kolangitis

26
Kolangitis PENDAHULUAN Kholangitis Akuta adalah inflamasi pada sistem bilier akibat adanya infeksi dan hambatan aliran empedu. `Secara epidemiologis, penyakit ini menunjukkan insidensi yang berbeda-beda di seluruh dunia. Di Amerika Serikat Kholangitis relatif jarang, dan kejadiannya sering berhubungan dengan penyebab obstruksi dan baktibilia yaitu pada prosedur ERCP (1-3%) yang sering terjadi akibat Injeksi zat kontras secara retrograd. Sedangkan di negara-negara lainnya, Oriental cholangio-hepatitis sangat endemik di Asia Tenggara, Cina, dan Taiwan. Dalam bentuk ini sering timbul " recurrent pyogenic cholangitis" dengan batu intra & extrahepatal pada 70- 80% pasien dan cholelithiasis pada 50-70% pasien. Tidak terdapat perbedaan jenis kelamin di dalam insidensi penyakit ini. Mayoritas pasien berusia antara dekade ke- empat dan lima, serta pada usia yang lebih tua akan lebih banyak disertai penyakit penyerta lainnya dan tingkat mortalitasnya pun lebih tinggi. Secara ras terdapat perbedaan insidensi Kholangitis. Namun hal ini ternyata lebih disebabkan oleh pola makanan yang berbeda. Pada bangsa-bangsa di Eropah Utara, Hispanik, Amerika, dan Pima Indian yang mempunyai

description

iuHZduch OHU USNUCIB ubsduibc Suhsdiuhi SUhdsuichuisdbiusbdvuib

Transcript of kolangitis

Page 1: kolangitis

Kolangitis

PENDAHULUAN

Kholangitis Akuta adalah inflamasi pada sistem bilier akibat adanya infeksi dan

hambatan aliran empedu. `Secara epidemiologis, penyakit ini menunjukkan insidensi

yang berbeda-beda di seluruh dunia. Di Amerika Serikat Kholangitis relatif jarang,

dan kejadiannya sering berhubungan dengan penyebab obstruksi dan baktibilia yaitu

pada prosedur ERCP (1-3%) yang sering terjadi akibat Injeksi zat kontras secara

retrograd. Sedangkan di negara-negara lainnya, Oriental cholangio-hepatitis sangat

endemik di Asia Tenggara, Cina, dan Taiwan. Dalam bentuk ini sering timbul "

recurrent pyogenic cholangitis" dengan batu intra & extrahepatal pada 70-80%

pasien dan cholelithiasis pada 50-70% pasien. Tidak terdapat perbedaan jenis

kelamin di dalam insidensi penyakit ini. Mayoritas pasien berusia antara dekade ke-

empat dan lima, serta pada usia yang lebih tua akan lebih banyak disertai penyakit

penyerta lainnya dan tingkat mortalitasnya pun lebih tinggi.

Secara ras terdapat perbedaan insidensi Kholangitis. Namun hal ini ternyata lebih

disebabkan oleh pola makanan yang berbeda. Pada bangsa-bangsa di Eropah Utara,

Hispanik, Amerika, dan Pima Indian yang mempunyai kebiasaan untuk

mengkonsumsi diit tinggi lemak, maka Kholangitis terjadi berhubungan dengan

cholelithiasis yang disebabkan oleh batu cholesterol. Sebaliknya pada bangsa-bangsa

yang banyak mengkonsumsi makanan tinggi serat seperti di Asia, maka penyebab

Kholangitis tersering adalah batu primer pada ductus choledochus yang disebabkan

oleh infeksi, stasis empedu, striktur dan parasit ("recurrent pyogenic cholangitis").

Sedangkan di Afrika : terdapat hal yang unik yaitu berkaitan dengan pasien yang

menderita "sickle cell anemia".

