keterlambatan motorik pada anak
-
Upload
herlina-rudianto -
Category
Documents
-
view
566 -
download
6
description
Transcript of keterlambatan motorik pada anak
KETERLAMBATAN MOTORIK
OLEH :
Dr. HERLINA
PEMBIMBING :
Dr. EVA CHUNDRAYETTI, SpA (K)
PPDS ILMU KESEHATAN ANAK FK UNAND /
RSUP. DR. M. DJAMIL
PADANG
2012
1
PENDAHULUAN
Salah satu aspek penting pada proses perkembangan ialah perkembangan motorik karena
merupakan awal dari kecerdasan dan emosi sosialnya. Menurut Gunarsa (1985) perkembangan motorik
merupakan bertambah matangnya perkembangan otak yang mengatur sistem saraf otak (neoromuskular)
memungkinkan anak-anak lebih lincah dan aktif bergerak. Perkembangan motorik memungkinkan anak dapat
melakukan segala sesuatu yang terkandung dalam jiwanya dengan sewajarnya.
Dengan perkembangan motorik, anak makin kaya dalam bertingkah laku sehingga memungkinkan anak
memperkaya perbendaharaan mainannya bahkan memungkinkan anak memindahkan aktifitas
bermainnya, kreativitas belajar dan bekerja, memungkinkan anak melakukan kewajiban tugas-
tugas bahkan keinginan-keinginannya sendiri (soejanto, 2005).
Beberapa prinsip dasar perkembangan motorik anak :
1. Proses perkembangan berlangsung secara berkesinambungan dari satu tahap ke tahap
berikutnya meskipun kecepatannya bervariasi dari anak ke anak.
2. Proses perkembangan motorik ini telah terprogram secara genetik (diturunkan) dan
faktor lingkungan sedikit pengaruhnya.
3. Proses perkembangan motorik memerlukan perkembangan otak yang optimal sesuai
dengan tahapan umurnya.
4. Pola perkembangan motorik dimulai dari bagian atas tubuh yaitu dari kepala, kemudian
leher, batang tubuh dan ke kaki (cephalocaudal).
5. Keterampilan motorik kasar dapat dikuasai dan selanjutnya menjadi semakin halus dan
berfungsi semakin baik (inner to outer).
6. Gerakan yang bersifat umum dan tidak teratur menjadi gerakan yang spesifik dan
bertujuan (simple to complex).
2
Perkembangan motorik sangat dipengaruhi oleh organ otak. Otaklah yang mengatur setiap
gerakan yang dilakukan oleh anak, semakin matangnya perkembangan sistem saraf otak yang
mengatur otot memungkinkan berkembangnya kompetensi atau kemampuan motorik anak.
Perkembangan motorik berbeda tingkatannya pada setiap individu, ada yang perkembangan
motoriknya sangat baik, ada juga yang tidak seperti orang yang memiliki keterbatasan fisik, anak
usia empat tahun bisa dengan mudah menggunakan gunting sementara yang lainnya mungkin akan bisa
setelah berusia lima atau enam tahun. Anak tertentu mungkin akan bisa melompat dan menangkap
bola dengan mudah sementara yang lainnya mungkin hanya bisa menangkap bola yang besar
atau berguling-guling (Parenting islami, 2008).
Masih tingginya angka kejadian gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada anak usia
balita khususnya gangguan perkembangan motorik didapatkan 23,5 (27,5%) / 5 juta anak
mengalami gangguan(UNICEF, 2005). Hal ini dipicu oleh kurangnya deteksi dini dan kurangnya stimulasi
yang diberikan untuk mendukung perkembangan motorik halus. Pada tahun pertama, sering kali tenaga
kesehatan dan orang tua lebih memfokuskan pada perkembangan motorik kasar saja. Sehingga
sering terkecoh pada perkembangan motorik yang dianggap normal tersebut dengan suatu
harapan yang semu terhadap kemampuan intelektual anak. Kemampuan intelektual anak dapat
dilihat pada perkembangan bahasa dan pemecahan masalah. Selain itu perhatian kurang
diberikan pada perkembangan motorik halus. Padahal perkembangan motorik halus merupakan
indikator yang lebih baik daripada motorik kasar, dalam diagnosis gangguan motorik pada anak.
Perkembangan motorik halus yang paling awal adalah jari-jari tangan yang tidak mengenggam lagi
pada bayi umur 3 bulan. Bila masih menggenggam setelah umur 3 bulan dicurigai adanya serebral palsi.
Gejala-gejala yang sering dikeluhkan orang tua dalam perkembangan motorik anak :
Motorik halus : tidak dapat membuat garis lurus, tidak dapat menulis nama, tidak dapat menggambar
suatu bentuk, tidak benar dalam memegang pensil, belum dapat makan menggunakan sendok /
makan masih berantakan.
Motorik kasar : canggung, berjalan aneh, belum dapat naik sepeda, sering terjatuh, pincang, kurang
keseimbangan, tidak menyukai sepak bola.
3
Secara teori faktor penyebab gangguan motorik halus maupun kasar yaitu faktor intrinsik
(genetik, ras, umur, jenis kelamin, bangsa), faktor ekstrinsik (gizi, masa prenatal, intranatal, post
natal, zat toksik atau kimia, radiasi), tingkat pengetahuan dan sosial ekonomi. Dampak yang terjadi
apabila kurangnya pencegahan gangguan perkembangan motorik halus pada anak usia
toddler akan menyebabkan perkembangannya tidak sesuai dengan umur. Pada anak usia
toddler seharusnya sudah mampu dalam hal motorik halus yaitu menggambar, melukis, bernyanyi tetapi
jika ada penyimpangan anak hanya mampu untuk melaksanakan tahap perkembangan motorik
halus dibawah usia perkembangannya. Solusi yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya
gangguan perkembangan motorik halus pada anak usia toddler yaitu dengan melakukan deteksi dini
tumbuh kembang anak, skrining, orang tua memberikan stimulasi lebih awal untuk merangsang
kemampuan motorik halus anak.
Faktor – Faktor Yang Berhubungan Dengan Keterlambatan Perkembangan Motor
Faktor Familial
Keterlambatan dapat merupakan faktor keturunan. Hal ini mungkin disebabkan belum
matangnya kontrol korteks otak, prefrontal dengan jaras-jarasnya, ganglia basal dan serebelum akibat
proses mielinisasi yang lambat. Anak-anak ini dikemudian hari akan menjadi anak yang normal dan
sehat.
Faktor Lingkungan
Keterlambatan anak-anak yang berada di tempat penitipan mungkin akibat kurangnya stimulasi
dan latihan. Demikian juga bayi-bayi yang dibedong kakinya untuk mencegah rikets, knock-knee atau
bow legs akan terlambat berjalan karena kelemahan tungkainya.
Kepribadian
Anak yang kurang percaya diri, terlalu hati-hati atau kehilangan kepercayaan dirinya akibat
jatuh, mungkin akan terlambat berjalan. Bila keberaniannya muncul maka ia akan dapat berjalan dengan
4
baik karena dasar neuorologis untuk berjalan sebenarnya sudah dimilikinya dan keterlambatannya ini
tidak mumpunyai dasar kelainan organik.
Gizi
Anak yang kegemukan akan telambat berjalan bila orang tuaya khawatir berat badannya akan
memberikan beban pada tungkainya yang mungkin menyebabkan deformitas postural.
Mental Subnormal
Pasien sindrow Down, akan lebih lambat berjalan dibandingkan anak-anak lain dengan
kecerdasan setaraf akibat hipotonia. Keterlambatan umum sitiarsitektonik (dendrit, sinaps, mielinisasi),
rasa keingintahuan, stimulasi yang kurang dan faktor emosi mungkin berperanan juga.
Serebral Palasi
Beratnya kelainan perkembangan motor pasien palsi serebral tergantung pada jenis, berat dan
distribusi anatomi palsi serebral serta pada kecerdasan pasien. Walaupun belum terlihat tanda kelainan
neurologis, keterlambatan perkembangan motor yang mencolok paling sering disebabkan palsi serebral.
