Kholil New

59
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mata adalah salah satu panca indra yang mempunyai peranan sangat penting dalam kehidupan sehari-hari karena kelainan pada mata akan menganggu aktivitas. Gangguan- gangguan tersebut dapat disebabkan oleh kelainan refraksi atau kelainan organis. Kelainan Refraksi adalah keadaan dimana bayangan tegas tidak terbentuk pada retina (macula lutea atau bintik kuning). Pada kelainan refraksi terjadi ketidak seimbangan system optic pada mata sehingga menghasilkan bayangan kabur. Sebagaimana yang telah di ketahui, ada beberapa jenis kelainan refraksi, yaitu rabun jauh (myopia), rabun dekat (hipermetropia), dan mata silinder (astigmatisme). Gangguan penglihatan dapat terjadi oleh beberapa macam sebab, antara lain karena Myopia. Berdasarkan konsep refraksi statis, myopia merupakan suatu keadaan dimana sinar – sinar sejajar yang memasuki bolamata dibiaskan oleh media refrakta di depan retina. Akibatnya, obyek yang letaknya jauh dari bolamata tidak akan nampak jelas dalam penglihatan penderita. (1)

description

haha

Transcript of Kholil New

Page 1: Kholil New

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Mata adalah salah satu panca indra yang mempunyai peranan sangat penting

dalam kehidupan sehari-hari karena kelainan pada mata akan menganggu aktivitas.

Gangguan-gangguan tersebut dapat disebabkan oleh kelainan refraksi atau kelainan

organis. Kelainan Refraksi adalah keadaan dimana bayangan tegas tidak terbentuk

pada retina (macula lutea atau bintik kuning). Pada kelainan refraksi terjadi ketidak

seimbangan system optic pada mata sehingga menghasilkan bayangan kabur.

Sebagaimana yang telah di ketahui, ada beberapa jenis kelainan refraksi, yaitu rabun

jauh (myopia), rabun dekat (hipermetropia), dan mata silinder (astigmatisme).

Gangguan penglihatan dapat terjadi oleh beberapa macam sebab, antara lain

karena Myopia. Berdasarkan konsep refraksi statis, myopia merupakan suatu keadaan

dimana sinar – sinar sejajar yang memasuki bolamata dibiaskan oleh media refrakta

di depan retina. Akibatnya, obyek yang letaknya jauh dari bolamata tidak akan

nampak jelas dalam penglihatan penderita.(1)

Sebenarnya banyak konsep yang ditawarkan dalam penaggulangan gangguan

penglihatan akibat myopia ini dan salah satu konsep paling sederhana adalah dengan

memberikan kacamata. Namun demikian tidak semua kacamata itu akan dapat

dipergunakan sebagai alat bantu penglihatan, kecuali ukuran lensanya sesuai dengan

besarnya derajat kelainan refraksi calon pemakainya.(2)

Koreksi visus monokuler, merupakan salah satu fase dalam pemeriksaan

refraksi subyektif. Tujuan yang hendak dicapai dalam penyelenggaraanya merupakan

suatu upaya untuk mencari ukuran lensa yang sesuai.(3) Karena keberhasilannya

sangat ditentukan oleh subyektifitas penderita dan ketrampilan pemeriksa, maka

sering kali menyita waktu yang cukup lama sehingga akan menimbulkan kejenuhan

bagi penderita dan memperpanjang Length of stay bagi pasien lainnya.

Page 2: Kholil New

Balai Kesehatan Indra Masyarakat (BKIM) Semarang sebagai penyelenggara

kesehatan Provinsi yang bertanggung jawab kepada Gubernur Jawa Tengah

merupakan salah satu rujukan gangguan penglihatan mata baik itu kelainan refraksi

maupun kelainan organik.

Dari uraian tersebut diatas didapatkan suatu persoalan yang perlu

mendapatkan pemecahan, yaitu mencari suatu alternative agar koreksi visus

monokuler itu dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Penulis menduga, ada

keterkaitan hubungan antara visus monokuler sebelum koreksi dengan besarnya

derajat kelainan refraksi. Jika dugaan ini benar, maka koreksi visus monokuler

terhadap penderita Myopia akan dapat diestimasi.

Untuk menguji kebenaran atas dugaan yang telah ditetapkan, penulis memilih

Balai Kesehatan Indra Masyarakat sebagai tempat penelitian karena merupakan

layanan kesehatan masyarakat milik Provinsi Jawa Tengah. Berkaitan dengan hal

tersebut, maka dalam penelitian ini penulis mengambil judul “Hubungan Faktor

Usia dengan Derajat Kelainan Refraksi Myopia di Balai Kesehatan Indra

Masyarakat Semarang”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang diketengahkan, penulis

menetapkan pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Adakah korelasi antara usia dengan derajat refraksi Myopia.

2. Dapat terjadi bahwa dalam faktor usia ada kaitannya dengan derajat kelainan

refraksi Myopia.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Tujuan umum yang hendak dicapaai dalam penyelenggaraannya,

merupakan suatu upaya untuk mengetahui korelasi antara usia dengan

Page 3: Kholil New

besarnya derajat kelainan refraksi pada penderita Myopia di Balai Kesehatan

Indra masyarakat Semarang.

2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus yang hendak dicapai dalam penyelenggaraannya,

merupakan suatu upaya untuk :

a. Mengetahui jumlah kunjungan penderita Myopia di Balai Kesehatan Indra

masyarakat Semarang

b. Mengetahui usia pada masing–masing mata penderita Myopia

c. Mengetahui besarnya derajat kelainan refraksi pada masing–msing mata

penderita Myopia

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi penderita Myopia

Memperpendek masa tunggu (Length of Stay) dalam proses

pemeriksaan refraksi subyektif.

2. Bagi Balai Kesehatan Indra Masyarakat

Sebagai bahan masukan bagi pengambil keputusan dalam menetapkan

penyebab dari faktor usia pada penderita Myopia

3. Bagi Stikes Hakli Semarang

Sebagai tambahan pustaka dan bahan bacaan yang berorientasi pada

epidemiologi klinik tentang Myopia

4. Bagi Penulis

Menambah pengetahuan dan wawasan dalam penanganan gangguan

penglihatan pada penderita Myopia

E. Ruang Lingkup

1. Ruang Lingkup Keilmuan

Landasan keilmuan dalam penelitian ini adalah epidemiologi, yang

diaplikasikan untuk kepentingan klinik, guna mengetahui keterkaitan

Page 4: Kholil New

hubungan antara usia dengan besarnya derajat kelainan refraksi pada

penderita myopia.

