KEWENANGAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA …digilib.uin-suka.ac.id/31948/1/1320311105_BAB I, V,...

42
KEWENANGAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA (MPU) DALAM PENENTUAN KEBIJAKAN PENERAPAN SYARI’AT ISLAM DI KABUPATEN ACEH TENGGARA Oleh: Hady Warman NIM: 1320311105 TESIS Diajukan kepada Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Magister Sosial (M.Sos.) Program Studi Hukum Islam Konsentrasi Studi Politik dan Pemerintahan Dalam Islam YOGYAKARTA 2018

Transcript of KEWENANGAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA …digilib.uin-suka.ac.id/31948/1/1320311105_BAB I, V,...

Page 1: KEWENANGAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA …digilib.uin-suka.ac.id/31948/1/1320311105_BAB I, V, DAFTAR PUSTAKA.pdf · kewenangan majelis permusyawaratan ulama (mpu) dalam penentuan

KEWENANGAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA (MPU)

DALAM PENENTUAN KEBIJAKAN PENERAPAN SYARI’AT ISLAM

DI KABUPATEN ACEH TENGGARA

Oleh:

Hady Warman

NIM: 1320311105

TESIS

Diajukan kepada

Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh

Gelar Magister Sosial (M.Sos.)

Program Studi Hukum Islam

Konsentrasi Studi Politik dan Pemerintahan Dalam Islam

YOGYAKARTA

2018

Page 2: KEWENANGAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA …digilib.uin-suka.ac.id/31948/1/1320311105_BAB I, V, DAFTAR PUSTAKA.pdf · kewenangan majelis permusyawaratan ulama (mpu) dalam penentuan

PERNYATAANKEASLIAN

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama

NTM

Program

Program Studi

Judul Tesis

: Hady Warman

: 132031 1105

: Magister ( 52 )

: Hukum Islam

: Kewenangan Majelis Permusyawaratan lIlama (MptI) Dalam

penenhran kebijakan syariat Islam di Kabupaten Aceh Tenggara

Menyatakan bahwa naskah resis ini secara keseluruhan adalah hasil penelitianlkarya saya

sendiri kecuali pada bagian yang dirujuk sumbemya.

Page 3: KEWENANGAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA …digilib.uin-suka.ac.id/31948/1/1320311105_BAB I, V, DAFTAR PUSTAKA.pdf · kewenangan majelis permusyawaratan ulama (mpu) dalam penentuan

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama

NIM

Program

Program Studi

Judul Tesis

: Hady Warman

:1320311105

: Magister ( 52 )

: Hukum Islam

: Kewenangan Majelis Pennusyawaratan tllama (MpU) Dalam

penentuan kebijakan syariat Islam di Kabupaten Aceh Tenggara

Menyatakan dengan sesunggubnya tesis ini secara keselwuhan adalah murni hasil karyasaya sendiri dan bukan plagiasi sebagian atau keseluruhan dari karya orang lain, kecualipada bagian-bagian yang dirujuk sebagai sumber pustaka sesuai dengan aturan penulisanyang berlaku. Apabila di kernudian hari terbukti bahwa tesis saya ini merupakan plagiasi

karya orang lain, maka saya sanggup menerima sangsi akademik dari dosen yangbersangkutan.

Yogyakarta, 30 April 2018

Yang menyatakan

NIM. 132031110s

Page 4: KEWENANGAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA …digilib.uin-suka.ac.id/31948/1/1320311105_BAB I, V, DAFTAR PUSTAKA.pdf · kewenangan majelis permusyawaratan ulama (mpu) dalam penentuan
Page 5: KEWENANGAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA …digilib.uin-suka.ac.id/31948/1/1320311105_BAB I, V, DAFTAR PUSTAKA.pdf · kewenangan majelis permusyawaratan ulama (mpu) dalam penentuan

Tesis berjudul

Nama

NIM

Jenjang

Progam Studi

Konsentrasi

Waktu

Hasil,/Nilai

Predikat Kelulusan

* Coret yang tidak perlu

PERSETUJUAN TIM PENGUJIUJIAN TESIS

KEWENANGAN MAJELIS PERMUSYAWARANULAMA (MPU) DALAM PENENTUANKEBIJAKAN PENERAPAN SYARIAT ISLAMDI KABUPATEN ACEH TENGGARA

Hady Warman

1320311105

Magister (S2)

Hukum Islam

Studi Politik dan Pemerintahan dalam Islam

Telah disetujui tim penguji ujian munaqosyah

Ketua/Penguj i : Dr. Sunarwoto, MA.

Pembimbing/Penguj i : Dr. Subaidi, M.Si

Pengui i : Najib Kailani, S.Fi1.I., M.A., Ph.D.

diuji di Yogyakarta pada tanggal 30 Mei 2018

rf,rc, ruy,

: 09.00 - 10.00 WIB

: 84/B+

: Memuaskan / Saagat Memuaskan / Cum Laude*

Page 6: KEWENANGAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA …digilib.uin-suka.ac.id/31948/1/1320311105_BAB I, V, DAFTAR PUSTAKA.pdf · kewenangan majelis permusyawaratan ulama (mpu) dalam penentuan

NOTA DINAS PEMBIMBING

Kepada Yth.

Direktur Program Pascasari ana

UIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta

Ass alamu' alaikltm wr. wb.

Setelah melakukan bimbingan, arahan dan koreksi terhadap penulisan tesis berjudul

KEWENANGAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN I]LAMA (MPq DALAMPENENTUAN KEBIJAKAN PENERAPAN SYAR]AT ISLAM DI KABUPATEN ACEH

TENGGARA

Yang ditulis oleh:

Nama

NIM

Program

Program Studi

Konsentrasi

Hady Warman

1320311105

Magister ( 52 )

Hukum Islam

Studi Politik dan Pemerintahan dalam Islam

Saya berpurdapat bahwa tesis tersebut di atas sudah dapat diajukan kepada program

Pascasa{ana UIN Sunan Kalijaga untuk diujikan dalam rangka memperoleh gelar Magister

Studi Islam.

Was sa lamu' alailnrz, wr. wb.

27 April 2018

Page 7: KEWENANGAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA …digilib.uin-suka.ac.id/31948/1/1320311105_BAB I, V, DAFTAR PUSTAKA.pdf · kewenangan majelis permusyawaratan ulama (mpu) dalam penentuan

vii

MOTTO

Setiap kesusahan pasti ada Kemudahan

Berbakti kepada orang tua

Bersyukur dalam hidup

Dan mengabdi untuk Agama

(Hady Warman Kasrun)

Page 8: KEWENANGAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA …digilib.uin-suka.ac.id/31948/1/1320311105_BAB I, V, DAFTAR PUSTAKA.pdf · kewenangan majelis permusyawaratan ulama (mpu) dalam penentuan

viii

PERSEMBAHAN

Tesis ini penulis persembahkan untuk:

Almamaterku

Program Hukum Islam

Konsentrasi Studi Politik Dan Pemerintahan Dalam Islam

Pascasarjana

Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

Page 9: KEWENANGAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA …digilib.uin-suka.ac.id/31948/1/1320311105_BAB I, V, DAFTAR PUSTAKA.pdf · kewenangan majelis permusyawaratan ulama (mpu) dalam penentuan

ix

ABSTRAK

Esksistensi ulama tidak dapat dilepaskan dari kehidupan masyarakat Aceh, terutama kaitannya dengan syariat Islam yang menjadi identitas daerah tersebut. Namun, setelah Indonesia merdeka peranan itu berkurang, terutama dalam penentuan kebijakan publik. Sempat meredup paska Indonesia merdeka, perjuangan penerapan syariat Islam mendapatkan momentumnya pada tahun 1999 yang sekaligus adanya pengakuan peran para ulama dalam pengambilan kebijakan daerah di Aceh. Formalisasi peran ulama itu kemudian terwujud secara kelembagaan bernama Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) yang oleh Qanun No. 2 Tahun 2009 dibagi menjadi dua, yakni MPU Aceh dan MPU Kabupaten/Kota.

Dalam usia yang akan memasuki dua dekade paska UU No. 44 Tahun 1999, penelitian ini hendak melihat penentuan kewenangan dan peran seperti apa yang telah dilakukan oleh MPU Aceh Tenggara dalam pembentukan kebijakan dan penerapan syariat Islam. Hal tersebut dirumuskan dalam dua masalah pokok penelitian ini, yaitu: Pertama, bagaimana kewenangan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) dalam menentukan kebijakan tentang syariat Islam di Aceh Tenggara? Kedua, Bagaimana peran Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) dalam penerapan syariat Islam di Aceh Tenggara?

Untuk menjawab masalah tersebut, peneliti menggunakan pendekatan yuridis-empiris karena akan melihat secara detail kewenangan MPU Aceh Tenggara berdasarkan peraturan yang berlaku, dan lalu mengkonfirmasi penerapannya ke ranah empiris (lapangan). Oleh karenanya, data yang digunakan peneliti utamanya adalah data primer yang dikumpulkan melalui jalur observasi dan wawancara. Selain itu, data primer tersebut didukung pula dengan bahan jadi yang dikumpulkan melalui jalur dokumentasi.

Hasil penelitian ini menunjukkan: Pertama, kewenangan yang dimiliki MPU Aceh Tenggara merujuk sepenuhnya kepada ketentuan Pasal 5 ayat (2) Qanun Aceh No. 2 Tahun 2009, yakni: 1. Melaksanakan dan mengamankan fatwa yang dikeluarkan oleh MPU; dan 2. memberikan pertimbangan dan masukan kepada pemerintah kabupaten yang meliputi bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan serta tatanan ekonomi yang Islami. Lebih lanjut, Pasal 5 ayat (2) tersebut perlu disandingkan dengan Pasal 6 ayat (2) yang mengatur tentang tugas-tugas MPU kabupaten/kota.

