Kisruh Migas Dan Keberpihakan Pemerintah

6
Kisruh Migas dan Keberpihakan Pemerintah Industri hulu migas tidak pernah lepas dari headline media nasional belakangan ini, mulai dari isu cost recovery, pengaturan blok migas yang akan berakhir, seperti: Blok Mahakam dan puncaknya pembubaran BPMIGAS berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi. Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai pelopor penggunaan Production Sharing Contract (PSC) yang dimulai pada awal tahun 60-an. Pada era yang sama di mancanegara, negara negara produsen minyak juga sedang mencari pola pengaturan fiskal dalam kontrak migas yang lebih berimbang bagi negara sebagai pemilik sumber daya alam, termasuk sebagian diantaranya melakukan nasionalisasi. PSC di Indonesia di adopsi dari sistem paron yang biasa dilakukan dalam penggarapan sawah, yang intinya berbagi hasil antara pemilik dan penggarap dengan porsi tertentu (misal: 50% - 50%). Di Negara Timur Tengah, negara produsen, tetap menggunakan mekanisme konsesi, namun ditambahkan hak partisipasi progresif dimana porsi bagian pemerintah (diwakili perusahaan minyak milik negara/ National oil Company/NOC) terus meningkat dengan berjalannya waktu. Bahkan akhirnya ada yang mencapai 100% seperti Saudi Aramco.

description

Kisruh pemerintah terhadap perusahaan migas sudah sering terangkat ke media hari' ini , seperti yg terjadi pada delta mahakam yg menjadi perhatian pemerintah dengan perushaan asal prancis Total E&P

Transcript of Kisruh Migas Dan Keberpihakan Pemerintah

Page 1: Kisruh Migas Dan Keberpihakan Pemerintah

Kisruh Migas dan Keberpihakan Pemerintah

Industri hulu migas tidak pernah lepas dari headline media nasional belakangan ini, mulai dari

isu cost recovery, pengaturan blok migas yang akan berakhir, seperti: Blok Mahakam dan

puncaknya pembubaran BPMIGAS berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi.

Latar Belakang

Indonesia dikenal sebagai pelopor penggunaan Production Sharing Contract (PSC) yang dimulai

pada awal tahun 60-an. Pada era yang sama di mancanegara, negara negara produsen minyak

juga sedang mencari pola pengaturan fiskal dalam kontrak migas yang lebih berimbang bagi

negara sebagai pemilik sumber daya alam, termasuk sebagian diantaranya melakukan

nasionalisasi.

PSC di Indonesia di adopsi dari sistem paron yang biasa dilakukan dalam penggarapan sawah,

yang intinya berbagi hasil antara  pemilik dan penggarap dengan porsi tertentu (misal: 50% -

50%).  Di Negara Timur Tengah, negara produsen, tetap menggunakan mekanisme konsesi,

namun ditambahkan hak partisipasi progresif dimana porsi bagian pemerintah (diwakili

perusahaan minyak milik negara/ National oil Company/NOC) terus meningkat dengan

berjalannya waktu. Bahkan akhirnya ada yang mencapai 100% seperti Saudi Aramco.

Peran NOC

Sekedar perbandingan, bagian NOC terhadap total produksi nasional untuk NOC dari negara

negara anggota OPEC, seperti: Aramco (Saudi Arabia),  NIOC (Iran), KOC (Kuwait), PDVSA

(Venezuela) dan QP (Qatar) mencapai lebih dari 90% produksi domestik. Sedangkan NOC dari

negara non-OPEC yang menguasai 90% produksi nasional, antara lain: Pemex (Meksiko) dan

Petrobras (Brazil). LNOC (Libya) dan Sonatrach (Aljazair) menguasai 80% produksi domestik.

Petronas (Malaysia), NNPC (Nigeria),  ADNOC (UAE) dan CNPC (China) menguasai lebih dari

separuh produksi nasional. Bahkan Sonangol (Angola) yang masih terhitung NOC yang muncul

belakangan, bagiannya dari total produksi nasionalnya sudah mencapai sekitar 40%. Sementara

Pertamina tidak lebih dari 25% produksi nasional.