2. Waktu Penelitian

Penelitian akan dilaksanakan pada awal april – akhir mei 2009

3. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian bertempat di klinik mata, instansi rawat jalan, Balai

Kesehatan Indra masyarakat Semarang

Page 5: Kholil New

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Tentang Myopia

Pengertian tentang myopia dapat ditijau dari beberapa aspek, antara lain :

1. Aspek Terminologi

Berdasarkan konsep refraksi statis, myopia merupakan suatu kondisi dimana

sinar–sinar sejajar yang memasuki bolamata dibiaskan oleh media refrakta di

depan retina. (1)(4)

Konsep tersebut menggambarkan tentang salah satu bentuk abnormalitas

pembiasan cahaya di dalam bolamata. Pada mata normal (emmetropia), sinar

– sinar sejajar yang memasuki bolamata akan dibiaskan oleh media refrakta

tepat pada retina. Karena media refrakta tidak mampu membiaskan sinar –

sinar sejajar tepat pada retina, maka benda yang letaknya jauh dari bolamata

tidak akan nampak jelas dalam penglihatan penderita myopia. Berawal dari

sinilah muncul penertian lainnya, bahwa myopia identik rabun jauh.

2. Aspek Etimologi

Kata myopia dibangun dari hasil penggabungan dua buah kata dalam bahasa

Yunani : “Myein + Ops” yang artinya menutup mata atau menyipitkan mata.(5)

Galen (131-201 M) membangun kata myopia berdasarkan atas hasil

pengamatannya, bahwa pada saat melihat jauh penderita akan selalu berusaha

Page 6: Kholil New

menyipitkan mata. Karena dengan menyipitkan mata, maka benda yang dilihat

oleh penderita akan nampak sedikit lebih jelas dibandingkan sebelumnya.

Penjelasan secaraa ilmiah baaru muncul beberapa abad kemudian, hal itu

terjadi karena efek Pinhole, sehingga memunculkan Depth of Focus di dalam

bolamata penderita.(1)

3. Aspek Klinik

Penegakan diagnosa myopia pada penderita gangguan penglihatan, dibangun

dari keluhan utama penderita dan hasil koreksi visus monokuler terbaiknya.

Pada umumnya, keluhan utama penderita adalah gangguan penglihatan jauh

tanpa disertai gangguan penglihatan dekat. Hasil koreksi visus monokuler

menunjukkan: Visus sebelum koreksi # 6/6, dengan lensa spheris minus visus

dapat dikoreksi hingga mencapai standart normal (6/6).(2)(6)

B. Prevalensi dan Distribusi Myopia

Berdasarkan hasil survey kesehatan indra penglihatan tahun 1993–1999 di

Indonesia, angka prevalensi gangguan penglihatan akibat kelainan refraksi

(Myopia, Hypermetropia, Astigmat) mancapai 22,1%.(7) Hasil survey tersebut

tidak menjelaskan secara khusus tentang angka prevalensi myopia, dan

bagaimana distribusinya. Berkaitan dengan hal tersebut, penulis ingin

memberikan gambaran tentang prevalensi dan distribusi myopia dari hasil survey

yang telah dilakukan dibeberapa Negara.

1. Prevalensi Myopia

Angka prevalensi myopia dari hasil survey di beberapa Negara tahun 1989.(8)

Negara Prevalensi

China 70%

Page 7: Kholil New

USA 25%

UK 27%

Swedia 33%

India 22%

Jerman 13,8%

2. Distribusi Myopia

a. Hasil penelitian Crawford & Hammar (1949) terhadap penduduk

Hawaii menunjukkan, bahwa ras china paling banyak menderita myopia

(17%), selanjutnya disusul oleh Korea (13%), Jepang (12%), Spanyol

(9%), Portugal (7%) dan Philipina (6%).(1)

b. Berdasarkan Usia kandungan Bayi

Pada umumnya bayi yang dikandung 9 bulan, pada waktu lahir akan

memiliki mata dengan status refraksi hypermetropia. Namun tidak

demikian denagn bayi yang lahir prematur, karena hasil penelitian

Fletcher dan Brandon (1955), Goldschmidt (1969), Mohendra & Held

(1981) menunjukkan, bahwa 25% - 50% bayi yang lahir premature dengan

berat badan diatas 1.700 gram pada umumnya menderita myopia s/d 6

dioptri dan yang lahir sekitar 1.250 gram menderita myopia 10-12 dioptri.(2)(9)

c. Berdasarkan Jenis Kelamin dan Kelompok Umur

Penelitian di Amerika oleh Wilson dkk (1983) memberikan gambaran

sebagai berikut.(8)

Kelompok Umur Laki – laki Wanita

12 -17 th 21,7% 26,4%

Page 8: Kholil New

18 – 24 th 22,5% 32,5%

25 – 34 th 20,2% 27,8%

35 – 44 th 26,1% 23,2%

45 – 54 th 24,4% 25,1%

Data tersebut juga memberikan gambaran bahwa myopia lebih banyak

diderita oleh wanita daripada laki – laki.

C. Klasifikasi Myopia

Myopia dapaat diklasifikasikan dari berbagai sudut pandang, antara lain

berdasarkan nilai normalitas antara jarak fokus media refrakta dengan panjang

sumbu orbita, atau dapat pula diklasifikasikan menurut besarnya derajat kelainan

refraksi.

1. Berdasarkan Nilai Normalitas

Pada mata normal (emmetropia), jarak fokus media refrakta = panjang sumbu

orbita, orbita = 22,27 mm. namun tidak demikian pada mata myopia, karena

jarak fokus media refrakta lebih pendek dibandingkan panjang sumbu orbita.

Berdasarkan kondisi tersebut, maka myopia dapat diklasifikasikan sebagai

myopia axial dan myopia refraktif.(10)(11)

a. Myopia Axial

Myopia Axial merupakan suatu kondisi dimana jarak fokus media refrakta

= 22,27 mm (normal), sedangkan panjang sumbu orbita > 22,27 mm

(Abnormal)

b. Myopia Refraktif

Myopia refraktif merupakan suatu kondisi dimana jarak fokus media refrakta

< 22,27 mm (Abnormal), sedangkan sumbu orbita = 22,27 mm (normal).

