Khilafah Dan Imamah

17
Hubungan Internasional Dalam Islam “Khilafah dan Imamah” Disusun Oleh:

Transcript of Khilafah Dan Imamah

Page 1: Khilafah Dan Imamah

Hubungan Internasional Dalam Islam

“Khilafah dan Imamah”

Disusun Oleh:

Vina Bonita 2011130027

FISIP – Ilmu Politik

Universitas Muhammadiyah Jakarta

Page 2: Khilafah Dan Imamah

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Istilah Khilafah dan Imamah sebetulnya sinonim; maknanya adalah sistem pemerintahan

Islam. Namun, oleh segelintir orang, kedua istilah itu dianggap berbeda pengertiannya. Ulil

Abshar Abdalla, mantan Koordinator JIL (Jaringan Islam Liberal), misalnya, memandang ada

perbedaan antara Khilafah dan Imamah; begitu juga istilah turunannya seperti imam dan

khalifah. Ulil menyatakan, “Imam di sini adalah penguasa dalam pengertian umum.” Dalil-dalil

agama tentang wajibnya mengangkat imam, menurut Ulil, hanya menegaskan saja hukum sosial

yang sudah berlaku berabad-abad. Salah satu hukum sosial itu adalah bahwa setiap masyarakat

selalu akan mengangkat seorang pemimpin yang mengatur dan menyelenggarakan kepentingan

mereka. Pemimpin itu, kata Ulil, “Bisa kepala suku, lurah, camat, bupati, raja, sultan, khalifah,

presiden,CEO, manager, dan lain-lainnya.”

Walhasil bagi Ulil, Imamah itu berarti kepemimpinan yang bersifat umum. Adapun Khilafah

adalah kepemimpinan yang lebih khusus, yang kata Ulil, berdasarkan sejarah Islam bentuknya

adalah kerajaan. Khilafah seperti ini, menurut Ulil, hanyalah suatu kebetulan sejarah (historical

coincidence). Karena itu, sistem itu dapat diganti sesuai dengan asas rasionalitas yang, bagi Ulil,

adalah aplikasi doktrin Ahlus Sunnah bahwa penentuan imam bukanlah berdasarkan teks agama

(seperti pendapat golongan Syiah), melainkan berdasarkan ijtihad dan pilihan (ikhtiyâr). Ujung-

ujungnya, Ulil ingin menegaskan bahwa sistem republik (bukan kerajaan) saat ini yang

berdasarkan demokrasi adalah sudah final dan merupakan sistem paling ideal hingga saat ini. 

B. Identifikasi Masalah

a. Pengertian Khilafah dan Imamah

b. Perbedaan azasi

C. Tujuan Penulisan

Guna mengerti arti/makna dari Khilafah dan Imamah dan apa pembeda nya.

Page 3: Khilafah Dan Imamah

BAB II

POKOK PERMASALAHAN

Arti Imamah dan   Khilafah

Al-Imâmah secara literal (lughawi) berarti “kepemimpinan”. Al-Imâm berarti

“pemimpin”. Dalam terminologi Islam al-Imâmah bermakna “otoritas semesta dalam seluruh

urusan agama dan dunia, yang menggantikan peran Nabi Saw.[1] Al-Imâm berarti: “Seorang

(pria) yang – menggantikan Nabi – memiliki hak untuk memerintah secara mutlak dalam urusan

kaum muslimin baik dalam urusan dunia maupun akhirat.

Kata “seorang (pria)” menunjukkan bahwa seorang wanita tidak dapat menjadi seorang

imam. “Memerintah secara mutlak” tidak termasuk mereka yang memimpin salat – mereka juga

dipanggil imam – tapi  dalam konteks salat jamaah. Tetapi mereka tidak memiliki otoritas

mutlak. Dalam suksesi nabi, suksesi tersebut menunjukkan perbedaan antara seorang nabi dan

seorang imam. Imam menjalankan otoritas ini secara tidak langsung, melainkan menjalankan

tugas ini untuk menggantikan kedudukan Nabi.

