Ketahanan Dan Kemandirian Pangan Komoditas Daging Sapi

21
KETAHANAN DAN KEMANDIRIAN PANGAN KOMODITAS DAGING SAPI PENDAHULUAN Latar Belakang Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Ketersediaan pangan dapat berasal dari hasil produksi dalam negeri dan/atau sumber lain. Menurut Saliem et al. (2003) selain enam hal tersebut, aspek keberlanjutan ketahanan pangan yang identik dengan kebijakan dan strategi peningkatan kemandirian pangan nasional merupakan hal yang harus diperhatikan.Untuk mengukur ketahanan pangan dari sisi kemandirian dapat dilihat dari ketergantungan ketersediaan pangan nasional pada produksi pangan dalam negeri.Dalam operasionalnya, konsep mandiri diskenariokan sebagai kondisi dimana kebutuhan pangan nasional minimal 90 persen dipenuhi dari produksi dalam negeri (Suryana, 2004).Pentingnya kemandirian pangan dilatarbelakangi bahwa pangan merupakan kebutuhan hakiki manusia. Komoditas daging sapi merupakan salah satu komoditas prioritas dalam program pembangunan nasional dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan asal hewani.Untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia tersebut, daging sebagai bahan pangan mempunyai peran yang signifikan. Kalaupun ada kelompok penduduk masih rendah aksesnya terhadap daging, peran subsektor peternakan tidak hanya sebagai penyedia bahan pangan untuk mendukung ketahanan pangan tapi juga berperan tidak langsung sebagai lapangan usaha untuk meningkatkan pendapatan sehingga akan meningkatkan akses peternak terhadap pangan. Upaya meningkatkan ketahanan pangan masyarakat Indonesia khususnya yang berkaitan dengan komoditas daging selain dilihat dari kemampuannya dalam menyediakan produk, juga perlu diperhatikan seberapa jauh usaha yang telah dikembangkan oleh pemerintah dalam meningkatkan daya beli masyarakat (Sudaryanto dan Jamal, 2000). Produk daging sapi merupakan komoditas kedua setelah unggas (ayam potong). Kontribusi daging sapi terhadap kebutuhan daging nasional sebesar 23% dan diperkirakan akan terus mengalami peningkatan (Direktorat Jenderal Peternakan, 2009). Secara umum kebutuhan daging sapi masih disupply oleh impor daging maupun sapi bakalan.Secara agregat Indonesia adalah merupakan negara pengimpor produk peternakan, termasuk produk daging sapi yang cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.Kondisi ini menggambarkan kurangnya pasokan secara nasional.Dari kondisi ini maka diperlukan solusi yang dapat menjadi bahan pertimbangan dalam permasalahan tentang komoditas daging, tentunya disertai dengan data-data yang mendukung dan dengan analisis permasalahannya. Rumusan Masalah 1. Bagaimana data-data produksi, konsumsi, ekspor dan impor dari komoditas daging sapi di Indonesia ? 2. Bagaimana analisis permasalahan yang ada berdasarkan data yang ada ? 3. Bagaimana solusi atau apa saja kebijakan yang diterapkan dalam upaya mengatasi permasalahan yang timbul ?

description

Komoditas daging sapi merupakan salah satu komoditas prioritas dalam program pembangunan nasional dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan asal hewani. Kontribusi daging sapi terhadap kebutuhan daging nasional terbilang cukup besar yaitu sebesar 23%. Akan tetapi produksi dalam negeri masih belum mencukupi permintaan nasional, sehingga jalan yang ditempuh yaitu melakukan impor. Dari kondisi ini maka diperlukan solusi yang dapat menjadi bahan pertimbangan dalam permasalahan tentang komoditas daging, tentunya disertai dengan data-data yang mendukung dan dengan analisis permasalahannya

Transcript of Ketahanan Dan Kemandirian Pangan Komoditas Daging Sapi

  • KETAHANAN DAN KEMANDIRIAN PANGAN KOMODITAS DAGING SAPI

    PENDAHULUAN

    Latar Belakang

    Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin

    dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau.

    Ketersediaan pangan dapat berasal dari hasil produksi dalam negeri dan/atau sumber lain. Menurut

    Saliem et al. (2003) selain enam hal tersebut, aspek keberlanjutan ketahanan pangan yang identik

    dengan kebijakan dan strategi peningkatan kemandirian pangan nasional merupakan hal yang

    harus diperhatikan.Untuk mengukur ketahanan pangan dari sisi kemandirian dapat dilihat dari

    ketergantungan ketersediaan pangan nasional pada produksi pangan dalam negeri.Dalam

    operasionalnya, konsep mandiri diskenariokan sebagai kondisi dimana kebutuhan pangan nasional

    minimal 90 persen dipenuhi dari produksi dalam negeri (Suryana, 2004).Pentingnya kemandirian

    pangan dilatarbelakangi bahwa pangan merupakan kebutuhan hakiki manusia.

    Komoditas daging sapi merupakan salah satu komoditas prioritas dalam program

    pembangunan nasional dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan asal hewani.Untuk

    meningkatkan kualitas sumberdaya manusia tersebut, daging sebagai bahan pangan mempunyai

    peran yang signifikan. Kalaupun ada kelompok penduduk masih rendah aksesnya terhadap daging,

    peran subsektor peternakan tidak hanya sebagai penyedia bahan pangan untuk mendukung

    ketahanan pangan tapi juga berperan tidak langsung sebagai lapangan usaha untuk meningkatkan

    pendapatan sehingga akan meningkatkan akses peternak terhadap pangan. Upaya meningkatkan

    ketahanan pangan masyarakat Indonesia khususnya yang berkaitan dengan komoditas daging

    selain dilihat dari kemampuannya dalam menyediakan produk, juga perlu diperhatikan seberapa

    jauh usaha yang telah dikembangkan oleh pemerintah dalam meningkatkan daya beli masyarakat

    (Sudaryanto dan Jamal, 2000).

    Produk daging sapi merupakan komoditas kedua setelah unggas (ayam potong). Kontribusi

    daging sapi terhadap kebutuhan daging nasional sebesar 23% dan diperkirakan akan terus

    mengalami peningkatan (Direktorat Jenderal Peternakan, 2009). Secara umum kebutuhan daging

    sapi masih disupply oleh impor daging maupun sapi bakalan.Secara agregat Indonesia adalah

    merupakan negara pengimpor produk peternakan, termasuk produk daging sapi yang cenderung

    mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.Kondisi ini menggambarkan kurangnya pasokan

    secara nasional.Dari kondisi ini maka diperlukan solusi yang dapat menjadi bahan pertimbangan

    dalam permasalahan tentang komoditas daging, tentunya disertai dengan data-data yang

    mendukung dan dengan analisis permasalahannya.

    Rumusan Masalah

    1. Bagaimana data-data produksi, konsumsi, ekspor dan impor dari komoditas daging sapi di Indonesia ?

    2. Bagaimana analisis permasalahan yang ada berdasarkan data yang ada ? 3. Bagaimana solusi atau apa saja kebijakan yang diterapkan dalam upaya mengatasi

    permasalahan yang timbul ?

