KETERWAKILAN PEREMPUAN DALAM KEPENGURUSAN PARTAI POLITIK...
Transcript of KETERWAKILAN PEREMPUAN DALAM KEPENGURUSAN PARTAI POLITIK...
1
KETERWAKILAN PEREMPUAN DALAM KEPENGURUSAN
PARTAI POLITIK DAN PENCALONAN LEGISLATIF
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada
Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
OLEH :
NUNI SILVANA
E1A009022
KEMENTERIA N PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2013
2
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI
KETERWAKILAN PEREMPUAN DALAM KEPENGURUSAN PARTAI POLITIK DAN PENCALONAN LEGISLATIF
OLEH :
NUNI SILVANA E1A009022
Diajukan untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
DISETUJUI DAN DITERIMA
PADA TANGGAL : ...................................
Penguji I/ Pembimbing I
Satrio Saptohadi, SH, MH NIP. 19541018 198303 1 002
Penguji II/ Pembimbing II
Tenang Haryanto, SH, MH NIP. 19620622 1987021001
Penguji III
H.A. Komari, SH, M.Hum NIP. 19540606 198011 1 001
Mengetahui, Dekan Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman
Dr. Angkasa, SH, M.Hum NIP. 19640923 198901 1 001
3
PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas berkat Rahmat dan karunia -Nya
sehingga penyusunan skripsi yang berjudul “Keterwakilan Perempuan dalam
Kepengurusan Partai Politik dan Pencalonan Legislatif” dapat selesai tepat pada
waktunya tanpa halangan suatu apa.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang
sedalam-dalamnya kepada :
1. Dr. Angkasa Sudigdo, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.
2. Satrio Saptohadi, SH, MH selaku pembimbin g I dan Tenang Haryanto,
SH, MH selaku pembimbing II.
3. H.A Komari, SH, M.Hum selaku dosen penguji.
4. Segenap dosen Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Purwokerto.
5. Kawan-kawan seperjuangan di LPM Pro Justitia (PJ) atas diskusi, ilmu,
dan pengalamannya. Teruslah berjuang.
6. Kawan sepermainan di kampus, kawan SMA, kawan SMP yang bahkan
hingga kini masih berkawan dengan baik.
7. Kawan-kawan Front Mahasiswa Nasional (FMN) atas persahabatannya.
Majulah dengan idealismemu.
8. Rekan-rekan seperjuangan dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan
satu-persatu, yang juga ikut membantu dalam penyusunan skripsi ini.
4
Semoga Allah membalas kebaikan mereka dan berkah yang melimpah serta
dalam lindungannya, amien.
Akhirnya diharapkan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan
mereka yang membutuhkan serta dapat menjadi sumbangan pemikiran dalam ilmu
hukum.
Purwokerto, Februari 2013
Penulis
5
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... ii
PRAKATA ....................................................................................................... iii
DAFTAR ISI .................................................................................................... v
DAFTAR TABEL ........................................................................................... vii
ABSTRAK ...................................................................................................... viii
ABSTRACT ...................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1
B. Perumusan Masalah ................................................................. 4
C. Tujuan Penelitian ..................................................................... 5
D. Kegunaan Penelitiaan ............................................................... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Gender ..... ................................................................................. 7
B. Convention of the Elimination of All Forms
Of Discrimination Agaianst Women (CEDAW) atau
Konvensi Penghapusan segala diskriminasi
terhadap Perempuan ................................................................ 19
C. Hak Konstitusional .................................................................... 22
D. Partai Politik .............................................................................. 27
6
E. Pemilihan Umum....................................................................... 34
F. Affirmatif................................................................................... 40
G. Legislatif.......................…………………………...................... 40
BAB III METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan .................................................................. 42
B. Pendekatan Masalah ................................................................ 42
C. Spesifikasi Penelitian ................................................................
43
D. Sumber Bahan Hukum ............................................................ 43
E. Metode Pengumpulan Bahan Hukum .................................... 44
F. Metode Penyajian Bahan Hukum ........................................... 44
G. Metode Analisis Bahan Hukum ............................................... 45
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian .......................................................................... 46
B. Pembahasan ............................................................................... 67
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................ 86
B. Saran .......................................................................................... 87
DAFTAR PUSTAKA
7
DAFTAR TABEL
Tabel 1 ............................................................................................................ 30
Tabel 2 ............................................................................................................ 61
Tebel 3 ............................................................................................................ 62
Tabel 4 ............................................................................................................ 74
Tabel 5 ............................................................................................................ 81
Tabel 6 ........................................................................................................... 82
8
ABSTRAK
Gerakan perempuan di Indonesia tidak dapat dipungkiri adalah karena pengaruh dari gerakan perempuan internasional. Puncak dari gerakan emansipasi ini adalah dengan diratifikasinya Convention of the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women (CEDAW) atau Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan menjadi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984. Hak-hak politik juga merupakan bagian dari perjuangan perempuan Indonesia.
Dalam hal partisipasi politik, perempuan telah diberi kuota tersendiri baik dalam kepengurusan partai politik maupun pencalonan legislatif yaitu sebesar 30%. Hanya saja ternyata pengaturan ini masih dirasa setengah hati karena tidak ada sanksi yang tegas bagi partai politik yang tidak menjalankan perintah undang-undang tersebut.
Dari aspek sosiologis sendiri juga masih menyimpan permasalahan ya ng berarti, mulai dari minat perempuan yang masih minim dalam ranah politik maupun permasalahan bias gender yang dialami perempuan utamanya perempuan Indonesia dewasa ini.
Kebijakan pemilu yang sedemikian rupa dilakukan untuk menguatkan kebijakan affirmasi rupanya juga belum membuahkan hasil yang maksimal apabila dilihat dari aspek kuantitas perempuan yang duduk di legislatif. Permasalahan ini juga belum mencakup aspek kualitas dari perempuan yang duduk di legislatif. Kata Kunci : gender, partai politik, pemilu.
9
ABSTRACT
The women's movement in Indonesia can not be denied is due to the influence of the international women's movement. The highlight of the emancipation movement was the ratification of Convention of the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) or the Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women into Law No. 7 of 1984. Political rights are also part of the struggle of women in Indonesia.
In terms of political participation, women have been given a separate quota both in the management of political parties and nomination of the legislature that is equal to 30%. It just turned out this setting still feels half-hearted because there is no strict sanctions for political parties that do not run the command of the law.
From the sociological aspect still had significant problems, ranging from lack of interest in women who are still in the realm of politics and gender bias issues that women experience primarily women in Indonesia today.
Election policy conducted in such a way to strengthen affirmations policy apparently has not yielded maximum results when viewed from the aspect of quantity of women serving in the legislature. This problem also does not include quality aspects of women sitting in the legislature.
Key Word : gender, political parti, ellection.
10
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Wacana mengenai gender dan hukum makin santer terdengar di
masyarakat. Ada pandangan dalam masyarakat yang beranggapan bahwa apabila
dalam masyarakat dibutuhkan perbaikan situasi dan kondisi, maka yang menjadi
sasaran perubahannya adalah aspek hukumnya. Hal ini sesuai dengan pendapat
ahli hukum Roscoe Pond bahwa hukum adalah alat mengubah masyarakat “Law
as tool of social engineering”. Kesetaraan gender sendiri menjadi kata yang
sering didengar di masyarakat.
Konsep kesetaraan gender ini memang merupakan suatu konsep yang sangat rumit dan mengandung kontroversi. Hingga saat ini belum ada konsensus mengenai pengertian dari kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Ada yang mengatakan bahwa kesetaraan yang dimaksud adalah kesamaan hak dan kewajiban, yang tentunya masih belum jelas. Kemudian ada pula yang mengartikannya dengan konsep mitra kesejajaran antara laki-laki dan perempuan, yang juga masih belum jelas artinya. Sering juga diartikan bahwa antara laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama dalam melakukan aktualisasi diri, namun harus sesuai dengan kodratnya masing-masing.1 Kesetaraan gender dapat juga berarti adanya kesamaan kondisi bagi laki-laki maupun perempuan dalam memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial dan budaya, pendidikan, dan pertahanan & keamanan nasional (hankamnas) serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan. Terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki sehingga dengan demikian antara perempuan dan laki-laki memiliki akses, kesempatan berpartisipasi, dan kontrol atas pembangunan, serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan. Memiliki akses berarti memiliki peluang atau kesempatan untuk menggunakan sumber daya dan memiliki wewenang untuk mengambil keputusan terhadap cara penggunaan dan hasil sumber daya tersebut. Memiliki kontrol berarti memiliki kewenangan penuh untuk mengambil keputusan atas penggunaan dan hasil sumber daya.
1 Riant Nugroho, Gender dan Administrasi Publik, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008, halaman 59
11
Keadilan gender merupakan suatu proses dan perlakuan adil terhadap kaum laki-laki dan perempuan. Dengan keadilan gender berarti tidak ada lagi pembakuan peran, beban ganda, subordinasi, marjinalisasi, dan kekerasan terhadap perempuan maupun laki-laki. 2 Hukum nasional sudah merumuskan apa makna kesetaraan gender, seperti diatur dalam Instruksi Preside n Nomor 9 Tahun 2000 dimana dinyatakan bahwa : Kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sos ial budaya dan pertahanan dan kemanan nasional dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan. 3 Namun, meskipun secara yuridis telah ada instrument-instrumen yang
menjamin hak-hak perempuan, ternyata permasalahan sesungguhnya justru
berakar dari masyarakatnya. Gender inequalities (ketidakadilan gender)
merupakan sistem dan struktur dimana kaum laki-laki dan perempuan menjadi
korban dari sistem tersebut. Dengan demikian agar dapat memahami perbedaan
gender yang menyebabkan ketidakadilan maka dapat dilihat dari berbagai
manifestasinya, yaitu sebagai berikut :
a. Subordinasi Subordinasi timbul sebagai akibat pandangan gender terhadap kaum perempuan. Sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting muncul dari adanya aggapan bahwa perempuan itu emosional atau irasional sehingga perempuan tidak bisa tampil memimpin merupakan bentuk dari subordinasi yang dimaksud. Proses subordinasi yang disebabkan karena gender terjadi dalam segala macam bentuk dan mekanisme yang berbeda dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Dalam kehidupan di masyarakat, rumah tangga, dan bernegara, banyak kebijakan yang dikeluarkan tanpa menganggap penting kaum perempuan. Misalnya ada peraturan yang dikeluarkan pemerintah dimana jika suami akan pergi belajar (jauh dari keluarga) dapat mengambil keputusan sendiri sedangkan bagi istri harus dapat seizin suami. Hal ini sebenarnya muncul dari kesadaran gender yang tidak adil.4
2 Ibid, halaman 60 3 Tri Lisiani Prihatinah, Hukum dan Kajian Jender, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2010, halaman 8 4 4 Riant Nugroho, Gender dan Strategi Pengarus Utamaannya di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2011, halaman 11
12
b. Stereotipe Pelabelan atau penandaan negatif terhadap kelompok atau jenis kelamin tertentu, secara umum dinamakan stereotipe. Akaibat dari stereotipe ini biasanya timbul diskriminasi dan berbagai ketidakadilan. Salah satu bentuk stereotipe ini adalah bersumber dari pandangan gender. Banyak sekali bentuk stereotipe yang terjadi di masyarakat yang dilekatkan ke pada pada umumnya kaum perempuan sehingga berakibat menyulitkan, membatasi, memiskinkan, dan merugikan kaum perempuan. Misalnya adalah keyakinan di masyarakat bahwa laki-laki adalah pencari nafkah maka setiap pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan dinilai hanya sebagai tambahan saja sehingga pekerja perempuan boleh saja dibayar lebih rendah dibanding laki-laki. Selain itu ada juga anggapan dari masyarakat yang melihat bahwa tugas perempuan adalah melayani suami. Stereotipe seperti ini memang suatu hal yang wajar, namun, berakibat pada menomorduakan pendidikan bagi kaum perempuan. Steretiotipe pada contoh diatas dapat terjadi dimana-mana.5
c. Beban Kerja Peran gender perempuan dalam anggapan masyarakat luas adalah mengelola rumah tangga sehingga banyak perempuan yang menanggung beban kerja domestik lebih banyak dan lebih lama dari laki-laki. Kaum perempuan memiliki sifat memelihara dan rajin, serta tidak cocok menjadi kepala rumah tangga, berakibat bahwa semua pekerjaan domestik rumah tangga menjadi tanggung jawab kaum perempuan. Bahakan bagi kalangan keluarga miskin, beban yang harus ditanggung oleh perempuan sangat berat apalagi jika si perempuan ini harus bekerja diluar sehingga harus memikul beban kerja yang ganda. Bagi masyarakat yang memiliki tingkat ekonomi cukup, beban kerja domestik sering kali dilimpahkan kepada pembantu rumah tangga (domestic workers). Dengan demikian sebenarnya perempuan merupakan korban bias gender itu sendiri. 6 Dari uraian diatas, maka diambil kesimpulan bahwa menifestasi
ketidakadilan gender ini telah mengakar mulai dari keyakinan di masing-
masing orang, keluarga, hingga pada tingkat Negara yang bersifat global.
Semua manifestasi ketidakadilan gender tersebut secara dialektika saling
mempengaruhi dan saling terkait. Manifestasi ketidakadilan itu
tersosialisasi kepada kaum laki-laki dan perempuan secara mantap, yang
akhirnya lambat laun baik laki-laki maupun perempuan menjadi terbiasa
5 Ibid, halaman 12 6 Ibid, halaman 16
13
dan pada akhirnya diyakini bahwa peran gender itu seolah-olah merupakan
suatu kodrat. Struktur dan sistem ketidakadilan gender yang diterima
lambat laun mulai tercipta dan sudah tidak lagi dirasakan ada sesuatu yang
salah.
Gender menjadi aspek dominan dalam politik, dalam relasi kelas,
golongan usia maupun etnisitas, gender juga terlibat di dalamnya.
Hubungan gender dengan politik dapat ditemukan mulai dari lingkungan
keluarga antara suam i dan isteri sampai pada tataran kemasyarakatan yang
lebih luas, misalnya dalam politik praktis. Tataran hubungan kekuasaan itu
pun bervariasi, mulai dari tataran simbolik, dalam penggunaan bahasa dan
wacana sampai pada tataran yang lebih riil dalam masalah perburuhan,
migrasi, kekerasan, tanah, dan keterwakilan perempuan dalam partai
politik.
B. Perumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, dapat ditarik perumusan masalah, yaitu :
1. Bagaimanakah penentuan kuota perempuan dalam kepengurusan Partai
Politik dan pencalonan legislatif?
2. Apakah penentuan kuota bagi perempuan di kepengurusan Partai
Politik dan pencalonan legislatif sudah sesuai dengan Konvensi
Perempuan sebagaima na diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1984 dalam upaya perjuangan hak perempuan?
14
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui penentuan kuota bagi perempuan di kepengurusan
Partai Politik dan pencalonan legislatif;
2. Untuk mengetahui penentuan kuota ba gi perempuan di kepengurusan
Partai Politik dan pencalonan legislatif sudah sesuai dengan Konvensi
Perempuan sebagaimana diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1984 dalam upaya perjuangan hak perempuan.
D. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Teoritis
a. Dengan penelitian ini diharapkan akan memberikan gambaran
tentang kondisi perempuan dalam partai politik dan Legislatif;
b. Dengan penelitian ini diharapkan akan memberikan informasi
mengenai usaha-usaha pemerintah dalam memperjuangkan hak-
hak perempuan;
c. Dengan penelitian ini diharapkan dapat menambah literatur ilmiah,
diskusi seputar hukum yaitu Hukum Tata Negara khususnya
hukum dan HAM, hukum dan sistem politik, hukum kepartaian
pemilu, serta hukum dan kajian wanita.
2. Kegunaan Praktis
Dengan adanya penelitian ini diharapkan akan menjadi pemicu bagi
perempuan dalam berpartisipasi di partai politik dan Legislatif, serta
menjadi referensi bagi masyarakat dalam kehidupan sosial, politik, dan
15
hukum. Sedangkan bagi par tai politik dan pemerintah penelitian ini
diharapkan dapat dijadikan referensi dalam pembentukan kebijakan
yang sesuai bagi cita hukum untuk menjalankan Negara yang berdasar
hukum secara benar.
16
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Gender
a. Pengetian Gender
Istilah gender dengan pemaknaan seperti yang digunakan pada saat ini pertama kali diperkenalkan oleh Robert Stoller untuk memisahkan pencirian manusia yang didasarkan pada pendefinisian yang bersifat sosial budaya dengan pendefinisian yang berasal dari ciri-ciri fisik biologis. Gagasan ini dapat dilihat sebagai bagian dari rangkaian gagasan yang diperkenalkan oleh Simone de Beauvoir di tahun 1949 dalam bukunya Le Deuxieme Sexe. Beauvoir mengemukakan bahwa dalam masyarakat (pada waktu itu) perempuan sama dengan warga negara kelas dua dalam masyarakat, seperti seorang Yahudi atau Negro. Dibanding laki-laki, maka perempuan adalah warga kelas dua yang sayangnya lebih sering tidak nampak (not exist).7 Perbedaan biologis merupakan perbedaan jenis kelamin (sex) adalah kodrat Tuhan yang secara permanen berbeda dengan pengertian gender. Gender merupakan behavioral differences (perbedaan perilaku) antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial, yakni perbedaan yang bukan ketentuan Tuhan melainkan diciptakan oleh manusia (bukan kodrat) melalui proses sosial dan kultural yang panjang. Jadi, perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan bukanlah sekedar biologis, namun melalui proses kultural dan sosial. Dengan demikian, gender dapat berubah-ubah dari tempat ke tempat, dari waktu ke waktu, bahkan dari kelas ke kelas, sedangkan jenis kelamin biologis akan tetap tidak berubah. 8 Dalam Women Studies Enslikopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultur, berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran, tingkah laku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. 9 Sedangkan Hillary M. Lips dalam bukunya yang terkenal Sex and Gender : an introduction mengartikan gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan (cultural expectation for women and man). Pendapat ini sejalan dengan pendapat umumnya kaum feminis seperti Linda L. Lindsey, yang menganggap semua ketetapan masyarakat perihal penentuan seseorang sebagai laki-laki
7 Riant Nugroho,Gender dan Administrasi Publik , Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008, halaman 31 8 Ibid, halaman 32 9 Tri Lisiani Prihatinah, Hukum dan Kajian Gender , Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2010, halaman 3
17
atau perempuan adalah termasuk bidang kajian gender (what a given society defines as masculine or feminine is a component of gender).10 Sementara itu, Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan
Republik Indonesia, mengartikan gender adalah peran-peran sosial
yang dikonstruksikan oleh masyarakat, serta tanggung jawab dan
kesempatan laki-laki dan perempuan yang diharapkan masyarakat agar
peran-peran sosial tersebut dapat dilakukan oleh keduanya (laki-laki
dan perempuan).
b. Sejarah Gerakan Perempuan di Indonesia
Ide-ide Kartini maupun gerakan organisasi-organisasi perempuan
dalam menakan lahirnya Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan di era 50-an yang mengambil model perjuangan feminis
liberal dalam bidang reformasi hukum. Hal ini kemudian meningkat
pada gerakan-gerakan perempuan pada isu-isu lainnya seiring dengan
perkembangan zaman.
