Kewenangan Pemerintah Daerah di Bidang Pertanahan Berdasar UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang...
-
Upload
pustaka-virtual-tata-ruang-dan-pertanahan-pusvir-trp -
Category
Documents
-
view
265 -
download
0
description
Transcript of Kewenangan Pemerintah Daerah di Bidang Pertanahan Berdasar UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang...
KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DI BIDANG PERTANAHAN
BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG
PEMERINTAHAN DAERAH (ANALISIS TERHADAP KEWENANGAN
BIDANG PERTANAHAN ANTARA PEMERINTAH
KOTA BATAM DAN OTORITA PENGEMBANGAN
DAERAH INDUSTRI PULAU BATAM)
TESIS
Oleh
NOVLINDA
087011147/M.Kn
PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2010
Universitas Sumatera Utara
2
KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DI BIDANG PERTANAHAN
BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG
PEMERINTAHAN DAERAH (ANALISIS TERHADAP KEWENANGAN
BIDANG PERTANAHAN ANTARA PEMERINTAH
KOTA BATAM DAN OTORITA PENGEMBANGAN
DAERAH INDUSTRI PULAU BATAM)
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar
Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan
pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh
NOVLINDA
087011147/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2010
Universitas Sumatera Utara
3
Judul Tesis : KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DI
BIDANG PERTANAHAN BERDASARKAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004
TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH
(ANALISIS TERHADAP KEWENANGAN
BIDANG PERTANAHAN ANTARA
PEMERINTAH KOTA BATAM DAN OTORITA
PENGEMBANGAN DAERAH INDUSTRI PULAU
BATAM)
Nama Mahasiswa : Novlinda
Nomor Pokok : 087011147
Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui
Komisi Pembimbing
(Pro. Muhammad Abduh, SH)
Ketua
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Notaris Syafnil Gani, SH, MHum)
Anggota Anggota
Ketua Program Studi, Dekan,
(Prof.Dr.Muhammad Yamin, SH,MS,CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)
Tanggal lulus : 20 Nopember 2010
Universitas Sumatera Utara
4
Telah diuji pada
Tanggal : 20 Nopember 2010
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Muhammad Abduh, SH
Anggota : 1. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN
2. Notaris Syafnil Gani, SH, MHum
3. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum
4. Chairani Bustami, SH, SpN, MKn
Universitas Sumatera Utara
5
ABSTRAK
Masalah Pertanahan merupakan masalah yang sangat pelik dan sering kali
menimbulkan sengketa yang berkepanjangan dalam dinamika kehidupan masyarakat
Indonesia. Berbagai daerah di nusantara masing-masing memiliki karakteristik
permasalahan pertanahan yang berbeda antara satu wilayah dengan wilayah lainnya.
Keadaan ini semakin nyata sebagai konsekwensi dari dasar kemakmuran dan
pandangan orang Indonesia terhadap tanah, pada umumnya orang Indonesia
memandang tanah sebagai sarana tempat tinggal yang dapat memberikan
penghidupan, tanah juga dapat dijadikan suatu investasi yang menguntungkan
sehingga tanah mempunyai fungsi yang sangat penting. Penetapan status pulau Batam
sebagai daerah industri melalui Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973. Tentang
pembentukan otorita pengembangan daerah industri pulau Batam, yang tidak saja
perubahan dalam pola kebijakan di bidang industri tetapi juga di bidang pertanahan.
Hal ini dapat di lihat dengan terbentuknya Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor
43 Tahun 1977 yang mengatur tentang pengelolaan dan penggunaan tanah di daerah
industri pulau Batam, yang di berikan hak pengelolaan (HPL) kepada Otorita Batam.
Lahirnya UU Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian disempurnakan dengan UU
Nomor 32 Tahun 2004, tentang pemerintahan daerah, mengakibatkan kewenanagan
di bidang pertanahan menjadi dilema dalam pelaksanaannya antara pemerintah daerah
Batam dengan Otorita Batam.
Jenis penelitian Tesis ini adalah penelitian Yuridis Normatif yang bersifat
Deskriptif analisis. Maksudnya adalah suatu analisa data yang berdasarkan teori
hukum yang bersifat umum, diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat
data yang lain. Dari pendekatannya penelitian ini bersifat memaparkan dan
menganalisa permasalahan yang ada. Untuk kemudian di tarik kesimpulan yang
menjadi inti dari solusi permasalah tersebut.
Berlakunya UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang pemerintahan daerah tidak
dapat langsung secara serta merta diberlakukan di pulau Batam, khususnya
kewenangan pemerintah daerah dibidang pertanahan. Hal ini disebabkan antara lain
karena UU nomor 32 tahun 2004 Tentang pemerintahan daerah tersebut tidak
mengatur secara jelas dan terperinci mengenai bentuk dan jenis kewenangan bidang
pertanahan tersebut. Untuk pelaksanaan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 perlu dibentuk suatu peraturan khusus yang memperinci secara jelas dan
tegas tentang batas kewenangan di bidang pertanahan tersebut. Disamping itu
pemerintah Republik Indonesia perlu menerbitkan Undang-Undang/Peraturan
Pemerintah tentang Hubungan kerja antara pemerintah Kota Batam dan Otorita
Batam untuk meningkatkan keselarasan, keseimbangan dan keserasian kewenangan
di bidang pertanahan tersebut, dan perlu pula ditetapkan jangka waktu transisi melalui
suatu peraturan yang tegas dan jelas untuk mengantisipasi munculnya masalah-
masalah yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum.
Kata Kunci : UU No. 32 Tahun 2004
Kewenangan Bidang Pertanahan Pulau Batam
Universitas Sumatera Utara
6
ASBTRACT
Land issue is a very complicated problem which frequently results in a long
dispute in the life dynamics of Indonesian community members. Each area in
Indonesia has its own land problem characteristics. This condition is a clear
consequence of the basicof prosperity and the view of life of the people of Indonesia
on land. In general, to the people of Indonesia, land is a facility of where to live in
and can also be a beneficial investment that land has a very important function.
The decision of the status of Batam Island as an industrial area through the
Presidential Decree Number 41/1973 on the establishment of the authority of Batam
industrial area development not only changed the policy patterns in the sector of
industry but also in the sector of land use. It can be seen through the issuance of the
Decree of Minister of Domestic Affairs Number 43/1977 regulating the management
and the use of land in the industrial area of Batam Island which gave the batam
Authority the right to manage the land. The issuance of Law No. 22/1999 which was
then amended by Law No. 32/2004 on Local Administration resulted in the dilemma
between the local government of Batam and the Batam Authority on who holds and
implements the land authority.
This is a normative juridical study with descriptive analysis which is meant to
analyze the raw data based on a general legal theory applied to describe a set of the
other raw data. Basically, the approach used showed that this study describes and the
analyzes the existing research problems form which a conclusion was drawn to be the
core of the problem solution.
The Law no. 32 /2004 on Local Government issued could not be directly
implemented in Batam Island, especially the clause on the authority of local
government in the sector of land use because tha Law No. 32/2004 on Local
Government does not regulate the form and the kind of authority applied in the sector
of land use in clear details. To effectively implement Law No. 32/200, a strict, clear
establishe. In addition, the Government of theRepublic of Indonesia needs to issue a
Law/Government Regulation on the Work Relationship between the City Government
of Batam and the Batam Authority to improve the harmony, balance and compatible
authority in the sector of land, and the period of transition should also be set based
on a strict and clear regulation to anticipate the incident of the problems that may
cause a legal uncertainty.
Key words: Law No.32/2004, Authority in the Sector of Land, Batam Island
Universitas Sumatera Utara
7
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena hanya
dengan berkat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini
dengan judul “Kewenangan Pemerintah Daerah di Bidang Pertanahan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah (Analisis Terhadap Kewenangan Bidang Pertanahan Antara
Pemerintah Kota Batam dan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau
Batam)”. Penulisan tesis ini merupakan suatu persyaratan yang harus dipenuhi untuk
memperoleh gelar Magister dalam bidang Ilmu Kenotariatan (M.Kn) Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan
dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis dapat
diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih
yang mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormat dan
amat terpelajar Bapak Prof. Muhammad Abduh, SH, Bapak Prof. Dr. Muhammad
Yamin, SH, MS, CN, dan Bapak Notaris Syafnil Gani, SH, M.Hum, selaku Komisi
Pembimbing yang telah dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan untuk
kesempurnaan penulisan tesis ini.
Dalam kesempatan ini dengan penuh kerendahan hati mengucapkan ucapan
terima kasih yang tulus kepada :
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM & H, MSC (CTM), Sp.A (K), selaku
Rektor Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan dan
fasilitas kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Tesis ini.
2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH. MHum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, yang telah memberi kesempatan dan fasilitas kepada penulis
sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Tesis ini.
3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Studi
Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak dan Ibu Guru Besar juga Dosen Pengajar pada Program Magister
Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik
dan membimbing penulis sampai kepada tingkat Magister Kenotariatan.
5. Para pegawai/karyawan pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara, yang selalu membantu kelancaran dalam hal
manajemen administrasi yang dibutuhkan.
Sungguh rasanya suatu kebanggaan tersendiri dalam kesempatan ini penulis
juga turut menghaturkan sembah sujud dan ucapan terima kasih yang tak terhingga
kepada Ayahanda Alm. Usman Harahap dan Ibunda Hj. Chamsiah yang telah
melahirkan, mengasuh, mendidik dan membesarkan penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaikan studi pada Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara Medan.
iv
Universitas Sumatera Utara
8
Teristimewa penulis mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada
suamiku Drs. H. Hamdan Basri, MSi dan anak-anakku tersayang Reza Mulyawan dan
Rinda Kharisa, yang selama ini telah memberikan semangat dan doa serta
kesempatan untuk menimba ilmu di Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
Penulis berharap semoga semua bantuan dan kebaikan yang telah diberikan
kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT, agar selalu
dilimpahkan kebaikan, kesehatan dan rezeki yang melimpah kepada kita semua.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna,
namun tak ada salahnya jika penulis berharap kiranya tesis ini dapat memberikan
manfaat kepada semua pihak.
Medan, Nopember 2010
Penulis,
Novlinda
Universitas Sumatera Utara
9
RIWAYAT HIDUP
A. I. IDENTITAS PRIBADI
Nama Lengkap : Novlinda
Tempat/Tanggal Lahir : Pekanbaru/12 Nopember 1961
Status : Menikah
Alamat : Komp. Tiban Bukit Asri Blok B No. 1 Batam
Agama : Islam
II. ORANG TUA
Nama Ayah : Usman Harahap
Nama Ibu : Chamisyah
Nama Suami : Drs. H. Hamdan Basri, MSi
Nama Anak : 1. Reza Mulyawan, Amd. I’m
2. Rinda Charisa
III. PENDIDIKAN
SD : SD Negeri No. 4 Pekanbaru Tahun 1973
SMP : SMP Negeri No. 4 Pekanbaru Tahun 1976
SMA : SMA Negeri No. 4 Pekanbaru Tahun 1979
S1 : Fakultas Hukum Universitas Internasional Batam
Tahun 2006
S2 : Pascasarjana Program Studi Magister Kenotariatan
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Tahun
2010
Universitas Sumatera Utara
10
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ................................................................................................. i
ABSTRACT ................................................................................................ ii
KATA PENGANTAR .............................................................................. iii
RIWAYAT HIDUP.................................................................................... v
DAFTAR ISI ............................................................................................. vi
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1
A. Latar Belakang ..................................................................... 1
B. Perumusan Masalah.............................................................. 7
C. Tujuan Penelitian.................................................................. 8
D. Manfaat Penelitian................................................................ 8
E. Keaslian Penelitian ............................................................... 9
F. Kerangka Teori dan Konsepsi .............................................. 10
1. Kerangka Teori................................................................ 10
2. Konsepsi.......................................................................... 25
G. Metode Penelitian................................................................. 26
1. Sifat dan Jenis Penelitian ................................................ 26
2. Alat Pengumpul Data ...................................................... 27
3. Analisis Data ................................................................... 28
BAB II PENYERAHAN KEWENANGAN BIDANG PERTANAHAN
PADA PEMERINTAH DAERAH BERDASARKAN UNDANG
UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG
PEMERINTAH DAERAH ......................................................... 30
A. Pengertian dan Sejarah Otonomi Daerah ............................. 30
B. Jenis-jenis Penyerahan Kemenangan Bidang Pertanahan
dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah ............................................................ 39
C. Peraturan Terkait di Bidang Penyerahan Kewenangan
Universitas Sumatera Utara
11
Pertanahan Kepada Pemerintah Daerah ................................ 49
BAB III STATUS KEWENANGAN OTORITA BATAM DALAM
BIDANG PERTANAHAN ......................................................... 68
A. Status Kewenangan Otorita Batam dalam Bidang
B. Pertanahan Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 41
Tahun 1973 Tentang Daerah Industri Pulau Batam ............. 68
C. Kewenangan Bidang Pertanahan di Pulau Batam ................ 82
BAB IV KEABSAHAN PERATURAN BIDANG PERTANAHAN
YANG TELAH DITERBITKAN OLEH OTORITA BATAM
DENGAN BERLAKUNYA UU NO. 32 TAHUN 2004
TENTANG PEMERINTAH DAERAH .................................... 100
A. Akibat Hukum Berlakunya UU No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintah Daerah ................................................... 100
B. Status Hukum Terhadap Peraturan Bidang Pertanahan
Apabila Terjadi Peralihan Kewenangan................................. 103
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN................................................... 108
A. Kesimpulan........................................................................... 108
B. Saran ..................................................................................... 109
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 111
Universitas Sumatera Utara
12
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Masalah pertanahan merupakan masalah yang sangat pelik dan seringkali
menimbulkan sengketa berkepanjangan dalam dinamika kehidupan bangsa Indonesia.
Peraturan-peraturan yang mengatur masalah pertanahan disamping Undang-Undang
Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 begitu banyak tersebar, sehingga
membingungkan dan terkesan kompleks tidak hanya bagi masyarakat luar, namun
juga bagi para akademisi, pejabat dan banyak instansi yang terkait dengan masalah
pertanahan tersebut. Berbagai daerah di nusantara tentunya memiliki karakteristik
permasalahan pertanahan yang berbeda antara satu wilayah dengan wilayah lainnya.
Keadaan ini semakin nyata sebagai konsekwensi dari dasar pemahaman dan
pandangan orang Indonesia terhadap tanah. Kebanyakan orang Indonesia memandang
tanah sebagai sarana tempat tinggal yang dapat memberikan penghidupan sehingga
tanah mempunyai fungsi yang sangat penting.
Menurut Boedi Harsono, walaupun tidak dinyatakan dengan tegas, tetapi dari
apa yang tercantum dalam konsiderans, pasal-pasal dan penjelasan, dapatlah
disimpulkan bahwa pengertian agraria dan hukum agraria dalam Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria digunakan dalam
1
Universitas Sumatera Utara
13
arti yang sangat luas. Pengertian agraria meliputi bumi, air, ruang angkasa dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya.1
Dengan pemakaian sebutan agraria dalam arti yang demikian luasnya, maka
dalam pengertian UUPA, hukum agraria bukan hanya merupakan satu perangkat
bidang hukum. Hukum agraria merupakan suatu kelompok berbagai bidang hukum
yang masing-masing mengatur hak-hak penguasaan atas sumber-sumber daya alam
tertentu yang meliputi hukum tanah yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah
dalam arti permukaan bumi, hukum air yang mengatur hak-hak penguasaan atas air,
hukum pertambangan yang mengatur hak-hak penguasaan atas bahan-bahan galian,
hukum perikanan yang mengatur hak-hak penguasaan atas kekayaan alam yang
terkandung di dalam air, hukum penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang
angkasa (bukan Space Law) yang mengatur hak-hak penguasaan atas tenaga dan
unsur-unsur dalam ruang angkasa yaitu memberi wewenang untuk mempergunakan
tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa guna usaha memelihara dan
memperkembangkan kesuburan bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya dan hal-hal lainnya yang bersangkutan dengan itu sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 48 UUPA.2
Menurut Imam Sudiyat, sebagai salah satu unsur essensiil pembentuk negara,
tanah memegang peran vital dalam kehidupan dan penghidupan bangsa pendukung
negara yang bersangkutan, lebih-lebih yang corak agrarisnya mendominasi. Di negara
1 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 2003, hal. 6 2 Ibid, hal. 8.
Universitas Sumatera Utara
14
yang rakyatnya berhasrat melaksanakan demokrasi yang berkeadilan sosial,
pemanfaatan tanah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat merupakan suatu
conditio sine qua non.3
Sebenarnya, jauh sebelum pendapat Imam Sudiyat muncul, UUPA dalam
pertimbangannya juga menegaskan bahwa hukum agraria nasional harus memberi
kemungkinan akan tercapainya fungsi bumi, air dan ruang angkasa, sesuai dengan
kepentingan rakyat Indonesia dan perkembangan zaman serta merupakan perwujudan
asas Ketuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan, dan
Keadilan Sosial.4
Hal ini juga diperkuat oleh Pasal 6 UUPA yang mengatakan bahwa semua hak
atas tanah mempunyai fungsi sosial.5
Namun, kenyataan yang terjadi jauh dari semangat UUPA. Berbagai konflik
seputar tanah kerap terjadi. Amanat undang-undang yang mengutamakan kepentingan
rakyat akhirnya harus terkikis dengan kepentingan-kepentingan investasi dan
komersial yang menguntungkan segelintir kelompok sehingga kepentingan rakyat
banyak yang seharusnya memperoleh prioritas utama akhirnya menjadi terabaikan.
Batam sebagai bagian wilayah Indonesia, tidak terlepas dari fenomena
semacam ini. Berbagai kasus tanah masih menyisakan persoalan-persoalan yang mau
3 Iman Sudiyat, Hukum Adat, Sketsa Azas, Liberty, Yogyakarta, 1978, hal. 1. Conditio sine
qua non merupakan istilah dari bahasa latin yang berarti syarat mutlak atau syarat yang absolut.
Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2002, hal. 82. 4 Indonesia, Undang-Undang Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU No. 5
Tahun 1960, LN No. 104 Tahun 1960, TLN No. 2043, Pertimbangan. 5 Ibid., Pasal 6.
Universitas Sumatera Utara
15
tidak mau harus diselesaikan secara bijak sehingga tidak menimbulkan persoalan
baru.
Di tengah sulitnya akses untuk memperoleh hunian yang layak, sementara
kebutuhan akan perumahan semakin tak terelakkan, maka jalan pintas untuk
mendirikan tempat tinggal di atas tanah negara yang bukan diperuntukkan bagi
pemukiman menjadi pilihan yang amat menyenangkan. Hal ini didukung oleh
lemahnya pengawasan yang dilakukan pemerintah. Akibatnya rumah-rumah liar6 pun
bermunculan, tanpa usaha untuk membendungnya.
Kepemilikan rumah tempat tinggal bagi warga negara asing yang bermukim
di Batam juga menambah rumitnya persoalan. Menghadapi fenomena ini, pemerintah
telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 tentang Pemilikan
Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing yang Berkedudukan di
Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 tersebut merupakan
pengecualian dari UUPA yang pada dasarnya berkaitan dengan status pemilikan hak
pakai atas tanah negara.7
Penetapan status Pulau Batam sebagai zona industri lewat Keputusan Presiden
Nomor 41 Tahun 1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam tidak saja membuat
perubahan dalam pola kebijakan di bidang industri tetapi juga kebijakan di bidang
pertanahan. Dengan perubahan status tersebut kebijakan pertanahan menjadi
6 Rumah liar merupakan rumah yang didirikan di atas tanah yang bukan diperuntukkan
untuk pemukiman. Markus Gunawan, “Rumah Liar, Problematika Multidimensial,” Syari Pos, Batam,
12 Juli 2002 : 4. 7 Indonesia, Peraturan Pemerintah Tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian
Oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia, PP No. 41 Tahun 1996, LN No. 59 Tahun 1996,
TLN No. 3644, Pertimbangan.
Universitas Sumatera Utara
16
kewenangan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam, untuk selanjutnya
disebut Otoritas Batam, dengan pemberian hak pengelolaan.8
Keadaan ini dalam perjalanan selanjutnya diperuncing dengan pemberlakuan
otonomi daerah melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah yang kemudian disempurnakan kembali dengan Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 9 yang memberikan kekuasaan yang amat besar
kepada masing-masing daerah untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri.10
Pemberian otonomi di bidang pertanahan kepada daerah kabupaten/kota ini
merupakan suatu perubahan dasar dalam pelaksanaan hukum tanah nasional.11
Dengan berbekal undang-undang ini, Pemerintah Kota Batam menginginkan
kebijakan yang berhubungan dengan pertanahan menjadi kewenangan Pemerintah
Kota Batam.
Terhadap hal ini, Otorita Batam mengacu pada Keputusan Presiden Nomor 41
Tahun 1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam yang memberikan kewenangan
kepada Otorita Batam termasuk kewenangan bidang pertanahan, sementara
Pemerintah Kota Batam dengan semangat otonomi daerah berdasarkan Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyimpulkan bahwa
8 Pemerintah Kota Batam, Profil Batam Madani 2004, Pemko Batam, 2004, hal. 8
9 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 merupakan revisi terhadap Undang-Undang Nomor
22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Revisi tersebut tidak banyak merevisi tentang masalah
pertanahan. Hanya satu Pasal yang menyatakan bahwa pelayanan pertanahan diserahkan kepada
daerah tanpa adanya penjelasan mengenai pelayanan pertanahan tersebut. Indonesia, Undang-Undang
Tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 32 Tahun 2004, LN No. 125 Tahun 2004, TLN No. 4437. 10
Ibid, Pasal 1. 11
Arie S. Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, Lembaga
Pemberdayaan Hukum Indonesia, Jakarta, 2005, hal. 40.
Universitas Sumatera Utara
17
sudah saatnya kewenangan bidang pertanahan beralih menjadi kewenangan
Pemerintah Kota Batam.
Berdasarkan rumusan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa urusan wajib yang menjadi
kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang
berskala kabupaten/kota diantaranya adalah pelayanan pertanahan. Undang-undang
ini tidak memberikan penjelasan seperti apa bentuk dan mekanisme pelayanan
pertanahan sehingga menimbulkan interpretasi yang beragam.
Status hukum hak pengelolaan atas seluruh areal yang terletak di Pulau Batam
termasuk dalam gugusan Pulau Janda Berhias, Pulau Tanjung Sauh, Pulau Ngenang,
Pulau Kasem, dan Pulau Moi-moi, yang diperoleh Otorita Batam berdasarkan
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 43 Tahun 1977 tanggal 18 Februari 197712
menjadi dipertanyakan, termasuk kewenangan bidang pertanahan di Pulau Rempang
dan Galang.
