KETEPATAN TERJEMAHAN KITAB AL-HIKAM (Analisis...
Click here to load reader
Transcript of KETEPATAN TERJEMAHAN KITAB AL-HIKAM (Analisis...
-
KETEPATAN TERJEMAHAN KITAB AL-HIKAM
(Analisis Makna Kontekstual)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Adab dan Humaniora
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sastra (S.S)
Oleh
Humairoh
NIM : 1110024000002
PROGRAM STUDI TARJAMAH
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H./2015 M.
-
ii
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudain hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta berupa
pencabutan gelar.
Jakarta, 12 Juli 2015
Humairoh
NIM : 1110024000002
-
ii
-
ii
-
v
ABSTRAK
HUMAIROH
1110024000002
Ketepatan Terjemahan dalam Kitab Al-Hikam Analisis Makna Kontekstual. Di
bawah bimbingan Drs. Ikhwan Azizi, MA dan Abdul Wadud K Anwar, Lc, MA.
Peneliti melakukan analisis tentang ketepatan terjemahan terhadap makna
kontestual pada buku terjemahan al-Hikam dari halaman 1-12, agar bisa
mengetahui bagaimana cara menerjemahkan tanpa mengurangi amanat dari
penulis. Jadi bahasa sumber harus bisa tersampaikan ke dalam bahasa
sasarantanpa mengurangi pesan. Banyak aspek dari teks di luar pesan yang dapat
ditransfer dari bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia, penerjemah harus tetap
semaksimal mungkin berusaha mencari padanannya. Dalam bahasa sasaran, baik
dari aspek pesan, emosi penulis, bentuk-bentuk linguistik, suasan teks maupun
yang lain.
Padanan kontekstual pada teks sumber ke dalam teks sasaran semaksimal
mungkin inilah yang menjadi inti dari penuangan pesan. Karena makna
kontekstual sangatlah kompleks, yang mengharuskan penerjemahn mengetahui
situasi, keadaan, ruang dan waktu teks sumber. Penuangan tidak melulu
menuangkan ide, pikiran atau gagasan teks sumber. Bila dimungkinkan,
penuangan harus pula menyangkut aspek-aspek lainnya. Oleh karena itu,
penerjemah harus benar-benar pandai atau terampil dalam memilih padanan di
dalam bahasa sasaran. Hal ini bisa direngkuh dengan membolak-balik susunan
kata dalam kalimat bahasa sasaran, memberikan tekanan, mengurangi tekanan,
mengurangi keluasan makna atau meluaskannya, serta mengupayakan
penyesuaian lainnya. Maka dalam menerjemahkan kata ke dalam analisis
kontekstual harus dengan teliti memilih makna yang terkandung pada bahasa
sumber, dalam buku terjemahan al-Hikam yang peneliti teliti dari halaman 1-12
masih masih ada saja teks terjemahan yang tidak sesuai dengan bahasa sumbernya.
Menurut hemat peneliti, semua kata-kata bahasa sumber sesungguhnya secara
makna dapat diterjemahkan ke dalam bahasa sasaran, dengan satu catatan bahwa
tingkat budaya dua pemakai bahasanya tidak terlampau jauh.
-
vi
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Dalam skripsi ini, sebagian data berbahasa Arab ditransliterasikan ke dalam
huruf latin. Transliterasi ini berdasarkan Pedoman Transliterasi Arab-Latin dalam
Buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah CeQDA UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
1. Padanan Aksara
Berikut adalah daftar aksara Arab dan Padanannya dalam aksara Latin:
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
tidak dilambangkan B be
T te Ts te dengan es
J je h ha dengan garis bawah
Kh ka dengan ha D de
Dz de dengan zet
R er Z zet
S es Sy es dengan ye
s es dengan garis bawah d de dengan garis bawah
te dengan garis bawah zet dengan garis bawah
koma terbalik di atas hadap kanan
-
vii
Gh ge dengan ha
F ef Q ki
K ka L el
M em N en
W we
H ha apostrof
Y ye
2. Vocal
Vocal dalam bahasa Arab, seperti vocal bahasa Indonesia, terdiri dari
vocal tunggal atau monoftong dan vocal rangkap atau diftong.
Untuk vocal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vocal Arab Tanda Vocal Latin Keterangan
a
i Kasrah
u ammah
Adapun untuk vocal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai
berikut:
Tanda Vocal Arab Tanda Vocal Latin Keterangan
ai a dan i
au a dan i
-
viii
3. Vocal Panjang
Ketentuan alih aksara vocal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vocal Arab Tanda Vocal Latin Keterangan
a dengan topi di atas
i dengan topi di atas
u dengan topi di atas
4. Kata Sandang
Kata sandang yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf,
yaitu , dialihaksarakan menjadi huruf /I/, baik diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh: - bukan - - bukan -
4.1.
Syaddah atau yang dalam sistem tulisan Arab
dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang
diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf
yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang
diikuti oleh huruf-huruf syamasiyyah. Misalnya, kata tidak
ditulis - melainkan - demikian seterusnya.
4.2.
Berkaitan dengan alih aksara ini jika huruf ta terdapat
pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan
menjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga
berlaku jika tersebut diikuti oleh kata sifat ( ) (lihat
contoh 2). Namun, jika huruf tersebut diikuti kata benda
(ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat
contoh 3).
Contoh:
No Kata Arab Kata Aksara
ar qah 1 al-j miah al-isl miyyah 2 a dat al- uj d 3
-
ix
5. Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam
alih aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan
yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), bahasa Indonesia, antara
lain untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan,
nama diri, dan lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama diri didahului oleh kata
sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri
tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. Contoh A H mid al- ha l
ukan A H mid Al- ha l al-Kindi bukan Al-Kindi).
Beberapa ketentuan lain dalam EYD sebetulnya juga dapat diterapkan
dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic)
atau cetak tebal (bold). Jika menurut EYD, judul buku itu ditulis dengan cetak
miring, maka demikian halnya dalam alih aksaranya. Demikian seterusnya.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal
dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar
katanya erasal dari ahasa Ara isalnya ditulis A dussamad al-Palim ani
tidak A d al-S amad al-Palim n Nuruddin al-Raniri tidak N r al-D n al-R n r
6. Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik kata kerja ( ), kata benda (ism), maupun huruf (harf)
ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara atas kalimat-
kalimat dalam bahasa Arab, dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan diatas:
Kata Arab Alih Aksara
d aha a al-ust d u tsabata al-ajru
al- arakah al-as riyyah asyhadu an l il ha ill All h
aul n alik al-S li yuatstsirukum All h
al-ma hir al-aqliyyah al- y t al-kauniyyah
al- ar rat tu u al-mah r t
-
x
KATA PENGANTAR
Segala puja dan puji senantiasa
selalu terpanjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan semesta alam. Dia-lah yang
terus ada di setiap langkah kepenulisan skripsi ini, begitu banyak sekali
nikmat yang tercurahkan untuk Peneliti. Shalawat serta salam senantiasa
terhatur kepada teladan alam semesta, yaitu Baginda Nabi Besar
Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabat. Semoga kita
mendapatkan curahan kebaikan sampai akhir nanti.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya untuk para
civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, terutama kepada Prof.
Dr. Dede Rosyada, MA,. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Prof. Dr.
Sukron Kamil, MA., Dekan Fakultas Adab dan Humaniora; Dr. Moch.
Syarif Hidayatullah, M.Hum., Ketua Jurusan Tarjamah; Rizqi Handayani,
MA,. Sekretaris Jurusan Tarjamah.
Terima kasih sedalam-dalamnya kepada pembimbing skripsi Drs.
Ikhwan Azizi, MA dan Abdul Wadud K Anwar, Lc, MA yang telah
meluangkan waktu untuk membaca, mengoreksi, memberi referensi,
memotivasi, dan menyemangati Peneliti dalam proses penulisan skripsi.
Semoga Allah senantiasa membalas kebaikan Bapak.
Tak lupa Peneliti ucapkan sebanyak-banyaknya terima kasih kepada
jajaran dosen yang telah menginspirasi Peneliti Dr. Akhmad Saehuddin,
M.Ag., Drs. Ahmad Syatibi, M.Ag., Dr. Tb. Ade Asnawi, MA., Abdul
Rasyid, MA., semoga ilmu yang Peneliti dapatkan bermanfaat. Dan beribu
terima kasih kepada seluruh staff dan karyawan Perpustakaan Utama UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan Fakultas Adab dan
Humaniora yang telah banyak membantu untuk mengaskses secara mudah
dalam menemukan referensi dan pengetahuan lewat buku-buku yang
tersedia.
-
xi
Terima kasih terhatur untuk penguji sidang munaqosyah Prof. Dr.
Achmad Satori Ismail, MA dan Karlina Helmanita, M.Ag yang telah
menguji hasil skripsi Peneliti.
Salam cinta dan hormat Peneliti haturkan kepada Kedua Orang Tua,
Ayah tersayang Jasman Muryanto dan Ibu tercinta Sabariah Nasution.
Terima kasih atas kasih sayang, cinta, doa, motivasi, nasehat, bimbingan
dan semangat yang telah y k berikan selama ini, hingga
dapat menyelesaikan dalam penyusunan skripsi. Tak lupa teruntuk adik
tersayang Ulfa yang selalu beri semangat positif, canda tawa dan
pencerahan kepada Peneliti, hingga muncul ide-ide dalam menyusun skripsi.
Dan kepada keluarga di Medan; Uwak Jedah, Kak Puspa, Kak Mustika, Kak
Iyus, Kak Muning yang telah banyak mendukung dengan baik hingga
Peneliti semangat dalam menulis skripsi.
Peluk erat untuk sahabat-sahabat seperjuangan di Tarjamah angkatan
2010; Eva, Makhfiyyah, Halimah, Novi, Nur Asiah, Nia , Lili, Hanifah, Sri
Mustika, Ayu, Rifyal, Farhan, Kholis, Rasyid, Ahmad Syafaat, Syafaat
Maulana, Arif, Agus, Dzulfikar, Uwes, Lukman, Fahmi, Imam yang telah
memberi banyak cerita indah serta menciptakan canda tawa selama 4 tahun
lebih, mengingatkan kekurangan dan kekhilafan serta mendukung
sepenuhnya dalam menyelesaikan skripsi ini. Tak lupa pula para kakak dan
adik kelas serta kawan-kawan Kuliah Kerja Nyata yang memberi dukungan.
Kemudian pada teman-teman tercinta Umay, Iqoh dan Saza yang selalu
cerewet memberi semangat, terima kasih yang terdalam. Tak henti ucapan
terima kasih terlimpahkan kepada semua yang pernah andil untuk memberi
motivasi berharga, meminjamkan buku-buku referensi, menularkan
pencerahan baru yang membuat Peneliti mempunyai paradigma luas dan
pengalaman. Semoga kita semua dalam lingkaran kesederhanaan dan selalu
bersyukur.
Skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, semoga bisa bermanfaat
dalam memperluas wawasan khususnya ilmu tentang Makna dalam
-
xii
Penerjemahan. Saran dan kritik konstruktif sangat Peneliti butuhkan untuk
interpretasi yang lebih baik lagi.
Jakarta, 16 Februari 2015
Peneliti
Humairoh
-
xiii
DAFTAR ISI
LEMBAR SAMPUL ...................................................................................... i
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................ ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. iii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ............................................ iv
ABSTRAK ...................................................................................................... v
PEDOMAN TRANSLITERASI ..................................................................... vi
PRAKATA ....................................................................................................... x
DAFTAR ISI ................................................................................................. xiii
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................................ 7
C. Tujuan Penelitian ................................................................................ 8
D. Tinjauan Pustaka ............................................................................... 8
E. Metodologi Penelitian
1. Metode Penelitian .......................................................................... 9
2. Sumber Data ................................................................................. 9
3. Teknik Pengumpulan Data ........................................................... 10
4. Teknik Analisis Data ..................................................................... 11
F. Sistematika Penulisan ........................................................................ 11
BAB II. KERANGKA TEORI
A. Gambaran Umum Tentang Penerjemahan
1. Penerjemahan ................................................................................ 13
2. Peranan Makna dalam Penerjemahan ........................................... 15
3. Masalah Padanan .......................................................................... 17
4. Problematika Makna dalam Penerjemahan ................................... 21
-
xiv
B. Representasi Makna Kata ................................................................. 22
C. Wawasan Makna
1. Makna ........................................................................................... 25
2. Relasi Makna ................................................................................ 30
3. Makna Kontekstual ....................................................................... 38
BAB III. SEKILAS TENTANG PENULIS DAN PENERJEMAH KITAB
AL-HIKAM
A. Biografi Syeikh Ibn Athaillah al-Iskandari ....................................... 40
B. Biografi Penerjemah .......................................................................... 44
BAB IV. ANALISIS KETEPATAN MAKNA KONTEKSTUAL
TERHADAP TERJEMAHAN KITAB AL-HIKAM
Analisis Ketepatan Terjemahan terhadap Kitab Al-Hikam Dilihat Dari
Pemadanan Makna Berkonteks .............................................................. 46
1. Teks 1 ............................................................................................... 46
2. Teks 2 ............................................................................................... 48
3. Teks 3 ............................................................................................... 49
4. Teks 4 ............................................................................................... 50
5. Teks 5 ............................................................................................... 51
6. Teks 6 ............................................................................................... 52
7. Teks 7 ............................................................................................... 53
8. Teks 8 ............................................................................................... 53
9. Teks 9 ............................................................................................... 55
10. Teks 10 ............................................................................................. 56
BAB V. PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................................................... 59
B. Rekomendasi ..................................................................................... 59
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 61
LAMPIRAN-LAMPIRAN
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di Indonesia, ada dua istilah yang lazim digunakan dalam silabus
perguruan tinggi Islam, seperti IAIN dan khususnya Fakultas Adab dan
Humaniora Jurusan Tarjamah, yakni istilah Nadzariyah al-Tarjamah (NT) dan
Tatbiq al-Tarjamah (TT). Kedua istilah tersebut masing-masing secara kasar
dimaksudkan sebagai pengandaian dari Teori Terjemah dan Praktek
Menerjemah. Meski pemakaian suatu istilah bukanlah segala-galanya mengingat
kekuatan suatu istilah sebenarnya terletak pada penjelasannya, namun tidak salah
pula kita memberikan perhatian secukupnya perihal peristilahan tersebut. Ini
khususnya pada istilah berbahasa Arab yang terjemahannya masih sering kurang
tepat, untuk tidak dikatakan sebagai kesalahan sementara pemakaiannya
seperti sudah mentradisi, bahkan seolah-olah sudah menjadi semacam maxim atau
kebenaran yang tak terbantahkan.1
Menerjemahkan (disiplin?) itu bukan ilmu murni dan bukan pula seni
sejati. Terjemah adalah seni praktis. Dengan kata lain, terjemah adalah
keterampilan berkesenian dengan bantuan ilmu-ilmu teoritis. Karena itu, kita
sering kesulitan menyatakan hasil terjemahan ini bagus, yang itu sedang dan yang
satu lagi buruk. Jadi menerjemahkan adalah menyalin kalam (pesan yang
terkandung dalam teks) dan atau menjelaskannya dari bahasa tertentu ke dalam
bahasa lain. Kalam di sini berarti ide, pesan atau informasi. Jadi, yang disalin itu
1 Ibnu Burdah, Menjadi Penerjemah: Metode dan Wawasan Menerjemah Teks Arab
(Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004), h. 1.
-
2
bukan huruf-huruf atau kata-kata yang terpotong dari konteksnya atau
lingkungannya siyaqnya. Ini semua mesti dilaksanakan dengan mencari
padanan praktis yang terpelihara terus-menerus sesuai dengan lingkungan
penerjemah. Dalam batasan seperti ini penerjemah tidak harus bahkan tidak boleh,
linear, glosing, setia atau harfiyah.2
Sebelum menyampaikan pesan, penerjemah terlebih dahulu harus
mengkaji leksikon, gramatika dan konteks budaya teks sumber. Pesan ini
kemudian direkonstruksi ke dalam bahasa target dengan memakai leksikon dan
gramatika yang sesuai dengan konteks budaya bahasa target. Proses ini, menurut
Nida (1975) menapaki tiga fase (1) telaah materi teks sumber melalui kajian
linguistik, (2) pengalihan isi yang terkandung dalam teks sumber dan (3)
rekonstruksi kalimat-kalimat terjemahan sampai diperoleh hasil yang sepadan
dalam bahasa target.3
Upaya menghadirkan kesepadanan sesungguhnya merupakan inti sari
dalam kegiatan penerjemahan. Kesepadanan ini idealnya mencerminkan tiga sisi
kualitas terjemahan: keakuratan, kejelasan dan kewajaran. Akurat berarti
terjemahan harus mengungkap amanat teks sumber secara utuh; jelas berarti
mudah dipahami pembaca teks terjemahan; wajar berarti alamiah, sehingga
sebuah terjemahan tak terasa sebagai terjemahan.4
2 Nur Mufid dan Kaserun AS. Rahman, Buku Pintar Menerjemahkan Arab-Indonesia:
Cara Paling Tepat, Mudah dan Kreatif (Surabaya: Pustaka Progessif, 2007), h. 7. 3 M. Zaka Al Farisi, Pedoman Penerjemahan Arab Indonesia (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2011), h. 4. 4 M. Zaka Al Farisi, Pedoman Penerjemahan Arab Indonesia (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2011), h. 4.
-
3
Penerjemah harus menghadirkan terjemahan sebagai suatu bacaan yang
enak dibaca dan gampang dipahami. Penerjemah harus bisa menangkap pemikiran
penulis teks sumber seraya mengalihkannya ke dalam bahasa target dengan
tingkat kesepadanan teks yang paling mendekati. Kesepadanan teks hadir
manakala sebuah terjemahan dipandang sepadan dengan teks sumber.5
Terjemah pada dasarnya adalah pengalihan satuan semantik teks sumber
yang dibangun oleh kosa kata-kosa kata. Jadi, kosa kata () merupakan hal
yang penting dalam penerjemahan, bahkan teramat penting. Ia menjadi bahan
dasar untuk membangun sebuah teks yang akan diterjemah dan teks hasil terjemah.
Pada bagian ini, problem kosa kata yang dibahas hanya mencakup kosa kata teks
sumber atau teks yang akan diterjemah. Seperti telah dikemukakan dibidang
terdahulu, penerjemah harus mengalihkan pesan atau amanat, bukan
mengalihbahasakan kata per kata.
Namun, pada praktiknya dalam pengalihan pesan itu, sering terjemahan
suatu kata atau istilah menjadi kendala yang agak sulit diatasi, demikian pula
ungkapan. Terkadang kedua bahasa sedemikian berbeda sehingga penerjemah
dihadapkan pada ketidakmungkinan menerjemahkan suatu makna kata. Di sini
diperlukan kebijakkan, kemampuan berbahasa Indonesia dan kemampuan bahasa
target, keterampilan menemukan makna kata yang tepat serta kreativitas seorang
penerjemah agar teks terjemahannya dapat diterima.
5 Ibnu Burdah, Menjadi Penerjemah: Metode dan Wawasan Menerjemah Teks Arab
(Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004), h. 65.
-
4
Penerjemahan itu terikat dengan makna. Makna di sini adalah unsur dari
sebuah kata atau lebih tepatnya sebagai gejala-dalam-ujaran (Utterance-Internal-
Phenomenon). Maka dari itu, ada prinsip umum dalam semantik yang menyatakan
bahwa kalau bentuk berbeda maka makna pun berbeda, meskipun barangkali
perbedaannya hanya sedikit.
Bila kita menemukan terjemahan yang menggunakan suatu bahasa yang
makna katanya tidak kita pahami sama sekali, maka kita mendapat bahwa apa
yang merangsang alat komunikasi kita itu merupakan arus pemahaman yang
diselingi perhentian pemikiran untuk memahaminya.6
Dalam penelitian makna kata kita harus membedakan bermacam-macam
segi arti. Untuk sampai kepada pembedaan itu, kita harus bertolak dari peletakan
dasar-dasar pengertian tentang makna atau arti. Dalam hidup kita melihat berbagai
macam kejadian yang berada di luar diri kita. Di antara bermacam-macam
kejadian itu adalah memberi suatu lambang berupa bunyi ujaran terhadap
lingkungan hidup ini, agar dapat dibawa dalam komunikasi.7
Makna kosakata yang dikuasai seseorang merupakan bagian utama
memori semantis yang tersimpan dalam otak kita, yaitu relasi kata dengan konsep
benda atau peristiwa yang dilambangkan dengan kata tersebut.8
Hubungan terjemahan bagi semantik dalam makna kata sangatlah erat dan
penting sekali. Penerjemah perlu sadar pula akan sistem perlambangan dalam
berkomunikasi di dunia ini. Suatu kata melambangkan gagasan dalam benak
6 Gorys Keraf, Tatabahasa Indonesia (Flores: Nusa Indah, 1984), h. 15.
7 Gorys Keraf, Tatabahasa Indonesia (Flores: Nusa Indah, 1984), h. 130.
8 Kushartanti dkk, Pesona Bahasa : Langkah Awal Memahami Linguistik (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2005), h. 115.
-
5
orang apa yang digayuti oleh lambang maupun gagasan atau ide itu sendiri.