Secara priodisasi, perjuangan perempuan Indonesia dapat
dikategorikan kedalam 4 (empat) Periode , yaitu :
1. Periode sebelum Proklamasi Kemerdekaan;
2. Periode setelah Proklamasi Kemerdekaan (1945-1965);
3. Periode Pasca 1965 (Orde Baru);
4. Periode Reformasi (1998-sekarang).
10 Riant Nugroho, Gender dan Strategi Pengarus-Utamaannya di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2011, halaman 5.
18
1. Periode sebelum Proklamasi Kemerdekaan
Pada periode ini, referensi yang dapat kita jadikan rujukan
adalah surat-surat Kartini yang dibukan pada awal abad ke-20.
Dalam surat Kartini digambarkan mengenai perlakuan tidak adil
yang dialami oleh perempuan Indonesia, khususnya dalam
lingkup keluarga. Sebenarnya kondisi ini tidak jauh berbeda
dengan kondisi perempuan Barat pada masa itu. Hanya saja,
perempuan barat cenderung menyalahkan laki-laki karena
kondisinya, sedangkan Kartini secara proporsional menempatkan
penindasar perempuan sebagai akibat dari permasalahan sistem
budaya masyarakatnya.
Strategi perjuangan yang dilakukan oleh Kartini untuk
mengalami masalah yang dialami kaumnya adalah dengan melalui
pendekatan pendidikan. Kartini berpandangan bahwa pendidikan
dianggap syarat utama untuk membebaskan diri dari segala
kekurangan. 11 Disamping itu, Kartini menganjurkan agar kaum
muda mengadakan persatuan untuk berjuang mencapai cita-cita
bagi kemajuan bangsanya.
Seruan Kartini tentang pentingnya persatuan dicamkan sungguh-sungguh oleh para pemuda Indonesia yang saat itu belajar di negeri Belanda. Terbukti mereka mendirikan Indische Vereeniging pada tahun 1911. Perkumpulan itu kemudian diberi nama Perhimpunan Indonesia. Di Indonesia baru pada tahun 1912 didirikan organisasi perempuan yaitu Poetri Mardika atas bantuan kaum pria dari perkumpulan Boedi Oetomo. 12
11 Riant Nugroho, Gender dan Strategi Pengarus-Utamaannya di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2011, halaman 89. 12 Loc.cit
19
Gerakan Poetri Mardika dapat dikatakan sebagai pionir
karena setelah itu banyak berdiri organisasi perempuan baru
seperti Jong Java Meisjeskring (Kelompok Pemudi Jawa Muda)
tahun 1917 dan Aisyiyah (Pemudi Muhammadiyah) tahun 1917.
Disamping itu ada juga Wanita Islam, Muslimat NU, Wanita
Tarbiyah, PWKI (Persatuan Wanita Kristen Indonesia).
Bila dibandingkan dengan organisasi wanita lain, organisasi
wanita yang terkait dengan agama justru lebih berakar dan
memiliki massa yang cukup besar karena jangkauannya yang luas
sampai ke pelosok dimana ada tempat ibadah dan pusat
pendidikan yang terkait pada agama tersebut. 13
Pada masa itu, baik organisasi kepemudaan maupun
organisasi perempuan mengalamai perasaan tertindas akibat
kolonialisasi Belanda sekitar tahun 20-an dan 30-an. Sehingga
puncaknya adalah tahun 1928 dengan adanya ikrar Sumpah
Pemuda tentang perlunya persatuan dan kesatuan bangsa.
Akumulasi dari perasaan tertindas akibat kolonialisasi
tersebut kemudian mengkristal dan memunculkan semangat
nasionalisme di setiap anak bangsa, termasuk kaum perempuan
Indonesia. Perjuangan perempuan pada zaman kolonial Belanda
secara esensi tidak hanya melawan kolonial Belanda tetapi juga
sudah berani menuntut dan mengajukan resolusi-resolusi antara
13 Ibid, halaman 91
20
lain Indonesia Berparlemen pada 1938, dengan mengadakan aksi
dan menuntut adanya hak memilih dan dipilih. Tuntutat itu
akhirnya dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda dengan
memberi hak pilih bagi perempuan pribumi (Indonesia) dengan
duduknya perempuan Indonesia di Gemeenteraad (DPRD tingkat
II) antara lain :
1. Emma Puradierja di Bandung;
2. Sri Umiyati di Cirebon;
3. Soenaryo Mangunpuspito di Semarang;
4. Siti Sundari di Surabaya. 14
2. Periode Setelah Proklamasi Kemerdekaan (1945 -1965)
Pergerakan perempuan mulai bangkit lagi sejak
diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus
1945. Hal ini tampak dari munculnua organisasi-organisasi
perempuan yang gerakannya bertujuan untuk mempertahankan
kemerdekaan seperti Laskar Putri Indonesia (LPI) di Surakarta,
Pusat Tenaga Perjoangan Wnita Indonesia (PTPWI), Laskar
Wanita Indonesia (LASWI), Persatuan Wanita Indonesia
(PERWARI) yang terbentuk setelah bubarnya Fujinkai Wanita
Negara Indonesia (WANI). Di Yogyakarta pada tahun 1946 juga
terbentuk laskar perempuan yang bernama Wanita Pembantu
Perjuangan (WPP).
14 Ibid, halaman 93
21
Pada 1948 pemerinah membentuk Korps Polisi Wanita
(POLWAN), diikuti oleh Korps Wanita Angkatan Darat
(KOWAD) pada tahun 1961, Korps wanita Angkatan Laut
(KOWAL) tahun 1962, Korps Wanita Angkatan Udara (WARA)
tahun 1963.
3. Periode Pasca 1965 (Orde Baru)
Awal periode ini bertitik tolak saat diselenggarakannya
Musyawarah Kerja Sekretariat Bersama (SEKBER) GOLKAR
pada Desember 1965. Konsolidasi itu disusun dalam 10 koordinasi
dan disingkat KOSI. Di dalamnya ada KOSI Wanita dengan
jumlah anggota sebanyak 23 organisasi wanita yang tergabung
dalam koordinasi Wanita SEKBER GOLKAR.
Gerakan perempuan Indonesia juga mencakup Pusat Studi
Wanita (PSW), yaitu kelompok di perguruan tinggi yang
menjadikan masalah wanita sebagai bahan studi ilmiah. Pelopor
berdirinya adalah Kelompok Studi Wanita FISIP UI yang dibentuk
pada 1979. Sampai saat ini, ada 62 pusat studi wanita yang tercatat
di seluruh Indonesia. Melalui penelitian sosial, PSW dapat
menangkap situasi dan kondisi wanita di daerah masing-masing.
Pada umumnya, organisasi perempuan tersebut memiliki
kegiatan dibidang ekonomi (koperasi), pendidikan, pembinaan
mental dan budaya (keagamaan, ideologi negara, budi pekerti),
22
bidang kesehatan (penyuluhan keluarga berencana), dan
kesejahteraan sosial (panti asuhan).
Dibalik maraknya aktivitas organisasi perempuan pada masa orde baru ternyata ada semacam jejak trauma atas penghianatan PKI yang berimbas pada kebebasan jalannya institusi termasuk dalam hal ini organisasi perempuan. Tak dapat dipungkiri bahwa peristiwa pemberontakan PKI membawa perubahan besar dan mendasar bagi perkembangan hidup masyarakat. Termasuk pada gerakan perempuan karena dampaknya adalah tumbuhnya sikap syak wasangka. Ketakutan kemungkinan terjadinya pengkhianatan lagi membayang selalu dan dianggap sebagai bahaya laten. Fenomena ini seakan dijadikan pembenaran untuk memberlakukan bermacam mekanisme seperti : sensor, pengawasan, ijin rapat dan lain-lain untuk menjaga terjadinya penyimpangan dari kebijakan dan pandangan Orde Baru. Disamping itu dimasa Orde Baru tak sedikit permasalahan perempuan yang mengemuka seperti : kekerasan terhadap perempuan akibat pelaksanaan DOM di Aceh, kasus Marsinah, kurangnya perlindungan Tenaga Kerja Wanita (TKW) kita di luar negeri, dsb. Kesemua permasalahan itu tentunya menjadi keprihatinan bersama sehingga praktik-praktik tertindasnya perempuan tadi perlu segera dilakukan reformasi, khususnya bidang politik, ekonomi, maupun hukum. 15 4. Periode Reformasi (1998 -sekarang)
Periode yang ditandai dengan lengsernya mantan presiden
Soeharto memang mencuatkan harapan besar bagi tumbuhnya
proses demokratisasi di Indonesia. Demokratisasi ini diharapkan
menjadi atmosfer dalam perkembangan organisasi perempuan.
Dibalik harapan itu ternyata ada hal yang perlu diantisipasi
utamanya tentang upaya keberpihakan kepada perempuan. Sebagai
salah satu contoh yang terjadi di Sumatera Barat. Dengan adanya
otonomi daerah, Sumatera Barat kembali ke sistem pemerintahan
nagari yang jelas-jelas bersifat patriarki. Sistem nagari ini
15 Ibid, halaman 101
23
menganut keterwakilan dari suku-sukuuntuk duduk menjadi wali
nagari. Yang memilih wali nagari ini adalah masing-masing kepala
suku. Dalam sejarahnya tidak pernah ada perempuan terpilih
menjadi wali nagari.
Beberapa agenda ataupun pekerjaan rumah yang perlu diperhatikan adalah melakukan redifinisi pembangunan yang melibatkan kepentingan dan kebutuhan perempuan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kegiatan pembangunan masyarakat. Hal itu diharapkan sebagai upaya untuk dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah (pusat maupun daerah) yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan yang ada agar semuanya menjadi responsif dan peka gender. 16
c. Aliran-Aliran Feminis
Para femisis mempunyai kesadaran yang sama akan terjadinya ketidakadilan gender, tetapi mereka berbeda dalam menganalisis sebab-sebabnya, hal ini mengakibatkan terjadinya perbedaan aliran feminis termasuk di dalamnya adalah bentuk, target, dan strategi perjuangan yang mereka lakukan.17 1. Feminisme Liberal
Feminis liberal memiliki pandangan mengenai negara sebagai penguasa yang tidak memihak antara kepentingan kelompok yang berbeda yang berasal dari teori pluralisme negara. Mereka menyadari bahwa negara itu didominasi oleh kaum pria, yang terefleksikan menjadi kepentingan yang bersifat maskulin, tetapi mereka juga menganggap bahwa negara dapat didominasi kuat oleh kekuatan dan pengaruh kaum pria tadi. 18 2. Feminisme Radikal
Aliran ini muncul sebagai reaksi atas kultur seksisme atau
dominasi sosial berdasarkan jenis kelamin di Barat pada tahun
1960-an. Aliran ini memandang sumber ketertindasan perempuan
adalah sistem patriarki. Sehingga dalam ranah yang ekstrem, aliran
16 Ibid, halaman 104 17 Tri Lisiani Prihatinah, Hukum dan Kajian Gender , Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2010, halaman 28 18 Ibid, halaman 29
24
ini melahirkan antipati terhadap sistem patriarki ang berimbas pada
anti laki-laki dan merupakan alasan lahirnya lesbianisme.
Oleh karena itu aliran ini mempermasalahkan antara lain tubuh
serta hak reproduksi, seksualitas, seksisme, relasi kuasa laki-laki
dan perempuan, dan dikotomi privat publik.
3. Feminisme Radikal Libertarian
Feminisme ini menganggap bahwa gender sangat merugikan karena mengharuskan perempuan untuk feminin saja, dan laki-laki untuk maskulin saja. Solusi yang ditawarkan adalah androgini. Mengenai seksualitas, paham ini menekankan agar perempuan dapat menikmati semua jenis kegiatan seksual: heteroseksual, lesbian, autuerotik, dan lain-lain. Mengenai reproduksi, kelompok ini menganggap teknologi reproduksi sebagai agen pembebasa perempuan karena dengan teknologi itu perempuan tidak lagi harus menjadi ibu biologis.19 4. Feminisme Radikal Kultural
Menurut paham ini, masalah femininitas ada pada penilaian
yang rendah atas sifat-sifat feminin. Solusi yang ditawarkan
menurut paham ini adalah menolak androgini dan mencoba
memberi makna baru kepada femininitas. Mengenai seksualitas,
kelompok ini menekankan bahaya seks heteroseksual dengn
asumsi bahwa laki-laki mengontrol seksual perempuan. Apa
yangbersifat seksual bersifat politis. Hubungan perempuan dan
laki-laki adalah paradigma dari keseluruhan hubungan kekuasaan.
Kelemahan pendekatan ini terletak pada kecenderungannya
untuk memusatkan perhatian pada pembedaan karakteristik antara
perempuan dan laki-laki. Hal ini berbahaya karena bersifat
19 Ibid, halaman 68
25
deterministik dan dapat menciptakan suatu pandangan bahwa
pembedaan ini bersifat permanen sehingga tidak ada peluang untuk
mengubah pola hubungan gender yang selama ini ada.
5. Feminisme Marxis
Bagi aliran ini penindasan perempuan adalah bagian dari
penindasan kelas dalam hubungan produksi. Oleh karena itu
persoalan perempuan selalu terkait dengan kerangka kritik atas
kapitalisme. Menurut aliran feminisme Marxisme, penindasan
kaum perempuan telah dilanggengkan kapitalisme dengan berbagai
cara dan alasan yang menguntungkan kaum kapitalis.
Penguatan penindasan kaum perempuan diantaranya adalah
dengan :
1. Eksploitasi pulang ke rumah, yakni suatu proses yang
diperlukan guna membuat laki-laki yang dieksploitasi di pabrik
bekerja lebih produktif;
2. Kaum perempuan dianggap bermanfaat bagi sistem
kapitalisme dalam reproduksi buruh murah;
3. Memasukan perempuan sebagai buruh juga menguntungkan
kaum kapitalis. Hal ini dikarenakan upah buruh perempuan
lebih murah dibandingkan laki-laki, dan posisi perempuan
sebagai tenaga cadangan yang tak terbatas.
Dengan pengaruh dari sistem kapitalisme maka menurut
feminisme ini penindasan perempuan merupakan eksploitasi yang
26
bersifat struktural. Aliran ini melihat yang menyebabkan
penindasan kaum perempuan adalah sistem kapitalisme.
Bagi feminisme ini emansipasi perempuan akan tercapai jika
perempuan terlibat dalam produksi dan berhenti mengurus rumah
tangga. Unsur kunci feminisme ini adalah pada anggapan bahwa
kapitalisme atau penindasan kelas merupakan penindasan utama.
Penindasan kelas khus usnya dikaitkan dengan dengan para
kapitalisme menguasai wanita dalam kedudukan-kedudukan yang
direndahkan.
Wanita ditekan karena adanya struktur ekonomi. Kaum
feminisme Marxis beranggapan hanya setelah penindasan ekonomi
dipecahkan, penindasan patriarki bisa dihapuskan. Perubahan
masyarakat dapat dicapai dengan perubahan sosial radikal dalam
struktur ekonomi dan penghancuran ketidaksamaan yang
berdasarkan kelas. Fokusnya adalah pada faktor -faktor struktural
mengenai penindasan sebagai lawan dari kesempatan-kesempatan
individual.
6. Feminisme Sosialis
Bagi feminisme sosialis patriarkis maupun kelas dianggap
sebagai penindasan utama. Feminisme ini menggunakan
pendekatan historis Marxian untuk memahami struktur penindasan
perempuan terutama dalam kaitannya dengan struktur jenis
kelamin, keluarga,dan hirarki pembagian kerja seksual. Cara
27
memecahkan masalah ini menurut feminisme sosialis adalah
dengan perubahan-perubahan sosial radikal institusi-institusi
masyarakat.
Penjelasan teoritis feminis sosialis meliputi tiga tujuan,
yaitu:
1. Mencapai kritik yang distingtif dan saling berkaitan terhadap
penindasan patriarki dan kapitalisme dari sudut pandang
pengalaman perempuan;
2. Mengembangkan metode yang eksplisit dan memadai untuk
analisis sosial yang berasal dari pemahaman matrialisme
historis yang diperluas;
3. Menggabungkan pemahaman terhadap signifikansi ide dengan
analisis matrialis atas determinasi persolan manusia .
Asumsi dasar yang digunakan feminisme ini adalah
masyarakat kapitalis bukan satu-satunya penyebab keterbelakangan
perempuan. Analisis patriarki perlu dikawinkan dengan analisis
kelas, sehingga analisa eksploitasi kelas dari sistem kapitalisme
harus disertai dengan analisis ketidakadilan gender yang
mengakibatkan dominasi, subordinasi, dan marginalisasi atas kaum
perempuan.
7. Feminisme Postkolonial
Dasar pandangan ini berakar dari penolakan universalitas pengalaman perempuan. Pengalaman perempuan yang hidup di negar dunia ketiga (koloni/bekas koloni) berbeda dengan perempuan berlatar belakang dunia pertama. Perempuan dunia
28
ketiga menanggung beban penindasan lebih berat karena selain mengalami penindasan berbasis gender, mereka juga mengalami penindasan antar bangsa, suku, ras, dan agama. Dimensi kolonialisasi menjadi fokus utama feminisme postkolonial yang pada intinya menggugat penjajahan baik fisik, pengetahuan, nilai-nilai, cara pandang, meupun mentalitas masyarakatnya. Beverly Lindsay dalam bukunya Compatative Perspectives on Third World Women : The Impact of Race, Sex, and Class menyatakan, “hubungan ketergantungan yang didasarkan atas ras, jenis kelamin, dan kelas sedang dikekalkan oleh institusi-institusi ekonomi, sosial, dan pendidikan”.20 8. Feminisme Islam
Feminisme Islam mengkritik feminisme barat yang cenderung ke arah sekuler. Menurut teologi feminisme Islam, konsep hak-hak asasi manusia yang tidak berlandaskan visi transendental merupakan hal yang tragis. Sehubungan dengan itu mereka berpandangan bahwa gerakan perempuan Islam harus berpegang pada paradigma agama Islam agar tidak menjadi sekuler. Fatima Merniss (1988) dan Issa J. Boullata (1989) secara terpisah menegaskan bahwa perempuan Islam harus mengembangkan program-program feminisnya dengan menggunakan kerangka acuan yang Islami. 21
B. Convention of the Elimination of All Forms of Discrimination Againts
Women (CEDAW) atau Konvensi Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi terhadap Perempuan
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan
(CEDAW) adalah suatu instrumen standar internasional yang diadopsi oleh
Perserikatan Bangsa -Bangsa pada tahun 1979 dan mulai berlaku pada tanggal 3
Desember 1981. Pada tanggal 18 Maret 2005, 180 negara lebih dari sembilan
puluh persen negara-negara anggota PBB, merupakan Negara Peserta Konvensi.
20 Tri Lisiani Prihatinah, Hukum dan Kajian Gender , Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2010, halaman 35 21 Riant Nugroho, Gender dan Strategi Pengarus-Utamaannya di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2011, halaman 86.
