Laporan Kinetika Elim New New Print.docx

62
1. HASIL PENGAMATAN 1.1. Tabel Pengamatan Kinetika Fermentasi Dalam Produk Minuman Vinegar Hasil pengamatan kinetika fermentasi dalam produk minuman vinegar dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil Pengamatan Kinetika Fermentasi Dalam Produk Minuman Vinegar Ke l. Perlakuan Wakt u Ʃ MO tiap petak Rata-rata/ Ʃ MO tiap petak Rata- rata/ Ʃ MO tiap cc OD pH Total Asam (mg/ml) 1 2 3 4 B1 Sari Apel + S. cereviceae N 0 5 6 8 8 6,75 2,7 x 10 7 0,2416 3,19 16,32 N 24 40 47 46 51 46,00 18,4 x 10 7 0,6733 3,14 15,36 N 48 43 42 46 50 45,25 18,1 x 10 7 1,0931 3,26 15,36 N 72 110 96 85 88 94,75 37,9 x 10 7 1,3922 3,34 13,44 N 96 14 28 34 23 24,75 9,9 x 10 7 0,5541 3,40 13,44 B2 Sari Apel + S. cereviceae N 0 20 17 15 9 15,25 16,1 x 10 7 0,2595 3,19 16,32 N 24 44 28 21 50 35,75 14,3 x 10 7 1,5154 3,15 16,32 1

Transcript of Laporan Kinetika Elim New New Print.docx

1. HASIL PENGAMATAN1.1. Tabel Pengamatan Kinetika Fermentasi Dalam Produk Minuman VinegarHasil pengamatan kinetika fermentasi dalam produk minuman vinegar dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil Pengamatan Kinetika Fermentasi Dalam Produk Minuman VinegarKel.PerlakuanWaktu MO tiap petakRata-rata/ MO tiap petakRata-rata/ MO tiap ccODpHTotal Asam (mg/ml)

1234

B1Sari Apel + S. cereviceaeN05688 6,75 2,7 x 1070,24163,1916,32

N244047465146,0018,4 x 1070,67333,1415,36

N484342465045,2518,1 x 1071,09313,2615,36

N7211096858894,7537,9 x 1071,39223,3413,44

N961428342324,75 9,9 x 1070,55413,4013,44

B2Sari Apel + S. cereviceaeN0201715915,2516,1 x 1070,25953,1916,32

N244428215035,7514,3 x 1071,51543,1516,32

N484046464644,5017,8 x 1071,14323,2716,32

N724046626553,2521,3 x 1071,41373,3114,40

N962932141723,00 9,2 x 1070,43123,3713,44

B3Sari Apel + S. cereviceaeN06324 3,75 1,5 x 1070,21803,1716,32

N246957565258,5023,4 x 1070,78143,1416,32

N483235464038,2515,3 x 1071,17463,2515,36

N7210191878591,0036,4 x 1071,42913,3114,01

N962633313531,2512,5 x 1070,33583,3513,44

2

1

B4Sari Apel + S. cereviceaeN07979 8,00 3,2 x 1070,21303,1916,32

N246160515356,2522,5 x 1070,98963,1616,32

N482833263129,5011,8 x 1071,21503,2516,32

N726567646765,7526,3 x 1071,64613,3114,40

N9610418 5,75 2,3 x 1070,42973,3614,40

B5Sari Apel + S. cereviceaeN081841611,50 4,6 x 1070,32583,1816,32

N245043514747,7519,1 x 1070,79773,1716,32

N485759585757,7523,1 x 1071,13733,2415,36

N726067707768,5027,4 x 1071,45243,2814,40

N968759718375,0030,0 x 1071,16593,3114,40

Pada Tabel 1, dapat dilihat bahwa jumlah sel yeast pada produk minuman vinegar untuk semua kelompok dari hari ke-0 menuju hari ke-1 mengalami peningkatan yang signifikan; kelompok B1 mengalami peningkatan jumlah sel yeast pada hari ke-2, relatif stabil di hari ke-3, mengalami peningkatan kembali di hari ke-4, dan mengalami penurunan dihari ke-5; untuk kelompok B2 jumlah sel yeast mengalami peningkatan signifikan di hari ke-1 kemudian mengalami peningkatan yang tidak terlalu signifikan hingga hari ke-4 dan mengalami penurunan di hari ke-5; untuk kelompok B3 dan B4 jumlah sel yeast yang dihasilkan tidak stabil, yaitu mengalamai peningkatan dan penurunan secara bergantian dari hari ke-0 hingga ke-5; sedangkan pada kelompok B5 jumlah sel yeast dari hari ke-0 sampai hari ke-5 mengalami peningkatan. Nilai optical dencity (OD) atau absorbansi kelompok B1, B3, B4, dan B5 dari hari ke-0 hingga ke-4 mengalami peningkatan kemudian di hari ke-5 mengalami penurunan; sedangkan kelompok B2 nilai absorbansi yang dihasilkan tidak stabil, yaitu mengalamai peningkatan dan penurunan secara bergantian dari hari ke-0 hingga ke-5. Nilai pH pada semua kelompok dari hari ke-0 menuju hari ke-1 mengalami penurunan kemudian mengalami peningkatan sampai hari ke-5. Total asam pada semua kelompok mengalami penurunan dengan bertambahnya hari.

