Keselamatan Pasien
-
Upload
maia-rahmayani -
Category
Documents
-
view
20 -
download
3
description
Transcript of Keselamatan Pasien
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Keselamatan pasien (Patient safety) merupakan isu internasional, akibat
banyaknya kasus medical error kesalahan medis), sehingga perlu dimengerti
dengan benar di setiap institusi pelayanan kesehatan, khususnya pelayanan
kesehatan di rumah sakit. Pengertian patient safety adalah upaya rumah sakit untuk
mencegah terjadinya kesalahan dalam pelayanan kesehatan, yang intinya adalah
dengan menemukan kesalahan yang terjadi berdasar data-data, melakukan analisis
dan kemudian melakukan perbaikan prosedur yang diperlukan. Hal ini termasuk
assesmen risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko
pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemauan dan kemampuan belajar dari
insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk menimimalkan
timbulnya risiko. (1)
Laporan The IOM (institute of medicine) menyebutkan bahwa sekitar 48.000 -
98.000 pasien meninggal dunia di Amerika Serikat akibat kesalahan medis yang
terjadi pada pusat-pusat pelayanan kesehatan sekitar tahun 1999. Dikatakan bahwa
sebenarnya kejadian ini dapat dicegah/ dihindari atau diminimalisir. laporan hasil
penelitian yang dilansir oleh WHO dalam Wotld alliance for patient safety,
menunjukkan pada beberapa negara maju sekalipun tingkat pasien yang mengalami
adverse event (kejadian yang tidak diharapkan) ada yang mencapai lebih dari 10%,
misalnya di Australia 16.6% (2533 kasus), New Zealand 12,9% , Inggris 11,7%,
Denmark 9,00%, Kanada 7,5%, dan Amerika Serikat 3,8% (1133 kasus). (2)
1. Nico A Lumenta.. Penerapan Patient Safety di Rumah Sakit. Kertas Kerja Semiloka Nasional Patient
Safety. Semarang, BP Undip, 2006, hal: 1-30
2. Kohn L, Corrigan J, Donalson M, Editors. To ERRS IS HUMAN : Building a safer health system,
commitee on quality of health care In America, Institute od Medicine, 2000, hal: 1-28
Sebagai langkah awal dari program patient safety dieprlukan adanya data
dasar kesalahan medis di Indonesia. Hasil studi kesalahan medis di Jateng dan DIY
tahun 1999 kejadiannya sangat bervariasi antara 1,8% - 88,9%, penelitian ini
dilakukan oleh FK UGM (Kuntjoro T, dkk) pada 15 rumah sakit dan 12 puskesmas.
Dengan data tersebut maka sudah tiba saatnya untuk kita perhatikan secara serius
dengan tindakan nyata di setiap institusi rumah sakit karena kesalahan medis
sesungguhnya dapat dicegah atau paling tidak eliminir. Oleh sebab itu Menteri
Kesehatan RI pada acara seminar nasional persatuan rumah sakit seluruh Indonesia
(PERSI) di JCC Jakarta, Agustus 2005 telah mencanangkan gerakan moral nasional
keselamatan pasien di rumah sakit (GMN KPRS) yang berisi 7 langkah atau
program yang harus dilaksanakan institusi rumah sakit seluruh Indonesia baik rumah
sakit Pemerintah maupun swasta. (3)
Ketujuh langkah atau program tersebut yaitu : sosialiasi sistem keselamatan
pasien, pengkajian (riset, analisis, belajar), pengembangan dan publikasi,
pembentukan sistem pelaporan insiden di rumah sakit, implementasi standar dan
indikator keselamatan pasien, pengembangan kerjasama dan pengembangan
taksonomi. Pencanangan GMN KPRS oleh Men Kes dapat disebut sebagai tonggak
awal bagi implementasi atau penerapan keselamatan pasien di Indonesia. Melalui
sebuah mekanisme kerja dan program yang jelas dan didukung oleh berbagai
sarana pelayanan kesehatan di Indonesia harus segera dilaksanakan oleh semua
saran kesehatan terutama rumah sakit dan oleh setiap tenaga kesehatan. (4)
Dengan semakin meningkatnya kesadaran pasien akan hak-haknya di
lingkungan masyarakat pengguna pelayanan rumah sakit, maka meningkat pula
permasalahan yang terjadi antara rumah sakit dan pelanggan. Sebagai dampak
kesadaran pasien akan hak-haknya maka tidak sedikit akhir-akhir ini tampak adanya
