KIMIA LINGKUNGAN TOKSISITAS

9
7.7 DOSIS – RESPON Sifat spesifik dan efek suatu paparan secara bersama-sama akan membentuk suatu hubungan yang lazim disebut sebagai hubungan dosis-respon. Hubungan dosis-respon tersebut merupakan konsep dasar dari toksikologi untuk mempelajari bahan toksik.Penggunaan hubungan dosis-respon dalam toksikologi harus memperhatikan beberapa asumsi dasar. Asumsi dasar tersebut adalah: Respon bergantung pada cara masuk bahan dan respon berhubungan dengan dosis. Adanya molekul atau reseptor pada tempat bersama bahan kimia berinteraksi dan menghasilkan suatu respon Respon yang dihasilkan dan tingkat respon berhubungan dengan kadar agen pada daerah yang reaktif Kadar pada tempat tersebut berhubungan dengan dosis yang masuk Dari asumsi tersebut dapat digambarkan suatu grafik atau kurva hubungan dosis-respon yang memberikan asumsi (1) respon merupakan fungsi kadar pada tempat tersebut (2) kadar pada tempat tersebut merupakan fungsi dari dosis (3) dosis dan respon merupakan hubungan kausal Pada kurva dosis-respon nampak informasi beberapa hubungan antara jumlah zat kimia sebagai dosis, organisme yang mendapat perlakuan dan setiap efek yang disebabkan oleh dosis tersebut. Toksikometrik merupakan istilah teknis untuk studi dosis-respon,

Transcript of KIMIA LINGKUNGAN TOKSISITAS

7.7 DOSIS – RESPON

Sifat spesifik dan efek suatu paparan secara bersama-sama akan membentuk suatu hubungan

yang lazim disebut sebagai hubungan dosis-respon. Hubungan dosis-respon tersebut merupakan

konsep dasar dari toksikologi untuk mempelajari bahan toksik.Penggunaan hubungan dosis-

respon dalam toksikologi harus memperhatikan beberapa asumsi dasar. Asumsi dasar tersebut

adalah:

• Respon bergantung pada cara masuk bahan dan respon berhubungan dengan dosis.

• Adanya molekul atau reseptor pada tempat bersama bahan kimia berinteraksi dan menghasilkan

suatu respon

• Respon yang dihasilkan dan tingkat respon berhubungan dengan kadar agen pada daerah yang

reaktif

• Kadar pada tempat tersebut berhubungan dengan dosis yang masuk

Dari asumsi tersebut dapat digambarkan suatu grafik atau kurva hubungan dosis-respon yang

memberikan asumsi

(1) respon merupakan fungsi kadar pada tempat tersebut

(2) kadar pada tempat tersebut merupakan fungsi dari dosis

(3) dosis dan respon merupakan hubungan kausal

Pada kurva dosis-respon nampak informasi beberapa hubungan antara jumlah zat kimia sebagai

dosis, organisme yang mendapat perlakuan dan setiap efek yang disebabkan oleh dosis tersebut.

Toksikometrik merupakan istilah teknis untuk studi dosis-respon, yang dimaksudkan untuk

mengkuantifikasi dosis-respon sebagai dasar ilmu toksikologi. Hasil akhir yang dihasilkan dari

jenis studi ini adalah nilai Lethal Dose50 (LD50) untuk zat kimia.

PRINSIP DOSIS-RESPON DALAM LINGKUNGAN

Dalam praktik sangat sulit untuk mengkuantifikasi dosis dan menentukan kapan saat

berhubungan dengan spesies bukan manusia, bahkan tidak mudah untuk menjelaskan efek suatu

zat toksik terhadp suatu makhluk hidup. Jika zat toksik terlepas ke dalam lingkungan, sulit untuk

dipastikan apakah hal tersebut telah mempengaruhi spesies tertentu.

Banyak proses lingkungan yang beraksi mengubah zat kimia menjadi senyawa lainnya. Senyawa

tersebut kemudian berperan menjadi zat kimia yang sebenarnya mempengaruhi lingkungan atau

organisme.

Hubungan dosis-respon sangat penting dalam terjadinya keracunan. Kerusakan pada bagian

organisme dapat dikontrol dengan cara diabsorpsinya toksikan oleh mikroorganisme, degradasi,

dan eliminasi toksikan. Semua organisme yang berada di sekitar bahan kimia alami maupun

buatan akan mengalami keracunan apabila terpapar secara berlebihan. Adalah penting

mengetahui posisi bahan kimia di udara, air, dan tanah.

