Kisruh Ujian Nasional

20
Kisruh Ujian Nasional (UN) pada tahun ini mengindikasikan ada kongkalikong dalam proses tendernya. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pun mempersilakan apabila Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mau melakukan pemeriksaan terkait proyek UN. Staf Khusus Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bidang komunikasi, Sukemi, mengatakan bahwa pihaknya sangat berterima kasih pada publik yang peduli dengan masalah UN ini dan meminta adanya investigasi mendalam dari KPK untuk menguak keterlibatan oknum kementerian terkait proses tender pengadaan naskah soal UN. "Proses tendernya dibuka umum. Bagi yang berminat bisa ikut. Tapi jika memang ada dugaan seperti itu dan KPK diminta turun, kami sangat terbuka supaya terungkap juga," kata Sukemi saat diskusi polemik tentang Kisruh UN di Warung Daun, Jakarta, Sabtu (20/4/2013). Ia menjelaskan bahwa peminat tender pengadaan dan distribusi naskah soal ini cukup banyak. Ia merinci bahwa peminat tender paket 1 ada 70 perusahaan dan yang menawarkan nilai tender sebanyak 17 perusahaan. Kemudian untuk paket 2 ada 58 perusahaan yang memberikan penawaran 17 perusahaan. Selanjutnya, untuk paket 3 ada 57 perusahaan peminat dan yang menawarkan nilai tender 15 perusahaan. Kemudian paket 4 ada 58 perusahaan peminat dengan 14 perusahaan yang menawar, paket 5 ada 59 perusahaan peminat dan yang memberikan penawaran 18 perusahaan. Terakhir, paket 6 ada 72 perusahaan peminat yang memberikan penawaran 16 perusahaan. "Dari semua yang memberi penawaran, kami evaluasi sesuai dengan kriteria yang dibutuhkan dan enam percetakan itu yang berhak," jelas Sukemi. Ia juga menjelaskan bahwa pihaknya telah melakukan investigasi melalui Inspektorat Jenderal Kemdikbud yang hingga saat ini masih berjalan. Untuk audit dari BPK, ia mengatakan bahwa hal tersebut rutin dilakukan

description

kisruh ujian nasional

Transcript of Kisruh Ujian Nasional

Page 1: Kisruh Ujian Nasional

Kisruh Ujian Nasional (UN) pada tahun ini mengindikasikan ada kongkalikong dalam proses tendernya. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pun mempersilakan apabila Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mau melakukan pemeriksaan terkait proyek UN.

Staf Khusus Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bidang komunikasi, Sukemi, mengatakan bahwa pihaknya sangat berterima kasih pada publik yang peduli dengan masalah UN ini dan meminta adanya investigasi mendalam dari KPK untuk menguak keterlibatan oknum kementerian terkait proses tender pengadaan naskah soal UN.

"Proses tendernya dibuka umum. Bagi yang berminat bisa ikut. Tapi jika memang ada dugaan seperti itu dan KPK diminta turun, kami sangat terbuka supaya terungkap juga," kata Sukemi saat diskusi polemik tentang Kisruh UN di Warung Daun, Jakarta, Sabtu (20/4/2013).

Ia menjelaskan bahwa peminat tender pengadaan dan distribusi naskah soal ini cukup banyak. Ia merinci bahwa peminat tender paket 1 ada 70 perusahaan dan yang menawarkan nilai tender sebanyak 17 perusahaan. Kemudian untuk paket 2 ada 58 perusahaan yang memberikan penawaran 17 perusahaan.

Selanjutnya, untuk paket 3 ada 57 perusahaan peminat dan yang menawarkan nilai tender 15 perusahaan. Kemudian paket 4 ada 58 perusahaan peminat dengan 14 perusahaan yang menawar, paket 5 ada 59 perusahaan peminat dan yang memberikan penawaran 18 perusahaan. Terakhir, paket 6 ada 72 perusahaan peminat yang memberikan penawaran 16 perusahaan.

"Dari semua yang memberi penawaran, kami evaluasi sesuai dengan kriteria yang dibutuhkan dan enam percetakan itu yang berhak," jelas Sukemi.

Ia juga menjelaskan bahwa pihaknya telah melakukan investigasi melalui Inspektorat Jenderal Kemdikbud yang hingga saat ini masih berjalan. Untuk audit dari BPK, ia mengatakan bahwa hal tersebut rutin dilakukan tiap tahun. Namun jika memang ingin dilakukan audit khusus terkait UN, maka pihaknya tetap terbuka.

"Kami terbuka jadi silakan saja. Karena masalah ini telah merugikan banyak anak bangsa," tandasnya.

http://edukasi.kompas.com/read/2013/04/20/1644007/Kemendikbud.Kami.Sangat.Terbuka.pada.KPK?utm_source=WP&utm_medium=Ktpidx&utm_campaign=Ujian%20Nasional%202013

Ujian Nasional (UN) yang digelar dengan tujuan untuk mempertahankan semangat belajar dan menanamkan nilai kejujuran ternyata justru jauh menyimpang dari tujuan tersebut. Dengan aturan ketat tanpa pengawasan yang tepat, UN malah membuat anak-anak cemas sehingga mencari-cari celah agar bisa lulus.

Praktisi Pendidikan dari Universitas Paramadina, Abduh Zein, mengatakan bahwa kebijakan UN yang

Page 2: Kisruh Ujian Nasional

diambil pemerintah ini justru membuat anak-anak belajar untuk menjadi pribadi yang manipulatif dan destruktif karena dihantui ketakutan tidak lulus ujian.

"Kebijakan UN ini tidak tepat karena destruktif dan menanamkan untuk manipulasi," kata Abduh saat diskusi Kisruh UN di DPD RI, Jakarta, Jumat (19/4/2013).