Kedua, peran MPU dalam penerapan syariat Islam (dalam arti luas) di Aceh Tenggara terwujud dalam berbagai kegiatan yang dapat dibagi menjadi tiga kelompok. Kesatu, peran MPU Aceh Tenggara dalam penerapan syariat Islam. Peran ini dilakukan melalui jalur kerjasama institusional dengan Pemerintahan Daerah dan instansi vertikal lainnya di Kabupaten Aceh Tenggara serta sejumlah organisasi Islam di daerah tersebut. Kedua, peran MPU Aceh Tenggara dalam pengawasan penerapan syariat Islam, yang merupakan kelanjutan dari kebijakan yang telah mendapat saran dan rekomendasi dari MPU Aceh Tenggara. Ketiga, peran MPU Aceh Tenggara dalam penguatan pemahaman masyarakat terhadap syariat Islam. Peran ini, oleh MPU Aceh Tenggara, diwujudkan dalam kegiatan seperti safari dakwah, muzakarah ulama dan pendidikan kader ulama.

Kata kunci: Ulama, Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), Syariat Islam.

Page 10: KEWENANGAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA …digilib.uin-suka.ac.id/31948/1/1320311105_BAB I, V, DAFTAR PUSTAKA.pdf · kewenangan majelis permusyawaratan ulama (mpu) dalam penentuan

x

KATA PENGANTAR

��ا ر��ل هللا وا���ة وا���م � � ا�ف ا�����ء ّ��� ' رّب ا�%����$, ا�!� ان � ا �" ا� هللا وا�!� اّن ��ا�

�$ و� � آ�" وا+��)" ا*�%�$. اّ�� )%��� وا�

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala

puji bagi Allah SWT, yang telah memberi taufik, hidayah dan rahmat-Nya sehingga peneliti

dapat menyelesaikan skripsi ini. Sholawat dan salam tercurah kepada Nabi Muhammad SAW.

Juga keluarganya serta semua orang yang menempuh jalannya.

Selama penulisan tesis ini tentunya kesulitan dan hambatan telah dihadapi. Dalam

mengatasinya peneliti tidak mungkin dapat melakukannya sendiri tanpa bantuan orang lain.

Atas bantuan yang telah diberikan selama penelitian maupun dalam penulisan Tesis ini,

peneliti mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Drs. KH. Yudian Wahyudi, MA., Ph.D., Selaku Rektor UIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta.

2. Prof. Noorhaidi, MA., M.Phil., Ph.D., Selaku direktur Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta, yang telah memberikan kemudahan dan kesempatan kepada penulis untuk

selama proses pendidikan.

3. Ro’fah, BSW., Selaku Kordinator Program Studi Magister (S2) Hukum Islam dan

jajarannya, atas segala kemudahan dan kebijakan yang diberikan kepada penulis untuk

melancarkan administrasi selama perkuliahan dan proses penyelesaian tesisi ini.

4. Dr. Subaidi, M.Si., sebagai pembimbing sekaligus sebagai penguji tesis yang telah

meluangkan waktu, mencurahkan pikiran, mengarahkan serta memberikan petunjuk

dalam penulisan tesis ini dengan penuh kesabaran.

5. Dr. Sunarwoto, MA., dan Najib Kailani, S.Fil.I., MA., Ph.D. selaku penguji dalam

penyelesaian Tesis ini.

Page 11: KEWENANGAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA …digilib.uin-suka.ac.id/31948/1/1320311105_BAB I, V, DAFTAR PUSTAKA.pdf · kewenangan majelis permusyawaratan ulama (mpu) dalam penentuan

xi

6. Segenap dosen dan karyawan yang ada di lingkungan Magister Pascasarjana yang telah

memberikan didikan, perhatian, serta sikap ramah dan bersahabat yang telah diberikan.

7. Ibu dan Ayahku, serta kedua Mertuaku yang selalu mendoakan dan memberi semangat

kepadaku.

8. Istriku tercinta, Radhiah, S.Pd.I., M.Pd.I., serta Putriku Aishe Putri Soliha Kasrun yang

menjadi penyemangatku dalam menyelesaikan tesis ini.

9. kakak, dan adik-adikku, Hadya Hasra, Jumika Mayyana, Devi Salma, Maria Ulpa sari,

Mona Lisa, Mar’atul Azizah, Azzah Azdakiyah, Rahmatillah, Tengku Dahnil dan

Nurhadijah.

10. Sahabat-sahabatku, Bapak Tengku Syakirin, Bang Sufriadi, Bang Yasir Arafat, M.Idris,

Keluarga Ikamara, Cahaya Imani, dan semua sahabat perjuangan Pascasarjana

2013,2014, yang telah memberikan banyak pelajaran akan pentingnnya sebuah

kebersamaan, kepedulian, dan kejujuran.

Peneliti sangat menyadari, bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu,

peneliti mengharapkan kritik yang membangun dari berbagai pihak. Semoga tesis ini

bermanfaat bagi peneliti khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.

Yogyakarta, 31 Maret 2018

Peneliti,

Hady Warman

NIM: 1320311105

Page 12: KEWENANGAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA …digilib.uin-suka.ac.id/31948/1/1320311105_BAB I, V, DAFTAR PUSTAKA.pdf · kewenangan majelis permusyawaratan ulama (mpu) dalam penentuan

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ....................................................................................................... i

PERNYATAAN KEASLIAN ......................................................................................... ii

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI.............................................................. iii

LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................................... iv

PERSETUJUAN TIM PENGUJI .................................................................................. v

NOTA DINAS PEMBIMBING ..................................................................................... vi

HALAMAN MOTTO .................................................................................................... vii

HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................................... viii

ABSTRAK ...................................................................................................................... ix

KATA PENGANTAR .................................................................................................... x

DAFTAR ISI ................................................................................................................... xii

BAB I. PENDAHULUAN .............................................................................................. 1

A. Latar Belakang Penelitian .............................................................................. 1

B. Rumusan Masalah .......................................................................................... 9

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................................... 9

D. Kajian Pustaka ................................................................................................ 10

E. Landasan Teoritis ........................................................................................... 12

F. Metode Penelitian ............................................................................................ 18

1. Lokasi Penelitian ......................................................................................... 18

2. Jenis Penelitian dan Pendekatan Penelitian ................................................ 18

3. Sumber Data ................................................................................................ 19

4. Teknik Pengumpulan Data .......................................................................... 19

5. Teknik Pengolahan dan Analisis Data ........................................................ 20

G. Sistematika Pembahasan ................................................................................ 21

BAB II. KEISTIMEWAAN PROVINSI ACEH DAN KEDUDUKAN MPU

SEBAGAI ELEMEN PENERAPAN SYARIAT ISLAM DI ACEH ............. 22

A. Gambaran Umum Konsep Desentralisasi Indonesia; Desentralisasi

Asimetris ......................................................................................................... 22

B. Meninjau Seputar Status Keistimewaan Aceh ........................................... 28

1. Status Daerah Provinsi Aceh dalam Kerangka Desentralisasi ................... 28

Page 13: KEWENANGAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA …digilib.uin-suka.ac.id/31948/1/1320311105_BAB I, V, DAFTAR PUSTAKA.pdf · kewenangan majelis permusyawaratan ulama (mpu) dalam penentuan

xiii

2. Lintas Sejarah Keistimewaan Aceh Sebelum UU No. 11 Tahun 2006 ...... 37

3. Materi Muatan Kebijakan Keistimewaan Aceh dalam UU 11 Tahun

2006 ............................................................................................................ 47

C. Penerapan Syariat Islam sebagai Wujud Keistimewaan Aceh ................... 52

1. Syariat Islam di Aceh dan Pengaturannya Dalam Qanun ........................... 52

2. Sistem Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh ................................................. 60

D. Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Sebagai Elemen Penerapan

Syariat Islam di Aceh .................................................................................... 65

BAB III. TATA KERJA MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA (MPU)

SEBAGAI MITRA KERJA LEMBAGA PEMERINTAHAN DI

KABUPATEN ACEH TENGGARA ........................................................... 71

A. Deskripsi Singkat Kabupaten Aceh Tengga ............................................... 71

B. Pembentukan Majelis Permusyawaran Ulama (MPU) Aceh Tenggara

dan Struktur Kepengurusan ........................................................................ 73

C. Tata Kerja MPU Aceh Tenggara sebagai Mitra Kerja Pemerintah dan

DPRK Aceh Tenggara ................................................................................... 83

BAB IV. ANALISIS TERHADAP KEWENANGAN DAN PERAN MAJELIS

PERMUSYAWARATAN ULAMA (MPU) DALAM PEMBENTUKAN

KEBIJAKAN DAN PENERAPAN SYARIAT ISLAM DI

KABUPATEN ACEH TENGGARA ............................................................ 89

A. Kewenangan MPU dalam Menentukan Kebijakan tentang Syariat

Islam di Aceh Tenggara ................................................................................ 89

1. Batasan dan Lingkup Kewenangan MPU Aceh Tenggara ......................... 89

2. Pelaksanaan Kewenangan MPU Aceh Tenggara (Tinjauan Yuridis) ........ 95

B. Implementasi Kewenangan MPU Aceh Tenggara dalam Pembentukan

Kebijakan tentang Syariat Islam ................................................................. 98

C. Peran MPU Seputar Penerapan dan Pengawasan Penerapan Syariat

Islam di Aceh Tenggara ................................................................................ 106

1. Peran MPU dalam Penerapan Syariat Islam di Aceh Tenggara ................. 106

2. Peran MPU Aceh Tenggara dalam Pengawasan Penerapan Syariat Islam . 117

3. Peran MPU Aceh Tenggara dalam Penguatan Syariat Islam ..................... 121

Page 14: KEWENANGAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA …digilib.uin-suka.ac.id/31948/1/1320311105_BAB I, V, DAFTAR PUSTAKA.pdf · kewenangan majelis permusyawaratan ulama (mpu) dalam penentuan

xiv

BAB V. PENUTUP ......................................................................................................... 127

A. Kesimpulan ...................................................................................................... 127

B. Saran ................................................................................................................ 129

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 131

Page 15: KEWENANGAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA …digilib.uin-suka.ac.id/31948/1/1320311105_BAB I, V, DAFTAR PUSTAKA.pdf · kewenangan majelis permusyawaratan ulama (mpu) dalam penentuan

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Studi-studi sosial, keagamaan dan pemerintahan di Aceh menununjukkan

bahwa keberadaan ulama di masyarakat sangat sentral dan menentukan, baik

ditinjau dari perspektif sejarah lahir dan perkembangan eksistensi syariat Islam di

Aceh maupun kekiniaan. Ulama merupakan sosok yang memainkan peranan

penting dalam segala sendi kehidupan masyarakat dan pemerintahan. Salah satu

identitas utama masyarakat Aceh kini yang identik dengan keislaman, bahkan

dapat disebut bermula dari jasa dan peran para ulama.1 Dalam perjalanannya, para

ulama memegang posisi sentral, terutama ketika agama Islam telah memasuki

kemapanannya melalui kerjaan-kerajaan islam di aceh. Dalam berbagai rujukan,

dijelaskan bahwa ulama di Aceh masa-masa itu memiliki peran yang meliputi

segala sisi kehidupan masyarakat dan pemerintahan.

