Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi...

173
KEWENANGAN BIDANG PERTANAHAN DALAM KONTEKS OTONOMI DAERAH (Studi di Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sumatera Utara) TESIS OLEH AUZA ANGGARA 107005038/HK FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2 0 1 2 Universitas Sumatera Utara

description

TESIS ditulis oleh Auza Anggara (FH USU, 2012)

Transcript of Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi...

Page 1: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

KEWENANGAN BIDANG PERTANAHAN DALAM KONTEKS OTONOMI DAERAH

(Studi di Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sumatera Utara)

TESIS

OLEH

AUZA ANGGARA

107005038/HK

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2 0 1 2

Universitas Sumatera Utara

Page 2: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

KEWENANGAN BIDANG PERTANAHAN DALAM KONTEKS OTONOMI DAERAH

(Studi di Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sumatera Utara)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum

Dalam Program Studi Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH :

AUZA ANGGARA

107005038/HK

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2012

Universitas Sumatera Utara

Page 3: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

Judul Tesis : Kewenangan Bidang Pertanahan Dalam Konteks Otonomi Daerah (Studi di Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sumatera Utara)

Nama Mahasiswa : Auza Anggara

Nomor Pokok : 107005038

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Ketua

Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum)

(Prof. Dr. Tan Kamello. SH, MS) (Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS Anggota Anggota

)

Ketua Program Studi Dekan

(Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH) (Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum

)

Tanggal Lulus : 31 Juli 2012

Universitas Sumatera Utara

Page 4: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

Telah diuji pada

Tanggal : 18 Juli 2012

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum

Anggota : 1. Prof. Dr. Tan Kemello, SH, MS

2. Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS

3. Dr. Mirza Nasution, SH, M.Hum

4. Dr. Hasim Purba, SH, M.Hum

Universitas Sumatera Utara

Page 5: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

ABSTRAK

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan dalam Pasal 13 dan Pasal 14 tentang bidang-bidang yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah yang antara lain pelayanan pertanahan. Pelaksanaan yang dilimpahkan kepada daerah dalam kerangka otonomi daerah adalah pelaksanaan hukum tanah nasional. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria bahwa hak menguasai dari Negara, pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekadar diperlukan dan tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah. Sementara itu, dalam penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria disebutkan bahwa dengan demikian, pelimpahan wewenang untuk melaksanakan hak penguasaan dari Negara atas tanah itu dilakukan dalam rangka tugas medebewind.

Metode penelitian dilakukan dengan metode penelitian hukum normatif. Data pokok dalam penelitian adalah data sekunder. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Analisis data terhadap data sekunder dilakukan dengan analisis kualitatif.

Adanya konflik peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan, mengharuskan terlebih dahulu melakukan analisis terhadap nilai-nilai dan asas-asas yang terkandung dalam konstitusi, yaitu Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Analisa atas nilai dan asas-asas tersebut bertujuan untuk menemukan hakikat konsep hukum yang menjadi dasar pembangunan ekonomi di Indonesia, termasuk di bidang agraria, khususnya di bidang pertanahan. Analisa nilai-nilai dan asas-asas tersebut di atas diperlukan mengingat konflik peraturan perundang-undangan di bidang agraria, diyakini akibat adanya perubahan nilai dan asas dari amandemen Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Perubahan nilai dan asas tersebut tidak sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung pada Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. Nilai-nilai Pancasila tersebut, terutama adalah kemanusiaan yang adil dan beradab, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Asumsi tersebut di atas didasarkan banyaknya kritik yang diajukan, bahwa peraturan perundang-undangan di bidang agraria, khususnya di bidang pertanahan, lebih banyak melindungi penanam modal, dan melemahkan rakyat untuk dapat mengakses hak atas tanah.

Disarankan agar urusan pertanahan yang menyangkut hukum tanah nasional tetap menjadi kewenangan Pemerintah, sedangkan untuk pelimpahan wewenang kepada Pemerintah Daerah dapat dilakukan tetapi hanya berdasarkan prinsip tugas pembantuan (medebewind), disarankan juga adanya kemauan politik yang kuat dari pemerintah untuk membuat dan melaksanakan peraturan perundang-undangan sebagai penjabaran dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria serta Pemerintah segera melakukan penataan pertanahan untuk menyelesaikan beberapa masalah pertanahan.

Kata Kunci : Kewenangan, Bidang Pertanahan, dan Otonomi Daerah

Universitas Sumatera Utara

Page 6: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

ABSTRACT

Law Number 32 Year 2004 regarding Regional Government mentioned in

Article 13 and Article 14 about the areas under the authority of local governments which include land services. The implementation which delegate to the regional within the framework of regional autonomy is the implementation of national land laws. This is confirmed in Article 2 paragraph (4) of Law No. 5 of 1960 on the Fundamentals of Land that the right to control of the State, its implementation can be authorized to autonomous regions and customary law communities, just a necessary and not against the Rule of Government. Meanwhile, the explanation of Article 2 of Law No. 5 of 1960 on the Fundamentals of Agrarian mentioned that the delegation of authority to carry out the tenure of the ground state was carried out in order of medebewind task.

The research method was conducted by the normative legal research methods. The sources of data in this study are secondary data. Collecting data in this study conducted by the literature and field research. Data analysis of secondary data is conducted by the qualitative analysis.

A conflict of laws and regulations in the area of land, requiring an analysis of the values and principles embodied in the constitution, which is Undang-Undang Dasar 1945. The purposes of analyzing the values and principles are to discover the nature of legal concepts that from the basis of economic development in Indonesia including agriculture, particularly in the area of lands. As mentioned, Analysis of the values and principles is necessary because of the conflict of laws and regulations in the agriculture areas, which is believed to be due to the change in values and principles of the Undang-Undang Dasar 1945 amendment. These changes in values and principles are not in accordance with the values embodied in Pancasila as the main source of law in Indonesia. The principles of Pancasila are particularly with the just and civilized humanity and social justice for the whole of the people of legislation in the field of agriculture, particularly in the area of land, more to protect investors, and undermine people’s acces to land rights.

It is recommended that land matters regarding to its national law remains to the Government authority. Furthermore, for the delegation of authority to local governments may be completed but only on the principles of duty of assistance (medebewind), which is suggested the existence of strong political will of governments to make and implement laws and regulations as the translation of Law No. 5 of 1960 on the Fundamentals of Agrarian and land settlement the government immediately to solve some problems of land. Key Words : Authority, Land Section, and Regional Autonomy.

Universitas Sumatera Utara

Page 7: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah penulis ucapkan khadirat Allah SWT, yang telah memberikan kekuatan dan ketabahan kepada penulis selama mengerjakan dan menyelesaikan tesis ini dari awal sampai akhir.

Dengan kekuatan yang diberikanoleh-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul “KEWENANGAN BIDANG PERTANAHAN DALAM KONTEKS OTONOMI DAERAH (Studi Di Kantor Wilayah Badan Pertanahan Provinsi Sumatera Utara)”. Sholawat dan salam penulis hadiahkan kepada Pimpinan Besar Baginda Rasulullah SAW, yang telah membawa kita dari alam kegelapan kea lam yang terang benderang.

Penulis menyadari bahwa tesisi ini jauh dari sempurna, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang positif, objektif demi kesempurnaan tesis ini.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan rasa terima kasih kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara atas dorongan, bimbingan, dan pemberian kesempatan kepada penulis untuk menulis dan menyelesaikan penulisan Tesis ini.

2. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH, selaku Ketua Program Studi Magister

Ilmu Hukum, Universitas Sumatera Utara, atas dukungan kepada penulis untuk

menulis dan menyelesaikan penulisan Tesis ini.

3. Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kallo, SH, M.Hum selaku Komisi Pembimbing I

yang selalu sabar memberikan masukan dan arahan dalam menyelesaikan

Tesis ini.

4. Bapak Prof. Dr. Tan Kemello, SH, MS selaku Komisi Pembimbing II yang selalu

sabar memberikan masukan dan arahan dalam menyelesaikan Tesis ini.

5. Bapak Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS selaku Komisi Pembimbing III yang

selalu setia memberikan masukan dan arahan dalam menyelesaikan Tesis ini.

Universitas Sumatera Utara

Page 8: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

6. Bapak Dr. Mirza Nasution, SH, M.Hum selaku penguji yang sangat banyak

membantu memberikan saran, masukan serta motivasi bagi penulis dalam

menyelesaikan tesis ini.

7. Bapak Dr. Hasim Purba, SH, M. Hum, selaku penguji yang sangat banyak

membantu memberikan arahan, bagi penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

8. Orang Tua penulis tercinta Syahrul Anwar, SH dan Syarifah Fauziah yang selalu

memberikan semangat dan dorongan dalam menyelesaikan penulisan tesis ini

9. Orang Tua penulis tercinta M. Nur Hutabarat dan Ivo Fresty yang selalu

memberikan semangat dan dorongan dalam menyelesaikan penulisan tesis ini.

10. Istri penulis tercinta Laura Frestynur Hutabarat, SE, beserta putra M. Ghaozan

Alvaro, yang telah mendorong dan memberikan semangat kepada penulis dalam

menulis tesis ini.

11. Bapak Fachrul Husin Nasution, SH., M.Kn selaku Kepala Seksi Pengaturan

Tanah Instansi Pemerintah di Kanwil BPN Provinsi SUMUT, yang telah dengan

senang hati berwawancara dengan penulisan dan memberikan data-data kepada

penulis.

12. Terima kasih juga kepada rekan-rekan angkatan 2010 di Kelas Reguler B dan

juga rekan-rekan di kelas Hukum Administrasi Negara.

13. Seluruh Dosen dan Staf Administrasi Pasca Sarjana Ilmu Hukum Kak Fika, Kak

Juli, Kak Fitri, Kak Ganti, Kak Niar dan Bang Udin.

Harapan penulis semoga nama-nama (orang-orang) tersebut di atas

mendapat imbalan dari Allah SWT, atas perbuatan dan tindakan mereka

terhadap penulis.

Medan, Juli 2012

Penulis

(AUZA ANGGARA)

Universitas Sumatera Utara

Page 9: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

RIWAYAT HIDUP

Nama : Auza Anggara

Tempat/Tgl lahir : Medan/4 Juni 1985

Jenis Kelamin : Laki-laki

Status : Menikah

Agama : Islam

Alamat : Jl. Fraksui No. 29 Medan

PENDIDIKAN FORMAL

1. SD Muhammadyah No. 03 Tahun 1993

2. SMP Kemala Bhayangkari Tahun 1998

3. SMA Swasta Harapan Medan Tahun 2001

4. Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Tahun 2004

5. Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara Tahun 2012

Universitas Sumatera Utara

Page 10: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

DAFTAR ISI

ABSTRACK………………………………………………………... i ABSTRACT………………………………………………………… ii KATA PENGANTAR……………………………………………… iii DAFTAR RIWAYAT HIDUP…………………………………….. iv DAFTAR ISI……………………………………………………….. v BAB I PENDAHULUAN .............................................................. 1 A. Latar Belakang ....................................................................................... 1 B. Permasalahan ......................................................................................... 14 C. Tujuan Penelitian ................................................................................... 14 D. Manfaat Penelitian ................................................................................. 15 E. Keaslian Penelitian ................................................................................. 16 F. Kerangka Teori dan Konsepsi ................................................................ 16 1. Kerangka Teori ................................................................................ 16 2. Konsepsi ........................................................................................... 30 G. Metode Penelitian .................................................................................. 33 1. Spesifikasi Penelitian ....................................................................... 33 2. Metode Pendekatan .......................................................................... 34 3. Alat Pengumpulan Data ................................................................... 34 4. Analisis Data .................................................................................... 35 5. Sumber Data ..................................................................................... 35

Universitas Sumatera Utara

Page 11: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

BAB II KEWENANGAN URUSAN PERTANAHAN MENURUT UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA DENGAN UNDANG-UNDANG PEMERINTAHAN DAERAH ................... 37

A. Hukum Tanah Nasional Indonesia ......................................................... 37

B. Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia ............................................ 49

C. Kewenangan Pemerintah Dalam Urusan Pertanahan Menurut Peraturan Perundang-undangan ............................................................................. 57

1. Kewenangan Pemerintah Menurut Undang-Undang Pokok Agraria ............................................................................................. 57

2. Kewenangan Pertanahan Menurut TAP MPR No. IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam 67

3. Kewenangan Pemerintah Menurut Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 Tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan ... 72

4. Kewenangan Pemerintah Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara

Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota ................................................................................ 76

D. Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Urusan Pertanahan Menurut Undang-Undang Pemerintahan Daerah ................................................. 82

1. Kewenangan Pertanahan Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Pemerintah Daerah .......................................... 82

2. Kewenangan Pertanahan Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah .......................................... 88

BAB III KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENYELENGGARAAN URUSAN PERTANAHAN DALAM KONTEKS OTONOMI DAERAH .......................................... 97

A. Kewenangan Pemerintah Provinsi di Bidang Pertanahan ...................... 92

B. Kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota di Bidang Pertanahan ........ 102

C. Kewenangan Masyarakat Hukum Adat ................................................. 111

Universitas Sumatera Utara

Page 12: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

D. Urusan Pertanahan Dalam Konteks Otonomi Daerah ............................ 119

1. Pengurusan Pertanahan Berdasarkan Ketentuan Badan Pertanahan Nasional (BPN) ................................................................................ 121 2. Pengurusan Pertanahan Oleh Pemerintah Daerah Menurut Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 Tentang Kebijakan Nasional

di Bidang Pertanahan ....................................................................... 126 3. Pengurusan Pertanahan Dalam Peraturan Daerah ............................ 130

BAB IV HAMBATAN PELAKSANAAN KEWENANGAN PERTANAHAN DALAM KONTEKS OTONOMI DAERAH ............. 132

A. Konflik Aturan Hukum Sektor Pertanahan Terhadap Pasal 33 ayat (3)

Undang-Undang Dasar Tahun 1945 ....................................................... 132

1. Pra Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 ................................ 133

2. Pasca Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 ............................ 135

B. Kewenangan Dalam Bidang Pertanahan Menurut Undang-Undang Pokok Agraria dengan Peraturan Perundang-undangan Pertanahan

lainnya .................................................................................................... 138

C. Hambatan Pelaksanaan Pengurusan Pertanahan oleh Pemerintah Daerah .................................................................................................... 144

D. Upaya Penyelesaian Dalam Bidang Pertanahan ...................................... 149 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ............................................................................................ 159

B. Saran ...................................................................................................... 157

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 164

Universitas Sumatera Utara

Page 13: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia sebagai sebuah negara kesatuan, dalam praktik penyelenggaraan

urusan pemerintahan sepanjang perjalanan sejarah mengalami pasang surut. Dimulai

sejak awal kemerdekaan sampai saat ini terjadi perubahan-perubahan, baik dari sisi

konsep maupun kecenderungannya ke arah sentralisasi atau desentralisasi. Pasang

surut tersebut berlangsung sangat dinamis, puncaknya terjadi praktek

penyelenggaraan urusan pemerintahan yang sangat sentralistis dalam kurun waktu

yang lama di masa orde baru, yang mengakibatkan pembangunan untuk mewujudkan

kesejahteraan masyarakat tidak tercapai dan proses demokratisasi tidak berjalan

seperti yang diharapkan.

Pada masa Orde Baru, penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di

Daerah. Secara normatif undang-undang ini juga mengatur penyelenggaraan urusan

pemerintahan, termasuk urusan pemerintahan yang didesentralisasikan kepada

Daerah. Namun dalam praktek, sebagian besar urusan pemerintahan dilaksanakan

sendiri oleh Pemerintah. Daerah tidak lebih sebagai perpanjangan tangan untuk

melaksanakan kehendak dan program-program Pemerintah serta tidak mempunyai

kewenangan yang signifikan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan.

Universitas Sumatera Utara

Page 14: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

Reformasi di Indonesia pada tahun 1998 membawa perubahan besar bagi

kehidupan berbangsa dan bernegara. Perubahan tersebut meliputi berbagai bidang,

termasuk perubahan tata kepemerintahan dan hubungan antara Pemerintah dan

Daerah. Perubahan hubungan Pusat dan Daerah ditandai dengan lahirnya Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang merupakan

pengganti dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok

Pemerintahan Daerah. Lebih lanjut, perubahan mendasar juga terjadi pada Konstitusi

Republik Indonesia yaitu UUD 1945.

Salah satu perubahan mendasar pada UUD 1945 adalah terkait dengan

Pemerintahan Daerah. Pada amandemen kedua UUD 1945, Bab VI tentang

Pemerintah Daerah Pasal 18 yang sebelumnya hanya terdiri dari satu pasal tanpa ayat

mengalami perubahan menjadi 3 pasal, yakni Pasal 18, 18A dan 18B dengan 11 ayat.

Dalam pasal ini juga dinyatakan secara tegas mengenai penyelenggaraan urusan

pemerintahan oleh Daerah dan otonomi daerah, Pasal 18 ayat (2) mengatur sebagai

berikut, “Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan

mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas

pembantuan”. Lebih lanjut dalam pasal yang sama pada ayat (5) dinyatakan, bahwa:

“Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan

pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah”.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya

Pasal 18 memberikan landasan tentang kedudukan pemerintahan daerah, dan

diantaranya adalah tentang penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintahan

Universitas Sumatera Utara

Page 15: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

daerah menurut asas otonomi. Konsekuensi dari perubahan undang-undang dasar ini,

maka peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemerintahan daerah

perlu disesuaikan. Sejalan dengan hal tersebut, pada tahun 2004 dilakukan berbagai

evaluasi dan koreksi atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah. Koreksi dilakukan sebagai jawaban atas perubahan drastis

pada sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah yang menempatkan hubungan

Pemerintah dan Daerah kurang proporsional. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi

potensi terjadinya disintegrasi dan tidak tercapainya tujuan otonomi daerah

sebagaimana yang dicita-citakan.

Di tengah perubahan dan perkembangan dinamika kehidupan politik,

terdapat isu sentral yang menjadi wacana publik, yaitu perlunya pembagian

kewenangan yang seimbang antara Pemerintah dan Daerah.1

1 Kaloh, Kepala Daerah; Pola Kegiatan, Kekuasaan, dan Perilaku Kepala Daerah, Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal. 17.

Pembagian kewenangan

atas urusan pemerintahan antara Pemerintah dan Daerah perlu dilakukan secara

proporsional dalam kerangka otonomi daerah. Salah satu ukuran yang dapat menjadi

parameter tentang besarnya otonomi, dapat diukur dari seberapa banyak urusan

pemerintahan yang dimiliki Daerah. Walaupun demikian, menurut Bhenyamin

Hoessein, bahwa besarnya otonomi bukan hanya diukur oleh banyaknya urusan

pemerintahan yang telah dimiliki daerah sebagai konsekuensi dari penyelenggaraan

Universitas Sumatera Utara

Page 16: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

desentralisasi, melainkan pula secara mendasar diukur oleh tingkat kemandirian

Daerah.2

Berpijak pada uraian pengalaman di atas, dalam praktek penyelenggaraan

pemerintahan pada masa orde lama dan orde baru cenderung sentralistik atau proporsi

urusan pemerintahan yang berada pada Pemerintah jauh lebih besar dibanding dengan

yang ada di daerah. Walaupun sama-sama cenderung sentralistik, namun pembagian

urusan pemerintahan pada masa orde lama dan orde baru mempunyai karakteristik

yang berbeda. Sebaliknya, pada masa pasca reformasi tahun 1998, walaupun sama-

sama desentralisasi, namun saat berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999

tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah bahwa proporsi urusan pemerintahan yang menjadi

kewenangan Daerah menurut kedua undang-undang tersebut juga berbeda.

Perbedaan ini dipengaruhi oleh setting sosial dan politik dari masa ke masa

atau dari rezim ke rezim berikutnya. Artinya, kehendak para pembuat undang-undang

yang dipengaruhi oleh kondisi sosial politik yang melatarbelakanginya akan sangat

mempengaruhi bangunan regulasi yang mengatur hubungan pusat dan daerah. Arah

kebijakan hukum yang dikehendaki oleh negara terkait dengan politik hukum

desentralisasi sangat mempengaruhi kemana arah “bandul” kekuasaan, apakah lebih

condong ke Pemerintah atau ke Daerah.

2 Bhenyamin Hoessein, Perubahan Model, Pola, dan Bentuk Pemerintahan Daerah: Dari Era Orde Baru ke Era Reformasi, (Jakarta: Departemen Ilmu Administrasi FISIP Universitas Indonesia, 2009), hal. 166.

Universitas Sumatera Utara

Page 17: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

Penerapan praktik penyelenggaraan urusan pemerintahan dengan

desentralisasi dan otonomi daerah sepanjang sejarah Indonesia sampai saat sekarang

ini telah menampilkan gambaran yang bervariasi, yang secara umum dipahami

mencerminkan tarik ulur sifat sentralistik dan desentralistik. Kenyataan implementasi

antara dua kontinum tersebut selama ini telah pula menampilkan pemahaman yang

beraneka ragam terhadap otonomi daerah. Namun, apapun rumusan atau

ungkapannya, otonomi daerah pada dasarnya dimaksudkan untuk mendekatkan

pemerintahan kepada masyarakat.3

Penyelenggaraan urusan pemerintahan dengan desentralisasi yang selama

ini telah berlangsung, berpotensi untuk terjadi resentralisasi bila “bandul”

kewenangan penyelenggaraan urusan pemerintahan lebih condong kepada pusat dan

sebaliknya dapat berpotensi disintegrasi yang mengarah kepada federalisme bila

bandul kewenangan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan lebih condong

kepada daerah.

Potensi terjadi resentralisasi atau kewenangan kembali terpusat dapat dilihat

pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 10

ayat (5), yang menyatakan bahwa, Dalam urusan pemerintahan yang menjadi

kewenangan Pemerintah di luar urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada

ayat (3), Pemerintah dapat :

3 Hari Sabarno, Sambutan Menteri Dalam Negeri pada Penerbitan Buku Beberapa Gagasan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah di Indonesia dalam Owen Podger dkk, Beberapa Gagasan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah di Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hal. iv.

Universitas Sumatera Utara

Page 18: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

a. menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan;

b. melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur selaku wakil

Pemerintah; atau

c. menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan

desa berdasarkan asas tugas pembantuan.

Pada ayat (5) tersebut dapat diartikan bahwa, selain dilaksanakan enam urusan

pemerintahan yang mutlak menjadi milik Pemerintah, Pemerintah juga dapat

menyelenggarakan sendiri urusan pemerintahan di luar enam urusan tersebut.

Artinya, Pasal 10 ayat (5) huruf a memberikan legitimasi bahwa terhadap urusan

pemerintahan yang telah diserahkan kepada Daerah, masih dibenarkan bagian urusan

pemerintahan diselenggarakan sendiri oleh Pemerintah. Ketentuan ini dapat

berpotensi terjadinya sentralisasi, bila urusan pemerintahan yang semestinya dapat

didesentralisasikan atau sudah menjadi urusan Daerah, dengan alasan kepentingan

nasional atau kepentingan lintas Daerah dilaksanakan sendiri oleh Pemerintah. Lebih

lanjut, penjelasan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah menyatakan bahwa pembagian urusan pemerintahan berdasarkan kriteria

eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan

antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan. Ketentuan ini tidak secara tegas

menyebut pada hal apa suatu urusan pemerintahan yang concurrent dapat

diselenggarakan sendiri oleh Pemerintah atau didesentralisasikan. Hal ini juga

berpotensi menimbulkan konflik kewenangan, yang disebabkan antara lain oleh

Universitas Sumatera Utara

Page 19: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

lemahnya koordinasi dalam penyelenggaraan fungsi pemerintahan di antara

tingkatan.4

Pada praktiknya, Pemerintah melalui kementerian masih menyelenggarakan

sendiri urusan pemerintahan yang semestinya bisa didesentralisasikan. Hal tersebut

dapat dilihat dari berbagai proyek Pemerintah yang dilaksanakan di daerah. Oleh

beberapa pihak, inilah yang disebut dengan “otonomi setengah hati”. Semestinya,

untuk penguatan desentralisasi, kewenangan Pemerintah atas urusan pemerintahan

porsinya lebih besar pada penetapan kebijakan yang bersifat norma, standar, kriteria,

dan prosedur, sedangkan kewenangan pelaksanaan urusan pemerintahan hanya

terbatas pada kewenangan yang bertujuan tertentu.

5

Sebaliknya, selain berpotensi terjadi resentralisasi, penyelenggaraan urusan

pemerintahan juga berpotensi terjadi disintegrasi yang mengarah kepada federalisme.

Hal ini dapat terjadi apabila “bandul” kewenangan lebih condong kepada Daerah.

Kewenangan besar yang dimiliki oleh Daerah akibat desentralisasi membuat Daerah

merasa mempunyai kewenangan sepenuhnya atas penyelenggaraan urusan

pemerintahan yang telah didesentralisasikan. Akibatnya, timbul pandangan bahwa

4 Indra J.Piliang ed., Otonomi Daerah: Evaluasi Dan Proyeksi, (Jakarta: Yayasan Harkat Bangsa, 2003), hal. 13.

5 Kewenangan pelaksanaan urusan pemerintahan oleh Pemerintah hanya terbatas pada kewenangan yang bertujuan: (1) Mempertahankan dan memelihara identitas dan integritas bangsa dan negara; (2) Menjamin kualitas pelayanan umum yang setara bagi semua warga negara; (3) menjamin efisiensi pelayanan umum karena jenis pelayanan umum tersebut berskala nasional; (4) Menjamin keselamatan fisik dan nonfisik secara setara bagi semua warga negara; (5) Menjamin pengadaan teknologi keras dan lunak yang langka, canggih, mahal, dan beresiko tinggi serta sumber daya manusia yang berkualifikasi tinggi tetapi sangat diperlukan oleh bangsa dan negara, seperti tenaga nuklir, teknologi peluncuran satelit, teknologi penerbangan dan sejenisnya; (6) Menjamin supremasi hukum nasional; dan (7) Menciptakan stabilitas ekonomi dalam rangka peningkatan kemakmuran rakyat. Dalam Deddy Supriady Bratakusumah dan Dadang Solihin, Otonomi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), hal. 33-34.

Universitas Sumatera Utara

Page 20: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

Pemerintah sudah tidak perlu campur tangan lagi terhadap urusan pemerintahan yang

telah didesentralisasikan.

Ada anggapan dari Pemerintah Daerah bahwa dengan desentralisasi, Daerah

mempunyai kedudukan dan kewenangan yang besar sehingga Pemerintah tidak perlu

lagi menyelenggarakan urusan pemerintahan yang sudah didesentralisasikan.

Seharusnya, peran Pemerintah sebatas merumuskan kebijakan makro atau koordinasi

secara nasional, Pemerintah tidak lagi mempunyai peran sebagai pelaksana langsung

(executing) terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan yang telah

didesentralisasikan. Akibat lain dari desentralisasi adalah terdapat kenyataan bahwa

pemerintah daerah tidak “tunduk” terhadap kebijakan Pemerintah. Hal tersebut

dilakukan dengan tidak ikut melaksanakan program nasional yang telah menjadi

kebijakan Pemerintah dikarenakan berbagai alasan.6

Berpijak pada kenyataan implementasi penyelenggaraan urusan pemerintahan

seperti yang telah digambarkan, pelaksanaan pembagian urusan pemerintahan dalam

kerangka otonomi daerah di negara kesatuan bagai dua sisi mata uang. Pada satu sisi,

bila Daerah mempunyai kewenangan yang besar pada suatu urusan pemerintahan

tanpa adanya kewenangan Pemerintah, maka akan berpotensi terjadi disintegrasi yang

mengarah kepada federalisme. Namun sebaliknya, bila Pemerintah masih

6 Kerapkali terjadi Pemerintah Daerah menolak program Pemerintah dengan berbagai alasan, misal tidak sesuai dengan kebutuhan daerah, daerah tidak siap, bahkan karena perbedaan aspirasi politik antara Pemerintah (Presiden) dengan Kepala Daerah (Gubernur dan Bupati/walikota), serta alasan-alasan lainnya.

Universitas Sumatera Utara

Page 21: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

menyelenggarakan suatu urusan pemerintahan yang semestinya dapat

didesentralisasikan, maka akan mengarah kepada sentralisasi.

Baik secara teoritis maupun praktik di banyak negara, hubungan antara

Pemerintah dan Daerah sebagaimana telah dikemukakan, diibaratkan sebagai sebuah

bandul dengan dua kutub, yaitu Pemerintah dan Daerah. Jika bandul itu mengarah ke

kutub Pemerintah maka terjadi sentralisasi, sehingga otomatis kewenangan Daerah

akan berkurang. Demikian juga sebaliknya, jika Daerah diberikan kewenangan yang

besar dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan maka terjadi desentralisasi,

sehingga kewenangan Pemerintah akan berkurang. Oleh sebab itu, pembahasan

hubungan kewenangan Pemerintah dan Daerah tidak akan terlepas dari tarik ulur

kekuasaan diantara keduanya.7

Berbagai produk hukum mengenai penyelenggaraan urusan pemerintahan telah

dibentuk dan telah tercapai konsesus nasional mengenai asas-asasnya. Namun dalam

aplikasi selama ini sering kali menimbulkan masalah di seputar upaya mencari titik

keseimbangan antara bobot sentralisasi dan bobot otonomi daerah.

8

7 Syahrul Hidayat, Otonomi Daerah, Pilkada dan Komitmen Desentralisasi Politik: Tinjauan atas tiga UU mengenai Otonomi Daerah dalam Pilkada Langsung, Demokratisasi Daerah dan Mitos Good Governance, Partnership dan Pusat Kajian Ilmu Politik Fisip UI, Jakarta, 2005.

Kemudian,

berlakunya aturan hukum suatu negara paling tidak ditentukan oleh dua faktor, yaitu :

Pertama, kesadaran atau keyakinan anggota-anggota masyarakat terhadap hukum

dalam makna nilai-nilai keadilan. Kedua, politik hukum yang ditetapkan oleh penguasa

negara. Orientasi politik hukum penguasa bersifat progresif, antisipatif terhadap

8 Bhenyamin Hoessein, Perubahan Model..., Op.Cit., hal. 59.

Universitas Sumatera Utara

Page 22: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

perkembangan kedepan dan berwawasan nasional. Orientasi politik penguasa seringkali

tidak berjalan paralel dengan kesadaran hukum (orientasi hukum) masyarakat yang

cenderung tradisional, konservatif, berorientasi historis dengan lingkup wilayah budaya

terbatas (budaya lokal).9

Di bidang pertanahan, secara substansial pertarungan orientasi politik hukum

antara pemerintah dan masyarakat tercermin dari adanya konflik di antara norma

tertulis (peraturan perundang-undangan). Pada akhirnya akan menimbulkan ekses

dalam penerapan peraturan perundang-undangan, yaitu dalam bentuk sengketa

pertanahan. Idealnya pemerintah mampu mengakomodir orientasi politik

hukum/kesadaran hukum masyarakat - yang bersifat pluralis - dan mengharmonisasi-

kannya dengan kebutuhan pemerintah dan dunia internasional, dengan tetap

berpegang pada tujuan nasional, yaitu masyarakat adil dan makmur.

Secara formal selalu diupayakan untuk menyerasikan kedua

orientasi tersebut, namun secara subtansi yang tercermin dari berbagai rumusan pasal

dalam peraturan perundang-undangan belum tentu demikian.

Kenyataan yang terjadi hingga saat ini mengindikasikan, bahwa pemerintah

mempunyai orientasi sendiri, dan yang terlalu maju (bervisi global), sedangkan

masyarakat sebagian besar belum siap dengan visi tersebut. Akibatnya, banyak

peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan pemerintah dinilai tidak memihak

kepentingan rakyat, namun lebih memihak pada dunia perdagangan yang bersifat

global/perdagangan bebas, dan para investor. Padahal, seyogyanya pemerintah sangat

9 Maria R Ruwiastuti, Sesat Pikir Politik Hukum Agraria, Membongkar Alas Penguasaan Negara Atas Hak-Hak Adat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 109-110.

Universitas Sumatera Utara

Page 23: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

memperhatikan kondisi senyatanya masyarakat Indonesia yang sangat bervariasi

tingkat perkembangannya.

Pertarungan orientasi yang menjadi dasar politik pertanahan antara

pemerintah dengan masyarakat (rakyat) tersebut di atas, bermuara pada makin

meningkatnya sengketa pertanahan di Indonesia yang melibatkan rakyat, pemerintah

dan swasta. Sejarah membuktikan bahwa, pemerintah mempunyai orientasi politik

tersendiri yang terkesan dipaksakan keberlakuannya pada masyarakat sebagaimana

tercatat dalam sejarah pertanahan di Indonesia pada masa penjajahan, baik oleh

Inggris maupun Belanda.10

Kemudian, dalam rangka otonomi daerah menurut Undang-Undang Nomor 22

Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, pelimpahan kewenangan dalam otonomi

adalah mengenai bidang pemerintahan, walaupun ketentuan Pasal 11 ayat (2)

Undang-Undang tersebut mencakup kewenangan di bidang pertanahan, tidak berarti

mencakup kewenangan di bidang hukum tanah nasional. Oleh karena itu, pertanahan

sebagai salah satu bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh kabupaten/kota

dalam Pasal 11, tidak harus dicerna bahwa wewenang bidang tersebut secara utuh

berada di kabupaten/kota. Wewenang yang berada di kabupaten/kota mengenai

pertanahan sebatas yang bersifat lokalitas, dan tidak bersifat nasional.

11

10 Banyak hal yang dapat diidentifikasi sebagai permasalahan politik pertanahan sejak zaman Hindia Belanda, misalnya penerapan sistem Landrente, Cultuurstelsel atau tanam paksa dan asas Domeinverklaring. Pada intinya politik pertanahan tersebut tidak ditujukan untuk kemakmuran rakyat (Indonesia), melainkan untuk pemerintah Belanda dan kaum modal asing lainnya.

11 Arie Sukanti Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, (Jakarta: Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, 2005), hlm.40.