Mortalitas penyakit ini dahulu sangat tinggi yaitu 100 %, terutama jika disertai oleh

penyakit penyerta. Sekarang angka mortalitasnya jauh menurun yaitu berkisar antara 7

- 40 %. Jika dilakukan tindakan operasi emergensi maka kematiannya akan meningkat

Page 2: kolangitis

yaitu 17 - 40 %. Namun demikian, apabila dilakukan terapi bedah definitifnya secara

elektif , tingkat mortalitasnya akan menurun sampai dengan 3 % saja.

Pada makalah ini akan dibahas secara singkat beberapa aspek panyakit ini dan secara

lebih luas akan dibicarakan pula terapi dan pengelolaan bedahnya.

Etiologi

Kholangitis dapat disebabkan oleh berbagai keadaan patologis yang semuanya akan

berakhir dengan stasis aliran cairan empedu dan akhirnya terjadi infeksi oleh bakteri

akibat adanya multiplikasi yang meningkat pada sistem bilier. Berbagai jenis etiologi

dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Etiologi Kholangitis :

- Choledocholithiasis

- Striktur sistem bilier

- Neoplasma pada sistem bilier

- Komplikasi iatrogenik akibat manipulasi "CBD" (Common Bile Duct)

- Parasit : cacing Ascaris, Clonorchis sinensis

- Pankreatitis kronis

- Pseudokista atau tumor pankreas

- Stenosis ampulla

- Kista Choledochus kongenital atau penyakit Caroli

- Sindroma Mirizzi atau Varian Sindroma Mirizzi

- Diverticulum Duodenum

Batu saluran empedu adalah penyebab terbanyak (hampir 90%), yang kemudian

disusul oleh striktur sistem bilier dan tumor pada sistem bilier. Di negara-negara Asia

Tenggara dan Cina cacing tidak jarang ditemukan sebagai penyebab, walaupun jenis

cacing yang ditemukan berbeda-beda.

2

Page 3: kolangitis

Patofisiologi

Dalam keadaan normal sistem bilier steril dan aliran cairan empedu tidak mengalami

hambatan sehingga tidak terdapat aliran balik ke sistem bilier. Kholangitis terjadi

akibat adanya stasis atau obstruksi di sistem bilier yang disertai oleh bakteria yang

mengalami multiplikasi. Obstruksi terutama disebabkan oleh batu "CBD", striktur,

stenosis, atau tumor, serta manipulasi endoskopik "CBD". Dengan demikian pasase

empedu menjadi lambat sehingga bakteri dapat berkembang biak setelah mengalami

migrasi ke sistem bilier melalui vena porta, sistem limfatik porta ataupun langsung

dari duodenum. Oleh karena itu akan terjadi infeksi secara asenderen menuju duktus

hepatikus, yang pada akhirnya akan menyebabkan tekanan intrabilier yang tinggi dan

melampaui batas 250 mmH20. Oleh karena itu akan terdapat aliran balik empedu yang

berakibat terjadinya infeksi pada kanalikuli biliaris, vena hepatika dan limfatik

perihepatik, sehingga pada gilirannya akan terjadi bakteriemia yang bisa berlanjut

menjadi sepsis (25-40%). Apa bila pada keadaan tersebut disertai dengan

pembentukan pus maka terjadilah Kholangitis supurativa.

Terdapat berbagai bentuk patologis dan klinis kholangitis yaitu :

1. Kholangitis dengan cholecystitis : Pada keadaan ini tidak ditemukan obstruksi

pada sistem bilier, maupun pelebaran dari duktus intra maupun ekstra hepatal.

Keadaan ini sering disebabkan oleh batu "CBD" yang kecil, kompresi oleh vesica

felea / kelenjar getah bening / inflamasi pankreas, edema/spasme sphincter Oddi,

edema mukosa "CBD", atau hepatitis.

2. "Acute Non Suppurative Cholangitis" : Terdapat baktibilia tanpa pus pada sistem

bilier yang biasanya disebabkan oleh obstruksi parsial.