tren yang meningkat para pelanggan / pasien rumah sakit menuntut melalui jalur
hukum. Jika dihubungkan dengan UU no 29/ 2004 tentang Praktek Kedokteran,
yang telah menjadi landasan hukum yang jelas untuk menyelamatkan pasien dalam
menerima pelayanan medis di rumah sakit, karenanya manajemen keselamatan
pasien menjadi salah satu sistem yang akan mampu menepis persoalan yang timbul
antara pasien dan dokter / rumah sakit. (5)
Permasalahan yang dimaksud adlaah pencegahan terjadinya kejadian yang
tidak diharapkan/adverse event yang dapat menyebabkan cidera pada pasien
karena suatu tindakan atau tidak melakukan tindakan.(6)
Beberapa ciri penting rumah sakit adalah pada modal, padat teknologi, padat
karya, padat profesi, padat system/prosedur, padat mutu, padat keluhan/masalah,
padat risiko dan padat error. Jadi rumah sakti merupakan sarana yang kompleks
yang padat masalah. Hakekat rumah sakit merupakan sebuah institusi yang besar,
yang sarat dengan peralatan bertehnologi canggih, dioperasionalkan oleh
sekelompok orang dengan keahlian dan bakat sesuai dengan keperluan. Juga
sebuah struktur organisasi yang komples dimana orang ditempatkan untuk
melakukan pekerjaan tertentu dengan kompensasi finansial sesuai kebutuhan dalam
rencana kerja yang dibatasi oleh peraturan, regulasi dan prosedur sesuai kebutuhan
birokrasi dan kebutuhan hukum.
Di rumah sakit banyaknya jenis obat, jenis pemeriksaan dan prosedur serta jumlah
pasien dan staf rumah sakit yang cukup besar merupakan hal potensial patient
safety otensial bagi terjadinya kesalahan.(7)
Suatu fakta yang tidak boleh diingkari bahwa pelaksanaan layanan kesehatan di
rumah sakit merupakan pekerjaan yang sulit, rumit dan komplek serta memerlukan
bantuan tehnologi (metode, alat dan obat-obatan) maka dalam kaitannya dengan
upaya keselamatan pasien, The National Patient Safety Fondation menyimpulkan
sebagai berikut:
1. Keselamatan pasien diartikan sebagai upaya menghindari dan mencegah
kejadian tidak diharapkan yang disebabkan oleh proses layanan serta upaya
meningkatkan mutu layanan (mutu outcome)
2. Keselamatan pasien tidak hanya bertumpu pada orang, peratalan atau
departemen saja, tetapi merupakan interaksi dari berbagai komponen dan
yang penting system.(8)
6. Tjahjono Kuntjoro . Konsep dan implementasi keselamatan pasien dan manajemen resiko. FK UGM.
Jogyakarta, 2000.
7. Valentina Siswianti. Menilai mutu Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit. IHQN, 2006
8. AHRC, Guide to Patient Safety, 2004:hal : 180-200
Dari sudut hukum, hubugnan terapetik antar apasien dan rumah sakit merupakan
hubungan yang memiliki sifat-sifat sebagai berikut:
1. Hubungan terapetik merupakan hubngan kontraktual dan oleh karenanya
semua asas dalam berkontrak berlaku, utamanya asas utmmost of good faith
(itikad baik).
2. Perikatan yang timbul sebagai konsekuensi hubungan terapetik merupakan
jenis perikatan dimana dokter atau rumah sakit hanya dibebani kewajiban
memberikan upaya yang benar (inspanning atau effort), bukan hasil (resultaat
atau result).
3. Adverse event (KTD = Kejadian tidak diharapakan) yng terji tidak secara
otomatis merupakan bukti adanya malpraktek.
4. Kesalahan diagnosis tidak boleh disebut malpraktek sepanjang dokter dalam
membuat diagnosis telah memenuhi ketentuan dan prosedur. Perlu dipahami
oleh masyarakat bahwa bagian dari pekerjaan dotker yang paling sulit adalah
menegakkan diagnosis, sementara peralatan diagnosis (yang paling canggih
sekalipun) hanyalah bersifat mengurangi angka kesalahan saja. Maka tidak
aneh jika kesalahan diagnosis di Amerika tetap tinggi (s atau ICU lebih tinggi
lagi (20% sampai 40%). Satu hal penting yang perlu dipertimbangkan adalah,
apakah kesalahan diagnosis itu terjadi kaerna kecerobohan dalam melakukan
prosedur diagnosis ataukah tidak.
