Kesiapan Angkutan Jalan Dalam Menghadapi...
Transcript of Kesiapan Angkutan Jalan Dalam Menghadapi...
Warta Penelitian Perhubungan 2019, 31 (1): 1-14
http://dx.doi.org/10.25104/warlit.v31i1.913 0852-1824/ 2580-1082 ©2019 Sekretariat Badan Penelitian dan Pengembangan Perhubungan
Artikel ini open access dibawah lisensi CC BY-NC-SA (https://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0/) Terakreditasi Sinta (Peringkat 2), SK No. 10/E/KPT/2019
Kesiapan Angkutan Jalan Dalam Menghadapi Penerapan Standar
Emisi Euro 4
Ichda Maulidya
Puslitbang Transportasi Jalan dan Perkeretaapian, Badan Litbang Perhubungan
Jl. Medan Merdeka Timur No. 5, Jakarta Pusat 10110, Indonesia
E-mail: [email protected]
Diterima : 2 April 2019, disetujui: 27 Juni 2019, diterbitkan online: 28 Juni 2019
Abstrak
Konsumsi bahan bakar minyak cukup dipengaruhi oleh peningkatan jumlah kendaraan bermotor setiap tahunnya.
Konsumsi tersebut juga cenderung mengalami peningkatan dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 4,24% per tahun. Jika
dibiarkan, maka hal ini disinyalir akan memicu peningkatan emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Oleh karena itu, sebagai salah
satu upaya pengurangan dampak emisi GRK, Pemerintah Indonesia akan segera memberlakukan standar emisi Euro
4 untuk kendaraan bermotor tipe baru maupun yang sedang diproduksi secara bertahap yaitu pada Oktober 2018 untuk
kendaraan berbahan bakar bensin dan pada Maret 2021 untuk kendaraan berbahan bakar diesel (solar). Keunggulan
penerapan Standar Emisi Euro 4 dibandingkan dengan standar sebelumnya (Euro 2) yakni mampu menurunkan emisi
secara signifikan, menghemat subsidi bahan bakar, serta meningkatkan daya saing produksi otomotif serta pangsa pasar
di kancah internasional. Penelitian ini akan menganalisis strategi prioritas yang perlu dilakukan para stakeholder dalam
penerapan Standar Emisi Euro 4 bagi angkutan jalan. Metode penelitian yang digunakan adalah analisis SWOT dengan
menggunakan dua faktor, meliputi internal dan eksternal untuk menentukan strategi prioritas. Faktor internal mencakup
kekuatan dan kelemahan, sedangkan faktor eksternal mencakup peluang dan ancaman. Berdasarkan hasil penelitian,
diketahui bahwa strategi prioritas yang digunakan merupakan strategi dengan memanfaatkan kekuatan (Strengths/S)
untuk mengambil manfaat dari peluang (opportunities/O) yang meliputi perlunya implementasi regulasi mitigasi GRK
secara bertahap khususnya untuk industri otomotif guna mendorong peningkatan ekspor kendaraan bermotor,
mengembangkan teknologi uji tipe kendaraan bermotor berstandar Emisi Euro 4 di Indonesia agar target produksi
domestik maupun ekspor meningkat, memanfaatkan pangsa pasar untuk mendongkrak ekspor kendaraan bermotor, serta
meningkatkan kualitas Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia yang berstandar Emisi Euro 4 agar performa mesin
kendaraan bermotor terjaga, baik untuk keperluan domestik maupun ekspor.
Kata kunci : Kendaraan bermotor, emisi, gas rumah kaca dan Euro 4.
Abstract
The Readiness of Road Transportation in Facing the Implementation of Standard Implementation for Euro 4 Emissions: The consumption of fuel oil is quite influenced by the increase in the number of motorized vehicles every year. The consumption also tends to increase with an average growth of 4.24% per year. If left uncontrolled, this is then supposed to trigger an increase in greenhouse gas (GHG) emissions. Thus, as an effort to reduce the impact of greenhouse gas emissions, the Government of Indonesia will immediately impose Euro 4 emission standards for new types of motor vehicles and those being produced gradually by which gasoline-fueled vehicles in October 2018 and vehicles diesel fuel (diesel) in March 2021. The advantages of implementing the Euro 4 Emission Standard compared to the previous standard (Euro 2) are being able to reduce emissions significantly, save fuel subsidies, and increase the competitiveness of automotive production and market share in the international level. In this research, the priority strategies that need to be carried out by stakeholders in the implementation of Euro 4 Emission Standards for road transport will be analyzed. The research method used SWOT two factors, including internal and external to determine priority strategies. Internal factors include strengths and weaknesses, while external factors deal with the opportunities and threats. According to the results of the research, it is known that the obtained priority strategy was the strategy that used strength (Strengths/S) to take advantage of opportunities (O) including the need to gradually implement greenhouse gas mitigation regulations, especially for the automotive industry in order to encourage increased exports of motor vehicles, develop the technology dealing with the test of motor vehicles types which have the standard of Emisi Euro 4 in Indonesa to increase either the domestic production or exports target, take an advantage of the market to boost the export of motor vehicles, and improve the quality of fuel oil (BBM) in Indonesia in Euro 4 Emission to maintain the performance of motor vehicles either for dometic or for export purposes.
Keywords: Motorized vehicles, emission, greenhouse gases and Euro 4.
Ichda Maulidya Warta Penelitian Perhubungan 2019, 31 (1): 1–14
2
1. Pendahuluan
Transportasi jalan merupakan salah satu
kontributor emisi gas rumah kaca (GRK) di
Indonesia. Data yang dirilis oleh Kementerian
Perhubungan menunjukkan bahwa jumlah
kendaraan bermotor di Indonesia untuk seluruh
jenis, baik mobil penumpang, mobil beban, mobil
bus, maupun sepeda motor pada tahun 2016
sebanyak 128 juta unit. Jumlah tersebut meningkat
sebanyak 6,03% dari tahun sebelumnya. Konsumsi
bahan bakar untuk transportasi pada tahun 2016
adalah 239 juta BOE dengan pangsa BBM paling
besar, yaitu 98,48%. Konsumsi tersebut juga
cenderung mengalami peningkatan dengan rata-
rata pertumbuhan sebesar 4,24% per tahun [1].
Peningkatan konsumsi bahan bakar tersebut
sejalan dengan peningkatan jumlah kendaraan
setiap tahun. Jika dibiarkan, hal ini tentunya akan
memicu peningkatan emisi GRK.
Sebagai salah satu upaya mitigasi emisi GRK,
Pemerintah Indonesia akan segera
memberlakukan Standar Emisi Euro 4 untuk
kendaraan bermotor tipe baru dan yang sedang
diproduksi secara bertahap. Perumusan kebijakan
Standar Emisi Euro tersebut memiliki pendekatan
yang erat dengan kekhawatiran dan kebutuhan
terhadap konservasi lingkungan [2]. Pada Oktober
2018 akan diberlakukan untuk kendaraan
bermotor berbahan bakar bensin, sedangkan
kendaraan bermotor berbahan bakar diesel pada
Maret 2021. Penerapan Standar Emisi Euro 4
tersebut telah tertuang dalam Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 20
Tahun 2017 tentang Baku Mutu Emisi Gas Buang
Kendaraan Bermotor Tipe Baru Kategori M
(angkutan orang), N (angkutan barang), dan O
(kendaraan bermotor penarik untuk gandengan
atau tempel) [3], untuk menggantikan standar
bahan bakar Euro 2 saat ini.
Dengan adanya penetapan peraturan tersebut,
kualitas udara perkotaan di Indonesia diharapkan
menjadi semakin baik serta berkontribusi terhadap
penurunan emisi nasional GRK. Seperti diketahui
bahwa Indonesia tidak hanya merupakan pasar
terbesar produk otomotif, tetapi juga menjadi
basis produksi kendaraan bermotor di kawasan
Asia Tenggara. Oleh karena itu, peran pemerintah
khususnya Kementerian Perindustrian menjadi
sangat vital dalam memastikan kendaraan
bermotor yang diproduksi dan dipasarkan
mempunyai standar emisi gas buang yang sesuai
dengan peraturan yang berlaku. Hal ini juga
sejalan dengan komitmen Indonesia yang tertuang
dalam Dokumen Nationally Determined
Contribution (NDC) dengan ditetapkannya target
unconditional untuk mengurangi emisi GRK
sebesar 29% dan target conditional sampai dengan
41 % dibandingkan dengan skenario Business As
Usual (BAU) pada tahun 2030.
Penerapan aturan tersebut tentunya akan
berimplikasi pada perlunya berbagai persiapan di
beberapa sektor terkait karena selama ini hanya
menerapkan Standar Emisi Euro 2 untuk pasar
dalam negeri, sedangkan Standar Emisi Euro 4
diberlakukan untuk kendaraan yang diekspor.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
(ESDM) dan Pertamina perlu menyiapkan
spesifikasi bahan bakar nasional serta investasi
penyediaan bahan bakar yang mengacu pada
Standar Emisi Euro 4. Beberapa jenis bahan bakar
yang memenuhi Standar Emisi Euro 4 adalah bahan
bakar bernilai oktan minimal 92 seperti Pertamax
dengan nilai oktan 92, Pertamax Plus dengan nilai
oktan 95, dan Pertamax Turbo dengan nilai oktan
98 [4]. Namun, meskipun teknologi tersedia di
Indonesia, persoalan bahan bakar masih menjadi
kendala [5].
Selain itu, industri otomotif dalam negeri pun
turut memiliki andil dalam persiapan infrastruktur
produksi dan teknologi mesin yang mengadopsi
Standar Emisi Euro 4. Sementara itu, Kementerian
Perhubungan bersama dengan Balai Pengkajian
dan Penerapan Teknologi (BPPT) juga perlu
menyiapkan fasilitas untuk uji laik jalan kendaraan
bermotor roda dua dan empat menggunakan
metode uji Euro 4.
Di dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup
dan Kehutanan No. 20 Tahun 2017 tersebut,
terdapat spesifikasi berbeda untuk pengujian emisi
gas buang antara kendaraan bermotor berbahan
bakar bensin dan solar. Untuk bensin,
menggunakan parameter research octane number
(RON) minimal 91, kandungan timbal (Pb)
minimum tidak terdeteksi, dan kandungan sulfur
maksimal 50 ppm. Sementara itu, untuk diesel,
menggunakan parameter cetane number minimal
51, kandungan sulfur maksimal 50, ppm, dan
kekentalan (viscosity) paling sedikit 2 mm2/s, dan
maksimal 4,5 mm2/s.
Pada dasarnya, peraturan tersebut bertujuan
untuk mengurangi emisi kendaraan bermotor yang
mengandung zat-zat berbahaya bagi manusia dan
lingkungan, misalnya karbon dioksida (CO2),
nitrogen oksida (NOx), karbon monoksida (CO),
volatile hydro carbon (VHC), dan sejumlah partikel
Warta Penelitian Perhubungan 2019, 31 (1): 1–14 Ichda Maulidya
3
lain. Perubahan utama dari Standar Emisi Euro 4
adalah pengurangan batas untuk bahan partikulat
(particulate matter/PM) dari 0,025 g/km menjadi
0,005 g/km [6]. Emisi gas buang NO, SO2 yang
dihasilkan oleh kendaraan jauh melebihi angka
keamanan yang disarankan oleh World Health
Organization (2016) sehingga emisi gas buang
tersebut perlu mendapat perhatian yang serius [7].
Beberapa keuntungan penerapan aturan
tersebut antara lain akan menghasilkan penurunan
emisi secara signifikan, penghematan subsidi
bahan bakar, serta meningkatkan daya saing
produksi otomotif serta pangsa pasar di kancah
internasional. Dari sisi ekonomi, Standar Emisi
Euro 4 yang menggunakan Low Sulphur Fuel atau
BBM dengan kadar belerang rendah, bila
diproduksi dari dalam negeri, menurut Komite
Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB) akan
menggandakan net Economic Benefit menjadi
Rp3.973 triliun di tahun 2030 [8].
Selain itu, pengurangan massa bahan
partikulat (particulate matter/PM) dari Euro 1 ke
Euro 4 dikaitkan dengan penurunan yang relevan
dalam jumlah partikel total [9]. Untuk Standar
Emisi Euro 4, batas total PM adalah partikel yang
terkandung dalam gas buang yang mengembun
pada filter standar pada suhu di bawah 52oC [10].
PM juga berkurang dengan semakin tingginya
kandungan Fatty Acid Methyl Ester (FAME)
menjadi bahan bakar di kendaraan Euro 4 [11].
Hasil penelitian sebelumnya juga
menunjukkan hasil yang signifikan, yaitu terjadi
penurunan emisi karbon monoksida (CO) dari
kendaraan bensin Euro 4 sebesar 0,426 g/km [12].
Nilai emisi terendah juga relatif terhadap mobil
penumpang hibrida bensin Euro 4 [13]. Bahkan,
mobil berbahan bensin Euro 4 di London, dapat
dikemudikan tanpa biaya di zona karena standar
emisi NOx pada kendaraan tersebut berada di
tingkat yang sama atau kurang dari batas diesel
Euro 6 yang sebanding [14].
Oleh karena itu, dalam kajian ini akan
dianalisis strategi prioritas yang perlu dilakukan para
stakeholder dalam penerapan Standar Emisi Euro 4
bagi angkutan jalan, khususnya bus. Studi ini
dilakukan untuk mengukur sejauh mana kesiapan
industri otomotif dan BPLJSKB terhadap penerapan
Standar Emisi Euro 4 serta mengidentifikasi
berbagai langkah fundamental guna mendukung
implementasi Standar Emisi Euro 4.
2. Metodologi
2.1. Metode Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data primer pada
penelitian ini diperoleh melalui kuesioner dan
wawancara kepada BPLJSKB serta pelaku industri
otomotif, dalam hal ini diwakili oleh PT Hino
Motors Manufacturing Indonesia. Perusahaan
otomotif tersebut dijadikan sampel pada penelitian
ini karena secara prinsip telah memiliki mesin dan
teknologi Euro 4, hanya saja saat ini masih
mengembangkannya untuk menyesuaikan dengan
pasar Indonesia nantinya. Kunjungan lapangan
juga dilakukan pada dua lokasi tersebut untuk
mendapatkan dokumentasi dari aktivitas riil di
lapangan serta gambaran kesiapan dalam
penerapan Standar Emisi Euro 4 nantinya.
Data sekunder pada umumnya adalah data
yang diperoleh atau bersumber dari pihak lain
(instansi lain), maupun dari berbagai sumber. Metode
pengumpulan data sekunder dalam penelitian ini
adalah dengan mendatangi instansi terkait guna
mendapatkan data pendukung yang dibutuhkan serta
mencari berbagai sumber yang relevan dengan topik
penelitian. Beberapa data sekunder yang dibutuhkan
dalam penelitian ini meliputi: Jumlah kendaraan yang
diuji, sarana pengujian kendaraan bermotor yang
mendukung penerapan Standar Emisi Euro 4,
kapasitas uji per hari, jumlah dan jenis produksi
kendaraan, rencana produksi kendaraan untuk
menerapkan Standar Emisi Euro 4, spesifikasi teknis
kendaraan yang diproduksi, rencana pangsa pasar,
persentase Penggunaan Tingkat Komponen Dalam
Negeri (TKDN).
2.2. Metode Analisis
Pada kajian ini, data primer diolah
menggunakan analisis SWOT, sedangkan data
sekunder menggunakan analisis deskriptif dengan
penjelasan secara jelas dan terperinci serta
didukung dengan gambar maupun tabulasi.
Sumber : [17]
Gambar 1. Diagram Analisis SWOT
Ichda Maulidya Warta Penelitian Perhubungan 2019, 31 (1): 1–14
4
2.2.1. SWOT (Strengths, Weaknesses,
Opportunities, Threats)
Analisis SWOT adalah kerangka perencanaan
strategis yang digunakan dalam evaluasi
organisasi, rencana, proyek atau kegiatan bisnis.
Analisis SWOT adalah instrumen untuk membantu
mengidentifikasi faktor organisasi dan lingkungan.
Analisis SWOT memiliki dua dimensi, yaitu
internal dan eksternal. Dimensi internal mencakup
faktor organisasi, juga kekuatan dan kelemahan,
sedangkan dimensi eksternal mencakup faktor
lingkungan, juga peluang dan ancaman [15].
Tujuan dari analisis SWOT adalah untuk
mengumpulkan, menganalisis, dan mengevaluasi
informasi dan mengidentifikasi opsi strategis yang
dihadapi oleh komunitas, organisasi, atau individu
pada waktu tertentu [16].
Ada 2 pendekatan dalam analisis SWOT, yaitu
pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Pendekatan
kualitatif menggunakan matriks SWOT, sedangkan
pendekatan kuantitatif dilakukan melalui
perhitungan agar diketahui secara pasti posisi
institusi/perusahaan yang sesungguhnya.
2.2.2. Model Analisis SWOT
Analisis SWOT membandingkan antara faktor
eksternal peluang dan ancaman dengan faktor
internal kekuatan dan kelemahan. Faktor internal
dimasukan ke dalam matriks yang disebut matriks
faktor strategi internal atau IFAS (Internal Strategic
Factor Analisis Summary).
Faktor eksternal dimasukkan kedalam matriks
yang disebut matriks faktor strategi eksternal EFAS
(Eksternal Strategic Factor Analisys Summary).
Setelah matriks faktor strategi internal dan
eksternal selesai disusun, kemudian hasilnya
dimasukkan dalam model kuantitatif, yaitu
matriks SWOT untuk merumuskan strategi
kompetitif perusahaan.
2.2.3. Matriks SWOT
Alat yang dipakai untuk menyusun faktor-
faktor strategis perusahaan adalah matriks SWOT.
Matriks ini dapat menggambarkan secara jelas
bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang
dihadapi perusahaan dapat disesuaikan dengan
kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya. Matriks
ini dapat menghasilkan 4 kemungkinan alternatif
strategis.
Strategi SO (Strengths - Opportunities) dibuat
berdasarkan jalan pikiran institusi/perusahaan,
yaitu dengan memanfaatkan seluruh kekuatan
untuk merebut dan memanfaatkan peluang yang
sebesar-besarnya. Strategi ST (Strengths - Threats),
meliputi Strategi dalam menggunakan kekuatan
yang dimiliki institusi/perusahaan untuk
mengatasi ancaman. Strategi WO (Weaknesses -
Opportunities), strategi ini diterapkan berdasarkan
pemanfaatan peluang yang ada dengan cara
meminimumkan kelemahan yang ada. Strategi WT
(Weaknesses - Threats), strategi ini berdasarkan
pada kegiatan yang bersifat defensive dan
berusaha meminimalkan kelemahan yang ada
serta menghindari ancaman.
Secara umum kuesioner SWOT memiliki
kategorisasi penilaian sebagai berkut: Penilaian
faktor internal dan eksternal; Responden
memberikan preferensi opininya terhadap faktor-
Tabel 2. Matriks Faktor Strategi Internal (IFAS)
Faktor Strategi Internal
Bobot Rating Bobot x Rating
Keterangan
Kekuatan X X X
Jumlah X X X
Kelemahan X X X
Jumlah X X X
Total X X X
Sumber : [17]
Tabel 1. Matriks Faktor Strategi Eksternal (EFAS)
Faktor Strategi
Eksternal
Bobot Rating Bobot x
Rating
Keterangan
Peluang X X X
Jumlah X X X
Ancaman X X X
Jumlah X X X
Total X X X
Sumber : [17]
Tabel 3. Matriks SWOT
IFAS
EFAS
STRENGTHS (S)
Tentukan 5-10
faktor -faktor
Kekuatan internal
WEAKNESSES (W)
Tentukan 5-10
kelemahan
internal
OPPORTUNITIES (O)
Tentukan 5-10
faktor ancaman
eksternal
STRATEGI
SO
Ciptakan strategi
yang menggunakan
kekuatan untuk
memanfaatkan
peluang
STRATEGI
WO
Ciptakan strategi
yang
meminimalkan
kelemahan untuk
memanfaatkan
peluang
THREATS (T)
Tentukan 5-10
faktor ancaman
eksternal
STRATEGI
ST
Ciptakan strategi
yang menggunakan
kekuatan untuk
mengatasi ancaman
STRATEGI
WT
Ciptakan strategi
yang
meminimalkan
kelemahan dan
menghindari
ancaman
Sumber : [17]
Warta Penelitian Perhubungan 2019, 31 (1): 1–14 Ichda Maulidya
5
faktor internal dan eksternal dari
institusi/perusahaan pada saat ini dan perkiraan di
masa mendatang; Penilaian urgensi. Responden
diminta untuk menilai tingkat urgensi faktor
tersebut untuk ditangani; Penilaian ini
berhubungan dengan skala prioritas dalam
menyelesaikan persoalan pembangunan yang
tercermin melalui faktor - faktor yang dinilai.
3. Hasil dan Pembahasan
3.1. Pengujian Emisi Gas Buang
Batas emisi kendaraan di Uni Eropa diatur
dengan Standar Emisi Euro sebagaimana diatur
dalam Kerangka EU untuk jenis mobil, van, truk,
dan bus [18]. Sementara itu, di Indonesia berlaku
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Nomor 20 Tahun 2017 tentang Baku
Mutu Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe
Baru Kategori M, N, dan O. Adapun pemenuhan
baku mutu emisi gas buang menurut peraturan
tersebut dilakukan melalui pengujian emisi gas
buang.
Dilakukan di laboratorium yang terakreditasi
Menggunakan metode uji: Mode Test dan ECE R 83
– 05 untuk uji emisi Kendaraan Bermotor Tipe Baru
kategori M dan kategori N, berpenggerak motor
bakar cetus api, berbahan bakar bensin dan gas
(LPG/CNG) dan penyalaan kompresi (diesel). Mode
ESC dan mode ETC, dan ECE R 49 – 03 untuk uji
Kendaraan Bermotor Kategori M, Kategori N, dan
Kategori O berpenggerak motor bakar penyalaan
kompresi (diesel) dan Menggunakan bahan bakar
dengan spesifikasi reference fuel menurut
Economic Comission for Europe (ECE).
Dalam hal reference fuel tidak tersedia,
pengujian emisi gas buang dilakukan dengan
menggunakan bahan bakar minyak dengan
spesifikasi cetus api (bensin) dengan parameter
RON minimal 91 (sembilan puluh satu), kandungan
timbal (Pb) minimum tidak terdeteksi dan
kandungan sulfur maksimal 50 (lima puluh) ppm.
Kompresi (diesel) dengan parameter Cetane
Number minimal 51 (lima puluh satu), kandungan
sulfur maksimal 50 (lima puluh) ppm dan
kekentalan (viscosity) paling sedikit 2 (dua) mm2/s
dan maksimal 4,5 (empat koma lima) mm2/s. Cetus
api dan kompresi (LPG) dengan parameter RON
minimal 95 (sembilan puluh lima), kandungan
sulfur maksimal 50 (lima puluh) ppm atau cetus
api dan kompresi (CNG) dengan parameter C1+C2
minimal 62% (enam puluh dua perseratus) vol,
relative density pada suhu 280oC minimal 0,56 (nol
koma lima puluh enam).
Hasil uji emisi sebagaimana dimaksud
nantinya menjadi dasar diterbitkannya sertifikat
uji tipe kendaraan bermotor oleh instansi yang
bertanggung jawab di bidang lalu lintas dan
angkutan jalan. Hal tersebut juga merupakan
dukungan terhadap kesiapan Indonesia dalam
penerapan Standar Emisi Euro 4.
3.2. Kesiapan PT. Hino Motors Manufacturing
Indonesia Untuk Penerapan Standar Emisi
Euro 4
Sebagai produsen truk, bus, dan mesin diesel
kelas dunia, PT. Hino Motors Manufacturing
Indonesia berusaha menciptakan dan
memproduksi produk ramah lingkungan antara
lain Menerapkan Substance of Concern (SOC) free.
Hal ini dilakukan dengan tidak menggunakan
Bahan Beracun Berbahaya (B3) pada material
komponen seperti: Timbal, Cadmium, Mercury,
Chromium.
Menerapkan teknologi mesin yang lebih
mutakhir yang mampu memenuhi kebutuhan
masyarakat dan tuntutan zaman. Mesin-mesin
yang diproduksi tersebut telah menghasilkan emisi
bersih dengan adopsi teknologi seperti sistem
common rail tekanan ultra tinggi dan ruang
pembakaran yang baru ditingkatkan sehingga
menciptakan penghematan bahan bakar yang
sangat efisien. Sistem EGR (Exhaust Gas
Recirculation) serta DPR (Diesel Particulate active
Reduction) untuk dapat menghilangkan PM
(bahan-bahan partikulat) secara efektif. Sistem
EGR tipikal dianggap sebagai cara yang lebih efisien
untuk kendaraan diesel tua untuk memenuhi
Standar Emisi Euro 4. [19]. Sistem Urea SCR guna
Sumber: PT Hino Motors Manufacturing Indonesia, 2018
Gambar 2. Chasis dan Bus Tipe RK 260 Berbahan Bakar
CNG
Ichda Maulidya Warta Penelitian Perhubungan 2019, 31 (1): 1–14
6
mematuhi Tier 4 Final untuk mengatasi
pengurangan NOx.
Melakukan perubahan desain kendaraan
bermotor agar dapat menyesuaikan penerapan
biodiesel sesuai pentahapannya, yaitu: B20 sejak 1
Januari 2016 dan B30 sejak 1 Januari 2020. Salah
satu produk yang dihasilkan untuk mendukung
penerapan Standar Emisi Euro 4 adalah bus
berbahan bakar Compress Natural Gas (CNG)
dengan jumlah produksi seperti terlihat pada tabel
4.
Menurut informasi yang diperoleh dari PT
Hino Motors Manufacturing Indonesia, local
content atau TKDN produk-produk Hino di
Indonesia pada saat ini persentasenya telah
mencapai 35 %, khususnya untuk produk chassis
bus. Sementara itu, untuk pangsa pasar, Indonesia
merupakan pasar pertama terbesar Hino di luar
Jepang. Total penjualan Hino di seluruh dunia
tercatat sebanyak 185.000 unit penjualan secara
global, sedangkan Indonesia menyumbangkan
sebanyak 34.500 unit. Untuk pasar domestik,
produk Hino akan taat mengikuti regulasi Euro 4
pada Tahun 2021 mendatang.
3.3. Kesiapan BPLJSKB Untuk Penerapan Standar
Emisi Euro 4
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM
33 Tahun 2018 tentang Pengujian Tipe Kendaaan
Bermotor, Uji Tipe Kendaraan Bermotor dilakukan
terhadap fisik kendaraan bermotor atau penelitian
terhadap rancang bangun dan rekayasa kendaraan
bermotor, kereta gandengan atau kereta tempelan
sebelum kendaraan bermotor dibuat dan/atau
dirakit dan/atau diimpor secara massal serta
kendaraan bermotor yang dimodifikasi [20].
Pelaksanaan Uji Tipe Kendaraan Bermotor
sebagaimana dimaksud dilaksanakan pada jenis
Kendaraan Bermotor yang dibagi ke dalam
kategori: LI, L2, L3, L4, dan L5 untuk sepeda motor;
Ml untuk Mobil Penumpang; M2 dan M3 untuk
Mobil Bus; dan NI, N2, N3, Ol, O2, O3, dan O4 untuk
Mobil Barang [3].
BPLJSKB telah dilengkapi dengan fasilitas uji
kendaraan bermotor yang berada dalam gedung
(indoor test) maupun luar gedung (outdoor test).
Laboratorium uji emisi kendaraan mobil
penumpang/barang ringan yang tersedia saat ini
telah dilengkapi dengan fasilitas sistem peralatan
emisi serta ruangan khusus untuk pelaksanaan
pengujian emisi sesuai UN Regulation Standard
No. 83 dengan kemampuan pengukuran emisi
sampai dengan Euro 4.
Gambar 3. Milestone PT Hino Motors Manufacturing Indonesia
Tabel 4. Produksi Bus bakar Compress Natural Gas (CNG)
No. Tahun Total Produksi (Unit)
1. 2006 6
2. 2007 55
3. 2008 36
4. 2015 55
5. 2016 5
Sumber: PT Hino Motors Manufacturing Indonesia, 2018
Sumber: BPLJSKB, 2018
Gambar 4. Sistem Peralatan Uji Emisi di BPLJSKB
Warta Penelitian Perhubungan 2019, 31 (1): 1–14 Ichda Maulidya
7
Kategori kendaraan yang dapat diuji meliputi
kendaraan berkapasitas gross vehicle weight
maksimum 3,5 ton dengan sistem pembakaran
positive ignition (berbahan bakar bensin,
LPG/natural gas) dan compression ignition atau
mesin diesel (berbahan bakar solar) [21].
Peralatan pengujian emisi ini diharapkan
dapat mendukung pelaksanaan pengujian tipe
kendaraan bermotor di BPLJSKB guna menjamin
baku mutu terhadap emisi gas buang dari
kendaraan bermotor tipe baru.
Kemampuan pengukuran hingga Standar
Emisi Euro 4 dengan PI engine (bensin, LPG/LNG)
dan CI engine (diesel). Urutan prosedur
pelaksanaan pengujian dapat dilihat pada gambar
5.
Namun, meskipun sudah memiliki alat uji
emisi, kapasitas pengujian di BPLJSKB masih
sangat sedikit. Satu hari hanya mampu menguji
sekitar 3-4 unit tipe kendaraan. Untuk
memenuhi 400 uji emisi dan sertifikasi
memerlukan waktu sekitar 100 hari [22].
Pada Mei Tahun 2018, BPLJSKB juga
melakukan pengujian terhadap mobil penumpang
dengan metode uji R-83 berstandar emisi Euro 4
seperti terlihat pada tabel 6. Sedangkan tabel 7
merupakan rekapitulasi pelaksanaan uji tipe
kendaraan bermotor dari Januari 2015 hingga
April 2018.
