KEWENANGAN PEMERINTAH PUSAT TERHADAP PEMBATALAN · 2014-10-02 · Assalamu’alaikum Wr. Wb. Segala...

94

Transcript of KEWENANGAN PEMERINTAH PUSAT TERHADAP PEMBATALAN · 2014-10-02 · Assalamu’alaikum Wr. Wb. Segala...

i

KEWENANGAN PEMERINTAH PUSAT TERHADAP PEMBATALAN

PERATURAN DAERAH

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (SH)

Oleh :

Farhan Bestyardi

NIM: 109048000055

Pembimbing

NIP. 196911211994031001

KONSENTRASI KELEMBAGAAN NEGARA

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1435H/2014M

ii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

Skripsi yang berjudul KEWENANGAN PEMERINTAH PUSAT TERHADAP

PEMBATALAN PERATURAN DAERAH telah diujikan dalam Sidang Munaqosah

Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta pada tanggal 23 Januari 2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu

syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH) pada Program Studi Ilmu Hukum.

Jakarta, 23 Januari 2014

iii

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu syarat memperoleh gelar Strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti hasil karya ini bukan hasil karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi

yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, Januari 2014

iv

ABSTRAK

FARHAN BESTYARDI. NIM 109048000055. KEWENANGAN PEMERINTAH

PUSAT TERHADAP PEMBATALAN PERATURAN DAERAH. Program Studi

Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara, Fakultas Syariah dan

Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1434H/2013M.

penelitian ini menganalisis kewenangan pemerintah pusat dalam pembatalan

peraturan daerah dan menganalisis produk hukum atau lembaga yang memiliki

wewenang terhadap pembatalan peraturan daerah. Penelitian ini diharapkan dapat

memberikan manfaat baik secara ilmiah yakni dalam studi ilmu hukum dan secara

praktis maupun akademis yakni sebagai masukan bagi penulis maupun pihak-pihak

yang memiliki keinginan untuk menganalisis kasus kewenangan yang dimiliki

pemerintah pusat dalam pembatalan peraturan daerah. Metode penelitian yang

digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kepustakaan (library

research) yang bersifat yuridis normatif, yaitu penelitian yang mengacu pada norma-

norma hukum yang ada dalam peraturan perundang-undangan, literatur, pendapat

ahli, makalah-makalah dan lainnya. Dalam studi kepustakaan, penulis menganalisis

permasalahan dalam pengujian perda oleh pemerintah. Dalam Pasal 145 ayat (3)

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan

pembatalan peraturan daerah hanya dengan peraturan presiden. Namun dalam pasal

185 ayat (5), pasal 188 dan pasal 189 menyatakan bahwa perda dapat dibatalkan oleh

Menteri Dalam Negeri.

Kata Kunci : Peraturan Daerah, Pembatalan, Pengawasan, Mendagri,

Peraturan Presiden

Pembimbing : Drs. H. Asep Syarifuddin, S.H., M.H.

Daftar Pustaka : Tahun 1983 s.d Tahun 2013

v

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Segala puji dan syukur hanya untuk Allah SWT, dengan berkah rahmat, nikmat

serta anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul

“KEWENANGAN PEMERINTAH PUSAT TERHADAP PEMBATALAN

PERATURAN DAERAH.”. Shalawat serta salam penulis sampaikan kepada suri

tauladan umat, Nabi besar kita Muhammad SAW, yang telah memberikan pengaruh

besar terhadap umat manusia, beliaulah yang telah merubah umat manusia dari zaman

kelam menuju zaman yang berakhlak dan beradab.

Penulisan skripsi ini dilakukan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum

Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Skripsi ini mungkin tidak dapat diselesaikan oleh penulis tanpa bantuan dan

dukungan dari berbagai pihak selama penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu penulis

ingin mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M. selaku Dekan

Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. Djawahir Hejazziey, S.H., M.A., selaku Ketua Program Studi Ilmu

Hukum dan Bapak Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Program

Studi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

vi

3. Drs. H. Asep Syarifuddin, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing yang telah

bersedia memberikan saran, kritik, bantuan, dan arahan selama saya menyusun

dan menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih atas waktu dan pikiran yang telah

diberikan untuk membimbing saya.

4. Kedua orang tua tercinta Ayahanda Fajri Hidayat dan Ibunda Titin Nuraeni, yang

selalu mengirimkan doa dan mencurahkan kasih sayangnya, serta memberikan

bantuan baik moril juga materiil dalam penyusunan skripsi ini.

5. Kakak-kakak dan adik saya yang memberikan semangat dan kebersamaan ketika

di rumah untuk penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Segenap dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

khususnya dosen program studi Ilmu Hukum yang telah memberikan ilmu

pengetahuan selama penulis menjadi mahasiswa Ilmu Hukum. Semoga ilmu

yang diajarkan dapat bermanfaat dan mendapatkan balasan dari Allah SWT.

7. Sahabat-sahabat penulis seperjuangan semasa kuliah di Ilmu Hukum Fakultas

Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah yaitu Abiyudin, Arif, Roma,

Maulana, Muchtar, Saddam, Zaki, Gagat, Ihsan, Imam Machdi, Zakim, Agung,

Syamsul, Daus, Aldo dan seluruh mahasiswa UIN Jakarta Khususnya prodi Ilmu

Hukum 2009, PSM dan HMI terima kasih atas bantuan, motivasi, dan saran-

sarannya selama penulis menimba ilmu.

vii

8. Kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi

ini, yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu. Semoga Allah SWT

memberikan berkah dan karunia-Nya serta membalas kebaikan mereka (Amin).

Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih dan maaf yang sebesar-besarnya

apabila terdapat kata-kata di dalam penulisan skripsi ini yang kurang berkenan bagi

pihak-pihak tertentu. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak, khususnya

bagi penulis dan umumnya bagi pembaca. Sekian dan terimakasih.

Wassalamu’alaikum. Wr. Wb.

Jakarta, Januari 2014

Farhan Bestyardi

viii

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................................... i

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ................................................................ ii

LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iii

ABSTRAK ............................................................................................................. iv

KATA PENGANTAR ............................................................................................ v

DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii

LAMPIRAN ............................................................................................................ x

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1

A. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah .................................................... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................... 7

D. Tinjauan Kajian Terdahulu ................................................................. 9

E. Kerangka Konseptual ........................................................................ 10

F. Metode Penelitian ............................................................................. 11

G. Sistematika Penelitian ....................................................................... 14

BAB II PEMBENTUKAN, FUNGSI DAN MUATAN PERATURAN

DAERAH .............................................................................................. 16

A. Pengertian Peraturan Daerah ............................................................ 16

B. Fungsi dan Materi Muatan Peraturan Daerah ................................... 23

ix

C. Pembentukan Peraturan Daerah dan Kedudukannya ........................ 25

BAB III KEWENANGAN PENGAWASAN PERATURAN DAERAH ....... 31

A. Tinjauan Umum Keputusan Menteri ................................................ 31

B. Tinjauan Umum Peraturan Presiden ................................................. 36

C. Bentuk Pengawasan Terhadap Peraturan Daerah ............................. 40

D. Pengawasan Peraturan Daerah di Indonesia ..................................... 47

E. Pengujian Peraturan Daerah Oleh Mahkamah Agung ...................... 52

BAB IV KEWENANGAN PEMERINTAH PUSAT DALAM

PENGAWASAN DAN PEMBATALAN PERATURAN

DAERAH .............................................................................................. 55

A. Kewenangan Menteri Dalam Negeri Dalam Pengawasan dan

Pembatalan Peraturan Daerah.. ......................................................... 55

B. Analisis Hubungan Kewenangan Menteri Dalam Negeri Dengan

Peraturan Presiden Dalam Pembatalan Peraturan Daerah.. .............. 59

C. Analisis Peraturan Presiden dalam Pembatalan Peraturan Daerah .. 67

D. Produk Hukum/Lembaga Yang Berwenang Dalam Pembatalan

Peraturan Daerah ............................................................................. 70

BAB V PENUTUP ............................................................................................ 75

A. Kesimpulan ....................................................................................... 75

B. Saran ................................................................................................. 77

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 78

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam Pasal 18 ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945) disebutkan “Negara Kesatuan

Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi

atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai

pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.” Dan pada ayat 6

disebutkan bahwa “Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan

peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.”

Penjelasan Pasal 18 UUD NRI 1945 menerangkan bahwa karena Negara

Indonesia itu adalah suatu negara kesatuan, Indonesia tidak akan mempunyai daerah

didalam lingkungannya yang juga berbentuk negara. Wilayah Indonesia dibagi

menjadi daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi dibagi pula menjadi

kabupaten/kota. Daerah-daerah itu bersifat otonom, semuanya menurut aturan yang

akan ditetapkan dengan undang-undang.1

Keberhasilan otonomi daerah bergantung pada pemerintahan daerah yang

didalamnya terdapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut DPRD)

dan Kepala Daerah dan perangkat daerah serta masyarakatnya, juga ketentuan-

ketentuan peraturan perundangan yang berlaku dengan memperhatikan sarana dan

prasarana serta dana/pembiayaan yang terbatas secara efisien, efektif dan

professional. Efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu

1 C.S.T Kansil, Pemerintahan Daerah Di Indonesia, Hukum Administratif Daerah, Cet-12,

(Jakarta: Sinar Grafika, 2004) h. 3

1

2

ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antar susunan

pemerintahan dan atau pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah,

peluang dan tantangan persaingan global,2 dengan memberikan kewenangan yang

seluas-luasnya kepada daerah disertai dengan pemberian hak dan kewajiban

menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan

pemerintahan negara.

Sebagai daerah otonom, pemerintah daerah berwenang untuk membuat

peraturan daerah dan peraturan kepala daerah, guna menyelenggarakan urusan

otonomi daerah dan tugas pembantuan. Peraturan daerah (selanjutnya disebut perda)

ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD. Subtansi

atau materi muatan perda adalah penjabaran dari peraturan perundang-undangan yang

tingkatannya lebih tinggi, dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah

dan subtansi materi tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.3

Perda ini jika dilihat dari muatannya memiliki fleksibilitas yang sangat sempit

karena dilarang bertentangan dengan peraturan diatasnya yang bersifat nasional yang

sangat banyak jumlahnya. Dalam hal pembentukan perda, DPRD dan Gubernur atau

2 HAW. Widjaja, Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia, Dalam Rangka Sosialisasi

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Cet-2, (Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 2008) h. 37

3 Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah Di Indonesia, Cet-1, (Jakarta: Sinar

Grafika, 2006) h. 37

3

Bupati/Walikota berhak memberikan rancangan peraturan daerah. Rancangan

peraturan daerah dapat berasal dari DPRD, Gubernur atau Bupati/Walikota.

Program penyusunan perda dilakukan dalam satu Program Legislasi Daerah

(selanjutnya disebut Prolegda), sehingga diharapkan tidak terjadi tumpang tindih

dalam penyiapan satu materi perda. Ada berbagai jenis perda yang ditetapkan oleh

pemerintah daerah provinsi atau kabupaten/kota antara lain:

a. Pajak Daerah;

b. Retribusi Daerah;

c. Tata Ruang Wilayah Daerah;

d. APBD;

e. Rencana Program Jangka Menengah Daerah;

f. Perangkat Daerah;

g. Pemerintahan Desa;

h. Pengaturan umum lainnya 4

Dalam rangka pemberdayaan otonomi daerah pemerintah pusat berwenang

melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan

daerah sesuai amanat Pasal 217 dan 218 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah. Pembinaan dan pengawasan dimaksudkan agar

kewenangan daerah otonom dalam menyelenggarakan desentralisasi tidak mengarah

kepada kedaulatan. Disamping pemerintahan daerah merupakan subsistem dalam

penyelenggaraan pemerintahan negara, secara implisit pembinaan dan pengawasan

terhadap pemerintah daerah merupakan bagian integral dari sistem penyelenggaraan

negara, maka harus berjalan sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan

4 S. Bambang Setyadi, Pembentukan Peraturan Daerah, (Yogyakarta: Buletin Hukum

Perbankan dan Kebanksentralan Vol, 5 Nomor 2, 2007) h. 2

4

perundang-undangan yang berlaku dalam kerangka Negara Kesatuan Republik

Indonesia.

Sejak otonomi daerah digulirkan, sudah ribuan perda dibuat oleh pemerintah

daerah baik pada level provinsi maupun kabupaten/kota, dan sudah banyak pula perda

yang telah dibatalkan, karena perda-perda tersebut dianggap bermasalah dan

berpotensi menimbulkan ekonomi biaya tinggi di daerah-daerah serta juga

membebani masyarakat dan lingkungan.5

Terkait dengan banyaknya perda yang dianggap bermasalah baik karena

menimbulkan ekonomi biaya tinggi, memberatkan masyarakat di daerah dan

berdampak pada kerusakan lingkungan akibat izin yang ditimbulkannya, sebagai

instrumen hukum negara, dalam logika deduktif tertutup perangkat hukum sudah

dibuat mekanisme untuk menyelesaikan konflik peraturan atau konflik yang

ditimbulkan dari suatu peraturan.

Mekanisme penyelesaian konflik peraturan ini dilakukan lewat pengujian

peraturan perundang-undangan tersebut. Perda yang dianggap bertentangan dengan

kepentingan umum dan/atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan

yang lebih tinggi dikenal dua model kewenangan pengawasan, yaitu judicial review

oleh Mahkamah Agung dan executive review oleh Pemerintah.6

5 Rikardo Simarmata dan Stephanus Masiun, Otonomi Daerah, Kecenderungan Karakter

Perda dan Tekanan Baru Bagi Lingkungan dan Masyarakat Adat, Cet-1, (Jakarta: HuMa, Seri

Pengembangan Wacana, Nomor 1, 2002) h. 16

6 Suko Wiyono dan Kusnu Goesniadhie, Kekuasaan Kehakiman Pasca Perubahan UUD

1945, Cet-1 (Malang: Universitas Negeri Malang, UM Press, 2007) h.76-77

5

Disini penulis akan membahas lebih banyak tentang model pengujian yang

kedua yang dilakukan oleh pemerintah pusat atau yang lebih dikenal dengan istilah

executive review. Dalam hal pengawasan terhadap daerah, Undang-Undang Nomor

32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memberi perintah bahwa perda yang

dibuat oleh DPRD bersama kepala daerah agar disampaikan kepada pemerintah

paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan. Terkait dengan pembatalan perda, Pasal

136 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

menyebutkan bahwa :

“Perda dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi.” Kemudian Pasal 145 ayat (2)

menyebutkan “Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh

pemerintah.” Ayat (3) menyebutkan “Keputusan pembatalan Perda

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Presiden

paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya Perda sebagaimana

dimaksud pada ayat (1)”.

Dalam hal ini, terdapat permasalahan dalam pengujian perda oleh pemerintah

adalah masalah bentuk hukum pembatalan perda. Bentuk hukum pembatalan perda

sebagaimana disebutkan dalam Pasal 145 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun

2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah dengan Peraturan Presiden. Namun

banyak dalam pembatalan perda sepanjang ini dilakukan dengan menggunakan

Keputusan/Peraturan Menteri Dalam Negeri (selanjutnya disebut

Kepmendagri/Permendagri). Dengan demikian, pembatalan perda melalui

Kepmendagri/Permendagri merupakan sebuah kekeliruan hukum. Kekeliruan itu

6

terjadi karena instrumen hukum untuk membatalkan perda harus dalam bentuk

Peraturan Presiden bukan Kepmendagri sesuai dengan yang disebutkan dalam Pasal

145 ayat (3) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Selanjutnya terdapat masalah lain dalam hal pembatalan perda ini yakni,

dalam pasal 185 ayat (5), pasal 188 dan pasal 189 yang menyatakan bahwa perda

tentang APBD, Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Tata Ruang daerah dibatalkan

oleh Menteri Dalam Negeri (selanjutnya disebut Mendagri) yang sekarang banyak

menggunakan Kepmendagri/Permendagri. Tentu saja hal ini bertentangan dengan

pasal sebelumnya, yakni pasal 145 ayat (3) yang memberikan wewenang pembatalan

perda hanyalah dengan menggunakan Peraturan Presiden. Karena permasalahan yang

terdapat pada saat ini, penulis serius untuk mengkaji dan menganalisis terkait

permasalahan yang telah dipaparkan sebelumnya.