Menghadapi kenyataan penerjemahan itu adalah model transformasional. Kalimat
yang rumit dalam bahasa sumber dipecah-pecah menjadi kernel sentences dan
menjadi kalimat-kalimat tunggal yang pendek.9
Makna sebuah kata, walaupun secara sinkronis tidak berubah, tetapi
karena berbagai faktor dalam kehidupan, dapat menjadi bersifat umum. Makna
kata baru itu menjadi jelas kalau sudah digunakan di dalam suatu kalimat. Kalau
lepas dari konteks kalimat, makna kata itu menjadi umum dan kabur. Misalnya
kata tahanan. Apa makna kata tahanan? Mungkin saja yang dimaksud dengan
kata tahanan itu adalah orang yang ditahan, tetapi bisa juga hasil perbuatan
menahan, atau mungkin makna yang lain lagi. Kemungkinan-kemungkinan itu
bisa saja terjadi karena kata itu lepas dari konteks kalimatnya.10
Makna kata sebagai istilah memang dibuat setepat mungkin untuk
menghindari kesalahpahaman dalam bidang atau kegiatan tertentu. Pembedaan
adanya makna kata dan makna istilah berdasarkan ketepatan makna kata itu dalam
penggunaannya secara umum dan secara khusus. Dalam penggunaan bahasa
secara umum acapkali kata-kata itu digunakan tidak cermat sehingga maknanya
bersifat umum. Tetapi dalam penggunaan secara khusus, dalam bidang kegiatan
tertentu, kata-kata itu digunakan secara cermat sehingga maknanya pun menjadi
tepat.
Makna kontekstual adalah makna yang sesuai konteksnya, makna yang
sesuai dengan referennya dan makna yang bebas dari asosiasi atau hubungan apa
9 A. Widyamartaya, Seni Menerjemahkan (Yogyakarta: Kanisius, 1989), h. 28-27.
10 Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), h. 70.
-
6
pun. Jadi, sebenarnya makna kontekstual ini sama dengan makna referensial,
makna leksikal dan makna denotatif.
Hubungan kontekstual adalah hubungan unit gramatikal dan leksikal
dengan elemen-elemen yang berhubungan secara linguistik dalam situasi-situasi
yang mana unit-unit tersebut dioperasikan dalam teks. Elemen-elemen situasional
ini berhubungan secara kontekstual dengan unit gramatikal dan leksikal dalam
kesepadanan. Perubahan elemen situasi dan unit-unit dalam teks akan
mengakibatkan perubahan makna.11
Adapun menurut kontekstualisme psikologis, konteks-konteks tertentu
melahirkan keterkaitan antara fitur-fitur dari suatu konsep dan konsep-konsep lain
dalam suatu kategori. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa untuk
memahami struktur konseptual diperlukan pemahaman lebih dari sekedar konsep
semata. Diperlukan pengetahuan lain untuk memahami relasi antarkonsep dan
bagaimana konsep-konsep tersebut tertata sedemikian rupa. Dalam hal ini, sebagai
fitur tidak cukup merepresentasikan suatu konsep secara utuh. Fitur hanya
digunakan sebagai titik tolak untuk memahami suatu konsep dengan pengetahuan
kita secara lebih mendalam.
Jadi, ketika kita mulai menikmati sebuah terjemahan yang gurih untuk
dibaca, tanpa kita sadari, kita sudah terbawa oleh terjemahan sebagai bacaan yang
baik. Mengapa bisa? Kita adalah pembaca, apabila selama kita membaca
terjemahan, kita tidak mampu menciptakan rasa dan gairah yang ada dalam
terjemahan itu, mungkin kita bisa dikategorikan pembaca yang aneh.
11
Frans Sayogie, Penerjemahan Bahasa Inggris Ke Dalam Bahasa Indonesia (Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2008), h. 139.
-
7
Terjemahan tidak sekedar isi, bukan pula rangkaian kata biasa yang bisa
membuat kita terbawa oleh terjemahan tersebut. Akan tetapi, begitulah sebuah
terjemahan yang hadir dihadapan kita bisa membagi kesan hingga ke dasar hati
yang paling dalam. Sebagai pembaca, mungkin pula emoh mengkritisi bagian
terjemahan yang mengganggu, tetapi ketika kita merasakan ada yang nggak
nyambung dari awal hingga akhir atau ditengah-tengah ada yang membuat dahi
kita berkerut-kerut. Jika hal itu terjadi, sudah saatnya kita berinisiatif membuat
terjemahan itu menjadi nikmat dan memikat.
Mengacu pada penjelasan di atas, bahwa kitab al-Hikam yang kaya dengan
pemahaman tasawuf dalam kehidupan dan penulis ingin sedikit mengupas
terjemahan terutama terhadap penelitian ilmu makna mengacu pada teori
kontekstual, maka penulis tergerak hatinya untuk menganalisa buku terjemahan
al-Hikam karya Syeikh Ibn Athaillah al-Iskandari dengan memberikan judul
yang sesuai dengan hati penulis yaitu KETEPATAN TERJEMAHAN KITAB
AL-HIKAM (Analisis Makna Kontekstual)
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Setelah memaparkan latar belakang masalah, maka peneliti merasa perlu
untuk memberikan pembatasan dan perumusan masalah agar skripsi ini tidak
terlampau jauh dari pembahasan, yaitu pemahaman dalam ketepatan terjemahan
kitab al-Hikam penerbit Turos Pustaka analisis makna kontekstual karya Ibn
Athaillah al-Iskandari. Hal ini juga disesuaikan dengan keterbatasan dan
kemampuan penulis.
-
8
Sedangkan perumusannya dinyatakan dalam bentuk pernyataan sebagai
berikut:
1. Apakah terjemahan makna kata dalam kitab al-Hikam dari halaman 1-12 sesuai
dengan konteks?
2. Bagaimana cara memilih makna kata yang tepat dalam menerjemahkan kitab
al-Hikam dari halaman 1-12?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui terjemahan makna kata dalam kitab al-Hikam dari halaman
1-12 yang sesuai dengan konteks.
2. Untuk mengetahui cara memilih makna kata yang tepat dalam menerjemahkan
buku terjemahan al-Hikam dari halaman 1-12.
D. Tinjauan Pustaka
Dalam penelitian yang mengambil studi kasus pemilihan makna kata yang
tepat dalam estetika menerjemahkan, analisis makna kontekstual sudah ada yang
membahas yaitu skripsi Saadah dengan judul Analisis Semantik Kontekstual
atas Penerjemahan Kata Arab Serapan (Studi Kasus Kata Fitnah, Hikmah dan
Amanah) Dalam al-Quran dan Maknanya Karya M. Quraish Shihab. Jadi
peneliti terinspirasi ingin mencoba meneliti pemahaman dalam ketepatan
terjemahan analisis makna kontekstual, tetapi konsepnya yang sedikit berbeda.
Yang bertujuan untuk mengembangkan lagi pemahaman peneliti dan pembaca
terhadap dunia pemilihan makna kata dari segi teori kontekstual yang sangat teliti.
-
9
Dalam penelitian ini peneliti mengumpulkan teori-teori, sumber-sumber
dan lembaran-lembaran yang tersedia di perpustakaan adab, perpustakaan utama
dan perpustakaan pribadi dari berbagai buku tentang linguistik, bahasa Indonesia,
bahasa Arab, semantik, prinsip-prinsip terjemahan, ilmu Tasawuf dan buku-buku
yang berhubungan dengan pemahaman ilmu makna kontekstual.
E. Metodologi Penelitian
1. Metode Penelitian
Metode penelitian ini, menggunakan penelitian kualitatif deskriptif.
Penelitian kualitatif yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku
yang diamatiyang tidak menggunakan angka.12
Penelitian deskriptif yaitu
penelitian yang mengungkapkan masalah dengan cara dan keadaan yang
sebagaimana adanya. Deskriptif adalah sifat data penelitian kualitatif. Wujud
datanya berupa deskripsi objek penelitian.13
Data yang dihasilkan dari buku
terjemahan kitab al-Hikam.
2. Sumber Data
Sumber data penelitian ini adalah kitab syirah al-hikam karya Ibnu
Athaillah al-Iskandari dan buku terjemahan The Book of Wisdom al-Hikam
karya Ibn Athaillah al-Iskandari dari penerbit Turos Pustaka tahun terbit 2013
yang peneliti ambil sampelnya dari halaman 1 hingga 12. Buku terjemahan al-
Hikam memang sudah banyak beredar dan sangat banyak minat pembacanya,
peneliti tertarik untuk membahas penelitian dengan kitab ini karena peneliti
ingin mengetahui bagaimana cara penerjemahnya dalam menerjemahkan buku
12
Muhammad, Metode Penelitian Bahasa, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), h. 30. 13
Muhammad, Metode Penelitian Bahasa, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), h. 34.
-
10
ini sebab menerjemahkan bukan hanya memindahkan kata tapi juga harus bisa
mempertahankan apa maksud dari bahasa sumber hingga sampailah maknanya
ke dalam bahasa sasaran tanpa mengurangi amanat dari sang penulisnya.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data, merupakan cara-cara teknis yang dilakukan
oleh peneliti dalam mengumpulkan data-data penelitiannya. Beberapa
tahapan yang harus ditempuh peneliti adalah:
a. Menghimpun buku-buku terjemahan hingga akhirnya peneliti menemukan
buku terjemahan al-Hikam.
b. Membaca buku terjemahan al-Hikam untuk mengetahui terjemahan apa
saja yang akan peneliti analisis sesuai dengan makna kontekstual.
c. Mengelompokkan teks terjemahan berdasarkan sistematika penelitian yang
berhubungan dengan ketepatan terjemahan dari segi makna kontekstual
terhadap kitab al-Hikam.
d. Menganalisis teks terjemahan al-Hikam sesuai dengan ketepatan makna
kontekstual.
Penulisan skripsi ini, peneliti melakukan kajian pustaka guna
melengkapi data-data yang berhubungan dengan kepenulisan berdasarkan buku
Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) yang
diterbitkan CeQDA (Center for Quality Development and Assurance) UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.
-
11
4. Teknik Analisis Data
Teknis analisis data merupakan cara-cara teknis yang dilakukan oleh
peneliti, untuk menganalisis dan mengembangkan data-data yang telah
terkumpul, seperti beberapa tahapan yang telah peneliti lakukan, yaitu:
a. Peneliti mulai membuka kamus untuk membandingkan hasil terjemahan
penerjemah buku al-Hikam agar dapat mengembangkan analisa yang
peneliti lakukan.
b. Mengemukakan kata-kata yang peneliti pilih untuk dianalisa dengan apa
adanya, sesuai dengan sumber yang peneliti peroleh.
c. Peneliti menjelaskan secara terperinci dengan mengeksplorasi ketepatan
memilih makna kontekstual.
d. Peneliti menggunakan konsep teori dari Rochaya Machali padanan makna
berkonteks yaitu penempatan suatu informasi dalam konteks agar maknanya
jelas bagi penerima informasi..
e. Menguraikan penjelasan seadanya sesuai dengan memilih ketepatan
terjemahan dari buku al-Hikam.
F. Sistematika Penulisan
Bab I adalah pendahuluan, bab ini terdiri dari latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka,
metodologi penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II berisikan gambaran umum kerangka teori yang terdiri dari sub-bag,
yaitu pengertian dari penerjemahan dalam ilmu bahasa, pemikiran tentang
penerjemahan berdasarkan proses menjalankan pemahaman, penimbangan,
-
12
penghayatan, ketepatan dan penggunaan rasa pesona pemilihan makna kata sesuai
konteks. Tingkatan estetika menerjemahkan yang mencakup pengertian seni
terjemahan, unsur-unsur semantik yang menjelaskan pemilihan makna kata yang
tepat sesuai konteks. Pengertian ilmu makna dan fungsi-fungsi terhadap karya
terjemahan untuk pemahaman pembaca dalam menerjemahkan suatu karya.