2. Berdasarkan Besarnya Derajat Kelainan Refraksi

Untuk mengukur besarnya derajat kelainan refraksi dapat dilakukan dengan

metode pemeriksaan refraksi subyektif maupun obyektif. Namun demikian,

apapun metode yang digunakannya, hasil akhir dari pemeriksaan akan selalu

Page 9: Kholil New

dinyatakan dalam satuan dioptri. Berdasarkan hasil akhir inilah myopia dapat

diklasifikasikan sebagai myopia ringan, myopia sedang dan myopia tinggi.(12)

a. Myopia Ringan < 3 Dioptri

b. Myopia sedang 3 – 6 Dioptri

c. Myopia Tinggi > 6 Dioptri

D. Etiologi Myopia

Myopia dapat terjadi oleh beberapa factor penyebab, antara lain karena :

1. Kongenital

Sebagaimana hasil penelitian Fletcher dan Brandon (1955), Goldschmidt

(1969), Mohendra & held (1981) menunjukkan, bahwa 25% - 50% bayi yang

lahir premature menderita myopia.(2)(9)

2. Herediter

Myopia dapat terjadi karena diturunkan/warisan dari orang tua. Namun

demikian factor penyebab ini kurang begitu dominant, karena serangkaian

penelitian menunjukkan data sebagai berikut : Nikajima (1968) 0,71%, Young

et.al (1972) 0,46% dan Goss et al (1988) 0,87%.(2)

3. Terjadinya Perubahan Panjang Sumbu Orbita

Meskipun seseorang memiliki mata yang normal (emmetropia), namun bila

terlalu banyak membaca atau melihat obyek dekat lainnya, pada saatnya nanti

status refraksinya akan berubah menjadi myopia. Akumulasi peregangan

bolamata akan mengakibatkan semakin memanjangnya sumbu orbita.(2)

Menurut teori gravitasi dari Levinsohn (1925), karena saat membaca

kepalanya menunduk dan bolamatanya menggelantung, maka daya tarik bumi

akan mengakibatkan sumbu bolamata semakin memanjang.(1)

4. Terjadinya Perubahan Daya Bias Bolamata

Perubahan daya bias bolamata sering terjadi pada penderita diabetes.

Meskipun sedang tidak berakomodasi, namun lensa kristalin penderita

diabetes cenderung lebih cembung dibandingkan harga rata – rata normalnya.

Akibatnya, daya bias bolamata menjadi semakin meningkat, jarak fokus

Page 10: Kholil New

media refrakta menjadi semakin pendek sehingga terjadilah myopia.(12)

Peristiwa yang hamper sama juga terjadi pada penderita katarak imatura,

karena pada stadium tersebut terjadi hydrasi lensa sehingga lensa kristalin

menjadi lebih cembung dan mengakibatkan timbulnya myopisasi.(6)

E. Penanggulangan Myopia

Penanggulangan myopia dapat dilakukan dengan beberapa macam cara, antara

lain dengan :

1. Menggunakan Alat Bantu Penglihatan

Sebagaimana diketahui, myopia terjadi karena sinar-sinar sejajar yang

memasuki bolamata dibiaskan oleh media refrakta didepan retina. Salah satu

konsep paling sederhana dalam penanggulangannya adalah dengan

memanipulasi sinar-sinar sejajar yang memasuki bolamata agar dapat

dibiaskan tepat pada retina. Hal itu dapat dilakukan dengan menempatkan

lensa spheres minus di depan mata penderita, dalam bentuk :

a. Kacamata

Kacamata dapat dipergunakan sebagai alat penanggulangan gangguan

penglihatan bagi penderita myopia. Namun demikian ukuran lensanya

harus sesuai denga besarnya derajat kelainan refraksi bagi calon

pemakainya atau setidak-tidaknya mendekati sama.(14)

b. Lensa Kontak

Lensa kontak adalah lensa tipis yang diameternya sangat

bervariasi(kurang lebih sekitar 12mm) dan sesuai dengan fungsinya harus

diletakkan menempel pada kornea penderita. Seperti halnya dengan

kacamata, ukuran lensa kontak harus sesuai degan besarnya derajat

kelainan refraksi bagi calon pemakainya atau setidak-tidaknya mendekati

sama.(2)(4)

2. Operasi

Page 11: Kholil New

Konsep kedua ini merupakan langkah alternative bagi penderita myopia

refraktif, yang diakibatka oleh karena lengkung korneanya terlalu dalam (too

Curve). Untuk mengurangi kedalaman lengkung kornea dapat dilakukan

dengan beberapa teknik operasi, antara lain radial keratotomy dan excimer

laser photorefractive keratotomy (2)(10)(12)

a. Teknik operasi ini dilakukan denag membuat delapan sayatan

radial pada bidang perifer cornea dan dibiarkan sembuh sendiri agar

terbentuk sikatrik. Tujuan yang diharapkan, terbentuknya sikatrik kornea

akan membuat lengkungan kornea menjadi lebih datar. Efek optis yang

ditimbulkannya, daya bias menjadi semakin lemah dan jarak fokus media

refrakta akan menjadi semakin panjang.

b. Excimer laser photorefractive keratectomy

Teknik operasi ini dilakukan dengan memanfaatkan sinar laser untuk

mengurangi ketebalan jaringan stoma kornea sentral (optical zone).

Tujuan yang diharapkan, menipisnya jarinag kornea akan membuat

lengkung permukaan kornea menjadi lebih datar. Efek optis yang

ditimbulkannya, daya bias menjadi semakin lemah dan jarak fokus media

refrakta akan menjadi semakin panjang.

F. Pemeriksaan refraksi.

Pemeriksaan refraksi dibedakan menjadi dua, yaitu :

1. Pemeriksaan Obyektif

Adalah suatu proses pemeriksaan, dimana hasil akhirnya ditentukan oleh alat

atau sangat tergantung ketrampilan pemeriksa. Jadi, kerja sama antara pasien

dengan pemeriksa tidak diperlukan.

Alat yang dipergunakan adalah :

a. Keratometer, yaitu alat yang berfungsi untuk mengetahui kelengkungan

kornea dan basarnya dioptri.

Page 12: Kholil New

b. Streak Retinoscope, yaitu alat yang berfungsi untuk mengetahui besarnya

refraksi anomaly.

c. Autorefraktometer, yaitu alat yang berfungsi untuk mengetahui besarnya

kelainan refraksi secara otomatis.

d. Lensometer, yaitu alat yang berfungsi untuk mengetahui besarnya power

pada lensa.

2. Pemeriksaan Subyektif

Merupakan suatu metode pemeriksaan refraksi, dimana hasil akhirnya

ditentukan oleh kerjasama dengan komunikasi yang baik antara pemeriksa

dengan pasien. Untuk melakukan pemeriksaan subyektif perlu suatu ketelitian

dan kesabaran dari pemeriksa.

Peralatan yang dibutuhkan.

Dalam pemeriksaan refraksi subyektif, dibutuhkan seperangkat alat-alat yang

terdiri dari:

a) Optotype

Adalah obyek yang berupa angka-angka, huruf-huruf, serta gambar yang

digunakan untuk mengukur ketajaman penglihatan seseorang.