Tidak hanya sekadar itu, UN yang awalnya didesain untuk meningkatkan semangat belajar justru malah memunculkan semangat yang berkebalikan karena anak-anak menjadi berlomba untuk mencari bocoran jawaban agar UN yang dikerjakannya berjalan lancar.

"Sekarang dapat dilihat apakah semangat belajar meningkat karena UN? Tidak, karena yang ada justru sebaliknya anak-anak mencari jalan pintas untuk lulus UN," ungkap Abduh.

"Akhirnya anak yang pintar jadi hilang semangat belajar karena tahu ada jalan pintas itu," tandasnya.

Hal serupa juga diungkapkan oleh Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Retno Listyarti. Ia menjelaskan bahwa adanya UN ini hanya membuat anak sibuk untuk mencari kunci jawaban bukan malah mempersiapkan belajar dengan baik.

"Tentu saja, UN ini hanya membuat anak belajar untuk curang bukan malah belajar dengan benar," ungkapnya.

http://edukasi.kompas.com/read/2013/04/20/1628367/UN.Malah.Membentuk.Anak.Jadi.Manipulatif?utm_source=WP&utm_medium=Ktpidx&utm_campaign=Ujian%20Nasional%202013

Kacau! Satu kata ini tampaknya tepat untuk menggambarkan pelaksanaan ujian nasional tingkat SMA/SMK tahun ini.

Pelaksanaan UN di 11 provinsi tertunda karena keterlambatan naskah soal, sementara keluhan bermunculan di sekolah-sekolah yang telah melaksanakan UN sejak Senin, 15/4/2013. Mulai dari rendahnya kualitas lembar jawaban UN, tertukarnya paket-paket soal, kurangnya naskah soal dan lembar jawaban UN, hingga indikasi kecurangan yang mulai dilaporkan ke posko pengaduan UN atapun yang diungkapkan melalui media sosial.

Cukupkah berbagai permasalahan UN dipandang sebagai masalah teknis belaka? Andai masalah-masalah teknis ataupun indikasi kecurangan itu teratasi, misalnya dengan memperbanyak paket soal dan memperketat pengawasan, apakah UN layak dibiarkan tetap berlangsung sebagai rutinitas tahunan berbiaya besar tanpa manfaat signifikan bagi peningkatan mutu pendidikan di Tanah Air?

Asumsi UN

Terlebih lagi, dalam beberapa tahun terakhir, mengapa UN menimbulkan kecemasan yang luar biasa di

Page 3: Kisruh Ujian Nasional

kalangan siswa, orangtua, dan guru? Mengapa pembelajaran menjadi tidak mengasyikkan lagi bagi siswa sehingga harus dipaksa dengan sebuah tes bernama UN?

Persoalan UN tidak bisa semata-mata ditarik ke ranah teknis. Asumsi yang melandasi kebijakan UN harus diuji keabsahannya. Ujian kelulusan didasarkan asumsi: dengan menetapkan standar akademis yang harus dicapai siswa dan diukur melalui tes standar, disertai konsekuensi atas keberhasilan ataupun kegagalan mencapai standar tersebut, akan meningkatkan motivasi siswa, guru, dan sekolah dalam meningkatkan prestasi mereka.

Laporan tahunan terbaru (2012) dari Center on Education Policy—sebuah lembaga nirlaba yang didirikan di George Washington University, yang meneliti ujian kelulusan di sejumlah negara bagian di Amerika Serikat sejak tahun 2002—menyimpulkan bahwa hingga saat ini keterkaitan antara ujian kelulusan dan peningkatan prestasi belajar siswa masih belum terbukti. Laporan tersebut juga merujuk pada beberapa penelitian lain, misalnya yang dilakukan Grodsky dkk (2009), Reardon dkk (2009), dan Holme dkk (2010), yang belum menemukan keterkaitan antara pelaksanaan ujian kelulusan dan peningkatan prestasi belajar siswa.

Untuk menilai efektivitas pelaksanaan UN, tentunya kita membutuhkan indikator. Salah satu indikator yang saat ini tersedia dan dapat digunakan adalah hasil-hasil survei internasional dalam TIMSS (untuk matematika), PIRLS (untuk kemampuan membaca), dan PISA (matematika, sanis, dan membaca).

Indonesia secara periodik telah mengikuti asesmen internasional tersebut dengan hasil yang memprihatinkan. Siswa Indonesia berada di peringkat bawah dalam ketiga asesmen tersebut, sebagaimana pernah saya sampaikan dalam opini saya sebelumnya berjudul ”Gawat Darurat Pendidikan” (Kompas, 14/12/2012). Bukan hanya peringkat yang mencemaskan, melainkan mayoritas siswa Indonesia ternyata baru mencapai level penalaran yang rendah. Bukankah ini sudah merupakan indikator kegagalan UN dalam meningkatkan prestasi belajar siswa?

Sementara itu, penelitian-penelitian lain juga telah mendokumentasikan dampak negatif ujian kelulusan. Di antaranya: (1) kesenjangan prestasi akademis berdasarkan status sosial ekonomi keluarga; (2) meningkatnya risiko putus sekolah bagi siswa tak mampu dan siswa dari kelompok minoritas; (3) penyempitan kurikulum, yaitu terfokusnya pembelajaran pada mata pelajaran yang diujikan sehingga yang tak diujikan terabaikan; (4) proses belajar yang berupaya menggali aspek kreativitas dan berpusat pada siswa cenderung terpinggirkan karena lebih memfokuskan pada latihan-latihan soal; (5) tekanan berlebihan yang dirasakan siswa; tekanan berlebihan yang dirasakan guru; dan (6) berbagai modus kecurangan.

