Kitin Prak Ivana Aprilia 12.70.0145 c4 Unika Soegijapranata

24
KITIN DAN KITOSAN LAPORAN PRAKTIKUM TEKNOLOGI HASIL LAUT Disusun Oleh : Ivana Aprilia Pratiwi 12.70.0145 KELOMPOK A5 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN Acara I

description

Kulit Udang, Khitin, Khitosan

Transcript of Kitin Prak Ivana Aprilia 12.70.0145 c4 Unika Soegijapranata

Page 1: Kitin Prak Ivana Aprilia 12.70.0145 c4 Unika Soegijapranata

KITIN DAN KITOSAN

LAPORAN PRAKTIKUM

TEKNOLOGI HASIL LAUT

Disusun Oleh :

Ivana Aprilia Pratiwi 12.70.0145

KELOMPOK A5

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA

SEMARANG

2014

Acara I

Page 2: Kitin Prak Ivana Aprilia 12.70.0145 c4 Unika Soegijapranata

1. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan kitin dan kitosan dengan berbagai perlakuan dapat dilihat pada tabel 1

berikut ini.

Tabel 1. Hasil Pengamatan Kitin dan Kitosan

Kel PerlakuanRendemen Kitin I (%)

Rendemen Kitin II (%)

Rendemen Kitosan (%)

A1 Kulit udang + HCl 0,75 N + NaOH 3,5% + NaOH 40%

30 10 21,765

A2 Kulit udang + HCl 0,75 N + NaOH 3,5% + NaOH 40%

34 28,571 24,875

A3 Kulit udang + HCl 1 N + NaOH 3,5% + NaOH 60%

20 30 16,462

A4 Kulit udang + HCl 1 N + NaOH 3,5% + NaOH 60%

4 90 45,455

A5 Kulit udang + HCl 1,25 N + NaOH 3,5% + NaOH 80%

30 40 10,355

A6 Kulit udang + HCl 1,25 N + NaOH 3,5% + NaOH 80%

30 20 10,4

Dari tabel 1 dapat dilihat bahwa kelompok A1 dan A2 menggunakan kulit udang

dengan HCl 0,75 N dan NaOH 40%, kelompok A3 dan A4 menggunakan kulit udang

dengan HCl 1N dan NaOH 60%, serta kelompok A5 dan A6 menggunakan kulit udang

dengan HCl 1,25 N dan NaOH 80%. Nilai rendemen kitosan tertinggi terdapat pada

sampel A5 sebesar 45,455%. Dan rendemen kitosan terendah pada A5 sebesar10,355%.

Sedangkan untuk nilai rendemen kitin 1 yang paling besar pada sampel A2 sebesar 34%

dan rendemen kitin 1 terkecil pada sampel A4 sebesar 4%. Pada hasil pengamatan

rendemen II, didapatkan nilai paling besar pada sampel A4 sebesar 90% dan untuk nilai

rendemen 2 terkecil pada sampel A1 sebesar 10%.

Page 3: Kitin Prak Ivana Aprilia 12.70.0145 c4 Unika Soegijapranata

2. PEMBAHASAN

Pada praktikum Teknologi Hasil Laut dilakukan praktikum pembuatan kitin dan

kitosan. Bahan yang digunakan dalam praktikum adalah kulit udang. Menurut

Marganov (2003), kulit udang merupakan salah satu limbah dari udang yang dapat

dijadikan sumber potensial dalam pembuatan kitin dan kitosan. Kitin dan kitosan

termasuk biopolimer yang berpotensi pada berbagai bidang industri, karena kitin

mengandung protein 25-40%, kalsium karbonat 45-50%, dan kitin 15-20%, akan tetapi

besar kandungannya dipengaruhi oleh jenis udang dan tempat hidup dari udang tersebut.

Udang sering dijadikan komoditi ekspor yang terdiri dari tiga bagian, yaitu badan dan

kepala secara utuh, badan tanpa kepala, dan dagingnya saja. Sayangnya dalam proses

produksi menyebabkan adanya limbah yang dihasilkan, seperti kepala, ekor, dan kulit.

Sehingga limbah dari sisa udang tersebut menjadi masalah jika dibuang langsung ke

lingkungan karena dapat mencemari lingkungan (Manjang, 1993). Menurut

Lertsutthiwong et al., (2002) limbah dari udang dapat mencapai 45-55% dari berat total

udang. Sehingga perlu penanganan dan pengolahaan limbah tersebut menjadi sesuatu

yang memiliki nilai tinggi, salah satunya dimanfaatkan untuk dijadikan kitin dan

kitosan. Sedangkan menurut Zaku et al., (2011) struktur kimia dari kitin mirip dengan

selulosa yang merupakan komponen utama dari eksoskeleton invertebrata. Selain dari

kulit udang kitin juga berasal dari limbah sisik ikan. Sedangkan kitosan dalah produk

dari turunan kitin yang telah melewati proses ekstraksi.