Dalam permasalahan ini penulis lebih fokus meneliti pada kewenangan

pemerintah pusat melalui Peraturan Presiden dan Kepmendagri/Permendagri dalam

pengawasan dan pembatalan peraturan-peraturan daerah tingkat provinsi dan

kabupaten/kota di Indonesia. Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan yang

telah dipaparkan diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dalam

skripsi ini dengan judul “KEWENANGAN PEMERINTAH PUSAT TERHADAP

PEMBATALAN PERATURAN DAERAH”

7

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Dalam penelitian skripsi ini, penulis membatasi penelitian hanya

membahas mengenai kewenangan pemerintah pusat melalui Peraturan Presiden

dan Kepmendagri/Permendagri dalam memutuskan pembatalan peraturan-

peraturan daerah provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan didalam kewenangan

pemerintah pusat terhadap pembatalan peraturan daerah, maka rumusan masalah

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Bagaimana kewenangan Menteri Dalam Negeri dalam memutuskan keputusan

terhadap pembatalan peraturan-peraturan daerah di Indonesia?

b. Bagaimanakah penerapan pasal 145 ayat 3 Undang-Undang Nomor 32 Tahun

2004 tentang Pemerintahan Daerah bahwa pembatalan Perda Ditetapkan

dengan Peraturan Presiden?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah seperti yang diuraikan diatas penelitian ini

bertujuan sebagai berikut :

1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini secara umum bertujuan menganalisis kewenangan pemerintah pusat

dalam pembatalan perda. Sedangkan secara khusus penelitian ini bertujuan:

8

a. Untuk menganalisa bagaimana kewenangan yang dimiliki Menteri Dalam

Negeri untuk memutuskan keputusan terhadap pembatalan perda.

b. Untuk mengetahui bagaimana penerapan pasal 145 ayat 3 Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerntahan Daerah bahwa pembatalan Perda

Ditetapkan dengan Peraturan Presiden.

2. Manfaat Penelitian

Secara garis besar manfaat penelitian ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

a. Manfaat Teoritis

1) Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai

analisis yang dilakukan terhadap pemerintah pusat dalam pembatalan

peraturan daerah yang ditinjau dengan peraturan perundang-undangan

yang berlaku.

2) Memperkaya khazanah penelitian ilmiah dan ilmu hukum Kelembagaan

Negara.

b. Manfaat Praktis

Adapun manfaat praktis dalam penelitian ini, yaitu :

1) Bagi Akademis

Dapat menambah pengalaman dan pengetahuan yang kelak dapat

diterapkan dalam dunia nyata sebagai bentuk partisipasi dalam

pembangunan negara dan masyarakat Indonesia berdasarkan Pancasila

9

dan UUD 1945 serta dalam kehidupan bangsa sebagai bagian dari

masyarakat internasional.

2) Bagi Masyarakat Umum

Diharapkan dapat memberikan pengetahuan kepada masyarakat untuk

mengetahui tata cara pembatalan peraturan daerah sesuai dengan Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

3) Bagi Pemerintah

Dapat memberikan masukan kepada pemerintah pusat agar memahami

sejauh mana kewenangan-kewenangannya dalam pembatalan perda.

D. Tinjauan Kajian Terdahulu

Dalam penelitian atau pembuatan skripsi terkadang ada tema yang berkaitan

dengan penelitian yang kita jalankan sekalipun arah dan tujuan yang diteliti berbeda.

Dari penelitian ini, penulis menemukan penelitian lain, Yaitu: Skripsi yang dibuat

oleh Yance Arizona yang berjudul Disparitas Pengujian Peraturan Daerah oleh

Pemerintah Pusat dan Mahkamah Agung, Fakultas Hukum Andalas 2007. Skripsi ini

menganalisis perbandingan pengujian dan pembatalan peraturan daerah oleh

pemerintah pusat dan Mahkamah Agung, perbedaan penelitian Yance Arizona

dengan penulis terletak pada materi yang dikaji, dimana penulis lebih fokus

menganalisis tentang kewenangan pemerintah pusat dalam membatalkan peraturan

daerah.

10

E. Kerangka Konseptual

Kerangka konsepsional adalah kerangka yang menggambarkan hubungan

antara konsep-konsep khusus yang ingin diteliti. Suatu konsep bukan merupakan

gejala yang akan diteliti tetapi merupakan abstraksi dari gejala tersebut. Gejala

biasanya dinamakan fakta sedangkan konsep merupakan uraian mengenai hubungan-

hubungan dalam fakta tersebut.7 Penulisan skripsi ini mengunakan definisi

operasional dan teori sebagai berikut :

1. Peraturan Daerah

Peraturan daerah adalah peraturan daerah provinsi dan/atau peraturan daerah

kabupaten/kota yang dibentuk oleh DPRD dengan Kepala Daerah Provinsi

dan/atau Kabupaten/Kota.

2. Keputusan Menteri Dalam Negeri

Keputusan Menteri Dalam Negeri merupakan putusan yang dikeluarkan oleh

Menteri Dalam Negeri sesuai peraturan perundangan yang berlaku.

3. Peraturan Presiden

Peraturan presiden merupakan sebuah pengaturan yang dilakukan presiden tanpa

memerlukan persetujuan DPR, yang merupakan bagian dari tugas dan fungsi

pemerintahan

7 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet-3, (Jakarta : UI Press, 1986) h. 132

11

4. Teori Hans Kelsen

Norma-norma hukum berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki

(tata susunan), dalam arti, suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan

berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku,

bersumber dan berdasar norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai

pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis

dan fiktif yaitu norma dasar (Grundnorm). 8

5. Teori Hans Nawiasky

Norma hukum suatu Negara berkelompok-kelompok dan pengelompokan hukum

dalam suatu Negara itu terdiri atas empat kelompok besar yaitu:

a) Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara)

b) Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar/Aturan Pokok Negara)

c) Formell Gesetz (Undang-undang „formal‟)

d) Verordnung & Autonome Satzung (Aturan pelaksana dan aturan otonom)9

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

metode penelitian kepustakaan (library research), yang bersifat yuridis normatif,

yaitu penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang ada dalam

8

Hans Kelsen, lihat Maria Farida Indirati Soeprapto, Buku 1, Ilmu Perundang-undangan

(Jenis, Fungsi dan Materi Muatan), Cet-5, (Yogyakarta: Kanisius, 2011) h. 41

9 Hans Nawiasky, lihat Maria Farida Indirati Soeprapto, Buku 1, Ilmu Perundang-undangan

(Jenis, Fungsi dan Materi Muatan), Cet-5, (Yogyakarta: Kanisius, 2011) h. 44-45

12

peraturan perundang-udangan, literatur, pendapat ahli, makalah-makalah dan hasil

penelitian yang berkaitan dengan kewenangan pemerintah pusat dalam

memberikan putusan pembatalan peraturan daerah. Sumber data yang

dikumpulkan berupa data sekunder yaitu data yang telah dalam keadaan siap

pakai bentuknya dan isinya telah disusun oleh penulis terlebih dahulu dan dapat

diperoleh tanpa terikat waktu dan tempat.10

Contohnya seperti artikel ilmiah dan

bahan-bahan dari internet.

2. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah dalam skripsi ini dengan tipe penelitian yang

digunakan adalah yuridis normatif, maka pendekatan yang digunakan adalah

Pendekatan Perundang-Undangan (Statute approach) dan Pendekatan Kasus

(Case approach). Pendekatan perundang-undangan (statute approach), diterapkan

guna memahami bagaimana pembatalan peraturan daerah sesuai dengan Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Pendekatan Kasus

(Case approach) diterapkan dalam mengamati telaah beberapa kasus pembatalan

perda yang dibatalkan dengan peraturan perundangan yang sesuai dengan

peraturan perundangan yang berlaku. Serta beberapa kasus yang relevan dengan

isu hukum yang telah di pecahkan.

10

Soerjono Soekanto dan Sri mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,

(Jakarta: PT . Raja Grafindo, 1994) h. 37

13

3. Bahan Hukum

Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini ada tiga jenis, yaitu:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mencakup ketentuan-

ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan mempunyai kekuasaan

hukum yang mengikat.11

Bahan hukum yang digunakan penulis merupakan

bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan

Retribusi Daerah

3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan

4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari penelusuran

buku-buku dan artikel-artikel12

yang berkaitan dengan penelitian ini, yang

memberikan penjelasan mendalam mengenai bahan hukum primer dan bahan

hukum sekunder yang digunakan dalam penulisan penelitian ini adalah buku-

buku, skripsi, tesis, dan disertasi serta artikel ilmiah dan tulisan di internet

mengenai pembatalan peraturan daerah.

11

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet-3, (Jakarta : UI Press, 1986) h. 52

12

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet-3, (Jakarta : UI Press, 1986) h. 52

14

c. Bahan non-hukum

Merupakan bahan yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna

terhadap bahan hukum primer dan sekunder,13

seperti Kamus Hukum, Kamus

Besar Bahasa Indonesia, Ensiklopedia dan lain-lain.

4. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

Adapun bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder

maupun bahan non-hukum diuraikan dan dihubungkan sedemikian rupa, sehingga

ditampilkan dalam penulisan yang lebih sistematis untuk menjawab

permasalahan yang telah dirumuskan. Selanjutnya setelah bahan hukum diolah,

dilakukan analisis terhadap bahan hukum tersebut yang akhirnya akan diketahui

bagaimana kewenangan pemerintah pusat terhadap pembatalan peraturan daerah.

G. Sistematika Penelitian

Skripsi disusun dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab. Masing-

masing bab terdiri dari atas beberapa sub bab guna lebih memperjelaskan ruang

lingkup dan cakupan permasalahan yang diteliti. Penulisan skripsi ini mengacu pada

buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta: Pusat Peningkatan dan Jaminan

Mutu (PPJM) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, 2012. Adapun urutan dan

tata letak masing masing bab serta pokok pembahasannya adalah sebagai berikut.

13 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet-3, (Jakarta : UI Press, 1986) h. 52

15

BAB I : Pendahuluan, memuat: Latar Belakang, dilanjutkan dengan Batasan

dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan

Kajian Terdahulu, Kerangka Konseptual, Metode Penelitian, dan

Sistematika Penulisan.

BAB II : Tinjauan Umum Peraturan Daerah. Bab ini membahas Pengertian,

Fungsi, Materi Muatan, Pembentukan dan Kedudukan Perda Dalam

Hierarki Peraturan Perundang-undangan.

BAB III : Tinjauan Umum tentang Fungsi, Muatan, dan Kedudukan

Keputusan Menteri dan Peraturan Presiden, dan Membahas Bentuk

Pengawasan Peraturan Daerah.

BAB IV : Analisa Yuridis Terhadap Kepmendagri dan Peraturan Presiden

terhadap Pembatalan Perda. Juga Membahas Produk Hukum yang

Berwenang Pembatalan Peraturan Daerah di Indonesia.

BAB V : Penutup. Dalam bab penulis menarik beberapa kesimpulan dari

hasil penelitian, disamping itu penulis menengahkan beberapa saran

yang dianggap perlu.

16

16

BAB II

PEMBENTUKAN, FUNGSI DAN MUATAN PERATURAN DAERAH

A. Pengertian Peraturan Daerah

1. Pengertian Peraturan Daerah

Perda merupakan peraturan yang ditetapkan oleh kepala daerah setelah

mendapat persetujuan bersama DPRD. Dibentuknya perda merupakan salah satu

rangka penyelenggaraan otonomi daerah provinsi/kabupaten/kota dan tugas

pembantuan dan merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi.14

Perda yang dibuat oleh satu daerah, tidak boleh

bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan

yang lebih tinggi, dan baru mempunyai kekuatan mengikat setelah diundangkan

dengan dimuat dalam lembaran daerah.15

Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah, perda adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk bersama

antara DPRD dengan Kepala Daerah baik di Provinsi maupun Kabupaten/Kota.

Sedangkan di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan terdapat dua pengertian tentang

perda, yakni peraturan daerah provinsi dan peraturan daerah kabupaten/kota.

14 B.N. Marbun, Otonomi Daerah 1945-2010 Proses dan Realita, Cet-2 (Jakarta: Pustaka

Sinar Harapan, 2010) h. 156

15

Abdullah Rozali, Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara

Langsung, Cet-1 (Jakarta: Raja Grafindo Persada 2005) h. 131

17

Peraturan daerah provinsi adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk

oleh DPRD provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur. Sedang peraturan

daerah kabupaten/kota adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh

DPRD kabupaten/kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota.

Dari segi pembentukan, perda ini menyerupai pembentukan undang-

undang, yaitu suatu produk hukum yang dibuat oleh presiden bersama-sama

Dewan Perwakilan Rakyat (Selanjutnya disebut DPR). Dari segi materi dan

wilayah berlakunya, undang-undang itu mengatur semua urusan publik baik

bersifat kenegaraan maupun pemerintahan dan berlaku secara nasional,

sedangkan materi perda hanya berkenaan dengan administrasi atau pemerintahan

dan hanya berlaku pada wilayah tertentu atau bersifat lokal.

Materi muatan perda mencakup semua urusan rumah tangga daerah baik

dalam rangka otonomi maupun atas dasar pembantuan, baik yang bersifat wajib

maupun pilihan sebagaimana ditentukan dalam pasal 13 dan 14 Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Materi muatan perda itu

sangat banyak dan setiap saat dapat berkembang seiring dengan perkembangan

zaman. 16

16 Nomensen Sinamo, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Cet-1 (Jakarta: PT Pustaka

Mandiri, 2010) h. 103

18

2. Landasan Filosofis, Sosilogis, Yuridis dan Politis Peraturan Daerah

Sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan di Indosesia,

perda dalam pembentukannya tunduk pada asas maupun teknik dalam

penyusunan perundang-undangan yang telah ditentukan. Hal yang sangat penting

dalam pembentukan peraturan perundang-undangan diantaranya adalah

menyangkut tentang landasannya. Landasan yang dimaksud disini adalah

pijakan, alasan atau latar belakang mengapa perundangan-undangan itu harus

dibuat. Menurut Bagir Manan ada 4 Landasan yang digunakan dalam menyusun

perundang-undangan agar menghasilkan perundang-undangan yang tangguh dan

berkualitas.17

a. Landasan Filosofis

Yaitu dasar filsafat atau pandangan atau ide yang menjadi dasar suatu

rencana atau draft peraturan negara. Suatu rumusan perundang-undangan

harus mendapat pembenaran (recthvaardiging) yang dapat diterima dan dikaji

secara filosofis. Pembenaran itu harus sesuai dengan cita-cita dan pandangan

hidup maysarakat yaitu cita-cita kebenaran (idée der waarheid), cita-cita

keadilan (idée der grerecthsigheid) dan cita-cita kesusilaan (idée der

eedelijkheid).18

17 W. Riawan Tjandra dan Kresno Budi Harsono, Legal Drafting Teori dan Teknik

Pembuatan Peraturan Daerah, (Yogyakarta: Universitas Atmajaya Press, 2009) h. 13

18

Budiman N.P.D, Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan, Cet-1, (Yogyakarta: UII Press,

2005) h. 33

19

Setiap negara selalu ditentukan adanya nilai-nilai dasar atau nilai-nilai

filosofis tertinggi yang diyakini sebagai sumber dari segala sumber nilai

dalam kehidupan kenegaraan. Menurut Sooly Lubis, landasan filosofis dalam

pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu dasar filsafat atau

pandangan, atau ide yang menjadi dasar cita-cita sewaktu menuangkan hasrat

dan kebijaksanaan (pemerintah) ke dalam suatu rancangan atau draft

peraturan negara.19

Peraturan hukum (peraturan perundang-undangan) merupakan

pembadanan dari norma hukum/kaidah hukum dan merupakan sarana yang

paling lengkap untuk mengutarakan apa yang dikehendaki oleh norma hukum.