29
Dalam pelaksanaannya, Konvensi Perempuan mewajibkan negara peserta untuk mengajukan suatu laporan kepada Sekertaris Jenderal mengenai tindakan legislatif, yudikatif, administratif atau lainnya yang telah mereka ambil untuk melaksanakan konvensi dalam waktu satu tahun setelah konvensi ini berlaku dan kemudian sekurang-kurangnya setiap empat tahun sesudahnya atau kapan saja komite tentang penghapusan diskriminasi terhadap perempuan memintanya. Komite bertemu sekali setahun untuk meninjau laporan-laporan ini dan membahas kemajuan hak-hak perempuan berdasar konvensi. Selain laporan dari pemerintah, para pembela hak-hak perempuan mengajukan informasi dalam bentuk “laporan negara alternatif” atau bayangan yang menyajikan pandangan mereka sendiri tentang hak-hak asasi manusia kaum perempuan di negara mereka. Para anggota Konvensi Perempuan semakin banyak menggunakan laporan semacam ini sebagai suatu sumber informasi ketika membahas laporan negara. 22 Indonesia sendiri telah meratifikasi konvensi ini melalui Undang-Undang Nomor 7 tahun 1984. Dalam penelitian ini, konvensi ini selanjutnya disebut sebagai Konvensi Perempuan. Reservasi atau deklarasi formal oleh negara yang tidak mengikatkan diri dengan bagian-bagian tertentu dari perjanjain pada saat meratifikasi konvensi. Walaupan pasal 8 Konvensi Perempuan pada umumnya membolehkan reservasi, tetapi pasal 28 ayat 2 sesungguhnya secara jelas tidak membedakan reservasi yang bertentangan dengan sasaran dan tujuan konvensi. Namun cukup banyak negara yang melakukan ratifikasi dengan reservasi substansif, terutama yang menyangkut pasal 2 sebagai persyaratan ini yang mewajibkan pemerintah menghapuskan diskriminasi melalui semua langkah-langkah yang mungkin diambil, maupun bidang-bidang yang sangat fundamental bagi perempuan, yaitu hukum keluarga, kapasitas hukum , dan kewarganegaraan. 23
Indonesia sendiri yang telah meratifkasi Konvensi perempuan,
menyatakan dalam pasal 1 Undang-undang nomor 7 tahun 1984 bahwa
pengesahan Konvensi Wanita dilakukan dengan reservasi perhadap pasal 29 ayat
(1) tentang penyelesaian perselisihan antara dua atau lebih negara peserta
Konvensi Perempuan mengenai penafsiran atau penerapan Konvensi Perempuan.
Penjelasan umum Undang-Undang nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Perempuan, yang mengatakan bahwa dalam pelaksanaannya, ketentuan dalam Konvensi ini wajib disesuaikan dengan tata kehidupan masyarakat yang meliputi nilai-nilai budaya, adat istiadat serta norma-norma keagamaan yang masih berlaku dan diikuti secara luas oleh masyarakat Indonesia. Isi penjelasan ini dapat merupakan kelemahan jika dibaca dan hendak diterapkan terlepas dari keseluruhan undang-undang. Sehubungan dengan
22 Ibid, halaman 49 23 Loc.cit
30
rumusan penjekasan ini perlu disimak selain tujuan yang tercantum dalam judul konvensi ini, juga diktum menimbangnya, pasal 2 Konvensi Wanita juga merumuskan bahwa negara termasuk Indonesia mengutuk diskriminasi terhadap wanita dalam segala bentuknya dan bersepakat untuk menjalankan dengan segala cara yang cepat dan tanpa ditunda -tunda kebijakan menghapus diskriminasi terhadap perempuan, pasal 2f Konvensi Perempuan yang menentukan bahwa negara wajib membuat peraturan yang tepat untuk mengubah pola tingkah laku sosial dan budaya pria dan wanita untuk mencapai penghapusan prasangka-prasangka dan kebiasaan dan segala praktek-praktek lainnya yang berdasar atas inferioritas atau superioritas salah satu jenis kelamin atau berdasar peren stereotipe bagi pria dan wanita. 24
Konvensi Perempuan menegaskan kembali bahwa semua manusia dilahirkan bebas, memiliki harkat dan martabat serta hak yang sama. Oleh karaena itu negara wajib menjamin persamaan hak antara pria dan wanita dibidang ekonomi, sosial, budaya, sipil, dan politik. Jaminan ini hendaknya tertuang secara yuridis dalam peraturan perundang-undangan yang diberlakukan secara nyata, dan yang paling penting hak-hak serta persamaan hak antara pria dan wanita tersebut benar-benar dinikmati secara nyata. Jadi bukan hanya hak ‘de jure’ tetapi juga akses secara ‘de facto’, bukan hanya persamaan formal tetapi juga persamaan substantif atau riil.25
Konvensi ini memberi perlindungan terutama dibidang ketenagakerjaan.
Akan tetapi hak-hak yang dicanangkan dalam undang-undang itu banyak yang
tidak dilaksanakan, seperti juga banyak ketentuan dalam berbagai undang-undang
lain. Memang penegakan hukum (law enforcement) terkenal sangat lemah di
Indonesia seka lipun pemerintah Indonesia telah menandatangani Protocol dari
konvensi ini pada tahun 2002. 26
Konvensi Hak Politik Perempuan, yang pada 1952 diterima PBB dan telah diratifikasi oleh DPR melalui Undang-Undang nomor 68 tahun 1958, pada pasal 1 menetapkan bahw a ; “Perempuan berhak memberikan suara dalam semua pemilihan dengan status sama dengan pria tanpa diskriminasi (Women shall be entitled to vote in all elections on equal terms with men without any discrimination”. Hak ini telah dilaksanakan dalam pemilu 1955. 27
24 Ache Sudiarti Luhulima, Bahan Ajar tentang Hak Perempuan : UU No.7 tahun 1984 Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita , Buku Obor, Jakarta, 2007, halaman 22 25 Ibid, halaman 24 26 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik , Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010, halaman 257 27 Ibid, halaman 258
31
C. Hak Konstitusional
Dalam hubungan dengan kekuasaan Negara, hak-hak warganegara diatur dalam konstitusi sebagai perlindungan dari perbuatan yang kemungkinan dilakukan penyelenggara Negara. Sebagai pemegang kedaulatan rakyat, wujud demokrasi bukan hanya tampak dari penentuan mereka yang duduk dalam kursi kekuasaan Negara melalui hak pilih rakyat yang menjadi salah satu hak konstitusional, tetapi juga tampak dari hak-hak yang diatur dalam konstitusi, yang merupakan batas yang tidak bisa dilanggar oleh penyelenggara Negara dalam menjalankan kekuasaan Negara, yaitu baik sebagai hak warga Negara atau hak asasi. Dalam UUD 1945 ada hak-hak yang secara tegas disebut sebagai hak asasi, yang termuat dalam Bab XA UUD 1945, yang merupakan hak yang melekat pada harkat dan martabat manusia sejak lahir, seperti hak untuk hidup, hak untuk diperlakukan sama dan hak untuk mendapat kepastian hukum dan keadilan serta sejumlah hak-hak asasi lainnya. Hak asasi tersebut dikatakan sesungguhnya tidak tergantung pada Nega ra, dan telah ada sebelum Negara lahir.28
Yang dimaksud sebagai hak asasi manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap pribadi manusia. Karena itu, hak asasi manusia (the human rights) itu berbeda dari pengertian hak warga negara (the citizen’s rights). Namun, karena hak asasi manusia itu telah tercantum dengan tegas dalam UUD 1945, sehingga juga telah resmi menjadi hak konstitusional setiap warga negara atau “constitutional rights”.29
Namun tetap harus dipahami bahwa tidak semua “constitutional rights” identik dengan “human rights”. Terdapat hak konstitusional warga negara (the citizen’s constitutional rights) yang bukan atau tidak termasuk ke dalam pengertian hak asasi manusia (human rights). Misalnya, hak setiap warga negara untuk menduduki jabatan dalam pemerintahan adalah “the citizen’s constitutional rights”, tetapi tidak berlaku bagi setiap orang yang bukan warga negara. Karena itu, tidak semua “the citizen’s rights” adalah “the human rights”, akan tetapi dapat dikatakan bahwa semua “the human rights” juga adalah sekaligus merupakan “the citizen’s rights”.30
Pengertian-pengertian mengenai hak warga negara juga harus dibedakan
pula antara hak konstitusional dan hak legal. Hak konstitutional (constitutional
rights) adalah hak-hak yang dijamin di dalam dan oleh UUD 1945, sedangkan
hak-hak hukum (legal rights) timbul berdasarkan jaminan undang-undang dan
peraturan perundang-undangan di bawahnya (subordinate legislations). Setelah
28 Maruarar Siahaan, Hak Konstitusional dalam UUD 1945 , www.elsam.or.id, diunduh pada tanggal 1 Oktober 2012 29 Jimly Assiddiqie, Hak Konstitusional Perempuan dan Tantangan Penegakannya, www.jimly.com, diunduh pada tanggal 1 Oktober 2012 30 Loc. cit
32
ketentuan tentang hak asasi manusia diadopsikan secara lengkap dalam UUD
1945, pengertian tentang hak asasi manusia dan hak asasi warga negara dapat
dikaitkan dengan pengertian “constitutional rights” yang dijamin dalam UUD
1945. Selain itu, setiap warga negara Indonesia memiliki juga hak-hak hukum
yang lebih rinci dan operasional yang diatur dengan undang-undang ataupun
peraturan perundang-undangan lain yang lebih rendah. Hak-hak yang lahir dari
peraturan di luar undang-undang dasar disebut hak-hak hukum (legal rights),
bukan hak konstitusional (constitutional rights).
Menjadi Warga Negara Republik Indonesia menurut UUD 1945 mempunyai arti yang sangat penting dalam sistem hukum dan pemerintahan. UUD 1945 mengakui dan menghormati hak asasi setiap individu manusia yang berada dalam wilayah negara Republik Indonesia. Penduduk Indonesia, apakah berstatus sebagai Warga Negara Indonesia atau bukan diperlakukan sebagai manusia yang memiliki hak dasar yang diakui universal. Prinsip-prinsip hak asasi manusia itu berlaku pula bagi setiap individu Warga Negara Indonesia. Bahkan, di samping jaminan hak asasi manusia itu, setiap Warga Negara Indonesia juga diberikan jaminan hak konstitusional dalam UUD 1945. 31
Sedangkan pengertian HAM menurut Undang-Undang nomor 39 tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia, Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak
yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang
Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi
dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi
penghormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
31 Jimly Assiddiqie, Hak Konstitusional Perempuan dan Tantangan Penegakannya,
www.jimly.com, diunduh pada tanggal 1 Oktober 2012
33
1. Hak Asasi Manusia di Indonesia
a. Masa Demokrasi Parlementer
Hak asasi yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 tidak termuat dalam suatu piagam terpisah, tetapi tersebar dalam beberapa pasal, terutama pasal 27-31, dan mencakup baik bidang politik maupun ekonomi, sosial dan budaya, dalam jumlah terbatas dan dirumuskan secara singkat. Perlu dicatat bahwa pada saat Undang-Undang Dasar 1945 dirumuskan, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia belum ada, dan dengan demikian tidak dapat dijadikan rujukan. 32
Ternyata bahwa pada waktu rancangan naskah UUD dibicarakan, ada perbedaan pendapat mengenai peran hak asasi manusia dalam negara demokrasi. Pertentangan tersebut disimpulkan antara kubu M.Yamin disatu pihak, dengan kubu soepomo dan Soekarno di pihak lain. Palam pandangan Soepomo, HAM sangat identik dengan idiologi liberal-individu, dengan demikian sangat tidak cocok dengan sifat masyarakat Indonesia. Soepomo tidak pernah membayangkan kalau negara yang berazazkan kekeluargaan akan terja di konflik atau penindasan negara kepada rakyatnya karena negara atau pemerintah merupakan suatu kesatuan, antara pemerintah dengan rakyat adalah tubuh yang sama. Yamin menolak pandangan demikian, menurutnya tidak ada dasar apapun yang dapat dijadikan alasan untuk menolak memasukkan HAM dalam Undang-Undang Dasar yang mereka rancang. Walhasil dari pertentangan tersebut dicapai kompromi untuk memasukkan beberapa prinsip HAM kedalam UUD yang sedang mereka rancang. Wujud dari kompromi tersebut adalah apa yang diatur dalam UUD 1945. 33
Sementara itu dalam masyarakat cukup banyak kalangan yang berpendapat bahwa hak asasi tidak merupakan gagasan liberal belaka, sebab dalam menyusun dua undang-undang dasar berikutnya, yaitu 1949 dan 1950, ternyata hak asasi ditambah dan diperlengkap. Undang-Undang Dasar 1949 merupakan undang-undang dasar yang paling lengkap perumusannya dibanding dengan dua undang-undang dasar lain. Dalam hubungan ini perlu disebut pendapat M.Yamin dalam buku Proklamasi dan Konstitusi Republik Indones ia bahwa Konstitusi RIS 1949 dan UUD RI 1950 adalah dua dari beberapa konstitusi yang telah berhasil memasukkan hak asasi seperti keputusan
32 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik , Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010, halaman 248. 33 Muladi, Hak Asasi Manusia (Hakekat, Konsep dan Implikasi dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat), Refika Aditama, Bandung, 2005, halaman 10
34
United Nation Organization (UNO atau PBB) itu kedalam Piagam Konstitusi. 34
b. Masa Demokrasi Terpimpin
Dengan kembalinya Indonesia ke UUD 1945 dengan sendirinya hak asasi kembali terbatas jumlahnya. Di bawah presiden Soekarno beberapa hak asasi, sperti hak mengeluarkan pendapat, secara berangsur-angsur mulai dibatasi. Beberapa surat kabar didreidel, seperti Pedoman, Indonesia Raya dan beberapa partai dibubarkan, seperti Masyumi dan PSI dan pemimpinnya, Moh.Natsir dan Syahrir ditahan. Sementara itu, pemenuhan hak asasi ekonomi sama sekali diabaikan; tidak ada garis jelas mengenai kebijakan ekonomi. Biro Perancang Negara yang telah menyusun Rencana Pembangunan Lima Tahun 1956-1961 dan melaksanakannya selama setahun dibubarkan. Rencana itu diganti Rencana Delapan Tahun, yang tidak pernah dilaksanakan. Perekonomian Indonesia mencapai titik terendah. Akhirnya pada tahun 1966 Demokrasi Terpimpin diganti dengan Demokrasi Pancasila atau Orde Baru. 35
c. Masa Demokrasi Pancasila
Pada awalnya diupayakan untuk menambah jumlah hak asasi uang yetmuat dalam UUD melalui suatu panitia Majelis Permusyawaratan rakyat Sementara (MPRS) yang kemudian menyusun “Rancangan Piagam Hak-Hak Asasi Manusia serta Kewajiban Warga Negara” untuk diperbincangkan dalam sidang MPRS V tahun 1968. Panitia diketuai oleh Jenderal Nasution dan sebagai bahan acuan ditentukan antara lain hasil Konstituante yang telah selesai merumuskan hak asasi secara terperinci, tetapi dibubarkan pada tahun 1959. 36
Rancangan piagam MPRS, disamping mencakup hak politik dan
ekonomi, juga merinci kewajiban warga negara terhadap negara.
Akan tetapi, karena masa sidang yang telah ditetapkan sebelumnya
sudah berakhir, maka Rancangan Piagam tidak jaadi dibicarakan
dalam sidang pleno. Dengan demikian, perumusan dan pengaturan
Hak Asasi seperti yang ditentukan pada 1945 tidak mengalami
perubahan. 34 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik , Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010, halaman 249. 35 Ibid, halaman 250. 36 Loc.cit
35
Akan tetapi, dalam usaha mewujudkan stabilitas politik untuk menunjang ekonomi, pemenuhan berbagai hak politik, antara lain kebebasan mengutarakan pendapat, banyak diabaikan dan dilanggar. Pengekangan terhadap pers mulai lagi, antara lain dengan ditentukannya bahwa setiap penerbitan harus mempunyai Surat Ijin Terbit (SIT) dan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers(SIUPP). Telah terjadi pembreidelan terhadap Sinar Harapan (1984) dan majalah Tempo, Detik, Editor (1994). Konflik di Aceh dihadapkan dengan kekerasan militer melalui Derah Operasi Militer (DOM). Banyak kasus kekerasan terjadi, antara lain Peristiwa Tanjung Periok (1984) dan Peristiwa Trisakti. Akhirnya presiden Soeharto dijatuhkan oleh para mahasiswa pada bulan Mei tahun 1998, dan masa reformasi di mulai. 37
d. Masa Reformasi
Dalam masa reformasi Indonesia meratifikasi dua Konvensi Hak
Asasi Manusia yang penting, yaitu Konvensi Menentang Penyiksaan
dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi,
atau Merendahkan, dan Konvensi Internasional Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi Rasial.
Terutama dalam hal kebebasan menyatakan pendapat, pada
masa ini hak ini benar-benar dapat terlaksana. Hal ini dibuktikan
dengan banyaknya diskusi, ataupun seminar-seminar yang
mengkritik pemerintah. Begitu juga media massa dalam talk -
shownya dan berbagai LSM. Lewat berbagai demonstrasi, baik
presiden Habibie maupun presiden Abdurahman Wahid meletakkan
jabatan karena arus demonstrasi.
Tahun-tahun pertama reformasi ditandai oleh konflik horizontal,
antara lain di Ambon, Poso, dan Kalimantan, dimana pelanggaran
hak asasi manusia dilakukan oleh kelompok masyarakat sendiri.
37 Ibid, halaman 251
36
Aparat penegak hukum nampaknya tidak mampu atau tidak bersedia
menangani berbagai sengketa ini. Akan tetapi, di dalam masa
reformasi ini hak asasi ekonomi telah mengalami kemunduran tajam.
Beberapa kemajuan yang telah tercapai dibidang pertumbuhan
ekonomi, pemberantasan pengangguran, dan pendapatan perkapita
mengalami kemunduran.
D. Partai Politik
1. Pengertian Partai Politik
Manurut pengertian dalam pasal 1 angka 1 Undang-Undang
Nomor 2 tahun 2011, Partai Politik adalah organisasi yang bersifat
nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara
sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita -cita untuk
memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota,
masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Secara umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu
kelompok terorganisir yang anggota -anggotanya mempunayi orientasi,
nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini adalah
memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik
37
(biasanya) dengan cara konstitusional untuk melaksanakan
programnya. 38
Sigmund Neuman dalam buku karnyanya, Modern Political Parties, mengemukakan definisi sebagai berikut : partai politik adalah organisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebur dukungan rakyat melalui persaingan dengan suatu golongan atau golongan-golongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda (A political party is the articulate organization of society’s active political agents; those who are concerned with the control og govermental polity power, and who compate for popular support with other group or groups holding divergent views.)39
Prof. Carl J. Friedrich dalam bukunya Constitutional Goverments and Democracy merumuskan bahwa “partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara mapan dengan tujuan untuk menjamin dan mempe rtahankan pemimpin-pemimpinnya, tetap mengendalikan pemerintahan dan lebuh jauh lagi memberikan keuntungan-keuntungan terhadap anggota partai baik materiil maupun spiritual”.40
Melihat rumusan-rumusan diatas jelaslah bahwa tujuan partai politik ialah menguasi negara atau pemerintahan baik secara parlementer maupun ekstra parlementer, atau dengan kata lain baik secara konstitusionil yaitu ikut serta dalam pemilihan umum dan secara inkonstitusional yaitu dengan cara revolusi atau coup d’etat. 41
2. Sejarah Partai Politik
Partai Politik pertama-tama lahir di negara-negara Eropa Barat
seperti Inggris dan Perancis pada akhir abad 18-an. Kegiatan-kegiatan
politik dipusatkan pada kelompok-kelompok politik dalam parlemen.