1.2. Grafik Pengamatan Kinetika Fermentasi Dalam Produk Minuman Vinegar1.2.1. Grafik Hubungan OD dengan WaktuHasil pengamatan hubungan OD dengan waktu dapat dilihat pada Grafik 1.

Grafik 1. Hubungan OD dengan Waktu

Pada Grafik 1, dapat dilihat bahwa nilai OD kelompok B1, B3, B4, dan B5 dari hari ke-0 hingga ke-4 mengalami peningkatan kemudian di hari ke-5 mengalami penurunan; sedangkan kelompok B2 nilai absorbansi yang dihasilkan tidak stabil, yaitu mengalamai peningkatan dan penurunan secara bergantian dari hari ke-0 hingga ke-5.

1.2.2. Grafik Hubungan Jumlah Sel dengan WaktuHasil pengamatan hubungan jumlah sel dengan waktu dapat dilihat pada Grafik 2.

Grafik 2. Hubungan Jumlah Sel dengan Waktu

Pada Grafik 2, dapat dilihat bahwa jumlah sel pada produk minuman vinegar kelompok A1 mengalami peningkatan jumlah sel pada hari ke-2, relatif stabil di hari ke-3, mengalami peningkatan kembali di hari ke-4, dan mengalami penurunan dihari ke-5; untuk kelompok B2 dan B5 jumlah sel mengalami peningkatan dari hari ke-0 hingga hari ke-4 dan mengalami penurunan di hari ke-5; sedangkan untuk kelompok B3 dan B4 jumlah sel yang dihasilkan tidak stabil, yaitu mengalamai peningkatan dan penurunan secara bergantian dari hari ke-0 hingga ke-5.

1.2.3. Grafik Hubungan Jumlah Sel dengan ODHasil pengamatan hubungan jumlah sel dengan OD dapat dilihat pada Grafik 3.

Grafik 3. Hubungan Jumlah Sel dengan OD

Pada Grafik 3, dapat dilihat bahwa hubungan antara jumlah sel dengan nilai OD saling mempengaruhi, semakin banyak jumlah sel maka nilai OD semakin tinggi begitu pula sebaliknya; akan tetapi untuk hari ke-2 menuju hari ke-3 mengalami hasil yang berbeda, yaitu jumlah sel yang mengalami peningkatan tidak diikuti dengan peningkatan nilai OD begitu pula sebaliknya.

1.2.4. Grafik Hubungan Jumlah Sel dengan pHHasil pengamatan hubungan jumlah sel dengan pH dapat dilihat pada Grafik 4.

Grafik 4. Hubungan Jumlah Sel dengan pH

Pada Grafik 4, dapat dilihat bahwa hubungan antara jumlah koloni sel dengan pH tidak saling mempengaruhi. Semakin tinggi jumlah sel maka pH yang dihasilkan tidak tentu semakin tinggi ataupun semakin rendah.

1.2.5. Grafik Hubungan Jumlah Sel dengan Total AsamHasil pengamatan hubungan jumlah sel dengan total asam dapat dilihat pada grafik 5.

Grafik 5. Hubungan Jumlah Sel dengan Total Asam

Pada Grafik 5, dapat dilihat bahwa hubungan antara jumlah sel dengan total asam tidak saling mempengaruhi. Semakin tinggi jumlah sel maka pH yang dihasilkan tidak tentu semakin tinggi ataupun semakin rendah.