1 Beberapa literatur dan hasil ‘Seminar Masuknya Islam di Indonesia’ pada tahun 1963 di

Medan menyimpulkan bahwa Islam telah masuk ke bumi nusantara pada abad ke-7 Masehi (abad 1 Hijriah) dari Hadramaut (Arab) oleh para pedagang. Hanya saja, gelombang penyebaran agama Islam di Nusantara secara intensif dimulai abad ke 13 M. Beberapa ahli mengungkapkan keberhasilan penyebaran Islam yang dimulai dari Aceh adalah karena gerakan ini mampu menselaraskan ajaran Islam dengan budaya masyarakat setempat, sehingga mampu menghadirkan ajaran Islam yang sangat fleksibel dan harmoni. Hal ini juga disokong oleh pembawa dan penyebar Islam pertama yang bermazhab Syafi’i yang dinilai memiliki fleksibilitas dan kesesuaian dengan masyarakat. Baca Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia: dari Nalar Partisipatoris hingga Emansipatoris, (Yogyakarta: LKiS, 2005), 33; Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Madzhab Negara: Kritik Atas Politik Hukum Islam di Indonesia, (Yogyakarta: LkiS 2001), 112-114; Nurcholis Madjid, Islam Doktrin Dan Pradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan, (Jakarta: Paramadina, 1992), 235. Aboebakar Atjeh mengungkap, ketika Marco Polo berlayar dari pelabuhan Cina Selatan hingga sampai ke Sumatera dan singgah di Perlak (sekarang terdapat di Aceh Timur) pada tahun 1292, telah eksis masyarakat Islam di bawah Kerajaan Perlak dimana penduduknya tunduk pada undang-undang Islam. Lihat, Aboebakar Atjeh, Sekitar Masuknya Islam ke Indonesia, (Solo: CV: Ramadhani, 1985), 13

Page 16: KEWENANGAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA …digilib.uin-suka.ac.id/31948/1/1320311105_BAB I, V, DAFTAR PUSTAKA.pdf · kewenangan majelis permusyawaratan ulama (mpu) dalam penentuan

2

Dalam kapasitasnya sebagai elit agama yang berpengetahuan luas, ulama

di Aceh memegang otoritas tafsir utama bahkan tunggal terhadap perbagai teks

keislaman seperti Al Qur’an, hadits dan fiqh di Aceh. Ketergantungan masyarakat

terhadap para ulama ditambah dengan justitifikasi norma agama dan perbagai

tafsir terhadap ajaran-ajarannya yang mensakralkan posisi mereka yang pada

gilirannya menempatkan ulama tampil sebagai agen (aktor) sosial yang sangat

berwibawa sehingga seruan-seruan mereka senantiasa diikuti secara fanatik oleh

masyarakat Aceh.2 Para ulama di Aceh tidak luput dalam peran pendidikan dan

pembimbingan masyarakat Aceh, baik dalam bentuk formal melalui lembaga

pendidikan dayah,3 maupun bimbingan secara langsung melalui dakwah-dakwah

keislaman.

Di sisi lain, realitas masyarakat Aceh sebagai penganut agama Islam

fanatik yang menempatkan ajaran-ajaran Islam sebagai satu-satunya basis nilai

dan sistem pandangan dunia (world view) telah menjadi material sinergis bagi

dominannya kewibawaan ulama di Aceh yang tidak hanya pada ranah keagamaan

tetapi juga melingkupi wilayah sosial, budaya dan politik praktis sekaligus.4

Bahkan peran ulama dalam pemerintahan tidak pernah dapat dikesampingkan,

karena peran itu berlangsung sangat panjang, sepanjang keberadaan kerajaan-

kerajaan Islam di Aceh.

2 Nirzalin, Krisis Agensi Politik Teungku Dayah di Aceh, Ringkasan Disertasi, Program Doktor

Sosiologi, (Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2011), 1. 3 Dayah adalah Lembaga Pendidikan Islam tradisional di Aceh yang meskipun tidak persis

sama sepadan artinya dengan pesantren di wilayah Indonesia lainnya. Para pemimpin Lembaga ini, dikenal dengan sebutan Teungku Dayah, yang merupakan ulama panutan masyarakat di Aceh. Lihat, M. Hasbi Amiruddin, Ulama Dayah Pengawal Agama Masyarakat Aceh, (Lhoksumawe: Nadya Foundation, 2003), 33. Baca juga Nirzalin, ibid, 1-2.

4 Mengenai pergulatan politik ulama di Aceh, Baca Isa Sulaiman, Sejarah Aceh; Sebuah Gugatan Terhadap Tradisi, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997), 10-15.

Page 17: KEWENANGAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA …digilib.uin-suka.ac.id/31948/1/1320311105_BAB I, V, DAFTAR PUSTAKA.pdf · kewenangan majelis permusyawaratan ulama (mpu) dalam penentuan

3

Riwayat hubungan antara penguasa dengan para ulama dalam sejarah

Aceh dapat dirujuk semenjak dari kerajaan Islam Pasai berdiri (1270), ulama telah

mengambil peranan sebagai penasihat agama bagi para raja. Malik al-Zahir (w.

1326) bahkan pernah mendatangkan para ulama dari Makah, Persia, India dan dari

berbagai-bagai kawasan lain untuk dirujuk pendapatnya dan dijadikan sebagai

penasihat pemerintah.5

Peranan ulama dalam pemerintahan Kesultanan Aceh juga dapat dilihat

dari pengangkatan beberapa ulama sebagai mufti kerajaan ataupun sebagai

penasihat raja. Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, Syeikh Shams al-

Din al-Sumatrani diangkat sebagai penasihat dan mufti Kerajaan Islam Aceh

Darussalam (1607-1636) dengan gelaran Syeikh al-Islam yang bertanggung jawab

mengurus perihal keagamaan, selain juga kerap terlibat dalam permasalahan

politik.6 Sementara pada masa pemerintahan Sultan Iskandar al-Thani, Nuruddin

al-Raniry diangkat sebagai Qadi al-Malik al-‘Adil dan Mufti Mu’addam. Masa

pemerintahan empat orang ratu di Aceh (1641-1699), Syaikh Abdul Rauf al-

Singkil yang dikenali dengan Syiah Kuala dilantik sebagai Mufti dan Qadi al-

Malik al-‘Adil. Mereka tidak hanya sebagai penasihat akan tetapi memainkan

peranan penting dalam penetapan kebijakan kerajaan bahkan memberi saran dan

arahan dalam tatanan politik pada masa itu.7

Peran dan kedudukan para ulama di aceh pada dasarnya tidak meredup,

baik setelah kerajaan-kerajaan Islam di Aceh redup dan jatuh pada masa

5 Amiruddin, Ulama Dayah Pengawal, 7. Lihat juga, Amirul Hadi, Aceh: Sejarah, Budaya,

Dan Tradisi, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010), 171. 6 Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syeikh Nuruddin Ar-Raniry, (Jakarta: CV

Rajawali, 1983), 27. 7 Lihat, Amirul Hadi, Aceh: Sejarah, Budaya, 128-129.

Page 18: KEWENANGAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA …digilib.uin-suka.ac.id/31948/1/1320311105_BAB I, V, DAFTAR PUSTAKA.pdf · kewenangan majelis permusyawaratan ulama (mpu) dalam penentuan

4

penjajahan, perjuangan kemerdekaan Indonesia hingga Indonesia

memproklamirkan diri sebagai negara merdeka. Hanya saja, peran mereka dalam

dimensi politik dan pemerintahan tidak lagi berjalan sebagaimana sebelumnya

karena adanya penjajahan tersebut. Berbagai faktor tentu saja memberi pengaruh

atas hal tersebut, termasuk perbedaan dinamika penyelenggaraan negara dan

pemerintahan dibanding masa sebelumnya serta pasang surut di tubuh internal

ulama Aceh sendiri. Khusus mengenai hal yang terakhir tersebut, M. Hasbi

Amiruddin dalam sebuah tulisannya bahkan berpendapat perlunya memaknai

kembali fungsi dan tugas ulama di Aceh.8

Perbedaan sistem penyelenggaraan negara dan pemerintahan Indonesia

sendiri menjadi salah satu faktor penting yang mempengaruhi kedudukan dan

peran ulama, tidak seperti pada masa kerajaan. Hal ini tentu saja beralasan karena

baik dari sisi kewilayahan yang luas dan masyarakat Indonesia yang beragam,

termasuk dari sisi agama yang dianut, Indonesia telah ditetapkan sebagai negara

republik dengan berlandas pada konstitusi. Pada gilirannya, keberadaan dan peran

ulama di Aceh menjadi lebih bersifat sektoral: terbatas bidang tertentu (baca:

syariat Islam dan bimbingan keislaman bagi masyarakat), kondisi dan juga

daerah-daerah tertentu yang beragama Islam yang bersifat tidak mengikat. Dalam

8 M. Hasbi Amiruddin menyebutkan tiga faktor sulitnya memberikan gambaran kedudukan

ulama Aceh pada masa kini. Pertama, Aceh dilanda konflik bersenjata, terhadap kenyataan itu ulama Aceh tidak memberi jawaban dan gambaran yang jelas berpihak kemana. Kedua, lembaga pendidikan agama seperti dayah tidak memiliki peran penting dalam perkembangan pendidikan dan masyarakat Aceh. Ketiga, para ulama dewasa ini sering terjadi perbedaan pendapat yang tajam dan pada giliran akhir sering terjadi pada murid-murid mereka saling mengklaim pendapat gurunya yang paling benar. Berdasarkan tiga faktor di atas maka posisi ulama harus dimaknai kembali fungsi dan tugasnya. Lihat dalam Kamaruzzaman Bustamam Ahmad dan Hasbi Amiruddin sebagaimana dikutip oleh Muhammad Suhaili Sufyan, Peranan Majelis Permusyawaratan Ulama dalam Sistem Pemerintahan Aceh, Tesis, (Akademi Pengajian Islam, Universiti Malaya Kuala Lumpur, Malaysia, 2016), 21-22