Permasalahan tersebut juga terkait dengan bagaimana status hukum terhadap
peraturan bidang pertanahan yang telah diterbitkan oleh Otorita Batam apabila terjadi
peralihan kewenangan kepada Pemerintah Kota Batam.
Mengingat pentingnya pemahaman yang komprehensif dalam menyikapi
problematika pertanahan tersebut yang amat bertautan dengan masalah yuridis, maka
penulis merasa tertarik untuk meneliti dan menjadikan problematika pertanahan yang
terjadi di pulau seluas 610 hektar ini sebagai topik penyusunan tesis. Untuk
12
Pemerintah Kota Batam, Op.cit, hal. 9
Universitas Sumatera Utara
18
melakukan penelitian secara lebih mendalam terhadap kewenangan pemerintah
daerah Kota Batam dalam bidang pertanahan.
Adapun judul penyusunan tesis ini adalah Kewenangan Pemerintah Daerah di
Bidang Pertanahan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah (Analisis Terhadap Kewenangan Bidang Pertanahan Antara
Pemerintah Kota Batam dan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam).
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka
permasalahan yang dibahas secara lebih mendalam dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana penyerahan kewenangan bidang pertanahan pada Pemerintah Daerah
berdasarkan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah?
2. Bagaimana status kewenangan otorita Batam dalam bidang pertanahan berkaitan
dengan lahirnya Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah ?
3. Bagaimana keabsahan peraturan bidang pertanahan yang telah diterbitkan oleh
otorita Batam apabila terjadi peralihan kewenangan kepada Pemerintah Kota
Batam sehubungan dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 32 tahun
2004 tentang Pemerintah Daerah ?
Universitas Sumatera Utara
19
C. Tujuan Penelitian
Sehubungan dengan permasalahan tersebut di atas, maka tujuan yang hendak
dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Mengetahui bagaimana penyerahan kewenangan bidang pertanahan pada
Pemerintah Daerah berdasarkan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah.
2. Mengetahui bagaimana status kewenangan otorita Batam dalam bidang
pertanahan berkaitan dengan lahirnya Undang-undang Nomor 32 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah.
3. Mengetahui bagaimana keabsahan peraturan bidang pertanahan yang telah
diterbitkan oleh otorita Batam apabila terjadi peralihan kewenangan kepada
Pemerintah Kota Batam sehubungan dengan diundangkannya Undang-undang
Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
D. Manfaat Penelitian
Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis
maupun secara praktis, seperti dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut :
1. Secara teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbang saran dalam ilmu
pengetahuan hukum pada umumnya dan hukum perdata pada khususnya terutama
dibidang pertanahan yang menyangkut status hukum kewenangan bidang
pertanahan yang dimiliki oleh otorita Batam sehubungan dengan diundangkannya
Universitas Sumatera Utara
20
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan juga bila
terjadi peralihan kewenangan kepada Pemerintah Kota Batam.
2. Secara praktis
Hasil penelitian ini dapat memberi sumbang saran kepada pemerintah, praktisi
dan masyarakat umum yang ingin mengetahui lebih jauh tentang kewenangan
bidang pertanahan yang dimiliki oleh otorita Batam sehubungan dengan
diundangkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah dan apabila terjadi peralihan kewenangan dari otorita Batam kepada
Pemerintah Kota Batam.
E. Keaslian Penelitian
Dari hasil penelusuran dan pemeriksaan yang telah dilakukan baik
diperpustakaan Karya Ilmiah Magister Hukum maupun di Magister Kenotariatan
Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, dan sejauh yang diketahui, penelitian
tentang “Kewenangan Pemerintah Daerah di Bidang Pertanahan Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (Analisis
Terhadap Kewenangan Bidang Pertanahan Antara Pemerintah, Kota Batam dan
Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam)”, memang telah pernah
dilakukan, namun memiliki perbedaan dalam hal substansi permasalahan yang
dibahas, oleh karena itu penelitian ini adalah asli adanya. Secara akademik penelitian
ini dapat saya dipertanggung jawabkan kemurniannya, karena belum ada yang
melakukan penelitian yang sama dengan judul penelitian ini.
Universitas Sumatera Utara
21
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik
atau proses tertentu terjadi. Suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada
fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.13
Fungsi teori dalam
penelitian ini adalah untuk memberikan arahan/petunjuk dan meramalkan serta
menjelaskan gejala yang diamati.14
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, dan oleh karena itu
kerangka teori diarahkan secara khas ilmu hukum. Maksudnya penelitian ini berusaha
untuk memahami masalah kewenangan antara pemerintah daerah Kota Batam dan
otorita pengembangan daerah industri pulau Batam di bidang pertanahan berdasarkan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, secara yuridis,
artinya memahami objek penelitian sebagai hukum, yakni sebagai kaidah hukum atau
sebagai isi kaidah hukum sebagaimana yang ditentukan dalam perundang-undangan
yang berkaitan dengan masalah hukum pertanahan, kewenangan antara Pemerintah
Daerah Kota Batam dan otorita pengembangan daerah industri pulau Batam, batas-
batas kewenangannya antara pemerintah Kota Batam dengan otorita pengembangan
13
DJJ. M. Wuisman, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Jilid I, Penyunting, M. Hisyam, UI Press,
Jakarta, 1996, hal. 203. 14
Lexy J. Moelong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993,
hal. 35.
Universitas Sumatera Utara
22
daerah industri pulau Batam di bidang pertanahan berdasarkan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah.15
Kerangka teori yang dimaksud adalah kerangka pemikiran atau butir-butir
pendapat, teori tesis dari para penulis ilmu hukum dibidang hukum perdata,
khususnya dibidang hukum pertanahan yang menjadi bahan perbandingan, pegangan
teoritis, yang mungkin disetujui atau tidak disetujui, yang merupakan masukan
eksternal bagi penelitian ini.16
Teori yang dipakai adalah teori keseimbangan
kewenangan Pemerintah Daerah Kota Batam dan otorita pengembangan daerah
industri pulau Batam, batas-batas kewenangan yang berkaitan dengan bidang
pertanahan di Kota Batam yang dikaji berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang pemerintahan daerah.17
Keseimbangan untuk memperoleh kepastian
hukum terhadap pemberian kewenangan hukum dan hak-hak atas tanah terhadap
masyarakat yang diberikan oleh pemerintah Kota Batam dan otorita pengembangan
dan arah industri kota Batam dengan mengacu kepada batas-batas kewenangan yang
diberikan oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
untuk memperoleh kepastian hukum pemberian hak-hak atas tanah oleh kedua
instansi berwenang di pulau Batam tersebut.18
Teori keseimbangan ini dipelopori oleh Aristoteles dimana Ia menyatakan
bahwa hukum harus diluruskan penegakannya sehingga memberi keseimbangan yang
15
Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia, Suatu Kebutuhan yang Didambakan, Alumni,
Bandung, 2006, hal. 17. 16
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 80. 17
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, 1994, hal. 102. 18
Ibid, hal. 103.
Universitas Sumatera Utara
23
adil terhadap orang-orang yang mencari keadilan. Dalam teori keseimbangan semua
orang mempunyai kedudukan yang sama dan diperlakukan sama pula (seimbang)
dihadapan hukum.19
Sistem hukum pertanahan dibangun berdasarkan asas-asas hukum Mariam
Darus mengemukakan bahwa sistem hukum merupakan kumpulan asas-asas hukum
yang terpadu di atas mana dibangun tertib hukum.20
Pandangan ini menunjukkan arti
sistem hukum dari segi substantif, asas hukum perjanjian adalah suatu pikiran
mendasar tentang kebenaran (waarheid truth) untuk menopang norma hukum dan
menjadi elemen yuridis dari suatu sistem hukum pertanahan.
Konsiderans UUPA menyebutkan bahwa hukum agraria Nasional berdasarkan
atas hukum adat, yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat
Indonesia, dengan tidak menjabarkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum
agama. Menyimak konsiderans dari UUPA tersebut, maka pembangunan Hukum
Tanah Nasional harus dilakukan dalam bentuk penuangan norma-norma hukum adat
dalam peraturan perundang-undangan menjadi hukum yang tertulis “selama hukum
adat yang bersangkutan tetap berlaku penuh serta menunjukkan adanya hubungan
fungsional antara hukum adat dan Hukum Tanah Nasional itu.”21
AP. Parlindungan mengemukakan bahwa pemberian tempat kepada hukum
adat di dalam UUPA, tidak menyebabkan terjadinya dualisme seperti yang dikenal
sebelum berlakunya UUPA. Reorientasi pelaksanaan hukum di Indonesia akan lebih
19
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 1985, hal. 87. 20
Mariam Darus Badrulzaman, Hukum Benda Nasional, Alumni, Bandung, 1990, hal. 15. 21
Alvi Syahrin, Beberapa Masalah Hukum, Sofmedia, Medan, 2009, hal. 39.
Universitas Sumatera Utara
24
berhasil jika kita mampu memahami jiwa hukum adat yang akan dikembangkan
di dalam perundang-undangan modern. Pemberian tempat bagi hukum adat didalam
UUPA, apalagi penempatan itu dalam posisi dasar, merupakan kristalisasi dari asas-
asas hukum adat sehingga UUPA itulah penjelmaan hukum adat yang sebenarnya.
Hukum adat yang dapat dipakai sebagai hukum agraria adalah hukum adat yang telah
dihilangkan sifat-sifatnya yang khusus daerah dan diberi sifat nasional22
. Sehingga
dalam hubungan dengan prinsip-prinsip satuan bangsa dan negara kesatuan Republik
Indonesia, maka hukum adat yang dahulu hanya mementingkan suku dan masyarakat
hukumnya sendiri, harus diteliti dan dibedakan antara :23
a. Hukum adat yang tidak bertentangan dengan prinsip persatuan bangsa dan
seterusnya (Pasal 5) dan tidak merupakan penghambat pembangunan.
b. Hukum adat yang hanya mementingkan suku dan masyarakat hukumnya
sendiri, yang bertentangan dengan kepentingan nasional dan kesatuan bangsa
serta dapat menghambat pembangunan negara.
Hukum adat yang tidak bertentangan tersebut dalam poin a di atas, tetap
berlaku dan merupakan hukum agraria nasional yang berasal dari hukum adat, kecuali
hak-hak atas tanah menurut hukum adat yang merupakan ketentuan konversi pasal II,
VI dan VIII Hukum adat yang bertentangan seperti tersebut dalam poin b tidak
diberlakukan lagi (tidak diadatkan).24
22
AP. Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Mandar Maju,
Bandung, 1998, hal. 47. 23
Alvi Syahrin, Op. cit, hal. 40. 24
Iman Soetikjno, Politik Agraria Nasional, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1994,
hal. 48-49.
Universitas Sumatera Utara
25
“Boedi Harsono mengemukakan bahwa penggunaan norma-norma hukum
adat sebagai pelengkap tanah yang tertulis, haruslah tidak bertentangan dengan jiwa
dan ketentuan UUPA, bahkan Pasal 5 UUPA memberikan syarat yang lebih rinci,
yaitu sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang
berdasarkan atas persatuan bangsa dengan sosialisme Indonesia serta peraturan-
peraturan yang tercantum dalam UUPA dan dengan peraturan perundang-undangan
lainnya”.25
Hukum adat yang dimaksudkan oleh UUPA adalah hukum aslinya golongan
rakyat pribumi, merupakan hukum yang hidup dalam bentuk tidak tertulis dan
mengandung unsur-unsur nasional yang asli yaitu sifat kemasyarakatan dan
kekeluargaan yang berasaskan keseimbangan serta diliputi oleh suasana keagamaan.26
Konsepsi hukum adat dalam hukum tanah nasional di rumuskan sebagai
konsepsi yang komunalistik religius, yang memungkinkan penguasaan tanah secara
individual, dengan hak atas tanah yang bersifat pribadi sekaligus mengandung unsur
kebersamaan. Sifat komunalistik religius dari konsepsi hukum tanah nasional
ditunjukkan oleh Pasal 1 ayat (2) UUPA. Sifat komunalistik menunjukkan semua
tanah dalam wilayah negara Indonesia adalah tanah bersama rakyat Indonesia, yang
telah bersatu menjadi bangsa Indonesia. Unsur religius dari konsepsi ini ditujukan
oleh pernyataan, bahwa bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang
25
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I Hukum Tanah Nasional Djambatan, Jakarta, 1999, hal. 1 26
Ibid, hal. 179.
Universitas Sumatera Utara
26
terkandung di dalamnya, merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa
Indonesia.
Suasana religius dalam Hukum Tanah Nasional juga terlihat dalam
konsiderans UUPA yang menyebutkan “…perlu adanya hukum agraria nasional yang
tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”……..”harus
mewujudkan penjelmaan daripada Ketuhanan Yang Maha Esa”, dan Pasal 5 UUPA
yang menyebutkan : “dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum
agama”. Asas-asas hukum adat yang digunakan dalam hukum Tanah Nasional, antara
lain asas religiusitas, asas kebangsaan, asas demokrasi, asas kemasyarakatan,
pemerataan dan keadilan sosial, asas pemeliharaan tanah secara berencana, serta asas
pemisahan horizontal tanah dengan bangunan dan tanaman yang ada diatasnya.27
Kedudukan asas-asas tersebut dalam pembangunan hukum yaitu sebagai
landasan dan alasan lahirnya peraturan hukum (ratio legis) selanjutnya. Namun
demikian, penerapan asas-asas tersebut dalam kasus-kasus konkrit selalu
memperhatikan faktor-faktor yang meliputi kasus yang dihadapi, dimungkinkan
menyimpang dari asas tersebut guna penyelesaian kasus, akan tetapi harus dapat
memenuhi rasa keadilan dan kebenaran.
Tujuan diundangkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah, agar daerah dapat mengurus rumah tangganya sendiri dalam
rangka pengembangan wilayahnya masing-masing untuk kemajuan daerahnya, agar
27
Alvi Syahrin, Op.cit, hal. 41
Universitas Sumatera Utara
27
sesuai dengan aspirasi masyarakat di daerah tersebut demi mencapai kesejahteraan
bersama di semua sektor pembangunan.
Kewenangan mengurus rumah tangga sendiri tersebut juga mencakup
kewenangan mengatur masalah pertanahan diwilayahnya demi mengembangkan
otonominya sesuai gerak tuntutan kesejahteraan rakyat, atau minimal daerah tidak
kesulitan mengajak investor menanamkan modal di daerahnya demi peningkatan
usaha yang berkaitan dengan tanah didaerahnya.28
Keadaan ini dapat dipahami,
karena daerah berkeinginan untuk memajukan daerahnya serta mensejahterakan
masyarakatnya dengan landasan pengembangan ekonomi sebagai basisnya dengan
tetap bertumpu kepada kebijakan ekonomi baru mencakup kebijaksanaan, strategi dan
pelaksanaan pembangunan yang mengutamakan kepentingan rakyat banyak sebagai
wujud keberpihakan pada kelompok usaha kecil, menengah dan koperasi, sebagai
pilar utama pembangunan ekonomi nasional, tanpa mengabaikan peranan perusahaan-
perusahaan besar. Pengelolaan dan pemanfaatan tanah serta sumber daya alam
lainnya dilaksanakan secara adil dengan menghilangkan segala bentuk pemusatan
pengusahaan dan pemilihan dalam rangka pengembangan kemampuan ekonomi
usaha kecil, menengah dan koperasi serta masyarakat luas. Tanah sebagai basis usaha
pertanian diutamakan penggunaannya bagi pertumbuhan pertanian rakyat.29
28
Muhammad Yamin, Politik Agraria dalam Mengatur Perkembangan Otonomi Daerah,
Artikel, dimuat Jurnal Konstitusi Volume I Nomor 2, November 2009, Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia, Jakarta, 2009, hal. 8. 29
Ibid
Universitas Sumatera Utara
28
Perlindungan hukum terhadap kelompok usaha kecil, menengah dan koperasi
serta petani masih perlu lebih ditingkatkan pelaksanaannya, mengingat dalam
prakteknya masih sering terabaikan dan cukup memprihatinkan. Kendati sarana
hukum yang tersedia dari segi kuantitas dalam hal perlindungan hukum tersebut
sudah memadai, namun penegakan dan pengawasan peraturan itu masih lemah.30
1. Kewenangan hak menguasai dari negara, diatur secara terperinci dalam
Pasal 2 ayat (2) UUPA, yaitu berupa kegiatan :
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan
pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa.
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dengan bumi, air dan ruang angkasa.
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Hak menguasai dari negara tidak akan hapus, selama Negara Republik Indonesia
masih ada sebagai negara yang merdeka dan berdaulat.
2. Hak Ulayat masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut
kenyataannya masih ada31
.
30
Muhammad Yamin, Beberapa Masalah Aktual Hukum Agraria, Pustaka Bangsa Press,
Medan, 2004, hal. 118. 31
Pasal 3 UUPA
Universitas Sumatera Utara
29
3. Hak-hak penguasaan individual, terdiri atas :
a. Hak-hak atas tanah32
, meliputi :
Primer : Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan,
Hak Pakai yang diberikan oleh Negara33
.
Sekunder : Hak Guna Bangunan dan hak Pakai, yang diberikan oleh pemilik
tanah, Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang, Hak
Sewa dan lain-lain34
.
b. Hak Wakaf35
, hak individual yang berasal dari hak milik yang sudah
diwakafkan dan mempunyai kedudukan khusus dalam Hukum Tanah
Nasional.
c. Hak jaminan atas tanah, yang disebut dengan hak tanggungan.36
Dalam lingkup hak bangsa, para warga negara mempunyai hak bersama untuk
menguasai tanah dan menggunakannya, serta dimungkinkannya para warga untuk
menguasai dan menggunakannya secara individual dengan hak-hak yang bersifat
pribadi, artinya bahwa tanah tersebut tidak harus dikuasai dan digunakan secara
bersama-sama dengan orang lain.
Sifat pribadi hak-hak individual menunjuk kepada kewenangan pemegang hak
untuk menggunakan tanahnya bagi kepentingan dan dalam memenuhi kebutuhan
pribadi dan keluarganya.37
32
Pasal 4 UUPA 33
Pasal 16 UUPA 34
Pasal 37, 41 dan 53 UUPA 35
Pasal 49 UUPA 36
Pasal 23,33,39,51 UUPA dan UU No.4/1996
Universitas Sumatera Utara
30
Hak-hak individual yang bersifat pribadi tersebut, dalam konsepsinya
mengandung unsur kebersamaan, karena semua hak pribadi secara langsung atau
tidak langsung bersumber pada hak bersama. Hak-hak primer (Hak Milik, Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai) langsung bersumber dari hak bangsa,
melalui pemberian oleh negara sebagai petugas bangsa. Hak-hak yang lain seperti hak
sewa, hak bagi hasil dan lain-lainnya merupakan hak-hak sekunder yang bersumber
pada Hak Bangsa secara tidak langsung, melalui pemegang hak primer.38
Adanya unsur kebersamaan dalam hak individual39
ini sesuai dengan alam
pikiran asli orang Indonesia yang menegaskan bahwa manusia Indonesia adalah
manusia pribadi yang sekaligus mahkluk sosial, yang mengusahakan terwujudnya
keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan bersama.
Perintah untuk mengadakan perencanaan peruntukan dan penggunaan tanah
(Pasal 14 UUPA), meletakkan kewajiban kepada mereka yang mempunyai tanah
untuk menggunakan tanah yang dihaki-nya (Pasal 10 UUPA), kewajiban untuk
memelihara, menambah kesuburan dan mencegah kerusakannya (Pasal 15 UUPA),
larangan pemilikan dan penguaaan tanah yang berlebihan (Pasal 7 dan 17 UUPA),
serta kebijakan dan ketentuan yang digariskan dalam Pasal 11, 12 dan 13 UUPA,
merupakan penjabaran sifat fungsi sosial yang menunjukkan adanya unsur
kebersamaan.
37
Pasal 9 UUPA berikut penjelasannya. 38
Boedi Harsono, Tinjauan Hukum Pertanahan Diwaktu Lampau, Sekarang dan Masa Akan
Datang, Makalah, Seminar Nasional Pertanahan dalam rangka HUT UUPA ke-XXXII, Yogyakarta,
1992, hal. 15. 39
Pasal 6 UUPA, yang menegaskan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.
Universitas Sumatera Utara
31
Dengan demikian, filosofis pemberian hak atas tanah kepada seseorang
ataupun badan hukum didasarkan pada diperlukannya untuk memenuhi kebutuhan
pribadi atau usahanya yang nyata, serta adanya kewajiban untuk menggunakannya.
Ini berarti, tanah bukan merupakan komoditi perdagangan, walaupun dimungkinkan
untuk dijual kepada pihak lain jika ada keperluan. Tanah tidak bisa dijadikan obyek
investasi semata-mata, lebih-lebih dijadikan obyek spekulasi.40
Selanjutnya, asas-asas yang berlaku mengenai penguasaan tanah dan
perlindungan hukum yang diberikan oleh Hukum Tanah Nasional terhadap para
pemegang hak atas tanah41
, adalah :
1. Penguasaan dan penggunaan tanah oleh siapapun dan untuk keperluan apapun,
harus dilandasi hak atas tanah yang disediakan oleh Hukum Tanah Nasional;
2. Penguasaan dan penggunaan tanah tanpa ada landasan haknya (illegal), tidak
dibenarkan, bahkan diancam dengan sanksi pidana (UU 51 Prp 1960);
3. Penguasaan dan penggunaan tanah yang berlandaskan hak yang disediakan oleh
Hukum Tanah Nasional, dilindungi oleh hukum terhadap gangguan dari pihak
manapun, baik oleh sesama anggota masyarakat maupun oleh pihak penguasa
sekalipun, jika gangguan tersebut tidak ada landasan hukumnya;
4. Hukum menyediakan berbagai sarana hukum untuk menanggulangi gangguan
yang ada :
40
Boedi Harsono, Op.cit, hal. 16. 41
Boedi Harsono, Op.cit, hal. 329-330.
