Kesenjangan antara Konsep dan Praktik dalam akad Bai’al ...
Transcript of Kesenjangan antara Konsep dan Praktik dalam akad Bai’al ...
121
Kesenjangan antara Konsep dan Praktik
dalam akad Bai’al-Murabahah pada Perbankan Syariah di Indonesia
Tita Djuitaningsih
Program Studi Akuntansi
Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial Universitas Bakrie
Jl. H.R. Rasuna Said Kav. C-22, Kuningan, Jakarta Selatan 12920
e-mail: [email protected]
Abstrak
Artikel ini bertujuan untuk mengungkapkan bahwa produk akad murabahah merupakan
produk perbankan syariah yang paling dominan di Indonesia, bahkan di beberapa negara
lain di dunia, padahal isu utama yang dibawa oleh perbankan syariah adalah isu bagi
hasil, jadi seharusnya produk yang berbasis bagi hasillah yang mendominasi produk
perbankan syariah. Di sisi lain, terdapat kesenjangan antara konsep dan praktik dalam
akad murabahah pada perbankan syariah di Indonesia. Nilai marjin dalam akad
murabahah dalam praktiknya lebih didasarkan pada tingkat bunga kredit di bank
konvensional. Hal ini tentu bertolak belakang dengan isu sentral perbankan syariah yang
berbasis bagi hasil dengan semangat bebas bunga (riba). Bank syariah juga tidak
memiliki objek murabahah yang akan dijual kepada nasabah, sehingga transaksi tersebut
dapat digolongkan ke dalam transaksi yang dilarang. Hal ini membutuhkan tindak lanjut
dari semua pihak, khususnya Pemerintah, perbankan syariah itu sendiri dan para alim
ulama agar lebih mengakomodasi praktik dalam penjualan produk yang berakad
murabahah sehingga lebih sesuai syariah yang pada akhirnya akan membawa
kemaslahatan yang luas bagi umat manusia.
Kata kunci: Akad murabahah; bagi hasil, konsep murabahah, praktik murabahah;
dan maslahat.
Abstract
This article aims to reveal that murabahah product is the most dominant product of
sharia banking in Indonesia, even in some other countries in the world, whereas the main
issue brought by sharia banking is profit sharing issue, so it should be profit-sharing
products that dominate the product Syariah banking. On the other hand, there is a gap
between concepts and practices in murabahah schemes in sharia banking in Indonesia.
The margin value in the murabahah contract in practice is more based on the interest
rate of the loan in a conventional bank. This is certainly contrary to the central issue of
sharia-based Islamic profit-sharing with interest (riba)-free spirit. Islamic banks also do
not have murabaha objects that will be sold to customers so that the transaction can be
classified into a forbidden transaction. This requires the follow-up of all parties,
especially the Government, the sharia banking itself and the islamic scholars to better
accommodate the practice of selling the murabaha products in order to be more obedient
to sharia rules that will ultimately bring a broad benefit to mankind.
Keywords: Murabaha contract; profit and loss sharing, murabaha concepts,
murabaha practices; and broad benefit.
Media Riset Akuntansi Vol.7 No.1 Februari 2017
122
PENDAHULUAN
Ekonomi Islam adalah sistem
ekonomi yang membawa angin segar
dalam perekonomian dunia. Hal itu
tercermin dalam perkembangan
industri perbankan dan keuangan
Islam. Menurut Haque dalam Fasiha
(2016) perbankan dan keuangan
Islam merupakan salah satu industri
dengan pertumbuhan tercepat di
dunia saat ini. Survei pada tahun
2010 mengungkapkan pertumbuhan
fenomenal pada tingkat 20 persen di
seluruh dunia. Muslim maupun non
Muslim semakin datang untuk
berinvestasi di Bank Islam dan
lembaga keuangan. Adapun produk
perbankan syariah yang menjadi
landasan perkembangan perbankan
syariah adalah produk dengan akad
murabahah. Menurut Mulyanti
(2011) pembiayaan murabahah
berperan penting dalam perbankan
syariah karena pembiayaan ini
mendominasi pendapatan bank
syariah yaitu mencapai 75%.
Berdasarkan data yang
disampaikan Otoritas Jasa Keuangan
(OJK) (2015) yang diikhtisarkan
pada Tabel 1 di bawah ini, data
produk syariah dari kegiatan bank
umum syariah dan unit usaha syariah
di Indonesia dari Oktober 2014 –
Desember 2015, nampak bahwa
produk Piutang Murabahah
menempati porsi paling dominan
baik dibandingkan dengan sesama
produk Piutang lainnya seperti
Piutang Qardh dan Istishna, maupun
dengan produk berbasis bagi hasil
seperti Pembiayaan Mudharabah
atau pun Musyarakah.