Struktur yang membedakan antara kitin dan kitosan adalah struktur dari D-glukosamin

dan N-asetil-D-glukosamin. Pada kitosan kopolimernya berantai lurus dan terdiri dari

glukosamin dan n-asetilglukosamin hasil dari proses deasetilisasi kitin. Sifat kitosan

memiliki kelarutan, biodegradasi, dan kemampuan penyerapan yang beda tergantung

kandungan asam amino penyusun rantai polimernya. Menurut Alvarenga et al., (2010)

kitosan tidak dapat larut air, solven organik, dan basis aqueous, tetapi larut pada asam

seperti asam asetat, nitrat, hidroklorat, perklorat, dan fosforat. Pemanfaatan dari kitosan

beragam, seperti fotografi, bioteknologi, kosmetik, obat-obatan, serta produksi pangan.

Sedangkan kitin adalah polisakarida yang tersusun atas monomer 2-asetamida-2-dioksi-

β-D-Glukosa dengan ikatan β-glikosidik (1,4) yang menghubungkan antar unit

Page 4: Kitin Prak Ivana Aprilia 12.70.0145 c4 Unika Soegijapranata

ulangnya. Struktur kimia dari kitin hampir sama dengan selulosa tetapi berbeda pada

ikatan atom C2. Pada selulosa gugus yang terikat pada atom C2 adalah OH, maka pada

kitin yang terikat adalah gugus asetamida. Selain itu kandungan kitin tinggi dengan

kalsium yang berikatan erat dalam bentuk ikatan kitin-protein-kalsium karbonat.

Kandungan itu yang menyebabkan pengolahan limbah kulit udang sulit karena daya

cerna protein limbah sulit teruruai (Muzzarelli, 1985). Menurut Zaku et al. (2011), kitin

dan kitosan memiliki beberapa kelebihan tidak beracun, tidak berbau, dan mudah

terbiodegradasi secara enzimatis. Selain itu memiliki struktur unik yaitu formasi garam

polioksi, kemampuan membentuk film, serta dapat ter-chelate dengan ion logam.

Kelebihan lainnya adalah memiliki nitrogen yang tinggi (6,89%), yang melebihi

nitrogen selulosa.

2.2. Langkah Kerja Kitin & Kitosan

Dalam praktikum ini tahap sebelumnya adalah proses pencucian dan pengeringan

limbah kulit udang. Pada tahap ini sudah dilakukan oleh asdos sebelumnya. Setelah

didapatkan kulit udang kering, dilakukan proses penepungan dengan cara

menghancurkannya kemudian mengayak dengan 40-60 mesh. Tahapan ini sudah sesuai

menutut Puvvada et al. (2012), bahwa prinsip ekstraksi kitin dan kitosan dimana

eksoskeleton udang harus dikeringkan dahulu kemudian dihancurkan untung

mendapatkan bentuk tepung. Menurut Mizani (2007), proses utama dari ekstraksi

limbah udang adalah demineralisasi (perlakuan asam) dan deproteinasi (perlakuan

basa). Sedangkan menurut Rahayu & Purnavita (2007) secara umum proses pembuatan

kitosan terdiri dari 3 tahap, yaitu deproteinasi, demineralisasi, dan deasetilasi. Pada

tahap demineralisasi bertujuan menurunkan kadar mineral (CaCO3) menggunakan asam

konsentrasi rendah untuk mendapatkan kitin. Pada tahap deproteinasi bertujuan untuk

menurunkan kadar protein yang dilakukan dengan cara melarutkan dalam larutan alkali

encer dengan pemanasan yang cukup. Tahap terakhir adalah deasetilasi bertujuan

menghilangkan gugus asetil pada kitin dengan melakukan pemanasan dalam larutan

alkali kuat pada konsentrasi tinggi.

Pada praktikum ini sudah sesuai dengan teori semua tahapan tersebut. Pertama

dilakukan demineralisasi dengan cara mencuci limbah kulitmenggunakan air mengalir,

Page 5: Kitin Prak Ivana Aprilia 12.70.0145 c4 Unika Soegijapranata

kemudian dikeringkan dan dihaluskan. Setiap kelompok kemudian menambahkan HCl

dengan perbandingan 10:1 (HCl: berat tepung udang) dengan konsentrasi berbeda

(kelompok 1 dan 2 konsentrasi 0,75 N ; kelompok 3 dan 4 konsentrasi 1 N dan

kelompok 5 dan 6 konsentrasi 1,25 N) kemudian diaduk selama 1 jam sambil

dipanaskan pada suhu 90oC (sampai cairan berkurang). Setelah itu dicuci dengan air

hingga pH netral. Pengujian pH dilakukan menggunakan kertas lakmus, hingga berubah

menjadi hijau.langkah terakhir melakukan pengeringan selama 24 jam dalam oven

bersuhu 80oC.