Universitas Sumatera Utara
32
- Gangguan oleh sesama anggota masyarakat; gugatan perdata melalui
Pengadilan Negeri atau meminta perlindungan kepada Bupati/Walikotamadya
(UU 51 Prp 1960);
- Gangguan oleh penguasa; gugatan melalui Pengadilan Umum atau Pengadilan
Tata Usaha Negara;
5. Dalam keadaan biasa, diperlukan oleh siapapun dan untuk keperluan apapun (juga
untuk proyek-proyek kepentingan umum) perolehan tanah yang menjadi hak
seseorang, harus melalui musyawarah untuk mencapai kesepakatan, baik
mengenai penyerahan tanahnya kepada pihak yang memerlukan maupun
mengenai imbalannya yang merupakan hak pemegang hak atas tanah yang
bersangkutan untuk menerimanya;
6. Tidak dibenarkan adanya paksaan dalam bentuk apapun oleh pihak manapun
kepada pemegang hak atas tanah untuk menyerahkan tanah kepunyaannya dan
atau menerima imbalan yang tidak disetujuinya, termasuk juga penggunaan
lembaga penawaran pembayaran yang diikuti dengan konsinyasi pada Pengadilan
Negeri (seperti diatur dalam Pasal 1404 KUHPerdata)
7. Dalam keadaan yang memaksa, jika tanah yang bersangkutan diperlukan untuk
menyelenggarakan kepentingan umum, dan tidak mungkin menggunakan tanah
yang lain, sedang musyawarah yang diadakan tidak berhasil memperoleh
kesepakatan, dapat dilakukan pengambilan secara paksa, dalam arti tidak
memerlukan persetujuan pemegang haknya, dengan menggunakan acara
pencabutan hak atas tanah, yang diatur dalam UU 20/1961;
Universitas Sumatera Utara
33
8. Dalam perolehan atau pengambilan tanah, baik atas kesepakatan bersama maupun
melalui pencabutan hak, pemegang haknya berhak memperoleh imbalan atau
ganti kerugian, yang bukan hanya meliputi tanahnya, melainkan juga kerugian-
kerugian lain yang dideritanya sebagai akibat penyerahan tanah yang
bersangkutan;
9. Bentuk dan jumlah imbalan atau ganti kerugian tersebut, juga jika tanahnya
diperlukan untuk kepentingan umum dan dilakukan pencabutan hak, haruslah
sedemikian rupa, hingga bekas pemegang haknya tidak mengalami kemunduran,
baik dalam bidang sosial maupun tingkat ekonominya.
Batam sebagai bagian wilayah Indonesia, tidak terlepas dari fenomena konflik
masalah pertanahan. Berbagai kasus tanah masih menyisakan persoalan-persoalan
yang mau tidak mau harus diselesaikan secara bijak sehingga tidak menimbulkan
persoalan baru.
Ditengah sulitnya akses untuk memperoleh hunian yang layak, sementara
kebutuhan akan perumahan semakin tak terelakkan, maka jalan pintas untuk
mendirikan tempat tinggal di atas tanah negara yang bukan diperuntukkan bagi
pemukiman menjadi pilihan yang amat menyenangkan. Hal ini didukung oleh
lemahnya pengawasan yang dilakukan pemerintah. Akibatnya rumah-rumah liarpun
bermunculan, tanpa usaha untuk membendungnya.42
42
Markus Gunawan, Rumah Liar Problematika Multidimensial, Syari Pos, Batam, 12 Juli
2002, hal. 4.
Universitas Sumatera Utara
34
Kepemilikan rumah tempat tinggal bagi warga negara asing yang bermukim
di Batam juga menambah rumitnya persoalan. Menghadapi fenomena itu pemerintah
telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 tentang Pemilikan
Rumah Tempat Tinggal atau hunian oleh orang asing yang berkedudukan di
Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 tersebut merupakan
pengecualian dari UUPA yang pada dasarnya berkaitan dengan status pemulihan hak
pakai atas tanah negara.
Penetapan status pulau Batam sebagai zona industri menurut Keputusan
Presiden Nomor 41 Tahun 1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam tidak saja
membuat perubahan dalam pola kebijakan dibidang industri tetapi juga kebijakan
di bidang pertanahan. Dengan perubahan status tersebut, kebijakan pertanahan
menjadi kewenangan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam, untuk
selanjutnya disebut otorita Batam, dengan pemberian hak pengelolaan.43
Keadaan ini dalam perjalanan selanjutnya diperuncing dengan pemberlakuan
otonomi daerah melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, tentang
Pemerintahan Daerah yang kemudian disempurnakan kembali dengan Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 200444
yang memberikan kekuasaan yang amat besar
kepada masing-masing daerah untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri.45
43
Pemerintah Kota Batam, Profil Batam Madani 2004, Pemko Batam, 2004, hal. 8. 44
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 merupakan revisi terhadap Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah. Revisi tersebut tidak banyak, merevisi masalah
pertanahan hanya satu pasal yang menyatakan bahwa pelayanan pertanahan diserahkan kepada daerah
tanpa adanya penjelasan mengenai pelayanan pertanahan tersebut. 45
Pasal 1, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Tentang Pemerintahan Daerah.
Universitas Sumatera Utara
35
Pemberian otonomi dibidang pertanahan kepada daerah kabupaten/kota ini
merupakan suatu perubahan dasar dalam pelaksanaan hukum tanah nasional.46
Dengan berbekal Undang-Undang ini, Pemerintah Kota Batam menginginkan
kebijakan yang berhubungan dengan pertanahan menjadi kewenangan Pemerintah
Kota Batam. Terhadap hal ini, otorita Batam mengacu kepada Keputusan Presiden
Nomor 41 Tahun 1973 tentang daerah Industri Pulau Batam yang memberikan
kewenangan kepada otorita Batam, termasuk kewenangan bidang pertanahan,
sementara Pemerintah Kota Batam dengan semangat otonomi daerah berdasarkan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyimpulkan
bahwa sudah saatnya kewenangan bidang pertanahan beralih menjadi kewenangan
Pemerintah Kota Batam.
Berdasarkan rumusan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa urusan wajib yang menjadi
kewenangan pemerintah daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang
berskala kabupaten/kota diantaranya adalah pelayanan pertanahan. Undang-Undang
ini tidak memberikan penjelasan seperti apa bentuk dan mekanisme pelayanan
pertanahan, sehingga menimbulkan interpretasi yang beragam. Status hukum hak
pengelolaan atas seluruh aral yang terletak di pulau Batam, termasuk dalam gugusan
pulau Janda berhias pulau Tanjung Sauh, pulau Ngenang, pulau Kasem dan pulau
Moi-Moi yang diperoleh otorita Batam berdasarkan Keputusan Menteri Dalam
46
Arie, S. Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah Lembaga
Pemberdayaan Hukum Indonesia, Jakarta, 2005, hal. 40.
Universitas Sumatera Utara
36
Negeri Nomor 43 Tahun 1977 tanggal 18 Februari 1977 menjadi dipertanyakan,
termasuk kewenangan bidang pertanahan di pulau Rempang dan Galang.
Permasalahan tersebut juga terkait dengan bagaimana status hukum terhadap
peraturan bidang pertanahan yang telah diterbitkan oleh otorita Batam apabila terjadi
peralihan kewenangan kepada Pemerintah Kota Batam.
2. Konsepsi
Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang
digeneralisasikan dalam hal-hal yang khusus yang disebut dengan definisi
operasional.47
Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan
perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai.
Selain itu dipergunakan juga untuk memberikan pegangan pada proses penelitian ini.
Oleh karena itu dalam rangka penelitian ini, perlu dirumuskan serangkaian definisi
operasional sebagai berikut : yang dimaksud dengan kewenangan adalah hak dan
kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindakan/perbuatan hukum dibidang pertanahan
dalam hal pemberian hak-hak atas tanah kepada masyarakat di Kota Batam.48
Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh
Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan
47
Sumardi Surya Brata, Metodologi Penelitian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hal. 3. 48
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta, 1990, hal. 1010.
Universitas Sumatera Utara
37
prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia tahun 1945.49
Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati atau Walikota dan Perangkat
Daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintah Daerah.50
Otonomi Daerah adalah
hak wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.51
Daerah otonom selanjutnya disebut daerah adalah kesatuan masyarakat
hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam Sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia.52
G. Metode Penelitian
1. Sifat dan Jenis Penelitian
Untuk menjawab dan membahas permasalahan dalam penelitian ini maka sifat
penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif analisis, yang
mengusahakan/memaparkan bagaimana pelaksanaan kewenangan Pemerintah Daerah
di bidang pertanahan dalam hal ini adalah batas-batas kewenangan yang dimiliki oleh
49
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 50
Pasal 1 ayat (3), Ibid. 51
Pasal 1 ayat (5), Ibid 52
Pasal 1 ayat (6), Ibid
Universitas Sumatera Utara
38
Pemerintah Kota Batam dengan otorita pengembangan daerah industri pulau Batam
dalam hal pemberian hak-hak atas tanah di Kota Batam, dalam hal memberikan
kepastian hukum kepada masyarakat di Kota Batam atas kewenangan pemberian hak-
hak atas tanah tersebut.
Jenis penelitian yang diterapkan adalah memakai penelitian dengan metode
penulisan dengan pendekatan juridis normatif (penelitian hukum normatif) yaitu
penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku sebagai pijakan normatif yang berawal dari premis
umum, untuk kemudian berakhir pada suatu kesimpulan khusus. Hal ini dimaksudkan
untuk menemukan kebenaran-kebenaran baru (suatu tesis) dan kebenaran-kebenaran
pokok (teoritis).
2. Alat Pengumpul Data
Alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui
penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau
doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual, dan penelitian pendahulu yang
berhubungan dengan objek telaah penelitian ini yang dapat berupa norma atau kaidah
dasar, peraturan dasar, peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
kewenangan pemerintah daerah (otonomi) dibidang pertanahan dan juga UU yang
terkait masalah pertanahan tersebut. Studi dokumen dalam bentuk buku teks, jurnal,
makalah dan berbagai artikel yang terbit disejumlah media massa, kamus umum dan
kamus Hukum.
Universitas Sumatera Utara
39
Sebagai data penunjang dalam penelitian ini juga didukung dengan penelitian
lapangan (field research) guna akurasi terhadap hasil penelitian yang dipaparkan,
yang dapat berupa wawancara langsung dengan para pihak terkait seperti pejabat
Pemerintah Kota Batam dan otorita Batam yang berwenang dalam bidang pertanahan,
yang dalam penelitian ini memiliki kapasitas sebagai informan dan narasumber.
3. Analisis Data
Di dalam penelitian hukum normatif, maka analisis data pada hakikatnya
berarti kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum
tertulis. Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum
tertulis tersebut, untuk memudahkan pekerjaan analisis konstruksi.
Sebelum analisa dilakukan terlebih dahulu diadakan pemeriksaan dan evaluasi
terhadap semua data yang dikumpulkan (primer, sekunder maupun tertier) untuk
mengetahui validitasnya. Setelah itu keseluruhan data tersebut akan
disistematisasikan sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan
permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini dengan tujuan untuk memperoleh
jawaban yang baik pula.53
Analisis data dilakukan dengan pendekatan kualitatif yang artinya penelitian
ini akan berupaya untuk memaparkan sekaligus untuk melakukan analisis terhadap
53
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002,
hal. 106.
Universitas Sumatera Utara
40
permasalahan yang ada dengan cara yang sistematis untuk memperoleh kesimpulan
jawaban yang jelas dan benar.54
Ada 3 (tiga) alasan penggunaan penelitian hukum normatif dengan
pendekatan kualitatif, antara lain :
1. Analisis kualitatif didasarkan pada paradigma hubungan dinamis antara teori,
konsep-konsep dan data yang merupakan umpan balik atau modifikasi yang tetap
dari teori dan konsep yang didasarkan pada data yang dikumpulkan.
2. Data yang dianalisa beraneka ragam memiliki sifat dasar yang berbeda antara satu
dengan yang lainnya, serta tidak mudah untuk dikualifisir.
3. Sifat dasar data yang dianalisa dalam penelitian ini adalah bersifat menyeluruh
dan merupakan satu kesatuan yang integral (hilistic) dimana hal itu menunjukkan
adanya keanekaragaman data serta memerlukan informasi yang mendalam
(indepth information).55
Hasil penelitian ini bersifat evaluasif analisis yang kemudian dikonstruksikan
dalam suatu kesimpulan yang ringkas dan tepat sesuai tujuan dari penelitian ini.
54
Ibid, hal. 107. 55
Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum,
Disampaikan Pada Dialog Interaktif Tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penelitian Hukum Pada
Makalah Akreditas, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, tanggal 18 Februari 2003, hal. 1
Universitas Sumatera Utara
41
BAB II
PENYERAHAN KEWENANGAN BIDANG PERTANAHAN PADA
PEMERINTAH DAERAH BERDASARKAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH
A. Pengertian dan Sejarah Otonomi Daerah
Istilah otonomi berasal dari bahasa Yunani, yaitu autos yang berarti sendiri
dan nomos yang berarti peraturan. Oleh karena itu, secara harfiah otonomi berarti
peraturan sendiri atau undang-undang sendiri, yang selanjutnya berkembang menjadi
pemerintah sendiri.56
Menurut Wayong, “otonomi daerah sebenarnya merupakan bagian dari
pendewasaan politik rakyat di tingkat lokal dan proses menyejahterakan rakyat”,
sedangkan menurut Thoha, otonomi daerah adalah penyerahan sebagian urusan
rumah tangga dari pemerintah yang lebih atas kepada pemerintah di bawahnya dan
sebaliknya pemerintah di bawahnya yang menerima sebagian urusan tersebut telah
mampu melaksanakannya.57
Selain itu, pengertian otonomi daerah menurut Fernandes adalah pemberian
hak, wewenang, dan kewajiban kepada daerah yang memungkinkan daerah tersebut
mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri untuk meningkatkan daya guna dan
56
Dharma Setyawan Salam, Otonomi Daerah Dalam Perspektif Lingkungan, Nilai dan
Sumber Daya, Penerbit Djambatan, Jakarta, 2003, hal. 81. 57
Ibid, hal. 82.
30
Universitas Sumatera Utara
42
hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan kepada
masyarakat dan pelaksanaan pembangunan.58
Pengertian otonomi daerah sering disalahgunakan atau dipertukarkan
penggunaannya dengan istilah desentralisasi. MP Walker III menyebutkan bahwa so
complete was the confusion that among many Indonesians…..politicians,
administrators, lawyers, and teachers…the two words otonomi and desentralisasi
were generally used interchangeably.59
Secara singkat pengertian desentralisasi
mengandung pengertian adanya pembentukan daerah otonom dan atau penyerahan
wewenang tertentu kepadanya (daerah yang dibentuk) oleh pemerintah pusat.60
Sementara itu, otonomi daerah adalah pemerintahan oleh, dari, dan untuk rakyat
di bagian wilayah nasional suatu negara melalui lembaga-lembaga pemerintahan yang
secara formal berada di luar pemerintah pusat.61
Terdapat dua komponen utama pengertian otonomi, yaitu pertama, komponen
wewenang menetapkan dan melaksanakan kebijakan sebagai komponen yang
mengacu pada konsep “pemerintahan” yang terdapat dalam pengertian otonomi.
Kedua, komponen kemandirian sebagai komponen yang mengacu pada kata-kata
58
Ibid. 59
Millidge Penderell Walker III, Administration and Local Government in Indonesia, Ph.D.
Thesis, Berkley, University of Carolina, 1967, hal. 16 dalam Bhenyamin Hoessein, Berbagai Faktor
yang Memengaruhi Besarnya Otonomi Daerah Tingkat II, Suatu Kajian Desentralisasi dan Otonomi
Daerah dari Segi Ilmu Administrasi Negara, Disertai Program Pasc asarjana, 1993, hal. 17. 60
Bhenyamin Hoessein, Ibid., hal. 12. 61
Bhenyamin Hoessein, Ibid, hal. 18.
Universitas Sumatera Utara
43
“oleh, dari dan untuk rakyat”. Kemandirian tersebut diterjemahkan oleh Moh. Hatta
sebagai mendorong tumbuhnya prakarsa dan aktivitas sendiri.62
Komponen pertama : wewenang untuk menetapkan dan melaksanakan
kebijakan tertentu tersebut diperoleh dari pemerintah pusat melalui desentralisasi
wewenang dan wewenang tersebut merupakan kekuasaan formal (formal power).63
Wilayah dan orang yang menjadi sasaran wewenang (domain of power) dan bidang-
bidang (gatra) kehidupan yang terliput dalam wewenang (scope of power) ditetapkan
oleh pemerintah pusat (sebagai pihak yang memberi wewenang melalui
desentralisasi) yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan.64
Domain dan
scope of power tersebut dapat berubah yang berakibat pada perubahan bobot
wewenang (weight of power), yaitu misalnya pemerintah pusat dalam wilayah yang
sama melaksanakan dekonsentrasi atau desentralisasi fungsional atau bahkan menarik
kembali (resentralisasi) kewenangan dalam gatra kehidupan tertentu sehingga
wewenangnya mengecil. Dapat juga terjadi wewenang tersebut membesar bila
pemerintah pusat menambah penyerahan kewenangannya kepada daerah.65
Masih merupakan bagian dari komponen pertama, yaitu perubahan bobot
wewenang tidak akan menimbulkan staat dalam Negara Indonesia. Penyerahan
wewenang tersebut tidak meliputi wewenang untuk menetapkan produk legislatif
62
Ibid 63
Harorl D. Lasswell and Abraham Kaplan, Power and Society, A Framework for Political
Inquiry, forth printing, Yale University Press, New Haven, 1961, hal. 133, dalam Bhenyamin
Hoessein, Berbagai Faktor yang Memengaruhi Besarnya Otonomi Daerah Tingkat II, Suatu Kajian
Desentralisasi dan Otonomi Daerah dari Segi Ilmu Administrasi Negara, Disertai Program
Pascasarjana, 1993, hal. 19. 64
Bhenyamin Hoessein, Ibid, hal. 19. 65
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
44
yang disebut secara formal dengan “undang-undang” dan wewenang yudikatif
(rechtspraak) seperti yang dimiliki oleh suatu negara bagian.66
Terdapat pula
wewenang lain yang tidak diserahkan kepada daerah bentukan tersebut yang
kemudian diatur secara tegas pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 pada
Pasal 7 ayat (1) dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pada Pasal 10 ayat
(1 dan 3).
Selain itu, terdapat pula lembaga-lembaga pemerintahan yang secara formal
di luar pemerintahan pusat sebagai pengemban dan pelaksana wewenang penetapan
kebijaksanaan yang tertuang dalam peraturan daerah. Lembaga-lembaga tersebut
dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 diwujudkan dalam bentuk pemerintah
daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Lembaga pemerintah daerah
tersebut memiliki birokrasi daerah beserta birokratnya sebagai badan yang
menyiapkan dan melaksanakan kebijaksanaan yang telah ditetapkan dalam peraturan
daerah. Sebagai wujud pelaksanaan suatu kegiatan pemerintahan, daerah yang
memiliki otonomi harus memiliki sumber keuangan dan dikelola secara terpisah dari
keuangan pemerintah pusat untuk mendukung dan melaksanakan kebijaksanaan
daerahnya, terutama untuk tugas rutin dan tugas pembangunan.67
Komponen kedua dapat dilihat dari kemandirian daerah dari sisi pendapatan
yang dihasilkan oleh daerah tersebut. Bila pendapatan asli daerahnya (PAD) relatif
besar dibanding dana yang didapat dari bantuan pemerintah pusat dalam bentuk Dana
66
Ibid. 67
Bhenyamin Hoessein, Ibid, hal. 21.
Universitas Sumatera Utara
45
Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) serta dana-dana yang lain,
daerah tersebut memiliki kemandirian yang relatif besar, dan demikian pula
sebaliknya.
Pengaturan otonomi daerah di Indonesia terletak pada undang-undang yang
mengatur tentang pemerintahan daerah. Cikal bakal sudah dimulai pada tahun 1903
dengan keluarnya Decentralizatie Wet. Pada tahun tersebut, Pemerintah Belanda
menetapkan Wethoudende Decentralisatie van het Bestuur in Nederlandsch Indie68
(S. 1903/219 dan S. 1903/329) yang disebabkan oleh dorongan dari berbagai pihak
dan faktor. Berdasarkan wet (undang-undang) tersebut dan peraturan pelaksanaannya,
dibentuklah daerah otonom di wilayah gewest dan bagian gewest yang bercorak
perkotaan yang disebut dengan gemeente. Pembentukan daerah otonom dan
pelaksanaan pemerintahannya inilah yang mengawali hubungan kewenangan antara
pusat dan daerah di Indonesia.69
Kemudian, ketika Indonesia merdeka, mulailah masalah pemerintahan daerah
diatur dengan undang-undang yang terus berganti, dan terakhir pengaturannya
berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Masing-masing undang-undang membawa nuansa tersendiri yang berhubungan erat
dengan situasi dan tujuan negara pada saat itu, terutama masalah politik. Dalam
menjalankan kebijaksanaan, menetapkan dan melaksanakan, daerah harus memiliki
wewenang. H.D. Stout berpendapat bahwa wewenang dapat dijelaskan sebagai
68
Sutandyo Wignjosoebroto, Desentralisasi Dalam Tata Pemerintahan Kolonial Hindia
Belanda, Bayumedia Publishing, Malang, 2004, hal. 11 69
Safri Nugraha, dkk, Hukum Administrasi Negara, CLGS-FHUI, Depok, 2007, hal. 20.
Universitas Sumatera Utara
46
keseluruhan aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang-
wewenang pemerintah oleh subjek hukum publik dalam hubungan hukum publik,70
E. Utrecht dalam bukunya Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia melihat
bahwa kekuasaan (gezag, authority) lahir dari kekuatan (matcht, power) apabila
diterima sebagai sesuatu yang sah atau sebagai tertib hukum positif dan badan yang
lebih tinggi itu diakui sebagai penguasa (otoriteit).71
Soerjono Soekanto lebih melihat wewenang sebagai kekuasaan yang ada pada
seseorang atau kelompok orang yang mempunyai dukungan atau mendapat
pengakuan dari masyarakat.72
Bagir Manan berpendapat bahwa kekuasaan (macht)
menggambarkan hak untuk berbuat ataupun tidak berbuat, sedangkan wewenang
berarti hak dan sekaligus kewajiban (rechten en plichten). Lebih lanjut Nicolai
menyebutkan bahwa mengenai hak dan kewajiban adalah hak memberikan pengertian
kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu atau menuntut
pihak lain untuk melakukan tindakan tertentu. Sementara itu, kewajiban memuat
keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu.73
Prinsip otonomi daerah sebenarnya telah diterapkan jauh sebelum lahirnya
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di
70
Stout H.D. De Betekenissen van de wet, W.E.J. Tjeenk Willink, Zwolle, 1994, hal. 102
dalam Irfan Fachruddin, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintah,
Alumni, Bandung, 2004, hal. 40. 71
Utrecht, E, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Fakultas Hukum dan
Pengetahuan Masyarakat, Universitas Padjajaran, Bandung, 1960, hal. 43. 72
Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 1988, hal. 79-80 73
Nicolai, P & Oliver, B.K., Bestuursrecht, Amsterdam, 1994, hal. 4 dalam Irfan Fachruddin,
Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintah, Alumni, Bandung, 2004,
hal. 39-40.
Universitas Sumatera Utara
47
Daerah. Beberapa undang-undang yang mendahului Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1974 ini antara lain Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Undang-Undang
Pokok tentang Pemerintah Daerah, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang
Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965
tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah.