Dampak-dampak negatif ujian kelulusan yang terdokumentasikan dalam beberapa penelitian di atas sebetulnya telah kita amati di Indonesia. Dampak negatif itu lebih dominan dibandingkan dampak positif yang masih belum terbukti. Meskipun kita masih butuh penelitian-penelitian lebih lanjut untuk membuktikan pengamatan-pengamatan tersebut, akal sehat kita semestinya segera mendorong kita semua untuk segera mempertanyakan apakah UN sebagai salah satu komponen penentu kelulusan dan

Page 4: Kisruh Ujian Nasional

seleksi ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi merupakan pilihan kebijakan yang tepat saat ini?

Tidakkah lebih bermanfaat jika biaya penyelenggaraan UN yang begitu besar, yang tahun ini mencapai Rp 600 miliar, dialihkan untuk pelatihan guru, perpustakaan sekolah, laboratorium sekolah, perbaikan sekolah yang rusak, dan pembenahan sarana dan prasarana pendidikan lainnya? Belum lagi biaya-biaya terkait UN yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah dan orangtua murid.

Perlu diingat pula, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah mengabulkan gugatan 58 warga negara atas kebijakan UN (21/5/2007). Putusan itu dikuatkan Pengadilan Tinggi Jakarta dengan ditolaknya upaya banding pemerintah (6/12/2007). Putusan itu kembali dikukuhkan Mahkamah Agung dengan ditolaknya kasasi pemerintah (14/9/2009). Sementara itu, tiga kali panggilan PN Jakarta Pusat terkait eksekusi putusan tidak dipenuhi oleh pemerintah.

Upaya-upaya yang dilakukan Tim Advokasi Korban UN, termasuk dengan menemui, antara lain, Komisi X DPR, Komnas HAM, dan Dewan Pertimbangan Presiden belum membuahkan hasil. UN masih tetap berlangsung tanpa ada penilaian dari pengadilan apakah pemerintah telah memenuhi syarat-syarat yang mesti dipenuhi sebelum melaksanakan kebijakan UN lebih lanjut.

Patuhi putusan pengadilan

Putusan pengadilan tersebut mestinya menjadi momentum untuk meninjau UN sebagai penentu kelulusan dan seleksi ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Hal ini mengingat pelaksanaan UN tidak menjadi lebih baik, efektivitasnya dalam meningkatkan kualitas pembelajaran dan pencapaian siswa masih menimbulkan tanda tanya, sementara dampak-dampak negatifnya terus bermunculan.

Saatnya UN dibicarakan bersama dengan jernih dan terbuka dengan melibatkan sejumlah pemangku kepentingan. Dialog tersebut mestinya tidak hanya melibatkan kepala sekolah ataupun kepala dinas pendidikan dan jajaran Kemdikbud, tetapi juga kelompok masyarakat—termasuk yang selama ini dipandang sebagai penentang kebijakan UN. Dengan begitu, UN dapat dibedah dengan menggunakan sudut pandang yang bertolak belakang sekalipun guna mereposisi UN dan mencegah tereduksinya pendidikan menjadi penyortiran siswa berdasarkan prestasi akademis.

Elin Driana, Dosen Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka, Jakarta; Salah Seorang Koordinator Education Forum dan Anggota Koalisi Damai Reformasi Pendidikan

http://edukasi.kompas.com/read/2013/04/20/10084413/Masih.Perlukah.Ujian.Nasional?utm_source=WP&utm_medium=Ktpidx&utm_campaign=Ujian%20Nasional%202013

Polemik pelaksanaan ujian nasional (UN) mengundang komentar banyak pihak. Tak hanya siswa peserta dan praktisi pendidikan, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo juga ikut memberikan komentar dan sarannya.

Page 5: Kisruh Ujian Nasional

Dijumpai di Balaikota Jakarta, pria yang akrab disapa Jokowi itu mengimbau agar pemerintah pusat melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) mempertimbangkan agar nantinya proses pencetakan naskah UN dapat diserahkan ke percetakan di daerah. Usulan itu dilontarkan dengan pertimbangan kemudahan proses distribusi dan dapat mencegah peluang terjadinya penundaan UN akibat keterlambatan cetak dan pengiriman naskah soal. Di luar itu, proses pencetakan menjadi lebih ringan karena dibagi di seluruh provinsi.

"Lebih baik kalau (pencetakan) itu didelegasikan ke daerah, jadi distribusinya lebih mudah," kata Jokowi, Jumat (19/4/2013).

Mengenai teknisnya, mantan Wali Kota Surakarta ini menjelaskan, Kemdikbud dapat memberikan bahan naskah (soft copy) ke tiap-tiap provinsi. Ia percaya cara seperti itu akan lebih efektif ketimbang pemusatan lokasi percetakan yang seluruhnya berada di Pulau Jawa.

"Artinya, jauh-jauh hari sudah didistribusikan soft copy-nya ke daerah. Kalau ada bocor, tentu harus diberi sanksi, tapi percayalah, masa enggak percaya sama daerah. Kalau saya percaya, distribusi jadi lebih mudah," ujarnya.

Pelaksanaan UN tingkat SMA/SMK/MA atau sederajat tahun ini tidak dapat dilakukan secara serentak di seluruh wilayah Indonesia. Pelaksanaan UN di 11 provinsi di Indonesia tengah terpaksa diundur karena naskah soal ujian terlambat dikirimkan. Sebelas provinsi itu terpaksa memulai UN pada Kamis (18/4/2013), sementara 22 provinsi lain tetap sesuai jadwal, yakni mulai Senin (15/4/2013).