Peraturan hukum menggunakan sarana untuk menampilkan norrma hukum

sehingga dapat ditangkap oleh masyarakat, dengan menggunakan konsep-

konsep/pengertian-pengertian untuk menyampaikan kehendaknya.20

Dengan demikian perundang-undangan dikatakan mempunyai

landasan filosofis (filosofis grondflag) apabila rumusannya mendapat

pembenaran yang dikaji secara filosofis. Dalam konteks negara Indonesia

yang menjadi induk dari landasan filosofis ini adalah Pancasila sebagai suatu

sistem nilai nasional bagi sistem kehidupan bernegara.

19 M. Sooly Lubis, Landasan dan Teknik Perundang-undangan, Cet-1, (Bandung: Mandar

Maju, 1989) h. 7

20

Hamzah Halim dan Kemal Redindo Syahrul Putera, Cara Praktis Menyusun dan

Merancang Peraturan Daerah, Cet-1, (Jakarta: Kencana, 2010) h. 17

20

b. Landasan Sosiologis

Yakni satu peraturan perundang-undangan yang dibuat harus dapat

dipahami oleh masyarakat sesuai dengan kenyataan hidup. Ini berarti bahwa

hukum yang dibentuk harus sesuai dengan hukum yang hidup (the living law)

dalam masyarakat.21

Landasan sosiologis merupakan landasan yang terdiri

atas fakta-fakta yang merupakan tuntutan kebutuhan masyarakat yang

mendorong perlunya pembuatan perundang-undangan (peraturan daerah),

yaitu bahwa ada sesuatu yang pada dasarnya dibutuhkan oleh masyarakat

sehingga perlu pengaturan.22

Sebagai contoh dibidang perikanan, salah satu instrument pengaturan

adalah perizinan perikanan. Dalam hubungan ini dibuatlah perda untuk

menghindari terjadinya penangkapan ikan yang melebihi penangkapan

semestinya, demikian pula penggunaan alat tangkap ikan yang tidak sesuai

dapat merusak sumber daya perikanan, sedangkan hal ini tidak dikehendaki

oleh masyarakat. Karenanya perlu dihindari dengan membuat peraturan

daerah tentang izin usaha perikanan.

Peraturan daerah tersebut mengatur berbagai hal agar sumber daya

perikanan tetap dapat berfungsi sebagaimana yang diharapkan, dan bahkan

melalui pengaturan tersebut diharapkan dapat lebih menguntungkan

21 Rosyidi Ranggawidjaja, Pembentukan Peraturan Negara Di Indonesia, (Jakarta: Raja

Grafindo, 2010) h. 21

22

Hamzah Halim dan Kemal Redindo Syahrul Putera, Cara Praktis Menyusun dan

Merancang Peraturan Daerah, Cet-1,(Jakarta: Kencana, 2010) h.25

21

masyarakat dan negara melalui usaha perikanan yang dalam ketentuannya

juga mengatur mengenai pungutan retribusi izin usaha perikanan.

Dalam kondisi demikian inilah maka perundang-undangan tidak

mungkin lepas dari gejala-gejala sosial yang ada di masyarakat. Dengan

melihat kondisi sosial yang terjadi dalam masyarakat dalam rangka

penyusunan suatu perundang-undangan maka tidak begitu banyak lagi

pengarahan institusi kekuasaan dalam melaksanakannya.

c. Landasan yuridis

Landasan yuridis atau landasan hukum yang menjadi landasan dalam

pembuatan peraturan perundang-undangan, adalah peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi dan menjadi dasar kewenangan. Dari sini akan

diketahui, apakah seorang pejabat atau badan mempunyai kewenangan

membentuk peraturan itu atau apakah urusan yang diatur itu berada dibawah

kewenangan mengatur badan itu, serta apakah materi muatan yang akan diatur

menjadi kompetensi mengatur dari jenis peraturan yang akan dirancang.23

Landasan yuridis merupakan ketentuan hukum yang menjadi sumber

hukum/dasar hukum untuk pembentukan suatu perundang-undangan.

Landasan yuridis pada pembentukan perda yakni mengacu pada pasal 18

UUD NRI 1945 yang memberikan wewenang kepada pemerintah daerah

23 Supardan Modoeng, Teknik Perundang-undangan di Indonesia, (Jakarta: Perca, 2005) h. 64

22

untuk menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lainnya demi

menjalankan otonomi dan tugas pembatuan.

d. Landasan Politis

Landasan politis adalah garis kebijakan politik yang menjadi dasar

selanjutnya bagi sebuah kebijakan dan pengarahan ketatalaksanaan

pemerintahan negara.24

Landasan merupakan “ruh” yang mengarahkan

kebijakan untuk memberi proteksi struktural dan kemasyarakatan guna

mencegah kemungkinan kekacauan sistem pada kebijakan publik dan

kegelisahan dalam masyarakat, baik dalam lingkup daerah maupun dalm

lingkup nasional.25

Hukum sebagai produk politik merupakan anggapan yang benar.

Norma peraturan perundang-undangan harus berlandaskan pada haluan politik

pemerintahan yang termuat dalam Garis-garis Besar Haluan Negara. Hal ini

dapat diungkapkan pada garis politik seperti pada saat ini tertuang pada

Program Legislasi Nasional (Prolegnas) maupun Program Legislasi Daerah

(Prolegda), dan juga kebijakan Program Pembangunan Nasioal (Propenas)

sebagai arah kebijakan pemerintah yang akan di laksanakan selama

pemerintahannya ke depan. Ini berarti memberi pengarahan dalam pembuatan

24 Jimly Asshiddiqie & M Ali Safaat, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, (Jakarta:

Sekretariat Jederal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2012) h. 172

25

Supardan Modoeng, Teknik Perundang-undangan di Indonesia, edisi revisi, (Jakarta: Perca,

2005) h. 69-70

23

peraturan perundang-undangan yang akan dibuat oleh badan atau pejabat yang

berwenang.

B. Fungsi dan Materi Muatan Peraturan Daerah

1. Fungsi Peraturan Daerah

Fungsi perda merupakan fungsi yang bersifat atribusi yang diatur

berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah, terutama pasal 136, dan juga merupakan fungsi delegasian dari peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi. Fungsi perda adalah untuk

menyelenggarakan pelaksanaan otonomi daerah dan tugas pembantuan dalam

rangka penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Adapun fungsi peraturan daerah ini, sebagai berikut:

a. Menyelenggarakan pengaturan dalam rangka penyelenggaraan otonomi

daerah dan tugas pembantuan.

b. Menyelenggarakan pengaturan sebagai penjabaran lebih lanjut peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi dan memperhatikan ciri khas

masing-masing daerah.

c. Menyelenggarakan pengaturan hal-hal yang tidak bertentangan dengan

kepentingan umum.

d. Menyelenggarakan pengaturan hal-hal yang tidak bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Menurut Maria Farida Indrati S yang dimaksud tidak bertentangan

dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi disini adalah

tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di tingkat

pusat.26

26 Maria Farida Indrati Soeprapto Buku I. Ilmu Perundang-undangan (Jenis, Fungsi, dan

Materi Muatan), Cet-1, (Yogyakarta: Kanisius, 2007) h. 232

24

2. Materi Muatan Peraturan Daerah

Materi muatan perda merupakan materi muatan yang bersifat atribusian

maupun delegasian dari materi muatan undang-undang, atau keputusan presiden,

karena perda merupakan peraturan pelaksana undang-undang dan keputusan

presiden.27

Dalam pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dijelaskan bahwa materi muatan

peraturan daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan

otonomi daerah dan tugas pembantuan, juga menampung kondisi khusus daerah

serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Kemudian dalam pasal 138 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun

2004 tentang Pemerintahan Daerah, disebutkan bahwa materi muatan perda itu

mengandung beberapa asas sebagai berikut:

a. Pengayoman

b. Kemanusiaan

c. Kebangsaan

d. Kekeluargaan

e. Kenusantaraan

f. Bineka tunggal ika

g. Keadilan

h. Kebersamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan

i. Ketertiban dan kepastian hukum dan atau

j. Keseimbangan, keselarasan dan keserasian

27 HAS Natabaya, Sistem Peraturan Perundang-undangan Indonesia, Cet-1, (Jakarta:

Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006) h. 132

25

Selanjutnya dalam ayat (2) menjelaskan bahwa selain asas yang

disebutkan di atas, perda dapat memuat asas yang lain asalkan sesuai dengan

substansi perda yang bersangkutan.

C. Pembentukan Peraturan Daerah dan Kedudukannya

1. Pembentukan Peraturan Daerah

Pembentukan perda sesuai Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menjelaskan bahwa perencanaan

penyusunan perda dilakukan dalam Prolegda dengan judul Rancangan Peraturan

Daerah (Selanjutnya disebut raperda), dan tahapan sebagai berikut:

1) Penyusunan Prolegda

a. Penyusunan prolegda dilaksanakan oleh DPRD dan pemerintah daerah

untuk jangka waktu 1 (satu) tahun (prolegda dilakukan setiap tahun

sebelum penetapan raperda tentang APBD)

b. Penyusunan prolegda antara DPRD dan pemerintah daerah

dikoordinasikan oleh DPRD melalui alat kelengkapan DPRD yang khusus

menangani bidang legislasi.

c. Penyusunan prolegda di lingkungan DPRD dikoordinasikan oleh alat

kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang legislasi yang lebih

lanjut diatur dengan peraturan DPRD, begitu pula penyusunan di

lingkungan pemerintah daerah dikoordinasikan oleh biro hukum yang

lebih lanjut diatur dengan peraturan kepala daerah.

26

d. Hasil penyusunan disepakati menjadi Prolegda dan ditetapkan dalam rapat

paripurna DPRD dan ditetapkan dengan keputusan DPRD.

2) Penyusunan raperda

a. Raperda berasal dari DPRD atau kepala daerah dimana raperda tersebut

disertai dengan penjelasan atau keterangan dan/atau Naskah Akademik.

b. Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi raperda yang

berasal dari DPRD dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPRD yang

khusus menangani bidang legislasi, dan yang berasal dari kepala daerah

dikoordinasikan oleh biro hukum dan dapat mengikutsertakan instansi

vertikal dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di

bidang hukum.

c. Penyusunan raperda yang berasal dari kepala daerah lebih lanjut diatur

dengan peraturan presiden dan raperda dapat juga diajukan oleh anggota

komisi, gabungan komisi, atau alat kelengkapan DPRD yang khusus

menangani bidang legislasi28

yang ketentuan lebih lanjutnya diatur dalam

Peraturan DPRD.

d. Raperda yang disiapkan oleh DPRD disampaikan dengan surat pimpinan

DPRD kepada kepala daerah, dan yang disiapkan oleh kepala daerah

disampaikan dengan surat pengantar kepala daerah kepada pimpinan

DPRD.

28 Abdul Latief, Hukum dan Peraturan Kebijakan (Beleidsregel) Pada Pemerintahan Daerah,

Cet-1, (Yogyakarta: Pusat Studi FH UII, 2005) h. 71

27

e. Apabila dalam satu masa sidang DPRD dan kepala daerah menyampaikan

raperda dengan materi yang sama, maka yang dibahas adalah raperda dari

DPRD sedangkan raperda dari kepala daerah dijadikan untuk

dipersandingkan.

3) Pembahasan dan penetapan raperda

a. Pembahasan raperda dilakukan oleh DPRD bersama kepala daerah

dilakukan melalui tingkat-tingkat pembicaraan yang dilaksanakan dalam

rapat komisi/panitia/badan/alat kelengkapan DPRD.

b. Raperda dapat ditarik kembali sebelum dibahas oleh DPRD dan kepala

daerah sedangkan raperda yang sedang dibahas dapat ditarik hanya

dengan persetujuan bersama DPRD dan kepala daerah.

c. Raperda yang telah disetujui bersama, disampaikan oleh pimpinan DPRD

kepada kepala daerah dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh)

hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama untuk ditetapkan menjadi

peraturan daerah.

d. Raperda ditetapkan oleh kepala daerah dengan membubuhkan tanda

tangan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak raperda

tersebut disetujui oleh DPRD dan kepala daerah, jika tidak ditandatangani

dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak disetujui bersama,

maka raperda tersebut sah menjadi peraturan daerah.

28

Lalu dalam hal penetapan perda H.A.W. Wijaya menambahkan bahwa

peraturan daerah ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan

bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. 29

Selanjutnya menurut Nomensen

Sinamo menjelaskan peraturan daerah dibentuk berdasarkan asas pembentukan

peraturan perundang-undangan yang meliputi:

a. Kejelasan tujuan

b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat

c. Kesesuaian antara jenis

d. Dapat dilaksanakan

e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan

f. Kejelasan rumusan dan

g. Keterbukaan30

2. Kedudukan Peraturan Daerah dalam Peraturan Perundang-undangan

Secara materiil, kedudukan perda dalam peraturan perundang-undangan

nasional selalu menempati kedudukan yang strategis dalam penyelenggaraan

pemerintahan daerah, tetapi secara formal kedudukan perda belum diakui dalam

hierarki peraturan perundang-undangan baik pada masa awal kemerdekaan

maupun pada era demokrasi terpimpin. Hierarki peraturan perundang-undangan

mulai dikenal sejak dibentuknya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1950 tentang

Peraturan Tentang Jenis dan Bentuk Peraturan.

29 HAW Wijaya, Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia Dalam Rangka Sosialisasi UU 32

2004, Cet-2, (Jakarta: PT Raja Grrafindo Persada, 2005) h. 244

30

Nomensen Sinamo, Hukum Pemerintahan daerah di Indonesia, Cet-1, (Jakarta: Pustaka

Mandiri, 2010) h. 102

29

Dalam undang-undang ini belum dikenal perda dalam hierarki, justru

peraturan menteri merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan

yang berada dibawah peraturan pemerintah. Hal ini dapat dimengerti, mengingat

Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 menganut sistem parlementer,

sehingga presiden hanya bertindak sebagai kepala negara dan tidak mempunyai

wewenang untuk membentuk keputusan yang bersifat mengatur.31

Dalam sistem hukum nasional, tata urutan perundang-undangan secara

positiefrechttelijk lebih lanjut diatur dalam Tap MPRS Nomor X/MPRS/1996

tentang Memorandum DPRGR Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik

Indonesia.32

Tetapi didalamnya perda tidak termasuk dalam jenis peraturan

perundang-undangan.

Kedudukan perda dalam jenis dan hierarki perundang-undangan mulai

dikenal/diakui setelah ditetapkan Tap MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber

Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan.33

Dalam pasal 2

dirumuskan bahwa peraturan perundang-undangan merupakan pedoman dalam

pembuatan hukum dibawahnya, yang meliputi: (1) UUD 1945, (2) Tap MPR, (3)

Undang-undang, (4) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, (5)

Peraturan Pemerintah, (6) Keputusan Presiden, (7) Peraturan Daerah. Dalam pasal

31 Maria Farida Indrati Soeprapto, Buku I. Ilmu Perundang-undangan (Proses dan Teknik

Pembentukannya),Cet-1, (Yogyakarta: Kansius, 2007) h. 71

32

Engelbrecht. Himpunan Peraturan Perundang-undangan Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru-

van Hoeve, 2006) h. 54

33

Engelbrecht, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru-

van Hoeve, 2006) h. 24

30

3 butir 7 dirumuskan bahwa perda merupakan peraturan untuk melaksanakan

aturan hukum di atasnya dan menampung kondisi khusus dari daerah yang

bersangkutan yang dibentuk oleh DPRD bersama kepala daerah.

Pasca perubahan UUD NRI 1945 dan setelah Tap MPR No I/MPR/2003

tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPR

Sementara dan Ketetapan MPR Republik Indonesia Tahun 1960 sampai dengan

tahun 2002, kedudukan perda secara formal dalam peraturan perundang-undangan

nasional menempati posisi kuat dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor

10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Selanjutnya setelah dirubahnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004

dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan, disini perda menjadi dua bentuk pertama, perda provinsi

dan kedua perda kabupaten/kota. Dalam pasal 7 ayat (1), perda merupakan jenis

peraturan perundang-undangan yang kedudukannya dibawah Peraturan Presiden.