Universitas Sumatera Utara

Page 24: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

Selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999

tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan dalam Pasal 13 dan Pasal 14 tentang

bidang-bidang yang menjadi kewenangan pemerintah daerah yang antara lain

pelayanan pertanahan. Pelaksanaan yang dilimpahkan kepada daerah dalam kerangka

otonomi daerah adalah pelaksanaan hukum tanah nasional. Hal ini ditegaskan dalam

Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960 (selanjutnya

disebut UUPA) bahwa hak menguasai dari Negara, pelaksanaannya dapat dikuasakan

kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekadar

diperlukan dan tidak bertentangan dengan peraturan pemerintah. Sementara itu,

dalam penjelasan Pasal 2 UUPA disebutkan bahwa dengan demikian, pelimpahan

wewenang untuk melaksanakan hak penguasaan dari Negara atas tanah itu dilakukan

dalam rangka tugas medebewind.

Kewenangan yang pelaksanaannya dapat dilimpahkan kepada pemerintah

daerah ditetapkan dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a Undang-Undang Pokok Agraria

Nomor. 5 Tahun 1960 (selanjutnya disebut UUPA), yaitu wewenang mengatur dan

menyelenggarakan peruntukan penggunaan, persediaan tanah di daerah yang

bersangkutan, sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 14 ayat 2 Undang-

Undang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960 (selanjutnya disebut UUPA) yang

meliputi perencanaan tanah pertanian dan tanah nonpertanian sesuai dengan keadaan

daerah masing-masing. Berdasarkan Pasal 14 UUPA dan Undang-Undang Nomor 26

Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pemerintah daerah diberi wewenang mengatur

Universitas Sumatera Utara

Page 25: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

peruntukan, penggunaan, dan persediaan serta pemeliharaan tanah. Penataan ruang

meliputi suatu proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian

pemanfaatan ruang.12

Berkaitan dengan kebijakan otonomi daerah, wewenang penyelenggaraan

penataan ruang dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah, yang mencakup

kegiatan pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang,

didasarkan pada pendekatan wilayah dengan batasan wilayah administratif. Dengan

pendekatan wilayah administratif tersebut, penataan ruang seluruh wilayah Negara

Kesatuan Republik Indonesia terdiri atas wilayah nasional, wilayah provinsi, wilayah

kabupaten, dan wilayah kota, yang setiap wilayah tersebut merupakan subsistem

ruang menurut batasan administratif.

Di dalam subsistem tersebut, terdapat sumber daya manusia dengan berbagai

macam kegiatan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya buatan, dan dengan

tingkat pemanfaatan ruang yang berbeda-beda, yang apabila tidak ditata dengan baik,

dapat mendorong ke arah adanya ketidakseimbangan pembangunan antarwilayah

serta ketidasinambungan pemanfaatan ruang.13

Berdasarkan uraian-uraian di atas, penulis tertarik untuk membahas mengenai

kewenangan Pemerintah Daerah dalam bidang pertanahan sebagai suatu karya ilmiah

dalam bentuk tesis dengan judul Kewenangan Bidang Pertanahan Dalam Konteks

12 Pasal 14, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, Bandingkan dengan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

13 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Universitas Sumatera Utara

Page 26: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

Otonomi Daerah (Studi di Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi

Sumatera Utara).

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang, maka permasalahan yang akan diteliti

dan dianalisis dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah kewenangan urusan pertanahan menurut Undang-Undang Pokok

Agraria dengan Undang-Undang Pemerintahan Daerah?

2. Bagaimanakah kewenangan Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan urusan

pertanahan dalam konteks Otonomi Daerah?

3. Apakah hambatan-hambatan yang terjadi dalam pelaksanaan kewenangan

pertanahan di daerah serta upaya-upaya apa yang dilakukan?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, maka

penelitian ini bertujuan :

1. Untuk mengetahui pengaturan kewenangan urusan pertanahan menurut Undang-

Undang Pokok Agraria dengan Undang-Undang Pemerintahan Daerah.

2. Untuk mengetahui kewenangan Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan

urusan pertanahan dalam konteks Otonomi Daerah.

3. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang terjadi dalam pelaksanaan

kewenangan pertanahan di daerah serta upaya-upaya yang dilakukan.

Universitas Sumatera Utara

Page 27: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

D. Manfaat Penelitian

Bertitik tolak dari latar belakang serta rumusan masalah yang telah

diuraikan, manfaat penelitian ini adalah :

1. Mendeskripsikan dan menganalisis secara juridis dinamika pengaturan pembagian

urusan pemerintahan antara Pemerintah dan Daerah di Indonesia khususnya di

bidang pertanahan.

2. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pengaturan

pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah dan Daerah khususnya di

bidang pertanahan.

Penelitian ini diharapkan memberi manfaat dan kegunaan secara teoritis,

berupa :

1. Sumbangan pemikiran terhadap kajian pembagian urusan pemerintahan antara

Pemerintah dan Daerah di bidang pertanahan.

2. Sebagai salah satu referensi untuk mengkaji lebih mendalam mengenai hukum

ketatanegaraan dan administrasi negara khususnya hukum pemerintahan daerah

yang secara langsung berkaitan desentralisasi dan otonomi daerah di bidang

pertanahan.

Manfaat dan kegunaan dari penelitian ini secara praktis adalah:

1. Sebagai masukan pemikiran untuk pembangunan hukum dalam rangka

memperkuat dan mendorong otonomi daerah dengan kewenangan yang seluas-

luasnya namun tetap dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Universitas Sumatera Utara

Page 28: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

2. Penelitian ini dapat menjadi masukan untuk kebijakan dan pengaturan terkait

dengan pembagian urusan pemerintahan di bidang pertanahan.

3. Diharapkan berguna sebagai bahan kajian untuk akselerasi otonomi daerah,

sebagai upaya mendekatkan pelayanan pemerintah dengan masyarakat untuk

mencapai kesejahteraan masyarakat serta terwujudnya clean government dan

good governance di bidang pertanahan.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pengamatan dan penelusuran kepustakaan yang dilakukan di

Perpustakaan Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, dan sepanjang yang diketahui

belum ada penelitian yang dilakukan dengan mengangkat Judul Kewenangan Bidang

Pertanahan Dalam Konteks Otonomi Daerah (Studi di Kantor Wilayah Badan Pertanahan

Nasional Provinsi Sumatera Utara).

Dengan demikian, penelitian ini dapat dikatakan penelitian yang pertama

kali dilakukan di lingkungan Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, oleh

karenanya, penulis berkeyakinan bahwa judul tesis ini dan permasalahan yang

diajukan belum pernah diteliti dan dibahas, sehingga dapat dikatakan asli.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Pada kajian tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah akan selalu

terkait negara, sehingga teori dasar tentang negara menjadi landasan teori pada

Universitas Sumatera Utara

Page 29: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

penelitian ini. Penyelenggaraan pemerintahan daerah akan selalu terkait dengan

hubungan pusat dan daerah, salah satu hubungan tersebut dibangun dengan sistem

desentralisasi. Desentralisasi pada penelitian ini menjadi faktor utama dalam

hubungan pusat dan daerah, sehingga perlu disajikan kerangka teorinya. Selain itu

yang terkait adalah teori tentang politik hukum mengenai kewenangan pertanahan

dalam konsep otonomi daerah.

Negara adalah suatu organisasi dalam satu wilayah yang memiliki kekuasaan

tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya.14 Menurut Aristoteles,15

Sementara itu, menurut Supomo

negara pada

hakekatnya adalah sebuah asosiasi, yaitu suatu perkumpulan dari kelompok orang

yang mengorganisir diri mereka untuk tujuan tertentu yang hendak dicapai.

16

14 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), hal. 17.

dengan berpijak teori integralistik yang

diajarkan Spinoza, Adam Muller, Hegel dan lain-lain (pada abad 18 dan 19), negara

ialah tidak untuk menjamin kepentingan seseorang atau golongan, akan tetapi

menjamin kepentingan masyarakat seluruhnya sebagai persatuan. Negara ialah suatu

susunan masyarakat yang integral, segala golongan, segala bagian, segala anggotanya

berhubungan erat satu sama lain dan merupakan persatuan yang masyarakat yang

organis.

15 Bhenyamin Hoessein, Penyempurnaan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Menurut Konsepsi Otonomi Daerah Hasil Amandemen 1945, disampaikan dalam Seminar Dan Lokakarya Pembangunan Hukum Nasional VIII, diselenggarakan oleh BPHN Depkumham, Bali, 14 – 18 Juli 2003, hal. 1.

16 Marsilam Simanjutak, Pandangan Negara Integralistik, (Jakarta: Grafiti, 1997), hal. 85.

Universitas Sumatera Utara

Page 30: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

Pada perkembangan saat ini, Jimly Asshydiqqie membedakan bentuk negara

di dunia menjadi empat macam susunan organisasi negara, yaitu17

1. Negara Kesatuan (Unitary State, Eenheidsstaat), pada negara kesatuan dimana kekuasan negara terbagi antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah. Kekuasaan asli terdapat di tingkat pusat, sedangkan kekuasaan daerah mendapatkan kekuasaan dari pusat melalui penyerahan sebagian kekuasaan yang ditentukan secara tegas.

:

2. Negara Serikat atau Federal (Federal State, Bondsstaat), pada negara serikat atau federal kekuasaan negara terbagi antara negara bagian dan pemerintahan federal, kekuasaan asli ada pada negara bagian sebagai badan hukum negara yang bersifat sendiri-sendiri yang secara bersama-sama membentuk pemerintahan federal dengan batas-batas kekuasaan yang disepakati bersama oleh negara-negara bagian dalam konstitusi federal.

3. Negara Konfederasi (Confederation, Statenbond), negara konfederasi merupakan persekutuan antar negara-negara yang berdaulat dan independen yang karena kebutuhan tertentu mempersekutukan diri dalam organisasi kerjasama yang longgar.

4. Negara Superstruktural (Superstate), yaitu persekutuan antar negara dengan sifat yang sangat kuat, yang di dalamnya terdapat fungsi-fungsi kenegaraan sebagaimana lazimnya, seperti fungsi legislasi dan fungsi administrasi.

Dari keempat bentuk susunan organisasi negara tersebut, bentuk negara

kesatuan menjadi pilihan bagi Republik Indonesia, sebagaimana ditegaskan dalam

Pasal 1 ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945, “Negara Indonesia ialah Negara

Kesatuan yang berbentuk Republik”. Pada ketentuan ini dapat dilihat beberapa

pengertian seperti yang disampaikan oleh Jimly Asshydiqqie18

“Pertama, Negara yang diatur dalam UUD ini bernama Negara Indonesia; Kedua, Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan; Ketiga, Negara Indonesia berbentuk Republik. Karena itu, Negara Indonesia dan Undang-Undang Dasar 1945 tidak dapat dilepaskan dari eksistensi Konstitusi Negara

:

17 Jimly Asshidiqqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, (Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, 2007), hal. 282.

18 Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Page 31: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

Republik Indonesia. Apalagi, adanya kata “ialah” dalam rumusan “Negara Indonesia ‘ialah’ Negara Kesatuan” menunjukan rumusan yang bersifat definitif. Artinya, jika bukan Negara Kesatuan, maka namanya bukan lagi Negara Indonesia.” Negara kesatuan ialah suatu negara yang merdeka dan berdaulat, dimana di

seluruh negara yang berkuasa hanyalah satu pemerintah (pusat) yang mengatur

seluruh daerah. Pada suatu negara kesatuan, kekuasaan terletak pada Pemerintah dan

tidak pada pemerintah daerah.19 Lebih lanjut Mahfud.MD. menegaskan bahwa negara

kesatuan adalah konsep ketatanegaraan yang mengatur hubungan kekuasaan

(gezagverhouding) antara Pemerintah dan Daerah.20

Sementara itu menurut C.F. Strong, negara kesatuan adalah bentuk negara

dimana wewenang legislatif tertinggi dipusatkan dalam satu badan legislatif

nasional/pusat. Kekuasaan terletak pada Pemerintah dan tidak pada pemerintah

daerah. Pemerintah mempunyai wewenang untuk menyerahkan sebagian

kekuasaannya kepada Daerah berdasarkan hak otonomi (negara kesatuan dengan

sistem desentralisasi), tetapi pada tahap akhir kekuasaan tertinggi tetap di tangan

Pemerintah. C.F Strong menyimpulkan bahwa terdapat ciri mutlak yang melekat pada

negara kesatuan yaitu, (1) adanya supremasi dari dewan perwakilan rakyat pusat, dan

(2) tidak adanya badan-badan lainnya yang berdaulat.

21

19 Agussalim Andi Gadjong, Pemerintahan Daerah, Kajian Politik Dan Hukum, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2007), hal. x.

20 Moh. Mahfud MD., Konstitusi dan Hukum Konstitusi dalam Kontroversi Isu, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hal. 212. Mahfud juga menjelaskan bahwa konsep kesatuan berbeda dengan konsep persatuan, persatuan adalah sikap batin atau kejiwaan atau semangat kolektif untuk bersatu dalam ikatan kebangsaan dan negara.

21 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Op.Cit., hal. 269.

Universitas Sumatera Utara

Page 32: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

Dalam menjalankan fungsinya, negara mempunyai kekuasaan, yang menurut

Arthur Maass memilah pembagian kekuasaan negara menjadi dua, yaitu22

Pembagian kekuasaan secara vertikal bertujuan untuk menciptakan

keseimbangan antara Pemerintah dan Daerah. Pembagian kekuasaan ini dilakukan

dengan membentuk daerah otonom yang berfungsi sebagai organ yang menerima

penyerahan kekuasaan dari Pemerintah atau dapat disebut dengan desentralisasi.

Desentralisasi adalah penyerahan wewenang atau penyerahan sebagian urusan

pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom. Menurut Bhenyamin Hoesein,

pengertian desentralisasi tidak hanya penyerahan wewenang namun harus pula

mecakup pembentukan daerah otonom.

: Pertama,

Capital Division of Powers, pembagian kekuasaan secara horisontal atau pemisahan

kekuasaan (separations of powers) yang melahirkan kekuasaan legislatif, eksekutif

dan yudikatif. Kedua, Areal Division of Power, pembagian kekuasaan secara vertikal

(pembagian kekuasaan berdasarkan wilayah) yang melahirkan desentralisasi dan

otonomi daerah. Pada konteks ini, desentralisasi merupakan instrumen yang

digunakan dalam rangka areal division of powers.

23

Sementara itu, menurut Hans Kelsen pada sebuah negara tidak mungkin

terjadi urusan pemerintah diselenggarakan 100% sentralisasi atau 100% desentralisasi

22 Arthur Maass, Area And Power A Thery Of Local Government, (Illions: Glencoe, 1969), hal. 9. 23 Bhenyamin Hoessein, Berbagai Faktor Yang Mempengaruhi Besarnya Otonomi Dati II

Suatu Kajian Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Dari Segi Ilmu Administrasi Negara, Disertasi, Universitas Indonesia, Jakarta, 1993, hal. 71.

Universitas Sumatera Utara

Page 33: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

atau tidak mungkin terdapat total centralization atau total decentralization.24

Sebagaimana disampaikan oleh Bhenyamin Hoessein bahwa sentralisasi merupakan

asas yang pokok, sementara itu asas desentralisasi (termasuk juga dekonsentrasi dan

tugas pembantuan) tidak mungkin diselenggarakan tanpa sentralisasi.25

Satuan otonomi teritorial merupakan suatu satuan mandiri dalam lingkungan

negara kesatuan yang berhak melakukan tindakan hukum sebagai subjek hukum

untuk mengatur dan mengurus fungsi pemerintahan (administrasi negara) yang

menjadi urusan rumah tangganya, jadi hubungan pusat dan daerah merupakan

hubungan antara dua subjek hukum yang masing-masing berdiri sendiri.

Oleh karena

itu, dapat dikatakan bahwa makna desentralisasi pada negara kesatuan adalah sebagai

wujud toleransi Pemerintah kepada Daerah dalam hal pemberian kewenangan untuk

melaksanakan urusan-urusan yang bisa menjadi urusan rumah tangga daerah, dalam

rangka penyelenggaraan pemerintahan di daerah.

26

Pengaturan pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah dan Daerah

tidak akan lepas dari sisi politik hukum atau kebijakan hukum (legal policy). Politik

hukum menurut Moh. Mahfud, MD

27

24 Bhenyamin Hoessein, et.,al. Naskah akademik Tata Hubungan Kewenangan Pemerintahan Pusat Dan Daerah, PKPADK Fisip UI, Jakarta, 2005, hal. 67.

adalah sebagai pernyataan kehendak penguasa

negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya dan mengenai arah kemana

hukum hendak diperkembangkan. Pengertian ini menunjukkan pandangan Radhie

25 Bhenyamin Hoessein, Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah Dan Daerah Otonomi, Makalah, disajikan dalam seminar FISIP UI, Depok, 2007, hal. 1.

26 Ni’matul Huda, Pengawasan Pusat Terhadap Daerah Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, FH UII Press, Yogyakarta, 2007, hal. 5.

27 Moh. Mahfud MD, Membangun Politk Hukum, Menegakkan Konstitusi, (Jakarta: LP3ES, 2006), hal. 13.

Universitas Sumatera Utara

Page 34: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

bahwa politik hukum mencakup ius constitutum atau hukum yang berlaku di wilayah

negara pada saat ini dan ius contituendum atau hukum yang atau seharusnya

diberlakukan di masa mendatang.

Sementara itu, Padmo Wahyono28

Soedarto memberikan pengertian politik hukum adalah kebijaksanaan dari

negara dengan perantaraan badan-badan yang berwenang untuk menetapkan

peraturan perundangan yang dikehendaki dan diperkirakan dapat digunakan untuk

mengekspresikan norma yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai

tujuan yang dicita-citakan.

mengatakan bahwa politik hukum adalah

kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, maupun isi dari hukum yang akan

dibentuk. Politik hukum adalah kebijakan penyelenggara negara tentang apa yang

dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu yang di dalamnya mencakup

pembentukan, penerapan, dan penegakan hukum. Dalam hal ini, Padmo Wahyono

melihat politik hukum dengan lebih condong pada aspek ius constituendum.

29

28 Ibid.

Dari berbagai definisi politik hukum, dapat dibuat

rumuan sederhana bahwa politik hukum itu adalah arahan atau garis resmi yang

dijadikan dasar pijak dan cara untuk membuat dan melaksanakan hukum dalam

rangka mencapai tujuan bangsa dan negara. Dapat juga dikatakan bahwa politik

hukum merupakan upaya menjadikan hukum sebagai proses pencapaian tujuan

29 Aruan Sakidjo dan Bambang Poernomo. Hukum Pidana: Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Kodifikasi, Cet. I, (Yogyakarta: Ghalia Indonesia, 1990), hal. 55.

Universitas Sumatera Utara

Page 35: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

negara.30 Tujuan politik hukum nasional adalah, pertama, sebagai suatu alat atau

sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk menciptakan suatu

sistem hukum nasional yang dikehendaki; Kedua, dengan sistem hukum nasional itu

akan diwujudkan cita-cita bangsa Indonesia yang lebih besar.31

Selanjutnya, konsep dan pokok aturan hukum agraria yang termuat dalam

Undang-Undang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960 (selanjutnya disebut UUPA)

merupakan produk hukum dan cerminan kebijakan pemerintahan saat itu, yakni orde

lama. Undang-Undang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960 (selanjutnya disebut

UUPA) ditujukan guna pembaruan hukum agraria saat itu, namun belum cukup

waktu dan terlaksana apa yang diprogramkan, kepemimpinan negara berpindah pada

rezim orde baru yang memiliki pola kepemimpinan yang berbeda. Sebagaimana

diketahui masa orde baru adalah masa pertumbuhan sehingga seluruh kebijakan

sangat propertumbuhan. Meskipun banyak kebijakan pembangunan dan

pelaksanaannya yang berbeda dengan semangat Undang-Undang Pokok Agraria

Nomor. 5 Tahun 1960 (selanjutnya disebut UUPA) namun dengan berbagai tafsiran

disediakan perangkat peraturan pelaksana UUPA yang memungkinkan pemerintah

orde baru menjalankan kebijakannya di bidang pertanahan, yang sangat pro pemodal

dengan segala akibatnya terhadap masyarakat banyak.

32

30 Teuku Muhammad Radhi dalam Moh. Mahfud MD, Membangun Politk Hukum, Menegakkan Konstitusi, Op.Cit., hal. 16.

31 Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-Dasar Politik Hukum, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2004), hal. 59.

32 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraia, Isi, dan Pelaksanaanya (Jilid I), (Jakarata: Penerbit Djambatan, 2003), hal. 243-244.

Universitas Sumatera Utara

Page 36: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

Hukum agraria nasional kemudian mengalami perubahan seiring peralihan

kepempinan negara pada orde reformasi. Tampak ada tekad untuk mengadakan

perombakan yang mendasar pada kebijakan nasional di bidang ekonomi. Selain

Undang-Undang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960 (selanjutnya disebut UUPA)

dan berbagai peraturan perundang-undangan baik yang setingkat (undang-undang)

maupun peraturan perundang-undangan yang lebih rendah (peraturan pemerintah,

keputusan/peraturan presiden, keputusan/peraturan menteri), pengaturan dan

kebijakan di bidang agraria juga didukung oleh beberapa Ketetapan MPR, seperti

TAP MPR No.XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah;

Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan;

Serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan

Republik Indonesia dan TAP MPR No.IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan

Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Konsepsi Hukum Tanah Nasional dan ketentuan-ketentuan dalam Undang-

Undang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960 (selanjutnya disebut UUPA) telah

menjadi dasar pijak pembangunan Nasional selama kurun waktu hampir setengah

abad. Berbagai peraturan perundang-undangan baik berbentuk undang-undang,

maupun peraturan pelaksanaannya dalam pertimbangan hukumnya merujuk kepada

UUPA sebagai dasar hukum tanah nasional. Undang-undang terkait agraria seperti

kehutanan, pertambangan, sumber daya alam, sumber daya air, dan penataan ruang

menjadikan dasar-dasar hukum dalam UUPA sebagai suatu pertimbangan hukum di

dalam aturan-aturan undang-undang tersebut.

Universitas Sumatera Utara

Page 37: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

Hal ini menunjukkan bahwa posisi hukum tanah nasional sangat signifikan

dan terkait dengan kepentingan antar dan berbagai sektor dan bidang hukum lainnya.

Namun demikian fakta menunjukkan bahwa ada ketidakharmonisan dan

ketidaksinkronan dalam berbagai peraturan perundangan di bidang hukum agraria

khususnya dan yang terkait dengan agraria lainnya. Harmonisasi terkait dengan

harmonis dan selarasnya (tidak bertentangannya) suatu peraturan perundang-

undangan yang secara horizontal memiliki tingkat hirarkhi yang sama, sementara

mengarah pada hubungan vertikal antara satu peraturan perundangan dengan

peraturan perundangan yang lain yang lebih tinggi atau lebih rendah tingkatanya

dalam hirarkhi peraturan perundang-undangan.

Selain perangkat peraturan perundang-undangan di bidang hukum agrarian

yang saling bertentangan dan tumpang tindih, berbagai persoalan terkait tanah dalam

pengelolaan berbagai sumber daya agraria yang berlangsung selama ini telah

menimbulkan penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan struktur penguasaan,

pemilikan, penggunaan dan pemanfaatannya serta menimbulkan berbagai konflik.

Persoalan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum menjadi suatu unsur yang

tidak tercapai dalam berbagai kebijakan pertanahan, sehingga menimbulkan berbagai

konflik dan menjauhkan masyarakat dari rasa keadilan.

Kondisi ini kemudian memunculkan suatu komitmen politik dari para wakil

rakyat sehingga setelah melalui tahapan yang panjang, berliku dan beragam

ditetapkanlan suatu ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat mengenai pembaruan

agraria dan pengelolaan sumber daya alam. Kebijakan nasional yang dikeluarkan oleh

Universitas Sumatera Utara

Page 38: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

MPR dengan TAP MPR No.IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan

Pengelolaan Sumber Daya Alam inilah kemudian menjadi tonggak awal adanya

pembaruan hukum agraria sebagai bagian dari pembaruan agrarian secara

keseluruhan. Beberapa catatan penting dalam TAP MPR No.IX/MPR/2001 tentang

Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam terkait dengan

pembangunan hukum agraria nasional yakni :

a. Adanya fakta bahwa yuridis bahwa peraturan perundang-undangan yang

berkaitan dengan pengelolaan sumber daya agraria dan sumber daya alam saling

tumpang tindih dan bertentangan.33

b. TAP MPR No.IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan

Sumber Daya Alam ini ditujukan sebagai landasan peraturan perundang-

undangan mengenai pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam.

34

c. Pembaruan agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan

dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan

sumber daya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan

perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat

Indonesia.

35

33 Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Ketetapan MPR No.IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, Konsideran Menimbang Huruf d.

34 Ibid., Pasal 1. 35 Ibid., Pasal 2.

Universitas Sumatera Utara

Page 39: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

d. Dalam operasionalisasi pembaruan agraria terutama dalam kaitannya dengan

perundang-undangan, terdapat prinsip-prinsip yang harus dijadikan dasar yakni36

1. prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia;

:

2. prinsip penghormatan kepada hak asas manusia;

3. prinsip penghormatan supremasi hukum dan pengakomodasian prularisme

hukum dalam unifikasi hukum;

4. prinsip kesejahteraan rakyat;

5. prinsip keadilan;

6. prinsip keberlanjutan;

7. prinsip pelaksanaan fungsi sosial, kelestarian dan fungsi ekologis;

8. prinsip keterpaduan dan koordinasi antarsektor;

9. prinsip pengakuan dan penghormatan hak masyarakat hukum adat dan

keragaman budaya bangsa;

10. prinsip keseimbangan hak dan kewajiban negara, pemerintah (pusat, daerah

provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat), masyarakat dan

individu; dan

11. prinsip desentralisasi.

e. Bahwa dalam rangka pelaksanaan prinsip-prinsip diatas, salah satu arah kebijakan

utama yang harus dilakukan dalam pembaruan agraria adalah melakukan

pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang

36 Ibid., Pasal 4.

Universitas Sumatera Utara

Page 40: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

berkaitan dengan agraria dalam rangka kebijakan antarsektor demi terwujudnya

peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada prinsip-prinsip diatas.37

f. MPR menugaskan DPR RI bersama Presiden RI untuk segera mengatur lebih

lanjut pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam dengan

menjadikan Ketetapan ini sebagai landasan dalam setiap pembuatan kebijakan;

dan semua undang-undang dan peraturan pelaksanaannya yang tidak sejalan

dengan Ketetapan ini harus segera dicabut, diubah, dan/atau diganti.

38

Sebelum dikeluarkannya TAP MPR tentang Pembaruan Agraria pada tahun

2001, salah satu arahan kebijakan pembangunan di bidang ekonomi dalam GBHN

1999-2004 adalah mengembangkan kebijakan pertanahan untuk meningkatkan

pemanfaatan dan penggunaan tanah secara adil, transparan, dan produktif

mengutamakan hak-hak rakyat setempat, termasuk hak ulayat

39 dan masyarakat

adat,40 serta berdasarkan tata ruang wilayah yang serasi dan seimbang.41

37 Ibid., Pasal 5.

Ditegaskan

pula bahwa salah satu ciri sistem ekonomi kerakyatan adalah pemanfaatan dan

penggunaan tanah dan sumber daya alam lainnya, seperti hutan, laut, air, udara, dan

mineral secara adil, transparan dan produktif dengan mengutamakan hak-hak rakyat

38 Ibid., Pasal 6. 39 Kata ulayat berasal dari bahasa Minang, berarti “wilayahnya”. Lihat Boedi Harsono,

Hukum Agraria Indonesia, Sejarah………………, Op.Cit., hal. 83. 40 Masyarakat adat adalah masyarakat yang timbul secara spontan di wilayah tertentu

dengan rasa solidaritas yang besar diantara anggota dan memandang yang bukan anggota sebagai orang luar. Penggunaan wilayahnya sebagai sumber kekayaan yang dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh anggotanya. Pemanfaatan oleh orang luar harus mendapat izin dan pemberian imbalan tertentu berupa recognisi, Lihat dalam Maria. S.W. Sumardjono, Hak Ulayat dan Pengakuannya Dalam UUPA, (Jakarta: Kompas, 13 Mei 1993), hal. 4.

41 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000-2004, Lembaran Negara Nomor 206 Tahun 2000.

Universitas Sumatera Utara

Page 41: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

setempat, termasuk hak ulayat masyarakat adat dengan tetap menjaga kelestarian

fungsi lingkungan hidup.42

Terkait dengan dimulainya era desentralisasi, maka dalam rangka

pembangunan daerah, di samping aspek ruang, maka sebagian besar kegiatan

masyarakat berkaitan dengan tanah yang merupakan aset bagi perorangan, badan

usaha, dan publik yang wajib diakui. Pada saat ini masalah pengelolaan atau

administrasi pertanahan dilakukan oleh pemerintah untuk menjamin ketertiban proses

sertifikasi status tanah, penguasaan penggunaan, dan pengalihan pemilikan tanah,

penguasaan penggunaan, dan pengalihan pemilikan tanah. Peran pemerintah sangat

penting untuk menjamin kepastian hukum, kelancaran penggunaan tanah oleh semua

anggota masyarakat untuk berbagai kepentingan. Hal ini dilakukan dengan

mengembangkan kebijakan pertanahan untuk meningkatkan pemanfaatan dan

penggunan tanah secara adil, transparan dan produktifitas dengan mengutamakan

hak-hak rakyat setempat, termasuk hak ulayat dan masyarakat adat, serta berdasarkan

tata ruang wilayah yang serasi dan seimbang.

Untuk melaksanakan amanat GBHN 1999-2004, program pembangunan

prioritas untuk mempercepat pengembangan wilayah di bidang pertanahan adalah

dengan “Program Pengelolaan Pertanahan”. Tujuan dari program ini adalah

mengembangkan administrasi pertanahan untuk meningkatkan pemanfaatan dan

penguasaan tanah secara adil dengan mengutamakan hak-hak rakyat setempat

termasuk hak ulayat masyarakat hukum adat dan meningkatkan kapasitas

42 Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Page 42: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

kelembagaan pengelolaan pertanahan di pusat dan daerah. Sasaran yang ingin dicapai

adalah adanya kepastian hukum terhadap hak milik atas tanah; dan terselenggaranya

pelayanan pertanahan bagi masyarakat secara efektif oleh setiap pemerintah daerah

dan berdasarkan pada peraturan dan kebijakan pertanahan yang berlaku secara

nasional.43 Adapun kegiatan pokok yang dilakukan adalah (1) peningkatan pelayanan

pertanahan di daerah yang didukung sistem informasi pertanahan yang andal; (2)

penegakan hukum pertanahan secara konsisten; (3) penataan penguasaan tanah agar

sesuai dengan rasa keadilan; (4) pengendalian penggunaan tanah sesuai dengan

rencana tata ruang wilayah termasuk pemantapan sistem perizinan yang berkaitan

dengan pemanfaatan ruang atau penggunaan tanah didaerah; dan (5) pengembangan

kapasitas kelembagaan pertanahan di pusat dan daerah.44

2. Konsepsi

Dalam penelitian ini terdapat beberapa konsep dan terminologi yang perlu

untuk dijelaskan secara lebih rinci serta diberikan batasan dalam definisinya.

Penjelasan dan pemberian dimaksudkan untuk memberikan definisi atau gambaran

yang sama tentang konsep dan terminologi yang berhubungan topik pada penelitian

ini. Kerangka konsep yang digunakan dalam penulisan ini berasal dari undang-

undang dan pendapat ahli. Beberapa definisi dan batasan yang dapat digunakan

sebagai pedoman operasional dalam penulisan ini antara lain sebagai berikut :

43 Ibid. 44 Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Page 43: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

1. Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan

pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.45

2. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh

pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan

dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan

Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia tahun 1945.

Dalam hal ini

Pemerintah ialah seluruh aparat dari unit Pemerintah, baik yang berada di pusat

pemerintahan negara maupun instansi vertikal yang ada di daerah.

46 Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati,

atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan

daerah.47

3. Pembagian urusan pemerintah adalah pembagian kewenangan dalam

melaksanakan urusan pemerintahan (bukan merupakan pembagian kedaulatan).

48

4. Kewenangan adalah kemampuan yuridis dari orang atau badan berdasarkan

hukum publik.

49

45 Pasal 1 angka 1, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4493) yang telah ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 (Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4584);

46 Pasal 1 angka 2, Ibid. 47 Pasal 1 angka 3, Ibid. 48 H.M. Arief Muljadi, Landasan dan Prinsip Hukum Otonomi Daerah dalam Negara

Kesatuan RI, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2005), hal. 71. 49 H. Ateng Syafrudin, Pemahaman Tentang Dekonsentrasi, (Bandung: Refika Aditama,

2006), hal. 24.

Universitas Sumatera Utara

Page 44: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

5. Otonomi daerah adalah penyerahan sebagian urusan rumah tangga dari

pemerintah yang lebih atas kepada pemerintah di bawahnya dan sebaliknya

pemerintah di bawahnya yang menerima sebagian urusan tersebut telah mampu

melaksanakannya.50

6. Kewenangan pertanahan yang dilimpahkan kepada daerah adalah wewenang

mengatur dan menyelenggarakan peruntukan penggunaan, persediaan tanah di

daerah yang bersangkutan.

51 Kewenangan tersebut meliputi, perencanaan tanah

pertanian dan tanah nonpertanian sesuai dengan keadaan daerah masing-masing.52

7. Kewenangan pemerintah di bidang pertanahan yang dilaksanakan oleh

pemerintah kabupaten/kota adalah kewenangan pemberian izin lokasi;

penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan; penyelesaian

sengketa tanah garapan; penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah

untuk pembangunan; penetapan subjek dan objek redistribusi tanah, serta ganti

kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee, penetapan dan

penyelesaian masalah tanah ulayat; pemanfaatan dan penyelesaian tanah kosong;

50 Dharma Setyawan Salam, Otonomi Daerah Dalam Perspektif Lingkungan, Nilai, dan Sumber Daya (Jakarta: Penerbit Djambatan, 2003), hlm. 81. Kemudian pengertian otonomi daerah menurut Bhenyamin Hossein adalah pemerintahan oleh, dari, dan untuk rakyat di bagian wilayah nasional suatu negara melalui lembaga-lembaga pemerintahan yang secara formal berada di luar pemerintah pusat. Bhenyamin Hoessein, Perubahan Model, Pola, dan Bentuk Pemerintahan Daerah: Dari Era Orde Baru ke Era Reformasi, Op.Cit., hal. 18. Lihat juga pengertian daerah dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

51 Pasal 2 ayat (2) huruf a, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria.

52 Pasal 14 ayat (2) huruf a, Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Page 45: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

pemberian izin membuka tanah; perencanaan penggunaan tanah wilayah

kabupaten/kota. 53

G. Metode Penelitian

1. Spesifikasi Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat deskriptif, yaitu suatu penelitian

yang bertujuan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan dan menganalisis data

yang diperoleh secara sistematis, faktual dan akurat tentang kewenangan bidang

pertanahan dalam konteks otonomi daerah.