Tabel 1.
Dominasi Murabahah terhadap
Pembiayaan Bagi Hasil dan
Piutang
Keterangan 2014 2015
Nilai
Rata-rata
dari
Oktober –
Desember
Nilai
Rata-rata
dari
Januari –
Desember
Total
Pembiayaan
Bagi Hasil
(TPBH)
(Miliar Rp)
49.060,33 51.557,17
Total
Piutang
(TP) (Miliar
Rp)
96.960,00 95.930,33
Piutang
Murabahah
(PM)
(Miliar Rp)
91.221,33 91.670,17
% PM thd
TPBH
185,94 177,80
% PM thd
TP
94,08 95,56
Sumber: OJK (2015) (diolah)
Persentase Piutang Murabahah
terhadap Total Pembiayaan Bagi
123
Hasil di tahun 2014 adalah 185,94%
dan di tahun 2015 adalah 177,80%.
Sedangkan persentase Piutang
Murabahah terhadap Total Piutang
di tahun 2014 adalah 94,08% dan di
tahun 2015 meningkat menjadi
95,56%. Data tersebut menunjukkan
bahwa dominasi produk dengan akad
murabahah tidak terbantahkan.
Bahkan menurut Muallim (2004)
murabahah adalah idola pembiayaan
bank syariah. Menurut Prayogo
(2011) praktik pada bank syariah di
Indonesia, portofolio pembiayaan
murabahah mencapai 70‐80%.
Kondisi demikian ini tidak hanya di
Indonesia, namun juga terjadi pada
bank‐bank syariah di dunia, seperti
di Malaysia dan Pakistan. Menurut
Lathif (2012), dalam praktik di
perbankan syariah, jual beli
murâbahah merupakan salah satu
skema pembiayaan di perbankan
syariah yang paling dominan
dibandingkan skema pembiayaan
lain. Menurut Prasetyo (2013),
dominasi pembiayaan non-bagi hasil
seperti murabahah atau rendahnya
pembiayaan bagi hasil (musyarakah
dan mudharabah) di perbankan
syariah merupakan fenomena global
yang dihadapi perbankan syariah di
mana pun berada yang mana dari
total nasabah pada studi kasus di BRI
Syariah untuk peminat produk
pembiayaan bagi hasil seperti
musyarakah dan mudharabah
menyalurkan tidak lebih dari 90-an
nasabah dibandingkan produk
pembiayaan murabahah yang
mencapai lebih dari 2000-an
nasabah. Penyebab populernya
transaksi murabahah menurut Al-
Hasan (n.d.) karena jenis transaksi
ini merupakan transaksi yang simpel
dan mudah untuk dilaksanakan.
Kondisi di atas di satu sisi
merupakan hal yang
menggembirakan bagi industri
perbankan syariah, namun di sisi lain
merupakan hal yang harus
diwaspadai paling tidak dalam dua
hal; pertama, isu sentral ekonomi
syariah adalah isu bagi hasil,
sementara produk berakad
murabahah bukanlah produk berbasis
bagi hasil; dan kedua produk berakad
murabahah adalah produk berbasis
marjin yang penentuan marjinnya
seringkali mengacu pada tingkat
bunga kredit yang jelas-jelas
diharamkan dalam ekonomi syariah.
Selain itu, barang yang menjadi
objek murabahah pun bukan milik
Media Riset Akuntansi Vol.7 No.1 Februari 2017
124
bank saat dijual kepada nasabah,
sehingga transaksi ini dapat
mendekati pada transaksi jual-beli
yang diharamkan.
Tulisan ini bermaksud untuk
membagikan pandangan dan ide
bagaimana agar perkembangan
produk murabahah yang kondisinya
saat ini sudah sangat baik, dapat
didorong supaya lebih sesuai syariah
dalam penentuan marjinnya.
Bahaudin dalam Imama (2014)
menyatakan bahwa dalam
praktiknya, beberapa bank syariah
dalam menentukan tingkat margin
cenderung masih menggunakan
jangka waktu pembayaran dan
tingkat suku bunga pasar sebagai
acuan menentukan keuntungan
seperti penentuan bunga kredit pada
bank konvensional. Oleh karena itu,
praktik dalam proses penentuan
marjin murabahah perlu dijaga agar
sesuai dengan konsep syariah.
Demikian juga dengan mekanisme
kepemilikan barang yang menjadi
objek murabahah, seharusnya bank
memindahkan kepemilikannya dulu
dari supplier sebelum dijual kepada
nasabah.