2. PEMBAHASAN

Praktikum ini dilakukan proses fermentasi yang merupakan sebuah proses metabolisme yang oleh mikroorganisme sehingga akan memperoleh energi dengan merombak gula saat proses fermentasi, dimana kebanyakan gula tersebut akan diubah menjadi glukosa dan fruktosa. Fermentasi yang dilakukan oleh mikroorganisme yang akan menghasilkan suatu zat atau produk akhir tersebut akan memberikan perubahan-perubahan pada bahan pangan yang akan difermentasikan, baik perubahan fisik maupun kimia pada bahan pangan (Hidayat et al dalam Susanto & Setyohadi, 2011). Tujuan proses fermentasi adalah untuk mendapatkan tekstur produk akhir, memperpanjang umur simpan bahan pangan, dan akan memberikan flavour serta aroma tertentu pada produk (Fellows, 1990). Adapun faktor-faktor yang akan mempengaruhi hasil proses fermentasi seperti jenis bahan pangan yang akan difermentasikan (substrat), jumlah dan jenis mikroorganisme yang digunakan dala proses fermentasi, serta proses metabolism dari miroorganisme itu sendiri (Winarno, et al., 1980).

Praktikum kali ini akan membahas tentang kinetika fermentasi dalam produk minuman vinegar. Menurut Sardjoko (1991) vinegar dapat terbuat dari sari buah pisang, apel, ceri, anggur, dan pir. Dalam praktikum ini akan dibuat vinegar yang berbahan dasar apel yang biasa disebut dengan cuka apel. Menurut Susanto & Setyohadi (2011) cuka apel merupakan cairan hasil fermentasi dari buah apel segar yang difermentasikan dengan yeast Saccharomyces cereviseae. Cuka apel memiliki manfaat untuk menambah cita rasa pada masakan dan mengempukkan daging (Asmala dalam Sina et al., 2008). Pembuatan cuka apel yang menggunakan bahan dasar buah apel yang merupakan buah tahunan yang memiliki ciri ciri seperti rasanya masam manis, warna hijau muda kemerahan, serta memiliki aromanya kuat. Menurut Winarno et al (1980) mengatakan bahwa buah apel adalah salah satu buah yang memiliki kandungan gula yang cukup tinggi sehingga buah ini cocok sebagai substrat dalam fermentasi.

Cuka apel dalam proses fermentasi memakai yeast Saccharomyces cerevisiae dikarenakan mampu memecah gula yang bersumber dari karbohidrat menjadi alkohol, gula pereduksi dan asam-asam organik (Susanto & Setyohadi, 2011). Inokulum Saccharomyces cerevisiae merupakan yeast uniseluler yang memiliki sifat non-patogen dan tidak beracun sehingga biasa digunakan dalam berbagai macam proses fermentasi seperti pada pembuatan roti, asam laktat, dan alkohol (termasuk vinegar) (Thontowi et al, 2007). Saccharomyces merupakan yeast sejati (true yeast) dengan bentuk bulat, oval, memanjang, dan berbentuk pseudomiselium. Yeast ini dapat hidup dalam kondisi aerob maupun anaerob. Pada kondisi anaerob, yeast berespirasi anaerob dimana glukosa dipecah menjadi CO2 dan ATP (Van Dikjen et al, 2000).

Faktor lain yang dapat mempengaruhi proses fermentasi vinegar adalah konsentrasi inokulum. Dalam pembuatan vinegar, konsentrasi inokulum yang dianjurkan adalah 10%. Jumlah inokulum yang dipakai harus seimbang dengan substrat yang digunakan supaya tidak terjadi penyimpangan yang dapat menyebabkan produk yang akan dihasilkan tidak maksimal (Whitacker dan Standbury, 1987). Menurut Khoirul (2004) juga menyatakan bahwa jumlah inokulum sebaiknya sebanding dengan jumlah substrat.

Cara kerja yang dilakukan dalam praktikum ini pertama-tama buah apel yang akan digunakan dalam pembuatan vinegar dicuci terlebih dahulu untuk menghilangkan kotoran dan kontaminasi yang ada pada kulit buah. Kemudian 1,5 L apel dihancurkan dengan menggunakan juicer. Proses penghancuran bertujuan agar kandungan gula dalam sari buah apel dapat keluar sehingga yeast dapat tumbuh. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ikhsan (1997) bahwa penghancuran dilakukan agar gula yang terkandung dalam apel dapat keluar. Ikhsan (1997) juga menambahkan kadar gula dalam proses fermentasi cuka apel memiliki peran yang sangat penting sebagai sumber karbon dalam proses metabolisme yeast. Lalu disaring dengan kain saring untuk memisahkan ampas dengan sari buah apel, kemudian masing-masing kelompok mengambil 250 ml hasil saringan. Proses penyaringan sari buah apel dapat dilihat pada Gambar 1. Dilanjutkan pemasukkan sari buah apel ke dalam botol kaca transparan dan ditutup dengan plastik + karet. Sari buah apel dalam botol dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 1. Proses Penyaringan Sari Buah Apel

