupakan komponen utama garam tersebut tidak dijumpai bebas dalam
empedu normal, dan biasanya diproduksi oleh bakteri.
Kondisi stasis dan infeksi memudahkan pembentukan batu pigmen coklat (gambar 4).9
Dalam keadaan infeksi kronis dan stasis empedu dalam saluran empedu, bakteri memproduksi
enzim b-glukoronidase yang kemudian memecah bilirubin glukoronida menjadi bilirubin tak
terkonjugasi. Bakteri juga memproduksi phospholipase A-1 dan enzim hidrolase garam empedu.
Phospholipase A-1 mengubah lesitin menjadi asam lemak jenuh dan enzim hidrolase garam
empedu mengubah garam empedu menjadi asam empedu bebas. Produk-produk tersebut
kemudian mengadakan ikatan dengan kalsium membentuk suatu garam kalsium. Garam kalsium
bilirubinat, garam kalsium dari asam lemak (palmitat dan stearat) dan kolesterol membentuk
suatu batu lunak. Bakteri berperan dalam proses adhesi dari pigmen bilirubin.17
Gejala Klinik Kolelitiasis
Gejala klinik kolelitiasis bervariasi dari tanpa gejala hingga munculnya gejala. Lebih dari
80% batu kandung empedu memperlihatkan gejala asimptomatik.19 Gejala klinik yang timbul
pada orang dewasa biasanya dijumpai gejala dispepsia non spesifik, intoleransi makanan yang
mengandung lemak, nyeri epigastrium yang tidak jelas, tidak nyaman pada perut kanan atas.
Gejala ini tidak spesifik karena bisa terjadi pada orang dewasa dengan atau tanpa kolelitiasis.9
Pada anak-anak, gejala klinis yang sering ditemui adalah adanya nyeri bilier dan
obstructive jaundice.5 Nyeri bilier yang khas pada penderita ini adalah kolik bilier yang ditandai
oleh gejala nyeri yang berat dalam waktu lebih dari 15 menit sampai 5 jam. Lokasi nyeri di
epigastrium, perut kanan atas menyebar sampai ke punggung. Nyeri sering terjadi pada malam
hari, kekambuhannya dalam waktu yang tidak beraturan.19 Nyeri perut kanan atas yang berulang
merupakan gambaran penting adanya kolelitiasis.2,9 Umumnya nyeri terlokalisir di perut kanan
atas, namun nyeri mungkin juga terlokalisir di epigastrium. Nyeri pada kolelitiasis ini biasanya
menyebar ke bahu atas. Mekanisme nyeri diduga berhubungan dengan adanya obstruksi dari
duktus. Tekanan pada kandung empedu bertambah sebagai usaha untuk melawan obstruksi,
sehingga pada saat serangan, perut kanan atas atau epigastrium biasanya dalam keadaan tegang.9
Studi yang dilakukan oleh Kumar et al2 didapatkan gejala nyeri perut kanan atas yang berulang
dengan atau tanpa mual dan muntah mencapai 75% dari gejala klinik yang timbul, sisanya
meliputi nyeri perut kanan atas yang akut, jaundice, failure to thrive, keluhan perut yang tidak
nyaman. Hanya 10% dijumpai dengan gejala asimptomatik.6
Mual dan muntah juga umum terjadi.6,9,21 Demam umum terjadi pada anak dengan umur
kurang dari 15 tahun. Nyeri episodik terjadi secara tidak teratur dan beratnya serangan sangat
bervariasi.9
Pada pemeriksaan fisik mungkin tidak dijumpai kelainan. Pada sepertiga pasien terjadi
inflamasi mendahului nekrosis, kemudian diikuti perforasi atau empiema pada kandung empedu.
Lewatnya batu pada kandung empedu menyebabkan obstruksi kandung empedu, kolangitis
duktus dan pankreatitis.9
Manifestasi pertama gejala kolelitiasis sering berupa kolesistitis akut dengan gejala
demam, nyeri perut kanan atas yang dapat menyebar sampai ke skapula dan sering disertai teraba
masa pada lokasi nyeri tersebut.2 Pada pemeriksaan fisik dijumpai nyeri tekan pada perut kanan
atas yang dapat menyebar sampai daerah epigastrium. Tanda khas (Murphy’s sign) berupa napas
yang terhenti sejenak akibat rasa nyeri yang timbul ketika dilakukan palpasi dalam di daerah
subkosta kanan.22
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan darah lengkap, tes fungsi hepar, kadar
lipase dan amilase serum.