Kata “khilafah” berarti “pergantian” dan “al-khalifah” bemakna “pengganti”. Dalam

terminologi Islam “al-khilafah” dan “al-khalifah” secara praktis menandakan arti yang sama

dengan “al-imamah” dan “al-imam“.

Adapun al-Wisayah berarti “pelaksanaan wasiat” dan “al-Wasi” bermakna “pelaksana

wasiat”. Secara signifikan maknanya sama dengan “al-khilafah” dan “al-khalifah“.

Menarik untuk diperhatikan bahwa banyak nabi-nabi sebelumnya juga khalifah dari nabi-nabi

pendahulunya, jadi mereka adalah nabi dan khalifah; sementara nabi-nabi yang lain (yang

membawa syari’at baru) bukan khalifah dari nabi-nabi sebelumnya. Dan diantara mereka ada

yang menjadi khalifah nabi-nabi tetapi bukan nabi.

Masalah imamah dan khilafah telah meretas – memecah – keutuhan kaum muslimin dan

mempengaruhi pola-pikir, falsafah dari kelompok yang berbeda yang telah sedemikian hebat

sehingga persamaan yang ada yakni tauhid, meyakini Allah (at-Tauhid) dan nabi (nubuwwah)

tidak lagi dapat diselamatkan dari pandangan-pandangan yang berbeda ini.

Inilah subjek yang menjadi perdebatan yang paling hebat dalam teologi (ilmu kalam)

Islam. Banyak kaum Muslim yang telah menulis ratusan kitab tentang masalah khilafah. 

Page 4: Khilafah Dan Imamah

Masalah yang ada dihadapan penulis, bukan apa yang harus ditulis; melainkan apa yang tidak

harus ditulis. Dalam karya kecil seperti ini – anda tidak dapat menyentuh seluruh ragam aspek

dari permasalahan ini – biarkan mereka mencarinya sampai detail ihwal topik-topik yang dibahas

di dalam buku ini. Buku ini hanya menyuguhkan sebuah garis besar dari ikhtilaf yang ada

diantara beberapa madzhab dalam Islam tentang masalah khilafah.

Mungkin dengan menyebutkan bahwa dalam Islam terbagi dalam dua madzhab yang

berbeda dalam menyikapi masalah ini, dapat membantu para pembaca dalam berurusan dengan

masalah ini. Madzhab Sunni meyakini bahwa Abu Bakar adalah khalifah pertama selepas Nabi

Saw. Madzhab Syiah meyakini bahwa ‘Ali bin Abi Tâlib merupakan Imam dan Khalifah setelah

wafatnya Nabi Saw.

Perbedaan azasi ini telah menuntun kepada perbedaan-perbedaan yang ada yang akan

dijelaskan pada bagian-bagian selanjutnya dari buku ini.

Perbedaan Azasi

Akan menghemat waktu, jika kita menjelaskan permulaan sebab azasi ikhtilaf ihwal

tabiat dan karakter imamah dan khalifah. Apakah karakteristik utama yang ada pada urusan

imamah? Apakah seorang imam, pertama dan utama, adalah seorang penguasa sebuah kerajaan?

Atau ia merupakan khalifahtullâh dan khalifaturasul?

Karena imamah dan khilafah diterima secara umum sebagai pengganti Nabi, pertanyaan-

pertanyaan tersebut tidak dapat dijawab hingga keputusan dibuat berdasarkan kepada karakter

asasi seorang nabi. Kita harus memutuskan apakah seorang nabi adalah penguasa sebuah

kerajaan atau merupakan wakil Tuhan di muka bumi.

Dalam sejarah Islam, kita temukan suatu kelompok yang bila ditinjau dari misi

kedatangan Nabi Saw, terlihat sebuah usaha yang ingin mendirikan sebuah kerajaan. Pandangan

mereka bersifat material, tidak maknawi; gagasan-gagasan mereka bertumpu pada pengumpulan

harta, kecantikan dan kekuasaan. Mereka – secara tabiat – menisbahkan motif-motif yang

mereka bangun kepada Nabi Saw.

Seperti pada kasus ‘Utbah bin Rabi’ah – bapak mertua Abu Sufyan – yang diutus untuk

menjumpai Nabi menyampaikan pesan suku Quraisy.