Gambar 2. Sari Buah Apel Dalam Botol

Dilakukan sterilisasi menggunakan autoclave. Penggunaan autoclave untuk sterilisasi sehingga akan membunuh mikroba yang tidak diinginkan pada bahan atau alat yang akan digunakan. Hal ini sesuai dengan pernyataan menurut Fardiaz (1992) bahwa sterilisasi merupakan suatu proses untuk membunuh semua jasad renik atau mikroba yang ada, sehingga jika akan ditumbuhkan di dalam suatu medium maka diharapkan tidak ada lagi jasad renik atau mikroba yang dapat berkembang biak. Persiapan sterilisasi sari apel dalam autoclave dapat dilihat pada Gambar 3 dan alat autoclave untuk sterilisasi dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 3. Persiapan Sterilisasi Sari Apel Dalam Autoclave

Gambar 4. Alat Autoclave Untuk Sterilisasi

Selanjutnya dilakukan pendinginan menggunakan air. Proses pendinginan dilakukan hingga suam-suam kuku. Menurut Muljohardjo (1988) hal ini dilakukan agar yeast yang akan ditambahkan ke dalam sari buah apel tidak menyebabkan kematian karena akibat suhu yang tinggi sehingga mampu beraktivasi secara optimal. Proses pendinginan sari buah apel dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Proses Pendinginan Sari Buah Apel

Dilanjutkan dengan penambahan inokulum yeast 30 ml di dalam LAF yang dilakukan secara aseptis. Teknik aseptis yang dilakukan, yaitu tangan dan meja disemprot dengan alkohol, praktikan menggunakan masker, dan kegiatan dilakukan didekat api bunsen. Menurut Hadioetomo (1993) tujuan dilakukan proses aseptis untuk mencegah kontaminasi oleh mikroba yang ada di lingkungan maupun telapak tangan ke dalam media, alat, dan bahan yang digunakan, sehingga akan mendukung keberhasilan praktikum. Adapun penambahan inokulum yang diberikan dengan menggunakan yeast Saccharomyces cerevisiae. Hal ini sesuai dengan pernyataan menurut Susanto & Setyohadi (2011) cuka apel merupakan cairan hasil fermentasi dari buah apel segar yang difermentasikan dengan yeast Saccharomyces cereviseae. Proses penambahan inokulum ke dalam sari buah apel dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Proses Penambahan Inokulum Ke Dalam Sari Buah Apel

Kemudian diambil 25 ml ke dalam beaker glass untuk dilakuakan 4 tahap pengujian, yaitu:1. Menghitung jumlah sel dengan menggunakan Haeomocytometer.Haemocytometer merupakan alat untuk menghitung sel dengan ukuran sebesar sel darah merah sekita >104 sel/mm. Haemocytometer berupa ruang hitung yang berbentuk petak-petak kecil sehingga untuk melihatnya membutuhkan alat bantu mikroskop (Hadioetomo, 1993). Haemocytometer terdiri dari dua buah ruang hitung dengan kedalaman tertentu. Masing-masing ruangan tersebut terdiri dari petak-petak goresan pada permukaan kaca. Petak-petak haemocytometer berbentuk persegi dengan 4x4 kotak yang dibatasi dengan 3 garis yang berfungsi untuk menghitung jumlah sel dalam volume spesifik cairan pada sampel yang akan diukur (Chen & Chiang, 2011).

Cara kerja yang dilakukan sebelumnya kaca Haeomocytometer dan kaca penutup disemprot alkohol agar terciptanya kondisi yang aseptis. Pengujian dilakukan hanya membutuhkan beberapa tetes sampel (konsentrat buah apel + inokulum) yang diteteskan pada garis horizontal pada kaca Haeomocytometer dan kemudian ditutup dengan kaca penutup. Kemudian diletakkan pada meja mikroskop untuk diamati dan dihitung jumlah sel pada 4 kotak yang terlihat. Hasil jumlah sel masing-masing kelompok dicatat (hasil hari ke-0). Proses pengujian menggunakan Haeomocytometer dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Proses Pengujian Menggunakan Haeomocytometer

2. Pengukuran nilai OD (Optical Dencity) atau absorbansi menggunakan spektrofotometer.Pengukuran nilai absorbansi merupakan salah satu cara yang dilakukan untuk menentukan jumlah sel dalam larutan cuka apel dengan menggunakan metode Turbidimetri. Metode Turbidimetri ini merupakan suatu metode penentuan jumlah biomassa sel mikroba yang menggunakan tingkat kekeruhan pada suatu larutan sampel dan menganalisanya dengan bantuan alat yang disebut spektrofotometer. Prinsip kerja dari spektrofotomoeter, yaitu dengan menguraikan sinar yang masuk oleh sumber cahaya kemudian menjadi pita-pita panjang gelombang yang telah disesuaikan yang menunjukkan setiap gugus kromofor memiliki panjang gelombang maksimum yang berbeda-beda. Lalu akan diteruskan dan diserap oleh larutan sampel dalam cuvet yang mana jumlah cahaya yang akan diserap menghasilkan signal elektrik pada alat detector. Signal elektrik ini sebanding dengan cahaya yang akan diserap oleh larutan sampel tersebut. Besarnya signal elektrik yang akan dialirkan ke alat pencatat dapat dilihat berupa angka (Okorie, N et al., 2013).