Pada keadaan kolik bilier kronis maupun episodik beberapa pasien memiliki kadar atau
nilai laboratorium yang normal, khususnya pada pasien yang tidak menunjukkan gejala pada saat
diperiksa.9,23 Sedangkan pada keadaan akut, khususnya pada kasus dengan batu pada saluran
empedu akan terjadi peningkatan kadar aminotransferase, alkalin fosfatase dan bilirubin.23
Pasien dengan komplikasi kolesistitis akut akan memperlihatkan peningkatan lekosit,
15% dari pasien tersebut terjadi peningkatan ringan dari aminotransferase, alkalin fosfatase dan
bilirubin. Pada pasien dengan komplikasi pankreatitis akan terjadi peningkatan serum amilase
dan lipase dan tes fungsi hepar yang abnormal. 23
Pemeriksaan radiologi untuk membantu menegakkan diagnosis adanya batu kandung
empedu bisa dengan pemeriksaan ultrasonografi (USG), cholescintigraphy dan foto polos
abdomen.
Pada umumnya USG merupakan pemeriksaan pilihan untuk memeriksa anak dan remaja
dengan keluhan adanya nyeri perut kanan atas atau nyeri epigastrium. USG merupakan
pemeriksaan yang aman dan sensitif untuk mengidentifikasi adanya batu di kandung empedu.
Apabila kandung empedu teridentifikasi saat dilakukan USG, maka angka keberhasilan
menemukan batu dapat mencapai 98%.9,23,24
Pemeriksaan foto polos abdomen dapat mengidentifikasi batu jika batu tersebut
radioopak24 atau terbuat dari kalsium dalam konsentrasi tinggi.9 Pemeriksaan cholecystography
dan cholangiography jarang dilakukan pada anak-anak.24
Pemeriksaan skintigrafi dengan menggunakan technetium-99m-labeled aminodiacetic
acid, sangat akurat dalam mengevaluasi pasien-pasien dengan kolesistitis.9 Dalam mendeteksi
batu, khususnya pada pasien yang mendapat nutrisi parenteral yang lama, pemeriksaan USG
lebih akurat dibandingkan dengan skintigrafi.23
Diagnosis
Diagnosis adanya kolelitiasis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
USG sebagai pilihan utama untuk menegakkan diagnosis (gambar 5). USG tidak bisa
membedakan jenis batu. Pemeriksaan terbaik untuk mengetahui jenis batu adalah pemeriksaan
kolesistografi oral.19,22 USG merupakan pemeriksaan diagnostik utama pada pasien yang
dicurigai menderita kolelitiasis. Sensitivitas pemeriksaan ini dalam mendeteksi batu ini adalah
96%.
Gambaran yang dijumpai adalah bayangan fokus eklogenik yang khas. USG juga dapat
membedakan adanya penebalan dinding kandung empedu karena proses inflamasi. Adanya batu
di saluran kandung empedu juga dapat dideteksi pada pemeriksaan USG.22
Diagnosis Banding
Diagnosis banding nyeri karena kolelitiasis adalah ulkus peptikum, refluks
gastroesofagus, dispepsia non ulkus, dismotilitas esofagus, irritable bowel syndrome, kolik
ginjal.22
Nyeri ulkus peptikum biasanya lebih sering, hamper setiap hari dan berkurang sehabis
makan. Nyeri yang timbul biasanya menetap di perut kanan atas, pada kolelitiasis frekuensinya
lebih jarang.22
Nyeri karena refluks dapat dibedakan dengan nyeri kolelitiasis dilihat dari adanya rasa
terbakar, lokasi nyeri di substernal, dan sering dipengaruhi oleh posisi, dimana pada posisi
supine rasa nyeri akan memberat. Nyeri epigastrium karena kolelitiasis dan dispepsia nonulkus
sukar dibedakan. Namun demikian nyeri karena kolik bilier biasanya lebih hebat, frekuensinya
sporadik, dan penyebaran nyeri sampai perut kanan atas dan skapula.22
Diagnosis banding untuk kolesistitis akut adalah apendisitis akut, pankreatitis akut,
hepatitis akut, perforasi ulkus, perforasi ulkus peptikum dan penyakit intestinal akut lainnya.
