KESANTUNAN BERBAHASA DALAM TRANSAKSI JUAL BELI …eprints.unram.ac.id/9667/1/JURNAL...
-
Upload
duongnguyet -
Category
Documents
-
view
238 -
download
0
Transcript of KESANTUNAN BERBAHASA DALAM TRANSAKSI JUAL BELI …eprints.unram.ac.id/9667/1/JURNAL...
1
KESANTUNAN BERBAHASA DALAM TRANSAKSI JUAL
BELI DI PASAR TRADISIONAL SESELA KECAMATAN
GUNUNGSARI KABUPATEN LOMBOK BARAT
JURNAL SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan dalam Menyelesaikan Program
Strata Satu (S1) Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah
OLEH
LINA KUMILA DINI
E1C114050
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA SASTRA
INDONESIA DAN DAERAH
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MATARAM
2018
2
3
ABSTRAK
Permasalahan dalam penelitian ini adalah 1) bagaimanakah bentuk
pematuhan prinsip kesantunan berbahasa dalam transaksi jual beli di pasar
tradisional Sesela? dan 2) bagaimanakah bentuk penyimpangan prinsip
kesantunan berbahasa dalam transaksi jual beli di pasar tradisional Sesela? Tujuan
penelitian ini adalah 1) mendeskripsikan bentuk pematuhan prinsip kesantunan
berbahasa dalam transaksi jual beli di pasar tradisional Sesela; dan 2)
mendeskripsikan bentuk penyimpangan prinsip kesantunan dalam transaksi jual
beli di pasar tradisional Sesela. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif
kualitatif. Data dan sumber data berasal dari tuturan para penjual dan pembeli
yang sedang melakukan transaksi jual beli di pasar tradisional Sesela yang di
dalamnya mengandung pematuhan dan penyimpangan prinsip kesantunan
berbahasa. Data yang dituturkan diperoleh dengan metode simak dengan teknik
dasar sadap yang melibatkan teknik lanjutan yakni teknik bebas libat cakap,
teknik rekam dan teknik catat. Berdasarkan hasil analisis data, ditemukan tuturan
data seperti 1) beberapa penutur (penjual dan pembeli) di pasar tradisional Sesela
mematuhi dari keenam prinsip kesantunan berbahasa yang meliputi maksim
kebijaksanaan, maksim kedermawanan/kemurahan, maksim pujian/penghargaan,
maksim kerendahan hati/kesederhanaan, maksim kecocokan dan maksim
kesimpatian; 2) beberapa penutur (penjual dan pembeli) di pasar tradisional Sesela
melanggar atau menyimpang dari keenam prinsip kesantunan berbahasa yang
meliputi maksim kebijaksanaan, maksim kedermawanan/kemurahan, maksim
pujian/penghargaan, maksim kerendahan hati/kesederhanaan, maksim kecocokan
dan maksim kesimpatian.
Kata kunci: Prinsip kesantunan berbahasa, penyimpangan prinsip kesantunan
berbahasa, sosiopragmatik.
4
ABSTRACT
The problem in this study is 1) how is the form of adherence to the principle of
politeness in buying and selling transactions in the traditional market Sesela? And
2) how is the form of deviation from the principle of politeness in buying and
selling transactions in the traditional market of Sesela? The purpose of this study
was 1) to describe the form of adherence to the principle of language politeness in
buying and selling transactions in the traditional Sesela market; and 2) describe
the form of irregularities in the principle of politeness in buying and selling
transactions in the traditional Sesela market. This research is a qualitative
descriptive study. Data and source of data and source of data come from the
utterances of sellers and buyers who are buying and selling transactions in
traditional markets in Sesela which contain compliance and deviation from the
principle of language politeness. The data that is told is obtained by referring to
the method of listening to the basic taping technique which involves advanced
techniques namely competent involved free techniques, recording techniques and
note-taking techniques. Based on the results of data analysis, found data
utterances such as 1) some speakers (sellers and buyers) in the traditional market
Sesela adhere to the six principles of language politeness which include the
maxim of wisdom, the maxim of generosity, praise / appreciation, the maxim of
humility / simplicity, the maxim of compatibility and maxim of conscience; and
2) some speakers (sellers and buyers) in the traditional market Sesela violate or
deviate from the six principles of language politeness which include the maxim of
wisdom, the maxim of generosity in the community, the maxim of praise /
appreciation, the maxim of humility / simplicity, the maxim of compatibility and
the maxim of conscience.