Cara kerja yang dilakukan dari 25 ml konsentrat buah apel + inokulum diambil 3 ml dan dimasukkan ke dalam cuvet. Kemudian dilakukan pengukuran nilai absorbansi dengan menggunakan spektrofotometer. Hasil nilai absorbansi masing-masing kelompok dicatat (hasil hari ke-0). Pengukuran absorbansi Menggunakan alat spektrofotometer dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Pengukuran Absorbansi Menggunakan Alat Spektrofotometer

3. Penentuan total asam menggunakan metode titrasi.Tujuan metode titrasi yaitu penentuan senyawa dengan menggunakan pereaksi yang dikandung oleh suatu larutan pengukur secara kuantitatif. Indikator adalah suatu zat yang digunakan dalam penentuan titik akhir titrasi (TAT) dengan ditunjukkan adanya perubahan warna pada larutan sampel yang diukur (Braddy, 1999). Cara kerja yang dilakukan dengan mengambil 10 ml konsentrat buah apel + inokulum dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer. Lalu ditambahkan 2 tetes indikator PP (Phenolphtalein) sehingga warnanya berubah menjadi merah muda. Kemudian dilakukan penentuan total asam dengan menggunakan metode titrasi. Titik akhit titrasi (TAT) ditunjukan dengan perubahan warna menjadi kecoklatan. Metode tersebut telah sesuai dengan pernyataan menurut Kwartiningsih & Nuning (2005) bahwa uji kuantitatif asam asetat dilakukan dengan menggunakan metode alkalimeter dengan cara melakukan titrasi dengan larutan NaOH 0,1 N yang menggunakan indikator PP (Phenolphtalein). Indikator PP ini dapat bereaksi dengan basa yang akan membentuk warna merah muda (Sudarmadji et al., 1989). Nilai hasil total asam masing-masing kelompok dicatat (hasil hari ke-0). Warna titik akhir titrasi sampel dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Warna Titik Akhir Titrasi Sampel

4. Pengukutran pH dengan pH meter.Sisa konsentrat apel + inokulum dilakukan pengujian pH dengan menggunakan pH meter yang sebelumnya telah dilakukan kalibrasi. Hasil derat keasaman yang terbaca masing-masing kelompok dicatat (hasil hari ke-0). Prinsip pengukuran derajat keasaman dengan menggunakan pH meter adalah ketika pH meter dinyalahkan maka akan terdapat rantai tertutup, dimana besarnya kadar ion hidrogen dapat diketahui dari jarum pada alat penera (potensiometer). pH meter terdiri dari potensiometer yang tersusun atas dua buah elektroda (Suhardi, 1991). Pengukuran derajat keasaman menggunakan pH meter dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10. Pengukuran Derajat Keasaman Menggunakan pH Meter

Ke-4 pengujian di atas dilakukan sampai hari ke-5, dimana setiap harinya sampel diikubasi dan diletakkan di atas alat shaker. Tujuan dilakukan pengocokan disini untuk meningkatkan laju alir udara yang akan melancarkan transfer oksigen dan proses metabolisme yeast sehingga yeast Saccharomyces cereviceae akan tumbuh secara optimal (Winarno et al., 1980). Said (1987) juga mengatakan bahwa pengocokan berfungsi untuk menghomogenkan suspensi sel mikroorganisme dan media. Inkubasi dilakukan pada suhu ruang sekitar 25-30oC selama 5 hari.

Adapun tujuan dari proses inkubasi, yaitu untuk memberi waktu untuk pertumbuhan dan perkembangan dari sel yeast Saccharomyces cereviceae. Inkubasi ini dilakukan dalam kondisi tanpa udara (anaerob) yang merupakan kondisi penting karena adanya fermentasi alkohol yang hanya dapat berlangsung dalam kondisi tersebut (Gaman & Sherrington, 1994). Proses inkubasi dalam praktikum ini dilakukan pada suhu ruang. Hal ini sesuai dengan pernyataan menurut Fardiaz (1992) pada umumnya kisaran suhu optimum untuk pertumbuhan yeast, yaitu 250C - 300C. Hasil pengujian pada hari ke-1, 2, 3, 4, dan 4 (N0, N24, N48, N72, dan N96) dicatat dan dibandingkan pada masing-masing kelompok. Proses pengocokkan sampel menggunakan alat shaker dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11. Proses Pengocokkan Sampel Menggunakan Alat Shaker