Bab III adalah tentang Biografi, karya, sejarah penulis Kitab al-Hikam
yaitu Syeikh Ibn Athaillah al-Iskandari dan penerjemah.
Bab IV terdiri dari Analisis Ketepatan Terjemahan Kitab al-Hikam Makna
Kontekstual karya Syeikh Ibn Athaillah al-Iskandari.
Bab V adalah penutup, yang berisikan kesimpulan dan rekomendasi.
-
13
BAB II
KERANGKA TEORI
A. Gambaran Tentang Penerjemahan
1. Penerjemahan
Banyak sekali definisi tentang terjemah yang dikemukakan oleh para
ahli. Apapun definisi yang digunakan, sebaiknya dipertimbangkan prinsip
akomodatif-operasional. Akomodatif dalam arti, mempertimbangkan definisi-
definisi tentang terjemah yang pernah dikemukakan oleh para pengkaji
pendahulu. Ini dimaksudkan sebagai sikap apresiatif (tazim, menghargai)
terhadap hal-hal yang dihasilkan oleh pengkaji-pengkaji sebelumnya.
Sedangkan prinsip operasional memiliki maksud, bahwa definisi yang
digunakan sekalipun akomodatif terhadap hasil-hasil sebelumnya harus tetap
berpijak pada pertimbangan: apakah definisi tersebut dapat dioperasionalkan
pada tahap yang lebih praktis atau tidak.14
Jadi terjemah adalah usaha memindahkan pesan dari teks bahasa
sumber (teks sumber) dengan padanan ke dalam bahasa lain (bahasa sasaran).
Definisi sederhana tersebut memuat unsur-unsur utama dalam penerjemahan
yaitu:15
a. Bahasa Sumber ( ) atau ( )
Dalam konteks pembicaraan ini, bahasa sumber menunjuk kepada bahasa
Arab yang memiliki ragam fusha, bukan ragam dialek tertentu (lahjah).
14
Ibnu Burdah, Menjadi Penerjemah: Metode dan Wawasan Menerjemah Teks Arab
(Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004), h. 9. 15
Ibnu Burdah, Menjadi Penerjemah: Metode dan Wawasan Menerjemah Teks Arab
(Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004), h. 10.
-
14
b. Bahasa Sasaran ( ) atau ( )
Dalam konteks ini, yang dimaksud dengan bahasa sasaran atau teks sasaran
adalah bahasa Indonesia. Ada aspek yang menarik dari bahasa Indonesia
sebagai bahasa sasaran penerjemahan teks Arab. Bahasa Indonesia adalah
salah satu tabi yang menyerap banyak sekali kosa kata dan peristilahan
bahasa Arab.
c. Pesan ()
Terjemah diartikan sebagai pengalihan teks sumber ke dalam teks sasaran
secara bebas. Kata bebas dalam pengertian tersebut menyiratkan bahwa
yang ditransfer adalah pesannya saja. Penerjemah, bisa membuat semena-
mena, dengan mengabaikan aspek-aspek lain di luar pesan, seperti aspek
padanan morfologis, sintaksis ataupun yang lain. Kebebasan yang
diandaikan dari definisi terjemah tersebut adalah, bahwa penerjemah
memiliki keleluasaan yang sangat besar dalam mengekspresikan pesan teks
tanpa menghiraukan padanan-padanan linguistik, struktur, pengungkapan
secara denotatif-konotatif atau hal-hal lain di luar teks.
Meskipun menerjemahkan adalah pekerjaan yang melibatkan
sekumpulan teori atau ilmu, tetapi kemampuan menerjemahkan dengan baik
adalah seni. Menerjemahkan, dengan demikian adalah keterampilan yang
melibatkan lebih banyak seni (bakat) daripada upaya dan teori.
Namun, kita tidak dibenarkan menafikan upaya, latihan dan teori-teori
tentang menerjemahkan. Sebab betapapun kuat dan baiknya bakat dan rasa
-
15
bahasa seseorang, jika tidak dibarengi dengan latihan, praktik yang terus
menerus berkelanjutan dan teori, maka sulit kita bayangkan dia akan menjadi
penerjemah yang baik.
2. Peranan Makna Dalam Penerjemahan
Apabila kita membicarakan konsep dasar mengenai bahasa yang akan
dikaitkan dengan penerjemahan, tidak boleh tidak kita harus membicarakan
tentang makna. Hal ini penting karena pendekatan yang kita gunakan adalah
bahwa setiap teks merupakan tindak komunikasi, bukan teks yang lahir dalam
ruang kosong (tanpa tujuan dan maksud apa pun). Sebagai tindak komunikasi,
produsen teks (lisan maupun tertulis) tentunya ingin agar maksudnya dipahami
oleh pembaca. Maksud tersebut dikemas dalam makna, sedangkan bentuknya
dapat berubah-ubah bergantung kepada tujuan (untuk apamisalnya untuk
memaparkan, menceritakan dan mengimbau), pembaca (misal usianya,
kelompok ilmuan dan kalangan umum).16
Oleh karena itu, banyak sekali para
ahli yang sudah membicarakan makna secara panjang lebar.
Beberapa teori yang disodorkan pakar linguistik berkaitan dengan
penanganan masalah makna kata, seperti:17
a. Teori Referen, yang diusung oleh Russell. Teori ini menyebutkan bahwa
sebuah kata memiliki makna lantaran rujukan pada objek atau keadaan yang
digambarkan oleh kata tersebut.
16
Rochayah Machali, Pedoman Bagi Penerjemah (Bandung: Penerbit Kaifa, 2009), h. 46. 17
M. Zaka Al Farisi, Pedoman Penerjemahan Arab Indonesia (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2011), h. 95-97.
-
16
b. Teori Ideasional, yang dikemukakan oleh John Locke. Teori ini menjelaskan
bahwa sebuah kata sesungguhnya tidak merefer pada objek tertentu, tetapi
pada ide atau konsep tentang objek tersebut.
c. Teori Fitur, yang menyatakan bahwa konsep terwujud dari sejumlah unit
yang kecil. Unit-unit yang kecil kemudian dinamakan fitur (ciri).
d. Teori berdasarkan pengetahuan, yang diusung Reeves ini mendasari
gagasannya pada esensialisme psikologis dan kontekstualisme psikologis.
Menurut esensialisme psikologis, pada umumnya manusia memiliki
pengetahuan ihwal adanya esensi dari suatu objek. Adapun kontekstualisme
psikologis, konteks-konteks tertentu melahirkan keterkaitan anatar fitur-fitur
dari suatu konsep dan konsep-konsep lain dalam suatu kategori.
Hasan menegaskan bahwa tujuan pembaca ialah memahami makna.
Ujaran atau tulisan merupakan sarana untuk meraih tujuan itu. Untuk
menjawab kesulitan yang muncul tentang makna, perlu melakukan analisis
struktur, analisis leksikal dan analisis kontekstual.18
Analisis struktur berkaitan dengan penelaahan dua hal pokok: analisis
morfologis dan analisis sintaksis. Selanjutnya analisis leksikal yang memiliki
banyak kemungkinan, tetapi makna yang dikehendaki oleh konteks kalimat
hanya satu. Untuk memperoleh makna yang dikehendaki, pembaca perlu
menelaah isyarat-isyarat linguistik. Di samping itu, perlu menelaah isyarat
kontekstual.
18
Syihabudddin, Penerjemahan Arab-Indonesia: Teori dan Praktek (Bandung:
Humaniora, 2005), h. 34.
-
17
Pembaca atau penyimak perlu memperhatikan status individu dalam
masyarakat, peran individu dalam melakukan tindak tutur dan tujuan dari
tindakannya itu.
3. Masalah Padanan
Masalah padanan merupakan bagian inti dari teori penerjemahan
menurut Barnstone. Sedangkan praktek menerjemahkan sebagai realisasi dari
proses penerjemahan yang selalu melibatkan pencarian padanan. Pencarian
padanan itu sendiri akan menggiring penerjemah ke konsep keterjemahan dan
ketakterjemahan19
Konsep keterjemahan pada umumnya tidak begitu
menimbulkan permasalah bagi penerjemah asalkan dia mempunyai
pengetahuan yang baik tentang unsur-unsur yang membentuk teks bahasa
sumber dan bahasa sasaran yang ada kaitannya dengan sosio-budaya kedua
bahasa itu.
Sebaliknya, konsep ketakterjemahan secara otomatis akan
menimbulkan keadaan yang dilematis bagi penerjemah. Mereka dituntut
mencari padanan yang tidak mungkin dia temukan dalam bahasa sasara.
Dalam tulisannya, Keenan mengajukan sebuah hipotesa terjemahan
tepat. Hipotesa tersebut berbunyi: sesuatu yang dapat diungkapkan dalam
suatu bahasa dapat diterjemahkan secara tepat ke dalam bahasa lain.20
Kebenaran hipotesa ini sulit untuk dibuktikan. Baik ditinjau dari segi bentuk,
makna maupun fungsinya. Padanan yang sempurna itu tidak ada sebagai akibat
19
Rudolf Nababan, Teori Menerjemahkan Bahasa Inggris (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2003), h. 93. 20
Rudolf Nababan, Teori Menerjemahkan Bahasa Inggris (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2003), h. 94.
-
18
dari berbedanya struktur nahasa sumber dan bahasa sasaran dan demikian pula
dengan sosio-budaya yang melatarbelakangi kedua bahasa itu.
Popovic membedakan empat tipe padanan, yaitu padanan linguistik,
padanan paradigmatik, padanan stilistik dan padanan tekstual (sintagmatik).
Sedangkan Eugene Nida membedakan dua tipe padanan yaitu padanan formal
dan padanan dinamik. Padanan formal mengacu pada teks bahasa sumber baik
dalam bentuk dan isi. Bentuk mengacu pada aspek linguistik teks dan isi
mengacu pada makna, sedangkan padanan dinamis bertujuan untuk
memperoleh tingkat kewajaran dalam pengungkapan pesan dan mencoba
memperhatikan perilaku dan budaya pembaca teks sasaran agar mereka dapat
memahami teks yang diterjemahkan.21
Lain lagi dengan Baker, membedakana
lima tipe padanan, seperti:22
a. Padanan Pada Tataran Kata
Pertama-tama kita akan tertuju pada kata. Karena kata adalah sebagai unit
terkecil bahasa yang mempunyai makna, yang menjadi titik awal kajian
dalam rangka memahami keseluruhan makna suatu teks bahasa sumber.