Keywords: The principle of language politeness, deviation from the principle of
language politeness
5
A. PENDAHULUAN
Pasar Tradisional memiliki
banyak bentuk komunikasi, baik
antara penjual-pembeli, pembeli-
pembeli, maupun penjual-penjual
lainnya. Salah satu komunikasi yang
terjalin di sebuah pasar biasanya
mengenai kesepakatan harga barang
antara penjual dan pembeli.
Penjual dan pembeli akan
menemukan kesepakatan harga
setelah adanya kegiatan tawar-
menawar. Menawarkan merupakan
suatu kegiatan seorang pedagang
yang menjajakan sebuah jasa atau
barang dagangan di dalam situasi
berdagang, baik di pasar tradisional
maupun di suatu lembaga tertentu
yang menyediakan layanan jasa.
Berikut contoh fenomena
kebahasaan antara penjual dan
pembeli yang ada di pasar.
(1) Pembeli: Araq sayur ijo?
/AraɁ sayur ijÒ?/
„Ada sayur hijau?‟
Penjual: Sik ne?
/SΙɁ nê?/
„Yang ini?‟ (sambil
menunjuk barangnya)
Pembeli: Nggih (bahasa sasak
yang halus/sopan)
/ȠgΙh/
„Iya‟
Tuturan pada data (1) pada
dasarnya sama-sama mengharapkan
mitra tutur memberikan tanggapan.
Tuturan tersebut tergolong tuturan
yang mematuhi prinsip kesantunan.
Penjual dengan santun menawarkan
barangnya kepada pembeli dengan
bahasa yang santun dan halus.
Tuturan //Nggih// yang merupakan
bahasa yang lebih santun
dibandingkan kata //Aok//
menunjukan tanggapan yang baik
dari pembeli karena penjual juga
menawarkan barangnya dengan
bahasa yang santun dan disenangi
oleh pembeli. Beda halnya jika
penjual menanggapi pembeli dengan
6
bahasa yang kurang santun atau
bahasa yang melanggar prinsip
kesantunan, maka pembeli akan
cenderung hanya melewati pedagang
yang seperti itu. Penjual yang
berbahasa tidak santun dan bermuka
kecut atau tidak ramah, cenderung
akan ditinggal oleh pembeli. Karena
sejatinya pembeli ingin dilayani
dengan baik.
Percakapan di pasar sangat
bervariasi ketika sedang melakukan
tawar-menawar, seperti percakapan
yang terjadi dalam interaksi penjual
dan pembeli di Pasar Tradisional
Sesela Kecamatan Gunungsari,
Kabupaten Lombok Barat. Keadaan
pasar tersebut nyaman dan ramai.
Adanya pasar ini sangat membantu,
sebab letak dan keberadaannya yang
sangat dekat dengan rumah warga
setempat. Pasar tersebut letaknya di
desa Sesela. Barang yang dijual di
pasar ini berupa pakaian, sayuran,
buah-buahan, kosmetik, gula dan
berbagai kebutuhan pokok yang lain.
Salah satu hal yang menarik diamati
dari interaksi yang terjadi di pasar
adalah tindak tutur (speach act)
antara kedua pihak yaitu penjual
dengan pembeli yang terkait dengan
kesantunan.
Tuturan di atas salah satu
fenomena kebahasaan yang ada di
desa Sesela. Bahasa yang dimiliki di
desa Sesela kecamatan Gunungsari
sangat khas. Berdasarkan hal ini,
maka penulis merasa tertarik untuk
mengangkat permasalahan tersebut
dalam suatu penelitian. Peneliti
tertarik meneliti realita Kesantunan
Berbahasa dalam Transaksi Jual Beli
di Pasar Tradisional Sesela karena
peneliti dekat dengan lokasi
penelitian, sehingga memudahkan
7
peneliti untuk mengetahui fenomena
tersebut.
