Ketahanan Energi Indonesia - Studi Kemandirian Pemanfaatan Energi

7
Ketahanan Energi Indonesia: Studi Kemandirian Pemanfaatan Energi dalam 35 tahun ke depan Ryanti Widya Savitri (1406584183) Teknik Tenaga Listrik dan Energi Universitas Indonesia Depok, 2015 Abstrak – Tulisan ini mengemukakan rapuhnya kondisi ketahanan energi Indonesia saat ini yang disebebabkan oleh salah kaprah nilai guna pada ekspor komoditas sumber daya energi dan pada pengalokasian anggaran untuk mensubsidi konsumsi energi. Dalam rangka meningkatkan ketahanan energi, Indonesia perlu memaksimalkan pemanfaatan bahan bakar batubara di dalam negeri, dan mempercepat pembangunan infrastruktur untuk pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT) secara masif. Untuk itu, Indonesia perlu belajar dari kesuksesan negara lain dalam memanfaatkan EBT, khususnya terkait geothermal (New Zealand) dan biofuel (Brazil). Kemudian, Indonesia perlu menerapkan komoditas sumber daya energi (SDE) sebagai modal pembangunan nasional dan mengalokasikan anggaran subsidi pada pembangunan infrastruktur EBT. Apabila masyarakat dan pemerintah dapat saling mendukung dalam mengusahakan kemandirian pemanfaatan energi maka cadangan energi penyangga dan strategis dapat segera terealisasikan, rasio elektrifikasi dapat meningkat secara signifikan, serta tentunya berimplikasi ke pertumbuhan ekonomi. Kata Kunci – Ketahanan Energi, Indonesia, batubara, EBT, geothermal, biofuel I. PENDAHULUAN Saat ini Indonesia menghadapi tantangan dalam hal ketahanan di bidang energi. Dalam buku Outlook Energi Indonesia yang dikeluarkan oleh Dewan Energi Nasional (DEN) pada tahun 2014, dinyatakan bahwa “Ketergantungan terhadap energi fosil, terutama minyak bumi dalam pemenuhan konsumsi di dalam negeri masih tinggi, yaitu sebesar 96% (minyak bumi 48%, batubara 30%, dan gas 18%) dari total konsumsi energi nasional.” Artinya, bauran energi baru dan terbarukan (EBT) dalam konsumsi energi Indonesia hanya 4%. Sementara itu, dalam buku Outlook Energi Indonesia 2014 yang dikeluarkan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), dinyatakan bahwa “Berdasarkan reserve to production ratio sumber energi fosil, potensi pemanfaatan batubara merupakan yang paling tinggi, yaitu sekitar 75 tahun lagi akan habis, gas 33 tahun lagi, dan minyak merupakan sumber energi fosil yang potensinya paling kecil, yaitu masih dapat dimanfaatkan hanya sekitar 12 tahun lagi, bila tidak ditemukan cadangan baru”. Hal ini berarti, penyediaan energi fosil dari dalam negeri yang dapat diandalkan kontinuitasnya dalam 35 tahun ke depan hanyalah batubara. Berdasarkan BP Statistical Review of World Energy 2014, pada tahun 2013 Indonesia merupakan produsen batubara keempat terbesar dunia, yakni setelah Cina, Amerika, dan Australia. Sayangnya, sebagai produsen batubara terbesar di dunia, lebih dari 75% produksi batubara Indonesia dijadikan komoditas ekspor. Hal ini didasarkan dari pernyataan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tahun 2014,“ekspor batubara Indonesia hingga kuartal III 2014 mencapai angka sebesar 234,76 juta ton, sedangkan capaian produksinya mendekati angka 310,84 juta ton.” Selanjutnya, bicara tentang konsumsi energi di Indonesia maka tidak terlepas dari dana anggaran. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2015, alokasi untuk infrastruktur penunjang ketahanan energi hanyalah 10 triliun, yaitu berkurang Tugas Pra UAS Manajemen dan Ekonomi Energi (Genap 2014/2015) | 1