“Wahai Muhammad! Jika engkau menginginkan kekuasan dan wibawa, kami akan menjadikan

engkau sebagai maharaja di Makkah. Apakah engkau berhasrat menikah dengan putri 

Page 5: Khilafah Dan Imamah

bangsawan? Engkau dapat meminang putri tercantik di negeri ini. Apakah engkau ingin emas

dan perak? Kami dapat menyediakanmu segalanya bahkan lebih dari itu. Tapi engkau harus

meninggalkan dakwahmu yang menyerang kami dan menghina nenek-moyang kami yang

menyembah berhala.”

Suku Quraisy hampir pasti yakin bahwa Muhammad akan menanggapi tawaran yang

menggiurkan itu. Tapi Nabi Muhammad Saw membacakan sebuah ayat suci al-Qur’an sebagai

jawaban  beliau – berisikan ancaman – kepada suku Quraisy itu.“Jika mereka berpaling maka

katakanlah: “Aku telah memperingatkanmu dengan petir yang menimpa kaum Aad dan kaum

Tsamud.“ (Qs. Fussilat:13)

‘Utbah sangat emosional dengan ancaman yang nyata ini. Ia tidak menerima Islam, tapi

memberikan nasihat kepada kaum Quraisy supaya tidak mengganggu Muhammad dan melihat

bagaimana ia akan berjalan dengan suku-suku lainnya. Suku Quraisy mengklaim bahwa ‘Utbah

pun telah terpengaruh sihir Muhammad.[4]

Kemudian ia ingin menyerahkan urusan Muhammad kepada suku-suku lain. Di satu sisi,

ketika Nabi Saw hijrah ke Madinah dan suku Quraisy berperang satu sama lainnya, suku-suku

yang lain berpikir lebih baik meninggalkan Muhammad kepada sukunya sendiri. ‘Amr bin

Salamah, seorang sahabat Nabi berkata:

“Bangsa Arab menantikan suku Quraisy menerima Islam. Mereka berkata bahwa Muhammad

harus diserahkan kepada kaumnya sendiri. Jika ia muncul sebagai pemenang, tanpa ragu dia

adalah seorang Nabi yang hak. Ketika Mekkah ditaklukkan, seluruh suku-suku berlomba-lomba

untuk menerima Islam.”[5]

Oleh karena itu, dan menurut mereka, kemenangan adalah kriteria kebenaran! Jika

Muhammad Saw ditaklukkan, maka ia akan dipandang sebagai pendusta!!

Pandangan bahwa misi suci ini tidak lain kecuali sebuah urusan duniawi yang berulang kali

diumumkan oleh Abu Sufyan dan kaumnya (Bani Umayyah, -penj.).

Pada waktu kejatuhan Mekkah, Abu Sufyan meninggalkan Mekkah untuk menghindar dari

kekuatan pasukan muslim. Ia terlihat oleh Abbas – paman Nabi – yang membawanya ke hadapan

Nabi dan memberi nasihat kepada Nabi bahwa sebaiknya ia diberikan perlindungan dan

penghormatan, dengan harapan semoga ia dapat menerima Islam.

Untuk menyingkat cerita ini, al-’Abbâs membawa Abu Sufyan untuk melihat-lihat

lasykar Islam. Ia menunjukkan kepada Abu Sufyan orang-orang besar dari suku yang berlainan

Page 6: Khilafah Dan Imamah

dalam susunan pasukan Islam. Sementara itu, Nabi Saw melewati pasukannya yang berseragam

hijau. Abu Sufyan berteriak: “Wahai ‘Abbâs! Sesungguhnya kemenakanmu telah memperoleh

sebuah kerajaan!”. Al-’Abbâs berkata: “Celakalah engkau! Ini bukan kerajaan; ini adalah

kenabian.”[6]

Di sini, kita melihat dua pandangan yang saling berseberangan. Pandangan Abu Sufyan

tidak berubah. Ketika ‘Utsman menjadi khalifah, Abu Sufyan datang kepadanya dan memberi

nasihat, “Wahai putra Umayyah! Kini kerajaan ini telah datang padamu, mainkanlah ia

sebagaimana anak kecil bermain bola dan serahkanlah secara turun- temurun kepada sanak

keluargamu. Ini adalah hakikat kebenaran; kita tidak tahu apakah surga dan neraka ada atau

tidak.”[7]