Penggunaan HCl sesuai dengan teori Shahidi & Botta (1994) dimana demineralisasi

biasanya menggunakan larutan asam klorida. Hal ini karena garam mineral terutama

CaCO3 yang berikatan secara fisik pada kitin akan larut oleh HCl menjadi CaCl2 yang

kemudian dikeluarkan gas CO2. Proses pemisahan mineral juga terlihat dari gas CO2

berupa gelembung-gelembung udara yang terlihat saat larutan HCl ditambahkan ke

dalam sampel (Austin,1988). Sedangkan pemanasan bertujuan untuk mempermudah

pelepasan silika (kalsium karbonat) dan mineral dalam kulit udang karena kalsium

karbonat akan mudah larut pada suhu tinggi (Austin,1988). Menurut (Murtihapsari, _ )

dengan dilakukan pengadukan akan mempermudah larutan menjadi homogen sehingga

saat pemanasan akan terbentuk endapan di bagian dasar. Endapan tersebut merupakan

kalsium klorida hasil reaksi kalsium karbonat dan asam klorida. Pencucian air bertujuan

untuk menghilangkan HCl yang yang sebelumnya diberika pada sampel. Selain itu

pencucian bertujuan mencegah degradasi produk selama pengeringan kitin karena HCl

berlebih (bila tidak dihilangkan) dapat memutus rantai/cincin kitin saat pemanasan. Hal

ini didukung oleh Austin (1988) karena kitin mengandung beberapa gugus amino bebas

sebagai akibat dari deasetilasi selama pengeringan atau akibat pembentukan asetilasi

yang tidak sempurna. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pembilasan penting untuk

mengefektifan proses demineralisasi. Hari berikutnya, setelah pengeringan, berat

cawan+sampel kering ditimbang kembali sehingga dapat diketahui berat rendemen kitin

I-nya (Austin, 1988).

Page 6: Kitin Prak Ivana Aprilia 12.70.0145 c4 Unika Soegijapranata

Langkah kedua adalah proses deproteinasi. Langkah ini merupakan lanjutan dari hari

selanjutnya dilakukan proses deproteinasi. Langkah yang dilakukan dengan

mencampurkan hasil tepung dari demineraliasi dengan NaOH (perbandingan 6:1).

Penambahan NaOH 3,5% ini bertujuan untuk menghasilkan kitin dengan kandungan

mineral dan residu protein paling rendah dibanding cara lain (Suhardi, 1993). Hal ini

juga didukung oleh Bastaman (1989), yang mengatakan bahwa ekstraksi kitin secara

kimiawi dilakukan deproteinasi menggunakan basa kuat (dalam praktikum basa kuat

yang digunakan yaitu NaOH). Kemudian langkah seperti demineralisasi dilakukan

kembali yakni dengan pengadukan selama 1 jam dengan suhu 90oC. Kemudian disaring

dan dinetralkan residu yang diperoleh dengan cara mencucinya dan mengeceknya

dengan kertas lakmus. Jika pH sudah netral dilakukan pengeringan dengan suhu 800C

selama 24 jam untuk menghasilkan kitin. Menurut Hargono & Haryani (2004), tujuan

deproteinasi adalah untuk memisahkan atau melepaskan ikatan antara protein dan kitin.

Tujuan dilakukan pengadukan agar padatan menjadi homogen dengan NaOH sehingga

mampu mendenaturasi protein secara merata dan efisien. Selain itu tujuan dari

pemanasan akan menguraikan protein menjadi bentuk yang lebih sederhana, sehingga

proses deproteinasi akan semakin mudah. Selain itu menurut Ramadhan et al. (2010),

pemanasan dan pengadukan bertujuan untuk mengkonsentrasikan NaOH sehingga hasil

kitin akan optimal. Pencucian dengan air hingga pH netral bertujuan untuk

menghilangkan NaOH dalam larutan (Marganof, 2003). Sedngkan Ramadhan et al.