description

Ketahanan Energi Indonesia - Studi Kemandirian Pemanfaatan Energi

Transcript of Ketahanan Energi Indonesia - Studi Kemandirian Pemanfaatan Energi

  • Ketahanan Energi Indonesia: Studi Kemandirian Pemanfaatan Energi

    dalam 35 tahun ke depan

    Ryanti Widya Savitri (1406584183) Teknik Tenaga Listrik dan Energi

    Universitas Indonesia Depok, 2015

    Abstrak Tulisan ini mengemukakan rapuhnya kondisi ketahanan energi Indonesia saat ini yang disebebabkan oleh salah kaprah nilai guna pada ekspor komoditas sumber daya energi dan pada pengalokasian anggaran untuk mensubsidi konsumsi energi. Dalam rangka meningkatkan ketahanan energi, Indonesia perlu memaksimalkan pemanfaatan bahan bakar batubara di dalam negeri, dan mempercepat pembangunan infrastruktur untuk pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT) secara masif. Untuk itu, Indonesia perlu belajar dari kesuksesan negara lain dalam memanfaatkan EBT, khususnya terkait geothermal (New Zealand) dan biofuel (Brazil). Kemudian, Indonesia perlu menerapkan komoditas sumber daya energi (SDE) sebagai modal pembangunan nasional dan mengalokasikan anggaran subsidi pada pembangunan infrastruktur EBT. Apabila masyarakat dan pemerintah dapat saling mendukung dalam mengusahakan kemandirian pemanfaatan energi maka cadangan energi penyangga dan strategis dapat segera terealisasikan, rasio elektrifikasi dapat meningkat secara signifikan, serta tentunya berimplikasi ke pertumbuhan ekonomi.

    Kata Kunci Ketahanan Energi, Indonesia, batubara, EBT, geothermal, biofuel

    I. PENDAHULUAN Saat ini Indonesia menghadapi tantangan dalam

    hal ketahanan di bidang energi. Dalam buku Outlook Energi Indonesia yang dikeluarkan oleh Dewan Energi Nasional (DEN) pada tahun 2014, dinyatakan bahwa Ketergantungan terhadap energi fosil, terutama minyak bumi dalam pemenuhan konsumsi di dalam negeri masih tinggi, yaitu sebesar 96% (minyak bumi 48%, batubara 30%, dan gas 18%) dari total konsumsi energi nasional. Artinya, bauran

    energi baru dan terbarukan (EBT) dalam konsumsi energi Indonesia hanya 4%.

    Sementara itu, dalam buku Outlook Energi Indonesia 2014 yang dikeluarkan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), dinyatakan bahwa Berdasarkan reserve to production ratio sumber energi fosil, potensi pemanfaatan batubara merupakan yang paling tinggi, yaitu sekitar 75 tahun lagi akan habis, gas 33 tahun lagi, dan minyak merupakan sumber energi fosil yang potensinya paling kecil, yaitu masih dapat dimanfaatkan hanya sekitar 12 tahun lagi, bila tidak ditemukan cadangan baru. Hal ini berarti, penyediaan energi fosil dari dalam negeri yang dapat diandalkan kontinuitasnya dalam 35 tahun ke depan hanyalah batubara.

    Berdasarkan BP Statistical Review of World Energy 2014, pada tahun 2013 Indonesia merupakan produsen batubara keempat terbesar dunia, yakni setelah Cina, Amerika, dan Australia. Sayangnya, sebagai produsen batubara terbesar di dunia, lebih dari 75% produksi batubara Indonesia dijadikan komoditas ekspor. Hal ini didasarkan dari pernyataan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tahun 2014,ekspor batubara Indonesia hingga kuartal III 2014 mencapai angka sebesar 234,76 juta ton, sedangkan capaian produksinya mendekati angka 310,84 juta ton.