Page 19: KEWENANGAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA …digilib.uin-suka.ac.id/31948/1/1320311105_BAB I, V, DAFTAR PUSTAKA.pdf · kewenangan majelis permusyawaratan ulama (mpu) dalam penentuan

5

kondisi demikian, meskipun tidak persis sama, keberadaan dan peran ulama di

Aceh dapat disandingkan dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Dalam konteks Aceh dan masyarakatnya, penerapan syariat Islam menjadi

bagian dari perjuangan, sesuai dengan frame pemikiran bahwa syariat Islam

adalah identitas daerah ini. Selain itu, terungkap pula dokumen dan fakta sejarah

perjalanan Republik Indonesia yang menempatkan Aceh sebagai daerah yang

berhak memperoleh identitas tersebut. Namun, perjalanan waktu menunjukkan

pasang surut pemenuhan pemberlakuan syariat Islam, sehingga turut menjadi

bagian latar belakang munculnya gejolak di Aceh.

Perjuangan masyarakat Aceh itu baru menemui momentumnya setelah

reformasi, tepatnya ketika diterbitkan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999

tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh.

Lahirnya UU tersebut memulai kondisi baru kaitannya dengan penerapan syariat

Islam, dengan ranah legislasi menjadi langkah awal untuk merealisasikannya.

Berbagai qanun (setingkat Peraturan Daerah) tentang syariat Islam mulai disusun,

diterbitkan dan diberlakukan di bumi Serambi Mekkah. Kondisi ini sekaligus

membangkitkan kembali peran ulama di Aceh, suatu bidang yang memang tidak

bisa dilepaskan dari kedudukan ulama. Melalui langkah legalisasi pula,

kedudukan ulama secara kelembagaan di Aceh diformalisasi dengan nama Majelis

Permusyawaratan Ulama (MPU), yang pertama sekali diatur melalui Peraturan

Daerah Istimewa Aceh No. 3 Tahun 2000 tentang Pembentukan Organisasi dan

Tata Kerja Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Propinsi Daerah Istimewa

Aceh. Formalisasi itu sejatinya telah membuka tabir yang selama ini menjadi

Page 20: KEWENANGAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA …digilib.uin-suka.ac.id/31948/1/1320311105_BAB I, V, DAFTAR PUSTAKA.pdf · kewenangan majelis permusyawaratan ulama (mpu) dalam penentuan

6

“penghalang” peran ulama Aceh dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat

dan pemerintahan sebagaimana masa-masa sebelumnya. Qanun No. 2 Tahun 2009

tentang MPU menegaskan keberadaan peran ulama Aceh dalam berbagai bidang

kehidupan masyarakat dan pemerintahan di Aceh, termasuk penerapan syariat

Islam. Khusus dalam penerapan syariat Islam, para ulama Aceh bahkan dapat

turut menyiapkan rancangan qanun yang disponsori oleh MPU Aceh.

Hanya saja, dalam usia yang sudah memasuki dua dekade, kesan

penerapan syariat Islam di Aceh masih saja terkesan minor. “Suara sumbang”

muncul dari berbagai kalangan masyarakat Indonesia, bahkan masyarakat Aceh

sendiri sebagai respon rasa tidak maksimalnya penerapan syariat Islam. Respon

itu memang seperti dikonfirmasi dengan baik oleh berbagai peristiwa yang

mencerminkan kondisi negatif masyarakat Aceh seperti penyalahgunaan narkoba,

menggeliatnya prostitusi, korupsi pejabat pemerintahan dan tindak pidana lainnya.

Kondisi tersebut seakan menutup beberapa aspek penerapan syariat yang

sebetulnya mengalami kemajuan, seperti dalam bidang pengaturan dan penerapan

peraturan-peraturan di dalam qanun.

Berkaitan dengan ini, Hafifuddin mengungkapkan tiga asumsi dasar

berkaitan dengan munculnya kesan negatif terhadap penerapan syariat Islam di

Aceh. Pertama, bahwa syari’at Islam yang ada sekarang belum sempurna sesuai

harapan karena qanun syari’at Islam yang ada sekarang sangat terbatas jumlahnya.

Kedua, bahwa kalau syari’at Islam hanya sebatas formalisasi belum menyentuh

hal substansi, maka sesungguhnya syari’at Islam belum dilaksanakan. Ketiga,

komitmen pemerintah dan aparat penegak hukum serta prilaku masyarakat belum

Page 21: KEWENANGAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA …digilib.uin-suka.ac.id/31948/1/1320311105_BAB I, V, DAFTAR PUSTAKA.pdf · kewenangan majelis permusyawaratan ulama (mpu) dalam penentuan

7

mendukung untuk berjalannya syari’at Islam yang kaffah di Nanggroe Aceh

Darussalam. Keempat, syari’at Islam agar lebih mudah berjalan apabila dilakukan

dengan pendekatan kultural, yaitu dengan memperhatikan sisi adat budaya

masyarakat. Namun dipihak lain menginginkan syari’at Islam murni dari Al

Qur’an dan Hadis, bebas dari kultur dan budaya lokal.9 Asumsi-asumsi tersebut

agaknya dapat ditambahkan pula dengan keterbatasan lingkup penerapan syariat

Islam di Aceh. Syariat Islam yang sejatinya melingkupi segala aspek kehidupan

masyarakat, tidak dapat teralisasi karena benturan sistem kenegaraan yang dianut

di Indonesia. Faktanya, seperti disebut di atas, berbagai tindak pidana tersebut

sebagian besar tidaklah masuk dalam kerangka syariat Islam (qanun) di Aceh

dalam penanganannya, melainkan masuk dalam penegakan hukum secara

nasional. Tapi tetap saja, pandangan masyarakat Aceh secara umum sejak awal

telah mendudukkan syariat Islam sebagai solusi untuk menata dan memperbaiki

kondisi masyarakat, sehingga ketika hal-hal tersebut masih eksis dan justru

berkembang, penilaian kegagalan penerapan syariat Islam di Aceh turut

tergeneralisir.

Lebih jauh, penilaian dan respon yang muncul di masyarakat tidak pelak

juga menimpa Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) di Aceh. MPU berisi

sosok-sosok yang memiliki kedudukan yang mulia bagi masyarakat Aceh (ulama-

ulama) karena memiliki pengetahuan yang mapan terhadap syariat Islam sehingga

secara kelembagaan memiliki otoritas dalam mengembangkan dan menegakkan

syariat Islam. Praktis, mereka dituntut untuk berperan aktif dan positif dalam

9 Hafifuddin, Ulama dan Penerapan Syariat Islam di Aceh, Tesis, (Program Pascasarjana IAIN

Sumatera Utara, Medan, 2013), 10

Page 22: KEWENANGAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA …digilib.uin-suka.ac.id/31948/1/1320311105_BAB I, V, DAFTAR PUSTAKA.pdf · kewenangan majelis permusyawaratan ulama (mpu) dalam penentuan

8

bidang ini. Sebaliknya, penilaian gagal dari masyarakat dalam penerapan syariat

Islam maka tidak pula dapat dihindari munculnya anggapan minor terhadap

lembaga MPU.

Secara kelembagaan, peraturan yang berlaku membagi MPU kepada dua,

yakni MPU Aceh dan MPU Kabupaten/Kota. MPU-MPU di daerah Aceh

dirancang dengan prinsip kemandirian masing-masing, dalam arti MPU Aceh dan

MPU Kabupaten/Kota adalah lembaga-lembaga yang terpisah, yang meskipun

memili tugas, fungsi dan bidang yang sama namun secara kelembagaan tidak

memiliki hierarki/hubungan satu sama lainnya, kecuali sebatas koordinatif. Di sisi

lain, dalam Qanun tentang MPU tahun 2009 ditetapkan adanya sejumlah

kewajiban bagi MPU Kabupaten/Kota untuk melaksanakan sesuatu yang

pokoknya berasal dari MPU Aceh.10

Penelitian ini sendiri lebih lanjut akan melihat bagaimana kewenangan dan

peran MPU Kabupaten Aceh Tenggara baik dalam konstruksi kelembagaan

tersebut dalam pelaksanaan syariat Islam di Aceh Tenggara. Realitas masyarakat

di kabupaten ini adalah yang paling beragam, termasuk dari sisi agama yang

dianut, dibanding daerah-daerah di seluruh Aceh menjadikan penelitian ini

menarik. Meskipun tidak dalam posisi untuk membuktikan apakah daerah ini

termasuk menimbulkan kesan tidak maksimalnya penerapan syariat Islam bagi

Aceh secara keseluruhan, penelitian ini diperlukan dalam rangka memetakan

bagaimana dan seperti apa otoritas dan peran MPU Aceh Tenggara sejauh ini

dalam penerapan syariat Islam.

10 Pasal 6 ayat (3) Qanun No. 2 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Ulama.

Page 23: KEWENANGAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA …digilib.uin-suka.ac.id/31948/1/1320311105_BAB I, V, DAFTAR PUSTAKA.pdf · kewenangan majelis permusyawaratan ulama (mpu) dalam penentuan

9

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang pemikiran tersebut di atas, maka muncul

permasalahan pokok, yaitu:

1. Bagaimana kewenangan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) dalam

menentukan kebijakan tentang syariat Islam di Aceh Tenggara?