  • Tujuan

    1. Untuk mengetahui kondisi ketahanan dan kemandirian pangan khususnya komoditas daging sapi melalui data-data pendukung.

    2. Untuk dapat menganalisa permasalahan tentang komoditas daging sapi dari data-data yang didapat.

    3. Untuk menentukan kebijakan atau solusi dari permasalahan yang muncul pada komoditas daging sapi.

    Manfaat

    1. Dapat menambah wawasan dan pengetahuan tentang kondisi produksi, konsumsi, import dan ekspor untuk komoditas daging di Indonesia

    2. Dapat mengetahui apa saja permasalahan pada komoditas daging yang timbul di Indonesia. 3. Dapat mengetahui kebijakan dan solusi atas permasalahan pada komoditas daging yang

    timbul di Indonesia.

  • DATA PENUNJANG

    a. Data Konsumsi Daging Sapi

    Tabel 1. Konsumsi dan Defisit Daging Sapi, 2008-2013

    Tahun Konsumsi (ton) Produksi (ton) Defisit

    Ton %

    2008 395,244 222,656 172,588 77.51

    2009 413,087 213,477 199,610 93.50

    2010 440,774 349,698 91,076 25.95

    2011 488,931 410,698 78,233 19.05

    2012 544,896 425,495 119,401 28.06

    2013 593,706 425,778 167,928 39,44

    Sumber: Badan Pusat Statistik (diolah)

    Berdasarkan pada tabel 1 ditunjukkan bahwa dari tahun ke tahun, mulai dari tahun

    2008 sampai dengan tahun 2013 terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2008 konsumsi

    masyarakat akan daging sapi mencapai 395.244 ton dan meningkat pada tahun 2009 yang

    mencapai 413.087 ton. Peningktan terus berlanjut yakni ada tahun 2010 konsumsi daging

    sapi nasionala mencapai 440.774 ton. Begitu juga pada tahun 2011 yang mencapai 488.931

    ton, 2012 mencapai 544.896, dan pada tahun 2013 yang masih menunjukkan peningkatan

    menjadi 593.706. Akan tetapi konsumsi yang besar dan kian meningkkat di setiap

    tahunnya tidak dibarengi dengan tingginya produksi dalam negeri (sapi lokal) meskipun

    disetiap tahunnya produksi daging (sapi lokal) juga menunjukkan peningkatan dar ahun

    2008 samapi dengan tahun 2013.

    Sedangkan konsumsi masyarakat berdasarkan kategori daging sapi yang

    dikonsumsi masyarakat yaitu ada tiga jenis produk daging sapi yakni daging sapi segar,

    daging sapi diawetkan, dan daging sapi dari makanan jadi. Janis produk daging sapi yang

    paling banyak dikonsumsi yaitu daging sapi dari makanan jadi, hal in disebabkan

    kepraktisan yang ditawarkan oleh produk daging sapi tersebut. Sedangkan yang paling

    sedikit dikonsumsi masyarakat yaitu daging sapi yang diawetkan. Untuk pertumbuhannya

    sendiri, untuk produk daginng sapi segar pertumbuhan dari tahun 2002 sampai dengan

    tahun 2012 cenderung berfluktuasi dengan rata-rata pertumbuhan yang menunjukkan

    angka minus yang berarti cenderung mengalami penurunan dalam jumlah yang dikonsumsi

    masyarakat. Begitu pula dengan prediksi pada tahun 2013 dan 2014 yang juga diprediksi

    menurun.

    Untuk produk daging sapi yang diawetkan juga tidak berbeda jauh dengan produk

    daging sapi segar yakni cenderung berfluktuasi dengan tingkat konsumsi tertinggi yaitu

    terjadi pada tahun 2012 yaitu sebesar 0,53 atau tumbuh sebesar 537,5 % daritahun

  • sebelumnya. Sedangkan untuk tahun2013 diprediksikan mengalami penurunan sebesar

    90,13%. Sedangkan untuk tahun 2014 justru diprediksi mengalami pertumbuhan sebesar

    190%. Selanjutnya untuk produk daging sapi dari makanan jadi juga menunjukkan

    pertumbuhan yang berfluktuasi mulai dari ahun 2002 sampai dengan taun 2012, dengan

    tngkat konsumsi rata-rata tertinggi yakni pada tahun 2007 sebesar 16,66 atau tumbuh

    sebesar 1,9% dari tahun sebelumya.

    Tabel 2. Perkembangan konsumsi daging sapi segar, diawetakan dan makanan jadi dalam

    rumah tangga di Indonesia, 2002 2012 dan prediksinya 2013 2014

    \

    Sumber: SUSENNAS, BPS diolah pudatin

    Keterangan: *) Angka Prediksi Pusdatin

    b. Data Produksi Daging Sapi

    Tabel 3. Produksi Daging Sapi Nasional, 2008-2013

    Tahun Ex Sapi Lokal Ex Sapi Impor Total

    (ton) Ton % Ton %

    2008 222,656 56.73 169,844 43.27 392,500

    2009 213,477 52.16 195,823 47.84 409,300

    2010 349,698 80.18 86,485 19.82 436,452

    2011 410,698 84.62 74,635 15.38 485,333

    2012 425,495 84.18 79,982 15.82 505,477

  • 2013 463,778 85.00 81.843 15.00 545,621

    Sumber: Badan Pusat Statistik (diolah).

    Untuk total produksi daging sapi nasional dari tahun 2008 sampai dengan 2013

    terus menunjukkan peningktan dengan puncaknya yang terjadi pada tahun 2013 yaitu

    sebesar 545.621 ton. Akan tetapi produksi tersebut diperoleh dari sapi lokal dan sapi impor,

    dimana untuk daging sapi dari sapi lokal terus mengalami peningkatan dari tahun 2008

    sampai dengan tahun 2013. Sedangkan untuk daging sapi dari sapi impor cenderung

    berfluktuasi, dimana pada saat pemberlakuan kuota impor sapi sejak tahun 2010 jumlah

    sapi yang diimpor mengalami penurunan drastis dari tahun-tahun sebelumnya, yang

    terlihat dalam jumlah daging sapi yang dihasilkan dari sapi impor yang berkurang dari

    tahun 2009 sebesar 195.823 ton menjadi 86.485 ton, begitu juga pada tahun 2011 menjadi

    74.685ton. Sedangkan pada thun 2012 dan 2013 kembali mengalami peningkatan tipis

    yaitu sebesar 79.982 ton pada tahun 2012 dan sebesar 81.843 pada thun 2013. Sedangkan

    untuk populasi sapi lokal dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2013 terus menunjukkan

    peningkatan sebagaimana dapat dilihat pada tabel 4.

    Tabel 4. Perkembangan Populasi Sapi Potong di Indonesia, 2008-2013 (ribu ekor)

    Tahun Populasi

    2008 12,257

    2009 12,760

    2010 13,582

    2011 14,824

    2012 16,034

    2013 16,606

    Sumber: Badan Pusat Statistik (diolah)

    c. Data Ekspor dan Impor Daging Sapi

    Tabel 5. Volume Ekspor dan Impor Daging Sapi Indonesia, 2008-2013

    Tahun Ekspor (ton) Impor (ton) Defisit (ton)

    2008 6 2744 2738

    2009 4 3787 3783

    2010 0 4322 4322

  • 2011 0 3598 3598

    2012 2 39419 39417

    2013 0 48085 48085

    Sumber: Badan Pusat Statistik (diolah)

    Indonesia melakukan impor sapi dalam bentuk daging dan ternak bakalan untuk

    digemukkan.Mayoritas negara asal daging sapi adalah Australia dan New Zealand,

    sementara asal ternak sapi bakalan hanya Australia.Ekspor daging sapi dari Indonesia

    sangat kecildan ekspor ternak sapi bahkan tidak ada.Perkembangan volume impor dan

    ekspor daging sapi oleh Indonesia selama 2008-2013 diperlihatkan pada Tabel 5.Volume

    impor terus meningkat selama 2008-2010, yaitu dari 2.744 ton pada tahun 2008 menjadi

    4.332 ton pada tahun 2010, tetapi kemudian turun pada tahun 2011 menajdi 3.598 ton,

    karena pasokan daging sapi di dalam negeri sudah berlebihan sebagai akibat impor sapi

    bakalan yang terlalu banyak. Pada tahun 2012, volume impor daging sapi melonjak tajam

    mencapai 39.419 ton karena terjadi kekurangan pasokan daging sapi di dalam negeri

    sebagai akibat penurunan drastis volume impor sapi bakalan.

  • ANALISIS PERMASALAHAN

    a. Analisis Permasalahan Konsumsi Daging Sapi Dari ternak sapi yang merupakan produk utama, adalah daging segar, daging beku

    dan daging olahan (dendeng, daging giling/ mince, corned, sosis, bakso, dan daging dalam

    kaleng). Menurut teori ekonomi, salah satu faktor yang mempengaruhi konsumsi daging

    sapi per kapita adalah pendapatan rumah tangga konsumen. Dapat dikatakan bahwa rata-

    rata konsumsi daging sapi segar per kapita per tahun masih sangat rendah. Karena itu, ke

    depan dengan meningkatnya pendapatan masyarakat, maka diperkirakan bahwa konsumsi

    langsung daging segar akan meningkat. Konsumsi tidak langsung (untuk bahan baku

    industri pengolahan, bakso, dan lain-lain) juga akan terus meningkat dengan meningkatnya

    pendapatan masyarakat dan jumlah penduduk.

    Sumber: SUSENNAS, BPS diolah pudatin. Keterangan: *) Angka Prediksi Pusdatin

  • Gambar 1. Grafik Perkembangan konsumsi daging sapi segar, diawetakan dan makanan

    jadi dalam rumah tangga di Indonesia, 2002 2012 dan prediksinya 2013 2014.

    Perkembangan konsumsi total daging sapi di dalam negeri selama 2008-2012

    diperlihatkan pada gambar 1. Yang dimaksudkan dengan konsumsi total terdiri dari : (1) Konsumsi langsung oleh rumah tangga; (2) Penggunaan untuk industri pengolahan

    makanan; dan (3) Tercecer. Konsumsi total daging sapi selama kurun waktu tersebut terus

    meningkat cukup cepat. Pada tahun 2012 merupakan tingkat konsumsi yang paling tinggi

    yaitu sekitar 2,31 kg dan angka ini dinilai masih sangat rendah. Dari grafik juga ditunjukan

    diantara jenis konsumsi daging, yang paling banyak dikonsumsi masyarakat adalah jenis

    daging sapi dari makanan jadi.

    Dilihat dari data konsumsi daging sapi di Indonesia, dapat dilihat beberapa

    permasalahan yang terjadi sebagai berikut:

    1. Konsumsi daging sapi di Indonesia masih sangat rendah. Berdasarkan catatan Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia (ISPI), konsumsi daging sapi

    di Indonesia hanya 2 Kg/kapita/tahun atau bisa dilihat dari gambar 1 konsumsi tertinggi

    di Indonesia terjadi pada tahun 2012 yang angka konsumsinya juga hanya sekitar 2,3

    kg/kap. Banyak hal yang membuat konsumsi daging di Indonesia sangat rendah, salah

    satunya harga daging sapi yang semakin meningkat dari waktu ke waktu.Harga daging

    sapi yang terus melonjak disebabkan karena tidak mencukupinya jumlah sapi potong

    Indonesia untuk memenuhi kebutuhan konsumsi penduduk Indonesia sehingga impor

    daging sapi tidak dapat dihindari.Impor daging sapi yang dilakukan pemerintah

    Indonesia sangat merugikan karena kebijakan terhadap impor dinilai tidak bijaksana.

    Dalam fokus grup diskusi ISPI, terungkap bahwa kebijakan impor saat ini dilakukan

    berdasarkan informasi global yang tidak memperhitungkan penyebaran sapi, ongkos

    transportasi, dan segmentasi pasar, tidak adanya mekanisme dan dasar pembagian

    kuota yang jelas sehingga berakibat pada terciptanya monopoli pasar yang tidak

    berkomitmen pada pembangunan industri sapi di Indonesia.Hal ini mengakibatkan de-

    industrialisasi yang berakibat pada ditutupnya Rumah Potong Hewan (RPH) serta

    menyusutnya industri feedlot, menguntungkan importir daging sapi dan eksportir

    daging di Australia, dan rawan terhadap penyimpangan pelaksanaan target

    swasembada apabila dilakukan tanpa kedisplinan dan konsistensi kebijakan

    pemerintah.Selain faktor harga yang terus meningkat, factor lainnya disebabkan oleh

    pola pikir masyarakat akan gizi yang masih rendah sehingga gizi untuk tubuh bukan

    menjadi prioritas utama.

    2. Sebaran Populasi Ternak Sapi dan Konsumsi Daging Sapi yang Tidak Merata. Menurut data BPS, di Indonesia terdapat perbedaan tingkat konsumsi daging oleh

    masyarakat antara daerah satu dengan lainnya. Masyarakat di kawasan Indonesia Barat

    (Sumatera dan Jawa) memiliki tingkat konsumsi daging sapi tinggi, sementara itu

    populasi ternak sapi menyebar di seluruh wilayah Indonesia dan dalam jumlah cukup

  • besar berada di kawasan Indonesia Timur, seperti di Sulawesi Selatan, NTB, NTT, dan

    Jawa Timur, yang justru tingkat konsumsinya rendah.

    3. Defisit Daging Sapi Sangat Tinggi

    Sumber: Badan Pusat Statistik (diolah)

    Gambar 2. Grafik Konsumsi dan Defisit Daging Sapi 2008-2013

    Berdasarkan gambar diatas, grafik menunjukan bahwa konsumsi akan daging sapi

    terus mengalami peningkatan setiap tahunnya, namun dari segi produksinya tidak

    tingkat pertumbuhannya tidak seimbang dengan konsumsi, sehingga Indonesia

    mengalami defisit. Konsumsi daging sapi akan terus meningkat karena pertumbuhan

    jumlah penduduk, disamping itu, kenaikan permintaan daging sapi juga disebabkan

    oleh kenaikan pendapatan riil per kapita, citra produk (gengsi), cita rasa, serta

    pertumbuhan industri pengolahan daging sapi dan industri pariwisata (hotel dan

    0

    100.000

    200.000

    300.000

    400.000

    500.000

    600.000

    700.000

    2008 2009 2010 2011 2012 2013

    Konsumsi Daging Sapi,2008-2013

  • restoran). Defisit daging sapi ini juga disebabkan dengan peningkatan produksi yang

    masih terkendala oleh lambatnya pertumbuhan populasi sapi potong.

    b. Analisis Permasalahan Produksi Daging Sapi Sumber produksi daging sapi nasional adalah: (1) Sapi lokal, yaitu sapi potong, sapi

    perah jantan, dan sapi perah betina afkir, yang sebagian besar adalah sapi potong; dan (2)

    Sapi bakalan (feeder steer) yang diimpor dari Australia dan digemukkan di Indonesia

    selama sekitar 100 hari. Populasi sapi potong selama 2008-2012 terus meningkat dengan

    rata-rata 6,87%/ekor, yaitu dari 12,26 juta ekor pada tahun 2008 menjadi 16,03 juta ekor

    pada tahun 2012.

    Sumber: Badan Pusat Statistik (diolah)

    Gambar 3. Perkembangan Populasi Sapi Potong di Indonesia

    Perkembangan produksi daging sapi nasional selama 2008-2012 meningkat terus

    selama kurun waktu tersebut dengan rata-rata 6,76%/tahun (dari 392.500 ton pada tahun

    2008 menjadi 505.477 ton pada tahun 2012). Berdasarkan literature jurnal, faktor-faktor

    yang mempengaruhi produksi daging sapi disebabkan oleh perubahan harga input

    produksi, harga output, dan produksi tahun sebelumnya. Harga input produksi seperti harga

    sapi bibit, harga dedak, dan harga limbah tanaman pangan sebagai pengganti rumput

    berpengaruh terhadap produksi daging sapi di wilayah sentra produksi sapi di NTT, NTB,

    dan Bali. Harga daging sapi berpengaruh positif dan signifikan di semua wilayah, kecuali

    untuk Jawa Barat yang merupakan rasio dari harga sapi bakalan terhadap harga daging

    sapi.Produk substitusi maupun komplementer dari daging sapi dapat berupa produk telur

    dan daging ayam serta ikan tongkol.Pengaruhnya terhadap produksi daging sapi bervariasi

    antarwilayah, dimana hal ini juga disebabkan oleh ketersediaan dan selera pasar terhadap

    produk tersebut.

    0

    5.000

    10.000

    15.000

    20.000

    2 0 0 8 2 0 0 9 2 0 1 0 2 0 1 1 2 0 1 2 2 0 1 3

    PERKEMBANGAN POPULASI SAPI POTONG DI INDONESIA, 2008-2013 (RIBU EKOR)

    300.000

    400.000

    500.000

    600.000

    PRODUKSI DAGING SAPI NASIONAL, 2008-2013

  • Sumber: Badan Pusat Statistik (diolah)

    Gambar 4. Produksi Daging Sapi Nasional

    Perkembangan produksi nasional tersebut dipengaruhi oleh perkembangan

    produksi daging sapi ex sapi lokal dan ex sapi impor.Berdasarkan data tabel 4.Selama

    2008-2012 produksi daging sapi lokal cenderung naik sangat cepat dengan rata-rata

    19,50%/tahun. Pada tahun 2009 produksi daging ex sapi lokal sempat turun menjadi

    213.477 ton atau turun 4,12% dibanding tahun 2008. Penurunan produksi ini disebabkan

    oleh peningkatan produksi daging ex sapi impor sebesar 15,30%, yaitu dari 169.844 ton

    pada tahun 2008 menjadi 195.823 ton pada tahun 2009. Peningkatan produksi daging ex

    sapi impor tahun 2009 ini disebabkan oleh impor sapi bakalan dari Australia dalam jumlah

    besar. Pemerintah kemudian menetapkan kebijakan pembatasan impor sapi bakalan

    sehingga pada tahun 2010 produksi daging ex sapi impor menurun drastis menjadi hanya

    86.485 ton atau turun 55,84% dibanding tahun 2009, dan penurunan itu terus berlanjut

    hingga 2011. Penurunan produksi daging ex sapi impor yang sangat drastis pada tahun

    2010 tersebut memberikan peluang bagi peningkatan produksi daging ex sapi lokal sebesar

    63,84%. Karena itu, pada tahun 2010 pangsa produksi daging ex sapi lokal melonjak dari

    52,16% pada tahun 2009 menjadi 80,18% pada tahun 2010. Sebaliknya, pangsa produksi

    daging ex sapi impor menurun drastis dari 47,84% pada tahun 2009 menjadi hanya 19,92%

    pada tahun 2010. Pada tahun 2011 produksi daging ex sapi lokal meningkat lagi sehingga

    pangsanya menjadi 84,62%, sementara produksi daging ex sapi impor turun lagi menjadi

    hanya 15,38%. Pada tahun 2012, produksi daging ex sapi lokal dan ex sapi impor sama-

    sama meningkat lagi, namun pangsa produksi daging ex sapi impor sedikit meningkat,

    sementara pangsa produksi daging ex sapi lokal sedikit menurun.Perlu dicacat bahwa

    peningkatan produksi daging ex sapi lokal yang sangat cepat bukan berarti suatu prestasi

    yang bagus.Peningkatan produksi daging ex sapi lokal yang sangat cepat sebagai akibat

    dari pembatasan impor sapi bakalan (dan juga pembatasan impor daging sapi) dapat

    mengancam populasi ternak sapi potong di Indonesia, jika peningkatan jumlah kelahiran

    hidup tidak sebanding dengan peningkatan jumlah pemotongannya. Beberapa

    permasalahan yang dapat memengaruhi produksi daging sapi adalah:

    1. Indikasi terjadinya pengurasan populasi ternak sapi potong antara lain adalah: a. Di daerah sentra sapi potong seperti NTT dan NTB makin sulit mendapatkan

    ternak sapi potong jantan dengan bobot hidup 300 kg atau lebih per ekor.

  • Ternak sapi yang ada tinggal yang berukuran kecil dengan bobot sekitar 250

    kg/ekor. Dengan menurunnya pasokan ternak sapi dengan bobot 300 kg atau

    lebih, maka untuk mendapatkan 1 ton daging diperlukan jumlah sapi lebih

    banyak.

    b. Meningkatnya pemotongan ternak sapi potong betina produktif, yang berarti pemusnahan (extinction) sumberdaya ternak sapi potong. Pemotongan sapi

    berina produktif berarti mengurangi jumlah ternak sapi yang lahir. Pemerintah

    tidak berdaya menghadapi masalah pemotongan ternak betian produktif ini.

    Dengan demikian, maka kebijakan pembatasan impor sapi bakalan dan impor

    daging sapi harus benar-benar memperhitungkan dua hal, yaitu: (1) Kebutuhan

    riil daging sapi untuk konsumsi rumah tangga, rumah makan, hotel, catering,

    industri pengolahan, dan lain-lain; dan (2) Jumlah kelahiran sapi dan jumlah

    sapi yang tersedia untuk dipotong. Kesalahan dalam menentukan kuota impor

    akan berdampak fatal, yaitu pengurasan ternak sapi potong lokal.

    2. Jumlah Pengiriman Sapi dari Sentra Produksi Ke Sentra Konsumsi Secara historis sentra sapi potong di Indonesia adalah Kawasan Timur Indonesia

    yaitu Bali, NTB, NTT, dan Sulawesi.Sapi dari daerah tersebut dipasarkan ke daerah

    konsumsi di Pulau Jawa, terutama untuk DKI Jakarta dan Jawa Barat.Pintu masuk

    utama ke Jawa melalui pelabuhan yang ada di Jawa Timur.Selanjutnya dari Jawa Timur

    diteruskan sampai ke DKI Jakarta dan Jawa Barat.

    Hasil penelitian Depdag (2006) melaporkan bahwa pedagang antar pulau dari NTB

    sudah tidak mampu menjual sapi dan kerbau dengan modal sendiri, mereka saat ini

    hanya sebagai perpanjangan tangan dari pedagang besar di Jakarta dan Bekasi.Jumlah

    mereka sudah jauh menurun dari 20 orang menjadi 6 orang. Pada periode yang sama

    jumlah ternak yang diantarpulaukan juga terus menurun, demikian juga dengan berat

    badan sapi yang diperdagangkan turun dari rata-rata 300 kg menjadi rata-rata 250 kg

    per ekor. Fenomena tersebut mengindiksikan kelangkaan sapi di sentra produsen.

    Penelitian yang sama juga melaporkan bahwa saat ini aliran sapi (eks impor) sudah

    bergerak dari Lampung ke Riau, Sumatera Barat dan Sumatera Utara. Bahkan sapi eks

    impor dari Sumatera Utara tersebut diteruskan pengirimannya hingga ke Banda

    Aceh.Padahal dimasa lalu Aceh sebagai sentra produksi sapi mengirim sapi untuk

    daerah Sumatera Utara, Riau dan Padang.Fenomena ini juga mengindikasikan makin

    langkanya sapi potong lokal sebagai sumber daya.Bahkan menurut Ilham dan Yusdja

    (2004), Sulawesi Selatan sebagai sentra produksi sudah lama mengalami defisit

    sehingga tidak mampu lagi mengirim ternak ke sentra produksi di Jakarta dan Jawa

    Barat. Masalah lain yang dihadapi Sulawesi Selatan adalah pengeluaran antar pulau

    dan pemotongan sapi betina produktif. Ini semua mengindikasikan makin langkanya

    sumber daya sapi potong di Indonesia.Hingga kini kelangkaan tersebut makin berlanjut

    tanpa upaya yang berarti untuk menghambatnya.

  • c. Analisis Permasalahan Ekspor Daging Sapi

    Sumber: Badan Pusat Statistik

    Gambar 5. Volume Ekspor dan Impor Daging Sapi Indonesia, 2008-2013

    Untuk memenuhi konsumsi dalam negeri, Indonesia tidak dapat memenuhi

    sehingga kegiatan impor dilakukan oleh Indonesia. Ekspor indonesia dari tahun 2008 2013 sangat memprihatinkan, tidak ada peningkatan secara signifikan yang terjadi pada

    ekspor daging sapi oleh Indonesia. Pada tahun 2010, 2011 dan 2013 tidak ada kegiatan

    ekspor daging sapi oleh Indonesia. Dan pada tahun 2008 ekspor daging sapi sebesar 6 ton,

    pada tahun 2009 ekspor daging sapi sebesar 4 Ton dan tahun 2012 sebesar 2 Ton. Dapat

    disimpulkan bahwa dari tahun 2008 2013 mengalami difisit yang berarti volume dan nilai impor daging sapi selalu lebih besar dibandingkan volume dan nilai ekspornya.Selama

    kurun waktu tersebut, defisit daging sapi terbesar terjadi pada tahun 2013 yaitu sebesar

    48.085 ton.Yang disebabkan oleh rendahnya pasokan dari dalam negeri, harga dalam

    negeri relatif lebih mahal daripada impor, kualitas daging sapi yang rendah dll.Hal tersebut

    yang dapat menimbulkan lemahnya ekspor yang dilakukan oleh Indonesia.

    d. Analisis Permasalahan Impor Daging Sapi Indonesia melakukan impor sapi dalam bentuk daging dan ternak bakalan untuk

    digemukkan.Mayoritas negara asal daging sapi adalah Australia dan New Zealand,

    sementara asal ternak sapi bakalan hanya Australia.Ekspor daging sapi dari Indonesia

    sangat kecildan ekspor ternak sapi bahkan tidak ada.Perkembangan volume impor dan

    ekspor daging sapi oleh Indonesia selama 2008-2013 diperlihatkan pada Tabel 5.Volume

    impor terus meningkat selama 2008-2010, yaitu dari 2.744 ton pada tahun 2008 menjadi

    4.332 ton pada tahun 2010, tetapi kemudian turun pada tahun 2011 menajdi 3.598 ton,

    karena pasokan daging sapi di dalam negeri sudah berlebihan sebagai akibat impor sapi

    bakalan yang terlalu banyak. Pada tahun 2012, volume impor daging sapi melonjak tajam

    mencapai 39.419 ton karena terjadi kekurangan pasokan daging sapi di dalam negeri

    sebagai akibat penurunan drastis volume impor sapi bakalan.

    0

    10000

    20000

    30000

    40000

    50000

    60000

    2008 2009 2010 2011 2012 2013

    Volume Ekspor dan Impor Daging Sapi Indonesia, 2008-2013

    Ekspor Impor

  • Permasalahan Impor di Indonesia:

    1. Volume Impor Sapi Bakalan Impor daging sapi yang sudah dilakukan sejak awal zaman Orde Baru, Indonesia

    juga mengimpor sapi bakalan asal Australia sejak 1991, yaitu setelah mendapatkan izin

    dari pemerintah.Impor sapi bakalan dilakukan oleh perusahaan besar feedlot yang

    tergabung ke dalam Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia (APFINDO).

    Dasar pertimbangan impor sapi bakalan pada awalnya adalah bahwa

    pemeliharaan/penggemukan sapi bakalan yang diimpor memberikan manfaat sosial-

    ekonomi lebih besar dibanding jika mengimpor dalam bentuk daging, yaitu:

    a. Menciptakan nilai tambah di dalam negeri; b. Memanfaatkan limbah pertanian, misalnya ampas nenas dari industri

    pengolahan nenas PT Great Giant Pineapple di Lampung, sebagai pakan ternak

    bergizi tinggi sehingga ampas nenas tidak terbuang percuma;

    c. Menciptakan lapangan kerja di kandang feedlot dan kantor perusahaan penggemukan sapi;

    d. Menciptakan lapangan usaha panangkutan ternak dari pelabuhan ke kandang feedlot dan dari kandang feedlot ke pedagang ternak/RPH; dan

    e. Untuk memenuhi kebutuhan daging oleh hotel, restoran dan pasar swalayan.

    Sumber: Ditjen Peternakan dan Keseehatan Hewan, diolah.

    Gambar 6. Perkembangan Jumlah Impor Sapi Bakalan 1991 2012 (ekor)

    Perkembangan volume impor sapi bakalan selama 1991-2012 diperlihatkan pada

    Gambar 6.Pada awalnya (1991), jumlah impor masih kecil yaitu 13.200 ekor.Volume

    impor tersebut terus meningkat sampai dengan 1997, dengan laju peningkatan sangat

    cepat sejak 1995, sehingga pada tahun volume impor mencapai 277.000 ekor.Pada

    tahun 2008, saat krisis ekonomi terjadi, dimana rupiah mengalami depresiasi berat

    sehingga harga impor menjadi sangat mahal, volume impor turun drastis menjadi hanya

    49.900 ekor.Setelah kondisi ekonomi nasional mengalami pemulihan dan rupiah

    mengalami apresiasi, volume impor naik lagi hingga 2000, tetapi kemudian turun lagi

    hingga tahun 2002. Selama 2003-2006 volume impor meningkat secara gradual, tetapi

    pada tahun 2007 meningkat cepat dan terus meningkat makin cepat hingga 2009 yang

  • mencapai 657.300 ekor. Volume impor tahun 2008 yang mencapai 570.100 ekor

    tampaknya sudah berlebihan yang menyebabkan terjadinya over supply ternak sapi

    potong di daerah konsumen utama, yaitu Jabodetabek, sehingga harga ternak sapi hidup

    turun. Dampak selanjutnya adalah ternak sapi di daerah sentra seperti Jawa Timur,

    Jawa Tengah, NTT dan NTB tidak bisa masuk ke daerah Jabodetabek, sehingga terjadi

    penumpukan ternak di kandang pedagang ternak antar daerah.

    2. Harga di Tingkat Petani Menurun Dampak berikutnya adalah pedagang tidak membeli sapi dari petani sehingga harga

    ternak di tingkat petani menurun.Pada tahun 2009, kondisi makin parah karena jumlah

    impor sapi naik lagi menjadi 657.300 ekor, yang menyebabkan harga ternak sapi hidup

    turun lagi.Hal ini menimbulkan frustasi bagi pedagang ternak dan peternak

    sapi.Sejumlah pedagang ternak bangkrut dan petani mulai enggan untuk memelihara

    sapi. Melihat fenomena yang tidak sehat tersebut, pemerintah pada tahun 2010

    mengenakan kuota impor sapi bakalan, sehingga volume impor sapi menurun drastis

    menjadi 290.457 ekor, dan pada tahun 2011 turun lagi menjadi 184.955 ekor. Akibat

    dari penurunan yang tajam impor sapi bakalan tersebut adalah terjadinya kelangkaan

    sapi bakalan, sehingga harga ternak dan harga daging sapi meningkat tajam. Untuk

    menstabilkan harga daging sapi, kuota impor sapi tahun 2012 dinaikkan lagi menjadi

    283.000 ekor (bersamaan dengan peningkatan kuota impor daging sapi pada tahun yang

    sama). Pada tahun 2013 terjadi gejolak pasokan daging sapi yang menyebabkan harga

    daging sapi di tingkat konsumen di daerah Jabodetabek melebihi Rp 100.000/kg.Harga

    ini dinilai sangat tidak wajar, sehingga pemerintah ingin menurunkan harganya melalui

    penetapan kuota impor yang lebih besar.Dalam kondisi demikian, dimana selisih antara

    harga dalam negeri dan harga impor sangat besar yang bisa mendatangkan keuntungan

    sangat besar, makan timbul permainan gelap oleh pihak-pihak tertenu untuk memperoleh jatah/kuota impor lebih besar.

    3. Sentra Produksi yang Melemah Akhir-akhir ini, penjualan sapi dari daerah sentra produksi sapi potong yang selama

    ini menjadi andalan sumber sapi potong nasional yaitu NTT dan NTB ke wilayah sentra

    konsumsi yaitu Jabodetabek sangat menurun dan beralih ke wilayah Kalimantan.

    Beberapa alasannya adalah: (1) Pasar di wilayah Jabodetabek sudah cukup jenuh

    dengan masuknya sapi impor dari Australia; (2) Biaya angkutan dan risiko perjalanan

    dari NTT dan NTB ke Jabodetabek lebih tinggi dibanding ke Kalimantan karena untuk

    ke Jakarta menggunakan kapal turun di pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, lalu pindah

    ke truk untuk angkutan ke Jakarta dengan waktu tempuh yang lama, sementara

    angkutan ke Kalimantan cukup menggunakan kapal saja dan lebih cepat sampai; (3)

    Harga jual di Kalimantan lebih lebih tinggi dibanding di Jakarta; (4) Pasokan sapi

    jantan di NTT dan NTB sudah menipis; dan (5) Pedagang ternak antar pulau NTT dan

    NTB sering ditipu oleh pedagang ternak/Jagal di Jabodetabek (pembayaran tidak

    lancar).

    4. Impor daging sapi oleh BULOG Impor daging sapi oleh BULOG sekitar 3.000 ton tampaknya telah menimbulkan

    efek psikologis sehingga dapat sedikit menurunkan harga daging sapi di pasar dalam

    negeri. Diharapkan para pedagang sapi yang semula berspekulasi untuk mendapatkan

  • keuntungan besar dengan menimbun ternak sapi di kandangnya dapat melepas sapinya

    untuk dijual ke pasar sehingga harga daging diharapkan akan kembali ke titik

    keseimbangan ekonominya.

    5. Kebijakan Impor Kebijakan pembatasan impor sapi bakalan dari Australia dan impor daging telah

    menyebabkan pasokan daging di dalam negeri menjadi semakin langka sehingga harga

    daging terangkat naik. Kenaikan harga BBM, ramadhan dan idulfitri menambah energi

    untuk mengangkat harga sehingga harga daging yang semua sekitar Rp 65 ribu sampai

    Rp 70 ribu terus merambat naik sehingga menjadi Rp 110 ribu atau lebih dan sulit

    turun. Pemerintah perlu sangat hati-hati dalam menetapkan kebijakan impornya, baik

    ternak sapi bakalan maupun daging sapi. Jangan sampai pasar dalam negeri kekurangan

    pasokan karena salah perhitungan yang justru akan menguras populasi ternak lokal di

    Indonesia. Perlu disadari bahwa populasi ternak sapi lokal mulai terancam karena:

    a. Terjadi pemotongan ternak sapi betina produktif dan Jagal pandai mencari celah untuk tidak melanggar peraturan sementara upaya pemerintah mengatasi

    pemotongan ternak betina sampai saat ini belum berhasil;

    b. Pemotongan ternak sapi jantan di bawah bobot minimal sehingga diperlukan lebih banyak ternak untuk mencapai kuantitas daging tertentu;

    c. Pedagang ternak dan daging sapi lokal ingin usahanya tetap berkesinambungan (sustainable) sehingga akan selalu berupaya untuk mendapatkan ternak sapi

    untuk dipotong tanpa mempedulikan apakah betina produktif atau ternak jantan

    dibawah standar bobot hidup.

  • SOLUSI PERMASALAHAN

    Dari berbagai masalah yang muncul mengenai Daging Sapi baik dari aspek produksi

    maupun konsumsi umumnya disebabkan oleh harga daging sapi yang semakin meningkat dengan

    pendapatan masyarakat yang renndah. Berikut beberapa solusi yang dapat memecahkan masalah

    tersebut, diantaranya:

    1. Membangun rantai pasok nasional Fenomena kenaikan dan lonjakan harga komoditas, termasuk yang disertai dengan

    kelangkaan, berulang kali terjadi. Kedua fenomena ini semakin kuat ketika terjadi lonjakan

    permintaan, misalnya berkaitan hari-hari besar keagamaan.

    Fenomena yang berulang kali terjadi tersebut semestinya menjadi pelajaran berharga

    bagi pemerintah untuk merancang suatu program yang bersifat strategis dan sistematis untuk

    mengantisipasi kelangkaan dan fluktuasi harga berbagai komoditas penting. Langkah-langkah

    yang bersifat taktis dan operasional, seperti impor, terbukti tidak bisa mengatasi persoalan

    tersebut.

    Salah satu upaya pemecahan masalah yang bisa dilakukan adalah dengan pendekatan

    manajemen rantai pasok (supply chain management/SCM). Pemerintah perlu merencanakan,

    membangun, dan mengintegrasikan aspek-aspek produksi-distribusi-konsumsi, antara lain dengan langkah-langkah sebagai berikut:

    a. Pemetaan rantai pasok. Pemetaan dilakukan secara nasional dengan mengidentifikasi para pelaku (pemasok/produsen, pelaku distribusi, pengecer/pedagang, dan konsumen), termasuk

    wilayah dan aliran distribusinya.

    b. Pembuatan basis data. Basis data mencakup: pemasok/produsen (jumlah pemasok, jumlah sapi), pelaku distribusi (jenis dan jumlah pelaku), pengecer/pedagang (jumlah), dan

    konsumen (jumlah, segmen, tingkat konsumsi, wilayah).

    c. Perencanaan rantai pasok. Dilakukan terutama untuk mengintegrasikan aspek produksi-distribusi-konsumsi yang selama ini saling terpisah. Para peternak pada tingkat produksi,

    misalnya, terpisah dengan pelaku distribusi yang dilakukan oleh pihak lain. Pelaku distribusi dan pedagang pun saling terpisah. Hubungan antar pihak terjadi secara transaksional, tanpa ada kerja sama jangka panjang yang memberikan manfaat bagi para

    pihak. Selain mengakibatkan rantai pasok tidak efisien, kondisi ini membuka peluang pihak

    tertentu dalam rantai pasok itu untuk mengambil keuntungan secara tidak proporsional.

    Perencanaan rantai pasok mencakup pula perencanaan produksi sesuai

    permintaan/kebutuhan konsumen, termasuk mempertimbangkan peningkatan permintaan

    berkaitan dengan hari besar keagamaan dan sebagainya.

    a. Menata dan membangun produksi. Penataan perlu dilakukan terutama agar produksi dilakukan pada skala ekonomis, mengingat pada saat ini para peternak kebanyakan

    melakukan penggemukan sapi pada jumlah kecil. Skala ekonomis dapat dicapai dengan

    mengembangkan peternakan sebagai industri besar atau mengintegrasikan para peternak

    kecil.

    b. Membangun sistem distribusi. Pelaku distribusi sapi potong terdiri dari banyak pihak yang bisa berbeda-beda sesuai daerahnya. Para pelaku distribusi ini antara lain: blantik,

    jagal, pedagang pengumpul, pedagang besar, rumah potong hewan, dan lain-lain. Sistem

    distribusi perlu ditata agar efisien dan para pelaku berperan dan mendapatkan keuntungan

    secara proporsional.

  • c. Edukasi di tingkat konsumsi. Edukasi diperlukan antara lain agar konsumen melakukan pola pembelian daging secara tepat. Sebagai contoh, pada saat ini masyarakat lebih

    menyukai membeli daging segar daripada daging beku. Padahal proses pendistribusian

    sapi potong lebih mahal yang berdampak ke harga daging.

    d. Pengembangan infrastruktur dan sarana pengangkutan. Ketersediaan infrastruktur (pelabuhan khusus ternak, terminal ternak berikut fasilitas bongkar muat, cold storage

    system untuk cold chain) dan sarana pengangkutan (kapal ternak, kereta api khusus

    ternak) sangat diperlukan untuk efisiensi proses pengiriman ternak. Untuk pengangkutan

    sapi dari Jawa Timur ke Jakarta, misalnya, penggunaan kapal ternak berkapasitas 400

    ekor jauh lebih efisien daripada menggunakan truk.

    e. Pengawasan/pemantauan. Dilakukan untuk mengantisipasi pihak-pihak tertentu mengambil keuntungan dengan cara yang tidak dapat dibenarkan.

    Pengawasan/pemantauan terutama diperlukan pada proses distribusi yang dapat

    dilakukan dengan melakukan pencatatan arus pengiriman sapi potong antar wilayah,

    misalnya dengan memanfaatkan jembatan timbang. Di jembatan timbang tidak hanya

    dilakukan pencatatan berat truk dan muatannya (untuk menghindari beban lebih), namun

    dilakukan juga pencatatan jumlah sapi potong yang diangkut.

    f. Koordinasi antar Instansi. Pembangunan rantai pasok ini memerlukan koordinasi antar instansi/lembaga/kementerian, misalnya: Kementerian Peternakan, Kementerian

    Perdagangan, Kementerian Perhubungan, dan lain-lain. Koordinasi juga diperlukan

    antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang bersangkutan.

    2. Peternak Mandiri Untuk strategi jangka panjang, satu-satunya jalan yang harus ditempuh adalah

    memperbaiki usaha beternak sapi bagi 6,5 juta peternak berskala kecil. Mereka yang menguasai

    lebih dari 98 persen populasi sapi di Indonesia harus diajak berbisnis secara benar melalui

    pendekatan kolektif dengan satu manajemen. Kondisi alam, budaya masyarakat, dan karakter

    peternak di Indonesia memungkinkan hal itu. Pendekatan ini berbeda dengan pendekatan yang

    digunakan peternak Australia yang harus bersifat individualis karena kondisi alam, budaya

    masyarakat, dan karakter peternaknya memang berbeda dengan Indonesia.

    Selama ini peternak kecil hanya diajari secara teknis. Itu pun bersifat parsial dan tak

    berkelanjutan. Jumlah peternak yang diajari juga sangat terbatas dan lokasinya menyebar.

    Celakanya lagi banyak pihak mengajari mereka dengan pendekatan berbeda-beda. Akibatnya,

    biaya yang dikeluarkan tinggi, tetapi tingkat keberhasilan rendah dan produktivitas sapi tetap

    rendah.

    Dari diskusi lebih lanjut, ternyata para peternak tahu pemerintah selama ini hanya

    melaksanakan proyek dan tidak membina mereka untuk dapat mandiri. Pemerintah di sini

    bukan hanya Kementerian Pertanian, melainkan juga kementerian lain yang menggunakan

    ternak sebagai komoditas dalam proyeknya.

    Hal itu dapat diartikan bahwa pendekatan proyek yang selama ini berjalan tidak

    mencerdaskan peternak dan tidak membuat mereka menjadi pengusaha sapi yang berdaya

    saing. Namun, fakta lain juga menunjukkan bahwa tidak semua proyek pemerintah gagal karena

    beberapa proyek pemerintah dapat melahirkan peternak baru berjiwa bisnis sebagaimana yang

    terjadi dalam program Sarjana Membangun Desa (SMD). Namun, keberhasilan program ini

    kurang berdampak secara signifikan.

  • Jadi, yang perlu diupayakan ke depan adalah bahwa peternak harus dapat berbisnis

    secara mandiri melalui usaha kolektif dengan satu manajemen. Jumlah sapi yang diusahakan

    harus ada minimalnya, misalnya, 1.000 ekor sapi betina dalam satu kawasan padat sapi.

    Pemerintah harus memfasilitasi usaha kolektif tersebut, baik dari aspek teknis maupun

    nonteknis, secara terus-menerus sampai akhirnya usaha itu berjalan mandiri.

    Dengan demikian, pemerintah tidak lagi menyelenggarakan proyek pengadaan sapi,

    tetapi harus lebih banyak menyelenggarakan aktivitas berkelanjutan yang berorientasi pada

    upaya meningkatkan kualitas peternak ataupun memperkuat fasilitas pendukungnya dalam

    beternak. Untuk jangka pendek, serahkan urusan pemenuhan daging kepada para pelaku bisnis

    yang memang menguasai pasar dan pemerintah tak perlu ikut bermain di dalamnya. Peran

    pemerintah sebaiknya tetap sebagai regulator saja.

    3. Penetapan kuota impor

    Dalam kondisi sekarang, impor sapi bakalan dan impor daging masih tetap

    diperlukan.Namun kebijakan penetapan kuota impor harus dilakukan secara cermat dengan

    memperhitungkan kebutuhan daging sapi dan kemampuan sapi lokal dalam menyediakan

    daging sapi. Dengan demkian, maka kebutuhan daging sapi dapat terpenuhi tanpa berdampak

    menguras populasi ternak sapi potong di Indonesia dan lemabungnya harga daging sapi di pasar

    domestik.

    4. Mempertahankan peran BULOG

    BULOG tetap perlu diperankan sebagai lembaga stabilisasi harga sekaligus sebagai

    kekuatan penyeimbang permainan kartel oleh beberapa pengusaha besar yang mempermainkan

    stok dan harga daging sapi di dalam negeri.

  • KESIMPULAN

    Komoditas daging sapi merupakan salah satu komoditas prioritas dalam program

    pembangunan nasional dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan asal hewani. Berdasarkan

    data dan hasil analisis kelompok kami, rata-rata produksinya meningkat dimana produksinya

    didapatkan dari sapi local dan sapi bakalan, dan untuk produksi dari sapi local cenderung

    meningkat namun untuk produksi dari sapi bakalan cenderung berfluktuasi. Dari segi konsumsi,

    rata-rata konsumsinya juga mengalami peningkatan setiap tahunnya, salah satu factor yang

    memengaruhinya adalah pendapatan rumah tangga konsumen. Meskipun tingkat konsumsinya

    cenderung meningkat namun dapat dikatakan bahwa rata-rata konsumsi daging sapi segar per

    kapita per tahun di Indonesia masih sangat rendah. Dari segi ekspor, Indonesia hanya melakukan

    dalam jumlah kecil dan berfluktuatif. Dari segi Impor, cenderung terus menigkat, namum pada

    tahun 2011 jumlah impornya mengalami penurunan tapi pada tahun 2012 jumlah impornya

    meningkatnya drastis. Berdasarkan data yang telah dianalisis, komoditas daging di Indonesia

    sudah bisa mencapai tahap ketahanan pangan karena sudah bisa memenuhi kebutuhan masyarakat

    akan daging yang diperoleh dari produksi nasional dan kegiatan impor. Akan tetapi Indonesia

    belum mencapai tahap kemandirian pangan karena antara produksi dalam negeri dan impor, baik

    dalam bentuk daging sapi ataupun sapi bakalan jumlahnya masih lebih besar impor.

  • DAFTAR PUSTAKA

    Ardiyati, Alisa. 2012. Penawaran Daging Sapi Di Indonesia (Analisis Proyeksi Swasembada

    Daging Sapi 2014). Tesis. Universitas Indonesia. Jakarta.

    Arifin, Bustanul. 2012. Momentum Perbaikan Swasembada Daging.http://www.kompas.com.

    Diakses pada 03 Juni 2014.

    Badan Pusat Statistk. Beberapa tahun. Statistik Indonesia, BPS. Jakarta.

    Badan Pusat Statistik. Beberapa tahun. Konsumsi Kalori dan Protein Penduduk Indonesia dan

    Propinsi, BPS. Jakarta.

    Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2011. Statistik Peternakan Tahun 2011.

    Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan. Kementerian Pertanian. Jakarta.

    Ilham, Nyak. Kelangkaan Produksi Daging:Indikasi Dan Implikasi Kebijakannya. Jurnal.Pusat

    Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.

    Muladno. 2013. Solusi Daging Sapi.http://www.kompas.com. Diakses pada 03 Juni 2014.

    Nurmanaf, A. R., Sumaryanto, S. Wahyuni, E. Ariningsih, Dan Y. Supriyatna. 2007. Analisis

    Kelayakan dan Perspektif Pengembangan Asuransi Pertanian Pada Usahatani Padi

    dan Usaha Sapi Potong. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan pertanian,

    Badan Litbang Pertanian. Bogor.

    Priyanti, Atien. Dinamika Produksi Daging Sapi Di Wilayah Sentra Usaha Sapi Potong Di

    Indonesia. Jurnal. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.

    Rukmana, Yayan. 2013. Ekonomi Daging dan Strateginya Bank Ternak.

    http://www.kampoengternak.or.id/. Diakses pada 03 Juni 2014.

    Setijadi. 2013. Mengatasi Persoalan Daging Sapi Dengan Membangun Rantai Pasok Nasional.

    http://supplychainindonesia.com. Diakses pada 03 Juni 2014.