TINJAUAN PUSTAKA
Menurut Khan dalam Fasiha
(2016), dilihat dari segi produk,
sesungguhnya sistem keuangan dan
perbankan Islam merupakan
pengejawantahan mekanisme syariah
Islam itu sendiri. Lebih lanjut Khan
dalam Fasiha (2016) menyatakan
bahwa setidaknya terdapat 5 (lima)
jenis model akad yang bisa
diterapkan dalam skim pembiayaan
Islam, meliputi mudharabah,
musyarakah, ijarah (leasing), bai’
as-Salam, bai’ al-Murabahah (bai’
Bi Thasaman Adjil. Sementara pakar
lain lebih menyoroti murabahah
sebagai model akad jual beli (Yaya R
adan Martawiredja, 2009; Wiyono,
2009). Secara lebih tegas Usmani
dalam Fasiha (2016) menyatakan
bahwa murabahah adalah salah satu
bentuk jual beli yang lazim
digunakan. Lebih lanjut Usmani
menyatakan bahwa praktik
murabahah merupakan salah satu
bentuk perdagangan yang dilakukan
oleh Rasulullah. Namun demikian,
sejak awal munculnya dalam fiqh,
praktik murabahah hanya digunakan
dalam praktik jual beli atau
perdagangan. Tidak pernah
murabahah dijadikan sebagai salah
125
satu kontrak atau akad dalam sebuah
model keuangan atau pembiayaan
yang lazim sekarang digunakan
dalam dunia perbankan Islam
(Fasiha, 2016).
Secara ringkas Yaya R.dan
Martawiredja (2009) mendefinisikan
murabahah sebagai akad jual beli
barang dengan menyatakan harga
perolehan dan keuntungan (marjin)
yang disepakati oleh penjual dan
pembeli. Secara lebih rinci, Wiyono
menyatakan bahwa (2009)
murabahah adalah bagian dari jenis
bai’ yaitu jual beli di mana harga
jualnya terdiri dari harga pokok
barang yang dijual ditambah dengan
sejumlah keuntungan (ribhun) yang
disepakati oleh kedua belah pihak,
pembeli dan penjual. Pada transaksi
murabahah, penyerahan barang
dilakukan pada saat transaksi
sementara pembayarannya dapat
dilakukan secara tunai, tangguh
ataupun dicicil. Lebih lanjut Wiyono
(2009) menyatakan bahwa dalam
murabahah, bank syariah dapat
bertindak sebagai penjual dan juga
pembeli. Sebagai penjual apabila
bank syariah menjual barang kepada
nasabah, sedangkan sebagai pembeli
apabila bank syariah membeli barang
kepada supplier untuk dijual kepada
nasabah.
Menurut Fasiha (2016)
penentuan harga juga hendaknya
mengacu pada mekanisme dagang
yang dilakukan Rasulullah. Dalam
menentukan harga jual, Rasulullah
secara transparan menjelaskan harga
beli, biaya yang dikeluarkan dan
keuntungan wajar yang diharapkan.
Cara ini sangat tepat untuk
menentukan nilai harga jual sebuah
komoditas dalam praktik perbankan.
Menurut AAOIFI dalam Lathif
(2012), sebagai bagian dari jual beli,
murâbahah memiliki rukun dan
syarat yang tidak berbeda dengan
jual beli (al-bai’) pada umumnya.
Namun demikian, ada beberapa
ketentuan khusus yang menjadi
syarat keabsahan jual beli
murâbahah yaitu:
1. Adanya kejelasan informasi
mengenai besarnya modal awal
(harga perolehan/pembelian).
Semuanya harus diketahui oleh
pembeli saat akad dan ini
merupakan salah satu syarat sah
murâbahah.
2. Adanya keharusan menjelaskan
keuntungan (ribh) yang diambil
penjual karena keuntungan
Media Riset Akuntansi Vol.7 No.1 Februari 2017
126
merupakan bagian dari harga
(tsaman). Sementara keharusan
mengetahui harga barang
merupakan syarat sah jual beli
pada umumnya.
3. Jual beli murâbahah harus
dilakukan atas barang yang telah
dimiliki/hak kepemilikan telah
berada di tangan penjual. Artinya
bahwa keuntungan dan risiko
barang tersebut ada pada penjual
sebagai konsekuensi dari
kepemilikan yang timbul dari
akad yang sah.