Perda merupakan jenis peraturan perundang-undangan yang

pembentukannya melibatkan lembaga perwakilan. Itu sebabnya jenis perda

tersebut mempunyai keistimewaan dalam hal materi muatannya. Perda

mempunyai keistimewaan karena dapat memuat ketentuan pidana dalam materi

muatannya. Perda juga merupakan jenis peraturan perundang-undangan yang

jenis dan kedudukannya diatur dalam UUD NRI 1945.34

34 Ahmad Yani, Pembentukan Undang-undang Dan Perda, Cet-1, ( Jakarta: Rajawali Pers,

2011) h. 13

31

31

BAB III

KEWENANGAN PENGAWASAN PERATURAN DAERAH

A. Tinjauan Umum Keputusan Menteri

1. Dasar Hukum dan Fungsi Keputusan Menteri

Jabatan Menteri Negara menurut ketentuan Pasal 17 UUD NRI 1945 itu

haruslah diisi berdasarkan merit sistem. Itulah konsekuensi dari pilihan sistem

pemerintahan presidensil yang dianut dalam UUD NRI 1945. Dengan demikian

kekuasaan para Menteri Negara bersifat meritokratis (meritocracy), sehingga

dalam memimpin kementerian yang menjadi tugasnya, para menteri itu pula

diharapkan bekerja menurut standar yang bersifat meritokratis.35

Berkenaan dengan tugas menteri dibidangnya, salah satunya dapat

menerbitkan keputusan/peraturan menteri guna memberikan payung hukum

dalam melaksanakan pemerintahan. Oleh karena itu, menurut Maria Farida S, ada

empat fungsi dan dasar diterbitkannya keputusan menteri adalah sebagai berikut:

a. Menyelenggarakan peraturan secara umum dalam rangka penyelenggaraan

kekuasaan pemerintah dibidangnya.

b. Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam peraturan

presiden.

Fungsi ini merupakan delegasian berdasarkan ketentuan pasal 17 UUD NRI

1945 perubahan yang menentukan bahwa:

1) Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara.

2) Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh presiden

3) Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.

35 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,

Cet-2, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006) h.176

32

c. Menyelenggarakan peraturan lebih lanjut ketentuan dalam undang-undang

yang secara tegas menyebutkannya.

d. Menyelengarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam peraturan

pemerintah yang tegas-tegas menyebutkannya.36

Keputusan menteri ini merupakan salah satu instrument hukum, sehingga

keberadaan Keputusan Menteri masih sangat diperlukan dalam rangka

melaksanakan peraturan perundang-undangan diatasnya yang secara tegas

mendelegasikan.37

2. Materi Muatan Keputusan Menteri

Materi muatan berkaitan erat dengan jenis peraturan perundang-undangan

dan terkait dengan pendelegasian pengaturan. Selain terkait dengan jenis dan

pendelegasian, materi muatan terkait dengan cara merumuskan norma. Perumusan

norma peraturan menteri harus ditujukan langsung kepada pengaturan lingkup

bidang tugasnya menteri atau kementeriannya yang berasal dari pendelegasian

dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya.38

Dalam membentuk peraturan perundang-undangan harus memperhatikan

materi muatan yang akan dituangkan dalam peraturan tersebut. A.Hamid S.

Attamimi membagi sepuluh materi muatan peraturan perundang-undangan, yakni:

36 Maria Farida Indirati Soeprapto, Buku 1, Ilmu Perundang-undangan (Jenis, Fungsi dan

Materi Muatan), Cet-1, (Yogyakarta: Kanisius, 2007) h. 225-227

37

Suhariyono Ar, Peraturan Menteri dan Keputusan Menteri. Jurnal legislasi Indonesia, Cet-

1, (Dirjen Peraturan Perundang-undangan Departemen Kehakiman dan HAM RI, Volume 1, Nomor 2,

2004) h. 120

38

Suhariyono Ar, Peraturan Menteri dan Keputusan Menteri. Jurnal legislasi Indonesia, Cet-

1, (Dirjen Peraturan Perundang-undangan Departemen Kehakiman dan HAM RI, Volume 1, Nomor 2,

2004) h.124

33

a. Yang tegas-tegas diperintahkan oleh UUD dan Tap MPR

b. Yang mengatur lebih lanjut ketentuan UUD

c. Yang mengatur hak-hak asasi manusia

d. Yang mengatur hak dan kewajiban warga Negara

e. Yang mengatur pembagian kekuasaan Negara

f. Yang mengatur organisasi pokok lembaga-lembaga tinggi negara

g. Yang mengatur pembagian wilayah/daerah negara

h. Yang mengatur siapa warga negara dan cara memperoleh/kehilangan

kewarganegaraan

i. Yang dinyatakan oleh suatu undang-undang untuk diatur dengan undang-

undang. 39

Dalam konteks ini, A. Hamid S. Attamimi mempertegas bahwa perincian

butir-butir diatas menunjukkan pena-pena penguji (testpennen) untuk menguji

apakah suatu materi peraturan perundang-undangan negara termasuk materi

muatan atau tidak. Berkenaan dengan materi muatan keputusan menteri, dalam

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan tidak ditegaskan secara implisit mengenai materi

muatannya.

Akan tetapi menurut Maria Farida Indrati Soeprapti, materi muatan

peraturan perundang-undangan lainnya, termasuk Keputusan Menteri yakni

merupakan materi muatan yang bersifat atribusian maupun delegasian dari materi

muatan undang-undang atau Keputusan Presiden, karena peraturan perundang-

39 A. Hamid S Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam

Penyelenggaraan Pemerintah Negara (Suatu Studi AnalisisMengenai Keputusan Presiden yang

Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I-Pelita IV), Cet-1, (Jakarta: Disertasi Doktor UI,

1990) h. 218-219

34

undangan lainnya merupakan peraturan pelaksanaan undang-undang dan

Keputusan Presiden.40

Telah dijelaskan diatas, bahwa fungsi Keputusan Menteri adalah dalam

rangka menyelenggaarakan ketentuan Pasal 17 ayat 1 UUD NRI 1945, Undang-

undang, Peraturan Pemerintah dan Keputusan Presiden sehingga materi muatan

Keputusan Menteri harus bersumber dan berlandaskan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang ada diatasnya, baik bersumber dari delegasi maupun

atribusi.

3. Kedudukan Keputusan Menteri Dalam Hierarki Perundang-undangan

Jika dilihat eksistensi atau kedudukan Keputusan/Peraturan Menteri dalam

peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat ini, tentunya ada sedikit

penegasan dan pengakuan Keputusan/Peraturan menteri. Dalam rumusan Pasal 7

ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan, hierarki terdiri dari UUD NRI 1945, Tap MPR, Undang-

undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, Peraturan Pemerintah,

Peraturan Presiden dan Perda Provinsi, Perda Kabupaten/Kota. Artinya bila hanya

menelaah pasal tersebut, maka akan menimbulkan beberapa penafsiran yang salah

satunya menyatakan bahwa Keputusan/Peraturan Menteri itu tidak diakui dan

tidak masuk dalam tata urutan peraturan perundang-undangan.

40 Maria Farida Indrati Soeprapto, Buku 1, Ilmu Perundang-undangan (Jenis, Fungsi dan

Materi Muatan), Cet-1, (Yogyakarta: Kanisius, 2007) h. 243

35

Oleh karenanya harus ditelaah dan dikaji lebih mendalam rumusan yang

terkandung dalam Pasal 8 ayat (1) dan (2) dikatakan bahwa:

1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa

Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau

komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau

Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.

2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui

keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang

diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau

dibentuk berdasarkan kewenangan.

Kemudian sebagai pendukung argumentasi dalam pasal di atas, maka jenis

peraturan perundang-undangan selain dalam ketentuan pasal 7 ayat 1 yakni salah

satunya peraturan yang dikeluarkan oleh Menteri sebagaimana tertera pada Pasal

8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan. Dari penjelasan pasal 8 di atas, dapat

disimpulkan bahwa, Menteri dapat membentuk suatu peraturan perundang-

undangan yang disebut Keputusan Menteri/Peraturan Menteri, sepanjang

diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Dengan adanya rumusan “sepanjang diperintah oleh peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi” dalam pasal 8 ayat (2) Undang-undang Nomor 12

Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tersebut, maka

Menteri hanya dapat membentuk Keputusan/Peraturan Menteri apabila undang-

36

undang, Peraturan Pemerintah, atau Peraturan Presiden secara tegas

memerintahkan (menetapkan).

Dari kajian teori dan ilmu perundang-undangan ketentuan tersebut telah

membatasi kewenangan menteri dalam melaksanakan fungsi pemerintahan yang

diembannya, sebagai penyelenggara sebagian bidang pemerintahan yang

diberikan oleh Presiden, serta menerapkan kembali kebiasaan pembentukan

peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam sistem parlementer.41

B. Tinjauan Umum Peraturan Presiden

1. Fungsi dan Dasar Hukum Pembentukan Peraturan/Keputusan Presiden

Pembentukan Peraturan Presiden yang berfungsi pengaturan yang

dilakukan presiden tanpa memerlukan persetujuan DPR, yang merupakan bagian

dari tugas dan fungsi pemerintahan. Peraturan Presiden tersebut dapat berupa (i)

pengaturan lebih lanjut ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan

pemerintah dan (ii) pengaturan hal-hal lain yang tidak termasuk salah satu jenis

peraturan perundang-undangan negara tersebut di atas.42

Menurut Maria Farida

Indrati S, fungsi Peraturan Presiden yang berisi pengaturan adalah:

a. Menyelenggarakan pengaturan secara umum dalam rangka penyelenggaraan

kekuasaan pemerintahan.

41 Maria Farida Indrati Soeprapto, Jenis Hierarki dan Materi Muatan Peraturan Perundang-

undangan Menurut Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan

Perundangan, (Jakarta: Makalah Biro Hukum dan Organisasi Dept. Kehutanan RI, 2005) h. 9

42

A. Hamid S Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam

Penyelenggaraan Pemerintah Negara (Suatu Studi AnalisisMengenai Keputusan Presiden yang

Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I-Pelita IV), Cet-1, (Jakarta: Disertasi Doktor UI,

1990) h. 235

37

Fungsi ini merupakan suatu kewenangan atribusi dari UUD NRI 1945

kepada Presiden, dan sesuai dengan pendapat dari G. Jellinek bahwa di dalam

kekuasaan pemerintahan itu termasuk pula fungsi mengatur dan memutus.

Fungsi ini dapat dilaksanakan dengan membentuk suatu peraturan perundang-

undangan, di dalam hal ini adalah pembentukan suatu Keputusan Presiden

(baik bersifat mengatur atau menetapkan).

Keputusan Presiden dalam melaksanakan fungsi yang pertama ini

merupakan Keputusan Presiden yang mandiri, yaitu Keputusan Presiden yang

merupakan sisa dari peraturan perundang-undangan yang tertentu batas

lingkupnya yaitu undang-undang, peraturan pemerintah dan keputusan

presiden yang merupakan pengaturan delegasian.

b. Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam peraturan

pemerintah yang tegas-tegas menyebutkannya.

c. Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan lain dalam peraturan

pemerintah meskipun tidak tegas-tegas menyebutkannya.

Kedua fungsi tersebut (a dan b) merupakan fungsi Peraturan Presiden

yang merupakan fungsi delegasian dari peraturan pemerintah dan sekaligus

undang-undang yang dilaksanakannya. Fungsi Peraturan Presiden disini

merupakan fungsi yang berdasarkan stufentheorie, dimana suatu peraturan

yang di bawah itu selalu berlaku, bersumber dan berdasar pada peraturan yang

lebih tinggi di atasnya.

Peraturan Presiden disini merupakan peraturan yang bersifat

delegasian/limpahan yang kewenanganya terletak/diatur dalam undang-

undang dan peraturan pemerintah, sehingga Keputusan Presiden di sini hanya

mengatur lebih lanjut saja, tidak membentuk suatu kebijakan baru.43

2. Materi Muatan Keputusan/Peraturan Presiden

Materi muatan dari Keputusan/Peraturan Presiden ini harus dilihat dari

dua segi sesuai dengan fungsi Keputusan/Peraturan Presiden tersebut.

Keputusan/Peraturan Presiden adalah pengaturan yang dibuat oleh Presiden

sebagai penyelenggaraan fungsi pemerintahan sesuai dengan ketentuan dalam

43 Maria Farida Indrati Soeprapto, Buku 1. Ilmu Perundang-undangan (Jenis, Fungsi dan

Materi Muatan), Cet-1, (Yogyakarta: Kanisius, 2007) h. 223-225

38

pasal 4 ayat (1) UUD NRI 1945, dimana fungsi ini merupakan atribusi dari UUD

NRI 1945, sedangkan fungsi dari keputusan presiden lainnya adalah

menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut dari peraturan pemerintah baik yang

secara tegas-tegas memintanya ataupun yang secara tidak tegas-tegas, dimana

fungsi disini merupakan delegasi dari peraturan pemerintah yang melaksanakan

suatu undang-undang.

Berdasarkan kedua fungsi tersebut maka materi muatan suatu keputusan

presiden merupakan materi muatan sisa dari materi muatan undang-undang dan

peraturan pemerintah, yaitu materi yang bersifat atribusian, serta materi muatan

yang merupakan delegasian dari undang-undang dan Peraturan Pemerintah.

Dalam hal luas dan batas lingkupnya, kewenangann yang bersifat atribusi, yaitu

dalam membentuk keputusan presiden yang mandiri, merupakan kewenangan

yang sangat luas dibandingkan dengan kewenangan yang berasal dari delegasi

undang-undang atau peraturan pemerintahnya.44

Materi muatan Keputusan/Peraturan Presiden menurut pasal 13 Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan, dijelaskan bahwa materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang

diperintahkan oleh undang-undang atau materi untuk melaksanakan

penyelenggaraan pemerintah.

44 Maria Farida Indrati Soeprapto, Buku 1, Ilmu Perundang-undangan (Jenis, Fungsi dan

Materi Muatan), Cet-1, (Yogyakarta: Kansius, 2007) h. 224

39

3. Kedudukan Peraturan Presiden

Dalam rangka melaksanakan undang-undang, Presiden sebagai kepala

pemerintahan tentu haruslah diberikan ruang gerak yang cukup untuk

berkreatifitas. Presiden harus memiliki keleluasaan untuk mengatur sendiri

kebijakan yang akan ditetapkan dalam rangka melaksanakan undang-undang itu.

Prinsip yang berkenaan dengan ruang gerak inilah yang dalam konsep hukum

administrasi Negara disebut sebagai freies ermessen. Presiden dianggap sudah

seyogyanya dapat menetukan sendiri norma-norma aturan kebijakan atau policy

rules (beleidsregels) yang diperlukan untuk menjalankan undang-undang.45

Oleh karena itu, Presiden sebaiknya tetap dimungkinkan untuk

menetapkan Peraturan Pemerintah dalam rangka menjalankan undang-undang,

dan sekaligus menetapkan peraturan kebijakan atau beleidsregels (policy rules)

yang disebut dengan nomeklatur Peraturan Presiden.46

Maka dari pengertian

Peraturan Presiden yang telah dijelaskan, Peraturan Presiden dalam pasal 7 ayat 1

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan, dimana Peraturan Presiden berada di atas perda dan di

bawah Peraturan Pemerintah. Artinya, Peraturan Presiden di sini terikat oleh

hierarki dalam tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia.