Pada stadium lanjut baru akan terlihat kelainan postur dan gerak
Kelainan Tonus Otot
Hipertonia dan hipotenia akan menyebabkan perkembangan terlambat. Di samping serebral
palsi, hipotonia juga dapat disebabkan lesi medula spinalis atau penyakit lower motor neuron, penyakit
otot instrinsik dan gangguan fisik umum seperti pada rikets atau setiap penyakit berat lain.
Penyakit Neuromuskular
Pasien penyakit neuromuskular seperti penyakit Wearding-Hoffman atau Duchenne muscular
dystrophy akan terlambat perkembangannya.
Ngesot
Anak-anak yang bergerak dengan ngesot lebih lambat berdiri dan berjalan dari pada anak yang
merangkak.
5
Buta
Bayi-bayi yang buta mungkin akan terlambat berjaln bila kurang diberikan kesempatan belajar
berjalan karena takut akan melukai dirinya sendiri.
Tidak diketahui penyebabnya
Ada anak-anak yang sampai berusia 2 tahun atau lebih belum dapat berjalan tanpa sebab yang
jelas. Bila tidak disebabkan kerusakan susunan saraf pusat atau disertai gangguan perkembangan
mental, keadaan ini bukan masalah yang serius.
CEREBRAL PALSY
Cerebral palsy adalah suatu gangguan atau kelainan yang terjadi pada suatu kurun waktu dalam
perkembangan anak, mengenai sel-sel motorik di dalam susunan saraf pusat, bersifat kronik
dan tidak progresif akibat kelainan atau cacat pada jaringan otak yang belum selesai
pertumbuhannya. Walaupun lesi serebral bersifat statis dan tidak progresif, tetapi
perkembangan tanda-tanda neuron perifer akan berubah akibat maturasi serebral.
Yang pertama kali memperkenalkan penyakit ini adalah William John Little (1843), yang
menyebutnya dengan istilah cerebral diplegia, sebagai akibat prematuritas atau afiksia
neonatorum. Sir William Olser adalah yang pertama kali memperkenalkan istilah cerebral palsy,
sedangkan Sigmund Freud menyebutnya dengan istilah Infantile Cerebral Paralysis.
Walaupun sulit, etiologi cerebral palsy perlu diketahui untuk tindakan pencegahan. Fisioterapi
dini memberi hasil baik, namun adanya gangguan perkembangan mental dapat menghalangi
tercapainya tujuan pengobatan.
Winthrop Phelps menekankan pentingnya pendekatan multi-disiplin dalam penanganan
penderita cerebral palsy, seperti disiplin anak, saraf, mata, THT, bedah tulang, bedah saraf,
psikologi, ahli wicara, fisioterapi, pekerja sosial, guru sekolah Iuar biasa. Di samping itu juga
harus disertakan peranan orang tua dan masyarakat.
Dengan meningkatnya pelayanan obstetrik dan perinatologi dan rendahnya angka kelahiran di
negara-negara maju seperti Eropa dan Amerika Serikat angka kejadian cerebral palsy akan 6
menurun. Namun di negara-negara berkembang, kemajuan teknologi kedokteran selain
menurunkan angka kematian bayi risiko tinggi, juga meningkatkan jumlah anak-anak dengan
gangguan perkembangan.
ETIOLOGI
Penyebab cerebral palsy dapat dibagi dalam tiga periode yaitu:
1) Pranatal :
a) Malformasi kongenital.
b) Infeksi dalam kandungan yang dapat menyebabkan kelainan janin (misalnya; rubela,
toksoplamosis, sifilis, sitomegalovirus, atau infeksi virus lainnya).
c) Radiasi.
d) Toksemia gravidarum.
e) Asfiksia dalam kandungan (misalnya: solusio plasenta, plasenta previa, anoksi maternal, atau
tali pusat yang abnormal).
2) Natal :
a) Anoksia/hipoksia.
b) Perdarahan intra kranial.
c) Trauma lahir.
d) Prematuritas.
3) Postnatal :
a) Trauma kapitis.
b) Infeksi misalnya : meningitis bakterial, abses serebri, tromboplebitis, ensefalomielitis.
c) Kern icterus.
Beberapa penelitian menyebutkan faktor prenatal dan perinatal lebih berperan daripada faktor
pascanatal. Studi oleh Nelson dkk (1986) menyebutkan bayi dengan berat lahir rendah, asfiksia
saat lahir, iskemi prenatal, faktor genetik, malformasi kongenital, toksin, infeksi intrauterin
merupakan faktor penyebab cerebral palsy.
Faktor prenatal dimulai saat masa gestasi sampai saat lahir, sedangkan faktor perinatal yaitu
segala faktor yang menyebabkan cerebral palsy mulai dari lahir sampai satu bulan kehidupan,
sedang faktor pasca natal mulai dari bulan pertama kehidupan sampai 2 tahun (Hagberg dkk 7
1975), atau sampai 5 tahun kehidupan (Blair dan Stanley, 1982), atau sampai 16 tahun
(Perlstein, Hod, 1964).
GAMBARAN KLINIK
Gambaran klinik cerebral palsy tergantung dari bagian dan luasnya jaringan otak yang
mengalami kerusakan.
1) Paralisis
Dapat berbentuk hemiplegia, kuadriplegia, diplegia, monoplegia, triplegia. Kelumpuhan ini
mungkin bersifat flaksid, spastik atau campuran.
2) Gerakan involunter
Dapat berbentuk atetosis, khoreoatetosis, tremor dengan tonus yang dapat bersifat flaksid,
rigiditas, atau campuran.
3) Ataksia
Gangguan koordinasi ini timbul karena kerusakan serebelum. Penderita biasanya
memperlihatkan tonus yang menurun (hipotoni), dan menunjukkan perkembangan motorik
yang terlambat. Mulai berjalan sangat lambat, dan semua pergerakan serba canggung.
4) Kejang
Dapat bersifat umum atau fokal.
5) Gangguan perkembangan mental
Retardasi mental ditemukan kira-kira pada 1/3 dari anak dengan cerebral palsy terutama pada
grup tetraparesis, diparesis spastik dan ataksia. Cerebral palsy yang disertai dengan retardasi
mental pada umumnya disebabkan oleh anoksia serebri yang cukup lama, sehingga terjadi
atrofi serebri yang menyeluruh. Retardasi mental masih dapat diperbaiki bila korteks serebri
tidak mengalami kerusakan menyeluruh dan masih ada anggota gerak yang dapat digerakkan
secara volunter. Dengan dikembangkannya gerakan-gerakan tangkas oleh anggota gerak,
perkembangan mental akan dapat dipengaruhi secara positif.
6) Mungkin didapat juga gangguan penglihatan (misalnya: hemianopsia, strabismus, atau
kelainan refraksi), gangguan bicara, gangguan sensibilitas.
7) Problem emosional terutama pada saat remaja.8
KLASIFIKASI
Klasifikasi ditentukan berdasarkan gambaran klinis dan derajat kemampuan fungsionil.
Berdasarkan gejala klinis maka pembagian cerebral palsy adalah sebagai berikut:
1)Tipe spastis atau piramidal.
Merupakan bentuk cerebral palsy terbanyak (70-80%).
Pada tipe ini gejala yang hampir selalu ada adalah :
a) Hipertoni (fenomena pisau lipat).
b) Hiperrefleksi yang disertai klonus.
c) Kecenderungan timbul kontraktur.
d) Refleks patologis.
Secara topografi distribusi tipe ini adalah sebagai berikut:
a. Hemiplegia apabila mengenai anggota gerak sisi yang sama.
b. Spastik diplegia. Mengenai keempat anggota gerak, anggota gerak bawah lebih berat.
c. Kuadriplegi, mengenai keempat anggota gerak, anggota gerak atas sedikit lebih berat.
d. Monoplegi, bila hanya satu anggota gerak.
e. Triplegi apabila mengenai 3 ekstremitas, yang paling banyak adalah mengenai kedua lengan
dan satu kaki, biasanya merupakan varian dari kuadriplegi.
2) tipe atetoid / diskinetik
Tipe ini terjadi pada 10-20% penderita cerebral palsy. Bentuk ini mempunyai karakteristik
gerakan menulis yang tidak terkontrol dan perlahan. Gerakan abnormal ini mengenai tangan,
kaki, lengan atau tungkai dan pada sebagian besar kasus, otot muka dan lidah, menyebabkan
anak tampak menyeringai dan selalu mengeluarkan air liur. Gerakan sering meningkat selama
periode peningkatan stres dan hilang pada saat tidur.