4. Transaksi pertama (antara penjual
dan pembeli pertama) haruslah
sah, jika tidak sah, maka tidak
boleh jual beli secara murâbahah
(antara pembeli pertama yang
menjadi penjual kedua dengan
pembeli murâbahah), karena
murâbahah adalah jual beli
dengan harga pertama disertai
tambahan keuntungan.
5. Hendaknya akad yang dilakukan
terhindar dari praktik riba, baik
akad yang pertama (antara penjual
dalam murâbahah sebagai
pembeli dengan penjual barang)
maupun pada akad yang kedua
antara penjual dan pembeli dalam
akad murâbahah.
Secara matematis harga jual
dapat di hitung dengan rumus
(Muhammad dalam Fasiha (2016):
Lebih lanjut Fasiha (2016)
menjelaskan bahwa setelah angka-
angka tersebut diperoleh barulah
persentase marjin ini dibandingkan
dengan suku bunga. jadi suku bunga
disini hanya dijadikan benchmark,
agar pembiyaan perbankan syariah
kompetitif. Marjin murabahah
diupayakan untuk lebih kecil dari
bunga pinjaman. Jika masih lebih
besar yang harus diubah adalah cost
recovery dan keuntungan yang
127
diharapkan. Jika keuntungan sudah
turun sampai batas minimun, dan
ternyata marjinnya masih lebih besar
dari suku bunga, tentunya cost
recovery harus ditinjau ulang.
Artinya tingkat efisiensi perbankan
harus diteliti ulang. Efisiensi yang
rendah ini dapat ditingkatkan dengan
mengurangi biaya operasional pada
target volume pembiayaan yang
sama (Fasiha, 2016).
Metode Penulisan
Artikel ini merupakan tulisan yang
menggunakan teknik studi pustaka
(library research) mengenai
literatur-literatur yang berhubungan
dengan konsep dan praktik
murabahah. Secara lebih khusus
tulisan ini mengkritisi praktik akad
murabahah yang tidak sesuai
konsepnya, karena praktiknya barang
objek murabahah tidak dimiliki oleh
penjual (bank) dan penentuan marjin
murabahah pada perbankan syariah
di Indonesia masih mengacu pada
tingkat suku bunga bank
konvensional.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Menurut OJK (2016 – 1)
pada awalnya, murabahah tidak
berhubungan dengan pembiayaan.
Lalu, para ahli dan ulama perbankan
syariah memadukan konsep
murabahah dengan beberapa konsep
lain sehingga membentuk konsep
pembiayaan dengan akad
murabahah. Sekalipun pembiayaan
murabahah identik dengan
pembiayaan konsumtif, namun
sesungguhnya pembiayaan
murabahah dapat juga digunakan
untuk pembelian barang produktif
bagi aktivitas investasi maupun
modal kerja usaha.
Menurut Afrida (2016),
Secara konsep, murabahah hanya
melibatkan dua pihak yaitu penjual
dan pembeli. Dalam aplikasinya di
perbankan syariah, murabahah
melibatkan tiga pihak, yaitu nasabah
sebagai pembeli, bank sebagai
penjual dan supplier sebagai
pemasok barang kepada bank atas
permintaan nasabah. Akan tetapi
dalam realitanya, murabahah lebih
banyak teraplikasi dengan konsep
murabahah bil wakalah. Artinya
bank memberikan wewenang kepada
nasabah untuk melakukan jual beli
terhadap barang kebutuhan nasabah
dengan melakukan perjanjian
wakalah (perwakilan), yang pada
Media Riset Akuntansi Vol.7 No.1 Februari 2017
128
akhirnya nasabah hanya
menyerahkan kwitansi pembelian
barang sebagai bukti bahwa
murabahah yang ditandatangani
akadnya bisa berjalan sesuai dengan
prosedurnya.
Jika dalam prakteknya bank
syariah memberikan pembiayaan
dengan murabahah wakalah sebelum
barang menjadi milik bank, maka
akad murabahah tidak sesuai dengan
konsep fiqh, hal ini disebabkan
karena: Barang yang ditransaksikan
belum sepenuhnya milik bank,
sementara keuntungan dari barang
yang akan ditransaksikan sudah
ditetapkan. Hal ini hampir sama
dengan transaksi short sale di pasar
modal (Antonio, 2001 dalam Afrida,
2016). Dalam hal ini bank berfungsi
sebagai penjual sementara bank pada
saat itu tidak memiliki barang yang
dijual kepada nasabah.
Menurut Lathif (2012) ada
tiga model atau tipe penerapan jual
beli murâbahah di perbankan.