3. "Äcute suppurative cholangitis" : "CBD" berisi pus dan terdapat bakteria, namun

tidak terdapat obstruksi total sehingga pasien tidak dalam keadaan sepsis.

4. "Obstructive Acute Suppurative Cholangitis" : Di sini terjadi obstruksi total sistem

bilier sehingga melampaui tekanan normal pada sistem bilier yaitu melebihi 250

3

Page 4: kolangitis

mm H20 sehingga terjadi bakterimia akibat reflluk cairan empedu yang disertai

dengan influks bakteri ke dalam sistem limfatik dan vena hepatika.

5. Apabila bakteriemia berlanjut maka akan timbul berbagai komplikasi yaitu sepsis

berlarut, syok septik, gagal organ ganda yang biasanya didahului oleh gagal ginjal

yang disebabkan oleh sindroma hepatorenal, abses hati piogenik (sering multipel)

dan bahkan peritonitis. Jika sudah terdapat komplikasi, maka prognosisnya

menjadi lebih buruk.

IV. Bakteriologi

Adanya infeksi bakteri merupakan hal yang penting di dalam patogenesis Kholangitis.

Sesuai dengan rute infeksi yang telah diuraikan sebelumnya, maka jenis bakteri yang

dapat ditemukan pada kultur cairan empedu maupun darah adalah yang terbanyak

berturut-turut yaitu bakteri gram negatif, anaerob dan gram positif yang terutama

berasal dari usus halus. Memperlihatkan berbagai jenis bakteri yang dapat ditemukan

pada kultur empedu maupun darah.

Tabel 3. :Bakteriologi Kholangitis Akut

EMPEDU

Cholecystitis Kholangitis Keduanya Darah

Escherichia coli 31% 26% 44% 26 %

Enterococcus 18% 11% 13% 9%

Klebsiella spp 15% 12% 11% 14%

Pseudomonas spp 6% 5% 5% 9%

Enterobacter spp 2% 5% 4% 1%

Staphylococcus 0.3% 3% 3% 9%

Bacteriodes spp 3% 4% 4% 2%

Clostridium spp 2% 4% 3% 0.3%

Toloza EM & Wilson SF. In: Fry DE (ed). Surgical Infections 1995

4

Page 5: kolangitis

Terdapat berbagai faktor yang dapat dijadikan prediktor terjadinya baktibilia

sebagaimana tercantum pada tabel3.

Faktor-faktor prediktor terjadinya baktibilia.

- Umur > 60 tahun

- Febris > 37.30 C

- Bilirubin Total > 8.6 mol/L

- Lekositosis > 14.000/mm3

- Episode cholecystitis akuta atau Kholangitis yang baru lalu

- Kanulasi bilier atau prosedur by pass

- Diabetes mellitus

- Hyperamylasemia

- Obesitas

Toloza EM & Wilson SF. In: Fry DE (ed). Surgical Infections 1995

V. Diagnosis:

Diagnosis kholangitis akuta dapat ditegakkan secara klinis yaitu dengan

ditemukannya "Charcot’s Triad " yang terdiri dari nyeri di kuadran kanan atas, ikterus

dan febris yang dengan/tanpa menggigil. Namun demikian, kurang dari 50 % kasus

ditemukan ketiganya secara bersamaan. Adapun frekuensi gejala-gejala dan tanda-

tanda yang dapat ditemukan adalah :

Febris > 38 C : 87 - 90 %

Nyeri abdomen : 40 %

Ikterus : 65 %

Tidak ditemukannya ketiga tanda tersebut secara bersamaan terutama disebabkan oleh

obstruksi saluran empedu yang tidak komplit. Apabila keadaan penyakit menjadi lebih

5

Page 6: kolangitis

berat yaitu disertai oleh sepsis atau syok maka akan ditemukan "Reynold’s Pentad"

yang ditandai oleh Charcot’s triad ditambah dengan "Mental confusion / Lethargy"

dan syok. Keadaan ini terjadi pada 10 - 23 % pasien. Perubahan tersebut disebabkan

oleh obstruksi total saluran empedu sehingga tekanan yang meningkat menyebabkan

refluks aliran empedu sehingga bakteri dapat mencapai sistem pebuluh darah sistemik

dan terjadi sepsis. Oleh karena itu pada keadaan ini perlu segera dilakukan drainase

untuk mengadakan dekompresi dan pengendalian terhadap sumber infeksi.