3.4. Analisis SWOT
Analisis kesiapan angkutan jalan dalam
penerapan Standar Emisi Euro 4 pada kajian ini
menggunakan metode SWOT dengan melakukan
identifikasi faktor internal, meliputi kekuatan dan
kelemahan serta faktor eksternal, meliputi
ancaman dan peluang bagi angkutan jalan.
Tabel 5. Spesifikasi Sistem Peralatan Uji Emisi
Sistem Peralatan Uji Spesifikasi
Chassis dynamometer Diameter roller: 48 inchi Wheel base adjustment: 1800
– 4400 mm
Wheel drive adjustment: FWD, RWD, 4WD Max. driven speed: 125 mph (± 210 kph) Max. load per axle: 5511.6 lbs (± 2500 kg)
Vehicle cooling fan Dilution system
Velocity: 0 – 130 kph
9 areas rectangular outlet Height above ground: 200 mm Adjustable flapper Elastic duct moveable position CVS (Constant Volume Sampler) flowrate: 4.5 – 31.5
m3/min Heat exchanger for diesel measurement 9 bag sampling
Emission analysis Analyser CO: NDIR (Non Dispersive Infrared) Analyser CO2: NDIR (Non Dispersive Infrared) Analyser HC: NDIR (Non Dispersive Infrared) Analyser O2: MPD (Magneto Pneumatic) Analyser THC: FID (Hydrogen Flame Ionization) Analyser THC for Diesel: Heated FID (Hydrogen Flame Ionization Analyser NOx: CLD (Chemiluminescencse) Analyser CH4: GC (Gas Chromatography) + FID
Sumber: BPLJSKB, 2018
Gambar 5. Urutan Kerja Pengukuran Emisi di BPLJSKB
Tabel 6. Hasil Pengujian dengan Metode R83 Euro 4
No. Merek/Tipe Kondisi
NG OK
1. Mitsubishi Xpander 1.5 L Ultimate-K (4X2) AT
√
2. Mitsubishi Xpander 1.5 L Sport-K (4X2) AT
√
3. Mitsubishi Xpander 1.5 L Sport (4X2)MT
√
4. Mitsubishi Xpander 1.5 L Exceed-K (4X2) AT
√
5. Mitsubishi Xpander 1.5 L Exceed-K (4X2) MT
√
6. Mitsubishi Xpander 1.5 L GLS-K (4X2)AT
√
7. Mitsubishi Xpander 1.5 L GLS-K (4X2)MT
√
8. Mitsubishi Xpander 1,5 L GLX-K (4X2)AT
√
9. Lexus GGL26R-ARZGB (4X4) AT √
0. Toyota ZVW50R-AHXEBW (4X2) AT √
11. Toyota GGH30R-PFZVK (4X2) AT √
12. Honda Brio Satya 1.2 E MT CKD (4X2)MT
√
13. Honda Brio RS 1.2 CVT CKD (4X2) AT √
14. Honda Brio RS 1.2 MT CKD (4X2) MT √
15. Nissan Serena Highway Star 2.0 (4X2)AT
√
Sumber: BPLJSKB, 2018
Ichda Maulidya Warta Penelitian Perhubungan 2019, 31 (1): 1–14
8
Pada penelitian ini digunakan analisis SWOT
untuk menentukan tujuan yang spesifik, yaitu
mencapai target penurunan emisi GRK nasional
sebesar 29% dan target conditional sampai dengan
41 %, mengidentifikasi berbagai peluang yang
dapat membantu meningkatkan sektor
perekonomian Indonesia melalui ekspor
kendaraan bermotor serta mengidentifikasi jenis
ancaman yang ada sehingga dapat melakukan
upaya mitigasi dari ancaman tersebut.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan
kepada para pakar terkait, baik di PT Hino Motors
Manufacturing Indonesia maupun BPLJSK melalui
kuesioner, serta hasil pengamatan selama survei
lapangan, maka dapat diidentifikasi beberapa
faktor internal dan eksternal seperti terlihat pada
tabel 8.
Selanjutnya, dilakukan penilaian pada kondisi
saat ini dan urgensinya ke depan dari masing-
masing faktor internal dan eksternal. Penilaian
dilakukan oleh para pakar di bidang otomotif dan
lingkungan untuk mengetahui tingkat dukungan
dan tingkat kepentingan (urgensi) penanganan
faktor-faktor tersebut terhadap penerapan standar
emisi Euro 4. Penilaian tersebut dilakukan
menggunakan skala likert dari 1 sampai dengan 5
dengan kategori sebagai berikut: Nilai 1 = Sangat
Tidak Setuju; Nilai 2 = Tidak Setuju; Nilai 3 =
Kurang Setuju; Nilai 4 = Setuju; Nilai 5 = Sangat
Setuju.
Untuk mengetahui tingkat prioritas faktor
tersebut bagi organisasi, maka pengukuran tingkat
dukungan diberikan dalam skala likert 1 sampai
dengan 4 dengan kategori sebagai berikut: Nilai 4 =
prioritas sangat penting dilakukan
penanganannya; Nilai 3 = prioritas penting
dilakukan penanganannya; Nilai 2 = prioritas
cukup penting dilakukan penanganannya; Nilai 1
= prioritas tidak penting dilakukan
penanganannya.
Perhitungan bobot untuk masing-masing
indikator didapat dari total jawaban seluruh
responden pada indikator tersebut dibagi dengan
total IFE. Sementara itu, perhitungan rating untuk
masing-masing indikator didapat dari total
jawaban seluruh responden dibagi dengan jumlah
responden. Selanjutnya, dilakukan perkalian
antara nilai bobot dan rating tersebut. Untuk
masing-masing indikator pada faktor eksternal,
juga dilakukan hal yang sama dengan faktor
Tabel 7. Rekapitulasi Pelaksanaan Uji Tipe Kendaraan Bermotor
No Bulan Tipe Ulang
Jenis Kendaraan Uji (unit) Jumlah
Penumpang Barang Bus Landasan Khusus Bermotor Roda
Tiga Sepeda Motor
1. Januari – Desember 2015 602 73 254 79 3 55 8 28 248 675
2. Januari – Desember 2016 413 99 215 39 2 83 10 22 141 512
3. Januari – Desember 2017 494 131 261 59 9 83 13 19 181 625
4. Januari – April 2018 142 29 68 17 1 35 3 0 47 342
Sumber: BPLJSKB, 2018
Tabel 8. Identifikasi Faktor Internal dan Eksternal
FAKTOR INTERNAL
(THE INTERNAL FACTOR EVALUATION/IFE)
FAKTOR EKSTERNAL
(THE EXTERNAL FACTOR EVALUATION/EFE)
1. Kekuatan (Strengths)
a. Kapabilitas industri otomotif memproduksi kendaraan
bermotor berstandar emisi Euro 4.
b. Dukungan regulasi nasional dan internasional yang
mengatur mitigasi GRK.
c. Kesiapan teknologi uji tipe kendaraan bermotor.
d. Keahlian SDM pengujian kendaraan bermotor.
e. Peluang pangsa pasar penjualan kendaraan bermotor
berstandar emisi Euro 4.
f. Peningkatan kualitas BBM di Indonesia.
3. Peluang (Opportunities)
a. Pengurangan emisi gas buang kendaraan bermotor.
b. Permintaan pasar yang besar terhadap kendaraan
bermotor yang berstandar emisi Euro 4.
c. Pertumbuhan bisnis sektor pariwisata dan logistik.
d. Potensi peningkatan ekspor kendaraan bermotor.
e. Peningkatan PDRB dari sektor industri otomotif.
f. Pengurangan subsidi BBM.
2. Kelemahan (Weaknesses)
a. Belum tersedianya teknologi uji berkala kendaraan
bermotor berstandar emisi Euro 4.
b. Produk mesin diesel yang masih digunakan saat ini
memberikan efek yang kurang baik bagi lingkungan.
c. Harga jual kendaraan bermotor berstandar Euro 4 relatif
mahal untuk masyarakat di negara berkembang.
d. Pangsa pasar hanya membidik kalangan menengah ke
atas.
e. Terbatasnya jumlah SDM pengujian kendaraan bermotor
yang berkompeten.
f. Terbatasnya fasilitas dan alat uji kendaraan bermotor.
4. Ancaman (Threats)
a. Adanya pasar global yang mengancam stabilitas
produksi kendaraan bermotor di dalam negeri.
b. Kemajuan teknologi produksi karoseri yang dimiliki
oleh pihak kompetitor (pesaing) dari negara lain.
c. Tingginya pajak kendaraan bermotor yang berstandar
emisi Euro 4.
d. Kondisi perekonomian dan penurunan daya beli
masyarakat Indonesia.
e. Terbatasnya persediaan BBM.
f. Tingginya harga BBM.
Sumber: Hasil Survei, 2018
Warta Penelitian Perhubungan 2019, 31 (1): 1–14 Ichda Maulidya
9
internal. Hasil perhitungan selengkapnya terlihat
pada tabel 9.
Dari hasil analisis SWOT tersebut, maka
diketahui faktor kekuatan, kelemahan, peluang,
dan ancaman yang paling utama. Hal ini terlihat
dari hasil penilaian tertinggi dari masing-masing
faktor meliputi: 1. Faktor kekuatan. Dukungan
regulasi nasional dan internasional yang mengatur
mitigasi GRK. Kesiapan teknologi uji tipe
kendaraan bermotor. Adanya pangsa pasar
Tabel 9. Faktor Internal Analisis SWOT
No. Indikator Kondisi Saat Ini Urgensi
Bobot Rating Bobot x Rating
Rating Bobot x Rating
FAKTOR INTERNAL (THE INTERNAL FACTOR EVALUATION/IFE)
A. Kekuatan (Strengthss) 1. Kapabilitas industri otomotif memproduksi
kendaraan bermotor berstandar emisi Euro 4. 0,086 4,5 0,386 3,5 0,300
2. Dukungan regulasi nasional dan internasional yang mengatur mitigasi GRK.
0,095 5,0 0,476 4,0 0,381
3. Kesiapan teknologi uji tipe kendaraan bermotor.
0,095 5,0 0,476 4,0 0,381
4. Keahlian SDM pengujian kendaraan bermotor. 0,086 4,5 0,386 3,5 0,300 5. Peluang pangsa pasar penjualan kendaraan
bermotor berstandar emisi Euro 4. 0,095 5.0 0,476 4,0 0,381
6. Peningkatan kualitas BBM di Indonesia. 0,095 5,0 0,476 4,0 0,381
Total Kekuatan/Strengthss (S) 2,124
B. Kelemahan (Weaknesses) 1. Belum tersedianya teknologi uji berkala
kendaraan bermotor berstandar emisi Euro 4. 0,095 5,0 0,476 4,0 0,381
2. Produk mesin diesel yang masih digunakan saat ini memberikan efek yang kurang baik bagi lingkungan.
0,067 3,5 0,233 2,5 0,167
3. Harga jual kendaraan bermotor berstandar emisi Euro 4 relatif mahal untuk masyarakat di negara berkembang.
0,076 4,0 0,305 3,0 0,229
4. Pangsa pasar hanya membidik kalangan menengah ke atas.
0,067 3,5 0,233 2,5 0,167
5. Terbatasnya jumlah SDM pengujian kendaraan bermotor yang berkompeten.
0,067 3,5 0,233 2,5 0,167
6. Terbatasnya fasilitas dan alat uji kendaraan bermotor.
0,076 4,0 0,305 3,0 0,229
Total Kelemahan/Weakness (W) 1,338
Total 1,000 4,462
Sumber: Hasil Analisis, 2018
Tabel 10. Faktor Eksternal Analisis SWOT
No. Indikator
Kondisi Saat Ini Urgensi
Bobot Rating Bobot x Rating
Rating Bobot x Rating
FAKTOR EKSTERNAL (THE EXTERNAL FACTOR EVALUATION/EFE)
C. Peluang (Opportunities) 1. Pengurangan emisi gas buang kendaraan bermotor. 0,091 4,5 0,409 3,5 0,318 2. Permintaan pasar yang besar terhadap kendaraan
bermotor yang berstandar emisi Euro 4. 0,081 4,0 0,323 3,0 0,242
3. Pertumbuhan bisnis sektor pariwisata dan logistik. 0,081 4,0 0,323 3,0 0,242 4. Potensi peningkatan ekspor kendaraan bermotor. 0,101 5,0 0,505 3,5 0,354 5. Peningkatan PDRB dari sektor industri otomotif. 0,091 4,5 0,409 3,5 0,318 6. Pengurangan subsidi BBM. 0,061 3,0 0,182 2,0 0,121
Total Peluang/Opportunities (O) 1,596
D. Ancaman (Threats) 1. Adanya pasar global yang mengancam stabilitas
produksi kendaraan bermotor di dalam negeri. 0,101 5,0 0,505 4,0 0,404
2. Kemajuan teknologi produksi karoseri yang dimiliki oleh pihak kompetitor (pesaing) dari negara lain.
0,091 4,5 0,409 3,5 0,318
3. Tingginya pajak kendaraan bermotor yang berstandar emisi Euro 4.
0,071 3,5 0,247 2,5 0,177
4. Kondisi perekonomian dan penurunan daya beli masyarakat Indonesia.
0,071 3,5 0,247 2,5 0,177
5. Terbatasnya persediaan BBM. 0,081 4,0 0,323 3,0 0,242 6. Tingginya harga BBM. 0,081 4,0 0,323 3,0 0,242
Total Ancaman/Threats (T) 1,561
Total 1,000 4,207
Sumber: Hasil Analisis, 2018
Ichda Maulidya Warta Penelitian Perhubungan 2019, 31 (1): 1–14
10
terhadap penjualan kendaraan bermotor
berstandar emisi Euro 4. Peningkatan kualitas BBM
di Indonesia; 2. Faktor kelemahan. Belum
tersedianya teknologi uji berkala kendaraan
bermotor berstandar emisi Euro 4; Faktor peluang.
Potensi peningkatan ekspor kendaraan bermotor;
Faktor ancaman adanya pasar global yang
mengancam stabilitas produksi kendaraan
bermotor di dalam negeri.
Faktor-faktor utama tersebut selanjutnya
disilangkan melalui matriks untuk merumuskan
strategi prioritas seperti terlihat pada tabel 10. Dari
tabel 11 diperoleh empat alternatif strategi yang
dapat dilakukan dalam penerapan Standar Emisi
Euro 4 bagi angkutan jalan.
Tabel 11. Matriks Strategi Kesiapan Penerapan Standar Emisi Euro 4
INTERNAL
EKSTERNAL
KEKUATAN (STRENGTHSS) KELEMAHAN (WEAKNESSES)
1. Kapabilitas industri otomotif memproduksi kendaraan bermotor berstandar emisi Euro 4.
2. Dukungan regulasi nasional dan internasional yang mengatur mitigasi GRK.
3. Kesiapan teknologi uji tipe kendaraan bermotor.
4. Keahlian SDM pengujian kendaraan bermotor.
5. Peluang pangsa pasar penjualan kendaraan bermotor berstandar emisi Euro 4.
6. Peningkatan kualitas BBM di Indonesia.
1. Belum tersedianya teknologi uji berkala kendaraan bermotor berstandar emisi Euro 4.
2. Produk mesin diesel yang masih digunakan saat ini memberikan efek yang kurang baik bagi lingkungan.
3. Harga jual kendaraan bermotor berstandar emisi Euro 4 relatif mahal untuk masyarakat di negara berkembang.
4. Pangsa pasar hanya membidik kalangan menengah ke atas.
5. Terbatasnya jumlah SDM pengujian kendaraan bermotor yang berkompeten.
6. Terbatasnya fasilitas dan alat uji kendaraan bermotor.
PELUANG (OPPORTUNITIES) STRATEGI S – O: STRATEGI W – O:
1. Pengurangan emisi gas buang kendaraan bermotor. 2. Permintaan pasar yang besar terhadap kendaraan
bermotor yang berstandar emisi Euro 4. 3. Pertumbuhan bisnis sektor pariwisata dan logistik. 4. Potensi peningkatan ekspor kendaraan bermotor. 5. Peningkatan PDRB dari sektor industri otomotif. 6. Pengurangan subsidi BBM.
- Perlunya implementasi regulasi mitigasi gas rumah kaca secara bertahap khususnya untuk industri otomotif guna mendorong peningkatan ekspor kendaraan bermotor.
- Perlunya mengembangkan teknologi uji tipe kendaraan bermotor berstandar Emisi Euro 4 di Indonesia untuk meningkatkan target produksi domestik maupun ekspor.
- Perlunya memanfaatkan pangsa pasar untuk mendongkrak ekspor kendaraan bermotor.
- Perlunya meningkatkan kualitas BBM di Indonesia untuk menjaga performa mesin kendaraan bermotor berstandar Emisi Euro 4, baik untuk keperluan domestik maupun ekspor.
Perlunya pengembangan teknologi uji
berkala yang berstandar emisi Euro 4
untuk meningkatkan ekspor
kendaraan bermotor.
ANCAMAN (THREATS) STRATEGI S – T STRATEGI W – T:
1. Adanya pasar global yang mengancam stabilitas produksi kendaraan bermotor di dalam negeri.
2. Kemajuan teknologi produksi karoseri yang dimiliki oleh pihak kompetitor (pesaing) dari negara lain.
3. Tingginya pajak kendaraan bermotor yang berstandar emisi Euro 4.
4. Kondisi perekonomian dan penurunan daya beli masyarakat Indonesia.
5. Terbatasnya persediaan BBM. 6. Tingginya harga BBM.
- Perlunya penerapan regulasi mitigasi gas rumah kaca untuk mendongkrak produksi kendaraan bermotor dalam negeri agar mampu bersaing di pasar global.
- Pengembangan teknologi uji tipe kendaraan bermotor untuk memenuhi standar emisi internasional bagi kendaraan bermotor agar mampu bersaing di pasar global.
- Pemanfaatan peluang pangsa pasar penjualan produk kendaraan bermotor dalam negeri untuk bersaing di pasar global.
- Peningkatan kualitas BBM untuk mendukung penjualan produk kendaraan bermotor dalam negeri ke pasar global.
Perlunya pengembangan teknologi uji
berkala kendaraan bermotor yang
berstandar emisi Euro 4 untuk
mengantisipasi ancaman pasar global
pada stabilitas produksi kendaraan
bermotor di dalam negeri.
Warta Penelitian Perhubungan 2019, 31 (1): 1–14 Ichda Maulidya
11
3.4.1. Strategi S – O (Strengths – Opportunities)
Perlunya implementasi regulasi mitigasi GRK
secara bertahap khususnya untuk industri otomotif
guna mendorong peningkatan ekspor kendaraan
bermotor. Perlunya mengembangkan teknologi uji
tipe kendaraan bermotor berstandar Emisi Euro 4
di Indonesia untuk meningkatkan target produksi
domestik maupun ekspor. Perlunya memanfaatkan
pangsa pasar untuk mendongkrak ekspor
kendaraan bermotor. Perlunya meningkatkan
kualitas BBM di Indonesia untuk menjaga performa
mesin kendaraan bermotor berstandar Emisi Euro
4, baik untuk keperluan domestik maupun ekspor.
3.4.2. Strategi W – O (Weaknesses – Opportunities)
Perlunya pengembangan teknologi uji berkala
yang berstandar emisi Euro 4 untuk meningkatkan
ekspor kendaraan bermotor.
3.4.3. Strategi S – T (Strengths – Threats)
Perlunya penerapan regulasi mitigasi gas
rumah kaca untuk mendongkrak produksi
kendaraan bermotor dalam negeri agar mampu
bersaing di pasar global. Pengembangan teknologi
uji tipe kendaraan bermotor untuk memenuhi
standar emisi internasional bagi kendaraan
bermotor agar mampu bersaing di pasar global.
Pemanfaatan peluang pangsa pasar penjualan
produk kendaraan bermotor dalam negeri untuk
bersaing di pasar global. Peningkatan kualitas BBM
untuk mendukung penjualan produk kendaraan
bermotor dalam negeri di pasar global.
3.4.4. Strategi W – T (Weaknesses – Threats)
Perlunya pengembangan teknologi uji berkala
kendaraan bermotor yang berstandar emisi Euro 4
untuk mengantisipasi ancaman pasar global pada
stabilitas produksi kendaraan bermotor di dalam
negeri. Selanjutnya, untuk menentukan strategi
prioritas yang akan dilakukan, maka terlebih
dahulu ditentukan kuadran terpilih dari hasil
analisis SWOT berdasarkan perhitungan nilai x dan
y. Adapun nilai sumbu x dan sumbu y yang
diperoleh meliputi:
x = Total Kekuatan – Total Kelemahan (1)
= 2,124 – 1,338
= 0,786
y = Total Peluang – Total Ancaman (2)
= 1,596 – 1,561
= 0,035
Dari perhitungan tersebut, diperoleh nilai x
sebesar 0,786 dan nilai y sebesar 0,035 sehingga
hasil perpotongan sumbu x dan sumbu y adalah xy
(0,786 : 0,035). Dengan demikian, maka strategi
prioritas berada pada kuadran I (S – O), yaitu
mengembangkan suatu strategi dengan
memanfaatkan kekuatan (S) untuk mengambil
manfaat dari peluang (O) yang ada seperti terlihat
pada gambar 6.
Oleh karena itu, maka strategi prioritas yang
akan dilakukan meliputi: Perlunya implementasi
regulasi mitigasi gas rumah kaca nasional dan
internasional secara bertahap khususnya untuk
industri otomotif guna mendorong peningkatan
ekspor kendaraan bermotor. Perlunya
mengembangkan teknologi uji tipe kendaraan
bermotor berstandar Emisi Euro 4 di Indonesia
untuk meningkatkan target produksi dan ekspor.
Perlunya memanfaatkan pangsa pasar untuk
mendongkrak ekspor kendaraan bermotor.
Perlunya meningkatkan kualitas BBM di Indonesia
untuk menjaga performa mesin kendaraan
bermotor berstandar Emisi Euro 4.
4. Kesimpulan
Industri otomotif (PT Hino Motors
Manufacturing Indonesia) siap menerapkan
Standar Emisi Euro 4 antara lain dengan
menyediakan SDM yang berkompeten dan
tersertifikasi serta memproduksi mesin yang
menghasilkan emisi bersih dengan adopsi
teknologi seperti sistem common rail tekanan ultra
tinggi dan ruang pembakaran yang baru
ditingkatkan untuk penghematan bahan bakar,
sistem EGR yang sangat efisien serta DPR yang
paling efektif untuk menghilangkan PM (bahan-
bahan partikulat), dan sistem Urea SCR untuk
mengatasi pengurangan NOx.
BPLJSKB juga siap menghadapi penerapan
Standar Emisi Euro 4 dengan menyediakan SDM
yang berkompeten dan tersertifikasi serta
laboratorium uji emisi kendaraan mobil
penumpang/ barang ringan dilengkapi dengan
Gambar 6. Kuadran SWOT
Ichda Maulidya Warta Penelitian Perhubungan 2019, 31 (1): 1–14
12
fasilitas sistem peralatan emisi serta ruangan
khusus untuk pelaksanaan pengujian emisi sesuai
Standard UN Regulation No. 83 dengan
kemampuan pengukuran emisi sampai dengan
Euro 4. Berdasarkan hasil analisis SWOT, maka
strategi prioritas berada pada kuadran I (Strategi
Strengths – Opportunies), yaitu mengembangkan
suatu strategi dengan memanfaatkan kekuatan (S)
untuk mengambil manfaat dari peluang (O).
Perlunya implementasi regulasi mitigasi GRK
secara bertahap khususnya untuk industri otomotif
melalui pengembangan teknologi uji tipe
kendaraan bermotor berstandar Emisi Euro 4 di
Indonesia guna meningkatkan kualitas target
produksi dan ekspor kendaraan bermotor. Selain
itu, perlu memanfaatkan pangsa pasar dan
meningkatkan kualitas BBM di Indonesia untuk
menjaga performa mesin kendaraan bermotor
berstandar Emisi Euro 4 untuk mendongkrak
produksi domestik muapun ekspor kendaraan
bermotor.
Dengan berbagai strategi prioritas tersebut
diharapkan mampu mendukung upaya penurunan
polutan dan emisi gas buang rata-rata sebesar 50 %
dari sisi lingkungan. Perlu target waktu secara
bertahap untuk pelaksanaan Standar Emisi Euro 4,
baik di kota kecil, sedang, maupun besar. Industri
otomotif khususnya perlu memperbarui sarana
dan prasarana pendukung berstandar emisi Euro 4
serta semakin berinovasi dalam memproduksi
kendaraan bermotor agar dapat bersaing di pasar
internasional.
BPLJSKB juga perlu meningkatkan jumlah SDM
penguji beserta kompetensinya melalui diklat
teknis terkait Standar Emisi Euro 4, sedangkan
Balai Pengujian Kendaraan Bermotor (PKB) perlu
menyiapkan teknologi uji berkala berstandar Emisi
Euro 4.
Pihak Pertamina perlu menyiapkan investasi
untuk penyediaan bahan bakar, baik bensin
maupun solar yang memenuhi standar emisi Euro
4 serta memberikan jaminan ketersediaan BBM
tersebut di seluruh pelosok tanah air.
Ucapan Terima Kasih
Penulis mengucapkan terima kasih kepada
BPLJSKB dan PT Hino Motors Manufacturing
Indonesia yang telah memberikan data dan
informasi pendukung penelitian ini serta Tim
Penelitian atas bantuan dan kerjasamanya.
Daftar Pustaka
[1] Sunarti, Supriadi, A., Kencono, A.W., dkk. 2017. Kajian Penggunaan Faktor Emisi Lokal (Tier 2) dalam Inventarisasi GRK Sektor Energi. Jakarta: Pusat Data dan Teknologi Informasi ESDM.
[2] Putra, A. S. 2018. Motif Dibalik Penerapan Standar Emisi Euro Oleh Uni Eropa Terhadap Industri Sepeda Motor Jepang. Jurnal Analisis Hubungan Internasional Volume 7 Nomor 3.
[3] Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor 20 Tahun 2017 tentang Baku Mutu Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru Kategori M, N, dan O.
[4] Efendi, A., Karunian, A. Y., Arsani, N. L. P. C. 2018. Inkonsistensi Kebijakan Energi di Indonesia: Kaitannya Terhadap Pemberlakuan Standar Emisi Gas Buang Euro 4. Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Volume 5 Nomor 1 Tahun 2018 Halaman 1-23.
[5] Montag, J., Litzman, M. 2015. Bounds and Bunching: Distributions of Air Pollutants Produced By New Automobiles. Acta Universitatis Agriculturae Et Silviculturae Mendelianae Brunensis. Volume 63 Number 6.
[6] Heman, R .T., Manggala, M. P., Sutjiadi, A., Yusuf, A. M. 2008. Analisis Strategic Flexibility dan Penerapan Standar Euro 2 Terhadap Pengembangan Produk: Studi Kasus PT Pantja Motor-ATPM Isuzu. Journal of Business Strategy and Execution Volume 1 Number 1 November 2008: 55-74.
[7] Gunawan, H., Budi, G. S. 2017. Kajian Emisi Kendaraan di Persimpangan Surabaya Tengah dan Timur serta Potensi Pengaruh terhadap Kesehatan Lingkungan Setempat. Jurnal Wilayah dan Lingkungan Volume 5 Nomor 2, Agustus 2017, 113-124.
[8] Jeghesta, M. dan Marsyaf, M. I. Kemenhub Siapkan Aturan Uji Emisi Berstandar Euro 4. https://autotekno.sindonews.com/read// kemenhub-siapkan-aturan-uji-emisi-berstandar-euro-4 diakses pada 15 Agustus 2018 jam 14.25.
[9] Tzamkiozis, T., Ntziachristos, L., Saaras, Z. 2010. Diesel Passenger Car PM Emissions: from Euro 1 to Euro 4 With Particle Filter. Atmospheric Environment. Volume 44, Issue 7, March 2010, Pages 909-916.
[10] Crippa, M., Janssens-Maenhout, G., Guizzardi, D., Galmarini, S. 2016. EU Effect: Exporting Emission Standards for Vehicles Through The Global Market Economy. Journal of Environmental Management 183 (2016) 959-971.
[11] Rod Williams, et al. 2016. Effect of Fuel Properties on Emissions From Euro 4 and Euro 5 Diesel Passenger Cars. Transportation Research Procedia 14 (2016) 3149 – 3158.
[12] Alves, C. A., Calvo, A. I., Lopes, D. J., Nunes, T., Charron, A., Goriaux, M., Tassel, P., Perret, P. 2013. Emissions of Euro 3-5 Passenger Cars Measured Over Different Driving Cycles. World Academy of Science, Engineering and Technology. International Journal of Environmental, Chemical, Ecological, Geological and Geophysical Engineering Volume 7, Number. 6.
[13] Meccariello, G., Ragione, L. D., Costagliola, A. A., Prati, M. V. 2012. Evaluation of Emission Factors for
Warta Penelitian Perhubungan 2019, 31 (1): 1–14 Ichda Maulidya
13
New Technology S. I. Euro 4 Cars. Journal of Computing and Information Technology - CIT 20, 2012, 3, 217– 224.
[14] Moody, A., Tate, J. 2017. In Service CO2 and NOX Emissions of Euro 6/VI Cars, Light- and Heavy- dutygoods Vehicles in Real London driving: Taking the Road into the Laboratory. Journal of Earth Sciences and Geotechnical Engineering, Volume 7, Number 1, 2017, 51-62 ISSN: 1792-9040 (print), 1792-9660 (online). Scienpress Ltd.
[15] Gurel, Emet. 2017. SWOT Analysis: A Theoretical Review. The Journal of International Social Research. Volume: 10 Issue: 51. August 2017.
[16] Osita, I.C., Onyebuchi, I., Justina, N. 2014. Organization’ s Stability and Productivity: The Role of SWOT Analysis an Acronym For Strengths, Weakness, Opportunities and Threat. International Journal of Innovative and Applied Research Volume 2, Issue (9): 23-32.