Pertama, tipe konsisten terhadap
fikih muamalat. Dalam tipe ini, bank
membeli dahulu barang yang akan
dibeli oleh nasabah setelah ada
perjanjian sebelumnya. Setelah
barang dibeli atas nama bank
kemudian dijual ke nasabah dengan
harga perolehan ditambah marjin
keuntungan sesuai kesepakatan bank
dan nasabah. Kedua, mirip dengan
tipe yang pertama, tapi perpindahan
kepemilikan langsung dari supplier
kepada nasabah, sedangkan
pembayaran dilakukan bank
langsung kepada penjual
pertama/supplier. Ketiga, bank
melakukan perjajian murâbahah
dengan nasabah, dan pada saat yang
sama mewakilkan kepada nasabah
untuk membeli sendiri barang yang
akan dibelinya. Dari ketiga tipe
tersebut, Tipe II dan Tipe III paling
sering dipakai oleh perbankan
syariah karena motivasi efektivitas
prosedur dan juga pertimbangan
efisiensi, terutama dari pengenaan
pajak pertambahan nilai. Sementara
tipe I justru dihindari padahal tipe
inilah yang paling ideal dalam
konteks fikih muamalat.
Menurut Bahaudin dalam
Imama (2014) dalam praktiknya,
beberapa bank syariah dalam
menentukan tingkat marjin
cenderung masih menggunakan
jangka waktu pembayaran dan
tingkat suku bunga pasar sebagai
acuan menentukan keuntungan
129
seperti penentuan bunga kredit pada
bank konvensional. Bahkan untuk
jangka panjang, lima belas tahun
misalnya, marjin yang dimintakan
kepada nasabah akumulasinya akan
lebih besar dari harga pokok
pembiayaan, sehingga terkesan bank
syariah masih berdasarkan pada
konsep time value of money yang
sebenarnya tidak dibenarkan dalam
perbankan syariah.
Lebih lanjut Imama (2014)
menyatakan bahwa semua jenis
transaksi pada umumnya
diperbolehkan sepanjang tidak
mengandung unsur riba, maysir, dan
gharar. Jika bai’ fudhuli termasuk
kategori gharar, maka perbankan
syariah dalam melaksanakan
murabahah telah terjebak di
dalamnya, karena kontrak
murabahah pada umumnya
ditandatangani sebelum bank
’mendapatkan’ barang yang dipesan
oleh nasabah dan melimpahkan
segala konsekuensi pengadaan
barang kepada nasabah. Hal yang
demikian juga menegaskan bahwa
peran bank syariah lebih sebagai
pembiaya, bukan penjual barang.
Kontrak penjualan adalah sekedar
formalitas karena secara de facto
bank sama sekali tidak mengambil
risiko penjualan yang menjadi
kompensasi penambahan laba
sehingga penambahan yang dikaitkan
dengan harga barang merupakan
tambahan berdasarkan pembayaran
tertunda, yang secara tidak langsung
mengakui prinsip time value of
money.
Hasil penelitian Marwini
(2013) menunjukkan bahwa
penentuan marjin keuntungan
murabahah pembiayaan KPR
Syari’ah menggunakan komponen
cost of fund, overhead cost, premi
risiko, dan jangka waktu.
Komponen-komponen ini juga
digunakan untuk menghitung bunga
kredit di bank konvensional sehingga
cenderung kepada praktik ribâ dalam
bank konvensional.
Pada awal sejarahnya,
murabahah adalah akad jual beli
barang dengan cara
menginformasikan harga pokok dan
mark-up yang disepakati penjual dan
pembeli. Berdasarkan ijtihad
sebagian ulama Islam kontemporer,
murabahah kemudian mengalami
transformasi menjadi salah satu
instrumen pembiayaan, bahkan pada
akhirnya menjadi akad yang paling
Media Riset Akuntansi Vol.7 No.1 Februari 2017
130
banyak diimplementasikan Lembaga
Keuangan Syariah (LKS).
Murabahah sebagai akad
pembiayaan diizinkan, karena sistem
bagi hasil yang sejak awal dirancang
sebagai core product LKS ternyata
mengalami banyak hambatan dalam
wilayah praktis. Walau telah
diizinkan, namun implementasi
murabahah sebagai instrumen
pembiayaan banyak menuai kritik.
Kritik ini muncul, karena fakta
empirik di lapangan, LKS “jarang”
menerapkan murabahah secara
syariah, hingga murabahah berubah
menjadi sekedar pembiayaan
berbasis mark up yang memiliki
karakteristik memberikan
keuntungan yang pasti dan
ditetapkan di muka, yang tentu saja
sangat mirip dengan keuntungan
yang diberlakukan dalam sistem
bunga, sistem yang sejak awal justru
berniat dianulir oleh ekonomi syariah
(Anonim, n.a).