Kegiatan ini mula-mula bersifat elitis dan Aristokratis,
mempertahankan kepentingan kaum bangsawan terhadap tuntutan-
tuntutat raja. Dengan meluasnya hak pilih, maka kegiatan politk juga
berkembang di luar parlemen dengan terbentuknya panitia -panitia
38 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik , Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010, halaman 404 39 Loc.cit 40 Sukarna, Sistem Politik , Alumni, Bandung, 1981, halaman 89 41 Ibid, halaman 90
38
pemilihan yang mengatur pengumpulan suara para pendukungnya
menjelang masa pemilihan umum. Maka pada akhir abad ke-19
lahirlah partai politik, yang pada masa selanjutnya berkembang
menjadi penghubung (link) antara rakyat di satu pihak dengan
pemerintah di pihak lain.
Partai semacam ini dalam prakteknya hanya mengutamakan
kemenangan dalam pemilihan umum, sedangkan pada masa antara dua
pemilihan umum biasanya kurang aktif. Partai ini dinamakan
patronage party (partai lindungan yang dapat dilihat dalam rangka
patron client relationship ), yang juga bertindak semacam broker.
Partai mengutamakan kekuasaan berdasarkan keunggulan jumlah
anggota, maka itu ia sering dinamakan partai massa.
Dalam perkembangan selanjutnya di dunia Barat timbul pula partai
yang lahir di luar parlemen. Partai-partai ini kebanyakan bersandar
pada suatu asas atau ideologi atau weltanschauung tertentu seperti
sosialisme, fasisme, komunisme, kristen demokrat, dan sebagainya.
Dalam partai semacam ini disiplin partai lebih ketat. Pemimpin partai
yang biasanya sangat sentralitas menjaga kemurnian doktrin politik
yang dianut dengan jalan mengadakan saringan terhadap calon
anggotanya dan memecat anggota yang menyimpang dari garis partai
yang telah ditetapkan. Pendidikan kader sangat diutamakan dalam
partai jenis ini. Partai kader biasanya lebih kecil dari partai massa.
39
Pada masa menjelang Perang dunia I telah timbul klasifikasi partai
berdasarkan ideologi dan ekonomi, yaitu partai “kiri” dan “kanan”.
Pembagian ini berasal dari Revolusi Perancis waktu parlemen
mengadakan sidang pada tahun 1879. Para pendukung raja dan struktur
tradisional duduk di sebelah kanan panggung ketua, sedangkan mereka
yang ingin perubahan dan reformasi duduk di sebelah kiri.
Tabel 1
Pembedaan Ideoligi “Kiri” dan “Kanan”
“Kiri” “Kanan”
• Perubahan, kemajuan.
• Kesetaraan (equality )
untuk lapisan bawah.
• Campur tangan negara
(dalam kehidupan
sosial/ekonomi)
• Hak
• Status quo
• Privilege (untuk lapisan
atas)
• Pasar bebas
• Kewajiban
Menjelang Perang Dunia ke II, ada kecenderungan pada partai-
partai politik di dunia Barat untuk meninggalkan tradisi membedakan
antara berbagai jenis partai. Hal ini disebabkan karena keinginan partai
kecil untuk menjadi partai besar dan menang dalam pemilihan umum,
partai-partai itu menyadari bahwa untuk memenangi pemilu mereka
perlu dukungan besar dari pemilih dengan merangkul pemilih tengah.
40
Karena perkembangan ini, telah timbul sejenis partai modern yang
oleh Otto Kirchimer disebut partai catch all. Yaitu partai yang ingin
menghimpun semaksimal mungkin dukungan dari bermacam-macam
kelompok masyarakat dan dengan sendirinya menjadi lebih inklusif.
Ciri khas dari partai semacam ini adalah terorganisasi secara
profesional dengan staff yang bekerja penuh waktu, dan
memperjuangakan kepentingan umum daripada kepentingan satu
kelompok saja. Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDIP) adalah contoh dari partai catch all.
3. Klasifikasi Sistem Kepartaian
Banyak ahli yang memberikan klasifikasinya tentang partai
politik, hanya saja, yang digunakan dalam penelitian ini adalah sistem
kepartaian sebagaimana dijelaskan oleh Maurice Duverger. Sistem
kepartaian (Party System) pertama kali dijelaskan oleh Maurice
Duverger dalam bukunya Political Parties. Duverger mengklasifikasi
sistem kepartaian dalam tiga kategori, sistem partai-tunggal, sistem
dwi-partai, dan sistem multi-partai.
a. Sistem Partai Tunggal
Istilah ini telah tersebar luas di kalangan masyarakat dan
dipakai baik untuk partai yang benar-benar merupakan satu-
satunya partai dalam suatu negara maupun untuk partai yang
mempunyai kedudukan dominan di antara beberapa partai lain.
41
Pola partai tunggal terdapat di beberapa negara: Afrika,
China, dan Kuba, sedangkan dalam masa jayanya Uni Soviet dan
beberapa negara Eropa Timur terdapat dalam kategori ini. Suasana
kepartaian dinamakan non kompetitif karena se mua partai harus
menerima pimpinan dari partai yang dominan, dan tidak
dibenarkan bersaing dengannya. 42 Terutama di negara-negara
yang baru merdeka, ada kecenderuangan kuat untuk memakai pola
partai tunggal karena pimpinan dihadapkan pada kondisi
bagaimana mengintegrasikan berbagai golongan, daerah, serta
suku bangsa yang berbeda corak sosial serta pandangan hidupnya.
Di Indonesia pada tahun 1945 ada usaha mendirikan partai tunggal sesuai dengan pemikiran yang pada saat itu banyak dianut di negara-negara ya ng baru melepaskan diri dari rezim kolonial. Diharapkan partai itu akan menjadi “motor perjuangan”. Akan tetapi sesudah beberapa bulan usaha itu dihentikan sebelum terbentuk secara kongkret. Penolakan ini antara lain disebabkan karena dianggap berbau fasis. 43
b. Sistem Dwi Partai
Dalam sistem ini, partai-partai dengan jelas dibagi dalam
partai yang berkuasa (karena menang dalam pemilihan umum) dan
partai oposisi (karena kalah dalam pemilihan umum). Dalam
persaingan memenangkan pemilihan umum, kedua partai berusaha
untuk merebut dukungan orang-orang yang ada ditengah dua
partai dan yang sering dinamakan pemilih terapung (floating vote)
atau pemilih di tengah (median vote ). Dewasa ini hanya beberapa
42 Ibid, halaman 415 43 Ibid, halaman 416
42
negara yang memiliki ciri-ciri sistem dwi partai, yaitu Inggris,
Amerika Serikat, Filipina, Kanada, dan selandia Baru. Oleh
Maurice Duverger malahan dikatakan bahwa sistem ini adalah
khas Anglo Saxon .
Inggris biasanya digambarkan sebagai contoh yang paling ideal dalam menjalankan sistem dwi partai ini. Partai buruh dan partai konservatif boleh dikatakan tidak mempunyai pandangan yang jauh berbeda mengenai azaz dan tujuan politik, dan perubahan pimpinan umumnya tidak terlalu menganggu kontinuitas kebijakan pemerintahan. Perbedaan yang pokok antara kedua partai hanya berkisar pada cara serta kecepatan melaksanakan berbagai program pembauran yang menyangkut masalah sosial, perdagangan dan industri. Partai buruh lebih condong agar pemerintah melaksanakan pengendalian dan pengawasan terutama di bidang ekonomi, sedangkan partai Konservatif cenderung memilih cara-cara kebebasan berusaha. 44
Di Indonesia pada tahun 1968 ada usaha untuk mengganti sistem multi partai yang telah berjalan lama dengan sistem dwi partai agar sistem ini dapat membatasi pengaruh partai-partai yang telah lama mendominasi kehidupan politik. Beberapa ekses dirasakan menghalangi badan eksekutif untuk menyelenggarakan pemerintahan yang baik. Akan tetapi eksperimen dwi partai ini, sesudah diperkenalkan di beberapa wilayah, ternyata mendapat tantangan dari parta i-partai yang merasa terancam eksistensinya. Akhirnya gerakan ini dihentikan pada tahun 1969. 45
c. Sistem Multi Partai
Sistem multi partai ditemukan antara lain di Indonesia,
Malaysia, Nederland, Australia, Perancis, Swedia, dan Federasi
Rusia.
Sistem multi partai, apalagi apabila dihubungkan dengan
sistem parlementer, mempunyai kecenderungan untuk menitik
beratkan kekuasaan pada badan legislatif, sehingga peren badan
44 Ibid, halaman 417 45 Loc.cit
43
eksekutif sering lemah dan ragu-ragu. Di lain pihak, partai-partai
oposisi pun kurang memainkan peranan yang jelas karena
sewaktu-waktu masing-masing partai dapat diajak untuk duduk
dalam pemerintahan koalisi baru. Dalam sistem semacam ini
masalah letak tanggung jawab menjadi kurang jelas.
Indonesia mempunyai sejarah panjang dengan berbagai
jenis sistem multi partai. Sistem ni telah melalui beberapa tahap
dengan bobot kompetitif yang berbeda-beda. Mulai tahun 1989
indonesia berupaya untuk mendirikan suatu sistem multi partai
yang mengambil unsur-unsur positif dari pengalaman masa lalu,
sambil menghindari unsur negatifnya.
E. Pemilihan Umum (Pemilu)
Menurut ketentuan pasal 1 angka 1 Undang-Undang nomor 8 tahun 2012
tentang Pemilihan Umum Anggora Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan rakyat Daerah, Pemilihan Umum, selanjutnya
disebut Pemilu, adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan
secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indones ia Tahun 1945.
Dalam ilmu politik dikenal bermacam-macam sistem pemilihan umum
dengan berbagai variasinya, akan tetapi umumnya berkisar pada dua prinsip
pokok, yaitu single member constituency (satu pemilihan satu daerah memilih satu
44
wakil;biasanya disebut sistem distrik) dan multi member constituency (satu daerah
pemilihan memiliki beberapa wakil; biasanya dinamakan sistem perwakilan
berimbang).
a. Sistem Distrik
Sistem ini merupakan sistem pemilihan yang paling tua dan
didasarkan atas kesatuan geografis. Setiap kesatuan geografis (yang
biasanya disebut distrik karena kecilnya daerah yang diliputi)
mempunyai satu wakil dalam dewan perwakilan rakyat. Untuk
keperluan itu negara dibagi dalam sejumlah besar distrik dan jumlah
wakil rakyat dalam dewan perwakilan rakyat ditentukan oleh jumlah
distrik. Calon yang dalam satu distrik memperoleh suara yang
terbanyak menang, sedangkan suara-suara yang ditujukan kepada
calon-calon lain dalam distrik itu dianggap hilang dan tidak
diperhitungkan lagi, bagaimana kecil pun selisih kekalahannya. Jadi,
tidak ada sistem menghitung suara lebih seperti yang dikenal dalam
Sistem Perwakilan Berimbang. Misalnya, dalam distrik dengan jumlah
suara 100.000, ada dua calon, yakni A dan B. Calon A memperoleh
60.000 dan B 40.000 suara. Maka calon A memperoleh kemenangan,
sedangkan jumlah suara 40.000 dari calon B dianggap hilang. Sistem
pemilihan ini dipakai di Inggris, Kanada, Amerika Serika dan India.
Sistem “Single Member Constituency” mempunyai
beberapa kelemahan :
45
1. Sistem ini kurang memperhitungkan adanya partai-partai kecil dan
golongan minoritas, apalagi jika golongan ini terpencar dalam
beberapa distrik.
2. Sistem ini kurang representatif dalam arti bahwa calon yang kalah
dalam suatu distrik, kehilangan suara -suara yang telah
mendukungnya. Hal ini berarti bahwa ada sejumlah suara yang tidak
diperhitungkan sama sekali; dan kalau ada beberapa partai yang
mengadu kekuatan, maka jumlah suara yang hilang dapat mencapai
jumlah yang besar. Hal ini akan dianggap tidak adil oleh golongan-
golongan yang merasa dirugikan.
Di samping kelemahan-kelemahan tersebut di atas ada banyak se gi
positifnya, yang oleh negara-negara yang menganut sistem ini dianggap
lebih menguntungkan daripada sistem pemilihan lain:
1. Karena kecilnya distrik, maka wakil yang terpilih dapat dikenal
oleh penduduk distrik, sehingga hubungannya dengan penduduk
distrik lebih erat. Dengan demikian dia akan lebih terdorong untuk
memperjuangkan kepentingan distrik. Lagipula, kedudukannya
terhadap partainya. akan lebih bebas, oleh karena dalam pemilihan
semacam ini faktor personalitas dan kepribadian seseorang
merupakan faktor yang penting.
2. Sistem ini lebih mendorong ke arah integrasi partai-partai politik
karena kursi yang diperebutkan dalam setiap distrik pemilihan
hanya satu. Hal ini akan mendorong partai-partai untuk me-
46
nyisihkan perbedaan-perbedaan yang ada dan mengadakan kerja -
sama. Disamping kecenderungan untuk membentuk partai baru
dapat sekedar dibendung, sistem ini mendorong ke arah pe-
nyederhanaan partai tanpa diadakan paksaan. Maurice Duverger
berpendapat bahwa dalam negara seperti Inggris dan Amerika.
sistem ini telah memperkuat berlangsungnya sistem dwipartai.
3. Berkurangnya partai dan meningkatnya kerjasama antara partai--
partai mempermudah terbentuknya pemerintah yang stabil dan
mempertingkat stabilitas nasional.
4. Sistem ini sederhana dan murah untuk diselenggarakan.
b. Sistem Perwakilan Berimbang
Sistem ini dimaksud untuk menghilangkan beberapa kelemahan
dari sistem distrik. Gagasan pokok ialah bahwa jumlah kursi Yang
diperoleh oleh sesuatu golongan atau partai adalah sesuai dengan
jumlah suara yang diperolehnya. Untuk keperluan ini ditentukan se-
suatu perimbangan, misalnya 1 : 400.000, yang berarti bahwa se-
jumlah pemilih tertentu (dalam hal ini 400.000 pemilih) mempunyai
satu wakil dalam dewan perwakilan rakyat. Jumlah total anggota de-
wan perwakilan rakyat ditentukan atas dasar perimbangan (1 :
400.000) itu. Negara dianggap sebagai satu daerah pemilihan yang
besar, akan tetapi untuk keperluan teknis-administratif dibagi dalam
beberapa daerah pemilihan yang besar (yang lebih besar dari pada
distrik dalam Sistem Distrik), di mana setiap daerah pemilihan
47
memilih sejumlah wakil sesuai dengan banyaknya penduduk dalam
daerah pemilihan itu. Jumlah wakil dalam setiap daerah pemilihan
ditentukan oleh jumlah pemilih dalam daerah pemilihan itu, dibagi
dengan 400.000.
Dalam sisitim ini setiap suara dihitung, dalam arti bahwa suara -
lebih yang diperoleh oleh sesuatu partai atau golongan dalam sesuatu
daerah pemilihan dapat ditambahkan pada jumlah suara yang diterima
oleh partai atau golongan itu dalam daerah pemilihan lain. untuk
menggenapkan jumlah suara yang diperlukan guna memperoleh kursi
tambahan.
Sistem Perwakilan Berimbang ini sering dikombinasikan dengan
beberapa prosedur lain antara lain dengan Sistem Daftar (List System).
Dalam Sistem Daftar setiap partai atau golongan mengajuktin satu
daftar calon dan si pemilih memilih salah satu daftar darinya dan
dengan demikian memilih satu partai dengan semua calon yang
diajukan oleh partai itu untuk bermacam-macam kursi yang sedang
direbutkan. Sistem Perwakilan Berimbang dipakai di Negeri Belanda,
Swedia, Belgia, Indonesia tahun 1955 dan 1971 dan 1976.
Dalam sistem ini ada beberapa kelemahan:
1. Sistem ini mempermudah fragmentasi partai dan timbulnya partai-
partai baru. Sistem ini tidak menjurus ke arah integrasi bermacam-
macam golongan dalam masyarakat; mereka lebih cenderung untuk
mempertajam perbedaan-perbedaan yang ada dan kurang terdorong
48
untuk mencari dan memanfaatkan persamaan-persamaan.
Umumnya dianggap bahwa sistem ini mempunyai akibat
memperbanyak jumlah partai.
2. Wakil yang terpilih merasa dirinya lebih terikat kepada partai dan
kurang merasakan loyalitas kepada daerah yang telah mernilih nya.
Hal ini disebabkan oleh karena diangga p bahwa dalam pe milihan
semacam ini partai lebih menonjol peranannya daripada
kepribadian seseorang. Hal ini memperkuat kedudukan pimpinan
partai.
3. Banyaknya partai mempersukar terbentuknya pemerintah yang
stabil, oleh karena umumnya harus mendasarkan diri atas koalisi
dari dua partai atau lebih.
Di samping kelemahan tersebut, sistem ini mempunyai satu
keuntungan yang besar, yaitu bahwa dia bersifat representatif
dalam arti bahwa setiap suara turut diperhitungkan dan praktis
tidak ada suara yang hilang. Golongan-golongan bagaimana kecil
pun, dapat menempatkan wakilnya dalam badan perwakilan rakyat.
Masyarakat yang heterogeen sifatnya, umumnya lebih tertarik pada
sistem ini, oleh karena dianggap lebih menguntungkan bagi
masing-masing golongan.
49
F. Affirmatif
Affirmatf atau di Eropa dikenal sebagai diskriminasi positif menunjuk kepada kebijakan yang bertujuan untuk menyebarluaskan akses ke pendidikan atau pekerjaan bagi kelompok non-dominan secara sosial-politik berdasarkan sejarah (terutama minoritas atau perempuan). Motivasi untuk aksi afirmatif adalah mengurangi efek diskriminasi dan untuk mendorong institusi publik seperti universitas, rumah sakit, dan polisi untuk lebih dapat mewakili populasi. 46
Langkah-tindak atau tindakan khusus sementara (pasal 4 (1) konvensi
Perempuan), yaitu langkah tindak yang dilakukan untuk mencapai kesetsaraan
dalam kesempatan dan perlakuan bagi perempuan dan laki-laki, dan
mempercepat kesetaraan defacto antara laki-laki dan perempuan. 47
Dukungan terhadap affirmatif juga terdapat dalam Pasal 46 Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yaitu “Sistem
pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif, dan sistem
pengangkatan di bidang eksekutif, yudikatif, harus menjamin keterwakilan wanita
sesuai persyaratan yang ditentukan”.