Pemeriksaan alat bantu terutama berguna untuk mencari kemungkinan etiologi

Kholangitis yang sangat menentukan jenis terapi yang harus dilakukan sebagai terapi

pembedahan definitif maupun untuk tujuan dekompresi sementara. Pemeriksaan yang

dilakukan adalah :

USG hepatobilier dan pankreas :

Dapat ditemukan "CBD" yang berdilatasi.

Kemungkinan disertai dengan batu "CBD".

CT.Scan lebih sensitif dan spesifik dari pada USG dan memberikan gambaran :

Batu "CBD".

Tumor sistem bilier atau pankreas

Batu pada sistem bilier intrahepatal

Adanya atrofi pada hepar

Abscess pada hepar (biasanya multipel bila penyebab batu)

MRI Cholangiografi : Pemeriksaan ini sangat sensitif dan spesifik, serta akurat,

yaitu masing-masing 91.6 %,: 100 %, dan 96.8 %. Kelebihan alat ini adalah non

invasif, dapat dilakukan hampir semua usia dan dapat membedakan jenis batu

cholesterol dari jenis lainnya secara jelas.

Cholangiography : Menimbulkan morbiditas 1-7 % dan mortalitas 0,25%, oleh

karena itu sebaiknya dihindari, kecuali disertai oleh tindakan dekompresi yang

dilakukan bersama-sama. Dapat dilakukan secara ERCP (Endoscopic Retrograde

Choalngio Pancreatography) ataupun PTC (Percutanues Transhepatic

Cholangiography).

Cholescintigraphy dengan HIDA :

- Menunjukkan "Liver uptake"

6

Page 7: kolangitis

- Tidak terdapat visualisasi kandung empedu, CBD, maupun usus halus oleh

karena adanya obstruksi total.

Laboratorium, menunjukkan perubahan-perubahan sebagai berikut :

Leukositosis > 10.000 / mm3 : 33-80%

Serum bilirubin 2-10 mg / dl : 68-76 %

Alkali phosphatase 2-3x normal pada 90%

C-reactive protein : Biasanya ditemukan peningkatan

VI. Pengelolaan :

Mengingat mortalitas yang tinggi jika terapi bedah dilakukan pada saat emergensi,

maka langkah awal pengobatan Kholangitis akut adalah sebagai berikut :

(3,5,10,12,14)

Perbaikan keadaan umum :

Pasien dipuasakan

Dekompressi dengan NGT ("Naso Gastric Tube")

Pemasangan infus dan dilakukan rehidrasi

Dilakukan koreksi kelainan elektrolit

Pemberian antibiotika parenteral

Dengan melakukan tindakan tersebut, 80-85 % pasien akan mengalami perbaikan,

sehingga dalam periode berikutnya (dalam 48 - 72 jam) dapat dilakukan pemeriksaan

lebih lanjut untuk memastikan diagnosis penyebabnya dan menentukan jenis operasi

definitifnya.

Meskipun demikian, apabila pasien pertama kali datang dengan shock dan hipoperfusi

jaringan yang berat maka diperlukan :

"Invasive monitoring"

7

Page 8: kolangitis

Analgesik non narkotik , namun jika telah ada konfirmasi diagnostik, Meperidine

atau Fentanyl dapat diberikan.