(2010), mengatakan bahwa proses pencucian hingga pH netral mempengaruhi sifat kitin

dengan alkali karena efektivitas proses hidrolisis basa pada gugus asetamida dan rantai

kitin semakin baik. Kesimpulannya proses pencucian ini penting dilakukan karena akan

menghasilkan kitin yang baik. Proses pengeringan bertujuan untuk menghilangkan

kadar air yang tersisa ketika pencucian sehingga hasil rendemen yang terbentuk hanya

rendemen kitin saja. Dalam perhitungan berat sampel setelah pengeringan disebut berat

kitin. Dari berat basah yang didapat sebelum pengeringan. Menurut Puspawati &

Simpen (2010) pada proses pembuatan kitin, tahap demineralisasi dilakukan pertama

kemudian dilanjutkan tahap deproteinasi. Hal tersebut sesuai teori yang mengatakan,

proses isolasi kitin melalui tahap demineralisasi-deproteinasi akan menghasilkan

rendemen yang lebih banyak jika dibandingkan dengan tahap isolasi kitin tahap

deproteinasi-demineralisasi. Hal ini dikarenakan mineral akan membentuk pelindung

Page 7: Kitin Prak Ivana Aprilia 12.70.0145 c4 Unika Soegijapranata

keras pada kulit udang dan kekerasannya lebih tinggi dibandingkan dengan protein.

Sehingga akan lebih baik dengan menghilangkan mineral terlebih dahulu dengan proses

demineralisasi kemudian melanjutkan dengan proses deproteinasi sehingga hasilnya

lebih optimal.

Langkah terakhir adalah deasetilasi kitin, yaitu proses pengubahan kitin menjadi kitosan

menggunakan larutan sodium hidroksida pada suhu tinggi. Bahan yang digunakan

adalah kitin hasil proses deproteinasi. Kemudian ditambah dengan NaOH 40% (untuk

kelompok A1 dan A2), NaOH 50% (untuk kelompok A3 dan A4), dan NaOH 60%

(untuk kelompok A5 dan A6) dengan perbandingan NaOH: kitin = 20:1. Penggunaan

NaOH bertujuan untuk memutus ikatan antara gugus asetil dengan atom nitrogen

sehingga berubah menjadi gugus amina (-NH2). Selain itu penggunaan NaOH sudah

tepat karena merupakan larutan basa dengan konsentrasi tinggi sehingga kitin relatif

tahan terhadap proses deasetilasi (Karmas, 1982). Berikut struktur kimia hasil

transformasi kitin menjadi kitosan melalui proses hidrolisis:

(Solomons, 1980).

Pada tahap deasetilasi terjadi proses hidrolisa amida oleh basa. Kandungan kitin

berperan sebagai amida, dan basanya adalah NaOH. Prinsip reaksi ini adalah reaksi

adisi, dimana gugus OH- masuk ke dalam gugus NHCOCH3 kemudian akan dieliminasi

menjadi gugus CH3COO- sehingga dihasilkan amida berupa kitosan (Wardaniati &

Setyaningsih, _ ). Menurut Hargono dan Djaeni (2003), penambahan NaOH dengan

konsentrasi 20-50% akan menghilangkan gugus asetil (CH3CHO-) yang terikat pada

gugus amina dalam kitin. Kemudian dilakukan pemanasan dalam waterbath pada suhu

90oC selama satu jam sambil sesekali diaduk. Pemanasan berfungsi untuk memutuskan

gugus amina yang ada. Sedangkan kan pengadukan akan memecah ikatan N-asetil

Page 8: Kitin Prak Ivana Aprilia 12.70.0145 c4 Unika Soegijapranata

glukosamin dengan kitin (Puspawati & Simpen, 2010). Setelah pemanasan, didinginkan

selama 30 menit penguraian komponen-komponen kitin lebih sempurna. Setelah

pemanasan, dilakukan pencucian dengan air hingga pH netral. Pencucian dilakukan

menggunakan air, dengan mengendapkan padatan. Hal ini dilakukan berulang-ulang

hingga mencapai pH netral. Tujuan pencucian pada tahap ini sama seperti tahap

deproteinasi yaitu agar NaOH hilang. Tahap pencucian ini dilakukan berulang-ulang

hingga pH netral karena pada kondisi basa jika dicuci dengan air, maka basa akan

menurun menjadi semakin mendekati pH netral. Terakhir adalah penirisan endapan dan

dimasukkan ke dalam wadah yang telah diketahui beratnya. Endapan tersebut ditimbang

dan diperoleh berat kitin. Kitin tersebut dikeringkan selama semalam pada suhu 70oC.

Pengeringan dilakukan untuk menghilangkan kandungan air yang terdapat dalam serbuk

karena proses pencucian. Setelah pengeringan diperoleh bubuk yang diidentifikasi

sebagai berat kitosan. Dari data berat kitin dan berat kitosan maka dapat diperoleh berat

rendemen kitosan (Karmas, 1992).