Ada beberapa pendapat
ulama mengenai praktik murabahah
di perbankan Syari'ah, antara lain
(Siswadi, 2015):
1. Murabahah bukanlah jual beli
melainkan Hillah dengan tujuan
untuk mengambil Riba. Hillah
dalam ilmu Fiqih
diidentifikasikan sebagai upaya
mencari legitimasi hukum untuk
suatu kepentingan dengan tujuan-
tujuan ekstra. Tujuan ekstra
dalam konteks tersebut diartikan
sebagai kepentingan khusus yang
tidak memiliki kaitan langsung
dengan hakikat aturan yang
ditentukan oleh hukum syari'at
Islam. Dalam kasus murabahah
ini kadang pembeli membeli
barang atau sesuatu untuk
memanfaatkannya dan kadang
membeli barang untuk
menjualnya kembali (seperti
Bank Islam), kedua hal ini
dibolehkan, namun kadang
pembeli bermaksud untuk
mengambil riba. Dengan
demikian tergantung niat dari
pembeli tersebut, sebagaimana
ditegaskan dalam Hadis
Rasulullah SA .
Artinya: "Sesungguhnya
amal perbuatan itu berdasarkan
NiatNya"
2. Murabahah merupakan jual beli
Innah (pinjaman). Seorang
pedagang menjual barangnya
dengan harga kredit, kemudian
barangnya itu dibelinya lagi dari
131
debitur dengan harga lebih
murah. Rafi Yunus mengatakan
bahwa jual beli Innah adalah
seorang menjual sesuatu kepada
orang lain dengan harga
bertempo, lalu sesuatu itu
diserahkan kepada pihak
pembeli, kemudian penjual itu
membeli kembali barangnya tadi
sebelum harganya diterima
dengan harga yang lebih rendah
dari pada harga jualnya tadi.
3. Murabahah adalah “bai' atanai fi
bai'ah”. Ibnu Ruslan dalam
syarah As-Sunan menafsirkan
bahwa bai' atani fi bai'ah adalah
sesorang meminjamkan satu
dinar kepada orang lain selama
sebulan dengan ketentuan
dibayar satu takar gandum.
Kemudian setelah datang waktu
yang ditentukan dan gandum itu
telah dimintanya, maka orang
yang meminjam itu berkata:
"juallah gandum ini kepada saya
dengan tempo pembayaran
selama dua bulan yang akan saya
bayar dengan dua takar."
4. Murabahah adalah jual beli
barang yang belum dimiliki.
AlBaghawi berkata: termasuk
jual beli yang fasid ialah
menjual sesuatu yang belum
dimiliki, misalnya menjual
burung yang lepas tidak ada
harapan pulang kembali ke
tempatnya.
5. Murabahah jual beli yang Halal
dan Sah. Dalam Fiqih kemudian
diterapkan dalam bentuk produk
perbankan Syari’ah, produk ini
diartikan sebagai akad jual beli
antara bank selaku penyedia
barang dengan nasabah yang
memesan untuk membeli barang.
Produk murabahah ini
merupakan alternatif umat Islam
untuk menghindari transaksi
pembayaran kredit pada
perbankan Konvensional.
Praktik penentuan besarnya
marjin murabahah menunjukkan
bahwa hal tersebut masih didasarkan
pada suku bunga bank konvensional.
Berdasarkan beberapa hasil
penelitian Menurut Mulyanti (2011),
perbankan syariah menentukan
kebijakan harga jual masih merujuk
kepada suku bunga konvensional.
Hipotesa ini didasarkan pada
kenyataan bahwa proses penentuan
harga jual murabahah tetap
menggunakan metode pembebanan
bunga flat rate dan prinsip cost of
Media Riset Akuntansi Vol.7 No.1 Februari 2017
132
fund yang merupakan pikiran utama
dalam perbankan konvensional.
Pembiayaan yang dilakukan oleh
perbankan syariah sebaiknya dalam
bentuk pembiayaan yang berbentuk
profit and loss sharing, akan tetapi
konsep pembiayaan yang ideal ini
sampai sekarang masih sulit
dilaksanakan karena penuh dengan
risiko dan ketidakpastian (Saeed,
2004 dalam Mulyanti, 2011).