[17] Rangkuti, F. 2004. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Jakarta: PT. Gramedia.
[18] Nesbit, M., Fergusson, M., Colsa, A., etc. 2016. Comparative Study on The Differences between The EU and US Legislation on Emissions in The Automotive Sector. Brussels: EN. https://www.dieselnet.com/standards/eu/ld.php#stds diakses pada 21 Mei 2018 jam 10.45.
[19] Lee, H., Ha, T., Choi, H. 2016. Experimental Verification of Optimized NOx Reduction Strategies in A Decrepit Euro 3 Diesel Engine Retrofitted With A Cooled EGR System. Journal of Mechanical Science and Technology Volume 30, Issue 6, pp 2873-2880.
[20] Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 33 Tahun 2018 tentang Pengujian Tipe Kendaaan Bermotor.
[21] http://www.dephub.go.id/post/read/menhub-resmikan-fasilitas-uji-emisi-kendaraan-bermotor-guna-memenuhi-standar-keselamatan-dan-laik-jalan diakses pada 23 Mei 2018 jam 9.59.
[22] http://www.dephub.go.id/post/read/menhub-resmikan-fasilitas-uji-emisi-kendaraan-bermotor-guna-memenuhi-standar-keselamatan-dan-laik-jalan diakses pada 24 Mei 2018
Warta Penelitian Perhubungan 2019, 31 (1): 15-24
http://dx.doi.org/10.25104/warlit.v31i1.977 0852-1824/ 2580-1082 ©2019 Sekretariat Badan Penelitian dan Pengembangan Perhubungan
Artikel ini open access dibawah lisensi CC BY-NC-SA (https://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0/) Terakreditasi Sinta 2 (Peringkat 2), SK No. 10/E/KPT/2019
Penilaian Status Keberlanjutan E-Ticketing Bus Trans Semarang Mendukung Kota Pintar dengan Pendekatan
Multidimensional Scaling
Masmian Mahida*1 dan Wiwandari Handayani2 Departemen Perencanaan Wilayah Kota, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro1,2
Jl. Prof.H.Soedarto, SH, Tembalang, Semarang, Jawa Tengah 50275, Indonesia E-mail: [email protected]
Diterima : 2 April 2019, disetujui: 27 Juni 2019, diterbitkan online: 28 Juni 2019
Abstrak
Salah satu fasilitas layanan publik yang menggunakan IT di sektor transportasi adalah e-ticketing Bus Trans Semarang. E-ticketing merupakan pembayaran tiket bus cashless yang bertujuan untuk mempermudah proses pelayanan. Penerapan teknologi mesin e-ticketing Bus Trans Semarang terkadang mengalami kendala akibat kondisi pelayanan yang ramai serta jaringan dan sinyal yang tidak kondusif, sehingga mesin e-ticketing menjadi error sehingga tidak mampu mendeteksi data saldo dengan cepat. Secara kompetensi teknis, petugas pelayanan belum mampu mengatasi permasalahan yang terjadi secara tiba-tiba ketika mesin e-ticketing mengalami gangguan (trouble). Tujuan penelitian mengenai penilaian status keberlanjutan e-ticketing Bus Trans Semarang yang ditinjau dari dimensi input, proses, dan output adalah untuk mengetahui faktor/atribut yang berpengaruh terhadap keberlanjutan e-ticketing Bus Trans Semarang. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif-kuantitatif dengan analisis Multidimensional Scaling. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dalam perumusan strategi pengembangan kota pintar Pemerintah Kota Semarang khususnya sektor transportasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa status keberlanjutan e-ticketing Bus Trans Semarang pada dimensi input dalam kondisi baik karena didukung dengan roadmap terintegrasi yang berorientasi pada service, device, dan teknologi; framework sistem IT yang terintegrasi dari sisi hardware, software, dan jaringan; dan infrastruktur jaringan IT. Status keberlanjutan e-ticketing Bus Trans Semarang pada dimensi proses dalam kondisi baik karena didukung kolaborasi dan kerjasama antar stakeholders; pembiayaan operasional yang mencakup profesional IT, operasi, pemeliharaan, pelatihan, dan konsultan; dan interoperabilitas platform IT pada sisi aplikasi dan service. Sedangkan dimensi output memiliki status cukup berkelanjutan. Hal ini kemungkinan dapat disebabkan oleh faktor lain yang perlu untuk dievaluasi secara komprehensif.
Kata kunci :Keberlanjutan, Bus Trans Semarang, Kota Pintar, Multidimensional Scaling
Abstract
Status Assessment of E-Ticketing Sutainability for Trans Semarang Bus to Support Smart City using Multidimensional Scaling Approaches: One of the public service facilities using IT in the transportation sector is the e-ticketing of the Trans Semarang Bus. E-ticketing is a cashless bus ticket payment with the aim to facilitate the service process. The implementation of E- ticketing Trans Semarang Bus engine technology sometimes experiences the obstacles due to crowded service conditions, non-conducive network and signals, so the e-ticketing machine is error and unable to quickly detect data balance. The service clerk has not been able to be technically competent to deal with problems that occur suddenly when the e-ticketing machine is in trouble. The aim of conducting research is to assess the sustainability status of e-ticketing Trans Semarang Bus, which is viewed from the dimensions of input, process, and output, in attempt to determine the factors/attributes that influence the sustainability of the e-ticketing Trans Semarang Bus. The research employed descriptive qualitative-quantitative method with Multidimensional Scaling analysis. This research is expected to be an input in the formulation of the smart city development strategy of Semarang City Government, especially in the transportation sector. The results of the research show the sustainability status of e-ticketing Trans Semarang Bus on the good conditions of input dimension because it is supported by an integrated service, device and technology-oriented roadmap; integrated IT system framework in terms of hardware, software and networks; and IT network infrastructure. The sustainability status of e-ticketing Trans Semarang Bus is in good condition in the dimensions of the process which is supported by collaboration and cooperation among stakeholders; operational financing includes IT professionals, operations, maintenance. Meanwhile, the output dimension has a fairly sustainable status. This might be caused by other factors that need to be comprehensively evaluated.
Keywords : Sustainability, Bus Trans Semarang, smart city, multidimensional scaling.
1. Pendahuluan
Solusi pembangunan transportasi saat ini adalah pembangunan transportasi berkelanjutan melalui pengembangan angkutan umum massal yang
terpadu karena dapat menjawab permasalahan transportasi di setiap kota di Indonesia [1].
Disamping itu, investasi pada sumber daya manusia dan pada infrastruktur transportasi perkotaan yang
Masmian Mahida dan Wiwandari Handayani Warta Penelitian Perhubungan 2019, 31 (1):15–24
16
berkelanjutan dengan menggunakan teknologi
merupakan langkah implementasi kota pintar [2].
Bus Trans Semarang adalah sebuah layanan angkutan publik andalan bagi masyarakat Kota Semarang. Bus Trans Semarang merupakan salah satu solusi bagi persoalan kemacetan di Kota Semarang dengan karakteristik operasional yang cepat,
frekuensi tertentu, mempunyai sistem pemasaran, dan layanan pelanggan yang prima. Saat ini Bus Trans Semarang memiliki tujuh koridor, yaitu koridor I jurusan Terminal Mangkang-Terminal Penggaron, koridor II jurusan Terminal Terboyo-Terminal Sisemut Ungaran, koridor III jurusan Pelabuhan
Tanjung Emas-Taman Diponegoro, koridor IV jurusan Terminal Cangkiran-Bandara Ahmad Yani, koridor V jurusan Meteseh-PRPP, koridor VI jurusan Universitas Diponegoro-Universitas Negeri Semarang, dan koridor VII jurusan Genuk-Balai Kota. Berdasarkan data BLU UPTD Bus Trans Semarang
terdapat peningkatan jumlah penumpang pada tahun 2014 sebesar 5.787.301 orang menjadi 8.023.869 orang pada tahun 2015. Peningkatan jumlah penumpang bus ini melebihi kenaikan jumlah penumpang pada non bus. Hal ini berarti kehadiran angkutan umum Bus Trans Semarang disukai oleh
masyarakat Kota Semarang sebagai alat transportasi publik.
Seiring dengan peningkatan demand tersebut, Bus Trans Semarang bersama Dinas Perhubungan Kota Semarang mengembangkan inovasi dengan menggunakan mesin e-ticketing yang merupakan
pembayaran tiket bus dengan cara cashless sejak tahun 2014 dengan tujuan untuk mempermudah proses pelayanan kepada penumpang. Inovasi ini merupakan bagian dari amanah Peraturan Walikota Semarang Nomor 3 Tahun 2017 tentang Standar Pelayanan Minimal BLU UPTD Trans Semarang
menyebutkan bahwa dalam pelayanan Bus Trans Semarang juga perlu memperhatikan aspek kemudahan salah satunya dalam hal penjualan tiket. Selain itu, inovasi e-ticketing Bus Trans Semarang merupakan wujud implementasi konsep kota pintar yang mana kota pintar memanfaatkan teknologi
informasi dan komunikasi (TIK) untuk menjadi lebih pintar dan efisien dalam penggunaan sumber daya, menghasilkan penghematan biaya dan energi, peningkatan penyampaian layanan, dan kualitas hidup [3] sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Walikota Semarang Nomor 26 Tahun 2018 tentang
Rencana Induk Semarang Kota Pintar sebagai pedoman pengembangan kota pintar Kota Semarang lebih terintegrasi. Dalam hal ini salah satunya dalam mendukung mobilitas/transportasi masyarakat Kota Semarang.
Pengembangan e-ticketing Bus Trans Semarang
merupakan suatu bentuk modifikasi dan replikasi dari inovasi yang telah diterapkan dalam sistem pembayaran Busway Trans Jakarta. Kartu e-ticketing
Bus Trans Semarang didukung dengan unsur
teknologi digital, yaitu menggunakan teknologi Near Field Communication (NFC) yang bertujuan untuk lebih mempercepat proses pembayaran, lebih aman, dan pastinya lebih praktis tanpa harus mengeluarkan uang di atas bus dan menunggu uang kembalian. Sistem ini juga bertujuan untuk dapat menekan
praktik korupsi sehingga mampu meningkatkan efisiensi dan efektifitas dalam proses pelayanan. Pengisian saldo e-ticketing Bus Trans Semarang dapat melalui petugas shelter bus maupun melalui bank yang telah bekerjasama dengan pemerintah. Pembuatan e-ticketing Bus Trans Semarang sangat
mudah, yakni dengan mengunjungi shelter Bus tertentu untuk mendaftar dengan persyaratan menunjukkan kartu identitas diri KTP (Kartu Tanda Penduduk), Kartu Pelajar, KTM (Kartu Tanda Mahasiswa), alamat lengkap, dan nomor telepon, sedangkan untuk saldo awal pembuatan kartu e-ticketing, yaitu pelajar atau mahasiswa 10.000 rupiah dan umum 35.000 rupiah.
Praktik di lapangan, berdasarkan wawancara bahwa penerapan teknologi mesin e-ticketing Bus Trans Semarang terkadang mengalami kendala akibat kondisi pelayanan ramai, jaringan dan sinyal yang
tidak kondusif, sehingga mesin e-ticketing error tidak mampu dengan cepat mendeteksi data saldo. Penggunaan kartu Tcash Telkomsel sering kali tidak mampu terdeteksi oleh mesin e-ticketing. Selain itu petugas pelayanan juga belum mampu secara kompetensi teknis untuk mengatasi permasalahan
yang terjadi secara tiba-tiba ketika mesin e-ticketing Bus Trans Semarang trouble [4]. Hal tersebut terjadi karena petugas pelayanan belum sepenuhnya menguasai sistem teknologi. Karena tidak dapat dipungkiri lagi bahwa faktor penting yang mempengaruhi kesuksesan sistem bus adalah
karakteristik dan sistem pelayanan yang diberikan serta fasilitas yang disediakan, seperti e-ticketing [5]. Sehingga perlu menjadi perhatian baik bagi para stakeholders pemerintah Kota Semarang maupun BLU UPTD Bus Trans Semarang dalam meningkatkan pelayanan Bus Trans Semarang kepada masyarakat
menjadi lebih baik terutama pada saat transaksi menggunakan e-ticketing. Hal ini didasarkan pada beberapa penelitian angkutan umum massal di Indonesia menunjukkan bahwa kondisi angkutan umum massal yang ada belum memberikan pelayanan prima bagi pengguna [6]. Berdasarkan
latar belakang permasalahan dan referensi di atas dalam hal penerapan konsep kota pintar Semarang, maka perlu dilakukan penelitian penilaian terhadap status keberlanjutan e-ticketing Bus Trans Semarang ditinjau dari dimensi input, dimensi proses, dan dimensi output dengan tujuan untuk mengetahui
faktor/atribut yang berpengaruh terhadap keberlanjutan e-ticketing Bus Trans Semarang. Dijelaskan bahwa evaluasi teknologi
Warta Penelitian Perhubungan 2019, 31 (1):15–24 Masmian Mahida dan Wiwandari Handayani
17
informasi/sistem informasi dapat dilakukan pada
dimensi input, proses, dan output [7]. Namun, penelitian ini menggunakan istilah penilaian (assessment) sebagai salah satu definisi operasional dari istilah evaluasi. Penilaian dalam penelitian ini menitikberatkan pada self evaluation dengan menilai pada perspektif regulator dan pengelola, tidak pada
perspektif pelanggan atau penumpang. Pada penelitian sebelumnya yang menekankan pada bagaimana operasionalisasi kebijakan BRT Trans Semarang dan menggunakan pendekatan kualitatif [8]. Sedangkan pada penelitian ini, penulis ingin mengetahui status keberlanjutan e-ticketing Bus
Trans Semarang dengan menggunakan analisis multidimensional scaling (MDS) dan menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif-kuantitatif, sehingga hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan terhadap strategi pengembangan pelayanan e-ticketing Bus Trans Semarang pada khususnya dan
pelayanan Bus Trans Semarang secara umum dalam mendukung perwujudan kota pintar.
2. Metodologi
2.1. Metode Pengumpulan data
Teknik pengumpulan data primer dilakukan dengan observasi lapangan, wawancara, dan kuesioner. Observasi lapangan ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai karakteristik umum pelayanan dan fasilitas Bus Trans Semarang yang dapat disajikan pada gambar 1 dan gambar 2.
Wawancara dilakukan kepada manajemen BLU UPTD Bus Trans Semarang dengan tujuan untuk memperoleh informasi tentang kendala dalam pelayanan Bus Trans Semarang. Sedangkan kuesioner dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh data yang relevan dengan penelitian melalui pengambilan
sampling sikap/pendapat dari responden dengan metode penentuan sampling purposive, yakni pakar dari Dinas Perhubungan Kota Semarang sebagai regulator sektor transportasi, BLU UPTD Bus Trans Semarang sebagai operator Bus, Dinas Komunikasi dan Informatika Kota Semarang sebagai regulator
penyedia sistem terintegrasi, dan PT. Dinustek
sebagai konsultan teknologi informasi Kota Semarang. Sedangkan teknik pengisian kuesioner
dengan skoring menggunakan skala ordinal. Teknik pengumpulan data sekunder dilakukan dengan studi literatur terkait teori kota pintar dan penelitian tentang bus.
2.2. Pengolahan data
Pendekatan dalam penelitian ini disusun dalam
kerangka penelitian deskriptif kualitatif-kuantitatif. Penjelasan tahapannya, yakni pertama peneliti melakukan penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data observasi dan wawancara yang berfungsi sebagai bahan untuk melakukan analisis data secara mendalam. Kedua, peneliti melakukan
penelitian kuantitatif dengan teknik penyebaran kuesioner untuk kemudian dianalisis dengan tujuan apakah ada pengaruh/hubungan variabel yang mempengaruhi terhadap variabel yang dipengaruhi [9].
2.3. Analisis Data
Metode analisis data pada penilaian status keberlanjutan e-ticketing Bus Trans Semarang dengan metode penilaian cepat multi disiplin (multidisciplinary rapid appraisal) dengan metode Rap-Bus menggunakan analisis MDS. Rap-Bus merupakan modifikasi dari metode Rapfish (Rapid Appraisal of Fisheries) yang merupakan teknik penilaian cepat yang memungkinkan untuk penilaian multi disiplin. Dalam hal ini awalnya digunakan untuk menilai status keberlanjutan sektor perikanan yang dikembangkan oleh University of British Columbia, Kanada. Sebagai metode yang mengadopsi
Rapfish, Rap-Bus menggunakan seluruh prinsip yang ada pada metode Rapfish, yaitu (1) merupakan metode penilaian cepat terhadap status keberlanjutan suatu obyek berdasarkan sejumlah atribut; (2) atribut-atribut dapat diredefinisi atau diganti sesuai informasi yang tersedia [10]; (3)
merupakan metode pengambilan keputusan multi kriteria berdasar skala MDS; dan (4) menggunakan metode ordinasi untuk menentukan status keberlanjutan [11].
Sumber : Data survei, 2019. Gambar 1. Mesin e-ticketing Bus Trans Semarang.
Sumber : Data survei, 2019.
Gambar 2. Bus Trans Semarang melintasi halte Undip.
Masmian Mahida dan Wiwandari Handayani Warta Penelitian Perhubungan 2019, 31 (1):15–24
18
Nilai status keberlanjutan layanan e-ticketing
Bus Trans Semarang dilakukan dengan analisis MDS ini melalui beberapa tahapan, yaitu (1) tahap penentuan atribut penilaian status keberlanjutan layanan e-ticketing Bus Trans Semarang untuk masing-masing dimensi (input, proses, dan output) seperti tabel 1 dengan mengacu pada benchmark
layanan IT ideal; (2) tahap penilaian atribut dalam skala ordinal berdasarkan kriteria keberlanjutan untuk setiap dimensi dan analisis ordinasi yang berbasis metode MDS; dan (3) tahap penyusunan indeks dan status keberlanjutan layanan e-ticketing Bus Trans Semarang. Dari hasil analisis MDS akan
diperoleh (1) status atau indeks masing-masing dimensi pada e-ticketing Bus Trans Semarang dan (2)
leverage attribute/sensitive attribute, yaitu atribut
yang berpengaruh terhadap status keberlanjutan pada masing-masing dimensi pada e-ticketing Bus Trans Semarang. Posisi titik keberlanjutan pada analisis MDS dapat divisualisasikan dalam dua dimensi, yaitu sumbu vertikal dan horizontal. Dalam memproyeksikan titik-titik tersebut pada garis
mendatar yang dilakukan proses rotasi dengan titik ekstrem buruk dengan nilai 0% dan titik ekstrem baik dengan nilai 100%. Skala nilai indeks status keberlanjutan layanan e-ticketing Bus Trans
Semarang mempunyai rentang 0–100%. Jika nilai
yang dikaji mendapatkan nilai lebih dari 50% berarti dapat dikategorikan berkelanjutan, akan tetapi jika kurang dari 50% berarti dapat dikategorikan belum
Tabel 1. Dimensi dan atribut penelitian e-ticketing Bus Trans Semarang Dimensi Atribut/indikator Penjelasan Sumber
Input Kerangka tata kelola IT Layanan/aplikasi IT pada kota pintar harus didukung dengan tata kelola IT yang terdiri dari kebijakan, standar, prosedur, dan IT Balanced Scorecard.
Megawati, 2017 [12]
Roadmap terintegrasi Layanan/aplikasi IT pada kota pintar harus memiliki roadmap terintegrasi yang berorientasi service, device, dan teknologi.
Lee, 2013 [13]
Framework sistem IT Layanan/aplikasi IT pada kota pintar harus didukung dengan framework sistem IT yang terintegrasi dari sisi hardware (perangkat keras), software (perangkat lunak), dan teknologi jaringan
Washburn, 2010 [14]
Infrastruktur jaringan IT Layanan/aplikasi IT pada kota pintar harus didukung dengan peralatan jaringan (saluran fiber optic dan jaringan wi-fi) dan public access points (hotspots wireless).
Sideridis, 2009 [15]
Proses Kolaborasi dan kerjasama stakeholders
Layanan/aplikasi IT pada kota pintar harus didukung dengan kolaborasi dan kerjasama seluruh stakeholders baik instansi pemerintah maupun dari komponen masyarakat, sektor swasta, LSM, dan pendidikan
Lindskog, 2004 [16]
Dukungan lingkungan inovatif
Layanan/aplikasi IT pada kota pintar harus didukung dengan lingkungan yang inovatif yang membutuhkan pengembangan SDM dengan keterampilan kreatif yang komprehensif, institusi berorientasi inovasi, dan ruang kolaborasi virtual
Komninos, N, 2009 [17]
Biaya operasional Layanan/aplikasi IT pada kota pintar harus didukung biaya operasional yang mencakup profesional IT, operasi, pemeliharaan, pelatihan, dan konsultan.
Chourabi, 2012 [18]
Interoperabilitas platform IT
Layanan/aplikasi IT pada kota pintar harus didukung dengan platform IT yang menjamin interoperabilitas pada sisi aplikasi dan service (kemampuan berbagai sistem/aplikasi untuk berinteraksi dengan aplikasi lainnya yang berbeda).
Muñoz, 2011 [19]
Output Efisiensi waktu Layanan/aplikasi IT pada kota pintar harus dapat menciptakan efisiensi waktu yang terintegrasi dengan tata kota
Zhang, 2017 [20]
Efektifitas biaya Layanan/aplikasi IT pada kota pintar harus dapat menciptakan efektifitas biaya yang terintegrasi dengan tata kota
Zhang, 2017 [20]
Pelayanan publik efisien Layanan/aplikasi IT pada kota pintar maka memungkinkan sektor pemerintah untuk melakukan kekuatan transformatifnya sehingga membuat pelayanan publik lebih efisien.
Ericsson, 2014 [21]
Jaringan sosial Layanan/aplikasi IT pada kota pintar maka memungkinkan sektor masyarakat melakukan kekuatan transformatifnya sehingga menguatkan jaringan sosial.
Ericsson, 2014 [21]
Sumber : Olahan penulis, 2018
Warta Penelitian Perhubungan 2019, 31 (1):15–24 Masmian Mahida dan Wiwandari Handayani
19
berkelanjutan, seperti dalam tabel 2 [11]. Hasil
ordinasi status keberlanjutan pada dasarnya memberikan ilustrasi tentang status keberlanjutan setiap dimensi sesuai dengan skor dari atribut-atributnya. Posisi nilai indeks diilustrasikan pada sumbu axis (x) yang mencerminkan status
keberlanjutan e-ticketing Bus Trans, sedangkan sumbu ordinat (y) mengindikasikan variasi skor dari atribut-atribut pengelolaan yang telah ditelaah [22].
Penentuan ordinasi MDS didukung dengan dengan uji normalisasi kelayakan model, analisis leverage, dan analisis Monte Carlo. Uji normalisasi
kelayakan model (goodness of fit) menggunakan nilai stress (S) dan koefisien determinasi (R2), jika nilai S lebih kecil dari 0.25 persen dan nilai R2 mendekati 1 model dikatakan baik atau artinya data berdistribusi normal. Uji kelayakan model ini dilakukan untuk mengetahui perlu tidaknya penambahan atribut pada
model dan menguji akurasi model dibandingkan dengan keadaan yang sebenarnya. Sedangkan tujuan analisis leverage adalah untuk mengetahui attribute berpengaruh terhadap status keberlanjutan berdasarkan nilai Root Mean Square (RMS) tertinggi.
Kemudian pada proses analisis ordinasi
memungkinkan terjadi kesalahan sehingga perlu dilakukan evaluasi terhadap pengaruh error atas proses sehingga dilakukan analisis Monte Carlo sebagai uji validitas dan ketepatan. Analisis ini juga untuk melihat tingkat kestabilan hasil analisis ordinansi. Jika hasil analisis Monte Carlo tersebut
tidak merubah secara signifikan atau memiliki perbedaan nilai ordinasi yang kecil dapat disimpulkan bahwa hasil ordinasi MDS telah dapat mengatasi adanya kesalahan acak [23]. Analisis Monte Carlo merupakan metode untuk menganalisis perambatan ketidakpastian dimana tujuannya adalah
untuk menentukan bagaimana variasi acak atau error yang mempengaruhi sensitivitas, performa, atau reliabilitas (konsistensi) dari sistem yang sedang dimodelkan [24].
2.4. Persamaan
MDS adalah sebuah teknik analisis statistik
multivariat yang digunakan untuk menentukan posisi suatu obyek berdasarkan pada kesamaan atau ketidaksamaannya [25]. Analisis MDS bertujuan untuk melihat kondisi status keberlanjutan dari masing-masing dimensi sehingga diketahui
ketidakseimbangan antar dimensi. MDS merupakan
sebuah teknik analisis data dalam bentuk gambar geometrik yang menggambarkan kesamaan atau kemiripan obyek berdasarkan jarak euklidius (euclidean distance) [26]. Dimana jarak euklidian dihitung menggunakan persamaan 1.
d= √(|𝑥1 − 𝑥22| + |𝑦1 − 𝑦22| + |𝑧1 − 𝑧22| + ⋯ ) (1)
Pada Rap-smart city posisi titik-titik sangat banyak dan sangat sulit untuk digambarkan, maka dibutuhkan suatu teknik dalam penentuan posisi titik-titik tersebut secara visual menjadi satu dimensi, yaitu bad dan good. Dengan menggunakan metode ordinasi, posisi suatu obyek kemudian
diproksimasi dengan meregresikan jarak euclidian (dij) dari titik i ke titik j dengan titik asal δij dengan
menggunakan persamaan 2. Adapun yang dimaksud dengan metode ordinasi adalah metode untuk mensimulasikan status keberlanjutan suatu obyek dengan cara menempatkan titik/obyek pada urutan
yang terukur yang dijangkar oleh titik-titik referensi berdasarkan euclidean distance (d) dalam ruang berdimensi n.
𝑑𝑖𝑗 = 𝑎 + 𝛽𝛿𝑖𝑗 + 𝜺: 𝜺 = 𝑒𝑟𝑟𝑜𝑟 (2)
Proses regresi dilakukan dengan menggunakan metode alogaritma ALSCAL yang membuat proses iterasi sedemikian rupa sehingga didapatkan nilai ε
terkecil. Penggunaan metode alogaritma ALSCAL merupakan usaha agar intercept pada persamaan tersebut sama dengan nol (a = 0) sehingga persamaan 2 di atas menjadi persamaan 3 [10].
𝑑𝑖𝑗 = 𝛽𝛿𝑖𝑗 + 𝜺 (3)
3. Hasil dan Pembahasan
3.1. Analisis Status Keberlanjutan e-Ticketing Bus Trans Semarang Pada Dimensi Input, Proses, dan Output
Hasil analisis MDS untuk status keberlanjutan e-ticketing Bus Trans Semarang pada dimensi input dengan nilai 81,25% atau masuk pada kategori baik. Status keberlanjutan dimensi ini disajikan pada gambar 3. Analisis MDS juga didukung dengan
Sumber : Hasil analisis, 2019 Gambar 3. Hasil Ordinasi e-ticketing Bus Trans Semarang pada Dimensi Input
81,25
GoodBad
Up
Down-60
-40
-20
0
20
40
60
0 20 40 60 80 100 120
Oth
er
Dis
tin
gish
ing
Feat
ure
s
Sustainability Status
Ordination
E-ticketing Bus Trans Semarang Index
Reference anchors
Anchors
Tabel 2. Kategori status keberlanjutan layanan e-ticketing Bus Trans Semarang berdasarkan nilai indeks analisis Rapfish
Indeks Kategori
≤ 24.9 Buruk
25 -49.9 Kurang Berkelanjutan
50-74.9 Cukup berkelanjutan
˃75 Baik
Sumber : [10].
Masmian Mahida dan Wiwandari Handayani Warta Penelitian Perhubungan 2019, 31 (1):15–24
20
analisis kelayakan model. Uji kelayakan model dilakukan dengan uji normalisasi berdasarkan nilai
stress (S) dan koefisien determinasi (R2). Dari perhitungan metode Rap-Bus diperoleh nilai S dan R2
pada layanan e-ticketing Bus pada dimensi input, yakni untuk nilai S sebesar 0,15 dan nilai R2 sebesar 0,94. Berdasarkan nilai tersebut, maka sesuai kaidah analisis kelayakan model yang menyatakan bahwa
model yang baik adalah jika nilai S < 0,25 dan R2 mendekati 1, dapat disimpulkan bahwa model yang dikaji pada penelitian ini baik (good of fit). Dengan demikian tidak perlu dilakukan penambahan atribut untuk mendekati keadaan yang sebenarnya. Sedangkan hasil analisis MDS untuk status
keberlanjutan e-ticketing Bus Trans Semarang pada dimensi proses dengan nilai 77,81% atau masuk pada kategori baik. Status keberlanjutan dimensi ini disajikan pada gambar 4.
Uji kelayakan model pada dimensi proses dilakukan dengan uji normalisasi berdasarkan nilai
stress (S) dan koefisien determinasi (R2). Dari perhitungan metode Rap-Bus diperoleh nilai S dan R2
pada layanan e-ticketing bus pada dimensi proses, yakni untuk nilai S sebesar 0,15 dan nilai R2 sebesar 0,92. Berdasarkan nilai tersebut, maka sesuai kaidah analisis kelayakan model yang menyatakan bahwa
model yang baik adalah jika nilai S < 0,25 dan R2 mendekati 1, dapat disimpulkan bahwa model yang dikaji pada penelitian ini baik (good of fit). Dengan
demikian tidak perlu dilakukan penambahan atribut untuk mendekati keadaan yang sebenarnya dan analisis MDS untuk status keberlanjutan e-ticketing Bus Trans Semarang pada dimensi output dengan
nilai 62,69% atau masuk pada kategori cukup berkelanjutan. Status keberlanjutan dimensi ini disajikan pada gambar 5.