3) tipe ataksid
Jarang dijumpai, mengenai keseimbangan dan persepsi dalam. Penderita yang terkena sering
menunjukkan koordinasi yang buruk; berjalan tidak stabil dengan gaya berjalan kaki terbuka
lebar, meletakkan kedua kaki dengan posisi yang saling berjauhan; kesulitan dalam melakukan
gerakan cepat dan tepat, misalnya menulis atau mengancingkan baju. Mereka juga sering 9
mengalami tremor, dimulai dengan gerakan volunter misalnya mengambil buku, menyebabkan
gerakan seperti menggigil pada bagian tubuh yang baru digunakan dan tampak memburuk
sama dengan saat penderita akan menuju obyek yang dikehendaki. Bentuk ataksid ini mengenai
5-10% penderita serebral palsy (Clement et al, 1984).
3) Tipe campuran
Gejala-gejalanya merupakan campuran gejala di atas, misalnya hiperrefleksi dan hipertoni
disertai gerakan khorea.
Berdasarkan derajat kemampuan fungsional:
1) Ringan
Penderita masih bisa melakukan pekerjaan aktifitas sehari-hari sehingga sama sekali tidak atau
hanya sedikit sekali membutuhkan bantuan khusus.
2) Sedang
Aktifitas sangat terbatas. Penderita membutuhkan bermacam-macam bantuan khusus atau
pendidikan khusus agar dapat mengurus dirinya sendiri, dapat bergerak atau berbicara. Dengan
pertolongan secara khusus, diharapkan penderita dapat mengurus diri sendiri, berjalan atau
berbicara sehingga dapat bergerak, bergaul, hidup di tengah masyarakat dengan baik.
3) Berat
Penderita sama sekali tidak bisa melakukan aktifitas fisik dan tidak mungkin dapat hidup tanpa
pertolongan orang lain. Pertolongan atau pendidikan khusus yang diberikan sangat sedikit
hasilnya. Sebaiknya penderita seperti ini ditampung dalam rumah perawatan khusus. Rumah
perawatan khusus ini hanya untuk penderita dengan retardasi mental berat, atau yang akan
menimbulkan gangguan sosial-emosional baik bagi keluarganya maupun lingkungannya.
PATOGENESIS
Perkembangan susunan saraf dimulai dengan terbentuknya neural tube yaitu induksi dorsal
yang terjadi pada minggu ke 3-4 masa gestasi dan induksi ventral, berlangsung pada minggu ke
5-6 masa gestasi. Setiap gangguan pada masa ini bisa mengakibatkan terjadinya kelainan
kongenital seperti kranioskisis totalis, anensefali, hidrosefalus dan lain sebagainya.10
Fase selanjutnya terjadi proliferasi neuron, yang terjadi pada masa gestasi bulan ke 2-4.
Gangguan pada fase ini bisa mengakibatkan mikrosefali, makrosefali.
Stadium selanjutnya yaitu stadium migrasi yang terjadi pada masa gestasi bulan 3-5. Migrasi
terjadi melalui dua cara yaitu secara radial, sel berdiferensiasi dari daerah periventrikuler dan
subventrikuler ke lapisan sebelah dalam korteks serebri; sedangkan migrasi secara tangensial
sel berdiferensiasi dari zone germinal menuju ke permukaan korteks serebri. Gangguan pada
masa ini bisa mengakibatkan kelainan kongenital seperti polimikrogiri, agenesis korpus
kalosum.
Stadium organisasi terjadi pada masa gestasi bulan ke 6 sampai beberapa tahun pascanatal.
Gangguan pada stadium ini akan mengakibatkan translokasi genetik, gangguan metabolisme.
Stadium mielinisasi terjadi pada saat lahir sampai beberapa tahun pasca natal. Pada stadium ini
terjadi proliferasi sel neuron, dan pembentukan selubung mielin.
Kelainan neuropatologik yang terjadi tergantung pada berat dan ringannya kerusakan. Jadi
kelainan neuropatologik yang terjadi sangat kompleks dan difus yang bisa mengenai korteks
motorik traktus piramidalis daerah paraventnkuler ganglia basalis, batang otak dan serebelum.
Anoksia serebri sering merupakan komplikasi perdarahan intraventrikuler dan subependim.
Asfiksia perinatal sering berkombinasi dengan iskemi yang bisa menyebabkan nekrosis.
PATOFISIOLOGI
Bukti–bukti yang ada menunjukkan bahwa faktor–factor prenatal berperan dalam 70 –
80 % kasus CP. Dalam banyak kasus, penyebab yang pasti belum diketahui, tetapi hampir
sebagian besar kasus disebabkan oleh multifaktor. Selama periode prenatal, pertumbuhan yang
abnormal dapat terjadi kapan saja (dapat karena abnormalitas yang bersifat genetik, toksik atau
infeksi, atau vascular insufficiency) (Boosara, 2004). Karena kompleksitas dan kerentanan otak
selama masa perkembangannya, menyebabkan otak sebagai subyek cedera dalam beberapa
waktu. Cerebral ischemia yang terjadi sebelum minggu ke–20 kehamilan dapat menyebabkan
defisit migrasi neuronal, antara minggu ke–24 sampai ke–34 menyebabkan periventricular
leucomalacia (PVL) dan antara minggu ke–34 sampai ke–40 menyebabkan focal atau multifocal
cerebral injury. (Boosara, 2004)
11
Cedera otak akibat vascular insufficiency tergantung pada berbagai faktor saat terjadinya
cedera, antara lain distribusi vaskular ke otak, efisiensi aliran darah ke otak dan sistem
peredaran darah, serta respon biokimia jaringan otak terhadap penurunan oksigenasi.
(Boosara, 2004) Kelainan tergantung pada berat ringannya asfiksia yang terjadi pada otak. Pada
keadaan yang berat tampak ensefalomalasia kistik multipel atau iskemik yang menyeluruh.
Pada keadaan yang lebih ringan terjadi patchy necrosis di daerah paraventrikular substansia
alba dan dapat terjadi atrofi yang difus pada substansia grisea korteks serebri. Kelainan dapat
lokal atau menyeluruh tergantung tempat yang terkena. (Anonim, 2002)
Stres fisik yang dialami oleh bayi yang mengalami kelahiran premature seperti imaturitas
pada otak dan vaskularisasi cerebral merupakan suatu bukti yang menjelaskan mengapa
prematuritas merupakan faktor risiko yang signifikan terhadap kejadian CP. Sebelum dilahirkan,
distribusi sirkulasi darah janin ke otak dapat menyebabkan tendensi terjadinya hipoperfusi
sampai dengan periventrikular white matter. Hipoperfusi dapat menyebabkan haemorrhage
pada matrik germinal atau PVL, yang berhubungan dengan kejadian diplegia spastik. (Boosara,
2004)
Pada saat dimana sirkulasi darah ke otak telah menyerupai sirkulasi otak dewasa,
hipoperfusi kebanyakan merusak area batas air korteks (zona akhir dari arteri cerebral mayor),
yang selanjutnya menyebabkan fenotip spastik quadriplegia. Ganglia basal juga dapat
terpengaruh dengan keadaan ini, yang selanjutnya menyebabkan terjadinya ekstrapiramidal
(seperti koreoathetoid atau distonik). Kerusakan vaskular yang terjadi pada saat perawatan
seringkali terjadi dalam distribusi arteri cerebral bagian tengah, yang menyebabkan terjadinya
fenotip spastik hemiplegia. (Boosara, 2004)
Tidak ada hal–hal yang mengatur dimana kerusakan vaskular akan terjadi, dan
kerusakan ini dapat terjadi lebih dari satu tahap dalam perkembangan otak janin. Autoregulasi
peredaran darah cerebral pada neonatal sangat sensitif terhadap asfiksia perinatal, yang dapat
menyebabkan vasoparalysis dan cerebral hyperemia. Terjadinya kerusakan yang meluas diduga
berhubungan dengan vaskular regional dan faktor metabolik, serta distribusi regional dari
rangsangan pembentukkan synaps. (Boosara, 2004)
12
Pada waktu antara minggu ke-26 sampai dengan minggu ke-34 masa kehamilan, area
periventricular white matter yang dekat dengan lateral ventricles sangat rentan terhadap
cedera. Apabila area ini membawa fiber yang bertanggungjawab terhadap kontrol motorik dan
tonus otot pada kaki,cedera dapat menyebabkan spastik diplegia (yaitu spastisitas utama dan
kelemahan pada kaki, dengan atau tanpa keterlibatan lengan dengan derajat agak ringan). Saat
lesi yang lebih besar menyebar sebelum area fiber berkurang dari korteks motorik, hal ini dapat
melibatkan centrum semiovale dan corona radiata, yang dapat menyebabkan spastisitas pada
ekstremitas atas dan ekstremitas bawah. (Boosara, 2004)
Suatu pengetahuan tentang urutan fase embrionik dan perkembangan otak janin, dapat
ditentukan kapan waktu terjadinya kerusakan otak. Suatu penemuan tentang kelainan migrasi
(disordered migration), seperti lissencephaly atau heterotopia grey matter, mengindikasikan
bahwa kerusakan yang terjadi sebelum 22 minggu masa gestasi akan mengganggu migrasi
neuronal normal. Periventricular leucomalacia (PVL) menunjukkan kerusakan pada white
matter. (Lin, 2003) PVL pada umumnya simetris dan diduga disebabkan oleh iskemik white
matter pada anak–anak prematur. Cedera asimetrik pada periventrikular white matter dapat
menyebabkan salah satu sisi tubuh lebih kuat daripada yang lainnya. Keadaan ini menyebabkan
gejala yang menyerupai spastik hemiplegia tetapi karakteristiknya lebih menyerupai spastik
diplegia. Matriks kapiler germinal dalam daerah periventrikular, sebagian rentan terhadap
cedera akibat hipoksik-iskemik. Hal ini disebabkan karena lokasinya yang terletak pada zona
batas vascular diantara zona akhir striate dan arteri thalamik. (Boosara, 2004)
Volpe mengklasifikasikan sistem tingkatan untuk periventricularintraventricular
hemorrhages, sebagai berikut : (Boosara, 2004)
a. grade I adalah hemorrhage yang berdampak hanya perdarahan pada subependymal (<10%
dari area periventrikular terisi dengan darah).