Gambar Optotype

Macam - macam optotype yang dipakai :

a. Optotype Snellen

Page 13: Kholil New

Berbentuk huruf yang terdiri atas huruf-huruf, angka-angka, atau

gambar-gambar yang tidak sama besarnya (makin ke bawah makin

kecil)

b. Optotype Landolt

Berbentuk seperti huruf “C” yang diputar balik. Yang harus

ditentukan pasien adalah arah manakah letak lubangnya.

c. Optotype E. Chart (Albini)

Berbentuk huruf “E” yang diputar balik. Pasien menentukan kemana

arah ketiga kakinya. Biasanya dipakai untuk orang yang buta huruf.

d. Optotype Straub

Optotype yang terdiri atas huruf-huruf / angka-angka yang

menggunakan jarak pengukuran 5m, sehingga notasi normalnya 5/5.

b) Trial lens set

seperangkat alat pemeriksaan mata yang terdiri dari lensa percobaan yang

dapat dipasangkan pada Trial frame, alat ini digunakan untuk mengetahui

kelainan refraksi.

Gambar Trial Lens Set

Trial lenset terdiri dari :

1. Lensa Spheris Convex (+)

Page 14: Kholil New

2. Lensa Spheris Concave (-)

3. Lensa Cylinder Convex (+)

4. Lensa Cylinder Concave (-)

5. Lensa Prisma

6. Pin Hole

Merupakan alat yang berupa piringan kecil dengan lubang ditengahnya

untuk mengetahui ada tidaknya kelainan refraksi dan kelainan organis.

Gambar Pin hole.

7. Ocluder

Merupakan alat yang berupa piringan, namun tidak ada lubangnya,

berfungsi untuk cover disk (penutup mata pada saat koreksi visus

monokuler)

Gambar Ocluder

8. Maddox Rod

Page 15: Kholil New

Merupakan alat untuk menguji ada tidaknya penyimpangan sumbu

penglihatan yang tersembunyi.

Gambar madox Rod.

c) PD meter

Merupakan alat untuk mengukur jarak pupil mata kanan dan kiri.

Gambar PD meter

d) Trial frame

Merupakan frame percobaan agar pada saat koreksi visus,Trial Lens dapat

diletakan di depan bola mata.

Page 16: Kholil New

Gambar Trial Frame

e) Reading Card

Merupakan huruf-huruf atau angka-angka yang digunakan untuk mengetahui

kemampuan membaca pasien pada jarak normal.

Gambar Reading Card

f) Bikromatik Unit

Merupakan alat untuk memprediksi status refraksi baik myopia maupun

hypermetropia, mengetahui over atau under correction dan memprekdisi ada

tidaknya presbyopia.

Page 17: Kholil New

Gambar bikromatik Unit

g) Lensometer

Merupakan alat untuk menentukan besar dioptri lensa, menentukan axis dan

OC lensa serta menentukan ukuran prisma lensa.

Gambar Lensometer

h) Flashlight

Berfungsi untuk menerangi bolamata bagian luar sehingga dapat dilihat

apakah mata mempunyai penyakit kelainan. Bagian-bagian yang perlu diamati

antara lain : palpebra, cornea, konjungtiva, iris, pupil, COA.

Gambar Flashlight

Page 18: Kholil New

PROSEDUR DAN TEKNIK PEMERIKSAAN REFRAKSI SUBYEKTIF.

1. Anamnesa

Merupakan metode pengumpulan data yang dilakukan dengan teknik

wawancara.

Anamnesa dilakukan untuk mengetahui :

a. Identitas penderita yang meliputi : nama, umur, jenis kelamin,

pekerjaan, dan alamat.

b. Keluhan utama yang meliputi : rasa, perasaan atau gejala subyektif

lainnya.

c. Riwayat penyakit yang meliputi : satuan waktu atau kapan dan sudah

berapa lama peristiwa itu terjadi.

d. Latar belakang masalah kesehatan lainnya yang meliputi : penyakit,

keadaan atau kelainan yang dapat mempengaruhi gangguan

penglihatan. Dalam kegiatan klinik, data yang diperoleh dari hasil

anamnesa difungsikan untuk menegakkan diagnosa.

2. Inspeksi dan observasi

Merupakan bagian dari pemeriksaan mata dasar untuk mengetahui apakah ada

kelainan pada : palpebra, cornea, conjungtiva, sclera, camera oculi anterior,

lensa kristalin, iris dan pupil.

a. Palpebra

Berfungsi sebagai alat pelindung bolamata, baik perlindungan dari trauma

cahaya maupun pengeringan permukaan depan bolamata (kornea). Dalam

Page 19: Kholil New

keadaan normal, palpebra akan dapat membuka dan menutup dengan

sempurna.

Dalam keadaan abnormal pada palpebra, banyak dijumpai :

1) Lagopthalmus

Suatu keadaan dimana palpebra tidak dapat menutup dengan

sempurna. Dikarenakan terjadi kelumpuhan pada otot lingkar palpebra

atau musculus orbecularis.

2) Ptosis

Suatu keadaan diamana palpebra tidak dapat membuka dengan

sempurna. Dikarenakan terjadi kelumpuhan pada musculus levator

palpebra.

3) Hordeolum

Merupakan benjolan pada palpebra.

Hordeolum ada dua, yaitu :

Hordeolum Externum

Yaitu benjolan pada palpebra yang nampak, nyeri tekan dan

bernanah.

Hordeolum Internum

Yaitu benjolan pada palpebra yang tidak nampak.

4) Chalazion

Page 20: Kholil New

Benjolan pada palpebra, keras dan tidak nyeri tekan, palpebra tampak

menonjol.

5) Kista Subcutis

Suatu benjolan tidak nyeri tekan.

6) Entropion

Margo palpebra dan bulu mata mengarah kedalam.

7) Ektropion

Margo palpebra dan bulu mata menjulur keluar.

8) Trikiasis

Pertumbuhan bulu mata kearah dalam.

b. Cornea

Dalam keadaan normal, kornea sangat jernih dan transparan. Sedangkan

dalam keadaan tidak normal, pada kornea akan dijumpai :

1) Sikatrik

Merupakan bekas luka atau jaringan parut yang terjadi pada kornea.

Menurut tebal tipisnya sikatrik dibedakan menjadi tiga:

Nebula (warna putih tipis seperti kabut)

Makula (warna putih agak tebal)

Leukoma (warna putih tebal)

2) Vaskularisasi / Neovaskularisasi

Timbulnya pembuluh darah di kornea.

3) Keratoconus

Page 21: Kholil New

Kornea yang menonjol seperti kerucut bila dilihat dari samping.

4) Microphtalmus

Ukuran kornea lebih kecil dibanding ukuran kornea normal.

5) Megalocornea

Ukuran kornea lebih lebar dibanding dengan ukuran kornea normal.

6) Arcus Senilis

Lingkaran putih di sekitar kornea.

c. Conjungtiva Bulbi

Merupakan jaringan lunak yang bening, transparan, dan avaskuler.

Adapun abnormalitas conjungtiva Bulbi :

Conjungtiva Injection

Merupakan pemekaran pembuluh darah arteri Conjungtiva yang

berhulu dari daerah perifer menuju kearah sentral.