Pada 15 % kasus terapi medikamentosa tidak berhasil memperbaiki keadaan umum

penderita, sehingga tindakan dekompresi emergensi diperlukan dan dapat dilakukan

dengan cara :

Pembedahan terbuka

Drainase secara endoskopik

Drainase perkutan sistem bilier

Setelah terapi medikamentosa dan suportif lainnya berhasil memperbaiki keadaan

umum, maka tindakan bedah untuk dekompresi dapat dilakukan secara elektif dan

pada umumnya yang dilakukan adalah :

Cholecystectomy + Eksplorasi “CBD” +/- Drainase T-tube , +/- choledocho-

enterostomy

Mortalitas pada berbagai tindakan baik bedah maupun non bedah adalah sebagai

berikut :

- Terapi konservatif tanpa drainase menimbulkan angka mortalitas antara 40-

100 %.

- Tindakan dekompresi secara bedah secara keseluruhan akan menunjukkan

angka mortalitas antara 2 – 13 % dan morbiditasnya adalah 12 – 21 %.

- Drainase secara endoskopik akan disertai oleh tingkat mortalitas antara 1 – 13

%, dan morbiditas 4 – 24 %.

- Terapi invasif minimal dengan teknik “Percutaneus Transhepatic

Cholangiography Drainage” (PTCD) menunjukkan mortalitas yang rendah

yaitu 0.05 – 7.00 %, namun morbiditasnya sangat bervariasi yaitu 4 – 80 %.

- Jika penyebabnya adalah neoplasma maligna primer maka :

8

Page 9: kolangitis

Angka mortalitas tindakan pembedahan adalah sampai dengan 40 %, namun

jika sudah terdapat metastasis yang ekstensif maka akan meningkat menjadi

59 %.

Drainase endoskopik akan memberikan tingkat mortalitas sampai dengan 46

%.

Terapi antibiotika parenteral adalah merupakan hal yang penting pula, sehingga

pemilihan jenis antibiotika yang tepat secara empirik adalah sebagai berikut :

Tabel 5. Jenis antibiotika parenteral pilihan secara empirik .

Cholecystitis Akuta :

- Aminoglikosida - penicillin

- Penicillin spektrum luas

- Cephalosporin generasi ketiga

Kholangitis Akuta :

- Penicillin spektrum luas

- Aminoglikosida – penicillin

- Cephalosporin generasi ke-tiga

- Imipenem-cilastatin

- Cephalosporin generasi ke-dua

Prophylaxis :

- Cephalosporin generasi ke-dua

- Penicillin spektrum luas

Hadirnya cephalosporin generasi ke-tiga adalah suatu langkah maju di dalam terapi

infeksi bakteri, namun demikian penggunaannya harus tepat. Jenis ini mempunyai

spektrum antibakteri yang kuat terhadap Eschericia coli, Klebsiela, enterococci dan

bakteri anaerob seperti Bacteroides yang merupakan bakteri yang paling sering

ditemukan di dalam cairan empedu dan menyebabkan peningkatan pembentukan batu

pada sistem saluran empedu. Yang dimasukkan ke dalam kelompok ini adalah

9

Page 10: kolangitis

Cefotaxime, Ceftriaxone, dan Ceftizoxine karena memiliki indikasi klinis dan

spektrum antibiotika yang sama. (15)

Dari ketiga cephalosporin tersebut di atas, tampaknya Ceftriaxone merupakan pilihan

terbaik mengingat beberapa keuntungan sebagai berikut : (14)

1. Penetrasi jaringan 24 jam dan konsentrasi bilier cukup tinggi.

2. Proteksi 24 jam dengan dosis 1 gram sekali pemberian /hari.

3. “ Dual Excretion” yaitu pada renal dan hepar, menambah keamanan.

4. Aktifitas bakterisidal cukup luas.

5. Keuntungan farmakoekonomik dari segi biaya keseluruhan dan beban kerja staf

rumah sakit.

