Ketidaklogisan Cara Mengukur Prestasi Kerja di Media Televisi

6
1 Ketidaklogisan Cara Mengukur Prestasi Kerja di Media TV Tugas mata kuliah Logika Semester Ganjil 2008/2009 Dosen: Yohanes Pande Hayon, M.Hum Oleh: Satrio Arismunandar NPM: 0806401916 Program S3 Ilmu Filsafat, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia Oktober 2008

description

Cara mengukur kinerja di media TV yang hanya mementingkan rating dan uang iklan, tidak sesuai dengan misi media TV, jadi tidak logis menurut ilmu logika

Transcript of Ketidaklogisan Cara Mengukur Prestasi Kerja di Media Televisi

Page 1: Ketidaklogisan Cara Mengukur Prestasi Kerja di Media Televisi

1

Ketidaklogisan Cara Mengukur

Prestasi Kerja di Media TV

Tugas mata kuliah Logika

Semester Ganjil 2008/2009

Dosen: Yohanes Pande Hayon, M.Hum

Oleh: Satrio Arismunandar

NPM: 0806401916

Program S3 Ilmu Filsafat, Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Indonesia

Oktober 2008

Page 2: Ketidaklogisan Cara Mengukur Prestasi Kerja di Media Televisi

2

Pendahuluan

Logika adalah studi tentang metode-metode dan prinsip-prinsip yang

digunakan dalam membedakan penalaran yang tepat dari penalaran yang tidak tepat.

Definisi ini dinyatakan oleh Irving M. Copy, dalam bukunya Introduction to Logic

(1976).

Definisi tersebut tidak bermaksud mengatakan bahwa seseorang otomatis akan

mampu menalar secara tepat, sesudah ia belajar logika. Meskipun, patut diakui pula

bahwa seseorang yang telah belajar logika, memiliki peluang lebih besar untuk

menalar secara tepat, ketimbang orang yang sama sekali tidak pernah mengenal

prinsip-prinsip umum yang melandasi setiap kegiatan penalaran.

Logika bukanlah sekadar ilmu (science), tetapi juga seni (art). Artinya, logika

tidak hanya menyangkut soal pengetahuan, melainkan juga mencakup kemampuan

atau keterampilan. Logika akan menjadi bermakna jika diterapkan dan dipraktikkan

dalam kehidupan kita sehari-hari, khususnya dalam bidang keilmuan ataupun profesi.

Makalah ini bermaksud menunjukkan adanya penalaran yang tidak tepat atau

tidak logis dalam praktik bisnis sehari-hari di media televisi, khususnya dalam cara

mengukur prestasi kerja karyawan.

Hal ini ditulis berdasarkan pengalaman penulis sendiri, sebagai karyawan dan

jurnalis, yang sudah bekerja selama lebih dari enam tahun di sebuah stasiun televisi

swasta. Akan dibahas pula di sini, sumbangsih yang sekiranya dapat diberikan oleh

ilmu logika dalam praktik kerja para jurnalis di industri media televisi tersebut.

Peran dan Fungsi Media Televisi

Untuk menunjukkan adanya ketidaklogisan dalam praktik bisnis di media

televisi, pertama kita perlu memahami terlebih dahulu, peran dan fungsi media,

khususnya media televisi.

Berbagai literatur tentang media menyatakan, pers atau media memiliki

berbagai macam fungsi. Fungsi pertama dan utama adalah menyiarkan informasi (to

inform), baik informasi tentang peristiwa yang terjadi, gagasan, ataupun pikiran

orang. Orang menonton siaran berita di media televisi terutama karena ingin mencari

informasi.

Peran kedua adalah mendidik (to educate). Lewat pemberitaan dan program-

programnya, pengelola media televisi mencoba memberi pencerahan, mencerdaskan,

dan meluaskan wawasan khalayak pemirsanya.

Peran ketiga adalah menghibur (to entertain). Hal-hal yang bersifat menghibur

sering kita temukan di media televisi, seperti: berita seputar selebritis, film, sinetron,

pertunjukan musik, lawak, dan sebagainya.

Peran keempat adalah mempengaruhi (to influence). Media yang independen

dan bebas dapat mempengaruhi opini publik dan melakukan fungsi kontrol sosial

Page 3: Ketidaklogisan Cara Mengukur Prestasi Kerja di Media Televisi

3

(social control). Lewat pemberitaannya, media mengkritisi berbagai hal yang

dianggap keliru atau merugikan kepentingan publik.

Kriteria Pengukuran Kinerja dan Prestasi

Uraian tentang berbagai peran dan fungsi media di atas sudah cukup jelas.

Maka, sebagai konsekuensi logisnya, semua jurnalis dan karyawan yang bekerja di

media televisi tentunya harus mendukung dan berusaha mewujudkan semua peran dan

fungsi media tersebut.

Dengan kata lain, kinerja dan prestasi kerja para jurnalis secara logis

seharusnya diukur dari seberapa jauh mereka telah bekerja dan berusaha mewujudkan

fungsi-fungsi media tersebut.