Menurut Wahyuni (2014) penelitian
studi kasus dalam hal penerapan
konsep anuitas dan proporsional
pada bank syariah telah dilakukan
oleh Fatmawati dan Mulawarman
(2014) pada BMT Sunan Kalijaga
yang menunjukkan hasil bahwa
seharusnya perhitungan atas marjin
keuntungan jual-beli dengan akad
murabahah, berdasarkan PSAK
No.102 revisi dilakukan secara
proporsional. Sedangkan dalam
praktik, pembiayaan murabahah di
BMT Sunan Kalijaga dilakukan
secara anuitas, di mana marjin
murabahah dihitung dari porsi pokok
utang. Menurut Fasiha (2016)
Murabahah sebagai salah satu bentuk
jual beli, merupakan bagian yang
tidak bisa dilepaskan dari
keuntungan, di mana salah satu yang
menjadi pembeda antara murabahah
dengan bentuk jual beli lainnya
adalah ketentuan pengambilan
keuntungan yang transparan dalam
praktik jual beli. Dalam pengambilan
keuntungan tersebut besarnya
keuntungan yang diharapkan harus
jelas dan transparan, dengan
menyatakan harga perolehan dan
keuntungan yang diharapkan.
Sehingga keuntungan tersebut
merupakan lebih bersifat margin atau
sesuatu yang disepakati bukan dalam
bentuk mark-up tambahan yang lebih
dekat pada bentuk pendzaliman,
ditentukan sepihak tanpa analisis
yang rasional.
Terkait kepemilikan barang
objek murabahah, menurut Al-Hasan
(n.a.) masih terdapat ketidaksesuaian
antara konsep dengan apa yang
terjadi di lapangan mengenai
pelaksanaan murabahah. Di antara
indikasi ketidaksesuaan itu adalah
mengenai konsep murabahah bil
wakalah (agen kepada nasabah) yang
jika tetap dipertahankan lebih
mendekati pada jual beli yang
diharamkan, yaitu jual beli ma‟dum
atau jual beli barang yang tidak ada
pada seseorang (penjual).
133
SIMPULAN
Konsep fiqih muamalah
untuk akad murabahah adalah bank
membeli dahulu barang yang akan
dibeli oleh nasabah setelah ada
perjanjian sebelumnya. Setelah
barang dibeli atas nama bank
kemudian dijual ke nasabah dengan
harga perolehan ditambah marjin
keuntungan sesuai kesepakatan bank
dan nasabah. Praktiknya, karena
motivasi efektivitas prosedur dan
juga pertimbangan efisiensi,
terutama dari pengenaan pajak
pertambahan nilai, bank syariah
melaksanakan akad murabahah
dengan cara perpindahan
kepemilikan barang langsung dari
supplier kepada nasabah, sedangkan
pembayaran dilakukan bank
langsung kepada penjual
pertama/supplier atau dengan cara
bank melakukan perjanjian
murâbahah dengan nasabah, dan
pada saat yang sama mewakilkan
kepada nasabah untuk membeli
sendiri barang yang akan dibelinya.
Terkait dengan marjin
murabahah, praktiknya, beberapa
bank syariah dalam menentukan
tingkat marjin cenderung masih
menggunakan jangka waktu
pembayaran dan tingkat suku bunga
pasar sebagai acuan menentukan
keuntungan seperti penentuan bunga
kredit pada bank konvensional.
Bahkan untuk jangka panjang, lima
belas tahun misalnya, marjin yang
dimintakan kepada nasabah
akumulasinya akan lebih besar dari
harga pokok pembiayaan, sehingga
terkesan bank syariah masih
berdasarkan pada konsep time value
of money yang sebenarnya tidak
dibenarkan dalam perbankan syariah.
Selain itu, dalam praktiknya, bank
menentukan nilai marjin tersebut
secara sepihak, tidak berdasarkan
kesepakatan dengan nasabah.
Saran
Berdasarkan pembahasan dan
simpulan dalam uraian di atas saran-
saran yang dapat disampaikan adalah
sebagai berikut:
1. Pemerintah harus
mengakomodasi mekanisme
yang memungkinkan bank
syariah memiliki dulu barang
objek murabahah sebelum dijual
kepada nasabah.
2. Mekanisme penentuan marjin
yang diterapkan dalam praktik
jual beli murabahah hendaknya
Media Riset Akuntansi Vol.7 No.1 Februari 2017
134
tidak mengacu pada tingkat suku
bunga kredit bank konvensional.
3. Tingkat suku bunga kredit bank
konvensional digunakan hanya
sebagai benchmark agar marjin
murabahah lebih kompetitif.
4. Penentuan marjin sebaiknya
dilakukan dengan terlebih dahulu
menunjukkan harga pokok
pembelian (cost) dari objek
pembiayaan secara transparan
kepada nasabah.
5. Penghitungan marjin ditunjukkan
secara transparan kepada
nasabah.