2. Bagaimana peran Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) dalam penerapan

syariat Islam di Aceh Tenggara?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Tujuan pelaksanaan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan kewenangan Majelis Permusyawaran Ulama (MPU)

dalam menentukan kebijakan penerapan syariat Islam di Kabupaten Aceh

Tenggara

2. Untuk menganalisis dan mendeskripsikan peran Majelis Permusyawaratan

Ulama (MPU) dalam penerapan syariat Islam di Aceh Tenggara

Sementara kegunaan penelitian ini adalah:

1. Memberikan kontribusi bagi para akademisi, peneliti dan pihak lainnya

dalam bidang keilmuan sehingga dapat menambah referensi (rujukan)

dalam rangka menggali dan lebih lanjut menyimpulkan kewenangan

Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Tenggara dalam kerangka

penerapan syariat Islam.

2. Selain untuk para akademisi dan pihak dalam profesi keilmuan lainnya,

hasil penelitian ini juga diharapkan memberikan kontribusi positif bagi

Page 24: KEWENANGAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA …digilib.uin-suka.ac.id/31948/1/1320311105_BAB I, V, DAFTAR PUSTAKA.pdf · kewenangan majelis permusyawaratan ulama (mpu) dalam penentuan

10

Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Tenggara untuk perbaikan ke

depan, serta instansi-instansi pemerintahan (badan eksekutif dan badan

legislatif) di Aceh Tenggara mengenai penerapan syariat Islam di daerah

ini kaitannya dengan kewenangan, fungsi dan tugas pokok MPU Aceh

Tenggara dalam bidang penerapan syariat Islam.

D. Kajian Pustaka

Dari hasil penelusuran terkait dengan pembahasan tersebut ada beberapa

buku dan karya ilmiah yang dijadikan sebagai kajian awal, yaitu:

Pertama, hasil penelitian Ma’mun Mu’min menilai bahwa ulama di Aceh

cukup berperan dakwah dan politik terutama sebagai mediator antara masyarakat

dan pemerintah.11 Meskipun penelitian ini lebih terfokus pada ulama yang berada

dalam partai politik yang disebutnya sebagai ulama kekaryaan.

Daniel Djuned mengatakan bahwa MPU sebagai lembaga ulama yang

lebih berada digarda depan dalam perumusan Qanun harus diberikan ruang yang

jelas agar peran dan kerjanya tidak tumpang tindih dengan lembaga lainnya.12

Selain itu, Muslim Ibrahim menilai bahwa MPU merupakan lembaga legeslatif

independen, artinya bahwa ulama merupakan mitra sejajar pemerintah yang

memiliki peran tidak hanya dalam proses legeslasi, tetapi juga sosialisasi Qanun.13

11 Ma’mun Mu’min, Peran Dakwah dan Politik Ulama Kekaryaan di Daerah Istimewa Aceh,

(Banda Aceh: Program Pascasarjana IAIN Ar-Raniry), 1998. 12 Djunet Daniel, Syari’at bagaimana yang mesti diaplikasikan, dalam fairus M. Nur lbr 2002.

Syari’at di Wilayah syari’at: pemik-pemik Islam di Nanggroe Aceh Darussalam, (Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam, 2002), 74.

13 Muslim Ibrahim, Rekonstruksi Peran Ulama Di Masa Depan, Dalam Fairus M. Nur lbr, Syari’at di Wilayah syari’at: pemik-pemik Islam di Nanggroe Aceh Darussalam, (Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam, 2002), 245-252.

Page 25: KEWENANGAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA …digilib.uin-suka.ac.id/31948/1/1320311105_BAB I, V, DAFTAR PUSTAKA.pdf · kewenangan majelis permusyawaratan ulama (mpu) dalam penentuan

11

Kedua kajian ini cukup berkaitan dengan penelitian yang akan peneliti tulis ,

meskipun belum dijelaskan wewenang dan peran MPU Aceh Tenggara pasca

pemberlakuan Syari’at Islam di Aceh sebagaimana yang akan diteliti sebagaimana

akan diteliti dalam penelitian ini.

Rusydi Ali Muhammad menulis tentang Revitalisasi Syari’at Islam di

Aceh: Problem, Solusi dan Implementasi Menuju Pelaksanaan Hukum Islam di

Nanggore Aceh Darussalam. Buku tersebut diberi pengantar oleh Azyumardi Azra

yang di terbitkan oleh Logos Jakarta mengupas banyak hal yang berkenaan

pelaksaan Syari’at Islam di Aceh, mulai dari sosialisasi Syari’at Islam di Aceh,

bahwa persoalan Aceh dapat diselesaikan dengan Syari’at Islam di Aceh,

meskipun ada beberapa hal yang menimbulkan kekhawatiran karena belum

selesainya hukum materil. Dan beliau tidak membahas tentang wewenang MPU di

Aceh.14

Nurrohman dan kawan-kawan pernah meneliti tetang Syari’at Islam di

Aceh sebagai Formalisasi Kembali, yang dimuat dalam Jurnal Istiqra’ yang

diterbitkan oleh Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam Depag Pusat, Volume

03, Nomor 01 tahun 2003 pada kesimpulan penelitian, mereka kemukakan ada

rasa khawatir bahwa Syari’at Islam di Aceh akan mendapat ganjalan dan tidak

dapat berjalan sesuai dengan amanat undang-undang. Karena Aceh adalah bagian

14 Rusydi Ali Muhammad, Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh: Problem, Solusi dan

Implementasi Menuju Pelaksanaan Hukum Islam di Nanggore Aceh Darussalam, (Jakarta: Logos, 2003).

Page 26: KEWENANGAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA …digilib.uin-suka.ac.id/31948/1/1320311105_BAB I, V, DAFTAR PUSTAKA.pdf · kewenangan majelis permusyawaratan ulama (mpu) dalam penentuan

12

dari Indonesia, sedangkan di Indonesia tidak diterapkan Syari’at Islam dan

berlaku hokum positif.15

Selain itu, buku Isa Sulaiman memaparkan panjang lebar mengenai

dinamika peran ulama di Aceh dan hubungannya dengan umara (uleebalang) dari

masa kerajaan-kerajaan hingga zaman reformasi. Buku tersebut masih berbentuk

disertasi belum dijadikan buku. Menurutnya dalam system ketatanegaraan di Aceh

hubungan ulama dan umara sangat dekat dan saling mengisi. Dalam masyarakat

Aceh elit agama atau ulama memiliki kedudukan tinggi, kemudian barulah

punguasa dan elit politik dan lainnya. Buku ini memang tidak secara spesifik

membahas tentang wewenang ulama di Aceh, namun pemaparannya sangat

mendalam khususnya mengenai kedudukan dan peran ulama serta hal yang

menjadi persoalan sehingga menghadap-hadapkannya dengan kelompok

uleebalang di Aceh. Menurutnya, meskipun diawal kemerdekaan pernah terjadi

konflik antara ulama dan umara sehingga banyak terjadi korban, keadaan ini

terjadi karena adanya sifat adu domba yang dilakukan oleh Belanda antara ulama

dan Umara.16

E. Kerangka Teoritis

“Kewenangan” atau “wewenang” adalah istilah yang sangat akrab dalam

kajian hukum tata negara atau hukum administrasi pemerintahan. Padanannya di

dalam ilmu politik adalah “kekuasaan”. Dalam bidang kajian tersebut, masing-

15 Nurrohman, dkk., “Syari’at Islam di Aceh sebagai Formalisasi Kembali”, Jurnal Istiqra’

Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam Depag Pusat, Volume 03, Nomor 01 tahun 2003. 16 Isa Sulaiman, Sejarah Aceh; Sebuah Gugatan Terhadap Tradisi, (Jakarta: Pustaka Sinar

Harapan, 1997).

Page 27: KEWENANGAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA …digilib.uin-suka.ac.id/31948/1/1320311105_BAB I, V, DAFTAR PUSTAKA.pdf · kewenangan majelis permusyawaratan ulama (mpu) dalam penentuan

13

masing istilah itu bahkan menjadi salah satu pokok pembahasan karena hal itu

berkaitan erat dengan aspek kepentingan umum, khususnya bagaimana

pengelolaan suatu negara melalui lembaga-lembaga pemerintahan serta batasan-

batasan tindakan yang dapat dilakukan para pejabatnya. Hal itu pula yang yang

menunjukkan relevansi penggunaan teori kewenangan digunakan dalam penelitian

ini mengingat kedudukan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh

Tenggara sebagai obyek utama penelitian ini merupakan institusi publik atau

pemerintahan (dalam arti luas), sehingga segala tindakan yang dilakukan harus

sah (legal) berdasarkan peraturan yang berlaku.

Menurut P. Nicolai, istilah kewenangan mencakup hak dan kewajiban.