b. grade II adalah hemorrhage yang melibatkan 10 – 50% area periventrikular.
c. grade III adalah hemorrhage yang melibatkan >50% area periventrikular
d. beberapa ahli lain mengemukan grade IV, yaitu ada tidaknya darah parenchymal. Hal ini
diduga tidak berhubungan dengan ekstensi pendarahan ventrikular. Tetapi sebaliknya,
13
hemorrhagic infarction dapat berhubungan dengan periventricular-intraventricular
hemorrhage.
Hiperbilirubin encephalopathy akut dapat menyebabkan bentuk CP diskinetik (atau
ekstrapiramidal) yang dapat terjadi baik pada bayi lahir cukup bulan yang ditandai dengan
hiperbilirubinemia atau pada bayi prematur tanpa ditandai hiperbilirubinemia. Kernikterus
mengacu pada encephalopathy dari hiperbilirubinemia yang termasuk di dalamnya noda
kelompok nuclear yang spesifik dan nekrosis neuronal. Efek–efek ini utamanya melibatkan
ganglia basalia, sebagian globus pallidus dan subthalamic nucleus; hippocampus; substantia
nigra; beberapa nervus cranial nuclei – sebagian oculomotor, vestibular, cochlear dan facial
nerve nuclei; saraf batang otak seperti formasi retikular pada pons; saraf olivary inferior, saraf
cerebellar seperti pada dentate dan horn cells anterior dari tulang belakang. (Boosara, 2004)
Hal–hal yang memberikan distribusi kerusakan dalam kernikterus, kehilangan
pendengaran dan kelainan gerakan (terutama koreoathetosis atau distonia) adalah ciri–ciri
utama hiperbilirubin encephalopathy. Dengan perbaikan dalam manajemen awal
hiperbilirubinemia, banyak kasus CP diskinetik (atau ekstrapiramidal) tidak berhubungan
dengan riwayat hiperbilirubinemia tetapi sebaliknya diduga berhubungan dengan hypoxic injury
pada ganglia basal. Dalam ketidakhadiran hiperbilirubinemia, prematuritas, atau hipoksia,
kemungkinan suatu kelainan metabolik atau neurodegeneratif sebagai dasar fenotipe, perlu
dipertimbangkan. (Boosara,2004)
Cerebral palsy diskinetik berjumlah kurang lebih 10 % dari semua bentuk CP, umumnya
terjadi pada bayi cukup bulan. Kernicterus akibat haemolitik pada bayi baru lahir terjadi akibat
Rhesus isoimmunisation yang menjelaskan peningkatan insiden pada dekade terakhir.
Sosialisasi kebijakan antenatal untuk memberikan antibodi “anti-D” pada ibu dengan Rhesus
negatif setelah kelahiran bayi dengan Rhesus positif telah menunjukkan eradikasi pada seluruh
bentuk CP. (Lin, 2003)
Status marmoratus adalah suatu akibat neuropatologi yang ditimbulkan oleh neonatal
hypoxic-ischemic encephalopathy dan diduga lebih banyak terjadi pada bayi cukup bulan
daripada bayi prematur. Lesi ini adalah keadaan khusus munculnya gumpalan karena suatu
14
abnormalitas pembentukan myelin. Lesi ini merusak ganglia basal dan thalamus yang
menyebabkan fenotipe CP diskinetik. (Boosara, 2004)
Neuroimaging dalam penggunaan MRI, telah membantu mengklarifikasi dugaan–dugaan
tentang penyebab dan waktu terjadinya, yang mengalihkan perdebatan dari intrapartum event
(asfiksia neonatal) yang kemungkinan sebanyak 10 % kasus, menuju evaluasi faktor–faktor
antenatal atau “antecedents”. (Lin, 2004)
Figure 1. Magnetic resonance image (MRI) of a 1-year-old boy who was born at gestational week 27. The clinical
examination was consistent with spastic diplegic cerebral palsy. Pseudocolpocephaly and decreased volume of the white
matter posteriorly were consistent with periventricular leukomalacia. Evidence of diffuse polymicrogyria and thinning of the
corpus callosum is noted in this image.
15
Sumber : Abdel-Hamid HZ. Cerebral Palsy. Diakses dari
http://emedicine.medscape.com/article/1179555-overview#a0101 tanggal 12 februari 2012.
DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis lengkap tentang riwayat kehamilan, perinatal dan
pascanatal, dan memperhatikan faktor risiko terjadinya cerebral palsy. Juga pemeriksaan fisik
lengkap dengan memperhatikan perkembangan motorik dan mental dan adanya refleks
neonatus yang masih menetap.
Pada bayi yang mempunyai risiko tinggi diperlukan pemeriksaan berulang kali, karena gejala
dapat berubah, terutama pada bayi yang dengan hipotoni, yang menandakan perkembangan
motorik yang terlambat; hampir semua cerebral palsy melalui fase hipotoni.
Pemeriksaan penunjang lainnya yang diperlukan adalah foto polos kepala, pemeriksaan pungsi
lumbal. Pemeriksaan EEG terutama pada penderita yang memperlihatkan gejala motorik,
seperti tetraparesis, hemiparesis, atau karena sering disertai kejang. Pemeriksaan
ultrasonografi kepala atau CT Scan kepala dilakukan untuk mencoba mencari etiologi.
Pemeriksaan psikologi untuk menentukan tingkat kemampuan intelektual yang akan
menentukan cara pendidikan ke sekolah biasa atau sekolah luar biasa.
PENATALAKSANAAN
Tidak ada terapi spesifik terhadap cerebral palsy. Terapi bersifat simtomatik, yang diharapkan
akan memperbaiki kondisi pasien. Terapi yang sangat dini akan dapat mencegah atau
mengurangi gejala-gejala neurologik. Untuk menentukan jenis terapi atau latihan yang
diberikan dan untuk menentukan keberhasilannya maka perlu diperhatikan
penggolongan cerebral palsy berdasarkan derajat kemampuan fungsionil yaitu derajat ringan,
sedang dan berat.