Kedua kita melihat unsur-unsur makna dalam kata dan untuk mengkajinya
secara lebih efektif pada linguis menyodorkan istilah morfem. Morfem
hanya mempunyai satu unsur makna sedangkan kata bisa mempunyai lebih
dari satu unsur makna. Dalam konteks penerjemahan, analisis terhadap kata
baik pada struktur permukaan dengan menerapkan analisis struktural atau
analisis morfemis maupun pada struktur batin dengan menerapkan analisis
21
Frans Sayogie, Penerjemahan Bahasa Inggris Ke Dalam Bahasa Indonesia (Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2008), h. 87. 22
Rudolf Nababan, Teori Menerjemahkan Bahasa Inggris (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2003), h. 95-109.
-
19
komponen makna akan menuntun penerjemah dalam menentukan padanan
yang paling sesuai dari beberapa alternatif yang tersedia. Analisis ini juga
akan mengukuhkan keberadaan konsep pergeseran tataran dimana, misalnya,
suatu konsep yang diungkapkan dengan satu kata dalam bahasa sumber
diungkapkan dengan beberapa kata dalam bahasa sasaran dan demikian pula
sebaliknya.
Meskipun konsep-konsep keterjemahan, penambahan dan penghilang
informasi dan pergeseran tataran menjadi sangat penting dalam
memecahkan berbagai kesulitan dalam proses pencarian padanan dalam
kasus tertentu ketiga konsep itu tidak bisa diterapkan. Dengan kata lain,
dalam melakukan tugasnya penerjemah kadang kala dihadapkan pada
masalah ketaksepadanan. Baker membagi ketaksepadanan pada tataran kata
menjadi 10 jenis, yaitu:
1. Konsep khusus budaya
2. Konsep bahasa sumber tidak tersedia dalam bahasa sasaran
3. Konsep bahasa sumber secara semantik sangat kompleks
4. Perbedaan persepsi terhadap suatu konsep
5. Bahasa sasaran tidak mempunyai unsur atasan (superordinat)
6. Bahasa sasaran tidak mempunyai unsur bawahan atau kata khusus
(hiponim)
7. Perbedaan dalam perspektif interpersonal dan fisik
8. Perbedaan dalam hal makna ekspresif
9. Perbedaan bentuk kata
10. Perbedaan dalam hal tujuan dan tingkat penggunan bentuk tertentu
-
20
b. Padanan Di Atas Tataran Kata
Dalam setiap bahasa, ada kecenderungan bagi suatu kata untuk bersanding
atau berkolokasi dengan kata lain dan gabungan kata itu selanjutnya
menghasilkan suatu frasa. Proses kolokasi memungkinkan kita untuk
membentuk dua macam frasa, yaitu frasa endosentris dan frasa eksosentris.
Frasa endosentris adalah frasa yang mempunyai unsur inti dan unsur
penjelas, sedangkan frasa eksosentris menunjuk pada frasa yang tidak
mempunyai unsur inti dan unsur penjelas.
c. Padanan Gramatikal
Padanan gramatikal mirip dengan padanan linguistik (sintagmatik) karena
kedua jenis padanan ini memusatkan perhatiannya pada kesamaan konsep
antara bahasa sumber dan bahasa sasaran dalam hal jumlah, gender, pesona,
kala dan aspek. Pembahasan tentang padanan gramatikal selalu dikaitkan
dengan tatabahasa yang dibagi ke dalam dua dimensi utama, yaitu morfologi
dan sintaksis.
d. Padanan Tekstual
e. Padanan Pragmatik
Maka mencari padanan yang paling tepat dalam terjemahan wajib
mengetahui kata, frasa dan kalimat yang semuanya harus berbentuk,
mempunyai potensi untuk mengandung beberapa makna, tergantung
lingkungan atau konteksnya sehingga teks sasaran teks sasaran benar-benar
-
21
mengungkapkan kembali seluruh makna yang terdapat dalam teks sumber di
dalam teks sasaran.23
4. Problematika Makna Dalam Penerjemahan
Masalah makna merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari bidang
penerjemahan. Jika kita berbicara tentang penerjemahan, kita juga harus
berbicara tentang makna. Alasannya adalah karena tujuan penerjemahan erat
kaitannya dengan masalah pengalihan makna yang terkandung dalam bahasa
ke dalam bahasa yang lain. Makna suatu kata tidak hanya dipengaruhi oleh
posisinya dalam kalimat tetapi juga oleh bidang ilmu yang menggunakan kata
itu. Tidak jarang pula makna suatu kata sangat ditentukan oleh situasi
pemakaiannya dan budaya penutur suatu bahasa.
Dalam praktek menerjemahkan yang sesungguhnya, perhatian seorang
penerjemah terfokus tidak hanya pada pengalihan makna suatu kata.
Perhatiannya meluas ke masalah pengalihan pesan atau amanat. Seperti uraian
berikut:24
a. Makna Leksikal
Makna leksikal ini dapat disebut makna yang terdapat dalam kamus
mengingat yang ada dalam kamus yang lepas dari penggunaannya atau
konteksnya.
23
Maurits D.S Simatupang, Pengantar Teori Terjemahan (Jakarta: Direktoral Jenderal
Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, 2000), h. 44. 24
Rudolf Nababan, Teori Menerjemahkan Bahasa Inggris (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 48-51.
-
22
b. Makna Gramatikal
Makna gramatikal ialah hubungan anatara unsur-unsur bahasa dalam satuan
yang lebih besar, misalnya hubungan suatu kata dengan kata yang lain
dalam frasa atau klausa.
c. Makna Kontekstual atau Situasional
Makna kontekstual atau situsional adalah hubungan antara ujaran dan situasi
dimana ujaran itu dipakai. Dengan kata lain makna yang dikaitkan dengan
situasi penggunaan bahasa.
d. Makna Tekstual
Makna tekstual berkaitan dengan isi suatu teks atau wacana. Perbedaan jenis
teks dapat pula menimbulkan makna suatu kata menjadi berbeda.
e. Makna Sosio-Kultural
Makna suatu kata yang erat kaitannya dengan sosio-budaya pemakai bahasa
disebut makna sosio-kultural.
B. Representasi Makna Kata
Kata sebagai satuan dari perbendaharaan kata sebuah bahasa yang
mengandung dua aspek, yaitu aspek bentuk atau ekspresi dan aspek isi makna.
Bentuk atau ekspresi adalah segi yang dapat diserap dengan pancaindera,
yaitu dengan mendengar atau dengan melihat. Sebaliknya segi isi atau makna
adalah segi yang menimbulkan reaksi dalam pikiran pendengar atau pembaca
karena rangsangan aspek bentuk tadi.25
25
Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2000), h.
25.
-
23
Kembali kepada unit yang paling kecil dalam bahasa yang mengandung
konsep atau gagasan tertentu (yaitu kata), maka makna kata dapat dibatasi sebagai
hubungan antara bentuk dengan hal atau barang bawah ini:
Referensi
Rumah-------------------------------------------------Gambaran
(sebagai simbol) (referen; pengalaman non-linguistik)
Bahwa makna adalah pertalian antara bentuk dan referen.26
Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa seseorang yang mengetahui sebuah referen
(barangnya) tetapi tidak tahu bagaimana mengacunya, ia tidak tahu katanya.
Tetapi kebalikannya juga benar, kalau ia mengetahui maknanya juga, yaitu tidak
mengetahui hubungan antara bentuk dan referennya. Mengetahui sebuah kata
haruslah mengetahui kedua aspeknya: bentuk (kata) dan referennya.
Selama ini perhatian utama dalam pembicaraan tentang makna diletakkan
pada kata sebagai satuan linguistik yang bermakna. Akan tetapi, kita pun tahu
makna kata itu baru tampil dalam kalimat sesuai dengan konteks pemakaiannya.
Jika dalam analisis komponen fonem kita dapat mencirikan unsur
pemproduksiannya, maka dalam analisis komponen makna kata kita pun ingin
26
Menurut Odgen dan Ricard dalam the meaning of meaning, simbol adalah unsur
linguistik (kata atau kalimat), referen adalah objek (dalam dunia pengalaman), sedangkan referensi
atau pikiran adalah konsep. Menurut teori itu tidak ada hubungan langsung antara simbol dan
referen, hubungannya harus melalui konsep.
-
24
menemukan kandungan makna kata atau kompisisi makna kata. Prosedur
menemukan komposisi makna kata disebut pula dekomposisi kata. Untuk
menemukan komposisi unsur-unsur kandungan makna kata, kita perlu mengikuti
prosedur sebagai berikut:27
1. Pilihlah seperangkat kata secara intuitif kita perkirakan berhubungan.
2. Temukanlah analogi-analogi di antara kata-kata yang seperangkat itu.
3. Cirikanlah komponen semantik atau komposisi semantik atas dasar analogi-
analogi tadi.
Sebagai contoh biasanya dipilih perangkat kata yang menunjukkan atau
berhubungan dengan nasabah dan keluarga. Misalnya:
Pria Wanita Putra Putri
+Jantan +Jantan +Jantan -Jantan
+Dewasa +Dewasa -Dewasa -Dewasa
Dekomposisi semantik kata itu dapat dilanjutkan sampai dengan
penemuan komponen makna yang terkecil yang membedakan dua kata atau lebih.
Analisis komponen makna kata dapat membawa beberapa manfaat untuk analisis
semantik, baik semantik kalimat maupun semantik ujaran. Seperti uraian manfaat
berikut:28
1. Analisis komponen semanti makna kata dapat memberi jawab mengapa
beberapa kalimat benar, mengapa kalimat lain tidak benar dan mengapa
beberapa kalimat anomali. Karena komponen-komponen makna kata dalam
kalimat itu bercocokan, bertentangan dan tidak berhubungan.
27
J.D. Parera, Teori Semantik (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2004), h. 159-160. 28
J.D. Parera, Teori Semantik (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2004), h. 161-164.
-
25
2. Dengan analisis komponen atau komposisi makna kata, kita meramal hubungan
antara makna. Hubungan antara makna dibedakan secara umum atas lima tipe,
yakni kesinoniman, keantoniman (kontradiktoris dan kontrer), keterbalikan dan
kehiponiman. Kita katakan dua kata mempunyai kesinoniman jika dua kata itu
memiliki komponen atau komposisi senatik yang identik. Kita katakan dua kata
berantonim jika dua kata memiliki satu pertentangan dalam komposisi
komponen semantiknya yang bersifat mutlak. Keantoniman dibagi menjadi dua
tipe, yakni kontrdiksi dan kontrer. Kita katakan dua kata berantonim
keterbalikan jika perbedaan antara dua kata itu hanya terdapat pada satu
komposisi dan komposisi itu hanya merupakan alih dalam argumen. Kita
katakan dua kata berhubungan secara hiponimis jika dua kata mempunyai
semua komposisi semantik yang sama dan kata yang kedua memiliki satu
komponen ekstra atau tambahan.
3. Pakar semantik telah mendesaign satu sistem logika yang memungkinkan
komponen semantik dipakai sebagai alat uji bahwa kalimat-kalimat bersifat
analitik, bersifat kontradiksi in terminis dan bersifat anomali.