Cilier Injection

Merupakan pemekaran pembuluh darah arteri pericorneal yang

berhulu dari daerah limbus kearah perifer.

Pterigium.

Merupakan proses proliferasi dengan vaskularisasi pada jaringan

konjungtiva yang berbentuk segitiga.

d. Conjungtiva Palpebra.

Merupakan jaringan tipis yang terdapat dipermukaan belakang kelopak

mata.

Abnormalitas Conjungtiva Palpebra :

Giant Papillary Conjungtiva

Terdapatnya bintil-bintil atau folikel pada Conjungtiva palpebra

akibat alergi lensa kontak.

Page 22: Kholil New

e. Sklera.

Terletak dibawah Conjungtiva dan berwarna putih.

Sklera dikatakan tidak normal bila terdapat warna merah di tepi yang

disebut Nodular Episcleritis.

f. Camera Oculi Anterior (COA).

Disebut juga bilik depan atau anterior Chamber. Dalam keadaan normal

COA terisi humor Aquoes yang bening dan transparan.

COA yang abnormal terdiri dari :

Hypopion

Merupakan cairan kuning (nanah) yang menggenangi COA bagian

bawah.

Hypema

Merupakan cairan merah (darah) yang menggenangi daerah COA

bawah.

COA dangkal

Jika jarak kornea dengan iris sangat pendek sering dijumpai pada

penderita Hypermetropia axial atau glukoma.

.COA dalam

Jika jarak kornea dengan iris agak jauh, sering dijumpai pada

penderita myopia axial.

g. Lensa Kristalin.

Dalam kondisi normal Lensa Kristalin bening, transparan dan avaskuler,

Jika Lensa Kristalin terdapat katarak , maka lensa kristalin akan nampak :

Keruh , jika katarak dalam tahap imatura,

Putih , jika katarak dalam tahap matura.

Page 23: Kholil New

h. Reflek Pupil

Dalam keadaan normal, bila mata disorot dengan flashlight maka pupil

akan mengecil dan jika flashlight dialihkan atau dipadamkan maka pupil

akan melebar kembali. Ini disebut dengan reflek pupil positif.

Reflek pupil abnormal:

1. Reflek pupil negative

Yaitu jika disorot lampu, pupil tidak bergerak.

2. Anisokoria

Yaitu lebar pupil kanan dan kiri tidak sama.

i. Kedudukan dan gerakan bolamata.

Kedudukan bolamata normal adalah kedudukan dari dua bolamata yang

dapat memberikan kemungkinan tercapainya penglihatan binokuler yang

tunggal.

Pengujiannya dilakukan dengan menutup salah satu mata, kemudian

penilaiannya dilakukan dengan memperhatikan ada tidaknya pergeseran

bolamata, saat tutup dibuka.

Prosedur pemeriksaan :

Langkah pertama :

a. Penderita dan pemeriksa dalam posisi konfrontasi (berhadap-

hadapan).

b. Penderita dianjurkan untuk melihat atau berfiksasi ke arah jari tangan

kanan pemeriksa dengan menggunakan kedua mata.

c. Pemeriksa menutup mata kanan penderita dengan telapak tangan

kirinya, mata kiri penderita dengan tangan kanannya.

Langkah kedua :

1. Pemeriksa membuka tangan kirinya dengan tiba-tiba.

Page 24: Kholil New

2. Pada saat yang sama pemeriksa juga melakukan pengamatan yang

sama, ada atau tidak adanya duksi (gerakan salah satu bola mata)

pada saat tutup dibuka.

Sistem evaluasinya :

a. Jika tidak terdapat duksi, berarti yang sedang dihadapi adalah

seorang orthoporia.

b. Bila terdapat duksi, berarti yang sedang dihadapi adalah penderita

Heterophoria.

Pergerakan bolamata dari :

Temporal ke arah sentral yaitu Exophoria

Nasal ke arah sentral yaitu Esophoria

Atas ke arah sentral ysitu Hyperphoria

Bawah ke arah sentral yaitu Hypophoria

Meridian 1800 ke arah meridian 900 yaitu Incyclophoria.

Meridian 900 ke arah meridian 1800 yaitu Execlophoria.

Hirsberg Test

Uji dilakukan pada penderita tropia (strabismus manifest), yaitu untuk

mengetahui besarnya penyimpangan sumbu penglihatan.

Prosedur pemeriksaan :

a. Penderita dan pemeriksa pada posisi berhadapan.

b. Penderita dianjurkan untuk melihat Flashlight, dimana cahayanya

diarahkan ke kening penderita.

c. Pada saat itu akan nampak titik refleksi pada kornea kanan dan kiri.

d. Dalam keadaan normal titik refleksi dengan limbus pada mata kanan

dan kiri adalah sama, tetapi tidak mata tropia karena akan nampak

perbedaan yang nyata.

Page 25: Kholil New

3. Mengukur kacamata lama pasien

Sebelum melakukan koreksi visus, perlu diketahui apakah penderita sudah

memiliki kacamata. Jika pasien sudah memiliki kacamata, maka perlu

diketahui berapa ukuran kacamatanya.

Untuk mengukur kacamata penderita, dapat menggunakan Lensometer.

Prosedur penggunaan Lensometer :

a. Nyalakan switch on-off pada posisi on.

b. Putar okuler berlawanan arah dengan jarum jam sampai protaktor

nampak kabur

c. Putar okuler searah jarum jam, sampai protektor nampak paling jelas.

d. Putar power kontrol, sampai mires nampak paling jelas (gambaran

mires dapat berwujud broken ring atau crosslenes).

e. Perhatikan power indikator, jika power indikator menunjukkan angka

nol, berarti lensometer siap digunakan.

f. Letakkan lensa yang akan diukur pada lens table dan kemudian

tekan lensa dengan lensa holder. Permukaan depan lensa atau

kacamata (front surface) menghadap pemeriksa.

g. Jika obyek terlihat tidak tajam seperti semula maka putar power

indikator supaya obyek terlihat jelas/tajam.

h. Baca skala pada power indikator yang menunjukkan besarnya ukuran

lensa tersebut.

4. Uji Bikromatik.

Untuk melakukan bikromatik unit, dibutuhkan suatu alat yang disebut

bikromatik unit.

Fungsi Bikromatik Unit yaitu:

1. Untuk memprediksi status refraksi.

2. Untuk memprediksi ada tidaknya over / under correction.

3. Untuk memprediksi ada tidaknya presbyopia.

Page 26: Kholil New

Prosedur Pemeriksaan :

1. Penderita duduk dengan posisi tegak, kepala menghadap lurus ke

bikromatik unit pada jarak 5 atau 6 meter.