Uji kelayakan model dilakukan dengan uji normalisasi berdasarkan nilai stress (S) dan koefisien determinasi (R2). Dari perhitungan metode Rap-Bus
diperoleh nilai S dan R2 pada layanan e-ticketing bus pada dimensi output, yakni untuk nilai S sebesar 0,18 dan nilai R2 sebesar 0,92. Berdasarkan nilai tersebut, maka sesuai kaidah analisis kelayakan model yang menyatakan bahwa model yang baik adalah jika nilai S < 0,25 dan R2 mendekati 1, dapat disimpulkan
bahwa model yang dikaji pada penelitian ini baik (good of fit). Dengan demikian tidak perlu dilakukan penambahan atribut untuk mendekati keadaan yang sebenarnya.
3.2. Analisis Leverage pada Keberlanjutan e-Ticketing Bus Trans Semarang Pada Dimensi
Input, Proses, dan Output
Analisis leverage merupakan analisis untuk mengetahui faktor-faktor pengungkit (leverage factors) status keberlanjutan e-ticketing Bus Trans Semarang pada dimensi input. Hasil analisis leverage terhadap dimensi input disajikan pada gambar 6.
Penentuan leverage factors secara grafis ini dapat dilihat dari bar yang panjang pada atribut-atribut yang dievaluasi. Pada dimensi input, atribut
“kerangka tata kelola IT” merupakan faktor
pengungkit terbesar status keberlanjutan dengan
nilai RMS sebesar 18,75 yang artinya bahwa jika ada intervensi terhadap atribut tersebut maka dapat mempengaruhi nilai indeks keberlanjutannya.
Sedangkan hasil analisis leverage terhadap dimensi proses disajikan pada gambar 7. Penentuan leverage factors secara grafis ini dapat dilihat dari bar
yang panjang pada atribut-atribut yang dievaluasi.
Sumber : Hasil analisis, 2019 Gambar 4. Hasil Ordinasi e-ticketing Bus Trans Semarang pada Dimensi Proses
77,81
GoodBad
Up
Down-60
-40
-20
0
20
40
60
0 20 40 60 80 100 120
Oth
er
Dis
tin
gish
ing
Feat
ure
s
Sustainability Status
Ordination
E-ticketing Bus Trans Semarang Index
Reference anchors
Anchors
Sumber : Hasil analisis, 2019 Gambar 6. Leverage Factors Status Keberlanjutan e-ticketing Bus Trans Semarang pada Dimensi Input
18,75
5,96
6,72
7,56
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20
Kerangka tata kelola IT
Roadmap terintegrasi
Framework sistem IT
Infrastruktur jaringan IT
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Status scale 0 to 100)
Att
rib
ute
Leverage of Attributes E-ticketing Bus Trans Semarang
Sumber : Hasil analisis, 2019. Gambar 5. Hasil Ordinasi e-ticketing Bus Trans Semarang pada Dimensi Output.
62,69
GoodBad
Up
Down-60
-40
-20
0
20
40
60
0 20 40 60 80 100 120
Oth
er
Dis
tin
gish
ing
Feat
ure
s
Sustainability Status
Ordination
E-ticketing Bus Trans Semarang Index
Reference anchors
Anchors
Warta Penelitian Perhubungan 2019, 31 (1):15–24 Masmian Mahida dan Wiwandari Handayani
21
Pada dimensi proses, atribut “dukungan lingkungan
inovatif” merupakan faktor pengungkit terbesar
status keberlanjutan dengan nilai RMS sebesar 22,19 yang artinya bahwa jika ada intervensi terhadap atribut tersebut maka dapat mempengaruhi nilai indeks keberlanjutannya.
Hasil analisis leverage terhadap dimensi output disajikan pada gambar 8. Penentuan leverage factors secara grafis ini dapat dilihat dari bar yang panjang pada atribut-atribut yang dievaluasi. Pada dimensi
output, atribut “efektifitas biaya” merupakan faktor
pengungkit terbesar status keberlanjutan dengan nilai RMS sebesar 12,60 yang artinya bahwa jika ada intervensi terhadap atribut tersebut maka dapat mempengaruhi nilai indeks keberlanjutannya.
3.3. Analisis Monte Carlo Pada Dimensi Input, Proses, dan Output
Rap-Bus merupakan metode diagnostik yang dilakukan secara cepat, maka dalam analisisnya sangat mungkin terdapat kesalahan/ketidakpastian yang disebabkan oleh beberapa faktor berikut ini: 1) kesalahan dalam skoring akibat minimnya informasi; 2) variasi dalam skoring akibat perbedaan penilaian;
dan 3) kesalahan dalam memasukkan data. Maka
untuk menguji hasil analisis ordinasi dilakukan
analisis Monte Carlo untuk mengetahui dampak kesalahan acak (random error) pada hasil ordinasi. Sehingga dalam studi ini diperlukan analisis dengan simulasi Monte Carlo dilakukan dengan metode
“scatter plot”.
Hasil analisis Monte Carlo yang dilakukan
sebanyak 25 kali pengulangan (iterasi) dengan selang kepercayaan 95% pada dimensi input menunjukkan hasil rata-rata sebesar 80,00% sebagaimana terlihat pada gambar 9 yang mana jika dibandingkan dengan hasil ordinasi MDS sebesar 81,25% nampak tidak mengalami perbedaan yang signifikan. Hal ini
menunjukkan kesalahan dalam pembuatan skor pada setiap atribut dan kesalahan prosedur metode analisis sangat kecil dimana hasil analisis Monte Carlo ini mendukung akurasi penentuan ordinasi status keberlanjutan yang telah ditelaah.
Sedangkan hasil analisis Monte Carlo yang
dilakukan sebanyak 25 kali pengulangan (iterasi) dengan selang kepercayaan 95% pada dimensi proses menunjukkan hasil rata-rata sebesar 76,00% sebagaimana terlihat pada gambar 10 dan jika dibandingkan dengan hasil ordinasi MDS sebesar
Sumber : Hasil analisis, 2019. Gambar 7. Leverage Factors Status Keberlanjutan e-ticketing Bus Trans Semarang pada Dimensi Proses
4,15
22,19
7,56
6,13
0 5 10 15 20 25
Kolaborasi dan kerjasama stakeholders
Dukungan lingkungan inovatif
Biaya operasional
Interoperabilitas platform IT
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Status scale 0 to 100)
Att
rib
ute
Leverage of Attributes E-ticketing Bus Trans Semarang
Sumber : Hasil analisis, 2019. Gambar 8. Leverage Factors Status Keberlanjutan e-ticketing Bus Trans Semarang pada Dimensi Output
10,97
12,60
9,70
7,59
0 2 4 6 8 10 12 14
Efisiensi waktu
Efektifitas biaya
Pelayanan publik efisien
Jaringan Sosial
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Status scale 0 to 100)
Att
rib
ute
Leverage of Attributes E-ticketing Bus Trans Semarang
Sumber : Hasil analisis, 2019. Gambar 9. Hasil Analisis Monte Carlo e-ticketing Bus Trans Semarang pada Dimensi Input.
-60
-40
-20
0
20
40
60
0 20 40 60 80 100 120
Oth
er
Dis
tin
gish
ing
Feat
ure
s
Sustainability Status
Rap Smart City Ordination - Monte Carlo Scatter Plot
Sumber : Hasil analisis, 2019. Gambar 10. Hasil Analisis Monte Carlo e-ticketing Bus Trans Semarang pada Dimensi Proses
-60
-40
-20
0
20
40
60
0 20 40 60 80 100 120
Oth
er
Dis
tin
gish
ing
Feat
ure
s
Sustainability Status
Rap Smart City Ordination - Monte Carlo Scatter Plot
Masmian Mahida dan Wiwandari Handayani Warta Penelitian Perhubungan 2019, 31 (1):15–24
22
77,81% nampak tidak mengalami perbedaan yang signifikan. Hal ini juga menunjukkan kesalahan dalam pembuatan skor pada setiap atribut dan kesalahan prosedur metode analisis sangat kecil
dimana hasil analisis Monte Carlo ini mendukung akurasi penentuan ordinasi status keberlanjutan yang telah ditelaah.
Hasil analisis Monte Carlo yang dilakukan sebanyak 25 kali pengulangan dengan selang kepercayaan 95% pada dimensi output menunjukkan
hasil rata-rata sebesar 62,00% seperti pada gambar 11 dan jika dibandingkan dengan hasil ordinasi MDS sebesar 62,69% nampak tidak mengalami perbedaan yang signifikan. Hal ini menunjukkan kesalahan dalam pembuatan skor pada setiap atribut dan kesalahan prosedur metode analisis sangat kecil
dimana hasil analisis Monte Carlo ini mendukung akurasi penentuan ordinasi status keberlanjutan yang telah ditelaah.
Pada tabel 3 merupakan ringkasan hasil nilai indeks keberlanjutan e-ticketing Bus Trans Semarang dari dimensi input, proses, dan output. E-ticketing
Bus Trans Semarang pada dimensi input dengan status berkelanjutan baik. Hal ini disebabkan e-ticketing Bus Trans Semarang tersebut telah didukung dengan faktor roadmap terintegrasi yang berorientasi service, device, dan teknologi; framework sistem IT yang terintegrasi dari sisi
hardware, software, dan jaringan; dan infrastruktur jaringan IT, sehingga memudahkan dalam transaksi non-cash transportasi Bus Trans Semarang. Pada dimensi proses e-ticketing Bus Trans Semarang dengan status berkelanjutan baik juga didukung dengan faktor kolaborasi dan kerjasama antar
stakeholders; pembiayaan operasional yang mencakup profesional IT, operasi, pemeliharaan, pelatihan, dan konsultan; dan interoperabilitas platform IT pada sisi aplikasi dan service.
Sedangkan e-ticketing Bus Trans Semarang pada dimensi output dengan status cukup berkelanjutan
dimana status ini berbeda seperti pada dimensi input
dan proses. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh faktor lain sehingga status keberlanjutannya cukup. Namun, jika mengacu pada analisis leverage pada dimensi output terdapat faktor sensitif
“efektifitas biaya" dimana jika diintervensi pada
faktor tersebut maka dapat mempengaruhi nilai
indeks keberlanjutannya.
Tabel 4 merupakan atribut-atribut yang sensitif mempengaruhi indeks keberlanjutan e-ticketing Bus Trans Semarang dari dimensi input, proses, dan output. Dimana penentuan atribut berpengaruh adalah dengan mengacu nilai RMS tertinggi. Pada
dimensi input, atribut/faktor yang berpengaruh
adalah “kerangka tata kelola IT” artinya jika
dilakukan intervensi pada atribut tersebut maka dapat mempengaruhi nilai indeks keberlanjutannya. Pada dimensi proses, atribut/faktor yang
berpengaruh adalah “dukungan lingkungan inovatif”
dan jika dilakukan intervensi pada atribut tersebut maka dapat mempengaruhi nilai indeks keberlanjutannya. Pada dimensi output,
atribut/faktor yang berpengaruh adalah “efektifitas
biaya”jika dilakukan intervensi pada atribut tersebut
maka dapat mempengaruhi nilai indeks keberlanjutannya.
Sedangkan tabel 5 menunjukkan hasil uji normalisasi dengan nilai stress (S) dan koefisien
determinasi (R2) pada 3 dimensi yang diteliti dimana
Tabel 3. Ringkasan Hasil Nilai Indeks Keberlanjutan e-ticketing Bus Trans Semarang
Dimensi Nilai indeks Keterangan
Input 81,25% Baik
Proses 77,81% Baik Output 62,69% Cukup berkelanjutan
Sumber : Hasil analisis, 2019
Sumber : Hasil analisis, 2019. Gambar 11. Hasil Analisis Monte Carlo e-ticketing Bus Trans Semarang pada Dimensi Output
-60
-40
-20
0
20
40
60
0 20 40 60 80 100 120
Oth
er
Dis
tin
gish
ing
Feat
ure
s
Sustainability Status
Rap Smart City Ordination - Monte Carlo Scatter Plot
Tabel 4. Atribut yang sensitif mempengaruhi indeks keberlanjutan e-ticketing Bus Trans Semarang.
Dimensi Atribut RMS
Input Kerangka tata kelola IT 18,75
Proses Dukungan lingkungan inovatif
22,19
Output Efektifitas biaya 12,60
Sumber : Hasil analisis, 2019
Tabel 5. Hasil Analisis Rap-Bus terhadap status keberlanjutan e-ticketing Bus Trans Semarang.
Dimensi Stress R2 Indeks MDS
Indeks Monte Carlo
Perbedaan nilai indeks MDS dan Monte Carlo
Input 0,15 0,94 81,25% 80,00 % 1,25%
Proses 0,15 0,92 77,81% 76,00 % 1,81%
Output 0,18 0,92 62,69% 62,00 % 0,69%
Sumber : Hasil analisis, 2019
Warta Penelitian Perhubungan 2019, 31 (1):15–24 Masmian Mahida dan Wiwandari Handayani
23
model yang dikaji pada penelitian ini baik (good of fit)
karena memenuhi S<0,25 dan R2 mendekati 1. Oleh karena itu, model yang telah dibuat tidak perlu dilakukan penambahan atribut, karena mendekati keadaan yang sebenarnya. Dan hasil analisis Monte Carlo dan ordinasi MDS pada e-ticketing Bus Trans Semarang dengan selang kepercayaan 95% memiliki
selisih sedikit yang berarti bahwa kesalahan dalam pembuatan skor pada setiap atribut dan kesalahan prosedur metode analisis sangat kecil.
4. Kesimpulan
Status keberlanjutan e-ticketing Bus Trans Semarang dari dimensi input dan proses menunjukkan baik. Pada dimensi input telah didukung dengan roadmap terintegrasi yang berorientasi service, device, dan teknologi; framework sistem IT yang terintegrasi dari sisi
hardware, software, dan jaringan; dan infrastruktur jaringan IT. Begitu juga, pada dimensi proses telah didukung dengan kolaborasi dan kerjasama antar stakeholders; pembiayaan operasional yang mencakup profesional IT, operasi, pemeliharaan, pelatihan, dan konsultan; dan interoperabilitas
platform IT pada sisi aplikasi dan service. Hal ini telah menunjukkan penerapan konsep kota pintar di Kota Semarang pada kasus Bus Trans Semarang telah dilaksanakan, yakni dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi [27][28] untuk menciptakan efisiensi pada semua lini seperti
mengacu pada benchmark layanan IT pada dimensi input dan dimensi proses. Kemudian status keberlanjutan e-ticketing Bus Trans Semarang pada dimensi output memiliki status cukup berkelanjutan dimana status ini berbeda seperti pada dimensi input dan proses. Hal ini kemungkinan besar dapat
disebabkan oleh faktor lain yang perlu untuk dievaluasi secara komprehensif.
Faktor yang berpengaruh terhadap keberlanjutan e-ticketing Bus Trans Semarang pada dimensi input, proses, dan output masing-masing adalah kerangka tata kelola IT, dukungan lingkungan inovatif, dan
efektifitas biaya. Sehingga jika dilakukan intervensi pada faktor-faktor tersebut maka dapat mempengaruhi nilai indeks keberlanjutannya. Pada akhirnya pada penelitian ini, dengan keluaran indeks keberlanjutan dan faktor berpengaruhnya dapat dijadikan sebagai masukan untuk merumuskan
kebijakan khususnya pada penyelenggaraan infrastruktur sektor perhubungan dalam mendukung terwujudnya kota pintar Semarang.
Ucapan Terima Kasih
Kami ucapkan terimakasih kepada para pakar yang terlibat pada penelitian ini, yaitu Dinas Perhubungan Kota Semarang, BLU UPTD Bus Trans Semarang, Dinas Komunikasi dan Informatika Kota
Semarang, dan PT. Dinustek sehingga mendukung
terselesainya penelitian. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat yang telah memberikan beasiswa pendidikan Magister Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Diponegoro kepada penulis, sehingga dapat terselesaikannya penulisan artikel ini.
Daftar Pustaka
[1] A Susanty, S Nugroho, and K A Khantari, "Penyusunan Skenario Kebijakan untuk Pengembangan Bus Rapid Transit (BUS) Trans Semarang dengan Pendekatan Sistem Dinamik"," JurnalTeknik, pp. 17-26, 2014.
[2] Nijkamp, Smart cities in Europe. Central European , Europe: CERS, 2009.
[3] B Cohen, The top 10 smart cities on the planet,.: CoExist, 2012.
[4] Chintia Puja Dewi, Inovasi Pelayanan Transportasi Publik BUS Trans Semarang oleh Dinas Perhubungan Kota Semarang. Semarang, Jawa Tengah: Universitas Diponegoro, 2018.
[5] Gunawan E, "Design and implementation of discrete-event simulation framework for modeling bus rapid transit system," Journal of Transportation Systems Engineering and Information Technology, vol. 14, pp. 37-45, 2013.
[6] Basuki I, "Manfaat standarisasi kinerja angkutan perkotaan," Jurnal Transportasi, vol. 8.1, pp. 57-66, 2008.
[7] WS Davis, HIPO- Hierarchy Plus Input-Process-Output. Florida, U.S. state: CRC, 1998.
[8] Siahaan, Adam Daniel , Subowo Ari , and Marom Aufarul , "Implementasi Kebijakan BRT Trans Semarang di Kota Semarang," Journal Of Public Policy And Management , vol. Volume 2 Nomor 4, 2013.
[9] Julia Brannen, Mixing Methods: Qualitative and Quantitative Research. Avebury, USA: Aldershot , 1992.
[10] Tony J Pitcher and Preikshot David , "Rapfish: a rapid appraisal technique to evaluate the sustainability status of fisheries," Fisheries Research, 2001.
[11] A Fauzi and Anna S, Pemodelan Sumber Daya Perikanan dan Kelautan: untuk Analisis Kebijakan. Jakarta, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005.
[12] Megawati, Angraini, and Sukma Negara Beny,
“Perancangan Panduan Tata Kelola Teknologi
Infromasi menggunakan IT Governance Framework”,
“Jurnal Ilmiah Rekayasa dan Manajemen Sistem
Informasi, Vol. 3, No. 1, 2017. [13] Hoon Jung Lee , Phaa Robert , and Lee Sang-Ho, "An
integrated service-device-technology roadmap for smart city development," Journal of Technological Forecasting & Social Change, pp. 286– 306, 2013.
[14] D Washburn et al., Helping CIOs Understand “ Smart City” Initiatives: Defining the Smart City, Its Drivers, and the Role of the CIO. Cambridge, England: MA: Forrester Research, 2010.
[15] Sideridis and Patrikakis C. Z., "Next Generation Society: Technological and Legal Issues (Proceedings of the Third International Conference, e-Democracy 2009, Athens, Greece, Sep 23-25, 2009)," in International Conference, e-Democracy 2009, Athens, Greece, Berlin, Germany, 2009, pp. 360-372.
Masmian Mahida dan Wiwandari Handayani Warta Penelitian Perhubungan 2019, 31 (1):15–24
24
[16] H Lindskog, "Smart communities initiatives," in In Proceedings of the 3rd ISOneWorld Conference , Las Vegas, 2004, pp. 14-16.
[17] N Komninos, "Intelligent cities: Towards interactive and global innovation environments," International Journal of Innovation and Regional Development, pp. 337-355, 2009.
[18] Chourabi and Hafedh, "Understanding Smart Cities: An Integrative Framework," in 45th Hawaii International Conference on System Sciences, Hawai, 2012.
[19] José M Muñoz and Hernández, "Smart Cities at the Forefront of the Future Internet," Journal of the Future Internet Assembly, 2011.
[20] Sihou Zhang, The role of information and communication technology for smart city development in china. Tallinn, 2017.
[21] Ericsson, The Networked Society City Index compares cities’ ICT maturity and their social, economic and environmental development. Stockholm , sweden: Ericsson AB, 2014.
[22] NWJ Rembet , Unstain, M Boer , DG Bengen , and A Fachrudin , "Status keberlanjutan pengelolaan terumbu karang di Pulau Hogow dan Putus-Putus Sulawesi Utara," Jurnal Perikanan dan Keluatan Tropis, vol. 3, pp. 115-122, 2011.
[23] T. J. Rapfish Pitcher, A Rapid Appraisal Technique for Fisheries and Its Application to The Code of Conduct for Responsible Fisheries. Rome, Italy: FAO UN, 1999.
[24] R.Y Rubinstein, Simulation and the Monte Carlo Method. New York, U.S: John and Sons Ltd, 1981.
[25] PJ.F Groenen and M. Velden , Multidimensional scaling.: Econometric Institute Report EI, 2004.
[26] N Jaworska , C Angelina , and Anastasova, A Review of Multidimensional Scalling (MDS) in Various Psychological Domains.: Tutorials in Quantitative Methods for Psychology, 2009.
[27] J Marsal-Llacuna, Colomer-Llina`s, and J. Mele´ndez-Frigola, “ Lessons in urban monitoring taken from sustainable and livable cities to better address the Smart Cities initiative” ..: Technological Forecasting and Social Change, 2014.
[28] W Castelnovo, G Misuraca, and Savoldelli, A.Smart Cities Governance: The Need for a HolisticApproach to Assessing UrbanParticipatory Policy Making.: SocialScience Computer Review, 2016.
Warta Penelitian Perhubungan 2019, 31 (1): 25-34
http://dx.doi.org/10.25104/warlit.v31i1.912 0852-1824/ 2580-1082 ©2019 Sekretariat Badan Penelitian dan Pengembangan Perhubungan Artikel ini open access dibawah lisensi CC BY-NC-SA (https://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0/) Terakreditasi Sinta (Peringkat 2), SK No. 10/E/KPT/2019
Analisis Kapal Berbahan Bakar LNG sebagai Marine Fuel
dalam Mengurangi Emisi Gas Buang Terhadap Lalu Lintas Kapal
di Pelabuhan Bitung
Hendra Palebangan*1 dan Yanuar2
Departemen Teknik Mesin, Universitas Indonesia1,2
Jl. Kampus UI, Beji, Depok 16424, Indonesia E-mail: [email protected]
Diterima : 23 Januari 2019, disetujui: 27 Juni 2019, diterbitkan online: 28 Juni 2019
Abstrak
Pemerintah mempunyai program konversi bahan bakar kapal dari minyak ke gas alam yang bertujuan untuk memperbaiki efisiensi layanan transportasi laut. Perluasan penggunaan gas alam di sektor maritim akan mengurangi ketergantungan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang telah digunakan oleh kapal-kapal di Indonesia. Di sisi lain, gas alam bisa digunakan di seluruh sektor, seperti industri, pembangkit tenaga listrik, hingga rumah tangga. Kasus ini diharapkan sejalan dengan tingkat emisi dari sektor ini untuk bisa ditekan menjadi ramah lingkungan daripada menggunakan bahan bakar fosil. Penelitian ini dibatasi pada kapal laut dengan jumlah kapal yang diasumsikan sebanyak 1.100 sampel dari berbagai jenis ukuran kapal berbeda yang menggunakan bahan bakar BBM (MGO). Pengasumsian setiap kapal akan menghabiskan satu hari (24 jam) di Pelabuhan Bitung untuk menunggu berlabuh dan tiga hari (72 jam) untuk melakukan bongkar muat. Sehingga asumsi total waktu aktivitas yaitu +96 jam untuk setiap kapal. Waktu aktivitas menunjukkan jumlah jam kerja mesin bantu (AE) dimana selama kapal berlabuh telah mengeluarkan 9.128,4 ton emisi (CO, NOx, SOx dan PM) ke atmosfer yang menyebabkan polusi udara. Analisis tersebut juga menunjukkan bahwa emisi kapal-kapal yang jangkar dan sandar di pelabuhan telah menempatkan biaya faktor eksternal sekitar 7.080.815 USD sehingga memiliki dampak ekonomi terhadap Pelabuhan Bitung, masyarakat, dan lingkungan.
Kata kunci: Bunkering, pelabuhan, LNG, transportasi laut, kawasan timur Indonesia.
Abstract
Analysis of LNG-Fueled Vessels as Marine Fuel in Reducing Exhaust Emissions Towards Ship Traffic in Bitung Port: The government has a program to convert ship fuel from oil to natural gas aiming to improve the efficiency of sea transportation services. The expansion of the use of natural gas in the maritime sector will reduce the dependence of fuel oil that has been used by ships in Indonesia. On the other hand, natural gas can be used for all sectors: industries, power plants, households, etc. This case is expected to be in line with the level of emissions from this sector so that it can be suppressed to be environmentally friendly rather than using fossil fuels. The limitation of the study is set for marine vessels with the assumption of 1,100 samples of different types of ship sizes using fuel oil (MGO). It is assumed that each ship will spend one day (24 hours) in Bitung port for waiting to dock and three days (72 hours) to do loading and unloading. As a result, the assumption of total activity time is +96 hours for each ship. The activities show the number of working hours of Auxiliary Engine (AE). During the anchored, ship has taken out 9,128.4 tons of emissions (CO, NOx, SOx and PM) to the atmosphere which causes air pollution. The analysis also shows that the emissions of ships docking and anchoring in ports set external factor costs of around 7,080,815 USD that has an economic impact on Bitung Port, community, and environment.
Keywords: Bunkering, ports, LNG, sea transportation, eastern Indonesia.
1. Pendahuluan
LNG (Liquified Natural Gas) adalah gas alam
yang dicairkan dengan cara didinginkan sampai mencapai suhu -1600C dengan tekanan atmosfer. Proses semacam ini disebut dengan pencairan gas bumi (Natural Gas Liquifaction). Gas alam cair memiliki volume 1/600 kali dari keadaan sebelum dicairkan. Komposisi LNG pada umummnya terdiri
dari 85-95% mol metana ditambah etana dan sebagian kecil propana, butana, dan nitrogen sekitar 5-15%, dapat dilihat gambar 1. Komposisi LNG yang
sebenarnya bergantung pada sumber gas dan teknologi pemrosesannya.
LNG memiliki kandungan energi per volume lebih besar dibandingkan dengan jenis bahan bakar
lain yang bersumber dari gas hidrokarbon. Pada tabel 1 diperlihatkan densitas energi persatuan volume dari beberapa bentuk energi. LNG merupakan bentuk energi yang mudah untuk ditransportasikan. LNG dapat dihasilkan dengan berbagai cara diantaranya yaitu: Ekstraksi
menggunakan LNG cold box; Penambahan unit
Hendra Palebangan dan Yanuar Warta Penelitian Perhubungan 2019, 31 (1):25-34
26
purifikasi dan liqufactioon pada sistem cryogenic NGL plant; Penambahan unit power liquefier; Stasiun penurun tekanan pada jalur pipa transmisi gas; Menggunakan nitrogen cair sebagai unit
pendinginan.
Fasilitas receiving terminal LNG terdiri dari beberapa unit instalasi. Instalasi terminal LNG dapat dilihat pada gambar 2. Unit-unit tersebut adalah sebagai berikut: LNG carrier berthing dan fasilitas unloading; Tangki penyimpanan LNG; Sistem
regasifikasi atau penguapan; Fasilitas untuk mengatasi gas boil off; metering dan stasiun
pengaturan tekanan; Perpipaan pengiriman gas. Distribusi LNG dari terminal dapat dilakukan melalui fasilitas-fasilitas jalur pipa yang terpasang disekitar lokasi terminal penerimaan LNG di wilayah tersebut atau melalui truk-truk tangki dan melalui tanker-tanker untuk daerah atau wilayah yang berdekatan dengan pantai atau laut. Lay-out terminal LNG
bervariasi, karena dikondisikan antara wilayah padat konsumen dengan faktor keadaan alam.
LNG telah terbukti menjadi bahan bakar laut yang layak secara teknis dan ekonomis terhadap kapal-kapal komersial. Di Indonesia telah teridentifikasi kedepannya konsumen pengguna
LNG berada di pembangkit tenaga listrik dan bahan bakar marine. Banyaknya sumur-sumur gas yang tersedia di daerah-daerah terpencil memberikan peluang potensial pasokan energi kedepannya untuk dieksplorasi sebagai pengganti bahan bakar minyak.
Melalui peluang ini akan mendorong meningkatnya minat pengguna sebagai bahan bakar di dalam industri perkapalan dan khususnya kapal laut. Pelabuhan Bitung sebagai pelabuhan Hub Internasional letaknya yang strategis nantinya menjadi pelabuhan hub kapal-kapal berbendera
asing dan berbendera Indonesia yang membawa keluar masuk barang-barang ekspor dan impor selaras dengan pembangunan infrastruktur
bunkering LNG yang potensial di Kawasan Timur Indonesia.
Marine Pollution (MARPOL) menetapkan persyaratan yang ketat di perairan laut Baltik, Laut
Utara, laut Amerika Utara dan Karibia yang tergabung dalam Emission Control Area (ECA). Namun, ECA akan terus berkembang ke negara lain yang mungkin akan memberlakukan termasuk wilayah Asia Tenggara dalam waktu dekat.
Batasan emisi maksimum untuk semua area SOx
3.5% dari bahan bakar laut. Emisi SOx daerah non-ECA juga direncanakan akan dibatasi sebesar 0,5% antara 2020 dan 2025, dimana penilaian kelayakan akan dilakukan pada tahun 2019. Batas target pelaksanaan antara tahun 2020 dan 2025 diperkirakan akan mendorong penggunaan LNG
sebagai bahan bakar kapal di dunia pada gambar 3.
Survei penelitian sebelumnya untuk melihat pandangan dari sisi pemilik kapal terhadap lokasi bunker di sepanjang jalur perdagangan utama [4], menyimpulkan bahwa ada korelasi langsung antara lokasi hub bunkering utama dan jalur utama
perdagangan. Mengingat perlu dibangun infrastruktur bunkering LNG yang berada di Pelabuhan Bitung serta memiliki potensi untuk memicu pertumbuhan penggunaan LNG sebagai bahan bakar marine di Kawasan Timur Indonesia.