45 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Cet-1, (Jakarta: Mahkamah

Konstitusi RI dan Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI, 2003) h. 275

46

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Cet-1, (Jakarta: Mahkamah

Konstitusi RI dan Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI, 2003) h. 176

40

C. Bentuk Pengawasan Terhadap Peraturan Daerah

Secara umum pengertian pengawasan dapat diartikan sebagai proses

menentukan apa yang harus dikerjakan, kemudian dilakukan koreksi atau

pembenahan dengan maksud hasil yang ingin dicapai tadi sesuai dengan apa yang

telah direncanakan terdahulu. George R. Ferry menitikberatkan pengawasan pada

tingkat evaluasi serta koreksi terhadap hasil yang telah dicapai, dengan maksud agar

hasil tersebut sesuai dengan rencana, maka dilkukan pada akhir suatu kegiatan setelah

kegiatan tersebut menghasilkan sesuatu. 47

Sedangkan definisi yang diberikan oleh Henry Farol dapat diketahui hakekat

pengawasan adalah suatu tindakan menilai (menguji) apakah sesuatu telah berjalan

dengan rencana yang telah ditentukan. Dengan pengawasan itu akan dapat ditemukan

kesalahan-kesalahan yang kemudian dapat diperbaiki dan yang lebih penting lagi

jangan sampai kesalahan tersebut terulang kembali. 48

Berkaitan dengan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan

daerah khususnya pembentukan peraturan daerah yang dibuat oleh Pemerintah

Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota, selama ini dikenal adanya pengawasan preventif

dan represif, adapun penjelasan kedua pengawasan tersebut adalah:

47 Moh Hasyim, Pengawasan Kekuasaan Eksekutif Dalam Negara Hukum Pancasila,

(Yogyakarta: FH UII, Jurnal Hukum “Ius Quia Iustum” Nomor 6 Vol. 3, 1996) h.65

48

Moh Hasyim, Pengawasan Kekuasaan Eksekutif Dalam Negara Hukum Pancasila,

(Yogyakarta: FH UII, Jurnal Hukum “Ius Quia Iustum” Nomor 6 Vol. 3, 1996) h.65

41

1. Pengawasan Preventif

Pengawasan preventif adalah pengawasan yang dilakukan sebelum

keputusan atau peraturan efektif berlaku (voordat een besluit of regeling in

werking kan treden).49

Pengawasan preventif ini berbentuk memberi pengesahan

atau tidak memberi pengesahan. Sesuai dengan sifatnya, pengawasan preventif

dilakukan sesudah keputusan daerah ditetapkan, tetapi sebelum keputusan itu

mulai berlaku.

Irawan Soejito menegaskan bahwa pengawasan preventif ini hanya

dilakukan terhadap keputusan kepala daerah dan peraturan daerah, yang berisi

atau mengatur materi-materi tertentu. Ada beberapa bentuk pengawasan preventif

ini yaitu pengesahan (goedkeuring), persetujuan (toestemming vooraf),

pembebasan/dispensasi (ontheffing), pemberian kuasa (machtiging) dan

pernyataan tidak keberatan (verklaring van geen bezwaar).50

Berdasarkan pemahaman tentang pengawasan preventif di atas, dalam

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Darah, telah

dijabarkan mengenai pengawasan preventif rancangan peraturan daerah propinsi

dan rancangan peraturan daerah kabupaten/kota antara lain:

49 Ridwan, Dimensi Hukum Pengawasan Terhadap Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Cet-

1, (Yogyakarta: FH UII, Jurnal Hukum “Ius Quia Tustum” Nomor 18, Vol.8, 2001) h.78

50

Ridwan, Dimensi Hukum Pengawasan Terhadap Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Cet-

1, (Yogyakarta: FH UII, Jurnal Hukum “Ius Quia Tustum” Nomor 18, Vol.8, 2001) h. 85

42

a. Pengawasan Preventif Rancangan Peraturan Daerah Propinsi

Dalam rumusan pasal 185 ayat 1-4, dikatakan:

1. Raperda provinsi tentang APBD yang telah disetujui bersama dan

rancangan peraturan gubernur tentang penjabaran APBD sebelum

ditetapkan oleh gubernur paling lambat 3 (tiga) hari disampaikan kepada

Menteri Dalam Negeri untuk dievaluasi.

2. Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh

Menteri Dalam Negeri kepada gubernur paling lambat 15 (lima belas) hari

terhitung sejak diterimanya rancangan dimaksud.

3. Apabila Menteri Dalam Negeri menyatakan hasil evaluasi raperda tentang

APBD dan rancangan peraturan gubernur tentang penjabaran APBD sudah

sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan

yang lebih tinggi, gubernur menetapkan rancangan dimaksud menjadi

perda dan peraturan gubernur.

4. Apabila Menteri Dalam Negeri menyatakan hasil evaluasi raperda tentang

APBD dan rancangan peraturan gubernur tentang penjabaran APBD

bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi, gubernur bersarna DPRD melakukan

penyempurnaan paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak diterimanya

hasil evaluasi.

b. Pengawasan Preventif Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Ketentuan mengenai pengawasan preventif raperda kabupaten/kota,

diatur dalam beberapa rumusan pasal yang termuat dalam Undang-undang

Nomor 32 Tahun 2004, yakni pasal 186, 187, 188 dan 189, adapun jelasnya

rumusan pasal-pasal di atas adalah:

Pasal 186 ayat 1-4 menyatakan:

1. Rancangan perda kabupaten/kota tentang APBD yang telah disetujui

bersama dan rancangan peraturan Bupati/Walikota tentang penjabaran

APBD sebelum ditetapkan oleh Bupati/Walikota paling lama 3 (tiga) hari

disampaikan kepada Gubernur untuk dievaluasi.

43

2. Hasil evaluasi disampaikan oleh Gubernur kepada Bupati/Walikota paling

lama 15 (lima belas) hari terhitung sejak diterimanya rancangan perda

kabupaten/kota dan rancangan peraturan Bupati/Walikota tentang

penjabaran APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

3. Apabila Gubernur menyatakan hasil evaluasi rancangan perda tentang

APBD dan rancangan peraturan Bupati/Walikota tentang penjabaran

APBD sudah sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi, bupati/walikota menetapkan rancangan

dimaksud menjadi perda dan peraturan Bupati/Walikota.

4. Apabila Gubernur menyatakan hasil evaluasi rancangan perda tentang

APBD dan rancangan peraturan Bupati/Walikota tentang penjabaran

APBD tidak sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan

perundangundangan yang lebih tinggi, bupati/walikota bersama DPRD

melakukan penyempurnaan paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya

hasil evaluasi.

Kemudian pasal 187 ayat 1-4 menyatakan:

1. Apabila DPRD sampai batas waktu sebagaimana dimaksud dalam pasal

181 ayat (3) tidak mengambil keputusan bersama dengan kepala daerah

terhadap rancangan peraturan kepala daerah tentang APBD, kepala daerah

melaksanakan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBD tahun

anggaran sebelumnya untuk membiayai keperluan setiap bulan yang

disusun dalam rancangan peraturan kepala daerah tentang APBD.

2. Rancangan peraturan kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dapat dilaksanakan setelah memperoleh pengesahan dari Menteri Dalam

Negeri bagi provinsi dan gubernur bagi kabupaten/kota.

3. Untuk memperoleh pengesahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),

rancangan peraturan kepala daerah tentang APBD beserta lampirannya

disampaikan paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak DPRD

tidak rnengambil keputusan bersama dengan kepala daerah terhadap

rancangan perda tentang APBD.

4. Apabila dalam batas waktu 30 (tiga puluh) hari Menteri Dalam Negeri

atau gubernur tidak mengesahkan rancangan peraturan kepala daerah

sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kepala daerah menetapkan

rancangan peraturan kepala daerah dimaksud menjadi peraturan kepala

daerah.

44

Dari pelaksanaan pengawasan preventif rancangan peraturan daerah

propinsi dan rancangan peraturan daerah kabupaten/kota di atas juga berlaku

pasal 188 yang menyatakan proses penetapan raperda tentang perubahan

APBD dan rancangan peraturan kepala daerah tentang penjabaran perubahan

APBD menjadi perda dan peraturan kepala daerah berlaku ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 185, Pasal 186, dan pasal. 187.

Kemudian pasal 189 menjelaskan juga proses penetapan raperda

tentang Pajak Daerah, Retribusi Daerah, dan Tata Ruang daerah menjadi

perda, berlaku pasal 185 dan pasal 186, dengan ketentuan untuk pajak dan

retribusi daerah dikoordinasikan dengan Menteri Keuangan, dan untuk tata

ruang daerah dikoordinasikan dengan menteri yang membidangi urusan tata

ruang.

2. Pengawasan Represif

Pengawasan represif dilakukan setelah keputusan atau peraturan

perundang-undangan diberlakukan atau berkenaan dengan keputusan-keputusan

organ lebih rendah yang telah mempunyai kekuatan hukum.51

Pengawasan

represif adalah pembatalan atau penangguhan terhadap pelaksanaan suatu

peraturan perundang-undangan atau peraturan daerah tingkat atasnya.52

Pengawasan represif ini berwujud: a) Mempertangguhkan berlakunya suatu

51 Ridwan. Dimensi Hukum Pengawasan Terhadap Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Cet-

1, (Yogyakarta: FH UII, Jurnal Hukum “Ius Quia Tustum” Nomor 18, Vol.8, 2001) h. 79

52

Misdayanti dan Kartasapoetra, Fungsi Pemerintah Daerah Dalam Pembuatan Peraturan

Daerah, Cet-2, (Jakarta: Bumi Aksara, 1993) h. 29

45

peraturan daerah dan/atau keputusan kepala daerah, b) Membatalkan suatu

peraturan daerah dan/atau keputusan kepala daerah.53

Pembatalan dilakukan jika peraturan daerah dan keputusan kepala daerah

tertentu bertentangan dengan kepentingan umum atau bertentangan dengan

peraturan yang lebih tinggi.54

Dengan demikian, menurut Irawan Soejito

pengawasan represif dapat dijalankan terhadap:

a. Semua peraturan daerah, baik yang tidak/belum disahkan maupun

peraturan daerah yang tidak memerlukan pengesahan.

b. Semua keputusan kepala daerah, termasuk keputusan kepala daerah yang

berisi:

1. Keputusan pemberian pengesahan

2. Keputusan penolakan pengesahan

3. Keputusan pembatalan

4. Keputusan yang telah disahkan

5. Keputusan untuk melakukan suatu tindak hukum

6. Dan lain-lain.55

a. Pengawasan Represif Peraturan Daerah Propinsi, Kabupaten/Kota:

Salah satu kewenangan pemerintah terhadap pembatalan peraturan

daerah, telah diatur dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah, mekanismenya diatur dalam Pasal 145, yaitu

sebagai berikut:

53 Irawan Soejito, Pengawasan Terhadap Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah,

Cet-1, (Jakarta: Bina Aksara, 1983) h. 51

54

Ridwan. Dimensi Hukum Pengawasan terhadap Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Cet-1,

(Yogyakarta: FH UII, Jurnal Hukum “Ius Quia Tustum” Nomor 18, Vol.8, 2001) h. 79

55

Irawan Soejito, Pengawasan Terhadap Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah,

Cet-1, (Jakarta: Bina Aksara, 1983) h. 52

46

1. Perda disampaikan kepada pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari

setelah ditetapkan.

2. Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan

kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang

lebih tinggi dapat dibatalkan oleh pemerintah.

3. Keputusan pembatalan perda sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh)

hari sejak diterimanya perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

4. Paling lama 7 (tujuh) hari setelah keputusan pembatalan sebagaimana

dimaksud pada ayat (3), kepala daerah harus memberhentikan

pelaksanaan perda dan selanjutnya DPRD bersama kepala daerah

mencabut perda dimaksud.

5. Apabila provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan

pembatalan perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan alasan

yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, kepala

daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung.

6. Apabila keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikabulkan

;sebagian atau seluruhnya, putusan Mahkamah Agung tersebut

menyatakan Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai

kekuatan hukum.

7. Apabila Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk

membatalkan perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3), perda

dimaksud dinyatakan berlaku.

Proses pembatalan perda sesuai dengan Pasal 145 Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ini, penulis

mengambarkannya dengan sebuah skema yang penulis lampirkan pada lembar

lampiran halaman x.

47

D. Pengawasan Peraturan Daerah di Indonesia

1. Sejarah Pengawasan Peraturan Daerah Sebelum Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Komite Nasional Indonesia

Daerah

Pada awal kemerdekaan, ketentuan mengenai pemerintahan daerah

diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 18. Lalu dibentuklah Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Komite Nasional Indonesia Daerah. Di

masa ini belum ada pemerintah daerah, yang ada adalah Badan Perwakilan

Rakyat Daerah. Demikian pula belum ada daerah otonom, karena suasananya

adalah permulaan kemerdekaan.56

b. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Penetapan Aturan-aturan

Pokok Mengenai Pemerintahan Sendiri di Daerah-daerah Yang Berhak

Mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri

Dalam undang-undang ini pengaturan mengenai pengawasan perda

hanya dijelaskan bahwa perda tidak boleh mengatur yang sudah diatur oleh

undang-undang, peraturan pemerintah dan perda yang lebih tinggi

tingkatannya, dan perda juga tidak boleh bertentangan dengannya, hal ini

diatur pada pasal 28. Pengawasan perda dalam undang-undang ini tidak

56 Bayu Surianingrat, Desentralisasi dan Dekonsentrasi Pemerintahan di Indonesia Suatu

Analisa, Jilid I, Cet-1, (Jakarta: Dewaruci Press, 1980) h. 30

48

didukung dengan pengawasan dari pemerintah, perda dilarang bertentangan

dengan peraturan yang lebih tinggi tetapi tidak ada lembaga yang mengujinya.

c. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan

Daerah

Pada masa berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara Republik

Indonesia 1945 terbentuklah undang-undang ini. Pada undang-undang ini

pelaksanaan pengawasan suatu perda tidak dijelaskan secara eksplisit, yang

disebutkan didalamnya adalah Keputusan DPRD dan Dewan Pemerintah

Daerah apabila bertentangan dengan kepentingan umum, undang-undang,

peraturan pemerintah atau peraturan daerah yang lebih tinggi tingkatannya,

dibatalkan oleh Mendagri atau penguasa lain yang ditunjuk dan bagi lain-lain

daerah Dewan Pemerintah Daerah setingkat lebih atas, ketentuan ini tertera

pada pasal 64.

d. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan

Daerah

Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Negara Kesatuan Republik

Indonesia kembali pada dasar Hukum Undang-Undang Dasar 1945. Lalu

dibentuklah undang-undang ini, dipicu lemahnya posisi kepala daerah dalam

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan

Daerah. Sama halnya dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang

49

Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, dalam undang-undang ini pengawasan

perda tidak dijelaskan secara eksplisit, pada pasal 80 disebutkan:

Keputusan-keputusan Pemerintah Daerah jikalau bertentangan dengan

kepentingan umum, undang-undang, Peraturan Pemerintah atau Perda

yang lebih tinggi tingkatannya, dipertangguhkan atau dibatalkan oleh

Mendagri bagi Daerah tingkat I dan oleh Kepala Daerah setingkat lebih

atas bagi lain-lain daerah.

e. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan

Daerah

Pada undang-undang ini disebutkan dengan jelas bahwa pengawasan

represif perda atau Keputusan Kepala Daerah yang bertentangan dengan

kepentingan umum, peraturan perundang-undangan atau perda tingkat atasnya

ditangguhkan keberlakuannya atau dibatalkan oleh pejabat yang berwenang

(Kepala Daerah). Apabila Gubernur Kepala Daerah tidak menangguhkan atau

membatalkan perda atau Keputusan Kepala Daerah, maka penangguhannya

dan atau pembatalannya dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri.

f. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

Pengaturan mengenai pembentukan dan pengawasan peraturan daerah

menjelang perubahan Undang-Undang Dasar 1945 dan setelah perubahan

Undang-Undang Dasar 1945 menghasilkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun

1999 tentang Pemerintahan Daerah. Pengawasan preventif terhadap perda

tidak lagi dimasukkan pada undang-undang ini, akibatnya perda tidak perlu

50

pengesahan oleh pemerintah pusat. Dan pengawasan represif dicantumkan

pada pasal 113 dan pasal 114.