Namun, konsep otonomi daerah yang diperkenalkan dalam undang-undang
tersebut berbeda dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah sebagaimana yang kemudian diubah dengan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Sebagai contoh, menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, otonomi
daerah dilaksanakan secara nyata, dinamis, dan bertanggung jawab.74
Prinsip otonomi
yang nyata, dinamis dan bertanggung jawab ini dalam tahap implementasinya lebih
berkonotasi hak daripada kewajiban, dimana banyak memerlukan koordinasi dengan
pemerintah pusat sehingga muncul kesan sentralistik. Berbeda dengan hal ini,
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 memberikan kewenangan otonomi kepada
daerah kabupaten dan kota berdasarkan atas asas desentralisasi dalam upaya
mewujudkan otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab.75
Namun, seiring
dengan berjalannya waktu, konsep otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 akhirnya justru memunculkan “raja-raja kecil” di daerah
sehingga mendesak dilakukannya revisi terhadap undang-undang ini.
74
Ibid, hal. 90. 75
Ibid, hal. 91
Universitas Sumatera Utara
48
Saat ini, prinsip otonomi daerah yang digunakan adalah berdasarkan
ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang menekankan perwujudan
otonomi yang seluas-luasnya, nyata dan bertanggung jawab dengan memerhatikan
keseimbangan hubungan antarpemerintahan. Dengan kata lain, prinsip otonomi saat
ini berdasarkan atas asas desentralisasi berkeseimbangan.76
Prinsip otonomi seluas-luasnya mengandung arti bahwa daerah diberikan
kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan, kecuali
kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan
fiskal nasional, dan agama. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah
untuk memberikan pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan
masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata
dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk
menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan
kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan
berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Sementara itu, otonomi
yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus
benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada
76
Sadu Wasistiono, Esensi UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, Makalah
disampaikan pada Rakernas Asosiasi DPRD Kota-Se-Indonesia, Batam, 2005, hal. 4.
Universitas Sumatera Utara
49
dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat
yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional.77
Selain itu, penyelenggaraan otonomi daerah juga harus menjamin keserasian
hubungan antara daerah dengan daerah lainnya, artinya mampu membangun kerja
sama antar daerah untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah
ketimpangan antar daerah. Hal yang tidak kalah pentingnya bahwa otonomi daerah
juga harus mampu menjamin hubungan yang serasi antar daerah dengan pemerintah,
artinya harus mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah negara dan tetap
tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan
negara.78
Berdasarkan pengertian otonomi daerah dan wewenang yang telah diuraikan,
otonomi daerah merupakan kewenangan yang dimiliki oleh suatu daerah otonom
yang diberikan oleh pemerintah pusat (melalui desentralisasi) untuk menjalankan hak,
kewajiban, dan wewenang yang dimilikinya untuk mengatur rumah tangganya sendiri
sehingga dapat meningkatkan daya dan hasil guna untuk meningkatkan pelayanan
kepada masyarakatnya dan melakukan pembangunan di daerahnya.
77
Ibid. 78
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
50
B. Jenis-jenis Penyerahan Kemenangan Bidang Pertanahan dalam Undang-
Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Pelimpahan wewenang oleh pemerintah kepada pejabatnya di daerah untuk
menjalankan fungsi-fungsi terinci disebut dengan dekonsentrasi. Pada dekonsentrasi
tersebut wewenang untuk mengurus dilimpahkan oleh pemerintah pusat, tetapi
wewenang pengaturannya masih tetap di tangan mereka. Harold Alderfer
menyebutkan sebagai berikut.
In deconcentration, it merely sets up administrative units or field stations,
singly or in a hierarchy, separately or jointly, with orders as to what that
should do it. No Major matters or policies are decided locally, no fundaental
decisions taken. The central agency reservers’ all basic powers to itself. Local
officials area strictly subordinate, they carry out orders.79
Dekonsentrasi menciptakan kesatuan administrasi atau instansi vertikal untuk
mengemban perintah atasan. Kesatuan administrasi atau instansi vertikal tersebut
merupakan bawahan dari pemerintah pusat sehingga segala sesuatu yang dilakukan
oleh penerima pelimpahan kewenangan (daerah atau instansi vertikal) adalah atas
nama pemberi pelimpahan kewenangan (pemerintah pusat) dalam wilayah yurisdiksi
tertentu. Selain itu, di dalam dekonsentrasi juga tidak terdapat keputusan yang
mendasar atau keputusan kebijaksanaan di tingkat daerah.
Hal tersebut yang menyebabkan dekonsentrasi juga disebut sebagai
“desentralisasi administrasi” (administrative decentralization) karena dalam
79
Harold F. Aldelfer, Local Government in Developing Countries, Mc. Grian Hill Book Co,
New York, 1964, hal. 176 dalam Dwi Andayani B, Keberadaan Otonomi Daerah di Negara Kesatuan
Republik Indonesia, Disertai, Pascasarjana Fakultas Hukum UI, 2004, hal 62-63.
Universitas Sumatera Utara
51
dekonsentrasi wewenang yang dilimpahkan oleh pemerintah pusat kepada pejabat
di daerah merupakan wewenang untuk mengambil keputusan administrasi.
Untuk lebih memudahkan pemahaman terhadap beberapa istilah yang akan
dibahas dalam bagian ini, berikut ini disajikan pengertian terhadap istilah-istilah
di bawah ini.80
1. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2. Daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas
wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah
kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam
sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
4. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah
kepada gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal
di wilayah tertentu.
5. Tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau
desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari
pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
80
Indonesia, Undang-Undang Pemerintahan Daerah, Op.cit, Pasal 1.
Universitas Sumatera Utara
52
Sejumlah istilah tersebut menjadi istilah yang amat populer pada awal tahun
2000. Perubahan konsep administrasi pemerintahan yang lebih memberdayakan
partisipasi lokal menyebabkan terjadinya pola pergeseran kekuasaan pemerintahan.
Istilah tersebut juga telah memperoleh materi muatannya dalam Undang-
Undang Dasar 1945, khususnya pasal yang mengatur tentang pemerintahan daerah
provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Dalam ayat (5)
disebutkan bahwa pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali
urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah
pusat.
Dalam konteks pertanahan, ketentuan ini setidaknya menimbulkan
ketidakjelasan apabila kita kaitkan dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945
yang merupakan sandaran UUPA. Dalam pasal tersebut tidak disebutkan tentang
kemungkinan penyerahan bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya kepada pemerintah daerah, tetapi justru harus dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Secara tegas dinyatakan
bahwa bidang tersebut harus dikuasai oleh negara demi terciptanya kemakmuran
rakyat.
Sebagaimana ditegaskan dalam Penjelasan Pasal 2 UUPA berdasarkan
kewenangan-kewenangan yang terdapat dalam hukum tanah nasional, ternyata bahwa
pembentukan hukum tanah nasional maupun pelaksanaannya menurut sifat dan pada
asasnya merupakan kewenangan pemerintah pusat.
Universitas Sumatera Utara
53
Dalam rangka otonomi daerah menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999, pelimpahan kewenangan dalam otonomi adalah mengenai bidang
pemerintahan. Walaupun ketentuan Pasal 11 ayat (2) undang-undang tersebut
mencakup kewenangan dibidang pertanahan, tidak berarti mencakup kewenangan
di bidang hukum tanah nasional.
Oleh karena itu, pertanahan sebagai salah satu bidang pemerintahan yang
wajib dilaksanakan oleh kabupaten/kota dalam Pasal 11, tidak harus dicerna bahwa
wewenang bidang tersebut secara utuh berada di kabupaten/kota. Wewenang yang
berada di kabupaten/kota mengenai pertanahan sebatas yang bersifat lokalitas, dan
tidak bersifat nasional.81
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah sebagai
pengganti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 menyebutkan dalam Pasal 13 dan
Pasal 14 tentang bidang-bidang yang menjadi kewenangan pemerintah daerah yang
antara lain pelayanan pertanahan.
Pelaksanaan yang dilimpahkan kepada daerah dalam kerangka otonomi
daerah adalah pelaksanaan hukum tanah nasional. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 2
ayat (4) UUPA bahwa hak menguasai dari negara, pelaksanaannya dapat dikuasakan
kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekadar
diperlukan dan tidak bertentangan dengan peraturan pemerintah. Sementara itu,
dalam penjelasan Pasal 2 UUPA disebutkan bahwa dengan demikian, pelimpahan
81
Hutagalung, Tebaran Pemikiran, Op.cit, hal. 40.
Universitas Sumatera Utara
54
wewenang untuk melaksanakan hak penguasaan dari negara atas tanah itu dilakukan
dalam rangka tugas medebewind.
Kewenangan yang pelaksanaannya dapat dilimpahkan kepada pemerintah
daerah ditetapkan dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a UUPA, yaitu wewenang mengatur
dan menyelenggarakan peruntukan penggunaan, persediaan tanah di daerah yang
bersangkutan, sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 14 ayat 2 UUPA yang
meliputi perencanaan tanah pertanian dan tanah nonpertanian sesuai dengan keadaan
daerah masing-masing.
Berdasarkan Pasal 14 UUPA dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang, pemerintah daerah diberi wewenang mengatur peruntukan,
penggunaan, dan persediaan serta pemeliharaan tanah. Penataan ruang meliputi suatu
proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan
ruang.82
Berkaitan dengan kebijakan otonomi daerah, wewenang penyelenggaraan
penataan ruang dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah, yang mencakup
kegiatan pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang,
didasarkan pada pendekatan wilayah dengan batasan wilayah administratif. Dengan
pendekatan wilayah administratif tersebut, penataan ruang seluruh wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia terdiri atas wilayah nasional, wilayah provinsi, wilayah
82
Indonesia, Undang-Undang Agraria, Op.cit, Pasal 14, bandingkan dengan Ketentuan yang
terdapat dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Universitas Sumatera Utara
55
kabupaten, dan wilayah kota, yang setiap wilayah tersebut merupakan subsistem
ruang menurut batasan administratif.
Di dalam subsistem tersebut, terdapat sumber daya manusia dengan berbagai
macam kegiatan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya buatan, dan dengan
tingkat pemanfaatan ruang yang berbeda-beda, yang apabila tidak ditata dengan baik,
dapat mendorong ke arah adanya ketidakseimbangan pembangunan antar wilayah
serta ketidaksinambungan pemanfaatan ruang.83
Menurut rumusan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa urusan wajib yang menjadi kewenangan
pemerintahan daerah provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi yang
meliputi :84
1. Perencanaan dan pengendalian pembangunan;
2. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
3. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat;
4. Penyediaan sarana dan prasarana umum;
5. Penanganan bidang kesehatan;
6. Penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial;
7. Penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota;
8. Pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota;
83
Indonesia, Undang-Undang tentang Penataan Ruang, UU No. 26 Tahun 2007, LN No. 68
Tahun 2007, TLN No. 4725, Penjelasan. 84
Indonesia, Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, Op.cit, Pasal 13.
Universitas Sumatera Utara
56
9. Fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas
kabupaten/kota;
10. Pengendalian lingkungan hidup;
11. Pelayaran pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota;
12. Pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
13. Pelayanan administrasi umum pemerintahan;
14. Pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota;
15. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh
kabupaten/kota; dan
16. Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
Sementara itu, urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi
urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan
daerah yang bersangkutan.
Di samping itu, menurut rumusan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa urusan wajib yang menjadi
kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang
berskala kabupaten/kota meliputi :85
1. Perencanaan dan pengendalian pembangunan;
2. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
3. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat;
85
Ibid, Pasal 14.
Universitas Sumatera Utara
57
4. Penyediaan sarana dan prasarana umum;
5. Penanganan bidang kesehatan;
6. Penyelenggaraan pendidikan;
7. Penanggulangan masalah sosial;
8. Pelayanan bidang ketenagakerjaan;
9. Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;
10. Pengendalian lingkungan hidup;
11. Pelayanan pertanahan;
12. Pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
13. Pelayanan administrasi umum pemerintahan;
14. Pelayanan administrasi penanaman modal;
15. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan
16. Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
Sementara itu, urusan pemerintahan kabupaten/kota yang bersifat pilihan
meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan
potensi unggulan daerah yang bersangkutan.
Undang-undang ini memang menyebutkan pelayanan pertanahan sebagai
salah satu kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah kabupaten/kota. Terkait dengan
hal ini muncul pertanyaan yaitu, bagaimana kriteria dan mekanisme pelayanan
pertanahan dan bagaimana landasan konsepsinya terhadap pembagian urusan
Universitas Sumatera Utara
58
pemerintahan tersebut. Apakah serta merta menjadi kewenangan penuh dari
pemerintah kabupaten/kota dengan menegasikan peran Badan Pertanahan Nasional.
Untuk membahas Pasal 13 dan 14 undang-undang tersebut, perlu kita cermati
ketentuan Pasal 10 yang mengatur tentang pembagian urusan pemerintahan. Dalam
ayat (1) dan (2) disebutkan bahwa pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh
undang-undang ini ditentukan menjadi urusan pemerintah, dengan menjalankan
otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.
Terhadap hal ini, urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah pusat
meliputi :86
1. Politik luar negeri
2. Pertahanan
3. Keamanan
4. Yustisi
5. Moneter dan fiskal nasional; dan
6. Agama
Dalam rangka menjalankan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
pemerintah di luar urusan wajib pemerintah pusat tersebut, pemerintah dapat :87
1. Menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan;
86
Ibid, Pasal 10 ayat (3) 87
Ibid, Pasal 10 ayat (5)
Universitas Sumatera Utara
59
2. Melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada gubernur selaku wakil
pemerintah;
3. Menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan
desa berdasarkan asas tugas pembantuan.
Ketentuan pasal ini jika kita kaitkan dengan ketentuan Pasal 2 ayat (4) UUPA
yang mengatakan bahwa hak menguasai dari negara pelaksanaannya dapat
dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat,
sekadar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut
ketentuan-ketentuan peraturan pemerintah. Penjelasan pasal ini semakin menyatakan
bahwa kewenangan pertanahan sesungguhnya merupakan kewenangan pemerintah
pusat yang menyatakan bahwa soal agraria menurut sifatnya dan pada asasnya
merupakan tugas pemerintah pusat. Dengan demikian, pelimpahan wewenang untuk
melaksanakan hak penguasaan negara atas tanah itu adalah merupakan medebewind.
Segala sesuatunya akan diselenggarakan menurut keperluannya dan sudah barang
tentu tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional. Wewenang dalam
bidang agraria dapat merupakan sumber keuangan bagi daerah itu.
Tugas pembantuan pada dasarnya merupakan keikutsertaan daerah atau desa
termasuk masyarakatnya atas penugasan atau kuasa dari pemerintah atau pemerintah
daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah di bidang tertentu. Dalam hal ini,
untuk melaksanakan kewenangan bidang pertanahan yang merupakan tugas
pembantuan, pemerintah daerah dapat membentuk dinas pertanahan, dapat
Universitas Sumatera Utara
60
melaksanakan tugas pembantuan tersebut melalui struktur pemerintahan yang ada
misalnya bagian hukum.
Dalam rangka menghemat biaya dan memudahkan tersedianya pejabat
pelaksana yang profesional dan berpengalaman, demikian juga dalam memelihara
koordinasi dengan pelaksanaan tugas-tugas kewenangan lain di bidang pertanahan,
yang ada pada pemerintah, dalam melaksanakan urusan-urusan yang ditugaskan
dalam rangka medebewind, tidak perlu pemerintah provinsi, kabupaten/kota
membentuk perangkat pelaksana sendiri. Dengan tidak mengurangi tugasnya sebagai
perangkat BPN, cukup kantor wilayah BPN provinsi, kantor pertanahan
kabupaten/kota diperbantukan kepada provinsi, kabupaten/kota yang bersangkutan
dengan tetap berstatus perangkat Pemerintah Pusat, demikian juga pejabat dan
karyawannya.88
C. Peraturan Terkait di Bidang Penyerahan Kewenangan Pertanahan Kepada
Pemerintah Daerah
1. Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 Tentang Kebijakan Nasional
di Bidang Pertanahan
Dalam rangka mewujudkan konsepsi, kebijakan, dan sistem pertanahan
nasional yang utuh dan terpadu, serta pelaksanaan TAP MPR Nomor IX/MPR/2001
88
Boedi Harsono, 46 Tahun UUPA, Usaha Penyempurnaan yang Belum Selesai, Makalah
disampaikan pada Pertemuan Tahunan Memperingati Hari Ulang Tahun UUPA, Jakarta, 14 September
2006, hal. 12.
Universitas Sumatera Utara
61
tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, Badan Pertanahan
Nasional melakukan langkah-langkah percepatan :89
1. Penyusunan Rancangan Undang-Undang Penyempurnaan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dan
Rancangan Undang-Undang tentang Hak Atas Tanah serta peraturan
perundang-undangan lainnya dibidang pertanahan;
2. Pembangunan sistem informasi dan manajemen pertanahan yang meliputi :
a. Penyusunan basis data tanah-tanah aset negara/pemerintah/pemerintah
daerah di seluruh Indonesia;
b. Penyiapan aplikasi data tekstual dan spasial dalam pelayanan pendaftaran
tanah dan penyusunan basis data penguasaan dan pemilikan tanah yang
dihubungkan dengan e-government, e-commerce dan e-payment;
c. Pemetaan kadastral dalam rangka inventarisasi dan registrasi penguasaan,
pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dengan menggunakan
teknologi citra satelit dan teknologi informasi untuk menunjang kebijakan
pelaksanaan landreform dan pemberian hak atas tanah;
d. Pembangunan dan pengembangan pengelolaan penggunaan dan
pemanfaatan tanah melalui sistem informasi geografi dengan
mengutamakan penetapan zona sawah beririgasi dalam rangka memelihara
ketahanan pangan nasional.
89
Indonesia, Keputusan Presiden Tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan, No. 34
Tahun 2003, Pasal 1.
Universitas Sumatera Utara
62
Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan
Nasional di Bidang Pertanahan menyebutkan tentang bagian kewenangan pemerintah
di bidang pertanahan yang dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota.
Kewenangan tersebut antara lain :
1. Pemberian izin lokasi;
2. Penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan;
3. Penyelesaian sengketa tanah garapan;
4. Penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan;
5. Penetapan subjek dan objek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah
kelebihan maksimum dan tanah absentee;
6. Penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat;
7. Pemanfaatan dan penyelesaian tanah kosong;
8. Pemberian izin membuka tanah;
9. Perencanaan penggunaan tanah wilayah kabupaten/kota.
Untuk kewenangan yang bersifat lintas kabupaten/kota dalam satu provinsi,
dilaksanakan oleh pemerintah provinsi yang bersangkutan.90
Berdasarkan kerangka kebijakan pertanahan nasional yang disusun oleh Tim
Teknis Program Pengembangan Kebijakan dan Manajemen Pertanahan, disebutkan
bahwa kebijakan pertanahan didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut :91
90
Ibid, Pasal 2. 91
Tim Teknis Program Pengembangan Kebijakan dan Manajemen Pertanahan, Kerangka
Kebijakan Pertanahan Nasional, Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan Bappenas dan Direktorat
Pengukuran dan Pemetaan BPN, Jakarta, 2004, hal. v.
Universitas Sumatera Utara
63
1. Tanah adalah aset bangsa Indonesia yang merupakan modal dasar pembangunan
menuju masyarakat adil dan makmur. Oleh karena itu, pemanfaatannya haruslah
didasarkan pada prinsip-prinsip yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat
Indonesia. Dalam hal ini harus dihindari adanya upaya menjadikan tanah sebagai
barang dagangan, objek spekulasi, dan hal lain yang bertentangan dengan prinsip-
prinsip yang terkandung dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945.
2. Kebijakan pertanahan didasarkan kepada upaya konsisten untuk menjalankan
amanat Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, yaitu “..bumi, air, ruang angkasa, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara untuk digunakan
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat…” Oleh karena itu, merupakan tugas
negara untuk melindungi hak-hak rakyat atas tanah dan memberikan akses yang
adil atas sumber daya agraria, termasuk tanah.
3. Kebijakan pertanahan diletakkan sebagai dasar bagi pelaksanaan program
pembangunan dalam upaya mempercepat pemulihan ekonomi yang difokuskan
kepada ekonomi kerakyatan, pembangunan stabilitas ekonomi nasional dan
pelestarian lingkungan.
4. Kebijakan pertanahan merupakan dasar dan pedoman bagi seluruh kegiatan
pembangunan sektoral yang memiliki kaitan, baik secara langsung maupun tidak
dengan pertanahan.
5. Kebijakan pertanahan dibangun atas dasar partisipasi seluruh kelompok
masyarakat sebagai upaya mewujudkan prinsip good governance dalam
pengelolaan pertanahan.
Universitas Sumatera Utara
64
6. Kebijakan pertanahan diarahkan kepada upaya menjalankan TAP MPR Nomor
IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam,
khususnya Pasal 5 ayat 1.
Untuk mewujudkan tujuan kebijakan pertanahan tersebut, arah kebijakan
pertanahan dan rencana tindak adalah sebagai berikut :92
1. Reformasi peraturan perundang-undangan yang menyangkut pertanahan, dengan
rencana tindak : mengembangkan dan menetapkan undang-undang pokok yang
memayungti keseluruhan peraturan perundangan sektoral lainnya; sinkronisasi
seluruh peraturan perundangan yang terkait dengan pertanahan; revisi atas seluruh
peraturan perundang-undangan pertanahan yang tidak sesuai dengan prinsip-
prinsip yang terkandung dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945; mengintegrasikan
pelaksanaan serta menegakkan berbagi ketentuan perundangan-undangan
pertanahan bagi semua pihak.
2. Pengembangan kelembagaan pertanahan, dengan rencana tindak : menentukan
kewenangan bidang pertanahan antar sektor dan tingkat pemerintahan;
menentukan struktur kelembagaan pertanahan sesuai dengan kewenangan tersebut
di atas; memperkuat kelembagaan pertanahan sesuai dengan tugas dan fungsinya;
serta meningkatkan kemampuan sumber daya manusia pelaksana pengelola
pertanahan dalam upaya mengefektifkan pelayanan kepada masyarakat
sebagaimana dikemukakan dalam prinsip pelaksanaan otonomi daerah.
92
Ibid, hal vi
Universitas Sumatera Utara
65
3. Peningkatan pengelolaan pendaftaran tanah dan percepatannya, dengan rencana
tindak : mengembangkan sistem pendaftaran tanah yang efektif dan efisien
sebagai upaya memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum
bagi pemegang hak atas tanah; mengembangkan sistem informasi berbasis tanah
yang terpadu dan komprehensif untuk mendukung proses percepatan pendaftaran
tanah dan sistem perpajakan tanah; mewajibkan pendaftaran tanah atas emua jenis
hak atas tanah; penataan infrastruktur pendaftaran tanah dalam rangka
meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat.