Kewenangan sendiri merupakan kemampuan untuk melakukan tindakan hukum

tertentu (yaitu tindakan-tindakan yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat

hukum, dan mencakup mengenai timbul dan lenyapnya akibat hukum). Hak berisi

kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu atau

menuntut pihak lain untuk melakukan tindakan tertentu, sedangkan kewajiban

memuat keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu.17

Ateng Syafrudin menjelaskan, istilah wewenang merupakan lingkup

tindakan hukum publik, lingkup wewenang pemerintahan, tidak hanya meliputi

wewenang membuat keputusan pemerintah (bestuur), tetapi meliputi wewenang

dalam rangka pelaksanaan tugas, dan memberikan wewenang serta distribusi

wewenang utamanya ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.18 Lebih

17 P. Nicolai dalam Ridwan HR, Ibid, 99 18 Ateng Syafrudin, Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih dan

Bertanggung Jawab, Jurnal Pro Justisia, (Bandung, Universitas Parahyangan, Edisi IV Tahun 2000), 22

Page 28: KEWENANGAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA …digilib.uin-suka.ac.id/31948/1/1320311105_BAB I, V, DAFTAR PUSTAKA.pdf · kewenangan majelis permusyawaratan ulama (mpu) dalam penentuan

14

lanjut, Philipus M. Hadjon mengungkapkan bahwa wewenang sebagai konsep

administrasi publik sekurang-kurangnya terdiri dari 3 (tiga) komponen, yaitu

pengaruh, dasar hukum, dan konformitas hukum. Komponen pengaruh ialah

bahwa penggunaan wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan perilaku

subjek hukum. Komponen dasar hukum bahwa wewenang itu selalu harus dapat

ditunjuk dasar hukumnya. Komponen konformitas mengandung makna adanya

standar wewenang yaitu standar umum (semua jenis wewenang) dan standar

khusus (untuk jenis wewenang tertentu).19 Oleh karena itu pula, teori kewenangan

baik dalam kajian akademik maupun praktis, sangat berkaitan dengan prinsip atau

asas legalitas (legaliteitsbeginsel). Tepatnya, asas legalitas itu adalah kelanjutan

atau wujud konkrit dari kewenangan yang dimiliki suatu lembaga pemerintahan.20

Di Indonesia, secara formal asas legalitas atau asas keabsahan ditemukakn

normativisasinya dalam UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Administrasi

dan UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Pasal 1 angka 2

UU tentang Peradilan Administrasi, berbunyi: “Badan dan atau Pejabat Tata

usaha Negara melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku”. Sementara UU tentang Administrasi

Pemerintahan secara eksplisit memuat definisi istilah “kewenangan” dan

“wewenang” tersebut. Pasal 1 angka 6 UU tersebut berbunyi: “Kewenangan

Pemerintahan yang selanjutnya disebut Kewenangan adalah kekuasaan Badan

dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk

19 Phillipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, Yuridika, No. 5 & 6 Tahun XII, Sep-Des 1997, 1-

2. 20 Lihat, SF Marbun, Hukum Administrasi Negara I, (Yogyakarta: UII Press, 2013, 63-81).

Lihat juga, Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), 91-100

Page 29: KEWENANGAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA …digilib.uin-suka.ac.id/31948/1/1320311105_BAB I, V, DAFTAR PUSTAKA.pdf · kewenangan majelis permusyawaratan ulama (mpu) dalam penentuan

15

bertindak dalam ranah hukum publik”. Sementara “Wewenang adalah Wewenang

adalah hak yang dimiliki oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau

penyelenggara negara lainnya untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan

dalam penyelenggaraan pemerintahan”.

Asas legalitas itu pada akhirnya dapat melahirkan konsekwensi positif dan

negatif bagi badan atau pejabat pemerintahan. Konsekwensi positif berarti akan

melahirkan setiap tindakan dari badan atau pejabat pemerintahan selalu

berdasarkan hukum (tertulis). Oleh karena berdasarkan pada hukum tertulis

(undang-undang formal) berarti tindakan badan atau pejabat pemerintahan

merupakan manifestasi dari keinginan rakyat karena telah memperoleh

persetujuan dari rakyat. Dengan demikian, asas leglitas merupakan manifestasi

dari asas negara hukum dan asas demokrasi yang melahirkan asas negara hukum

demokratis.21

Sementara konsekuensi negatif dari asas legalitas berarti apabila tindakan

badan atau pejabat pemerintah tidak berdasarkan atas peraturan perundang-

undangan yang berlaku, maka tindakan itu dapat dikualifikasi sebagai tindakan

illegal (tidak memiliki dasar wewenang) sehingga tindakan badan atau pejabat

administrasi negara tidak memiliki sifat mengikat secara umum, utamanya dalam

hal meletakkan beban atau kewajiban tertentu bagi rakyat. Artinya, badan atau

pejabat administrasi negara tidak boleh melakukan suatu tindakan yang bersifat

mengikat secara umum, tanpa memiliki dasar wewenang yang diperoleh dari

undang-undang formal (attribusi). Demikian juga dalam hal mengeluarkan suatu

21 Marbun, Hukum Administrasi Negara, 93.

Page 30: KEWENANGAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA …digilib.uin-suka.ac.id/31948/1/1320311105_BAB I, V, DAFTAR PUSTAKA.pdf · kewenangan majelis permusyawaratan ulama (mpu) dalam penentuan

16

peraturan (regeling) dalam arti material, akan berakibat peraturan peraturan

tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat secara umum dan karenanya tidak

dapat diterapkan karena tidak memiliki attribusi.22

Dalam kepustakaan hukum administrasi terdapat dua cara untuk

memperoleh wewenang pemerintahan yaitu Atribusi dan Delegasi kadang-kadang

mandat juga ditempatkan sebagai cara tersendiri untuk memperoleh wewenang.

Secara sederhana ketiga sumber wewenang ini dapat dijelaskan bahwa

kewenangan atribusi adalah kewenangan badan atau pejabat administrasi

pemerintahan yang diperoleh secara langsung dari peraturan perundang-undangan,

sedangkan kewenangan delegasi berarti kewenangan badan atau pejabat

administrasi pemerintahan yang diperoleh dari pendelegasian badan atau pejabat

administrasi pemerintahan yang lain. Dalam hal ini diperlukan

peraturan/keputusan pendelegasian wewenang dari pemberi delegasi kepada

penerima delegasi karena tanggung jawab yuridis akan beralih kepada penerima

delegasi. Adapun mandat bukan merupakan peralihan kewenangan akan tetapi

pelaksanaan kewenangan oleh jajaran administrasi pemerintahan atas nama

pejabat definitif manakala pejabat definitif tersebut berhalangan.23

Suatu atribusi menunjuk kepada kewenangan yang asli atas dasar

ketentuan hukum tata negara. Atribusi merupakan wewenang untuk membuat

keputusan (besluit) yang langsung bersumber kepada undang-undang dalam arti

materiil. Rumusan lain mengatakan bahwa atribusi merupakan pembentukan

wewenang tertentu dan pemberiannya kepada organ tertentu. Yang dapat

22 P.J.T. Tak, dalam Marbun, Ibid, 94-95. 23 Tri Cahya Indra Permana, Pengujian Keputusan Diskresi Oleh Pengadilan Tata Usaha

Negara, Tesis, (Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, 2009), 31

Page 31: KEWENANGAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA …digilib.uin-suka.ac.id/31948/1/1320311105_BAB I, V, DAFTAR PUSTAKA.pdf · kewenangan majelis permusyawaratan ulama (mpu) dalam penentuan

17

membentuk wewenang adalah organ yang berwenang berdasarkan peraturan

perundang-undangan.24

Indroharto mengemukakan, pada atribusi terjadi pemberian wewenang

pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-

undangan. Di sini diciptakan suatu wewenang baru. Lebih lanjut disebutkan pula

bahwa legislator yang kompeten untuk memberikan atribusi wewenang

pemerintahan itu dibedakan antara original legislator dan delegated legislator.25

Sementara itu, delegasi dan mandat dalam banyak referensi dipadukan

menjadi satu kelompok karena proses mendapatkan wewenang ini adalah melalui

pelimpahan kekuasaan. Badan/pejabat tata usaha negara yang melimpahkan

wewenang delegasi disebut delegans dan yang menerimanya disebut delegaris.

Sedangkan pada badan/pejabat tata usaha yang melimpahkan mandat disebut

dengan mandans dan yang menerimanya disebut mandataris.

Pada tahun 2014 silam, kajian teoritik terhadap cara mendapatkan

kewenangan tersebut (atribusi, delegasi dan mandat) telah diformalisasi melalui

UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Di dalam UU

tersebut terdapat sejumlah pasal yang mengatur tentang hal tersebut yang

sekaligus menjadi rujukan dalam penyelenggaraan pemerintahan oleh seluruh

lembaga negara, termasuk dalam kontek penelitian ini yaitu Majelis

Permusyawaratan Ulama (MPU).

24 Hadjon, Hukum Administrasi Negara., 2-3 25 Baca lebih lanjut dalam Indroharto, Usaha memahami Undang-Undang Tentang Peradilan

Tata Usaha Negara, Buku I, (Jakarta: Sinar Harapan, 1993), 91-93

Page 32: KEWENANGAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA …digilib.uin-suka.ac.id/31948/1/1320311105_BAB I, V, DAFTAR PUSTAKA.pdf · kewenangan majelis permusyawaratan ulama (mpu) dalam penentuan

18

F. Metode Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Aceh Tenggara, tepatnya di institusi

Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) daerah tersebut. Sebagaimana

telah dikemukakan, beragamnya latar belakang masyarakat yang mendiami

daerah ini menjadi bagian pertimbangan penting menetapkan lokasi

penelitian. Dibanding dengan daerah lainnya di Provinsi Aceh, masyarakat

Kabupaten Aceh Tenggara dapat dikatakan paling beragam, baik dari suku,

etnis, bahasa dan agama. Faktanya, di tengah kondisi tersebut, syariat Islam

dirasa kurang berjalan dengan baik sejauh ini meskipun masyarakat

tergolong sangat fanatik terhadap ajaran Islam dan mendudukkan para

ulama (sebagian menjadi bagian dari MPU) pada posisi yang mulia dan

dihormati.

2. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research), dalam arti

penelitian yang bertitik berat pada data-data primer atau data yang

didapatkan di lapangan. Sementara pendekatan yang digunakan adalah

yuridis-empiris, yakni penelitian yang melihat realitas pelaksanaan suatu

peraturan yang berlaku di lapangan. Penelitian yuridis dalam penelitian ini

bertitik tolak pada ketentuan peraturan formal yang menjadi landasan MPU

Aceh Tenggara dalam melaksanakan kewenangan yang dimilikinya.