Pada pasal tersebut dijelaskan bahwa perda disampaikan kepada

pemerintah, apabila perda tersebut bertentangan dengan kepentingan umum

dan peraturan yang lebih tinggi ataupun peraturan perundangan yang lain

maka pemerintah membatalkan perda tersebut.

2. Peraturan-peraturan Daerah Yang Dibatalkan Setelah Berlakunya Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Setelah diberlakukan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah, pengawasan terhadap perda dilakukan oleh pemerintah

pusat melalui Mendagri. Dalam undang-undang ini memberikan Mendagri

kewenangan membatalkan perda, sesuai pada pasal 185, pasal 186, pasal 188 dan

pasal 189. Berikut contoh Kepmendagri/Permendagri membatalkan perda:

a. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 277 Tahun 2009 tentang

Pembatalan Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Selatan Nomor 14 Tahun

2002 tentang Penerimaan Daerah Bukan Pajak atas Perusahaan Pengguna

Tenaga Kerja Warga Negara Asing

Mendagri membatalkan perda Kabupaten Lampung Selatan tersebut

karena perda tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan

yang lebih tinggi. Didalam perda ini mengatur pungutan terhadap

perpanjangan izin Penggunaan Tenaga Kerja Asing yang di dalamnya

51

mengatur setiap Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang (TKWNAP)

diwajibkan membayar Pungutan sebesar US$ 100 (seratus dolar Amerika) per

orang per bulan, ketentuan ini bertentangan dengan Peraturan Pemerintah

Nomor 92 Tahun 2000 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan

Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Perpanjangan izin Penggunaan Tenaga Kerja Asing merupakan

pungutan pusat berupa Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sesuai

Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2000 tentang Tarif Atas Jenis

Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Tenaga

Kerja dan Transmigrasi.

b. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 214 Tahun 2008 tentang

Pembatalan Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 9 Tahun 2002 tentang

Retribusi Izin Usaha Jasa Pariwisata

Pembatalan perda yang ditetapkan pada tanggal 6 Agustus 2008 ini

diputuskan oleh Mendagri. Di dalam perda ini mengatur izin usaha pariwisata

berlaku selama kegiatan usaha dan setelah kegiatan usaha berakhir. Tentu

ketetapan ini bertentangan dengan Pasal 103 Peraturan Pemerintah Nomor 67

Tahun 1996 tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan. Bahwa pasal 103

menjelaskan izin usaha pariwisata berlaku selama kegiatan usaha masih

dijalankan, ini sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

52

c. Keputusan Menteri Dalam Nomor 194 Tahun 2009 tentang Pembatalan

Peraturan Daerah Kabupaten Seram Bagian Barat Nomor 53 Tahun 2007

tentang Retribusi Izin Perfilman dan Penggunaan Sistem Distribusi Antena

Parabola (TV Kabel)

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2005 tentang

Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Berlangganan, Mendagri

membatalkan perda ini karena bertentangan dengan undang-undang tersebut.

Perda ini mengatur ketentuan retribusi dikenakan berkala untuk masa

berlakunya izin, lalu izin usaha penjualan dan penyewaan rekaman video,

usaha penayangan rekaman video, pertunjukan film, penayangan pemutaran

film anak-anak dalam perda ini tidak dimasukan dalam kategori izin usaha

perfilman.

Perda ini bertentangan dengan Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor

52 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran

Berlangganan bahwa pemberian izin usaha sistem distribusi dengan

menggunakan antena parabola merupakan kewenangan Pemerintah Pusat

bukanlah Pemerintah Daerah.

E. Pengujian Peraturan Daerah Oleh Mahkamah Agung

Selain dari pelaksanaan dua bentuk peraturan perundangan yang mengawasi

perda tersebut (Peraturan Presiden dan Kepmendagri/Permendagri) terdapat pula

pengawasan oleh Mahkamah Agung (judicial review). Pengujian peraturan

53

perundang-undangan dibawah undang-undang dilakukan oleh Mahkamah Agung. 57

Berkaitan dengan hierarki peraturan perundang-undangan pada Pasal 7 ayat 1

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan, maka Mahkamah Agung memiliki kewenangan menguji:

a) Peraturan Pemerintah

b) Peraturan Presiden

c) Peraturan Daerah Provinsi

d) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Kewenangan Mahkamah Agung melakukan pengujian terhadap tiga jenis

peraturan di atas terkandung dalam Pasal 24A Ayat (1) Perubahan Ketiga UUD NRI

1945, Pasal 11 Ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang

Kekuasaan Kehakiman, Pasal 31 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004

tentang Mahkamah Agung menjelaskan suatu peraturan perundang-undangan di

bawah undang-undang dapat dibatalkan, jika:

a) Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (aspek

materil)

b) Pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku (aspek formil)

Maka dalam hal ini, Mahkamah Agung telah mengeluarkan Peraturan

Mahkamah Agung (Perma) No. 1 Tahun 1999 tentang Hak Uji Materil yang sudah

diganti dengan Perma No. 1 Tahun 2004. Dalam menjalankan kewenangannya ini,

57 Jimly Asshidiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-undang, (Jakarta: Konpres, 2005) h. 6

54

Mahkamah Agung bersifat pasif. Permohonan keberatan dapat diajukan sekelompok

masyarakat atau perorangan atas berlakunya suatu perda yang diduga bertentangan

dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi ke Mahkamah Agung baik

secara langsung ataupun melalui Pengadilan Negeri sesuai wilayah hukum tempat

pemohon untuk mendapatkan putusan.

Dengan demikian, menurut jimly, produk legislatif di daerah provinsi atau

kabupaten/kota yang berupa peraturan daaerah sebagai hasil kerja dua lembaga, yaitu

Kepala Daerah dan DPRD yang keduanya dipilih melalui Pemilihan Umum dan

Pemilihan Umum Kepala Daerah, tidak dapat dibatalkan secara sepihak dari

pemerintah pusat begitu saja.58

Maka harus ada pihak ketiga sebagai lembaga

yudikatif yang membatalkan perda tersebut.

58 Jimly Asshidiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-undang, (Jakarta: Konpres, 2005) h. 37

55

55

BAB IV

KEWENANGAN PEMERINTAH PUSAT DALAM PENGAWASAN DAN

PEMBATALAN PERDA

A. Kewenangan Mendagri Dalam Pengawasan dan Pembatalan Perda

Dalam hal pengawasan perda, Mendagri memiliki kewenangan untuk

mengawasi perda, seperti yang tertera pada Pasal 185 ayat (1-5) Undang-Undang 32

Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bahwa:

1) Raperda provinsi tentang APBD yang telah disetujui bersama dan rancangan

Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD sebelum ditetapkan oleh Gubernur

paling lambat 3 (tiga) hari disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk

dievaluasi.

2) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Menteri

Dalam Negeri kepada Gubernur paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak

diterimanya rancangan dimaksud.

3) Apabila Menteri Dalam Negeri menyatakan hasil evaluasi rancangan perda

tentang APBD dan rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD

sudah sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan Perundang-undangan yang

lebih tinggi, Gubernur menetapkan rancangan dimaksud menjadi Perda dan

Peraturan Gubernur.

4) Apabila Menteri Dalam Negeri menyatakan hasil evaluasi rancangan Perda

tentang APBD dan rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD

bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang

lebih tinggi, Gubernur bersarna DPRD melakukan penyempurnaan paling lama 7

(tujuh) hari terhitung sejak diterimanya hasil evaluasi.

5) Apabila hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh Gubernur dan DPRD, dan

Gubernur tetap menetapkan rancangan Perda tentang APBD dan rancangan

Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD menjadi Perda dan Peraturan

Gubernur, Menteri Dalam Negeri rnembatalkan Perda dan Peraturan Gubernur

dimaksud sekaligus menyatakan berlakunya pagu APBD tahun sebelumnya.

56

Dari pasal di atas dapat dilihat bahwa ada 2 (dua) macam peraturan yang

dibahas dalam pasal tersebut yakni, raperda provinsi tentang APBD dan rancangan

peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD. Dalam hal ini penulis akan membahas

raperda tentang APBD sesuai dengan pembatasan masalah skripsi ini, bahwa hanya

membahas tentang perda saja, dan tidak membahas peraturan kepala daerah. Proses

raperda tentang APBD untuk provinsi ini diawasi oleh Mendagri.

Dalam ayat (1-2) dijelaskan bahwa Mendagri berwenang untuk melakukan

pengawasan terhadap raperda yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan Gubernur

tetapi belum ditetapkan oleh Gubernur, dimana Gubernur sebelum menetapkan

raperda ini untuk disampaikan kepada mendagri untuk di evaluasi. Ini adalah bentuk

pengawasan preventif yang dimiliki oleh Mendagri.

Pengawasan preventif lainnya dalam pasal ini terdapat pada ayat (3-4) yakni,

Mendagri mengevaluasi raperda apakah perda tersebut bertentangan dengan

kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Lalu

apabila hasil evaluasi raperda ini sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi, maka selanjutnya Gubernur berwenang untuk

menetapkan raperda tersebut menjadi perda. Pengawasan preventif ini dilakukan

sebelum keputusan atau peraturan efektif berlaku (voordat een besluit of regeling in

werking kan treden).59

59 Ridwan, Dimensi Hukum Pengawasan Terhadap Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Cet-

1, (Yogyakarta: FH UII, Jurnal Hukum “Ius Quia Tustum” Nomor 18, Vol.8, 2001) h.78

57

Akan tetapi apabila hasil evaluasi menyatakan raperda ini bertentangan

dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,

maka Gubernur diperintahkan untuk melakukan penyempurnaan dari hasil evaluasi

tersebut. Sampai pada ayat (4) ini pengawasan yang dilakukan Mendagri adalah

pengawasan preventif. Selanjutnya pada ayat (5) dijelaskan bahwa apabila Gubernur

tidak melakukan penyempurnaan dari hasil evaluasi yang diberikan oleh Mendagri,

namun Gubernur tetap menetapkan raperda tersebut menjadi sebuah perda, maka

dalam pasal ini memberikan wewenang kepada Mendagri untuk membatalkan perda

tersebut.

Dari sini dapat diketahui bahwa Pasal 185 ayat (5) ini sangat jelas

memberikan kepada Mendagri wewenang untuk melakukan pengawasan represif,

dimana Mendagri berwenang untuk membatalkan perda yang sudah ditetapkan oleh

Gubernur. Pengawasan represif ini sesuai dengan yang telah dijelaskan oleh Irawan

Soejito sebelumnya bahwa pengawasan represif ini berwujud: a) Mempertangguhkan

berlakunya suatu peraturan daerah dan/atau keputusan kepala daerah, b)

Membatalkan suatu peraturan daerah dan/atau keputusan kepala daerah.60

Pengawasan preventif dan pengawasan represif yang dimiliki oleh Mendagri

menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ini

berlanjut pada pasal selanjutnya yakni, pasal 188 dan 189 disebutkan bahwa:

60 Irawan Soejito, Pengawasan Terhadap Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah,

Cet-1, (Jakarta: Bina Aksara, 1983) h. 51

58

Pasal 188

Proses penetapan rancangan Perda tentang Perubahan APBD dan rancangan

peraturan kepala daerah tentang Penjabaran Perubahan, APBD menjadi Perda

dan peraturan kepala daerah berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 185, Pasal 186, dan Pasal. 187.

Pasal 189

Proses penetapan rancangan Perda yang berkaitan dengan pajak daerah,

retribusi daerah, dan tata ruang daerah menjadi Perda, berlaku Pasal 185 dan

Pasal 186, dengan ketentuan untuk pajak daerah dan retribusi daerah

dikoordinasikan terlebih dahulu dengan Menteri Keuangan, dan untuk tata

ruang daerah dikoordinasikan dengan menteri yang membidangi urusan tata

ruang.

Dari kedua pasal tersebut dijelaskan perda tentang perubahan APBD, Pajak

Daerah, Retribusi Daerah dan Tata Ruang daerah menjelaskan bahwa Mendagripun

mempunyai kewenangan pengawasan dan pembatalan terhadap peraturan daerah

tersebut, dimana prosesnya sesuai dengan pasal 185, pasal 186 dan pasal 187 untuk

perda tentang perubahan APBD, dan pasal 185 dan pasal 186 untuk perda tentang

pajak, retribusi dan tata ruang daerah. Dari penjelasan yang telah dijelaskan di atas,

penulis menyimpulkan bahwa kewenangan mendagri terhadap pengawasan dan

pembatalan perda menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

Pengawasan sebelum penetapan (preventif)

1. Pengawasan terhadap Raperda tentang APBD yang tertuang dalam pasal

185 ayat (1-4)

59

2. Pengawasan terhadap Raperda tentang Perubahan APBD yang tertuang

dalam pasal 188

3. Pengawasan terhadap Raperda tentang Pajak, Retribusi dan Tata Ruang

daerah yang tertuang pada pasal 189

Pembatalan perda (represif)

1. Pembatalan perda tentang APBD yang tertuang dalam pasal 185 ayat (5)

2. Pembatalan perda tentang Perubahan APBD yang tertuang dalam pasal

188

3. Pembatalan perda tentang Pajak, Retribusi dan Tata Ruang daerah yang

tertuang pada pasal 189

B. Analisis Hubungan Kewenangan Mendagri dengan Peraturan Presiden Dalam

Pembatalan Perda

Untuk pernyataan pembatalan perda menurut Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memiliki pernyataan yang sama dengan

pasal 145 yang sebelumnya telah dibahas, yaitu “bertentangan dengan kepentingan

umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”. Namun alasan

menggunakan ukuran tersebut adalah dalam rangka preventif. Namun kemudian bila

mencermati ayat selanjutnya, pengawasan preventif memiliki kemampuan untuk

berubah menjadi pengawasan represif, sehingga pasal tersebut memberikan dua

bentuk kewenangan pengawasan sekaligus kepada Mendagri, yaitu pengawasan

preventif dan pengawasan represif. Selanjutnya yang menjadi persoalan adalah

60

ketentuan pada pasal 185 ayat (5), pasal 188 dan pasal 189 itu bertentangan dengan

ketentuan pada pasal 145 ayat (3 dan 7) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 yang

menyebutkan sebagai berikut:

Ayat 3

Keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan

dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari sejak

diterimanya Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Ayat 7

Apabila Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk

membatalkan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Perda dimaksud

dinyatakan berlaku.

Ketentuan pada pasal 145 tersebut menjelaskan bahwa perda yang

bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan

yang lebih tinggi keputusan pembatalannya melalui Peraturan Presiden. Lalu

ditegaskan kembali pada ayat 7, bahwa pembatalan perda yang tidak diputuskan

melalui Peraturan Presiden perda tersebut dinyatakan berlaku dan sah mejadi perda.

Sesuai dengan penjelasan di atas bahwa pembatalan perda pada pasal 145 tersebut

karena bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi.

Ketentuan ini sama halnya dengan ketentuan pada pasal 185 ayat (5), pasal

188 dan pasal 189 dimana pembatalan perda tersebut karena bertentangan dengan

kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dari

persamaan ketentuan ini jelas pembatalan suatu perda adalah karena bertentangan

61

dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih

tinggi.61

Akan tetapi pada pasal 185 ayat (5), pasal 188 dan pasal 189 menjelaskan

bahwa pembatalan perda dilakukan oleh Mendagri yang pada saat ini sering

dilaksanakan melalui Kepmendagri/Permendagri. Ini sangatlah bertentangan dengan

pasal 145 ayat (7) yang seharusnya pembatalan perda tersebut dilakukan melalui

Peraturan Presiden. Ditambah lagi bahwa pembatalan perda yang tanpa menggunakan

Peraturan Presiden, maka perda tersebut dinyatakan berlaku.