    Selanjutnya, bicara tentang konsumsi energi di Indonesia maka tidak terlepas dari dana anggaran. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2015, alokasi untuk infrastruktur penunjang ketahanan energi hanyalah 10 triliun, yaitu berkurang

    Tugas Pra UAS Manajemen dan Ekonomi Energi (Genap 2014/2015) | 1

  • 30% dari pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2014 yang sebesar 14,3 triliun. Hal ini terasa menyedihkan karena dengan kondisi keuangan negara yang defisit dan ditopang oleh hutang, dan sebagai suatu negara berkembang, sebesar 344,7 triliun dianggarkan pemerintah untuk mensubsidi konsumsi energi, sedangkan hanya 10 triliun dialokasikan untuk peningkatan ketersediaan infrastruktur penunjang ketahanan energi.

    Sehingga, penulis merasa rapuhnya kondisi ketahanan energi Indonesia sekarang ini merupakan akibat dari adanya salah kaprah nilai guna pada ekspor komoditas sumber daya energi untuk pendapatan negara dan pada pengalokasian anggaran untuk mensubsidi konsumsi energi.

    II. KONSEP KETAHANAN ENERGI International Energi Agency (IEA)

    mendefinisikan ketahanan energi sebagai ketersediaan sumber energi yang tidak terputus dengan harga yang terjangkau. Sehubungan dengan definisi tersebut, pada bagian ini akan dipaparkan kosep terkait ketahanan energi, yakni energy sustainability index (ESI). Sejak tahun 2011, World Energy Council mulai me-rangking kemampuan suatu negara untuk memberikan kebijakan energi yang berkelanjutan. Hal ini dikarakterisasi berdasar trilema energi (Gambar 2.1), yaitu secara umum terdiri dari tiga dimensi, yaitu keamanan energi, ekuitas energi dan sustainabilitas lingkungan.

    Gambar 2.1 Metodologi Indeks Trilema Energi

    A. Kemanan Energi World Energy Council mendefinisikan keamanan

    energi sebagai indikator keefektifan manajemen suplai energi primer dari sumber domestik maupun eksternal, reliability infrastruktur energi, dan kemampuan perusahaan energi untuk memenuhi permintaan saat ini dan masa mendatang.

    B. Ekuitas Energi World Energy Council mendefinisikan ekuitas

    energi sebagai indikator tingkat aksesibilitas dan keterjangkauan harga energi yang disuplai ke seluruh penduduk di suatu negara.

    C. Sustainabilitas Lingkungan World Energy Council mendefinisikan

    sustainabilitas energi sebagai indikator pencapaian efisiensi energi, baik dari sisi suplai maupun permintaan, serta perkembangan suplai energi dari sumber terbarukan.

    III. KONDISI ENERGI INDONESIA Kondisi ketahanan energi di Indonesia dapat

    dikatakan rapuh dibandingkan dengan negara lain. Berdasar metodologi Indeks Trilema Energi dari Dewan Energi Dunia (World Energy Council), Indonesia berada pada peringkat 69 dari 129 negara dalam hal ketahanan energi. Ditambah lagi, saat ini Indonesia masih belum memiliki cadangan strategis dan cadangan penyangga energi. Indonesia hanya mengandalkan cadangan operasional untuk energi, yaitu ketersediaan stok bahan bakar minyak untuk 18-21 hari.

    Dari Tabel 3.1 terlihat bahwa potensi energi fosil Indonesia yang terbesar berasal dari batubara. Batubara Indonesia sampai dengan 2013 mencapai sebesar 31,36 miliar ton, sedangkan sumber daya batubara mencapai 120,53 miliar ton dengan rincian sumber daya terukur sebesar 39,45 miliar ton, terindikasi sebesar 29,44 miliar ton, tereka sebesar 32,08 miliar ton dan hipotetik sebesar 19,56 miliar ton (DEN, 2014). Gambar 3.1 menunjukkan bahwa sebagian besar dari sumber daya maupun cadangan batubara yang dapat ditambang berada di wilayah Sumatera dan Kalimantan, terutama Sumatera Selatan dan Kalimantan Timur.