4. Pengembangan penatagunaan tanah dengan rencana tindak : mengembangkan
mekanisme perencanaan tata guna tanah yang komprehensif sesuai dengan
karakteristik dan daya dukung lingkungannya dengan menerapkan prinsip good
governance (transparansi, partisipasi, dan akuntabel) mulai dari tingkatan
nasional, regional, dan lokal; melaksanakan rencana tata guna tanah secara
transparan berdasarkan kebutuhan masyarakat, pemerintah maupun swasta;
membangun mekanisme pengendalian atas pelaksanaan rencana tata guna tanah
yang mengikutsertakan berbagai pihak terkait secara efektif; mengembangkan
mekanisme perizinan dalam upaya peningkatan daya guna dan hasil guna
pengelolaan tata guna tanah.
5. Pengembangan sistem informasi berbasis tanah dengan rencana tindak :
menentukan dan mengembangkan standar sistem informasi berbasis tanah untuk
setiap level pemerintahan dan atau institusi; menentukan dan mengembangkan
pengaturan untuk pertukaran data dan akses informasi, perubahan data
Universitas Sumatera Utara
66
menyangkut updating dan edit, serta penyajian informasinya; mengembangkan
pola koordinasi teknis untuk pertukaran dan pemanfaatan data dari berbagai
institusi yang mengumpulkan, menyimpan/memiliki, dan menggunakan informasi
berbasis tanah dalam rangka efisiensi dan efektivitas pelayanan informasi bagi
semua pihak, mengembangkan sistem informasi pertanahan yang didukung oleh
teknologi informasi, sistem komputerisasi dan komunikasi serta sumber daya
manusia yang andal.
6. Penyelesaian sengketa tanah dengan rencana tindak; menyelesaian sengketa tanah
secara komprehensif; membentuk mekanisme dan kelembagaan dalam
penyelesaian sengketa pertanahan sebagai upaya mengeliminasi berbagai gejolak
sosial akibat sengketa; serta memprioritaskan penanganan sengketa kepada kasus-
kasus struktural yang memiliki dampak sosial ekonomi dan politik yang sangat
besar dengan cara yang berkeadilan.
7. Pengembangan sistem perpajakan tanah dengan rencana tindak; mengembangkan
sistem perpajakan tanah sebagai salah satu instrumen dalam distribusi aset tanah
yang berkeadilan; menerapkan mekanisme distribusi pendapatan yang bersumber
dari pajak tanah sebagai upaya mengefektifkan pengawasan atas pemilikan,
penguasaan dan penggunaan tanah; serta memberikan insentif dalam upaya
mendorong pemanfaatan tanah secara maksimal dan disinsentif bagi penguasaan
tanah secara berlebihan yang tidak memberikan manfaat yang maksimal.
8. Perlindungan hak-hak masyarakat atas tanah dengan rencana tindak : mengakui
dan melindungi semua jenis hak atas tanah yang saat ini sudah dimiliki, baik oleh
Universitas Sumatera Utara
67
masyarakat individu, kelompok masyarakat (tanah ulayah), badan hukum tertentu,
serta instansi pemerintah tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku; serta memberikan jaminan kepastian hukum pola hubungan
kelembagaan dalam penguasaan tanah.
9. Peningkatan akses atas tanah dengan rencana tindak : membuka akses yang adil
kepada seluruh masyarakat, khususnya kelompok masyarakat miskin, untuk dapat
menguasai dan atau memiliki tanah sebagai sumber penghidupannya, melalui
kegiatan landrefrom; mengaitkan kegiatan landreform dengan berbagai kegiatan
pembangunan lainnya sebagai upaya mengatasi masalah kemiskinan, baik
di pedesaan maupun di perkotaan; serta memberdayakan kelompok masyarakat
miskin penerima tanah objek landreform dan masyarakat secara luas melalui
program-program departemen atau instansi pemerintah terkait.
2. Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan
Nasional
Eksistensi Badan Pertanahan Nasional yang memiliki tugas dan kewajiban
di bidang pertanahan dipertegas dalam Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006
tentang Badan Pertanahan Nasional. Dalam salah satu pertimbangan terbitnya
Peraturan Presiden ini adalah bahwa tanah merupakan alat pemersatu Negara
Kesatuan Republik Indonesia sehingga perlu diatur dan dikelola secara nasional
untuk menjaga keberlanjutan sistem kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa fenomena desentralisasi bidang
pertanahan melalui model otonomi kepada daerah otonom tidak menjadi kenyataan
Universitas Sumatera Utara
68
karena pemerintah tetap mempertahankan keberadaan Badan Pertanahan Nasional
sebagai badan yang secara nasional bertugas menjaga keberlanjutan sistem kehidupan
berbangsa dan bernegara dalam bidang pertanahan. Di lain pihak, pemberian
kewenangan bidang pertanahan kepada pemerintah daerah berdasarkan model
medebewind atau tugas perbantuan memperoleh pengaturannya dimana kedudukan
Badan Pertanahan Nasional yang melaksanakan tugas pemerintah di bidang
pertanahan secara nasional, regional, dan sektoral.93
Dalam Pasal 3 disebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas tersebut, Badan
Pertanahan Nasional menyelenggarakan fungsi antara lain :94
1. Perumusan kebijakan nasional di bidang pertanahan;
2. Perumusan kebijakan teknis di bidang pertanahan;
3. Koordinasi kebijakan, perencanaan, dan program di bidang pertanahan;
4. Pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang pertanahan;
5. Penyelenggaraan dan pelaksanaan survei, pengukuran dan pemetaan di bidang
pertanahan;
6. Pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum;
7. Pengaturan dan penetapan hak-hak atas tanah;
8. Pelaksanaan penatagunaan tanah, reformasi agraria dan penataan wilayah-
wilayah khusus;
93
Indonesia, Peraturan Presiden tentang Badan Pertanahan Nasional, Perpres No. 10 Tahun
2006, Pasal 2. 94
Ibid, Pasal 3.
Universitas Sumatera Utara
69
9. Penyiapan administrasi atas tanah yang dikuasai dan/atau milik negara/daerah
bekerja sama dengan Departemen Keuangan;
10. Pengawasan dan pengendalian penguasaan pemilikan tanah;
11. Kerjasama dengan lembaga-lembaga lain;
12. Penyelenggaraan dan pelaksanaan kebijakan, perencanaan dan program
di bidang pertanahan;
13. Pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan;
14. Pengkajian dan penanganan masalah, sengketa, perkara dan konflik di bidang
pertanahan;
15. Pengkajian dan pengembangan hukum pertanahan;
16. Penelitian dan pengembangan di bidang pertanahan;
17. Pendidikan, latihan dan pengembangan sumber daya manusia di bidang
pertanahan;
18. Pengelolaan data dan informasi di bidang pertanahan;
19. Pembinaan fungsional lembaga-lembaga yang berkaitan dengan bidang
pertanahan;
20. Pembatalan dan penghentian hubungan hukum antara orang, dan/atau badan
hukum dengan tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
21. Fungsi lain di bidang pertanahan sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Universitas Sumatera Utara
70
Struktur Badan Pertanahan Nasional Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor
10 Tahun 2006 Tentang Badan Pertanahan Nasional
1. Kepala Badan Pertanahan Nasional
Bertugas memimpin Badan Pertanahan Nasional dalam menjalankan tugas dan
fungsi Badan Pertanahan Nasional.
2. Sekretariat Utama
Bertugas mengoordinasikan perencanaan, pembinaan dan pengendalian terhadap
program, administrasi dan sumber daya di lingkungan Badan Pertanahan
Nasional.
Berfungsi :
a. Pengoordinasian, sinkronisasi, dan integrasi di lingkungan Badan Pertanahan
Nasional
b. Pengoordinasian perencanaan dan perumusan kebijakan teknis Badan
Pertanahan Nasional.
c. Pembinaan dan pelayanan administrasi ketatausahaan, organisasi, tata laksana,
kepegawaian, keuangan, kearsipan, persandian, perlengkapan dan rumah
tangga Badan Pertanahan Nasional.
d. Pembinaan dan pelatihan, penelitian dan pengembangan data dan informasi,
hubungan masyarakat dan protokol di lingkungan Badan Pertanahan Nasional.
e. Pengoordinasian penyusunan peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan tugas Badan Pertanahan Nasional.
f. Pengoordinasian dalam penyusunan laporan Badan Pertanahan Nasional
Universitas Sumatera Utara
71
3. Deputi Bidang Survei, Pengukuran dan Pemetaan
Bertugas merumuskan dan melaksanakan kebijakan dibidang survei, pengukuran,
dan pemetaan.
Berfungsi :
a. Perumusan kebijakan teknsi di bidang survei, pengukuran, dan pemetaan.
b. Pelaksanaan survei dan pemetaan tematik
c. Pelaksanaan pengukuran dasar nasional
d. Pelaksanaan pemetaan dasar pertanahan
4. Deputi Bidang Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah
Bertugas merumuskan dan melaksanakan kebijakan di bidang hak tanah dan
pendaftaran tanah.
Berfungsi :
a. Perumusan kebijakan teknsi di bidang hak tanah dan pendaftaran tanah.
b. Pelaksanaan pengaturan dan penetapan hak-hak atas tanah.
c. Inventarisasi dan penyiapan administrasi atas tanah yang dikuasai dan/atau
milik negara/daerah.
d. Pelaksanaan pengadaan tanah untuk keperluan pemerintah, pemerintah
daerah, organisasi sosial keagamaan, dan kepentingan umum lainnya .
e. Penetapan batas, pengukuran dan berpetaan bidang tanah serta pembukuan
tanah.
f. Pembinaan teknis Pejabat Pembuat Akta Tanah, Surveyor Berlisensi dan
Lembaga Penilai Tanah.
Universitas Sumatera Utara
72
5. Deputi Bidang Pengaturan dan Penataan Pertanahan
Bertugas merumuskan dan melaksanakan kebijakan di bidang pengaturan dan
penataan pertanahan.
Berfungsi :
a. Perumusan kebijakan teknis di bidang pengaturan dan penataan pertanahan.
b. Penyiapan peruntukan, persediaan, pemeliharaan dan penggunaan tanah.
c. Pelaksanaan pengaturan dan penetapan penguasaan dan pemilikan tanah serta
pemanfaatan dan penggunaan tanah.
d. Pelaksanaan penataan pertanahan wilayah pesisir, pulau-pulau kecil,
perbatasan dan wilayah tertentu lainnya.
6. Deputi Bidang Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan Masyarakat
Bertugas merumuskan dan melaksanakan kebijakan di bidang pengendalian
pertanahan dan pemberdayaan masyarakat.
Berfungsi :
a. Perumusan kebijakan teknis di bidang pengendalian pertanahan dan
pemberdayaan masyarakat.
b. Pelaksanaan pengendalian kebijakan, perencanaan dan program penguasaan,
pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah.
c. Pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan
d. Evaluasi dan pemantauan penyediaan tanah untuk berbagai kepentingan.
Universitas Sumatera Utara
73
7. Deputi Bidang Pengkajian Penangananh Sengketa dan Konflik Pertanahan
Bertugas merumuskan dan melaksanakan kebijakan di bidang pengkajian dan
penanganan sengketa dan konflik pertanahan.
Berfungsi :
a. Perumusan kebijakan teknis di bidang pengkajian dan penanganan sengketa
dan konflik pertanahan.
b. Pengkajian dan pemetaan secara sistematis berbagai masalah, sengketa dan
konflik pertanahan.
c. Penanganan masalah, sengketa dan konflik pertanahan secara hukum dan non
hukum.
d. Penanganan perkara pertanahan.
e. Pelaksanaan alternatif penyelesaian masalah, sengketa dan konflik pertanahan
melalui bentuk mediasi, fasilitasi dan lainnya.
f. Pelaksanaan putusan-putusan lembaga peradilan yang berkaitan dengan
pertanahan.
g. Penyiapan pembatalan dan penghentian hubungan hukum antara orang,
dan/atau badan hukum dengan tanah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku .
8. Inspektorat Utama
Bertugas melaksanakan pengawasan fungsional terhadap pelaksanaan tugas
di lingkungan Badan Pertanahan Nasional.
Universitas Sumatera Utara
74
Berfungsi :
a. Penyiapan perumusan kebijakan pengawasan fungsional di lingkungan Badan
Pertanahan Nasional.
b. Pelaksanaan pengawasan kinerja, keuangan dan pengawasan untuk tujuan
tertentu atas petunjuk Kepala Badan Pertanahan Nasional.
c. Pelaksanaan urusan administrasi Inspektorat Utama
d. Penyusunan laporan hasil pengawasan
Dalam Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 diatur juga tentang Komite
Pertanahan. Komite Pertanahan ini bertujuan untuk menggali pemikiran dan
pandangan dari pihak-pihak yang berkepentingan dengan bidang pertanahan dan
dalam rangka perumusan kebijakan nasional di bidang pertanahan. Adapun tugas
Komite Pertanahan adalah memberikan masukan, saran dan pertim bangan kepada
Kepala Badan Pertanahan Nasional dalam perumusan kebijakan nasional di bidang
pertanahan. Komite ini berjumlah paling banyak tujuh belas orang yang berasal dari
para pakar di bidang pertanahan dan tokoh masyarakat.
Dalam kebijakan pertanahan nasional, hal-hal yang menyangkut hukum,
kebijakan, dan pedoman dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah maupun
keputusan Presiden menjadi tanggung jawab pemerintah pusat sebagaimana diatur
dalam Peraturan Pemerintah Nomro 25 Tahun 2000, yaitu mengenai :95
1. Penetapan persyaratan pemberian hak atas tanah;
2. Penetapan persyaratan landreform;
95
Hutagalung, Tebaran Pemikiran, Op.cit, hal. 74-76.
Universitas Sumatera Utara
75
3. Penetapan standar administrasi pertanahan;
4. Penetapan pedoman biaya pelayanan pertanahan;
5. Penetapan kerangka dasar kadastral nasional;
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 diganti oleh Peraturan
Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara
Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007, diatur tentang
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat dan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi dan
kabupaten/kota.
Dalam hal kebijakan pertanahan nasional, perlu ditambah sepanjang itu
menyangkut hukum, pedoman dan kebijakan nasional yang secara rinci dapat
diusulkan sebagai berikut.96
1. Pengaturan penyelenggaraan peruntukan, penggunaan, persediaan dan
pemeliharaan tanah.
a) Perumusan kebijakan teknis pengembangan sistem informasi geografi guna
kepentingan perencanaan penatagunaan tanah dan tata ruang.
b) Perumusan kebijakan teknis di bidang koordinasi penyiapan rencana
penatagunaan tanah dan tata ruang.
c) Perumusan kebijakan teknis dan melakukan perpetaan penatagunaan tanah.
96
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
76
d) Perumusan kebijakan teknis dan melakukan pengendalian dan pengawasan
penggunaan tanah.
e) Penyelenggaraan pengendalian dan pengawasan serta arahan lokasi
pembangunan.
2. Penetapan dan pengaturan hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan
tanah.
a) Pengaturan penguasaan, pengawasan, pengendalian, penetapan pedoman
untuk melaksanakan objek landreform dan pemilikan tanah.
b) Perumusan kebijaksanaan teknis serta pelaksanaan penataan penguasaan tanah
partikelir, tanah kelebihan maksimum, tanah absentee, tanah-tanah bekas
swapraja serta tanah negara lainnya.
c) Perumusan kebijakan teknis mengenai pemanfaatan tanah negara,
pemanfaatan atas tanah pertanian dan perkotaan, pengendalian, pemanfaatan
serta pengalihan hak atas tanah dan pelaksanaan konsolidasi tanah.
d) Perumusan kebijakan teknis dan penetapan ganti rugi tanah partikelir, tanah
kelebihan maksimum dan tanah absentee, serta penyelesaian masalah tanah
objek pengaturan penguasaan tanah.
e) Penghimpunan, pengolahan, dan penyajian data serta melakukan dokumentasi
dan pelaporan data penguasaan tanah.
f) Penegasan tanah objek landreform
g) Ganti rugi tanah kelebihan maksimum/absentee dan tanah partikelir.
h) Penetapan kebijakan konsolidasi tanah.
Universitas Sumatera Utara
77
3. Pengurusan hak atas tanah
a) Penetapan kebijakan pemberian hak atas tanah
b) Penetapan kebijakan dan penyelenggaraan pemberian, perpanjangan,
perpindahan, pelepasan dan pembatalan hak guna usaha perkebunan besar,
perkebunan rakyat, peternakan dan perikanan serta mengelola data hak guna
usaha.
c) Penetapan kebijakan dan penyelenggaraan pemberian, perpanjangan,
peralihan, pelepasan, dan pencabutan hak guna bangunan serta mengolah data
hak guna bangunan.
d) Pemberian hak milik atas tanah nonpertanian di atas 5.000 m2
e) Pemberian hak guna usaha di atas 200 Ha
f) Pemberian hak guna bangunan di atas 15 Ha
g) Pemberian hak pakai nonpertanian di atas 15 Ha
h) Penyelesaian sengketa hukum di bidang pertanahan dan mengolah data
penyelesaian sengketa hukum di bidang pertanahan.
i) Penetapan kebijakan pengadaan tanah bagi instansi pemerintah.
j) Penetapan dan penyelenggaraan pemberian hak pengelolaan tanah instansi
pemerintah, BUMN, dan BUMD, pemerintah daerah.
4. Penetapan dan pengaturan hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan
perbuatan hukum dengan tanah
a) Pengukuran Kerangka Dasar Kadastral Nasional (KDKN) dan pemetaan
dasar.
Universitas Sumatera Utara
78
b) Pembatalan sertifikat
c) Penanganan masalah tanah lintas sektoral
d) Pengukuran dan pemetaan batas provinsi
e) Pengukuran dan pemetaan tanah ulayat
f) Penyelenggaraan informasi pertanahan nasional
g) Penetapan wilayah pendaftaran tanah sistematik
h) Pengukuran bidang tanah yang luasnya lebih dari 1.000 Ha
i) Penyediaan blanko sertifikat dan akta tanah
j) Penyelenggaraan ujian PPAT dan pengangkatannya
k) Pemindahan PPAT dan surveyor berlisensi
l) Standardisasi sistem, prosedur dan biaya pendaftaran tanah.
m) Pembinaan teknis sumber daya manusia pendaftaran tanah
n) Standardisasi penilaian tanah
o) Penyelenggaraan ujian surveyor berlisensi dan pengangkatannya.
Di samping itu, kewenangan pemerintah pusat termasuk juga dalam
pembinaan, pengawasan atas penyelenggaraan otonomi daerah yang meliputi
pedoman, bimbingan dan supervisi yang dapat dilakukan melalui instansi vertikal
yang menangani masalah pertanahan.
Universitas Sumatera Utara
79
BAB III
STATUS KEWENANGAN OTORITA BATAM
DALAM BIDANG PERTANAHAN
A. Status Kewenangan Otorita Batam dalam Bidang Pertanahan Berdasarkan
Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973 Tentang Daerah Industri Pulau
Batam
1. Status Hukum Pulau Batam
Keberadaan Otorita Batam tidak terlepas dari kebijakan pemerintah pusat
untuk memperlakukan Pulau Batam secara khusus demi memacu iklim investasi dan
pertumbuhan ekonomi nasional dengan memanfaatkan potensi dan letak strategis
Pulau Batam.
Berkaitan dengan hal ini, pemerintah menerbitkan sejumlah keputusan yang
menjadi dasar hukum bagi keberadaan Otoritas Batam. Keputusan tersebut antara
lain: Keputusan Presiden Nomor 65 Tahun 1970 tentang Proyek Pengembangan
Pulau Batam Sebagai Dasar Logistik Lepas Pantai Untuk Kegiatan Pengeboran Oleh
Pertamina; Keputusan Presiden Nomor 74 Tahun 1971 tentang Pembangunan Pulau
Batam; Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973 tentang Daerah Industri Pulau
Batam yang telah lima kali diubah yaitu dengan Keputusan Presiden Nomor 45
Tahun 1978, Keputusan Presiden Nomor 58 Tahun 1989, Keputusan Presiden Nomor
94 Tahun 1998, Keputusan Presiden Nomor 113 Tahun 2000, Keputusan Presiden
Nomor 25 Tahun 2005; Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1974 tentang Penun
jukan Beberapa Lokasi di Sekupang, Batu Ampar, dan kabil sebagai kawasan Bonded
Ware dan PT Persero Batam Sebagai Penguasa Bonded Ware House; Keputusan
68
Universitas Sumatera Utara
80
Menteri Dalam Negeri Nomor 43 Tahun 1977 tentang Pengelolaan dan Penggunaan
Tanah di Daerah Industri Pulau Batam; Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1978
tentang Penetapan Seluruh Pulau Batam Sebagai Kawasan Berikat (Bonded Zone);
Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 1984 tentang Hubungan Kerja Antara
Pemerintah Kotamadya Batam dengan Otoritas Batam; Keputusan Presiden Nomor
56 Tahun 1984 tentangt Perluasan Wilayah Kerja Otorita Batam meliputi lima puluh
pulau kecil di sekitarnya dan Penetapannya sebagai wilayah Usaha Kawasan Berikat
(Bonded Zone).
Dalam bidang pertanahan, kepada Otorita Batam diberikan hak pengelolaan
atas seluruh wilayah di Pulau Batam. Hak Pengelolaan Otorita Batam diatur dalam
Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam dan
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 43 tahun 1977 tentang Pengelolaan dan
Penggunaan Tanah di Daerah Industri Pulau Batam.
Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973 mengatur tentang kedudukan
Pulau Batam sebagai daerah industri, adanya lembaga Otorita Pengembangan Daerah
Industri Pulau Batam dan mengatur peruntukan dan penggunaan tanah di Pulau
Batam. Dalam Pasal 6 ayat (1) disebutkan bahwa peruntukan dan penggunaan tanah
di daerah Industri Pulau Batam untuk keperluan bangunan-bangunan, usaha-usaha
dan fasilitas-fasilitas lainnya yang bersangkutan dengan pelaksanaan pembangunan
Universitas Sumatera Utara
81
Pulau Batam, didasarkan atas suatu rencana tata guna tanah dalam rangka
pengembangan Pulau Batam menjadi daerah industri.97
Dalam ayat (2) disebutkan bahwa hal-hal yang bersangkutan dengan
pengurusan tanah di dalam wilayah Daerah Industri Pulau Batam dalam rangka
ketentuan tersebut diatur lebih lanjut oleh Menteri Dalam Negeri sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang agraria dengan ketentuan
sebagai berikut.98
a. Seluruh areal tanah yang terletak di Pulau Batam diserahkan dengan hak
pengelolaan kepada Ketua Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau
Batam.
b. Hak Pengelolaan tersebut memberi wewenang kepada Ketua Otorita
Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam untuk :
1) Merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah tersebut;
2) Menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan tugasnya;
3) Menyerahkan bagian-bagin dari tanah tersebut kepada pihak ketiga
dengan hak pakai sesuai dengan ketentuan-ketentuan Pasal 41 sampai
dengan Pasal 43 Undang-Undang Pokok Agraria;
4) Menerima uang pemasukan/ganti rugi dan uang wajib tahunan.