Permasalahan mengenai pembatalan perda ini membuktikan bahwa pada

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ini terdapat

perbedaan dalam hal wewenang pembatalan perda. Menurut Nomensen Sinamo

sebuah peraturan perundang-undangan haruslah mengandung asas-asas pembentukan

peraturan perundang-undangan yang meliputi:

a. Kejelasan tujuan

b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat

c. Kesesuaian antara jenis

d. Dapat dilaksanakan

e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan

f. Kejelasan rumusan dan

g. Keterbukaan62

Dalam undang-undang ini, menurut penulis terjadi ketidaktaatan asas antara

unsur yang satu dengan yang lainnya. Dimana kejelasan bentuk produk hukum

61 Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah Di Indonesia, Cet-1, (Jakarta: Sinar

Grafika, 2006) h. 37

62

Nomensen Sinamo, Hukum Pemerintahan daerah di Indonesia, Cet-1, (Jakarta: Pustaka

Mandiri, 2010) h. 102

62

mengenai pembatalan perda ini terjadi pertentangan antara Peraturan Presiden

ataukah Kepmendagri/Permendagri yang memiliki kewenangan terhadap pembatalan

tersebut. Kemudian perihal perda tentang Pajak dan Retribusi Daerah ini telah diatur

dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi

Daerah. Mengenai pengawasan perda tentang pajak dan retribusi daerah inipun

dijelaskan pada pasal 157 sebagai berikut:

1) Rancangan Peraturan Daerah provinsi tentang Pajak dan Retribusi yang telah

disetujui bersama oleh Gubernur dan DPRD provinsi sebelum ditetapkan

disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan paling

lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal persetujuan dimaksud.

2) Rancangan Peraturan Daerah kabupaten/kota tentang Pajak dan Retribusi

yang telah disetujui bersama oleh Bupati/Walikota dan DPRD kabupaten/kota

sebelum ditetapkan disampaikan kepada Gubernur dan Menteri Keuangan

paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal persetujuan dimaksud.

3) Menteri Dalam Negeri melakukan evaluasi terhadap Rancangan Peraturan

Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk menguji kesesuaian

Rancangan Peraturan Daerah dengan ketentuan Undang-undang ini,

kepentingan umum, dan/atau peraturan perundang-undangan lain yang lebih

tinggi.

4) Gubernur melakukan evaluasi terhadap Rancangan Peraturan Daerah

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk menguji kesesuaian Rancangan

Peraturan Daerah dengan ketentuan Undang-Undang ini, kepentingan umum

dan/atau peraturan perundang-undangan lain yang lebih tinggi.

5) Menteri Dalam Negeri dan gubernur dalam melakukan evaluasi sebagaimana

dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) berkoordinasi dengan Menteri Keuangan.

6) Hasil evaluasi yang telah dikoordinasikan dengan Menteri Keuangan

sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat berupa persetujuan atau

penolakan.

7) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) disampaikan oleh Menteri

Dalam Negeri kepada Gubernur untuk Rancangan Peraturan Daerah provinsi

dan oleh Gubernur kepada Bupati/Walikota untuk Rancangan Peraturan

Daerah kabupaten/kota dalam jangka waktu paling lambat 15 (lima belas) hari

kerja sejak diterimanya Rancangan Peraturan Daerah dimaksud.

63

8) Hasil evaluasi berupa penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6)

disampaikan dengan disertai alasan penolakan.

9) Dalam hal hasil evaluasi berupa persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat

(6), Rancangan Peraturan Daerah dimaksud dapat langsung ditetapkan.

10) Dalam hal hasil evaluasi berupa penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat

(6), Rancangan Peraturan Daerah dimaksud dapat diperbaiki oleh Gubernur,

bupati/walikota bersama DPRD yang bersangkutan, untuk kemudian

disampaikan kembali kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan

untuk Rancangan Peraturan Daerah provinsi dan kepada gubernur dan

Menteri Keuangan untuk Rancangan Peraturan Daerah kabupaten/kota.

Dari pasal 157 ayat (1-10) ini menjelaskan kewenangan pengawasan perda

dilakukan oleh Mendagri dan Gubernur yang berkoordinasi dengan Menteri

Keuangan. Pengawasan ini merupakan pengawasan terhadap raperda tentang pajak

daerah dan retribusi daerah sebelum ditetapkan oleh gubernur atau bupati/walikota

dengan kata lain pengawasan ini merupakan pengawasan preventif.

Pengawasan preventif ini sesuai dengan pengawasan preventif perda tentang

pajak dan retribusi daerah yang ada pada pasal 189 Undang-Undang 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah, dimana dalam pasal 189 menjelaskan bahwa proses

pengawasan pajak dan retribusi daerah sama dengan proses pada pasal sebelumnya

yaitu 185 dan 186. Akan tetapi, apabila diteliti kembali, disini terdapat kejanggalan

pada pasal selanjutnya, yaitu pada pasal 158 ayat (1-9) bahwa:

1) Peraturan daerah yang telah ditetapkan oleh gubernur atau bupati/walikota

disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan paling

lama 7 (tujuh) hari kerja setelah ditetapkan.

2) Dalam hal peraturan daerah bertentangan dengan kepentingan umum

dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Menteri

64

Keuangan merekomendasikan pembatalan Peraturan Daerah dimaksud

kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri.

3) Penyampaian rekomendasi pembatalan oleh Menteri Keuangan kepada

Menteri Dalam Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan

paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal diterimanya

Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

4) Berdasarkan rekomendasi pembatalan yang disampaikan oleh Menteri

Keuangan, Menteri Dalam Negeri mengajukan permohonan pembatalan

Peraturan Daerah dimaksud kepada Presiden.

5) Keputusan pembatalan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada

ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam

puluh) hari kerja sejak diterimanya Peraturan Daerah sebagaimana

dimaksud pada ayat (1).

6) Paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah keputusan pembatalan

sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Kepala Daerah harus

memberhentikan pelaksanaan Peraturan Daerah dan selanjutnya DPRD

bersama Kepala Daerah mencabut Peraturan Daerah dimaksud.

7) Jika provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan

Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dengan alasan-

alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, Kepala

Daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung.

8) Jika keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dikabulkan sebagian

atau seluruhnya, putusan Mahkamah Agung tersebut menyatakan

Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum.

9) Jika Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk

membatalkan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (5),

Peraturan Daerah dimaksud dinyatakan berlaku.

Jika dilihat pada pasal 158 di atas menjelaskan bahwa pembatalan perda

tentang Pajak dan Retribusi Daerah diputuskan dengan menggunakan Peraturan

Presiden. Berkaitan dengan ketentuan pada pasal 189 Undang-Undang 32 Tahun

2004 tentang Pemerintahan Daerah yang proses pengawasannya sesuai dengan pasal

185 dan pasal 186 yang menjelaskan bahwa pembatalan perda tersebut dilakukan

65

oleh Mendagri yang pada saat ini sering dilaksanakan melalui Kepmendagri. Tentu

hal ini bertentangan dengan pasal 158 ayat (5) dan ayat (9) Undang-Undang Nomor

28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang pembatalan perda

haruslah diputuskan dengan Peraturan Presiden bukan Kepmendagri/Permendagri,

ditambah lagi apabila pembatalan perda dilakukan tanpa Peraturan Presiden, maka

perda tersebut dinyatakan berlaku.

Perbedaan wewenang dalam pembatalan perda tentang Pajak Daerah dan

Retribusi ini terjadi kembali. Dimana pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah pasal 189 yang menyatakan pembatalan perda

dilakukan oleh Mendagri bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun

2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah pasal 158 yang menyatakan

pembatalan perda menggunakan Peraturan Presiden.

Ini berarti terjadi ketidakselarasan antar undang-undang yang berbeda namun

membahas muatan materi yang sama. Keberadaan pengawasan perda di atas serasa

kurang lengkap bila tidak menyertakan ketentuan pada Peraturan Pemerintah Nomor

79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan

Pemerintah Daerah yakni pada pasal 37 ayat (4) menyebutkan bahwa:

Peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan

dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang

lebih tinggi dapat dibatalkan dengan Peraturan Presiden berdasarkan usulan

Menteri.

Pasal 37 ayat (4) di atas ditulis bahwa pembatalan perda dilakukan dengan

menggunakan Peraturan Presiden berdasarkan usulan menteri. Artinya, ketentuan

66

pada pasal ini selaras dengan ketentuan pada pasal 145 ayat (3) Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan pasal 158 ayat (5) Undang-

undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang

menjelaskan bahwa pembatalan perda menggunakan Peraturan Presiden.

Kemudian Jimly Asshiddiqie berpendapat dalam hal Keputusan/Peraturan

Menteri sebagai pertimbangan bahwa untuk hadirnya sebuah Keputusan/Peraturan

Menteri adalah apabila materi yang dianggap terlalu teknis dan bersifat sektoral,

Presiden dapat pula memerintahkan Menteri yang terkait untuk mengaturnya atas

nama pemerintah dalam bentuk Peraturan Menteri.63

Sedangkan pengujian terhadap

perda bukanlah materi yang dianggap terlalu teknis, karena subtansi atau materi

muatan perda adalah penjabaran dari peraturan perundang-undangan yang

tingkatannya lebih tinggi, dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah64

demi menjalankan otonomi seluas-luasnya.

Kemudian yang menjadi pertimbangan adalah tidak dimungkinkannya apabila

jenis perundang-undangan yang tegas disebutkan dalam hierarki peraturan

perundang-undangan melalui pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tersebut dibatalkan melalui

peraturan perundang-undangan jenis lainnya yang tidak disebutkan dalam hierarki

perundangan tersebut. Dimana keberadaan Keputusan/Peraturan Menteri tidak ada

63 Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-undang di Indonesia, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan

Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006) h. 221 64

Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah Di Indonesia, Cet-1, (Jakarta: Sinar

Grafika, 2006) h. 37

67

dalam hierarki pasal tersebut, Keputusan Menteri hanya ada pada pasal selanjutnya

yaitu pasal 8 ayat (1) yang tidak termasuk dalam hierarki.

Dalam pertimbangan yang harus diingat bahwa Locale Wet atau perda dibuat

guna melaksanakan undang-undang, wet atau gesetz.65

Apalagi dari segi

pembuatannya, sudah semestinya kedudukan perda ini, baik tingkat provinsi ataupun

kabupaten/kota, dapat dilihat setara dengan undang-undang dalam arti sama-sama

merupakan produk hukum lembaga legislatif.66

Maka dari itu, pembatalannya

haruslah dengan peraturan perundangan yang kedudukannya lebih tinggi.

C. Analisis Peraturan Presiden Dalam Pembatalan Perda

Peraturan Presiden yang dibuat oleh presiden mengandung dua makna.

pertama, Peraturan Presiden dibuat oleh presiden atas inisiatif dan prakarsa sendiri

untuk melaksanakan undang-undang sehingga kedudukannya sederajat dengan

Peraturan Pemerintah. Kedua, maksud pembuatan Peraturan Presiden ditujukan untuk

mengatur materi muatan yang diperintahkan oleh Peraturan Pemerintah sehingga

kedudukannya menjadi jelas berada di bawah Peraturan Pemerintah.67

Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, Peraturan

Pemerintah, dan Peraturan Presiden berlaku secara nasional di seluruh wilayah

65 Laica Marzuki, Hakikat Desentralisasi dalam Sistem Ketatanegaraan RI, (Jakarta: Jurnal

Konstitusi, Volume 4, Nomor 1, 2007) h.

66

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Cet-1, (Jakarta: Sekretariat

Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006) h. 356-357

67

B. Hestu Cipto Handoyo, Prinsip-Prinsip Legal Drafting dan Desain Naskah Akademik,

(Yogyakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2008) h. 114

68

Indonesia.68

Sedangkan perda pemberlakuannya terbatas pada daerah tertentu yang

mengeluarkannya sebagai bagian dari kewenangan daerah untuk mengatur dan

mengurus sendiri daerahnya dalam rangka otonomi daerah seluas-luasnya sesuai

dengan asas Negara Kesatuan Republik Indonesia. Maka dari itu posisi hierarki perda

dibawah Peraturan Presiden. Peraturan Presiden dalam Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memiliki kewenangan pembatalan perda

(represif) seperti yang disebutkan dalam pasal 145 ayat (3) bahwa:

Keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan

dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari sejak

diterimanya Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, pada pasal ini membuktikan

bahwa pembatalan perda adalah menggunakan Peraturan Presiden. Dan selanjutnya

diperkuat kembali dengan ayat (7) yang menyatakan bahwa perda yang dibatalkan

tanpa melalui peraturan presiden dinyatakan menjadi perda yang sah berlaku. Hal ini

selaras dengan pendapat Maria Farida yang menyatakan bahwa materi muatan suatu

Keputusan/Peraturan Presiden merupakan materi muatan sisa dari materi muatan

undang-undang dan Peraturan Pemerintah, yaitu materi yang bersifat atribusian, serta

materi muatan yang merupakan delegasian dari undang-undang dan Peraturan

Pemerintah.69

68 B. Hestu Cipto Handoyo, Prinsip-Prinsip Legal Drafting dan Desain Naskah Akademik,

(Yogyakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2008) h. 118

69 Maria Farida Indrati Soeprapto, Buku I, Ilmu Perundang-undangan (Jenis, Fungsi, dan

Materi Muatan), Cet-1, (Yogyakarta: Kanisius, 2007) h. 224

69

Lalu dalam hal luas dan batas lingkupnya, kewenangann yang bersifat

atribusi, yaitu dalam membentuk keputusan presiden yang mandiri, merupakan

kewenangan yang sangat luas dibandingkan dengan kewenangan yang berasal dari

delegasi undang-undang atau Peraturan Pemerintahnya.70

Pendapat yang telah

disampaikan oleh Maria Farida itu memberikan pengertian bahwa materi yang ada

pada Peraturan Presiden bersifat atribusi dari undang-undang ini kembali menguatkan

bahwa bentuk produk hukum yang lebih pantas untuk membatalkan suatu perda

adalah Peraturan Presiden.

Kewenangan pembatalan perda melalui Peraturan Presiden terdapat pula

dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan

Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah yakni pada pasal 37 ayat (4)

menjelaskan bahwa perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dibatalkan dengan Peraturan

Presiden berdasarkan usulan menteri terkait.

Selanjutnya dalam ketentuan pajak dan atribusi daerah yang tertuang dalam

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Atribusi Daerah,

yakni pada pasal 158 ayat (1-9) juga disebutkan bahwa pembatalan perda hanya

dengan menggunakan Peraturan Presiden. Maka dalam undang-undang menegaskan

kembali bahwa bentuk peraturan presidenlah yang mempunyai kekuatan hukum

untuk membatalkan perda tentang pajak daerah dan atribusi daerah tersebut.

70Maria Farida Indrati Soeprapto, Buku I, Ilmu Perundang-undangan (Jenis, Fungsi, dan

Materi Muatan), Cet-1, (Yogyakarta: Kanisius, 2007) h. 224

70

Dari penjelasan yang telah penulis paparkan, dapat diambil kesimpulan

bahwa, Peraturan Presiden mempunyai wewenang dalam hal pengawasan represif

atau pembatalan terhadap perda sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku,

yakni sebagai berikut:

1. Wewenang membatalkan perda tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

yang tertuang pada pasal 158 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang

Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

2. Pembatalan semua perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yang tertuang pada pasal

145 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

juga tertuang pada Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang

Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah

pasal 37.

