Kewenangan dan Kepastian bagi Desa dalam Mengelola Aset

4
Pendahuluan Tahun III /Edisi 20/ Januari/2014 Australian Community Development and Civil Society Strengthening Scheme (ACCESS) Phase II Policy Brief IRE Menyajikan informasi, analisis dan kunci rekomendasi kebijakan terkait berbagai topik dalam isu Deepening Democracy, Governance and Policy Reform dan Community Develompent & Epowerment. Institute for Reserach and Empowerment (IRE) adalah sebuah lembaga independen, non-partisan dan nonprofit, yang berbasis pada komunitas akademik di Yogyakarta. Institute for Research and Empowerment KEWENENGAN DAN KEPASTIAN BAGI DESA DALAM MENGELOLA ASET Sulit menghitung berapa jumlah inisiatif pengelolaan aset yang muncul dari desa. Dengan kapasitas sosialnya, desa telah mengubah berbagai aset yang sebelumnya underutilized menjadi basis utama pemenuhan kebutuhan dasar maupun sumber ekonomi. Hanya saja, ke depan, perlu ada pengaturan lebih lanjut agar desa lebih percaya diri. Desa membutuhkan dukungan terkait kerjasama antar desa, pendefinisian skala aset, serta pengaturan kerjasama antara desa, kabupaten dan pihak ketiga. Poin terakhir ini penting untuk mengubah praktik zero-sum-game, dimana pihak supradesa mengeksklusi desa dari pengelolaan aset, menjadi kemitraan yang saling memberi manfaat. 1 D esa-desa di Indonesia timur telah berinisiatif untuk mengembangkan aset desa. Ketika pemerintah desa dan masyarakat desa mempunyai akses dan kontrol atas berbagai aset yang ada, maka manfaat yang dihasilkan sangatlah bermakna. Pertama, pendapatan dari aset adalah salah satu pilar keuangan pemerintah desa guna mendukung pelayanan publik dan pembangunan desa. Kedua, akses dan kontrol desa atas aset-asetnya bisa menghasilkan multiplier effects yang akan meningkatkan kesejahteraan desa secara keseluruhan. Ketiga, selain menjadi sumber keuangan dan basis pengembangan ekonomi desa, keberadaan aset- aset desa terutama sumber daya alam secara langsung merupakan sumber pemenuhan kebutuhan dasar, semisal, air bersih dan listrik. Tiga manfaat strategis di atas membutuhkan dukungan kebijakan agar desa memiliki kepastian wewenang terkait pengelolaan berbagai aset yang ada di wilayahnya. Ada kelompok masyarakat bergantung pada mata air yang berada di tanah warga desa lain. Ada pula kelompok warga yang aliran listriknya bersumber pada pembangkit listrik tenaga air yang mesin turbinnya berasal dari PNPM. Contoh akan hal ini sangatlah banyak. Pertanyaannya, bagaimana memastikan agar pemerintah desa memiliki kewenangan mengelola aset-aset yang ada di desa, termasuk dalam hal ini adalah aset-aset yang pengadaannya dilakukan oleh program PNPM serta program-program kementerian dan lembaga pemerintah pusat? Ruang Gelap Kapasitas sosial komunitas warga desa (community social capacity) telah menghadirkan interkoneksi antar individu guna menciptakan jejaring sosial, melalui warga mampu mengidentifikasi masalah "publiknya",

description

 

Transcript of Kewenangan dan Kepastian bagi Desa dalam Mengelola Aset

Page 1: Kewenangan dan Kepastian bagi Desa dalam Mengelola Aset

Pendahuluan

Tahun III /Edisi 20/ Januari/2014

Australian Community Development and Civil Society Strengthening Scheme(ACCESS) Phase II

Policy Brief IRE

Menyajikan

informasi,

analisis dan

kunci

rekomendasi

kebijakan terkait

berbagai topik

dalam isu

Deepening

Democracy,

Governance

and Policy Reform

dan Community

Develompent &

Epowerment.

Institute for

Reserach and

Empowerment

(IRE) adalah

sebuah lembaga

independen,

non-partisan

dan nonprofit,

yang berbasis

pada komunitas

akademik di

Yogyakarta.