6. Efek samping yang rendah.

7. Dosis 1 kali sehari terbukti efektif secara klinis.

Pada kasus yang disertai oleh peningkatan bilirubin yang melebihi 5.0 mg/dl ,

penggunaan Aminoglikosida harus dihindari karena resiko nephrotoksik yang

semakin meningkat. Hal ini disebabkan oleh sensitasi ginjal oleh karena perfusi ginjal

yang menurun, peningkatan bilirubin dan garam empedu lainnya, dan adanya

endotoksemia bakteri gram negatif.

Baktibilia dapat tetap bertahan walaupun obstruksi telah berhasil diatasi. Keadaan ini

dapat disebabkan oleh bakteri jenis anaerob, bakteri yang resisten terhadap

antibiotika, bakteri gram negatif, dan jamur.

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, penyebab terbanyak adalah

choledocholitihiasis, dan oleh karena itu pengelolaannya akan dibahas lebih

mendalam sebagaimana tercantum pada gambar 5. di bawah ini.

10

Page 11: kolangitis

Gambar 5. : Algoritme sebagai strategi pada penanganan batu “CBD”.

Dengan demikian, sesuai dengan skema tersebut di atas maka pilihan di dalam

pengelolaanya terdapat dua jenis tindakan yaitu “ One Step Approach” dan “Two Step

Approach” (lihat gambar 6. Dan 7.) Tindakan mana yang dipilih, haruslah

berdasarkan pertimbangan ketersediaan fasilitas yang ada, ketrampilan ahli bedah

yang menanganinya dan tentunya biaya yang harus dikeluarkan untuk

pengelolaannya. Terdapat keuntungan maupun kerugian dua teknik tersebut . (Lihat

tabel 6. )

Tabel 6. : Perbandingan keuntungan dan kerugian dengan dua teknik.

One-step approach Two-step approach

11

Page 12: kolangitis

LC+LTCDCBDE LC + pre/post-op ERS

Advantages Advantages

- Lower costs - Shorter operating time

- Shorter hospital stay - Less technically

demanding

- Potentially decreased morbidity - Requires less equipment

Disadvantages Disadvantages

- More technically demanding - Longer hospital stay

- Requires expensive equipment - Increased total costs

- Longer operative time - Potentially increased

morbidity

- Increased operating room cost - Two separate procedure

Rosenthal RJ et al. World J Surg 1998; 22: 1125-1132

Langkah-langkah pengelolaan untuk setiap jenis tahap secara terinci dapat dilihat

pada gambar 6. dan 7.

Gambar 6. : Teknik Pengelolaan batu CBD satu tahap

12

Page 13: kolangitis

Pada teknik pengelolaan satu tahap, setelah mengalami perbaikan keadaan umum

pasien dilakukan operasi cholecystectomy per laparoskopi dan kholangiografi

intraoperatif. Jika tidak ditemukan batu CBD atau hambatan dalam aliran zat kontras

ke dalam duodenum maka cholecystectomy saja telah cukup. Namun jika ditemukan

batu CBD maka tindakan selanjutnya bergantung pada ukuran batu yang ditemukan.

Jika batu ditemukan berukuran kecil yaitu < 0,9 mm maka dapat dilakukan eksplorasi

saluran empedu trancystic dengan laparoskopi jika sarana dan keahlian tersedia.

Apabila batu berukuran > 0,9 mm maka dilakukan choledochotomy perlaparoskopi

atau eksplorasi saluran empedu secara terbuka. Keuntungan cara ini adalah lama

rawat yang pendek, biaya yang rendah, dan morbiditas yang lebih rendah, namun

memerlukan ketrampilan laparoskopi yang tinggi dan peralatan yang lengkap dan

mahal, serta waktu operasi yang lebih lama.

Gambar 7. : Teknik Pengelolaan dua tahap

Pasien-pasien cholangitis yang disebabkan oleh choledocholithiasis tidak jarang

memiliki resiko tinggi operasi sehingga sering kali teknik dua tahap lebih tepat

dilakukan karena tindakan awal bisa berupa terapi bedah invasif yang minimal dan

tidak memerlukan waktu operasi yang lama. Jika setelah tindakan invasif menimal

13

Page 14: kolangitis

seperti ERCP/ERS batu penyebab sumbatannya dapat dihilangkan maka tindakan

cholecystectomy dapat dilakukan setelah keadaan umum pasien menjadi lebih baik.