    Tugas Pra UAS Manajemen dan Ekonomi Energi (Genap 2014/2015) | 2

  • Tabel 3.1 Potensi Energi Fosil di Indonesia

    Gambar 3.1 Sumber Daya Batubara di Indonesia Tabel 3.2 Potensi EBT di Indonesia

    Dalam hal EBT, Indonesia memiliki beragam

    potensi, namun masih sedikit termanfaatkan, sebagaimana terpapar pada Tabel 3.2. Begitu pun dalam konsumsi energi di tahun 2013, EBT baru sekitar 4% (Gambar 3.2).

    Sehubungan dengan itu, pada tahun 2014 ditetapkan perubahan kebijakan Feed-in Tariff (FiT) untuk panas bumi, yaitu dari Permen ESDM 22/2012 ke Permen ESDM 17/2014. Perubahan ini tentang pembelian tenaga listrik dari panas bumi oleh PLN. Dalam Permen yang baru, yaitu Permen ESDM

    17/2014, pembelian tenaga listrik dari panas bumi mempertimbangkan commercial operation date (COD) dan wilayah, sehingga menghasilkan harga yang lebih menarik dari sisi pengusaha bila dibandingkan dengan harga pada peraturan sebelumnya. Harga patokan tertinggi pada tahun 2015 adalah 11,8 cent $/ kWh (wilayah I), 17,0 cent $/kWh (wilayah II), dan 25,4 cent $/kWh (wilayah III). Harga patokan tertinggi meningkat pada tahun 2025 karena eskalasi menjadi 15,9 cent $/kWh (wilayah I), 23,3 cent $/kWh (wilayah II), dan 29,6 cent $/ kWh (wilayah III).

    Selanjutnya, Gambar 3.3 menunjukkan bahwa dari sisi konsumsi energi, dari total 134 MTOE pada tahun 2013, konsumsi terbesar berasal dari sektor industri, yaitu sekitar 47% dan dari sektor transportasi, yaitu sekitar 35%.

    Gambar 3.2 Bauran Konsumsi Energi Indonesia 2013

    (DEN, 2014)

    Gambar 3.3 Konsumsi Energi Final Indonesia 2013 Kemudian, dalam hal ketenagalistrikan,

    penyediaan tenaga listrik di Indonesia tidak hanya dilakukan PLN, tetapi juga dilakukan oleh pihak swasta, yaitu Independent Power Producer (IPP),

    Tugas Pra UAS Manajemen dan Ekonomi Energi (Genap 2014/2015) | 3

  • Private Power Utility (PPU) dan Izin Operasi (IO) non bahan bakar minyak (BBM).

    Pada tahun 2012 kapasitas total pembangkit nasional (PLN, IPP, PPU, IO non BBM) di wilayah Indonesia adalah sebesar 44,8 GW, dimana sekitar 73% diantaranya berada di wilayah Jawa-Bali, 18% di wilayah Sumatera, sedangkan sisanya di wilayah Kalimantan dan Pulau Lainnya (Sulawesi, Maluku, NTB-NTT, Papua).

    BPPT (2014) menyatakan bahwa dilihat dari segi input bahan bakar, pembangkit berbahan bakar batubara dan gas mempunyai pangsa yang paling tinggi, yaitu masing-masing sebesar 43% (19,1 GW) dan 27% (12 GW), diikuti kemudian oleh pembangkit berbahan bakar minyak dengan pangsa sekitar 18% (8,1 GW). Masih tingginya pangsa pembangkit BBM diimbangi dengan makin meningkatnya pangsa pembangkit berbahan bakar energi terbarukan, seperti panas bumi, dengan pangsa mendekati 3% (1,3 GW), serta pembangkit berbasis hidro dengan pangsa dikisaran 9% (4,2 GW). Disamping itu, pembangkit listrik tenaga matahari dan tenaga bayu juga sudah mulai beroperasi dengan kapasitas total 6,9 MW.