2. Pasang Trial Frame.

3. Pasang ocluder pada mata kiri.

4. Tanyakan pada penderita, maka lebih jelas warna dasar merah atau

warna dasar hijau.

5. Jika penderita telah menjawab pertanyaan pemeriksa, pindahkan ocluder

pada mata yang satunya .

Sistem Evaluasi

Untuk memprediksi status refraksi :

1. Bila penderita menyatakan warna dasar merah lebih jelas, maka pasien

yang sedang dihadapi adalah Myopia.

2. Bila penderita menyatakan warna dasar hijau lebih jelas, maka pasien

yang sedang dihadapi adalah Hypermetropia.

3. Bila warna dasar hijau dan merah sama jelas, maka pasien yang sedang

dihadapi adalah Emetropia atau Hypermetropia Fakultatif.

Untuk memprediksi ada tidaknya over atau under correction :

Bagi penderita Myopia :

Jika penderita menyatakan bahwa lingkaran dengan warna dasar

merah lebih jelas maka dapat diartikan bahwa hasil koreksi

monokuler masih kurang (under correction).

Jika penderita menyatakan bahwa lingkaran dengan warna dasar

hijau nampak lebih jelas maka dapat diartikan bahwa hasil

koreksinya kelebihan (over correction).

Page 27: Kholil New

Jika penderita menyatakan bahwa kedua lingkaran nampak sama

jelas maka dapat diartikan bahwa hasil koreksi monokuler sangat

tepat.

Bagi penderita Hypermetropia :

Jika penderita menyatakan bahwa lingkaran dengan warna dasar

merah lebih jelas maka dapat diartikan bahwa hasil koreksi

monokuler kurang banyak (over correction).

Jika penderita menyatakan bahwa lingkaran dengan warna dasar

hijau lebih jelas maka dapat diartikan bahwa hasil koreksi monokuler

terlalu banyak (under correction).

Jika penderita menyatakan bahwa kedua lingkaran sama jelas maka

dapat diartikan bahwa hasil monokuler tepat.

5. Uji Visus

Visus berasal dari bahasa latin ”Visio” yang artinya tajam penglihatan, atau

dalam bahasa inggris dikenal sebagai Visual Acuity.

Herman Snellen membuat alat uji visus yang disebut sebagai Optotype.

Optotype dibuat dari sepotong papan dengan warna dasar putih dan diatas

permukaannya tertera huruf, angka, atau lambang – lambang lainnya.

Tehnik Uji Visus :

1. Anjurkan penderita membaca test obyek pada optotype, mulai huruf yang

paling besar sampai huruf terkecil (batas normal).

2. Jika penderita tidak mampu mengenal huruf yang paling besar pada

optotype, maka uji visus dilakukan dengan hitungan jari. Seseorang yang

berpenglihatan normal masih akan dapat melihat jumlah jari tangan orang

lain dari jarak 60 meter.

3. Jika penderita tidak mampu menghitung jari tangan pemeriksa dari jarak

0.50 meter, maka uji visus dilakukan dengan goyangan tangan. Seseorang

Page 28: Kholil New

yang berpenglihatan normal masih akan mengenali arah goyangan tangan

orang lain dari jarak 300 meter.

4. Bila penderita tidak mampu mengenali arah goyangan tangan pemeriksa,

maka uji visus dilakukan dengan flashlight. Seseorang yang

berpenglihatan normal masih akan mampu mengenali arah datangnya

cahaya dari jarak tak terhingga ( V = 1/~ Light Projection baik). Tetapi

jika penderita tidak mengenal arah datangnya cahaya maupun gelap

terangnya cahaya maka V = 0 (penderita buta).

6. Koreksi Visus Monokuler.

Setelah dilakukan uji visus, maka dilanjutkan dengan uji visus monokuler

dengan memasangkan Trial Lens pada mata yang dikoreksi dan mata yang

satunya ditutup dengan okluder. Lensa yang pertama kali diberikan yaitu

lensa spheres plus, dan dinetralkan dengan lensa spheris minus

Tehnik koreksi visus monokuler :

a. Penderita duduk menghadap optotype pada jarak 5 sampai 6 meter.

b. Pasang trail frame.

c. Tutup mata kiri penderita dengan ocluder.

d. Uji visus

e. Masukan lensa koreksi hingga mencapai visus terbaik.

f. Jika visus terbaik tidak mencapai standar normal, maka perlu uji pin

hole.

g. Selama dilakukan uji pin hole, jika uji pin hole tersebut dapat

meningkatkan visus secara kwantitatif, maka dapat diartikan bahwa

faktor penyebabnya Astigmatismus. Tetapi jika uji pin hole tidak dapat

meningkatkan visus secara kwantitatif, maka dapat diartikan faktor

penyebabnya kelainan organis.

h. Bagi penderita Myopia, berikan lensa minus terkecil dengan

mempertahankan visus terbaiknya.

Page 29: Kholil New

i. Bagi penderita Hypermetropia, berikan lensa plus terbesar dengan

mempertahankan visus terbaiknya.

j. Lakukan hal yang sama pada mata kiri.

Penyelenggaraan koreksi visus monokuler :

Visus Langkah pilihan

I II III

…/60 S+3.00 N S-3.00

6/40 S+2.00 N S-2.00

6/30 S+1.50 N S-1.50

6/20 S+1.25 N S-1.25

6/15 S+1.00 N S-1.00

6/10 S+0.75 N S-0.75

6/6 S+0.50 N S-0.50

7. Koreksi Visus Binokuler.

Tujuan koreksi visus binokuler adalah untuk mengetahui apakah ukuran

lensa yang diperoleh dari hasil koreksi visus monokuler itu cukup aman

untuk diresepkan.

Empat tahap untuk melakukan uji visus binokuler :

1. Alternating Cover Test (ACT).

Alternating Cover Test dilakukan untuk mengetahui apakah kwalitas

ketajaman mata kanan dan kiri sudah benar- benar sama.

Prosedur pemeriksaan :

a. Pasangkan Trial Frame dan lensa koreksi terbaik pada penderita.

Page 30: Kholil New

b. Anjurkan penderita melihat salah satu huruf pada optotype yang

berkode D=6

c. Anjurkan penderita untuk membandingkan ketajaman mata kanan

dan kiri, dengan cara menutup salah satu matanya secara bergantian.

d. Tanyakan pada penderita, mana yang lebih jelas antara mata kanan

dan kiri atau sudah sama jelas.

e. Jika penderita menyatakan sudah sama jelas, dapat didokumentasikan

sebagai Vision Balance (+).

f. Tetapi jika penderita menyatakan tajam penglihatan mata kanan dan

kiri belum sama jelas, didokumentasikan sebagai Vision Balance (-).

g. Ketentuan pada penderita myopia yang lebih terang dikurangi dengan

S+0.25.

h. Ketentuan pada penderita Hypermetropia yang lebih kabur ditambah

S+0.25.