C. Wawasan Makna
1. Makna (mana)
Kita katakan bahwa semantik adalah ilmu tentang makna. Akan tetapi
kita belum memberikan arti makna dan belum menyepakati apa itu makna
dalam teori semantik. Inilah ciri khas bahasa yang dapat berbicara tentang dan
digunakan untuk dirinya sendiri. Jadi, bahasa dapat dipakai untuk berbicara
tentang bahasa atau dirinya sendiri tentang semua hal di luar bahasa itu.
-
26
Dalam bahasa Indonesia kita mengenal pula kata arti dan erti di
samping kata makna. Dalam studi semantik dan linguistik Indonesia pilihan
istilah jatuh pada kata makna dan bukan pada kata arti dan erti.29
Secara umum pemakai bahasa Indonesia lebih sering menggunakan
kata arti dari pada kata erti dan makna. Misalnya, penutur bahasa Indonesia
berkalimat:
a. Apa arti kata canggih?
b. Saya belum menangkap arti kedipan mata ibu tadi.
c. Itu berarti Anda harus datang pada hari pernikahannya.
d. Usahanya belum berarti apa-apa di masa sekarang ini.
Kata erti hanya diderivasikan dalam bentuk mengerti dan
pengertian. Kata arti dalam kalimat (a), (b) dan (c) masih dapat distribusi
dengan kata makna. Sedangkan bentuk berarti dalam kalimat (d) tidak dapat
digantikan oleh bentuk bermakna.
Pada penyusunan Kamus Besar Bahasa Indonesia pun lebih memilih
kata makna daripada kata arti. Perhatikan uraian tentang makna dua kata
tersebut dalam KBBI. Penulis petik pula dua entri tersebut beserta maknanya
dari KBBI edisi keempat halaman 87 untuk entri arti dan halaman 864 untuk
entri makna.
ar.ti n 1 maksud yg terkandung (dl perkataan, kalimat); makna: apa
isyarat itu?; 2 guna ; faedah: apanya bagi kamu menyakiti binatang
itu;
meng.ar.ti.kan v 1 memberi arti; menafsirkan: mereka ~ isyarat itu sbg
tanda menyerah; 2 menerangkan maksud sesuatu: ia~ reformasi sbg
perubahan radikal;
peng.ar.ti.an n proses, cara, perbuatan memberi arti;
ar.ti.an n arti; tafsiran; pengertian;
ber.ar.ti v 1 mengandung maksud: jika Ibu marah, itu tidak ~ beliau
benci kepadamu; 2 berfaedah; berguna: mungkin pertolongan saya ini
29
J.D. Parera, Teori Semantik (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2004), h. 43.
-
27
tak ~ bagi penderitaanmu yg begitu besar; 3 sama artinya dgn; sama
halnya dgn: mengambil milik orang tanpa permisi ~ pencuri;
ke.ber.ar.ti.an n perihal mempunyai arti: tujuan hidupnya sbg seniman
bukanlah harta, melainkan untuk meningkatkan ~ bagi dirinya dan bagi
masyarakat;
se.ar.ti n sama artinya: carilah kata-kata yg ~
mak.na n arti: ia memperhatikan setiap kata yg terdapat dl tulisan kuno
itu; 2 maksud pembicara atau penulis; pengertian yg diberikan kpd suatu
bentuk kebahasaan; -- afektif Ling makna emotif; -- denotasi Ling
makna kata atau kelompok kata yg didasarkan atas hubungan lugas
antara satuan bahasa dan wujud di luar bahasa, spt orang, benda, tempat,
sifat, proses, kegiatan; -- denotatif Ling makna yg bersifat denotasi; --
ekstensi Ling makna yg mencakupi semua objek yg dapat dirujuk dgn
kata itu; -- emotif Ling makna kata atau frasa yg ditautkan dgn perasaan
(ditentukan oleh perasaan); -- gramatikal Ling makna yg didasarkan
atas hubungan antara unsur-unsur bahasa dl satuan yg lebih besar, msl
hubungan antara kata dan kata lain dl frasa atau klausa; -- intensi Ling
makna yg mencakupi semua ciri yg diperlukan untuk keterterapan suatu
kata (istilah); -- khusus Ling makna kata atau istilah yg pemakaiannya
terbatas pd bidang tertentu; -- kiasan Ling makna kata atau kelompok
kata yg bukan mengacu ke makna yg sebenarnya, melainkan
mengiaskan sesuatu, msl mahkota wanita berarti rambut wanita; --
kognitif Ling aspek-aspek makna satuan bahasa yg berhubungan dgn
ciri-ciri dl alam luar bahasa atau penalaran; -- konotasi Ling makna
(nilai rasa) yg tibul krn adanya tautan pikiran antara denotasi dan
pengalaman pribadi; -- konotatif Ling makna yg bersifat konotasi; --
kontekstual Ling makna yg didasarkan atas hubungan antara ujaran dan
situasi pemakaian ujaran itu; -- leksikal Ling makna unsur bahasa sbg
lambang benda, peristiwa, dsb; -- lokusi Ling makna yg dimaksudkan
penutur dl perbuatan berbahasa; -- luas Ling makna ujaran yg lebih luas
daripada pusatnya, msl sekolah dl kalimat ia bersekolah lagi di Seskoal
(Sekolah Staf dan Komando Angkatan Laut) yg lebih luas daripada
makna gedung tempat belajar; -- pusat Ling makna kata yg umumnya
dapat dimengerti walaupun kata itu diberikan tanpa konteks; --
referensial Ling makna unsur bahasa yg sangat dekat hubungannya dgn
dunia di luar bahasa (objek atau gagasan), dan dapat dijelaskan oleh
analisis komponen; makna denotasi; -- sempit Ling makna ujaran yg
lebih sempit daripada makna pusatnya; -- suratan Ling makna denotasi;
-- takberciri Ling makna pusat; -- tautan Ling konotasi; -- umum Ling
kata atau istilah yg pemakaiannya menjadi unsur bahasa umum;
me.mak.na.i v memberi makna: mereka gagal ~ rumusan sosial di
wilayah itu;
me.mak.na.kan v menerangkan arti (maksud) suatu kata dsb;
ber.mak.na v berarti; mempunyai (mengandung) arti penting (dalam):
kalimat itu ~ rangkap;
~ berbilang mempunyai (mengandung) beberapa arti;
mem.ber.mak.na.kan v menjadi bermakna: terampilnya siswa
berbahasa Indonesia berarti keberhasilan dl ~ pengajaran bahasa
Indonesia
mak.na.wi a 1 mengenai makna; berkenaan dgn makna; menurut
artinya; 2 asasi; penting
-
28
The ideational theory af meaning disebutkan teori terdahulu ihwal
makna semula dikembangkan oleh John Locke. Berikut adalah beberapa
konsep dasar dari teori ini:30
a. Makna itu ditempelkan saja kepada kata (terpisah dari kata). Makna datang
dari tempat lain yaitu dari minda (mind) dalam bentuk ide atau gagasan.
b. Yang mendasari teori the ideational of meaning adalah asumsi bahwa
bahasa adalah instrumen untuk melaporkan pikiran yang terdiri atas antrian
gagasan yang disadari. Gagasan ini bersifat personal, maka diperlukan
sistem bunyi yang membangun pemahaman intersubjektivitas.
c. Bahasa yang bersifat personal itu memiliki makna setelah dihubungkan
dengan sensasi personal, maka dari itu disebut private language. Jadi,
makna bahasa menjadi sangat pribadi sehingga tidak dapat diajarkan pada
orang lain.
Sampai akhir abad 19 teori yang berkembang adalah teori yang
disebut primitive reference, mengikuti pemikiran Russell bahwa kata bermakna
karena rujukannya kepada objek atau keadaan yang digambarkan oleh kata itu.
Berikut adalah perbincangan teori itu:31
a. Kata-kata memiliki makna karena mereka sebagai simbol bagi sesuatu di
luar dirinya. Makna adalah objek dari simbolisasi itu, kata-kata adalah
sebuah label yang dihinggapi sesuatu dan sesuatu adalah makna dari kata itu.
30
A. Chaedar Alwasilah, Filsafat Bahasa dan Pendidikan (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2008), h. 60-61. 31
A. Chaedar Alwasilah, Filsafat Bahasa dan Pendidikan (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2008), h. 62-63.
-
29
b. Nama-nama dan deskripsinya akan berwujud objek, sementara itu verba,
adjektiva, adverbia dan preposisi menunjukkan sifat-sifat (properties) dari
dan hubungan-hubungan antara objek itu.
c. Sebuah nama (kata, tanda, kombinasi tanda dan ekspresi) menyatakan sense
tersendiri dan merujuk pada rujukannya (referent). Sense atau makna sebuah
kalimat adalah pikiran yang diungkapkan kalimat. Reference dari sebuah
kalimat adalah nilai kebenaran dari kalimat dan tergantung pada reference
dari bagian-bagian kalimat.
Makna sebagai penghubung bahasa dengan dunia luar sesuai dengan
kesepakatan para pemakainya sehingga dapat saling mengerti. Makna
mempunyai tiga tingkat keberadaannya, yakni: 32
a. Makna menjadi isi dari suatu bentuk kebahasaan.
b. Makna menjadi isi dari suatu kebahasaan.
c. Makna menjadi isi komunikasi yang mampu membuahkan informasi
tertentu.
Pada tingkat pertama dan kedua dilihat dari segi hubungannya dengan
penutur, sedangkan pada tingkat ketiga makna lebih ditekankan pada makna
dalam komunikasi. Memperlajari makna pada hakikatnya mempelajari
bagaimana setiap pemakai bahasa dalam suatu masyarakat bahasa saling
mengerti. Untuk menyusun kalimat yang dapat dimengerti, pemakai bahasa
dituntut untuk menaati kaidah gramatikal atau tunduk kepada kaidah pilihan
kata menurut sistem leksikal yang berlaku di dalam sautu bahasa.
32
T. Fatimah Djajasudarma, Semantik 1: Makna Leksikal dan Gramatikal (Bandung: PT
Refika Aditama, 2009), h. 7-8.
-
30
Makna sebuah kalimat sering tidak bergantung pada sistem gramatikal
dan leksikal saja, tetapi berjantung kepada kaidah wacana. Makna sebuah
kalimat yang baik pilihan kata (diksi) dan susunan gramatikalnya, sering tidak
dapat dipahami tanpa memperhatikan hubungannya dengan kalimat lain dalam
sebuah wacana.
Filosofi dan linguis mencoba menjelaskan tiga hal yang berhubungan
dengan makna, seperti:33
a. Makna kata secara alamiah (inheren < inherent bahasa inggris).
b. Mendeskripsikan makna kalimat secara alamiah (termasuk makna
kategorial).
c. Menjelaskan proses komunikasi.