Selanjutnya, survei tersebut juga
mengindikasikan bahwa mesin LNG dan dual-fuel memiliki peluang jangka panjang terutama kepada pemilik kapal kontainer dan kapal pesiar [4]. Poin ini menjadi sangat penting bagi pengembangan bunker LNG di Pelabuhan Bitung mengingat menjadi jalur keluar masuknya sejumlah kapal kontainer
internasional. Dari perspektif Asia, tercatat bahwa
Gambar 1. Komposisi LNG [1]
Gambar 2. Instalasi Terminal Penerima LNG [2]
Gambar 3. Proyek LNG fuel Impacted by Annex VI [3]
Tabel 1. Kandungan Kalor dari Beberapa Jenis Bahan Bakar Bahan Bakar MJ/lt MJ/kg
Metana CNG LNG LPG
Gasoline Diesel
0.035 8.7
21.6 24.4 32.7 37.7
50.0 50.0 50.0 48
42.5 42.5
Sumber : [2]
Warta Penelitian Perhubungan 2019, 31 (1):25-34 Hendra Palebangan dan Yanuar
27
Singapura termasuk dalam 20 besar bunker utama LNG di dunia seperti ditunjukkan pada gambar 4. Ini menegaskan bahwa potensi permintaan LNG sebagai
bahan bakar marine di Asia diposisikan menjadi salah satu jalur perdagangan utama.
Gambar 5 memberikan indikasi tren pengembangan armada kapal berbahan bakar LNG mulai meningkat pada tahun 2014 dengan proyeksi kenaikan yang signifikan. Hal ini akan berkontribusi
terhadap permintaan LNG sebagai bahan bakar marine. LNG sebagai bahan bakar sudah terbukti dan menjadi solusi pengganti bahan bakar minyak. Sementara bahan bakar konvensional berbasis minyak tetap akan menjadi pilihan bahan bakar utama bagi sebagian besar kapal dalam waktu dekat
kedepan. LNG sebagai alternatif bahan bakar dipicu oleh tekanan lingkungan untuk mengurangi gas rumah kaca serta harga bahan bakar minyak yang terus mengalami kenaikan. Peluang komersial dari LNG menarik peluang untuk bangunan kapal baru berbahan bakar gas dan proyek konversi BBM ke gas.
Pembahasan berikut akan memberikan gambaran dan pemahaman faktor dasar penggerak LNG digunakan sebagai bahan bakar transportasi laut [5].
Organisasi Maritim Internasional (IMO) sudah
memberlakukan regulasi lingkungan yang ketat mulai awal tahun 2015 lalu, dimana aturan untuk emisi SOx dan NOx dibatasi maksimal 0.1% untuk
kawasan ECA (Emmision Control Area) dan akan roadmap penerapan regulasi kawasan ECA dari
tahun 2010 – 2020 dapat dilihat pada gambar 6,
namun dengan batasan emisi (SOx dan NOx) yang lebih longgar, yaitu maksimal 0.5% [5].
Regulasi IMO mendorong tumbuhnya akan teknologi yang mampu mengurangi atau bahkan menghilangkan emisi mesin kapal. Pilihannya hanya dua, yaitu teknologi LNG propulsion, artinya
menggunakan bahan bakar rendah karbon (Low Sulphur MGO atau LNG). Pilihan kedua adalah mengadopsi teknologi scrubber, dengan tetap menggunakan HFO sebagai bahan bakar. Secara ekonomis total cost LNG propulsion lebih rendah hingga 40% dibanding menggunakan MGO (low sulphur) dan HFO dengan Scrubber.
IGF Code adalah sebutan pendek dari
“lnternational Code of Safety for Ships Using Gases or other Low-Flashpoint Fuels” atau Aturan
Keselamatan lnternasional untuk Kapal yang
menggunakan bahan bakar gas atau bahan bakar dengan titik nyala rendah). IGF Code akan berlaku efektif pada 1 Januari 2017 setelah berlakunya amendemen terhadap Chapter ll-1 ,ll-2 dan lampiran pada Annex SOLAS 1974. Pembahasan emisi SOx
dalam Regulation 14 of Marine Pollution Annex VI-Regulation for the Prevention of Air Pollution from Ships diberlakukan emisi bahan bakar <4,5% untuk daerah non-ECA dan <0,1% pada daerah ECA tahun
2015. Marine Pollution Annex VI mulai diterapkan pada tanggal 01 Juli 2010 dan selanjutnya mampu mengurangi kandungan sulfur bahan bakar secara global di laut dari 4,5% menjadi 3,5%. Secara bertahap emisi SOx di daerah non-ECA akan dibatasi sebesar 0,5% antara tahun 2020 dan 2025. Batasan
penerapan waktu pemberlakuan batasan nilai SOx serta penilaian kelayakan dapat dilihat pada gambar 7. Batas target pelaksanaan antara 0,5% tahun 2020 dan 2025 diperkirakan kedepannya akan meningkatkan penggunaan bahan bakar LNG di dunia [7]. Regulation 13 (Nitrogen oxides (NOx)) of
Marine Pollution Annex VI-Regulation for the Prevention of Air Pollution from Ships mendefinisikan batas emisi berdasarkan tahun konstruksi kapal dan kecepatan mesin dalam sistem Tier-III ditunjukkan dalam tabel 2. Kapal dibangun antara tahun 2000 dan 2011 harus memenuhi emisi
NOx dikecepatan maksimum mesin sekitar 9,8-17 gram per kilowatt-hour (g / kWh) (Tier I), yang
Sumber : [4]
Gambar 4. Lokasi Bunker Utama Dunia-Owner Survey
Sumber: [4]
Gambar 5. Pengembangan Armada Kapal Berbahan
Bakar LNG
Sumber : [6]
Gambar 6. Regulations Roadmap Penerapan Kawasan ECA
Hendra Palebangan dan Yanuar Warta Penelitian Perhubungan 2019, 31 (1):25-34
28
dibangun setelah 2011 harus mematuhi 7,7-14,4 g / kWh (Tier II), dan kapal beroperasi setelah 2016 dimana apa yang disebut NOx Pengendalian Emisi Area (Necas) perlu mematuhi emisi 1,96-3,4 g / kWh (Tier III) [8].
Particulate matter disingkat PM merupakan
partikel kecil yang mengandung zat kimia yang terkondensasi (cair/padat). PM >10 mikrometer melalui mekanisme pernafasan dapat dikurangi dibandingkan PM < 10 berpengaruh terhadap efek
kesehatan karena kemampuannya dapat mencapai daerah yang lebih dalam pada saluran pernapasan. Efek kesehatan manusia dari paparan PM meliputi: sistem pernapasan, kerusakan jaringan paru-paru, kanker, dan meningkatkan resiko kematian dini. Orang tua, anak-anak, dan orang-orang dengan
penyakit paru-paru kronis, influensa, atau asma, sangat sensitif jika terpapar PM. Selain itu PM yang asam dapat mempengaruhi penglihatan dan menjadi penyebab utama berkurangnya jarak pandang manusia [10].
Ada sejumlah strategi memilih bagi pemilik
kapal dalam memastikan pemenuhan persyaratan peraturan IMO, tiga pilihan utama meliputi penggunaan bahan bakar minyak rendah sulfur/ marine gas oil (MGO), menggunakan scrubber untuk mereduksi gas buang (bahan bakar HFO) dan penggunaan LNG. Ketiga pilihan tersebut dianggap
layak bergantung pada strategi dalam menentukan pilihan, jenis kapal dan pola perdagangan [4]. Disatu sisi menunjukkan bahwa pilihan dominan akan
bergantung pada ekonomi (biaya investasi), faktor operasional dan harga bahan bakar yang paling penting di masa mendatang.
Motor diesel di kapal umumnya digunakan sebagai penggerak utama. Bahan bakar yang digunakan pada motor diesel juga sangat mempengaruhi intensitas dari gas buang yang dihasilkan. Pada umumnya bahan bakar yang digunakan untuk motor diesel adalah HFO (Heavy Fuel Oil), atau Marine Diesel Oil (MDO) yang memiliki viskositas yang tinggi dibandingkan bahan bakar lainnya sehingga kualitas gas buang yang dihasilkan sangat buruk. Gas yang dihasilkan seperti carbon monoxide (CO), hydrocarbon (HC), carbon dioxides (CO2), nitrogen oxides (NOx), PM serta
sulphur oxides (SOx). Semua gas tersebut diatas mempunyai dampak Global Warming, maka dari itu perlu diminimalkan kandungan gas yang berbahaya terutama kandungan NOX. Dengan adanya Exhaust Gas Recirculating (EGR) yang di optimalkan dengan penambahan water scrubber, diharapkan dapat
mengurangi Kadar NO pada gas buang tersebut [11].
MGO menawarkan alternatif dalam memenuhi persyaratan Sulphur Emission Control Areas (SECA) karena mengandung sulfur rendah dan mengurangi partikel yang diudara PM. Namun, sesuai dengan Nox dan persyaratan gas rumah kaca memerlukan
aplikasi dari selective catalytic reduction (SCR) atau exhaust gas recirculation (ECR) untuk memenuhi level Tier III. Dibandingkan dengan LNG, MGO tidak
Tabel 3. Perbandingan Pilihan Bahan Bakar Alternatif [9]
Environmental features compared to the traditional HFO
alternative
Factors influencing viability compared to the traditional HFO alternative
Alternative Sox Nox PM CO2
Cargo capacity
Capital Investm
ents Operating
Costs
LNG ++ ++ ++ + Restricted Very high Low
MGO + - - - Not
restricted Low Very high
HFO/Scrubber + -- + - Slightly
resricted High Medium
++ very good, + good, - bad, -- very bad
a) Fuel costs remain basically unchanged, a small increase (1-2%) can be expected.
Cost for scrubber maintenance and waste handling are yet unknown but may add
to the total operating cots.
Sumber : [3]
Gambar 7. Batasan Waktu Penerapan Nilai Sox
Tabel 2. Batasan NOx untuk Bangunan Baru [9] Tier Applicable
areas
Constr
uction Year
NOx Limit, g/kWh (n = rpm, below )
N<130 130≤ 𝑛 < 2000 N ≥2000
Tier I
Global 2000 17.0 45 ∗ n-02 9.8
Tier II
Global 2011 14.4 44 * n-0.23 7.7
Tier III
ECA 2016 3.4 9 * n-0.2 1.96
Sumber : [14]
Gambar 8. Perbedaan Temperatur Maksimum
Warta Penelitian Perhubungan 2019, 31 (1):25-34 Hendra Palebangan dan Yanuar
29
memerlukan ruang tambahan tangki penyimpanan
dan tidak ada biaya investasi. Namun, harga bahan bakar untuk MGO saat ini sudah tinggi dan prospeknya kedepan memperlihatkan peningkatan yang signifikan dibandingkan jenis bahan bakar lainnya [12]. Teknologi LNG diketahui terbukti baik dan sejumlah stakeholder memperoleh keuntungan
baik dari segi biaya dan efisiensi mesin. Salah satu keuntungan utama menggunakan LNG sebagai bahan bakar adalah perawatan mesinnya yang mudah, pembakaran yang dihasilkan lebih ramah lingkungan jika dibandingkan jenis bahan bakar HFO atau jenis bahan bakar lain seperti MDO [1] Sebagai
bahan bakar ramah lingkungan, menawarkan alternatif dalam memenuhi persyaratan Annex VI dalam mengurangi emisi SOx, NOx, PM dan CO.
Namun, ada beberapa kekurangan dimana ruang tanki LNG yang tinggi dapat mengurangi kapasitas ruang muat kapal. Kerugian utamanya
yang teridentifikasi adalah ketersediaan LNG sebagai bahan bakar marine dibatasi oleh rantai pasok [7]. Terlihat LNG tidak cocok untuk kapal-kapal yang rutenya membutuhkan fleksibilitas. Peralatan LNG yang dibutuhkan mahal dan persyaratan mengutamakan tingkat keselamatan mengakibatkan
penambahan fitur memerlukan biaya yang tinggi. Tabel 3 memperlihatkan keunggulan perbandingan pilihan bahan bakar alternatif.
Gas alam merupakan bahan bakar yang sangat baik untuk mesin pembakaran dalam karena memiliki sifat bahan bakar yang memungkinkan
untuk merancang mesin berbahan bakar gas dengan efisiensi tinggi dan emisi gas buang yang rendah. Sifat teknis dari gas alam yang digunakan sebagai bahan bakar kapal adalah angka metana tinggi dan mudah bercampur dengan udara untuk mendapatkan campuran yang homogen, yang dapat
menyebabkan pembakaran dengan kecepatan yang tinggi pada koefisien kelebihan udara yang tinggi [13]. Hal ini untuk menghindari terjadi temperatur maksimum yang tinggi dan tekanan maksimum yang tinggi, sehingga mengurangi emisi NOx sampai 90 % dibanding bahan bakar diesel, artinya bahwa
penurunan emisi NOx tergantung dari temperatur maksimum mesin. Gambar 8 memperlihatkan perbedaan temperatur maksimum menimbulkan efek pada NOx, juga memungkinkan efisiensi yang tinggi.
Tidak mengandung sulfur, karena itu tidak ada emisi SOx, dan tidak ada PM. Gas alam pada proses dicairkan menjadi LNG, unsur sulfur sudah terbuang sehingga dapat dikatakan bahwa LNG tidak mengandung sulfur. Penggunaan gas alam untuk mesin-mesin dengan sendirinya akan mengurangi
emisi-emisi dari bahan pencemar utama seperti CO, SOx dan PM dibandingkan apabila mesin-mesin tersebut menggunakan bahan bakar diesel, mengingat bahaya yang dapat ditimbulkan dari emisi bahan pencemar udara seperti NOx dan SOx dapat menyebabkan hujan asam (acid rain) yang
merusak tanaman, CO2 dapat menyebabkan efek rumah kaca (greenhouse effect) yang selalu mendapat perhatian untuk dievaluasi oleh IMO dan PM dapat menyebabkan keracunan bagi manusia [14].
Tabel 4. Data IMO Emission Inventory.
Sumber : [14]
Sumber : [15],[16]
Gambar 9. Sumber Gas Donggi Senoro – Pelabuhan
Bitung
Sumber :[9]. Gambar 10. Proses Perhitungan Konsumsi Bahan Bakar
Hendra Palebangan dan Yanuar Warta Penelitian Perhubungan 2019, 31 (1):25-34
30
Donggi Senoro LNG sebagai perusahaan hilir
bertanggung jawab hanya untuk pengolahan gas alam menjadi LNG, serta memasarkannya kepada pembeli. Kilang tunggal DSLNG memiliki kapasitas produksi sekitar 2 juta ton per tahun dan menggunakan teknologi pencairan. Gas Alam tersebut dipasok dari lapangan gas PT. Pertamina EP
wilayah Matindok, ditambah dari PT. PHE Tomori Sulawesi dan PT. Medco Energy E&P Tomori, dari lapangan gas Sulawesi di Blok Senoro-Toili.
Kilang Donggi Senoro LNG berdiri di atas lahan seluas lebih dari 300 hektar, di pesisir pantai yang menghadap Selat Peling, yang menawarkan jalur
pelayaran di lautan yang dalam dari Surabaya dan Makassar ke Luwuk dan Manado. Proyek Donggi Senoro LNG merupakan investasi besar di Sulawesi Tengah yang akan menghasilkan banyak manfaat lebih bagi perekonomian Sulawesi Tengah melalui dampak bergulir di bidang sosial, ekonomi dan
infrastruktur. Pelabuhan Bitung sebagai pelabuhan hub Internasional yang akan menunjang pertumbuhan ekonomi nasional, memiliki potensi dikembangkan infrastruktur bunkering LNG yang sumber gasnya berasal dari kilang Donggi Senoro pada gambar 9.
2. Metodologi
Metodologi yang digunakan pada penelitian dalam menentukan perkiraan emisi yang disebabkan oleh pembakaran bahan bakar dari mesin bantu (AE)
selama hotelling dilakukan dengan menggunakan metodologi studi [9] sebagai acuan. Persamaan 1 digunakan untuk mengitung perkiraan emisi [1].
Rumus : FC = P x A x LF x SFOC x EF (1) E = FC x EC
Dimana E adalah emisi kapal (gram); FC adalah
konsumsi bahan bakar (ton); P adalah daya
terpasang (kW); LF adalah load factor; A adalah waktu operasi setahun (jam); SFOC adalah specific fuel oil capacity (gr/kWh); EF adalah faktor emisi (gr/kWh).
Konsumsi bahan bakar (HFO) untuk mesin bantu (AE) dapat ditentukan melalui proses pada (Gambar 10) untuk setiap kategori kapal. Data IMO Emission Inventory dapat dilihat (tabel 4). Digunakan untuk
melihat kapasitas daya Auxiliary Engine (AE) dan load factor berdasarkan tipe kapal. Rata-rata kapasitas daya terpasang (P) diperoleh dengan mengalikan jumlah kapal di setiap kategori dengan daya rata-rata auxiliary engine (AE). Untuk memperkirakan besarnya daya tahunan (PAnnual)
diperoleh dengan mengalikan daya terpasang (P) dengan waktu operasi tahunan (A) dikali dengan load factor (LF). Sehingga diperoleh total konsumsi bahan bakar (FC) dengan mengalikan besarnya daya tahunan (PAnnual) dengan SFOC. Perkiraan emisi dihitung dengan mengalikan konsumsi bahan bakar
total dengan faktor emisi (EF). Beberapa sumber yang memuat berbagai data faktor emisi; Namun, dalam studi ini, faktor emisi yang digunakan [17].
3. Hasil dan Pembahasan
3.1. Estimasi Emisi Pelabuhan Bitung
Waktu aktivitas menunjukkan jumlah jam kerja AE untuk kapal selama hotelling. Oleh karena itu, jumlah kapal untuk setiap kategori dikalikan 96 jam untuk menentukan konsumsi bahan bakar per tahun. Daya mesin bantu AE lebih dari 800 kW maka
nilai SFOC yang digunakan 220 g/kWh. Sedangkan mesin bantu AE kurang dari 800 kW maka nilai SFOC yang digunakan 230 kW (tabel 6).
Tabel 7. Estimasi Konsumsi Bahan Bakar (Ton)-Type HFO
Vessels Category
No of Ships
Av.AE kW
Inst.Power kW
Activ.hrs Load Factor
Annual Outtake kW.h
SFOC g/kWh
Fuel Consumed (Tonnes)
Container 8000 + TEU
540
3.081
1.663.740
51.840
60%
51.748.968.960
220
11.384.773,2
General Cargo 10000 dwt+ Oil Tankers 80000-199,999 dwt+ Vehicle 0-3999 ceu
300
145
115
414
769
671
124.200
111.505
77.165
28.800
13.920
11.040
60%
50%
60%
2.146.176.000
776.074.800
511.140.960
230
230
230
493.620,5
178.497,2
117.562,4
Sumber: Hasil olahan data
Tabel 5. Faktor Emisi Mesin Bantu (AE)(g/kWh)
Engine CO2 NOx SO2 PM
Medium Speed Diesel 722 14,7 12,3 0,8
Sumber : [17]
Tabel 6. SFOC (g/kWh)
Engine age Above 800 kW Below 800 kW
Any 220 230
Sumber : [9]
Warta Penelitian Perhubungan 2019, 31 (1):25-34 Hendra Palebangan dan Yanuar
31
Besarnya fuel oil consumsed diperoleh dengan mengalikan annual outtake kWh dengan SFOC dan 10-6. Angka emisi untuk lalu lintas kapal di Pelabuhan Bitung ditentukan berdasarkan vessels calls kapal per tahun. Evaluasi hanya dibatasi pada kapal laut pada tabel 7 dengan jumlah kapal yang
mewakili untuk tiap kategori pada data IMO.
Emission inventory adalah Jika setiap kapal akan menghabiskan satu hari (24 jam) di pelabuhan menunggu untuk berlabuh dan tiga hari (72 jam) melakukan bongkar muat sehingga total waktu aktivitas (96 jam) untuk setiap kapal.
Perkiraan emisi pada tabel 8 diperoleh dengan mengalikan fuel oil consumsed pada tabel 7 dengan faktor emisi AE pada tabel 5 dan 10-3.
3.2. Keuntungan Lingkungan
Tinjauan literatur menunjukkan bahwa penggunaan LNG sebagai marine fuel akan
mengurangi emisi gas buang kapal secara signifikan di dalam dan di luar wilayah studi. Secara khusus, LNG memiliki persentase potensi mereduksi emisi SOx hingga 90%, NOx sebesar 85%, PM sebesar 90% dan CO2 20-25% lebih rendah dari sumber bahan
bakar lainnya [18]. Untuk mengevaluasi keuntungan lingkungan dari hasil reduksi emisi yang diperoleh terhadap kapal yang menggunakan LNG sebagai bahan bakar di Pelabuhan Bitung. Besarnya pengurangan emisi untuk setiap polutan dapat
diperoleh dengan menggunakan tabel estimasi ton. Estimasi emisi total yang diperoleh dikurangi dengan besarnya persentase tiap polutan yang bisa direduksi saat menggunakan LNG. Hasilnya dilihat pada tabel 9.
Penelitian infrastruktur bunkering LNG, sebagai
sampel sejumlah kapal yang menggunakan LNG sebagai bahan bakar secara signifikan mampu mereduksi emisi polutan lingkungan dan meningkatkan kualitas udara di sekitar pelabuhan. Hasil persentase grafik pada gambar 11 terlihat dari empat polutan yang dievaluasi dalam studi ini,
pengurangan terbesar pada emisi S0x dan PM kemudian diikuti NOx dan CO yang menunjukkan
Tabel 8. Estimasi Emisi (Ton)
Vessel Categories
CO2 NOx SO2
PM Total
Container 8.219,8 167,4 140,0
9,11 8.536
General Cargo 356,4 7,3 6,1 0,39 370,1
Oil Tankers 128,9 2,6 2,2 0,14 133,8
Vehicle Carriers
84,9 1,7 1,4 0,09 88,1
Total 8.790,0 179,0
149,7
9,74
9.128,4
17.901,0
Sumber: Hasil olahan data
Tabel 9. Reduksi Emisi
Pollutant CO2 NOx SOx
PM Total
MGO 8.790,0 179,0 149,7 9,74 9128,44 LNG 6.592,5 9,0 15,0 1,46 6.617,9 Total 2.197,5 170,1 134,7 8,28 2.510,6
Sumber: Hasil olahan data
Tabel 10. Faktor Biaya Eksternal Per Ton (USD2010)
Pollut
ant
Human
Health
Ecosystem
Quality
Climat
Change Total
SO2 6.300 200 0 6.500
NOx 5.700 1.000 0 6.700
PM 350.000 0 0 350.000
CO2 29 0 33 62
Sumber : [20]
Tabel 11. Konversi Inflasi EURO / USD
Currencyyear
Currencyyear
Reference
EUR2000 = 0,9236 USD2000 www.fxtop.com
USD2012 = 1,2284 USD2012 www.usinflactioncalculator.com
EUR2019 = 1,1558 USD2019 Studi ini
Tabel 12. Faktor Biaya Eksternal Per Ton (USD2012)
Pollutant
Human Health
Ecosystem Quality
Climate Change
Total
SO2 7.738,84 245,68 0 7.984,52
NOx 7.001,81 1.288,39 0 8.230,20
PM 429.935,80 0 0 429.935,80
CO2 35,62 0 40,54 76,16
Sumber : [19]
Gambar 11. Reduksi Emisi Pelabuhan Bitung
Hendra Palebangan dan Yanuar Warta Penelitian Perhubungan 2019, 31 (1):25-34
32
pengurangan emisi terendah. Total emisi tahunan dari semua kapal akan berkurang dari 9.128,4 ton menjadi 6.617,9 ton, sehingga menghasilkan keuntungan lingkungan sebesar 2.510,6 ton setiap tahun atau 28%.
3.3. Biaya Eksternalitas
Ada banyak metode studi yang dilakukan di negara lain untuk memperkirakan biaya eksternal polusi udara disebabkan emisi kapal. Oleh karena itu, tabel 12 [19] mengadopsi dan mengembangkan temuan tabel 14 Exiopol (2010) mencakup konversi EURO/USD pada tabel 11 dengan menghubungkan
terhadap aspek-aspek kesehatan, ekosistem dan perubahan iklim untuk menetapkan biaya eksternal emisi kapal, meskipun studi tersebut dilakukan di Eropa namun dapat digunakan sebagai sumber data yang bisa digunakan dalam penelitian ini. Dampak emisi kapal terhadap nilai aspek yang berdampak
pada nilai keuangan dapat digambarkan dalam tabel 13. Berdasarkan faktor biaya eksternal pada tabel 13 diatas, dapat dihitung total biaya eksternal emisi kapal dalam tabel 14.
4. Kesimpulan
Dari hasil analisis diatas menunjukkan kategori dan jumlah kapal menunjukkan hasil Analisis eksternalitas emisi kapal menunjukkan bahwa total emisi tahunan dari kapal akan berkurang dari 9.128 ton menjadi 6.617 ton, sehingga menghasilkan
keuntungan lingkungan sebesar 2.510 ton setiap
tahun atau 28%; Evaluasi biaya eksternalitas
menunjukkan bahwa emisi dari kapal-kapal jangkar dan sandar di Pelabuhan Bitung telah menempatkan biaya faktor eksternal sekitar 7.080.815 USD secara ekonomi terhadap Pelabuhan Bitung, masyarakat dan lingkungan; Angka yang digunakan untuk sejumlah kapal di pelabuhan dan jenis dan ukuran
kapal yang dipilih hanya berdasarkan sampel data trend perkembangan kapal bebahan bakar LNG di dunia. Oleh karena itu, total emisi, biaya eksternal akan meningkat berbanding lurus dengan bertambahnya jumlah kapal yang beroperasi di pelabuhan; Hasil persentase grafik antara bahan
bakar MGO dan LNG terlihat bahwa penggunaan reduksi emisi paling rendah dari empat polutan yang dievaluasi dalam studi ini, pengurangan emisi signifikan pada emisi S0x dan PM kemudian diikuti NOx dan CO yang menunjukkan pengurangan emisi terendah.
Ucapan Terima Kasih
Terima kasih penulis ucapkan kepada PT. Pelabuhan Indonesia Cabang Bitung, Sulawesi Utara yang telah memberikan data-data sekunder yang
diperlukan dalam kajian ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Yanuar, MSc dan semua pihak yang telah membantu dalam penelitian ini. Semoga informasi penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.
Daftar Pustaka
[1] Reza, “Terminal Penerima LNG dengan sistem
regasifikasi terpadu,” dalam Universitas Indonesia,
Depok, 2009.
[2] Mabote Elliot Motsoahole, Development of liquid
natural gas bunkering infrastructure in South African
ports, Sweden, 2014.
[3] F. Adamchack and A. Adebe, “LNG as Marine Fuel,”
dalam Paper presented at the 17th International
Conference and Exhibition of Liquefied Natural Gas,
USA, 2013.
[4] Aegesen, J, “ LNG bunkering infrastructure study,”
dalam Lloyds Register, Denmark, 2012.
[5] DNV GL, “Development and operating of LNG
bunkering facilities Recommended Practice,” 2014
October . [Online].
[6] American Bureau of Shipping (ABS), “Bunkering of
Liquefied Natural Gasfuelled Marine Vessels in North
America,” 2014.
[7] DNV, Navigational and Safety Risk Assessment for
Washington State Ferries, 2013.
[8] European Environment Agency (EEA), “The impact of
international shipping of European air quality and
climate forcing,” Copenhagen, Denmark, 2013.
[9] International Maritime Organization, Second IMO
GHG study 2009, London UK, 2009.
Tabel 13. Faktor Biaya Eksternal Per Ton (USD2019)
Pollutant Human
Helath
Ecosystem
Quality
Climate
Change
Total
SO2 7.281.54 231,16 0 7.512,70
NOx 6.558,06 1.115,80 0 7.743,86
PM 404.530 0 0 404.530
CO2 33,52 0 38,14 71,66
Sumber: Hasil olahan data
Tabel 14. Biaya Total Eksternal
Total
(Ton)
Exiopol
Biaya Eksternal
(USD)
CO2 8.790 71,66 629.891
NOx 179 7.743,86 1.386.151
SO2 149,7 7.512,70 1.124.651
PM 9,74 404.530 3.940.122
Biaya Total Eksternal 7.080.815
Sumber: Hasil olahan data
Warta Penelitian Perhubungan 2019, 31 (1):25-34 Hendra Palebangan dan Yanuar
33
[10] International Maritime Organization, “REPORT OF
THE MARINE ENVIRONMENT PROTECTION
COMMITTEE ON ITS FIFTY-THIRD SESSION,” 2005.
[11] Hendrajat, Muhammad, “Studi Experiment
Penggunaan Water Scrubber Untuk Meningkatkan
Kinerja Pada Sistem Exhaust Gas Recirculation (EGR)
Dalam Menurunkan NOx Pada Motor Diesel,” FKK
ITS, Surabaya, 2011.
[12] (DMA), Danish Maritime Authority, “North European
LNG Infrastructure Project: A feasibility study for an
LNG filling station infrastructure and test
recommendations,” Copenhagen, Denmark, 2012.
[13] Ferox, “http://www.chartindustries.com,” 2012.
[Online].
[14] O. Lavender, Dual Fuel Engine Latest Developments,
Hamburg, 2011.
[15] Patumpu Simamora, “Donggi Senoro LNG Project,”
Yogyakarta, 2014.
[16] PT.Pelindo, “Rencana pengembangan Pelabuhan
Makassar,bitung,balikpapan dan sorong,” 2012.
[17] ENTEC, “Defra UK Ship Emissions Inventory,” London
England, 2010.
[18] Jonsdottir,“http://www.lngbunkering.org/lng/enviro
nment/alternative-options,” 2013. [Online].
[19] Peksen, N.H, “A new approach for Turkish port to
reduce ship emissions,” Turky, 2013.