Sebagai tindak lanjut dari Pasal 6 Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973
diterbitkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 43 Tahun 1977. Keputusan
97
Indonesia, Keputusan Presiden tentang Daerah Industri Pulau Batam, Keppres No. 41
Tahun 1973, Pasal 6. 98
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
82
Menteri Dalam Negeri ini memberikan hak pengelolaan kepada Otorita
Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam untuk seluruh areal tanah yang ada
di Pulau Batam termasuk gugusan Pulau Jadan Berhias, Tanjung Sauh, Ngenang, dan
Pulau Kasem.
Adapun beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh Otorita Batam sebagai
berikut.99
a. Hak pengelolaan diberikan untuk jangka waktu selama tanah digunakan untuk
kepentingan penerima hak dan terhitung sejak didaftarkan pada kantor
pertanahan setempat.
b. Hak pengelolaan diberikan untuk dipergunakan sebagai pengembangan daerah
industri, pelabuhan, pariwisata, pemukiman, peternakan, perikanan, dan usaha
lain-lain yang berkaitan dengan itu .
c. Apabila di atas areal tanah yang diberikan dengan hak pengelolaan masih
terdapat tanah, bangunan, dan tanaman milik rakyat, pembayaran ganti
ruginya wajib diselesaikan terlebih dahulu oleh penerima hak, demikian pula
pemindahan penduduk ke tempat pemukiman baru.
d. Penerima hak untuk pemberian hak pengelolaan tersebut diharuskan
membayar biaya administrasi.
e. Dalam rangka pemberian hak pengelolaan, tanah yang telah dibebaskan dari
hak-hak rakyat harus diberi tanda-tanda batas sesuai dengan ketentuan
99
Departemen Dalam Negeri, Keputusan Menteri Dalam Negeri Tentang Pengelolaan dan
Penggunaan Tanah di Daerah Industri Pulau Batam, Kepmendagri No. 43 Tahun 1977.
Universitas Sumatera Utara
83
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Agraria Nomor 8 Tahun
1961 untuk kemudian dilakukan pengukuran oleh kantor pertanahan setempat.
f. Terhadap areal tanah yang diberikan dengan hak pengelolaan dan telah
dilakukan pengukuran sehingga telah dapat diketahui luasnya dengan pasti,
harus didaftarkan pada kantor pertanahan setempat untuk kemudian dapat
dikeluarkan sertifikat tanda bukti haknya menurut ketentuan dalam Peraturan
Menteri Agraria Nomor 1 Tahun 1966.
g. Hak pengelolaan yang telah diterbitkan sertifikat tanda bukti haknya
memberikan wewenang kepada pemegang haknya (Otorita Pengembangan
Daerah Industri Pulau Batam) untuk : merencanakan peruntukan dan
penggunaan tanah tersebut, menggunakan tanah tersebut untuk keperluan
pelaksanaan tugasnya; menyerahkan bagian-bagian dari tanah hak
pengelolaan tersebut kepada pihak ketiga dengan hak guna bangunan dan hak
pakai sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundangan
agraria yang berlaku.
h. Tanah yang diberikan dengan hak pengelolaan tersebut harus dipelihara
sebaik-baiknya.
i. Pemindahan hak atas tanah yang diberikan dengan hak pengelolaan ini kepada
pihak lain dalam bentuk apapun tidak diperbolehkan kecuali dengan izin
Menteri Dalam Negeri c/q. Direktorat Jenderal Agraria.
Universitas Sumatera Utara
84
j. Penerima hak wajib mengembalikan areal tanah yang dikuasai dengan hak
pengelolaan tersebut seluruhnya atau sebagian kepada negara apabila areal
tanah tadi tidak dipergunakan lagi untuk keperluan sebagaimana mestinya.
k. Pemberian hak pengelolana dapat ditinjau kembali atau dibatalkan apabila :
luas tanah yang diberikan dengan hak pengelolaan tersebut ternyata melebihi
keperluan; tanah tersebut sebagian atau seluruhnya tidak dipergunakan,
dipelihara sebagaimana mestinya; salah satu syarat atau ketentuan dalam surat
keputusan ini tidak dipenuhi sebagaimana mestinya.
l. Segala akibat, biaya, untung, dan rugi yang timbul karena pemberian hak
pengelolaan ini menjadi beban/tanggungan sepenuhnya dari penerima hak.
Terhadap hak pengelolaan Otorita Batam, harus didaftartkan pada Kantor
Pertanahan Kota Batam untuk kemudian dikeluarkan sertifikat tanda bukti haknya.
Wilayah kerja Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam yang
sebelumnya hanya meliputi Pulau Batam, ditambah dengan Pulau Rempang dan
Pulau Galang Melalui Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 1992 tentang
Penambahan Wilayah Lingkungan Kerja Daerah Industri Pulau Batam dan
Penetapannya Sebagai Wilayah Usaha Kawasan Berikat (Bonded Zone) dengan bunyi
keputusan sebagai berikut.100
100
Indonesia, Keputusan Presiden tentang Penambahan Wilayah Lingkungan Kerja Daerah
Industri Pulau Batam dan Penetapannya Sebagai Wilayah Usaha Kawasan Berikat (Bonded Zone),
Keppres No. 28 tahun 1992.
Universitas Sumatera Utara
85
a. Wilayah lingkungan kerja Daerah Industri Pulau Batam sebagaimana dimaksud
dalam Keputusan Presiden Nomor 41 tahun 1973 ditambah dengan Pulau
Rempang dan Pulau Galang.
b. Beberapa pulau kecil tertentu di sekitar Pulau Rempang dan Pulau Galang yang
secara teknis diperlukan bagi perencanaan dan pengembangan Pulau Rempang
dan Pulau Galang dengan Keputusan Presiden dapat ditetapkan pula sebagai
bagian dari wilayah lingkungan kerja Daerah Industri Pulau Batam.
c. Pulau-pulau yang ditambahkan sebagai wilayah lingkungan kerja Daerah Industri
Pulau Batam merupakan wilayah usaha kawasan berikat (bonded zone) Daerah
Industri Pulau Batam.
d. Pelaksanaan penambahan Pulau galang ke dalam wilayah lingkungan kerja
Daerah Industri Pulau Batam dilakukan secepatnya dengan memerhatikan
penyelesaian masalah pengungsi di pulau tersebut.
e. Penyusun rencana pengembangan wilayah Pulau Rempang dan Pulau Galang
sebagai wilayah lingkungan kerja Daerah Industri Pulau Batam dilaksanakan
sebagai satu kesatuan dan dalam rangka penyempurnaan rencana induk
pengembangan Daerah Industri Pulau Batam yang ditetapkan oleh Presiden.
f. Hal-hal yang bersangkutan dengan pengelolaan dan pengurusan tanah di dalam
wilayah Pulau Rempang dan Pulau Galang, termasuk usaha-usaha pengamanan,
penguasaan, pengalihan, dan pemindahan hak atas tanah diatur lebih lanjut oleh
Kepala Badan Pertanahan Nasional.
Universitas Sumatera Utara
86
Pemerintah menyatakan kesediaan memberikan hak pengelolaan seluruh areal
tersebut berdasarkan Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 9-VIII-1993 tentang Pengelolaan dan Pengurusan Tanah di Daerah
Industri Pulau Rempang, Pulau Galang dan pulau-pulau lain disekitarnya dengan
bunyi keputusan menyatakan kesediaan untuk memberikan hak pengelolaan kepada
Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam atas seluruh areal tanah lain
di sekitarnya dengan syarta-syarat dan ketentuan sebagai berikut :101
a. Segala akibat, biaya, untung, dan rugi yang timbul karena pemberian hak
pengelolaan tersebut menjadi tanggung jawab sepenuhnya penerima hak.
b. Hak pengelolaan tersebut akan diberikan untuk waktu selama tanah dimaksud
dipergunakan untuk pengembangan daerah industri, pelabuhan, pariwisata,
pemukiman, peternakan, perikanan, dan lain-lain usaha yang berkaitan dengan
itu, terhitung sejak didaftarkan kepada kantor pertanahan setempat.
c. Apabila di atas areal tanah yang akan diberikan dengan hak pengelolana
tersebut masih terdapat tanah, bangunan dan tanaman milik rakyat,
pembayaran ganti ruginya wajib diselesaikan terlebih dahulu oleh penerima
hak, demikian pula pemindahan penduduk ke tempat pemukiman baru atas
dasar musyawarah.
101
Departemen Agraria/Badan Pertanahan Nasional, Keputusan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional tentang Pengelolaan dan Pengurusan Tanah di Daerah
Industri Pulau Rempang, Pulau Galang dan Pulau –pulau Lain di Sekitarnya, Kepmenag/K.BPN
No. 9-VIII-1993 Tahun 1993.
Universitas Sumatera Utara
87
d. Dalam rangka kesediaan pemberian hak pengelolaan tersebut tanah-tanah
yang telah bebas atau telah dibebaskan dari hak-hak rakyat, harus diberi
tanda-tanda batas sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Menteri Agraria Nomor 8 Tahun 1961 untuk kemudian dilakukan
pengukuran oleh kantor pertanahan setempat.
e. Terhadap areal tanah yang akan diberikan dengan hak pengelolaan dan telah
dilakukan pengukuran sehingga telah dapat diketahui luasnya dengan pasti,
akan diberikan dengan Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional secara
bertahap (parsial) dan harus didaftarkan pada kantor pertanahan setempat
untuk memperoleh tanda bukti berupa sertifikat dengan membayar biaya
pendaftaran menurut ketentuan yang berlaku.
f. Penerima hak dalam menyerahkan bagian-bagian dari hak pengelolaan kepada
pihak ketiga diwajibkan untuk memenuhi/tunduk pada ketentuan-ketentuan
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1977.
g. Pemindahan hak atas tanah yang diberikan dengan keputusan pemberian hak
pengelolaan kepada pihak lain dalam bentuk apapun tidak diperbolehkan
kecuali dengan izin Kepala Badan Pertanahan Nasional.
2. Kewenangan yang Diberikan Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973
Batam sebagai bagian wilayah Indonesia tidak terlepas dari problematika
pertanahan yang kerap terjadi di nusantara. Berbagai kasus tanah masih menyisakan
persoalan-persoalan yang harus diselesaikan secara bijak sehingga tidak
menimbulkan persoalan baru.
Universitas Sumatera Utara
88
Di tengah sulitnya akses untuk memperoleh hunian yang layak, sementara
kebutuhan akan perumahan semakin tak terelakkan, jalan pintas untuk mendirikan
tempat tinggal di atas tanah negara yang bukan diperuntukkan bagi pemukiman
menjadi pilihan yang amat menyenangkan. Hal ini didukung oleh lemahnya
pengawasan yang dilakukan pemerintah. Akibatnya rumah-rumah liar102
pun
bermunculan, tanpa usaha untuk membendungnya.
Kepemilikan rumah tempat tinggal bagi warga negara asing yang bermukim
di Batam juga menambah rumitnya persoalan. Menghadapi fenomena ini, pemerintah
telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 tentang Pemilikan
Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan
di Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 tersebut merupakan
pengecualian dari UUPA yang pada dasarnya berkaitan dengan status pemilikan hak
pakai atas tanah negara.103
Penetapan status Pulau Batam sebagai zona industri lewat Keputusan Presiden
Nomor 41 Tahun 1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam tidak saja membuat
perubahan dalam pola kebijakan di bidang industri, tetapi juga kebijakan di bidang
pertanahan. Dengan perubahan status tersebut, kebijakan pertanahan menjadi
102
Markus Gunawan, Rumah Liar, Problematika Mutidimensial, Sijori Pis, 12 Juli 2002. 103
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian
Oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia, PP No. 41 Tahun 1996, LN No. 59 Tahun 1996,
TLN No. 3644, Pertimbangan.
Universitas Sumatera Utara
89
kewenangan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam, untuk selanjutnya
disebut Otorita Batam, dengan pemberian hak pengelolaan.104
Keadaan ini dalam perjalanan selanjutnya diperuncing dengan pemberlakuan
otonomi daerah melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah yang kemudian disempurnakan kembali dengan Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004105
yang memberikan kekuasaan yang amat besar
kepada masing-masing daerah untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri.106
Pemberian otonomi di bidang pertanahan kepada daerah kabupaten/kota ini
merupakan suatu perubahan dasar dalam pelaksanaan hukum tanah nasional.107
Dengan berbekal undang-undang ini, Pemerintah Kota Batam menginginkan
kebijakan yang berhubungan dengan pertanahan menjadi kewenangan Pemerintah
Kota Batam.
Terhadap hal ini, Otorita Batam mengacu pada Keputusan Presiden Nomor 41
Tahun 1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam yang memberikan kewenangan
kepada Otorita Batam termasuk kewenangan bidang pertanahan, sementara
Pemerintah Kota Batam dengan semangat otonomi daerah berdasarkan Undang-
Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyimpulkan bahwa
104
Pemerintah Kota Batam, Profil Batam Madani 2004, Pemko Batam, Batam 2004, hal. 8. 105
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 merupakan revisi terhadap Undang-Undang
Nomor 32 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Revisi tersebut tidak banyak merevisi tentang
masalah pertanahan. Hanya satu pasal yang menyatakan bahwa pelayanan pertanahan diserahkan
kepada daerah tanpa adanya penjelasan mengenai pelayanan pertanahan tersebut. Indonesia, Undang-
Undang tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 32 Tahun 2004, Loc.cit. 106
Ibid, Pasal 1. 107
Hutagalung, Tebaran Pemikiran, Op.cit , hal. 40
Universitas Sumatera Utara
90
sudah saatnya kewenangan bidang pertanahan beralih menjadi kewenangan
Pemerintah Kota Batam.
Berdasarkan rumusan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, disebutkan bahwa urusan wajib yang menjadi
kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang
berskala kabupaten/kota yang diantaranya adalah pelayanan pertanahan. Undang-
undang ini tidak memberikan penjelasan seperti apa bentuk dan mekanisme
pelayanan pertanahan sehingga menimbulkan interpretasi yang beragam.
Status hukum hak pengelolaan atas seluruh areal yang terletak di Pulau Batam
termasuk dalam gugusan Pulau Janda Berhias, Pulau tanjung Sauh, Pulau Ngenang,
Pulau Kasem, dan Pulau Moi-moi, yang diperoleh Otorita Batam berdasarkan
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 43 tahun 1977 tanggal 18 Februari 1977108
menjadi dipertanyakan, termasuk kewenangan bidang pertanahan di Pulau Rempang
dan galang.
Permasalahan tersebut juga terkait dengan bagaimana status hukum terhadap
peraturan bidang pertanahan yang telah diterbitkan oleh Otorita Batam apabila terjadi
peralihan kewenangan kepada Pemerintah Kota Batam.
Mengingat pentingnya pemahaman yang komprehensif dalam menyikapi
problematika pertanahan tersebut yang amat bertautan dengan masalah yuridis,
dilengkapi dengan studi kasus terhadap kewenangan bidang pertanahan di Pulau
108
Pemerintah Kota Batam, Op.cit, hal. 9.
Universitas Sumatera Utara
91
Batam yang melibatkan dua institusi, yaitu Pemerintah Kota Batam dan Otorita
Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam.
Pada tahun 1983, Pulau Batam menjadi kota administratif berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1983 dengan tiga sub distrik (kecamatan),
yakni Belakang Padang, Batam Barat, dan Batam Timur.109
Derasnya tuntutan otonomi daerah dan kisah melunaknya kekuasaan
sentralistik mendorong perubahan sejarah pemerintahan di Batam. Tanggal 4 Oktober
1999 menjadi momentum perubahan bagi Kota Batam. Wilayah yang semula
berstatus pemerintahan kota administratif dengan keunikan sebagai daerah khusus
industri ditetapkan menjadi pemerintahan yang otonom melalui Undang-Undang
Nomor 53 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Pelalawan, Kabupaten
Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi, dan Kota Batam.110
Diberikannya status kota otonom kepada Batam, juga sesuai dengan kehendak
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sehingga
Batam memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat berdasarkan prakarsa sendiri sesuai dengan aspirasi masyarakatnya.
Dengan demikian, pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
yang kemudian diperbarui lagi dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004,
mengakibatkan perubahan status Kota Batam yang semula sebagai Kota Administratif
Batam menjadi Kota Batam. Pengertian kota menurut Undang-Undang Nomor 32
109
Ibid, hal. 7 110
Freddy Roeroe, Et.al, Batam Komitmen Sete ngah Hati, Aksara Karunia, Jakarta, 2003,
hal. 89.
Universitas Sumatera Utara
92
Tahun 2004 merupakan daerah otonom yang berwenang mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia.111
Pemerintah Kota Batam melaksanakan kewenangan bidang pertanahan
melalui Dinas Pertanahan berdasarkan Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun
2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan yang menyebutkan tentang
bagian kewenangan pemerintah di bidang pertanahan yang dilaksanakan oleh
pemerintah kabupaten/kota yang dijabarkan lebih lanjut dalam Keputusan Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2003 tentang Norma dan Standar
Mekanisme Ketatalaksanaan Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan yang
dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Kewenangan tersebut antara lain:
pemberian izin lokasi; penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan
pembangunan; penyelesaian sengketa tanah garap; penyelesaian masalah ganti
kerugian dan santuan tanah untuk pembangunan; penetapan subjek dan objek
retribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimun dan tanah absentee;
penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat; pemanfaatan dan penyelesaian
tanah kosong; pemberian izin membuka tanah; perencanaan penggunaan tanah
wilayah kabupaten/kota.
Berkaitan dengan adanya hak pengelolaan yang dimiliki oleh Otorita Batam
atas seluruh tanah di Pulau Batam, kewenangan Pemerintah Kota Batam yang
111
Indonesia, Undang-Undang Pemerintahan Daerah, Op.cit., Pasal 1
Universitas Sumatera Utara
93
diselenggarakan oleh Dinas Pertanahan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 34
Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan dalam hal ini izin
lokasi menjadi tidak berlaku.
Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 2 Tahun 1999 tentang izin lokasi dalam Pasal 2 ayat (2) d
disebutkan bahwa izin lokasi tidak diperlukan dan dianggap sudah dimiliki oleh
perusahaan yang bersangkutan dalam hal tanah yang akan diperoleh berasal dari
otorita atau badan penyelenggara pengembangan suatu kawasan sesuai dengan
rencana tata ruang kawasan pengembangan tersebut.
Namun, kewenangan lainnya di luar pemerintah izin lokasi tersebut tetap
dapat dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Batam Keputusan Presiden Nomor 34
Tahun 2003 yang dijabarkan lebih lanjut dalam Keputusan Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 2 Tahun 2003 tentang Norma dan Standar Mekanisme
Ketatalaksanaan Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan yang dilaksanakan
oleh Pemerintah Kabupaten/Kota.
B. Kewenangan Bidang Pertanahan di Pulau Batam
Pulau Batam mulai dibangun dengan berbekal keputusan Presiden Nomor 74
Tahun 1971 tentang pengembanan pembangunan Pulau Batam. Statusnya
ditingkatknya sebagai daerah industry dengan keputusan Presiden Nomor 41 Tahun
1973. Sejumlah daerah ditetapkan sebagai kawasan bonded warehouse melalui
Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1974. Menteri Dalam Negeri mengeluarkan
Universitas Sumatera Utara
94
Keputusan Nomor 43 Tahun 1977 yang menetapkan pengelolaan dan penggunaan
tanah di daerah industri pulau Batam.
Kemudian, pemerintah melalui Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1978
menetapkan seluruh daerah industri Pulau Batam sebagai wilayah industri pulau
Batam melalui Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1983. Pemerintah mengatur
Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 1984 yang mengatur hubungan kerja antara
pemerintah Kotamadya Batam dengan Otorita Batam. Dalam hubungan kerja tersebut
diatur bahwa pemerintah Kotamadya Batam bertanggung jawab dalam bidang
kemasyarakatan dan pemerintahan, sedangkan Otorita Batam bertanggung jawab
dalam bidang pembangunan.
Pada tahun 1999, pemerintah bersama DPR menerbitkan Undang-Undang
No. 53 Tahun 1999 tentang pembentukan Kota Batam dan Kedudukan Otorita Batam
dalam pembangunan Batam dipertegas. Semula, dengan terbitnya Undang-Undang
Nomor 53 Tahun 1999, posisi Otorita Batam selaku Badan Pembangunan di Pulau
Batam semakin kuat kedudukannya karena keberadaannya dicantumkan dalam
undang-undang keberadaan Pemerintah Kota Batam sesuai dengan semangat otonomi
daerah.
Penetapan status Pulau Batam sebagai zona industri menyebabkan terjadinya
perubahan dalam pola kebijakan di bidang industri termasuk bidang pertanahan.
Dengan perubahan status tersebut, kebijakan pertanahan menjadi kewenangan Otorita
Batam lewat hak pengelolaan sebagaimana ternyata dalam Keputusan Menteri Dalam
Universitas Sumatera Utara
95
Negeri Nomor 43 Tahun 1977 tentang Pengelolaan dan Penggunaan Tanah di Daerah
Industri Pulau Batam.112
Keadaan ini dalam perjalanannya sempat diperuncing dengan pemberlakuan
otonomi daerah melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintah
Daerah yang kemudian disempurnakan kembali dengan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 yang memberikan kekuasaan yang amat besar kepada masing-masing
daerah untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri.113
Berbekal undang-undang ini, Pemerintah Kota Batam menginginkan
kebijakan yang berhubungan dengan pertanahan menjadi kewenangan Pemerintah
Kota Batam. Terhadap hal ini, Otorita Batam tetap berpegang pada Keputusan
Presiden Nomor 41 Tahun 1973 tentang Penetapan Batam sebagai Zona Industri dan
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 43 Tahun 1977 tentang pengelolaan dan
Penggunaan Tanah di Daerah Indutri Pulau Batam yang memberikan kewenangan
kepada Otorita Batam termasuk kewenangan bidang pertanahan.
Sementara itu, pemerintah Kota Batam dengan semangat otonomi daerah
berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
menyimpulkan bawa sudah saatnya kewenangan bidang pertanahan beralih menjadi
kewenangan Pemerintah Kota Batam. 114
112
Indonesia, Undang-Undang tentang Pembentukan Kabupaten Pelalawan, Kabupaten
Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna,
Kabupaten Kuatnan Singingi, dan Kota Batam, UU No. 53 Tahun 1999, LN No. 181 Tahun 1999, TN
No. 3002, Pasal 2 113
Pemerintah Kota Batam, Op. Cit, hlm. 8 114
Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah,
tidak serta-merta memberikan kewenangan bidang pertanahan kepada pemerintah daerah. Pasal 14
Universitas Sumatera Utara
96
Hal ini didukung dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999
tentang pembentukan Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten
Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabuaptn
Kuantan Singingi dan Kota Batam yang menyebabkan perubahan besar dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di Pulau Batam.