7.9 BIOTRANSFORMASI TOKSIKAN

Biotransformasi mempunyai aspek ke-stereoselektif-an beberapa reaksi biokimia, dimana

salah satu isomer lebih cepat dimetabolisme dari isomer yang lain. Pada konsentrasi zat yang

meningkat, jumlah yang dimetabolisme per satuan waktu naik, sehingga tercapai konsentrasi

yang menyebabkan enzim yang berperan pada metabolisme menjadi jenuh. Peningkatan

konsentrasi substrat selanjutnya tidak lagi mengakibatkan peningkatan jumlah metabolit yang

dibentuk per satuan waktu. Namun pada umumnya konsentrasi substrat di dalam organisme tetap

berada di bawah konsentrasi pada kejenuhan sehingga jumlah metabolit yang dibentuk per satuan

waktu adalah sebanding dengan konsentrasi substrat.

Aspek selanjutnya adalah gejala induksi atau pengimbasan, dimana dengan adanya

substrat tertentu sering meningkatkan sistem enzim yang terlibat dalam metabolisme. Kapasitas

enzim yang meningkat dalam hal ini dilandasi oleh peningkatan sintesis enzim. Karena enzim

yang mengambil bagian dalam biotransformasi memetabolisme sejumlah besar zat, ada

kemungkinan bahwa biotransformasi dari suatu zat A mengganggu biotransformasi zat B.

Kemampuan pengimbasan enzim tidak terbatas hanya pada zat yang merupakan substrat untuk

sistem enzim ini, tetapi juga zat yang tidak dimetabolisme, terutama zat yang lipofil, yang

tinggal lama di dalam organisme. Induksi atau pengimbasan proses biotransformasi terutama

terjadi pada kombinasi zat.

Penyelidikan proses biokimia yang berperanan pada perubahan zat asing, dikenal sebagai

xenobiokimia, mutlak diperlukan untuk pemahaman manifestasi toksikologi. Hal-hal yang

berlangsung dalam hal ini, yaitu biotransformasi, dapat digolongkan menjadi:

Reaksi fase I (Reaksi penguraian), yaitu: pemutusan hidrolitik, oksidasi dan reduksi.

Umumnya reaksi fase I mengubah bahan yang masuk ke dalam sel menjadi lebih bersifat

hidrofilik (mudah larut dalam air) daripada bahan asalnya.

Reaksi fase II (Reaksi konjugasi), terdiri dari reaksi sintesis dan konjugasi. Oleh reaksi

konjugasi maka zat yang memiliki gugus polar (-OH, -NH2, -COOH), dikonjugasi

dengan pasangan reaksi yang berasal dari tubuh sendiri dan lazimnya diubah menjadi

bentuk yang larut dalam air, dan dapat diekskresikan dengan baik oleh ginjal. Reaksi fase

II ini merupakan proses biosintesis yang mengubah bahan asing atau metabolit dari fase I

membuat ikatan kovalen dengan molekul endogen menjadi konjugat.

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BIOTRANSFORMASI

Faktor Instrinsik

Faktor penting yang mengontrol jalannya reaksi enzymatik dari bahan asing adalah

konsentrasinya dalam pusat aktivitas dari enzym. Konsentrasi ini tergantung pada

Lipophilicity, Protein binding, Doses, dan Route administration. Lipophilicity penting

karena dapat mengatur banyaknya absorbsi dari xenobiotik dari jalan masuknya (kulit,

usus, paru). Bahan kimia yang bersifat lipofilik lebih mudah diabsorbsi dalam darah,

sedangkan bahan yang larut dalam air kurang cepat diserap.

Variabel Host

Beberapa kondisi fisiologik, farmakologik, dan faktor lingkungan yang mempengaruhi

proses biotranformasi xenobiotik, yaitu: spesies, strain, umur, sex, time of day, enzym

induksi, enzym penghambat, status gizi, dan status penyakit.

Induksi dari enzym biotranformasi

Proses induksi enzym adalah proses dimana terjadi peningkatan aktivitas yang

diakibatkan peningkatan kecepatan sintesis dari enzym biotransfomasi dan paparan bahan

kimia tertentu dapat juga menginduksi enzym tersebut.

a)      Inhibisi (penghambatan) enzym biotransformasi

Penghambat metabolisme xenobiotik adalah beberapa faktor yang didapat baik endogen

maupun eksogen yang menurunkan kemampuan enzym untuk melakukan proses

metabolisme bahan asing.

b)      Variasi spesies, strain dan genetik

Variasi biotransfomasi diantara spesies digolongkan menjadi perbedaan kualitatif dan

kuantitatif. Perbedaan kualitatif menyangkut rute metabolik yang diakibatkan oleh

kelainan dari spesies atau adanya reaksi ginjal dari spesies. Yang termasuk pada

perbedaan kualitatif adalah kelainan enzym pada spesies tertentu, reaksi spesies yang

unik, evalutionary, dan beberapa aspek genetik. Perbedaan kualitatif ini predominan pada

reaksi fase II. Sedangkan yang termasuk perbedaan kuantitatif adalah perbedaan

konsentrasi enzym, perbedaan isozym cytokrom P-450, perbedaan reaksi regio spesifik,

dan genetika. Perbedaan kuantitatif ini predominan pada reaksi fase I.