Sesungguhnya persoalan makna memang sangat sulit dan ruwet
karena, walaupun makna ini adalah persoalan bahasa, tetapi keterkaitan dan
keterikatannya dengan segala segi kehidupan manusia sangat erat.34
2. Relasi Makna (al-al t al-dil liyyah)
Hubungan atau relasi makna (Cruse) adalah hubungan yang tidak
kontroversi atau tidak berlawanan, tetapi mengacu pada hubungan apa yang
akan terjadi antara unit-unit mereka.35
Dengan kata lain relasi makna
merupakan satuan bahasa yang satu dengan satuan bahasa yang lain. Satuan
bahasa di sini dapat berupa kata, frase maupun kalimat; dan relasi semantik itu
33
T. Fatimah Djajasudarma, Semantik 1: Makna Leksikal dan Gramatikal (Bandung: PT
Refika Aditama, 2009), h. 9. 34
Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia: Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka
Cipta, 2009), h. 27. 35
T. Fatimah Djajasudarma, Semantik 2: Relasi Makna Paradigma-Sintagmatig-
Derivasional (Bandung: PT Refika Aditama, 2013), h. 111.
-
31
dapat menyatakan kesamaan makna, pertentangan makna, ketercakupan makna,
kegandaan makna atau juga kelebihan makna.36
Relasi ini merupakan akibat
dari kandungan komponen makna yang kompleks dalam berbagai bentuk.37
Berikut ini akan dibicarakan masalah relasi makna satu per satu, yakni:
a. Sinonim (al-tar duf)
Secara semantik Verhaar mendefinisikan sinonim sebagai ungkapan (bisa
berupa kata, frase atau kalimat) yang maknanya kurang lebih sama dengan
makna ungkapan lain.38
Umpamanya kata pandai dan cerdas adalah dua
kata yang bersinonim. Hubungan makna antara dua kata yang bersinonim
bersifat dua arah. Cruse membagi sinonim atas tiga perangkat: absolut,
proposisional dan near-sinonim. Sinonim terjadi bila kata dalam konteks
dapat disubtitusikan dengan kata kain dan makna konteks tidak berubah
(Ullmann, Lyons, Palmer).39
Selanjutnya Lyons mengemukakan bahwa
sinonim dapat ditentukan dengan cara:
1. Subtitusi (penyulihan)
2. Pertentangan
3. Penentuan konotasi
36
Abdul Chaer, Linguistik Umum (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2007), h. 297. 37
Syarif Hidayatullah dan Abdullah, Pengantar Linguistik Bahasa Arab: Klasik Modern
(Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 122. 38
Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia: Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka
Cipta, 2009), h. 83. 39
T. Fatimah Djajasudarma, Semantik 2: Relasi Makna Paradigma-Sintagmatig-
Derivasional (Bandung: PT Refika Aditama, 2013), h. 125.
-
32
Cruse membagi sinonim menjadi:40
1. Sinonim Absolut (mutlak), yang mengacu pada identitas makna
merupakan spesifikasi makna. Pendekatan kontekstual digunakan dalam
berdasarkan makna adalah sesuatu yang mempengaruhi teks normal dari
unsur leksikal di dalam konteks kalimat apik.
2. Sinonim Proposisional, terjadi bila dua unsur leksikal di dalam suatu
ekspresi dapat disulih dengan unsur benar secara kondisional tanpa ada
dampak terhadap wujud secara keseluruhan.
3. Sinonim Berdekatan, batas antara sinonim proposisional dengan sinonim
berdekatan dapat dijelaskan secara prinsip. Dalam hal ini pengguna
bahasa benar-benar memiliki intuisi untuk perangkat pasangan kata yang
bersinonim atau yang tidak, secara sederhana ada skala jarak semantis
dan kata-kata yang bersinonim adalah kata-kata yang maknanya relatif
dekat (memiliki batas lebih rendah dari sinonim dekat).
b. Antonimi (al-adhdha:d)
Antonimi adalah hubungan semantik antara dua buah satuan ujaran yang
maknanya menyatakan kebalikan, pertentangan atau kontras antara satu
dengan yang lain.41
Misalnya kata guru berantonim dengan kata murid.
Antonimi dapat berupa:42
40
T. Fatimah Djajasudarma, Semantik 2: Relasi Makna Paradigma-Sintagmatig-
Derivasional (Bandung: PT Refika Aditama, 2013), h. 126. 41
Abdul Chaer, Linguistik Umum (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2007), h. 299. 42
T. Fatimah Djajasudarma, Semantik 2: Relasi Makna Paradigma-Sintagmatig-
Derivasional (Bandung: PT Refika Aditama, 2013), h. 135-137.
-
33
1. Antonimi Berlawanan (Polar Antonyms)
Ciri-cirinya sebagai berikut:
(i) Kedua unsur sepenuhnya dapat diukur.
(ii) Terjadi secara normal dalam komparatif dan superlatif.
(iii) Antonimi berlawanan menunjukkan derajat dari beberapa
unidimensional objektif dalam wujud fisik, secara prototipikal
salah satunya yang dapat diukur dalam unit konvensional.
(iv) Antonimi berlawanan merupakan ketidaksesuaian tetapi bukan
kejangkapan.
(v) Bentuk komparatif bertahan dalam hubungan kebalikan.
(vi) Pertanyaan yang menunjukkan relevansi unsur-unsur yang
mengacu pada pertanyaan keseimbangan.
2. Antonimi Keselarasan (Equivollent Antonyms)
Antonim keselarasan atau keseimbangan dapat ditentukan dengan
keseimbangan atau keterlibatan komparatif.
3. Overlapping Antonyms (Antonim Tumpang Tindih)
Antonim tumpang tindih menghasilkan keseimbangan komparatif.
c. Oposisi
Oposisi merupakan relasi yang terjadi sehari-hari dalam pengenalan leksikal.
Oposisi kemungkinan satu-satunya relasi untuk memperoleh pengenalan
leksikal secara langsung, cara inilah yang dahulu digunakan secara kognitif.
Cruse menjelaskan unsur oposisi yang relevan yaitu oposisi biner, unsur
-
34
inheren dan unsur paten.43
Lebih jauh, berdasarkan sifatnya oposisi dapat
dibedakan menjadi:44
1. Oposisi mutlak, jadi ada pertentangan mutlak.
2. Oposisi kutub, bersifat gradasi.
3. Oposisi hubungan, bersifat melengkapi.
4. Oposisi hierarkial, menyatakan suatu deret jenjang atau tingkatan.
5. Oposisi majemuk, yang beroposisi lebih dari sebuah kata.
d. Hiponimi
Hiponimi adalah semacam relasi antarkata yang berwujud atas bawah, atau
dalam suatu makna terkandung sejumlah komponen yang lain. Karena ada
kelas kata atas yang mencakup sejumlah komponen yang lebih kecil dan ada
sejumlah kelas kata bawah yang merupakan komponen-komponen yang
tercakup dalam kelas atas, maka kata yang berkedudukan sebagai kelas kata
disebut superordinat dan kelas bawah yang disebut hiponim.45
Contohnya
kata bunga merupakan suatu superordinat yang membawahi sejumlah
hiponim antara lain: mawar, melati, sedap malam, flamboyan, dan gladiol.
Tiap hiponim pada gilirannya dapat menjadi superordinat bagi sejumlah
hiponim yang bernaungan di bawahnya, misalnya ada mawar merah, mawar
putih, mawar orange dan sebagainya. Dalam keterbatasan istilah dapat juga
terjadi bahwa istilah yang sama dapat dipakai lebih dari satu kali bagi
hirarki yang berbeda.
43
T. Fatimah Djajasudarma, Semantik 2: Relasi Makna Paradigma-Sintagmatig-
Derivasional (Bandung: PT Refika Aditama, 2013), h. 133-134. 44
Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia: Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka
Cipta, 2009), h. 90-93. 45
Istilaah superordinat dan hiponim adalah istilah dalam semantik. Ilmu biologi
mempergunakan istilah genus dan species, ilmu-ilmu sosial mempergunakan istilah kategori dan
sub-kategori. Semuanya mengacu pada hal yang sama yaitu tingkat atas dan tingkat bawah.
-
35
e. Homonimi
Hominimi adalah relasi antarkata yang ditulis sama atau dilafalkan sama,
tetapi maknanya berbeda. Misalkan, kata bisa mampu dan kata bisa
racun. Dalam bahasa Indonesia homonimi masih dapat dibedakan lagi atas
homograf dan homofon, karena kesamaan bentuk dapat dilihat dari sudut
ejaan atau ucapan. Homograf adalah dua bentuk bahasa yang sama ejaannya,
tetapi berlainan lafalnya. Contoh kata tahu makanan dan kata tahu
paham. Sedangkan homofon adalah dua ujaran dalam bentuk kata yang
samPa lafalnya, namun berlainan tulisannya. Misalnya, kata masa waktu
dan massa kelompok orang dalam jumlah besar yang menjadi satu
kesatuan.
f. Polisemi
Satu kata mempunyai lebih dari satu arti atau lebih tepat kita katakan satu
leksem mempunyai beberapa makna, relasi ini disebut polisemi.46
Di dalam
penyusunan kamus, seperti kata-kata yang berhomonim muncul sebagai
lema (entri) yang terpisahkan, sedangkan kata yang berpolisemi muncul
sebagai satu lema namun dengan beberapa penjelasan. Misalkan saja, kata
sumber dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat pada halaman
1353 muncul sebagai satu lema, namun dengan beberapa penjelasan seperti:
Sum.ber n 1 tempat keluar (air atau zat cair); mata air: ia
mengambilkan air di --; di laut sekitar pulau itu ditemukan
minyak; 2 asal (dl berbagai arti): ia berusaha mendekati dan
menemukan bunyi yang memesonanya; kabar itu didapatnya
dari yang boleh dipercaya;
Perbedaan antara polisemi dan homonim dapat dilihat dari analisis
komponen. Pada hakikatnya bertumpu pada derajat kesamaan. Ada
46
A. Chaedar Alwasilah, Linguistik Suatu Pengantar (Bandung: Penerbit Angkasa,1993), h. 164.
-
36
perangkat bentuk yang sama sekali tidak mengandung kesamaan salah satu
makna pun, dan ada perangkat bentuk yang mengandung sebagian
komponen makna yang sama. Perbedaan makna pada bentuk polisemi
menurut Nida (1974) umunya meliputi perbedaan komponen makna proses,
objek, hasil atau keadaan.47
Para ahli bahasa mempunyai pendapat yang sejalan bahwa polisemi ini
adalah satu kata yang memiliki makna lebih dari satu. Karena makna ganda
itulah maka pendengar atau pembaca ragu akan makna kata (kalimat).
g. Taksonimi
Taksonimi mengacu pada relasi semantik antara beberapa kata yang
serumpun.48
mengenai taksonimi, Lahrer menggunakan cara para ahli
etnigrafi yang secara umum bertanya pada informan yang ditemuinya untuk
mengklasifikasikan ranah kumpulan leksem yang dilanjutkan dengan
menentukan hierarki yang ada pada struktur leksikalnya. Lehrer (1974)
berpendapat bahwa masalah yang umum dihadapi pada taksonimi adalah
adanya sejumlah prinsip yang dilibatkan dalam klasifikasi hierarkis.49
Wienriech (1980) menyebutkan ada dua kriteria dalam membuat hierarkisasi:
(1) pengisolasian konotasi dan pengisolasian tujuan untuk pengkajian secara
linguistik, meskipun terjadi pemindahan pengacuan dan denotasi pada
medan yang lain.; (2) direpresentasikan sebagai taksonimi.