2.2. Hasil Pengamatan

Berdasarkan hasil pengamatan dapat dilihat bahwa semua sampel menghasilkan

rendemen yang berbeda-beda. Nilai rendemen kitosan tertinggi terdapat pada sampel A4

sebesar 45,455%. Dan rendemen kitosan terendah pada A5 sebesar10,355%. Sedangkan

untuk nilai rendemen kitin 1 yang paling besar pada sampel A2 sebesar 34% dan

rendemen kitin 1 terkecil pada sampel A4 sebesar 4%. Pada hasil pengamatan rendemen

II, didapatkan nilai paling besar pada sampel A4 sebesar 90% dan untuk nilai rendemen

2 terkecil pada sampel A1 sebesar 10%. Hasil pengamatan remenden kitin 1 hasilnya

kurang sesuai dengan teori menurut Johnson dan Peterson (1974) mengatakan bahwa

penambahan asam atau basa dengan konsentrasi yang lebih tinggi disertai proses atau

waktu yang lebih panjang, hal ini akan mengakibatkan lepasnya ikatan protein dan

mineral dengan kitin serta bahan organik lainnya yang ada pada kulit udang. Sehingga

jika konsentrasi HCl yang ditambahkan semakin tinggi maka rendemen kitin yang

dihasilkan juga akan semakin banyak pula. Hal ini dikarenakan senyawa-senyawa

mineral pada serbuk udang akan lebih mudah dilepaskan. Berdasarkan teori tersebut

dapat disimpulkan bahwa penambahan HCl dengan konsentrasi yang lebih besar akan

menghasilkan rendemen kitin I (setelah proses demineralisasi) yang lebih banyak pula.

Page 9: Kitin Prak Ivana Aprilia 12.70.0145 c4 Unika Soegijapranata

Ketidak sesuaian ini dapat terjadi karena kesalahan dalam menimbang berat kering

ataupun basah pada tepung udang yang digunakan. Selain itu kesalahan dapat terjadi

karena kurang telitinya saat mencuci sehingga ada sebagian sampel yang ikut terbuang.

Sedangkan pada hasil pengamatan rendemen kitosan didapatkan hasil yang sesuai

dengan teori menurut Hong et al. (1989), yang mengatakan bahwa NaOH dengan

konsentrasi lebih tinggi menghasilkan kitosan dengan rendemen yang lebih rendah. Hal

ini karena penambahan NaOH menyebabkan proses depolimerisasi rantai molekul

kitosan sehingga berat molekulnya akan menurun. Dari hasil pengamatan, setelah proses

deasetilasi yang mengubah iktin menjadi kitosan, didapatkan bahwa rendemen terendah

dihasilkan oleh kelompok A5 dan A6. Hal ini sudah sesuai dengan teori diatas karena

pada kelompok A5 dan A6 menggunakan NaOH pada proses diasetilasi dengan

konsetrasi yang tinggi yaitu 60%. Pada kelompok A1 dan A2 yang menggunakan

konsentrasi NaOH kecil yaitu 40% mendapatkan hasil rendemen yang besar. Sedangkan

pada kelompok A4 seharusnya nilainya tidak mencapai 45,55%. Hal ini terjadi karena

kesalahan praktikan dalam melakukan pencucian sehingga sebagian hasil dari sampel

ikut terbuang. Hal ini juga yang menyebabkan pada kelompok A5 pada rendemen kitin

2 pun didapatkan hasil mencapai 90%. Hasil tersebut menjadi berbeda jauh dengan

kelompok lain, karena berat sampel yang tersisa juga hanya sedikit jika dibandingkan

kelompok lain.

Selain itu, faktor lainnya yang mempengaruhi hasil rendemen kitin dan kitosan adalah

suhu. Menurut Puspawati et al. (2010), semakin tinggi suhu maka derajat deasetilisasi

dari kitosan yang terbentuk menjadi lebih tinggi. Akan tetapi pemanasan ini juga

bertujuan untuk meningkatkan derajat deastelasi dari kitosan sedangkan pengadukan

digunakan untuk meratakan kitin yang dihasilkan sehingga deasetilasi lebih maksimal.

Sedangkan tahap pendiamkan selama 30 menit bertujuan untuk membuat bubuk kitosan

pada larutan mengendap sempurna dan tidak ikut terbuang saat proses pencucian.