D. Produk Hukum/Lembaga Yang Berwenang Dalam Pengujan dan Pembatalan

Perda

Dari penjelasan yang sudah dipaparkan sebelumnya dapat diklasifikasikan

pengawasan (preventif) dan pembatalan (represif) yang dimiliki pemerintah pusat

terhadap perda berdasarkan dasar hukumnya adalah sebagai berikut:

71

1. Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri/Permendagri)

Pengawasan preventif:

a. Pengawasan dalam evaluasi raperda APBD Provinsi sebelum ditetapkan

Gubernur, pasal 185 ayat 1-4 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah

b. Pengawasan raperda tentang Perubahan APBD yang ada dalam pasal 188

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

c. Pengawasan terhadap raperda tentang Perencanaan Tata Ruang Daerah yang

tertuang pada pasal 189 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah.

d. Pengawasan raperda tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dalam

pengawasan raperda ini terdapat dua ketentuan yang mengatur pengawasan

perda tersebut, yakni Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah Pasal 189 dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009

tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Pasal 157

Pembatalan (pengawasan represif)

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa kewenangan

pembatalan perda dengan Kepmendagri bertentangan dengan ketentuan pasal

145 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah yang menyatakan dengan jelas bahwa pembatalan perda hanyalah

dengan Peraturan Presiden, dan jika pembatalan perda tanpa menggunakan

72

Peraturan Presiden maka perda tersebut dapat berlaku. Dan perda tentang

Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang diatur dalam Undang-Undang

Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah inipun

memperkuat Peraturan Presidenlah sebagai bentuk hukum yang sah dalam

pembatalan daerah.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pada Undang-undang

Nomor 32 Tahun 2004 ini terjadi ketidaktaatan asas pada pasal-pasalnya,

yakni pada pasal 145 terhadap pasal 185, pasal 188 dan pasal 189. Apa yang

disebutkan dalam pasal tersebut sangatlah berbeda. Menurut penulis, apabila

Mendagri ingin membatalkan perda melalui Kepmendagri, maka pasal yang

terjadi ketidaktaatan asas tersebut haruslah dirubah/direvisi. Hal ini agar

keputusan-keputusan yang dikeluarkan Mendagri nantinya mempunyai

kepastian dan kekuatan hukum.

2. Peraturan Presiden

Pembatalan (pengawasan represif):

a. Pembatalan perda tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang tertuang

dalam Pasal 158 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak

Daerah dan Retribusi Daerah.

b. Pembatalan semua bentuk perda yang bertentangan dengan kepentingan

umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang di atur

dalam Pasal 145 ayat (3) dan ayat (7) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

73

tentang Pemerintahan Daerah dan di atur juga dalam pasal 37 ayat (4)

Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan

dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah.

3. Gubernur

Pengawasan yang dimiliki Gubernur ini merupakan pengawasan preventif dan

represif dan hanya kepada perda yang dibentuk oleh kabupaten/kota. Pengawasan

preventif Gubernur sebagai berikut:

a. Pengawasan raperda kabupaten/kota tentang APBD yang diatur dalam Pasal

186 ayat (1-4) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah.

b. Pengawasan raperda kabupaten/kota tentang tata ruang daerah yang diatur

dalam Pasal 189 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah.

c. Pengawasan raperda kabupaten/kota tentang Pajak Daerah dan Retribusi

Daerah diatur dalam pasal 157 ayat (2 dan 4-10) Undang-Undang Nomor 28

Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

d. Pengawasan raperda kabupaten/kota tentang Perubahan APBD yang tertuang

dalam Pasal 188 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah.

Pengawasan represif (pembatalan) yang dimiliki gubernur menurut Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ada pada pasal 189,

74

pasal 186 ayat (5), pasal 188 ini pun bertentangan dengan pasal 145 ayat (3) dan

ayat (7), termasuk juga bertentangan dengan Pasal 158 Undang-Undang Nomor

28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

4. Menteri Keuangan

Dalam Pengawasan preventif, Mendagri berkoordinasi dengan Menteri Keuangan

dalam mengawasi raperda tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah di tingkat

provinsi dan kabupaten/kota, pengawasan preventif sebagai berikut:

a. Pengawasan raperda tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang diatur

dalam pasal 157 dan pasal 158 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009

tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

75

75

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Pengawasan represif yang dimiliki Mendagri terdapat pada pasal 185 ayat (5),

pasal 188 dan pasal 189 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah yang menjelaskan bahwa pembatalan perda dilakukan oleh

Mendagri ini bertentangan dengan pasal 145 ayat (7) yang menyebutkan

pembatalan perda tersebut dilakukan melalui Peraturan Presiden. Dalam Undang-

undang ini terjadi ketidaktaatan asas antara pasal yang satu dengan yang lainnya,

yang menyebabkan ketidakpastian hukum dalam hal kewenangan pembatalan

perda. Permasalahan perbedaan wewenang pembatalan perda terjadi juga pada

pasal 189 yang menjelaskan pajak dan retribusi daerah dibatalkan oleh Mendagri

ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak

Daerah dan Retribusi Daerah yakni pada pasal 158 ayat (5) dan ayat (9) yang

pembatalan perda tentang pajak dan retribusi daerah haruslah diputuskan dengan

Peraturan Presiden.

2. Keputusan/Peraturan Menteri yang bersifat teknis dan sektoral tidak bisa

membatalkan perda yang subtansi atau materi muatannya penjabaran dari

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dengan memperhatikan ciri

khas masing-masing daerah demi menjalankan otonomi seluas-luasnya. Dan

76

posisi Kepmen/Permen tidak disebutkan dalam hierarki perundang-undangan,

sedang perda disebutkan di dalamnya.

3. Produk hukum/Lembaga yang berwenang mengawasi (preventif) dan

membatalkan (represif) terhadap perda, sebagai berikut:

e. Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri/Permendagri): Pengawasan preventif

Raperda APBD Provinsi dalam pasal 185 ayat (1-4), Raperda Perubahan

APBD dalam pasal 188, Raperda Tata Ruang daerah pada pasal 189, Raperda

Pajak dan Retribusi Daerah dalam Pasal 189 Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004 tentang Pemerntahan Daerah dan Pasal 157 Undang-Undang

Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

f. Peraturan Presiden: Pembatalan (represif) perda pajak dan retribusi daerah

pasal 158 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan

Retribusi Daerah, pembatalan semua bentuk perda dalam pasal 145 ayat (3)

dan ayat (7) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah dan di atur juga dalam pasal 37 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor

79 Tahun 2005.

g. Gubernur: Pengawasan preventif raperda APBD kabupaten/kota pasal 186

ayat (1-4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah, raperda tata ruang kabupaten/kota dalam pasal 189, raperda pajak dan

retribusi daerah kabupaten/kota dalam pasal 157 ayat (2 dan 4-10) Undang-

Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah,

77

raperda perubahan APBD kabupaten/kota pasal 188 Undang-Undang Nomor

32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

h. Menteri Keuangan (preventif): berkoordinasi dengan Mendagri mengawasi

raperda pajak dan retribusi daerah pasal 157 dan pasal 158 Undang-Undang

Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

B. Saran-saran

Dari hasil penelitian yang dilakukan, penulis merasa perlu untuk

menyampaikan saran-saran sebagai berikut:

1. Keputusan Menteri Dalam Negeri dalam pembatalan perda haruslah dirubah

kedalam Peraturan Presiden yang mempunyai kedudukan hukum lebih tinggi agar

pemerintah daerah dapat menerima pembatalan tersebut dimana pembatalan

selain dengan Peraturan Presiden adalah tidak sah.

2. Pertentangan pada pasal 145 dengan pasal 185, pasal 186, pasal 188 dan pasal

189 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah agar

direvisi/diubah demi memperjelas bentuk hukum yang berwenang dalam

pembatalan perda.

3. Disarankan kepada pemerintah setelah merevisi/merubah pasal 145 dengan pasal

185, pasal 186, pasal 188 dan pasal 189 agar membuat peraturan pelaksana terkait

pembatalan perda, demi memperkuat bentuk hukum yang memiliki kewenangan

pembatalan tersebut.

78

78

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Asshidiqie Jimly. Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia. Cet-1. (Jakarta:

Mahkamah Konstitusi RI dan Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI. 2003)

, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca

Reformasi. Cet-2. (Jakarta: Konstitusi Press. 2006)

, Perihal Undang-undang di Indonesia. (Jakarta: Sekretariat Jenderal

dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI. 2006)

, Hukum Acara Pengujian Undang-undang. (Jakarta: Konpres, 2005)

Budiman N.P.D, Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan, Cet-1, (Yogyakarta: UII

Press, 2005)

Engelbrecht. Himpunan Peraturan Perundang-undangan Indonesia. (Jakarta: Ichtiar

Baru-van Hoeve. 2006)

Hamzah Halim dan Kemal Redindo Syahrul Putera. Cara Praktis Menyusun dan

Merancang Peraturan Daerah. Cet-1. (Jakarta: Kencana, 2010)

Handoyo B. Hestu Cipto. Prinsip-Prinsip Legal Drafting dan Desain Naskah

Akademik. (Yogyakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta. 2008)

Jimly Asshiddiqie & M Ali Safaat. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum. (Jakarta:

Sekretariat Jederal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI. 2012)

Kansil C.S.T. Pemerintahan Daerah Di Indonesia, Hukum Administratif Daerah.

(Jakarta: Sinar Grafika, 2004)

Latief Abdul. Hukum dan Peraturan Kebijakan (Beleidsregel) Pada Pemerintahan

Daerah. Cet-1. (Yogyakarta: Pusat Studi FH UII. 2005)

Lubis M. Sooly. Landasan dan Teknik Perundang-undangan. Cet-1. (Bandung:

Mandar Maju, 1989)

79

Marbun B.N. Otonomi Daerah 1945-2010 Proses dan Realita. Cet-2. (Jakarta:

Pustaka Sinar Harapan, 2010)

Misdayanti dan Kartasapoetra. Fungsi Pemerintah Daerah Dalam Pembuatan

Peraturan Daerah. Cet-2. (Jakarta: Bumi Aksara. 1993)

Modoeng Supardan. Teknik Perundang-undangan di Indonesia. (Jakarta: Perca.

2005)

Natabaya HAS. Sistem Peraturan Perundang-undangan Indonesia. Cet-1. (Jakarta:

Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI. 2006)

Ranggawidjaja Rosyidi. Pembentukan Peraturan Negara Di Indonesia. (Jakarta: Raja

Grafindo. 2010)

Rozali Abdullah. Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah

Secara Langsung. Cet-1. (Jakarta: Raja Grafindo Persada 2005)

Sinamo Nomensen. Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia. Cet-1. (Jakarta: PT

Pustaka Mandiri, 2010)

Soejito Irawan. Pengawasan Terhadap Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala

Daerah. Cet-1. (Jakarta: Bina Aksara. 1983)

Soekanto Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Cet-3. (Jakarta : UI Press, 1986)

Soeprapto Maria Farida Indirati. Buku 1. Ilmu Perundang-undangan (Jenis, Fungsi

dan Materi Muatan). Cet-1. (Yogyakarta: Kanisius, 2007)

, Buku 1. Ilmu Perundang-undangan (Jenis, Fungsi dan Materi

Muatan). Cet-5. (Yogyakarta: Kanisius, 2011)

Soerjono Soekanto dan Sri mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan

Singkat. (Jakarta: PT . Raja Grafindo, 1994)

Suko Wiyono dan Kusnu Goesniadhie, Kekuasaan Kehakiman Pasca Perubahan

UUD 1945. Cet-1. (Malang: Universitas Negeri Malang, UM Press, 2007)

80

Sunarno Siswanto. Hukum Pemerintahan Daerah Di Indonesia. Cet-1. (Jakarta:

Sinar Grafika, 2006)

Surianingrat Bayu. Desentralisasi dan Dekonsentrasi Pemerintahan di Indonesia

Suatu Analisa, Jilid I. Cet-1. (Jakarta: Dewaruci Press. 1980)

W. Riawan Tjandra dan Kresno Budi Harsono. Legal Drafting Teori dan Teknik

Pembuatan Peraturan Daerah. (Yogyakarta: Universitas Atmajaya Press,

2009)

Widjaja HAW. Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia, Dalam Rangka Sosialisasi

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Cet-

2. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008)

Yani Ahmad. Pembentukan Undang-undang Dan Perda. Cet-1. ( Jakarta: Rajawali

Pers. 2011)

B. Majalah Ilmiah

Hasyim, Mohamad, Pengawasan Kekuasaan Eksekutif dalam Negara Hukum

Pancasila, Yogyakarta: Fakultas Hukum UII. Jurnal hukum “Ius Quia

Iustum”Nomor 6, Volume 3, 1996

Laica Marzuki, Hakikat Desentralisasi dalam Sistem Ketatanegaraan RI, Jakarta:

Jurnal Konstitusi, Volume 4, Nomor 1, 2007

Ridwan, Dimensi Hukum Pengawasan terhadap Penyelenggaraan Otonomi Daerah,

Yogyakarta: Fakultas Hukum UII. Jurnal hukum “Ius Quia Tustum” Nomor

18, Volume 8, 2001

Rikardo Simarmata dan Stephanus Masiun, Otonomi Daerah, Kecenderungan

Karakter Perda dan Tekanan Baru Bagi Lingkungan dan Masyarakat Adat,

Seri Pengembangan Wacana HuMa, Nomor 1, 2002

Setyadi, S. Bambang, Pembentukan Peraturan Daerah, Buletin Hukum Perbankan

dan Kebanksentralan Volume 5, Nomor 2, 2007

81

Suhariyono Ar, Peraturan Menteri dan Keputusan Menteri. Jurnal legislasi

Indonesia, Dirjen Peraturan peraturan Perundang-undangan Departemen

Kehakiman dan HAM RI, Volume 1, Nomor 2, 2004

C. Karya Ilmiah

Attamimi, A. Hamid S, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam

Penyelenggaraan Pemerintah Negara (Suatu Studi AnalisisMengenai

Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I

PelitaIV),Jakarta: Disertasi Doktor UI, 1990

Soeprapto, Maria Farida Indrati, Jenis Hierarki dan Materi Muatan Peraturan

Perundang-undangan Menurut Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004

Tentang Pembentukan Peraturan Perundangan, Jakarta: Makalah Biro

Hukum dan Organisasi Dept. Kehutanan RI, 2005

D. Website

I made Suwandi, Direktur urusan pemerintahan daerah, dirjen otonomi daerah

Depdagri, (http://anggaran.wordpress.com/2006/06/07/problem-hukum-

pengujian-perda/) diakses pada tanggal 7 November 2013

http://khafidsociality.blogspot.com/2011/09/mekanisme-pembatalan-peraturan

daerah.html diakses pada tanggal 5 September 2013

http://www.kemendagri.go.id/produk-hukum/category/keputusan-menteri diakses

pada tanggal 17 Juli 2013

E. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan

82

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 tentang Peraturan tentang Jenis dan Bentuk

Peraturan

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung

Tap MPRS Nomor X/MPRS/1996 tentang Memorandum DPRGR Mengenai Sumber

Tertib Hukum Republik Indonesia

Tap MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan

Perundang-undangan

Tap MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status

Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960

sampai dengan tahun 2002

Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan

Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah

Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran

Lembaga Penyiaran Berlangganan

Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2000 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan

Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Tenaga Kerja dan

Transmigrasi.

83

Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 1996 tentang Penyelenggaraan

Kepariwisataan

Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 277 Tahun 2009 tentang Pembatalan

Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Selatan Nomor 14 Tahun 2002 tentang

Penerimaan Daerah Bukan Pajak atas Perusahaan Pengguna Tenaga Kerja

Warga Negara Asing

Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 214 Tahun 2008 tentang Pembatalan

Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 9 Tahun 2002 tentang Retribusi

Izin Usaha Jasa Pariwisata

Keputusan Menteri Dalam Nomor 194 Tahun 2009 tentang Pembatalan Peraturan

Daerah Kabupaten Seram Bagian Barat Nomor 53 Tahun 2007 tentang

Retribusi Izin Perfilman dan Penggunaan Sistem Distribusi Antena Parabola

(TV Kabel)

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1999 tentang Hak Uji Materil

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004 tentang Hak Uji Materil

x

Presiden

DPRD

Kepala

Daerah

PERDA Mendagri

Disampaikan paling

lama 7 hari

PERPRES

Ditetapkan paling lama

60 hari sejak Perda

diterima Presiden

Apabila Perda

bertentangan dengan

peraturan lebih tinggi

dan kepentingan umum

Perda disampaikan

kepada Presiden

Perda disetujui bersama dan

ditetapkan

Kepala Daerah

Menghentikan

pelaksanaan Perda

DPRD dan

Kepala Daerah

mencabut Perda

tersebut

Penghentian dan pencabutan Perda paling lama 7 hari

LAMPIRAN

Skema pembatalan perda oleh pemerintah pusat sesuai Pasal 145 Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.