Terlebih lagi, jika setelah ekstraksi batu melalui teknik ERCP masih terdapat batu,

maka selanjutnya dilakukan eksplorasi saluran empedu secara terbuka untuk sekaligus

dilakukan cholecystectomy dan pengangkatan batu empedu yang tertinggal. Pilihan

tindakan yang lain adalah dilakukan terlebih dahulu cholecystectomy per laparoskopi

jika tidak terdapat resiko tinggi operasi, baru kemudian dilakukan ERCP untuk

mengambil batu saluran empedu yang tertinggal. Keuntungan pendekatan ini adalah

waktu operasi yang relatif lebih singkat, tidak membutuhkan peralatan dan keahlian

yang terlalu tinggi, namun terdapat kerugian yaitu memerlukan waktu rawat yang

lebih lama dan morbiditas yang lebih tinggi.

Pilihan pendekatan mana yang dipilih tentunya bergantung kepada terutama sarana

dan keahlian yang tersedia, serta perawatan yang intensif yang melibatkan berbagai

disiplin ilmu yang terkait seperti ilmu bedah, penyakit dalam, radiologi, dan

anestesiologi.

VII. Kasus Kholangitis di Bandung :

Untuk memberi gambaran sejauh mana pengalaman dalam menghadapi kasus

kholangitis, penulis menyampaikan kasus-kasus yang ditemui di kota Bandung dalam

periode tahun 1983 sampai dengan 1998. Kasus-kasus tersebut adalah yang dilakukan

pengelolaannya oleh penulis di rumah sakit-rumah sakit besar yaitu RSUP Dr. Hasan

Sadikin, RS St. Borromeus, RS Advent, RS Immanuel, dan RS Kebonjati. Dari

sebanyak 1574 kasus operasi pada saluran empedu ditemukan sebagai berikut :

Tabel 7. : Ringkasan kasus-kasus kholangitis di Bandung :

Jumlah kasus operasi saluran empedu 1574

Jumlah kasus cholangitis 308 (19.56%)

Jumlah penderita :

Laki-laki 162 orang

Perempuan 146 orang

Rata-rata umur (tahun ): 50.09 + 15.8

14

Page 15: kolangitis

Morbiditas :komplikasi pembedahan 5 kasus (1.62%)

Mortalitas 3 kasus (0.97%)

Tabel 8.: Jenis kausa kholangitis yang ditemukan pada 308 kasus:

Etiologi Jumlah

kasus

Persentase

Cholecystitis + Cholelithiasis 103 33.44%

Choledocholitihiasis +Cholecystitis+ Cholelithiasis 171 55.51%

Hepatolihtiasis 9 2.92 %

Sclerosing cholangitis 3 0.97 %

Cacing 3 0.97 %

Striktur 4 1.29 %

Kista Choledochus 4 1.29 %

Tumor pankreas 2 0.64 %

Ca Empedu 5 1.62 %

Post ERCP 3 0.97 %

Batu pankreas 1 0.32 %

Total 308

Penanganan yang dilakukan pada kasus-kasus tersebut adalah sesuai dengan protokol

yang telah diuraikan pada makalah ini yaitu tidak dilakukannya tindakan bedah

emergensi, namun terlebih dahulu diberikan terapi konservatif untuk memperbaiki

keadaan umum dan kemudian dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk menentukan

diagnosis kausanya. Setelah persiapan operasi yang cukup yaitu keadaan pasien yang

membaik dan diagnosis yang benar telah ditegakkan, maka dilakukan pembedahan

definitif secara elektif. Dengan pola pengelolaan seperti tersebut di atas, maka tingkat

mortalitasnya sangat rendah yaitu 0.97 %.