Setelah UN di 11 provinsi ditunda, masalah kedua muncul. Pada UN "gelombang kedua" itu, sejumlah gangguan juga masih ditemukan, salah satunya karena buruknya distribusi naskah soal UN. Pencetakan naskah UN dilakukan oleh enam perusahaan yang seluruhnya beroperasi di Pulau Jawa, yakni Kudus, Sidoarjo, Semarang, Surabaya, Tangerang, dan dua perusahaan percetakan asal Bogor.

Secara pribadi, Jokowi tidak sepakat dengan penggunaan UN sebagai satu-satunya alat ukur kelulusan siswa. Ia setuju adanya UN apabila ujian digelar untuk memetakan kualitas pendidikan nasional.

Kacaunya penyelenggaraan Ujian Nasional (UN) 2013 mencuatkan dorongan untuk menghentikan penyelenggaraan UN. Anggota Komisi X dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Reni Marlinawati meminta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M Nuh untuk tidak memaksakan pelaksanaan UN ke depannya.

"Kami meminta agar Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M Nuh agar tidak memaksakan pelaksanaan Ujian Nasional (UN)," ujar Reni dalam siaran persnya, Kamis (18/4/2013).

Menurut Reni, dalam kunjungan di Kalimantan Timur (Kaltim), Rabu (17/4/2013), diketahui sebanyak 155 sekolah se-Kaltim belum menerima soal. Tim kunjungan kerja Komisi X DPR RI sudah merekomendasikan agar pelaksanaan UN ditunda. Namun, lanjut Reni, Nuh tetap memaksa agar UN

Page 6: Kisruh Ujian Nasional

tetap dilaksanakan pada hari ini dengan menggunakan soal fotokopian.

"Padahal, urusan fotokopi bukanlah perkara mudah, apalagi untuk daerah yang letak geografisnya sulit dan pasokan listrik yang minim," imbuh Reny.

Untuk daerah-daerah lainnya, Reny meminta Menteri mendengarkan keluhan atau kesulitan di lapangan jika situasi dan kondisinya sama dengan Kaltim. Menunda pelaksanaan UN, lanjutnya, adalah keputusan yang tepat.

"Mendikbud harus berbesar hati dan legowo dengan menerima situasi sulit ini. Jangan memaksakan keadaan yang kemudian akan merugikan siswa dan masyarakat," kata Reny.

Seperti diketahui, pelaksanaan UN pada tahun 2013 mengalami kekacauan di sejumlah tempat terkait pendistribusian soal. Pelaksanaan UN di 11 provinsi yang seharusnya dilakukan pada Senin (15/4/2013) terpaksa ditunda hingga hari ini. Namun, pada pelaksanaan hari ini, distribusi soal masih juga menjadi kendala. Bahkan, di beberapa daerah, soal ujian terpaksa digandakan lantaran kurang. Sementara di Nusa Tenggara Timur (NTT), pelaksanaan UN akhirnya kembali ditunda hingga Jumat (19/4/2012) karena soal yang tak kunjung datang.

http://edukasi.kompas.com/read/2013/04/18/1523196/Tak.Usah.Paksakan.Pelaksanaan.UN.Pak.Menteri.

Penundaan ujian nasional di 11 provinsi menjadi berita utama di media massa dan menarik perhatian Presiden SBY untuk menginstruksikan dilakukannya investigasi terhadap persoalan yang ada.

Sementara proses investigasi masih berlangsung dan para pengkritik di milis, media massa, ataupun media sosial menyoroti kekacauan dalam pengelolaan administrasi ujian nasional, akan lebih bermanfaat jika kita bisa menimba pelajaran dari realitas penyelenggaraan ujian nasional berdasarkan prinsip-prinsip penilaian pendidikan dan menawarkan solusi perbaikan untuk masa mendatang.

Walaupun kritikan terhadap ujian nasional terus dilayangkan dan Mahkamah Agung telah memenangi gugatan masyarakat lewat gugatan citizen lawsuit soal penyelenggaraan ujian nasional pada 2009, pemerintah tetap melaksanakan ujian nasional dengan alasan kebutuhan standardisasi.

Secara legal, keputusan MA masih memberikan ruang bagi pemerintah untuk tetap menyelenggarakan ujian nasional dengan catatan pemerintah telah meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, akses informasi yang lengkap di seluruh daerah di Indonesia, serta mengambil langkah-langkah konkret untuk mengatasi gangguan psikologi dan mental peserta didik akibat penyelenggaraan ujian nasional.

Kebersikukuhan kedua pihak—Kemdikbud versus pengkritik ujian nasional—pada posisi masing-masing bisa menjadi penghambat proses pengembangan dan penyempurnaan suatu sistem standardisasi dan

Page 7: Kisruh Ujian Nasional

penilaian pendidikan.

Dalam konteks negara Indonesia dengan tingkat kemajuan pendidikan yang sangat beragam antardaerah, sistem penilaian hasil belajar peserta didik dipercaya bisa memberikan gambaran standardisasi yang dibutuhkan sebagai bagian dari upaya peningkatan mutu. Bahkan, dalam beberapa tahun terakhir ini, Amerika Serikat juga melaksanakan standar pendidikan secara ketat untuk mengatasi ketertinggalan dari berbagai tes perbandingan antarnegara. Tentu saja sistem penilaian pendidikan di mana pun selalu menyisakan ruang untuk perbaikan.