Lalu, ia pergi ke Uhud dan menendang kuburan Hamzah (paman Nabi), dan berkata: ” Wahai

Abu Ya’la! Lihatlah kerajaan yang engkau berperang atasnya akhirnya telah datang kepada

kami.”[8]

Pandangan yang sama diwarisi oleh cucunya yang berkata: Bani Hasyim telah bermain

dengan kerajaan; namun akhirnya kini tidak ada kabar, juga tidak ada wahyu yang turun sama

sekali.”[9]

Jika pandangan seperti ini dianut oleh kaum muslimin, niscaya ia menyamakan imamah dengan

penguasa. Sesuai dengan pemikiran semacam ini, fungsi utama Nabi adalah sebagai penguasa

kerajaan, Oleh karena itu, siapa saja yang mengendalikan kekuasaan adalah pengganti sah Nabi

Saw.

Tapi masalah yang mengedepan kemudian adalah lebih dari sembilan puluh persen nabi-

nabi yang diutus tidak memiliki kekuasaan politik; dan kebanyakan mereka menjadi tumbal atau

korban kekuasaan-kekuasaan politik pada masanya. Kejayaan mereka tidak terletak pada takhta

dan mahkota, namun pada syahadah dan pengorbanan. Jika karakteristik utama kenabian adalah

kekuasaan politik dan penguasaan, maka barangkali – bahkan – tidak ada 50  (dari 124.000)

nabi-nabi yang diutus akan bertahan dengan gelar Ilahi mereka sebagai  nabi.

Jadi, sangat jelas bahwa karakteristik utama Nabi Saw tidaklah pada kekuasaan politik,

tapi pada khalifatullah, dan bahwa perwakilan ini tidak dianugerahkan kepadanya oleh orang-

orang; namun perwakilan ini dianugerahkan oleh Allah Swt sendiri.

Demikian juga, pengganti Nabi, karakteristik utamanya juga tidak pada kekuasaan politik;

melainkan pada kenyataan bahwa ia adalah wakil Allah Swt, dan perwakilan ini tidak akan

Page 7: Khilafah Dan Imamah

pernah dianugerahkan oleh manusia, perwakilan ini niscaya dan mesti dari Allah Swt sendiri.

Singkatnya, jika seorang imam adalah wakil Allah Swt, maka yang mengangkatnya sebagai

wakil juga haruslah Allah Swt.

Sistem Kepemimpinan Dalam Islam

Pernah suatu waktu, sistem pemerintahan monarki adalah satu-satunya sistem

pemerintahan yang dikenal oleh manusia. Pada saat yang bersamaan, ulama-ulama muslim

mengagungkan sistem monarki dengan berkata: “Raja adalah bayangan Tuhan,” seakan-akan

Tuhan memiliki bayangan! Kini di abad kiwari, demokrasi sedang digemari dan ulama-ulama

Sunni tanpa mengenal lelah menegaskannya dalam artikel-artikel, buku-buku dan risalah-risalah

mereka, bahwa sistem pemerintahan Islam berdasarkan sistem pemerintahan demokrasi. Mereka

bahkan terlalu cepat mengklaim bahwa demokrasi didirikan oleh Islam, dengan melupakan kota

republik Yunani. Pada babak kedua dari abad ini, sosialisme dan komunisme telah mendapatkan

perhatian khusus oleh negara-negara yang sedang berkembang atau pun yang sudah berkembang;

dan saya tidak terkejut mendengar bahwa banyak cendekiawan muslim menegaskan bahwa Islam

mengajarkan dan menciptakan sosialisme. Beberapa orang di Pakistan dan di beberapa tempat

yang lain, telah menciptakan slogan “Sosialisme Islam”. Apa maksud dari “Sosialisme Islam”

ini, saya tidak tahu. Tapi saya tidak akan terkejut jika dalam sepuluh atau dua puluh tahun ke

depan orang-orang seperti ini akan memulai mengklaim bahwa Islam juga mengajarkan

komunisme.