VIII. Kesimpulan :

1. Kholangitis akuta terutama yang datang dengan sepsis dan syok harus mendapat

penanganan segera karena merupakan suatu kegawatan hepatobilier.

15

Page 16: kolangitis

2. Tindakan operasi segera diperlukan untuk menanggulangi kausanya, tetapi harus

ditunda sampai dengan hemodinamik menjadi stabil untuk menekan angka

mortalitas, selain itu selama perioperatif harus sudah diketahui penyebab

kholangitisnya.

3. Perkembangan baru ditemukan dalam sarana untuk mempercepat diagnosis,

tindakan darurat untuk drainase pus atau mengurangi obstruksi sementara, serta

intervensi endoskopik.

4. Jenis terapi bedah yang dipilih disesuaikan dengan fasilitas yang tersedia dan

kemampuan ahli bedahnya, tetapi hal yang terpenting adalah sejak pasien masuk

dirawat harus dilakukan perawatan yang intensif multidisipliner yaitu kerjasama

antara spesialis bedah, penyakit dalam, anestesi, dan radiologi.

IX. Daftar Pustaka:

1. Benjamin I.S., Benign and Malignant Lesions of the Biliary Tract, in Garden O.J.

(Ed), Hepatobiliary and Pancreatic Surgery, W.B. Saunders Company Ltd.1999 :

201 - 219.

2. Csendes A., Burdiles P., Diaz J.C., Present Role of Classic Open

Choledochostomy in the Surgical Management of Patients with Common Bile

Duct Stones, World Journal of Surgery 1998; 22 : 1167 - 1170.

3. Karnadihardja W., Kholangitis Akut Sebagai Komplikasi Obstruksi Saluran

Empedu, PIT IKABI IX , Semarang, 1994.

4. Liu C.L., Fan S.T., Wong J., Primary Biliary Stones : Diagnosis and Management,

World Journal of Surgery 1998; 22 : 1162 - 1166.

5. Lipsett P.A., Pitt H.A., Acute Cholangitis, in The Surgical Clinics of North

America, December 1990 : 1297 - 1312.

16

Page 17: kolangitis

6. Moston R.W., Menzies D., Gallstones in Garden O.J. (Ed), Hepatobiliary and

Pancreatic Surgery, W.B. Saunders Company Ltd.1999 : 175- 197.

7. Microbiology and Pharmacokinetics of Parenteral Cephalosporins, Roche

Products 1985 – 621 – 93472 (Sydney).

8. Navarrete C.G., Castillo C.T., Castillo P.Y., Choledocholithiasis : Percutaneus

Treatment, World Journal of Surgery 1998; 22 : 1151 - 1154.

9. Pitt H.A., Longmire W.P., Suppurative Cholangitis, in Hardy J.D. (Ed), Critical

Surgical Illness, Second Edition, W.B. Saunders Company, 1980 : 380 - 408.

10. Raraty M.G.T., Finch M., Neoptolemos J.P., Acute Cholangitis and Pancreatitis

Secondary to Common bile Duct Stones : Management Update, World J Surg

1998; 22: 1151 - 1161.

11. Rosenthal R.J., Rossi R.L., Martin R.F., Options and Strategies for Management

of Choledocholithiasis, World J Surg 1998; 22: 1125-1132.

12. Sally Santen, Cholangitis in Emergency Medicine, 11/09/1999 at

www.emedicine.com.

13. Seitz U, Bapaye A, Bochnaker S., et al., Advances in Therapeutic Endoscopic

Treatment of Common Bile Duct Stones, World J Surg 1998; 22 : 1133.

14. Toloza EM & Wilson SF. Cholecystitis and Cholangitis, In: Fry DE (ed). Surgical

Infections, 1995 : 251 - 260.

15. Thistle J.L., Pathophysiology of Bile Duct Stones, World Journal of Surgery

1998; 22 : 1114 - 1118.

-------------------------

17

Page 18: kolangitis

18