1

Institute for Research and Empowerment

KEWENENGAN DAN KEPASTIAN BAGI DESADALAM MENGELOLA ASET

Sulit menghitung berapa jumlah inisiatif pengelolaan aset yang muncul dari desa. Dengan kapasitas sosialnya, desa telah mengubah berbagai aset yang sebelumnya underutilized menjadi basis utama pemenuhan kebutuhan dasar maupun sumber ekonomi. Hanya saja, ke depan, perlu ada pengaturan lebih lanjut agar desa lebih percaya diri. Desa membutuhkan dukungan terkait kerjasama antar desa, pendefinisian skala aset, serta pengaturan kerjasama antara desa, kabupaten dan pihak ketiga. Poin terakhir ini penting untuk mengubah praktik zero-sum-game, dimana pihak supradesa mengeksklusi desa dari pengelolaan aset, menjadi kemitraan yang saling memberi manfaat.

1

Desa-desa di Indonesia timur telah berinisiatif untuk mengembangkan aset desa. Ketika pemerintah desa dan

masyarakat desa mempunyai akses dan kontrol atas berbagai aset yang ada, maka manfaat yang dihasilkan sangatlah bermakna.

Pertama, pendapatan dari aset adalah salah satu pilar keuangan pemerintah desa guna m e n d u k u n g p e l a y a n a n p u b l i k d a n pembangunan desa. Kedua, akses dan kontrol desa atas aset-asetnya bisa menghasilkan multiplier effects yang akan meningkatkan kesejahteraan desa secara keseluruhan. Ketiga, selain menjadi sumber keuangan dan basis pengembangan ekonomi desa, keberadaan aset-aset desa terutama sumber daya alam secara langsung merupakan sumber pemenuhan kebutuhan dasar, semisal, air bersih dan listrik.

Tiga manfaat strategis di atas membutuhkan dukungan kebijakan agar desa memiliki kepastian wewenang terkait pengelolaan berbagai aset yang ada di wilayahnya. Ada

kelompok masyarakat bergantung pada mata air yang berada di tanah warga desa lain. Ada pula kelompok warga yang aliran listriknya bersumber pada pembangkit listrik tenaga air yang mesin turbinnya berasal dari PNPM. Contoh akan hal ini sangatlah banyak.

Pertanyaannya, bagaimana memastikan agar pemerintah desa memiliki kewenangan mengelola aset-aset yang ada di desa, termasuk dalam hal in i adalah aset-aset yang pengadaannya dilakukan oleh program PNPM serta program-program kementerian dan lembaga pemerintah pusat?

Ruang Gelap

Kapasitas sosial komunitas warga desa (community social capacity) telah menghadirkan interkoneksi antar individu guna menciptakan jejaring sosial, melalui warga mampu mengidentif ikasi masalah "publiknya",

Page 2: Kewenangan dan Kepastian bagi Desa dalam Mengelola Aset

2

IRE Policy Brief/Tahun III/20/Januari/2014

merumuskan solusi, dan mengorganisir sumberdaya untuk mencapai pemenuhan tujuan-tujuan bersama, meningkatkan komitmen, mempromosikan mutual trust, dan menguatkan norma resiprositas di antara warga komunitas desa (Mattessich, 2009).

Kapasitas sosial komunitas ini begitu kentara dari inisiatif warga sebuah dusun di Desa Mekar Indah, Kecamatan Buki, Kabupaten Kepulauan Selayar. Komunitas dusun berjumlah 60 KK tersebut mampu melestarikan kelembagaan pengelolaan air bersih yang terbentuk tahun 2002 atas fasilitasi Plan International.

Dari bak penampungan yang serba terbatas, komunitas dusun dengan dukungan pemerintah desa telah mampu mengakses bantuan PNPM dan PPIP untuk mengembangkan bak penampungan dan saluran pipa air. Warga juga telah berswadaya memasang meteran air agar penghitungan biaya per kubik air lebih tepat. Dari sana, pendapatan untuk pengelola, biaya perbaikan, dan sumbangan masjid bisa diperoleh.