G. Legislatif
Legislatif adalah badan deliberatif pemerintah dengan kuasa membuat hukum. Legislatif dikenal dengan beberapa nama, yaitu parlemen, kongres, dan asembli nasional. Dalam sistem Parlemen, legislatif adalah badan tertinggi dan menujuk eksekutif. Dalam sistem Presidentil, legislatif adalah cabang pemerintahan yang sama, dan bebas, dari eksekutif. Sebagai tambahan atas menetapkan hukum, legislatif biasanya juga memiliki kuasa untuk menaikkan pajak dan menerapkan budget dan pengeluaran uang lainnya. Legislatif juga kadangkala menulis perjanjian dan memutuskan perang.48
46 http://id.wikipedia.org, diunduh pada tanggal 2 Oktober 2012 47 Achie Sudiarti Luhulima, Bahan Ajar Tentang Hak Perempuan : UU No. 7 tahun 1984 Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita , Buku Obor, Jakarta, 2007, halaman 137 48 http://id.wikipedia.org, diunduh pada tanggal 5 Oktober 2012
50
Berdasarkan UUD 1945 hasil perubahan, kekuasaan legislatif ada di DPR, (pasal 20 ayat (1)) bukan MPR atau DPD. Kekuasaan pada DPR diperbesar dengan diantaranya : DPR diberikan kekuasaan memberikan pertimbangan kepada presiden dalam mengangkat Duta Besar dan menerima penempatan Duta Besar lain (pasal 13 ayat (2) dan (3)); memberikan amnesti dan abolisi (pasal 14 ayat (2)), DPR juga diberikan kekuasaan dalam bentuk pemberian persetujuan apabila Presiden hendak membuat perjanjian dengan negara lain, menyangkut bidang perekonomian, perjanjian damai, menyatakan perang serta perjanjian internasional lainnya yang berpengaruh terhadap integritas wilayah (pasal 11 ayat (2) dan (3)). DPR juga diberi hak budget (pasal 23 ayat (3)), memilih anggota BPK, dengan memperhatikan saran DPD (pasal 23F ayat (1)), memberikan hak persetujuan dalam hal presiden mengangkat atau memberhentikan anggota Komisi Yudisial (pasal 24B ayat (3)), menominasikan tiga orang hakim mahkamah konstitusi (pasal 24C ayat (3)). 49
Di dalam Undang-Undang nomor 22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD, ditegaskan bahwa DPR terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih berdasar hasil pemilihan umum. Anggota DPR berjumlah lima ratus lima puluh orang, keanggotaan DPR diresmikan dengan keputusan Presiden. Masa jabatan anggota DPR adalah lima tahun dan berakhir bersamaan pada saat anggota DPR yang baru mengucap sumpah/ janji. 50
49 Ni’matul Huda, Lembaga Negara Dalam Masa Transisi Demokrasi, UII Press, Yogyakarta, 2007, halaman 108 50 Loc.cit
51
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis
normatif, yaitu penelitian yang mengkonsepkan hukum sebagai apa yang tertulis
dalam peraturan perundang-undangan (laws in book) atau hukum dikonsepkan
sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang
dianggap pantas dengan pendekatan perundang-undangan. Pendekatan perundang-
undangan digunakan karena yang diteliti adalah berbagai aturan hukum yang
menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian.
B. Pendekatan Masalah
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian yuridis normatif ini ada 3
pendekatan, yaitu:
a. Pendekatan Undang-Undang (Statute Aproach)
Pendekatan Undang-Undang adalah pendekatan yang dilakukan
dengan menelaah semua undang-undang yang bersangkut paut dengan
permasalahan hukum yang diteliti. 51
b. Pendekatan Konsepsional (Conceptual approach).
Pendekatan konsepsional adalah pendekatan yang menggunakan
pandangan dan doktrin dari ilmu hukum dalam mengkonsepsikan
51 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Normatif, Kencana, Jakarta, 2010, halaman 93
52
permasalahan hukum yang tidak diatur dalam peraturan hukum yang
ada.52
c. Pendekatan Historis (Historical Approach)
Hukum pada masa kini dan pada masa lampau merupakan suatu
kesatuan yang berhubungan erat, sambung menyambung dan tidak
putus sehingga dikatakan bahwa kita dapat memahami hukum pada
masa kini dengan mempelajari sejarah. Mengingat tata hukum yang
berlaku sekarang mengandung anasir-anasir dari tata hukum yang silam
dan membentuk tunas-tunas tentang tata hukum pada masa yang akan
datang.
C. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian ini adalah deskriptif, yaitu penelitian yang selain
melukiskan keadaan, obyek, atau peristiwa juga keyakinan tertentu akan diambil
kesimpulan-kesimpulan dari obyek persoalan yang dikaitkan dengan teori-teori
hukum dan praktek hukum positif yang menyangkut permasalahannya.
D. Sumber Bahan Hukum
a. Bahan Hukum Primer
Yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat :
1. Peraturan Dasar, yaitu UUD 1945;
2. Peraturan perundang-undangan.
52 Ibid, hal 137
53
b. Bahan Hukum Sekunder
Yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum
primer, seperti misalnya, rancangan undang-undang, hasil-hasil
penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan seterusnya. 53
c. Bahan Hukum Tersier
Yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder; contohnya
adalah kamus, enslikopedia, indeks kumulatif, dan seterusnya. 54
E. Metode Pengumpulan Bahan Hukum
Bahan hukum yang diperoleh dengan cara melakukan inventarisasi
peraturan undang-undang yakni, Dalam penelitian ini peneliti hanya
menggunakan data sekunder belaka, dan metode yang digunakan untuk proses
pengumpulan data ialah dengan studi kepustakaan, in ternet browsing, telaah
artikel ilmiah, telaah karya ilmiah sarjana dan studi dokumen, termasuk di
dalamnya karya tulis ilmiah maupun jurnal surat kabar dan dokumen resmi lainya
yang relevan dengan masalah yang diteliti kemudian diidentifikasi dan dipelaja ri
sebagai satu kesatuan yang utuh.
F. Metode Penyajian Bahan Hukum
Bahan-bahan penelitian yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk teks
deskriptif naratif yang disusun secara sistematis sebagai suatu kesatuan yang utuh, 53 Soeryono Soekanto, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Press, Jakarta, 1986, halaman 15 54 Loc.Cit
54
yang didahului dengan pendahuluan, yang berisi latar belakang masalah, tujuan
penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan diteruskan dengan analisa
bahan, dan hasil pembahasan serta diakhiri dengan simpulan.
G. Metode Analisis Bahan Hukum
Bahan hukum yang telah diperoleh dan diinventarisir akan dianalisis secara
kualitatif , yaitu analisis yang dilakukan dengan memahami dan merangkai bahan
hukum yang telah dikumpulkan dan disusun secara sistematis yang akhirnya akan
ditarik kesimpulan pada karya tulis ini.
55
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Makna Ratifikasi Convention of the Elimination of All Forms of
Discrimination Againts Women (CEDAW) atau Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan
Dalam upaya melindungi hak perempuan, secara historis,
perjuangan penegakan hak perempuan baik secara internasional maupun
lokal Indonesia, mengalami perjalanan panjang hingga melahirkan
Konvensi Perempuan. Sebelumnya, Indonesia pun telah meratifikasi
Perjanjian mengenai Hak Politik Perempuan (Convention of the Political
Right of Women). Kemudian pada tahun 1993, Indonesia telah menerima
Deklarasi Wina yang sangat mendukung kedudukan perempuan. Deklarasi
Wina sangat mendukung pemberdayaan perempuan. Pasal 1, 18
menyatakan bahwa “Hak asas i perempuan serta anak adalah bagian dari
hak asasi yang tidak dapat dicabut (inalienable), integral dan tidak dapat
dipisahkan (indivisible )”.
Kemudian untuk mamantapkan perjuangan hak-hak perempuan,
Indonesia kemudian meratifikasi Convention of the Elimination of All
Forms of Discrimination Againts Women (CEDAW) atau Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan menjadi
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi
56
Penghapusan diskriminasi terhadap perempuan. Pasal 1 undang-undang
ini memberikan jaminan bagi perempuan agar perempuan tidak
memperoleh diskriminasi atau dengan kata lain pasal ini menghendaki
penghapusan diskriminasi terhadap perempuan “Untuk tujuan Konvensi
ini, istilah: “diskriminasi terhadap perempuan” berarti segala pembedaan,
pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin yang
mempunyai dampak atau tujuan untuk mengurangi atau meniadakan
pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak asasi manusia dan
kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya,
sipil atau bidang lainnya oleh perempuan, terlepas dari status perkawinan
mereka, atas dasar kesetaraan antara laki-laki dan perempuan”. Dan
undang-undang ini juga menghendaki adanya tindakan khusus dalam
rangka perjuangan hak perempuan seperti dijelaskan dalam pasal 4 ayat
(1) “Penerapan tindakan-tindakan khusus sementara oleh Negara-negara
Peserta yang ditujukan untuk mempercepat kesetaraan de facto antara laki-
laki dan perempuan tidak dianggap sebagai diskriminasi sebagaimana
didefinisikan dalam Konvensi ini, tetapi tidak boleh mengakibatkan
dipertahankannya standar-standar yang tidak setara atau terpisah ini
seterusnya; tindakan-tindakan ini harus dihentikan bilamana tujuan
kesetaraan dalam kesempatan dan perlakuan telah dicapai”
Ketentuan pasal ini telah sesuai dengan ketentuan dalam UUD
1945, jadi meskipun konvensi ini merupakan konvensi internasional yang
kaedah-kaedahnya berasal dari luar, isi substansi yang berkaitan dengan
57
perjuangan hak perempuan dapat diterima di Indonesia. Berarti ketentuan
konvensi dapat “dieksekusi” di Indonesia.
Dilihat dari aspek gender. Konvensi ini dapat dikatakan sebagai
gerekan perempuan dengan aliran liberal. Terori ini mendasarkan dirinya
pada teori Hukum Alam dari John Locke, bahwa pada dasarnya memiliki
hak yang sama baik laki-laki maupun perempuan. Hanya saja, dalam
prakteknya, pemenuhan hak-hak ini, yang merupakan hak asasi hanya
dapat dinikmati sepenuhnya oleh laki-laki, sedangkan perempuan tidak
dapat menikmati pemenuhan hak-hak ini. Hal ini disebabkan kondisi
rasionalitas yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Perempuan
dianggap lebih rendah rasionalitasnya daripada laki-laki, oleh karena itu
perempuan tidak diberikan secara penuh hak-haknya. Hal ini lah terjadi di
barat sampai dengan awal abad ke-20.
Beberapa feminis teoritis awal berusaha untuk memasukkan ide
bahwa perempuan juga merupakan makhluk yang sama dengan laki-laki,
dan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki. Sehingga tidak ada
perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Feminis liberal memberi
landasan teori bahwa laki-laki sama dengan perempuan, hanya saja karena
perempuan dibuat bergantung pada laki-laki, maka rasionalitasnya
menurun dan menonjolkan aspek emosional. Apabila perempuan tidak
bergantung pada laki-laki dan tidak berkiprah domestik, maka perempuan
akan menjadi sama rasionalitasnya dengan laki-laki.
58
Gerakan perempuan barat akhirnya merambat juga ke Indonesia
melalui konvensi ini, karena menurut feminisme liberal, tidak ada
perbedaan antara laki-laki dan perempuan sehingga tidak boleh ada
diskriminasi antara keduanya. Salah satu contohnya adalah dalam ranah
hukum perkawinan, karena memang feminisme liberal juga menyoroti
hukum perkawinan atau pun isntitusi keluarga. Oleh karena itu salah satu
pemikir feminis teoritis awal John Stuart Mill, dalam bukunya The Subject
of Women (1869) mengkritik pekerjaan perempuan di sektor domestik
sebagai pekerjaan irasional, emosional, dan tiranis. Secara a contrario Mill
mengajak kaum perempuan untuk merebut hak-haknya diranah publik
seperti ranah politik salah satunya.
Dalam gerakannya, feminisme liberal memang memfokuskan
perjuangan gerakan perempuan dalam aspek hukum. Hal ini bertujuan
untuk menjamin agar hak perempuan dapat terjamin pelaksanaannya.
Perjuangan dalam aspek hukum tentu saja sangat menonjol dalam ikhwal
hukum yang mengatur institusi perkawinan. Institusi perkawinan
mendapat perhatian utama dikarenakan dalam institusi ini seringkali
dianggap bahwa kepala rumah tangga adalah laki-laki, hal ini juga masih
berlaku di Indonesia. Karena pandangan semacam inilah seringkali
gerakan perjuangan perempuan seringkali berhadapan dengan feminisme
Islam.
Dengan diiratifikasinya CEDAW menjadi Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1984, maka secara de yure Indonesia telah menyepakati untuk
59
meniadakan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, hal ini sesuai
dengan isi pasal 1 CEDAW “Untuk tujuan Konvensi ini, istilah:
“diskriminasi terhadap perempuan” berarti segala pembedaan, pengucilan
atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin yang mempunyai
dampak atau tujuan untuk mengurangi atau meniadakan pengakuan,
penikmatan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan
pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau bidang lainnya
oleh perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar
kesetaraan antara laki-laki dan perempuan”.
Pemerintah Indonesia juga telah bersepakat untuk
memperjuangkan kesetaraan bagi perempuan dan untuk melakukan
tindakan khusus dalam rangka perjuangan hak-hak perempuan Indonesia,
karena hal tersebut juga merupakan muatan dari CEDAW dalam Pasal 3
“Negara -negara Peserta wajib melakukan segala langkah-tindak yang
diperlukan, khususnya dalam bidang politik, sosial, ekonomi dan budaya,
termasuk membuat peraturan perundang-undangan, untuk memastikan
perkembangan dan pemajuan perempuan sepenuhnya, dengan tujuan untuk
menjamin bagi mereka penerapan dan penikmatan hak-hak asasi dan
kebebasan fundamental atas dasar kesetaraan dengan laki-laki”. Juga
tercantum dalam pasal Pasal 4 ayat (1) ” Penerapan tindakan-tindakan
khusus sementara oleh Negara-negara Peserta yang ditujukan untuk
mempercepat kesetaraan de facto antara laki-laki dan perempuan tidak
dianggap sebagai diskriminasi sebagaimana didefinisikan dalam Konvensi
60
ini, tetapi tidak boleh mengakibatkan dipertahankannya standar-standar
yang tidak setara atau terpisah ini seterusnya; tindakan-tindakan ini harus
dihentikan bilamana tujuan kesetaraan dalam kesempatan dan perlakuan
telah dicapai”. Serta pasal Pasal 5 ”Negara-negara Peserta wajib
melakukan langkah-langkah-tindak yang tepat: (a) Untuk mengubah pola
tingkah-laku sosial dan budaya laki-laki dan perempuan, dengan maksud
untuk mencapai penghapusan prasangka dan kebiasaan dan segala praktek
lainnya yang didasarkan atas inferioritas atau superioritas salah satu jenis
kelamin atau peran-peran stereotip laki-laki dan perempuan”.
2. Penentuan Kuota Perempuan dalam Kepengurusan Partai Politik dan
Pencalonan Legislatif
Hak konstitusional warga negara Indonesia yang juga merupakan
hak asasi manusia telah diakomodir secara jelas dalam UUD 1945 sebagai
dasar hukum tertinggi yang berlaku di Indonesia. Sebagai dasar hukum
tertinggi tentu saja aturan ini memayungi segala perundangan di
bawahnya. Dalam ketentuan-ketentuan dalam UUD 1945 sering kali
didengan frasa “setiap orang”, “segala warga negara”, ataupun “setiap
warga negara”. Hal ini menunjukan bahwa ketentuan dalam UUD 1945
ditujukan kepada seluruh masyarakat Indonesia tanpa membedakan
apapun, atau dengan kata lain, ketentuan ini berlaku baik untuk laki-laki
maupun untuk perempuan. Hak-hak tersebut diakui dan dijamin untuk
setiap warga negara baik laki-laki maupun perempuan.
61
Dalam pasal 27 ayat (1) UUD 1945 dinyatakan bahwa “Segala
warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya”. Pemerintah disini dapat diartikan sebagai
pemerintah dalam arti luas yang meliputi eksekutif, legislatif, dan
yudikatif.
Dari situ nampak bahwa pasal tersebut telah ber sifat emansipatif
bagi semua warga negara. Hanya saja, emansipastif belum tentu peka
gender. Apabila hanya berhenti pada pasal itu, maka hak perempuan dalam
berpolitik tentu belum dapat diperjuangkan dikarenakan permasalahan
utama bukan terletak pada terbukanya kesempatan melainkan pada
dorongan baik dari masyarakat maupun dari institusi bagi perjuangan hak
politik perempuan. Karena yang menjadi soal adalah pandangan sosial
masyarakat terhadap perempuan dalam ranah politik, masyarakat
beranggapan bahwa politik bukan merupakan wilayah yang pantas untuk
dimasuki perempuan.
Hal ini perlu disadari bahwa pemenuhan hak konstitusional warga
negara berangkat dari kondisi masyarakat yang sungguh beragam, karena
memang bangsa Indonesia sendiri adalah bangsa yang majemuk.
Meskipun secara de yure segala kesempatan telah terbuka bagi semua
elemen masyarakat, namus secara de facto beberapa elemen masyarakat
kesulitan untuk mengakses beberapa hak yang sebenarnya telah terbuka
dan emansipatif. Seperti telah dibahas sebelumnya bahwa struktur sosialah
62
yang menjadi faktor yang meminggirkan golongan masyarakat tertentu
dalam mengakses hak-haknya.
Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 menyatakan “Setiap orang berhak
bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan
berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat
diskriminatif itu”. Pasal ini memberikan angin segar dan memperkokoh
ketentuan dalam pasal 28H UUD 1945.
Namun, dalam perlindungan dan pemenuhan hak konstitutif yang
tidak mempertimbangkan adanya perbedaan dalam masyarakat justru akan
semakin memperjauh atau bahkan mempertahankan perbedaan yang sudah
ada dalam masyarakat. Dalam pemenuhan hak konstitusional, seringkali
diperlukan suatu tindakan khusus terhadap kelompok tertentu. Tindakan
ini dila kukan dengan tujuan agar setiap warga negara memperoleh
perlindungan dan kemampuan yang sama dalam rangka perlindungan dan
pemenuhan hak konstitusionalnya. Oleh karena itu UUD 1945
mengakomodir kebutuhan itu dalam pasal 28H ayat (2) “Setiap orang
berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh
kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan
keadilan”. Kebijakan ini adalah kebijakan yang sering disebut dengan
affirmatif.
Dalam kebijakan ini, salah satu kelompok masyarakat yang
memerlukan tindakan khusus dalam rangka melindungi dan mewujudkan
hak konstitusionalnya adalah perempuan. Posisi perempuan dalam
63
masyarakat seringkali diletakan dibawah laki-laki. Namun meskipun hak-
haknya telah diakomodir dalam perundang-undangan, seringkali hak
tersebut sulit untuk diakses. Hal ini diakibatkan karena pandangan yang
bias gender terhadap perempuan yang mengakibatkan terjadinya
diskriminasi gender secara de facto meskipun hal ini telah dihilangkan
secara de yure. Stereotipe terhadap perempuan masih kuat berkembang di
masyarakat meskipun hak-hak perempuan telah emansipatif.
Dalam lingkup hukum, di Indonesia telah lahir beberapa undang-
undang yang responsif gender, contohnya adalah Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, dan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Dalam undang-undang ini secara jelas nyata mengharuskan partai politik
menyertakan paling sedikit 30% perempuan dalam kepengurusannya, serta
mencalonkan paling sedikit 30% perempuan dari keseluruhan calon
anggota legislatif yang diikutsertakan dalam proses pemilihan umum.