Spesifikasi penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah dengan

menggunakan penelitian hukum normatif. Mengambil istilah Ronald Dworkin, penelitian

semacam ini juga disebut dengan istilah penelitian doktrinal54 (doctrinal research), yaitu

penelitian yang menganalisis hukum, baik yang tertulis di dalam buku (law as it is

written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses

pengadilan (law as it decided by the judge through judicial process).55

53 Pasal 2, Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan.

Dalam penelitian

ini bahan kepustakaan dan studi dokumen dijadikan sebagai bahan utama sementara data

lapangan yang diperoleh melalui wawancara akan dijadikan sebagai data pendukung atau

pelengkap.

54 Penelitian sejenis ini disebut juga penelitian hukum doktrinal yaitu penelitian hukum yang mempergunakan data sekunder, Ronny Hanitijo, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), hlm. 10.

55 Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, Makalah, disampaikan pada Dialog Interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, tanggal 18 Februari 2003, hlm. 1.

Universitas Sumatera Utara

Page 46: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

2. Metode Pendekatan

Penelitian ini mempergunakan metode pendekatan deskriftif dengan melalui

pendekatan yuridis normatif, dimulai analisis terhadap pasal-pasal yang mengatur

hal-hal yang menjadi permasalahan diatas, dengan mengingat permasalahan yang

diteliti berdasarkan pada peraturan-peraturan perundang-undangan yaitu hubungan

peraturan satu dengan peraturan lain serta kaitannya dengan penerapannnya dalam

praktek.

3. Alat Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang relevan dengan permasalahan yang diteliti,

dilaksanakan dua tahap penelitian :

a. Studi dokumen (Documentary Study)

Studi Dokumen ini untuk mencari konsep-konsep, teori-teori, pendapat-pendapat

atau penemuan-penemuan yang berhubungan erat dengan pokok permasalahan.

Kepustakaan tersebut dapat berupa peraturan perundang-undangan, karya ilmiah

para sarjana dan lain-lain.

b. Wawancara (Interview)

Wawancara yang akan dilaksanakan dengan Pejabat pada Kantor Wilayah

Badan Pertanahan Provinsi Sumatera Utara yaitu Fachrul Husin, Nasution, SH.,M.Kn

(Kepala Seksi Penetapan Tanah Instansi Pemerintah)..

Universitas Sumatera Utara

Page 47: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

Pada prakteknya kedua jenis alat pengumpul data tersebut dapat dipergunakan

secara bersama-sama, karena disamping studi dokumen, peneliti juga melakukan

wawancara kepada instansi lain dalam kaitannya dengan penelitian ini.

4. Analisis Data

Setelah alat pengumpulan data dilakukan, maka data tersebut dianalisa secara

kualitatif56

yakni dengan mengadakan pengamatan data-data yang diperoleh dan

menghubungkan tiap-tiap data yang diperoleh tersebut dengan ketentuan-ketentuan

maupun asas-asas hukum yang terkait dengan permasalahan yang diteliti. Karena

penelitian ini normatif, dilakukan interpretasi dan konstruksi hukum dengan menarik

kesimpulan menggunakan cara deduktif menjawab dari permasalahan dan tujuan

penelitian yang ditetapkan.

5. Sumber data

Pengumpulan data diperoleh dari penelitian kepustakaan yang didukung

penelitian lapangan. Penelitian kepustakaan (library research) yaitu menghimpun

data dengan melakukan penelaahan bahan kepustakaan atau data sekunder

yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum

tertier.57

56 Bambang Sunggono, Metodelogi Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 10.

57 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Rajawali Press, 1995), hlm.39.

Universitas Sumatera Utara

Page 48: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Ketetapan MPR No.IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan

Sumber Daya Alam;

c. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria;

d. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;

e. Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 2001 tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah

di Bidang Pertanahan;

f. Keputusan Presiden Nomor 62 Tahun 2001 tentang Pelaksanaan Wewenang di

Bidang Pertanahan;

g. Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di

Bidang Pertanahan; dan

h. Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional

i. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan

Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah

Daerah Kabupaten/Kota;

j. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat

Daerah.

2. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer, seperti : hasil-hasil penelitian dan karya ilmiah

dari kalangan hukum, yang berkaitan dengan kewenangan bidang pertanahan

dalam konteks otonomi daerah.

3. Bahan tertier adalah bahan pendukung di luar bidang hukum seperti kamus

ensiklopedia atau majalah yang terkait dengan kewenangan bidang pertanahan

dalam konteks otonomi daerah.

Universitas Sumatera Utara

Page 49: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

BAB II

URUSAN PERTANAHAN MENURUT UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA

DAN UNDANG-UNDANG PEMERINTAHAN DAERAH

A. Hukum Tanah Nasional Indonesia

Hukum tanah di Indonesia pada jaman penjajahan bersifat dualisme, yakni di

satu sisi diatur dengan produk hukum kolonial, sedang di sisi lain diatur dengan

hukum adat, yakni untuk tanah-tanah yang dikuasai oleh masyarakat dan orang-orang

Indonesia asli (pribumi). Dualisme pengaturan hukum tanah tersebut menimbulkan

berbagai permasalahan, karena terhadap satu kesatuan tanah di wilayah Indonesia

berlaku hukum yang berbeda. Dualisme tersebut sesuai dengan politik “devide et

impera” yang diterapkan oleh Pemerintah Kolonial yang dengan sengaja memecah

belah bangsa Indonesia beserta seluruh asset bangsa, termasuk hak-hak atas tanah

yang dipunyai oleh bangsa Indonesia. Sudah barang tentu dualisme pengaturan

hukum tanah tersebut menimbulkan adanya ketidakpastian dalam hukum tanah

nasional, sehingga memicu terjadinya konflik antar golongan penduduk di Indonesia.

Dualisme tersebut kemudian diakhiri dengan dibentuknya Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Hukum Agraria atau disebut

juga dengan Undang-Undang Pokok Agraria (selanjutnya disingkat UUPA). UUPA

merupakan salah satu produk hukum nasional sebagai sarana unifikasi pengaturan

hukum tanah di Indonesia. Sumber utama hukum tanah nasional dalam UUPA adalah

Universitas Sumatera Utara

Page 50: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara,

yang berdasarkan atas persatuan bangsa dan sosialisme Indonesia, serta dengan

peraturan-peraturan yang tercermin dalamUndang-Undang Pokok Agraria Nomor. 5

Tahun 1960 (selanjutnya disebut UUPA) dan peraturan perundang-undangan

lainnya, dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.

Hukum tanah nasional adalah hukum tanah Indonesia yang bersifat tunggal

yang tersusun dalam suatu sistem berdasarkan alam pemikiran hukum adat mengenai

hubungan hukum antara masyarakat hukum tertentu dengan tanah ulayatnya. Menurut

C Van Vollenhoven di Indonesia terdapat 19 lingkaran hukum adat (rechtskring) di

mana pada masing-masing masyarakat hukum adat tersebut telah mempunyai

hubungan yang baik antara anggota masyarakat dengan tanah. Masyarakat hukum

adat tersebut merupakan satu kesatuan yang mempunyai alat-alat kelengkapan untuk

sanggup hidup dan berdiri sendiri, yaitu mempunyai kesatuan hukum, kesatuan

penguasa dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air

bagi semua anggotanya.58

Dalam perspektif hukum adat, maka antara kelompok masyarakat hukum adat

mempunyai hubungan yang erat dengan tanah. Tanah-tanah tersebut tidak hanya

diperuntukkan bagi generasi saat itu, tetapi juga diperuntukkan bagi generasi

berikutnya dari kelompok masyarakat hukum adat tersebut. Konsep seperti itu

58 Van Vollenhoven, 1925, Het Adatrecht van Nederlandsch Indie, Jilid I Bagian Pertama. Lihat juga Arie Sukanti Hutagalung dan Markus Gunawan, Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan, (Jakarta: Rajawali Press, 2008), hal. 16. Lihat juga Hazairin, Demokrasi Pancasila, (Jakarta: Tinta Mas, 1973), hal. 44.

Universitas Sumatera Utara

Page 51: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

menurut Budi Harsono disebut sebagai konsep komunalistik religius, sehingga

memungkinkan penguasaan bagian-bagian tanah bersama sebagai karunia Tuhan

Yang Maha Esa oleh para warga Negara secara individual, dengan hak-hak atas tanah

yang bersifat pribadi sekaligus mengandung unsure kebersamaan.59

Hukum tanah Barat (Eropa) yang didasarkan pada semangat individualisme

dan liberalisme jelas tidak sesuai dengan way of life bangsa Indonesia yang bersifat

komunal dan religius. Konsep individualisme dan liberalisme tersebut tidak

membawa kemakmuran bagi rakyat, karena kemakmuran hanya dimiliki oleh

segelintir orang atau kelompok yang memiliki tanah dan alat-alat produksi. Dalam

konsep hukum tanah Barat yang dapat dilihat dalam Burgerlijk Wetboek (BW) hak

perseorangan, termasuk hak atas tanah, disebut sebagai hak eigendom yang

merupakan hak penguasaan atas tanah yang tertinggi. Sebagai hak yang paling

sempurna maka pemegang hak eigendom dapat berbuat apa saja terhadap tanah-tanah

yang dimiliki, termasuk menjual, menggadaikan, menghibahkan, bahkan merusaknya

sekalipun asal tidak bertentangan dengan undang-undang atau hak orang lain.

Dibanding

dengan konsep hukum tanah barat atau feodal maka hukum tanah nasional yang

didasarkan pada hukum adat adalah sesuai dengan falsafah dan budaya bangsa

Indonesia.

60

Sedang konsep hukum tanah feodal tidak sesuai dengan hukum tanah

nasional, karena menurut konsep feodal hak penguasaan tanah yang tertinggi adalah

59 Budi Harsono, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional dalam Hubungannya Dengan TAP MPR RI No. IX/MPR/2001, (Jakarta: Universitas Trisakti, 2002), hal. 49.

60 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2001), hal. 69.

Universitas Sumatera Utara

Page 52: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

hak milik raja. Semua tanah yang ada di seluruh wilayah kerajaan adalah milik

sepenuhnya dari raja yang bersangkutan. Di negara-negara yang tidak menganut

sistem kerajaan, kemudian dilakukan analog bahwa tanah-tanah adalah milik negara,

sehingga penguasaan tertinggi atas tanah ada pada negara sebagai pengganti

kedudukan raja. Dalam hukum tanah barat yang pernah berlaku di Indonesia ada

konsep Domein Verklaring berdasarkan Agrarishce Wet 1848 yang didasarkan pada

keputusan (Besluit) Raja Belanda bahwa terhadap tanah-tanah yang tidak dapat

dibuktikan kepemilikannya oleh rakyat Indonesia, maka menjadi hak (domein)

negara. Berdasarkan ketentuan tersebut maka terhadap hak-hak atas tanah yang

dikuasai oleh masyarakat hukum adat Indonesia yang tidak ada bukti kepemilikannya

menurut hukum tanah Barat berdasarkan prinsip Domein Verklaring, maka tanah-

tanah tersebut adalah menjadi milik negara.

Ketentuan dalam Agrarische Wet dan hukum tanah peninggalan Pemerintah

Penjajah Belanda kemudian dicabut dengan Undang-Undang Pokok Agraria Nomor.

5 Tahun 1960 (selanjutnya disebut UUPA) yang tidak membedakan hak-hak

kepemilikan atas tanah baik yang dikuasai dengan hukum Barat maupun hukum adat.

Melalui pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960

(selanjutnya disebut UUPA) ini maka hak-hak atas tanah yang sebelumnya dibagi

berdasarkan hak atas tanah menurut hukum Barat dan hak atas tanah menurut hukum

tanah nasional. Terhadap tanah-tanah yang sampai berlakunya UUPA masih

menggunakan nama hak atas tanah yang lama maka kemudian dilakukan konversi

menjadi hak-hak atas tanah nasional menurut UUPA sebagaimana yang diatur dalam

Universitas Sumatera Utara

Page 53: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

Pasal 16, yaitu terdiri atas hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai,

hak sewa dan hak-hak lainnya.

Kelahiran Undang-Undang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960 (selanjutnya

disebut UUPA) dinilai sebagai suatu keberhasilan perjuangan bangsa Indonesia dalam

melepaskan diri dari belenggu hukum kolonial yang pada dua dekade pasca

kemerdekaan Indonesia Tahun 1945 masih menguasai hukum di Indonesia. Melalui

UUPA maka bangsa Indonesia berarti telah melepaskan diri dari keterikatan terhadap

peraturan hukum tanah yang bersendikan pemerintah jajahan yang amat bertentangan

dengan kepentingan dan jiwa bangsa Indonesia, sehingga kontraproduktif dengan

kepentingan dan tujuan pembangunan nasional. Kelahiran UUPA sesuai dengan

kondisi Indonesia sebagai negara agraris dan negara kepulauan di mana keberadaan

bumi, air dan ruang angkasa sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai

fungsi yang amat penting untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur

sesuai cita-cita bangsa Indonesia. Oleh karena itu hukum tanah nasional yang berlaku

harus memberikan kemungkinan tercapainya fungsi bumi, air dan ruang angkasa

sesuai dengan cita-cita dan kepentingan seluruh rakyat Indonesia.

Hukum tanah nasional harus merupakan penjelmaan dari asas dan cita-cita

hukum (recht idée) Bangsa Indonesia sesuai nilai-nilai Pancasila, yakni bersendikan

pada nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan, Kebangsaan,

Kerakyatan dan Keadilan Sosial serta harus merupakan implementasi dari ketentuan

nasional tentang bumi, air dan ruang angkasa sebagaimana diatur dalam Pasal 33

UUD 1945. Dalam Penjelasan Undang-Undang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960

Universitas Sumatera Utara

Page 54: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

(selanjutnya disebut UUPA) selain untuk mengakhiri dualisme pengaturan hukum

tanah, ada beberapa tujuan lain, yaitu :

1. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agrarian nasional, yang akan

merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi

Negara dan rakyat terutama rakyat tani dalam rangka menuju masyarakat adil dan

makmur.

2. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam

hukum pertanahan.

3. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak

atas tanah bagi rakyat seluruhnya.

Untuk mencapai tujuan pertama, maka prinsip-prinsip utama yang perlu

dipertegas dalam usaha meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum tanah

nasional sebagai alat untuk membawa kemakmuran rakyat Indonesia, khususnya

rakyat tani guna menuju masyarakat adil dan makmur adalah :

1. Dasar kenasionalan sebagaimana diletakkan dalam Pasal 1 ayat 1 Undang-

Undang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960 (selanjutnya disebut UUPA) yang

meyatakan bahwa : “Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari

seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai Bangsa Indonesia”. Demikian

pula dalam Pasal 1 ayat 2 UUPA yang menyebutkan bahwa : “Seluruh bumi, air

dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya

merupakan Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai karunia

Universitas Sumatera Utara

Page 55: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

Tuhan Yang Maha Esa, adalah bumi, air dan ruang angkasa Bangsa Indonesia

yang merupakan kekayaan nasional”.

Hubungan bangsa Indonesia dengan bumi, air dan ruang angkasa merupakan

sejenis hubungan hak ulayat yang diangkat pada tingkat yang paling atas, yaitu

mengenai seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Adapun

hubungan antara bangsa dan bumi, air, serta ruang angkasa Indonesia itu adalah

hubungan yang bersifat abadi. Adanya hubungan antara bangsa dan bumi, air

serta ruang angkasa tersebut tidak berarti bahwa hak milik perseorangan atas

sebagian dari bumi tidak dimungkinkan lagi. Hanya permukaan bumi saja, yaitu

yang disebut tanah, yang dapat dihaki oleh seseorang. Selain hak milik sebagai

hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah,

terdapat juga hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa dan hak-

hak lainnya.

2. Negara tidak bertindak sebagai pemilik tanah, melainkan bertindak selaku badan

penguasa. Dari kata “dikuasai” oleh Negara bukan berarti “dimiliki” namun

merupakan pengertian yang memberi wewenang kepada Negara sebagai

organisasi kekuasaan dari bangsa Indonesia pada tingkatan tertinggi untuk

mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan

pemeliharaannya, menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas

bagian dari bumi (yaitu tanah), air dan ruang angkasa itu, menentukan dan

mengatur hubungan-hubangan hukum antara orang-orang dan perbuatan-

perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Semuanya itu

Universitas Sumatera Utara

Page 56: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

dengan tujuan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam

rangka menuju masyarakat adil dan makmur.

3. Pengakuan adanya hak ulayat sepanjang hak tersebut menurut kenyataannya

memang masih ada pada masyarakat hukum adat yang bersangkutan.

Kepentingan suatu masyarakat hukum adat harus tunduk pada kepentingan

nasional dan Negara yang lebih luas, dan terkait dengan pelaksanaan hak ulayat

harus sesuai dengan kepentingan yang lebih luas tersebut.

4. Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Hal ini bermakna bahwa

penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaan tanah bersangkutan serta

sifat haknya, sehingga bermanfaat bagi kesejahteraan dan kebahagiaan bagi

pihak yang mempunyainya, serta bermanfaat bagi masyarakat dan Negara.

Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah saling

mengimbangi, sehingga pada akhirnya akan tercapai tujuan pokok, yakni

kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat secara keseluruhan.

5. Sesuai dengan asas kebangsaan maka hanya warga Negara Indonesia saja yang

dapat mempunyai hak milik atas tanah. Hak milik tidak dapat dipunyai oleh

orang asing dan pemindahan hak milik kepada orang asing adalah dilarang.

Orang-orang asing dapat mempunyai tanah dengan hak pakai yang luasnya

terbatas. Meskipun pada dasarnya badan-badan hukum tidak dapat mempunyai

hak milik atas ranah, namun mengingat akan keperluan masyarakat yang sangat

erat hubungannya dengan paham keagamaan, sosial dan hubungan

perekonomian, maka diadakanlah suatu “escape clause” yang memungkinkan

Universitas Sumatera Utara

Page 57: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

badan-badan hukum tertentu mempunyai hak milik. Badan-badan hukum yang

bergerak dalam lapangan sosial dan keagamaan ditunjuk oleh Pasal 49 Undang-

Undang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960 (selanjutnya disebut UUPA)

sebagai badan-badan yang dapat mempunyai hak milik atas tanah, tetapi

sepanjang tanahnya diperlukan untuk usahanya dalam bidang sosial keagamaan

tersebut.

6. Tiap-tiap warga Negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai

kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk

mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.

Untuk itu perlu diadakan perlindungan bagi golongan warga Negara yang lemah

terhadap sesama warga Negara yang kuat kedudukan ekonominya. Berkaitan

dengan hal tersebut maka terdapat ketentuan-ketentuan yang bermaksud

mencegah terjadinya penguasaan atas kehidupan dan pekerjaan orang lain yang

melampaui batas dalam bidang-bidang usaha pertanahan yang bertentangan

dengan asas keadilan sosial yang berperikemanusiaan. Segala usaha bersama

dalam lapangan pertanahan harus didasarkan atas kepentingan bersama dalam

rangka kepentingan nasional.

7. Tanah-tanah pertanian harus dikerjakan atau diusahakan secara aktif oleh

pemiliknya sendiri. Agar semboyan ini dapat diwujudkan, maka perlu diadakan

ketentuan-ketentuan lain yang mengatur, misalnya batas minimum luas tanah

pertanian yang dapat dimiliki oleh petani. Ketentuan ini dibuat agar para petani

mendapat penghasilan yang cukup untuk hidup yang layak bagi diri sendiri dan

Universitas Sumatera Utara

Page 58: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

keluarganya. Di samping itu perlu diatur pula tentang batas maksimum luas tanah

yang dapat dimiliki dengan hak milik, agar dapat dicegah terjadinya akumulasi

atau penumpukan tanah pada satu tangan atau keluarga atau golongan tertentu

saja. Dalam hubungan ini maka Pasal 7 Undang-Undang Pokok Agraria Nomor.

5 Tahun 1960 (selanjutnya disebut UUPA) memuat suatu asas yang penting,

yaitu bahwa pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak

diperkenankan atau dilarang karena dapat merugikan kepentingan umum.

8. Untuk mencapai apa yang menjadi cita-cita bangsa dan Negara Indonesia di

bidang pertanahan, maka perlu adanya suatu rencana mengenai peruntukan,

penggunaan dan persediaan bumi, air dan ruang angkasa untuk pelbagai

kepentingan hidup rakyat dan Negara. Rencana umum (general plan) tersbut

meliputiseluruh wilayah Indonesia, yang kemudian diperinci menjadi rencana-

rencana khusus dari tiap-tiap daerah di seluruh Indonesia. Dengan adanya

perencanaan tersebut, maka penggunaan tanah dapat dilakukan secara terencana,

terpimpin dan teratur sehingga dapat membawa manfaat yang sebesar-besarnya

bagi Negara dan seluruh rakyat Indonesia.

Selanjutnya untuk mencapai tujuan kedua dari diterbitkannya Undang-

Undang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960 (selanjutnya disebut UUPA), yakni

meletakkan dasar-dasar untuk melakukan unifikasi dan kesederhanaan hukum tanah

nasional, maka ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dan dilaksanakan, yaitu:

1. UUPA bermaksud menghilangkan dualisme peraturan dan secara sadar hendak

mengadakan kesatuan atau unifikasi hukum sesuai dengan keinginan rakyat

Universitas Sumatera Utara

Page 59: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

sebagai bangsa yang bersatu dan sesuai pula dengan kepentingan perekonomian

nasional. Hal ini penting mengingat tanah merupakan salah satu asset atau modal

bangsa dan sebagai salah satu sarana untuk menunjang kegiatan di bidang

ekonomi.

2. Upaya menyelenggarakan unifikasi hukum melalui Undang-Undang Pokok

Agraria Nomor. 5 Tahun 1960 (selanjutnya disebut UUPA) tidak tertutup

kemungkinan masih adanya perbedaan di dalam masyarakat dan keperluan hukum

yang ada dalam golongan-golongan masyarakat tersebut. Perbedaan yang

didasarkan atas perbedaan golongan rakyat tersebut misalnya perbedaan dalam

keperluan atau kebutuhan hukum dari golongan rakyat yang berada di kota dan

pedesaan, serta keperluan dan kepentingan bagi rakyat yang secara ekonomis kuat

dengan rakyat yang secara ekonomis berada dalam kategori lemah. Oleh karena

itu perlu dijamin adanya perlindungan terhadap kepentingan bagi golongan

ekonomi lemah.

3. Melalui prinsip unifikasi hak-hak atas tanah yakni dihapusnya hak-hak atas tanah

menurut hukum Barat dan hukum adat, maka berarti maksud untuk mencapai

kesederhanaan dan kesatuan dalam pengaturan hukum tanah nasional, dengan

sendirinya akan tercapai.

Berikutnya untuk mencapai tujuan ketiga, yakni untuk memberikan kepastian

hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat secara keseluruhan, hal itu sudah

tercantum dalam pasal-pasal mengenai pendaftaran tanah. Pasal 23, Pasal 32 dan

Pasal 38 UUPA yang berkaitan dengan pendaftaran tanah ditujukan kepada

Universitas Sumatera Utara

Page 60: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, dengan maksud agar mereka

memperoleh kepastian tentang haknya. Di samping itu dalam Pasal 19 Undang-

Undang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960 (selanjutnya disebut UUPA) yang

mengatur mengenai pendaftaran tanah juga ditujukan kepada Pemerintah sebagai

suatu instruksi untuk menjalankan pendaftaran tanah agar di seluruh wilayah

Indonesia diadakan pendaftaran tanah yang bersifat “rechts kadaster” yang bertujuan

untuk menjamin kepastian hukum bagi hak-hak atas tanah di seluruh wilayah

Indonesia.

Kendati hukum tanah nasional telah diunifikasi melalui Undang-Undang

Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960 (selanjutnya disebut UUPA), namun beberapa

ketentuan baru sesuai perkembangan masyarakat belum terakomodasi dalam UUPA.

Menurut Maria S.W Soemardjono, UUPA masih meninggalkan banyak pekerjaan

rumah. Di samping itu, masalah pertanahan yang dihadapi tidak semakin berkurang,

namun justru malah bertambah dalam kompleksitasnya. Oleh karena itu di dalam

pembentukan peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksana

UUPA ataupun peraturan-peraturan lain yang relevan, pada umumnya tidak

dilengkapi dengan pemikiran yang tuntas terhadap peraturan pelaksananya.

Kesenjangan ini jika dibiarkan terlalu lama sudah barang tentu akan menimbulkan

ketidakpastian hukum.61

61 Maria S.W Soemardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005), hal. 7.

Guna mengantisipasi perkembangan di bidang hukum tanah,

maka harus senantiasa dilakukan modernisasi terhadap ketentuan dalam UUPA

Universitas Sumatera Utara

Page 61: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

melalui interpretasi dan analogi. Tidak kalah pentingnya adalah dilakukan

pembaharuan dengan mengubah Undang-Undang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun

1960 (selanjutnya disebut UUPA) yang sudah berusia hampir setengah abad ini

dengan undang-undang baru yang disesuaikan dengan perkembangan terkini di

bidang hukum tanah nasional.

B. Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia

Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah pada masa Orde Baru diatur

dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan

Daerah. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 lebih banyak menitikberatkan pada

penyelenggaraan pemerintahan yang sentralistik ketimbang desentralisasi atau

otonomi daerah. Sistem pemerintahan yang sentralistik tersebut terselubung melalui

pelaksanaan dekonsentrasi, karena sesungguhnya dekonsentrasi merupakan

penghalusan dari sentralistik. Dekonsentrasi juga merupakan sarana ampuh bagi

seperangkat birokrasi Pemerintah Pusat untuk menjalankan praktik sentralisasi,

sehingga mengakibatkan daerah selalu tergantung kepada Pemerintah Pusat yang

pada akhirnya berakibat mengurangi kemandirian daerah dan menjadi penghambat

bagi proses pembangunan dan pengembangan Daerah.

Seiring dengan bergulirnya era reformasi maka kemudian dilakukan

perombakan secara radikal terhadap sistem pemerintahan daerah melalui Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang ini

mengubah hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Daerah dari yang bersifat

Universitas Sumatera Utara

Page 62: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

sentralistik menjadi desentralisasi. Esensi dari desentralisasi adalah pelaksanaan

otonomi daerah secara luas. Istilah otonomi berasal dari bahasa Yunanai, yaitu autos

yang artinya sendiri dan nomos yang artinya peraturan. Secara harafiah otonomi

berarti peraturan sendiri atau undang-undang sendiri, yang kemudian berkembang

pengertiannya menjadi menjalankan pemerintahan sendiri.62

Otonomi daerah adalah penyerahan sebagian urusan rumah tangga dari

pemerintah yang lebih tinggi kepada pemerintah di bawahnya dan sebaliknya

pemerintah di bawah yang menerima penyerahan atau pelimpahan tersebut mampu

melaksanakannya. Ada pula yang memaknai otonomi daerah sebagai pemberian hak,

wewenang dan kewajiban kepada daerah yang memungkinkan daerah tersebut untuk

mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri guna meningkatkan daya guna dan

hasil guna dalam penyelenggaraan pemerintahan untuk meningkatkan pelayanan

kepada masyarakat dan dalam pelaksanaan pembangunan daerah.

Selama ini ada yang menyamakan pengertian otonomi daerah dan

desentralisasi, walaupun sebenarnya pengertian otonomi daerah dan desentralisasi

tidaklah sama. Secara singkat istilah desentralisasi mengandung pengertian adanya

pembentukan daerah otonom atau penyerahan wewenang tertentu kepada daerah

otonom yang dibentuk oleh Pemerintah Pusat. Sedang istilah otonomi daerah

mengandung arti pemerintahan yang dijalankan oleh, dari dan untuk rakyat di bagian

62 Dharma Setyawan Salam, Otonomi Daerah Dalam Perspektif Lingkungan Nilai dan Sumber Daya Alam, (Jakarta: Djambatan, 2003), hal. 81.

Universitas Sumatera Utara

Page 63: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

wilayah nasional suatu Negara melalui lembaga-lembaga pemerintahan yang secara

formal berada di luar Pemerintah Pusat.63

Dalam otonomi daerah terdapat dua komponen utama, yaitu Pertama,

komponen wewenang untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan sebagai

komponen yang mengacu pada konsep “pemerintahan” yang terdapat di dalam

pengertian otonomi. Kedua, komponen kemandirian sebagai komponen yang

mengacu pada kata-kata “oleh, dari dan untuk rakyat”. Kemandirian tersebut

diterjemahkan oleh Mohammad Hatta sebagai upaya untuk mendorong tumbuhnya

prakarsa dan aktivitas sendiri.

64

Kewenangan yang merupakan komponen pertama otonomi daerah diperoleh

dari Pemerintah Pusat melalui desentralisasi wewenang, dan wewenang tersebut

merupakan kekuasaan formal (formal power) dalam bidang-bidang kehidupan yang

terliput di dalam wewenang yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat berdasarkan

peraturan perundang-undangan. Sebagai wujud dari penyelenggaraan pemerintahan

daerah, maka daerah yang memiliki otonomi (Daerah Otonom) harus memiliki

sumber keuangan yang dikelola secara terpisah dari keuangan Pemerintah Pusat

Dari komponen kedua tersebut terlihat bahwa

otonomi daerah adalah penyelenggaraan pemerintahan oleh daerah yang

diselenggarakan secara demokratis dengan melibatkan rakyat secara langsung dalam

penyelenggaraan pemerintahan.

63 Bhenyamin Hoessein, Berbagai Faktor yang Mempengaruhi Besarnya Otonomi Daerah Tingkat II : Suatu Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah Dari Segi Ilmu Administrasi Negara, Disertasi, Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1993, hal. 17.

64 Ibid., hal. 18.

Universitas Sumatera Utara

Page 64: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

untuk mendukung dan melaksanakan kebijakan di daerahnya terutama untuk tugas-

tugas rutin dan tugas pembangunan demi untuk meningkatkan kesejahteraan

masyarakat.

Dengan demikian maka wewenang yang dilimpahkan oleh Pemerintah Pusat

kepada Daerah dapat diperbesar atau diperkecil atau juga dapat ditarik/dicabut

kembali secara keseluruhan. Penambahan bobot atau besaran wewenang oleh

Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah tidak akan mengakibatkan munculnya

staat atau negara dalam negara di negara bersangkutan. Pelimpahan wewenang

tersebut tidak meliputi kewenangan untuk menetapkan produk legislatif yang disebut

secara formal dalam undang-undang, dan kewenangan mengadili atau yudikatif

(rechtspraak) seperti yang dimiliki oleh suatu negara bagian dalam sistem federal.

Komponen kedua yaitu kemandirian dalam otonomi daerah dapat dilihat dari

adanya kemandirian Pemerintah Daerah untuk menggali Pendapatan Asli Daerah

(PAD), di samping bantuan dari Pemerintah Pusat dalam bentuk Dana Alokasi Umum

(DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Apabila suatu daerah memiliki PAD lebih

besar dari DAU dan DAK yang diperoleh dari Pusat, berarti Daerah yang bersangkutan

mempunyai kemandirian yang lebih besar, dibanding daerah yang PAD-nya kecil.

Apabila PAD suatu daearah kecil, maka daerah tersebut ketergantungannya kepada

Pemerintah Pusat sangat besar karena dana untuk penyelenggaraan pemerintahan dan

pembangunan masih ditopang oleh Pemerintah Pusat.

Menurut Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang

Pemerintah Daerah, dikatakan bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang dan

Universitas Sumatera Utara

Page 65: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan

kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Sedang pengertian desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh

Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan

pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 1 angka 7).

Daerah otonom sebagai penerima penyerahan wewenang dari Pemerintah adalah

kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang

mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat

menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara

Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 1 angka 6).

Penyelenggaraan otonomi daerah di Indonesia merupakan amanat UUD 1945

yang intinya menyatakan bahwa Pemerintah Daerah berwenang untuk mengatur dan

mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya

kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran

serta masyarakat. Melalui otonomi luas maka daerah diharapkan mampu

meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan,

keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah

dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia diterapkan prinsip otonomi

seluas-luasnya dalam arti kepada daerah diberikan kewenangan mengurus dan

mengatur semua urusan pemerintahan yang diterapkan berdasarkan undang-undang.

Universitas Sumatera Utara

Page 66: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

Daerah memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan daerah guna member

pelayanan, peninhkatan peran serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang

bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Di samping itu juga diterapkan

prinsip otonomi nyata dan bertanggung jawab, yakni bahwa dalam menangani urusan

pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang

senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai

dengan potensi dan kekhasan daerah. Isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak

selalu sama dengan daerah lainnya.

Prinsip otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam

penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian

otonomi, yaitu untuk memberdayakan daerah dan meningkatkan kesejahteraan rakyat

yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional. Oleh karena itu penyelenggaraan

otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat

dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat.

Otonomi daearah juga harus menjamin keserasian hubungan antara daerah dengan daerah

lain, yaitu mampu membangun kerjasama antar daerah untuk meningkatkan

kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antar daerah. Di samping itu juga

harus dijamin keserasian hubungan antara Daerah dengan Pusat, artinya harus mampu

memelihara dan menjaga keutuhan wilayah Negara dan tetap tegaknya Negara Kesatuan

Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan Negara.