Untuk membedakan dengan pankreatitis akut, biasanya nyeri pada pankreatitis akut lebih
terlokalisir dan jarang disertai tanda peritoneal akut. Nyeri sampai ke punggung, menghilang saat
posisi duduk adalah khas untuk pankreatitis akut. Gejala demam dan leukositosis mungkin sama
pada kedua kasus, tetapi peningkatan kadar serum amilase jauh lebih tinggi pada keadaan
pankreatitis akut. Pada keadaan pankreatitis yang berat, penderita tampak sangat toksik. Namun
pada penderita dengan kolesistitis akut dengan komplikasi pankreatitis akut USG diperlukan
untuk segera membedakan keadaan tersebut.22
Untuk membedakan dengan kolesistitis, pada keadaan hepatitis biasanya pada
pemeriksaan laboratorium menunjukkan kadar serum enzim hepar akan jauh lebih tinggi
dibanding dengan kolesistitis akut. Pada keadaan apendisitis akut, ditandai oleh nyeri khas pada
perut kanan bawah, diawali dari sekitar daerah umbilikal yang kemudian menetap di perut kanan
bawah. Pada keadaan perforasi usus, pada pemeriksaan radiologis sering dijumpai adanya udara
bebas pada foto polos abdomen.22
Komplikasi Kolelitiasis
Komplikasi yang umum dijumpai adalah (batu saluran empedu), kolesistitis akut,
pakreatitis akut, emfiema dan perforasi kandung empedu, seperti terlihat pada gambar 6.6,21
Penatalaksanaan Kolelitiasis
Penanganan kolelitiasis dibedakan menjadi dua yaitu penatalaksanaan non bedah dan
bedah. Ada juga yang membagi berdasarkan ada tidaknya gejala yang menyertai kolelitiasis,
yaitu penatalaksanaan pada kolelitiasis simptomatik dan kolelitiasis yang asimptomatik.
Penatalaksanaan Non Bedah
Pada orang dewasa alternatif terapi non bedah meliputi penghancuran batu dengan obat-
obatan seperti chenodeoxycholic atau ursodeoxycholic acid, extracorporeal shock-wave
lithotripsy dengan pemberian kontinyu obatobatan, penanaman obat secara langsung di kandung
empedu.9
Oral Dissolution Therapy adalah cara penghancuran batu dengan pemberian obat-obatan
oral. Ursodeoxycholic acid lebih dipilih dalam pengobatan daripada chenodeoxycholic karena
efek samping yang lebih banyak pada penggunaan chenodeoxycholic seperti terjadinya diare,
peningkatan aminotransfrase dan hiperkolesterolemia sedang. Pemberian obat-obatan ini dapat
menghancurkan batu pada 60% pasien dengan kolelitiasis, terutama batu yang kecil. Angka
kekambuhan mencapai lebih kurang 10%, terjadi dalam 3-5 tahun setelah terapi. Pada anak-anak
terapi ini tidak dianjurkan, kecuali pada anak-anak dengan risiko tinggi untuk menjalani
operasi.9,21
Terapi contact dissolution adalah suatu cara untuk menghancurkan batu kolesterol
dengan memasukan suatu cairan pelarut ke dalam kandung empedu melalui kateter perkutaneus
melalui hepar atau alternatif lain melalui kateter nasobilier. Larutan yang dipakai adalah methyl
terbutyl eter.
Larutan ini dimasukkan dengan suatu alat khusus ke dalam kandung empedu dan
biasanya mampu menghancurkan batu kandung empedu dalam 24 jam. Kelemahan teknik ini
hanya mampu digunakan untuk kasus dengan batu yang kolesterol yang radiolusen. Larutan yang
digunakan dapat menyebabkan iritasi mukosa, sedasi ringan dan adanya kekambuhan
terbentuknya kembali batu kandung empedu.3
Extracorporeal Shock-Wave Lithotripsy (ESWL) menggunakan gelombang suara dengan
amplitudo tinggi untuk menghancurkan batu pada kandung empedu.3,9 Pasien dengan batu yang
soliter merupakan indikasi terbaik untuk dilaskukan metode ini. Namun pada anak-anak
penggunaan metode ini tidak direkomendasikan, mungkin karena angka kekambuhan yang
tinggi.9
Penatalaksanaan Bedah
Cholecystectomy sampai saat ini masih merupakan baku emas dalam penanganan
kolelitiasis dengan gejala.3,9,21 Yang menjadi pertanyaan kapan sebaiknya operasi dilakukan.