    Dilihat dari sisi penyediaan tenaga listrik, pada tahun 2012 pembangkit listrik PLN mendominasi dengan pangsa lebih dari 73% (32,9 GW), pembangkit listrik IPP di kisaran 17% (7,4 GW), serta sisanya diisi oleh pembangkit listrik PPU, IO non BBM, dan pembangkit listrik sewa dengan pangsa di kisaran 10% (4,5 GW).

    IV. STUDI KESUKSESAN PEMANFAATAN EBT DI BEBERAPA NEGARA

    Untuk meningkatkan prosentase EBT pada bauran energi dalam 35 tahun ke depan, penulis akan mendeskripsikan kesuksesan New Zealand dan Brazil dalam memanfaatkan EBT, khususnya terkait geothermal dan biofuel.

    A. New Zealand (NZ) Dari sisi ketahanan energi, berdasar World Energy

    Council, ketahanan energi, NZ berada pada peringkat 10 dari 129 negara.

    Kerangka kebijakan menyeluruh pemerintah NZ terkait energi diatur dalam New Zealand Energy Strategy (NZES) dan Energy Efficiency and

    Conservation Strategy. Pada intinya, terdapat empat prioritas kebijakan pemerintahnya, yaitu pengembangan diversifikasi sumber daya, responsibilitas lingkungan, efisiensi penggunaan energi, dan energi yang aman dan terjangkau. NZ sendiri telah memproduksi 88% konsumsi energi domestik. Selain itu, secara bauran energi, 70% energi berasal dari EBT dan pada tahun 2025 ditargetkan 90% bauran dari EBT.

    Dalam hal ketenagalistrikan, NZ telah memanfaatkan pembangkit dari panas bumi sejak 1958. Saat ini, secara bauran 13% energi NZ berasal dari energi geothermal, dengan kapasitas terpasang 854 MW.

    B. Brazil Brazil telah mengembangkan bioetanol yang

    bersumber dari tebu dengan melakukan ujicoba pada kendaraan sejak tahun 1925, dan pemakaian biofuel di Brazil dimulai pada 1973, saat terjadi krisis bahan bakar. Biofuel di Brazil sudah berkembang dalam periode cukup lama dengan dukungan penuh dari pemerintah dalam bentuk regulasi dan insentif. Saat ini, harga biofuel di Brazil telah menggunakan mekanisme pasar.

    Brazil memilih biofuel dari singkong, jarak pagar, dan tebu, dimana yang paling maju adalah alkohol yang disuling dari tebu. Dari seluruh produksi tebu, perbandingan untuk pemanfaatan sebagai gula dan bioetanol adalah sekitar 50:50.

    Seperti di Indonesia, agrobisnis tebu di Brazil berciri labour-intensive. Bagi warga Brazil, industri tebu menjadi sumber kesejahteraan, bahkan bagi pekerja berkualifikasi terendah sekalipun. Ini tidak ditemukan di industri lain. Industri berbasis tebu hanya membutuhkan biaya US$ 10 untuk menciptakan satu kesempatan kerja, lebih rendah ketimbang industri petrokimia (US$ 200), industri baja (US$ 145), industri otomotif (US$ 91), industri pengolahan bahan baku (US$ 70), dan industri produk konsumsi (US$ 44). Ini yang membuat Brazil jadi produsen etanol paling efisien dan termurah di dunia: biaya produksinya (sebelum pajak) US$ 17,5 per barrel (Rp 1.080 per liter).

    Keberhasilan ini ditunjang kenyataan bahwa Brazil merupakan produsen tebu dan eksportir gula terbesar dunia. Pada 2003/2004, Brasil menghasilkan gula 20,4 juta ton dan etanol 14 miliar liter. Dari

    Tugas Pra UAS Manajemen dan Ekonomi Energi (Genap 2014/2015) | 4

  • jumlah itu, 9,5 juta ton gula dan 12,7 milyar liter etanol dipakai untuk konsumsi domestik, sementara sisanya diekspor. Pada 2005, konsumsi biofuel Brazil mencapai 13 milyar liter. Jumlah itu berarti mengurangi 40% dari total kebutuhan bensin. Produksi etanol tumbuh 8,9% per tahun.