Hasil Stocketake IRE (Edi, 2013) menemukan, "PDAM" komunitas ini dirasakan warga sangat meringankan. Jika berlangganan PDAM, mereka harus membayar biaya instalasi Rp.1.050.000,- abonemen Rp10,000,- dan tarif per kubik berkisar R4000,-. Sementara dengan air komunitas ini, biaya rekening listriknya sangat terjangkau. Harga per kubik air Rp300, abonemen Rp1000, operasional pengurus Rp1000, dan sumbangan masjid Rp1000. Jika sebulan memakai 10 kubik, maka sebuah KK cukup membayar Rp6000 saja.

Kelangsungan praktik yang baik ini bisa terancam berhenti jika regulasi tidak mengatur. Status tanah yang dijadikan bak penampungan di dekat mata air merupakan milik individu yang memberikan hak pakai kepada pengelola pelayanan air bersih. Di saat yang sama, PDAM juga berencana membangun fas i l i tas penampungan yang bersumber dari mata air yang sama. Tanpa adanya pengaturan bagaimana kerjasama antar pihak baik PDAM, pemerintah desa Mekar Indah, pengelola air dan pemilik lahan, maka sangat rentan di masa depan jika ada satu pihak yang bersikap dominan. Terlebih, jika ada keputusan yang

prosesnya mengeksklusi salah satu pihak, akibatnya bisa serius: hilangnya akses terhadap air bersih.

Inisiatif di Mekar Indah tersebut menghadapi beberapa ketidakpastian. Status tanah yang dijadikan bak penampungan di dekat mata air merupakan milik individu yang memberikan hak pakai kepada pengelola pelayanan air bersih. Di saat yang sama, PDAM juga berencana membangun fasilitas penampungan yang bersumber dari mata air yang sama. Tanpa adanya pengaturan bagaimana kerjasama antar pihak baik PDAM, pemerintah desa Mekar Indah, pengelola air dan pemilik lahan, maka sangat rentan di masa depan jika ada satu pihak yang bersikap dominan. Terlebih, jika ada keputusan yang prosesnya mengeksklusi salah satu pihak, akibatnya bisa serius: hilangnya akses terhadap air bersih.

Lebih lanjut, Stocktake IRE (2013) di Bantaeng maupun Selayar ditemukan sejumlah sumber masalah yang menyelimuti pengelolaan aset desa. Pertama, lemahnya kerjasama antar desa telah terbukti mengancam keberlanjutan inisiatif masyarakat memanfaatkan aset. Di Bonto Tiro, Bantaeng, warga di tahun 2006 dengan bantuan dinas terkait telah mengnisiasi kelembagaan pengelola air bersih. Mata air berada di desa tetangga, Desa Macini. Warga telah membebaskan tanah sebagai bak penampung. Ada 300 KK yang telah menikmati air bersih. Sayangnya, kerjasama antara pengelola air dan pemerintah desa Bonto Tiro di satu sisi, dengan warga pemilik kebun dan pemerintah desa Macini, tidak terjalin erat. Belum ada pula MoU yang mengatur konsesi bagi desa sumber mata air, sewa tanah bagi pemilik kebun yang dialiri pipa, sehingga menimbulkan konflik. Pasokan air akhirnya terhenti karena pemilik kebun kerap memotong pipa air untuk mengairi kebunnya. Karena air tidak mengalir, warga di Bonto Tiro mogok membayar iuran. Ketika mogok, pengelola tidak mampu menggaji operator yang menjaga bak penampung di mata air.

Kedua, ruang gelap tentang klasifikasi skala aset. Ada gejala pengambilalihan aset yang dikelola desa oleh kabupaten. Dengan dana dari Program Kompensasi Pembayaran Subsidi BBM, Pemerintah Desa Bungaiya merintis wisata

PO

LIC

Y B

RIE

F

Page 3: Kewenangan dan Kepastian bagi Desa dalam Mengelola Aset

IRE Policy Brief/Tahun III/20/Januari/2014

pantai Pa'badilang dengan membangun jalan. Pemerintah desa bekerjasama dengan tiga dusun selanjutnya mengelola obyek ini dengan penghasilan Rp500 ribu per minggu. Retribusi tersebut telah diperkuat dengan peraturan desa.Akan tetapi, pihak kabupaten lantas menyempurnakan fasilitas yang ada. Tetapi setelah selesai, pengelolaan dan retribusi diambil alih kabupaten, yang kemudian membuat perda tandingan perdes. Hal ini menimbulkan preseden negatif, di mana desa merasa regulasi yang ada tidak memberi kepastian.