Penelitian tentang ini didapatkan bahwa pasien dengan gejala nyeri perut yang berulang
merupakan indikasi segera dilakukan operasi karena dapat menyebabkan komplikasi yang
serius.9
Prosedur Cholecystectomy terdiri dari beberapa jenis tindakan yaitu Laparoscopic
Cholecystectomy, open Cholecystectomy, open Cholecystectomy dengan eksplorasi saluran
empedu, open Cholecystectomy dengan eksplorasi saluran empedu dan choledochoenterostomy
dan choledochoenterostomy yang diikuti open Cholecystectomy.25 Laparoscopic
Cholecystectomy mempunyai keuntungan lebih dibandingkan dengan Cholecystectomy
konvensional. Pada anak-anak, indikasi Laparoscopic Cholecystectomy sama dengan
Cholecystectomy konvensional terutama pada anak kolelitiasis dengan gejala atau pada anak
yang juga menderita hemoglobinopati9 atau pada anak dengan kolelitiasis tanpa gejala berumur
kurang dari 3 tahun, yang telah mendapatkan makanan oral minimal selama 12 bulan.21 Teknik
ini bermanfaat pada pasien dengan familial hyperlipidemia, hereditary spherocytosis, glucose-6-
phosphatase deficiency, thalassemia, glicogen strage disease dan sickle cell anemia.9 Prosedur
ini tidak dianjurkan pada anak dengan kolelitiasis yang disertai kolesistitis akut, pankreatitis atau
kemungkinan menderita perlengketan usus.9
Pada anak yang menderita anemia sel sickle dengan kolelitiasis, laparoscopic
cholecystectomy elektif merupakan pilihan utama. Tindakan elektif lebih dipilih dibandingkan
dengan tindakan cholecystectomy emergensi karena untuk menghindari risiko komplikasi seperti
komplikasi intraoperatif (vaso-oklusi), komplikasi sesudah operasi (pneumonia) dan komplikasi
lain seperti kolangitis, koledokulitiasis atau kolesistitis akut.13
Prognosis
Untuk penderita dengan ukuran batu yang kecil, pemeriksaan serial USG diperlukan
untuk mengetahui perkembangan dari batu tersebut. Batu bisa menghilang secara spontan. Untuk
batu besar masih merupakan masalah, karena merupakan risiko terbentuknya karsinoma kandung
empedu (ukuran lebih dari 2 cm). Karena risiko tersebut, dianjurkan untuk mengambil batu
tersebut. Pada anak yang menderita penyakit hemolitik, pembentukan batu pigmen akan semakin
memburuk dengan bertambahnya umur penderita, dianjurkan untuk melakukan kolesistektomi.9
Kesimpulan
Prematuritas dengan komplikasi bedah atau non bedah, pengobatan kanker pada anak.
Gejala klinik kolelitiasis bervariasi dari tanpa gejala sampai dengan adanya gejala. Lebih dari
80% batu kandung empedu memperlihatkan gejala asimptomatik. Gejala klinis yang sering
ditemui adalah adanya nyeri bilier dan obstruktif jaundice. USG merupakan pemeriksaan pilihan
untuk memeriksa anak dan remaja dengan keluhan adanya nyeri perut kanan atas atau nyeri
epigastrium. USG merupakan pemeriksaan yang aman dan sensitive untuk mengidentifikasi batu
di kandung empedu. Penanganan kolelitiasis dibedakan menjadi dua yaitu penatalaksanaan non
bedah dan bedah. Cholecystectomy merupakan baku emas dalam penanganan kolelitiasis dengan
gejala.
Daftar Pustaka
1. Mowat AP. Liver disorders in childhood. 2nd edition London: Butterworths; 1987.p.337-
55.
2. Suchy FJ. Diseases of the gallbladder. In: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB
penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: WB Saunders;
2004. p.1345-6.
3. Johnston DE, Kaplan MM. Pathogenesis and treatment of gallstones. The New Eng J
Med 1993; 328:412-21.