Page 2: Kisruh Migas Dan Keberpihakan Pemerintah

Kalau kita melihat perspekstif sejarah, tampaknya visi dan keberpihakan negara terhadap NOC

dapat dikatakan  masih minimal. Partisipasi pemerintah melalui NOC pada PSC Indonesia hanya

berupa pilihan opsi untuk berpartisipasi sebesar 10%, dimana besaran tersebut tetap (tidak

progresif).

PSC secara konsep adalah ide yang brilian karena mengatur bagaimana negara dan investor

berbagi imbal hasil yang proporsional, sementara resiko sepenuhnya ditanggung investor.

Namun demikian, dari sisi peningkatan peran NOC, kelihatannya sejauh ini belum di

optimalkan. Rupanya kita masih terpaku pada sistem paron, yang secara tegas membedakan

mana pemilik dan mana penggarap, jangan jangan memang tidak pernah terpikirkan bahwa kelak

suatu saat (seharusnya) NOC sendirilah yang akan menjadi penggarap utama. Jadi kalau saat ini

kontribusi Pertamina masih dibawah 25%, tentu bukan suatu yang mengherankan.

Tata Kelola Migas

Terkait dengan hubungan antara tata kelola industri migas dan kinerja sektor hulu migas, Mark

Thurber  dan kawan kawan dari Universitas Stanford melakukan studi (2011) sejauh mana

pengaruh pemisahan tiga fungsi (kebijakan, regulasi dan komersial) terhadap kinerja produksi

migas di beberapa negara eksportir minyak. Negara yang dipilih sebagai sampel adalah: Aljazair,

Brazil, Meksiko, Nigeria dan Norwegia yang  mewakili negara yang memisahkan ketiga fungsi

tersebut. Sementara: Angola, Malaysia, Russia, Saudi Arabia dan Venezuela, mewakili negara

yang tidak melakukan pemisahan. Kesimpulan studi menunjukkan sedikit korelasi, dimana hanya

dua negara, yaitu: Norwegia dan Brazil yang secara meyakinkan menunjukkan bahwa pemisahan

tiga fungsi tersebut berkorelasi positif terhadap kinerja sektor hulu migas. Sebaliknya, Saudi

Arabia dan Malaysia, yang tidak memisahkan ketiga fungsi diatas, ternyata juga mempunyai

kinerja sektor hulu migas yang baik. Negara negara yang juga melakukan pemisahan ketiga

fungsi tersebut, seperti: Nigeria dan Aljazair sejauh ini dianggap kurang berhasil karena

pemisahan tersebut hanya formalitas dan banyak menghadapi tantangan internal. Sementara

Meksiko berpotensi untuk melakukan perbaikan kinerja sektor hulu,  namun efektivitas

pemisahan fungsi masih harus diuji mengingat fungsi regulasi (Komisi Hidrokarbon Nasional)

baru dibentuk pada tahun 2008. Perlu dicatat bahwa dari sepuluh negara yang dijadikan sampel

Page 3: Kisruh Migas Dan Keberpihakan Pemerintah

pada studi ini, semua NOC nya mempunyai  bagian yang sangat besar terhadap produksi minyak

domestik mereka.

Model tata kelola dari negara lain ini tentunya dapat dijadikan pembelajaran. Keinginan untuk

´´mensterilkan´´ Pemerintah dari kemungkinan tuntutan di arbitrase internasional ketika terjadi

sengketa bisnis dengan tidak terlibat langsung sebagai pihak yang berkontrak perlu dikaji dengan

seksama. Perkembangan belakangan menunjukkan bahwa model Business to Business (B 2 B)

tidak selalu menjamin bahwa Pemerintah bisa sama sekali steril. Hal ini dapat dilihat ketika

terjadi sengketa antara ExxonMobil vs. PDVSA untuk salah satu blok di Venezuela dimana

Pemerintah Venezuela juga dituntut oleh Exxon Mobil, padahal Pemerintah bukan pihak yang

berkontrak. Perkembangan sengketa migas internasional belakangan sebaiknya di observasi

sebagai bahan pertimbangan nantinya.