Penyelenggaraan otonomi daerah di Indonesia sebenarnya sudah dimulai sejak

Tahun 1903 dengan keluarnya Decentralisatie Wet. Pada tahun 1903 Pemerintah

Universitas Sumatera Utara

Page 67: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

Belanda menetapkan Wet Houdende Descentralisatie van het Bestuur in Nederlandsh

Indie (Stb. 1903 No. 219 dan Stb. 1903 No. 329). Kelahiran Undang-Undang

Desentralisasi tersebut disebabkan oleh adanya dorongan dari berbagai pihak tentang

perlunya diberikan kemandirian kepada bangsa Indonesia untuk mengatur

pemerintahan sendiri. Untuk melaksanakannya maka kemudian oleh Pemerintah

Kolonial dibentuk daerah otonom di wilayah gewest sedang bagian gewest yang

bercorak perkotaan disebut gemeente. Pembentukan daerah otonom dan pelaksanaan

pemerintahannya pada jaman colonial tersebut merupakan titik awal dari adanya

hubungan antara pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia.65

Tuntutan adanya perubahan sistem pemerintahan di Hindia Belanda tersebut

didasarkan pada politik etis (etische politiek) yang dipelopori oleh Van Deventer.

Berdasarkan Undang-Undang Desentralisasi 1903 tersebut maka Pemerintah Hindia

Belanda dimungkinkan membentuk daerah otonom beriktu Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah di daerah otonom tersebut, yaitu di luar dari otonomi yang sudah ada

sebelumnya yaitu Swapraja dan Desa yang berdasarkan hukum adat.

66

65 Safri Nugraha, dkk, Hukum Administrasi Negara, (Depok-Jakarta: CLGS-FHUI, 2007), hal. 20.

Kendati

dimungkinkan dibentuk daerah otonom berdasarkan Decentralisatie Wet 1903,

namun penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan prinsip otonomi pada waktu itu

tidaklah sama dengan desentralisasi yang dijalankan pada masa setelah kemerdekaan,

karena sudah menjadi ciri khas dari setiap pemerintah kolonial yang lebih

66 Soetandyo Wignyosoebroto, Desentralisasi Dalam Tata Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda, (Malang: Bayumedia, 2004), hal. 24.

Universitas Sumatera Utara

Page 68: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

mengutamakan pengerukan dan pengurasan kekayaan alam serta penguasaan sumber

daya manusia atas negara jajahannya.67

Otonomi daerah di Indonesia kemudian berkembang pesat seiring tumbangnya

rezim Orde Baru pada tahun 1998. Seperti kita ketahui pada era Orde Baru sistem

pemerintahan diselenggarakan secara sentralistis, yakni semuanya dikendalikan oleh

Pemerintah Pusat. Kemudian ketika rezim Orde Reformasi berkuasa maka dilakukan

perubahan yang sangat radikal dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, yakni

dari sentralisasi ke desentralisasi. Melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999

Tentang Pemerintahan Daerah dilakukan perimbakan pengaturan hubungan antara

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai prinsip keadilan dan kesetaraan.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah kemudian

diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

yang juga mengatur pelimpahan urusan atau kewenangan dari Pemerintah Pusat

kepada Pemerintah Daerah. Namun tidak semua urusan pemerintahan

diserahkan/dilimpahkan kepada Daerah. Terdapat sebelas urusan pemerintahan yang

sebelumnya dipegang penuh oleh Pemerintah Pusat kemudian diserahkan kepada

Pemerintah Daerah untuk diurusi sendiri, salah satunya adalah urusan pemerintahan

di bidang pertanahan.

67 Lihat Sudono Syueb, Dinamika Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sejak Jaman Penjajah sampai Era Reformasi, (Yogyakarta: LaksBang Mediatama, 2008), hal. 22.

Universitas Sumatera Utara

Page 69: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

C. Kewenangan Pemerintah Dalam Urusan Pertanahan Menurut Peraturan Perundang-undangan

1. Kewenangan Pertanahan Menurut Undang-Undang Pokok Agraria

Perbuatan hukum oleh pemerintah dapat berupa pengaturan atau mengatur,

yaitu suatu perbuatan hukum publik pemerintah yang bersegi satu atau sepihak

(eenzijdige publiekrechtelijke handeling) yang mengikat atau berlaku secara umum

sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pengaturannya.

Wewenang mengatur atau pengaturan berkaitan dengan kekuasaan atau otoritas yang

harus ditaati oleh pihak yang diatur. Pengaturan ini berbeda dengan pembuatan

undang-undang atau legislasi, yaitu pembuatan peraturan perundang-undangan untuk

mengatur kelakuan sosial yang dilakukan secara spesifik oleh suatu badan

representative atau perwakilan.

Hak untuk mengatur dari negara atau pemerintah disebut sebagai wewenang

atau kewenangan atau bevoegdheid. Wewenang tersebut haruslah sah atau rechtmatig

yang memiliki tiga fungsi, yaitu :

1. Bagi aparat pemerintahan, asas keabsahan berfungsi sebagai norma pemerintahan

(bestuurnormen);

2. Bagi masyarakat, asas keabsahan berfungsi sebagai alas an mengajukan gugatan

terhadap tindak pemerintahan (beroepsgronden);

3. Bagi hakim, asas keabsahan berfungsi sebagai dasar pengujian suatu tindak

pemerintahan (toetsingsgronden).

Universitas Sumatera Utara

Page 70: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

Jadi, persoalan kewenangan tidak terlepas kaitannya dengan Hukum Tata

Negara atau Hukum Administratif Negara (Hukum Tata Pemerintahan), karena kedua

bidang hukum tersebut mengatur tentang kewenangan. Hukum administratif berisi

norma hukum pemerintahan yang menjadi parameter terhadap penggunaan

kewenangan oleh badan-badan pemerintah. Parameter yang dipakai dalam

penggunaan kewenangan tersebut adalah kepatuhan hukum atau ketidakpatuhan

hukum (improper legal or improper illegal). Apabila terjadi penggunaan kewenangan

secara improper illegal maka badan pemerintah yang berwenang harus

mempertanggungjawabka secara hukum.68

Suatu kewenangan harus didasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku

sehingga bersifat sah. Perihal kewenangan dapat dilihat pada konstitusi Negara yang

memberikan legitimasi kepada badan publik dan lembaga Negara dalam menjalankan

fungsinya. Suatu kewenangan dapat diperoleh dari tiga sumber, yaitu atribusi,

delegasi dan mandate. Kewenangan atribusi lazim digariskan melalui pembagian

kekuasaan Negara yang diatur dalam Undang-Undang Dasar, sedang delegasi dan

mandat merupakan suatu kewenangan yang berasal dari pelimpahan. Perbedaan

antara kewenangan berdasatkan delegasi dan mandate menurut Philipus M Hadjon

adalah terletak pada prosedur pelimpahannya, tanggung jawab dan tanggung

gugatnya serta kemungkinan dipergunakannya kembali kewenangan tersebut.

69

68 Tatik Sri Djatmiati, Prinsip-prinsip Ijin Usaha Industri di Indonesia, Disertasi, Program Pascasarjana UNAIR, Surabaya, 2002, hal. 61.

69 Philipus M. Hadjon, 1994, Fungsi Normatif Hukum Administrasi dalam Mewujudkan Pemerintah yang Bersih, Pidato Pengukuhan Guru Besar UNAIR, Surabaya, 10 Oktober 1994, hal.8.

Universitas Sumatera Utara

Page 71: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

Dilihat dari prosedur pelimpahannya pada delegasi, pelimpahan wewenang

terjadi dari suatu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya, yang

dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Sedang pada mandat

pelimpahan wewenang umumnya terjadi dalam hubungan rutin antara bawahan

dengan atasan, kecuali yang secara tegas dilarang. Ditinjau dari segi tanggung jawab

dan tanggung gugatnya, pada delegasi, tanggung jawab dan tanggung gugatnya

beralih kepada delegataris, sedang pada mandat tetap berada pada pemberi mandat

(mandans). Ditinjau dari segi kemungkinan pemberi wewenang berkehendak

menggunakan kembali wewenang tersebut, pada delegasi pemberi wewenang

(delegans) tidak dapat menggunakan wewenang itu lagi, kecuali setelah ada

pencabutan dengan berpegang teguh pada asas contrarius actus, sedang pada pemberi

mandate wewenang mandate (mandans) setiap saat dapat menggunakan sendiri

wewenang dilimpahkan.

Pengaturan kewenangan pemerintahan di bidang pertanahan juga diatur dalam

undang-undang dasar dan undang-undang. Dalam Pasal 33 (3) UUD 1945 disebutkan

bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh

Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Dari kata

“dikuasai oleh negara” terlihat bahwa kewenangan di bidang pertanahan

dilaksanakan oleh Negara yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Pemerintah

Pusat. Berdasarkan kewenangan yang bersumber pada konstitusi tersebut maka

kemudian diterbitkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 yang mengatur masalah

keagrariaan atau pertanahan sebagai bagian dari bumi.

Universitas Sumatera Utara

Page 72: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

Dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960

(selanjutnya disebut UUPA) disebutkan bahwa Negara sebagai personifikasi dari

seluruh rakyat diberi wewenang untuk mengatur, yaitu membuat peraturan,

menyelenggarakan dalam arti melaksanakan (execution), menggunakan (use),

menyediakan (reservation) dan memelihara (maintenance) atas bumi, air dan ruang

angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Berdasarkan hak

menguasai negara atas bumi, air dan kekayaan alam tersebut, maka kewenangan

penguasaan dan pengurusan bidang pertanahan ada pada Negara, di mana di bidang

eksekutif (pemerintahan) dijalankan oleh Presiden (pemerintahan) atau didelegasikan

kepada menteri.70

Selanjutnya dalam Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Pokok Agraria Nomor. 5

Tahun 1960 (selanjutnya disebut UUPA) disebutkan bahwa pelaksanaan hak

menguasai Negara dapat dilimpahkan kepada daerah-daerah swatantra dan

masyarakat hukum adat. Dengan demikian maka wewenang pemerintahan di bidang

pertanahan dapat dilimpahkan oleh Pemerintah kepada Pemerintah Daerah.

Kedudukan Pemerintah Daerah tersebut bertindak sebagai pelaksana kekuasaan

Negara yang tidak bersifat asli karena diberikan (dilimpahi) wewenang untuk itu oleh

Pemerintah Pusat. Oleh karena itu Pemerintah Daerah harus bertindak atas dasar taat

asas terhadap ketentuan normatif ketatanegaraan yang berlaku di Indonesia.

Pelimpahan wewenang di bidang pertanahan menurut Pasal 2 ayat (4) UUPA tersebut

70 Edy Ruchiyat, Politik PertanahanNasional Sampai Orde Reformasi, Edisi Kedua, (Bandung: Alumni, 1999), hal. 11.

Universitas Sumatera Utara

Page 73: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

sepenuhnya terserah kepada Pemerintah Pusat yang berwenang menentukan seberapa

besar kewenangan di bidang pertanahan tersebut diserahkan kepada daerah atau

masyarakat hukum adat.

Dalam Pasal 14 Undang-Undang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960

(selanjutnya disebut UUPA) terdapat ketentuan yang berisi wewenang Pemerintah

untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaanm persediaan dan

pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa. Pemerintah wajib membuat rencana

umum nasional (national planning) di bidang pertanahan. Berdasarkan rencana

umum nasional tersebut Pemerintah Daerah membuat regional planning secara rinci

dan dilaksanakan sesuai wewenang yang diberikan oleh Pemerintah. Menurut Budi

Harsono71

Senada dengan Budi Harsono, seorang pakar hukum agrarian yang lain, Imam

Sutiknjo mengatakan bahwa wewenang yang diperoleh dari hak menguasasi Negara

di tingkat pusat ada di tangan Pemerintah. Wewenang tersebut sebagian dapat

dilimpahkan kepada pejabat daerah sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerahnya

masing-masing guna membantu kelancaran pembangunan daerah. Dalam praktiknya

kewenangan Negara berdasarkan Pasal 2 UUPA meliputi bidang legislatif

yang berarti mengatur, bidang eksekutif dalam arti menyelenggarakan dan

menentukan, serta bidang yudikatif dalam arti menyelesaikan sengketa tanah baik

antar rakyat maupun antara rakyat dengan Pemerintah.

71 Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 239.

Universitas Sumatera Utara

Page 74: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

pelaksanaan tugas dan wewenang di bidang keagrariaan dilakukan oleh instansi

agraria di masing-masing daerah atas nama kepala daerah.72

Jadi, pengaturan masalah pertanahan dan agrarian telah mempunyai landasan

konstitusional yang merupakan arah dan kebijakan bagi pengelolaan tanah

sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 33 (3) UUD 1945 yang kemudian

dijabarkan dalam Undang-Undang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960

(selanjutnya disebut UUPA). Berdasarkan kewenangan yang bersumber dari UUD

1945 dan UUPA tersebut maka Pemerintah membuat suatu kebijakan pertanahan

nasional (national land policy) yang menjadi dasar dalam pengurusan bidang

pertanahan di Indonesia. Undang-Undang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960

(selanjutnya disebut UUPA) memberikan peluang kepada Pemerintah untuk

melimpahkan sebagian kewenangannya di bidang pertanahan kepada Pemerintah

Daerah. Dengan demikian maka perubahan penyelenggaraan atau pengurusan bidang

pertanahan harus didasarkan pada undang-undang.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kewenangan di bidang

pertanahan adalah kewenangan Pemerintah Pusat, meskipun ada sebagian

kewenangan yang didelegasikan kepada Pemerintah Propinsi dan Pemerintah

Kabupaten/Kota. Pelimpahan wewenang Pemerintah di bidang pertanahan kepada

pejabat daerah yang menjadi wakil Pemerintah sebenarnya hanya diberikan kepada

Gubernur selaku Kepala Daerah Propinsi. Sedang Bupati dan Walikota selaku Kepala

72 Imam Sutiknjo, Politik Agraria Nasional, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1994), hal. 56-57.

Universitas Sumatera Utara

Page 75: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

Daerah Kabupaten dan Kota (menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

Tentang Pemerintahan Daerah) tidak termasuk sebagai wakil Pemerintah di daerah.

Dengan demikian maka kewenangan Bupati/Walikota di bidang pertanahan sejatinya

bersumber dari pelimpahan wewenang yang diberikan oleh Gubernur selaku wakil

Pemerintah di daerah yang mendapat wewenang dari Pemerintah Pusat.

Pengurusan bidang pertanahan yang oleh Undang-Undang Pokok Agraria

Nomor. 5 Tahun 1960 (selanjutnya disebut UUPA) sepenuhnya menjadi otoritas

Pemerintah Pusat didasarkan pada beberapa pertimbangan berikut73

1. Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia (Pasal 1 ayat (1) UUPA). Ketentuan ini merupakan dasar kenasionalan dalam pengelolaan urusan pertanahan. Sebagaimana telah disebutkan dalam Penjelasan Umum angka II UUPA, bahwa konsep kenasionalan menghendaki bumi, air dan ruang angkasa dalam wilayah Negara Republik Indonesia yang kemerdekaannya diperjuangkan oleh seluruh bahngsa Indonesia selayaknya menjadi hak dar bangsa Indonesia pula. Demikian pula tanah di daerah-daerah dan pulau-pulau, tidak semata-mata menjadi hak rakyat asli dari daerah atau pulau yang bersangkutan saja, melainkan di sana juga meletakkan hak Bangsa Indonesia secara keseluruhan.

:

2. Seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah bumi, air dan ruang angkasa Bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional (Pasal 1 ayat (2) UUPA). Ketentuan tersebut mengandung makna bahwa sumber daya agrarian atau pertanahan merupakan kekayaan nasional, yang pengelolaannya harus memperhatikan kepentingan Bangsa Indonesia secara keseluruhan. Dari ketentuan tersebut dapat dipahami bahwa perbedaan kekayaan sumber daya alam dari daerah-daerah tidak boleh menimbulkan kesenjangan dalam pembangunan maupun dalam perlakuan terhadap warga Negara Indonesia. Sumber daya alam harus dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

3. Hubungan antara Bangsa Indonesia dengan bumi, air dan ruang angkasa bersifat abadi (Pasal 1 ayat (3) UUPA). Dari ketentuan tersebut dapat

73 Arie Sukanti Hutagalung dan Markus Gunawan, Kewenangan Pemerintah……., Op.Cit., hal. 60-61.

Universitas Sumatera Utara

Page 76: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

dibaca bahwa yang terkandung di dalamnya merupakan dasar dalam rangka pembinaan integrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Disadari bahwa Bangsa Indonesia mempunyai ikatan yang sangat erat dengan tanahnya. Hal ini disebabkan oleh karena tanah merupakan komponen yang sangat penting bagi penyelenggaraan hidup dan kehidupannya. Dalam konsep ini tanah dalam arti kewilayahan diletakkan sebagai dan merupakan salah satu unsure pembentuk Negara. Oleh karena itu hubungan Bangsa Indonesia dengan tanah dalam wilayah Negara Republik Indonesia tidak boleh putus atau diputuskan. Dengan demikian, maka selama Bangsa Indonesia secara keseluruhan masih ada, maka selama itu pula eksistensi NKRI akan tetap berdiri dengan kokoh.

Dalam praktik selama ini di lapangan pelimpahan wewenang di bidang

pertanahan sebenarnya tidak dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi daerah, tetapi

hanya didekonsentrasikan kepada instansi pusat yang ada di daerah, yaitu kepada

Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional di Provinsi dan Kantor Pertanahan di

Kabupaten/Kota yang kesemuanya merupakan instansi vertikal. Dengan demikian

maka berdasatkan Undang-Undang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960

(selanjutnya disebut UUPA) tidak ada urusan pertanahan yang diotonomikan atau

didesentralisasikan kepada daerah. Hal ini salah satunya terlihat dari Peraturan

Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan

Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Keputusan pemberian Hak Atas Tanah

Negara yang mengatur pelimpahan kewenangan pemberian dan pembatalan

keputusan pemberian hak atas tanah Negara. Menurut Peraturan tersebut kewenangan

Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi adalah memberi

keputusan mengenai74

74 Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara.

:

Universitas Sumatera Utara

Page 77: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

1. Pemberian hak milik atas tanah pertanian yang luasnya lebih dari 2 ha. 2. Pemberian hak milik atas tanah non pertanian yang luasnya tidak lebih

dari 5.000 M2

3. Pemberian Hak Guna Usaha atas tanah yang luasnya tidak lebih dari 200 Ha.

, kecuali yang kewenangan pemberiannya telah dilimpahkan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.

4. Pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah yang luasnya tidak lebih dari 150.000 M2

5. Pemberian Hak Pakai atas tanah pertanian yang luasnya lebih dari 2 ha.

, kecuali yang kewenangan pemberiannya telah dilimpahkan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/kota.

6. Pemberian Hak Pakai atas tanah non pertanian yang luasnya tidak lebih dari 150.000 M2

7. Pemberian hak atas tanah yang sudah dilimpahkan kewenangan pemberiannya kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota apabila atas laporan yang diperlukan berdasarkan keadaan di lapangan.

, kecuali kewenangan pemberiannya telah dilimpahkan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.

8. Pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah yang telah dikeluarkan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota yang terdapat cacat hukum dalam penerbitannya.

9. Pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah yang kewenangan pemberiannya dilimpahkan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota dan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap

Sedang kewenangan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota adalah

member keputusan mengenai75

1. Pemberian Hak Milik atas tanah pertanian yang luasnya tidak lebih dari 2 ha.

:

2. Pemberian hak milik atas tanah non pertanian yang luasnya tidak lebih dari 2.000 M2

3. Pemberian Hak Milik atas tanah dalam rangka pelaksanaan program transmigrasi, redistribusi tanah, konsolidasi tanah, pendaftaran tanah secara massal baik dalam rangka pelaksanaan pendaftaran tanah secara sistematik maupun sporadik.

, kecuali mengenai tanah bekas Hak Guna Usaha.

4. Pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah yang luasnya tidak lebih dari 2.000 M2

5. Semua pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan. , kecuali yang mengenai tanah bekas Hak Guna Usaha.

6. Pemberian Hak Pakai atas tanah pertanian yang luasnya tidak lebih dari 2 ha.

75 Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Page 78: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

7. Pemberian Hak Pakai atas tanah non pertanian yang luasnya tidak lebih dari 2.000 M2

8. Semua pemberian Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan. kecuali mengenai tanah bekas Hak Guna Usaha.

9. Memberi keputusan mengenai semua perubahan hak atas tanah kecuali perubahan Hak Guna Usaha menjadi hak lain.

Jadi, kendati Undang-Undang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960

(selanjutnya disebut UUPA) dianggap sebagai induk (payung undang-undang atau

Umbrella Act) bagi pengaturan soal pertanahan namun ternyata masih dirasakan

belum lengkap. Hal ini didasarkan pada ketidakmampuan UUPA dalam menangani

berbagai konflik di bidang pertanahan. Terdapat beberapa kelemahan dalam UUPA,

yaitu, pertama, sistem kepemilikan tanah beraneka ragam bagi perseorangan,

sehingga secara birokratis amat mahal dan tidak menguntungkan bagi masyarakat.

Kedua, sistem kepemilikan tanah bagi perusahaan dan kelompok masih timpang.

Ketiga, fungsi ruang dan pemanfaatan yang terkait dengan pemilikan tanah yang

kurang mendukung mekanisme pasar yang mampu mengatur alokasinya secara adil

dan transparan.76

Reformasi di bidang pertanahan perlu memperhatikan hak-hak rakyat atas

tanah, fungsi sosial hak atas tanah, batas maksimum pemilikan tanah pertanian dan

perkotaan, serta pencegahan tindakan penelantaran tanah, termasuk berbagai upaya

untuk mencegah pemusatan penguasaan tanah di satu tangan yang merugikan

kepentingan rakyat. Kelembagaan pertanahan perlu disempurnakan agar dapat

terwujud sistem pengelolaan pertanahan yang terpadu, serasi, efektif dan efisien, yang

76 Herman Haeruman, Suatu Pemikiran dalam Reformasi Sistem Agraria, Membentuk Sistem Pertanahan Positif Yang Lebih Efektif Untuk Kesejahteraan Masyarakat, Opening Remarks International Conference on Land Policy Reform, Bappenas RI, Jakarta, 26 Juli 2000, hal. 1.

Universitas Sumatera Utara

Page 79: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

meliputi tertib administrasi, tertib hukum, tertib penggunaan, serta tertib

pemeliharaan tanah dan lingkungan hidup.77

Pembaharuan kebijakan di bidang pertanahan harus memperhatikan, pertama,

penyebaran penguasaan tanah secara adil bagi rakyat sesuai kebutuhan dan

kemampuannya. Untuk itu perlu penataan kembali sistem penguasaan tanah, baik

menyangkut pembaharuan hak atas tanah maupun sistem tata guna tanah. Kedua,

tanah merupakan komponen kegiatan ekonomi rakyat, sehingga tanah harus

produktif. Mengingat suasana agraris dan sistem penguasaan tanah yang berlaku saat

ini masih kurang adil bagi petani, maka tidak ada jaminan tanah akan selalu

produktif. Ketiga, dihilangkan dualism sistem pertanahan yang tidak adil dan

merugikan rakyat. Sistem baru di bidang pertanahan harus mencakup sistem

penguasaan tanah, sistem administrasi pertanahan dan kepastian hukum, baik dalam

proses maupun dalam berbagai hak penguasaan atas tanah.

78

2. Kewenangan Pertanahan Menurut TAP MPR Nomor IX Tahun 2001

tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Era reformasi memicu munculnya berbagai kebijakan untuk merombak sendi-

sendi kehidupan dan penyelenggaraan pemerintahan Negara di Indonesia. Di bidang

pertanahan dilakukan reformasi pengaturan maupun kebijakan pemerintah. Salah satu

produk hukum terkait dengan reformasi bidang pertanahan adalah TAP MPR Nomor

77 Soegiarto, Permasalahan Pertanahan Nasional, (Jakarta: BPN Pusat, 2000), hal. 2. 78 Bagir Manan, 2003, Politik Keagrariaan atau Politik Pertanahan, Makalah Seminar

Nasional dalam rangka Kongres IX IPPAT, Jakarta, 23 September 2003, hal. 7.

Universitas Sumatera Utara

Page 80: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

IX Tahun 2001 Tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam,

yang ditetapkan pada Sidang Tahunan MPR tanggal 9 November 2001. Perlunya

dilakukan reformasi di bidang pertanahan melalui TAP MPR Nomor IX Tahun 2001

tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam didasarkan pada

pertimbangan79

a. Sumber daya agraria atau sumber daya alam meliputi bumi, air dan ruang

angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagai rahmat

Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa Indonesia merupakan kekayaan

nasional yang wajib disyukuri. Kekayaan nasional tersebut harus dikelola dan

dimanfaatkan secara optimal bagi generasi sekarang dan generasi mendatang

dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur.

:

b. MPR mempunyai tugas konstitusional untuk menetapkan arah dan dasar bagi

pembangunan nasional yang dapat menjawab berbagai persoalan kemiskinan,

ketimpangan dan ketidakadilan sosial ekonomi rakyat, serta kerusakan sumber

daya alam.

c. Pengelolaan sumber daya agraria/sumber daya alam yang berlangsung selama

ini telah menimbulkan penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan struktur

penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatannya serta menimbulkan

berbagai konflik.

d. Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber

daya agraria/SDA saling tumpang tindih.

79 TAP MPR Nomor IX Tahun 2001.

Universitas Sumatera Utara

Page 81: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

e. Untuk mewujudkan cita-cita luhur bangsa Indonesia sebagaimana tertuang

dalam Pembukaan UUD 1945, diperlukan komitmen politik yang sungguh-

sungguh untuk memberikan dasar dan arah bagi pembaruan agrarian dan

pengelolaan SDA yang adil, berkelanjutan dan ramah lingkungan.

TAP MPR Nomor IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan

Pengelolaan Sumber Daya Alam tersebut merupakan pedoman atau tuntutan dalam

melakukan pembaharuan hukum pertanahan di Indonesia. Kendati bukan merupakan

sumber hukum formil, namun ketentuan dalam TAP MPR tersebut dapat dijadikan

sebagai arahan dan landasan bagi peraturan perundang-undangan mengenai

perombakan hukum pertanahan di Indonesia sesuai tuntutan era reformasi. Dalam

Pasal 2 TAP MPR Nomor IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan

Pengelolaan Sumber Daya Alam disebutkan bahwa pembaruan di bidang pertanahan

mencakup proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali

penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria, yang

dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta

keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.

Selanjutnya, dalam Pasal 4 TAP MPR Nomor IX Tahun 2001 tentang

Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam disebutkan bahwa

pembaharuan agraria dan pengelolaan sumber daya alam harus dilaksanakan sesuai

dengan prinsip-prinsip80

80 Pasal 4, TAP MPR Nomor IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam

:

Universitas Sumatera Utara

Page 82: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

1. memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

2. menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia; 3. menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi

keanekaragaman dalam unifikasi hukum; 4. mensejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas sumber

daya manusia Indonesia; 5. mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi dan

optimalisasi partisipasi masyarakat; 6. mewujudkan keadilan termasuk kesetaraan gender dalam penguasaan,

pemilikan, penggunaan, pemanfaatan dan pemeliharaan sumber daya agraria/SDA;

7. memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang optimal, baik untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang, dengan tetap memperhatikan daya tampung dan daya dukung lingkungan;

8. melaksanakan fungsi sosial, kelestarian, dan fungsi ekologis sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat;

9. meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antar sektor pembangunan dan antar daerah dalam pelaksanaan pemba- haruan dan pengelolaan sumber daya agraria;

10. mengakui, menghormati dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/SDA;

11. mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara, pemerintah (pusat, provinsi dan kabupaten/kota dan desa atau yang setingkat), masyarakat dan individu;

12. melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan di tingkat nasional, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat, berkaitan dengan alokasi dan pengelolaan sumber daya agraria/SDA.

Dalam TAP MPR Nomor IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan

Pengelolaan Sumber Daya Alam juga disinggung mengenai arah kebijakan dalam

perombakan atau pembaharuan di bidang agraria/SDA, antara lain meliputi81

a. melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan bidang pertanahan dalam rangka kebijakan antar sektor demi terwujudnya peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada prinsip-prinsip sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 4 TAP MPR tersebut;

:

81 Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Page 83: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

b. melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat;

c. menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan tanah secara komprehensif dan sistematis dalam rangka pelaksanaan landreform,

d. menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 TAP MPR ini;

e. memperkuat kelembagaan dan kewenangannya dalam rangka mengemban pelaksanaan pembaharuan agraria dan menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria yang terjadi;

f. mengupayakan dengan sungguh-sungguh pembiayaan dalam melaksanakan program pembaharuan agraria dan penyelesaian konflik-konflik sumber daya agraria yang terjadi.

TAP MPR Nomor IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan

Pengelolaan Sumber Daya Alam secara tegas menugaskan kepada DPR dan Presiden

untuk segera mengatur lebih lanjut pelaksanaan pembaharuan agraria dan pengelolaan

sumber daya alam serta mencabut, mengubah dan/atau mengganti semua undang-

undang dan peraturan pelaksanaannya yang tidak sejalan dengan ketetapan tersebut.

Dari TAP MPR tersebut dapat diketahui bahwa persoalan reformasi pertanahan

merupakan suatu kebutuhan mutlak. Terkait dengan upaya mengkaji ulang terhadap

peraturan yang menyangkut bidang pertanahan, maka perlu dilaknkan pelurusan

terhadap undang-undang yang tidak bersesuaian dengan UUPA sebagai payung

undang-undang (umbrella act) bagi pengaturan hukum tanah di Indonesia.

Ketentuan mengenai desentralisasi atau pelimpahan wewenang di bidang

pertanahan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999

tentang Pemerintahan Daerah, yang kemudian diganti dengan dalam Undang-Undang

Universitas Sumatera Utara

Page 84: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa yang

dilimpahkan kepada Daerah bukanlah urusan di bidang pertanahan, tetapi hanya

terkait dengan pelayanan pertanahan. Itu artinya pemegang kebijakan dan pembuat

regulasi di bidang pertanahan tetap dijalankan oleh Pemerintah Pusat, sementara

Pemerintah Daerah hanya sebatas menjalankan kebijakan dan melaksanakan produk

hukum di bidang pertanahan yang telah diterbitkan oleh Pemerintah Pusat.

3. Kewenangan Pemerintah Menurut Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun

2003 Tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan Penerbitan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang kebijakan

nasional di bidang pertanahan dilakukan untuk mewujudkan konsepsi, kebijakan dan

sistem pertanahan nasional yang utuh dan terpadu. Keputusan Presiden tersebut

menentukan bahwa penyerahan sebagian kewenangan Pemerintah di bidang

pertanahan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota, hanya meliputi sembilan jenis

kewenangan, yaitu: (1) pemberian ijin lokasi; (2) penyelenggaraan pengadaan tanah

untuk kepentingan pembangunan; (3) penyelesaian sengketa tanah garapan; (4)

penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan; (5)

penetapan subyek dan obyek redistribusi -tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan

maksimum dan tanah absentee, (6) penetapan dan penyelesaian masalah tanah hak

ulayat; (7) pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong; (8) pemberian ijin

membuka tanah; dan (9) perencanaan dan penggunaan tanah wilayah kabupaten/kota.

Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang kebijakan nasional di

bidang pertanahan tersebut diterbitkan sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 32

Universitas Sumatera Utara

Page 85: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sehingga dapat ditafsirkan bahwa

Keputusan Presiden tersebut dimaksudkan sebagai peraturan pelaksana Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah juga mengatur

mengenai otonomi daerah di bidang pertanahan dan Peraturan Pemerintah Nomor 25

Tahun 2000 tentang Pembagian Wewenang Antara Pusat dan Provinsi dalam

Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Ketetapan MPR Nomor IX Tahun 2001 tentang

Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Substansi Keputusan

Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan

memuat pelaksanaan sebagian wewenang Pemerintah yang meliputi 9 jenis

kewenangan di bidang pertanahan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Apabila

dikaitkan dengan wewenang penuh Pemerintah Daerah di bidang pertanahan

sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999

tentang Pemerintahan Daerah maka penerbitan Keputusan Presiden tersebut

merupakan kebijakan yang bersifat “setengah hati" atau “tidak ikhlas" dari

Pemerintah dalam melimpahkan kewenangannya kepada Pemerintah Daerah.82

Melalui Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang kebijakan

nasional di bidang pertanahan, Pemerintah hanya memberikan kewenangan bidang

pertanahan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota yang meliputi sembilan kewenangan

tersebut di atas. Padahal perintah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah bahwa penyerahan urusan pertanahan kepada Pemerintah

82 Sarjita, Masalah Pelaksanaan Urusan Pertanahan dalam Era Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Tugujogja Pustaka, 2005), hal. 11.

Universitas Sumatera Utara

Page 86: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

Kabupaten/ Kota tidak dilakukan pembatasan dan pelaksanaannya cukup dilakukan

melalui pengakuan oleh Pemerintah. Jadi sejak berlakunya Undang-Undang Nomor

22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah maka kewenangan pemerintah di

bidang pertanahan dengan sendirinya sudah berada dan beralih menjadi kewenangan

Pemerintah Kabupaten/Kota. Hal itu menjunjukkan bahwa Pemerintah Pusat tidak

tulus dan tidak rela dalam menerapkan desentralisasi di bidang pertanahan

sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah.

Menurut Sarjita, Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang

kebijakan nasional di bidang pertanahan secara hierarkis jelas bertentangan dengan

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, sehingga

seharusnya tidak dapat diberlakukan. Suatu undang-undang yang kedudukannya lebih

tinggi tidak dapat dianulir oleh Keputusan Presiden yang kedudukannya lebih rendah.

Apabila Pemerintah menghendaki pembatasan jenis kewenangan di bidang

pertanahan yang akan dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, maka

seharusnya dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999

tentang Pemerintahan Daerah, dan bukan dilakukan dengan hanya menerbitkan

Keputusan Presiden yang kedudukannya lebih rendah dari undang-undang.