Jika fungsi-fungsi itu kurang terwujud atau tidak terwujud, berarti para

jurnalis dapat dianggap gagal atau tidak menjalankan tugasnya dengan baik.

Sedangkan, jika fungsi-fungsi itu telah terwujud, berarti para jurnalis dapat dianggap

telah berprestasi atau menjalankan tugasnya dengan baik.

Tetapi, kenyataannya, praktik yang terjadi di sebagian besar media televisi

tidaklah demikian. Dalam praktik bisnis sehari-hari di media televisi, ukuran

keberhasilan atau prestasi para jurnalis, yang mengelola program-program (mata

acara) di media televisi, adalah angka rating.

Pemahaman tentang Rating di Media Televisi

Apakah rating itu? Secara sederhana, rating adalah angka yang menunjukkan

seberapa besar jumlah orang, yang menonton suatu program televisi. Angka rating ini

diperoleh dengan cara survei kepemirsaan ,yang dilakukan oleh sebuah lembaga

survei independen.

Sebenarnya, bisa saja survei itu dilakukan oleh media televisi sendiri. Tetapi,

cara ini tentunya akan dianggap tidak obyektif, karena terdapat konflik kepentingan.

Arti penting angka rating ini adalah sebagai bahan pertimbangan bagi biro iklan atau

pihak-pihak lain, yang ingin memasang iklan di media televisi. Sedangkan, iklan

merupakan sumber pemasukan uang utama bagi perusahaan media televisi.

Program televisi yang ditonton oleh banyak orang biasanya akan lebih besar

peluangnya untuk memperoleh iklan, ketimbang program yang sedikit penontonnya.

Meskipun, pihak pengiklan juga punya kriteria lain.

Seperti, kecocokan antara produk yang mau diiklankan dengan segmentasi

penonton (jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, pekerjaan, besar penghasilan, dan

lain-lain). Produk minyak wangi dan krim pemutih buat perempuan tentunya tidak

cocok diiklankan di program pertandingan sepakbola Liga Inggris, yang lebih banyak

ditonton laki-laki.

Page 4: Ketidaklogisan Cara Mengukur Prestasi Kerja di Media Televisi

4

Cara Mengukur Rating

Di Indonesia, survei kepemirsaan biasanya dilakukan oleh lembaga AGB

Nielsen Media Research. Survei kepemirsaan ini dilakukan di 10 kota besar di

Indonesia, yaitu: Jakarta, Surabaya, Medan, Semarang, Bandung, Makassar,

Yogyakarta, Palembang, Denpasar, dan Banjarmasin.

Dari kota-kota tersebut, ditentukan rumah tangga yang bisa menjadi panel

survei. Sebelumnya pihak Nielsen mengidentifikasi rumahtangga-rumahtangga yang

memiliki pesawat televisi (pesawat televisi yang dimaksud harus dalam kondisi baik

alias tidak rusak) dan karakteristik demografis mereka.

Dari proses ini, diperoleh populasi TV di kota-kota yang disurvei. Dan karena

yang diukur adalah kepemirsaan individual, maka yang termasuk diperhitungkan

adalah pemirsa yang berusia 5 tahun ke atas.

Pemilihan panel (sampel) kemudian diproyeksikan dari populasi TV tersebut

berdasarkan karakteristiknya tadi. Sehingga pihak Nielsen mendapatkan sampel dari

masing-masing kota, yang jumlahnya berbeda, tergantung dari populasi TV di

masing-masing kota tersebut. Jumlah sampel untuk kota Jakarta, misalnya, tentu saja

adalah yang terbesar dibandingkan kota-kota lain.

Selanjutnya, pada pesawat televisi dari rumahtangga yang terpilih sebagai

panel akan dipasangi alat yang disebut peoplemeter. Satu peoplemeter untuk satu

pesawat TV. Jadi kalau satu rumah tangga memiliki 2 pesawat TV, maka ada 2

peoplemeter yang akan dipasang di rumah tersebut.

Dengan alat ini, kepemirsaan TV setiap anggota keluarga akan tercatat

sepanjang hari, apakah si ayah menonton program A, si ibu menonton program B, si

anak menonton program C, dan sebagainya. Hasil pencatatan/perekaman data

kepemirsaan itulah yang kemudian menghasilkan angka rating.

Jadi, rating itu didefinisikan sebagai persentase dari populasi yang menonton

suatu program televisi pada periode tertentu. Misalnya, populasi TV adalah 10.000

dan individu yang menonton program A ada 500, maka rating program A tersebut

adalah 500/10.000 x 100% = 5%.

Pemeringkatan program TV berdasarkan rating berarti pemeringkatan

berdasarkan banyaknya pemirsa yang menonton (kuantitatif). Biasanya, yang

memiliki angka rating tinggi itu adalah program-program yang berada di jam tayang

utama (pukul 18.00 – 22.00 WIB), karena potensi jumlah pemirsa pada jam tersebut

adalah yang terbesar.