Jika sebelumnya, Otorita Batam mengikutsertakan Pemerintah Kota Batam
dalam menjalani tugas pemerintahan dan pembangunan, kini sebaliknya justru
Pemerintah Kota Batam diamanatkan untuk mengikutsertakan Otorita Batam.
Di dalam pertimbangan mukadimah Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999
ini juga disebutkan bahwa perkembangan Kotamadya Batam tidak terlepas dari
keberadaan Otorita Batam sebagai pengelola industri di Pulau Batam.
Pada pertimbangan lain juga ditegaskan bahwa mengingat di Kota Batam pada
saat berlakunya undang-undang ini penyelenggraan sebagian tguas dan kewenangan
dilaksanakan oleh Badan Otorita Batam dalam rangka mendudukan tugas, fungsi, dan
kewenangan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemeritnahan Daerah, diperlukan pengaturan hubungan kerja antara Pemerintah Kota
Batam dan Badan Otoritas Batam untuk menghindari tumpang tindih
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan.
Terhadap hal ini, posisi pemerintah Kota Batam seakan diperkuat dengan
Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kota Batam yang
Undang-Undang tersebut hanya menyebutkan tentang pelayanan pertanahan tanpa dilengkapi dengan
penjelasan tentang Pelayanan pertanahan tersebut.
Universitas Sumatera Utara
97
diinterpretasikan memberikan peralihan kewenangan kepada Pemerintah Kota Batam.
Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang tersebut menyebutkan bahwa dengan terbentuknya
Kota Batam, kewenangan daerah sebagai daerah otonom mencakup seluruh bidang
pemerintahan termasuk kewenangan wajib, kecuali bidang politik, luar negeri,
pertanahan keamanan, peradilan, moneter dan fiscal, agama, serta kewenangan
bidang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.115
Pasal 17 ayat (2) menyebutkan bahwa kewenangan wajib terdiri dari
pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan,
industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi,
dan tenaga kerja.116
Sebagaimana tertuang dalam Pasal 21 ayat (1) yang menyebutkan bahwa
dengan terbentuknya Kota Batam sebagai daerah otonom, Pemerintah Kota Batam
dalam penyelenggaraannya pemerintahan dan pembangunan di daerahnya
mengikutsertakan Otorita Batam.117
Pada ayat (2) disebutkan bahwa, status dan kedudukan Badan Otorita Batam
yang mendukung kemajuan pembangunan nasional dan daerah sehubungan dengan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintah Daerah perlu
disempurnakan. Atas dasar itu, pada ayat (3) disebutkan, perlu diatur hubungan kerja
antara Pemerintah Kota Batam dan Otorita Batam dengan Peraturan Pemerintah.
115
Indonesia, Undang-Undang tentang Pembentukan Kota Batam, Op.Cit , Pasal 17 116
Ibid 117
Ibid, Pasal 21
Universitas Sumatera Utara
98
Hubungan kerja itu diatur selambat-lambatnya satu tahun atua 12 bulan sejak
diresmikannya kot batam sebagai daerah otonom. 118
Peraturan pemerintah yang sangat dinanti-natikan masyarakat, terutama
investor tak kunjung tiba. Selama proses penantian peraturan pemerintah tentang
hubungan kerja antara pemerintah Kota Batam dan Otorita Batam, sering terjadi
gesekan dan benturan di lapangan dalam menerapkan kewenangna oleh masing-
masing institusi. Ketegangan demi ketegangan pun muncul antara Pemerintah Kota
Batam dan Otorita Batam, tetapi peraturan pemerintah yang mengatur hubungan kerja
Pemerintah Kota Batam dan otoritas Batam tetap tidak terbit. 119
Bagi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Batam, ketidakjelasan hubungan
antara Pemerintah Kota Batam dan Otorita Batam menimbulkan persoalan
pertanggngjawaban. Terhadap kebijakan Otorita Batam yang menimbulkan
permasalahan bagi masyarakat Kota Batam, DPRD Kota Batam tidak dapat meminta
pertanggungjawaban kepada Otorita Batam karena secara procedural, Otorita Batam
tidak bertanggung jawab kepada masyarakat Batam melalui Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah, tetapi langsung bertanggung jawab kepada pemerintah pusat.120
Sementara itu, hak pengelolaan yang dimiliki oleh Otorita Batam membatasi
ruang gerak Pemerintah Kota Batam. Dalam hal pembangunan sarana pemerintahan
118
Ibid. 119
Surya Makmur Nasution, Batam Jangan Sampai Arang Abis Besi Binasa, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta, 2001, hal. 95 120
Peneliti, Wawancara, dengan Rienhard Hutabarat : Anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kota Batam, Dewan Pewakilan Rakyat Daerah Kota Batam, Batam, 23 Januari 2007.
Universitas Sumatera Utara
99
seperti kantor-kantor dan sekolah-sekolah negeri, pemerintah kota Batam harus
mengajukan permohonan kepada Otorita Batam. Seringkali terjadi, tanah yang
dialokasikan tidak sesuai dngan rencana yang dimohonkan oleh Pemerintah Kota
Batam. Bahkan asset pemerintaan Kota Batam dalam bentuk tanah, tidak memiliki
sertifikat termasuk Kantor Walikota Batam. 121
Di tengah mengharapkan adanya kepastian hukum tentang aturan hubungan
kerja Pemerintah Kota Batam dan Otorita Batam, muncul gagasan atau ide
menjadikan Batam sebagai kawasan perdagangan bebas (FTZ).122
Namun, hingga
kini RU FTZ yang menjadi hak inisiatif DPR dalam pembahasannya tak juga
menunjukkan tanda-tanda adanya kepastian pengesahannya. Padahal, bagi
Pemerintah Kota Batam adanya Undang-Undang FTZ dapat memperjelas
kewenangannya. 123
Dalam situasi yang sedikit kacau tersebut, Otorita Batam tidak terpancing
untuk terjun ke dalam politik praktis. Kendati sebagian besar warga (terutama yang
121
Peneliti, Wawancara, dengan Rudi Sakyakirti : Kepala Bagian Hukum dan Organisasi
Pemerintah Kota Batam, Pemerintah Kota Batam, Batam, 23 Januari 2007. 122
Setelah Pemerintah Republik Indonesia menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perpu) No. 1 Tahun 2007 tentang Perubahan UU No. 36 Tahun 2000 tentang
kawasan Perdaganan dan Pelabuhan Bebas, 4 Juni 2007, diharapkan status hukum free Trade Zone
(FTZ) di Batam menjadi jelas dalam Pasal 4 Perpu Nomor 1 Tahun 2007 dikatakan bahwa penetapan
FTZ, termasuk di Batam, cukup melalui Peraturan Pemeritnah, bukan melalui Undang-Undang.
Kendati RUU FTZ telah disahkan oleh DPR dalam sidang Paripurna tanggal 14 September 2004 yang
memberlakukan Batam sebagai FTZ secara menyeluruh, namun sampai saat ini RUU tersebut belum
diundangkan oleh Presiden. Sementara itu, pada tanggal 20 Agustus 2007, pemerintah menerbitkan
peratran Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan
Bebas Batam. Ulasan leih lanjut lihat dalam Zubairi Hasan, Jalan Pintas Penyelesaian Status Hukum
FTZ Batam, Batam Pos (31 Juli 2007), 4 , Agustar, Menunggu Perpu SEZ atau RUU FTZ, Batam Pos,
(27 Agustus 2007), 4, Ferry Santoso, Presiden Tetapkan PP, Kompas, (22 Agustus 2007) 9 : 18 123
Freddy, Et al,. Op.cit, hal.95
Universitas Sumatera Utara
100
telah bermukim lebih dari sepuluh tahun di Batam) banyak berpihak kepada
kebijakan kebijakan Otorita Batam. Sebagai institusi yang profesional dan telah eksis
sejak decade 1970, Otorita Batam tetap melanjutkan visi dan misinya sebagai otorita
pengelola pembangunan Pulau Batam dan sekitarnya (termasuk Rempang dan
Galang).124
Saat ini kewenangan bidang pertanahan tetap menjadi kewenangan Otorita
Batam melalui hak pengelolaan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun
1973 tentang Kedudukan Pulau Batam sebagai Daerah Industri. Pasal 6 ayat (2)
Keputusan Presiden tersebut menyebutkan bahwa hal-hal yang bersangkutan dengan
pengurusan tanah di dalam wilayah Daerah Industri Pulau Batam dalam rangka
ketentuan tersebut diatur lebih lanjut oleh Menteri Dalam Negeri sesuai dengan
peraturan Perundang-undangan yang berlaku di bidang agrarian dengan ketentuan
seluruh areal tanah yang terletak di Pulau Batam diserahkan dengan hak pengelolaan
kepada ketua Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam.
Hak pengelolaan tersebut memberi wewenang kepada Ketua Otorita
Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam untuk merencanakan peruntukan dan
penggunaan tanah tersebut, menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan
tugasnya, menyerahkan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga,
menerima uang pemasukan/ganti rugi dan uang wajib tahunan.
124
Ibid, hal. 85
Universitas Sumatera Utara
101
Sebagai tindak lanjut dari Pasal 6 Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973
diterbitkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 43 Tahun 1977. Keputusan
Menteri Dalam Negeri ini memberikan hak pengelolaan kepada Otorita
Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam untuk seluruh areal tanah yang ada
di Pulau Batam termasuk gugusan Pulau Janda Berhias, Tanjung Sauh, Ngenang, dan
Pulau Kasem.
Sementara itu, menurut rumusan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa urusan wajib yang menjadi
kewenangan pemerintahan daerah untuk Kabupaten/Kota merupakan urusan yang
berskala kabupaten/kota yang di antaranya adalah pelayanan pertanahan. Undang-
undang ini tidak memberikan penjelasan seperti apa bentuk dan mekanisme pertanaan
sehingga menimbulkan interpretasi yang beragam.
Tentu saja dalam hal ini Pemerintah Kota Batam sebagai institusi
pemerintahan yang otonom dengan berdasarkan kekuatan Undang-Undang
berkesimpulan bahwa terbitnya undang-undang tersebut memperkuat posisinya dalam
mengurus roda pemerintahan termasuk kewenangan pertanahan. Namun, harus
diperhatikan bahwa Pulau Batam merupakan salah satu daerah yang memiliki
kekhususan dengan keberadaan Otorita Batam yang merupakan pionir pembangunan
Pulau Batam. Hanya saja, keberadaan Otorita Batam tidak mendukung dengan
legalitas formal yang cukup kuat terutama dalam menghadapi perubahan system
ketatanegaraan dan penyelenggaraan pemerintahan saat ini.
Universitas Sumatera Utara
102
Oleh karena itu, penyelesaian terhadap permasalahan ini perlu dilakkan secara
komprehensif. Di samping perlu segera diterbitkan peraturan pemerintah tentang
hubungan kerja antara pemerintah Kota Batam dan Otorita Batam sesuai dengan
amanat Pasal 21 Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999, pemerintah juga
merumuskan kembali konsep pengembangan Pulau Batam.
Apabila tetap mempertahankan kedudukan Otorita Batam di samping adanya
Pemerintah Kota Batam, kedudukan Otorita Batam perlu dilengkapi dengan sejumlah
peratuan perundang-undangan yang mampu memosisikan kedudukan Otorita Batam
secara jelas termasuk kewenangan bidang pertanahan. Peraturan tersebut perlu dibuat
dengan memperhatikan tata urutan peraturan perundang-undangan dan keserasian
pengaturan antara peraturan perundang-undangan dan keserasian pengaturan antara
peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah yang terjadi di Pulau Batam
sehingga tidak menimbulkan multi-tafsir dan tumpang tindih kewenangan.
Berbagai cara untuk menyelesaikan sengketa kewenangan terus dilakukan
termasuk revisi terhadap Keputusan Presiden Nomor 113 Tahun 2000 tentang
Perubahan Keempat atas Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973 tentang Daerah
Industri Pulau Batam tetap bertentangan dengan Undang-Undang Pemerintahan
Daerah. Pasal 4 ayat 1 Keputusan Presiden yang menyebutkan bahwa Otorita
Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam bertanggung jawab atas pengembangan
daerah industri Pulau Batam, padahal kewenangan mengembangkan dan
mengendalikan pembangunan Pulau Batam terdapat pada Walikota Batam
Universitas Sumatera Utara
103
berdasarkan kebijakan menurut ketentuan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 yang menyebutkan bahwa kepala daerah memimpin penyelenggaraan
pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD.
Apabila pemerintah memiliki kebijakan yang lebih menekankan semangat
otonomi daerah, peran pemerintah Kota Batam perlu lebih dioptimalkan. Terhadap
hal ini, segala kewenangan yang dimiliki oleh Otorita Batam harus diserahkan
Kepada Pemerintah Kota Batam. Dalam hal ini Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun
1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam dan Keputusan Menteri Dalam Negeri
Nomor 43 Tahun 1977 tentnag Pengelolaan dan Penggunana Tanah di Daerah
Industri Pulau Batam harus dicabut.
Sejak dulu masalah Batam memang adalah tentang perencana tata ruang dan
manajemen kota, serta pembagian tugas antar Otorita Batam yang mengembangkan
daerah industri dan pemerintah daerah yang ditugaskan menangani administrasi kota
dan isu keamanan.
Pengamatan terhadap berbagai kebijakan yang diterbitkan dalam dasawarsa
terakhir semakin memperlihatkan adanya kecenderungan untuk memberikan berbagai
kemudahan atau hak yang lebih besar pada sebagian kecil masyarakat yang belum
diimbangi dalam perlakuan yang sama bagi kelompok masyarakat yang terbanyak.125
Pertanyaan yang timbul adalah bagaimana sebenarnya maka untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat, yang menjadi landasan UUPA itu dipahami dan
125
Sumarjono, Op.Cit, hlm. 15
Universitas Sumatera Utara
104
diterjemahkan secara benar dalam berbagai kebijakan yang mendukung atau relevan
dengan bidang pertanahan? Dengan perkataan lain, apakah kebijakan pertanahan yan
diterbitkan dapat merupakan perwujudan keadilan sosial bagi seluruh lapisan
masyarakat? Walaupun tidak mudah didefenisikan, keadilan sering digambarkan
sebagai equal distribution among equal. Keadilan bukan merupakan konsep yang
statis, tetapi suatu proses, suatu keseimbangan yang kompleks dan bergerak di antara
berbagai faktor, termasuk equality.126
Dalam hubungan antara negara dan warga negara, keadilan sosial
mengandung pemahaman bahwa warga negara mempunyai kewajiban untuk
memberikan sumbangan kepada negara demi terwujudnya kesejahteraan umum, dan
bahwa negara berkewajiban untuk membagi kesejahteraan kepada para warga
negaranya sesuai dengan jasa atau kemampuan dan kebutuhan masing-masing secara
proporsional. Bila hal ini diterjemahkan dalam kebijakan pertanahan, berbagai
ketentuan yang dibuat hendaklah memberikan landasan bagi setiap orang untuk
menerima bagian manfaat tanah baik bagi diri sendiri maupun keluarganya sehingga
dapat memperoleh kehidupan yang layak. Khususnya dalam konsep keadilan sosial
adalah lebih tepat untuk memberikan tempat kepada keadilan berdasarkan atas
kebutuhan, mengingat secara keseluruhan lebih banyak masyarakat yang bernasib
kurang beruntung.127
126
Ibid 127
Ibid
Universitas Sumatera Utara
105
Dalam proses industrialisasi sebagai gejala yang tidak dapat dielakkan dalam
pembangunan negara kita, dalam berbagai kegiatan ekonomi tampil tiga pulau
di dalamnya, yakni negara pemerintah, pihak swasta, dan masyarakat, yang masing-
masing mempunyai posisi tawar-menawar yang berbeda karena perbedaan di dalam
akses terhadap modal dan akses politik berkenaan dengan sumber daya terhadap
modal dan akses politik berkenaan dengan sumber daya alam berupa tanah yang
terbatas itu. Kedudukan yang tidak seimbang dalam posisi tawar-menawar di antara
masyarakat dan pihak swasta lebih dikukuhkan dengan adanya masyarakat dan pihak
swasta lebih dikukuhkan dengan adanya kewenangan pembuat kebijakan untuk
merancang kebijakan yang biasa terhadap kepentingan sekelompok kecil masyarakat
tersebut dalam upaya penguasaan dan pemanfaatan tanah. 128
Saat ini kewenangan bidang pertanahan di Pulau Rempang dan Galang masih
status quo. Sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 28 tahun 1992 tentang
Penambahan Wilayah Lilngkungan Kerja Daerah Industri Pulau Batam dan
Penetapannya sebagai Wilayah Usaha Kawasan Berikan (Bonded Zone), dalam
penetapan pertama disebutkan bahwa wilayah lingkungan kerja daerah Industri Pulau
Batam sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973
ditambah dengan Pulau Rempang dari Pulau Galang. Namun, Pulau Rempang dan
Galang juga merupakan wilayah administrasi pemerintah dari Pemerintah Kota
Batam sesuai dengan Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999 tentang Pembentukan
128
Ibid, hal. 16
Universitas Sumatera Utara
106
Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten
Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natura, Kabupaten Kuantan Singingi dan Kota
Batam.
Bagi Otorita Batam, Keputusan Presiden tersebut memberikan kewenangan
bidang pertanahan kepadanya. Namun hal ini sebenarnya hanya merupakan
penambahan wilayah kerja dan bukan merupakan hak pengelolaan Otorita Batam.
Hal ini tercermin dari penetapan keenam Keputusan Presiden tersebut yang
menyebutkan bahwa hal-hal yang bersangkutan dengan pengelolaan tanah di dalam
wilayah Pulau Rempang dan Galang, termasuk usaha – usaha pengamanan,
penguasaan, pengalihan dan pemindahan hak atas tanah diatur lebih lanjut dengan
Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional.
Sebagaimana tercantum dalam Keputusan Menteri Agraria/ Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 9-VII-1993 tanggal 13 Juni 1999 tentang Pengelolaan
dan Penguursan Tanah di Daerah Industri Pulau Rempang, Pulau Galang dan pulau –
pulau lain disekitarnya, pada penetapan pertama disebut bahwa menyatakan
kesediaan untuk memberikan hak pengelolaan kepada Otorita Pengembangan Daerah
Industri Pulau Batam atas seluruh areal yang terletak di Pulan Rempang, Pulau
Galang dan pulau-pulau lainnya di sekitarnya bagaimana tergambar dalam lampiran
Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 1992.
Hal ini berarti bahwa isi keputusan tersebut baru sebatas kesediaan
pemerintah untuk memberikan hak pengelolaan kepada Otorita Batam. Selanjutnya,
Universitas Sumatera Utara
107
Kepala Badan Pertanahan Nasional melalui Surat Nomor 560-2458 tanggal 29
Agustus 2001 tentang Petunjuk mengenai Pulau Rempang, Galang, Galang Baru dan
pulau – pulau lain disekitarnya, dalam poin ke-3 disebutkan bahwa berdasarkan
Keputusan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9-VII-1993
baru bersifat kesediaan pemerintah untuk memberikan hak pengelolaan kepada
Otorita Batam, namun sampai saat ini Otorita Batam belum mengajukan permohonan
hak pengelolaan di daerah Pulau Rempang, Galang dan Galang Baru setelah
dilakukan penyesuaian Rencana Induk Tata Ruang Pemerintah Kota Batam agar
kesinambungan kawasan Batam sebagai kawasan industri, alih kapal, pariwisata dan
perdagangan sesuai dengan tujuan dan kebijakan pemerintah.
Setiap kegiatan perolehan tanah untuk penyelenggaraan pembangunan untuk
kepentingan umum diwajibkan untuk memperoleh izin lokasi yang peruntukkanbnya
disesuaikan dengan Rencana Tata Ruang Kota Batam. Pemberian izin lokasi telah
diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional
di Bidang Pertanahan serta Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 2 Tahun 1999 tentang izin Lokasi.
Ketentuan ini berarti bahwa tanah di luar hak pengelolaan Otorita Batam
dalam hal ini (Pulau Rempang, Galang, Galang Baru dan pulau-pulau lain
disekitarnya) menjadi kewenangan Pemerintah Kota Batam untuk mengatur dan
mengelolanya sesuai dengan peraturan daerah Kota Batam Nomor 20/2001 juncto
Nomor 2/2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Batam Tahun 2004-2014.
Universitas Sumatera Utara
108
Dalam praktiknya, tanah yang belum didaftarkan hak pengelolaanya, oleh
Otorita Batam telah dialokasikan kepada pihak ketiga dengan mengajukan
permohonan kepada Pemerintah Kota Batam. Hal ini diartikan bahwa secara tidak
langsung, Otorita Batam mengakui adanya kewenangan bidang pertanahan yang
dimiliki Pemerintah Kota Batam. 129
Terhadap hal ini, cara pandang yang objektif diperlukan untuk menghindarkan
diri dari kecurigaan yang berlebihan terhadap perkembangan baru atau sikap yang
terlalu mudah menerima hal-hal baru tanpa pertimbangan konseptual yang matang.
Metode penemuan hukum apa pun yang dipilih haruslah dilandasi dengan sikap logis,
konsisen dan kritis dalam mengoperasionalisasikan asas-asas hukum yang berlaku.
Pengalaman menunjukkan bahwa pendekatan yang legalistik akan membawa
ketidaksesuaian dengan kenyataan empiris, yang barangkali dari segi kepastian
hukum jelas, namun dari segi keadilan dan kemanfaatannya belum dapat dijamin.
Sebaliknya, pendekatan fungsional segi kemanfaatannya menonjol, namun segi
keadilannya kurang memperoleh perhatian. Membangun hukum itu bukan pekerjaan
yang sederhana karena suatu syarat keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan
secara seimbang. 130
129
Peneliti, Wawancara, dengan Wahyu Daryatin: Bidang Penaatgunaan Tanah Dinas
Pertanahan Pemerintah Kota Batam, Dinas Pertanahan Pemerintah Kota Batam, Batam, 27 Januari
2007. 130
Sumardjono, Op.cit., hal. 6-7.