Peningkatan mutu pendidikan nasional membutuhkan keterbukaan dari pihak pemerintah untuk mengkaji kelemahan-kelemahan serta kearifan para pemerhati yang peduli terhadap pendidikan untuk memberikan kesempatan dan ruang perbaikan sistem. Bahkan, ujian sekaliber TOEFL, SAT, IELTS, dan GRE pun telah mengalami proses bertahun-tahun pelaksanaan dan banyak forum pakar untuk bisa memperbaiki sistem administrasi ataupun meningkatkan mutu soal.

Perbaikan sistem

Perbaikan sistem penilaian pendidikan mencakup empat isu sentra. Pertama, prinsip penilaian belajar. Ada berbagai macam tujuan, bentuk, dan format penilaian belajar. Salah satu pepatah yang juga berlaku dalam penilaian belajar: Not everything that counts can be counted and not everything that can be counted counts (tidak semua yang bermakna bisa dihitung dan tidak semua yang bisa dihitung bermakna) mensyaratkan adanya penilaian alternatif dan otentik dalam proses belajar mengajar.

Ujian berbentuk pilihan ganda seperti ujian nasional tentu saja tidak memadai untuk menilai prestasi, kemajuan, dan kekurangan peserta didik. Sebenarnya Kemdikbud sudah menerima kenyataan ini dan memutuskan ujian nasional bukan satu-satunya penentu kelulusan. Namun, upaya sosialisasi dan pelatihan di tingkat sekolah masih perlu terus dilakukan agar sekolah-sekolah mempunyai kepercayaan diri dan kompetensi untuk mengembangkan bentuk-bentuk penilaian yang lain guna melengkapi ujian nasional dan suatu saat nanti bahkan tidak lagi membutuhkan ujian nasional sebagai penilaian standar.

Kenyataan di lapangan menunjukkan sebagian besar guru di Indonesia pada saat ini masih belum cukup kompeten dan terampil menyusun instrumen penilaian belajar yang baik dan tepat. Tentu saja situasi ini tidak seharusnya dijadikan alasan pembenaran untuk pelanggengan ujian nasional tanpa batas.

Kedua, pelanggaran dalam penyelenggaraan tidak semestinya ditoleransi dengan label ekses dan oknum. Ini bukan persoalan persentase dalam statistik. Dalam pendidikan, rasio pelanggaran (yang dianggap) sangat kecil sudah menjadi persoalan sangat serius karena memberikan dampak modeling negatif yang akan sangat merusak proses pendidikan karakter anak dan bangsa. Karena nila setitik rusak susu sebelanga. Guru kencing berdiri, murid kencing berlari.

Skandal kecurangan guru dalam ujian ternyata juga terjadi di Amerika Serikat. Juri memutuskan kepala dinas pendidikan beserta 35 pimpinan sekolah dan guru bersalah atas manipulasi nilai ujian di Atlanta,

Page 8: Kisruh Ujian Nasional

akhir Maret 2013. Kepala Dinas Dr Beverly Hall, yang pernah dinobatkan sebagai kepala dinas teladan pada 2009, diancam hukuman penjara 45 tahun.

Sistem pendidikan Atlanta telah menghabiskan 2,5 juta dollar AS untuk investigasi pelanggaran ini. Temuan paling penting dalam skandal ini adalah bahwa sistem imbalan bagi guru dan pejabat yang berhasil menaikkan nilai ujian dan hukuman bagi yang tidak justru telah memicu pelanggaran kode etik pendidik. Karena itu, sistem ini harus diinvestigasi dan ditinjau ulang.

Ketiga, kasus keterlambatan pencetakan dan distribusi soal-soal ujian nasional tahun ini seharusnya mendorong pemerintah mulai memikirkan administrasi secara online. Bagi banyak daerah di Nusantara, pelaksanaan ujian online sungguh merupakan kemungkinan yang tak terbayangkan karena sejumlah permasalahan infrastruktur. Dalam hal ini, Kemdikbud perlu merintis kemungkinan-kemungkinan itu bersama PLN dan Kementerian Kominfo. Pelaksanaan ujian kompetensi guru secara online yang kurang mulus baru-baru ini seharusnya tidak dijadikan bahan cemooh untuk menghambat langkah maju dan perbaikan sistem secara berkelanjutan.

Akhirnya, perbaikan sistem membutuhkan evaluasi secara terus-menerus. Soal-soal dan sistem administrasi tes seperti TOEFL dan yang semacamnya sering menjadi bahan kajian terbuka dalam forum-forum para pakar dan peneliti. Bahkan, soal-soal dalam tes terdahulu bisa diakses publik secara terbuka. Selama beberapa dekade pelaksanaannya, ada banyak sekali perubahan dan kemajuan mendasar. Mekanisme evaluasi internal ataupun hasil kajian publik telah memungkinkan tes-tes tersebut meningkatkan kesahihan dan keterandalannya secara berkelanjutan.

Anita Lie Guru Besar Program Pascasarjana Unika Widya Mandala, Surabaya

Ujian nasional (UN) yang digelar pemerintah ternyata dianggap tak sesuai dengan hukum karena sebelumnya Mahkamah Agung (MA) telah memenangkan gugatan citizen lawsuit terkait penyelenggaraan UN pada 2009. Praktisi Pendidikan dari Universitas Paramadina, Abduh Zein, mengatakan bahwa secara hukum masyarakat telah memenangkan gugatan terkait UN. Namun, permasalahannya, saat ini pemerintah tetap bersikeras menyelenggarakan UN dengan alasan pemetaan kualitas pendidikan.

"Sebenarnya, kan ini secara hukum sudah tidak bisa dilaksanakan UN, tapi tetap saja pemerintah melakukan," ujar Abduh saat diskusi Kisruh UN di DPD RI, Jakarta, Jumat (19/4/2013).