Penerbitan Keputusan Presiden yang menimbulkan permasalahan krusial dalam

pelaksanaan otonomi daerah di bidang pertanahan, secara tidak langsung merupakan

Universitas Sumatera Utara

Page 87: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

pengabaian terhadap ketentuan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999

tentang Pemerintahan Daerah.83

Apabila ditinjau dari asas lex superiori derogate legi inferiori, jika peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya bertentangan dengan peraturan

perundang- undangan yang lebih rendah, maka yang berlaku adalah peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi.

84 Asas tersebut, menurut Lili Rasjidi

digunakan sebagai etika pengawasan terhadap proses pembentukan peraturan

perundang-undangan dalam pembangunan hukum di Indonesia.85

83 Ibid.

Dengan berlakunya

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai

pengganti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

maka secara otomatis ketentuan dalam Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003

tentang kebijakan nasional di bidang pertanahan tidak mempunyai kekuatan hukum

lagi. Hal tersebut didasarkan pada alasan bahwa dalam Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang dilimpahkan kepada Pemerintah

Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota hanyalah urusan di bidang pelayanan

pertanahan bukan bidang pertanahan secara menyeluruh dan mandiri seperti yang

diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

Dengan demikian, maka pembuatan kebijakan nasional di bidang pertanahan dan

hukum tanah tetap menjadi kewenangan Pemerintah, sedang pelaksanaan dan

84 Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, (Jakarta: IND-HILL CO, 1992), hal. 22.

85 Lili Rasjidi dan I.B. Waysa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993), hal. 136.

Universitas Sumatera Utara

Page 88: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

pelayanan yang terkait dengan bidang pertanahan dapat dilimpahkan kepada

Pemerintah Daerah. Dengan demikian maka Pemerintah dapat berbagi dengan

Pemerintah Daerah dalam memberikan pelayanan di bidang pertanahan, sedang yang

menerbitkan kebijakan dan hukum tanah secara nasional adalah tetap Pemerintah

Pusat.

Menurut Pasal 10 ayat (5) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah ditegaskan bahwa dalam rangka menjalankan urusan

pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah di luar urusan wajib pemerintah

pusat sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (3) maka pemerintah dapat, yaitu (1)

menjalankan sendiri sebagai urusan pemerintahan; (2) melimpahkan sebagian urusan

pemerintahan kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah; atau (3) menugaskan

sebagian urusan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa

berdasarkan asas tugas pembantuan. Dengan demikian maka penyerahan urusan

pertanahan yang oleh UUPA merupakan wewenang Pemerintah Pusat, oleh

Pemerintah dapat diserahkan sebagian kepada Pemerintah Daerah tetapi hanya

sebatas pada pemberian wewenang pelayanan pertanahan.

4. Kewenangan Pemerintah Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun

2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota

Untuk menjabarkan pelaksanaan otonomi daerah sebagaimana diamanatkan

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah kemudian

diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan

Universitas Sumatera Utara

Page 89: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah

Kabupaten/Kota. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang

Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan

Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota disebutkan bahwa urusan pemerintahan terdiri atas

urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat, dan

urusan pemerinahan yang dibagi bersama antar tingkatan dan/atau susunan

pemerintahan. Urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi urusan Pemerintah

Pusat meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, hukum, moneter, dan fiskal

nasional, serta agama. Sedang urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar

tingkatan dan/atau susunan pemerintahan adalah semua urusan pemerintahan di luar

enam urusan tersebut.

Dalam Pasal 2 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang

Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan

Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota disebutkan bahwa urusan pemerintahan yang

dibagi bersama antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan (provinsi dan

kabupaten/kota) terdiri atas 31 bidang urusan pemerintahan yang meliputi86

1. pendidikan;

:

2. kesehatan; 3. pekerjaan umum; 4. perumahan; 5. penataan ruang; 6. perencanaan pembangunan; 7. perhubungan; 8. lingkungan hidup; 9. pertanahan;

86 Pasal 2 ayat (4), Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007.

Universitas Sumatera Utara

Page 90: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

10. kependudukan dan catatan sipil; 11. pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak; 12. keluarga berencana dan keluarga sejahtera; 13. sosial; 14. ketenagakerjaan dan ketransmigrasian; 15. koperasi dan usaha kecil dan menengah; 16. penanaman modal; 17. kebudayaan dan pariwisata; 18. kepemudaan dan olah raga; 19. kesatuan bangsa dan politik dalam negeri; 20. otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan daerah,

perangkat daerah, kepegawaian, dan persandian; 21. pemberdayaan masyarakat dan desa; 22. statistik; 23. kearsipan; 24. perpustakaan; 25. komunikasi dan informatika; 26. pertanian dan ketahanan pangan; 27. kehutanan; 28. energi dan sumber daya mineral; 29. kelautan dan perikanan; 30. perdagangan; 31. perindustrian.

Dari urusan-urusan pemerintahan yang oleh Pemerintah dilimpahkan kepada

Pemerintah Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) menurut Peraturan Pemerintah

Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah,

Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota tersebut termasuk

di dalamnya adalah urusan di bidang “pertanahan” bukan “pelayanan pertanahan”

sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah. Mestinya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007

tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi

dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota disebutkan sebagai urusan di bidang

“pelayanan pertanahan” bukan “pertanahan”. Urusan bidang pertanahan hanya menjadi

Universitas Sumatera Utara

Page 91: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

kewenangan Pemerintah Pusat, sedang yang dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah

adalah “Pelayanan Pertanahan”. Hal ini berarti terjadi kontradiksi antara ketentuan

dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dengan

Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan

antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

Dengan mengacu pada terori hirarkhi hukum dan asas lex superiori derogate legi

inferiori, maka ketentuan yang seharusnya diberlakukan adalah sebagaimana yang

tercantum dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah , khususnya Pasal 13 dan 14.

Adapun perincian kewenangan di bidang pertanahan yang masih diurusi oleh

Pemerintah Pusat termuat dalam Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun

2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah

Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota lampiran I, yaitu sebagai berikut87

a. Sub Bidang: Ijin Lokasi, kewenangan Pemerintah meliputi:

:

1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria ijin lokasi.

2. Pemberian ijin lokasi lintas provinsi. 3. Pembatalan ijin lokasi atas usulan Pemerintah Provinsi dengan

pertimbangan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi.

4. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan ijin lokasi.

b. Sub Bidang: Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, meliputi: 1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur dan

kriteria pengadaan tanah untuk kepentingan umum. 2. Pengadaan tanah untuk pembangunan lintas provinsi. 3. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan

pengadaan tanah untuk kepentingan umum.

87 Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 Huruf I

Universitas Sumatera Utara

Page 92: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

c. Sub Bidang: Penyelesaian Sengketa Tanah Garapan, meliputi: 1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur dan

kriteria penyelesaian sengketa tanah garapan. 2. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan

penanganan sengketa tanah garapan. d. Sub Bidang: Penyelesaian Masalah Ganti Kerugian dan Santunan Tanah

untuk Pembangunan, yang meliputi: 1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur dan kriteria

penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan. 2. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan pemberian

ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan. e. Sub Bidang: Penetapan Subyek dan Obyek Redistribusi Tanah, serta Ganti

Kerugian Tanah Kelebihan Maksimum dan Tanah Absentee, yang meliputi:

1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur dan kriteria penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee.

2. Pembentukan Panitia Pertimbangan landreform nasional. 3. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan

penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee.

f. Sub Bidang: Penetapan Tanah Ulayat, yang meliputi: 1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur dan

kriteria penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat. 2. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan

penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat. g. Sub Bidang: Pemanfaatan dan Penyelesaian Masalah Tanah Kosong, yang

meliputi : 1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur dan

kriteria serta pelaksanaan pembinaan dan pengendalian pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong.

2. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong.

h. Sub Bidang: Ijin Membuka Tanah, yang mehputi: 1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur dan

kriteria serta pelaksanaan pembinaan dan pengendalian pemberian ijin membuka tanah.

2. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan ijin membuka tanah.

i. Sub Bidang: Perencanaan Penggunaan Tanah Wilayah Kabupaten/Kota, kewenangan Pemerintah meliputi:

Universitas Sumatera Utara

Page 93: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur dan kriteria perencanaan penggunaan tanah di wilayah kabupaten/kota.

2. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan perencanaan penggunaan tanah di wilayah kabupaten/kota.

Dari perincian kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat di bidang

pertanahan sebagaimana tersebut di atas terlihat bahwa isi kewenangan Pemerintah

Pusat adalah pada tataran pembuatan kebijakan dan pengaturan/regulasi yang

meliputi sembilan sub bidang. Kewenangan Pemerintah Pusat adalah penetapan

kebijakan dan pembuatan produk hukum tanah serta melakukan pembinaan,

pengendalian dan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan yang telah diterbitkan.

Jadi, Pemerintah bertindak selaku pengambil keputusan dan pembuat kebijakan di

bidang pertanahan, sedang pada tataran pelaksanaanya dilimpahkan kepada

Pemerintah Daerah (Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota). Dengan demikian

kendali pengambil kebijakan di bidang pertanahan secara nasional tetap berada di

tangan Pemerintah Pusat, sementara Pemerintah Daerah hanya melaksanakan saja

semua kebijakan yang telah diambil oleh Pemerintah Pusat di bidang pertanahan

tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa otonomi daerah di bidang pertanahan tidak

sepenuhnya diserahkan kepada Daerah, dalam arti Pemerintah Daerah menerbitkan

aturan, tetapi hanya pada tahap pelaksanaan saja, atau lebih pada tataran teknis

administrasi di lapangan.

Universitas Sumatera Utara

Page 94: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

D. Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Urusan Pertanahan Menurut Undang-Undang Pemerintahan Daerah

1. Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

menganut prinsip desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas perbantuan dalam

penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Desentralisasi adalah penyerahan

wewenang pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada Daerah Otonom dalam

kerangkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dekonsentrasi adalah pelimpahan

wewenang dari Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah dan atau

perangkat Pusat di daerah. Tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah

kepada Pemerintah Daerah dan Pemerintah Desa untuk melaksanakan tugas tertentu

yang disertai pembiayaan, sarana dan prasarana serta Sumber Daya Manusia dengan

kewajiban melepaskan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkan kepada yang

menugaskan.

Penyelenggaraan desentralisasi secara utuh dilaksanakan di daerah

Kabupaten/Kota, sedang tugas pembantuan dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah

Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota dan Desa. Asas dekonsentrasi hanya

dilaksanakan di Propinsi. Dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi maka

kemudian dibentuk dan disusun daerah Propinsi, Kabupaten dan Kota sebagai daerah

otonom yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat

menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Menurut Pasal 11 Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah urusan pemerintahan

Universitas Sumatera Utara

Page 95: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

yang wajib dijalankan oleh Pemerintah Kabupaten dan Kota, yaitu meliputi pekerjaan

umum, kesehatan, industri dan perdagangan, pertanahan, penanaman modal,

lingkungan hidup, peternakan, koperasi dan tenaga kerja.

Sedang wewenang Propinsi ditentukan secara umum, yaitu urusan (bidang)

pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota, urusan (bidang) pemerintahan

tertentu, serta urusan pemerintahan yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten

dan kota. Wewenang Pemerintah Kabupaten dan Kota berkaitan dengan desentralisasi

(otonomi) tersebut terlihat sangat luas, bahkan ada yang berdimensi internasional

seperti urusan perhubungan, penanaman modal, keimigrasian, bea cukai dan

lingkungan hidup. Sementara kewenangan Pemerintah Propinsi hanya mengurusi

bidang tertentu yang tidak dapat dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota atau

urusan yang bersifat lintas kabupaten/kota. Luasnya urusan yang diserahkan kepada

Pemerintah Kabupaten.Kota mengakibatkan terjadi euphoria dan kekagetan daerah

sehingga semua bidang diurusi meski daerah tersebut sebenarnya tidak mampu dan

belum siap untuk mengurusi sendiri.

Apabila ditilik Pasal 11 (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah maka urusan di bidang pertanahan menjadi kewenangan Daerah

Otonom, artinya undang-undang melimpahkan kewenangan di bidang pertanahan

kepada Pemerintah Daerah. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000

tentang Pembagian Wewenang Antara Pusat dan Provinsi dalam Pelaksanaan

Otonomi Daerah dijelaskan bahwa yang dimaksud kewenangan pemerintah adalah

hak dan kekuasaan Pemerintah untuk menentukan atau mengambil kebijakan dalam

Universitas Sumatera Utara

Page 96: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

rangka penyelenggaraan pemerintahan. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25

Tahun 2000 tentang Pembagian Wewenang Antara Pusat dan Provinsi dalam

Pelaksanaan Otonomi Daerah disebutkan kewenangan Pemerintah di bidang

pertanahan adalah meliputi88

1. Penetapan persyaratan pemberian hak atas tanah.

:

2. Penetapan persyaratan landreform. 3. Penetapan standar administrasi pertanahan. 4. Penetapan pedoman biaya pelayanan pertanahan. 5. Penetapan kerangka Kadastral Nasional Orde I dan Orde II.

Sedang kewenangan Pemerintah Propinsi di bidang pertanahan tidak ada

karena Propinsi merupakan wilayah administrasi (wakil Pemerintah Pusat di daerah),

sehingga tidak diberikan kewenangan dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah,

termasuk di bidang pertanahan. Sedang Pemerintah Kabupaten dan Kota karena

merupakan daerah otonom yang menjadi sasaran pelaksanaan desentralisasi dan

otonomi daerah sehingga kepadanya diberikan kewenangan yang penuh (luas) dalam

urusan pemerintahan, termasuk di bidang pertanahan. Menurut Pasal 4 ayat (3)

Lampiran VII.17. Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 50

Tahun 2000 tentang Pedoman Susunan Organisasi Perangkat Daerah, kewenangan

Pemerintah Kabupaten/Kota di bidang pertanahan adalah89

1. Penyelenggaraan tata guna tanah dan tata ruang.

:

2. Penyelenggaraan pengaturan penguasaan tanah/landreform. 3. Penyelenggaraan dan pengurusan hak-hak atas tanah. 4. Penyelenggaraan pengukuran pendaftaran tanah.

88 Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Pembagian Wewenang Antara Pusat dan Provinsi dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah

89 Pasal 4 ayat (3) Lampiran VII.17, Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 50 Tahun 2000 tentang Pedoman Susunan Organisasi Perangkat Daerah

Universitas Sumatera Utara

Page 97: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

5. Penyelenggaraan administrasi pertanahan. 6. Penetapan kerangka dasar kadastral daerah dan pelaksanaan pengukuran

kerangka dasar kadastral daerah. 7. Penanganan penyelesaian masalah dan sengketa pertanahan serta

peningkatan partisipasi masyarakat. 8. Penetapan kebijakan untuk mendukung pembangunan bidang pertanahan. 9. Penyelenggaraan dan pengawasan standar pelayanan minimal di bidang

pertanahan yang wajib dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. 10. Penyusunan tata guna tanah Kabupaten/Kota. 11. Penyelenggaraan sistem informasi pertanahan.

Kewenangan di bidang pertanahan tersebut di atas sangatlah besar sehingga

untuk mengurusinya dibentuk suatu Dinas Daerah. Pembentukan lembaga (Dinas)

baru tersebut dapat dilakukan dengan mengubah status dari perangkat (instansi) Pusat

(Kantor Departemen Kabupaten/Kota) menjadi Dinas Daerah sebagaimana

disebutkan dalam Pasal 129 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah. Beberapa instansi Pusat berhasil dilebur menjadi Dinas

Daerah, namun untuk bidang pertanahan instansi pusat di daerah, yakni Kantor

Pertanahan Kabupaten/Kota tidak dapat dilebur menjadi Dinas Pertanahan. Padahal,

di beberapa daerah Kabupaten/Kota telah diterbitkan Peraturan Daerah tentang

pembentukan dinas-dinas Daerah, salah satunya adalah Dinas Pertanahan.

Dalam Keputusan Presiden Nomor 95 Tahun 2000 tentang Badan Pertanahan

Nasional (BPN) dinyatakan bahwa kantor BPN Kabupaten/Kota tetap merupakan

instansi vertical yang secara teknis administrasi berada di bawah pembinaan BPN

Pusat dan tetap melaksanakan tugas dan fungsinya sampai ada ketentuan lebih lanjut

(Pasal 32 ayat 2). Selanjutnya dalam Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 2001

Tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah di Bidang Pertanahan, tanggal 17 Januari

Universitas Sumatera Utara

Page 98: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

2001, dikatakan sebelum ditetapkan peraturan yang baru berdasarkan Peraturan

Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Pembagian Wewenang Antara Pusat dan

Provinsi dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah, maka pelaksanaan otonomi di bidang

pertanahan berlaku peraturan, keputusan, instruksi dan surat edaran Menteri Negara

Agraria/Kepala BPN yang telah ada.

Kedua ketentuan tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan terbitnya Surat

Edaran Kepala BPN No. 110-201-BPN, tanggal 23 Januari 2001 yang menyatakan

bahwa Kantor BPN Kabupaten/Kota tetap merupakan instansi vertikal di daerah.

Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) menyatakan bahwa meski kewenangan di

bidang pertanahan berdasarkan Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun

1999 tentang Pemerintahan Daerah merupakan bidang yang wajib dilaksanakan oleh

Pemerintah Kabupaten/Kota, namun merupakan kewenangan bidang hukum yang

tidak termasuk dalam ketentuan Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun

1999 tentang Pemerintahan Daerah, sehingga kewenangan di bidang pertanahan

khususnya yang berkaitan dengan aspek hukum pertanahan bagi terwujudnya

unifikasi hukum pertanahan dan kepastian hukum tetap menjadi kewenangan

Pemerintah Pusat untuk diurusi.

Keputusan Presiden Nomor 95 Tahun 2000 jo Keputusan Presiden Nomor 10

Tahun 2001 dan Surat Edaran Kepala BPN No. 110-201-BPN ditentang oleh banyak

Pemerintah Daerah di Indonesia karena dianggap melanggar ketentuan Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Beberapa Kepala

Daerah di Indonesia tidak mematuhi ketiga ketentuan tersebut dan mereka tetap

Universitas Sumatera Utara

Page 99: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

melaksanakan otonomi di bidang pertanahan dengan membentuk Dinas Pertanahan

untuk “melikuidasi” Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota yang sebelumnya

merupakan instansi Pemerintah Pusat (vertikal) di daerah. Menghadapi

“pembangkangan” beberapa Kepala Daerah tersebut kemudian diterbitkan Keputusan

Presiden Nomor 62 Tahun 2001 tentang Pelaksanaan Wewenang di Bidang

Pertanahan dan Surat Menteri Dalam Negeri Nomor 593.08/381/UNPEM, tanggal 30

Juli 2001 yang menyatakan bahwa sebagian tugas pemerintahan yang dilaksanakan

oleh Badan Pertanahan Nasiona di daerah tetap dilaksanakan oleh Pemerintah sampai

dengan ditetapkannya seluruh peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan

selambat-lambatnya 2 tahun.

Kemudian Pemerintah menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun

2003 tentang kebijakan nasional di bidang pertanahan yang intinya menangguhkan

pelaksanaan kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota di bidang pertanahan. Dalam

Pasal 3 ayat 2 Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang kebijakan nasional

di bidang pertanahan disebutkan bahwa penyusunan norma-norma dan atau

standardisasi mekanisme ketatalaksanaan, kualitas produk dan kualifikasi sumber

daya manusia diselesaikan selambat-lambatnya 3 bulan setelah ditetapkan Keputusan

Presiden tersebut. Sedang penerbitan ketentuan mengenai regulasi di bidang

pertanahan bagi daerah dilaksanakan oleh Badan Pertanahan Nasional paling lambat

tanggal 1 Agustus 2004. Hanya saja sampai terbitnya Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, yang menggantikan Undang-Undang

Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah , belum ditemukan satupun

Universitas Sumatera Utara

Page 100: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

peraturan yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional mengenai penyerahan

wewenang pengurusan pertanahan kepada Daerah.

2. Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah

Daerah

Dalam perjalanannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah dirasakan sudah tidak memadai dengan perkembangan

pemerintahan di Indonesia, khususnya dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah

sesuai amanat UUD 1945. Salah satunya adalah mengenai pelaksanaan otonomi daerah

yang diarahkan untuk mempercepat kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu maka

kemudian dilakukan penggantian atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah yang diundangkan pada tanggal 15 Oktober 2004. Pembaharuan

Undang-Undang Pemerintahan Daearah ini juga dimaksudkan untuk meningkatkan

efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan lebih

memperhatikan aspek-aspek hubungan antar susunan pemerintahan dan antar

pemerintahan daerah dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada

daerah disertai pemberian hak dan kewajiban untuk menyelenggarakan otonomi

daerah.

Penrbitan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah didasari pada peristiwa ketatanegaraan dan kehidupan politik di Indonesia

yang tidak mengarah pada perbaikan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun

Universitas Sumatera Utara

Page 101: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

1999 tentang Pemerintahan Daerah diberi kekuasaan sangat besar ternyata

menyalahgunakan kekuasaan baik dalam pengelolaan keuangan yang menjadi tugas

DPRD maupun dalam membuat Peraturan Daerah, dan dalam menjalin hubungan

kelembagaan dengan Kepala Daerah. DPRD bertindak overacting ketika berhadapan

dengan Kepala Daerah terutama menyangkut laporan pertanggungjawaban setiap

akhir tahun dan laporan pertanggungjawaban masa akhir jabatan kepala daerah.90 Di

sisi lain maraknya tindak penyelewengan dan korupsi oleh DPRD sering mewarnai

panggung penegakan hukum di Indonesia. Oleh karena itu adalah tepat sekali

dilakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah yang isinya mereduksi kewenangan DPRD dengan tujuan

untuk menciptakan harmoni hubungan antara DPRD dan Kepala Daerah dalam

penyelenggaraan pemerintahan daerah.91

Penggantian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan

Daerah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

juga terjadi karena adanya perubahan UUD 1945 yang telah mengalami amandemen

sebanyak empat kali. Di samping itu juga dengan memperhatikan Ketetapan MPR

No. IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi

Daerah mengenai rekomendasi kebijakan dalam penyelenggaraan otonomi daerah.

Melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah maka

prinsip otonomi daerah dilaksanakan seluas-luasnya dengan memberikan kewenangan

90 B.N Marbun, Otonomi Daerah 1945-2005 Proses dan Realita, Perkembangan Otonomi Daerah Sejak Zaman Kolonial Sampai Saat Ini, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005), hal. 108.

91 Sudono Syueb, 2008, Op.Cit, hal. 86.

Universitas Sumatera Utara

Page 102: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

kepada daerah otonom untuk mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di

luar bidang yang menjadi urusan Pemerintah. Daerah memiliki kewenangan untuk

membuat kebijakan guna member pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa dan

pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

Berdasarkan prinsip otonomi luas tersebut maka kemudian dilaksanakan

otonomi yang nyata dan bertanggung jawab, yaitu suatu prinsip bahwa untuk

menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan

kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan

berkembang sesuai potensi dankekhasan daerah. Dengan demikian maka isi dan jenis

otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama antara daerah yang satu dengan daerah

lainnya. Sedang otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang

penyelenggaraannya sejalan dengan maksud pemberi otonomi, yaitu untuk

memberdayakan daerah termasuk untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang

merupakan bagian utama dari tujuan nasional. Dengan demikian maka

penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan

kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi

yang tumbuh di masyarakat.

Selanjutnya, penyelenggaraan otonomi daerah juga harus menjamin

keserasian hubungan antara daerah, artinya mampu membangun kerjasama antar

Daerah untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antar

daerah. Juga harus mampu menjamin hubungan yang serasi antara Pemerintah Pusat

dengan Pemerintah Daerah, yakni tetap memelihara dan menjaga keutuhan wilayah

Universitas Sumatera Utara

Page 103: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

Negara di bawah naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah wajib

melakukan pembinaan dengan memberikan pedoman, arahan, bimbingan, pelatihan

serta evaluasi. Dan yang terpenting adalah Pemerintah Pusat wajib memberikan

fasilitas berupa peluang kemudahan, bantuan dan dorongan kepada Pemerintah

Daerah agar dalam melaksanakan otonomi daerah dapat berjalan secara efektif dan

efisien sesuai peraturan perundang-undangan.

Penyelenggaraan otonomi daerah mensyaratkan adanya pembagian urusan

pemerintahan antara Pemerintah Pusat dengan Daerah Otonom, yang didasarkan pada

pemikiran bahwa selalu terdapat berbagai urusan pemerintahan yang sepenuhnya

tetap menjadi kewenangan Pemerintah. Urusan pemerintahan yang tetap menjadi

kewenangan Pemerintah meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter,

hukum dan agama. Di samping itu ada urusan pemerintahan yang dijalankan secara

concurrent, yakni penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu dilaksanakan

secara bersama antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dengan demikian

maka terhadap urusan yang bersifat concurrent tersebut terdapat pembagian, yakni

ada bagian yang ditangani Pemerintah, dan ada bagian yang ditangani oleh

Pemerintah Propinsi serta bagian yang ditangani oleh Pemerintah Kabupaten/Kota.

Pembagian urusan antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi dan

Pemerintah Kabupaten/Kota disusun berdasarkan beberapa kriteria yang meliputi

eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi dengan mempertimbangkan keserasian

hubungan pengelolaaan urusan pemerintahan antar tingkat pemerintahan. Urusan

yang menjadi kewenangan daerah meliputi urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan

Universitas Sumatera Utara

Page 104: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

pemerintahan yang bersifat wajib berkaitan dengan pelayanan dasar seperti

pendidikan dasar, kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup minimal, prasarana

lingkungan dasar. Sedang urusan pemerintahan yang bersifat pilihan terkait erat

dengan potensi unggulan dan kekhasan yang dimiliki oleh daerah dan senyatanya ada

di daerah yang bersangkutan.

Pembagian urusan pemerintahan dilaksanakan melalui mekanisme penyerahan

dan atau pengakuan atas usul daerah terhadap bagian urusan-urusan pemerintahan

yang akan diatur dan diurusnya. Berdasarkan usulan tersebut Pemerintah melakukan

verifikasi terlebih dahulu sebelum memberikan pengaturan atau bagian urusan-urusan

yang akan dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah. Terhadap bagian urusan yang saat

ini masih menjadi kewenangan Pemerintah Pusat sesuai dengan kriteria tersebut akan

diserahkan kepada daerah. Sedang tugas pembantuan atau medebewind atau

dekonsentrasi pada dasarnya merupakan keikutsertaan Pemerintah Daerah atau Desa

termasuk masyarakatnya atas penugasan atau kuasa dari Pemerintah atau Pemerintah

Daerah di atasnya untuk melaksanakan urusan pemerintahan bidang tertentu.

Penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah akan terlaksana

secara optimal apabila diikuti dengan pemberian sumber-sumber penerimaan yang

cukup kepada Pemerintah Daerah dengan mengacu kepada Undang-Undang

Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Besarnya

pembagian keuangan tersebut disesuaikan dan diselaraskan dengan pembagian

kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Semua sumber keuangan

yang melekat pada setiap urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah menjadi

Universitas Sumatera Utara

Page 105: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

sumber keuangan daerah. Daerah diberi hak untuk mendapatkan sumber keuangan

berupa kepastian tersedianya pendanaan dari Pemerintah Pusat sesuai urusan

pemerintahan yang diserahkan kepada Pemerintah Daerah.

Urusan di bidang pertanahan merupakan salah satu urusan yang wajib

dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah, baik Pemerintah Propinsi maupun Pemerintah

Kabupaten/Kota sesuai skala masing-masing daerah. Hal ini berbeda dengan Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang hanya

memberikan pelimpahan urusan di bidang pertanahan kepada Pemerintah

Kabupaten/Kota selaku daerah otonom, sedang Pemerintah Propinsi tidak diberi

pelimpahan wewenang untuk mengurusi bidang pertanahan. Dalam Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan mengurus bidang

pertanahan diberikan secara lebih luas kepada Pemerintah Propinsi, yakni termasuk

mengurus bidang pelayanan pertanahan lintas kabupaten/kota. Dalam Pasal 13 ayat

(1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan

bahwa urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah propinsi

merupakan urusan dalam skala propinsi yang meliputi92

a. Perencanaan dan pengendalian pembangunan;

:

b. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; c. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; d. Penyediaan sarana dan prasarana umum; e. Penanganan bidang kesehatan; f. Penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial; g. Penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota; h. Pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota;

92 Pasal 13 ayat (1), Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.

Universitas Sumatera Utara

Page 106: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

i. Fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota;

j. Pengendalian lingkungan hidup; k. Pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota; l. Pelayanan kependudukan dan catatan sipil; m. Pelayanan administrasi umum pemerintahan; n. Pelayanan administrasi penanaman modal, termasuk lintas

kabupaten/kota; o. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan

oleh kabupaten/kota; dan p. Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-

undangan.

Dari ketentuan dalam Pasal 13 ayat (1) huruf k Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terlihat bahwa urusan pelayanan

pertanahan menjadi salah satu urusan wajib yang harus dilaksanakan oleh Pemerintah

Propinsi. Selanjutnya mengenai urusan wajib yang harus dilaksanakan oleh

Pemerintah Kabupaten/Kota disebutkan dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang meliputi 16 urusan

pemerintahan wajib, yaitu93

a. Perencanaan dan pengendalian pembangunan,

:

b. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang, c. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat, d. Penyediaan sarana dan prasarana umum, e. Penanganan bidang kesehatan; f. Penyelenggaraan pendidikan, g. Penanggulangan masalah sosial, h. Pelayanan bidang ketenagakerjaan, i. Fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah, j. Pengendalian lingkungan hidup; k. Pelayanan pertanahan, l. Pelayanan kependudukan dan catatan sipil; m. Pelayanan administrasi umum pemerintahan;

93 Pasal 14 ayat (1), Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.

Universitas Sumatera Utara

Page 107: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

n. Pelayanan administrasi penanaman modal, o. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya, dan p. Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-

undangan.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 13 ayat (1) huruf k dan Pasal 14 ayat (1)

huruf k Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah maka

urusan pelayanan pertanahan menjadi kewenangan Pemerintah Propinsi dan

Pemerintah Kabupaten/Kota untuk diselenggarakan dalam kaitannya dengan otonomi

daerah. Atau dengan perkataan lain “pelayanan pertanahan” menjadi urusan

pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Pemerintah Propinsi dan Pemerintah

Kabupaten/Kota. Semestinya Pemerintah Pusat terutama instansi yang mengurusi

pertanahan secara bertahap menyerahkan urusan pelayanan bidang pertanahan kepada

Pemerintah Daerah (Propinsi dan Kabupaten/Kota).

Perbedaan pengaturan antara Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah berkaitan dengan pengurusan bidang pertanahan adalah bahwa

dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah secara

tegas disebut urusan/bidang pertanahan, sedang dalam Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah hanya disebut dengan “pelayanan

pertanahan”. Hal ini dapat ditafsirkan bahwa menurut Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bahwa penyerahan urusan pemerintahan di

bidang pertanahan kepada pemerintah daerah hanya pada aspek pelayanannya saja,

bukan pada aspek pembuatan kebijakan atau regulasi bidang pertanahan yang masih

Universitas Sumatera Utara

Page 108: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Sedang menurut Undang-Undang Nomor 22

Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah urusan di bidang pertanahan yang

dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah sangat luas, termasuk segala urusan yang

berkaitan dengan pertanahan yang selama ini ditangani oleh Pemerintah Pusat. Jadi

tidak hanya pada pelayanan dan pelaksanaan tetapi meliputi juga pada pembuatan

kebijakan di bidang pertanahan.

Universitas Sumatera Utara

Page 109: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

BAB III

KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENYELENGGARAAN URUSAN PERTANAHAN

DALAM KONTEKS OTONOMI DAERAH

A. Kewenangan Pemerintah Provinsi di Bidang Pertanahan

Kewenangan di bidang pelayanan pertanahan, oleh Undang-Undang Nomor

32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah didesentralisasikan kepada

Pemerintah Daerah (Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota). Pemerintah Provinsi

yang dipimpin oleh seorang Gubernur yang di samping sebagai Kepala Daerah

Provinsi juga berfungsi selaku wakil Pemerintah di daerah. Dalam kedudukan

Gubernur sebagai sebagai wakil Pemerintah di daerah mengandung makna bahwa

eksistensi Gubernur adalah untuk menjembatani dan memperpendek rentang kendali

pelaksanaan tugas dan fungsi pemerintahan termasuk dalam pembinaan dan

pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan pada strata pemerintahan

kabupaten dan kota.

Penunjukan Gubernur sebagai wakil Pemerintah dimaksudkan pula untuk

meningkatkan pemberdayaan pemerintahan lokal, tidak bertujuan untuk melakukan

resentralisasi kekuasaan pemerintahan seperti yang terjadi pada era Orde Baru

berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok

Pemerintahan Daerah. Dengan adanya instansi/pejabat perantara antara Pemerintah

Pusat dan Daerah otonom (Kabupaten/Kota) maka akan tercipta suatu keseimbangan

Universitas Sumatera Utara

Page 110: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

antara kepentingan yang bersifat nasional dengan kepentingan regional dan

kepentingan lokal. Melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah dipertegas lagi eksistensi Gubernur agar pelaksanaan fungsi

sebagai kepala daerah otonom dan wakil Pemerintah Pusat di daerah dapat berjalan

secara efektif. Jika Pemerintah Pusat memiliki kewenangan yang bersifat standar,

norma dan pedoman nasional, maka Pemerintah Provinsi memiliki kewenangan yang

bersifat lintas kabupaten/ kota dan koordinasi penyelenggaraan kewenangan di

wilayah provinsi tersebut. Sedangkan Pemerintah Kabupaten/Kota memiliki

kewenangan mengatur dan mengurus dalam bidang-bidang tertentu sesuai

kewenangan yang dimiliki berdasarkan standar dan norma dari Pemerintah Pusat dan

dari Pemerintah Provinsi.