Hasil pengamatan hubungan jumlah sel yeast dengan waktu inkubasi pada produk minuman vinegar untuk semua kelompok dari hari ke-0 menuju hari ke-1 mengalami peningkatan yang signifikan. Hubungan jumlah sel dan waktu inkubasi mengikuti fase pertumbuhan mikroorganisme yang dapat dilihat pada Gambar 12. Maka hasil yang didapat dikarenakan yeast telah memasuki fase adaptasi ketika ditambahkan ke dalam sari buah apel maka pada hari ke-1 jumlah sel yeast yang bertambah signifikan karena memasuki fase pembelahan yang signifikan. Hal ini sesuai dengan pernyataan menurut Fardiaz (1992) fase pertumbuhan mikroorganisme diawali dengan fase lag yang merupakan fase adaptasi awal. Kemudian memasuki fase log (eksponensial) yang merupakan fase mikroorganisme untuk membelah dengan cepat, fase ini disebut juga dengan fase logaritmik. Lalu dilanjutkan dengan fase stasioner dan terakhir fase kematian. Kurva pertumbuhan mikroorganisme dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar 12. Kurva Pertumbuhan Mikroorganisme

Jumlah sel yeast pada kelompok B2 mengalami peningkatan signifikan di hari ke-1 kemudian mengalami peningkatan yang tidak terlalu signifikan hingga hari ke-4 dan mengalami penurunan di hari ke-5. Hasil tersebut telah mengikuti kurva pertumbuhan mikroorganisme. Dimana dapat dijelaskan bahwa setalah fase log di hari ke-1 maka akan memasuki fase stasioner sampai hari ke-4, kemudian mengalami fase kematian menuju hari ke-5. Menurut Fardiaz (1992) fase pertumbuhan mikroorganisme diawali dengan fase lag yang merupakan fase adaptasi awal. Kemudian memasuki fase log (eksponensial) yang merupakan fase mikroorganisme untuk membelah dengan cepat, fase ini disebut juga dengan fase logaritmik. Lalu mikroorganisme akan mulai memasuki fase stasioner yang merupakan fase mikroorganisme yang berada dalam kondisi satabil, yaitu jumlah sel mikroba yang hidup hampir sama dengan jumlah sel mikroba yang mati. Selanjutnya akan memasuki fase kematian yang merupakan fase mikroorganisme yang akan mengalami penurunan drastis.

Pada kelompok B5 jumlah sel yeast dari hari ke-0 sampai hari ke-5 mengalami peningkatan. Hal ini dapat terjadi akibat fase stasioner berjalan lama akibat banyaknya kandungan nutrient pada apel yang membutuhkan watu yang lama untuk mikroorganisme memasuki fase kematian. Menurut Winarno et al (1980) buah apel adalah salah satu buah yang mengandung gula cukup tinggi sehingga cocok digunakan sebagai substrat dalam fermentasi vinegar oleh yeast Saccharomyces cereviceae. Susanto & Setyohadi (2011) menambahkan bahwa kandungan gula pada apel tersebut dalam pembuatan cuka apel akan digunakan oleh Saccharomyces cerevisiae akan dipecah menjadi alkohol, gula pereduksi dan asam-asam organik. Perbedaan banyaknya kandungan gula dalam apel yang digunakan akibat beberapa faktor. Menurut Susanto & Setyohadi (2011) kandungan komponen kimia pada apel dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti perbedaan varietas, cara pemeliharaan tanaman, tempat tumbuh, keadaan iklim, dan cara pemanenan, kematangan pada waktu panen, dan juga dapat karena kondisi penyimpanan setelah panen.

Sedangkan untuk kelompok B1 mengalami peningkatan jumlah sel yeast pada hari ke-2, relatif stabil di hari ke-3, mengalami peningkatan kembali di hari ke-4, dan mengalami penurunan dihari ke-5. Untuk kelompok B3 dan B4 jumlah sel yeast yang dihasilkan tidak stabil, yaitu mengalamai peningkatan dan penurunan secara bergantian dari hari ke-0 hingga ke-5. Hasil diatas dapat dikarenakan perbedaan dalam pertumbuhan yeast pada masing-masing kelompok. Noe et al (2009) mengatakan bahwa beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dari yeast antara lain suhu, pH, dan nutrient yang terkandung dalam substrat seperti kandungan gula yang digunakan oleh yeast. Adapun hasil di atas dapat terjadi karena keasalahan dalam pengamatan dan penghitungan julah sel yeast pada mikroskop pada Haemocytometer. Saat praktikum beberapa kelompok mengalami kesulitan untk mencari garis pembatas pada kotak, karena kurang jelas terlihat dan kurang jelasnya sel yeast yang difoto. Hal ini akan memungkinkan terjadinya kesalahan dalam proses penghitungan jumlah sel. Hal ini didukung oleh Fardiaz (1992) bahwa ketidakjelasan garis yang terlihat pada mikroskop akibat sampel yang terlalu pekat sehingga seharusnya diperlukan proses pengenceran terlebih dahulu.