4. Ganesh R, Muralinath S, Sankaranarayanan VS, Sathiyasekaran M. Prevalence of
cholelithiasis in children–a hospital-based observation. Indian J Gastroenterol 2005;
24:85-6.
5. Bakhotmah MA. Symptomatic cholelithiasis in children: A Hospital-Based Review. Ann
Saudi Med 1999; 19(3):251-2.
6. Kumar R, Nguyen K, Shun A. Gallstones and common bile duct calculi in infancy and
childhood. Aust NZJ Surg 2000;70:88-91.
7. Schweizer P, Lenz MP, Kirschner HJ. Pathogenesis and symptomatology of cholelithiasis
in childhood. Dig Surg 2000;17:459-67.
8. Schirmer B, Winters KL, Edlich RF. Cholelithiasis and cholecystitis. Jurnal of Long-
Term Effects of Medical Implants 2005; 15(3):329-38.
9. Heubi JE, Lewis LG, Pohl JF. Diseases of the gallbladder in infancy, childhood, and
adolescence. In: Suchy FJ, Sokol RJ, Balistreri WF editor. Liver desease in children. 2nd
Ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2001. h.343-59.
10. Simon H. Gallstones and gallbladder disease. Gallstones and gallbladder disease. 2003
(Diperoleh dari: http://www.healthandage.com/html/well_connected/pdf/doc10.pdf.
11. Roslyn JJ, Berquist WE, Pitt HA, Mann LL, Kangarloo H, DenBesten L, et al. Increased
risk of gallstones in children receiving total parenteral nutrition. Pediatrics 1983;
71(5):784-9.
12. Toscano E, Trivellini V, Andria G. Cholelithiasis in Down’s syndrome. Arch Dis Child
2001; 85:242-3.
13. Hendricks-Ferguson, Nelson MA. Treatment of cholelithiasis in children with sickle cell
disease. AORN Journal 2003; 77(6):1170-82.
14. Silva CP, Pereira-Lima JC, Oliveira AG, Guerra JB, Marques DL, Sarmanho L, et al.
Association of the presence of helicobacter ingallbladder tissue with cholelithiasis and
cholecystitis. Journal ofClinical Microbiology 2003;41(12):5615-8.
15. Bor O, Dinleyici EC, Kebapsi M, Aydogdu SD. Ceftriaxone-associated biliary sludge and
pseudocholelithiasis during childhood: aprospective study. Pediatrics International
2004;46:322-4.
16. Sakopoulos AG, Gundry S, Razzouk AJ, Andrews HG, Bailey LL. Cholelithiasis in
infant and pediatric heart transplant patients. Pediatr Transplantation 2002:6:231–4.
17. Shaffer EA, Gallbladder disease. In: Walker WA, Durie PR, Hamilton JR, Walker-Smith
JA, editors. Pediatrics gastrointestinal disorders. 3rd ed. Hamilton-Ontario: Bc Decker;
2000.p.1291-
1. 309.
18. Guyton AC, Hall JE. Secretory functions of the alimentary tract.In: Guyton AC, Hall JE,
editors. Textbook of medical physiology. 10th Ed. Philadelphia: W.B. Saunders
Company; 2000.p.749-53.
19. Pharma F. Practice manual cholestatic liver diseases. Revised Edition. Freiburg
Germany; 2004.
20. Sherwood L. The Digestive System. In: Sherwood L, editor.Human physiology from
cells to systems. Edisi ke-5. Australia:Thompson Brooks/cole; 2004.p.618-23.
21. Lugo-Vicente H. Infantile cholelithiasis. Pediatric Surgery Update 2004;23(5):1-3.
22. Jacobson IM. Gallstones. In: Friedman SL, McQuaid KR, Grendell JH, editor. Current
Diagnosis & Treatment in Gastroenterology. 2rd ed. Boston: Mc Graw Hill, 2003.p.772-
83.
23. Vogt DP. Gallbladder Disease: An update on diagnosis and treatment. Cleveland Clinical
Journal of Medicine 2002;69(12):977-83.
24. El-Mouzan MI. Disorder of Biliary System. In: Elzouki AY, Harfi HA, Nazer HM,
editors. Textbook of clinical pediatrics. Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins;
2001. p.1180-1.
25. Miltenburg DM, Schaffer R, Breslin T, Brandt ML. Changing indications for pediatrics
cholecystectomy. Pediatrics 2000;105(6):1250-3.