Tujuan terapi pasien cerebral palsy adalah membantu pasien dan keluarganya memperbaiki
fungsi motorik dan mencegah deformitas serta penyesuaian emosional dan pendidikan
sehingga penderita sedikit mungkin memerlukan pertolongan orang lain, diharapkan penderita
bisa mandiri.16
Obat-obatan yang diberikan tergantung pada gejala-gejala yang muncul. Misalnya untuk kejang
bisa diberikan anti kejang. Untuk spastisitas bisa diberikan baclofen dan diazepam. Bila gejala
berupa rigiditas bisa diberikan levodopa.
Mungkin diperlukan terapi bedah ortopedi maupun bedah saraf untuk merekonstruksi
terhadap deformitas yang terjadi. Fisioterapi dini dan intensif untuk mencegah kecacatan, juga
penanganan psikolog atau psikiater untuk mengatasi perubahan tingkah laku pada anak yang
lebih besar. Yang tidak boleh dilupakan adalah masalah pendidikan yang harus sesuai dengan
tingkat kecerdasan penderita.
Occupational therapy ditujukan untuk meningkatkan kemampuan untuk menolong diri sendiri,
memperbaiki kemampuan motorik halus, penderita dilatih supaya bisa mengenakan pakaian,
makan, minum dan keterampilan lainnya.
Speech therapy diberikan pada anak dengan gangguan bahasa, yang ditangani seorang ahli.
PROGNOSIS
Prognosis tergantung pada gejala dan tipe cerebral palsy. Di Inggris dan Skandinavia 20-25%
pasien dengan cerebral palsy mampu bekerja sebagai buruh penuh; sebanyak 30-35% dari
semua pasien cerebral palsy dengan retardasi mental memerlukan perawatan khusus.
Prognosis paling baik pada derajat fungsionil yang ringan. Prognosis bertambah berat apabila
disertai dengan retardasi mental, bangkitan kejang, gangguan penglihatan dan pendengaran.
Pengamatan jangka panjang yang dilakukan oleh Cooper dkk seperti dikutip oleh Suwirno T
menyebutkan ada tendensi perbaikan fungsi koordinasi dan fungsi motorik dengan
bertambahnya umur pasien cerebral palsy yang mendapatkan rehabilitasi yang baik.
Cerebral Palsy dan Pengobatan Sel Induk (Stem Sel)
Sekarang, pasien dengan cerebral palsy memiliki kesempatan lebih besar untuk hidup normal
dengan bantuan terapi sel induk.
Stem sel (sel induk/sel punca) :
Sel yang tidak/belum terspesialisasi
17
berpotensi untuk berkembang menjadi berbagai jenis sel-sel yang spesifik
membentuk berbagai jaringan tubuh
Pada dekade terakhir perhatian dan penelitian dalam bidang sel punca (stem cell ) mengalami
kemajuan yang amat pesat :
memahami proses tumbuh kembang jaringan tubuh normal
memahami patogenesis penyakit
pengobatan penyakit-penyakit /kelainan yang sudah tidak mungkin untuk diobati
lagi
penelitian dan pencarian obat-obatan baru
Karakteristik stem sel :
Differentiate
kemampuan untuk berdifferensiasi menjadi sel lain yang spesifik
sel saraf
sel otot jantung
sel otot rangka
sel pankreas
Self regenerate/self renew
18
kemampuan untuk memperbaharui atau meregenerasi dirinya
sendiri
19
Jenis Sel Punca
Totipotent
Sel Punca yang dapat berdifferensiasi menjadi semua jenis sel
sel embrionik awal
Mampu membentuk berbagai jenis sel
Mampu membentuk sel-sel yang menyusun plasenta dan tali pusat
Mampu membentuk satu individu yang utuh
zigot, morula
20
Pluripotent
Sel punca yang dapat berdifferensiasi menjadi 3 lapisan germinal
ektoderm, mesoderm, dan endoderm
tetapi tidak dapat menjadi jaringan ekstraembrionik
plasenta dan tali pusat
tidak dapat berkembang menjadi 1 fetus yang utuh
sel punca embrionik (embryonic stem cells)
21
Multipotent
sel punca yang dapat berdifferensiasi menjadi banyak jenis sel
hemopoetic stem cells yang terdapat pada sumsum tulang
berdifferensiasi menjadi berbagai jenis sel yang terdapat
dalam darah (eritrosit, lekosit dan trombosit)
neural stem cells
sel saraf dan sel glia
22
Unipoten
Sel punca yang mampu
berdifferensiasi menjadi hanya satu jenis sel lainnya dan dapat
memperbaharui atau meregenerasi diri (self-regenerate/self renew)
Contohnya : erythroid progenitor cells yang hanya mampu
berdifferensiasi menjadi sel darah merah
23
Sumber Sel Punca (Stem Cells)
Zigot
tahap sesaat setelah sperma bertemu ovum (fertilisasi)
Embryonic stem cells
diperoleh dari inner cell mass dari suatu blastocyst
embrio yang terdiri atas 50-150 sel, kira-kira hari ke-5 pasca
pembuahan
biasanya didapatkan dari sisa embrio yang tidak dipakai dari IVF (in vitro
fertilization)
24
Embryonic stem cells
masih menjadi isu etik
mempunyai sifat dapat berkembang biak secara terus menerus
dalam media kultur optimal
kondisi tertentu
dapat diarahkan untuk berdifferensiasi menjadi sel jantung, sel
kulit, neuron, hepatosit
25
Fetus
Diperoleh dari klinik aborsi
Stem cell darah tali pusat
stem cell yang diambil dari darah plasenta dan tali pusat
2 tipe stem cells
hematopoetic stem cells
mesenchymal stem cells
Lainnya
neuron like stem cells
Karakteristik
immunogenicity yang lebih rendah
26
isolasinya tidak membutuhkan prosedur yang invasif
transplantasi tidak membutuhkan 100% ketepatan HLA (human
leucocyte antigen)
Adult Stem Cells
stem cells yang diambil dari jaringan dewasa
Sumsum tulang
hematopoetic stem cells yaitu stem cells yang akan
berkembang menjadi berbagai jenis sel darah
stromal stem cells atau disebut juga mesenchymal stem cell
Jaringan lain pada dewasa seperti pada susunan saraf pusat,
adiposa (jaringan lemak), otot rangka, pancreas
Adult Stem Cells
27
sifat plastis
selain berdifferensiasi menjadi sel yang sesuai dengan jaringan
asalnya juga dapat berdifferensiasi menjadi sel jaringan lain
neural stem cells dapat berubah menjadi sel darah
stromal stem cell dari sumsum tulang dapat berubah
menjadi sel otot jantung dan sebagainya
Potensi Sel Punca Dalam Terapi Cacat Lahir
Jaringan Pengganti (Repaired Tissue)
Salah satu masalah dalam koreksi cacat lahir
Dapat dibentuk dari sel punca
Dr. Dario Fauza (Boston’s Children’s Hospital)
Koreksi cacat lahir
Malformasi trakea
28
Spina bifida
Defect pada diafragma
Operasi koreksi cacat lahir secara bedah sering sulit dilakukan
Infeksi pasca bedah
Jaringan pengganti tidak tepat
Sel punca berpotensi membentuk jaringan pengganti tanpa ada reaksi penolakan
tubuh
Jaringan pengganti (repair tissue)
Dari fetus sendiri melalui biopsi
Usia kehamilan 16-18 minggu
Bahaya
Kerusakan fetus
Lahir prematur
Cairan Amnion
Mengandung sel punca yang mampu berkembang cepat
Diperoleh melalui amniosintesis
29
Saat ini tidak ada obat untuk cerebral palsy dan tidak ada terapi standar yang berhasil untuk
semua pasien. Banyak dari kerusakan otak terkait insiden yang menyebabkan cerebral palsy
terjadi selama kehamilan, membuat pencegahan sulit. Hal ini telah menyebabkan banyak
peneliti percaya terapi sel induk memberikan pilihan untuk meregenerasi jaringan syaraf dan
memperbaiki kerusakan pada otak.