Dari hasil semua kelompok kecuali B5 yang dari hari ke-4 menuju hari ke-5 mengalami penurunan jumlah sel yang signifikan yang telah dijelaskan sebelumnya karena memasuki telah memasuki fase kematian mikroorganisme. Hal ini dapat dikarenakan nutrient berupa gula yang digunakan oleh yeast telah habis dan dapat juga akibat terbentuknya alkohol yang mempengaruhi pertumbuhan yeast. Dimana menurut Thontowi et al (2007) laju pertumbuhan mikroorganisme akan mengalami penurunan ketika waktu fermentasi berjalan semakin lama. Penurunan laju pertumbuhan ini dapat disebabkan karena kandungan nutrient serti gula telah berkurang akibat telah dimanfaatkan oleh mikroorganisme untuk proses metabolismenya dalam pemecahan senyawa kompleks menjadi sederhana. Van Hoek (1998) juga menambahkan bahwa semakin banyaknya konversi gula menjadi produk alkohol yang dihasilkan dalam proses fermentasi maka akan mempengaruhi jumlah yeast semakin berkurang akibat senyawa alkohol yang akan menjadi toksik (racun) bagi yeast itu sendiri. Berikut hasil pengamatan jumlah sel menggunakan Haemocytometer pada hari ke-0 sampai hari ke-5 yang dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 13. Hasil Pengamatan Jumlah Sel Menggunakan Haemocytometer Pada Hari ke-0 Sampai Hari ke-5

Hasil pengamatan hubungan nilai optical dencity (OD) atau absorbansi dengan waktu inkubasi pada kelompok B1, B3, B4, dan B5 dari hari ke-0 hingga ke-4 mengalami peningkatan kemudian di hari ke-5 mengalami penurunan. Hal ini dapat terjadi karena hasil metabolit dari yeast yang terus meningkat sampai hari ke-4 yang menyebabkan cuka apel semakin keruh. Hal ini sesuai dengan pernyataan menurut Susanto & Setyohadi (2011) bahwa kandungan gula pada apel tersebut dalam pembuatan cuka apel akan digunakan oleh Saccharomyces cerevisiae akan dipecah menjadi alkohol, gula pereduksi dan asam-asam organik. komponen-komponen tersebut akan terukur sebagai total padatan terlarut. Semakin lama waktu fermentasi maka akan menghasilkan total padatan terlarut semakin banyak. Hal ini dikarenakan peningkatan total padatan yang terlarut akan menyebabkan peningkatan viskositas cuka apel. Akan tetapi dari hasil pada hari ke-5 mengalami penurunan OD yang disebabkan kandungan gula pada apel telah habis digunakan oleh yeast seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, sehingga total padatan terlarut akan menurun.

Sedangkan pada kelompok B2 nilai absorbansi yang dihasilkan tidak stabil. Dimana peningkatan dan penurunan secara bergantian dari hari ke-0 hingga ke-5. Hasil yang tidak sesuai dengan teori sebelumnya dapat dikarenakan kesalahan dalam penggunaan spektrofotometri, seperti teori menurut Pomeranz (1994), yaitu:1. Kuvet kotor atau tergores2. Penempatan kuvet yang tidak tepat3. Ukuran kuvet yang tidak seragam4. Kesalahan pembacaan panjang gelombang 5. Adanya gelembung udara dalam larutan6. Kesalahan dalam penyiapan larutan sampel.

Adapun peningkatan pada waktu fermentasi yang tidak sesuai dapat dikarenakan terjadinya polimerisasi saat inkubasi sehingga membentuk gumpalan kecil menjadi menyatu, seperti gumpalan gula (Sina et al., 2008). Adapun penurunan pada waktu fermentasi yang tidak sesuai dikarenakan yeast berkurang akibat terbentuknya senyawa alkohol yang signifikan dari pemecehan gula yang telah dijelaskan sebelumnya, peningkatan suhu ruang secara mendadak yang menyebabkan yeast mati, dan kurang pengocokan sehingga diambil sampel yang tidak homogen.