Universitas Sumatera Utara
109
UUPA masih meninggalkan banyak pekerjaan rumah. Di samping itu,
masalah pertanahan yang dihadapi tidak semakin berkurang, namun jsutru bertambah
dalam kompleks permasalahannya. Di dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan yang merupakan peraturan perlaksanaan UUPA ataupun peraturan –
peraturan lain yang lelevan, pada umumnya tidak dilengkapi dengan pemikiran yang
tuntas terhadap peraturan pelaksanaannya. Kesenjangan ini bila dibiarkan terlampau
lama tentu menimbulkan ketidakpastian hukum.131
Cara berpikir komprehensif mensyaratkan bahwa dalam setiap pembentukan
undang-undang, garis besar hal-hal yang kelak harus dimuat dalam peraturan
pelaksanaanya, sebaiknya sudah dirancang sekaligus. Pembangunan hukum yang
dilandasi dengan sikap yang proaktif didasarkan pada hasil penelitian dan kebutuhan
hukum akan menghasilkan produk hukum yang efektif. Diperlukan upaya yang
terus – menerus untuk melakukan penemuan hukum dalam rangka pembangunan
hukum tanah yang bertanggung jawab. 132
Disamping itu, pemerintah perlu mengaktualisasikan asas dekonsentrasi
di bidang pertanahan. Artinya, utnuk masa yang akan datang, pemerintah harus tulus
dan mempunyai itikad baik untuk memberikan pelimpahan wewenang kepada daerah
dalam hal urusan di bidang pertanahan.133
131
Ibid 132
Ibid 133
Idham, Konsilidasi Tanah Perkotaan Dalam Perspektif Otonomi Daerah, Alumni,
Bandung, 2004, hal. 131.
Universitas Sumatera Utara
110
Pengalaman selama ini yang terjadi menunjukkan bahwa sikap pemerintah
yang kerap berubah memunculkan krisis kepercayaan terhadap aturan hukum
di Indonesia.134
Padahal, tujuan hukum yaitu menegaskan pentingnya perlindungan
kepentingan manusia untuk menciptakan tatanan kehidupan masyarakat yang tertib
dan teratur. 135
134
Markus Gunawan dan Lisya Anggraini (Editor), Batam Problematika Multidimensial,
CV. Karya Mandiri, Batam, 2004, hal. 105 135
Sudikno Mertokusomu, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Penerbit Liberty, Yogyakarta,
2002, hal. 17
Universitas Sumatera Utara
111
BAB IV
KEABSAHAN PERATURAN BIDANG PERTANAHAN YANG TELAH
DITERBITKAN OLEH OTORITA BATAM DENGAN BERLAKUNYA
UU NO. 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAH DAERAH
A. Akibat Hukum berlakunya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah
Diundangkan dan berlakunya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah secara hukum akan mengakibatkan terjadinya peralihan kemenangan
di bidang pertanahan dari Otorita Batam kepada Pemerintah Kab. Batam terhadap
berlakunya UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah tersebut Otorita Batam
tetap berpegang pada keputusan Presiden No. 41 Tahun 1973 tentang Penetapan
Batam Sebagai Daerah Industri dan Keputusan Menteri. Dalam Negeri No. 43 Tahun
1977 tentang pengelolaan dan penggunaan tanah di daerah industri Pulau Batam yang
memberikan kemenangan kepada Otorita Batam termasuk Kewenangan Bidang
Pertanahan sedangkan menurut Pemerintah Kota Batam dengan berlakunya UU
No. 32 Tahun 2004 tersebut secara hukum Kewenangan Bidang Pertanahan mudah
seharusnya beralih dari Otorita Batam kepada Pemerintah Kota Batam.
Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah bila
dianalisa secara lebih mendalam, ternyata tidak secara serta merta memberikan
Kewenangan Bidang Pertanahan kepada Pemerintah Daerah. Pasal 14 Undang-
Undang No. 32 Tahun 2004 tersebut hanya menyebutkan tentang pelayanan
pertanahan tanpa menjelaskan secara lebih terperinci tentang unsur-unsur pelayanan
100
Universitas Sumatera Utara
112
pertanahan tersebut. Ketidakjelasan kewenangan dan bidang pertanahan yang termuat
dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tersebut mengakibatkan terjadinya
ketidakjelasan penyaluran kewenangan bidang pertanahan antara Otorita Batam dan
pemerintah Kota Batam.
Undang – Undang No. 32 Tahun 2004 diundangkan dan berlaku untuk seluruh
wilayah kabupaten/kota di Indonesia untuk Kota Batam tentang yang merupakan
wilayah yang memiliki kewenangan khusus yang selama ini sebagian tugas dan
kewenangan perlu pula dilakukann penyesuaian khusus terhadap berlakunya Undang-
Undang No. 32 Tahun 2004 tersebut apabila akan diberlakukan di kota Batam. Hal
ini untuk memegang mencegah terjadinya tumpang tindih kewenangan di bidang
pertanahan antara pemerintah Kota Batam dan Otorita Batam di Kota Batam.
Penyesuaian khusus terhadap Undang – Undang No. 32 Tahun 2004 tersebut
berkaitan dengan penyatuan hubungan kerja antara Pemerintah Kota Batam dan
Badan Otorita Batam untuk menghindari tumpang tindih penyelenggaraan pemerintah
dan pembangunan khususnya dalam kewenangan di bidang pertanahan. Apabila
Undang – Undang No. 32 Tahun 2004 tetap akan diberlakukan di Kota Batam, maka
perlu dikeluarkan suatu peraturan khusus untuk mengatur kemenangan antara Otorita
Batam dan Pemerintah Kota Batam di bidang pertanahan agar dapat menimbulkan
kepadatan hukum terhadap kewenangan yang dimiliki oleh masing-masing konstitusi
tersebut pengaturan kewenangan tidak terjadi keracunan dan kebingungan terhadap
pelaksana kewenangan tersebut maupun terhadap masyarakat Kota Batam itu sendiri.
Universitas Sumatera Utara
113
Hingga saat ini karenanya bidang pertanahan tetap menjadi kewenangan
Otorita Batam meskipun Undang – Undang No. 32 Tahun 2004 telah diberlakukan
selama hampir 16 (enam belas) tahun, melalui hak pengelolaan berdasarkan
Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973 tentang kedudukan Kota Batam sebagai
Daerah Industri. Hal – hal yang menyangkut dengan pengurusan tanah
di dalam wilayah daerah industri Pulau Batam adalah pengelolaan diserahkan
kewenangannya kapada ketua Otorita. Pengembangan Dasar Industri Pulau Batam.
Pasal 14 Undang – Undang No. 32 Tahun 2004 penanggung dasar disebutkan bahwa
urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota
yang diantaranya adalah pelayanan pertanahan Undang – Undang No. 32 Tahun 2004
tersebut tidak memberikan penjelasan secara lebih terperinci seperti apa bentuk dan
mekanisme pelayanan pertanahan sehingga menimbulkan interprestasi yang
beragama. Meskipun pemerintah kota Batam sebagai institusi pemerintahan yang
otonom dengan berdasarkan kekuatan Undang – Undang No. 32 Tahun 2004
memiliki kewenangan di bidang pertanahan disamping kewenangan lainnya yaitu
mengurus dan melaksanakan roda pemerintahan, namun perlu dicatat bahwa Pulau
Batam merupakan salah satu daerah yang memiliki kekhususan dengan keberadaan
Otorita Batam yang merupakan prionir pembangunan di Pulau Batam. Oleh karena
itu perlu adanya peraturan khusus, untuk mengatur batas – batas kewenangan antara
pemerintah Kota Batam dengan Otorita Batam termasuk kewenangan dan bidang
pertanahan agar tercipta suatu kepatuhan hukum dalam pelaksanaan kebijakan
di bidang pertanahan di Pulau Batam.
Universitas Sumatera Utara
114
B. Status Hukum terhadap Peraturan Bidang Pertanahan Apabila Terjadi
Peralihan Kewenangan
Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973 tentang Daerah
Industri Pulau Batam diatur kemudian tentang status hak pengelolaan tersebut antara
lain sebagai berikut :
1. Hak pengelolaan diberikan untuk jangka waktu selama tanah digunakan untuk
kepentingan penerima hak dan terhitung sejak didaftarkan pada kantor
pertanahan setempat.
2. Hak pengelolaan diberikan untuk dipergunakan sebagai pengembangan daerah
industri, pelabuhan, pariwisata, pemukiman, peternakan, perikanan, dan lain-
lain usaha yang berkaitan dengan itu.
3. Penerima hak wajib mengembalikan areal tanah yang dikuasai dengan hak
pengelolana tersebut seluruh atau sebagian kepada negara apabila areal tanah
tadi tidak dipergunakan lagi untuk keperluan sebagaimana mestinya.
4. Pemberian hak pengelolaan dapat ditinjau kembali atau dibatalkan apabila :
luas tanah yang diberikan dengan hak pengelolaan tersebut ternyata melebihi
keperluan; tanah tersebut sebnagian atau seluruhnya tidak dipergunakan,
dipelihara sebagaimana mestinya, salah satu syarat atau ketentuan dalam surat
keputusan ini tidak dipenuhi sebagaimana mestinya.
Universitas Sumatera Utara
115
Apabila pemerintah memiliki kebijakan yang lebih menekankan semangat
otonomi daerah, peran Pemerintah Kota Batam perlu lebih dioptimalkan. Apabila hal
ini terjadi, akan timbul permasalahan tentang status hukum terhadap pengaturan
bidang pertanahan di Pulau Batam. Selanjutnya hak pengelolaan tersebut dapat
diberikan kepada Pemerintah Kota Batam atau dikembalikan menjadi tanah negara.
Demi adanya kepastian hukum, perlu juga diatur tentang bagian hak pengelolaan
yang telah diberikan kepada pihak ketiga sehingga tidak menimbulkan permasalahan
baru.
Pemerintah menetapkan Pulau Batam, dan Karimun sebagai Kawasan
Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas. Hal ini menyebabkan terjadinya perubahan
konsep kebijakan pembangunan di Pulau tersebut, khususnya di Pulau Batam. Dalam
bagian ini secara khusus akan dibahas mengenai Peraturan Pemerintah Nomor 46
Tahun 2007 Tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam dan
implikasinya terhadpa kebijakan pertanahan di Pulau Batam dan sekitarnya.
Berdasarkan Pasal 4 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas menjadi Undang-
Undang, Pementukan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas ditetapkan
dengan peraturan pemerintah.
Dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007 disebutkan
bahwa kawasan Batam ditetapkan sebagai kawasan Perdagangan Bebas dan
Universitas Sumatera Utara
116
Pelabuhan Bebas untuk jangka waktu tujuh puluh tahun sejak diberlakukannya
peraturan pemerintah ini. Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam
tersebut meliputi Pulau Batan, Pulau Tonton, Pulau Setokok, Pulau Nipah, Pulau
Rempang, Pulau Galang, dan Pulau Galang Baru.
Beberapa hal penting yang perlu dicermati adalah tentang pembentukan
Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam paling
lambat pada tanggal 31 Desember 2008. Dalam masa transisi, tugas dan
wewenangnya dilaksanakan secara bersama antara Pemerintah Kota Batam dengan
Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam sesuai dengan tugas pokok dan
fungsi masing-masing.
Likuidasi terhadap Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam
dinyatakan dalam Paasl 3 yang menyebutkan bahwa semua set Otorita
Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam dialihkan menjadi asset Badan
Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, kecuali
asset yang telah diserahkan kepada Pemerintah Kota Batam dan Pegawai Otorita
Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam dialihkan menjadi pegawai pada Badan
Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam.
Kendati Batam serta pulau – pulau kecil disekitarnya telah memenuhi kriteria
untuk ditetapkan sebagai Kawasan Perdagangan Bebas, agar lebih memaksimalkan
pelaksanaan pengembangan serta menjamin kegiatan usaha di bidang perekonomian
nyang meliputi perdagangan, maritime industri, perhubungan, perbankan, pariwisata
Universitas Sumatera Utara
117
dan bidang-bidang lainnya dalam kawasan tersebut, pengembangannya harus sesuai
dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Batam.
Dalam hal kebijakan pertanahan, ditetapkan bahwa hak pengelolaan atas tanah
yang menjadi kewenangan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam dan
hak pengelolaan atas tanah yang menjadi kewenangan Pemerintah Kota Batam yang
berada di Kawsan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam beralilh kepada
Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Hak – hak yang ada diatas hak pengelolaan
atas tanah tetap berlaku sampai masa berlakunya berakhir.
Pembentukan Badan Pengusahaan Kawaasn Perdagangan Bebas dan
Pelabuhan Bebas Batam yang ditentukan paling lambat 31 Desember 2008
menyebabkan hak pengelolaan yang diperoleh Otorita Pengembangan Daerah
Industri Pulau Batam berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 43
Tahun 1977 dan hak pengelolaan atas tanah yang menjadi kewenangan Pemerintah
Kota Batam menjadi beralih kepada Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan
Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam sebagaimana amanat Pasal 4 Peraturan
Pemerintahan Nomor 46 Tahun 2007.
Dalam hal ini secara substantif hal ini tidak lebih dari sekadar penggantian
nama dari Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam menjadi Badan
Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam. Hal ini
berdasarkan kenyataan bahwa semua set Otorita Pengembangan Daerah Industri
Universitas Sumatera Utara
118
Pulau Batam dialihkan menjadi aset Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan
Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam.
Kendati Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007 tentang Kawasan
Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam dibentuk menurut Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang136
Nomor 1 Tahun 2007 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan
Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas menjadi undang-undang, peraturan teknis
di bidang pertanahan tetap harus disesuaikan dengan kebijakan pertanahan nasional
sehingga tidak menimbulkan ketimpangan peraturan.
136
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus diajukan ke DPRD dalam
persidangan yang berikut. Indonesia, Undang-Undang Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan, UU No. 10 Tahun 2004, LN No. 53 Tahun 2004, TLN No. 4389, Pasal 25.
Universitas Sumatera Utara
119
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Penyerahan kewenangan bidang pertanahan kepada Pemerintah Daerah Kota
Batam sesuai Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 belum dapat terlaksana
sepenuhnya, karena Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah itu, tidak mengatur secara jelas dan terperinci mengenai kewenangan
pemerintah Kota Batam dalam pelayanan bidang pertanahan tersebut. Disamping
itu status Pulau Batam itu sendiri yang merupakan salah satu wilayah di Indonesia
yang memiliki kekhususan yang selama ini dilaksanakan oleh suatu badan yakni
Otorita Batam.
2. Status kewenangan Otorita Batam dan bidang pertanahan berkaitan dengan suatu
hukum pengelolaan atas seluruh areal yang terletak di Pulau Batam termasuk
dalam gugusan Pulau Janda Berhias, Pulau Tanjung Sauh, Pulau Ngenang, Pulau
Kesem dan Pulau Moi-Moi berada dalam Keputusan Presiden Nomor 41 tahun
1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam dan Keputusan Menteri Dalam Negeri
Nomor 43 tahun 1977 tanggal 18 Februari 1977 tentang kewenangan pengaturan
pengelolaan dan penggunaan tanah.
3. Apabila terjadi peralihan kewenangan bidang pertanahan dari Otorita Batam
kepada pemerintah Kota Batam, maka hak pengelolaan tersebut dapat diberikan
kepada Pemerintah Kota Batam atau dikembalikan menjadi tanah Negara. Demi
108
Universitas Sumatera Utara
120
adanya kepatuhan hukum, maka perlu juga diatur tentang bagian hak pengelolaan
yang telah diberikan kepada pihak ketiga sehingga tidak menimbulkan
permasalahan baru.
B. Saran
1. Penyerahan kewenangan di bidang pertanahan dari Otorita Batam kepada
Pemerintah Kota Batam, di dalam pelaksanaan penyerahan kewenangan tersebut
perlu dibentuk suatu peraturan khusus yang memperinci secara jelas dan tegas
tentang batas kewenangan di bidang pertanahan tersebut. Hal ini mengingat
bahwa Pulau Batam merupakan salah satu wilayah yang memiliki kekhususan
yang selama ini kewenangan di bidang pertanahan di wilayah tersebut
dilaksanakan oleh suatu badan yaitu Otorita Batam. Pemberlakuan peraturan
khusus ini dimaksudkan agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan di bidang
pertanahan antara Otorita Batam dengan Pemerintah Kota Batam yang dapat
menimbulkan kerancuan dan ketidakpastian hukum dalam pelaksanaan
kewenangan di bidang pertanahan tersebut.
2. Pemerintah Republik Indonesia perlu menerbitkan suatu Undang-Undang /
Peraturan Pemerintah tentang hubungan kerja antara Pemerintah Kota Batam dan
Otorita Batam Dengan meningkatkan keselarasan keseimbangan dan keserasian
kewenangan bidang pertanahan tersebut antara Pemerintah Kota Batam dengan
Otorita Batam agar dapat tercipta suatu kejelasan, ketegasan dan kepastian hukum
terhadap kewenangan masing-masing institusi tersebut di bidang pertanahan
Universitas Sumatera Utara
121
sehingga tidak terjadi kebingungan dalam pelaksanaan kewenangan di bidang
pertanahan di Pulau Batam itu sendiri.
3. Apabila terjadi pelimpahan kewenangan dari Otorita Batam kepada pemerintah
kota Batam dalam bidang pertanahan tersebut, maka perlu ditetapkan jangka
waktu transisi melalui suatu peraturan yang tegas dan jelas untuk mengganti
antisipasi munculnya masalah – masalah yang dapat menimbulkan ketidakpastian
hukum kepada masyarakat di Pulau Batam dalam bidang status hak kepemilikan
atas tanah.
Universitas Sumatera Utara
122
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-buku
Andayani Dwi B, Keberadaan Otonomi Daerah di Negara Kesatuan Republik
Indonesia, Disertai, Pascasarjana Fakultas Hukum UI, 2004.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka, Jakarta, 1990.
Fachruddin Irfan, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan
Pemerintah, Alumni, Bandung, 2004.
Gunawan Markus, Rumah Liar Problematika Multidimensial, Syari Pos, Batam, 12
Juli 2002.
Gunawan Markus dan Anggraini Lisya (Editor), Batam Problematika Multidimensial
CV. Karya Mandiri, Batam, 2004.
Harsono Boedi, Tinjauan Hukum Pertanahan Diwaktu Lampau, Sekarang dan Masa
Akan Datang, Makalah, Seminar Nasional Pertanahan dalam rangka HUT
UUPA ke-XXXII, Yogyakarta, 1992.
_____________, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I Hukum Tanah Nasional
Djambatan, Jakarta, 1999.
_____________, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 2003.
_____________, 46 Tahun UUPA, Usaha Penyempurnaan yang Belum Selesai,
Makalah disampaikan pada Pertemuan Tahunan Memperingati Hari Ulang
Tahun UUPA, Jakarta, 14 September 2006.
Hoessein Bhenyamin, Berbagai Faktor yang Memengaruhi Besarnya Otonomi
Daerah Tingkat II, Suatu Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah dari
Segi Ilmu Administrasi Negara, Disertai Program Pascasarjana, 1993.
Hutagalung, S. Arie, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, Lembaga
Pemberdayaan Hukum Indonesia, Jakarta, 2005.
111
Universitas Sumatera Utara
123
Idham, Konsilidasi Tanah Perkotaan Dalam Perspektif Otonomi Daerah, Alumni,
Bandung, 2004.
Kamelo Tan, Hukum Jaminan Fidusia, Suatu Kebutuhan yang Didambakan, Alumni,
Bandung, 2006.
Lubis M. Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994.
Mertokusumo Sudikno, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar,Penerbit Liberty,
Yogyakarta, 2002.
Moelong J. Lexy, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung,
1993.
Nasution Surya Makmur, Batam Jangan Sampai Arang Abis Besi Binasa,Pustaka
Sinar Harapan, Jakarta, 2001.
Nicolai, P & Oliver, B.K., Bestuursrecht, Amsterdam, 1994, hal. 4 dalam Irfan
Fachruddin, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan
Pemerintah, Alumni, Bandung, 2004.
Nugraha Safri, dkk, Hukum Administrasi Negara, CLGS-FHUI, Depok, 2007.
Parlindungan AP., Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Mandar Maju,
Bandung, 1998.
Pemerintah Kota Batam, Profil Batam Madani, 2004, Pemko Batam, 2004.
Rahardjo Satjipto, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, 1994.
Roeroe Freddy, Et.al, Batam Komitmen Sete ngah Hati, Aksara Karunia, Jakarta,
2003.
Salam Dharma Setyawan, Otonomi Daerah Dalam Perspektif Lingkungan, Nilai dan
Sumber Daya, Penerbit Djambatan, Jakarta, 2003.
Soekanto Soerjono, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 1988.
Sudiyat Iman, Hukum Adat, Sketsa Azas, Liberty, Yogyakarta, 1978, hal. 1. Conditio
sine qua non merupakan istilah dari bahasa latin yang berarti syarat mutlak
atau syarat yang absolut. Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta,
2002.
Universitas Sumatera Utara
124
Surya Brata Sumardi, Metodologi Penelitian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998.
Syahrin Alvi, Beberapa Masalah Hukum, Sofmedia, Medan, 2009.
Tim Teknis Program Pengembangan Kebijakan dan Manajemen Pertanahan,
Kerangka Kebijakan Pertanahan Nasional, Direktorat Tata Ruang dan
Pertanahan Bappenas dan Direktorat Pengukuran dan Pemetaan BPN, Jakarta,
2004.
Utrecht, E, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Fakultas Hukum dan
Pengetahuan Masyarakat, Universitas Padjajaran, Bandung, 1960.
Wasistiono Sadu, Esensi UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, Makalah
disampaikan pada Rakernas Asosiasi DPRD Kota-Se-Indonesia, Batam, 2005.
Wignjosoebroto Sutandyo, Desentralisasi Dalam Tata Pemerintahan Kolonial
Hindia Belanda, Bayumedia Publishing, Malang, 2004.
Wuisman, M, DJJ, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Jilid I, Penyunting, M. Hisyam, UI
Press, Jakarta, 1996.
B. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria.
Undang-Undang No. 26 Tahun 2007, Tentang Penataan Ruang, Tahun 2007.
Undang-Undang No. 53 Tahun 1999 Tentang Pembentukan Kabupaten Pelalawan,
Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten
Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuatnan Singingi, dan Kota Batam.
Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 Tentang Pemilikan Rumah Tempat
Tinggal atau Hunian Oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia.
Peraturan Pemerintah No. 59 Tahun 1996 Tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal
atau Hunian Oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia.
Peraturan Presiden No. 10 Tahun 2006 Tentang Badan Pertanahan Nasional.
Universitas Sumatera Utara
125
Keputusan Presiden No. 34 Tahun 2003 Tentang Kebijakan Nasional di Bidang
Pertanahan.
Keputusan Presiden No. 41 Tahun 1973 Tentang Daerah Industri Pulau Batam.
Keputusan Presiden No. 28 tahun 1992 Tentang Penambahan Wilayah Lingkungan
Kerja Daerah Industri Pulau Batam dan Penetapannya Sebagai Wilayah Usaha
Kawasan Berikat (Bonded Zone),.
Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 43 Tahun 1977 Tentang Pengelolaan dan
Penggunaan Tanah di Daerah Industri Pulau Batam.
Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 9-VIII-
1993 Tahun 1993 Tentang Pengelolaan dan Pengurusan Tanah di Daerah
Industri Pulau Rempang, Pulau Galang dan Pulau –pulau Lain di Sekitarnya.
Universitas Sumatera Utara