Hasil pengobatan signifikan diperoleh dari menggunakan sel induk tali pusat tanpa Graft
signifikan dibandingkan komplikasi Host. (Handgretinger, 2001)
Pengobatan ini dilakukan dengan menginjeksikan sel induk ke dalam cairan sumsum tulang
belakang pasien. Setelah beberapa kali pengobatan, pasien menunjukkan tanda-tanda
perbaikan. Hal ini sedang dikembangkan di rumah sakit di China, Amerika Serikat, dan Mexico.
Penelitian invitro telah menunjukkan sel-sel induk tali pusat dapat berdiferensiasi menjadi jenis
sel saraf. Dalam model hewan, penelitian telah menunjukkan bukti yang meyakinkan bahwa
stem sel darah tali pusat disuntikkan intravena bermigrasi ke otak (melewati penghalang darah-
otak) dan meningkatkan fungsi neurologis dan mempromosikan penyembuhan. Hasil dari studi
30
tersebut menyebabkan banyak peneliti yang menunjukkan bahwa infus sel induk darah tali
pusat dapat mengurangi kerusakan pada jaringan otak, mengurangi kejang otot dan
memperbaiki masalah kiprah dan mobilitas yang terkait pada manusia.
Penelitian ini memberikan dukungan untuk pekerjaan klinis perintis pada Duke University,
difokuskan pada evaluasi dampak infus darah tali pusat autologous pada anak-anak yang
didiagnosa dengan cerebral palsy. Dr Joanne Kurtzberg, seorang profesor pediatri dan patologi
dan direktur hematologi pediatric Duke dan Program Transplantasi Sumsum, menanamkan sel
induk darah tali pusat anak kembali ke dalam tubuhnya sendiri untuk memfasilitasi perbaikan
jaringan otak yang rusak oleh hipoksia perinatal (kekurangan oksigen). Untuk saat ini, lebih dari
20 anak telah menjalani pengobatan ini dengan hasil yang sangat baik.
Developmental Coordination Disorder (DCD)
Walaupun kondisi ini pertama kali dikenal awal tahun 1990-an, namun kewaspadaan mengenai
keadaan ini baru meningkat akhir-akhir ini berdasarkan bukti bahwa prevalensnya sekitar 5%
dari anak sekolah usia primer. American Phychiatric Association / APA pada tahun 1994 dan
WHO mengklasifikasikan sindrom keterampilan pergerakan yang berbeda ini sebagai gangguan
koordinsi perkembangan (developmental coordination disorder, DCD). Dalam konsensus
internasional yang ditujukan untuk mendiskusikan berbagai label yang berbeda ini, akhirnya
definisi DCD diterima oleh para peneliti dan klinisi.
Jadi, istilah DCD baru umum dikenal setelah publikasi dari Diagnostic and Statistic Manual of
31
Mental Disorder 4th Edition (DSM IV) pada tahun 1994, yang mana menurut kriteria DSM IV-TR
tersebut, DCD didefinisikan sebagai kondisi di mana seorang anak memiliki koordinasi motorik
buruk yang mengganggu pencapaian akademis atau aktivitas sehari-harinya, namun memiliki IQ
yang normal dan tidak memiliki kondisi medis umum atau gangguan perkembangan pervasif
lainnya.
Dengan kata lain, DCD merupakan specific learning difficulty, sebagai bagian dari spectrum of
difficulties, yang mencakup berbagai kelainan lain seperti diskalkulia, disgrafia, attention deficit
and hiperactivity disorder (ADHD), Asperger’s syndrome, disleksia, DAMP dan lain sebagainya,
yang kadang tumpang tindih satu sama lain. Sangat sedikit anak yang memiliki bentuk ‘murni’
dari kondisi tersebut dan cenderung memiliki campuran dari berbagai kesulitan tersebut.
Ciri utamanya adalah gangguan perkembangan motorik, terutama motorik halus. Sebenarnya
gangguan ini mengenai motorik kasar dan motorik halus, tetapi yang sangat berpengaruh pada
fungsi belajar adalah fungsi motorik halusnya.
Manifestasinya berupa perkembangan motorik anak sejak bayi hingga usia tertentu terlambat,
misalnya duduk, tengkurap, merangkak, berlari. Kemampuan olahraga anak juga kurang. Anak
lebih sulit mengatur keseimbangan setelah melakukan gerakan dan keseimbangan saat berdiri.
Prevalensi
Developmental Coordination Disorder ditemukan pada sekitar 5% dari populasi dengan
perbandingan antara lelaki dan perempuan adalah 4-7 : 1. Perbedaan jenis kelamin ini
cenderung konsisten, namun perbandingannya menyempit pada masa dewasa.
Etiologi
Tidak banyak penelitian yang mencari tahu penyebab dari DCD. Namun demikian, tampaknya
ada gabungan antara faktor genetik dan lingkungan (multifaktorial) pada anak dengan
sekumpulan gejala yang timbul. Developmental Coordination bukan merupakan suatu penyakit,
namun lebih kepada sekumpulan gejala yang secara bersama-sama dapat menegakkan
32
diagnosis. Faktor risiko lain yang diketahui misalnya usia gestasional yang kurang dan berat lahir
rendah.
Kriteria diagnostic DCD
Kriteria diagnostik DCD tercantum dalam DSM IV Sourcebook American Phyciatric Association
and Statistical Manual (DSM-IV). Gambaran penting dari DCD adalah adanya gangguan yang
jelas pada perkembangan koodinasi motorik (kriteria A). Diagnosis dibuat hanya bila gangguan
ini secara signifikan mengganggu pencapaian akademik atau kegiatan sehari-hari (kriteria B).
Diagnosis DCD ditegakkan bila kesulitan koordinasi tersebut bukan karena kondisi medis
keseluruhan (seperti palsi selebral, hemiplegi atau distrofi otot) dan tidak memenuhi kriteria
gangguan perkembangan pervasif (kriteria C). Jika retardasi mental ditemukan, kesulitan
motorik didapati berlebihan pada mereka yang berhubungan dengan hal ini (kriteria D).
Developmental Coordination harus dibedakan dari diagnosis bandingnya, yakni gangguan
motorik akibat kondisi medis menyeluruh. Masalah dalam koordinasi bisa berhubungan dengan
gangguan neurologis spesifik (seperti palsi selebral, lesi progresif dari serebelum), namun pada
kasus ini ada gangguan saraf yang pasti dan temuan abnormal pada pemeriksaan neurologis.
Jika terdapat retardasi mental, DCD dapat didiagnosis hanya bila kesulitan motorik yang ada
tampak sangat berlebihan. Diagnosis DCD tidak diberikan jika kriteria sesuai gangguan
perkembangan pervasif. Individu dengan ADHD bisa terjatuh atau menjatuhkan sesuatu, namun
hal ini lebih disebabkan gangguan konsentrasi dan impulsif dibanding gangguan motorik. Jika
kriteria dari keduanya terpenuhi, kedua diagnosis ini dapat ditegakkan.
Gambaran Diagnostik
Sesuai kriteria yang tercantum dalam DSM IV Sourcebook American Phyciatric Association and
Statistical Manual (DSM-IV) di atas, maka ringkasan gambaran diagnostik dari DCD adalah
sebagai berikut :
A. Performa kegiatan sehari-hari yang membutuhkan koordinasi motorik, jauh di bawah yang
33
diharapkan, sesuai usia dan intelegensia yang terukur. Hal ini bisa dilihat dengan keterlambatan
yang nyata dalam pencapaian tolak ukur motorik (berjalan, merangkak, duduk), menjatuhkan
benda, kecanggungan, performa buruk dalam olahraga atau menulis.
B. Gangguan pada kriteria A secara signifikan mengganggu pencapaian akademis atau aktivitas
sehari-hari.
C. Gangguan tidak disebabkan oleh kondisi medis umum (seperti palsi selebral, hemiplegia atau
distrofi otot) dan tidak memenuhi kriteria dari gangguan perkembangan pervasif.
D. Jika ada retardasi mental, kesulitan motorik tampak berlebihan pada yang memiliki retardasi
mental.
Manifestasi gangguan ini bervariasi pada berbagai usia dan tingkat perkembangan. Sebagai
contoh, anak yang lebih kecil bisa menunjukkan kecanggungan dan keterlambatan dalam
mencapai tolak ukur perkembangan motorik (misalnya berjalan, merangkak, duduk, mengikat
tali sepatu, mengancing baju, dsb). Anak yang lebih besar bisa memperlihatkan kesulitan dalam
aspek motorik dalam menyusun puzzle, membangun mainan, bermain bola, atau menulis.