[20] Moll, S., Acosta, J., Giljum, S., Lutter, S, “A New
Environmental Accounting Framework Using
Externality Data And Input-Output Tools For Policy
Analysis,” 2010.
Warta Penelitian Perhubungan 2019, 31 (1): 35-46
http://dx.doi.org/10.25104/warlit.v31i1.827 0852-1824 / 2580-1082 ©2019 Sekretariat Badan Penelitian dan Pengembangan Perhubungan
Artikel ini open access dibawah lisensi CC BY-NC-SA (https://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0/) Terakreditasi Sinta (Peringkat 2), SK No 10/E/KPT/2019
Implementasi National Single Window (Airportnet) dalam Upaya Mendukung Pelayanan Kargo Udara di Bandar Udara
Soekarno Hatta – Cengkareng
Dina Yuliana*1 dan Kristiono Setyadi2
Puslitbang Transportasi Udara, Badan Litbang Perhubungan Jl. Medan Merdeka Timur No. 5, Jakarta Pusat 10110, Indonesia
E-mail: [email protected]
Diterima : 21 Januari 2019, disetujui: 27 Juni 2019, diterbitkan online: 28 Juni 2019
Abstrak
Direktur Jenderal Perhubungan Udara telah menyerahkan pelaksanaan dan tanggung jawab sistem layanan informasi arus barang ekspor dan impor di bandar udara (NSW-Airportnet) pada komite penanganan kegiatan sistem layanan informasi arus barang ekspor dan impor di bawah Kantor Otoritas Bandar Udara Soekarno Hatta. Tujuan dalam penelitian adalah untuk mengetahui pelaksanaan sistem National Single Window bandar udara (NSW-airportnet) dan persepsi warehouse dalam pelaksanaan sistem National Single Window (NSW) bandar udara (NSW-airportnet). Teknik pengambilan sampel menggunakan purposive sampling yang memenuhi kriteria expert judgement. Teknik analisis menggunakan CSI, Analisis Fish Bone dan metode USG. Hasil penelitian menunjukkan bahwa saat ini National Single Window Bandar Udara (NSW-airportnet) di Bandara Soekarno Hatta dalam kondisi tidak beroperasi. Penyebab tidak beroperasinya adalah person, system dan support sedangkan akar masalahnya yaitu tidak sinkronnya komunikasi data dan format data, kurangnya dukungan manajemen kerjasama dan stakeholder, tidak adanya integrasi data, warehouse sudah tidak menginput data, interkoneksi dan peralatan sudah mati, masih kurangnya komitmen petugas, belum adanya SOP pemeliharaan sistem airportnet, alokasi anggaran pemeliharaan dan perawatan masih berada di kantor pusat. Tingkat kesesuaian implementasi NSW Airportnet sebesar 47,5% dengan indeks kepuasan pelanggan (CSI) sebesar 42,78% (kurang puas).
Kata kunci: National Single Window (NSW), Bandar Udara, Warehouse, CSI, Analisis Fish Bone, Metode USG.
Abstract
Implementation of National Single Window (Airportnet) as an Attempt to Support Air Cargo Service in Soekarno Hatta Airport - Cengkareng: The Director General of Air Transportation has handed over the implementation and responsibility of the information service system for the exported and imported goods at the airport (NSW-Airportnet) to the service handling committee of information system on the export and import of goods under Authority Office of Soekarno Hatta Airport. The purpose of the study was to determine the implementation of National Single Window airport (NSW-airportnet) system and the perception of the warehouse in the implementation of an National Single Window (NSW) system of the airport (NSW-airportnet). The sampling collection technique used purposive sampling that met the criteria of expert judgment. Analysis techniques used CSI, Fish Bone Analysis, and USG Method. The results of the study indicate that the National Single Window Airport (NSW-airportnet) at Soekarno Hatta Airport is currently in an inoperative condition. The causes for inoperative condition is the person, system and support; meanwhile, the root problem is data communication and non-synchronous data formats, lack of the support from management cooperation and stakeholders, data integration are unavailable, warehouse has not yet inputted the data, interconnection and equipment are inactive, lack of staff commitment, no SOP of airportnet maintainance system, the maintenance and maintenance budget allocation is still at the head office. The conformity level of NSW Airportnet implementation is 47.5% with the customer satisfaction index (CSI) of 42.78% (less satisfied).
Keywords: National Single Window (NSW), Airport, Warehouse, CSI, Fish Bone Analysis, USG Method.
1. Pendahuluan
National Single Window (NSW) merupakan salah satu bentuk sistem perdagangan untuk memperbaiki dan mempersingkat waktu pengurusan prosedur ekspor-impor. Proses pembentukan ASEAN Single
Window (ASW) didahului oleh keharusan bagi setiap anggota ASEAN untuk membentuk NSW, yaitu suatu
sistem tunggal dalam pengumpulan, pemrosesan,
dan pengambilan keputusan yang berkaitan dengan data dan informasi custom clearance of cargo. Jadi, ASW merupakan sebuah integrasi dari sepuluh NSW negara-negara ASEAN diharapkan akan bisa mengurangi waktu dan biaya-biaya transaksi (transaction time and costs) sehingga mampu
meningkatkan efisiensi dan daya saing. Selain itu
Dina Yuliana dan Kristiono Setyadi Warta Penelitian Perhubungan 2019, 31 (1): 35–46
36
ASW bertujuan untuk meningkatkan kinerja
penanganan lalu lintas barang diantara negara anggota ASEAN, yang bertujuan dan mendorong percepatan dari proses custom clearance dan cargo release [1].
Indonesia National Single Window (INSW) adalah sistem nasional Indonesia yang
memungkinkan dilakukannya suatu penyampaian data dan informasi secara tunggal, pemrosesan data dan informasi secara tunggal dan sinkron, pembuatan keputusan secara tunggal untuk pemberian izin kepabeanan dan pengeluaran barang [2]. Dasar pembentukan PP-INSW adalah Peraturan Presiden
Nomor 76 Tahun 2014 tentang Pengelola Portal Indonesia National Single Window. Penanganan dokumen kepabeanan, perizinan, dan dokumen lainnya yang berkaitan dengan kegiatan ekspor dan/atau impor secara elektronik dilakukan melalui Portal INSW. Pengelola Portal INSW merupakan
satuan kerja yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri Keuangan. Dengan portal INSW, pelaku usaha mendapat kepastian, transparansi dan akuntabilitas dalam pelayanan dan pengawasan barang. Selain itu, INSW juga mengurangi biaya transaksi melalui efisiensi waktu
dan biaya proses penanganan dokumen kepabeanan dan pengeluaran barang (customs release and clearance cargoes). Adanya INSW juga mempermudah pengawasan pelaksanaan kebijakan perdagangan dalam rangka meningkatkan daya saing nasional, kemudahan investasi dan memfasilitasi
perdagangan dalam persaingan global, termasuk optimalisasi penerimaan negara dan perolehan devisa.
Portal INSW saat ini telah dilakukan penerapan secara mandatori untuk pelayanan impor dan ekspor secara live (7x24jam). Portal INSW sudah
mengintegrasikan layanan perijinan ekspor impor dari 15 Kementerian/Lembaga (terdiri dari 18 unit) dan sudah digunakan untuk memproses layanan sebanyak rata-rata lebih dari 1 juta dokumen impor (PIB) dan lebih dari 1,5 juta dokumen ekspor (PEB) per tahun. Integrasi Sistem INSW Ekspor difokuskan
pada lima instansi pemerintah pemberi izin ekspor-impor terkait, yaitu Direktorat Jendral Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Badan Pemeriksaan Obat dan Makanan (BPOM), Badan Karantina Kementrian Pertanian dan Pusat Karantina Perikanan
(Kementrian Kelautan dan Perikanan) [3]. Salah satu
peluang yang dapat dimanfaatkan Indonesia adalah meningkatkan pangsa pasar dalam perdagangan internasional.
Pada Tahun 2013, sistem NSW Bandar Udara telah diresmikan sebagai perwujudan dari tindak
lanjut komitmen para pemimpin negara-negara ASEAN dalam Declaration of ASEAN Concord II dalam meningkatkan layanan arus barang ekspor dan impor
dari dan ke bandar udara. Sistem pelayanan secara
elektronik yang terintegrasi ini menghasilkan pengelolaan data dan informasi berupa cargo tracking dan status, flight informaton system (FIS), daftar timbun, rute penerbangan, dan flight approval (FA). Implementasi NSW pada awal peresmiannya melibatkan beberapa unit kerja diantaranya Ditjen
Perhubungan Udara, Komunitas Bandar Udara dan stakeholder warehousing seperti PT. Unex Kargo, PT. Gapura Kargo, PT. Garuda Kargo, dan PT. JAS Kargo. Fungsi utama sistem NSW ini adalah menyediakan akses terpadu terhadap informasi status kargo bagi komunitas bandar udara, memudahkan kantor
otoritas bandar udara, agent, shipper, dan consignee dalam memantau cargo release [4].
Integrasi antara sistem publik dan swasta perlu dilakukan secara harmonis pada perdagangan dan transportasi. Sistem single window perlu dikembangkan berdasarkan standar yang kompatibel
mengenai proses logistik, antarmuka (interfaces) dan konten informasi. Kerjasama antara beberapa nasional dan regional single window memberikan solusi dalam menyederhanakan sistem didasarkan pada pengembangan kerangka kerja terpadu dan metodologi yang kompatibel. Selain itu, integrasi
berbagai sistem pihak ketiga ke dalam system national single window akan lebih efisien karena didasarkan pada latar belakang metodologis terpadu, dan penerapan secara sistematis [5].
Strategi yang diambil oleh Strategic Business Unit (SBU) terminal kargo PT. Angkasa Pura I
(Persero) yang untuk peningkatan kemananan kargo udara dengan peningkatan jumlah personel, peningkatan kerjasama (partnership) antara perusahaan pengangkutan kargo, swasta dan pemerintah dalam pengadaan sistem perangkat komunikasi pengamanan kargo di wilayah operasi/
terminal kargo bandar udara [6][6]. Proses pengiriman kargo masih banyak yang menggunakan pesawat kombi (pesawat yang mengangkut penumpang serta barang), dan jarang dikirim dengan menggunakan pesawat khusus kargo (freighter). Berdasarkan existing service blueprint cargo process,
dapat diketahui standar alur proses pengananan kargo dan moment of truth dari proses yang ada.
Pihak–pihak terlibat dalam pelayanan penanganan
kargo di terminal kargo Bandara Soekarno Hatta antara lain PT Angkasa Pura II, Perusahaan Airport Services, Carrie, Freight Forwader (Agent), Kurir, Custom, dan Regulated Agent [7].
Penerapan sistem INSW mampu mempercepat pelayanan, sebelum diterapkan petugas bea cukai, importir/eksportir, serta instansi penerbit ijin ekpor impor dalam pemrosesan dokumen ekspor dan impor
memerlukan waktu 3 hari, selain itu mereka juga mengalami kesulitan dalam mengidentifkasi penerbitan ijin ekspor/impor. Setelah diimplementasikannya Sistem INSW, proses
Warta Penelitian Perhubungan 2019, 31 (1): 35–46 Dina Yuliana dan Kristiono Setyadi
37
penerbitan ijin impor dari instansi terkait dengan
dokumen impor yang dikirim oleh pihak importir bisa langsung diproses sehingga dapat selesai lebih cepat. Instansi pemberi ijin impor telah menginput ijin yang dikeluarkan terkait importir tertentu pada sistem INSW, sehingga menghasilkan data yang valid. Dokumen perijinan dapat langsung dicek di dalam
sistem INSW. Dengan demikian, frekuensi bertemu antara petugas dan pihak eksportir/importir dapat dikurangi [8].
Implementasi INSW melalui pendekatan Business Intelegent System (BIS) pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dapat meningkatkan
kelancaran arus barang ekspor dan impor hal ini dapat dilihat dari jumlah volume ekspor dan impor yang meningkat setelah INSW diimplementasikan. Komitmen manajemen dan kualitas data berpengaruh positif terhadap implementasi INSW dengan pendekatan BIS pada Direktorat Jenderal Bea
dan Cukai [9].
Sebelum INSW diimplikasikan, PT. Otsuka Indonesia Malang membutuhkan waktu yang lama dalam pengurusan perizinan barang impor karena prosesnya masih manual, informasi yang diberikan tidak satu pintu, dan ada biaya tambahan dalam
pengurusan dokumen perizinan. Namun setelah implementasi INSW banyak keuntungan yang diperoleh antara lain penanganan barang impor lebih cepat, informasi yang diberikan satu pintu yaitu melalui portal INSW, dan tidak ada biaya tambahan untuk pengurusan biaya dokumen perizinan barang
impor [10].
Konsep single window tidak kompatibel di Sri Langka [11]. Tantangan terbesar dalam pelaksanaan single window di Sri Langka antara lain yaitu kurangnya dukungan pemerintah, tidak ada koordinasi antara stakeholder, belum adanya
kesadaran dan kemampuan organisasi serta SDM terhadap perubahan sistem. Tantangan yang dihadapi pemerintah dan pengambil keputusan adalah mereka harus secara aktif mengambil bagian dalam penciptaan kemauan politik dan kolaborasi antar lembaga.
Evaluasi penerapan sistem single window dengan mengambil studi kasus di Biro Kepabeaan Filipina, Georgia dan Qatar [12]. Pengenalan sistem single window di beberapa instansi tersebut telah berhasil menurun korupsi dengan mengurangi kontak langsung antara petugas bea cukai dan
perusahaan; meningkatkan transparansi kepabeaan dengan meningkatkan aksesibilitas informasi yang relevan; dan pengetatan akuntabilitas kepabeaan melalui elektronik audit dari semua proses. Implementasi single window di negara berkembang dapat menjamin pengaruh positif dalam memerangi
korupsi di bea cukai.
Pada Tahun 2010 telah dilakukan studi kelayakan
proyek percontohan single window untuk informasi perdagangan luar negeri dengan lokasi di Federasi Rusia antara Kementerian Pembangunan Ekonomi dan Luar Negeri - Rusia, Federal Customs Service, Kamar Dagang dan Industri dari Federasi Rusia dan Kota Moskow, pemangku kepentingan Bandara
Vnukovo dengan Komisi Ekonomi PBB untuk Eropa (UNECE) [13]. Tujuannya untuk menentukan kelayakan single window ekspor dan impor clearance untuk kargo udara di Bandara Vnukovo. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan single window akan membuka berbagai macam perbaikan
proses perizinan kargo udara impor dan ekspor di Bandara Vnukovo bagi instansi pemerintah dan komunitas bisnis. Proses yang panjang dalam proses pengumpulan data dan pengolahan informasi dapat dicegah dengan penggunaan electronic single window (SEW) dalam proses clearance. Hal ini dapat
dilihat dari perbandingan layanan di Bandara Vnukovo dan Bandara Schiphol Amsterdam. Bandara Vnukovo masih menggunakan banyak kertas dalam pertukaran informasi dan waktu proses (dwelling time) impor dengan lama layanan antara 24 dan 72 jam. Sedangan Bandara Amsterdam menggunakan
informasi elektronik dalam pertukaran data dengan waktu proses (dwelling time) rata-rata 2 sampai 8 jam.
Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara Nomor: KP 121 tahun 2012 tentang Sistem Pelayanan Informasi Arus Barang
Ekspor dan Impor Secara Elektronik di Bandar Udara Internasional Soekarno Hatta (national single window bandar udara/NSW-airportnet), Direktur jenderal perhubungan udara melimpahkan kewenangan dan tanggung jawab pelaksanaan sistem pelayanan informasi arus barang ekspor dan impor
secara elektronik di Bandar Udara Internasional Soekarno Hatta (NSW-Airportnet) kepada komite penanganan kegiatan sistem layanan informasi arus barang ekspor dan impor dibawah Kantor Otoritas Bandar Udara. Dengan demikian Kantor Otoritas Bandar Udara melakukan koordinasi dengan semua
unit kerja pelayanan kargo ekspor dan impor di Bandar Udara Internasional Soekarno Hatta.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut: bagaimana pelaksanaan sistem National Single Window bandar udara (NSW - airportnet) dan
persepsi warehouse dalam pelaksanaan sistem national single window bandar udara (NSW -
airportnet)?. Tujuan penelitian adalah untuk
mengetahui pelaksanaan sistem national single window bandar udara (NSW - airportnet) dan mengetahui persepsi warehouse dalam pelaksanaan sistem national single window bandar udara (NSW - airportnet).
Dina Yuliana dan Kristiono Setyadi Warta Penelitian Perhubungan 2019, 31 (1): 35–46
38
2. Metodologi
Penelitian dilaksanakan selama 6 (enam) bulan dari bulan Juli 2017 sampai dengan bulan Desember 2017. Penelitian dilaksanakan pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Transportasi Udara dengan
mengambil survey di Bandara Soekarno Hatta dan
Pelabuhan Tanjung Perak – Surabaya.
Dalam penelitian ini metode penelitian deskriptif digunakan untuk mengambarkan peran instansi yang memiliki kewenangan dalam penerapan NSW bandar
udara (NSW-airportnet). Penelitian desktiptif dilakukan untuk mengetahui nilai variabel mandiri untuk satu variabel atau lebih (independen) dengan tidak membuat perbandingan atau menghubungkan dengan variabel yang lain [14]. Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan sekunder.
Pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara dengan instansi terkait yang ada di bandar udara yaitu Otoritas Bandar Udara Soekarno
Hatta, PT. Pelindo III Tanjung Perak – Surabaya, PT.
Unex Kargo, PT. Gapura Kargo, PT. Garuda Kargo, PT. JAS Kargo, Bea Cukai Bandara Soekarno Hatta dan Bea
Cukai Pelabuhan Tanjung Perak – Surabaya. Data
sekunder yang diperlukan diambil dari instansi tersebut.
Pengumpulan dan penilaian data melalui pengisian kuesioner terhadap pejabat dan pegawai
terkait dengan obyek penelitian. Pengumpulan data meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dan pengamatan langsung di lapangan. Data sekunder yang dikumpulkan meliputi data kualitatif dan kuantitatif. Responden yang diwawancarai adalah para pakar
terkait yang berkompeten terhadap penerapan national single windows bandar udara (NSW -airportnet). Pemilihan responden dilakukan secara
purposive sampling, agar diperoleh hasil wawancara
yang memenuhi kriteria expert judgement.
Berdasarkan gambar 1. Proses penelitian dimulai dari merumuskan latar belakang permasalahan penelitian bagaimana pelaksanaan sistem national single window bandar udara (NSW - airportnet) di Bandara Soekarno Hatta. Studi pustaka dilaksanakan
untuk mengetahui pelaksanaan NSW pada beberapa bidang pekerjaan guna menambah wawasan dan pendalaman materi penelitian ini. Kegiatan prasurvey dilaksanakan untuk menghimpun dan menginventarisasi permasalahan dalam pelaksanaan airportnet di Bandara Soekarno Hatta. Pelaksanaan
survey penelitian dilaksanakan untuk mengetahui persepsi pengguna airportnet, kendala dalam pelaksanaan airportnet dan melaksanakan studi banding untuk mengetahui penerapan NSW di pelabuhan. Selanjutnya data lapangan ini dipergunakan untuk bahan analisis penelitian.
2.1. Teknik Analisis Data
Fishbone diagram digunakan untuk mencari unsur penyebab yang diduga dapat menimbulkan masalah [15]. Diagram ini sering disebut dengan diagram tulang ikan karena menyerupai bentuk susunan tulang ikan. Bagian kanan dari diagram
biasanya menggambarkan akibat atau permasalahan sedangkan cabang-cabang tulang ikannya menggambarkan penyebabnya. Pada umumnya bagian akibat pada diagram ini berkaitan dengan masalah kualitas [15]. Sedangkan unsur-unsur penyebab biasanya terdiri dari faktor-faktor manusia,
material, mesin, metode, dan lingkungan. Dengan demikian kegunaan dari diagram ini adalah untuk menemukan faktor-faktor yang merupakan sebab pada suatu masalah. Untuk menentukan faktor-faktor yang berpengaruh, ada lima faktor utama yang harus diperhatikan yaitu manusia, material, metode,
mesin, anggaran/uang dan lingkungan.
Beberapa faktor penyebab utama dalam penanganan bagasi yang ditemui dilapangan akan dipilih satu faktor penyebab yang paling dominan atau yang menjadi permasalahan pokok dengan menggunakan metode/kriteria USG (Urgency, Seriousness and Growth) [16]. Masing-masing faktor penyebab utama tersebut akan diberikan penilaian berdasarkan tiga kriteria yaitu tingkat kegawatan (urgency), mendesaknya (seriousness) dan pertumbuhan (growth) perkiraan bertambah buruknya suatu keadaan dibandingkan dengan keadaan
sebelumnya/sekarang. Penilaian menggunakan skala likert yang dimulai dari angka 1 sampai dengan angka 5 yang memiliki pengertian: 1 bernilai sangat kecil/rendah pengaruhnya; 2 bernilai kecil pengaruhnya; 3 bernilai sedang/ cukup pengaruhnya; 4 bernilai besar/ tinggi pengaruhnya; 5
bernilai sangat besar/ tinggi pengaruhnya.
Gambar 1. Diagram Alir Proses Penelitian
Warta Penelitian Perhubungan 2019, 31 (1): 35–46 Dina Yuliana dan Kristiono Setyadi
39
Importance-Performance Analysis (IPA) adalah
sebuah teknik analisis Importance-Performance Analysis yang digunakan untuk mengetahui kesenjangan antara kinerja dengan harapan dari produk layanan dan Customer Satisfaction Index (CSI) yang digunakan untuk menganalisis tingkat kepuasan pelanggan secara keseluruhan. Dalam
konsep IPA diformulasikan 5 dimensi yaitu tangible, realibility, responsibility, assurance dan empathy [17]. Salah satu ciri khas dari indeks kepuasan pelanggan yang dihasilkan oleh ServQual ini adalah perhitungan berdasarkan analisis kesenjangan (gap). Hal ini dapat terjadi karena responden ditanyakan
dua kali untuk setiap produk layanan, yaitu harapan dan persepsinya.
Bertitik tolak dari batasan yang telah dibuat maka kepuasan pelanggan adalah selisih antara apa yang dialami/diterima (persepsi) dengan apa yang diinginkan (harapan). Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa tingkat kepuasan pelanggan ditentukan oleh besarnya gap antara persepsi dengan harapan. Semakin kecil gap ini semakin baik tingkat kepuasan yang dirasakan pelanggan.
IPA terdiri atas dua kemponen yaitu, analisis kuadran dan gap. Dengan analisis kuadran dapat
diketahui respon konsumen terhadap produk layanan yang diplotkan berdasarkan tingkat kepentingan dan kinerja dari produk layanan tersebut. Sedangkan gap digunakan untuk melihat kesenjangan antara kinerja suatu produk layanan dengan harapan konsumen terhadap produk layanan
tersebut. Setelah diperoleh bobot kinerja dan kepentingan produk layanan serta nilai rata-rata kinerja dan kepentingan produk layanan, kemudian nilai-nilai tersebut diplotkan ke dalam diagram kartesius seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.
Diagram ini terdiri atas empat kuadran: 1).
Kuadran A (Prioritas Utama). Kuadran ini memuat sistem NSW yang dianggap penting oleh penggunajasa tetapi pada kenyataannya layanan NSW tersebut belum sesuai dengan harapan. Tingkat kinerja dari Sistem NSW tersebut lebih rendah daripada tingkat harapan pengguna jasa terhadap
layanan NSW tersebut. Layanan NSW yang terdapat dalam kuadran ini harus lebih ditingkatkan lagi kinerjanya agar dapat memuaskan pengguna jasa. 2). Kuadran B (pertahankan prestasi). Layanan NSW yang terdapat dalam kuadran ini menunjukkan bahwa layanan NSW tersebut penting dan memiliki
kinerja yang tinggi. Layanan NSW ini perlu dipertahankan untuk waktu selanjutnya. 3). Kuadran C (prioritas rendah). Layanan NSW yang terdapat dalam kuadran ini dianggap kurang penting oleh pengguna jasa dan pada kenyataannya kinerjanya tidak terlalu istimewa. Peningkatan terhadap layanan
NSW yang masuk dalam kuadran ini dapat dipertimbangkan kembali karena pengaruhnya terhadap manfaat yang dirasakan oleh pengguna jasa
sangat kecil. 3). Kuadran D (berlebihan). Kuadran ini memuat layanan NSW yang dianggap kurang penting oleh pengguna jasa dan dirasakan terlalu berlebihan. Peningkatan kinerja pada layanan NSW yang terdapat
pada kuadran ini hanya akan menyebabkan terjadinya pemborosan sumber daya.
Selanjutnya dilakukan analisis CSI digunakan untuk mengetahui tingkat kepuasan pengguna jasa secara menyeluruh dengan melihat tingkat kepentingan dari layanan NSW. Pada umumnya, bila
nilai CSI di atas 50 persen dapat dikatakan bahwa pengguna jasa sudah merasa puas sebaliknya bila nilai CSI di bawah 50 persen pengguna jasa belum dikatakan puas. Nilai CSI dalam penelitian ini dibagi ke dalam lima kriteria mulai dari tidak puas sampai dengan sangat puas.
2.2. Definisi Operasional
Populasi/Sampel adalah pengguna jasa di Bandara Soekarno Hatta yang sudah pernah menggunakan sistem NSW; Tangible atau bukti fisik yaitu kemampuan pengelola sistem NSW dalam menunjukkan eksistensinya kepada pihak pelanggan
yang meliputi: dukungan pemerintah terhadap pelaksanaan NSW Airpornet, pembanguan infrastruktur (peralatan dan fasilitas) sistem NSW Airportnet dan ketersediaan perangkat fasilitas jaringan internet pada penerapan NSW Airpornet; Reliability atau keandalan yaitu kemampuan
pengelola sistem NSW untuk memberikan pelayanan sesuai yang dijanjikan secara akurat dan terpercaya yaitu penyediaan sumber daya manusia/personel yang handal di bidang telnologi informasi terhadap penerapan NSW Airpornet; Responsiveness atau
Tabel 1. Kriteria Nilai Customer Satisfaction Index
Nilai CSI Kriteria CSI
0,81-1,00 Sangat Puas
0,66-0,80 Puas
0,51-0,65 Cukup Puas
0,35-0,50 Kurang Puas
0,00-0,34 Tidak Puas
Sumber: [18]
Gambar 2. Kuadran Importance-Performance Analysis
Dina Yuliana dan Kristiono Setyadi Warta Penelitian Perhubungan 2019, 31 (1): 35–46
40
ketanggapan yaitu suatu kemauan untuk membantu
dan memberikan pelayanan yang cepat (responsive) dan tepat kepada pengguna jasa, dengan penyampaian informasi yang jelas yaitu kecepatan akses informasi penanganan barang ekspor/impor; Assurance atau jaminan dan kepastian yaitu pengetahuan, kesopansantunan dan kemampuan
para pengelola sistem NSW untuk menumbuhkan rasa percaya para pelanggan kepada perusahaan yaitu meliputi kemampuan pegawai/petugas dalam penerapan nsw airpornet, kemudahan akses informasi penanganan barang eksport/import dan efektifitas dan efisiensi sumber daya pada penerapan
NSW Airportnet; Kepuasan pengguna jasa adalah perasaan senang atau kecewa seseorang yang muncul setelah membandingkan antara persepsi/kesannya terhadap kinerja atau hasil suatu pelayanan dan harapannya.
3. Hasil dan Pembahasan
Konsep awal adanya NSW Bandar Udara pengintegrasian secara online berkenaan dengan kegiaatan pengelolaan gudang barang/kargo melalui bandar udara yang dalam bekerja melibatkan
beberapa instansi pemerintah dan komunitas bandar udara terkait. Dasar pembentukan NSW Bandar Udara yaitu: Undang-undang RI No. 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan; Keputusan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor Kep-04/M.EKON/02/2008 tentang Tim Persiapan National
Single Window (NSW); Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2012 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Penggunaan Sistem Elektronik Dalam Kerangka Indonesia National Single Windows; Peraturan Dirjen Hubud No.121 Tahun 2012 tentang Sistem Pelayanan
Informasi Arus Barang Ekspor dan Impor secara Elektronik di Bandar Udara International Soekarno Hatta (NSW-Airportnet); Agreement to establish and implement the ASW; Standar bisnis proses / IATA RULES yang diterbitkan oleh IATA; Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 76 Tahun 2014 tentang
Pengelola Portal Indonesia National Single Window; PMK nomor 138 tahun 2015 tentang organisasi pengelola portal INSW tersebut telah ditetapkan dengan sebutan Satuan Kerja PP-INSW.
National single windows bandar udara (NSW-Airportnet) dalam pelaksanaannya melibatkan
beberapa instansi pemerintah dan komunitas bandar udara terkait dengan pengelolaan gudang. Instansi pemerintah yang mengeluarkan perizinan dalam hal arus barang/kargo dapat terintegrasi secara online dalam satu portal sehingga memudahkan dalam pelayanan kargo/barang kargo, saat ini yang
terintegrasi national single windows (NSW) bandar udara Gapura Angkasa Kargo, Garuda Kargo, Unex Kargo dan Jasa Angkasa Semesta Kargo. Perangkat penunjang dalam system airportnet antara lain:
PC/workstation, local area network (LAN), server hub/node, server utama, server backup, server CMS, application programming interface (API), firewall dan Internet.
Tabel 2 menunjukkan hasil analisis lapangan pelaksanana National Single Windows Bandar Udara Soekarno Hatta (NSW-Airportnet). Berdasarkan hasil
pengamatan dilapangan infrastruktur dalam hal ini server yang berada di Gapura Angkasa Kargo, Garuda Kargo, Unex Kargo dan Jasa Angkasa Semesta Kargo sudah tidak beroperasi lagi (off) dan aplikasi yang berada di sekretariat kondisi sudah tidak terawat dengan baik (mati).