Terkait dengan kewenangan yang dimiliki Pemerintah Provinsi, dalam

Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan

antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota

ditentukan bahwa kewenangan pemerintah provinsi adalah mengatur dan mengurus

urusan pemerintahan yang berdasarkan kriteria pembagian urusan pemerintahan

meliputi urusan wajib dan urusan pilihan. Menurut Pasal 7 ayat (2) Peraturan

Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara

Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota,

Universitas Sumatera Utara

Page 111: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh Pemerintah Provinsi adalah

berkaitan dengan pelayanan dasar, yang meliputi94

1. pendidikan;

:

2. kesehatan; 3. lingkungan hidup; 4. pekerjaan umum; 5. penataan ruang; 6. perencanaan pembangunan; 7. perumahan; 8. kepemudaan dan olah raga; 9. penanaman modal, 10. koperasi dan usaha kecil dan menengah; 11. kependudukan dan catatan sipil; 12. ketenagakerjaan; 13. ketahanan pangan; 14. pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak; 15. keluarga berencana dan keluarga sejahtera; 16. perhubungan; 17. komunikasi dan informatika; 18. pertanahan; 19. kesatuan bangsa dan politik dalam negeri; 20. otonomi daerah; pemerintahan umum; administrasi keuangan daerah,

perangkat daerah, kepegawaian dan persandian; 21. pemberdayaan masyarakat dan desa; 22. sosial; 23. kebudayaan; 24. statistik; 25. kerarsipan; 26. perpustakaan.

Sedang urusan pilihan yang merupakan urusan pemerintah provinsi ditentukan

dalam Pasal 7 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang

Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan

Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Urusan pilihan tersebut merupakan urusan

94 Pasal 7 ayat (2), Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota

Universitas Sumatera Utara

Page 112: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi unggulan

daerah yang bersangkutan. Adapun urusan pilihan yang dapat ditangani oleh

Pemerintah Provinsi meliputi95

1. kelautan dan perikanan;

:

2. pertanian; 3. kehutanan; 4. energi dan sumber daya mineral; 5. pariwisata; 6. industri; 7. perdagangan; 8. ketransmigrasian. Salah satu kewenangan Provinsi sebagaimana disebutkan dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara

Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota

lamiran I tersebut adalah bidang pertanahan. Kewenangan mengurus bidang

pertanahan yang dimiliki Pemerintah Provinsi secara rinci termuat dalam Lampiran

Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan

antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota,

yaitu meliputi96

A. Sub Bidang Ijin Lokasi, kewenangan Pemerintah Provinsi meliputi:

:

1. Penerimaan permohonan dan pemeriksaan kelengkapan persyaratan. 2. Kompilasi bahan koordinasi. 3. Pelaksanaan rapat koordinasi. 4. Pelaksanaan peninjauan lokasi.

95 Pasal 7 ayat (4), Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota

96Lampiran, Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007.

Universitas Sumatera Utara

Page 113: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

5. Penyiapan berita acara koordinasi berdasarkan pertimbangan teknis pertanahan dari Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan pertimbangan teknis lainnya dari instansi terkait.

6. Pembuatan peta lokasi sebagai lampiran surat keputusan ijin lokasi yang diterbitkan.

7. Penerbitan surat keputusan ijin lokasi. 8. Pertimbangan dan usulan pencabutan ijin dan pembatalan surat

keputusan ijin lokasi atas usulan kabupatenAota dengan pertimbangan Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi.

9. Monitoring dan pembinaan perolehan tanah. B. Sub Bidang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, kewenangannya

meliputi: 1 Pengadaan tanah untuk pembangunan lintas kabupaten/ kota. 2 Penetapan lokasi. 3 Pembentukan Panitia Pengadaan Tanah sesuai dengan peraturan

perundang-undangan. 4 Pelaksanaan penyuluhan. 5 Pelaksanaan inventarisasi. 6 Pembentukan tim penilai tanah (khusus Provinsi DKI). 7 Penerimaan hasil penaksiran nilai tanah dari lembaga/tim penilai

tanah. 8 Pelaksanaan musyawarah. 9 Penetapan bentuk dan besamya ganti kerugian. 10 Pelaksanaan pemberian ganti kerugian. 11 Penyelesaian sengketa bentuk dan besarnya ganti kerugian. 12 Pelaksanaan pelepasan hak dan penyerahan tanah di hadapan Kepala

Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. C. Sub Bidang Penyelesaian Sengketa Tanah Garapan, kewenangannya

meliputi: 1. Penyelesaian sengketa tanah garapan lintas kabupaten/ kota. 2. Penerimaan dan pengkajian laporan pengaduan sengketa tanah

garapan. 3. Penelitian terhadap obyek dan subyek sengketa. 4. Pencegahan meluasnya dampak sengketa tanah garapan. 5. Koordinasi dengan instansi terkait untuk menetapkan langkah-langkah

penanganananya. 6. Fasilitasi musyawarah antara para pihak yang bersengketa untuk

mendapatkan kesepakatan para pihak. D. Sub Bidang Penyelesaian Masalah Ganti Kerugian dan Santunan Tanah

untuk Pembangunan, kewenangannya meliputi: 1. Penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk

pembangunan.

Universitas Sumatera Utara

Page 114: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

2. Pembinaan dan pengawasan pemberian ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan.

E. Sub Bidang Penetapan Subyek dan Obyek Redistribusi Tanah, Serta Ganti Kerugian Tanah Kelebihan Maksimum dan Tanah Absentee, kewenangannya meliputi: 1. Pembentukan panitia pertimbangan landreform provinsi. 2. Penyelesaian permasalahan penetapan subyek dan obyek tanah

kelebihan maksimum dan tanah absentee. 3. Pembinaan penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti

kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee. F. Sub Bidang Penetapan Tanah Ulayat, kewenangannya meliputi:

1. Pembentukan panitia peneliti lintas kabupaten/kota. 2. Penelitian dan kompilasi hasil penelitian. 3. Pelaksanaan dengar pendapat umum dalam rangka penetapan tanah

ulayat. 4. Pengusulan rancangan peraturan daerah provinsi tentang penetapan

tanah ulayat. 5. Penanganan masalah tanah ulayat melalui musyawarah dan mufakat.

G. Sub Bidang Pemanfaatan dan Penyelesaian Masalah Tanah Kosong, kewenangannya meliputi: 1. Penyelesaian masalah tanah kosong. 2. Pembinaan pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong.

H. Sub Bidang Ijin Membuka Tanah, kewenangan Provinsi meliputi: 1. Penyelesaian permasalahan pemberian ijin membuka tanah. 2. Pengawasan dan pengendalian pemberian ijin membuka tanah. (tugas

pembantuan). I. Sub Bidang Perencanaan penggunaan tanah wilayah kabupaten/kota,

kewenangan Provinsi meliputi : Perencanaan penggunaan tanah lintas kabupaten/kota yang berbatasan.

B. Kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota di Bidang Pertanahan

Sejak diberlakukan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah, daerah kabupaten/kota merupakan daerah otonom yang tidak

menjadi sub ordinat dari daerah provinsi lagi. Demikian pula dalam Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tidak ditegaskan bahwa daerah

kabupaten/kota adalah sub ordinat atau bawahan dari daerah provinsi. Akibat

Universitas Sumatera Utara

Page 115: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

kabupaten/kota tidak lagi menjadi sub ordinat atau bawahan Provinsi maka

dampaknya seringkali terjadi pertentangan yang dilakukan oleh Pemerintah

Kabupaten/Kota terhadap Pemerintah Provinsi. Padahal, baik dalam Undang-Undang

Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah maupun dalam Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah ditegaskan bahwa

Gubernur selaku Kepala Daerah Provinsi adalah wakil Pemerintah Pusat di daerah.

Sebagai wakil Pemerintah di daerah, maka Pemerintah Provinsi berwenang

melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap Pemerintah Kabupaten/Kota. Hal ini

terlihat dari adanya kewenangan Gubernur untuk mengawasi (dalam arti melakukan

evaluasi dan klarifikasi) terhadap Peraturan Daerah dan Rancangan Peraturan Daerah

serta Peraturan Bupati/Walikota dan Rancangan Peraturan Bupati/Walikota

sebagaimana ditentukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang

Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah jo

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun 2007 tentang Pengawasan

Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah. 97

Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah, Pemerintah Daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi

kewenangannya kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah.

Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah

tersebut, pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan

97 Suriansya Murhaini, Aspek Hukum Pengawasan Pemerintah Daerah, (Yogyakarta: Mediatama, 2008), hal. 22.

Universitas Sumatera Utara

Page 116: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas

pembantuan. Hal ini sesuai prinsip desentralisasi yang mensyaratkan pembagian

urusan pemerintahan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah. Urusan

pemerintahan tersebut terdiri dari urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi

kewenangan pemerintah dan urusan pemerintahan yang dikelola secara bersama-sama

antar tingkatan dan susunan pemerintahan.

Urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah

adalah urusan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter dan

fiskal nasional, hukum dan agama. Sedang urusan pemerintahan yang dapat dikelola

secara bersama-sama antar tingkatan dan susunan pemerintahan adalah urusan-urusan

pemerintahan selain urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi urusan

Pemerintah. Dengan demikian maka dalam setiap bidang urusan pemerintahan yang

bersifat konkuren senantiasa terdapat bagian urusan yang menjadi kewenangan

Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota.

Untuk pembagian urusan secara proporsional maka kemudian disusun kriteria

pembagian urusan yang meliputi eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan

mempertimbangkan keserasian hubungan pengelolaan urusan antar tingkatan

pemerintahan. Urusan yang menjadi kewenangan daerah meliputi urusan wajib dan

urusan pilihan. Urusan wajib adalah suatu urusan pemerintahan yang berkaitan

dengan pelayanan dasar seperti pendidikan dasar, kesehatan, pemenuhan kebutuhan

hidup minimal, prasarana lingkungan dasar. Sedang urusan pemerintahan yang

Universitas Sumatera Utara

Page 117: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

bersifat pilihan terkait erat dengan potensi unggulan dan kekhasan daerah yang

bersangkutan.

Adapun urusan wajib yang harus diselenggarakan Pemerintah

Kabupaten/Kota adalah sama dengan Pemerintah Provinsi, yaitu menurut Pasal 7 ayat

(2) Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan

Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah

Kabupaten/Kota yang meliputi98

1. pendidikan;

:

2. kesehatan; 3. lingkungan hidup; 4. pekerjaan umum; 5. penataan ruang; 6. perencanaan pembangunan; 7. perumahan; 8. kepemudaan dan olah raga; 9. penanaman modal; 10. koperasi dan usaha kecil dan menengah; 11. kependudukan dan catatan sipil; 12. ketenagakerjaan; 13. ketahanan pangan; 14. pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak; 15. keluarga berencana dan keluarga sejahtera; 16. perhubungan; 17. komunikasi dan informatika; 18. pertanahan; 19. kesatuan bangsa dan politik dalam negeri; 20. otonomi daerah; pemerintahan umum; administrasi keuangan daerah,

perangkat daerah, kepegawaian dan persandian; 21. pemberdayaan masyarakat dan desa; 22. sosial; 23. kebudayaan; 24. statistik;

98Pasal 7 ayat (2), Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota

Universitas Sumatera Utara

Page 118: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

25. kerarsipan; 26. perpustakaan.

Selanjutnya urusan pilihan yang menjadi urusan Pemerintah Kabupaten/Kota

sebagaimana disebutkan Pasal 7 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007

tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi

dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, yaitu meliputi99

1. kelautan dan perikanan;

:

2. pertanian; 3. kehutanan; 4. energi dan sumber daya mineral; 5. pariwisata; 6. industri; 7. perdagangan; 8. ketransmigrasian.

Pembagian urusan wajib dan urusan pilihan antara Pemerintah

Kabupaten/Kota adalah sama dengan urusan wajib dan urusan pilihan yang menjadi

kewenangan Pemerintah Provinsi. Hanya saja tergantung pada Pemerintah Daerah

yang bersangkutan apakah akan mengambil semua urusan wajib dan urusan pilihan

tersebut dalam penyelenggaraan pemerintahan. Terkait dengan penyelenggaraan

urusan pemerintahan sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38

Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah

Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota tersebut maka diatur pula

struktur kelembagaan yang menangani masing-masing bidang urusan tersebut, yaitu

99Pasal 7 ayat (4), Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan daerah Kabupaten/Kota

Universitas Sumatera Utara

Page 119: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat

Daerah yang berisi pedoman penyusunan organisasi perangkat daerah baik tingkat

provinsi maupun kabupaten/kota.

Selanjutnya mengenai kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota untuk

mengurusi bidang pertanahan telah ditentuka secara rinci dalam Lampiran Peraturan

Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara

Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang

meliputi 9 sub bidang, yaitu100

A. Sub Bidang Ijin Lokasi, kewenangan Pemerintah Kabupaten/ Kota meliputi:

:

1. Penerimaan permohonan dan pemeriksaan kelengkapan persyaratan. 2. Kompilasi bahan koordinasi. 3. Pelaksanaan rapat koordinasi. 4. Pelaksanaan peninjauan lokasi. 5. Penyiapan berita acara koordinasi berdasarkan pertimbangan teknis

pertanahan dari Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan pertimbangan teknis lainnya dari instansi terkait.

6. Pembuatan peta lokasi sebagai lampiran surat keputusan ijin lokasi yang diterbitkan.

7. Penerbitan surat keputusan ijin lokasi. 8. Pertimbangan dan usulan pencabutan ijin dan pembatalan surat

keputusan ijin lokasi dengan pertimbangan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.

9. Monitoring dan pembinaan perolehan tanah. B. Sub Bidang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, kewenangannya

meliputi: 1. Penetapan Lokasi. 2. Pembentukan Panitia Pengadaan Tanah sesuai dengan peraturan perundang-

undangan. 3. Pelaksanaan penyuluhan. 4. Pelaksanaan inventarisasi. 5. Pembentukan tim penilai tanah.

100Lampiran, Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007.

Universitas Sumatera Utara

Page 120: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

6. Penerimaan hasil penaksiran nilai tanah dari lembaga/tim penilai tanah. 7. Pelaksanaan musyawarah. 8. Penetapan bentuk dan besamya ganti kerugian. 9. Pelaksanaan pemberian ganti kerugian. 10. Penyelesaian sengketa bentuk dan besarnya ganti kerugian. 11. Pelaksanaan pelepasan hak dan penyerahan tanah di hadapan Kepala Kantor

Pertanahan Kabupaten/Kota.

C. Sub Bidang Penyelesaian Sengketa Tanah Garapan, kewenangannya meliputi: 1. Penerimaan dan pengkajian laporan pengaduan sengketa tanah

garapan. 2. Penelitian terhadap obyek dan subyek sengketa. 3. Pencegahan meluasnya dampak sengketa tanah garapan. 4. Koordinasi dengan instansi terkait untuk menetapkan langkah-langkah

penanganananya. 5. Fasilitasi musyawarah antar para pihak yang bersengketa untuk

mendapatkan kesepakatan para pihak. D. Sub Bidang Penyelesaian Masalah Ganti Kerugian dan Santunan Tanah

untuk Pembangunan, kewenangannya meliputi: 1. Pembentukan tim pengawasan pengendalian. 2. Penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk

pembangunan. E. Sub Bidang Penetapan Subyek dan Obyek Redistribusi Tanah, serta Ganti

Kerugian Tanah Kelebihan Maksimum dan Tanah Absentee, kewenangannya meliputi:

1. Pembentukan panitia pertimbangan landreform dan sekretariat panitia. 2. Pelaksanaan sidang yang membahas hasil inventarisasi untuk penetapan

subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee.

3. Pembuatan hasil sidang dalam berita acara. 4. Penetapan tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee sebagai obyek

landreform berdasarkan hasil sidang panitia. 5. Penetapan para penerima redistribusi tanah kelebihan maksimum dan tanah

absentee berdasarkan hasil sidang panitia. 6. Penerbitan surat keputusan subyek dan obyek redistribusi tanah serta ganti

kerugian.

F. Sub Bidang: Penetapan Tanah Ulayat, kewenangannya meliputi: 1. Pembentukan panitia peneliti lintas kabupaten/kota. 2. Penelitian dan kompilasi hasil penelitian. 3. Pelaksanaan dengar pendapat umum dalam rangka penetapan tanah

ulayat.

Universitas Sumatera Utara

Page 121: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

4. Pengusulan rancangan peraturan daerah provinsi tentang penetapan tanah ulayat.

5. Pengusulan pemetaan dan pencatatan tanah ulayat dalam daftar tanah kepada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.

6. Penanganan masalah tanah ulayat melalui musyawarah dan mufakat.

G. Sub Bidang Pemanfaatan dan Penyelesaian Masalah Tanah Kosong, kewenangannya meliputi: 1. Inventarisasi dan identifikasi tanah kosong untuk pemanfaatan

tanaman pangan semusim. 2. Penetapan bidang-bidang tanah sebagai tanah kosong yang dapat

digunakan untuk tanaman pangan semusim bersama dengan pihak lain berdasarkan perjanjian.

3. Penetapan pihak-pihak yang memerlukan tanah untuk tanaman pangan semusim dengan mengutamakan masyarakat setempat.

4. Fasilitasi perjanjian kerjasama antara pemegang hak tanah dengan pihak yang akan memanfaatkan tanah di hadapan/ diketahui oleh kepala desa/lurah dan camat setempat dengan perjanjian untuk dua kali musim tanam.

5. Penanganan yang timbul dalam pemanfaatan tanah kosong jika salah satu pihak tidak memenuhi kewajiban dalam perjanjian.

H. Sub Bidang Ijin Membuka Tanah, kewenangan Kabupaten/ Kota meliputi: 1. Penerimaan dan pemeriksaan permohonan. 2. Pemeriksaan lapangan dengan memperhatikan kemampuan tanah,

status tanah dan Rencana Umum Tata Ruang Wilayah (RTRW) kabupaten/kota.

3. Penerbitan ijin membuka tanah dengan memperhatikan pertimbangan teknis dari Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kota.

4. Pengawasan dan pengendalian pemberian ijin membuka tanah. (tugas pembantuan).

I. Sub Bidang Perencanaan Penggunaan Tanah Wilayah Kabupaten/Kota, kewenangannya meliputi: 1. Pembentukan tim koordinasi tingkat Kabupaten/Kota. 2. Kompilasi data dan informasi yang terdiri dari:

a. peta pola penatagunaan tanah atau peta wilayah tanah usaha atau peta persediaan tanah dari kantor pertanahan setempat.

b. rencana tata ruang wilayah. c. rencana pembangunan yang akan menggunakan tanah baik rencana

pemerintah, pemerintah kabupaten/kota, maupun investasi swasta. 3. Analisis kelayakan letak lokasi sesuai dengan ketentuan dan kriteria

teknis dari instansi terkait.

Universitas Sumatera Utara

Page 122: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

4. Penyiapan draft rencana letak kegiatan penggunaan tanah. 5. Pelaksanaan rapat koordinasi terhadap draft rencana letak kegiatan

penggunaan tanah dengan instansi terkait. 6. Konsultasi publik untuk memperoleh masukan terhadap draft rencana

letak kegiatan penggunaan tanah. 7. Penyusunan draft final rencana letak kegiatan penggunaan tanah. 8. Penetapan rencana letak kegiatan penggunaan tanah dalam bentuk peta

dan penjelasannya dengan keputusan Bupati/Walikota. 9. Sosialisasi tentang rencana letak kegiatan penggunaan tanah kepada

instansi terkait. 10. Evaluasi dan penyesuaian rencana letak kegiatan penggunaan tanah

berdasarkan perubahan RTRW dan perkembangan realisasi pembangunan.

Perincian sub bidang kewenangan bidang pertanahan yang dilimpahkan kepada

Pemerintah Kabupaten/Kota sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Pemerintah

Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah,

Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di atas lebih rinci

dan bersifat teknis. Hal ini sesuai dengan sifatnya bahwa daerah hanya melaksanakan

kebijakan nasional pertanahan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah. Dalam rangka

penyerahan kewenangan bidang pertanahan kepada Pemerintah Kabupaten/ Kota, maka

perlu dipahami makna politik pertanahan lokal dan administrasi pertanahan yang

dikendalikan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Politik pertanahan lokal berkaitan

dengan kebijakan pemerintah lokal dalam rangka penataan tata guna tanah bagi

perikehidupan sosial maupun ekonomi guna memenuhi interaksi antar individu di

daerah.

Politik pertanahan lokal tersebut sepenuhnya dikendalikan oleh Pemerintah

Kabupaten/Kota dengan tujuan agar alokasi sumber daya alam maupun sumber daya

ekonomi dapat diwujudkan untuk kemakmuran rakyat. Regulasi tersebut harus

Universitas Sumatera Utara

Page 123: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

diintegrasikan dengan sistem lain yang dijalankan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota,

seperti sosial, ekonomi, pendidikan dan lain-lain. Kewenangan seperti itu memang

diserahkan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota mengingat kebijakan yang diambil

oleh Pemerintah Pusat seringkali tidak mampu menjangkau secara detail setiap

permasalahan yang ada di daerah.101

Untuk itu perlu adanya suatu badan yang

melakukan supervisi terhadap administrasi pertanahan yang diselenggara kan oleh

Pemerintah Daerah agar sesuai dengan kerangka kebijakan pertanahan nasional.

Kesemuanya itu dimaksudkan agar tercipta tertib hukum pertanahan, tertib

administrasi, tertib penggunaan, dan tertib pemeliharaan dalam penyelenggaraan

urusan di bidang pertanahan oleh Pemerintah Daerah.

C. Kewenangan Masyarakat Hukum Adat

Susunan hukum adat pada prinsipnya bermula pada manusia yang terikat pada

masyarakatnya, menurut hukum adat, individu mempunyai kekuasaan-kekuasaan

hukum sebagai anggota dari persekutuan territorial (daerah tanah), persekutuan

genealogis (pertalian kerukunan) dan/atau persekutuan lain. Persekutuan-persekutuan

tersebut dapat terbentuk karena,102

101 Ibnu Subiyanto, Peluang dan Tantangan Peningkatan Pelayanan Kepada Masyarakat Pada Era Desentralisasi, Makalah pada diskusi terbatas dengan tema “Kebijakan Pertanahan Dalam era Desentralisasi dan Peningkatan Pelayanan Pertanahan Kepada Masyarakat”, Jakarta, 12 September 2002, hal. 169.

Pertama, mempunyai hubungan kekerabatan yang

erat berdasarkan kerukunan satu nenek moyang, dan Kedua, berdasarkan daerah atau

wilayah yang didiami. Apabila persekutuan-persekutuan itu memiliki warga yang

102 Soerjono Soekanto, Meninjau Hukum Adat Indonesia, Suatu Pengantar Untuk Mempelajari Hukum Adat, Edisi Ketiga, (Jakarta: Penerbit CV. Rajawali, 1981), hal. 78.

Universitas Sumatera Utara

Page 124: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

teratur, yang agak tetap, mempunyai pemerintahan sendiri (kepala daerah dan

pembantunya), memiliki harta materiil dan immaterial sendiri, maka persekutuan-

persekutuan itu dinamakan sebagai persekutuan hukum.103

Persekutuan-persekutuan hukum yang warganya mempunyai hubungan yang

erat atas keturunan yang sama dimana faktor keturunan adalah faktor yang penting,

dinamakan sebagai persekutuan hukum genealogis.

104 Dalam hubungan genealogis

pada umumnya terdapat susunan keluarga menurut keturunan pihak bapak

(vaderrechtelijk) dan susunan keluarga menurut keturunan pihak bapak-ibu

(ouderrechttelijk, parenteel).105 Persekutuan-persekutuan hukum yang didasarkan

pada daerah atau wilayah yang didiami dinamakan sebagai persekutuan hukum

tertorial.106

103 Ibid.

Persekutuan teritorial dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) macam

persekutuan, yaitu : Pertama, persekutuan desa, Kedua, persekutuan daerah, dan

Ketiga, perserikatan desa. Apabila terdapat segolongan orang yang terikat pada suatu

tempat kediaman dan di dalamnya terdapat dukuh-dukuh terpencil yang tidak berdiri

sendiri, dan kepala persekutuannya dengan pejabat pemerintahan desa praktis

berdiam di tempat itu juga maka dinamakan sebagai persekutuan desa. Persekutuan

daerah lahir dari beberapa persekutuan yang meliputinya yang memiliki batas-batas

dan pemerintahan sendiri dan memiliki hak ulayat tanah di wilayahnya itu. Jika

beberapa persekutuan desa lengkap dengan wilayahnya dan pemerintahannya tinggal

104 Ibid., hal. 79. 105 Ibid., 106 Ibid., hal. 80.

Universitas Sumatera Utara

Page 125: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

secara berdampingan, mengadakan suatu perikatan dengan maksud untuk memenuhi

kepentingan-kepentingan bersama, atau memelihara suatu hubungan atas dasar relasi

dari dahulu, dan atau pemerintahannya bekerjasama antar pemerintahan-

pemerintahan desa dan gabungan persekutuan desa itu tidak memiliki hak ulayat

sendiri, maka dinamakan perserikatan desa.107

Persekutuan hukum genealogis memiliki hubungan yang erat dengan

persekutuan hukum teritorial karena persekutuan genealogis ditentukan juga dan

dibatasi oleh hubungannya dengan tanah desanya yaitu daerahnya. Namun demikian,

hubungan dengan tanah desanya, daerahnya mengikat juga kelompok-kelompok yang

tinggal di wilayahnya itu dan yang tidak mempunyai hubungan kekeluargaan menjadi

suatu persekutuan hukum, suatu kesatuan.

108

Selama seorang individu anggota persekutuan mengusahakan tanah tersebut

sebagai sumber makanan bagi keluarganya, maka ia akan dihormati dalam hal itu.

Namun jika ia melanggar batas tersebut, misalnya menggunakan haknya untuk

maksud perdagangan maka ia akan diperlakukan sebagai orang asing.

Konsekuensinya adalah ia harus meminta ijin kepada ketua persekutuan dengan

Individu sebagai anggota desa ikut

mempunyai hak pertuanan desa, dimana ia dapat ikut menggunakan tanah yang

masuk pertuanan desa. Tanah tersebut digunakan sebagai sumber makanan bagi

persekutuan. Hak untuk ikut mengusahakan sumber makanan tersebut adalah untuk

mencukupi kebutuhan pangan bagi keluarga anggota persekutuan tersebut.

107 Ibid., hal. 81. 108 Ibid., hal. 82.

Universitas Sumatera Utara

Page 126: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

membayar sejumlah uang yang diharuskan dan ditetapkan oleh adat, sama halnya

dengan orang asing, yang juga memerlukan ijin desa untuk menggunakan tanah

persekutuan. Atas dasar hak pertuanannya, baginya dapat menyediakan sendiri

sebidang tanah rimba dengan lebih dahulu memberitahukannya kepada kepala desa.

Dengan demikian ia berhak untuk membuat tanah tersebut menjadi lading tanaman

bagi keluarganya. Disamping itu, ia mempunyai kewajiban melakukan pekerjaan-

pekerjaan untuk membuka tanah, bila telah tiba musim yang ditentukan untuk itu.

Bial ia lalai dalam hal itu, maka ia tidak dapat mencegah orang lain untuk

mengerjakan tanah itu.

Kemudian, jika seseorang anggota sedesa membuka tanah secara individual,

maka ia mendapat hak individual yang paling tinggi atas tanah, yaitu hak milik. Hak

ini memberi kekuasaan, juga kewajiban untuk menanami tanah atau memakainya

(mengerjakan, menjaminnya) selaras dengan maksud tanah tersebut. Hubungan antar

individu dan persekutuan dalam kehidupan desa dikuasai oleh kesadaran persatuan

yang sewajarnya antara individu yang satu dengan yang lain dan oleh solidaritas (rasa

satu) individu dengan golongan sebagai kesatuan.

Dalam hukum adat dikenal istilah hak ulayat dimana hak ulayat pada

hakekatnya merupakan kepunyaan bersama para warga masyarakat hukum adat yang

bersangkutan. Ada bagian tanah ulayat yang digunakan bersama dan ada pula yang

dikuasai warganya secara perorangan dan digunakan untuk pemenuhan

kebutuhannya. Dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Negara Agraria Kepala

Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian

Universitas Sumatera Utara

Page 127: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, yang dimaksud dengan hak ulayat

adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat

tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk

mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut,

bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara

lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat

tersebut dengan wilayah yang bersangkutan. Hak ulayat merupakan hak penguasaan

atas tanah yang tertinggi dalam hukum adat, meliputi semua tanah di dalam

lingkungan wilayah suatu para warganya. Di dalam hak ulayat terkandung unsur

perdata, yaitu bahwa masyarakat hukum adat secara bersama-sama (kolektif)

menguasai dan memiliki tanah yang termasuk wilayah hukum tersebut dan unsur

publik untuk mengelola dan mengatur peruntukan, penggunaan dan penguasaan tanah

hak ulayat tersebut baik dalam hubungan intern maupun ekstern.109

Pada Pasal 2 Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 5 Tahun 1999

tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat

menyebutkan bahwa hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada

apabila

110

a. Terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu,

:

109 Arie Sukanti Hutagalung, Laporan Akhir Tim Kompilasi Hukum Tentang Penggunaan Tanah Menurut Hukum Adat, (Jakarta: BPHN Departemen Hukum dan Perundang-undangan Republik Indonesia, 1999/2000), hal. 16.

110 Pasal 2, Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat masyarakat Hukum Adat

Universitas Sumatera Utara

Page 128: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari;

b. Terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari; dan

c. Terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.

Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,

disinggung pula mengenai keberadaan masyarakat hukum adat. Hutan mempunyai

arti penting bagi masyarakat hukum adat yakni sebagai sumber hidup dan

penghidupannya yang merupakan satu-satunya sumber penghidupan. Dalam Pasal 67

ayat (1) dikatakan bahwa masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada

dan diakui keberadaannya berhak111

a. melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan.

:

b. melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan

c. mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.

Penjelasan Pasal 67 menyatakan masyarakat hukum adat diakui

keberadaannya jika menurut kenyataannya memenuhi unsur antara lain :

a. masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap);

b. ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;

c. ada wilayah hukum adat yang jelas;

d. ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; dan

111 Pasal 67 ayat (1), Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Universitas Sumatera Utara

Page 129: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

e. masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk

pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.

Selanjutnya, masyarakat hukum adat dalam bidang kehutanan mempunyai hak :

a. mengelola pengetahuan dan teknologi dan kearifan setempat dalam mengelola

hutan;

b. mempraktekkan pengetahuan dan teknologi dan kearifan setempat dalam

mengelola hutan;

c. memperoleh pendampingan dan fasilitas dari pemerintah dan atau pemerintah

daerah dalam rangka pemberdayaan;

d. memperoleh perlindungan dari pemerintah dan atau pemerintah daerah; dan

e. berpartisipasi dalam pengurusan hutan dan pengawasan sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Penguasaan bidang tanah ulayat dapat dilakukan secara perorangan baik oleh

warga masyarakat hukum adat maupun bukan masyarakat hukum adat dan badan

hukum. Atas kehendak warga masyarakat hukum adat yang menguasai bidang tanah

menurut hukum adat yang berlaku tersebut, hak atas tanahnya dapat didaftar menurut

ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria. Bagi instansi pemerintah, badan hukum

atau perorangan bukan warga masyarakat hukum adat, penguasaan tanah menurut

ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria baru dapat diberikan setelah tanah tersebut

Universitas Sumatera Utara

Page 130: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

dilepaskan oleh masyarakat hukum adat itu atau oleh warganya sesuai dengan

ketentuan dan tata cara hukum adat yang berlaku.112

Hak ulayat merupakan hak penguasaan atas tanah yang tertinggi dalam hukum

adat. Hak ulayat ini meliputi semua tanah yang ada dalam lingkungan wilayah

masyarakat hukum adat yang bersangkutan, dimana mempunyai kekuatan berlaku ke

dalam dan ke luar. Mempunyai kekuatan berlaku ke dalam artinya bahwa tiap-tiap

anggota kaum atau warga nagari mempunyai hak untuk menggunakan hak ulayat itu

menurut ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh masyarakat hukum itu dan

hak itu dibatasi oleh masyarakat hukum itu untuk kepentingan bersama. Kekuatan ke

luar berarti bahwa orang-orang yang bukan warga suku/kaum atau daerah asli yang

mempunyai hak ulayat itu, tidak diperkenankan menggunakannya kecuali dengan

syarat-syarat yang ditentukan oleh masyarakat hukum yang bersangkutan.

113

Pengelolaan, penguasaan dan pemeliharaan tanah ulayat dan bagian-

bagiannya tersebut perlu diatur, direncanakan dan dipimpin agar terselenggara

ketertiban dan kelestarian pemanfaataannya bagi generasi berikutnya. Hak ulayat

masyarakat hukum adat mengandung 2 (dua) unsur, yaitu

114

a. unsur kepunyaan (yang kita ketahui bukan hak milik dalam arti teknis yuridis) dan;

:

b. unsur tugas kewenangan untuk mengatur, merencanakan, memipin yang dalam

hukum modern termasuk bidang hukum publik.

112 Arie Sukanti Hutagalung, Laporan Akhir Tim Kompilasi Hukum……., Op.Cit., hal. 49. 113 Mahjudin Saleh, Status Tanah; Kumpulan Tulisan Tanah Ulajat Dalam Pembangunan,

(Padang: Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Andalas, Tanpa Tahun), hal. 10. 114 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan……, Op.Cit., hal. 24.