6. Besarnya marjin sebaiknya
ditentukan berdasarkan
kesepakatan antara bank syariah
sebagai penjual dan nasabah
sebagai pembeli, artinya nasabah
diberi ruang untuk melakukan
tawar menawar marjin
berdasarkan data cost objek
pembiayaan dan penghitungan
marjin yang telah ditunjukkan
secara transparan dan jujur.
7. Bank membuka diri untuk
menurunkan marjin murabahah
sampai tingkat tertentu atas dasar
penawaran nasabah di atas.
DAFTAR PUSTAKA
Afrida, Yenti. (2016). Analisis
Pembiayaan Murabahah Di
Perbankan Syariah. JEBI
(Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Islam)-Volume 1, Nomor 2,
Juli-Desember 2016.
Al-Hasan, Fahadil Amin. (n.d.)
Analisis Pelaksanaan Akad
Murabahah Di Lembaga
Mikro Keuangan Syariah
(BMT) Fahadil Amin.
Diunduh dari
https://www.docdroid.net.
pada tanggal 10 Agustus
2017, pukul 13.21 WIB.
Anonim. (n.d.) Studi Kritis Terhadap
Implementasi Akad
Murabahah Di Lembaga
Keuangan Syariah. Diunduh
melalui
http://fai.ummgl.ac.id. pada
tanggal 10 Agustus 2017,
pukul 09.56 WIB.
Fasiha. (2016). Islamic Finance
(Konsep dan Aplikasi dalam
Lembaga Keuangan Syariah).
2016. Penerbit Laskar
Perubahan. Palopo - Sulawesi
Selatan.
Imama, Lely Shofa. (2014). Konsep
Dan Implementasi
Murabahah Pada Produk
Pembiayaan Bank Syariah.
Iqtishadia al-Ihkâmadia , Vol.
1 No. 2 Desember 2014.
Lathif, Ah. Azharuddin. (2012).
Konsep Dan Aplikasi Akad
Murâbahah Pada Perbankan
Syariah Di Indonesia. Jurnal
Ahkam: Vol. XII, No. 2, Junli
2012.
135
Marwini. (I2013). Aplikasi
Pembiayaan Murabahah
Produk Kprs Di Perbankan
Syari’ah Marwini. Al-Ihkâm,
Vol. 8 No .1 Juni 2013.
Mulyanti. (2011). Diunduh dari
http://repository.ipb.ac.id.
Pada tanggal 11 Agustus
2017. Pukul 11.18 WIB.
Otoritas Jasa Keuangan. (2016-1).
Standar Produk Perbankan
Syariah Murabahah. Divisi
Pengembangan Produk dan
Edukasi Departemen
Perbankan Syariah Otoritas
Jasa Keuangan.
___________________. (2016-2).
Statistik Perbankan Syariah.
Otoritas Jasa Keuangan,
Republik Indonesia
Departemen Perizinan dan
Informasi Perbankan.
Februari 2016.
Prasetyo, Pamungkas Aji. (2013).
Identifikasi Faktor Yang
Mempengaruhi Rendahnya
Pembiayaan Bagi Hasil
Perbankan Syariah (Studi
Kasus PT. BRI Syariah
Kantor Cabang Malang)
Jurnal Ilmiah. Jurusan Ilmu
Ekonomi Fakultas Ekonomi
Dan Bisnis Universitas
Brawijaya Malang. diunduh
dari
http://download.portalgaruda.
org.
Prayogo, Youdhi. (2011).
Murabahah Produk Unggulan
Bank Syariah Konsep,
Prosedur, Penetapan Margin
Dan Penerapan Pada
Perbankan Syariah. Nalar
Fiqh, Jurnal Kajian Ekonomi
Islam dan Kemasyarakatan.
Volume 4 nomor 2.
Desember 2011.
Siswadi. (2015). Produk Murabahah
Solusi Bebas Transaksi Riba
Dalam Lembaga Keuangan
Syari’ah. Jurnal Ummul Qura
Vol V, No 1, Maret 2015.
Wahyuni, Mirasanti. (2014). Anuitas
Di Perbankan Syariah. Jurnal
Prestasi Vol. 13 No. 1 - Juni
2014 ISSN 1411 - 1497 61.
Wiyono, Slamet. (2009).
Membumikan Akuntansi
Syariah di Indonesia.
Electronic Book. ISBN 978-
602-95509-1-7.
Yaya R., Martawiredja A.E.,
Abdurahim A. (2009).
Akuntansi Perbankan
Syariah: Teori dan Praktik
Kontemporer. Salemba
Empat.