Beberapa kendala pelaksanaan sistem NSW
airportnet antara lain: Data dari kargo – message
IATA yang selalu berubah format sehingga tidak bisa diterjemahkan oleh sistem NSW bandar udara; Sistem yang dimiliki gudang berbeda-beda sesuai
kebijakan pemiliknya dan versi softwarenya berubah terus, sementara NSW harus terus menyesuaikan; Kekhawatiran pemilik gudang terhadap kerahasiaan data apabila terkoneksi dengan NSW; Kurangnya pendanaan dalam penunjang aktivitas NSW; Edukasi yang kurang terhadap stakeholders terkait; Double
pekerjaan saat mengirim data ke NSW dan custom sehingga terjadi redundansi; Ketidakcocokan komunikasi data sehingga warehouse diharuskan membuat aplikasi baru; Tidak adanya atau kurangnya SDM berkualitas untuk menjalankan NSW di masing-masing pihak; Fasilitas dan peralatan utama serta
penunjang yang kurang bagus.
3.1. Hasil Analisis Data
Tingkat kesesuaian (TK) dari masing-masing
indikator yang diteliti dapat terlihat dalam Tabel 3.
Berdasarkan tabel 3, dapat dilihat bahwa rata-rata
tingkat kesesuaian semua indikator yang diteliti
Tabel 2. Hasil Implimentasi Eksisting National Single
Windows Bandar Udara (NSW-Airportnet)
Uraian Hasil Evaluasi
DJAU
Hasil Observasi
Portal Website Aplikasi Up Off
Aplikasi Komunikasi dan member
Up Off
Single Sign On Up Off
Aplikasi SMS Down Off
Aplikasi Mobile Down Off
Aplikasi Mail Down Off
Aplikasi Helpdesk Down Off
Aplikasi Eksekutif Down Off
Sosialisasi Belum Maksimal
Tidak Ada
Sumber: Hasil analisis, 2017
Warta Penelitian Perhubungan 2019, 31 (1): 35–46 Dina Yuliana dan Kristiono Setyadi
41
ternyata masih dibawah 50%, tingkat kesesuaian
rata-rata adalah sebesar 47,5%, dengan tingkat
kesesuaian tertinggi dicapai indikator kemampuan
pegawai/petugas dalam penerapan NSW Airpornet
dengan tingkat kesesuaian 60,00 %, sedangkan
tingkat kesesuaian yang terendah adalah dukungan
pemerintah terhadap pelaksanaan NSW airpornet,
pembanguan infrastruktur (peralatan dan fasilitas)
sistem NSW Airportnet dan ketersediaan perangkat
fasilitas jaringan internet pada penerapan nsw
airpornet dengan tingkat kesesuaian sebesar 40,00
%. Nilai Indeks Kepuasan Pelanggan (Customer
Satisfaction Index-CSI) sebesar 42,78% atau berada
pada rentang nilai CSI 30 % - 55,99 %, yang berarti
tingkat kepuasan pengguna NSW Airportnet secara
keseluruhan berada dalam kategori kurang puas.
Setelah dilakukan perhitungan pada tabel 3, akan dianalisis dengan diagram kartesius IPA dari
rata-rata skor tingkat kepentingan seluruh indikator
(Y̿) dan rata-rata dari rata-rata skor kinerja seluruh
indikator (X̿), yang merupakan garis perpotongan
yang membagi kuadran tersebut dalam 4 (empat) bidang, dimana hasil perhitungannya adalah pada
gambar 4.
Berdasarkan diagram kartesius gambar 4 dapat
dijelaskan bahwa: Tiga atribut berada di dalam kuadran A yaitu dukungan pemerintah terhadap pelaksanaan NSW Airpornet, pembanguan infrastruktur (peralatan dan fasilitas) system NSW Airportnet dan ketersediaan perangkat fasilitas jaringan internet pada penerapan NSW Airpornet.
Ketiga atribut tersebut memiliki tingkat harapan yang tinggi di atas rata-rata tetapi nilai kinerja yang dirasakan masih di bawah nilai rata-rata. Pengelola NSW Airportnet harus memprioritaskan kinerjanya
Gambar 3. Diagram Pelaksanaan National Single
Windows Bandar Udara (NSW-Airportnet) Eksisting.
Sumber: [19]
Tabel 3. Tingkat Kesesuaian, Perhitungan Tingkat
Kepentingan dan Kinerja Layanan NSW Airpornet
Indikator Rata2
kinerja Rata2
Harapan Tingkat
kesesuaian
Be
rwu
jud
Dukungan Pemerintah Terhadap Pelaksanaan NSW Airpornet
2 5 40%
Pembanguan infrastruktur (peralatan dan fasilitas) system NSW Airportnet
2 5 40%
Ketersediaan Perangkat fasilitas jaringan internet pada penerapan NSW Airpornet
2 5 40%
Ke
ha
nd
ala
n
Penyediaan sumber daya manusia/personel yang handal di bidang telnologi informasi terhadap penerapan NSW Airpornet
2 4 50%
Da
ya
Ta
ng
ga
p Kecepatan akses
Informasi Penanganan barang Eksport/Import 2 4 50%
Jam
ina
n
Kemampuan Pegawai/petugas dalam penerapan NSW Airpornet
3 5 60%
Kemudahan akses Informasi Penanganan barang Eksport/Import
2 4 50%
Efektifitas dan efisiensi sumber daya pada penerapan NSW Airportnet
2 4 50%
Nilai Rata-rata 2,13 4,5 47,50%
Nilai CSI 42,778
Sumber: hasil perhitungan, 2017
Gambar 4. Diagram Kartesius IPA
Dina Yuliana dan Kristiono Setyadi Warta Penelitian Perhubungan 2019, 31 (1): 35–46
42
pada kuadran ini karena atribut yang berada di sini
diharapkan ada oleh pengguna NSW Airportnet tetapi kinerja dirasa kurang.
Satu atribut berada di kuadran B yaitu kemampuan pegawai/petugas dalam penerapan NSW Airpornet. Atribut ini merupakan kekuatan bagi pelaksanaan NSW Airportnet sehingga harus
dipertahankan kinerjanya. Selanjutnya terdapat empat atribut berada di kuadran C yang terdiri dari penyediaan sumber daya manusia/personel yang handal di bidang teknologi informasi terhadap penerapan NSW Airportnet, kecepatan akses informasi penanganan barang eksport/ import,
kemudahan akses informasi penanganan barang eksport/ import dan efektifitas dan efisiensi sumber daya pada penerapan NSW Airportnet. Keempat atribut di atas mengindikasikan bahwa kinerja atribut yang berada pada diagram ini di bawah kinerja rata-rata/kinerja yang rendah. Dalam
penelitian ini tidak ada atribut yang berada di dalam kuadran D.
Berdasarkan hasil wawancara mendalam yang dilakukan dengan pihak pengelola NSW airportnet, maka dapat diperoleh beberapa akar permasalahan terkait pelaksanaan/penerapan NSW Airportnet di
Bandara Soekarno Hatta Cengkareng, Tangerang (gambar 5).
Berdasarkan Gambar 5, dapat diketahui bahwa faktor-faktor yang menyebabkan NSW Airportnet tidak berjalan, yaitu dari segi manusia (man), bahan baku (material), cara kerja (methode), teknologi
(machine), money dan lingkungan (environment).
3.1.1. Tenaga kerja atau pekerjaan fisik (man power)
Jumlah dan kemampuan petugas masih kurang
dalam melakukan pengoperasian NSW Airportnet diantaranya mengontrol penginputan data penyesuaian data yang masuk dari warehouse, melakukan pemeliharaan dan upgrating sistem informasi serta status kepegawaian ganda (rangkap jabatan sebagai inspektor). Status kepegawaian yang
rangkap mengakibatkan kurangnya komitmen mereka terhadap tugas tambahan yang dibebankan kepada mereka.
3.1.2. Metode atau proses
Saat ini belum ada SOP (Standard Operasional Procedure) dan SMP (Standard Maintenance Procedure) untuk pemeliharaan system airportnet, hal ini mengakibatkan system airpotnet tidak terawat hal ini mengakibatkan fasilitas dan peralatan yang ada di kantor NSW (seperti: server) mati. Selain itu
tidak adanya dukungan management dalam hal kerjasama dengan stackholder Bea cukai, airline, Angkasa Pura II, Cargo, Direktorat Jendral Perhubungan Udara dalam bentuk MOU mengakibatkan proses pelaksanaan dan penerapan NSW di bandara tidak sesuai yang diharapkan
sehingga proses pengaturan, pengawasan dan pengendalian pergerakan barang / kargo di bandar udara melalui aplikasi NSW-Airportnet tidak berjalan. Selain itu system NSW Airportnet tidak berjalan dikarenakan proses input data dari warehouse tidak jalan dan Integrasi data tidak ada.
3.1.3. Material (termasuk raw material, consumption, dan informasi)
Setelah dilakukan studi banding terkait dengan penerapan INSW yang ada di instansi lain, dilihat dari material yang digunakan dalam penerapan sistem NSW Airportnet masih belum memadainya
perencanaan dan ketersediaan data, belum singkronnya komunikasi dan format data, serta masih terbatasnya jumlah fasilitas dan peralatan mengakibatkan system NSW Airportnet tidak berjalan dengan baik (off).
3.1.4. Mesin atau teknologi (machine)
Perkembangan teknologi yang semakin maju dan canggih tidak sejalan dengan kemampuan peralatan/komputer, interkoneksi dan peralatan yang berada di Kantor NSW Airportnet maupun di warehouse. Kondisi peralatan saat ini sudah tidak beroperasi lagi (off) hal ini diakibatkan karena tidak
adanya pemeliharaan peralatan dan tidak adanya back up server.
3.1.5. Lingkungan (environment)
Kantor NSW Airportnet yang berada di belakang Kantor Otorita Bandara Wilayah I Bandara Soekarno Hatta, hal in masih kurang strategis karena posisi
Kantor NSW Airportnet berada dekat dengan gudang dan tempat parkir kendaraan. Hal ini berdampak kurangnya keamanan dan tak terlihat oleh publik. Ruangan kerja yang sempit (2 lantai total luas tidak lebih 60 m2) mengakibatkan kurang nyaman sebagi tempat meletakkan server/ komputer.
3.1.6. Money
Saat ini alokasi anggaran pemeliharaan dan perawatan berada Kantor Pusat c.q Direktorat Angkutan Udara sedangkan pelaksanaan/lokasi NSW Airportnet berada di bawah Kantor Otorita Bandara
Wilayah I Bandara Soekarno Hatta – Cengkareng.
Gambar 5. Diagram Diagram Tulang Ikan (Fishbone Diagram)
Warta Penelitian Perhubungan 2019, 31 (1): 35–46 Dina Yuliana dan Kristiono Setyadi
43
Berdasarkan matrik USG maka dapat
disimpulkan bahwa fokus penyelesaian masalah dalam penerapan NSW Airportnet adalah melalui peningkatan komitmen dan kemampuan personel dalam pengelolaan NSW Airportnet melalui dukungan manajeman kerjasama stakeholder (Direktorat Jendral Perhubungan Udara, PT. Angkasa
Pura, airport services/ground handling, carrier/airlines, freight forwarder/agent, courier, custom, regulated agent). Diperlukannya personel yang mampu mengintegrasikan dan mengsingkronkan komunikasi/format data. Dalam pengoperasi NSW Airportnet perlu didukung dengan
adanya Standar Operasi dan Prosedur pengelolaan NSW Airportnet serta alokasi anggaran yang memadai. Saat ini, hampir seluruh KL dan pihak terkait termasuk bea cukai sudah terkoneksi ke INSW dengan demikian NSW Airportnet juga dapat berperan aktif menjadi satu bagian penting yang tak
terpisahkan dari INSW.
3.2. Studi Banding Penerapan National Single Window
Berdasarkan hasil studi banding yang dilaksanakan di Kantor Bea dan Cukai Bandara
Soekarno Hatta – Cengkareng dan Pelabuhan Tanjung
Perak – Surabaya.
3.2.1. Inaportnet
Inaportnet adalah sebuah sistem pendukung NSW yang dimiliki oleh komunitas pelabuhan excluding bea cukai. Komunitas pelabuhan terdiri
dari entitas-entitas bisnis dan non-bisnis pelabuhan, antara lain: agen pelayaran, otoritas pelabuhan, perusahaan bongkar muat, jasa pengurusan transportasi, badan usaha pelabuhan dan syahbandar. Proses inaportnet sendiri tidak lepas
dari mandat Kementerian Perhubungan, dalam hal ini Dirjen Kelautan, untuk dapat merealisasikan sistem satu pintu untuk pelabuhan. Inaportnet sempat tidak
berjalan beberapa waktu. Inaportnet “generasi
pertama” sempat berjalan di tahun 2006-2007, lalu
setelah itu berhenti. Di tahun 2016 dihidupkan kembali dan berjalan hingga saat ini. Adapun pembagian komunitas pelabuhan terhadap inaportnet dari sisi penggunaan terbagi menjadi 2, yaitu: Operator yaitu PT. Pelindo berfungsi mengoperasikan sistem dan mengatur pertukaran
data dari hulu ke hilir sehingga tidak terjadi permasalahan komunikasi antar data walau ada perbedaan format ataupun waktu; Pengguna inaportnet yang memanfaatkan informasi terkait untuk efektifitas dan efisiensi kegiatan di lapangan, seperti pengecekan surat ijin, bongkar muat, rencana
penambatan kapal, pandu tunda, dan sebagainya.
Inaportnet hingga saat ini baru mensuplai data dwelling-time ke NSW. Sistem ini terdiri dari beberapa sistem-sistem kecil yang digabungkan
menjadi satu. Mulai dari sistem in-house
kementerian perhubungan terkait sistem informasi kedatangan kapal, sistem informasi clearance (syahbandar), internal pelindo ada POS, informasi pelayanan kapal, terhubung dan terintegrasi di dalam inaportnet. Fungsi masing-masing dari sisi otoritas adalah memonitor dan memastikan bahwa target
produktifitas pelabuhan tercapai, salah satunya yaitu perencanaan tambat. Dari sisi administratif agen pelayaran mengajukan warta kedatangan kapal. Terkait trayek ada di Otoritas Pelabuhan masih sesuai atau tidak.
Sistem informasi yang terdapat di dalam
inaportnet sendiri terdiri dari empat sistem informasi, yaitu SIMLALA, pendaftaran kapal online, database pelaut, dan sistem informasi pelabuhan. Keempat sistem informasi ini yang menjadi database induk dari proses inaportnet. Namun terdapat kendala yaitu pengintegrasian sistem lama ke dalam
inaportnet. Seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa inaportnet memiliki empat database utama yang harus diintegrasikan tanpa mengubah secara drastis struktur data yang ada dan sudah berjalan selama ini. Untuk mengatasi kendala tersebut, dibentuklah satu layer data tambahan agar bisa
mengakomodir data-data di bawahnya yang memiliki struktur berbeda.
3.2.2. Bea Cukai
Bea cukai adalah salah satu entitas yang dekat dengan komunitas pelabuhan/bandara tetapi di luar sistem inaportnet karena bea cukai memiliki sistem
tersendiri yaitu CEISA. CEISA adalah sistem terintegrasi milik bea cukai yang langsung terhubung dengan sistem sentral Kementerian Keuangan, Simponi. Sistem CEISA di bea cukai ini terkoneksi dengan NSW langsung sehingga customer/ bea cukai tidak perlu lagi datang ke kantor bea cukai hanya
untuk mengetahui status barang yang diimpor atau akan diekspor misalnya. Fungsi bea cukai di sini adalah sebagai clearance bahwa barang-barang yang akan diimpor/ ekspor adalah barang yang aman dan sudah memiliki perijinan yang jelas.
Proses pertukaran data antara NSW dan bea
cukai dimulai dari input data PIB melalui NSW yang dilakukan oleh pengusaha (eksportir/importir). Jika lartas/perijinan belum diupload oleh penerbit perijinan, maka data tersebut tidak akan dapat diterima oleh NSW. Pengusaha diwajibkan menyelesaikan pengurusan lartas/perijinan terlebih
dahulu. Data akan dikirimkan ke bea cukai melalui aplikasi CEISA. Lalu dari CEISA memproses dokumen tersebut dan melakukan clearance. Jika clearance sudah dilakukan, maka CEISA akan menginformasikan kepada NSW bahwa dokumen sudah clear sehingga pengusaha bisa mengakses
status dokumennya langsung melalui NSW tanpa perlu datang ke kantor bea cukai.
Dina Yuliana dan Kristiono Setyadi Warta Penelitian Perhubungan 2019, 31 (1): 35–46
44
Bea Cukai, melalui NSW, memiliki kemampuan
tracking terhadap suatu dokumen yang disubmit oleh pengusaha (exim) sehingga ketika pengusaha (exim) tersebut memiliki kesulitan dalam melakukan tracking barangnya sendiri, bea cukai dapat membantu proses tracking melalui fitur yang ada di NSW. NSW merupakan sistem yang sangat
membantu bea cukai dalam menyelesaikan beberapa pekerjaan terkait customs.
Ada beberapa hal yang mesti dibenahi dari sistem NSW itu sendiri. Pertama, terkait update data. Update data dari pengusaha (exim) diharapkan bisa berjalan dengan lancar dan tanpa masalah. Namun, beberapa
kali kejadian data tidak terupdate dengan baik sehingga butuh bantuan teknis. Permasalahan keduanya, minimnya bantuan teknis yang diberikan oleh NSW. Solusi yang dilakukan oleh bea cukai yaitu menghubungi PT. EDI sebagai developernya langsung.
Sebelum NSW pelaksanaan melalui proses yang panjang (tatap muka secara langsung) khususnya pada saat pengurusan dokumen perijinan barang impor. Dokumen dikerjakan secara manual dan menggunakan hardcopy. Setelah NSW dilaksanakan waktu yang dibutuhkan relatif lebih cepat. Perijinan
dapat dilakukan secara on line jadi memangkas waktu untuk tidak bertatap muka langsung dengan instansi terkait.
Sebelum NSW, pengguna mengeluarkan biaya tambahan dalam pengurusan dokumen perijinan karena menggunakan jasa Pengusaha Pengurusan
Jasa Kepabeanan (PPJK) dan apabila terjadi terjadi keterlambatan juga dikenakan biaya tambahan (penumpukan). Proses pengurusan dokumen secara langsung bertemu dengan instansi terkait dan memakan waktu yang lama. Setelah NSW dilaksanakan tidak ada lagi biaya tambahan untuk
pengurusan dokumen perijinan dan tidak ada biaya tambahan karena waktu proses pengurusan perizinan lebih cepat.
Sebelum NSW diimplementasikan informasi yang diperoleh tidak dalam satu pintu, dikarenakan informasi berasal dari masing-masing instansi.
Pengurusan dokumen melalui bantuan biasanya menggunakan jasa PPJK. Setelah NSW diimplementasikan informasi yang diberikan melalui satu pintu yaitu portal INSW. Pengguna dapat mengetahui proses perijinan dan persetujuan dengan mudah. Karena data yang sama pada dokumen yang
berbeda akan diharmoniskan dan pertukaran secara elektronik
Sebelum NSW dokumen diteliti secara manual oleh petugas dari masing-masing instansi terkait karena data masih dalam bentuk hardcopy. Karena dalam bentuk hardcopy jadi lebih mudah untuk
diubah. Sesudah NSW maka kebenaran (validitas) data terkait jumlah dan jenis tidak diragukan lagi
keasliannya selain itu verifikasi data lebih mudah
dilakukan oleh instansi terkait.
Kementerian Perhubungan melalui Ditjen Hubungan Udara dengan otoritas bandara selaku pengawas dan project leader harus berperan serta aktif dalam merealisasikan Airportnet bersama-sama dengan operator bandara (PT. Angkasa Pura) beserta
komunitas di dalamnya (warehouse, maskapai/airlines, RA, dan sebagainya). National Single Window (NSW) Airportnet sebagai salah satu program pemerintah pelayanan satu pintu, sudah berjalan walau belum sempurna. Komponen-komponen di dalam NSW hampir semua sudah
terkoneksi, kecuali Airportnet. Sistem Airportnet saat ini tidak beroperasi dikarenakan beberapa hal, diantaranya: Tidak adanya operator yang menjalankan airportnet; Spesifikasi server dan klien yang sudah tidak memadai dan perlu diupgrade; Pertukaran data (data exchange) yang dinamis
mengakibatkan Airportnet saat ini tidak bisa catch-up dengan komponen lain; Format data yang terus berkembang dan dimodifikasi mengikuti perkembangan yang ada; Belum adanya kejelasan peran dan komunikasi yang jelas antara sistem NSW (beserta komponen-komponen lain di dalamnya)
dengan Airportnet.
Setelah dilakukan identifikasi masalah maka maka permasalahan dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) yaitu: Person (lack of manpower, lack of training, lack of responsibility, lack of expertise), Lack of manpower yaitu tidak/belum adanya dedicated person/team yang berfokus menjalankan Airportnet. Lack of training dikarenakan proses training person/team tidak/belum memadai dan tidak/belum kontinu. Lack of responsibility disebabkan karena tidak adanya pembagian tugas yang jelas dan direct sehingga Airportnet bisa berjalan dengan baik. Lack of expertise akibat tidak adanya tenaga ahli yang dapat mendampingi sistem Airportnet sehingga dapat berjalan sebagaimana mestinya; System (lack of software monitoring, lack of hardware monitoring, lack of data renewal), Lack of software monitoring akibat kurangnya monitoring dari sisi software
sehingga software tetap bisa berjalan dan melakukan upgrade sistem, bila perlu. Lack of hardware monitoring masih kurangnya monitoring dari sisi hardware, termasuk tapi tidak terbatas pada server, PC, jaringan, dan perangkat lainnya sehingga dapat berjalan sesuai dengan yang direncanakan. Lack of data renewal akibat dari kurangnya pembaharuan dari sisi data management dan data exchange mechanism (including format) sehingga sistem dapat terus berkomunikasi dengan entitas lain yang tergabung dalam NSW; Support (lack of monitoring, lack of decision support), Permasalahan ini
diakibatkan karena kurangnya monitoring dari sisi dukungan SDM maupun sistem dan kurangnya metode pengambilan secara taktis dari tim support.
Warta Penelitian Perhubungan 2019, 31 (1): 35–46 Dina Yuliana dan Kristiono Setyadi
45
Penyusunan Standar Operasi dan Prosedur (SOP)
dalam pelaksanaan, pengawasan dan pengendalian
dalam penerapan NSW Airportnet sangat diperlukan
dalam pelaksanaan dilapangan. Selain itu,
dibutuhkan peran aktif dari institusi terkait (project
leader) bersama-sama dengan operator bandara (PT.
Angkasa Pura) beserta komunitas lainnya
(warehouse, maskapai/airlines, RA, dan sebagainya)
dalam merealisasikan Airportnet. Managemen
pengelolaan NSW Airportnet perlu mendorong
efektif dan efisiennya implementasi Airportnet di
bandar udara. Oleh karena itu perlunya dibangun
komitmen yang kuat antara lembaga pengelola NSW
Airportnet dengan sumber daya daya yang ada
didalamnya. Komitmen pimpinan (top management)
yang berkelanjutan terhadap proyek bisnis serta
kualitas data menjadi kunci kesuksesan
pengembangan perusahaan yang berbasis pada
proyek bisis inteligen.
Dalam pelaksanaan NSW Airportnet perlu
melibatkan beberapa entitas-entitas yang terlibat
dalam proses penanganan kargo. Lembaga yang
terlibat dalam dalam pelaksanaan NSW Airportnet
[7], meliputi: PT. Angkasa Pura, pengelola kargo
bersama dengan airport services/ground handling;
Airport services/ground handling dalam pelayanan
pre-flight dan post-flight services; Carrier/airlines,
maskapai penerbangan pembawa kargo berdasarkan
asal dan tujuan; Freight forwarder/agent, perantara
antara pengirim (shipper) dengan penerima
(consignee) melalui airlines serta mengatur kegiatan
transportasi barang dan perijinan; Courier, hampir
sama dengan freight forwarder, hanya saja
pengiriman yang dilakukan sifatnya lebih ringan
dengan skala yang lebih kecil; Custom, entitas di
bawah Kementerian Keuangan yang bertugas
mengurus kepabeanan dan cukai; Regulated Agent
(RA) bertanggung jawab terhadap keamanan kargo.
Peningkatan komitmen dan kemampuan
personel sangat diperlukan dalam pengelolaan NSW
Airportnet salah satunya melalui rekruetmen
personel yang dapat berkualifikasi sesuai dengan
pekerjaannya serta perlu membentuk satu tim
khusus Airportnet yang terdiri dari tim teknis, tim
administrasi, dan tim support sehingga Airportnet
dapat berjalan dengan baik.
Salah satu perbaikan Sistem NSW Airportnet
yang diperlukan melalui updating sistem dengan
menambahkan satu layer data dan/atau aplikasi yang
berfungsi sebagai pemersatu data-data yang sudah
ada sebelumnya, terutama data-data warehouse yang
memiliki perbedaan input, dan data antar
institusi/komunitas, semisal data antara warehouse
dengan maskapai/airlines, data antara warehouse
dengan bea cukai, dan sebagainya.
Sistem ini dirancang untuk menghubungkan
antara entitas-entitas yang ada pada komunitas
bandara (airport) dengan entitas lain yang terkait
dengan NSW. Sistem ini dirancang untuk memiliki
self-monitoring, active alert, customized notification,
hingga automated report. Sistem baru ini akan
berjalan secara efektif dan efisien dan tidak
membutuhkan banyak operator untuk
mengoperasikannya dikarenakan sistem ini
menganut semi-automated process.
4. Kesimpulan
Tingkat kesesuaian pelaksanaan NSW –
Airportnet berdasarkan pendapat warehouse hanya
sebesar 47,5% dengan nilai indeks kepuasan
pelanggan sebesar 42,78% dalam kategori kurang
puas. Analisis data menunjukkan bahwa prioritas
utama dalam peningkatan NSW Airportnet adalah
dukungan pemerintah melalui pembangunan
infrastruktur (peralatan dan fasilitas) dan jaringan
sistem NSW Airportnet. Perlunya penyusunan dan
penerbitan Standar Operasi dan Prosedur
(SOP)/juknis dalam pelaksanaan, pengawasan,
pengendalian dan pembinaaan dalam
pengelolaan/penerapan National Single Window di
Bandar Udara (NSW Airportnet) antara project leader
(pemerintah) dan Instansi lainnya guna
memudahkan koordinasi di lapangan.
National single window bandar udara (NSW –
Airportnet) di Bandara Soekarno Hatta dalam kondisi
tidak beroperasi (off). Rekomendasi dalam
penyelesaian masalah penerapan NSW Airportnet
yaitu perlunya peningkatan komitmen dan
kemampuan personel dalam pengelolaan NSW
Airportnet melalui rekruetmen personel yang
berkualifikasi sesuai dengan pekerjaannya (IT) serta
didukung dengan pembinaan (pendidikan dan
pelatihan). Dibutuhkan peran aktif dari institusi
terkait (regulator/project leader) bersama-sama
dengan operator bandara (PT. Angkasa Pura) beserta
komunitas lainnya (warehouse, maskapai/airlines,
RA, dan sebagainya) dalam merealisasikan
Airportnet. Dalam pengelolaannya perlu managemen
yang baik, efektif dan efisien implementasi
Airportnet di bandar udara. Membentuk satu tim
Dina Yuliana dan Kristiono Setyadi Warta Penelitian Perhubungan 2019, 31 (1): 35–46
46
khusus Airportnet yang terdiri dari tim teknis, tim
administrasi, dan tim support sehingga Airportnet
dapat berjalan dengan baik. Perlunya upgrade
peralatan utama (hardware) dan perangkat lunak
(software) maupun fasilitas penunjang lainnya yang
disesuaikan dengan kemajuan teknologi yang ada
saat ini. Menambahkan satu layer data dan/atau
aplikasi yang berfungsi sebagai pemersatu data yang
sudah ada sebelumnya, terutama data warehouse
yang memiliki perbedaan input, dan data antar
institusi/komunitas, semisal data antara warehouse
dengan maskapai/airlines, data antara warehouse
dengan bea cukai, dan sebagainya.
Ucapan Terima Kasih
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Pihak
Kantor Otrorita Bandara Wilayah I Bandara Soekarno
Hatta, PT. Pelindo III Tanjung Perak – Surabaya, PT.
Unex Kargo, PT. Gapura Kargo, PT. Garuda Kargo, PT.
JAS Kargo, Bea Cukai Bandara Soekarno Hatta dan Bea
Cukai Pelabuhan Tanjung Perak – Surabaya yang
telah membantu dalam pengumpulan data. Kepada
Bapak Moh. Alwi sebagai Kepala Puslitbang
Transportasi Udara yang telah memberikan arahan
dalam penulisan karya ilmiah ini.
Daftar Pustaka
[1] P. P. INSW, "www.insw.go.id," 2015. [Online].
[2] Indonesia. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Penggunaan Sistem Elektronik Dalam Kerangka Indonesia National Single, 2008.
[3] Z. Salim, Kesiapan Indonesia Menuju Pasar Tunggal dan Basis Produksi ASEAN, Jakarta: LIPI Press, anggota of Ikapi, 2015.
[4] Kementerian Perhubungan, "Kementerian Perhubungan," Direktorat Jenderal Sipil, 13 maret 2013. [Online]. Available:
http://dephub.go.id/post/read/sistem-nsw-airportnet-tingkatkan-layanan-arus-barang-eksporimpor-56931?language=en.
[5] Fjortoft, K E; Hagaseth, M; Lambrou, M A; Baltzersen, P;, "Maritime Transport Single Windows," Issue and Prospects, International Journal on Marine Navigation and Safety of Sea Transportation, vol. 5, no. 3, 2011.
[6] D. Yuliana, "Sistem Pengamanan Pengangkutan Kargo Udara Di Bandar Udara Sepinggan-Balikpapan," Warta Ardia, vol. 5, no. 3, 2012.