5. Dokter dapat dituntut pidana apabila tindakannya memnuhi rumusan pidana,
yang unsur-unsurnya terdiri atas actus reus (perbuatan tercela) dan mens rea
(sikap batin yang salah yang bisa berupa kesengajaan atau kelalaian).
6. Tanggung jawab pidana (criminal responsibility) selalu bersifat individual dan
personal serta tidak dapat dialihkan kepada pihak lain (baik individu maupun
korporasi).
7. Dokter juga dapat digugat membayar ganti rugi jika pasien menderita kerugia
akibat ingkar janji atau karena tindakan melawan hukum (onrechtmatige-
daad).
8. Tanggung gugat (civil lability) atas terjadinya malpraktek yang dilakukan oleh
dokter adakalanya dapat dialihkan kepada pihak rumah sakti berdasarkan
doktrin tanggung-renteng (doctrine of vicarious liability).
9. Corporate liability (tanggung gugat rumah sakit dapat diterapkan mana kala
rumah sakit tidak melakukan langka-langkah manajerial yang patnas terhadap
bidang-bidang di bawah ini, yaitu:
a. Hospital equipment, supplies, medication and food
b. Hospital environment.
c. Safety procedures
d. Selecetion and retention of employees and conferral of staff privilages.
e. Responsibilities for supervision of patient care.
Medical Staff By Laws adalah Tailor made dan merupakan peraturan yang
mengatur staf medis. Mengacu kedua hal tersebut dapat dikatakan walaupun
medical staff by laws bersifat tailor made, namun tetap diperlukan acuan hal-hal apa
saja yang perlu diatur di dalamnya dengan tujuan untuk menajga mutu profesi
medis.
Mengingat staf medis adalah profesi mandiri maka medical staff by laws
harus memperhatikan ciri-ciri profesi. Medical staff by laws minimal meliputi
substansi inti dan substansi khusus lokal. Substansi inti adalah nilai-nilai
fundamental yang dianut secara universal dalam menalankan profesi medis seperti
asas-asas pelayanan yang bermutu, terukur dan sebagainya. Subansi lokal khusus
adalah hal-hal yang khusus dan berlaku di rumah sakit tersebut. Berdasarkan hal
tersebut diatas, substansi medical staff by Laws sebagai berikut: uraian tentang staf
medis, kelompok staf medis dan komite medis, uraian tentang hatris-garis besar
tugas dan medis untuk mentaati dan menjalankan ketentuan etika profesi, etika
rumah sakit dan hospital by law atau medical staff by laws.
Dalam teori hukum pidana, suatu perbuatan dikategorikan tindak pidana
apabila memenuhi unsur-unsur: pertama, perbuatan tersebut (baik positive act
ataupun negative act) harus merupakan perbuatan tercela (actus reus) dan kedua,
dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea). Sikap batin yang salah ini bisa
berupa kesengajaan (intentional) terdapat dalam hukum pidana pasal 304 no. 306
atau pasal 347 - 349 KUHP, atau kurang hati-hati (negligence) terdapat dalam pasal
359 - 361 KUHP. (10)
9. Institute of Medicine (IOM), Care the Quality. Washington DC, National Academy Patient, 2001
10. Sofwan Dahlan Hospital By Law. Raker Arsada Jateng, Salatiga, 2006
Disebut positive act (commission) manakala seseorang melakukan perbuatan
yang bersifat tercela dan disebut negative act (omission) apabila seseorang secara
tercela tidak atau gagal melkakukan tindakan yang mestinya dilakukan. Apabila
positive act atau negative act tersebut dilandasi oleh sikap batin yang salah dengan
maksud agar akibat buruk (personal injury atau wrongful death) terjadi maka sikap
batin yang salah tersebut termasuk intentional dan apabila sikap batin yang salah itu
karena kurang menduga-duga akan timbulnya akibat buruk (personal injury atau
wrongful death) sehingga tidak melakukan antisipasi memadai guna mencegah
timbulnya akibat buruk (preventable adverse event) maka sikap batin tersebu
tersebut disebut negligence. Apabila teori pidana diatas digenelarisir atau diterapkan
secara gebyah-uyah maka rasa-rasanya setiap tindakan dokter yang memenuhi