    Biodiesel dari singkong dan jarak pagar juga berkembang pesat di Brazil. Jarak pagar ditanam di jutaan hektar lahan. Ini tak terlepas dari langkah Liuz Inacio Lula da Silva, presiden Brazil yang ketika berkuasa langsung menjadikan biodiesel sebagai prioritas utama, dengan meluncurkan A Biodiesel Programme. Pada 2003, Brazil mengkonsumsi solar 38 miliar liter (dimana 6 miliar liternya berasal dari pasar impor). Dengan beragamnya bahan baku biodiesel, Brazil diperkirakan berpotensi menjadi pemain terkemuka biodiesel dunia.

    V. PEMBAHASAN DAN ANALISIS UNTUK KETAHANAN ENERGI INDONESIA

    Dalam rangka meningkatkan ketahanan energi dalam 35 tahun ke depan, tentunya diperlukan kemandirian dan diversifikasi energi, terutama karena Indonesia 96% masih bergantung dari energi fosil, dimana 48% dari minyak bumi yang statusnya sebagai net importer. Kemandirian energi bertujuan menyediakan sendiri konsumsi energi, sedangkan diversifikasi energi bertujuan untuk menyiapkan pengganti ketika kemungkinan minyak bumi akan habis dalam 12 tahun lagi dan gas bumi 33 tahun lagi.

    Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, batubara diprediksi akan habis 75 tahun lagi, namun anehnya 75% produksi malah dijadikan komoditas ekspor. Hal ini sangat disayangkan ketika batubara dijual ke luar, padahal apabila diinvestasikan untuk pembangunan dalam negeri yang masih berkembang ini, nilai gunanya akan jauh lebih besar. Pada aplikasi ketenagalistrikan misalnya, untuk meningkatkan rasio elektrifikasi secara cepat, diperlukan pembangkit uap dari batubara. Penyebab pengusaha batubara pada umumnya menjual ke luar negeri adalah karena kurangnya permintaan batubara dalam negeri. Sebenarnya ini efek dari belum masifnya pembangunan infrastruktur pemanfaatan batubara, sebagai akibat dari dana anggaran yang tidak bertambah, atau cenderung menurun di tahun 2015.

    Indonesia memiliki banyak sumber EBT yang dapat dijadikan alternatif energi fosil. Pembahasan dalam tulisan ini akan difokuskan pada EBT dari geothermal dan biofuel. A. Geothermal

    Reservoar geothermal di Indonesia tergolong hidrotermal bertemperatur tinggi (>225oC, berdasarkan skala Hochstein). Dari berbagai tipe sumber daya energi panas bumi yang dapat dieksploitasi, sampai saat ini hanya sistem hidrotermal yang telah dieksploitasi secara komersial. (Sanyal, 2010).

    Upaya pemanfaatan energi panas bumi di Indonesia telah dilakukan sejak tahun 1918, dimana pada tahun tersebut kegiatan eksplorasi panas bumi pertama kali dilakukan di Kawah Kamojang, Jawa Barat. Saat ini, potensi panas bumi Indonesia sekitar 29 GW, dimana 40% dari potensi panas bumi dunia dan merupakan yang terbesar di seluruh dunia. Namun, berdasarkan data laporan statistik PLN tahun 2012, baru terpasang pembangkit listrik yang menfaatkan energi panas bumi sebesar 1226 MW atau sekitar 4 % dari seluruh potensi Indonesia.

    Pertamina Geothermal Energy, menyebutkan bahwa potensi total panas bumi di Indonesia sebanyak 29 GW adalah setara dengan 12 miliar barel minyak bumi. Sedangkan, berdasarkan data dari Kementerian ESDM, cadangan minyak bumi Indonesia saat ini sebesar 6 milyar barrel. Hal ini berarti, jika energi panas bumi dimanfaatkan secara optimal, ketergantungan terhadap energi fosil dapat berkurang.