[7] A. S. Silalahi, "Service Blueprint Terminal Kargo Bandara Soekarno-Hatta (Studi Kasus :
PT. Angkasa Pura II)," Jurnal Manajemen Bisnis Transportasi dan Logistik, vol. 2, no. 1, 2015.
[8] Hapsari, Karina Tri; Suharyono; Abdillah,
Yusri;, "Implementasi Sistem Indonesia National Single Window (INSW) Sebagai Upaya Pendorong Kelancaran Arus Barang Ekspor dan Impor (Studi Kasus Pada KPPBC Tipe Madya Pabean Tanjung Perak Surabaya)," Jurnal Administrasi Bisnis, vol. 1, no. 1, 2015.
[9] Fajar, Muhammad Ibnu; , Rahman Arief;, "Implementasi Indonesia National Single Window (INSW) : Suatu Pendekatan Business Intelligence System (BIS)," Jurnal Akuntansi dan Auditing Indonesia, vol. 21, no. 1, 2017.
[10] D. Mahardika, S. and M. K. Mawardi, "Peran
Indonesia National Single Window (INSW) Terhadap Penanganan Barang Impor (Studi Kasus Pada PT. Otsuka Indonesia, malang)," Jurnal Administrasi Bisnis, vol. 42, no. 1, 2017.
[11] Abeywickrama, M H; Wickramaarachi, W.A. D.N;, "Study On The Challenges Of
Implementing Single Window Concept to Facilitate Trade in Sri Lanka : A Freight Forwarder Perspective," Journal of Economics, Business and Management, vol. 3, no. 9, pp. 883-888, 2015.
[12] Ndonga, Dennis;, "Managing The Risk Of
Corruption In Customs Through Single Window System," World Customs Journal, vol. 7, no. 2, pp. 23-37, 2013.
[13] Consultancy, Firm Districon;, Final Report Feasibility Study On A Single Window For Export and Import Clearance At Vnukovo
Airport, Amsterdam/Moscow, Netherlands, 2010.
[14] Sugiyono, Metodologi Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, Bandung: Alfabeta, 2008.
[15] S. Pearson, "Tallyfy," 4 Agustus 2017. [Online].
Available: https://tallyfy.com/definition-fishbone-diagram/.
[16] Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia, Isu Aktual Sesuai Tema Modul Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan Tingkat III, Jakarta, 2008.
[17] F. C. G. Tjiptono, Service, Quality and Satisfaction, Yogyakarta: Andi, 2007.
[18] W. O. Riandina and R. N. Suryana, "Analisis Kepuasan Pengunjung dan Pengembangan Fasilitas Wisata Agro," Jurnal Agro Ekonomi, vol. 24, no. 1, pp. 41-58, 2006.
[19] Kantor Otban Soekarno Hatta, Bahan
Presentasi FGD Airportnet Bandara Soekarno
Hatta, 2012
Warta Penelitian Perhubungan 2019, 31 (1): 47-54
http://dx.doi.org/10.25104/warlit.v31i1.911 0852-1824 / 2580-1082 ©2019 Sekretariat Badan Penelitian dan Pengembangan Perhubungan
Artikel ini open access dibawah lisensi CC BY-NC-SA (https://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0/) Terakreditasi Sinta (Peringkat 2), SK No 10/E/KPT/2019
Analisis Kekuatan Struktur Dermaga Apung untuk Pelabuhan
Perintis
Abdul Kadir*1 dan Soegeng Hardjono2
Pusat Teknologi Rekayasa Industri Maritim – BPPT1,2
Gedung Teknologi II, Lt 3, Kompleks PUSPIPTEK Serpong, Tangerang Selatan 15314
Tlp. 021-75875943 ext.1123, Tangerang – Banten, 15314
E-mail: [email protected]
Diterima : 29 Januari 2019, disetujui: 27 Juni 2019, diterbitkan online: 28 Juni 2019
Abstrak
Secara geografis, posisi Indonesia sangat strategis terhadap lalu lintas perdagangan karena terletak antara dua benua dan dua samudra. Kondisi tersebut perlu didukung oleh sarana dan prasarana transportasi antar pulau termasuk pelabuhan yang memadai. Perencanaan pelabuhan perlu disesuaikan dengan kondisi alam Indonesia yang berada pada daerah rangkaian cincin api lempeng tektonik paling aktif dan berkontribusi besar terhadap terjadinya gempa bumi. Salah satu alternatif desain pelabuhan yang bisa dikembangkan adalah dermaga apung yang didesain dan direncanakan untuk menahan beban baik beban internal akibat muatan maupun beban eksternal dari lingkungan yang berupa tumpuan air, hempasan gelombang, maupun gaya tumbukan kapal saat sandar. Struktur dermaga apung memilki sifat yang dinamis dimana struktur dermaga akan menjadi bagian dari beban daya apung dermaga, sehingga semakin besar berat struktur maka akan semakin kecil kapasitas dermaga. Tulisan ini memberikan contoh analisis kekuatan struktur dermaga apung perintis yang menggunakan Finite Element Method untuk analisa tegangan dan regangan akibat beban lateral dan vertikal yang terjadi. Hasil yang diperoleh dari analisa yang dilakukan yakni bahwa nilai tegangan dan regangan yang didapatkan masih dibawah nilai kritis yang diizinkan sehingga masih dalam kondisi aman.
Kata kunci : dermaga terapung, pembebanan, kekuatan struktur.
Abstract
Analysis of the Strength of Floating Dock Structures for Pioneer Ports: Geographically, Indonesia's position is very strategic towards trade traffic because it is located between two continents and two oceans. This condition needs to be supported by inter-island transportation facilities and infrastructure including adequate ports. Port planning needs to be adapted to Indonesia's natural conditions which are in the area of the most active tectonic plate fire ring and contribute greatly to the occurrence of earthquakes on earth. One alternative port designs that can be developed is floating docks that are designed and planned to be able to withstand internal loads from the cargo and external loads from the environment in the form of water fills, waves and ship collision forces when anchored. The structure of the floating dock has a dynamic nature where the structure of the pier will be part of the load buoyancy. Thus, the greater the weight of the structure, the smaller the capacity of the dock will be. This paper provides an example of the strength analysis of the structure of the pioneer floating dock using Finite Element Method for stress and strain analysis due to the lateral and vertical loads that occur. The results obtained from the analysis carried out identify that the stress and strain values were still below the allowable critical value which mean that they were still safe.
Keywords: Floating dock, loading, strength structure.
1. Pendahuluan
Secara geografis Indonesia berada di antara
benua Asia dan Australia, dan di antara Samudra
Pasifik dan Samudra Hindia. Posisi ini menjadi
wilayah strategis bagi perdagangan sejak abad ke-7
sampai saat ini. Kondisi ini perlu dipertahankan
dengan penyediaan sarana dan prasarana
transportasi yang memadai.
Tantangan dihadapi adalah Indonesia terletak
pada rangkaian cincin api yang membentang
sepanjang lempeng pasifik yang merupakan lempeng
tektonik paling aktif di dunia. Zona ini memberikan
kontribusi sebesar 90% dari kejadian gempa di bumi
[1]. Wilayah yang rawan terjadinya gempa antara
lain; di sepanjang pantai barat Sumatera, selatan
Jawa, Nusa Tenggara, Papua, Maluku dan utara
Sulawesi.
Dampak langsung dari terjadinya gempa dan
tsunami terhadap sarana/prasarana transportasi
adalah terjadinya kerusakan bangunan secara massif
termasuk prasarana pelabuhan yang merupakan
pintu utama bagi masuknya bantuan dan
pertolongan. Tidak sedikit dari upaya bantuan dan
Abdul Kadir dan Soegeng Hardjono Warta Penelitian Perhubungan 2019, 31 (1): 47-54
48
pertolongan menjadi terhambat akibat rusaknya
infrastruktur pelabuhan. Sementara itu diketahui
bahwa waktu yang paling penting untuk
penyelamatan korban adalah tiga hari pertama paska
terjadinya bencana [3]. Melihat permasalahan
tersebut, maka perlu adanya terobosan untuk
mencari alternatif desain pelabuhan yang handal
untuk daerah rawan gempa.
Dermaga apung merupakan salah satu jenis
dermaga tahan gempa yang dirancang dengan sistem
konstruksi terapung yang tidak berhubungan
langsung dengan dasar perairan. Selain tahan gempa,
dermaga apung memiliki beberapa keunggulan
antara lain; ramah lingkungan, mudah dalam proses
konstruksi dan tidak tergantung pada kondisi dasar
perairan serta mudah dipindah tempat [4]. Dermaga
apung dapat juga diaplikasikan pada daerah yang
memiliki kondisi perairan yang ekstrim dimana
terdapat perbedaan pasang surut yang tinggi, serta
perairan yang dalam dimana dermaga konvensional
beton tidak menguntungkan untuk digunakan.
Demikian juga untuk daerah pedalaman dan pulau
terpencil, dermaga apung bisa difungsikan sebagai
pelabuhan perintis.
Hal penting yang perlu diperhatikan dalam
mendesain dermaga apung adalah penentuan
spesifikasi pelabuhan yang memiliki ukuran
konstruksi kecil namun memiliki kapasitas yang
besar. Untuk mencapai hal tersebut, maka perlu
dilakukan identifikasi gaya-gaya atau pembebanan
yang bekerja pada konstruksi dermaga dan
menganalisa pengaruhnya terhadap kekuatan
konstruksi. Dari hasil analisa akan didapatkan ukuran
konstruksi dan selanjutnya kapasitas optimal
dermaga apung dapat ditentukan. Penelitian ini
memberikan analisa awal kekuatan konstruksi
dermaga apung akibat pembebanan yang bekerja
padanya.
2. Metodologi
Sehubungan analisa dalam penelitian ini
merupakan analisa awal, maka diambil asumsi
bahwa pembebanan yang terjadi pada struktur
dermaga apung adalah pembebanan statis baik
pembebanan lateral (benturan badan kapal) maupun
pembebanan vertikal (muatan, struktur,
perlengkapan crane maupun gelombang) yang
terjadi di konstruksi dermaga apung dengan ukuran
panjang, lebar dan kedalaman tertentu dengan
menggunakan metode Finite Element untuk
mengetahui tegangan dan regangan yang terjadi.
Sedangkan pembebanan dinamis akibat variasi beban
muatan geladak dan variasi parameter gelombang
(tinggi maupun periode) akan dilakukan dalam
penelitian kemudian yang terpisah dari makalah ini.
Prinsip dasar yang perlu diketahui untuk
melakukan analisa terhadap dermaga apung adalah
struktur terapung (Floating Structure) merupakan
suatu struktur yang fleksibel dan elastis sehingga
untuk perhitungan dasar dapat dianalogikan sebagai
balok memanjang dengan kekakuan EI ditempatkan
diatas pondasi elastis atau ditumpu oleh pegas secara
merata [5]. Dalam system koordinat X-Y dapat
diilustrasikan seperti gambar 2 dan 3.
Persamaan diferensial untuk vibrasi lateral balok,
mempertimbangkan pengaruh gaya dan momen
pada bagian balok seperti ditunjukkan oleh gambar 4
dimana F, M, p dan ks masing-masing adalah gaya
geser (shear forcé), momen lengkung (bending
moments), beban per unit panjang dan koefisien
elastis pegas balok.
Gambar 1. Peta Gempa Indonesia 2017
(untuk 500 thn) [2]
Warta Penelitian Perhubungan 2019, 31 (1): 47-54 Abdul Kadir dan Soegeng Hardjono
49
Gaya geser ditentukan oleh sejumlah momen
pada beberapa bagian kanan elemen dengan
persamaan 1.
( ) ( ) 0dM
M M dM F dF dx Fdx
(1)
Dengan jalan yang sama, pembebanan per unit
panjang ditentukan oleh sejumlah gaya pada arah y
dan ditunjukkan oleh persamaan 2.
( ) 0dF
F F dF dxdx
(2)
Persamaan (1) dan (2) menunjukkan tingkat
perubahan dari momen sepanjang balok sama
terhadap gaya geser, sementara tingkat perubahan
gaya geser sepanjang balok sama dengan
pembebanan per unit panjang. Momen bending yang
berkaitan dengan persamaan the curvature of the
flexure (3).
2
2
d yEI M
dx
2
20
d y
dx (3)
Dari persamaan (2) dan (3) didapatkan;
3
3
dM d yF EI
dx dx (4)
Dari beberapa persamaan dasar diatas
didapatkan persamaan umum dari vertical
displacement konstruksi terapung sebagai berikut :
y = C1 Cosh β x Coc β x + C2 Sinh β x Sin β x +
C3 Cosh β x Sin β x + C4 Sinh β x Cos β x (5)
Secara umum konstruksi dermaga apung dapat
diklasifikasikan ke dalam dua kategori, yaitu tipe
ponton dan semi-submersible [6]. Skema konstruksi
tipe ponton dapat dibagi empat yaitu; terdiri dari
satu ponton panjang, beberapa ponton besar yang
digabungkan dengan pivot, serangkaian ponton kecil
yang direntang dengan bentang geladak tunggal dan
serangkaian ponton kecil yang dirangkai oleh dek
kontinyu [7]. Untuk kajian ini dipilih tipe satu ponton
dengan konstruksi yang relatif sederhana namun
memiliki stabilitas yang tinggi. Tipe ini cocok
dibangun pada perairan tenang atau perairan yang
terlindung secara alami.
Dermaga apung yang dianalisa pada tulisan ini
memiliki ukuran Panjang (L) : 50 meter, Lebar (B) :
30,86 meter, Tinggi (H) : 5 meter dan Sarat (d) : 2,5
meter dengan konstruksi dari baja.
Berat Displacement Dermaga adalah:
Displ. = L x B x d x Bj air
= 50 x 30,86 x 2,5 x 1,025 (6)
= 3.954 ton
Perhitungan konstruksi meliputi penentuan ukuran
profil terhadap komponen konstruksi dermaga
apung berdasarkan peraturan konstruksi ponton dari
Biro Klasifikasi Indonesia (BKI) [8], sebagaimana tabel
1.
Gambar 4. Sketsa Dermaga Apung
Gambar 5. Struktur Dermaga Apung
Gambar 6 . Kapal 500 DWT
Tabel 1. Ukuran Konstruksi Dermaga Apung
No. Nama Komponen Ukuran
1. Gading-gading:
a. Gading Utama W = 141,241 Cm3
b. Gading Besar W = 1243,042 Cm3 c. Balok Pembujur W = 90,343 Cm3 d. Penumpu Samping W = 166,89 Cm3
2. Konstruksi Alas a. Penumpu Tengah T = 9,0 mm; f = 47 mm b. Penumpu Samping T = 7,0 mm; f = 16 mm
3. Pelat Kulit
a. Pelat Alas T = 15 mm b. Pelat Sisi T = 15 mm
4. Geladak a. Pelat Geladak T = 15 mm
b. Balok Pelintang
Geladak W = 17,363 Cm3
5. Sekat a. Pelat Sekat T = 4,323 mm b. Penegar Sekat W = 36,192 Cm3
Sumber: [8]
Abdul Kadir dan Soegeng Hardjono Warta Penelitian Perhubungan 2019, 31 (1): 47-54
50
Pada tabel 2 konstruksi dibuat dari baja ST 37
(marine Steel Plate) dengan total berat. Kapasitas
dermaga apung ditentukan dari selisih antara
Displacement dan berat LWT sebagai berikut:
Kapasitas = Displacement – LWT
= 3.954 – 1.139 (7)
= 2.815 ton
Dermaga tersebut didesain untuk kapal
berkapasitas maksimal 500 DWT dengan ukuran
Panjang (L): 30 meter, Lebar (B): 8 meter, Sarat (d): 2
meter.
Berat Displacement Kapal adalah [9]:
W = L x B x d x Bj air = 30 x 8 x 2 x 1,025 (8) = 500 ton
2.1. Beban Lateral
Secara umum gaya lateral eksternal yang terjadi
pada pelabuhan sebagai tempat penambatan kapal
dapat ditentukan dengan menggunakan metode yang
sesuai, menurut dimensi kapal, metode labuh,
kecepatan labuh, struktur fasilitas tambat, metode
penambatan dan property penambatan [10]. Beban
lateral yang diperhitungakan adalah akibat benturan
kapal saat sandar yang akan mencapai nilai
maksimum apabila arah benturan kapal membentuk
sudut 10o terhadap struktur dermaga yang nilainya
dapat ditentukan dengan rumus pendekatan 5;[11]
E = (WV2/2g).Cm.Ce.Cs.Cc (ton.m) (9)
Dimana E adalah energi benturan (ton.m); V
adalah kecepatan kapal terhadap struktur (m/dt); W
adalah displacement kapal (ton); g adalah gaya
gravitasi (m/dt2); Cm adalah koefisien massa; Ce
adalah koefisien eksentritas; Cs adalah koefisien
kekerasan (diambil 1); Cc adalah koefisien bentuk
tambatan (diambil 1)
Dimana Cm adalah 1+ (∏d / 2CbB); Cb adalah W /
Lpp.B.d.ɤ; Cm adalah 1+ (∏d / 2(W / Lpp.B.d.ɤ )B);
Dimana B adalah lebar kapal; d adalah sarat kapal;
Lpp adalah panjang kapal; ɤ adalah berat jenis air
laut; Ce adalah koefisien eksentritas : 1 / (1+ (l / r)2.
Sehingga E = (WV2/2g).(1 + (∏ d /2 (W/
Lpp.B.d.ɤ) B)). 1 / (10)
(1+ (l / r)2 (ton.m)
Kecepatan merapat kapal merupakan salah satu
faktor penting dalam perhitungan gaya pada
dermaga yang dapat ditentukan dari nilai
pengukuran atau pengalaman. Secara umum
kecepatan merapat kapal dapat diberikan pada tabel
3. Dari persamaan tersebut didapatkan nilai
benturan kapal sebesar 5 ton dengan jarak 17,5 meter
dari balok melintang dermaga.
Tabel 2. Berat LWT Dermaga Apung
No Nama Komponen Jumlah Volume
[m3] Berat [ton]
1 Pelat Alas 1 23,145 181,688
2 Pelat Geladak 1 23,145 181,688
3 Pelat sisi memanjang 2 7,5 58,875
4 Pelat sisi melintang 2 4,629 36,338
5 Sekat memanjang 3 11,25 88,313
6 Sekat melintang 3 6,944 54,506
7 Gading besar memanjang
16 7,904 62,046
8 Gading normal memanjang
64 7,488 58,781
9 Gading besar melintang 28 8,537 67,016
10 Gading normal melintang
128 9,243 72,559
11 Penumpu tengah 1 1,8 14,13
12 Penumpu samping 2 2,7 21,195
13 Senta sisi memanjang 2 0,988 7,756
14 Senta sisi melintang 2 0,610 4,787
15 Pelintang geladak 128 2,370 18,605
16 Penegar 1536 7,949 62,398
Sub Total 990,681
Total Berat 1,139,284
Sumber : Olahan Penulis, 2018
Gambar 7. Sketsa Posisi Benturan Kapal Terhadap Dermaga.
Tabel 3. Kecepatan Merapat Kapal [11]
Ukuran Kapal
(DWT)
Kecepatan Merapat
Pelabuhan
(m/det)
Laut terbuka
(m/det)
Sampai 500 0.25 0.30
500 – 10.000 0.15 0.20
10.000 – 30.000
0.15 0.15
di atas 30.000 0.12 0.15
Sumber : Olahan Penulis, 2018
Warta Penelitian Perhubungan 2019, 31 (1): 47-54 Abdul Kadir dan Soegeng Hardjono
51
2.2. Beban Vertikal
2.2.1. Beban Struktur
Beban struktur merupakan beban dari bangunan
atas yang menyatu dengan konstruksi dan
merupakan bagian Light Weight Ton (LWT) dermaga
dalam satuan ton.
2.2.2. Beban muatan
Beban muatan terdiri dari; Beban muatan
terpusat beban oleh alat angkat (crane) merupakan
beban terpusat dengan kondisi kritis terjadi saat
posisi alat angkat beroperasi pada ujung dermaga,
dimana berat alat angkat dengan sebuah beban
diambil sebesar W = 6 ton. Besar beban titik dapat
ditentukan dengan persamaan 6.
( ) , ( )tot totW x b W x aRa t Rb t
a b a b
(11)
Besar beban pada masing-masing tumpuan
sebesar 1,333 ton. Besar beban yang timbul akibat
tumpukan barang seperti peti kemas (container)
dapat dihitung dengan persamaan 7.
( / )container tc sc cW n x m x q t m (12)
Dimana tcn merupakan total barang/container
arah transversal; scm total barang/container arah
vertikal dan; cq berat barang/container per unit
panjang. [12]
Berat beban merata yang didapatkan pada
analisa ini adalah sebesar 2 ton per meter dan luas
areal untuk tumpukan peti kemas diambil 18 meter x
30 meter.
Beban tumpuan gelombang dapat ditentukan
dengan persamaan 8.
1( / )
( )
j
i
x
wavex
j i
W Bw dx t mB x x
(13)
2cosa
w
xw
(elevasi gelombang)
o adalah amplitude gelombang sehingga didapatkan
persamaan 9.
21.025 2sin sin ( / )
2 ( )
ja w iwave
j i w w
x xW t m
x x
(14)
dengan arah yang berlawanan dengan pembebanan
barang container [12]. Besar gaya tumpuan air
terhadap konstruksi berdasarkan persamaan
tersebut diperoleh sebesar -0,549 ton/m.
3. Hasil dan Pembahasan
Hal penting yang perlu diperhatikan dalam
proses analisa bahwa tegangan pada suatu bidang
adalah vector tegangan, Resultan tegangan dengan
mudah dapat dicari dengan penjumlahan vector dari
Gambar 8. Sistem Pembebanan Terpusat oleh Crane Sumber : Olahan Penulis, 2018
Gambar 9. Sistem Pembebanan Merata oleh Muatan
B
L
t cn
scm
Containers
B
L
B
L
t cn t cn t cn
scmscmscm
ContainersContainers
Gambar 10. Sistem Pembebanan Merata Oleh Tumpuan
Gelombang/Air
Gambar 11. Letak Benturan Kapal
Abdul Kadir dan Soegeng Hardjono Warta Penelitian Perhubungan 2019, 31 (1): 47-54
52
komponen-komponennya, keadaan tegangan pada
benda elastis biasanya bervariasi dari satu titik ke
titik lainnya yang dapat dituliskan; σ(x,y,z) dan
τ(x,y,z) [13].
3.1. Tegangan dan regangan akibat benturan kapal
Gaya benturan kapal terjadi pada bagian depan
dermaga apung dengan jarak lokasi atau titik
benturan terhadap bagian tepi dermaga apung
sebesar 17,5 meter. Sebagai gambaran letak benturan
kapal ditunjukkan pada gambar 11. Besar tegangan
maksimum yang terjadi akibat benturan kapal
sebesar 4,25 kg/mm2. Regangan maksimum akibat
benturan kapal sebesar 0,64 mm, sebagaimana
gambar 13.
3.2. Tegangan dan regangan akibat beban crane
Sedangkan crane dengan kapasitas angkat
sebesar 6 ton yang memiliki 4 kaki atau tumpuan
diletakkan pada koordinat 16 meter dan 19 meter
terhadap bagian tepi dermaga apung, dan terhadap
bagian depan dermaga apung jarak crane tersebut
adalah sebesar 1,43 meter dan 4,43 meter. Posisi
crane pada dermaga apung tersebut dijelaskan
dengan gambar 14. Tegangan maksimum yang terjadi
akibat beban crane sebesar 7,07 kg/mm2. Sementara
regangan yang terjadi sebesar 5,7 mm.
Gambar 16. Regangan Maksimum Akibat Beban Crane
Gambar 12. Tegangan Akibat Benturan Kapal
Gambar 14. Posisi Crane di Dermaga Apung
Gambar 17. Beban Merata Permukaan Bawah Dermaga.
Gambar 13. Regangan Maksimum Akibat Beban Benturan
Kapal.
Gambar 15. Tegangan Maksimum Akibat Beban Crane
Warta Penelitian Perhubungan 2019, 31 (1): 47-54 Abdul Kadir dan Soegeng Hardjono
53
3.3. Tegangan dan regangan akibat beban muatan
merata.
Dampak dari beban muatan merata pada lantai
atas dermaga apung, maka gaya apung yang bekerja
pada permukaan bawah dermaga apung akibat beban
maksimum yang diberikan pada permukaan atas
dermaga apung menyebabkan gaya apung yang
bekerja pada seluruh permukaan bagian bawah
dermaga apung sebesar -0,55 ton permeter persegi.
Tegangan maksimum yang terjadi sebesar 3,74
kg/mm2.
Batasan yang digunakan untuk perhitungan
tegangan dermaga apung adalah [8]:
- Bending Stress
max = MmaxZ/I < crit (150)MPa (15)
- Shear Stress
max = Fmax/htw < crit (150/√ 3 )MPa (16)
Dari hasil analisa yang dilakukan dengan
menggunakan metode Finite Element terhadap
konstruksi dermaga apung dengan pembebanan
statis (telah direncanakan) didapatkan hasil pada
tabel 4.
4. Kesimpulan
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa
tegangan terbesar yang terjadi pada struktur
dermaga apung adalah akibat pembebanan titik oleh
alat angkat (crane) pada saat beroperasi mengangkat
beban, namun struktur dermaga cukup aman untuk
untuk menahan benturan kapal berukuran 500 DWT.
Disamping itu struktur juga dianggap cukup aman
karena nilai tegangan dan regangan maksimum hasil
analisa ternyata masih jauh lebih kecil dari batas nilai
kritis yang diijinkan sehingga dimungkinkan
spesifikasi teknis konstruksi yang dianalisa dapat
diaplikasikan untuk pembebanan yang lebih besar
atau dengan kata lain dengan kapasitas beban yang
ada saat ini ini, ukuran bagian konstruksi dermaga
dapat lebih diperkecil sampai batas tegangan dan
regangan yang diijinkan. Dengan demikian
kebutuhan material dan biaya pembangunan dapat
lebih diperkecil. Dari kesimpulan di atas dapat
direkomendasikan bahwa ukuran elemen struktur
konstruksi masih bisa diperkecil atau kapasitas
beban masih bisa diperbesar.
Untuk pengembangan ke depan diperlukan
analisa lebih lanjut dengan menggunakan sistem
pembebanan dinamis baik melalui variasi beban
muatan geladak maupun parameter gelombang
(tinggi dan periode gelombang) serta kajian sistem
mooring yang tepat dan sesuai untuk diterapkan
pada pengoperasian dermaga apung ini.
Ucapan Terima Kasih
Terima kasih kami ucapkan kepada pimpinan
BPPT dan Kemenristek yang telah memberikan
dukungan baik kebijakan maupun biaya yang
digunakan sebagai langkah tahap awal dalam kajian
pengembangan desain dermaga apung di Indonesia.
Daftar Pustaka [1] Raditya Jati and Mohd Robi Amri, Resiko Bencana
Indonesia. Jakarta: BNPD, 2016.
[Online]inarisk.bnpb.go.id/pdf/Buku%20RBI_Final_lo
w.pdf
[2] M Irsyam, "Pemutahiran Sumber dan Peta Gempa
Indonesia 2017," in Seminar Sehari Kebencanaan,
Jakarta., 28 Agustus 2017.
[3] S Ciaki and B Akihiro, "Emergency Medical Floating
Platform Feasible Study for Indonesia," in One Day
Seminar of Prospect of Floating Structure Technology
Gambar 18. Tegangan Akibat Beban Merata Pada Permukaan
Atas Dermaga Apung
Gambar 19. Regangan Akibat Beban Merata Pada
Permukaan Atas Dermaga Apung.
Tabel 4. Hasil Analisa Pengaruh Beban Terhadap Konstruksi
No. Pembebanan Tegangan (kg/mm2)
Regangan (mm)
Ket.
1. Benturan Kapal 4.25 0,64 Aman
2. Crane 7.07 5.7 Aman
3. Muatan (barang/ gelombang)
3.74 3.64 Aman
Abdul Kadir dan Soegeng Hardjono Warta Penelitian Perhubungan 2019, 31 (1): 47-54
54
to Utilize an Open Space Effectively, Jakarta, 19
Februari 2019.
[4] E Watanabe, C M Wang, T Utsunomiya, and T Moan,
Very Large Floating Structures : Application, Analysis
and Design. Kent Ridge: Centre for Offshore Research
and Engineering, National University of Singapore,
2004.
[5] M Fujikubo, "Structural analysis for the design of
VLFS," Marine Structure , vol. 18, no. 2, pp. 201-226,
2005.
[6] V.B Krishnan Pankaj and C B Meera, "Introducing Gill
Cells In Pontoon-Type Floating Structures,"
International Journal of Civil Engineering and
Technology (IJCIET), vol. 5, no. 12, pp. 66-72, 2014.
[7] Tsinker, G P., Port Engineering: Planning,
Construction, Maintenance and Security, John Wiley &
Sons, New Jersey, United States, 2004
[8] Biro Klasifikasi Indonesia, Rules for The Classification
and Construction of Seagoing Steel Ships. Jakarta: Biro
Klasifikasi Indonesia, 1989.
[9] Robert Taggart, Ship Design and Construction. New
York: The Society of Naval Architects and Marine
Engineers, 1980.
[10] Y. Goda, T. Tabata, S. Yamamoto “ The Technical
Standar and Commentaries of Port and Harbor
Facilities in Japan” The Overseas Coastal Area
Development Institute of Japan, 1999.
[11] B Triatmodjo, Pelabuhan. Yogyakarta: Beta Offset,
1996.
[12] A Kadir, "Structural Design and Analysis of Floating
Container Terminal," Hiroshima, 2003.
[13] Rudolph Szilard, Dr.-Ing., PE “ Teori dan Analisa
Pelat” Penerbit Erlangga, Jakarta, 1989.