Alternating Cover Test tidak dilakukan bila :

OD dan OS Emmetropia.

OD Emmetropia OS Refraksi Anomali atau sebaliknya.

Hasil akhir koreksi visus monokuler OD dan OS tidak sama

visusnya.

Status Refraksi mata penderita Antimetropia.

2. Duke Elder Test (DET).

Duke Elder Test dilakukan untuk mengetahui apakah masih ada

akomodasi konvergensi yang masih menumpangi.

Prosedur pemeriksaan :

a. Pasangkan Trial Frame dan lensa hasil koreksi terbaik pada

penderita.

b. Tambahkan S+0.25 pada kedua mata penderita secara bersamaan.

Page 31: Kholil New

c. Tanyakan pada penderita, tambah terang apa kabur dalam tajam

penglihatannya.

d. Jika penderita menyatakan penglihatannya tambah kabur, maka dapat

diartikan sebelum penambahan lensa tidak terjadi aktivitas

akomodasi konvergensi, sehingga didokumentasikan sebagai DET

(-).

e. Jika penderita menyatakan penglihatannya tambah terang, maka

dapat diartikan sebelum penambahan lensa tersebut ada aktivitas

akomodasi konvergensi, sehingga perlu penambahan dengan S+0.25.

f. Ketentuan Duke Elder Test, itu di lakukan secara berulang – ulang

sampai dinyatakan DET (-).

3. Distortion Test.

Distortion Test dilakukan untuk mengetahui besarnya adaptasi orientasi

ruang.

Tanda – tanda distorsia :

a. Melihat obyek nampak melengkung.

b. Melihat obyek nampak jauh / dekat.

c. Melihat obyek nampak miring.

Prosedur pemeriksaan :

1. Pasangkan Trial Frame dan lensa hasil koreksi terbaik pada penderita.

2. Minta penderita untuk berjalan melihat lantai atau melihat benda–

benda yang berada disekelilingnya.

3. Tanyakan pada penderita, apakah bergelombang atau tidak.

4. Jika penderita menyatakan lantainya tidak bergelombang, maka

didokumentasikan sebagai distorsia (-).

5. Jika penderita menyatakan lantainya bergelombang, maka ukuran

lensa dikurangi dengan 0,25 D untuk ukuran dibawah 3 D atau

dikurangi 0,50 untuk ukuran diatas 3 D.

Page 32: Kholil New

Cara mengatasi distorsia pada penderita Astigmatismus;

a. Kurangi dioptri cylindernya.

b. Berikan spheris Equavalennya.

c. Untuk cylinder axis miring, putar axis cylindernya menuju kearah

bidang meridian utama ( 90/180) derajat.

4. Reading Test.

Reading Test dilakukan pada semua usia yang sudah bisa membaca.

Tehniknya dengan menggunakan Reading Card.

Prosedur pemeriksaan :

a. Dengan menggunakan trial frame yang terpasang dan lensa koreksi

terbaik, penderita diminta memegang reading card pada jarak 30 cm.

b. Penderita dianjurkan untuk membaca kartu tersebut dari huruf-huruf

terbesar sampai huruf-huruf terkecil.

c. Jika penderita bisa membaca sampai bawah (J2), maka

didokumentasikan Reading Test (+).

d. Jika penderita tidak bisa membaca sampai bawah (J2), maka Reading

Test (-).

Tindakan pemeriksa jika Reading Test (-) :

Untuk penderita dengan indikasi Pseudomyopia, maka segera

lakukan rujukan pada dokter spesialis mata.

Untuk penderita presbyopia Precoks / Presbyopia, maka berikan

tambahan kacamata baca (ADD) yang ukurannya disesuaikan degan

jarak kerja dan usia.

Estimasi dalam pemberian Addition pada penderita dengan berbagai

tingkat usia :

Page 33: Kholil New

USIA ADDITIONAL

40

43

45

48

50

53

55

58

60 tahun ke atas

S + 1.00

S + 1.25

S + 1.50

S + 1.75

S + 2.00

S + 2.25

S + 2.50

S +2.75

S + 3.00

8. Uji Batang Maddox.

Setelah dilakukan koreksi visus binokuler dilanjutkan dengan uji batang

maddox. Uji Batang Maddox ini dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya

heterophoria 9juling tersembunyi). Pemeriksaan ini dilakukan dua kali yaitu

pada posisi vertical dan horizontal.

Prosedur pemeriksaan :

1. Jarak pemeriksaan 5 sampai 6 meter.

2. Kedua mata diberi lensa koreksi terbaik, tetapi lensa Addition dilepas

3. Maddox Rod di pasang pada satu mata (mata kanan), sedangkan mata

kiri tidak diberi madox.

4. Dengan menggunakan kedua mata, penderita disuruh melihat lampu.

5. Bila garisMaddox rod dipasang vertical, maka bayangan yang terlihat

melalui Maddox Rod berupa cahaya garis merah horizontal.

Page 34: Kholil New

6. Bila garis Maddox Rod dipasang horizontal, maka bayangan yang

terlihat melalui Maddox Rod berupa cahaya garis merah Vertikal.

9. Penetapan Status Refraksi.

Penetapan status refraksi, di peroleh dari hasil pemeriksaan refraksi setelah

melakukan pemeriksaan.

Penetapan status refraksi didasarkan pada lensa koreksi yang didapatkan

untuk masing – masing mata, misalnya ;

a. Jika hasil lensa koreksinya lensa spheris plus, maka penderita

merupakan Hypermetropia.

b. Jika hasil lensa koreksinya lensa spheris minus, maka penderita

merupakan Myopia.

c. Jika hasil lensa koreksinya lensa cylinder, maka penderita merupakan

Astigmatismus.

10. Penulisan Resep Kacamata.

Setelah selesai melukukan berbagai pemeriksaan dan status refraksi sudah

ditetapkan, maka selanjutnya yaitu penulisan resep kacamata.

OD OS

SPH CYL AXIS PRISMA BASE SPH CYL AXIS PRISMA BASE

Jauh - - - - - Jauh - - - - -

Dekat Dekat

PD Jauh = mm

PD Dekat = mm

Page 35: Kholil New

H. USIA

Umur atau usia adalah satuan waktu yang mengukur waktu keberadaan suatu benda

atau makhluk, baik yang hidup maupun yang mati. Semisal, umur manusia dikatakan

lima belas tahun diukur sejak dia lahir hingga waktu umur itu dihitung.

Jenis Perhitungan Usia

Usia kronologis

Usia kronologis adalah perhitungan usia yang dimulai dari saat kelahiran seseorang

sampai dengan waktu penghitungan usia.