Apabila dilihat dari aspek hak asasi manusia, yaitu dari Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, maka
pengaturan tentang keterwakilan perempuan sudah seirama dan
merupakan pencerminan dari perjuangan hak asasi perempuan. Karena
memang dalam pasal 46 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia secara eksplisit menyatakan bahwa sistem pemilihan
umum, kepartaian, pemilihan anggota badan legsislatif dan sistem
64
pengangkatan dibidang eksekutif dan yudikatif harus menjamin
keterwakilan perempuan sesuai dengan persyaratan yang ditentukan.
Berdasarkan Sensus Penduduk 2000, jumlah perempuan Indonesia
mencapai 101.625.816 jiwa atau sekitar 51 persen dari seluruh jumlah
penduduk. Maka yang menjadi persoalan adalah, mengapa dari jumlah
pendudukan Indonesia yang kondisinya semacam ini justru hanya
mengatur tentang keterwakilan perempuan sebesar 30% dalam
kepengurusan partai politik dan pencalonan legislatif, apalagi dari 30%
perempuan yang merupakan calon legislatif belum tentu akan tercapai
30% dari jumlah perempuan yang berhasil duduk di kursi legislatif.
Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
partai Politik dijelaskan bahwa Undang-Undang ini mengakomodasi
beberapa paradigma baru seiring dengan menguatnya konsolidasi
demokrasi di Indonesia, melalui sejumlah pembaruan yang mengarah pada
penguatan sistem dan kelembagaan Partai Politik, yang menyangkut
demokratisasi internal Partai Politik, transparansi dan akuntabilitas dalam
pengelolaan keuangan Partai Politik, peningkatan kesetaraan gender dan
kepemimpinan Partai Politik dalam sistem nasional berbangsa dan
bernegara. Dalam Undang-Undang ini diamanatkan perlunya pendidikan
politik dengan memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender yang
ditujukan untuk meningkatkan kesadaran akan hak dan kewajiban,
meningkatkan partisipasi politik dan inisiatif warga negara, serta
meningkatkan kemandirian dan kedewasaan dalam kehidupan berbangsa
65
dan bernegara. Untuk itu, pendidikan politik terus ditingkatkan agar
terbangun karakter bangsa yang merupakan watak atau kepribadian bangsa
Indonesia yang terbentuk atas dasar kesepahaman bersama terhadap nilai-
nilai kebangsaan yang lahir dan tumbuh dalam kehidupan bangsa, antara
lain kesadaran kebangsaan, cinta tanah air, kebersamaan, keluhuran budi
pekerti, dan keikhlasan untuk berkorban bagi kepentingan bangsa.
Dilihat secara historis, memang ini adalah undang-undang Partai
Politik pertama yang mencantumkan kuota affirmatif bagi perempuan, hal
ini membuktikan bahwa kesetaraan gender telah diakomodir disini dengan
wujud penentuan kuota bagi perempuan dengan tujuan perjuangan hak
konstitusional perempuan.
Dalam naskah akademik Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
tentang Partai Politik, disebutkan bahwa salah satu fungsi Partai Politik
adalah sebagai sarana pendidikan politik dan sarana rekrutmen politik,
pendidikan politik disini dimaknai bahwa partai politik akan mendidik
masyarakatnya agar memiliki kesadaran berpolitik yang memadai dalam
bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pendidikan politik ini
diharapkan akan menyadarkan masyarakat akan hak-haknya. Dimana
perempuan adalah salah satu bagian dari masyarakat yang juga perlu untuk
memperoleh hak-hak berpolitiknya terutama setelah adanya pengaturan
tersebut diatas.
Pendidikan politik juga erat kaitannya dengan rekrutmen politik
yang dilakukan oleh partai politik, karena partai politik tentu saja akan
66
merekrut kader-kader yang berkopenten untuk menjadi pengurus maupun
untuk dijadikan calon dalam bursa legislatif.
Bagi kaum feminis liberal, pendidikan memiliki posisi yang
strategis bagi persamaan tingkat rasionalitas antara laki-laki dan
perempuan. Pendidikan disini akan membuka pengetahuan politik ya ng
memang merupakan hak dari kaum perempuan agar dirinya dalam terlibat
dalam partai politik pada khususnya dan politik praktis pada umumnya.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
DPR, DPD, dan DPRD juga mengatur tentang keterwakilan perempuan
sebesar 30% dari jumlah keseluruhan calon anggota legislatif yang
dicalonkan oleh partai politik. Hanya saja, ketentuan ini tidak dapat
menjamin apakah jumlah perempuan yang berhasil menduduki kursi
legislatif apakah telah sesuai dengan ketentuan ata ukah belum.
Indonesia sebagai negara demokrasi, telah melalakukan beberapa
kali pemilihan umum dalam sejarah negaranya. Tercatat telah 10 (sepuluh)
kali pemilihan umum sejak Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya
pada 17 Agustus 1945. Pemilihan umum pertama tahun 1955 dan
pemilihan umum terakhir pada 2009 silam. Di awal tahun 2013 ini,
Indonesia tengah bersiap menghadapi pemilihan umum ke 13 (tiga belas)
pada 2014 mendatang.
Kesepuluh pemilu tersebut dilaksanakan dalam 3 (tiga) era
kepemimpinan, yakni masa orde lama, orde baru, dan reformasi. Selama
masa reformasi sendiri yang sedang kita rasakan saat ini, Indonesia telah
67
melakukan 3 (tiga) kali pemilihan umum, yakni tahun 1999, 2004, dan
2009.
Setiap kali menjelang pemilihan umum, selalu saja terjadi
perubahan undang-undang yang mengatur tentang partai politik dan
pemilihan umum. Pada pemilu tahun 1999, pelaksanaan pemilihan umum
diatur melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan
Umum, sedangkan partai politik peserta pemilu diatur melalui Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 1999.
Kemudian pemilihan umum 2004. Menjelang pemilihan umum
2004, undang-undang dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 31 Tahun
2002 tentang Partai Politik, dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003
tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Undang-undang juga mengalami perubahan kembali menjelang
pemilihan umum 2009. Perubahan persebut menjadi Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, dan Undang-Undang Nomor
10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan
DPRD.
Dan terakhir menjelang pemilihan umum 2014 mendatang,
undang-undang juga telah disesuaikan oleh para anggota legislatif
menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, dan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota
DPR, DPD, dan DPRD.
68
Dalam 2 (tiga) pemilu terakhir yang telah diselenggrakan di
Indonesia, perempuan mulai menerima perhatian dalam ranah politik.
Terbukti pada tahun 2004 telah diatur mengenai keterwakilan perempuan
dalam kepengurusan partai politik dan pencalonan legislatif. Ketentuan
tentang pengaturan ini disebut dengan affirmatif atau tindakan khusus
sementara dalam rangka mendorong agar perempuan dapat terwakili di
kepengurusan partai politik dan pencalonan legislatif. Tindakan ini bukan
merupakan diskriminasi.
Dalam pemilu tahun 1999, baik Undang-Undang Nomor 2 Tahun
1999 tentang Partai Politik maupun Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999
tentang Pemilihan Umum belum ada yang mengatur tentang keterwakilan
perempuan.
Barulah pada pemilihan umum tahun 2004 diatur mengenai
keterwakilan perempuan dalam kepengurusan partai politik dan
pencalonan legislatif. Hal ini diatur melalui Pasal 13 ayat (3) Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik “Kepengurusan
partai politik di setiap tingkatan dipilih secara demokratis melalui forum
musyawarah partai politik sesuai dengan anggaran dasar dan anggaran
rumah tangga dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender”.
Sedangkan pengaturan mengenai keterwakilan perempuan dalam
pencalonan legislatif telah diatur secara lebh jelas dalam Pasal 65 ayat(1)
undang-Undang Nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota
DPR, DPD, dan DPRD “Setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat
69
mengajukan calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD
Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan
keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%”.
Sedangkan dalam perhelatan pemilihan umum tahun 2009,
perempuan memiliki kuota baik dalam kepengurusan partai politik
maupun dalam pencalonan legislatif. Dalam kepengurusan partai politik
telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai
Politik pasal 2 ayat (2) “Pendirian dan pembentukan Partai Politik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyertakan 30% (tiga puluh
perseratus) keterwakilan perempuan”, serta dalam ayat (5) “Kepengurusan
Partai Politik tingkat pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun
dengan menyertakan paling rendah 30% (tiga puluh perseratus)
keterwakilan perempuan”. Keterwakilan perempuan dalam kepengurusan
partai politik juga diatur dalam Pasal 20 “Kepengurusan Partai Politik
tingkat provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal
19 ayat (2) dan ayat (3) disusun dengan memperhatikan keterwakilan
perempuan paling rendah 30% (tiga puluh perseratus) yang diatur dalam
AD dan ART Partai Politik masing-masing”. Sedangkan mengenai
keterwakilan dalam pencalonan legislatif diatur dalam Pasal 8 ayat (1)
huruf d Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Anggota DPR, DPD, dan DPRD “Menyertakan sekurang-kurangnya 30%
(tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai
politik tingkat pusat”. Kemudian dalam Pasal 53 “Daftar bakal calon
70
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 memuat paling sedikit 30% (tiga
puluh perseratus) keterwakilan perempuan”. Dan dalam pasal 55 ayat (2)
“Di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap
3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang
perempuan bakal calon”.
Kemudian undang-undang ini dirubah menjadi Undang-Undang
Nomor 2 tahun 2011 tentang Partai Politik, dan ketentuan 30% ini tidak
mengalami perubahan. Ketentuan juga tidak berubah dalam Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR,
DPD, dan DPRD. Kedua undang-undang ini akan digunakan dalam
pemilihan umum tahun 2014 mendatang.
3. Keterwakilan Perempuan dalam Legislatif
Tabel 2
Jumlah Perempuan di DPR
Pemilu Total Anggota
DPR
Jumlah Anggota
Perempuan
Persentase
1955 272 17 6,25
1971 460 36 7,83
1977 460 29 6,30
1982 460 39 8,48
1987 500 65 13,00
1992 500 62 12,50
71
1997 500 54 10,80
1999 500 45 9,00
2004 550 61 11,09
2009 560 101 17,86
Tabel 3
Keterwakilan Perempuan di Lembaga Legislatif
Nasional dan Provinsi Hasil Pemilu 2009
PROVINSI L % P %
Aceh 13 100 0 0
Sumatra Utara 28 93,3 2 6,7
Sumatra Barat 13 92,9 1 7,1
Riau 10 90,9 1 9,1
Jambi 1 33,33 2 66,7
Sumatra Selatan 4 57,1 3 42,9
Bengkulu 16 94,1 1 5,9
Lampung 3 100 0 0
Bangka Belitung 3 75 1 25
Kepulauan Riau 13 72,2 5 27,8
DKI Jakarta 16 76,2 5 23,8
Jawa Barat 70 76,9 21 23,1
Jawa Tengah 17 77,3 5 22,7
72
DI Yogyakarta 68 88,3 9 11,7
Jawa Timur 7 87,5 1 12,5
Banten 66 75,9 21 24,1
Bali 9 100 0 0
Nusa Tenggara Barat 10 100 0 0
Nusa Tenggara Timur 12 92,3 1 7,7
Kalimantan Barat 9 90 1 10
Kalimantan Tengah 6 75 2 25
Kalimantan Selatan 11 100 0 0
Kalimantan Timur 4 66,7 2 33,3
Sulawesi Utara 5 83,3 1 16,7
Sulawesi Tengah 5 83,3 1 16,7
Sulawesi Selatan 21 87,5 3 12,5
Sulawesi Tenggara 3 100 0 0
Gorontalo 4 80 1 20
Sulawesi Barat 2 66,7 1 33,3
Maluku 3 75 1 25
Maluku Utara 0 0 3 100
Irian Jaya Barat 7 70 3 30
Papua 2 66,7 1 33,3
Indonesia 461 82,3 99 17,7
73
Ketimpangan besar dalam keterwakilan perempuan di DPR, dan
lebih buruk lagi kondisi di DPRD, jelas menyalahi konsep mikrokosmos
lembaga perwakilan. Dalam konsep ini diandaikan bahwa lembaga
perwakilan terdiri atas berbagai karakter kelompok signifikan berdasarkan
seks, ras, dan kelas. Keadaan itu juga menyalahi model perwakilan
fungsional karena perempuan tidak memiliki juru bicara yang cukup
dalam pengambilan keputusan di lembaga perwakilan.
Itu artinya, jika perempuan Indonesia hanya diwakili oleh beberapa
orang saja, sebanyak 101 juta lebih perempuan Indonesia terdiskriminasi
oleh kebijakan DPR. Oleh karena itu, perlu dilakukan kembali pemaknaan
demokrasi perwakilan, dengan menekankan pentingnya politik kehadiran
(the political of presence), yaitu kesetaraan perwakilan antara laki-laki dan
perempuan, keseimbangan perwakilan di antara kelompok-kelompok yang
berbeda, dan melibatkan kelompok-kelompok termarjinalkan ke dalam
lembaga perwakilan.
Ketidakseimbangan komposisi anggota legislatif Indonesia
sekaligus menjadi representasi masyarakat patriarkhi, di mana laki-laki
mengatur kehidupan sesuai dengan kepentingan politik kelaki-lakiannya.
Dalam masyarakat patriarkhi, laki-laki mencegah perempuan memasuki
ruang publik, sementara mereka bolak-balik memasuki ruang privat dan
ruang publik dengan ketentuan-ketentuan hukum yang mereka buat dan
menguntungkan dirinya.
74
Data diatas menunjukan bahwa ternyata jumlah perempuan yang
menduduki kursi legislatif masih kurang jka dibandingkan dengan jumlah
perempuan di Indonesia. Padahal telah ada affirmatif bagi terwujudnya
keterwakilan perempuan di legislatif.
Meskipun rata-rata, dari periode ke periode jumlah perempuan di
legislatif mengalami kenaikan, tetapi jumlah ini masih juga belum
mewakili perempuan. Dibawah ini adalah tabel sejarah kepartaian
Indonesia untuk lebih memahami sejarah kepartaian yang berpengaruh
terhadap jumlah perempuan di legislatif.
4. Kendala Keterwakilan Perempuan
Masyarakat Indonesia yang merupakan masyarakat dengan adat
timur seringkali menganggap bahwa dunia politik adalah ranah laki-laki,
sehingga tidak selayaknya perempuan masuk ke dunia politik. Pemikiran
semacam ini sebenarnya merupakan suatu pemikiran yang bias gender
atau mencampur adukkan antara gender dan jenis kelamin. Padahal
diantara keduanya berbeda.
Permasalahan ini seringkali menjadi masalah pula bagi Partai
Politik dalam merekrut kader-kader perempuan yang berkualitas. Ini
menunjukan bahwa pendidikan politik masyarakat khususnya kaum
perempuan masihlah kurang atau terlalu minim. Karena pangangan yang
bias gender bahwa dunia politik adalah milik laki-laki akan menghambat
75
affirmatif itu sendiri, meskipun telah dibuat suatu regulasi yang berpihak
kepada perempuan.
Namun kondisi ini menunjukan bahwa sesungguhnya Partai Politik
sendiri telah gagal dalam menjalankan fungsinya. Fungsi yang dimaksud
yaitu fungsi pendidikan politik sebagaimana diatur dalam pasal 31
Undang-Undang Nomor 2 tahun 2008 tentang partai Politik, “(1) Partai
Politik melakukan pendidikan politik bagi masyarakat sesuai dengan ruang
lingkup tanggung jawabnya dengan memperhatikan keadilan dan
kesetaraan gender dengan tujuan antara lain : a. peningkatkan kesadaran
hak dan kewajiban masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara; b. meningkatkan partisipasi politik dan inisiatif
masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
dan c. meningkatkan kemandirian, kedewasaan, dan membangun karakter
bangsa dalam rangka memelihara persatuan dan kesatuan bangsa. (2)
Pendidikan politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
untuk membangun etika dan budaya politik sesuai dengan Pancasila.”
Jelas dan nyata bahwa Partai Politik memiliki fungsi untuk
memberikan pendidikan politik kepada masyarakat agar dapat
meningkatkan partisipasi politik dalam kehidupan perpolitikan Indonesia
dengan keadilan gender sesuai dengan pancasila.
Karena apabila fungsi pendidikan politik telah terlaksana dengan
bak, seharusnya Partai Politik tidak mengalami kesulitan dalam merekrut
kader-kader perempuan yang berkualitas.
76
B. Pembahasan
Sebelum membahas tentang Hak Konstitusional, perlu juga dipahami terlebih dahulu mengenai konsep Hak Asasi Manusia. Secara sederhana, hak asasi manusia dipahami sebagai hak dasar (asasi) yang dimiliki oleh manusia, hak asasi manusia keberadaannya tidak tergantung dan berasal dari manusia, melainkan dari dzat yang lebih tinggi dari manusia. Oleh karena itu, hak asasi tidak bisa direndahkan da n dicabut oleh hukum positif manapun, bahkan dengan prinsip demikian, hak asasi wajib diadiopsi oleh hukum positif. 55
Hak Konstitusional di Indonesia diatur dalam UUD 1945 yang
didalamnya telah memuat konsep hak asasi manusia bagi seluruh warga negara
Indonesia. UUD 1945 juga memberikan aturan tentang perlakuakn khusus bagi
warga negara golongan tertentu yang memerlukan perlakuan khusus dalam
pemenuhan hak konstitusionalnya.