Ketidaklogisan Cara Mengukur Prestasi Jurnalis

Para pemilik dan pengelola media televisi berhasrat besar untuk memperoleh

profit. Kondisi ini ditambah lagi dengan tekanan, akibat persaingan yang sangat ketat

di antara berbagai stasiun televisi, untuk memperoleh iklan dan pendapatan sebanyak-

banyaknya.

Page 5: Ketidaklogisan Cara Mengukur Prestasi Kerja di Media Televisi

5

Sebagai dampak kondisi tersebut, pemilik media menjadikan angka rating

sebagai alat ukur prestasi para jurnalis atau produser, yang bertugas mengelola

program-program di media televisi bersangkutan. Setiap minggu, diadakan rapat

produser untuk membahas program mana yang meningkat ratingnya, dan program

mana yang merosot ratingnya.

Jika suatu program ternyata turun angka ratingnya, maka pihak pimpinan akan

menegur produser yang mengelola program bersangkutan. Jika kemerosotan angka

rating itu cukup signifikan, teguran itu bisa cukup keras. Produser dan seluruh crew

yang mengerjakan program itu akan diinstruksikan untuk mengevaluasi kembali

seluruh isi program, dan kemungkinan kelemahan dalam metode kerjanya, yang

dianggap menjadi penyebab kemerosotan angka rating tersebut.

Sebaliknya, jika ada program yang meningkat angka ratingnya, maka produser

program bersangkutan akan dipuji. Bahkan, jika angka rating itu sudah melebihi

target tertentu, kepada produser bersangkutan akan diberi bonus berupa uang (yang

akan dibagikan secara merata kepada seluruh crew atau staf yang mengerjakan

program tersebut).

Ironinya, dalam rapat produser sangat jarang ditanyakan, mengapa isi dari

program tertentu tidak bersifat informatif, tidak mendidik, tidak menghibur, atau tidak

berisi kritik sosial. Padahal hal-hal tersebut telah disepakati sebcara meluas sebagai

fungsi dan peran utama media, yang menjadi dasar keberadaannya.

Sebagai dampaknya, tidak mengherankan jika di berbagai media televisi, kita

temui banyak program yang “sukses” dalam mendulang rating, dan memberikan

pemasukan iklan yang besar pada perusahaan. Tetapi, dari segi isi, program itu bisa

disebut tidak informatif, tidak mendidik, tidak menghibur, atau tidak berisi kritik

sosial. Banyak program bahkan terang-terangan mengeksploitasi tayangan berwarna

kekerasan, seks, tahyul, dan sebagainya, sehingga mendapat kritik keras dari

masyarakat.

Berdasarkan situasi dan kondisi yang telah saya uraikan, saya pikir, tidaklah

berlebihan untuk mengatakan, bahwa idealisme yang terkait dengan peran-peran

media tersebut pada kenyataannya telah “terkubur” oleh hasrat mencari profit atau

keuntungan bisnis semata-mata.

Sumbangsih Ilmu Logika

Ilmu Logika dapat memberi sumbangan tertentu, untuk memperbaiki dan

membenahi berbagai praktik sesat yang selama ini berlangsung di dunia industri

media. Dengan pemahaman logika yang benar, dan kesadaran bersama untuk

memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat, diharapkan para pemilik atau

pengelola media dapat mengubah cara pandang dan perilakunya.

Perubahan ini akan terwujud secara konkret pada praktik kerja di media,

khususnya pada cara pengukuran prestasi para jurnalis dan produser di media televisi

bersangkutan.

Page 6: Ketidaklogisan Cara Mengukur Prestasi Kerja di Media Televisi

6

Sumbangan kedua dari ilmu logika pada industri media, adalah pada

pembenahan cara penyampaian content atau isi berita, yang dibuat oleh para jurnalis.

Berdasarkan pengamatan sekilas, selama ini banyak struktur kalimat dalam berita-

berita di media televisi atau media cetak, yang tidak logis.

Dalam berita yang menyangkut kriminalitas, misalnya sering kita baca/dengar

ungkapan seperti: “Pencuri itu berhasil ditangkap polisi.” Ungkapan ini jelas tidak

logis. Seorang pencuri yang berhasil, seharusnya tidak mungkin tertangkap. Pencuri

yang tertangkap adalah pencuri yang gagal atau pencuri yang bodoh. Lebih tepat atau

lebih logis, jika ungkapan itu dibalik menjadi: “Polisi berhasil menangkap pencuri

itu.”

Sumbangsih ilmu logika akan terasa sangat berarti. Hal ini karena berita-berita

dengan struktur kalimat yang tidak logis, amat banyak dan mudah ditemui di berbagai

media. Jika masyarakat kita terus-menerus dicekoki dengan berita-berita yang struktur

kalimatnya tidak logis, tentunya akan berpengaruh pada cara berpikir dan bernalar

masyarakat. Di sinilah, peran ilmu logika akan sangat berharga. ***

Depok, 1 November 2008

Referensi:

Hayon, Y.P., 2006. Logika: Prinsip-prinsip Bernalar Tepat, Lurus, dan

Teratur, Jakarta: Penerbit ISTN.

Berbagai tulisan dalam blog http://satrioarismunandar6.blogspot.com.