47
T. Fatimah Djajasudarma, Semantik 1: Makna Leksikal dan Gramatikal (Bandung: PT
Refika Aditama, 2009), h. 67. 48
A. Chaedar Alwasilah, Linguistik Suatu Pengantar (Bandung: Penerbit Angkasa,1993),
h. 165. 49
Syarif Hidayatullah dan Abdullah, Pengantar Linguistik Bahasa Arab: Klasik Modern
(Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 127.
-
37
h. Ambiguitas atau Ketaksaan
Ketaksaan (ambiguitas) dapat timbul dalam berbagai variasi tulisan atau
tuturan. Sehubungan dengan ketaksaan ini Kempson (1977) yang dikutip
oleh Ullman (1976) menyebutkan tiga bentuk utama ketaksaan, seperti:50
1. Ketaksaan Fonetik
Ketaksaan pada tataran fonologi (fonetik) muncul akibat berbaurnya
bunyi-bunyi bahasa yang dilafalkan. Kata-kata yang membentuk kalimat
bila dilafalkan terlalu cepat, dapat mengakibatkan keragu-raguan akan
maknanya.
2. Ketaksaan Gramatikal
Ketaksaan gramatikal muncul pada tataran morfologi dan sintaksis.
Dengan demikian, ketaksaan pada tataran ini dapat dilihat dua alternatif.
Alternatif pertama adalah ketaksaan yang disebabkan oleh peristiwa
pembentukkan kata secara gramatikal. Alternatif kedua adalah ketaksaan
pada frase yang mirip. Tipa kata membentuk frase sebenarnya jelas,
tetapi kombinasinya mengakibatkan maknanya dapat diartikan lebih dari
satu pengertian.
3. Ketaksaan Leksikal
Setiap kata dapat bermakna lebih dari satu, dapat mengacu pada benda
yang berbeda, sesuai dengan lingkungan pemakaiannnya.
i. Redundansi
Istilah redundasi sering diartikan sebagai berlebih-lebihan pemakaian unsur
segmental dam suatu bentuk ujaran. Secara semantik masalah redundansi
50
T. Fatimah Djajasudarma, Semantik 1: Makna Leksikal dan Gramatikal (Bandung: PT
Refika Aditama, 2009), h. 98-100.
-
38
sebetulnya tidak ada, sebab salah satu prinsip dasar semantik adalah bila
bentuk berbeda maka makna pun akan berbeda.51
4. Makna Kontekstual
Makna kontekstual termasuk dalam jenis-jenis makna, yang di maksud
dengan makna kontekstual adalah makna sebuah leksem atau kata yang berada
dalam satu konteks. Makna kontekstual dapat juga berarti dengan situasi, yakni
tempat, waktu dan lingkungan penggunaan bahasa itu. Oleh karena itu, banyak
pakar mengatakan bahwa kita baru dapat menentukan makna sebuah kata
apabila kata itu sudah berada dalam konteks kalimat. Adalah teori semantik
yang berasumsi bahwa sistem bahasa itu saling berkaitan satu sama lain di
antara unit-unitnya dan selalu mengalami perubahan dan perkembangan.
Karena itu dalam menentukan makna, diperlukan adanya penentuan berbagai
konteks yang melingkupinya. Teori yang dikembangkan oleh Wittgenstein ini
menegaskan bahwa makna suatu kata dipengaruhi oleh empat konteks, yaitu:52
(a) konteks kondisi adalah kondisi atau situasi eksternal yang membuat suatu
kata berubah maknanya karena perubahan situasi.
(b) konteks emosional dapat menentukan makna bentuk kata dan strukturnya
dari segi kuat dan lemahnya muatan emosional.
(c) konteks kebahasaan adalah berkaitan dengan struktur kata dalam kalimat
yang dapat menentukan makna yang berbeda.
(d) konteks sosio-kultural adalah nilai-nilai sosial yang mengitari kata yang
menjadikannya mempunyai makna yang berbeda dari makna leksikalnya.
51
Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia: Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009), h. 105.
52 Moh. Matsna HS, Orientasi Semantik Al-Zamakhsyari: Kajian Makna Ayat-Ayat
Kalam (Jakarta: Anglo Media, 2006), h. 21-22.
-
39
Menurut J.R. Firth, teori kontekstual sejalan dengan teori relativitisme
dalam pendekatan semantik bandingkan antara bahasa. Makna sebuah kata
terikat oleh lingkungan kultural dan ekologis pemakai bahasa tertentu.
Mengacu pada persoalan berkonteks yang memiliki perbedaan
mendasar pada persoalan kosakata. Persoalan kosakata atau semacamnya
relatif jelas sosok persoalanya dan relatif mudah untuk ditemukan langkah-
langkah konkrit pemecahannya, serta merinci modal kemampuan yang
diperlukan untuk mengoperasikannya.
Konteks secara sederhana dapat dimengerti sebagai sesuatu yang
menyertai teks, sesuai dengan pemaknaan literer kata-kata yang merajut kata
tersebut. Sebab, teks sesungguhnya merupakan satu kesatuan yang utuh. Setiap
bagian mendukung bagian lainnya untuk menyampaikan sesuatu yang tunggal.
Satuan morfem akan saling mendukung pemaknaan suatu kalimat. Satuan
kalimat akan saling mendukung untuk menyampaikan pesan suatu alinea dan
begitupun seterusnya. Dengan kata lain, setiap bagian dari kebahasaan saling
membantu menyampaikan pesan utuh dari sebuah teks.
Memang tidak mudah menerjemahkan yang dipandangan dari sisi
pemadanan berkontek ke dalam langkah-langkah konkrit, mudah dicerna dan
diterapkan. Namun, secara kasar dapat dikatakan bahwa penerjemah idealnya
memiliki kesadaran konteks. Artinya, pada setiap langkahnya dalam
menyelami teks sumber dan senantiasa melakukan cross check suatu satuan
makna dengan satuan makna lainnya.
-
40
BAB III
SEKILAS TENTANG PENULIS DAN PENERJEMAH KITAB AL-HIKAM
A. Biografi Syeikh Ibn Athaillah al-Iskandari
Syeikh Ibn Athaillah al-Iskandari (w.1309 M) hidup di Mesir pada masa
kekuasaan Dinasti Mameluk. Ia lahir di kota Alexandria (Iskandariyah), lalu
pindah ke Kairo. Di kota inilah ia menghabiskan hidupnya dengan mengajar fiqh
mazhab Imam Maliki di berbagai lembaga intelektual, antara lain Masjid al-Azhar.
Di waktu yang sama dia juga dikenal luas di bidang tasawuf sebagai seorang
master (syeikh) besar ketiga di lingkungan tarekat sufi Syadziliyah ini.
Ibn Athaillah tergolong ulama yang produktif. Tak kurang dari 20 karya
yang pernah dihasilkannya. Meliputi bidang tasawuf, tafsir, aqidah, hadits, nahwu,
dan ushul fiqh. Kitab ini sudah beberapa kali disyarah. Antara lain oleh
Muhammad bin Ibrahim ibn Ibad ar-Rundi, Syeikh Ahmad Zarruq, dan Ahmad
ibn Ajiba.
Beberapa kitab lainnya yang ditulis adalah Al-Tanwir fi Isqath al-Tadbir,
Unwan at-Taufiq fidab al-Thariq, miftah al-Falah dan al-Qaul al-Mujarrad fil
Ism al-Mufrad. Yang terakhir ini merupakan tanggapan terhadap Syaikhul Islam
Ibn Taimiyyah mengenai persoalan tauhid. Kedua ulama besar itu memang hidup
dalam satu zaman, dan kabarnya beberapa kali terlibat dalam dialog yang
berkualitas tinggi dan sangat santun. Ibn Taimiyyah adalah sosok ulama yang
tidak menyukai praktek sufisme. Sementara Ibn Athaillah dan para pengikutnya
melihat tidak semua jalan sufisme itu salah. Karena mereka juga ketat dalam
urusan syariat.
-
41
Ibn Athaillah dikenal sebagai sosok yang dikagumi dan bersih. Ia menjadi
panutan bagi banyak orang yang meniti jalan menuju Tuhan. Menjadi teladan bagi
orang-orang yang ikhlas, dan imam bagi para juru nasihat.
Ia dikenal sebagai master atau syaikh ketiga dalam lingkungan tarikat
Syadzili setelah yang pendirinya Abu al Hasan Asy Syadzili dan penerusnya, Abu
Al Abbas Al Mursi. Dan Ibn Athaillah inilah yang pertama menghimpun ajaran-
ajaran, pesan-pesan, doa dan biografi keduanya, sehingga khazanah tarikat
syadziliah tetap terpelihara.
Meski ia tokoh kunci di sebuah tarikat, bukan berarti aktifitas dan
pengaruh intelektualismenya hanya terbatas di tarekat saja. Buku-buku Ibn
Athaillah dibaca luas oleh kaum muslimin dari berbagai kelompok, bersifat lintas
mazhab dan tarikat, terutama kitab al-Hikam yang melegenda ini.
Pengarang kitab al-Hikam yang cukup populer di negeri kita ini adalah
Tajuddin, Abu al-Fadl, Ahmad bin Muhammad bin Abd al-Karim bin Athaillah
al-Sakandari al-Judzami al-Maliki al-Syadzili. Ia berasal dari bangsa Arab. Nenek
moyangnya berasal dari Judzam yaitu salah satu Kabilah Kahlan yang berujung
pada Bani Yarib bin Qohton, yang terkenal dengan Arab al-Aaribah. Kota
Iskandariah merupakan kota kelahiran sufi besar ini. Suatu tempat di mana
keluarganya tinggal dan kakeknya mengajar. Kendatipun namanya hingga kini
demikian harum, namun kapan sufi agung ini dilahirkan tidak ada catatan yang
tegas. Dengan menelisik jalan hidupnya DR.Taftazani bisa menengarai bahwa ia
dilahirkan sekitar tahun 658 sampai 679 H.
-
42
Ayahnya termasuk semasa dengan Syeikh Abu al-Hasan al-Syadili -
pendiri Thariqah al-Syadziliyyah-sebagaimana diceritakan Ibn Athaillah dalam
kitabnya Lathaiful Minan : Ayahku bercerita kepadaku, suatu ketika aku
menghadap Syaikh Abu al-Hasan al-Syadzili, lalu aku mendengar beliau
mengatakan: Demi Allah kalian telah menanyai aku tentang suatu masalah
yang tidak aku ketahui jawabannya, lalu aku temukan jawabannya tertulis pada
pena, tikar dan dinding.
Keluarga Ibn Athaillah adalah keluarga yang terdidik dalam lingkungan
agama, kakek dari jalur nasab ayahnya adal