Berdasarkan latar belakang
pada subbab sebelumnya,
permasalahan dalam penelitian ini
adalah, sebagai berikut; 1)
bagaimanakah bentuk kesantunan
berbahasa dalam transaksi jual beli di
pasar tradisional Sesela? 2)
bagaimanakah bentuk pelanggaran
kesantunan berbahasa dalam
transaksi jual beli di pasar tradisional
Sesela? Berdasarkan masalah
tersebut penelitian ini bertujuan; 1)
mendeskripsikan kesantunan
berbahasa dalam transaksi jual beli di
Pasar Tradisional Sesela; dan 2)
mendeskripsikan
pelanggarankesantunan berbahasa
dalam transaksi jual beli di Pasar
Tradisional Sesela.
B. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan
kualitatif bersifat deskriptif. Istilah
dekriptif itu menyarankan bahwa
penelitian yang dilakukan semata-
mata hanya berdasarkan pada fakta-
fakta yang ada atau fenomena yang
memang secara empiris hidup pada
penutur-penuturnya, sehingga yang
dihasilkan atau yang dicatat berupa
perian bahasa yang biasa dikatakan
sifatnya seperti potret, paparan
seperti adanya. Perian yang
deskriptif itu tidak
mempertimbangkan benar salahnya
penggunaan bahasa oleh penutur-
penuturnya, hal itu merupakan
cirinya yang pertama dan terutama
(Sudaryanto, 1992:62).
Dalam penelitian ini, yang
menjadi populasi yaitu semua
penutur atau anggota masyarakat
tutur yang berada dalam satu wilayah
8
atau tempat yang menjadi objek
penelitian yang terdiri atas individu-
individu yang berbeda bahasa,
budaya dan status sosial. Populasi
dalam penelitian ini yaitu semua
penutur yang melakukan kegiatan
jual-beli yang berada dalam lingkup
wilayah Pasar Tradisional Sesela.
Dalam penelitian ini dipilih
teknik sampling insidental karena
teknik penentuan sampel berdasarkan
kebetulan, yaitu siapa saja yang
secara kebetulan /insidental bertemu
dengan peneliti dapat digunakan
sebagai sampel, bisa dipandang
orang yang kebetulan ditemui itu
cocok sebagai sumber data.
Metode yang digunakan
peneliti pada tahap penyediaan data
adalah metode simak
(pengamatan/observasi). Istilah
menyimak di sini tidak hanya
berkaitan dengan penggunaan bahasa
secara lisan, tetapi juga penggunaan
bahasa secara tertulis. Metode ini
memiliki teknik dasar yang berwujud
teknik sadap. Teknik sadap disebut
sebagai teknik dasar dalam metode
simak, karena pada hakikatnya
penyimakan diwujudkan dengan
penyadapan (Mahsun, 2011: 92).
Metode yang digunakan
dalam penelitian ini adalah model
analisis deskriptif kualitatif. Model
ini fokusnya penunjukan makna,
deskripsi, penjernihan, dan
penempatan data pada konteksnya
masing-masing dan seringkali
melukiskannya dalam bentuk kata-
kata daripada angka-angka (Mahsun,
2011:257).
Metode penyajian hasil
analisis data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode formal
dan informal.
9
C. PEMBAHASAN
Hasil penelitian ini adalah ada
enam pematuhan dan
pelanggaran/penyimpangan maksim
yang diutarakan oleh Leech (1983)
yaitu (a) maksim kebijaksanaan; (b)
maksim kedermawanan; (c)maksim
penghargaan/pujian; (d) maksim
kesederhanaan/kerendahan hati; (e)
maksim kemufakatan/kecococokan;
dan (f) maksim kesimpatian.
4.1 Bentuk Pematuhan Prinsip
Kesantunan Berbahasa dalam
Transaksi Jual Beli di Pasar
Tradisional Sesela
Penutur atau mitra tutur yang
dalam hal ini penjual dan pembeli
dikatakan santun apabila mereka
dapat menyesuaikan atau menaati
prinsip-prinsip kesantunan. Mereka
dianggap bisa saling menghargai
antar sesama. Sehingga komunikasi
akan berjalan dengan lancar, sesuai
dengan apa yang dimaksudkan.