Sedangkan faktor yang menyebabkan berhasil atau tidak saat pembuatan kitin antara

lain jenis bahan baku yang digunakan, serta proses ekstraksi kitin yang dibagi menjadi

dua metode yakni proses demineralisasi dan proses deproteinasi. Untuk mendapatkan

kualitas kitin yang baik dipengaruhi oleh tahapan dan kondisi proses termasuk lamanya

Page 10: Kitin Prak Ivana Aprilia 12.70.0145 c4 Unika Soegijapranata

proses pengolahan, suhu pengeringan, konsentrasi zat kimia yang ditambahkan, dan pH

proses pengekstrakan kitin (Laila & Hendri, 2008). Pemanasan (pengeringan) yang

semakin lama, maka akan menyebabkan denaturasi protein, sehingga protein terlarut

berkurang banyak. Akan tetapi jika, pemanasan dilakukan dalam waktu yang lebih

singkat, akan mengakibatkan kandungan protein menjadi lebih rendah karena protein di

dalam kitin belum larut sepenuhnya (Winarno, 1997).

2.3. Pembahasan Jurnal

Berdasarkan jurnal yang berjudul Biopolymer Composite Of Chitosan And Methyl

Methacrylate For Medical Applications dilakukan penelitian tentang biopolimer dari

citosan dan metil metacilat yang dimanfaatkan untuk kesehatan. Pada hasil penelitian ini

disimpulkan bahwa adanya kemampuan untuk merepaskan senyawa obat kedalam

tubuh. Alasan kitosan dapat dijadikan bahan biomaterial karena adanya kemampuan

untuk di hancurkan ( dicerna), bersifat tidak toksik dan antitrombogenik (Ranhakumary,

2005).

Extraction and characterization of chitin and chitosan from crustacean by-products:

Biological and physicochemical properties jurnal karya Limam (2011), melakukan

penelitian tentak ekstraksi kitin dan kitosan dari jenis creustacean menjadi produk yang

bermanfaat. Produk ini kemudian diuji aktivitas biologisnya seperti antimikrob, dan

antifungi dengan menggunakan strain Escherichia coli. Selain itu juga di uji kandungan

antioksidannya.

Extraction of chitin and chitosan from shrimp (metapenaeus monoceros) shell by

chemical method dilakukan penelitian mengunakan udang, yang kemudian diekstraksi

secara kimia. Pada penelitian ini tahapan yang dilakukan sesuai dengan yang dilakukan

saat praktikum. Terdiri dari proses dimineralisasi, deproteinasi, dan dimetilisasi

(Naznin, 2005).

Tijani (2012), dalam jurnalnya yang berjudul Extraction and Characterization of Chitin

from Nigerian Sources melakukan penelitian dengan cara ekstraksi dan mencari

karakteristik kitin dari 4 sumber yang ada di Nigeria. Analisis yang dilakukan adalah

Page 11: Kitin Prak Ivana Aprilia 12.70.0145 c4 Unika Soegijapranata

analisis proksimat, XRD, dan SEM yang kemudian dihubungkan dengan kitin. Dari

analisa proksimat menunjukan kandungan moisture dan protein pada udang paling besar

kandungannya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa jenis sumber bahan baku

mempengaruhi kandungan kitinnya.

Patria( 2013) dalam jurnalnya yang berjudul Production and characterization of

Chitosan from shrimp shells waste melakukan penelitian untuk memproduksi kitin dari

limbah kulit udang. Hal ini karena limbah yang dihasilkan dari udang cukup besar

prosentasenya. Selain itu kandungan yang ada didalam kitin yang sebenarnya sangat

berguna jika diolah menjadi alasan untuk melakukan penelitian ini. Pada penelitian ini

dilakukan perlakuan yang berbeda untuk kemudian dilihat efeknya terhadap hasil.

Perlakuan yang diberikan adalah suhu pemanasan dan lamanya waktu pemanasan.

Dimana didapatkan hasil bahwa suhu dan waktu pemanasan memberikan hasil yang

tidak signifikan saat proses diasetilasi. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa

pemanasan yang baik adalah 1000C selama 80 menit.

Page 12: Kitin Prak Ivana Aprilia 12.70.0145 c4 Unika Soegijapranata

3. KESIMPULAN

Kulit udang dapat dijadikan sumber kitin dan kitosan melalui proses ekstraksi

Pembuatan kitosan terdiri dari deproteinasi, demineralisasi, dan deasetilasi

Demineralisasi bertujuan menghilangkan mineral yang ada pada limbah udang

dengan menggunakan larutan asam klorida

Deproteinasi bertujuan mengurangi kadar protein dengan menambahkan NaOH 3,5%

(larutan alkali encer) sambil diberi pemanasan

Deasetilasi bertujuan menghilangkan gugus asetil pada kitin dengan pemanasan

dalam larutan alkali kuat dengan konsentrasi tinggi melalui proses hidrolisa amida

Larutan HCl pada proses demineralisasi bertujuan untuk melarutkan kandungan

mineral yang dimiliki oleh kulit udang.