    Lebih lanjut, dari aspek ekonomi, akibat dari bentuk panas bumi yang tidak dapat disimpan dan tidak dapat ditransportasikan dalam jarak jauh, kondisi ini membuat panas bumi terlepas dari dinamika harga pasar. Selain itu, panas bumi merupakan alternatif yang sangat baik bagi bahan bakar fosil terutama untuk pemanfaatan pembangkit listrik dan dalam rangka mengurangi subsidi energi.

    Tantangan dalam pemanfaatan panas bumi adalah biaya eksplorasi yang tinggi dan proses produksi yang juga beresiko tinggi, yaitu resiko tidak ditemukan energi panas di daerah yang sedang dieksplorasi atau energi listrik yang kurang komersial. Resiko lainnya adalah kemungkinan

    Tugas Pra UAS Manajemen dan Ekonomi Energi (Genap 2014/2015) | 5

  • penurunan laju produksi atau penurunan temperatur yang lebih cepat dari estimasi semula.

    Semenjak 2012 Indonesia memang telah menjalin kerja sama untuk belajar dalam hal pemanfaatan panas bumi dari NZ, yang sudah sejak tahun 1958 berhasil menghasilkan listrik dari panas bumi dan konsisten hingga sekarang, serta memiliki kemiripan tektonik dengan Indonesia, yaitu berada pada zona ring of fire. Namun, agar pemanfaatan energi panas bumi Indonesia, yang 40% potensi dunia lebih maksimal, tentunya diperlukan peningkatan anggaran yang signifikan untuk infrastruktur ketahanan energi.

    B. Biofuel Berbeda dengan di Indonesia yang jadi sampah,

    ampas tebu di Brazil adalah berkah. Ampas ini dibakar untuk menghasilkan panas guna menjalankan penyaring dan mesin lain di pabrik. Untuk produksi, pabrik hanya membutuhkan daya 60 MW dari 160 MW yang diproduksi. Sehingga, pabrik etanol mendapat pemasukan tambahan dari penjualan listrik, karena harganya cukup bersaing (US$ 30-40 per MWh).

    Keberhasilan Brazil dalam mengembangkan energi terbarukan disebabkan oleh empat hal. Pertama, soal kelembagaan. Perumusan kebijakan umum industri berbasis tebu berada di bawah wewenang Badan Pengembangan Gula dan Alkohol, sebuah badan di bawah Kementerian Pertanian. Badan ini bertugas memformulasi kebijakan sektor gula dan alkohol (dengan mengembangkan teknologi sosial dan perdagangan) untuk menciptakan produk yang berkualitas dan kompetitif. Kedua, mengoptimalkan pasar domestik. Tiap tahun dikeluarkan keputusan presiden untuk menetapkan rentang kadar alkohol yang dicampur dalam bensin yang dijual. Ketiga, dukungan finansial. Pemerintah menyediakan kredit berbunga rendah (11-12 %, sementara bunga pasar 26 %) kepada pengusaha dan petani yang mengembangkan energi terbarukan. Keempat, dukungan lembaga riset dan pengembangan. Di bawah The Brazilian Agriculture Research Corporation, sebuah badan di bawah Departemen Pertanian, dilakukan berbagai penelitian dan pengembangan bidang bioteknologi dengan orientasi pada terciptanya proses produksi agrobisnis yang modern, efisien, dan kompetitif.

    Dari empat faktor itu, di Indonesia baru ada dua: pasar domestik yang besar dan lembaga riset (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Lembaga Riset Perkebunan Indonesia, perguruan tinggi, dan lain-lain). Sementara terhadap kelembagaan dan dukungan finansial, perlu dilakukan perumusan. Kedua faktor ini termasuk paling krusial di Indonesia.