"Tapi, kalau memang ujian hanya cara untuk mendeteksi kualitas kita, itu tidak perlu dilakukan tiap tahun, tapi suatu saat saja," imbuhnya.

Ia juga mengungkapkan bahwa pelaksanaan UN pada tahun ini apabila dilihat dari prosesnya merupakan puncak kulminasi kegagalan di balik manajemen Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang selama ini dianggapnya bekerja tidak sesuai dengan akar pendidikan.

Page 9: Kisruh Ujian Nasional

"Tahun 2013 ini kalau diliat dari proses penyelenggaraannya, ini puncak kulminasi kegagalan di balik manajemen Kemdikbud yang bekerja tidak berdasar akal sehat," ujar Abduh.

"Sekali lagi, ini bukan masalah teknis ini masalah human eror. Tapi, di balik ini semua adalah masalah nalar," ungkapnya.

Seperti diketahui, UN yang dikabarkan tidak sesuai secara hukum ini mengalami kekacauan pada pelaksanaannya. Meski telah ditunda, pelaksanaan UN pun masih bermasalah karena naskah soal yang kurang sehingga harus difotokopi dan peserta UN terpaksa menunggu lama sehingga terlambat mengerjakan UN.

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengaku pernah memblokir anggaran untuk Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), khususnya untuk anggaran ujian nasional (UN) di tahun ini. Hal inilah yang menyebabkan anggaran tersebut belum bisa dicairkan di awal tahun.

Direktur Jenderal Anggaran Kemenkeu Herry Purnomo mengatakan, penyebab anggaran Kemdikbud tersebut belum bisa dicairkan saat itu adalah karena adanya perbedaan rincian anggaran dan perbedaan kegiatan (termasuk volume dan unit cost) antara yang telah ditetapkan oleh Keputusan Presiden Nomor 37/Tahun 2012 dan hasil persetujuan Komisi X DPR RI pada 21 Desember 2012.

"Karena berbeda, kita belum bisa mencairkan anggarannya," kata Herry saat konferensi pers di kantornya, Jakarta, Jumat (19/4/2013).

Seharusnya, Kemdikbud memperoleh daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) dalam rangka kegiatan UN tahun ini sebesar Rp 543,4 miliar. Sementara target sasaran siswa untuk UN tahun ini sebanyak 14,08 juta siswa dengan unit cost sebesar Rp 39.000 per siswa.

Namun, ternyata, alokasi yang ditetapkan Kemdikbud kepada Kemenkeu berubah dari nilai maupun sasarannya. Komisi X DPR justru menyetujui kenaikan alokasi UN sebesar Rp 100,83 miliar sehingga menjadi Rp 644,27 miliar.

"Jumlah DIPA untuk UN sebesar Rp 543,4 miliar tersebut juga merupakan bagian dari anggaran Kemdikbud yang diblokir pemerintah senilai Rp 62,07 triliun atau 84,9 persen dari pagu anggaran Kemdikbud di 2013 sebesar Rp 73,09 triliun," tambahnya.

Herry menambahkan, dengan perubahan program UN tersebut, sasaran siswa dan unit cost juga berubah, menjadi 12,23 juta siswa dengan penambahan unit cost menjadi Rp 53.000 per siswa.

"Dengan perubahan program tersebut, pemerintah juga memundurkan jadwal pembukaan pemblokiran selama hampir sebulan," tambahnya.

Namun, karena kontrak percetakan soal UN harus mendesak dan segera ditandatangani pada 11 Maret

Page 10: Kisruh Ujian Nasional

2013, maka pada 8 Maret 2013, pemerintah mengusulkan untuk hanya membuka blokir anggaran UN yang mengacu pada Keputusan Presiden (sesuai DIPA sebesar Rp 543,4 miliar). Pada 13 Maret 2013, pemerintah akhirnya membuka blokir DIPA sebesar Rp 543,4 miliar dengan target 14,08 juta siswa dan unit cost Rp 39.000 per siswa.

"Surat dari pemerintah inilah yang dijadikan dasar bagi Kemdikbud untuk melakukan tanda tangan kontrak cetak soal UN," tambahnya.

Herry mengaku pembukaan pemblokiran baru bisa dilakukan pada 13 Maret 2013. Tanggal tersebut telah lewat dari batas waktu tanda tangan kontrak cetak bahan UN pada 11 Maret 2013.

"Ini memang telat, tapi itu tidak signifikan. Sebab, pada 12 Maret itu kan libur Nyepi, makanya baru bisa dibuka blokirnya pada hari kerja (13 Maret 2013)," tambahnya.

Wakil Menteri Keuangan Anny Rahmawati menambahkan, penjelasan kronologi proses pencairan dana UN ini bukan mencari titik kesalahan Kemdikbud ataupun Kemenkeu. Begitu pula mencari siapa yang benar di antara dua lembaga ini.

"Kami melakukan ini untuk menjaga good corporate governance dan menjaga supaya sesuai aturan berlaku," kata Anny.

ementerian Pendidikan dan Kebudayaan merespon pendapat Forum Indonesia untuk Transparansi (Fitra) yang menilai anggaran pengadaan dan distribusi bahan Ujian Nasional (UN) 2013 cukup mahal. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Khairil Anwar Notodiputro, mengatakan bahwa pemilihan pemenang tender untuk pengadaan dan distribusi soal UN ini tidak bisa asal pilih yang paling murah saja karena ada kualifikasi yang harus dipenuhi oleh pemenang tender tersebut.

"UN ini kan dokumen negara yang rahasia. Jadi tidak bisa hanya yang paling murah yang menang. Harus dilihat juga syarat-syaratnya," kata Khairil kepada Kompas.com, Senin (18/3/2013).