Ketiga terkait pengelolaan aset "warisan" program PNPM dan kementerian/lembaga. Aset-aset ini jumlahnya banya, nilainya besar, dan fungsinya strategis bagi pemenuhan layanan dasar masyarakat. Sayangnya, karena posisi

pemerintah desa tidak definitif terkait pengelolaan aset limpahan dari PNPM, keberlanjutan kemanfaatan dan pengelolaan aset tersebut belum cukup kuat. Terutama ketika terjadi konflik atau masalah yang tidak mampu diselesaikan oleh masyarakat.

Ruang gelap dalam pengelolaan aset di atas kontras dengan jaminan regulasi terhadap desa yang berupaya memberi jaminan bagi pemerintah desa dalam mengelola aset. Bahkan ketika suatu aset sejatinya berada di yurisdksi pemerintah kabupaten, desa dimungkinkan mengelola suatu aset untuk kemaslahatan masyarakatnya ketika pemkab mau menyerahkan wewenangan pengelolaannya kepada pemerintah desa.

PERATURAN ASPEK PENGELOLAAN ASET DESA

Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tentang Desa

?Pasal 68 Ayat (1) menyatakan bahwa hasil kekayaan desa merupakan salah satu sumber pendapatan desa. Jenis kekayaan ini, terdiri atas tanah kas desa, pasar desa, pasar hewan, tambatan perahu, bangunan desa, pelelangan ikan yang dikelola oleh desa, dan lain-lain kekayaan milik desa.

?Pasal 70 Ayat (1) menjamin regulasi yang dibuat desa tidak bisa dianulir oleh regulasi supradesa: Retribusi dan pajak lainnya yang telah dipungut oleh Desa tidak dibenarkan dipungut atau diambil alih oleh Pemerintah Provinsi atau Pemerintah Kabupaten/Kota.

Permendagri Nomor 30 Tahun 2006 tentang Tatacara Penyerahan Urusan Pemerintahan Kabupaten/Kota Kepada Desa

?Peraturan ini memfasilitasi political will kabupaten untuk melaksanakan prinsip subsidiarity.

?Pasal 2 mengatur 31 jenis urusan yang bisa diserahkan kabupaten kepada desa. ?Pasal 3 menyatakan bahwa penyerahan urusan didasarkan pada kajian dan

evaluasi dengan mempertimbangkan aspek letak geografis, kemampuan personil, kemampuan keuangan, efisiensi dan efektivitas. Bupati/Walikota menyerahkan urusan kepada desa yang disahkan dengan suatu perda.

Permendagri Nomor 4 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Kekayaan Desa

?Jenis, asal-usul pengadaan dan status kepemilikan dan pengelolaan secara umum mulai dari perencanaan, pengadaan, penggunaan, pemanfaatan, pengamanan, pemeliharaan, penghapusan, pemindahtanganan, penatausahaan, penilaian, pembinaan, pengawasan dan pengendalian.

?Pembagian aset desa induk dan desa mekar serta peran fasilitasi camat dalam pembagian kekayaan desa sebagai akibat pemekaran

Permendagri Nomor 42/2007 tentang Pasar Desa

?Pasal 1 Ayat (8) Pasar Desa adalah pasar tradisional yang berkedudukan di desa dan dikelola serta dikembangkan oleh Pemerintah Desa dan masyarakat Desa.

?Pasar desa yang sudah dibangun dari dana Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota, diserahkan kepada Pemerintah Desa (Pasal 7).

Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 47 Tahun 2002 tentang Pedoman Administrasi Desa

?Pasal 3 Ayat (1) mengatur Bentuk Administrasi Umum yang antara lain mencakup Buku Data Inventaris Desa dan Buku Data Tanah Milik Desa/Tanah Kas Desa. Buku Data Inventaris Desa (Model A.3), misalnya, memuat jenis aset, asal aset, kondisi awal aset, tanggal penghapusan, serta kondisi barang di akhir tahun.