Sementara empiris memiliki substansi bahwa penelitian ini akan melihat dan

mengkonfirmasi secara langsung bagaimana MPU Aceh Tenggara

Page 33: KEWENANGAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA …digilib.uin-suka.ac.id/31948/1/1320311105_BAB I, V, DAFTAR PUSTAKA.pdf · kewenangan majelis permusyawaratan ulama (mpu) dalam penentuan

19

melaksanakan kewenangan tersebut. Dengan penentuan jenis dan

pendekatan penelitian demikian, maka peneliti mengharapkan hasil

penelitian tidak sekedar melihat seperti apa kewenangan yang dimiliki MPU

tersebut, melainkan juga bagaimana cara dan dampak seperti apa yang

sudah dihasilkan MPU Aceh Tenggara dalam melaksanakan

kewenangannya.

3. Sumber Data

Yang menjadi sumber data serta yang diminta tanggapannya terhadap

otoritas MPU dalam penerapan syari’at Islam di Kabupaten Aceh Tenggara

adalah Ulama yang berdomisili di Kabupeten Aceh Tenggara, khususnya

yang tergabung dalam MPU Aceh Tenggara serta personal institusi

pemerintahan lainnya yang dinilai memiliki kaitan dengan otoritas dan

peran MPU Aceh Tenggara dalam penerapan syariat Islam. Lengkapnya,

kriteria ulama yang dijadikan sumber data tersebut adalah ulama yang

mewakili Majelis Permusyawaratan Ulama Provinsi Aceh, Kabupaten Aceh

Tenggara, Ulama mewakili Pondok Pesantren dan Ulama cendikiawan dari

perguruan Tinggi.

4. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mengumpulkan data di lapangan peneliti menggunakan beberapa

teknik pengumpulan data, yaitu:

Pertama; Observasi, yang penulis maksudkan adalah mengamati dan

melihat langsung proses jalannya Syari’at Islam di Aceh secara Umum dan

Page 34: KEWENANGAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA …digilib.uin-suka.ac.id/31948/1/1320311105_BAB I, V, DAFTAR PUSTAKA.pdf · kewenangan majelis permusyawaratan ulama (mpu) dalam penentuan

20

Khususnya di Kabupaten Aceh Tenggara baik mengikuti berita di media

maupun pengamatan langsung dalam masyarakat.

Kedua; wawancara, penulis melakukan wawancara secara mendalam dengan

nara sumber diseputar permasalahan tentang pelaksanaan syaria’at Islam

dan implikasinya berkenaan dengan: substansi Qanun Syari’at Islam dan

khusus Qanun No. 2 Tahun 2009 berkaitan dengan fungsi dan wewenang

MPU dalam dalam pelaksanaan syariat Islam di Aceh Tenggara yang

sedang berjalan. Sebagaiman instrumen dalam wawancara peneliti

menggunakan tape recorder dan panduan wawancara serta catatan kecil

yang mendukung peneliti dalam proses pengolahan dan analisis data.

Ketiga; untuk mendapatkan data peneliti mengkaji dan menelaah data

dokumentasi berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku terutama

berjenis qanun tentang MPU dan syari’at Islam, serta berkas resmi baik dari

MPU Aceh Tenggara dan instansi pemerintahan daerah lainnya yang

dianggap relevan dengan fokus penelitian ini. Peneliti juga melakukan

pengkajian pustaka terhadap bahan literatur yang berkenaan dan

relevansinya dengan penerapan Syari’at islam di Aceh tenggara.

5. Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Setelah seluruhnya data diperoleh, kemudian diklarifikasi sesuai dengan

bidang dan kepentingan penelitian dalam rangka menjawab pertayaan-

pertayaan pokok penelitian yang diajukan dan dikategorisasi. Selanjutnya

akan dielaborasi dalam bentuk deskriptif. Bila data tersebut melalui alat

perekam, maka peneliti akan mendengarkan kembalihasil rekamannya dan

Page 35: KEWENANGAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA …digilib.uin-suka.ac.id/31948/1/1320311105_BAB I, V, DAFTAR PUSTAKA.pdf · kewenangan majelis permusyawaratan ulama (mpu) dalam penentuan

127

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan yang telah disajikan dalam beberapa bab di atas,

kesimpulan dalam rangka menjawab permasalah penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Kewenangan yang dimiliki oleh Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU)

Aceh Tenggara saat ini merujuk sepenuhnya kepada ketentuan Pasal 5 ayat

(2) Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan

Ulama, yakni: 1. Melaksanakan dan mengamankan fatwa yang dikeluarkan

oleh MPU; dan 2. memberikan pertimbangan dan masukan kepada

pemerintah kabupaten yang meliputi bidang pemerintahan, pembangunan,

dan kemasyarakatan serta tatanan ekonomi yang Islami. Memahami

ketentuan yuridis tersebut harus dibarengi dengan ketentuan mengenai tugas

MPU kabupaten/kota sebagaimana dalam Pasal 6 ayat (2) qanun tersebut

yang antara lain menentukan bahwa MPU kabupaten memiliki tugas untuk

memberikan masukan, pertimbangan, dan saran kepada Pemerintah

Kabupaten/kota dan DPRK dalam menetapkan kebijakan berdasarkan

syari'at Islam. Dalam pelaksanaannya, MPU Aceh Tenggara berkedudukan

sebagai mitra badan eksekutif (Pemerintah Daerah) dan badan legislatif

(DPRK) Aceh Tenggara serta instansi vertikal pemerintahan pusat yang

berada di daerah ini. Sebagai mitra, MPU dengan instansi-instansi tersebut

Page 36: KEWENANGAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA …digilib.uin-suka.ac.id/31948/1/1320311105_BAB I, V, DAFTAR PUSTAKA.pdf · kewenangan majelis permusyawaratan ulama (mpu) dalam penentuan

128

memiliki kewajiban yang bersifat timbal balik, dalam arti MPU Aceh

Tenggara dibebani untuk memberikan masukan dan saran kepada instansi-

instansi mitra. Sebaliknya, mitra kerja tersebut juga berkewajiban pro aktif

untuk melibatkan MPU Aceh Tenggara dalam penentuan kebijakan daerah,

terutama yang berkaitan dengan syariat Islam.

2. Peran MPU Aceh Tenggara diwujudkan dalam berbagai macam kegiatan

yang sepenuhnya bermuatan dan berdasar pada syariat Islam. Peran-peran

yang dilakukan MPU Aceh Tenggara itu dapat dibagi menjadi tiga bagian

besar. Pertama, peran MPU Aceh Tenggara dalam penerapan syariat Islam.

Peran ini dilakukan oleh MPU melalui jalur kerjasama institusional dengan

Pemerintahan Daerah dan instansi vertikal lainnya di Kabupaten Aceh

Tenggara dalam penerapan syariat Islam. Secara teknis di lapangan,

adakalanya instansi mitra MPU Aceh Tenggara tersebut yang aktif meminta

pertimbangan atas kebijakan yang akan dikeluarkan. Namun terkadang

MPU Aceh Tenggara yang aktif mendangi instansi tersebut, terutama mitra

Pemerintah Daerah. Selain kepada instansi pemerintahan, kerjasama ini juga

dilakukan MPU Aceh Tenggara dengan sejumlah organisasi Islam di daerah

tersebut. Kedua, peran MPU Aceh Tenggara dalam pengawasan penerapan

syariat Islam. Peran ini pada prinsipnya merupakan kelanjutan dari

kebijakan yang telah dijalankan berupa pemantauan oleh MPU, selain

materi yang juga termasuk di dalamnya adalah kebijakan yang diterbitkan

dari provinsi serta produk-produk hukum dari MPU Aceh. Dalam

menjalankan peran ini, MPU Aceh Tenggara tidak mendapat kendala yang

Page 37: KEWENANGAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA …digilib.uin-suka.ac.id/31948/1/1320311105_BAB I, V, DAFTAR PUSTAKA.pdf · kewenangan majelis permusyawaratan ulama (mpu) dalam penentuan

129

berarti, meskipun potensi munculnya kendala itu terbuka lebar karena

kekurangan perangkat aturan. Ketiga, peran MPU Aceh Tenggara dalam

penguatan pemahaman masyarakat terhadap syariat Islam. Peran ini, oleh

MPU Aceh Tenggara, diwujudkan dalam berbagai kegiatan yakni Safari

Dakwah, muzakarah ulama dan Pendidikan Kader Ulama Aceh Tenggara.

Kegiatan-kegiatan tersebut berorientasi bersentuhan secara langsung dengan

masyarakat setempat. Sesuai sifat dari kegiatan-kegiatan tersebut, peran

yang dilakukan MPU Aceh Tenggara tidak terbatas pada penguatan

pemahaman masyarakat terhadap syariat Islam yang telah diformalisasi

melalui kebijakan daerah seperti qanun dan produk lainnya, melainkan

memuat ajaran-ajaran Islam yang secara menyeluruh.

B. Saran

1. Dalam proses penelusuran dan pengkajian peneliti, MPU-MPU di Aceh,

termasuk di Aceh Tenggara, memiliki kewenangan yang sangat luas

cakupannya. Merujuk kepada ketentuan yang berlaku, kewenangan yang

dimiliki oleh MPU bahkan dapat dikatakan menyentuh segala aspek

kehidupan masyarakat dan pelaksanaan pemerintahan. Namun, masih

terdapat celah yang berpotensi menjadi penghambat pelaksanaan

kewenangan dan tugas-tugas MPU Aceh Tenggara, yakni berkaitan dengan

tindakan/upaya yang dapat ditempu MPU dalam hal terdapat pengabaian

kewajiban mitra atas kewajiban pelibatan MPU Aceh Tenggara dalam

membentuk suatu kebijakan daerah. Dengan begitu, MPU Aceh Tenggara,

Page 38: KEWENANGAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA …digilib.uin-suka.ac.id/31948/1/1320311105_BAB I, V, DAFTAR PUSTAKA.pdf · kewenangan majelis permusyawaratan ulama (mpu) dalam penentuan

130

sebagaimana MPU seluruh Aceh, memerlukan perangkat yang lebih

menjamin pelaksanaan pertimbangan, masukan atau saran dari MPU Aceh

Tenggara. Di Aceh Tenggara sendiri tindakan internal mitra MPU perlu

diberdayakan sebelum adanya perangkat aturan yang benar-benar mengatur

hal tersebut.