Di samping itu, terdapat pula ketentuan mengenai jaminan hak asasi
manusia tertentu yang hanya berlaku bagi Warga Negara atau setidaknya bagi
Warga Negara diberikan kekhususan atau keutamaan-keutamaan tertentu,
misalnya, hak atas pekerjaan, hak atas pendidikan dan lain-lain yang secara
bertimbal balik menimbulkan kewajiban bagi negara untuk memenuhi hak-hak itu
khusus bagi Warga Negara Indonesia. Artinya, negara Republik Indonesia tidak
wajib memenuhi tuntutan warga negara asing untuk bekerja di Indonesia ataupun
untuk mendapatkan pendidikan gratis di Indonesia. Hak-hak tertentu yang dapat
dikategorikan sebagai hak konstitusional Warga Negara adalah:
a. Hak asasi manusia tertentu yang hanya berlaku sebagai hak konstitusional bagi Warga Negara Indonesia saja. Misalnya, (i) hak yang tercantum dalam Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap Warga Negara berhak atas kesempatan yang sama dalam pemerintahan”; (ii) Pasal 27 ayat (2) menyatakan, “Tiap-tiap Warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan
55 M. Afif Hasbullah, Politik Hukum Ratifikasi Konvensi HAM di Indonesia (Upaya Mewujudkan Masyarakat yang Demokratis), Pusataka Pelajar, Yogyakarta, halaman 17
77
yang layak bagi kemanusiaan; (iii) Pasal 27 ayat (3) berbunyi, “Setiap Warga Negara berhak dan wajib ikut serta dalam pembelaan negara”; (iv) Pasal 30 ayat (1) berbunyi, “Tiap-tiap Warga Negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara”; (v) Pasal 31 ayat (1) menentukan, “Setiap Warga Negara berhak mendapat pe ndidikan”; Ketentuan-ketentuan tersebut khusus berlaku bagi Warga Negara Indonesia, bukan bagi setiap orang yang berada di Indonesia;
b. Hak asasi manusia tertentu yang meskipun berlaku bagi setiap orang, akan tetapi dalam kasus-kasus tertentu, khusus bagi Warga Negara Indonesia berlaku keutamaan-keutamaan tertentu. Misalnya, (i) Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 menentukan, “Setiap orang berhak untuk bekerja.....”. Namun, negara dapat membatasi hak orang asing untuk bekerja di Indonesia. Misalnya, turis asing dilarang memanfaatkan visa kunjungan untuk mendapatkan penghidupan atau imbalan dengan cara bekerja di Indonesia selama masa kunjungannya itu; (ii) Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Meskipun ketentuan ini bersifat universal, tetapi dalam implementasinya, orang berkewarganegaraan asing dan Warga Negara Indonesia tidak mungkin dipersamakan haknya. Orang asing tidak berhak ikut campur dalam urusan dalam negeri Indonesia, misalnya, secara bebas menyatakan pendapat yang dapat menimbulkan ketegangan sosial tertentu. Demikian pula orang warga negara asing tidak berhak mendirikan partai politik di Indonesia untuk tujuan mempengaruhi kebijakan politik Indonesia. (iii) Pasal 28H ayat (2) menyatakan, “Setiap orang berhak untuk mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”. Hal ini juga diutamakan bagi Warga Negara Indonesia, bukan bagi orang asing yang merupakan tanggungjawab negara asalnya sendiri untuk memberikan perlakuan khusus itu;
c. Hak Warga Negara untuk menduduki jabatan-jabatan yang diisi melalui prosedur pemilihan (elected officials), seperti Presiden dan Wakil Presiden, Gubernur dan Wakil Guber nur, Bupati dan Wakil Bupati, Wali Kota dan Wakil Walikota, Kepala Desa, Hakim Konstitusi, Hakim Agung, anggota Badan Pemeriksa Keuangan, anggota lembaga permusyawaratan dan perwakilan yaitu MPR, DPR, DPD dan DPRD, Panglima TNI, Kepala Kepolisian RI, Dewan Gubernur Bank Indonesia, anggota komisi-komisi negara, dan jabatan-jabatan lain yang diisi melalui prosedur pemilihan, baik secara langsung atau secara tidak langsung oleh rakyat.
d. Hak Warga Negara untuk diangkat dalam jabatan-jabatan tertentu (appointed officials), seperti tentara nasional Indonesia, polisi negara, jaksa, pegawai negeri sipil beserta jabatan-jabatan
78
struktural dan fungsional dalam lingkungan kepegawaian, dan jabatan-jabatan lain yang diisi melalui pemilihan.56
Setiap jabatan (office, ambt, functie) mengandung hak dan kewajiban serta tugas dan wewenang yang bersifat melekat dan yang pelaksanaan atau perwujudannya terkait erat dengan pejabatnya masing-masing (official, ambtsdrager, fungsionaris) sebagai subyek yang menjalankan jabatan tersebut. Semua jabatan yang dimaksud di atas hanya berlaku dan hanya dapat diduduki oleh warga negara Indonesia sendiri sesuai dengan maksud ketentuan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3). Pasal 27 ayat (1) menentukan, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Pasal 28D ayat (3) berbunyi, “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan ”. Dengan demikian, setiap warga ne gara Indonesia berhak untuk menduduki jabatan-jabatan kenegaraan dan pemerintahan Republik Indonesia seperti yang dimaksud di atas. Penekanan status sebagai warga negara ini penting untuk menjamin bahwa jabatan-jabatan tersebut tidak akan diisi oleh orang-orang yang bukan warga negara Indonesia. Dalam hal warga negara Indonesia dimaksud telah menduduki jabatan-jabatan sebagaimana dimaksud di atas, maka hak dan kewajibannya sebagai manusia dan sebagai warga negara terkait erat dengan tugas dan kewenangan jabatan yang dipegangnya. Kebebasan yang dimiliki oleh setiap orang dibatasi oleh status seseorang sebagai warga negara, dan kebebasan setiap warga negara dibatasi pula oleh jabatan kenegaraan yang dipegang oleh warga negara yang bersangkutan. Karena itu, setiap warga negara yang memegang jabatan kenegaraan wajib tunduk kepada pembatasan yang ditentukan berdasarkan tugas dan kewenangan jabatannya masing-masing.57
Hak untuk melakukan upaya hukum dalam melawan atau menggugat keputusan-keputusan negara yang dinilai merugikan hak konstitusional Warga Negara yang bersangkutan. Upaya hukum dimaksud dapat dilakukan (i) terhadap keputusan administrasi negara (beschikkingsdaad van de administratie), (ii) terhadap ketentuan pengaturan (regelensdaad van staat orgaan), baik materiil maupun formil, dengan cara melakukan substantive judicial review (materiile toetsing) atau procedural judicial review (formele toestsing), atau pun (iii) terhadap putusan hakim (vonnis) dengan cara mengajukannya ke lembaga pengadilan yang lebih tinggi, yaitu tingkat banding, kasasi, atau peninjauan kembali. Misalnya, Pasal 51 ayat (1) huruf a UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menentukan bahwa perorangan Warga Negara Indonesia dapat menjadi pemohon perkara pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar, yaitu dalam hal yang bersangkutan menganggap bahwa hak (dan/atau kewenangan) konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya sesuatu undang-undang yang dimohonkan pengujiannya.58
56 Loc. Cit 57 Loc.cit 58 Loc.cit
79
Dalam suatu negara demokrasi, hak konstitusional warga negaranya akan
diwujudkan salah satunya melalui mekanisme pemilihan umum dalam rangka
menempatkan wakil-wakil rakyat dalam kursi kepemimpinan baik itu kursi kepala
negara, kepala daerah, maupun kursi legislatif. Disinilah partai politik memainkan
fungsi-fungsinya sebagai pihak yang akan menjadi kendaraan dalam penempatan
pemimpin-pemimpin tersebut.
Di negara Indonesia yang berasaskan demokrasi, fungsi partai politik
menurut Miriam Budiarjo dapat dijabarkan adalah empat fungsi, yaitu :
a. Sebagai sarana Komunikasi Politik Di masyarakat modern yang luas dan kompleks, banyak ragam
pendapat dan aspirasi yang berkembang. Pendapat atau aspirasi seseorang atau suatu kelompok akan hilang tak berbekas seperti suara di padang pasir apabila tidak ditampung dan digabung dengan pendapat dan aspirasi dari orang lain yang senada. Proses ini dinamakan penggabungan kepentingan (interest aggregation). Sesudah digabungkan, pendapat dan aspirasi tadi diolah dan dirumuskan dalam bentuk yang lebih teratur. Proses ini dinamakan perumusan kepentingan (interest articulation). Agregasi dan artikulasi itulah salah satu fungsi penting partai politik.
Setelah itu partai politik merumuskannya menjadi usul kebijakan. Usul kebijakan ini dimasukkan kedalam program atau platform partai (goal fo rmulation ) untuk diperjuangkan atau disampaikan melalui parlemen kepada pemerintah agar dijadikan kebijakan umum (public policy).
Disisi lain, partai politik juga berfungsi memperbincangkan dan menyebar luaskan rencana-rencana dan kebijakan-kebijakan pemerintah. Dalam menjalankan fungsi ini partai politik sering disebut sebagai perantara (broker) dalam suatu bursa ide-ide (clearing house of ideas). Kadang-kadang juga dikatakan bahwa partai politik bagi pemerintah bertindak sebagai alat pendengar, sedangkan bagi warga masyarakat sebagai “pengeras suara”. b. Sebagai Sarana Sosialisasi Politik
Sosialisasi politik adalah sebagai proses yang melaluinya masyarakat menyampaikan “budaya politik” yaitu norma-norma dan nilai-nilai, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dengan demikian sosialisasi politik merupakan faktor penting dalam terbentuknya budaya politik (political culture) suatu bangsa. Di sinilah letaknya partai dalam memainkan sebagai sarana sosialisasi politik.
80
Pelaksanaan fungsi sosialisasinya dilakukan melalui berbagai cara yaitu media massa, ceramah-ceramah, penerangan, kursus kader, penataran, dan sebagainya.
Ada lagi yang lebih tinggi nilainya apabila partai politik dapat menjalankan fungsi sosialisasi yang satu ini, yakni mendidik anggota-anggotanya menjadi manusia yang sadar akan tanggung jawabnya sebagai warga negara dan menempatkan kepentingan-kepentingan sendiri dibawah kepentingan nasional. c. Sebagai Sarana Rekrutmen Politik
Fungsi ini berkaitan erat dengan masalah seleksi kepemimpinan, baik kepemimpinan internal partai maupun kepemimpinan nasional yang lebih luas. Untuk kepentingan internalnya, setiap partai butuh kader-kader yang berkualitas, karena hanya dengan kader yang berkualitas ia dapat menjadi partai yang mempunyai kesempatan lebih besar untuk mengembangkan diri.
Selain untuk tingkatan seperti itu partai politik juga berkepentingan memperluas atau memperbanyak keanggotaan. Rekrutmen politik menjamin kontinuitas dan kelestarian partai, sekaligus merupakan salah satu cara untuk menjaring dan melatih calon-calon pemimpin. d. Sebagai Sarana Pengatur Konflik (Conflict Management)
Potensi konflik selalu ada di setiap masyarakat, apalagi di masyarakat yang bersifat heterogen. Disini peran partai politik diperlukan untuk membantu mengatasinya. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa partai politik dapat menjadi penghubung psikologis dan organisasional antara warga negara dengan pemerintahnya. Selain itu partai juga melalukan konsolidasi dan artikulasi tuntutat-tuntutan yang beragam yang berkembang di berbagai kelompok masyarakat. Partai juga merekrut orang-orang untuk diikutsertakan dalam kontes pemilihan wakil-wakil rakyat dan menemukan orang-orang yang cakap untuk menduduki posisi eksekutif. Pelaksanaan fungsi-fungsi ini dapat dijadikan instrumen untuk mengukur keberhasilan atau kegagalan partai politik di negara demokrasi. 59
Partai politik sebagai sarana pendudukan wakil-wakil rakyat di legislatif
memiliki suatu tugas tambahan dalam fungsinya dalam hal sarana pendidikan
politik dan rekrutmen politik, yakni dalam hal mewujudkan hak konstitusi
perempuan. Dasar berpijak dari perwujudan hak konstitusional perempuan adalah
59 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik , Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010, halaman 405
81
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan
Segala Diskriminasi Terhadap Perempuan.
Dalam hukum positif di Indonesia kebutuhan spesifik ini juga sudah diakomodir dalam pasal 28 huruf H ayat 2 UUD 1945 yang dinyatakan bahwa, “Setiap orang mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”. Hanya saja secara teoritis terdapat beberapa istilah berbeda untuk pemenuhan kebutuhan spesifik ini, yaitu “affirmatif” atau “diskriminasi positif” ataupun “menejemen berlandaskan hasil” (result based management). Konsep ini (result based management) lebih memfokuskan pada “hasil” dimana kebijakan menerima perbedaan hanya sebatas pada “proses” demi tercapainya “hasil”. Rasional perlunya konsep diskriminasi positif ini karena perlakuan yang sama antara laki-laki dan perempuan tidak selalu memberikan has il yang positif bahkan tetap melanggengkan bias gender karena kondisi ketidakadilan gender yang dialami perempuan. 60
Mekanisme dalam mendudukan wakil-wakil rakyat dalam legislatif tentu
saja melalui pemilihan umum, dewasa ini partai politik yang dituntut untuk
mendudukkan perempuan dalam legislatif. Dalam hal ini ada beberapa faktor
yang mempengaruhi, termasuk kebijakan pemilihan umum juga berperan
terhadapnya.
Variabel teknis pemilu bisa dibedakan atas variabel teknis pemilu tidak langsung dan variabel teknis langsung. Terdapat dua variabel teknis pemilu tidak langsung, yaitu pembatasan partai politik peserta pemilu (electoral threshold ) dan pembatasan parpol masuk parlemen (parliamentary threshold ). Sedang variabel teknis langsung meliputi: (1) penetapan daerah pemilihan, (2) metode pencalonan, (3) metode pemberian suara, (4) formula perolehan kursi, dan (5) formula penetapan calon terpilih.
Pengaruh pembatasan parpol peserta pemilu bagi keterpilihan calon-calon perempuan dapat dipahami sebagai berikut: jika jumlah parpol peserta pemilu sedikit, peluang keterpilihan calon perempuan besar, karena perolehan kursi terkonsentrasi hanya pada beberapa parpol. Dalam hal ini berlaku kecenderungan, semakin banyak kursi yang didapatkan parpol, semakin besar pula peluang calon perempuan terpilih. Sebaliknya, bila perolehan kursi tersebar ke banyak parpol, peluang perempuan lebih kecil karena parpol yang hanya mendapat sedikit kursi (katakanlah satu atau dua kursi) cenderung tidak menyertakan calon perempuan di dalamnya.
60 Ibid, halaman 7
82
Sementara itu penerapan parliamentary threshold dalam praktik pemilu proporsional juga menguntungkan perempuan. Berlaku kecenderungan bahwa semakin besar angka parliamentary threshold, semakin sedikit parpol masuk parlemen; dan semakin sedikit parpol masuk parlemen, semakin besar perolehan kursinya sehingga calon perempuan yang terpilih juga semakin besar. Lalu bagaimana pengaruh variabel teknis langsung terhadap keterpilihan calon-calon perempuan.
Pertama, pembentukan daerah pemilihan (dapil). Dalam sistem proporsional, jumlah kursinya selalu banyak (multi-member constituency). Berdasarkan jumlah kursi di setiap dapil, terdapat tiga tipe dapil, yaitu: pertama, kursi kecil (2-5 kursi); kedua, kursi menengah (6-10 kursi); dan kursi besar (lebih dari 11 kursi). Jumlah kursi besar memang menguntungkan perempuan karena kian banyak perempuan yang bisa dicalonkan. Namun apabila dilihat dari calon terpilih, jumlah kursi besar merugikan perempuan karena perolehan kursi tersebar, padahal calon utama setiap parpol biasanya laki-laki.
Kedua, metode pencalonan. Metode pencalonan dalam sistem proporsional dibedakan atas daftar tertutup (close List PR) dan daftar terbuka (open List PR), serta MPP dan STV. Metode pencalonan tertutup justru menguntungkan perempuan, lebih-lebih bila daftar calon disusun secara selang-seling atau zigzag: calon laki-laki–calon perempuan atau calon perempuan–calon laki-laki. Karena dengan daftar calon tertutup pemilih hanya memilih parpol dan calon terpilih ditentukan berdasarkan nomor urut; jika parpol meraih sedikitnya dua kursi, bisa dipastikan terdapat perempuan di dalamnya.
Ketiga, metode pemberian suara, yang terkait langsung dengan metode pencalonan. Jika metode pencalonan menggunakan Close List PR, pemilih cukup memilih parpol saat memberikan suaranya. Sebaliknya pada daftar terbuka, pemilih bisa memilih parpol dan calon, atau calon saja. Bagaimanapun metodenya, berdasarkan pengalaman di banyak negara, metode memberikan suara kepada parpol adalah yang paling menguntungkan calon perempuan.
Keempat, formula perolehan kursi. Para ahli pemilu membedakan dua jenis formula perolehan kursi, yaitu: pertama, metode kuota, di antaranya yang banyak dipakai adalah varian Hamilton/Hare/Niemeyer; dan kedua , metode divisor dengan varian metode d’Hondt dan metode Webster/St Lague. Dengan melihat berapa banyak parpol yang memperoleh kursi di setiap dapil, metode d’Hondt menguntungkan calon perempuan.
Kelima, formula calon terpilih. Penetapan calon terpilih sangat menguntungkan calon perempuan apabila dilakukan berdasarkan nomor urut sebagaimana metode pencalonan List PR. Memainkan variabel teknis langsung maupun tidak langsung dalam sistem pemilu tersebut bisa dimanfaatkan gerakan keterwakilan perempuan untuk meningkatkan jumlah perempuan di parlemen melalui pemilu yang demokratis. Pada titik inilah berbagai model kebijakan afirmasi mendapat ruang untuk diadopsi dalam pengaturan sistem pemilu melalui undang-undang pemilu. 61
61 Sidik Pramono, Meningkatkan Keterwakilan Perempuan (Penguatan Kebijakan Afirmasi), www.kemitraan.or.id, dunduh tanggal 17 Januari 2013
83
Tabel 4
Sejarah Perkembangan Partai Politik di Indonesia
Periode
Pemerintahan
Sistem Pemerintahan Sistem Partai
1908-1942 Zaman Kolonial Sistem multi partai
1942-1945 Zaman Pendudukan Jepang Partai Politik Dilarang
17 Agustus
1945
Zaman Demokrasi
Parlementer
A. Masa Perjuangan
17 Agustus -
14 November
1945
1. Sistem Presidensial;
UUD 1945
Satu partai PNI
14 November
1945-
Agustus 1949
2. Sistem
Paerlementer; UUD
1945
Sistem multi partai
1949-1950 3. Sistem Parlementer;
UUD RIS
Sistem multi partai
1950-1955 B. Masa
Pembangunan
4. Sistem Parlementer;
UUD 1950
Sistem multi partai.
Pemilihan umum 1955
menghasilkan 27 partai dan
1 perorangan yang
memperoleh kursi di DPR
1955-1959 5. Sistem Parlementer; Sistem multi partai
84
UUD 1950
1959-1965 Demokrasi Terpimpin;
UUD 1945
1. 1959
Maklumat Pemerintah 3
November 1945 dicabut.
Diadakan penyederhanaan
partai sehingga hanya 10
partai yang diakui : PKI,
PNI, NU, Partai Katolik,
Partindo, Parkindo, Partai
Murba, PSII Arujdi, IPKI
dan Partai Islam Perti.
Masyumi dan PSI
dibubarkan pada tahun
1960.
2. 1960 Dibentuk front nasional
yang mewakili semua
kekuatan politik. PKI masuk
berdasarkan prinsip
Nasakom. ABRI masuk
lewat IPKI.
1965-1998 Demokrasi Pancasila;
UUD 1945
1. 1966 PKI dan Partindo di
bubarkan
85
2. 27 Juli 1967 Konsensus nasional a.l 100
anggota DPR diangkat.
3. 1967-1969 Eksperimen dwi partai dan
dwi group dilakukan di
beberapa kabupaten di Jawa
Barat, namun dihentikan
pada awal 1969.
4. 1971 Pemilihan umum dengan 10
partai
5. 1973 Penggabungan partai
menjadi 3 partai yaitu
Golkar, PDI, dan PPP
6. 1977, 1982, 1987,
1992, dan 1997
Pemilihan umum hanya
diikuti oleh tiga orsospol
(sistem multi partai
terbatas) PPP, Golkar, PDI.
7. 1982 Pancasila satu-satunya azaz
8. 1984 NU Khittah
9. 1996 PDI pecah
1998 (21
Mei)...
Reformasi; UUD 1945
yang diamandemen
Kembali ke sistem multi
partai.
Pemilu dengan 48 partai; 21
partai masuk DPR.
86
Pemilu dengan 24 partai; 7
partai masuk DPR, yaitu
Golkar, PDIP, PKB, PPP,
Partai Demokrat, PKS, dan
PAN.
Terhadap produk hukum undang-undang sendiri, kesetaraan gender telah
diatur dalam Undang-Undang nomor 7 tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi
Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (biasa
disingkat Konvensi Wanita). Sejak itu pula, Konvensi ini resmi menjadi sumber
hukum formal berkekuatan/berkedudukan setingkat dengan undang-undang.