Orang dewasa mungkin memiliki lebih sedikit kesulitan motorik halus, namun tetap memiliki
kesulitan dalam hal tulisan dan organisasi.
Anak dengan gangguan koordinasi cenderung memiliki :
1. Sensitivitas visual motorik yang kurang
2. persepsi visual yang tidak stabil, dan
3. kurangnya sensitivitas terhadap perubahan frekuensi suara
keadaan tersebut selanjutnya akan mempengaruhi kemampuan mereka untuk :
• Menentukan kecepatan
- Seberapa cepat mereka bergerak dalam hubungannya dengan benda dan orang di sekitar
mereka
- Seberapa cepat sebuah benda (bola, misalnya) bergerak ke arah mereka
• Menentukan jarak
- Memperkirakan seberapa jauh jarak lantai ketika mereka meloncat dari atas34
- Bagaimana merencanakan pergerakan untuk loncat keluar masuk lingkaran
- Bagaimana melempar dan menendang dengan akurat ke sasaran
- Bagaimana bergerak dengan aman di antara benda-benda tanpa menabrak atau jatuh
• Fokus pada kegiatan
- Kesulitan konvergensi bisa berdampak pada pandangan ganda, membuatnya lebih sulit untuk
mengetahui di mana letak orang/benda lain
• Respon cepat terhadap instruksi verbal
- Mengikuti instruksi untuk mengubah arah
- Mengikuti bunyi/irama dengan gerakan, seperti mengambil peran dalam marching band, atau
melakukan gerakan sebagai respon terhadap irama.
Gambaran Kunci DCD
-Perkembangan dini, pada umumnya terlambat mencapai tolak ukur perkembangan
(developmental milestone), misalnya duduk, berjalan dan berbicara.
-Karakteristik fisik, saat masih bayi, lebih memilih tengkurap dibanding berbaring karena tonus
otot yang rendah. Tonus yang ebih rendah ini mengakibatkan kesulitan untuk duduk tegak di
kursi atau duduk dengan nyaman di lantai saat mendengarkan cerita. Anak terlihat mudah
terusik karena ia lebih berkonsentrasi pada mempertahankan keseimbangan dibanding
mendengarkan pelajaran. Selanjutnya, anak akan berdiri dalam posisi punggung melengkung
(curved spine) untuk mendapatkan stabilitas yang lebih baik sehingga akan mengakibatkan
masalah punggung sekunder pada masa dewasa.
-Kelenturan ligament (ligament laxity), beberapa anak menunjukkan fleksibilitas sendi yang
berlebih dan lebih memilih duduk dengan posisi “W” saat menonton televisi. Instabilitas dari
pinggul dan bahu mereka menyebabkan kesulitan koordinasi.
-Keseimbangan dan koordinasi, kesulitan dalam menjaga keseimbangan dan koordinasi saat
berlari, melompat, menendang bola, dan berdiri dengan satu kaki.
-Integrasi bilateral, anak mengalami kesulitan dalam mengkoordinasikan kedua sisi tubuhnya.
Kesulitan dalam menggunakan alat makan, tulisan atau berpakaian. Mengendarai sepeda 35
mungkin lebih sulit karena mengintegrasikan gerakan mengayuh pedal dan mempertahankan
keseimbangan. Hal ini lebih terlihat saat permukaannya bervariasi, seperti di atas rumput.
-Genggaman dan ketangkasan, kesulitan memegang dan memanipulasi obyek yang kecil,
mengancing pakaian, memegang dan menggunakan pensil atau gunting. Anak akan mengubah
posturnya untuk memperoleh keseimbangan dan kontrol tubuh untuk melakukan keterampilan
motorik halus, atau mempertahankan tubuhnya dalam satu posisi tertentu sehingga ia bisa
stabil dalam melakukan tugas-tugas kecil. Ia mungkin tidak terlihat jelas pengguna tangan
kanan atau kiri, karena ia bisa menggunakan tangan manapun yang lebih dekat untuk mencapai
sesuatu.
-Kontrol memegang pensil, menulis dan menggambar, anak menghindari tugas menulis dan
menggunakan berbagai teknik distraksi untuk melakukannya. Tulisannya biasanya sulit dibaca,
khususnya jika menulis dengan cepat. Tulisannya bervariasi dalam hal ukuran dan kualitas, dari
awal sampai akhir halaman. Huruf-huruf bisa terletak di atas atau di bawah garis yang ada.
-Kesulitan perseptual, bisa dalam hal persepsi auditori, menganggap suara berisik di dalam
kelas sangat mengganggu. Keterampilan dalam mendengar biasanya buruk dan anak meminta
pengulangan instruksi. Kesulitan persepsi visual menyebabkan masalah dalam menulis,
mengikuti bacaan, dan menuruni tangga. Selain itu, anak juga mengalami kesulitan menyalin
tulisan dari papan tulis dan membutuhkan bantuan jari untuk mengikuti tulisannya. Ia bisa juga
kehilangan jejak saat membaca dan menyimak hal-hal yang disampaikan oleh gurunya.
-Organisasi pekerjaan/tugas, bermasalah dalam mencatat pekerjaan rumah, seringkali
kehilangan barang-barang miliknya, dan mengingat urutan tugas.
-Konsep waktu, biasanya terlambat mengerjakan tugas, terlambat hadir atau menanyakan
waktu berulang kali.
Selain berbagai gambaran kunci di atas, terdapat pula kesulitan lainnya seperti membaca,
berhitung, kesulitan berkomunikasi dan bersosialisasi, keterlambatan bercakap-cakap dengan
jelas, terdapat masalah dalam bahasa reseptif dan ekspresif, konsentrasi dan atensi, serta
kepercayaan diri.
36
Terapi
Terdapat berbagai pendapat yang berbeda mengenai kapan memulai intervensi, namun lebih
cepat lebih baik untuk memastikan anak tidak kehilangan kepercayaan dan harga dirinya. Hal ini
akan membantu mengurangi masalah perilaku dan membantu anak untuk berhasil dalam hal
fisik, sosio emosional dan akademis. Seorang anak mulai membandingkan dirinya dengan
teman sebayanya pada usia 6- tahun, jadi penting untuk memulai intervensi sebelum masa ini,
namun pada hakekatnya tidak pernah ada kata terlambat untuk memulai intervensi.
Penting untuk mempertimbangkan usia anak ketika memutuskan jenis terapi. Anak di bawah
usia 3 tahun mungkin sulit mengikuti terapi formal yang terstruktur, jadi penting untuk
memastikan anak menganggap terapi ini menyenangkan sehingga ia dapat merasa berhasil.
Berbagai metode terapi yang berbeda dapat dilakukan dalam intervensi anak dengan DCD, di
antaranya :
Pencapaian Keterampilan
Setelah disfungi area spesifik ditemukan pada saat pengkajian, lalu direncanakan program
terapi spesifik untuk meningkatkan keterampilan individu pada area tersebut, misalnya anak
dengan masalah pada keterampilan motorik kasar. Kesulitan anak mungkin timbul akibat
kurangnya pengalaman atau maturasi yang lambat.
Sensori Integrasi
Terapi ini berorientasi pada anak dengan menciptakan lingkungan sensori di mana anak bisa
secara aktif mengekplorasi keterampilan baru. Terapi ini akan membantu mengkoordinasikan
kedua sisi tubuh, meningkatkan organisasi dan mengembangkan citra diri dan rasa percaya diri.
Teknik yang dipakai mencakup input vestibular, proprioseptif dan taktil.
Perseptuo-motorik
Metode ini melibatkan urutan latihan di mana anak mengulang-ulang tugas yang diberikan
sampai ia kompeten melakukannya. Latihan lalu ditingkatkan dengan memberikan tugas yang
lebih kompleks. Program ini berbasis keterampilan visual-perseptual, tugas mencakup tugas
spasial, koordinasi mata-tangan, konsistensi, dan bentuk.
Neurodevelopmental37
Ini merupakan bentuk intervensi yang berhubungan dengan tatalaksana palsi selebral. Dengan
menghambat tonus yang meningkat melalui handling dan positioning, kita memfasilitasi pola
normal dari pergerakan.