Semakin tinggi konsentrasi HCl yang ditambahkan maka rendemen kitin yang

dihasilkan akan semakin tinggi pula.

Penambahan NaOH 3,5% pada proses deproteinasi bertujuan untuk memaksimallkan

proses penghilangan mineral dan protein yang dimiliki oleh kitin.

Semakin tinggi konsentrasi NaOH pada proses deasetilasi maka rendemen kitosan

yang dihasilkan akan semakin rendah.

Pengeringan bertujuan untuk menurunkan kadar air dalam produk kitin dan kitosan

Pembilasan bertujuan untuk meningkatkan efektivitas demineralisasi dan mencegah

degradasi selama pengeringan.

Pemanasan mempermudah pelepasan kalsium karbonat dan mineral kulit udang

Pengadukan mempermudah larutan menjadi homogen sehingga pemanasan terjadi

secara merata pada seluruh bagian larutan yang dipanaskan

Kesalahan praktikan menjadi penyebab ketidaksesuaian hasil dengan teori, seperti

penyaringan yang kurang sempurna dan penakaran bahan yang kurang tepat

Semarang, 23 November 2014

Praktikan, Asisten dosen

- Stella Gunawan

Ivana Aprilia Pratiwi

(1.70.0145)

Page 13: Kitin Prak Ivana Aprilia 12.70.0145 c4 Unika Soegijapranata

4. DAFTAR PUSTAKA

Alvarenga; E. S. D.; C. P. D. Oliveira; & C. R. Bellato. (2010). An Approach to Understanding the Deacetylation Degree of Chitosan. Carbohydrate Polymers 80 (2010) 1155–1160.

Austin, P. R. (1988) Chitin Solution dan Purification of Chitin. Dalam Methods in Immonology. Vol 161. Biomass Part B. Wood WA, Kellog ST (ed).Academic Press, San Diego.

Bastaman, S. 1989. Studies on Degradation and Extraction of Chitin and Chitosan From Prawn shell (Nephropsnorregicus). Thesis. The Queen’s University. Belfast. 143 p. http://rudyct.topcities.com/pps702_71034/marganof.htm

Hargono & K. Haryani. (2004). Pengaruh Ukuran Partikel Limbah Kulit Udang Terhadap Derajat deasetilasi Kitosan. Fakultas Teknik Universitas Diponegoro. Semarang.

Hong H, No K, Meyers SP, Lee KS. (1989). Isolation and Characterization of Chitin from crawfish shell waste. J Agric Food. Chem 33:375-579.

Johnson, A.H. dan M.S. Peterson. 1974. Encyclopedia of Food Technology Vol. II. The AVI Publishing Co., Inc., Connecticut.

Karmas, E., (1982), Poultry and Seafood Technology, Noyes Data Corporation, USA.Knorr, D. (1982). Function Properties of Chitin and Chitosan. Journal of Food Science. (47)36.

Laila, A & Hendri, J. (2008).Study Pemanfaatan Polimer Kitin Sebagai Media Pendukung Amobilisasi Enzim α-Amilase.

Lertsutthiwong, P; Ng C. How; S. Chandrkrachang; & W. F. Stevens. (2002). Effect of Chemical Treatment on the Characteristics of Shrimp Chitosan. Journal of Metals, Materials And Minerals. Vol. 12 No. 1 Pp. 11-18, 2002.

Limam.(2011).Extraction and characterization of chitin and chitosan from crustacean by-products: Biological and physicochemical properties. Trends Biomater. Artif. Organs, Vol 18 (2), January 2005

Manjang, Y. (1993). Analisa Ekstrak Berbagai Jenis Kulit Udang Terhadap Mutu Kitosan, Jurnal Penelitian Andalas. 12 (V) : 138 –143.

Marganov. (2003). Potensi Limbah Udang sebagai Penyerap Logam Berat (Timbal, Kadmium, dan Tembaga) di Perairan. http://rudyct.topcities.com/pps702_71034/ marganof.htm.

Page 14: Kitin Prak Ivana Aprilia 12.70.0145 c4 Unika Soegijapranata

Mizani, A.Maryam dan B.Mahmood Aminlari. (2007). A New Process for Deproteinization of Chitin from Shrimp Head Waste. Proceedings of European Congress of Chemical Engineering (ECCE-6) Copenhagen, 16-20 September 2007.

Murtihapsari, A. S. P. ( _ ). Ekstraksi Khitosan Dari Limbah Udang Putih (Penaeus Merquiensis) Asal Sorong Papua Dengan Teknik Deproteinisasi Dan Demineralisasi.

Muzzarelli, R.A.A. (1985). Chitin in the Polysaccharides vol. 3. Academic Press Inc. Orlando. San Diego.