    Dari pembahasan di atas maka diperlukan

    pemahaman bahwa komoditas SDE merupakan modal pembangunan nasional dan sebagai negara yang memiliki hutang, akan lebih bijak bila hutang itu dipakai ke anggaran untuk pembangunan infrastruktur (terutama infrastruktur ketahanan energi), dibanding dipergunakan untuk menopang konsumsi energi sehari-hari. Hasil yang kemungkinan diperoleh dari penerapan pemahaman tersebut adalah ketahanan dan kemandirian pemanfaatan energi, serta peningkatan rasio elektrifikasi yang lebih signifikan.

    VI. KESIMPULAN Dalam tulisan Ketahanan Energi Indonesia: Studi

    Kemandirian Pemanfaatan Energi dalam 35 tahun ke depan, dapat disimpulkan beberapa hal sbb. 1. Pemerintah Indonesia perlu belajar dari

    pemerintah New Zealand dan Brazil, yang dari masa ke masa konsisten mendukung pengembangan Energi Baru dan Terbarukan (khususnya geothermal dan biofuel).

    2. Dalam rangka mencapai ketahanan energi, Indonesia seharusnya mampu untuk mandiri, sebab sangat banyak potensi EBT yang belum termanfaatkan secara optimal.

    3. Indonesia perlu menjadikan komoditas batubara sebagai modal pembangunan nasional, serta mengalokasikan anggaran subsidi pada pembangunan infrastruktur yang menunjang ketahanan energi.

    4. Apabila masyarakat dan pemerintah dapat saling mendukung dalam mengusahakan kemandirian pemanfaatan energi maka cadangan energi penyangga dan strategis dapat segera terealisasikan, rasio elektrifikasi dapat meningkat secara signifikan, serta tentunya berimplikasi ke pertumbuhan ekonomi dalam 35 tahun ke depan.

    Tugas Pra UAS Manajemen dan Ekonomi Energi (Genap 2014/2015) | 6

  • REFERENSI [1] BPPT (2014). Outlook Energi Indonesia. [2] DEN (2014). Outlook Energi Indonesia. [3] http://www.indonesia-

    investments.com/id/bisnis/komoditas/batu-bara/item236 [4] APBN Indonesia 2015

    (www.anggaran.depkeu.go.id/dja/acontent/bibfin.pdf) [5] World Energy Council. World Energy Trilemma 2014

    (https://www.worldenergy.org/data/trilemma-index/) [6] http://print.kompas.com/baca/2015/03/05/Ketahanan-

    Energi-Indonesia-Rapuh [7] International Energy Agency (2014). World Energy

    Outlook. (www.iea.org/textbase/npsum/weo2014sum.pdf)

    [8] https://andri0204.wordpress.com/2013/10/16/panas-bumi-sebagai-sumber-energi-masa-depan/

    [9] http://writingcontest-total.bisnis.com/artikel/read/20150402/404/418661/energi-panas-bumi-energi-yang-berlimpah-di-indonesia-namun-belum-dimanfaatkan-secara-optimal

    [10] Sanyal, S. K. (2010). Future of Geothermal Energy. Thirty-Fifth Workshop on Geothermal Reservoir Engineering. Stanford, California.

    [11] http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=5665&coid=1&caid=58&gid=5

    [12] http://www.esdm.go.id/berita/323-energi-baru-dan-terbarukan/3055-perkembangan-biofuel-di-beberapa-negara.html?tmpl=component&print=1&page=

    Tugas Pra UAS Manajemen dan Ekonomi Energi (Genap 2014/2015) | 7

    I. PENDAHULUANII. KONSEP KETAHANAN ENERGIA. Kemanan EnergiB. Ekuitas EnergiC. Sustainabilitas Lingkungan

    III. KONDISI ENERGI INDONESIAIV. STUDI KESUKSESAN PEMANFAATAN EBT DI BEBERAPA NEGARAA. New Zealand (NZ)B. Brazil

    V. PEMBAHASAN DAN ANALISIS UNTUK KETAHANAN ENERGI INDONESIAA. GeothermalB. Biofuel

    VI. KESIMPULANREFERENSI