unsur-unsur tersebut, baik intenional maupun negligence, juga akan dapat
dikategorikan sebagai criminal malpractice. (11)
Hanya saja apakah penerapan teori ini di lapangan kedokteran memenuhi
rasa keadilan mengingat tindakan dokter dilakukan dalam kerangka professional
relationship. Barangkali karena itulah maka Criminal Malpractice di negara-negara
CommonLlaw dibatasi hanya pada tindakan medis yang dilandai oleh sikap batin
yang salah yang bersifat disegaja (intentional tort), misalnya tindakan dotker yang
dengan sengaja menghendaki kematian pasien (euthanasia). Untuk sikap batin yang
bersfifat alpa atau kurang hati-hati (negligence) maka dokter tidak dipidana sama
seperti ini dapat dipahami oleh masyarakat disini maka saya yakin jumlah kasus
dugaan malpraktek yang dilakukan oleh dokter yang dilaporkan ke polisi akan jauh
berkurang. Namun dipahami atau tidak, tidak perlu terlalu dirisaukan. Sepanjang
dokter dalam melaksanakan setiap tanggung jawabnya menerapkan prinsip kehati-
hatian (precautionary principle), dokter tidak perlu khawatir diadukan dalam perkara
pidana akibat timbulnya adverse event. Perlu ditambahkan disini bahwa dalam
hukum pidana ada doctrine of impossibility yang bisa melepaskan dokter dari
tanggung jawab pidana terhadap kejadian buruk yang mustahil bagi dokter untuk
mencegahnya. (12)
11. J Guwandi. Hospital By Law, Rumah Sakit Anda dengan HBL versi Indonesia, FK UI, Jakarta, 2004, hal:
1-51
12. Sofwan Dahlan. Pemenuhan standar layanan Kesehatan di Rumah Sakit sebagai Upaya mencegah
terjadinya Dugaan malpraktek, Makalah Seminar Malpraktek DepHukham. Semarang, 2007
Rumah Sakit Bhayangkara Semarang sebelum ada gerakan moral Nasional
keselamatan pasien di rumah sakit yang dicanangkan menteri Kesehatan RI telah
melaksanakan program keselamatan pasien yang tidak terstruktur yaitu masuk
dalam komponen atau subkomite kualitas rumah sakit dan belum merupakan
program yang mandiri dan komprehensif. Semua rumah sakit di Indonesia harus
menerapkan keselamatan pasien sejak Men Kes mencanangkan Gerakan Moral
Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit (GMN KPRS) dan buku panduannya,
Rumah sakit Bhayangkara Semarang sebagai salah satu RS pemerintah / POLRI di
Semarang / Jateng, telah pula menerapkan program keselamatan pasien.
Diharapkan program keselamatan pasien dapat berjalan dengan baik dengan
melibatkan seluruh komponen rumah sakit, dengan adanya disiplin semua unit
pelaksana pelayanan kesehatan maupun dukungan manajemen rumah sakit.
Rumah Sakit Bhayangkara Semarang dalam menerapkan program keselamatan
pasien dilakukan secara bertahap. Permasalahan timbul karena RS Bhayangkara
Semarang belum ada bagian / unit / institusi / organisasi yang menangani khusus
program keselamatan pasien, semua masih berjalan sendiri-sendiri belum ada
koordinasi terpusat. Dalam HBL (Hospital By Law) pun belum dimasukan sebagai
program. Program keselamatan pasien yang ditempuh baru meliputi tingkat pasien,
tingkat mikro pelayanan dan belum sampai tingkat organisasi. Di Rumah Sakit
Bhayangkara Semarang beberapa program keselamatan pasien baru berjalan
sebagian kecil dari program nasional keselamatan pasien oleh Depkes RI.
Bagaimana penyebab belum berjalan seperti yang diharapkan ? Bagaimana dampak
hukum terhadap rumah sakit yang harus ditanggung ?
Permasalahan Penelitian
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan, menjadi penting untuk
mengetahui apa saja yang membuat program keselamatan pasien penting dan
harus dilaksanakan di rumah sakit serta dituangkan dalam hospital by law (HBL).
Permasalahan penelitian ini adalah:
6. Bagaimana implementasi / penerapan program keselamatan pasien (patient
safety) di RS Bhayangkara Semarang ?
1. Bagaimana program keselamatan pasien dituangkan dalam HBL ?
2. Bagaimana hubungan HBL dan keselamatan pasien ?