Berdasarkan data yang
diperoleh dari peristiwa tutur yang
terjadi di dalam kegiatan jual beli di
Pasar tradisional Sesela, terdapat
beberapa wujud tuturan penjual
ataupun pembeli yang mematuhi
prinsip kesantunan Leech dengan
berpedoman pada maksim-maksim
yang sudah diklasifikasikan
berdasarkan teori Leech.
4.1.1 Maksim Kebijaksanaan
Terdapat beberapa wujud
tuturan pembeli ataupun penjual
yang mengandung maksim
kebijaksanaan, sebagai berikut.
(01) Pembeli : Kak tuan,
ndkne eji dua
pulu ne? (melakukan
penawaran)
/Kak tᴜan,
ndêɁnê әji
duә pᴜlu nê?/
„Kak Tuan,
bukannya harga dua puluh ribu
daging ini?
Penjual : “Ndeqte meuq”
/Ndêʔtə məuɁ/
„Tidak bisa‟
Pembeli : Pire doang?
/Pirə dÒaȠ?/
10
„Berapa saja?‟
Pembeli :“Selae wah
aneh”
/Səlaê wah
anêh/
„Dua puluh
lima sudah
ayo‟
Konteks tuturan di atas
dimulai ketika seorang ibu
menanyakan harga daging kepada
penjual, kemudian penjual pun
merespon dengan jawaban yang
sesuai dengan pertanyaan pembeli
tersebut. Dalam data (01) di atas,
pembeli memang tidak menyebutkan
secara langsung perihal barang yang
ingin dibeli.Akan tetapi, hal itu dapat
diketahui dari tindakan nonverbal
yang diperlihatkan, yaitu dengan
menunjuk ke arah daging sapi.
Selain itu, tuturan tersebut jika
dikaji menggunakan teori prinsip
kesantunan, maka tuturan tersebut
mengandung maksim kebijaksanaan.
Penawaran yang dilakukan oleh
pembeli seperti tuturan Kak tuan,
ndkne eji dua pulu ne?„Kak Tuan,
bukannya harga dua puluh ribu
daging ini?„merupakan sikap yang
bijaksana karena telah memberikan
kesempatan kepada penjual untuk
mempertimbangkan harga yang akan
diberi kepada pembeli tanpa adanya
unsur paksaan. Namun, penjual
merespon dengan penolakan Ndkte
mauq‟tidak bisa„. Artinya harga yang
ditawarkan oleh pembeli belum
sesuai dengan harga yang
sebenarnya.
Dalam tuturan tersebut, terjalin
suatu keakraban antara penjual
dengan pembeli yang menunjukan
antara penjual dan pembeli. Dalam
tuturan tersebut pembeli berusaha
mengakrabkan diri dan
menggunakan sapaan menghormati
dengan sebutan Kak tuan (orang
yang lebih besar dan sudah beribadah
hajji) yang digunakan pembeli
11
sebagai panggilannya kepada
penjual.
(02) Pembeli : “Pire sekilo ne?”
(menunjuk ke buah
jeruk)
/Pirə səkilo nê?/
„Berapa satu kilo ini?‟
Penjual : “Siwaq ribu”
/SiwaɁ ribu/
„Sembilan ribu‟
Pembeli : “Ndeqne pedis ne?”
/NdêɁnê pədis nê?/
„Tidak kecut ini‟
Penjual :”Pileq wah siq
manis”
/pilêɁ wah siɁ manis/
„Pilih sudah yang
manis‟
Jika dikaji berdasarkan
prinsip kesantunan Leech (1983),
maka tuturan penjual di atas
memperhatikan terlaksananya
maksim kebijaksanaan.Maksim
kebijaksanaan mengharuskan setiap
peserta tutur untuk meminimalkan
kerugian bagi mitra tutur dan
memaksimalkan keuntungan
terhadap mitra tutur.Pada tuturan
tersebut, terlihat bahwa pembeli
merasa barang (buah jeruk) yang
dilihat tidak sesuai dengan
keinginannya. Dengan sikap dan
tuturan yang bijaksana penjual
berusaha memuaskan keinginan
pembeli dengan memberi saran dan
tawaran yang membebaskan pembeli
dapat memperoleh kepuasan untuk
memilih barang yang diinginkannya,
sehingga pembeli dapat memperoleh
kepuasan atas pilihannya sendiri.