Usia mental

Usia mental adalah perhitungan usia yang didapatkan dari taraf kemampuan mental

seseorang. Misalkan seorang anak secara kronologis berusia empat tahun akan tetapi

masih merangkak dan belum dapat berbicara dengan kalimat lengkap dan

menunjukkan kemampuan yang setara dengan anak berusia satu tahun, maka

dinyatakan bahwa usia mental anak tersebut adalah satu tahun.

Usia biologis

Usia biologis adalah perhitungan usia berdasarkan kematangan biologis yang dimiliki

oleh seseorang.

Page 36: Kholil New

I. Kerangka Teori

Myopia

Inspeksi / Observasi

Koreksi Visus

kacamata Lensa kontak Operasi

Kongenital Herediter Perubahan Daya Bias Bolamata

Perubahan Panjang Sumbu Orbita

Page 37: Kholil New

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Kerangka Konsep

B. Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah yang telah diketengahkan, penulis membangun

hipotesa kerja sebagai berikut :

1. Ada korelasi antara usia dengan besarnya derajat kelainan

refraksi pada penderita myopia.

2. Nilai rata-rata besarnya derajat kelainan refraksi pada

kelompok usia tidak akan menunjukkan gambar statistic yang sama pula.

C. Jenis Penelitian

Penelitian dilaksanakan dengan metode analitik observasional, sedangkan

rancangan penelitiannya menggunakan pendekatan cross sectional.

Variabel terikat

Besarnya derajat kelainan refraksi

KongenitalHerediter

Lingkungan KerjaKelainan Organis

Variabel Bebas

Variable sebelum koreksi

Page 38: Kholil New

D. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah 194, angka tersebut diambil dari jumlah

kunjungan rata – rata perbulan penderita myopia untuk tahun 2009 di Balai

Kesehatan Indra masyarakat Semarang.

2. Sampel

a. Jumlah Sampel

Dalam penelitian ini penulis menetapkan jumlah sample=jumlah total

populasi.

b. Kriteria Sampel

Dalam penelitian ini, criteria sample ditetapkan sebagai berikut :

- Usia penderita terentang dari 7 tahun s/d 60 tahun

- Masing – masing status refraksi mata penderita adalah myopia.

E. Jenis Dan Ukuran Variabel

1. Jenis Variabel

a. Variabel Bebas (Indepanden)

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah usia dari penderita Myopia.

b. Variabel terikat (Dependen)

Variable terikat dalam penelitian ini adalah besarnya derajat kelainan

refraksi yang dinyatakan oleh besarnya dioptri lensa koreksi.

2. Ukuran Variabel

a. Ukuran Variabel bebas

Dalam penelitian ini, usia antara 7 - 60 tahun, aneka pekerjaan

b. Ukuran Variabel Terikat

Dalam penelitian ini, ukuran variable terikat yang dipakai adalah dioptri.

Dengan skala interval.

Page 39: Kholil New

F. Definisi Operasional

Untuk menyamakan persepsi, maka perlu adanya definisi operasional

sebagaimana yang tercantum di bawah ini :

1. Yang dimaksud dengan usia adalah beraneka ragam usia dari para penderita

Myopia.

2. Yang dimaksud dengan besarnya derajat kelainan refraksi adalah tingkat

abnormalitasnya yang dinyatakan dalam satuan dioptri. Dalam hal ini

besarnya derajat kelainan refraksi = besarnya dioptri lensa koreksi.

G. Pengumpulan Data

1. Data primer diperoleh melelui hasil pengamatan di klinik mata, Instalasi Rawat

Jalan, Balai Kesehatan Indra masyarakat Semarang dan pengumpulan data

akan dimulai awal mei 2010 s/d akhir Mei 2010.

2. Data sekunder

Data sekunder diperoleh melalui buku registrasi penderita di Klinik mata,

Instalasi Rawat Jalan, Balai Kesehatan Indra masyarakat Semarang pada

bulan kujungan April 2010. Data sekunder ini dimaksudkan sebagai data

pendukung, seandainya data primer tidak memenuhi jumlah target yang

diharapkan oleh karena eklusi yang tidak sesuai dengan criteria.

H. Pengolahan dan Analisa Data

1. Pengolahan Data

Dalam penelitian ini pengolahan data dilaksanaakan dengan mekanisme

sebagai berikut :

a. Editing

Data yang terkumpul diteliti/diseleksi, apakah sudah sesuai dengan criteria

sample. Bila tidak sesuai dengan criteria telah ditetapkan, maka akan

dilakukan eksklusi.

b. Koding

Page 40: Kholil New

Memberikan kode pada data sesuai dengan masing – masing kelompok

variabelnya.

c. Tabulasing

Menyusun dan Mengelompokkan data dalam bentuk tabel.

2. Analisa Data

Data akan dianalisa dengan menggunakan Program SPSS for Windows Versi

11.5 dengan memenfaatkan sub program analisa :

a. Regresi Linear

b. Statistik Diekriptif : Mean (Nilai rata-rata)

c. Nilai perbedaan rata-rata : Uji T

Page 41: Kholil New

DAFTAR PUSTAKA

1. Boris, Irvin M, Clinical Refraction, Vol. I, Third Edition, The

Professional Press Inc, Chicago, 1975

2. Grosvenor, Theodore P & Goss, David A, Clinical

Management Of Myopia, Butterworth-Heinemann, Boston, 1999

3. Elliot, David B, Clinical Produres In Primary Eye Care,

Butterworth-Heinemann, Boston, 1997

4. Liesegang, Thomas J, et al, Optics, Refraction ang Contact

Lenses, American Academy Opthalmology, San Fransisco, 2001

5. Harjono Rima M, dkk, ed, Kamus Kedokteran Dorland, Alih

bahasa : Team Penterjemah EGC, Penerbit EGC, Jkarta,1996

6. Ilyas, Sidarta, Penuntun Ilmu Penyakit Mata, Edisi Ketiga,

Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2008

7. Menteri Kesehatan, Kepmenkes No.1473 Tentang Rencana

Strategi Nasional Penaggulangan Gangguan Panglihatan dan Kebutaan. Depkes

RI, Jakarta 2005

8. WWW.agingeye.net , Study Designs of Trial in the

Treatment of Myopia, Download jam 20.00, 21 Maret 2010

9. Grosvenor, Theodore P, Primary Care Optometry : A

Clinical Manual, The Professional Press Inc, Chicago, 1082

10. Rabbetts, Ronald B, Clinical Visual Optics, Third Edition,

Butterwotth-Heinemann, Boston, 1999

11. Michaels, David D, Visual Optics AAnd Refraction : A

Clinical Approach, The CV Mosby Company, St. Louis, 1975

12. Goss, David A, Optometric Clinical Practice Guideline

Care of the Patient With Myopia, American Optometry Association, St. Louis,

1997