Ratifikasi telah diatur dalam Undang-Undang nomor 24 tahun
2000 tanggal 23 Oktober 2000, tentang Perjanjian Internasional yang menentukan
dalam : pasal 1 butir 2: pengesahan (perjanjian internasional) adalah perbuatan
hukum untuk mengikat diri pada suatu perjanjian internasional dalam bentuk
ratifikasi (ratification ), aksesi (accession), penerimaan (acceptance), dan
persetujuan (approval).62
Makna ratifikasi Konvensi Wanita yang memerlukan perhatian khusus adalah yang tersurat dan tersirat dalam pasal 1 Undang-Undang nomor 7 tahun 1984 yang mengatakan bahwa Pengesahan Konvensi Wanita dilakukan dengan pensyaratan (reservation) terhadap pasal 29 ayat (1) tentang penyelesaian perselisihan antara dua atau lebih Negara peserta Konvensi Wanita mengenai penafsiran atau penerapan Konvensi ini. Indonesia mengakui cara interpretasi hukum yang dikembangkan ilmu hukum, seperti penafsiran atau interpretasi gramatikal, sistematis, historis undang-undang dan historis hukum, teleologis yaitu berdasarkan tujuan hukum secara tekstual, kontekstual ata u sosiologis, dan komparatif. Karena tujuan menjadi dasar maka tolak ukur yang dipakai adalah
62 Ibid, halaman 20
87
tujuan Konvensi Wanita yaitu penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita dan terwujudnya keadilan dan kesetaraan gender. Penjelasan umum Undang-Undang nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Wanita, yang mengatakan bahwa dalam pelaksanaannya, ketentuan dalam Konvensi ini wajib disesuaikan dengan tata kehidupan masyarakat yang meliputi nilai-nilai budaya, adat istiadat serta norma-norma keagamaan yang masih berlaku dan diikuti secara luas oleh masyarakat Indonesia.63 Implikasinya adalah, bahwa aparat negara, aparat provinsi dan daerah lainnya, legislator di pusat maupun daerah, aparat penegak hukum baik pusat maupun daerah dapat dituntut pertanggung jawabannya (accountable) jika :
a. Masih ada ketentuan hukum yang diskriminatif; b. Tidak ditegakan perlindungan hukum bagi wanita terhadap
praktek/tindakan diskriminasi; c. Lembaga-lembaga negara dan penajabt pemerintah itu sendiri melalukan
diskriminasi. 64 Konvensi Perempuan merupakan perjanjain internasional tentang
perempuan yang paling komperhensif, menetapkan kewajiban hukum yang mengikat untuk mengakhiri diskriminasi. Konvensi ini menetapkan persamaan antara perempuan dan laki-laki dalam menikmati hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Diskriminasi terhadap perempuan akan dihapuskan melalui langkah-langkah hukum, kebijakan dan program maupun melalui kegiatan khusus permanen untuk mempercepat persamaan, atau kesetaraan perempuan yang diartikan sebagai tindakan non diskriminasi. 65
Dasar hukum Undang-Undang tentang ratifikasi Konvensi Wanita seperti
terlihat dalam diktum Mengingat bukan suatu undang-undang tetapi langsung
UUD 1945 pasal 27 ayat (1) dan TAP MPR No.II/MPR/1983 tentang GBHN.
Dalam diktum menimbang butir a, dinyatakan bahwa segala bentuk diskriminasi
terhadap wanita harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD
1945. 66
63 Ibid, halaman 21 64 Ibid, halaman 23 65 Tri Lisiani Prihatinah, Hukum dan Kajian Gender , Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2010, halaman 48 66 Ache Sudiarti Luhulima, Bahan Ajar tentang Hak Perempuan : UU No.7 tahun 1984 Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita , Buku Obor, Jakarta, 2007, halaman 21
88
Konsekuensi dari Ratifikasi Konvensi Wanita yaitu Negara Republik
Indonesia menyetujui pernyataan :
a. Mengutuk diskriminasi terhadap wanita dalam segala bentuknya;
b. Bersepakat untuk menjalankan dengan segala cara yang tepat, tanpa
ditunda-tunda, kebijakan menghapus diskriminasi terhadap wanita.
Gerakan perempuan di Indonesia tidak dapat dielakkan lagi adalah karena
pengaruh dari gerakan-gerakan perempuan Internasional, Feminisme liberal
berkembang di barat pada abad ke-18, bersamaan dengan semakin populernya
arus pemikiran baru (enlighment atau age of reason ). Dasar yang dipakai adalah
doktrin John Locke tentang Natural Right (hak asasi manusia), yaitu memandang
semua orang diciptakan dengan hak-hak yang sama dan mereka mempunyai hak-
hak yang sama untuk memajukan dirinya. Feminisme ini menempatkan
perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual.
Menurut feminisme liberal, agar persamaan hak antara pria dan wanita dapat terjamin pelaksanaannya, maka perlu ditunjang oleh dasar hukum yang kuat. Oleh karena itu feminisme liberal lebih memfokuskan perjuangan mereka pada perubahan segala undang-undang dan hukum yang dianggap dapat melestarikan institusi keluarga yang patriarkal.67
Feminisme liberal berlandaskan teori bahwa subordinasi perempuan
terjadi karena ada sekumpulan budaya dan hukum yang membatasi akses dan
sukses perempuan dalam sektor publik. Pembatasan itu terjadi karena ada
keyakinan yang salah bahwa perempuan tidak sekuat dan secerdas laki-laki.
Dalam mengembangkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, ada
dua paradigma. Paradigma pertama disebut Women in Devolepment (WID). Istilah
67 Riant Nugroho, Gender dan Strategi Pengarus-Utamaannya di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2011, halaman 65.
89
ini pettama kali digunakan oleh Women’s Committee of the Washington D.C
Chapter of the Society for International Development pada awal 1970-an. Mulai
saat itu WID digunakan sebagai pendekatan terhadap isu-isu perempuan dengan
didasarkan pada paradigma modernisasi. Konsep ini mengikutsertakan partisipasi
perempuan dalam pembangunan. Prinsip-prinsip ini dasarnya berangkat dari
gagasan bahwa perempuan berada dibelakang karena mereka tidak ikut serta
dalam pembangunan.
Isu yang berkembang adalah bahwa perempuan ke kurangan akses kedalam nilai pembangunan, khususnya dalam konteks ekonomi. Seperti yang diungkapkan oleh Razavi dan Miller, meskipun didukung oleh suatu analisis yang mengedepankan subordinasi perempuan, pendekatannya cenderung terkonsentrasi pada tidak adanya akses bagi perempuan kedalam sumber-sumber (pembangunan) sebagai kunci subordinasi mereka tanpa mempertanyakan lagi peran hubungan gender dalam membatasi akses-akses tadi. 68 Sasaran dari pendekatan ini adalah kalangan perempuan dewasa yang secara ekonomi miskin. Bagi kalangan liberal dari barat sangat terasa pengaruhnya dengan pendekatan WID ini. Pada masa itulah maka dumulailah proyek-proyek yang berusaha keras untuk meningkatkan akses perempuan khususnya perempuan dewasa miskin untuk dapat meningkatkan pendapatannya. Proyek yang dijalankan untuk meningkatakan pendapatan perempuan ini contohnya melalui kegiatan-kegiatan keterampilan, seperti menjait, menyulam, dan lain sebagainya. 69
Proyek seperti ini ternyata dalam pelaksanaannya sering mengalami kegagalan. Penyebab dari kegagalan ini antara lain karena, pertama, pelaksana proyek dengan mudah mengasumsikan bahwa semua perempuan pada dasarnya memiliki keterampilan-keterampilan seperti itu. Padahal pada kenyataannya, tidak semua perempuan memiliki keterampilan atau mempunyai keinginan untuk memilih kegiatan-kegiatan seperti : menjahit, menyulam, dan lain sebagainya. Kedua, hasil kerajinan yang dibuat perempuan-perempuan tersebut, baik dari segi motof maupun desain ternyata kurang mendapat respon yang baik di pasaran. Akibatnya produk-produk mereka tidak laku terjual, dan ini sangat berkaitan karena pelaksana proyek kurang bisa membaca selera pasar. Selain itu dalam pelaksanaannya proyek-proyek ini kurang ditangani secara serius, sehungga kesannya hanya merupakan proyek yang bersifat amal semata, bukan berdimensi pemberdayaan. Umumnya pemikiran-pemikiran dari pelaksana proyek masih terjebak dalam penilaian sterotipe perempuan, dimana perempuan hanyalah 68 Riant Nugroho, Gender dan Administrasi Publik , Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008, halaman 73. 69 Riant Nugroho, Gender dan Strategi Pengarus-Utamaannya di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2011, halaman 138.
90
pencari nafkah nomor dua, karena suamilah yang dianggap pencari nafkah utama. Hasil yang didapat dari proyek ini diasumsikan hanyalah untuk sekedar menambah pendapatan keluarga. 70
Gender and Development (GAD) merupakan paradigma baru-dan kedua- dalam meletakkan kesejajaran antara laki-laki dan perempuan. Paradigma ini di banyak tempat menggantikan paradigma pertama. WID dengan latar belakang modernisasi digantikan oleh GAD dengan pendekatan pembangunan pasca modernis. Sebenarnya, transfomasi tidak terjadi secara langsung dari WID ke GAD, melainkan melalui era WAD (Women and Development) yang dapat dilihat sebagai berikut :71
Tabel 5
WID, WAD, dan GAD
WID WAD GAD
Asal-usul Tahun 1970-
an,
diperkenalkan
oleh kaum
feminis liberal
Amerika
Pertengahan
tahun 1970-an,
muncul sebagai
kritik terhadap
WID
Tahun 1980-an,
alternatif dari
WID
Landasan
Teori
Modernisasi Dependensi Feminis,
sosialis
Fokus Partisipasi
perempuan
dalam
pembangunan
Kritisi bahwa
pengintegrasian
pada praktiknya
adalah
marginanlisasi.
Pendekatan
holistik
berkenaan
dengan peran
gender dan
70 Ibid, halaman 139 71 Riant Nugroho, Gender dan Administrasi Publik , Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008, halaman 75.
91
peran sex.
Kontribusi Perempuan
nampak dalam
proses
pembangunan
Pemahaman
terhadap
kesenjangan
struktural.
Kesetaraan dan
kebersamaan
laki-laki dan
perempuan
dalam
pembangunan.
Gambaran
Umum
Perempuan
dianggap
dipisahkan dari
pembangunan,
karena itu
harus
diintegrasikan.
Desakan
perubahan
struktural
dalam
penguasaan
sumberdaya
produktif
Penolakan
dikotomi
publik/domesti
k; penguatan
hak-hak
perempuan
untuk mencapai
kesetaraan
relasi dengan
laki-laki.
Tabel 6
WID versus GAD
WID GAD
Pendekatan Berusaha
mengintegras ikan
Berusaha
memberdayakan dan
92
perempuan kedalam
proses pembangunan
mentransformasi
hubungan tak setara
antara laki-laki dan
perempuan
Fokus Perempuan Hubungan setara
laki-laki dan
perempuan
Permasalahan Pengesampingan
perempuan dari
proses pembangunan
Hubungan kekuatan
tak setara yang
menghalangi
pembangunan yang
layak dan partisipasi
penuh masyarakat.
Sasaran Pembangun yang
lebih efisien dan
efektif
Pembangunan yang
layak dan
berkelanjutan. Laki-
laki dan perempuan
berbagi dalam
pembagian
keputusan dan
kekuasaan.
Strategi Menerapkan proyek-
proyek perempuan,
Mengidentifikasi dan
memperuntukkan
93
unsur-unsur
perempuan, dan
proyek-proyek
terpadu.
Meningkatkan
produktivitas dan
penghasilan
perempuan.
Meningkatkan
kemampuan
perempuan dalam
mengelola rumah
tangganya.
kebutuhan jangka
pendek yang
ditentukan oleh laki-
laki dan perempuan
untuk meningkatkan
kondisi mereka.
Mengidentifikasi dan
memperuntukkan
kepentingan laki-laki
dan perempuan
untuk jangka
panjang.
Hingga hari ini, paradigma yang mengedepan adalah WID dan GAD karena paradigma WAD fokus kepada konsep kritis semata dan tidak mampu memberikan solusi atau alternatif yang dapat dilaksanakan, sama dengan karakter pendekatan dependensia dalam pembangunan. Namun, sebagaimana halnya paradigma dalam ilmu sosial, GAD tidaklah menggantikan WID melainkan hanya meminggirkan. Artinya, GAD menjadi arus tengah (mainstream) sementara kedua paradigma lain berada dipinggir. Bahkan, masih banyak negara yang menggunakan secara bersamaan paradigma WID atau gabungan WID dengan GAD.72
72 Ibid, halaman 76
94
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Keterwakilan perempuan dalam kepengurusan Partai politik telah secara
tegas dicantumkan dalam Undang-Undang Partai Politik, yaitu sebesar 30%
dari keseluruhan pengurus Partai Politik, baik di pusat maupun di daerah.
Terhadap pencalonan legislatif pun telah diatur dalam Undang-Undang
Pemilu DPR, DPD, dan DPRD dengan kuota yang sama yaitu 30% dari
keseluruhan calon yang diajukan Partai Politik. Hanya saja, meskipun dalam
pencalonan legislatif telah diatur tentang ba tas keterwakilan perempuan,
tetapi jumlah perempuan yang berhasil duduk di kursi legislatif masih
belum mencapai kuota yang dicalonkan yakni sebesar 30%
2. Ketentuan tentang kuota bagi perempuan dalam kepengurusan Partai Politik
dan pencalonan legislatif sudah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala bentuk
Diskriminasi Terhadap Perempuan. Karena memang undang-undang ini
menghendaki agar dilakukan affirmatif dalam menperjuangkan hak politik
perempuan. Dan ke bijakan ini bukan merupakan diskriminasi.
95
B. Saran
Dari hasil penelitian dan pembahasan tentang Keterwakilan
Perempuan Dalam Kepengurusan Partai Politik dan Pencalonan Legislatif,
penulis menyarankan agar dalam pembuatan kebijakan yang menyangkut
perempuan, hendaklah pemerintah lebih peka gender dan lebih memahami
kondisi perempuan Indonesia. Peka gender disini berarti dalam pembuatan
peraturan yang berkaitan dengan perempuan, haruslah terlebih dahulu
diketahui hubungan relasi antara laki-laki dan perempuan yang terjadi di
masyarakat dan perkembangannya, karena memang emansipasi belum tentu
peka gender.
Pendidikan politik yang memadai juga mutlak diperlukan dalam
rangka terwujudnya cita-cita emansipasi bagi perempuan. Dalam hal ini partai
politik dengan fungsi sosialisasi politik menjadi garda terdepan dalam
memberikan pendidikan politik terutama kepada perempuan, dimana
pendidikan politik ini akan ditindak lanjuti dalam proses rekrutmen sendiri.
Walaupun memang perlu diinsyafi bahwa stereotipe yang disandang
perempuan Indonesia justru menjadikan kesadaran perempuan menjadi minim
terhadap dunia politik, namun hal ini bukan berarti tanpa penyelesaian.
Institusi keluarga yang menjadi akar dari masyarakat perlu mengalami
perubahan dalam pandangannya mengenai kedudukan anggota keluarga.
Adalah sudah tidak relevan lagi terjadi ketergantungan seorang istri kepada
suaminya karena hal ini adalah akar dari permasalahan perempuan. Perempuan
seringkali disubordinasikan dalam keluarga yang lagi-lagi menjadikan
96
perempua n semakin tidak berminat dalam dunia politik. Oleh karena itu
perempuan juga harus sadar mengenai hak-haknya terutama hak-hak
politiknya.
97
Daftar Pustaka
Pustaka Buku
Budiardjo, Miriam. 2010, Dasar-Dasar Ilmu Politik , Jakarta, Gramedia Pustaka Utama Fakih, Mansour. 1999, Analisis Gender & Transformasi Sosial, Yogyakarta, Pustaka Pelajar Hasbullah, M.Afif, 2005, Politik Hukum Konvensi HAM di Indonesia Upaya
Mewujudkan Masyarakat yang Demokratis, Lamongan, UNISDA Huda, Ni’Matul. 2007, Lembaga Negara Masa Transisi Menuju Demokrasi,
Yogyakarta, UII Press --------------------. 2010, Hukum Tata Negara Indonesia , Jakarta, Rajawali
Press Ibrahim, Johnny. 2005, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif , Malang, Bayu Media Koirudin. 2004, Partai Politik dan Agenda Transisi Demokrasi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar Luhulima, Ache Sudiarti. 2007, Bahan Ajar Tentang Hak Perempuan : UU No. 7 tahun 1984 Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita, Jakarta, Obor Mas’oed, Mochtar. 1986, Perbandingan Sistem Politik , Yogyakarta, Universitas Gadjah Mada Press Mar’Iyah Chusnul, 2000, Radio dan Politik Perempuan , Deli Serdang,
Yayasan Hapsari Perbaungan Marzuki, Peter Mahmud. 2010, Penelitian Hukum Normatif , Jakarta, Gramedia MD, Mahfud. 1999, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Yogyakarta, Gama Media Muladi, 2005, Hak Asasi Manusia (Hakekat, Konsep, & Implikasinya dalam
Perspektif Hukum dan Masyarakat), Bandung, Refika Aditama -----------------. 2011, Politik Hukum di Indonesia , Jakarta, Rajawali Press
98
Nugroho, Riant. 2008, Gender dan Administrasi Publik , Yogyakarta, Pustaka Pelajar
---------------------. 2011, Gender dan Strategi Pengarus-Utamaannya di Indonesia, Yogyakarta, Pustaka Pelajar Prihatinah, Tri Lisiani. 2010, Hukum dan Kajian Jender, Semarang, Badan Penerbit Universitas Diponegoro Soekanto, Soerjono. 1986, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta, rajawali Press Sukarna. 1981, Sistem Politik , Bandung, Alumni
Sunggono, Bambang. 2006, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta, Raja Grafindo Persada
Syamsudin, M. 2007. Oprasionalisasi Penelitian Hukum, Jakarta, Raja
Grafindo Persada
Perundang-Undangan UUD 1945 Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Perempuan Undang-Undang No.2 Tahun 1999 tentang Partai Politik Undang-Undang No.3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR,
DPD, dan DPRD Undang-Undang No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR,
DPD, dan DPRD Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik Undang-Undang No.10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota, DPR,
DPD, dan DPRD Undang-Undang No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik
99
Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggora DPR, DPD, dan DPRD
Internet
Assiddiqie, Jimly. Hak Konstitusional Perempuan dan Tantangn Penegakannya, http://www.jimly.com , diunduh pada tanggal 1 Oktober 2012 Manar, Dzunuwanus Ghulam. Perempuan di Ranah Politik : Ancaman atau Peluang , http://eprints.undip.ac.id, diunduh pada tanggal 2 Oktober 2012 Siahaan, Maruarar. Hak Konstitusi dalam UUD 1945 , http://www.elsam.or.id, diunduh pada tanggal 1 Oktober 2012 Sidik Pramono, Meningkatkan Keterwakilan Perempuan (Penguatan Kebijakan Afirmasi), http:// www.kemitraan.or.id, diunduh pada tanggal 17 Januari 2013 Sondakh, Angelina. Perempuan & Politik , http://www.angelinasondakh.com, diunduh pada tanggal 2 Oktober 2012