Gejala dan akar masalah

Salah satu penyebab maraknya berbagai isu migas ditanah air adalah kegagalan memahami

perbedaan antara gejala dan akar permasalahan. Ketika isu cost recovery muncul, banyak yang

serta merta menuding bahwa PSC adalah akar masalahnya sehingga harus dicari sistem atau

mekanisme baru. Padahal masalah cost recovery ini tidak terjadi di industri migas di negara lain.

Seandainya ada masalah mark-up dan semacamnya, yang tentu saja dapat terjadi pada model

kontrak migas selain PSC (konsesi dan service contract),  bukankah oknumnya yang harus

ditindak?. Kenapa memaksakan penggunaan mekanisme lain yang bisa jadi malah

mengakibatkan penurunan penerimaan bagian negara (Government Take)?.

Dalam satu kesempatan workshop dalam rangka pertukaran informasi dan pengalaman dengan

negara produsen migas terkait pelaksanaan kontrak migas di masing masing negara. Penulis

sempat mengangkat ramainya isu cost recovery di tanah air. Para pakar ekonomi migas dari

negara lain tersebut cukup heran, mereka mengatakan: ´´kami tidak ada masalah dengan cost

recovery, kalau ada indikasi penggelembungan biaya dan terbukti, tentu kami kirim ke penjara´´.

Sementara di tanah air, permasalahan ini dijawab dengan mencari cari model kontrak migas lain.

Siapa yang menjamin tidak akan terjadi masalah yang sama?. Rupanya kita lebih memilih

membakar lumbungnya ketimbang membunuh oknum tikusnya.

Page 4: Kisruh Migas Dan Keberpihakan Pemerintah

Kisruh migas nasional ini sebenarnya dapat dicegah seandainya keberpihakan pemerintah

terhadap NOC (dalam hal ini Pertamina) terus di prioritaskan dalam rangka meningkatkan bagian

produksi Pertamina terhadap produksi nasional. Ada beberapa keuntungan apabila Pertamina

mempunyai partisipasi signifkan dalam suatu blok migas, antara lain: adanya jaminan pasokan

energi untuk keperluan domestik dan isu cost recovery akan dapat diminimalkan. Disamping itu,

meningkatnya produksi dan cadangan Pertamina akan berpengaruh terhadap posisi tawar

menawar mereka di kancah bisnis hulu migas internasional. Adapun tantangan opsi ini yang

paling utama adalah masalah keperluan pendanaan yang tentunya tidak sedikit.

Selama ini kisruh cost recovery antara pihak pemerintah dan perusahaan migas internasional

lebih disebabkan oleh adanya informasi yang tidak berimbang (asymetric information) antara

“orang dalam” (perusahaan migas internasional) dan pemerintah sebagai “orang luar”. Dengan

terlibatnya NOC pada suatu blok sebagai mitra perusahaan asing, maka isu cost recovery

otomatis akan berkurang karena Pertamina sebagai kepanjangan tangan Pemerintah seyogyanya

ikut mengawasi penggunaan biaya dari dalam (internal) sehingga diharapkan tidak ada lagi

masalah “informasi yang tidak berimbang” tersebut. Mungkin hal ini pulalah yang menyebabkan

kenapa isu cost recovery hampir tidak terdengar di negara produsen minyak lain di mancanegara

yang juga menggunakan mekanisme PSC.

Semoga kisruh hulu migas nasional ini menjadi pembelajaran bersama dan sebagai bahan

intropeksi bagi semua pihak dalam rangka menuju pengelolaan industri hulu migas yang lebih

baik pada masa yang akan datang.

Posted by Benny Lubiantara at 11/18/2012