Kisah Bukit Kelam Sintang

download Kisah Bukit Kelam Sintang

of 2

Transcript of Kisah Bukit Kelam Sintang

Kisah Bukit Kelam Sintang

Asal-usul Kelam berada di hulu Kapuas, kejadiannya terjadi pada zaman sebelum Majapahit. Ketika itu ada seorang pemuda bernama Bujang Beji yang merasa pusing dengan suar-suara kapal yang hilir mudik di sungai setiap pagi hingga malam. Lalu ia berkata kepada bapaknya, Sebaiknya bukit ini (yang berada di Kapuas Hulu) saya potong, agar kapal-kapal itu tidak bisa lagi hilir mudik. Mendengar hal itu bapaknya hanya diam. Bujang Beji pun mengambil mandau kemudian memotong bukit menjadi dua bagian menggunakan mandaunya. Setelah selesai memotong bukit tersebut (sehingga saat ini disebut Bukit Setungul) Bujang Beji mencari akal untuk membawa potongan yang lain menuju muara Sungai Kapus (yang menjadi pertemuan tiga sungai, yaitu Sungai Kapuas, Sungai Melawi, dan Anak Sungai Kapuas) dengan tujuan menutupnya agar tidak bisa dilalui oleh kapal. Karena potongan bukit tersebut tidak bisa dibawa menggunakan tali, maka Bujang Beji mencari cara lain yaitu menggunakan tujuh helai daun ilalang kemudian menggendongnya dan berjalan membawa potongan tersebut. Belum sampai di tempat tujuan, ilalang yang digunakannya pun putuslah di sebuah rawa yang kini di diberi nama Kecamatan Kelam Permai (tempat Bukit Kelam Berada). Bujang Beji berusaha mencari alat lain untuk membawa potongan bukit tersebut namun tidak bisa menemukan apa-apa, akhirnya ia membuka sirat (pakaian yang dibuat dari kulit kayu kapuak) untuk dijadikan alat membawa potongan bukit, sehingga ia tidak mengenakan pakaian. Ketika ia sudah memasukkan potongan bukit ke dalam sirat datanglah tujuh kakak beradik batara (bidadari) menertawakannya sehingga potongan bukit itu tidak bisa diangkatnya. Melihat peristiwa itu maka marahlah Bujang Beji kepada para batara lalu ia memotong babi, ayam, dan lain-lain sebagai sesajen dan mengambil kayu terentang dengan menjadikannya tangga menuju ke langit untuk membunuh para batara. Setelah sesajen cukup kemudian ia menjampi-jampi kayu terentang dengan menyebut semua makhluk dan benda yang ada di bumi untuk menerima sesajen, kecuali sampok(rayap) dan angin karena ia lupa. Selesai menjampi-jampi maka naiklah Bujang Beji ke langit menggunakan tangga yang terbuat dari kayu terentang. Namun, ketika sudah hampir sampai ke langit, angin pun datang dan menumbangkan tangga tersebut sehingga Bujang Beji jatuh dan meninggal. Mayatnya di makan oleh beberapa suku, suku Jawa dan Melayu memakan hatinya sehingga konon mereka lebih berpendidikan dan lebih pintar, suku dayak memakan mulutnya sehingga menurut kepercayaan mereka terlampau berani mengikuti seluruh perkataan orang lain, dan sisa daging yang akan membusuk dilemparkan ke Hulu Kapuas (Kapuas Hulu, Putussibau) sehingga di sana terdapat banyak ikan dibandingkan dengan daerah-daerah lain.Oleh karena itu, Bukit Kelam berada di Kecamatan Kelam Permai saat ini karena Bujang Beji meninggal sebelum sampai pada niatnya membawa potongan bukit ke Muara Kapuas. Bukit Kelam konon menutup lubang laut sehingga daerah yang tadinya rawa sekarang tidak lagi menjadi rawa. Menurut orangtua begitu bukit ini ada, terdapat dua penunggu bukit. Penunggu Bukit Kelam yang berada di hulu yaitu penunggu Ukung, orang Dayak, dan di sebelah hilir Sunan Sulu, orang Jawa, orang Islam. Maka, jika melakukan panjat sarang sesaji yang diberikan di hulu adalah arak, babi, ayam, sedangkan di sebelah hilir diberi kopi, teh, kue, ayam, ikan.Induk dari Bukit Kelam menurut kisah para leluhur adalah Bukit setungul yang berada di Kapuas Hulu, Kabupaten Putussibau yang merupakan tunggul Bukit Kelam. Tinggi Bukit Setungul kurang lebih dengan tinggi Bukit Kelam. Di sekitar Bukit Kelam terdapat bukit Luwit yang merupakan tengkula (bagian atas kepala) Bukit Kelam akibat tamparan dari Bukit Bang ketika mereka berselisih memperebutkan Bukit Rentap, yaitu bukit yang berjenis kelamin perempuan.