3

Page 4: Kewenangan dan Kepastian bagi Desa dalam Mengelola Aset

IRE Policy Brief/Tahun III/20/Januari/2014

4

Daftar Pustaka

Ashari Cahyo Edi. (2014). Pengelolaan Keuangan dan Aset Desa: Stocketake Study Kabupaten Bantaeng dan Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan. Yogyakarta: IRE & ACCESS Phase II.

_____________. (2013). Pengelolaan Aset Desa Butuh Komitmen Kabupaten. Buletin Flamma No. 39, Edisi Oktober-Desember.

Sutoro Eko & Abdur Rozaki. (2005). Prakarsa Desentraisasi & Otonomi Daerah. Yogyakarta: IRE & Ford Foundation.

Sen, A. (1997). Editorial: Human capital and human capability. World Development, 25(12), 1959–1961.

Rekomendasi policy brief ini ada tiga level. Di level pertama adalah perubahan cara pandang terhadap aset. Aset desa bagi warga desa bukan hanya penghasil uang atau pilar subsistensi. Dari contoh Mekar Indah misalnya, aset memungkinkan warga mampu mandiri dari PDAM yang notabene jauh lebih mahal (to act) dan menjadi pengelola yang memegang kontrol (to be) atas keputusan terkait pengelolaan air bersih tersebut. Di titik ini, aset telah memberi kapabilitas warga desa untuk menjadi dan bertindak, sebagaimana ujar Amartya Sen (1997).

Level kedua adalah konsep. Melihat fakta seringnya pemkab membuat kebi jakan yang justru menghambat desa mampu mandiri berbasis kontrol komunitas atas aset-aset desa, maka konsep relasi kewenangan antara pemkab dan desa adalah subsidiarity. Ini terkait dengan sifat pengelolaan aset yang bersifat relasional, yakni bahwa "the ability of an individual or collective actor to transform assets into

the successful resolution of a problem depends on the actor's relative power vis-a`-vis other actors" (Bebbington, 1999: 2022). Di titik ini, komitmen kabupaten untuk menyerahkan urusan terkait pengelolaan suatu aset menjadi sangat penting. Sadar benar akan hal ini, Pasal 76 Ayat (2) UU Desa telah mengatur bahwa Kekayaan milik Pemerintah dan Pemerintah Daerah berskala lokal Desa yang ada di Desa dapat dihibahkan kepemilikannya kepada Desa. Ini untuk mencegah kasus Desa Bungaiya tidak terulang.

Level ketiga adalah kebijakan teknis. Kebijakan turunan dari perspektif dan konsep di atas adalah sebagai berikut. Pertama, pemkab melembagakan saluran dialog dan negosiasi dengan desa. Substansi kewenangan tidak diimplementasikan secara sepihak dan menutup mata terhadap aspirasi desa. Pemkab tidak bisa mengubah RT/RW hanya karena tergiur investasi. Saluran dialog dan negosiasi diwujudkan melalui perda partisipasi yang khusus mengatur bahwa kebijakan SDA maupun iklim investasi akan melibatkan partisipasi masyarakat. Misalnya, pemkab tidak bisa sepihak memutuskan menerima ijin tambang atau ijin waralaba supermarket yang itu akan merusak akses warga ke air bersih atau mematikan BUMDes.

PO

LIC

Y B

RIE

FRekomendasi

Kedua, regulasi tentang pembagian urusan antara desa dan kabupaten maupun kerjasama antar desa terkait pengelolaan aset kiranya di masa depan akan bermunculan dalam rangka menindaklanjuti UU Desa yang baru. Pemkab idealnya tidak hanya menjiplak persis isi permendagri, melainkan menerjemahkannya sesuai konteks khas daerahnya. Lebih dari itu, pemkab perlu membuat panduan teknis agar desa punya kepastian pijakan untuk mengelola aset. Panduan teknis ini meliputi: (1) Klasifikasi skala aset desa dan kabupaten; (2) Prosedur permohonan desa ke kabupaten untuk perngalihan pengelolaan suatu aset dari kabupaten ke desa; (3) Pelaksanaan kerjasama antara BUMDesa, perusahaan daerah serta investor untuk mengeliminir mindset zero-sum-game yang berujung perebutan aset.

Ditulis oleh Ashari Cahyo Edi

Peneliti IRE Yogyakarta([email protected])