Nazinin.(2005).Extraction of chitin and chitosan from shrimp (metapenaeus monoceros) shell by chemical method.Pakistan Journal of Biological Sciences 8(7):1051-1054,2005

Patria.( 2013). Production and characterization of Chitosan from shrimp shells waste. Aquaculture International JournalAq

Puspawati, N.M. & I.N. Simpen. (2010). Optimasi Deasetilasi Khitin dari Kulit Udang dan Cangkang Kepiting Limbah Restoran Seafood Menjadi Khitosan Melalui Variasi Konsentrasi NaOH. Jurnal Kimia 4(1) : 79-90.

Puvvada, S.Y., Vankayalapati, S., and Sukhavasi, S. (2012). Extraction of Chition from Chitosan from Exoskeleton of Shrimp for Application in the Pharmaceutical Industry. International Current Pharmaceutical Journal 2012, 1(9): 258-263 Radhakumary.(2005). Biopolymer Composite Of Chitosan And Methyl Methacrylate For Medical Applications. Trends Biomater. Artif. Organs, Vol 18 (2), January 2005

Rahayu, L. H. & S. Purnavita. (2007). Optimasi Pembuatan Kitosan dari Kitin Limbah Cangkang Rajungan (Portunus pelagicus) untuk Adsorben Ion Logam Merkuri. Reaktor, Vol. 11 No.1, Juni 2007, Hal. : 45-49

Ramadhan, L.O.A.N., C.L. Radiman, D. Wahyuningrum, V. Suendo, L.O. Ahmad, S.

Valiyaveetiil. (2010). Deasetilasi Kitin secara Bertahap dan Pengaruhnya terhadap Derajat Deasetilasi serta Massa molekul Kitosan. Jurnal Kimia Indonesia. Vol 5 : 17-21.

Shahidi, F. and J. R. Botta. (1994). Seafood: Chemistry, Processing Technology and Quality. Blackie Academics & Profesional. London.

Solomons, G. T. W. (1980) Organic Chemistry, 2nd ed., John Wiley & Sons Inc., New York.

Suhardi. (1993) , Khitin Dan Khitosan, buku monograf, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Tijani.(2012).Extraction and Characterization of Chitin from Nigerian Sources. Leonardo Electronic Journal of Practices and Technologies.ISSN 1583-1078

Page 15: Kitin Prak Ivana Aprilia 12.70.0145 c4 Unika Soegijapranata

Wardaniati, R.A. & S. Setyaningsih. (____). Pembuatan Chitosan dari Kulit Udang dan Aplikasinya Untuk Pengawetan Bakso. Universitas Diponegoro. Semarang.

Winarno,F.G. (1997). Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Zaku, S. G.; S. A. Emmanuel; O. C. Aguzue; & S. A. Thomas. (2011). Extraction and characterization of chitin; a functional biopolymer obtained from scales of common carp fish (Cyprinus carpio l.): A lesser known source. African Journal of Food Science Vol. 5(8), pp. 478 - 483, August, 2011.

Page 16: Kitin Prak Ivana Aprilia 12.70.0145 c4 Unika Soegijapranata

5. LAMPIRAN

5.1. Hasil Perhitungan

Rendemen kitin I =

berat _ker ingberatbasah

x100 %

Rendemen kitin II =

berat kitin

beratbasah

x100 %

Rendemen kitosan =

beratkitosan

beratkitin

x100 %

Kelompok A1

rendemen kitin I=1,55

×100 %=30 %

rendemen kitin II=0,55

× 100 %=10 %

rendemen kitosan=0,3701,7

×100 %=21,765 %

Kelompok A2

rendemen kitin I=1,75

×100 %=34 %

rendemen kitin II=0,62,1

×100 %=28,571 %

rendemen kitosan=0,3981,6

×100 %=24,875 %

Kelompok A3

rendemen kitin I=15

×100 %=20 %

rendemen kitin II=0,62

×100 %=30 %

rendemen kitosan=0,4022,442

× 100 %=16,462 %

Kelompok A4

rendemen kitin I=0,25

×100 %=4 %

rendemen kitin II=0,0010,011

× 100 %=90 %

rendemen kitosan=0,0050,011

×100 %=45,455 %

Kelompok A5

rendemen kitin I=1,55

×100 %=30 %

rendemen kitin II=0,82

× 100 %=40 %

rendemen kitosan=0,3213,1

× 100 %=10,355 %

Kelompok A6

rendemen kitin I=1,55

×100 %=30 %

rendemen kitin II=0,73,5

×100 %=20 %

rendemen kitosan=0,2082

×100 %=10,4 %