2. Berkaitan dengan peran yang dilakukan oleh MPU Aceh Tenggara, perlu

mewujudkan sinergisitas dengan peran yang dilakukan oleh mitra dalam

kerangka pelaksanaan syariat Islam di Aceh Tenggara. Fakta penelitian ini

antara lain menunjukkan adanya program/kegiatan yang dijalankan secara

sendiri-sendiri dan terkesan tidak terdapat koordinasi antara MPU dengan

mitra kerja, terutama Pemerintah Kabupaten Aceh Tenggara. Dengan

begitu, semua pihak yang memiliki otoritas dalam pelaksanaan syariat Islam

benar-benr saling membahu untuk mewujudkan syariat Islam yang kaffah di

Aceh Tenggara.

Page 39: KEWENANGAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA …digilib.uin-suka.ac.id/31948/1/1320311105_BAB I, V, DAFTAR PUSTAKA.pdf · kewenangan majelis permusyawaratan ulama (mpu) dalam penentuan

131

DAFTAR PUSTAKA

‘T Veer, Paul Van. Perang Aceh: Kisah Kegagalan Hurgronje, Jakarta: Grafiti

Pers, 1985

Abubakar, Al Yasa. Wilayatul Hisbah: Polisi Pamong Praja dengan Kewenangan Khusus di Aceh, Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam, 2008

Amal, Taufik Adnan dan Samsu Rizal Panggabean. Politik Syariat Islam: Dari Indonesia hingga Nigeria, Jakarta: Pustaka Alvabet, 2004

Amiruddin, M. Hasbi. Ulama Dayah Pengawal Agama Masyarakat Aceh, Lhoksumawe: Nadya Foundation, 2003

Arafat, Yasir. Kewenangan Pemerintah Daerah Terhadap Perguruan Tinggi (Studi Kasus Pemecatan Rektor Universitas Gunung Leuser, Aceh Tenggara, Tesis, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2017

Asshiddiqie, Jimly. Konsitusi dan Konsitutusionalisme Indonesia, Ctk. Pertama, Jakarta: Sekretarian Jenderal Mahkamah Konstitusi RI, 2005

Atjeh, Aboebakar. Sekitar Masuknya Islam ke Indonesia, Solo: CV: Ramadhani, 1985

Badan Pusat Statistik Kabupaten Aceh Tenggara, Aceh Tenggara Dalam Angka 2012, Kutacane: BPS Kabupaten Aceh Tenggara, 2012

Bako, Ronny Sautma. Dampak Pemberlakuan Otonomi Khusus di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Laporan Penelitian yang dilakukan di Provinsi NAD pada Tahun 2007, Jurnal Kajian, Vol. 14, No. 3, September 2008

Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008

Daudy, Ahmad. Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syeikh Nuruddin Ar-Raniry, Jakarta: CV Rajawali, 1983

Fuad, Mahsun. Hukum Islam Indonesia: dari Nalar Partisipatoris hingga Emansipatoris, Yogyakarta: LKiS, 2005

Hadi, Amirul. Aceh: Sejarah, Budaya, Dan Tradisi, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010

Hadjon, Phillipus M. Tentang Wewenang, Yuridika, No. 5 & 6 Tahun XII, Sep-Des 1997

Hafifuddin, Ulama dan Penerapan Syariat Islam di Aceh, Tesis, Program Pascasarjana IAIN Sumatera Utara, Medan, 2013

Hakim, Lukman. Filosofi Kewenangan Organ dan Lembaga Daerah, Malang: Setara Press, 2012

Page 40: KEWENANGAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA …digilib.uin-suka.ac.id/31948/1/1320311105_BAB I, V, DAFTAR PUSTAKA.pdf · kewenangan majelis permusyawaratan ulama (mpu) dalam penentuan

132

Hamzah, Murizal (ed), Polemik Penerapan Syari’at Islam di Aceh, Banda Aceh: Yayasan Insan Cita Madani, 2007

Hasjmy, A. Semangat Merdeka, Jakarta: Bulan Bintang, 1985

Huda, Ni’matul. Desentralisasi Asimetris dalam NKRI, Bandung: Nusa Media, 2014

Indroharto, Usaha memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I, Jakarta: Sinar Harapan, 1993

Jalil, Husni. Fungsi Majelis Permusyawaratan Ulama dalam Pelaksanaan Otonomi Khusus di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Jurnal Equality, Vol. 12 No. 2 Agustus 2007

Joeniarto, Perkembangan Pemerintahan Lokal, Jakarta: Bumi Aksara, 1992

Koesoemahatmadja, Pengantar ke Arah Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia, Bandung: Bina Cipta, 1979

Madjid, Nurcholis. Islam Doktrin Dan Pradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan, Jakarta: Paramadina, 1992

Marbun, SF. Hukum Administrasi Negara I, Yogyakarta: UII Press, 2013

MPU Aceh Tenggara, Rencana Strategis (Renstra) Kantor Majelis Permusyawaratan Ulama Kabupaten Aceh Tenggara Tahun 2012-2017, Kutacane: MPU Aceh Tenggara, 2016

Mu’min, Ma’mun. Peran Dakwah dan Politik Ulama Kekaryaan di Daerah Istimewa Aceh, Banda Aceh: Program Pascasarjana IAIN Ar-Raniry) 1998.

Muhammad, Rusjdi Ali. Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh, Problem, Solusi dan Implementasi Menuju Pelaksanaan Hukum Islam di Nanggroe Aceh Darussalam, Jakarta, Logos, 2003

Muslimin, Amrah . Aspek-aspek Hukum Otonomi Daerah, Bandung: Alumni, 1986

Nirzalin, Krisis Agensi Politik Teungku Dayah di Aceh, Ringkasan Disertasi, Program Doktor Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2011

Nur, Fairus M. Syari’at di Wilayah syari’at: pemik-pemik Islam di Nanggroe Aceh Darussalam, Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam, 2002

Nurhasim, Moch. Konflik dan Integrasi Politik Gerakan Aceh Merdeka, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008

Permana, Tri Cahya Indra. Pengujian Keputusan Diskresi Oleh Pengadilan Tata Usaha Negara, Tesis, Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, 2009

Page 41: KEWENANGAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA …digilib.uin-suka.ac.id/31948/1/1320311105_BAB I, V, DAFTAR PUSTAKA.pdf · kewenangan majelis permusyawaratan ulama (mpu) dalam penentuan

133

Reid, Antony. Asal Mula Konflik Aceh, Dari Perebutan Pantai Timur Sumatera Hingga Akhir Kerajaan Aceh Abad ke-19, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005

Ridwan, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013

Situmorang, Victor. Hukum Administrasi Pemerintahan di Daerah, Jakarta: Sinar Grafika, 1994

Sufriadi, Wali Nanggroe dalam Konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia, Tesis, Program Pascasarjana Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 2012

Sufyan, Muhammad Suhaili. Peranan Majelis Permusyawaratan Ulama dalam Sistem Pemerintahan Aceh, Tesis pada Akademi Pengajian Islam, Universiti Malaya Kuala Lumpur, Malaysia, 2016

Sujito, Irawan . Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Jakarta: Rineka Cipta, 1990

Sulaiman, Isa. Sejarah Aceh; Sebuah Gugatan Terhadap Tradisi, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997

Syafrudin, Ateng. Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih dan Bertanggung Jawab, Jurnal Pro Justisia, Bandung, Universitas Parahyangan, Edisi IV Tahun 2000

Syah, M. Kaoy dan Lukman Hakiem. Keistimewaan Aceh Dalam Lintasan Sejarah (Proses Pembentukan UU No. 44/1999, Jakarta: PB Al Jam’Iyatul Washliyah, 2000

Syahrizal, dkk, Dimensi Pemikiran Hukum Dalam Implementasi Syari’at Islam di Aceh, Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam NAD, 2007

Tim Penulis, Buku Putih Sanitasi (BPS) Kabupaten Aceh Tenggara 2011, Aceh Tenggara: PPSP Aceh Tenggara, 2012

Tim Penulis, Profil Kementerian Agama Provinsi Aceh Tahun 2016, Aceh: Subbagian Informasi & Humas Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Aceh, 2016

Wahid, Marzuki dan Rumadi. Fiqh Madzhab Negara: Kritik Atas Politik Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta: LkiS, 2001

Widodo, Ismu Gunadi. Sistem Penetapan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Sistem Pemilihan Kepala Daerah Berdasarkan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 11 No. 2 Mei 2011

Yadi, Amon. Strategi Komunikasi Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Untuk Meningkatkan Pengamalan Qanun Syariat Islam tentang Maisir di Kabupaten Aceh Tenggara, Tesis, Program Pascasarjana, Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara, 2012

Zamzami, Amran. Tragedi Anak Bangsa, Pembantaian Teungku Bantaqiah dan Santri-Santrinya, Jakarta: Bina Rena Pariwara, 2001

Page 42: KEWENANGAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA …digilib.uin-suka.ac.id/31948/1/1320311105_BAB I, V, DAFTAR PUSTAKA.pdf · kewenangan majelis permusyawaratan ulama (mpu) dalam penentuan

CURICULUM VITAE

I. DATA PRIBADI

1. Nama : Hady Warman,S.H.I

2. Tempat dan Tanggal Lahir : Lawe Sumur 26 juni 1989

3. Jenis Kelamin : laki-laki

4. Agama : Islam

5. Status Pernikahan : Menikah

6. Alamat KTP : Dusun Saragan Pandowoharjo Rt 03 Rw 04

Sleman Yogyakarta

7. Nomor Telphon/Hp :085293125576/081903716026

8. Email :[email protected]

II. RIWAYAT PENDIDIKAN

1. 1994-2000 : MIN Lawe Sumur

2. 2000-2003 : Mts.S Nurul Islam

3. 2003-2006 : Mts.S Bambanglipuro Bantul

4. 2006-2008 : MA Asy-syifa Bantul

5. 2008-2009 : SMA Muhammadiyah Sleman

6. 2009-2013 : S1 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

7. 2013-2018 : S2 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta