KESWAMAS
-
Upload
rakhmad-harissono -
Category
Documents
-
view
214 -
download
1
description
Transcript of KESWAMAS
Blok Kesehatan Jiwa/Kesehatan Jiwa Masyarakat/31 Oktober 2011
KESEHATAN JIWA1 MASYARAKAT2
oleh P. Lutfi Ghazali3
Masalah kesehatan jiwa tidak dapat diabaikan dalam upaya
kesehatan global.
Dampak yang diakibatkan oleh gangguan jiwa sangat besar,
antara lain penurunan produktivitas, stigma, pengucilan, dan
diskriminasi
yang harus ditanggung penderita dan keluarga.
Beban tersebut jauh lebih berat dibanding penderita penyakit lain,
padahal
“menderita gangguan jiwa bukanlah suatu kesalahan.
Yang salah adalah bagaimana masyarakat memerlakukan
penderita gangguan jiwa”.
1 Kondisi yang memungkinkan perkembangan optimal bagi individu secara fisik, intelektual, dan emosional sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan kepentingan orang lain. (World Federation for Mental Health)2 Suatu masyarakat yang menjamin perkembangan optimal dalam menanggung perkembangannya sendiri dan mempunyai toleransi terhadap masyarakat lain. (World Federation for Mental Health)3 Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat – FK UII
1
Blok Kesehatan Jiwa/Kesehatan Jiwa Masyarakat/31 Oktober 2011
Prevalensi gangguan jiwa di Indonesia saat ini diperkirakan sekitar
30%. Angka ini lebih tinggi dibandingkan pada tahun 1996 sebesar
26,4% dan tahun 1995 sebesar 18,5%. Kecenderungan tingginya
prevalensi gangguan jiwa terjadi di hampir seluruh negara. Amerika
Serikat mempunyai prevalensi gangguan jiwa sekitar 20% dan Inggris
sekitar 25%. World Health Organization (WHO) memperkirakan
prevalensi gangguan jiwa di dunia sekitar 5%, dan menduga pada tahun
2020 gangguan jiwa akan menjadi penyakit dengan prevalensi tertinggi
kedua di dunia.
Perubahan norma sosiokultural masyarakat diduga sebagai
penyebab semakin tingginya jumlah penderita gangguan jiwa. Faktor
sosiokultural menjadi faktor yang lebih dominan dalam munculnya
gangguan jiwa dibandingkan dengan faktor organobiologik dan faktor
psikoedukatif. Dominasi materialisme menjadikan tuntutan ekonomi
sebagai sumber tekanan (stress) yang memicu gangguan jiwa. Stigma
masyarakat terhadap gangguan jiwa sebagai sesuatu yang memalukan
dan merupakan aib sosial, semakin menyulitkan peningkatan taraf
kesehatan jiwa masyarakat. Penderita gangguan jiwa dan keluarga
mendapatkan beban sosial yang jauh melebihi penyakit lain.
Penyalahgunaan obat Narkotika, obat Psikotropika, dan Zat Adiktif
lain (NAPZA) –khususnya pada anak dan remaja- merupakan fenomena
“gunung es” yang perlu penanganan serius, karena sudah pada tahap
mengancam kelangsungan hidup manusia. World Health Organization
(WHO) amat mendukung kampanye global penatalaksanaan gangguan
jiwa, termasuk penyalahgunaan NAPZA pada anak dan remaja. Bahkan
tema hari kesehatan dunia tahun 2003 adalah “gangguan emosi dan
perilaku pada anak dan remaja”.
Pendekatan komunitas/masyarakat tidak dapat dipisahkan
pendekatan klinis terhadap individu dengan gangguan jiwa dan dalam
2
Blok Kesehatan Jiwa/Kesehatan Jiwa Masyarakat/31 Oktober 2011
meningkatkan kesehatan jiwa masyarakat. Penanganan klinis gangguan
jiwa tidak mungkin mendapatkan hasil yang optimal, apabila masyarakat
keliru memerlakukan penderita gangguan jiwa. Partisipasi masyarakat
harus ditingkatkan dalam upaya kesehatan jiwa, terutama dalam
pemulihan penderita gangguan jiwa, menghilangkan stigma sosial
terhadap gangguan jiwa, dan mengurangi stress sosiokultural.
Partisipasi masyarakat menjadi semakin penting mengingat
keterbatasan tenaga kesehatan jiwa dan minimnya alokasi dana APBN di
bidang kesehatan jiwa. Saat ini Indonesia hanya memunyai 430 dokter
spesialis jiwa untuk 220 juta penduduk, yang berarti sekitar 1
berbanding 500.000. World Health Organization (WHO) menyatakan 1
berbanding 10.000 sebagai angka ideal. Upaya pemecahan
permasalahan kesehatan di Indonesia hampir selalu terbentur pada
minimnya dana yang tersedia. Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) Indonesia hanya menganggarkan 3-3,5% untuk bidang
kesehatan, padahal WHO menetapkan angka minimal sebesar 5%.
Negara-negara Eropa menganggarkan 30-40% APBNnya untuk bidang
kesehatan. Bidang kesehatan jiwa masyarakat memperoleh alokasi
anggaran sangat sedikit, yaitu sekitar 0,1% dari APBN bidang kesehatan.
Departemen Kesehatan RI telah melakukan upaya untuk
meningkatkan alokasi anggaran dan cakupan pelayanan kesehatan jiwa
masyarakat dengan membentuk Direktorat Kesehatan Jiwa Masyarakat
dibawah Dirjen Binkesmas, sejak April 2000. Semula seluruh Rumah
Sakit Jiwa (RSJ) di Indonesia berada di bawah naungan Depkes RI, tapi
sejak otonomi daerah diberlakukan, saat ini hanya 5 RSJ yang ditangani
langsung Depkes, yaitu RSJ Jakarta, RSJ Bogor, RSJ Magelang, RSJ
Lawang, dan RS Ketergantungan Obat Jakarta. 28 RSJ lainnya diserahkan
pengelolaanya ke provinsi setempat.
3
Blok Kesehatan Jiwa/Kesehatan Jiwa Masyarakat/31 Oktober 2011
Pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia dilakukan sampai ke
tempat pelayanan kesehatan dasar (Puskesmas). Secara rinci organisasi
pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia tercantum dalam gambar 1.
Gambar 1 Organisasi pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia
Puskesmas merupakan tempat pelayanan bagi penderita
gangguan jiwa yang paling luas cakupannya. Program kesehatan jiwa
termasuk dalam program inti puskesmas, yang meliputi usaha
penemuan dini penderita gangguan jiwa, penyuluhan kesehatan jiwa
masyarakat, terapi medis gangguan jiwa dan pemberdayaan
(peningkatan partisipasi) masyarakat dalam upaya kesehatan jiwa.
Beberapa obat anti psikotik dan anti depresan -seperti haloperidol,
4
Kementerian Kesehatan
Direktorat Jendral Bina Kesehatan Masyarakat
Direktorat Jendral Pelayanan Medik Direktorat Jendral
Direktorat Kesehatan Jiwa Masyarakat
Rumah Sakit Jiwa Pusat
Rumah Sakit Jiwa Provinsi
Dinas Kesehatan Provinsi
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
Puskesmas
Puskesmas Pembantu
Blok Kesehatan Jiwa/Kesehatan Jiwa Masyarakat/31 Oktober 2011
chlorpromazin, diazepam- tersedia di puskesmas . Pelatihan kesehatan
jiwa dan penanganan gangguan jiwa bagi dokter dan paramedis
puskesmas telah dilakukan di beberapa provinsi di Indonesia.
Upaya pelayanan kesehatan jiwa masyarakat tertuang dalam “Tri
Upaya Bina Jiwa” yang meliputi 3 upaya, yaitu:
1. Prevensi Primer
2. Prevensi Sekunder
3. Prevensi Tersier
PREVENSI PRIMER GANGGUAN JIWA
Prevensi primer gangguan jiwa bertujuan untuk
meniadakan/mengurangi insidensi gangguan jiwa dalam suatu populasi
dengan meniadakan atau mengurangi pengaruh buruk dari lingkungan,
memperkuat kemampuan individu dalam menghadapi problema hidup.
Usaha yang dapat dilakukan adalah dengan promosi kesehatan dengan
berbagai media, bimbingan dan konseling (konsultasi), latihan
kelompok, dan intervensi krisis.
Media promosi kesehatan bertujuan untuk menyampaikan pesan
kesehatan dengan lebih menarik dan mempunyai daya tahan ingatan
lebih lama. Media yang dapat digunakan misalnya, media cetak (poster,
folder, leaflet, spanduk), media audio (radio, tape recorder), media
audiovisual (film).
Konsultasi kesehatan jiwa dapat dilakukan di tempat pelayanan
kesehatan, atau dengan memanfaatkan lembaga kemasyarakatan yang
ada, seperti pertemuan warga, pengajian, arisan. Konsultasi tidak hanya
dapat dilakukan dengan tenaga medis, tetapi dapat juga dengan
pemuka masyarakat dan pemuka agama.
Latihan kelompok dilakukan dengan harapan munculnya
kesadaran masyarakat untuk berpatisipasi dalam upaya kesehatan jiwa.
5
Blok Kesehatan Jiwa/Kesehatan Jiwa Masyarakat/31 Oktober 2011
Stigma sosial diharapkan dapat dieliminasi dengan adanya latihan
kelompok. Latihan kelompok dapat dilakukan dengan memanfaatkan
lembaga kemasyarakatan yang sudah ada, seperti pertemuan warga
dan pengajian.
Intervensi krisis4 merupakan hal yang mutlak dilakukan untuk
mencegah munculnya akibat negatif5 dan mengarahkan akibat krisis ke
arah positif6. Usaha yang dapat dilakukan adalah dengan membantu
menemukan cara penyelesaian krisis yang konstruktif, sehingga
mempertinggi daya tahan terhadap stres.
Penyelesaian krisis dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
1. Faktor individu
Penyelesaian krisis dipengaruhi oleh penyelesaian krisis terdahulu
dan penerimaaan individu terghadap stress dan krisis.
2. Faktor sosiokultural
Individu sering dibantu oleh lingkungannya dalam menghadapi
krisi dengan jalan introyeksi7 norma dan tradisi, melalui lembaga
kemasyarakatan.
3. Faktor keluarga
Keluarga harus menolong individu dalam krisi dengan
mendapatkan cara penyelesaian sesuai dengan norma, budaya,
pengalaman keluarga, dan fungsi keluarga.
4. Faktor orang lain
Pengaruh orang terkemuka –seperti pemuka masyarakat, pemuka
agama, dokter, pekerja sosial- dapat membantu individu dalam
penyelesaian krisis. Intervensi krisis dapat dikerjakan di tempat-tempat
4 suatu kehilangan perbekalan dasar –fisik, psikososial, sosiokultural- yang mendadak, bahaya akan kehilangan atau tantangan untuk mendapatkan perbekalan yang lebih banyak, tetapi dengan tuntutan yang lebih berat bagi individu.5 Gangguan jiwa atau meningkatkan kerentanan terhadap gangguan jiwa6 kematangan kepribadian individu7 pengambilalihan
6
Blok Kesehatan Jiwa/Kesehatan Jiwa Masyarakat/31 Oktober 2011
konsentrasi krisis seperti polindes/rumah bersalin bagi calon ibu (ibu
hamil), ruang praoperasi, ruang emergency, dan sarana pendidikan.
7
Blok Kesehatan Jiwa/Kesehatan Jiwa Masyarakat/31 Oktober 2011
PREVENSI SEKUNDER GANGGUAN JIWA
Prevensi sekunder gangguan jiwa bertujuan untuk mengurangi
prevalensi gangguan jiwa dalam suatu populasi dengan mengurangi
masa berlangsungnya gangguan jiwa. Hal ini berhubungan dengan
hipotesis bahwa suatu gangguan jiwa yang baru dimulai akan lebih
mudah ditanggulangi daripada yang telah berlangsung lama. Usaha
yang dapat dilakukan adalah dengan diagnosis dini dan terapi segera.
Diagnosis dini berkaitan dengan ketajaman diagnosis, rujukan dini
dan screening. Ketajaman diagnosis dipengaruhi oleh kemampuan
dokter dalam memastikan gejala-gejala dini gangguan jiwa. Keluarga
dan anggota masyarakat diharapkan mempunyai kepekaan terhadap
deviasi mental individu, sehingga dapat membatu dokter menegakkan
diagnosis dini gangguan jiwa. Upaya aktif petugas kesehatan dan
masyarakat dalam menemukan penderita gangguan jiwa, dapat pula
dilakukan dengan langkah screening kesehatan jiwa di masyarakat.
Kedua usaha di atas dapat membantu terlaksana rujukan dini, sehingga
intervensi terhadap gangguan jiwa dapat segera dilakukan. Langkah
selanjutnya adalah dengan memberikan terapi sesegera mungkin
terhadap gangguan jiwa
PREVENSI TERSIER GANGGUAN JIWA
Prevensi tersier gangguan jiwa bertujuan untuk mengurangi defek
residual dalam fungsi mental penderita gangguan jiwa akibat gangguan
jiwa dan meningkatkan produktivitas sampai tingkat optimal.
Usaha prevensi tersier (rehabilitasi) terhadap gangguan jiwa
seharusnya dilakukan poada saat diagnosis ditegakkan dan terapi mulai
dilakukan. Hal ini dimaksudkan agar pengembalian penderita gangguan
jiwa ke masyarakat dapat berlangsung lancar dan tidak terjadi
8
Blok Kesehatan Jiwa/Kesehatan Jiwa Masyarakat/31 Oktober 2011
gangguan jiwa ulangan. Stigma sosial terhadap penderita gangguan jiwa
harus dihilangkan, dengan upaya edukasi yang konstruktif.
Rumah sakit jiwa (RSJ) umumnya telah membuat langkah terapi
yang terprogram dengan baik. Tahapan-tahapan terapi disesuaikan
dengan tingkat keparahangangguan jiwa. Hospitalisasi biasanya
dihindari di RSJ, agar penderita gangguan jiwa mengalami stres
penyesuaian lingkungan dan mudah menyesuaikan diri saat kembali ke
masyarakat. Suasana RSJ diciptakan tidak berbeda dengan lingkungan di
luar RSJ, sehingga di RSJ terdapat tempat terapi kerja, latihan kerja,
kebun, tempat ibadah, dan sebagainya. Di sampng itu dilakukan juga
perawatan rumah dan kunjungan rumah, untuk memantau
perkembangan penderita gangguan jiwa.
REFERENSI
Direktorat Kesehatan Jiwa. (1993). Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia. Edisi III. Direktorat Jendral Pelayanan Medik Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Maramis, W.E. (1990). Cacatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Airlangga University Press. Surabaya.
Pleyte, W.E.H. (2003). Partisipasi Masyarakat dalam Bidang Kesehatan Jiwa. Forum Komunikasi dan Studi Kesehatan Jiwa Islami. http://www.geocities.com/forkos_keswais/psikiatriislami.html
Siswowijoto, P. (2002). Selintas tentang Kesehatan Jiwa Masyarakat. FK UII. Yogyakarta.
http://www.kompas.comhttp://www.depkes.go.idhttp://www.pikiran-rakyat.comhttp://www.who.int
9