c)       Perbedaan sex pada biotransformasi

Perbedaan respon toksikologi dan farmakologi antara tikus betina dan jantan pernah

diteliti. Pada pemberian fenobarbital dengan dosis yang sama, tikus betina tidur lebih

lama daripada yang jantan.

d)      Efek umur pada biotransformasi

Fetus dan bayi baru lahir menunjukkan kemampuan yang terbatas untuk biotransformasi

xenobiotik sehingga kemungkinan terjadinya keracunan lebih meningkat pada binatang

percobaan yang lebih muda.

e)      Efek dari diet terhadap biotransformasi

Status nutrisi sangat penting dalam mempengaruhi biotranformasi, defisiensi mineral

misalnya Ca, CU, Fe, Mg dan Zn menurunkan reaksi oksidasi maupun reduksi dari

cytokrom P-450.

f)        Efek kelainan hepar (hepatic injury) terhadap biotranformasi

Karena hepar merupakan tempat utama dari biotransformasi xenobiotik maka penyakit

yang mempengaruhi fungsi normal dari hepar dapat pula mempengaruhi proses

biotransformasi. Begitu pula dengan bahan kimia yang menginduksi gangguan liver akan

menurunkan biotrnaformasi.

7.10 EFEK TOKSIKAN

Toksisitas merupakan ukuran relatif derajat racun antara satu bahan kimia terhadap bahan

kimia yang lainnya pada organisme yang sama. Kadar racun suatu zat dinyatakan sebagai Lethal

Dose-50 yakni dosis suatu zat yang dinyatakan dalam milligram bahan per kilogram berat badan.

Selain LD-50 juga dikenal dengan istilah LC-50 atau Lethal Concentration-50 yakni

kadar atau konsentrasi suatu zat yang dinyatakan dalam milligram bahan per meter kubik udara

(part per million ppm).

Toksisitas reproduktif didalamnya mencakup efek-efek yang merugikan fungsi seksual

dan fertilitas pria dan wanita sekaligus efek yang dapat mengganggu perkembangan normal baik

sebelum maupun sesudah kelahiran.

Akibat buruk yang mampu ditimbulkan oleh toksik tersebut antara lain kemandulan,

meningkatnya kematian janin, menurunkan  tingkat kesuburan, meningkatnya tingkat kematian

bayi dan juga meningkatnya angka cacat.

Efek buruk perkembangan pada organisme muncul akibat adanya pemaparan sebelum

pembuahan, selama kehamilan, atau dari lahir sampai saatnya maturasi seksual. Adanya

pemaparan zat kimia selama masa kehamilan bisa menyebabkan perkembangan defektif atau

menuju pada kecacatan.

Di waktu-waktu tertentu, janin yang sedang mengalami pertumbuhan dan berkembang

menjadi sangat sensitif terhadap adanya pemaparan zat kimia toksik. Misalnya saja, saat

perkembangan sistem organ atau perkembangan sel-sel jenis tertentu.

Efek buruk zat kimia semakin bertambah panjang dan kini semakin banyak saja indikasi

yang memperlihatkan ibu hamil, janin, bayi yang masih dalam kondisi menyusui serta anak kecil

termasuk dalam kelompok yang beresiko tinggi.

Zat kimia, baik yang organik maupun anorganik, secara umum lebih mudah diabsorbsi

oleh bayi daripada orang dewasa.  Pada bayi, biotransformasi pada zat kimia belum siap

dilakukan karena ginjalnya belum atau kurang bisa mengekskresikan zat kimia dibandingkan

dengan ginjal orang dewasa.

Dengan begitu, dosis yang sama dari zat kimia per unit berat badan kemungkinan besar

akan banyak berakumulasi dalam tubuh bayi dibandingkan pada tubuh anak atau orang dewasa

sehingga kemungkinan untuk mengalami efek toksik lebih besar.

Berikut merupakan efek toksik lingkungan dan juga efek buruknya terhadap sistem reproduksi:

Arsenik: Abortus yang spontan dan berat badan lahir rendah.

Benzene: Abortus spontan, berat badan lahir rendah, dan gangguan menstruasi.

Karbon disulfida: Adanya gangguan menstruasi dan efek buruk pada sperma.

Dikloroetilen: Penyakit jantung bawaan.

Dieldrin: Abortus spontan dan terjadinya kelahiran dini.

Aldrin: Abortus spontan dan persalinan dini. Merkuri: Abortus spontan, gangguan menstruasi, buta dan tuli, adanya keterbelakangan

mental, dan terjadinya kerusakan otak. Timbal: Lahir mati, abortus spontan, perkembangan terhambat, dan kerusakan otak. Trikloroetilen: Penyakit jantung bawaan. Hidrokarbon aromatik polisiklik: Penurunan kesuburan.