Seluruh kecenderungan “berubah bersama angin” ini sedang membuat sebuah lelucon

dari kepemimpinan Islam. Beberapa waktu yang lalu dalam sebuah majelis kaum muslimin di

sebuah negara di Afrika, seorang pemimpin muslim menyebutkan bahwa Islam mengajarkan:

Taati Allah, taati Rasulnya dan penguasa di antara kalian”. Dalam jawabannya, seorang presiden

(yang kebetulan adalah seorang penganut Katolik Roma yang setia) berkata bahwa ia  sangat

menghargai hikmah dari perintah untuk mentaati Allah dan Rasul-Nya; tapi ia tidak dapat

mengerti logika dibalik perintah itu mentaati penguasa kalian ini.

Bagaimana jika seorang penguasa itu tidak adil dan seorang tiran? Apakah Islam

memerintahkan kaum muslimin untuk mentaatinya secara membabi-buta tanpa sedikit pun

perlawanan.

Page 8: Khilafah Dan Imamah

Pertanyaan yang rasional menuntut jawaban yang rasional pula. Hal ini tidak dapat dipandang

remeh. Kenyataan bahwa orang yang mengundang kritikan pedas, melakukan hal itu karena

kekeliruan dalam menafsirkan al-Qur’an.

Mari kita uji sistem kepemimpinan dalam Islam. Apakah ia berwarna demokratis?

Definisi terbaik demokrasi diberikan oleh Abraham Lincoln (Presiden Amerika yang ke-16,

1861-1865) ketika ia berkata bahwa demokrasi adalah “Pemerintahan rakyat, oleh rakyat dan

untuk rakyat”.

Akan tetapi dalam Islam, bukanlah pemerintahan dari rakyat, namun pemerintahan dari

Allah Swt. Bagaimana manusia dapat memerintah diri mereka sendiri? Mereka memerintah diri

mereka sendiri dengan membuat aturan-aturan sendiri; dalam Islam, hukum tidak dibuat oleh

manusia, tapi oleh Allah Swt; hukum ini diajarkan tidak berdasarkan kesepakatan dan keputusan

manusia, tapi oleh Nabi Saw sesuai dengan perintah dari Allah Swt. Manusia tidak memilki

suara dalam legislasi; mereka diminta untuk mengikuti segala ketentuan yang dibuat oleh Allah

Swt, tanpa ada komentar atau usulan tentang hukum-hukum ini dan legislasi.

Sampai pada frase “oleh rakyat”,  mari kita timbang bagaimana manusia memerintah diri

mereka sendiri. Mereka melakukannya dengan memilih penguasa mereka sendiri. Nabi Saw

merupakan orang yang memangku badan eksekutif, hukum dan seluruh otoritas dalam

pemerintahan Islam, dan beliau tidak dipilih oleh manusia. Dalam kenyataannya, jika penduduk

Mekkah dibolehkan untuk memilih sendiri, mereka akan memilih, ‘Urwah bin Mas’ud (dari suku

Taif) atau al-Maulid bin Mughira (dari Mekkah) sebagai nabi Allah! Menurut al-Qur’an, “Dan

mereka berkata: “Mengapa  al-Qur’an ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari satu dua

negeri (Mekkah dan Taif) ini.”[10]

Jadi, Nabi Saw tidak hanya seorang kepala negara agung dari negara Islam  yang ditunjuk

tanpa konsultasi manusia, namun kenyataanya beliau dipilih bertentangan dengan keinginan

mereka. Nabi Saw adalah pemegang otoritas tertinggi dalam Islam. Beliau menggabungkan

personalianya dalam fungsi legislatif, eksekutif, dan yudikatif dalam pemerintahan; dan beliau

tidak dipilih oleh manusia (rakyat).

Dengan demikian, Islam  bukan pemerintahan rakyat, bukan “oleh rakyat”. Tidak ada

legislasi oleh rakyat; eksekutif dan  yudikatif tidak bertanggung jawab kepada rakyat, juga bukan

sebuah pemerintahan untuk rakyat”.