Terapi psikomotor (Naville)
Dalam terapi ini, koordinasi yang buruk diperkirakan sebagai akibat masalah fisik, sosial dan
psikologis. Metode ini mencakup latihan keterampilan motorik kasar, disosiasi, koordinasi dan
relaksasi, kesadaran akan waktu dan ruang, serta latihan memori visual.
Sensitivitas kinestetik
Sensitivitas kinestetik dideskripsikan sebagai kemampuan otak untuk mengetahui posisi dan
pergerakan anggota tubuh yang merupakan salah satu faktor dalam kontrol perilaku motorik.
Anak dilatih berbasis kegiatan kehidupan sehari-hari selama 2 minggu untuk meningkatkan
kewaspadaan kinestetik mereka. Uji ini digunakan bersamaan dengan program motorik umum
untuk meningkatkan keterampilan motorik anak.
The Lee method
Tujuan utama metode ini adalah meningkatkan stabilitas proksimal untuk memberikan titik
fiksasi, meningkatkan kepercayaan dan harga diri, koordinasi (baik mata-tangan, dan mata-
kaki), memori, keterampilan merencanakan dan organisasi. Latihan khusus diberikan untuk
meningkatkan otot, sementara aktivitas dan permainan diberikan untuk meningkatkan
keterampilan. Penekanan terapi ini adalah membuat hal ini menyenangkan, memastikan bahwa
keterampilan dipecah sampai tingkat di mana anak bisa mengerjakannya sebelum
membangunnya lagi. Tujuannya adalah membantu tiap anak mencapai keterampilan sesuai
usianya.terapi mencakup 1 sesi/minggu selama 8 minggu, yang dibantu dengan 2 program
rumah, masing-masing selama 4 minggu untuk memastikan bahwa anak tidak merasa bosan
dengan latihan dan aktivitas tersebut.
Bentuk terapi paling popular
Bentuk intervensi yang paling popular adalah pencapaian keterampilan, neurodevelopmental,
sensori integrasi, perseptuo-motorik dan metode Lee. Bentuk berbagai intervensi ini memiliki
dasar teori yang berbeda dan terapis harus memahaminya dan mendapatkan latihan yang tepat
sebelum menerapkannya. 38
Karena tiap anak berbeda, begitu pula dengan responnya, terapis harus mampu untuk
menentukan terapi mana yang sesuai untuk masing-masing anak.
Pengkajian tidak selalu berarti seorang anak akan diterapi, melainkan menentukan kebutuhan
mereka untuk diintervensi. Anak dengan masalah yang mengganggu fungsinya sehari-hari, yang
depresi, cemas, stress dan menarik diri, jelas membutuhkan pertolongan, baik oleh orangtua,
guru, terapis wicara/okupasi/fisioterapis, dokter, psikolog. Perlu diingat bahwa pengkajian awal
dan follow up tetap harus dilakukan oleh dokter yang berkompeten.
Selain itu, perlu untuk menentukan kelompok anak mana yang akan berespon baik dalam
terapi, kelompok dengan keterampilan yang meningkat melalui latihan, kelompok paling tepat
untuk sensori integrasi, dan kelompok anak di mana terapi bukan merupakan jawabannya.
Beberapa anak mungkin lebih mendapat manfaat dari pendekatan umum dibanding program
terapi spesifik. Jika dalam 4 minggu tidak ada perubahan, perlu ditinjau kembali mengenai
diagnosis, pengkajian dan keakuratan interpretasi, serta modifikasi apa yang diperlukan.
Saran praktis yang dapat membantu anak
1. Bayi sebaiknya bermain pada bagian depan tubuhnya untuk memicu stabilitas bahu dan
panggul, duduk saat berbicara, dan berbaring saat tertidur.
2. Bekerja dalam gerakan yang kasar sebelum yang halus; seperti petak umpet, merangkak,
mengecat dengan kuas besar, menulis dengan kapur pada ubin karpet.
3. Lihat lingkungan dan pastikan lingkungan itu sesuai bagi anak dan orang dewasa, misalnya
gelas yang tidak akan tumpah ujungnya, gunting yang dapat digunakan si anak, bantuan
menulis seperti penggunaan komputer, dan penggunaan alat pengatur waktu untuk membantu
anak dalam hal konsep waktu.
4. Pertahankan harga diri anak dengan mencoba berbagai hobi seperti berenang, yoga,
mengendarai kuda, dan fotografi.
5. Jangan bebankan latihan tambahan pada anak ketika dia tampaknya mulai lelah.
6. Tanyakan apa yang mengganggunya dan apa yang perlu dibantu.
7. Bantu anak agar lebih terorganisir, pastikan setiap benda dinamai dan tempat 39
penyimpanannya mudah digunakan.
8. Pastikan bahwa anak duduk dengan nyaman, namun stabil secara postural dengan kaki
berpijak pada lantai dan menghadap tugasnya.
9. Cobalah untuk melatih keterampilan sosial sehingga anak memiliki hirarki perilaku dan
mengetahui apa yang harus dilakukan dan kapan.
10. Gunakan instruksi visual daripada auditori untuk menyampaikan pesan, jangan ragu untuk
mengulang dan periksa apa anak sudah mengerti.
11. Gunakan bahasa yang sangat sederhana
12. Selalu demonstrasikan kegiatannya terlebih dahulu oleh anda sendiri atau minta anak yang
kompeten untuk keterampilan tersebut.
13. Pecahkan kegiatan menjadi sasaran kecil yang mudah dicapai.
14. Pastikan bahwa setiap keterampilan dipelajari secara terpisah sebelum
mengkombinasikannya dan anak harus mampu memiliki keseimbangan (kedua kaki menapak
lantai) kemudian pada tiap kaki (lebih dari 5 detik) sebelum melompat, saat keterampilan ini
dipelajari terpisah.
Kesimpulan
Developmental Coordination Disorder ini bukan merupakan suatu penyakit, tidak memiliki
kondisi medis umum atau gangguan perkembangan pervasif lainnya, tapi sebuah kondisi
seorang anak memiliki kesulitan koordinasi motorik yang mengganggu aktivitas sehari-harinya
atau pencapaian akademis. Melalui pengetahuan dan pemahaman yang baik mengenai DCD,
kondisi ini dapat didiagnosis dan ditangani sejak dini sehingga implikasi lebih lanjut dapat
dicegah.
40
DAFTAR PUSTAKA
1. Moersintowarti B.Narendra,dkk. 2002. Tumbuh Kembang Anak dan Remaja Jilid 1.
Jakarta : Penerbit Sagung Seto
2. Mallhi P, Singhi P. Screening Young Children for Delayed Development. Indian Pediatrics;
1999 36:569-577
3. Narendra MB, suryawan A, irwanto. 2006. Naskah lengkap continuing education ilmu
kesehatan anak XXXVI penyimpangan tumbuh kembang anak. bag/SMF ilmu kesehatan
anak FK UNAIR. Surabaya 41
4. Behrman RE., Kliegman RM., Jenson HB. 2004. Nelson textbook of pediatrics 17th ed.
Saunders. Philadelphia. American Academy of Pediatrics. Identifying Infants and Young
Children With Developmental Disorders in the Medical Home: An Algorithm for
Developmental Surveillance and Screening. Pediatrics Volume 118, Number 1, July 2006.
5. Sices L, Feudtner C, McLaughlin J et al. How Do Primary Care Physicians Manage
Children With Possible Developmental Delays? A National Survey With an Experimental
Design. Pediatrics 2004;113;274-282
6. http://id.hicow.com/amerika-serikat/sel-induk/serebral-palsi-763584.html
7. Goldberg C, New birth defect treatment studied. Hub Scientists test use of fetal cell,
May 14 2006, diakses dari http://www.boston.com
8. Abraham C, Hope for Fixing Birth Defects; New Technique Uses Custom-Made Tissue
Grown from Unborn Child's Own Fetal Cells, October 10, 2005. Diakses dari
http//www.stemcell news.com
9. Cromie W.J, New technique could repair severe birth defects. Diakses dari
http//www.hno.harvard.edu
10. Gardner A, Amniotic Stem Cells Offer Hope against Congenital Heart Defects November
14, 2006. Diakses dari http://www.explorestemcells.co.uk
42