Universitas Sumatera Utara

Page 131: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

Dengan banyaknya anggota masyarakat hukum adat, tugas kewenangan tidak

dapat dilaksanakan sendiri-sendiri sehingga kewenangan pelaksanaannya

dilimpahkan kepada kepala adat sebagai penguasa masyarakat hukum adat yang

bersangkutan dan penguasa adat mempunyai kewenangan penuh dalam hal

penggunaan tanah adat suatu masyarakat hukum adat. Dengan kewenangannya

tersebut, penguasa adat dapat menunjuk objek, subjek maupun bentuk penggunaan

terhadap bidang-bidang tanah di dalam masyarakat hukum adat dan pelaksanaan hak

ulayat tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, tidak boleh

bertentangan dengan undang-undang dan peraturan lain yang lebih tinggi.115

D. Urusan Pertanahan Dalam Konteks Otonomi Daerah

Menurut Pasal 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah bidang pertanahan merupakan salah satu urusan yang wajib

diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Namun pelimpahan kewenangan

urusan pemerintahan di bidang pertanahan tidak dapat dilaksanakan karena terganjal

oleh berbagai peraturan perundang-undangan sebelumnya yang isinya kembali

mensentralisasi bidang pertanahan menjadi wewenang Pemerintah Pusat. Meski

waktu selama 2 (dua) tahun yang dijanjikan oleh Keputusan Presiden Nomor 62

Tahun 2001 2001 tentang Pelaksanaan Wewenang di Bidang Pertanahan telah

terlampaui ternyata penyerahan urusan pertanahan kepada Pemerintah Daerah belum

dapat dilaksanakan. Bahkan melalui Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003

115 Ibid., hal. 54.

Universitas Sumatera Utara

Page 132: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

tentang kebijakan nasional di bidang pertanahan, Pemerintah menyatakan bahwa

sebagaian kewenangan Pemerintah Pusat di bidang pertanahan dilimpahkan kepada

daerah, namun keberadaan Badan Pertanahan Nasional tidak dibubarkan tetapi diberi

wewenang untuk menangani bidang pertanahan yang bersifat nasional.

Pemerintah, melalui Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang

kebijakan nasional di bidang pertanahan, telah menentukan pembagian kewenangan

Badan Pertanahan Nasional beserta dengan lingkup tugasnya kewenangan Pemerintah

Daerah di bidang pertanahan, yaitu116

:

1. Wewenang Badan Pertanahan Nasional Pusat meliputi : a. Pengaturan penyelenggaraan, peruntukan, penggunaan, persediaan dan

pemeliharaan tanah. b. Penetapan dan pengaturan hubungan-hubungan hukum antara orang-

orang dengan tanah. c. Pengurusan hak atas tanah. d. Penetapan pengaturan hubungan-hubungan hukum antara orang-orang

dengan tanah. 2. Wewenang Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi meliputi:

a. Perencanaan tata guna tanah dan tata ruang propinsi. b. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan tata guna tanah dan tata

ruang. c. Pengawasan, pengendalian dan penetapan pedoman pelaksanaan

landreform. d. Penetapan dan pengurusan hak atas tanah. e. Pengukuran dan pendaftaran tanah.

3. Wewenang Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota meliputi : a. Penyelenggaraan tata guna tanah dan tata ruang. b. Penyelenggaraan pengaturan penguasaan tanah (landreform). c. Penyelenggaraan pengurusan hak atas tanah. d. Penyelenggaraan pendaftaran tanah. e. Penyelenggaraan pengukuran tanah.

116 Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan

Universitas Sumatera Utara

Page 133: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

4. Wewenang Pemerintah Daerah di Bidang Pertanahan meliputi : a. Pengaturan, penguasaan tanah dan tata ruang. b. Hal-hal lain yang berkaitan dengan tanah. c. Hal-hal lain yang berkaitan dengan keuangan.

Pembagian kewenangan bidang pertanahan antara Pemerintah Pusat dengan

Pemerintah Daerah tersebut dirasakan masih belum sesuai kehendak Pasal 11 ayat (2)

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana

diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah, karena meski sebagian kewenangan di bidang pertanahan dilimpahkan

kepada daerah, namun masih tetap dipertahankannya keberadaan Kantor Badan

Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten/Kota untuk mengurusi pertanahan di wilayah

kabupaten dan kota. Padahal, sebagai bagian dari kewenangan daerah, bidang

pertanahan harus sepenuhnya diurusi oleh Pemerintah Daerah. Menteri Dalam Negeri

dan Otonomi Daerah melalui Surat Keputusan Nomor 50/2000 Tentang Pedoman

Susunan Perangkat Daerah telah menyatakan bahwa urusan pertanahan di

Kabupaten/Kota ditangani oleh Dinas Pertanahan yang dibentuk berdasarkan

Peraturan Daerah. Jadi, karena urusan pertanahan belum dapat diurusi sendiri secara

penuh oleh Pemerintah Kabupaten/Kota maka hingga saat ini terdapat 3 (tiga)

pandangan dalam mengurusi bidang pertanahan, yaitu :

1. Pengurusan Pertanahan Berdasarkan Ketentuan Badan Pertanahan

Nasional (BPN)

Eksistensi Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang memiliki tugas dan

wewenang di bidang pertanahan masih dipertahankan oleh Pemerintah melalui

Universitas Sumatera Utara

Page 134: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional

walaupun urusan bidang pertanahan adalah merupakan salah satu urusan yang telah

disentralisasikan kepada Pemerintah Daerah melalui Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ini. Salah satu pertimbangan

dipertahankannya keberadaan Badan Pertanahan Nasional (BPN) adalah karena tanah

merupakan perekat Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga perlu diatur dan

dikelola secara nasional untuk menjaga keberlanjutan sistem kehidupan berbangsa

dan bernegara.117

Kebijakan Pemerintah mempertahankan eksistensi Badan Pertanahan

Nasional (BPN) melalui Peraturan Presiden tersebut menunjukkan bahwa

desentralisasi di bidang pertanahan kepada Pemerintah Daerah sebagaimana

diamanatkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

belum dijalankan atau dengan kata lain belum menjadi kenyataan, hanya sekedar das

sollen saja. Justru Pemerintah menghendaki agar penyerahan urusan pertanahan

kepada daerah tidak dilaksanakan berdasarkan prinsip desentralisasi sebagai esensi

otonomi daerah, tetapi didasarkan pada prinsip dekonsentrasi atau tugas pembantuan

(medebewind). Hal ini didasarkan pada ketentuan dalam Undang-Undang Pokok

Agraria dan diatur lebih lanjut dalam Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun

2006 tentang Badan Pertanahan Nasional dimana kedudukan BPN sebagai instansi

117 Hasil wawancara dengan Fachrul Husin Nasution, SH., M.Kn (Kepala Seksi Bidang Pengaturan Tanah Instansi Pemerintah) Pada Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Sumatera Utara), Pada tanggal 3 April 2012.

Universitas Sumatera Utara

Page 135: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

yang melaksanakan tugas pemerintah di bidang pertanahan secara nasional, regional

dan sektoral.

Selanjutnya, dalam Pasal 3 Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang

Badan Pertanahan Nasional disebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas

sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2, maka Badan Pertanahan Nasional (BPN)

menyelenggarakan fungsi antara lain118

1. perumusan kebijakan nasional di bidang pertanahan;

:

2. perumusan kebijakan teknis di bidang pertanahan; 3. koordinasi kebijakan, perencanaan dan program di bidang pertanahan; 4. pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang pertanahan; 5. penyelenggaraan dan pelaksanaan survey, pengukuran dan pemetaan di

bidang pertanahan; 6. pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum; 7. pengaturan dan penetapan hak-hak atas tanah; 8. pelaksanaan penatagunaan tanah, reformasi agraria dan penataan

wilayah-wilayah khusus; 9. penyiapan administrasi atas tanah yang dikuasai dan/atau milik

Negara/daerah bekerja sama dengan Departemen Keuangan; 10. pengawasan dan pengendalian penguasaan pemilikan tanah; 11. kerja sama dengan lembaga-lembaga lain; 12. penyelenggaraan dan pelaksanaan kebijakan, perencanaan dan program

di bidang pertanahan; 13. pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan; 14. pengkajian dan penanganan masalah, sengketa, perkara, dan konflik di

bidang pertanahan; 15. pengkajian dan pengembangan hukum pertanahan; 16. penelitian dan pengembangan di bidang pertanahan; 17. pendidikan, latihan dan pengembangan sumber daya manusia di bidang

pertanahan; 18. pengelolaan data dan informasi di bidang pertanahan; 19. pembinaan fungsional lembaga-lembaga yang berkaitan dengan bidang

pertanahan; 20. pembatalan dan penghentian hubungan hukum antara orang, dan/atau

badan hukum dengan tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

118 Pasal 3, Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional

Universitas Sumatera Utara

Page 136: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

21. fungsi lain di bidang pertanahan sesuai peraturn perundang-undangan yang berlaku.

Terkait dengan kebijakan pertanahan nasional, maka hal-hal yang menyangkut

hukum, kebijakan dan pedoman dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah

maupun keputusan presiden menjadi tanggungjawab Pemerintah Pusat sebagaimana

diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Pembagian

Wewenang Antara Pusat dan Provinsi dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah, yaitu

mengenai119

1. penetapan persyaratan pemberian hak atas tanah;

:

2. penetapan persyaratan landreform; 3. penetapan standar administrasi pertanahan; 4. penetapan pedoman biaya pelayanan pertanahan; dan 5. penetapan kerangka dasar kadastral nasional.

Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Pembagian Wewenang

Antara Pusat dan Provinsi dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah kemudian diganti

dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan

Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah

Kabupaten/Kota yang mengatur pembagian urusan pemerintahan yang menjadi

kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Provinsi/Kabupaten/Kota),

termasuk di bidang pertanahan. Pemerintah Pusat mempunyai kewenangan dalam

pembinaan, pengawasan atas penyelenggaraan otonomi daerah yang meliputi pedoman

dan bimbingan yang dapat dilakukan melalui instansi vertikal yang menangani masalah

pertanahan. Kemudian, berdasarkan Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006

119 Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Pembagian Wewenang Antara Pusat dan Provinsi dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah.

Universitas Sumatera Utara

Page 137: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

tentang Badan Pertanahan Nasional yaitu dalam rangka melaksanakan tugas

pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional dan sektoral, maka

Pemerintah membentuk instansi Badan Pertanahan Nasional (BPN) di daerah untuk

melaksanakan tugas di bidang pertanahan secara regional dan sektoral. Dalam Pasal 28

Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional

disebutkan bahwa untuk menyelenggarakan tugas dan fungsi Badan Pertanahan Nasional

(BPN) di daerah dibentuk Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi di daerah

Provinsi, dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota di daerah Kabupaten/Kota. Organisasi

dan Tata Kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Kantor

Pertanahan Kabupaten/Kota ditetapkan lebih lanjut oleh Kepala Badan Pertanahan

Nasional setelah mendapat persetujuan dari Menteri yang bertanggungjawab di bidang

pendayagunaan aparatur negara. Dengan demikian, maka Pemerintah masih

mempertahankan keberadaan Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebagai instansi vertikal

di daerah.

Adapun pengurusan bidang pertanahan di daerah dilaksanakan oleh unit

terbawah Badan Pertanahan Nasional (BPN) yaitu Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota

yang dibentuk berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional dan

bertanggungjawab kepada Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi yang

mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas dan fungsi Badan Pertanahan

Universitas Sumatera Utara

Page 138: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

Nasional (BPN) dalam lingkungan wilayah Kabupaten/Kota. Kantor Pertanahan

mempunyai fungsi, yaitu120

1. Menyiapkan kegiatan di bidang pengaturan penguasaan tanah, penataan tanah,

pengurusan hak-hak atas tanah serta pengukuran dan pendaftaran tanah.

:

2. Melaksanakan kegiatan pelayanan di bidang pengaturan penguasaan tanah,

penatagunaan tanah, pengurusan hak-hak atas tanah, pengukuran dan pendaftaran

tanah.

3. Melakukan urusan tata usaha dan rumah tangga.

Kantor Pertanahan bertanggungjawab kepada instansi di atasnya namun

secara teknis operasional dikoordinasi oleh Bupati/Walikota selaku Kepala Daerah.

Dalam pelaksanaan tugas tersebut Kepala Kantor Pertanahan wajib melakukan

prinsip koordinasi, integrasi dengan instansi vertikal di wilayah dan unsur Pemerintah

Daerah terkait.

2. Pengurusan Pertanahan Oleh Pemerintah Daerah Menurut Keputusan

Presiden Nomor 34 Tahun 2003 Tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan

Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang kebijakan nasional di

bidang pertanahan diterbitkan untuk mengatur pembagian urusan di bidang

pertanahan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Perlu diketahui juga

bahwa, sebelum Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang kebijakan

120 Hasil wawancara dengan Bapak Fachrul Husin Nasution, SH, M.Kn (Kepala Seksi Bidang Pengaturan Tanah Pemerintah ) Pada Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Sumatera Utara), Pada tanggal 3 April 2012.

Universitas Sumatera Utara

Page 139: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

nasional di bidang pertanahan diterbitkan, Menteri Dalam Negeri memandang bahwa

masalah pertanahan merupakan bagian dari otonomi daerah, sehingga harus diurusi

oleh dinas daerah. Dalam Lampiran VII.17 Keputusan Menteri Dalam Negeri dan

Otonomi Daerah Nomor 50 Tahun 2000 tentang Pedoman Susunan Organisasi

Perangkat Daerah telah ditegaskan bahwa Dinas Pertanahan Kabupaten/Kota

mempunyai tugas melaksanakan kewenangan di bidang pertanahan berkaitan dengan

pelaksanaan otonomi daerah.

Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 50 Tahun

2000 tentang Pedoman Susunan Organisasi Perangkat Daerah tersebut kemudian

dianulir oleh Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang kebijakan nasional

di bidang pertanahan. Dalam Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003

diatur tentang pembagian kewenangan Pemerintah di bidang pertanahan yang

dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota. Kewenangan tersebut meliputi 9

(sembilan) sub bidang, yaitu121

1. pemberian ijin lokasi;

:

2. penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan; 3. penyelesaian sengketa tanah garapan; 4. penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk

pembangunan; 5. penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah

kelebihan maksimum dan tanah absentee; 6. penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat; 7. pemanfaatan dan penyelesaian tanah kosong; 8. pemberian ijin membuka tanah; dan 9. perencanaan penggunaan tanah wilayah kabupaten/kota.

121 Pasal 2, Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan

Universitas Sumatera Utara

Page 140: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

Untuk menindaklanjuti Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang

kebijakan nasional di bidang pertanahan maka kemudian diterbitkan Keputusan

Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2003 tentang Norma dan Standar

Mekanisme Ketatalaksanaan Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan yang

dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Dalam Keputusan Kepala Badan

Pertanahan tersebut diatur secara rinci Sembilan sub kewenangan bidang pertanahan

yang harus dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota sebagaimana yang

disebutkan dalam Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang kebijakan

nasional di bidang pertanahan . Perincian 9 (sembilan) sub bidang tersebut diatur

mulai dari proses persiapan, pelaksanaan dan pelaporan pengurusan bidang

pertanahan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota.

Selanjutnya, materi muatan undang-undang dan peraturan pemerintah serta

keputusan presiden yang di dalamnya mengatur delegasi kewenangan tersebut dalam

pelaksanaannya dituangkan dalam peraturan daerah oleh Pemerintah Kabupaten/Kota

yang disesuaikan dengan kondisi daerah masing-masing. Adapun mengenai masalah

teknis yang sewaktu-waktu dapat berubah maka dituangkan dalam bentuk Peraturan

Kepala Daerah. Kewenangan pemerintah daerah dalam bidang pertanahan

dikhusukan kepada pelaksanaan hukum dan kebijakan yang telah diputuskan oleh

Pemerintah, dan ditujukan pada hal-hal yang benar-benar diketahui dan secara nyata

ada di daerah kabupaten/kota bersangkutan. Kesemuanya itu sudah diatur dalam

peraturan perundang-undangan yang diterbitkan oleh Pemerintah, yaitu yang

meliputi:

Universitas Sumatera Utara

Page 141: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

1. Pengaturan, penguasaan tanah dan tata ruang, meliputi :

a. Ijin lokasi, pengaturan persediaan dan peruntukan.

b. Penyelesaian tanah garapan.

c. Wide occupatie penguasaan pendudukan tanah oleh yang tidak berhak.

d. Penyelesaian ganti rugi dalam pengadaan tanah.

e. Penyelesaian dan penetapan hak ulayat masyarakat hukum adat;

f. Penyelesaian tanah terlantar;

g. Pemanfaatan lahan tidur.

h. Pengaturan reklamasi;

i. Penetapan obyek, subyek redistribusi landreform tanah kelebihan absentee.

j. Penetapan harga dasar tanah.

k. Penetapan penyelenggaraan perjanjian bagi hasil tanah pertanian.

2. Hal-hal lain yang berkaitan dengan tanah, meliputi :

a. Penetapan nilai obyek pajak bumi dan bangunan.

b. Ijin mendirikan bangunan.

c. Ijin usaha.

d. Undang-undang gangguan yang berkaitan dengan penanaman modal.

e. Penetapan koefisien dasar bangunan dan koefisien lantai bangunan.

f. Lingkungan siap bangun dan kawasan siap bangun.

3. Hal-hal lain yang berkaitan dengan keuangan, meliputi :

a. Mendapatkan bagian dari uang pemasukan dari pemberian hak atas tanah

sebesar 80% dari total pemasukan.

Universitas Sumatera Utara

Page 142: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

b. Mendapat bagian dari Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan

(BPHTB) serta Pajak Penghasilan (PPh) sebesar 80% untuk daerah dimana

BPHTB serta PPh diperoleh, sedangkan sebesar 20%

didistribusikan/dibagikan kembali kepada daerah-daerah lain sebagai subsidi

silang secara merata.

3. Pengurusan Pertanahan Dalam Peraturan Daerah

Berdasarkan petunjuk Menteri Dalam Negeri sebagaimana tertuang dalam

Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 50 Tahun 2000

tentang Pedoman Susunan Organisasi Perangkat Daerah maka di beberapa daerah

diterbitkan Peraturan Daerah untuk membentuk Dinas Pertanahan. Kewenangan

Dinas Pertanahan yang dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah tersebut adalah untuk

menangani urusan pertanahan di tingkat Kabupaten/Kota. Dalam Peraturan Daerah

yang diterbitkan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia tersebut

intinya mengatur hal yang serupa mengenai tugas dan wewenang Dinas Pertanahan

Daerah, yaitu melaksanakan kewenangan Pemerintah Daerah di bidang pertanahan

dan tugas pembantuan (medebewind) yang diberikan oleh Pemerintah. Untuk

melaksanakan tugas tersebut maka Dinas Pertanahan mempunyai fungsi, yaitu122

1. Pelaksanaan administrasi dan pelayanan pertanahan di bidang pengaturan penguasaan tanah, penatagunaan tanah, pengurusan hak-hak atas tanah, pengukuran dan pendaftaran tanah.

:

2. Pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah serta pengukuran titik dasar teknis dan pemeliharaan tanah.

122 Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 50 Tahun 2000 tentang Pedoman Susunan Organisasi Perangkat Daerah

Universitas Sumatera Utara

Page 143: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

3. Penyiapan bahan rumusan penatagunaan tanah dan pengaturan penguasaan tanah dalam rangka penyusunan penataan ruang kota.

4. Pengendalian penguasaan dan pemanfaatan tanah. 5. Pelaksanaan intervensi sumber daya tanah. 6. Penilaian tanah dan pemantauan perkembangan nilai tanah. 7. Penanganan masalah pertanahan dan pemberdayaan masyarakat di bidang

pertanahan. 8. Pengembangan sistem informasi pertanahan. 9. Pengelolaan tata usaha dinas. 10. Pelaksanaan tugas-tugas lain yang diberikan oleh Kepala Daerah.

Universitas Sumatera Utara

Page 144: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

BAB IV

HAMBATAN DALAM PELAKSANAAN KEWENANGAN PERTANAHAN DALAM KONTEKS OTONOMI DAERAH

A. Konflik Aturan Hukum Sektor Pertanahan Terhadap Pasal 33 Ayat (3)

Undang-Undang Dasar Tahun 1945

Adanya konflik peraturan perundang-undangan (aturan hukum) di bidang

pertanahan, mengharuskan terlebih dahulu melakukan analisis terhadap nilai-nilai dan

asas-asas yang terkandung dalam konstitusi, yaitu Undang-Undang Dasar Tahun

1945. Analisa atas nilai dan asas-asas tersebut bertujuan untuk menemukan hakikat

konsep hukum yang menjadi dasar pembangunan ekonomi di Indonesia, termasuk di

bidang agraria, khususnya di bidang pertanahan. Analisa nilai-nilai dan asas-asas

tersebut di atas diperlukan mengingat konflik peraturan perundang-undangan di

bidang agraria, diyakini akibat adanya perubahan nilai dan asas dari amandemen

Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Perubahan nilai dan asas tersebut tidak sesuai

dengan nilai-nilai yang terkandung pada Pancasila sebagai sumber dari segala sumber

hukum di Indonesia. Nilai-nilai Pancasila tersebut, terutama adalah kemanusiaan

yang adil dan beradab, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Asumsi

tersebut di atas didasarkan banyaknya kritik yang diajukan, bahwa peraturan

perundang-undangan di bidang agraria, khususnya di bidang pertanahan, lebih banyak

melindungi penanam modal, dan melemahkan rakyat untuk dapat mengakses hak atas

tanah.

Universitas Sumatera Utara

Page 145: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

1. Pra Amandemen Undang-Undang Dasar 1945

Pada alenia keempat Pembukaan UUD 1945 dirumuskan tujuan

pembentukan Negara Indonesia dan prinsip-prinsip dasar untuk mencapai tujuan

tersebut, yaitu :

1. Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia;

2. Memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa; dan

3. Ikut serta memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,

perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Tanah adalah modal dasar yang strategis dan vital dalam rangka

menciptakan masyarakat yang sejahtera dan berkeadilan (mayarakat adil dan

makmur), oleh karena itu pembahasan terhadap pengaturan hukum di bidang

pertanahan dalam rangka menentukan taraf dan konsistensinya tidak dapat lepas

dari pembahasan karena politik agraria/pertanahan yang secara konkrit

dituangkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan di bawah UUD 1945

merupakan bagian dari pengembanan politik kesejahteraan dan keadilan sosial.

Dalam Penjelasan Umum UUD 1945, masalah kesejahteraan umum dan keadilan

sosial tidak dijelaskan secara panjang lebar, hanya dinyatakan bahwa: “Negara

hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat”. Solly Lubis123

123 M. Solly Lubis, Pembahasan UUD 1945, (Bandung: Alumni, 1985), hal. 25, 63.

menafsirkan, bahwa aspirasi akan terciptanya kesejahteraan umum, berarti

aspirasi akan terciptanya suatu tata bina negara dan tata pemerintahannya yang

mampu mencerminkan, mengemban dan mengejewantah suatu negara

Universitas Sumatera Utara

Page 146: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

kesejahteraan (welfare state), yang sekaligus merupakan suatu tekad perlawanan

terhadap tata kehidupan kolonial dan tekad bulat (ekaprasetia) untuk menata

pemerintahan dan masyarakat yang merdeka, berdaulat, berhak menetukan nasib

sendiri (self determination), dan membina kemakmuran yang merata adil dan

makmur.

Sebagai negara yang bertujuan memberikan kesejahteraan bagi rakyat,

maka bidang ekonomi menjadi faktor utama dalam kehidupan bernegara. Oleh

karena itu, bidang ekonomi diatur dalam bab tersendiri dalam UUD 1945, yaitu

pada Bab XIV yang sebelum perubahan berjudul Kesejahteraan Sosial. Di bawah

Bab XIV tersebut tercantum Pasal 33 yang sebelum perubahan terdiri dari ayat

(1), (2), dan (3). Rumusan Pasal tersebut berdasarkan ejaan lama, sebagai berikut:

1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan.

2. Tjabang-tjabang produksi yang penting bagi Negara dan jang menguasai hadjat hidup orang banjak dikuasai oleh Negara.

3. Bumi dan air dan kekajaan alam jang terkandung di dalamnja dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnja kemakmuran rakjat”.

Penjelasan Pasal 33 :

Dalam Pasal 33 tertjantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerdjakan oleh semua, untuk semua dibawah pimpinan atau penilikan anggauta-anggauta masjarakat. Kemakmuran masjarakatlah jang diutamakan bukan kemakmuran orang seorang. Sebab itu, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas usaha kekeluargaan. Bangun perusahaan jang sesuai dengan itu ialah koperasi. Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi segala orang. Sebab itu tjabang-tjabang produksi jang penting bagi Negara dan jang menguasai hidup orang banjak harus dikuasai oleh Negara. Kalau tidak, tampuk produksi djatuh ketangan orang seorang jang berkuasa dan rakjat jang

Universitas Sumatera Utara

Page 147: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

banjak ditindasnja. Hanja perusahaan jang tidak menguasai hadjat hidup orang banjak boleh ditangan orang seorang. Bumi dan air dan kekajaan alam jang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakjat. Sebab itu harus dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakjat.

Makna kata-kata produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua...yang

diutamakan bukan kemakmuran orang perorang, adalah lawan daripada sistem

ekonomi kapitalisme yang mengutamakan perseorangan/individu (individualism).

Sistem ekonomi kapitalisme hanya akan melahirkan ketimpangan sosial yang

sangat tajam atau hanya memakmurkan segelintir orang saja, oleh karena itu,

secara tegas Pasal 33 UUD 1945, melarang adanya penguasaan cabang-cabang

produksi yang penting bagi negara oleh orang perorang (individu) secara terpusat

(monopoli dan oligopoli) maupun praktek-praktek cartel dalam hal

pengelolannya. Dan bentuk perusahaan yang sesuai bagi prinsip-prinsip

demokrasi ekonomi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 33 UUD 1945

adalah koperasi.

2. Pasca Amandemen Undang-Undang Dasar Tahun 1945

UUD 1945 mengalami perubahan sebagaimana tuntutan reformasi Tahun

1998. Pembahasan rancangan peruabahannya dilakukan oleh Badan Pekerja

Majelis Permusyawaratan Rakyat (BP-MPR), mulai dari Tahun 1999 sampai

Tahun 2002 yang menghasilkan empat kali perubahan. Setelah perubahan, judul

Bab XIV dirubah dari Kesejahteraan Sosial, menjadi Perekonomian Nasional dan

Kesejahteraan Sosial, dengan pasal yang diliputinya yaitu, Pasal 33, Pasal 34 dan

Universitas Sumatera Utara

Page 148: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

Pasal 37. Pasal 33 yang semula terdiri dari tiga ayat diubah menjadi 5 (lima) ayat,

yaitu :

1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.

2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.

3. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

4. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.

Perubahan penting lainnya adalah Penjelasan UUD 1945 tidak lagi

ditempatkan sebagai penjelasan otentik dari UUD 1945. Rumusan Pasal 33 UUD

1945 setelah diamandemen selengkapnya adalah : Secara umum amandemen

UUD 1945 perubahan pertama sampai dengan perubahan ke empat menimbulkan

‘kontroversi’ di kalangan cendekiawan (intellectual) maupun dari masyarakat

sipil lainnya, yaitu berkisar pada materi perubahan (substansial) maupun dari segi

proses amandemen. Adanya keinginan sebagian masyarakat untuk kembali ke

UUD 1945 terutama disebabkan, masyarakat menyakini bahwa UUD 1945 hasil

amandemen MPR Tahun 1999–2002 membawa semangat ‘(Neo) Liberalisme’

dalam kehidupan kenegaraan.

Pendapat lain yang muncul berkaitan dengan penambahan ayat dalam

UUD 1945 pada Pasal 28, yaitu Pasal 28E ayat (2), Pasal 28F dan, Pasal 33, yaitu

penambahan Pasal 33 ayat (4). Perubahan Pasal 28 mengakibatkan aspek ideologi

Universitas Sumatera Utara

Page 149: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

dan keamanan nasional menjadi tidak jelas kedudukannya (vide: pasal 28E ayat

(4) dan pasal 28F). Konsekwensi penambahan ayat pada Pasal 28 tersebut adalah,

paham ekonomi kekeluargaan yang dianut bangsa Indonesia juga menjadi tidak

jelas kedudukannya. Sedangkan penambahan ayat pada Pasal 33 dengan Pasal 33

ayat (4) yang intinya mengedepankan prinsip demokrasi ekonomi, menimbulkan

pertanyaan bahwa demokrasi ekonomi yang bagaimana yang menjadi paham

ekonomi Indonesia sekarang setelah terjadi penambahan ayat tersebut.

Jika merujuk pada pengertian asasi demokrasi politik, esensinya adalah

mayoritas suara yang menentukan. Jika makna demikian dijadikan patokan untuk

memahami makna demokrasi ekonomi, maka tafsir yang didapat adalah mayoritas

(kekuatan) kapital yang menentukan. Hal ini berarti, Indonesia Pasca Reformasi

menganut sistem ekonomi kapitalis. Mubyarto menyatakan, perubahan Judul Bab

XIV UUD 1945 tentang “Kesejahteraan Sosial” menjadi “Perekonomian Nasional

dan Kesejahteraan Sosial” adalah perubahan yang menyesatkan. Mubyarto124

124 Mubyarto adalah salah satu pakar ekonomi yang awalnya terlibat dalam perumusan perubahan Pasal 33 UUD 1945, yang kemudian mengundurkan diri karena ada perbedaan pandangan dengan anggota tim pakar ekonomi lainnya. Argumentasinya mengenai Perubahan Bab IXV UUD 1945 secara lengkap dapat dilihat dalam, Mubyarto, Paradigma Kesejahteraan Rakyat dalam Ekonomi Pancasila, (Jakarta: Jurnal Ekonomi Rakyat, Artikel–Th. II–Nomor 4–Juli, 2003).

menyatakan, perubahan tersebut terjadi karena (anggota MPR) menganggap

bahwa perekonomian nasional bisa dilepaskan kaitannya dengan kesejahteraan

sosial, oleh karena itu perubahan Bab XIV dirumuskan dalam 2 (dua) variabel,

yaitu “Perekonomian Nasional” dan “Kesejahteraan Sosial”. Perumusan demikian

bertentangan dengan pendirian founding fathers, karena pada saat disahkannya

Universitas Sumatera Utara

Page 150: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

UUD 1945, para pendiri negara tidak pernah ragu dalam pendiriannya, bahwa

baik buruknya perekonomian nasional akan ikut menentukan tinggi rendahnya

kesejahteraan sosial.

Lebih jauh Mubyarto menyatakan, amandemen Pasal 33 dengan

menambahkan ayat (4) tentang “penyelenggaraan perekonomian nasional” yang

dibedakan dari “penyusunan perekonomian” pada ayat (1) adalah sekedar

mencari kompromi antara mereka yang ingin mempertahankan dan yang ingin

menggusur asas kekeluargaan pada ayat (1). Mereka yang ingin menggusur asas

kekeluargaan mengira asas kekeluargaan menolak sistem ekonomi pasar yang

berprinsip efisiensi. Padahal, perekonomian yang berasaskan kekeluargaan

(ekonomi Pancasila) tidak berarti sistem ekonomi “bukan pasar”. Berkaitan

dengan penghapusan Penjelasan UUD 1945, Mubyarto berpendapat sebagai

kekeliruan fatal dan dapat dianggap sebagai “pengkhianatan” terhadap ikrar para

pendiri negara. Penghapusan penjelasan Pasal 33, berarti hilangnya pengertian

‘demokrasi ekonomi’ dan hilangnya kata ‘koperasi’ sebagai bangunan perusahaan

yang sesuai dengan demokrasi ekonomi.

B. Kewenangan Dalam Bidang Pertanahan Menurut Undang-Undang Pokok Agraria Dengan Peraturan Perundang-undangan Pertanahan Lainnya

Hukum mengatur sendiri pembentukannya karena suatu norma hukum

menentukan cara bagaimana norma hukum yang lain mengatur serta menentukan

isinya. Untuk sampai pada penjabaran norma yang sesuai dengan norma yang di

atasnya harus ditentukan pula oleh norma lain yang mengatur tatacara penetapan

Universitas Sumatera Utara

Page 151: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

norma. Penjelasan ini dapat digambarkan dalam bentuk piramida sistem hubungan

penormaan. Sebagai konsekuensinya, suatu norma yang lebih tinggi akan mengikat

norma yang lebih rendah. Pengikatan norma yang lebih rendah dilakukan baik dalam

proses penciptaan maupun materi muatannya. Dalam konsepsi hukum tanah di

Indonesia, penormaan atas penetapan dan penggunaan hak atas tanah menampakkan

bentuknya dalam penjabaran asas-asas hukum yang bersumber pada Pancasila.

Dengan demikian Pancasila mengandung asas hukum dasar yang terjabarkan dalam

Undang-Undang Dasar 1945 sebagai asas hukum umum. Implementasi lebih lanjut

dari asas hukum umum tersebut di atas berupa asas hukum khas yang mengatur

bidang hubungan manusia dengan tanah.

Beberapa asas yang menonjol dalam hubungan dengan tanah adalah asas

kewenangan negara dalam merencanakan, mengatur dan menyediakan tanah.

Demikian pula asas fungsi sosial yang terjabarkan dalam sub asas manfaat,

memelihara, menjaga keseimbangan, kepantasan dalam berhubungan, menolong yang

lemah dan mengutamakan kepentingan umum. Asas-asas tersebut diimplementasikan

dalam norma-norma hukum baik yang bersifat privat maupun publik (bersegi satu

dan bersegi banyak).

Kemudian, dalam Undang-Undang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960

(selanjutnya disebut UUPA) asas-asas yang menonjol tersebut di atas bermuara pada

faktor penggunaan tanah sebagai tolok ukur pencapaian implementasi dari asas-asas

tersebut. Penormaan asas tersebut di atas dilakukan dalam satu peraturan perundang-

undangan yang di dalamnya tidak saja memuat aspek formal dan material suatu

Universitas Sumatera Utara

Page 152: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

idealitas peraturan namun juga unsur-unsur pemahaman yang jelas tentang arti,

maksud yang dikandung dalam peraturan tersebut. Saat ini implementasi asas dalam

UUPA lebih ditonjolkan pada asas yang berkaitan dengan penetapan hak atas tanah,

belum menyangkut pada aspek penggunaan tanah. Hal demikian menyebabkan

terjadinya kesenjangan antara hak atas tanah dan kewajiban yang harus diemban dari

perolehan hak tersebut.