Hasil pengamatan hubungan antara jumlah sel dengan nilai OD saling mempengaruhi, semakin banyak jumlah sel maka nilai OD semakin tinggi begitu pula sebaliknya. Dapat diketahui bahwa nilai OD sangat berhubungan dengan jumlah sel yeast yang tumbuh selama fermentasi. Peningkatan jumlah sel yeast ini akan menyebabkan konsentrasi cuka apel semakin pekat sehingga akan menyebabkan peningkatan nilai absorbansi. Hal ini sesuai dengan pernyataan menurut Fardiaz (1992) bahwa semakin banyak jumlah sel yeast maka akan menghasilkan suatu suspensi semakin keruh yang menyebabkan nilai absorbansi akan semakin tinggi. Pengukuran jumlah yeast ini dilakukan dengan alat spektrofotometer dengan prinsip Hukum Lambert-Beer, yaitu rasio intensitas yang diteruskan (I) dengan intensitas cahaya mula-mula (I0) dihasilkan persen transmitansi (%T) yang hasilnya akan berbanding terbalik dengan nilai absorbansi (OD). Keenan (1992) juga menambahkan bahwa absorbansi akan berbanding lurus dengan konsentrasi yang artinya jika konsentrasi semakin tinggi maka absorbansi yang dihasilkan juga semakin tinggi. Begitupun sebaliknya jika konsentrasi semakin rendah maka absorbansi yang dihasilkan semakin rendah.

Akan tetapi untuk hasil hari ke-2 menuju hari ke-3 mengalami hasil yang berbeda, yaitu jumlah sel yang mengalami peningkatan tidak diikuti dengan peningkatan nilai OD begitu pula sebaliknya. Hasil nilai OD yang berkurang pada waktu fermentasi yang tidak sesuai telah dijelaskan sebelumnya dapat dikarenakan kandungan nutrient seperti gula telah habis dan dapat juga dikarenakan terbentuknya alkohol yang menurunkan jumlah yeast. Sedangkan hasil nilai OD yang berkurang pada waktu fermentasi yang tidak sesuai telah dijelaskan sebelumnya dapat dikarenakan kesalahan dalam penggunaan spektrofotometri, seperti teori yang diungkapkan Pomeranz (1994).Hasil pengamatan hubungan nilai pH dengan jumlah sel mikroba yang dihasilkan selama 5 hari proses fermentasi pada semua kelompok dari hari ke-0 menuju hari ke-1 mengalami penurunan kemudian mengalami peningkatan sampai hari ke-5. Untuk peningkatan pH dengan bertambahnya hari dikarenakan adanya pembentukan asam organik oleh yeast Saccharomyces cereviceae. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa dengan bertambahnya waktu inkubasi maka yeast yang akan tumbuh akan semakin banyak sampai fase akhir stasioner, maka pH yang dihasilkan semakin lama juga semakin banyak karena banyaknya asam organik yang dibentuk. Hal ini sesuai dengan pernyataan menurut Wignyanto dalam Susanto & Setyohadi (2011) bahwa perubahan pH menjadi asam dalam fermentasi dikarenakan aktivitasnya Saccharomyces cerevisiae selain mengubah gula-gula sederhana menjadi alkohol juga akan menggunakannya dalam proses metabolisme sel yeast dan pembentukan biomassa sel untuk menghasilkan asam organik seperti asam tartarat, asam sitrat, asam malat, asam butirat, asam asetat, dan asam propionat yang merupakan hasil samping. Maka dapat dilihat dengan penambahan Saccharomyces cerevisiae semakin banyak gula-gula yang diubah pada akhirnya menjadi asam organik. Desrosier dalam Sina et al (2008) juga menambahkan bahwa penurunan nilai pH pada cuka apel dikarenakan proses akumulasi asam asetat selama proses fermentasi asetat. Hal ini menyebabkan semakin rendah pH maka semakin tinggi asam asetat yang dihasilkan maka cuka apel semakin berasa asam. Asam ini akan memberikan rasa asam pada larutan sampel dengan melepas proton H+ yang menyebabkan penurunan derajat keasaman. Untuk hasil yang mengalami penurunan dari hari ke-0 menuju ke -1 lebih dikarenakan kesalahan dalam pengukuran pH yang tidak tepat. Karena sering kali dalam pengukuran derajat keasaman untuk menghasilkan angka yang konstat pada pH meter membutuhkan waktu yang lama, sehingga sering kali dilakukan penulisan angka pH yang belom konstat pada ph meter.

Dari hasil pH yang didapatkan dari pengujian dihasilkan pH