Ia mengakui bahwa ada beberapa perusahaan yang ikut tender dan menawarkan harga yang lebih rendah daripada pemenang tender. Namun sayangnya perusahaan tersebut tidak memenuhi kualifikasi yang diwajibkan sehingga akhirnya tidak dipilih oleh Balitbang dan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).

"Jadi kualifikasi yang diharuskan itu terkait dengan adanya jaminan kualitas, jaminan keamanan serta bisa selesai tepat waktu," ungkap Khairil.

"Kalau mau pilih yang paling murah lalu tidak sesuai kualifikasinya, UN bisa gagal nanti," imbuhnya.

Kendati demikian, ia meyakinkan bahwa perusahaan pemenang tender pengadaan dan distribusi soal

Page 11: Kisruh Ujian Nasional

UN ini adalah yang termurah dan memenuhi syarat untuk mencetak dokumen negara yang rahasia ini. "Kalau berbicara dari segi persyaratan dan kualifikasi, ya yang menang ini sudah yang termurah," tandasnya.

Proyek pendidikan selalu memakan anggaran yang besar, dari rehabilitasi gedung sekolah, pelatihan guru, persiapan kurikulum hingga Ujian Nasional (UN). Namun, kepada siapa anggaran besar tersebut sebenarnya diperuntukkan? Bagi anak-anak Indonesia atau justru bagi para perusahaan yang sibuk berebut peluang?

Anggaran UN mencapai Rp 94,8 milyar dan penyelenggaraannya kacau. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyebutkan PT Ghalia Printing Indonesia tidak bisa menyelesaikan tugasnya tepat waktu. Pihak kementerian berjanji akan segera menelusuri akar masalahnya.

"Kami akan lakukan investigasi mendalam. Pertama wilayah proses pengadaan atau tender akan di-review. Apakah ada dugaan main-main di situ. Kedua, dari sisi pelaksana dan investigasi dari sisi percetakannya sendiri," ujar Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Mohammad Nuh, saat jumpa pers di Kemdikbud, Jakarta, Rabu (17/4/2013) sore.

Berdasarkan data yang dihimpun, UN 2013 kali ini melibatkan enam percetakan untuk pengerjaan enam paket. Paket I jatuh pada PT Balebat Dedikasi Prima dengan nilai tender Rp 12,9 milyar dengan oplah pengerjaan 91.280.560 eksemplar untuk empat provinsi yaitu Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau dan Banten. Sementara Harga Perkiraan Sementara (HPS) adalah Rp 17,4 milyar. PT Balebat Dedikasi Prima sendiri mendapatkan paket I ini tanpa harus bersaing dengan peserta tender lain.

Paket II dengan nilai HPS Rp 17,6 milyar jatuh ke PT Pura Barutama dengan nilai tender Rp 14,5 milyar dan oplah pengerjaan 96.889.120 eksemplar untuk empat provinsi yaitu Jawa Tengah, Jambi, Bengkulu dan D.I Yogyakarta. Untuk paket ini, perusahaan yang ada di Kudus ini berhasil mengalahkan PT Perca, PT Jasuindo Tiga Perkasa dan PT Ghalia Indonesia Printing yang memberikan penawaran lebih murah.

Paket III dengan nilai HPS sebesar Rp 27,1 milyar dimenangkan oleh PT Ghalia Indonesia Printing dengan nilai tender Rp 22,5 milyar dan oplah pengerjaan 106.575.200 eksemplar untuk 11 provinsi. Pada paket ini, PT Ghalia Indonesia Printing menjadi pemenang setelah pemenang tender yang seharusnya mundur karena telah memegang paket pengerjaan lain. Adapun pesaing dari perusahaan ini adalah PT Aneka Ilmu, PT Balebat Dedikasi Prima dan PT Jasuindo Tiga Perkasa yang menawarkan harga lebih murah.

Paket IV dengan HPS sebesar Rp 21,1 milyar berhasil dimenangkan PT Jasuindo Tiga Perkasa dengan nilai tender Rp 13,7 milyar dan oplah pengerjaan 102.258.720 eksemplar untuk lima provinsi yaitu Jawa Timur, Maluku, Papua, Maluku Utara dan Papua Barat. Perusahaan asal Sidoarjo ini menang tanpa lawan untuk paket ini.

Paket V dengan HPS sebesar Rp 19,6 milyar disabet oleh PT Karsa Wira Utama dengan nilai tender Rp 16,3 milyar dan oplah pengerjaan 103.943.600 untuk tiga provinsi yaitu Jawa Barat, Kepulauan Riau dan

Page 12: Kisruh Ujian Nasional

Bangka Belitung. Perusahaan ini menang atas PT Temprina Media Grafika, PT Ghalia Indonesia Printing dan PT Jasuindo Tiga Perkasa yang menawarkan harga lebih murah.

Paket VI dengan HPS sebesar Rp 17,3 milyar dimenangkan PT Temprina Media Grafika dengan nilai tender Rp 14,7 milyar dan oplah pengerjaan 90.077.760 eksemplar untuk enam provinsi yaitu DKI Jakarta, Aceh, Sumatera Selatan, Lampung, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Perusahaan milik Jawa Pos ini menang atas PT Perca, PT Ghalia Indonesia Printing, PT Balai Pustaka dan Perum Percetakan Negara RI yang menawarkan harga lebih murah.

Kekacauan paket III

Dari enam paket tersebut, kekacauan masif muncul pada paket III yang dikerjakan oleh PT Ghalia Indonesia Printing. Sebanyak 11 provinsi tertunda pelaksanaan UN karena perusahaan ini kekurangan tenaga sehingga pengepakan naskah soal tersendat. Hal yang harusnya tidak terjadi pada agenda sebesar ini.