Kedepan harus dibuat undang-undang yang mendasarkan pada hubungan

tunggal antara hak atas tanah dan kewajiban dari perolehan hak tersebut sehingga

pada setiap pemilik hak atas tanah akan segera mengetahui apakah kewajiban

sebagaimana tercantum dalam asas-asas tersebut di atas. Untuk membantu

pelaksanaan kesatuan konsep hak atas tanah dan kewajiban atas tanah maka

ditekankan pada dua hak dasar yaitu hak milik dan hak pakai dimana hak pakai

disesuaikan dengan rencana peruntukan kebutuhan serta perkembangan masyarakat

dimasa yang akan datang. Konsepsi pengaturan yang demikian itu menuntut adanya

koordinasi antara Pemerintah Daerah dengan Kantor Pertanahan setempat guna

memberikan landasan pengaturan yang sama yang akan dipergunakan sebagai dasar

pengaturan tentang kewajiban pemilik hak atas tanah, apapun nama haknya. Secara

konkrit dapat dicontohkan sebagai usaha mengarahkan pemanfaatan tanah sesuai

dengan peraturan perundang-undangan yaitu mencantumkan hak dan kewajiban

dalam setiap sertipikat tanah sebagai tanda bukti hak beserta sanksi dan

perlindungannya.

Universitas Sumatera Utara

Page 153: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

Salah satu politik agraria yang menonjol adalah usaha untuk menjadikan

tanah mempunyai fungsi pemerataan dalam menunjang kehidupan. Dalam

kenyataannya rencana tata ruang sering dibuat daerah-daerah pertumbuhan yang

memusat sehingga mendorong naiknya nilai tanah. Keadaan demikian secara sadar

dimanfaatkan oleh Pemerintah Daerah untuk mengenakan pajak tanah dan Bea

Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebagai sumber pendapatan

daerah yang diharapkan. Kecenderungan ini secara sistematis akan mengurangi

pemerataan tanah dan penyamaan nilai ekonomi tanah dengan menciptakan tanah

sebagai ajang spekulasi dan barang perdagangan. Sampai saat ini belum ada politik

pemerintah untuk mengendalikan pengenaan pajak tanah yang akan berdampak pada

pemerataan kesejahteraan rakyat.

C. Hambatan Pelaksanaan Pengurusan Pertanahan Oleh Pemerintah Daerah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah

memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah (Kabupaten/Kota) untuk

mengurusi bidang pelayanan pertanahan, namun dalam prakteknya mengalami

banyak permasalahan. Terjadinya tarik ulur antara Pemerintah dan Daerah dalam

mengurusi pertanahan terlihat dengan terbitnya berbagai peraturan pelaksana mulai

dari Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Pembagian Wewenang

Antara Pusat dan Provinsi dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah, Keputusan Presiden

Nomor 95 Tahun 2000 tentang Badan Pertanahan Nasional jo Keputusan Presiden

Nomor 10 Tahun 2001 tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah di Bidang Pertanahan

Universitas Sumatera Utara

Page 154: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

yang ditindaklanjuti dengan Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor

110 Tahun 2001. Dalam berbagai peraturan tersebut dinyatakan bahwa kewenangan

di bidang pertanahan tetap menjadi urusan Pemerintah yang dilaksanakan oleh Badan

Pertanahan Nasional (BPN). Keberadaan Kantor BPN, baik ditingkat Provinsi

maupun Kabupaten/Kota tetap dipertahankan sebagai instansi vertikal Pemerintah di

Daerah dengan terbitnya Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan

Pertanahan Nasional.

Akibat tidak konsistennya Pemerintah dalam melaksanakan aturan

mengenai otonomi daerah di bidang pertanahan telah menyebabkan terjadinya ketidak

sesuaian antara pengaturan perundang-undangan di bidang otonomi daerah dengan

peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan baik secara vertikal maupun

horizontal. terjadi ketidak sesuaian antara ketentuan peraturan perundang-undangan

yang lebih tinggi dengan peraturan yang lebih rendah. Ketentuan mengenai otonomi

di bidang pertanahan sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang

Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang diganti dengan Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah banyak bertentangan

dengan peraturan pelaksana yang lebih rendah, yaitu :

1. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Pembagian Wewenang

Antara Pusat dan Provinsi dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah.

2. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Otonomi

Daerah di Bidang Pertanahan.

Universitas Sumatera Utara

Page 155: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

3. Keputusan Presiden Nomor 95 Tahun 2000 yang kemudian dicabut dengan

Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional.

4. Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 2001 tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah

di Bidang Pertanahan.

5. Keputusan Presiden Nomor 62 Tahun 2001 tentang Pelaksanaan Wewenang di

Bidang Pertanahan.

6. Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang

Pertanahan.

7. Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 593.08/381/UNPEM Tahun 2001,

tanggal 30 Juli 2001.

8. Surat Edaran Kepala BPN Nomor 110-201-BPN Tahun 2001, tanggal 23 Januari

2001.

Selanjutnya, terjadi ketidak sesuaian antara Undang-Undang Pokok Agraria

Nomor. 5 Tahun 1960 (selanjutnya disebut UUPA) dengan Undang-Undang Nomor

32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Menurut UUPA, urusan di bidang

pertanahan adalah wewenang Pemerintah Pusat yang tidak dapat diotonomikan

kepada daerah. Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintah Daerah dengan tegas disebutkan bahwa bidang pertanahan merupakan

bagian dari pelaksanaan otonomi daerah yang wajib dilaksanakan oleh daerah

otonom. Ketidak sesuaian demikian dapat menimbulkan benturan antara kedua

undang-undang tersebut sehingga memunculkan adanya permasalahan dan konflik

kepentingan dalam pelaksanaan otonomi daerah di bidang pertanahan.

Universitas Sumatera Utara

Page 156: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

Permasalahan yang lain juga adalah tidak siapnya aparatur pemerintah di

daerah untuk menjalankan tugas-tugas yang berkaitan dengan pelaksanaan otonomi

daerah. Selama ini pelaksanaan urusan pemerintahan yang sebelumnya ditangani oleh

Pemerintah yang kemudian diserahkan kepada daerah disertai dana dan sumber daya

manusianya. Apabila urusan pertanahan diambil alih atau diurusi sendiri oleh

Pemerintah Daerah tanpa disertai penyerahan sumber daya manusia maka daerah juga

tidak akan mampu menyelenggarakan urusan di bidang pertanahan.

D. Upaya Penyelesaian Dalam Bidang Pertanahan

Hambatan pelaksanaan pengurusan pertanahan oleh Pemerintah Daerah

diperbaiki dengan mengambil upaya-upaya sebagai berikut ini125

1. Memperjelas dasar hukum atas kepemilikan tanah.

:

Ada banyak peluang bagi Indonesia untuk memecahkan berbagai hambatan yang

menyebabkan para pelaku ekonomi tidak dapat memperoleh hak yang pasti atas

tanah mereka. Penyelesaian masalah ini akan membuat masyarakat dapat

memanfaatkan secara penuh keuntungan dari tanah yang mereka miliki, dan

memberikan insentif atas penggunaan tanah secara berkelanjutan. Pertama,

memperkenalkan pengakuan hukum atas kepemilikan, serta memperbolehkan

bukti nondokumenter sebagai basisnya. Masyarakat yang telah mengelola suatu

lahan dalam waktu yang lama, umumnya telah menginvestasikan waktu dan

125 Hasil wawancara dengan Fachrul Husin Nasution, SH., M.Kn (Kepala Seksi Bidang Pengaturan Tanah Instansi Pemerintah) di Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Sumatera Utara tanggal 18 Juni 2012.

Universitas Sumatera Utara

Page 157: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

sumber daya mereka pada tanah tersebut. Tetapi, hanya pemilik tanah yang

mempunyai bukti kepemilikan yang dapat menerima perlindungan hukum,

walaupun sertipikasi pertanahan Indonesia hanya mencakup 20% dari lahan yang

ada. Pengakuan atas kepemilikan berdasar penempatan lahan, serta berbagai bukti

informal lainnya, seperti bukti pembayaran pajak ditambah dengan pengakuan

dari para tetangga, misalnya, dapat meningkatkan jaminan terhadap kepemilikan

oleh masyarakat miskin. Hal ini juga dapat menjadi dasar untuk

memformalisasikan jutaan pengalihan lahan secara informal, sehingga dapat

mengurangi sumber konflik dan meningkatkan insentif dalam mendukung

investasi pada sumber daya tanah yang tersedia. Jika dijalankan, program ini akan

memberikan hasil yang jauh lebih tinggi daripada program pendataan tanah secara

formal yang berlangsung saat ini. Kedua, memperbolehkan kepemilikan lahan

oleh komunitas. Dalam banyak kejadian, aturan adat dalam penggunaan tanah

adat tidak lagi mencukupi dalam memecahkan masalah pertanahan. Saat ini, satu-

satunya cara untuk menjamin status kepemilikan atas tanah adat adalah dengan

merubahnya menjadi kepemilikan pribadi, yang biaya survey-nya sering tidak

terjangkau oleh kebanyakan orang. Mengakui kepemilikan tanah oleh komunitas

dapat memberikan perlindungan dari pihak luar, meningkatkan insentif investasi

dan dapat menjadi mekanisme yang tepat untuk peralihan kepada hak milik

individual jika diperlukan. Ketiga, memberikan kesempatan untuk memiliki lahan

bekas hutan. Sekitar 70% area tanah di Indonesia merupakan lahan hutan yang

tidak dapat dimiliki oleh perorangan. Diperkirakan banyak lahan hutan tersebut

Universitas Sumatera Utara

Page 158: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

yang kualitasnya telah menurun. Untuk memperbaikinya dibutuhkan investasi dan

pengelolaan. Walaupun pemberian kepemilikan atas lahan tersebut bukan

merupakan solusi ajaib (terutama dalam kondisi dimana alokasi awal tidaklah

merata), hal tersebut dapat menjadi basis bagi pengelolaan yang lebih

bertanggung jawab. Pemberian kepemilikan juga dapat menanggulangi masalah

kurang jelasnya deskripsi mengenai area kehutanan yang dalam banyak kasus

semakin membuat rumit masalah, dan bersamaan dengan terpisahnya tanggung

jawab BPN dan Departemen Kehutanan, akan membawa bahaya duplikasi.

2. Menciptakan sistem pertanahan yang lebih memenuhi kebutuhan masyarakat

ekonomi modern.

Bersamaan dengan pembangunan ekonomi di Indonesia, banyak tuntutan yang

tidak lagi dapat dipenuhi oleh sistem pengelolaan pertanahan yang ada. Pertama,

memisahkan pemberian hak atas tanah dengan penggunaan lahan. Penggunaan

tanah di Indonesia harus sesuai dengan izin yang ditetapkan pada hak atas tanah

yang diberikan. Perubahan penggunaan lahan membutuhkan pengurusan hak baru

yang melibatkan proses birokratis yang panjang dan dapat menjadi sumber

korupsi dan salah kelola. Untuk menanggulangi masalah ini, diperlukan

pemisahan fungsi-fungsi teknis, seperti pencatatan, dari aspek politis seperti

alokasi pertanahan. Perubahan terhadap masalah ini juga harus memasukan

provisi yang memperbolehkan perusahaan untuk memiliki tanah, sehingga dapat

membantu pengembangan pasar untuk pinjaman dan surat berharga lainnya,

seperti hipotek. Kedua, memperkuat fasilitas hipotik dan berbagai macam fasilitas

Universitas Sumatera Utara

Page 159: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

surat berharga lainnya. Di Indonesia, kreditor sulit mendapatkan kembali tanah

dan jaminan lainnya apabila mengalami gagal bayar, tanpa adanya intervensi dari

pengadilan, yang biayanya tinggi dan sulit didapat mengingat pengadilan

biasanya lebih memihak debitor. Sehingga tidak mengherankan kalau biaya

pinjaman di Indonesia menjadi tinggi dibandingkan dengan negara lainnya.

Memperbaiki fasilitas hipotek dan surat berharga lainnya, seperti dengan cara

menampilkan suku bunga hipotek pada sertifikat tanah serta memperbarui praktik

pelaksanaanya, akan membantu perubahan budaya pembayaran tanah, menjadi

basis untuk pemberian fasilitas hipotek sekunder dan berbagai jenis hak pemilikan

lainnya yang lebih komplek. Pada akhirnya perkembangan tersebut akan

memperbaiki kinerja sistem keuangan, yang akan membuat penanam modal lebih

mudah dalam mengakses modal yang lebih murah. Ketiga, memperbaiki efisiensi

sistem registrasi dan mengurangi biaya yang tidak perlu. Jika biaya pendaftaran

tanah menjadi terlalu tinggi, biasanya pemilik lahan akan merujuk pada cara-cara

informal, yang dapat menurunkan tujuan dari pendaftaran tersebut, yaitu

memberikan informasi yang otoritatif dan tersedia untuk umum. Prosedur yang

tidak efiesien dan berulang, seperti tidak digunakannya informasi yang

dikumpulkan oleh badan pengelola PBB, telah menaikkan biaya pendaftaran dan

menghambat keberlangsungan administrasi pertanahan. Untuk memecahkan hal

ini, penetapan standar pelayanan dalam pengelolaan pertanahan menjadi penting.

Begitu pula tersedianya informasi yang terbuka mengenai skema biaya pelayanan

Universitas Sumatera Utara

Page 160: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

dan kinerja kantor-kantor pertanahan, diterapkannya audit independen, serta

dimungkinkannya partisipasi sektor swasta, akan dapat meningkatkan efisiensi

pelayanan.

3. Meningkatkan kualitas dan kredibilitas pencatatan pertanahan.

Pencatatan pertanahan merupakan sesuatu yang patut dilaksanakan hanya jika

proses itu dapat memberikan informasi yang berharga dan terpercaya, sehingga

dapat memberikan manfaat dalam meningkatkan investasi dan pengalihan lahan

yang mendorong produktifitas. Pertama, menciptakan mekanisme yang efisien

dan terdesentralisasi bagi pengalihan lahan. Biaya pengalihan lahan di Indonesia

membutuhkan biaya yang tinggi, sehingga berbagai aktifitas pemanfaatan lahan

yang berguna menjadi terhambat atau proses pengalihan mengambil bentuk

informal, dengan berbagai konsekuensi negatifnya. Aturan perundangan yang

jelas dapat membantu masalah ini dan menjadikan proses pencatatan sebagai

aktifitas yang berdasarkan hukum, dengan menetapkan standar dan aturan yang

harus dijalankan di dalam proses transaksi, dengan mengendalikan pemalsuan dan

dengan mengurangi Kebijakan, Pengelolaan dan Administrasi Pertanahan. Kedua,

kesempatan untuk melakukan korupsi. Peraturan tersebut harus memungkinkan

terbentuknya prosedur yang sederhana dan cepat dalam berbagai urusan seperti

masalah pewarisan dan pembagian lahan. Juga harus memungkinkan tersedianya

informasi pencatatan dan transaksi atas lahan, seperti mengharuskan adanya saksi

untuk mengesahkan pengalihan lahan dan menjadikan hasil survey sebagai bagian

dari catatan publik, serta secara terbuka menjelaskan bahwa pemalsuan

Universitas Sumatera Utara

Page 161: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

pencatatan akan dibatalkan dan pencatatan hak kepemilikan palsu secara formal

tidak dapat diterima. Ketiga, mengembangkan pendekatan perencanaan nasional

dan mengkoordinasi rencana tata ruang yang ada. Hirarki yang ada dalam

perencanaan tata guna lahan menyebabkan proses tersebut menjadi berbiaya

tinggi atau tidak dapat dijalankan. Dengan memusatkan aktifitas pemerintah pusat

pada usaha mendefinisikan kriteria yang jelas atas penggunaan tanah, sementara

perencanaan secara terinci dilakukan pada tingkat pemerintah lokal, dapat

menciptakan sistem perencanaan yang terkoordinasi dan terkonsolidasi yang lebih

efisien dan efektif. Ini juga dapat diiringi dengan memperkenalkan sistem zoning,

di berbagai lokasi dimana peta pertanahan kadastral belum tersedia dan tidak akan

tersedia di waktu dekat.

4. Pengelolaan lahan di area kehutanan secara berkesinambungan.

Pertama, memperkuat adat. Selain diberlakukannya hukum tradisional sebagai

bukti untuk klaim atas lahan, perlu pula diakui pola penggunaan dan pemukiman

lahan (seperti adat sebelum dan sesudah konsesi diberikan, ketika aktifitas

pemotongan hutan selesai, dalam proses konversi kehutanan, dan lain-lain)

sebagai bukti alternatif untuk memperkuat peran adat. Hal ini akan memperkuat

basis atas peraturan mengenai penggunaan tanah, misalnya dengan mengharuskan

lahan tertentu tetap menjadi lahan hutan, dengan menghubungkan hak

kepemilikan dan tanggung jawab bagi pengelolaan pertanahan dan kehutanan

yang berkesinambungan, serta dengan mendefinisikan hak kepemilikan lahan bagi

sumber daya perkayuan ketika konsesi yang diberikan berakhir. Pemegang

Universitas Sumatera Utara

Page 162: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

konsesi juga mendapat kesempatan untuk menjadi pemilik lahan, melalui

pembelian tanah dimana tidak terdapat hak penggunaan atas lahan tersebut.

Perjanjian standar antara pemegang konsesi dan komunitas lokal akan

memberikan kesempatan bagi komunitas tersebut dalam mendapatkan bagian

yang lebih besar atas pendapatan dari sumber daya kehutanan tersebut. Kedua,

mengganti pemberian izin dengan hak penggunaan atas lahan hutan negara,

swasta dan komunal. Pada satu sisi pemberian hak ini akan memberikan

penduduk dan komunitas lokal di wilayah hutan kepastian yang lebih tinggi

dibandingkan pemberian konsesi yang tidak memperhitungkan para penduduk

lokal tersebut. Di sisi yang lain, dengan mengurangi prosedur formal dalam

pengurusan konsesi maka akan lebih banyak modal yang ditanamkan untuk

menggiatkan proses sekuritisasi. Untuk itu, hak swasta atas penggunaan lahan

hutan dapat diperkenalkan ketika konsesi yang diberikan telah habis dan

didasarkan atas kajian dalam penggunaan konsesi sebelumnya. Ketiga,

memperbaiki pengelolaan konflik dan meningkatkan proses kesinambungan di

daerah kehutanan. Tingginya tingkat ketidakpastian akan menyuburkan

perselisihan, yang ditambah dengan tidak tersedianya fasilitas pengadilan secara

cukup, akan membuat proses peradilan tidak dapat merespon dengan cepat dan

efektif. Ini akan menghambat investasi. Sementara konflik yang ada dapat

dipercepat dengan mengusahakan berbagai sarana alternatif penyelesaian konflik,

dengan memetakan sumber daya dan melibatkan partisipasi komunitas dan staf

teknis pada berbagai dinas di tingkat kecamatan dan pemerintahan lokal.

Universitas Sumatera Utara

Page 163: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

Informasi tersebut dapat diintegrasikan dengan rencana tata ruang di tingkat

kabupaten untuk mengidentifikasi berbagai wilayah dimana dapat terjadi konflik

dan perlu mendapat perhatian.

5. Memperkuat berbagai lembaga independen dan memberikan insentif fiskal dalam

pelaksanaan aturan pertanahan.

Pertama, mendayagunakan pajak pertanahan untuk meningkatkan pelayanan

pertanahan. Dengan basis pajak yang begitu besar, sekitar 75 juta lahan

pertanahan, maka pendayagunaan pajak pertanahan yang progresif dapat

menunjang aktifitas pemerintahan lokal. Hal ini dapat dilakukan dengan

menaikan pajak pertanahan ke tingkat yang lebih realistis, ditetapkan oleh

pemerintahan lokal, berdasarkan biaya pelayanan pertanahan dan kebutuhan pajak

lokal. Pajak yang lebih tinggi dapat ditetapkan pada lahan yang tidak digunakan,

sementara keringan pajak diberikan pada pemilik lahan kecil dan miskin. Pada

saat bersamaan pemerintah pusat dapat menentukan tingkat pajak maksimum dan

minimum, mengurangi beban pajak dari pemerintah lokal dan mengelola

redistribusi horizontal. Pajak atas proses konversi tanah serta pajak keuntungan

penjualan juga dapat diberlakukan. Kedua, memberikan hukuman atas tindakan

penipuan dan pemalsuan, serta memperkenalkan sistem penanganan berbagai

keluhan. Meskipun bukan merupakan hal yang spesifik terjadi atas pertanahan,

jumlah pelanggaran yang besar dalam kasus-kasus pertanahan, membuat

pemberian hukuman atas penipuan dalam masalah petanahan menjadi penting.

Begitu pula sikap menghormati hak dari si korban untuk melakukan tuntutan

Universitas Sumatera Utara

Page 164: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

balik atas kerugian yang ditimbulkan oleh si pelaku, serta mengumumkan

aktifitas pencatatan yang tidak sah dan penipuan tersebut. Disamping itu juga

diperlukan tindakan tegas, termasuk kemungkinan pemecatan, terhadap para

pegawai pemerintah atas kesalahan d an penipuan yang terjadi di depan mata

mereka. Hasil dari usaha ini dapat disebarluaskan secara terbuka untuk

menurunkan biaya transaksi, perselisihan dan ketegangan atas berbagai masalah

pertanahan. Ketiga, menciptakan sistem administrasi pertanahan nasional dalam

satu atap. Dalam jangka panjang, mengelola administrasi pertanahan di bawah

satu atap, termasuk untuk lahan milik pemerintah, lahan hutan, pertambangan dan

lahan bukan hutan, merupakan suatu rencana yang patut dipertimbangkan.

Dengan begitu duplikasi dapat dikurangi serta meningkatkan skala ekonomis

dengan menggabungkan administrasi pertanahan dan pajak pertanahan. Ini juga

dapat menghilangkan permasalah antara BPN dengan Departemen Kehutanan dan

membuat aktifitas monitoring dan pemberlakuan peraturan menjadi lebih mudah.

Masalah pertanahan bukanlah masalah kecil dan dapat diabaikan. Hanya

karena tidak terlihat secara nyata, tidaklah berarti bahwa kebijakan pertanahan yang

kurang tepat tidak akan menimbulkan permasalahan yang cukup parah. Bahkan

permasalahan tersebut dapat menjadi masalah sistemik dan mempengaruhi berbagai

aspek lainnya, seperti tingginya biaya kredit dalam sistem keuangan, aksesibilitas

sistem peradilan serta apresiasi dan penghargaan publik terhadap sistem hukum. Hal-

hal tersebut membuat agenda pemecahan masalah pertanahan menjadi lebih penting

lagi. Beberapa langkah dapat dilakukan secepatnya, meskipun permasalahan yang ada

Universitas Sumatera Utara

Page 165: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

begitu rumit dan melewati batas-batas birokrasi tradisional, Indonesia telah

mengambil beberapa langkah dalam memperbaiki struktur hukum dan memperoleh

konsensus publik. Sementara dibutuhkan penjabaran yang jelas dalam

menterjemahkan prinsip menjadi aksi, imbalan yang didapatkan dari segi efisiensi

dan keadilan begitu tinggi dan dapat menjadi dasar dalam proses perubahan untuk

menciptakan berbagai lembaga pertanahan yang lebih transparan, efisien dan dapat

dipertanggungjawabkan.

Universitas Sumatera Utara

Page 166: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari pembahasan terhadap permasalahan yang telah dikemukakan dalam tesis

ini, kesimpulan yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut :

1. Menurut UUPA pengurusan pertanahan merupakan wewenang dari Pemerintah

Pusat yang memandang urusan pertanahan merupakan urusan nasional sehingga

tidak dapat dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah (Provinsi/Kabupaten/Kota)

walaupun sebenarnya urusan pertanahan ini telah diserahkan kepada Daerah

Otonom berdasarkan Pasal 13 dan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun

2004 tentang Pemerintah Daerah. Tetapi, karena menyangkut bidang hukum tanah

dan kebijakan di bidang pertanahan yang bersifat nasional maka masih tetap

diurusi oleh Pemerintah atau tidak dilimpahkan kepada daerah otonom. Hal ini

terbukti dengan adanya beberapa peraturan perundang-undangan yang menganulir

wewenang Pemerintah Daerah dalam mengurusi bidang pertanahan dan adanya

kebijakan Pemerintah untuk tetap mempertahankan eksistensi Badan Pertanahan

Nasional baik ditingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota dengan diterbitkannya

Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional.

2. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah

ditentukan bahwa urusan pemerintahan di bidang pelayanan pertanahan

Universitas Sumatera Utara

Page 167: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

diserahkan kepada Pemerintah Daerah sebagai urusan yang wajib dilaksanakan.

Bidang pertanahan yang dapat diurusi oleh Pemerintah Daerah hanya menyangkut

masalah teknis operasional pertanahan dan pelaksanaan kebijakan, sementara

mengenai pembuatan kebijakan hukum di bidang pertanahan secara nasional tetap

menjadi wewenang Pemerintah. Bidang pertanahan yang selama ini ditangani

Pemerintah Daerah hanya menyangkut pengaturan pengurusan tanah-tanah yang

dimiliki atau dikuasai oleh Pemerintah Daerah. Dalam Peraturan Pemerintah

Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah antara Pemerintah,

Pemerintahan daerah Provinsi dan Pemerintahan daerah Kabupaten/Kota.yang

mengatur pembagian wewenang pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah

Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota juga ditentukan bahwa urusan bidang

pertanahan secara nasional masih tetap menjadi kewenangan Pemerintah. Urusan

bidang pertanahan dapat dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah hanya sebatas

pada pelayanan pertanahan, yaitu yang menyangkut teknis pelayanan dan

pelaksanaan kebijakan pertanahan secara nasional tetap diputuskan oleh

Pemerintah. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 yang mengatur

struktur organisasi perangkat daerah juga ditentukan bahwa urusan bidang

pelayanan pertanahan dapat ditangani oleh lembaga setingkat dinas, namun dalam

praktek saat ini belum ada Pemerintah Daerah yang membentuk Dinas Pertanahan

Daerah, karena dikhawatirkan tidak efektif dan tidak operasional seperti yang

pernah terjadi pada era sebelum Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah.

Universitas Sumatera Utara

Page 168: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

3. Hambatan dalam pelaksanaan kewenangan pertanahan dalam konteks otonomi

daerah adalah terjadinya kontradiksi terkait penyerahan urusan bidang pertanahan

kepada daerah. Apabila mengacu kepada Pasal 33 UUD 1945 dan UUPA, maka

urusan pertanahan menjadi kewenangan Pemerintah, tetapi hal tersebut

bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah

Daerah yang hingga saat ini masih berlaku yang menyatakan bahwa urusan

bidang pelayanan pertanahan diserahkan kepada Pemerintah Daerah sebagai

urusan wajib. Oleh karena itu, pelaksanaan pelayanan pertanahan oleh daerah

tidak dapat berjalan dengan optimal sesuai dengan amanat Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Kemudian, upaya-upaya yang

perlu dilakukan dalam perbaikan pengurusan pertanahan diantaranya : Pertama,

memperjelas dasar hukum atas kepemilikan tanah. Kedua, menciptakan sistem

pertanahan yang lebih memenuhi kebutuhan masyarakat ekonomi modern.

Ketiga, meningkatkan kualitas dan kredibilitas pencatatan pertanahan. Keempat,

pengelolaan lahan di area kehutanan secara berkesinambungan. Kelima,

memperkuat berbagai lembaga independen dan memberikan insentif fiskal dalam

pelaksanaan aturan pertanahan.

B. Saran

Setelah melakukan pembahasan dan analisa terhadap permasalahan yang telah

dikemukakan dalam tesis ini, maka sebagai saran yang dapat diberikan penulis adalah :

1. Seharusnya Pemerintah pusat harus segera melimpahkan urusan pertanahan kepada

daerah. Pelimpahan itu dilakukan agar pemerintah daerah mudah mengatur lokasi

Universitas Sumatera Utara

Page 169: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

peruntukan tanah daerahnya masing-masing. Perbedaan wewenang itu sudah

saatnya diakhiri dengan melimpahkannya ke Pemerintah daerah guna

memudahkan penyerahan urusan pertanahan sebaiknya diajukan judicial review

atas Peraturan Presiden No. 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional

(BPN). Judicial review itu untuk memudahkan ditetapkannya peraturan

pelaksanaan Undang –undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.

Dalam peraturan pelaksanaan itu harus dipertegas kewenangannya Pemerintah

Daerah .

2. Perlu adanya kemauan politik yang kuat dari pemerintah untuk merevisi dan

melaksanakan peraturan perundang-undangan sebagai penjabaran dari UUPA.

Beberapa pengaturan yang mendesak untuk segera dibuat dan dilaksanakan

adalah pengaturan tentang penggunaan dan pengawasan hak-hak atas tanah,

pengaturan hak pengelolaan tanah, pengaturan landreform berkaitan dengan

redistribusi tanah atas tanah-tanah yang dikuasai langsung oleh negara serta

pengaturan delegasi wewenang terhadap hak-hak masyarakat adat. Dalam

memberikan perlindungan hukum pada masyarakat, perlu diintegrasikan satu

bentuk peraturan perundang-undangan yang secara komprehensif mengatur

tentang kepentingan umum.

3. Disarankan dalam penataan pertanahan Pemerintah segera menyelesaikan

beberapa masalah yang dihadapi, yaitu perangkat hukum yang ada masih

terbatas dalam pelayanan untuk memberikan kepastian hukum atas tanah;

pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya penataan pertanahan

Universitas Sumatera Utara

Page 170: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

bagi perlindungan hak-hak atas tanah berdasarkan kepastian hukumnya juga

masih terbatas; serta ketersediaan data dasar dan informasi yang andal belum

memadai.

Universitas Sumatera Utara

Page 171: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-buku

Asshidiqqie, Jimly, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, 2007.

Bratakusumah, Deddy Supriady dan Dadang Solihin, Otonomi Penyelenggaraan

Pemerintahan Daerah, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001. Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,

2008. Gadjong, Agussalim Andi, Pemerintahan Daerah, Kajian Politik Dan Hukum,

Bogor: Ghalia Indonesia, 2007. Hanitijo, Ronny, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia Indonesia,

1988. Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang

Pokok Agraia, Isi, dan Pelaksanaanya (Jilid I), Jakarata: Penerbit Djambatan, 2003.

Hidayat, Syahrul, Otonomi Daerah, Pilkada dan Komitmen Desentralisasi Politik:

Tinjauan atas tiga UU mengenai Otonomi Daerah dalam Pilkada Langsung, Demokratisasi Daerah dan Mitos Good Governance, Partnership dan Pusat Kajian Ilmu Politik Fisip UI, Jakarta, 2005.

Hoessein, Bhenyamin, Naskah akademik Tata Hubungan Kewenangan Pemerintahan

Pusat Dan Daerah, PKPADK Fisip UI, Jakarta, 2005. __________________, Perubahan Model, Pola, dan Bentuk Pemerintahan Daerah:

Dari Era Orde Baru ke Era Reformasi, Jakarta: Departemen Ilmu Administrasi FISIP Universitas Indonesia, 2009.

Huda, Ni’matul, Pengawasan Pusat Terhadap Daerah Dalam Penyelenggaraan

Pemerintahan Daerah, FH UII Press, Yogyakarta, 2007. Hutagalung, Arie Sukanti, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah,

Jakarta: Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, 2005.

Universitas Sumatera Utara

Page 172: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

Kaloh, Kepala Daerah; Pola Kegiatan, Kekuasaan, dan Perilaku Kepala Daerah,

Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003.

MD., Moh. Mahfud, Membangun Politk Hukum, Menegakkan Konstitusi, Jakarta: LP3ES, 2006.

________________, Konstitusi dan Hukum Konstitusi dalam Kontroversi Isu,

Jakarta: Rajawali Pers, 2009. Maass, Arthur, Area And Power A Thery Of Local Government, Illions: Glencoe, 1969. Muljadi, H. M. Arief, Landasan dan Prinsip Hukum Otonomi Daerah dalam Negara

Kesatuan RI, Jakarta: Prestasi Pustaka, 2005. Piliang, Indra J., Otonomi Daerah: Evaluasi Dan Proyeksi, Jakarta: Yayasan Harkat

Bangsa, 2003. Ruwiastuti, Maria R., Sesat Pikir Politik Hukum Agraria, Membongkar Alas

Penguasaan Negara Atas Hak-Hak Adat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000. Sakidjo, Aruan dan Bambang Poernomo. Hukum Pidana: Dasar Aturan Umum

Hukum Pidana Kodifikasi, Cet. I, Yogyakarta: Ghalia Indonesia, 1990. Salam, Dharma Setyawan, Otonomi Daerah Dalam Perspektif Lingkungan, Nilai,

dan Sumber Daya Jakarta: Penerbit Djambatan, 2003. Simanjutak, Marsilam, Pandangan Negara Integralistik, Jakarta: Grafiti, 1997. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan

Singkat, Jakarta: Rajawali Press, 1995. Sunggono, Bambang, Metodelogi Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada,

1997. Syafrudin, H. Ateng, Pemahaman Tentang Dekonsentrasi, Bandung: Refika Aditama,

2006. Syaukani, Imam dan A. Ahsin Thohari, Dasar-Dasar Politik Hukum, Jakarta:

Rajagrafindo Persada, 2004

Universitas Sumatera Utara

Page 173: Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Konteks Otonomi Daerah. Studi Kasus Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumut

B. Makalah, Karya Ilmiah, Jurnal dan Disertasi

Hoessein, Bhenyamin, Berbagai Faktor Yang Mempengaruhi Besarnya Otonomi Dati II Suatu Kajian Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Dari Segi Ilmu Administrasi Negara, Disertasi, Universitas Indonesia, Jakarta, 1993.

__________________, Penyempurnaan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999

Menurut Konsepsi Otonomi Daerah Hasil Amandemen 1945, disampaikan dalam Seminar Dan Lokakarya Pembangunan Hukum Nasional VIII, diselenggarakan oleh BPHN Depkumham, Bali, 14 – 18 Juli 2003.

__________________, Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah Dan

Daerah Otonomi, Makalah, disajikan dalam seminar FISIP UI, Depok, 2007. Nasution, Bismar, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum,

Makalah, disampaikan pada Dialog Interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, tanggal 18 Februari 2003.

Sabarno, Hari, Sambutan Menteri Dalam Negeri pada Penerbitan Buku Beberapa

Gagasan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah di Indonesia dalam Owen Podger dkk, Beberapa Gagasan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah di Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002.

C. Peraturan Perundang-undangan

Ketetapan MPR No.IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam;

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria.

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas).

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan.

Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah antara Pemerintah, Pemerintahan daerah Provinsi dan Pemerintahan daerah Kabupaten/Kota.

Universitas Sumatera Utara