Page 9: Khilafah Dan Imamah

Sistem Islam , sejak awal hingga akhir, adalah untuk Allah. Segala sesuatunya harus

dilakukan semata-mata untuk Allah; jika dilakukan untuk rakyat, maka ini disebut sebagai

“syirik tersembunyi”.  Apa saja yang anda lakukan – apakah salat atau sadaqah, amal sosial atau

keluarga, ketaatan kepada orang tua atau cinta kepada tetangga, memimpin salat berjamaah atau

memutuskan sebuah perkara, memasuki medan perang atau menyepakati perdamaian – harus

dilakukan “qurbatan ilallah” (sebagai pendekatan kepada Allah), untuk meraih keridaan Allah.

Dalam Islam, segalanya untuk Allah.

Singkatnya, bentuk pemerintahan Islam adalah pemerintahan Allah melalui perwakilan-

Nya, untuk meraih keridaan Allah.

Pemerintahan ini adalah pemerintahan teokrasi, dan merupakan tabiat dan karakter

kepemimpinan Islam, dan bagaimana pengaruh makna ayat di atas berkenaan dengan ketaatan,

akan kita lihat pada bagian terakhir dari buku ini.

Page 10: Khilafah Dan Imamah

BAB IIILANDASAN TEORI

Artinya: Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku

hendak menjadikan seorang khalifah 27) di muka bumi.” Mereka berkata, “Mengapa Engkau

hendak menjadikan (khalifah) di muka bumi itu orang yang akan membuat kerusakan dam

menumpahkan darah padanya, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji dan

mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman. “Sesungguhnya Aku lebih mengertahui apa yang tidak

kamu ketahui.”

Artinya: (Allah berfirman), “Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan engkau khalifah di

bumi, maka berilah keputusan antara manusia dengan benar, dan janganlah engkau mengikuti

hawa nafsu, niscaya ia akan menyesatkan engkau dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang

yang sesat dari jalan Allah bagi mereka azab yang pedih karena mereka melupakan hari

perhitungan”.

Page 11: Khilafah Dan Imamah

BAB 1V

ANALISIS

Banyak ulama memperdebatkan arti/makna dari Khilafah dan Imamah yang

sesungguhnya itu ialah sinonim yang makna nya ialah system Khilafah ialah pengganti sedang

imamah ialah kepemimpinan. Banyak kaum Muslim yang telah menulis ratusan kitab tentang

masalah khilafah.  Masalah yang ada dihadapan penulis, bukan apa yang harus ditulis; melainkan

apa yang tidak harus ditulis. Dalam karya kecil seperti ini – anda tidak dapat menyentuh seluruh

ragam aspek dari permasalahan ini – biarkan mereka mencarinya sampai detail ihwal topik-topik

yang dibahas di dalam buku ini. Buku ini hanya menyuguhkan sebuah garis besar

dari ikhtilaf yang ada diantara beberapa madzhab dalam Islam tentang masalah khilafah.

Mungkin dengan menyebutkan bahwa dalam Islam terbagi dalam dua madzhab yang berbeda

dalam menyikapi masalah ini, dapat membantu para pembaca dalam berurusan dengan masalah

ini. Madzhab Sunni meyakini bahwa Abu Bakar adalah khalifah pertama selepas Nabi Saw.

Madzhab Syiah meyakini bahwa ‘Ali bin Abi Tâlib merupakan Imam dan Khalifah setelah

wafatnya Nabi Saw.

Page 12: Khilafah Dan Imamah

BAB VIPENUTUP

A. Kesimpulan

Madzhab Sunni meyakini bahwa Abu Bakar adalah khalifah pertama selepas Nabi

Saw. Madzhab Syiah meyakini bahwa ‘Ali bin Abi Tâlib merupakan Imam dan Khalifah setelah

wafatnya Nabi Saw.

B. Rekomendasi

Rekomendasi saya bahwasannya perlu adanya pembahasan yang lebih mendetail

dan lebih komplit mengenai Khilafah dan Imamah agar tidak terjadi penafsiran yang berbeda –

beda yang dapat menjurus ke arah perpecahan.