Semestinya yang memperoleh pengerjaan paket III ini adalah PT Balebat Dedikasi Prima atau PT Jasuindo Tiga Perkasa. Namun sesuai aturan, satu perusahaan dilarang memegang dua paket sekaligus sehingga PT Ghalia Indonesia Printing yang berhak mendapat tender.

Yang mengherankan, perusahaan yang ada di Rancamaya, Bogor ini mampu mengalahkan PT Aneka Ilmu yang ada di Semarang. Padahal PT Aneka Ilmu adalah perusahaan percetakan besar yang telah meraih ISO 9001-2000 meski juga sempat bermasalah dengan Panwaslu Kota Semarang terkait pencetakan surat suara pada 2009 lalu. Sementara itu, PT Ghalia Indonesia Printing juga diketahui sempat ditegur oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009 silam.

Inspektorat Jenderal Kemdikbud melalui Inspektur Jenderal, Haryono Umar, mengatakan bahwa investigasi telah dilakukan jauh sebelum UN dimulai. Saat itu, berbagai LSM dan media menyoroti para pemenang tender pengadaan UN yang berhasil mendapat proyek padahal harga yang ditawarkan paling mahal.

"Dari situ kita respon, kita cari informasinya dan pertanyakan, sekaligus membentuk tim investigasi," ujar Haryono.

"Tim itu masih berjalan. Tapi karena balitbang sedang sibuk mengelola UN, kegiatan investigasi agak tersendat," tandasnya.

Mendikbud: Jika Terbukti Korupsi, Saya Siap Mundur

Kamis, 18 April 2013 | 04:12 WIB

Page 13: Kisruh Ujian Nasional

Dibaca: 737

Komentar: 6

|

Share:

Jakarta, Kompas - Karut-marut pelaksanaan ujian nasional terarah pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh menegaskan, ia akan mengundurkan diri jika terbukti terlibat korupsi terkait proses pencetakan naskah soal UN 2013.

”Jika terkait korupsi atau moralitas, saya bersedia mundur,” kata Nuh kepada wartawan, Rabu (17/4), di Jakarta.

Menanggapi desakan masyarakat yang memintanya mundur karena dinilai gagal melaksanakan UN, Nuh menegaskan posisi menteri merupakan kesepakatan politik. Ia tak berada dalam posisi menentukan mundur atau tetap pada posisi menteri. Keputusan di tangan Presiden sebagai pemberi tugas atau amanah.

”Posisi saya hanya sebagai yang mengerjakan tugas dari Presiden. Jadi, saya kembalikan kepada pemberi tugas,” kata Nuh lagi.

Tender pencetakan

Terkait proses investigasi proses pencetakan naskah soal UN di percetakan PT Ghalia Indonesia Printing, Nuh menjelaskan, Inspektorat Jenderal Kemdikbud telah membentuk tim investigasi. Tim akan memeriksa lagi proses tender, pelaksana pencetakan, hingga proses pencetakan.

”Hingga satu minggu sebelum deadline, Ghalia bilang sanggup. Dia sudah teken kontrak. Artinya, sudah sanggup. Alasan Ghalia waktu cetak yang tidak cukup itu tidak masuk akal,” kata Nuh.

Inspektur Jenderal Kemdikbud Haryono Umar menambahkan, proses investigasi tim investigasi untuk sementara masih tersendat. Sebab, para pihak yang akan diinvestigasi lebih lanjut masih sibuk mendistribusikan soal ke beberapa daerah.

Page 14: Kisruh Ujian Nasional

”Jadi, belum terbukti ada penyimpangan atau tidak, karena dokumen-dokumennya juga belum bisa dibuka,” ujarnya. Investigasi lebih lanjut segera dilakukan.

Joki tertangkap

Di Tuban, Jawa Timur, Kepolisian Resor Tuban menangkap 20 joki UN Paket C yang diadakan di Pondok Pesantren Alya’un Najwa di Desa Prambon Tergayang, Kecamatan Soko. Sebagian besar joki masih setingkat kelas I dan II SMA, bahkan ada yang masih di duduk di bangku SMP.

Menurut Kepala Bagian Humas Polres Tuban Ajun Komisaris Noersento, setelah memeriksa saksi dan para joki, polisi menetapkan tokoh salah satu pondok sebagai tersangka. ”Yang bersangkutan terbukti menyuruh mereka menggantikan peserta ujian nasional Paket C yang tidak datang,” katanya.

Polisi menyita barang bukti naskah soal UN, lembar jawaban, dan kartu tanda peserta ujian palsu. Tersangka dijerat Pasal 266 Ayat (1) juncto Pasal 55 Ayat 1 serta Pasal 266 Ayat (2) juncto Pasal 55 Ayat (2) tentang menyuruh dan memasukkan data dalam akta otentik dengan ancaman hukuman maksimal 7 tahun penjara.

Penangkapan para joki berawal dari informasi pengawas UN independen. Mereka curiga karena peserta ujian laki-laki, tetapi dikerjakan perempuan.

Abdul (28), salah seorang tersangka joki, mengaku seminggu sebelum ujian Paket C mendapat pesan pendek agar menggantikan peserta ujian yang tidak datang.

Temuan joki juga dikabarkan terjadi di Bojonegoro. Kasus juga terjadi pada UN Paket C, di sebuah sekolah di Kecamatan Gondang. Pengawas UN independen menemukan soal-soal UN dikerjakan guru. ”Kasus pada UN hari Selasa dan Rabu,” kata Zaenal Fanani, pengawas UN independen.(LUK/ACI)