Tuturan yang menunjukan
pematuhan maksim kebijaksanaan
terdapat pada tuturan pembeli Pileq
wah siq manis „Pilih sudah yang
manis‟. Diharapkan dengan cara ini
pembeli akan merasasenang dan puas
dengan tawaran dan pelayanan yang
diberikan penjual.
4.1.2 Maksim Kedermawanan
Wujud tuturan penjual ataupun
pembeli yang termasuk dalam
pematuhan maksim kedermawanan,
terdapat dalam percakapan-
percakapan di bawah ini.
12
(03) Pembeli :“Pituq ribu
aok? mun
ndeq de
brebeng,
molah lainang
taok ku mbeli”
/pituɁ ribu
aoɁ? Mun
ndêɁ də
brêbêȠ, molah
lainang taȗɁku
mbəli/
„Tujuh ribu,
ya? Kalau
tidak boleh,
supaya saya
beli di tempat
yang lain.'
Penjual :„Beit wah,
ndeqne
ngumbe-
ngumbe
timaq te rugi
sekediq‟
/Bәit wah,
ndêɁnә Ƞumbê-Ƞumbê timaɁ
tә rugi sәkәdiɁ/ ”Ambil sudah,
tidak apa-apa
meskipun rugi
sedikit”
Dalam tuturan data (03)
pembeli menawar tomat dengan
harga tujuh ribu perkiloPituq ribu
aok? mun ndkn brebeng, molah
lainang taok ku mbeli.„Tujuh ribu,
ya? Kalau tidak boleh, supaya saya
beli di tempat yang lain‟. Pembeli
mengancam, kalau tidak diberikan
dia akan membeli ke pedagang yang
lain. Ternyata penjual memberikan.
Penjual mengatakan Beit wah,
ndeqne ngumbe-ngumbe timaq te
rugi sekediq „Ambil sudah, tidak
apa-apa meskipun rugi‟. Tuturan
“meskipun rugi sedikit” inilah yang
menunjukkan bahwa penjual
membuat keuntungan diri sendiri
sekecil mungkin dan membuat
kerugian diri sendiri sebesar
mungkin.Walaupun sebenarnya
penjual itu tidak rugi, pembeli tetap
merasa diuntungkan. Cara bertutur
seperti inilah yang menunjukkan
prinsip kedermawanan diterapkan.
Penjual mengatakan tidak
mengambil keuntungan ini
maksudnya penjual memberikan
harga barangnya dengan harga yang
semurah-murahnya. Sesuai dengan
tuturan ini terlihat bahwa penjual
13
berusaha memaksimalkan
keuntungan kepada pembeli dan
mengurangi keuntungan bagi dirinya
sendiri. Dengan demikian prinsip
kesantunan yang berupa maksim
kedermawanan diterapkan.
(04) Penjual :“Lime olas
aok?”
/Limə Òlas
aoɁ/
„Lima belas
ya?‟
Pembeli :“Sengeje ku
aning ite
molah ku
meuq mudaq,
laguk makat
ne mahel
laloq”
/SəȠəjə ku
aniȠ itê molah
ku məuɁ
mudaɁ, laguɁ
makat nə
mahəl laloɁ
„Sengaja saya
ke sini supaya
dikasih murah
tapi kenapa
mahal sekali‟
Penjual :”Kan wah
korting
seribu”
/kan ȗah
kortiȠ sәribu/ „kan sudah
korting seribu‟
Pembeli : “Nte”
(berpamitan)
/Ntê/
Konteks tuturan di atas
adalah seorang pembeli yang
membeli setengah kilo ayam pada
penjual dengan harga yang telah
disepakati yaitu seharga limabelas
ribu. Tetapi setelah kesepakatan
harga terjadi dan barang sudah
ditimbang, pembeli masih berasumsi
bahwa harga yang diberikan oleh
penjual masih terbilang mahal.Hal
tersebut bisa saja dilakukan oleh
pembeli sebagai strategi agar penjual
bersedia menurunkan harga ayam
tersebut. Sedangkan, dalam tuturan
penjual berikut ini kan wah korting
seribu„kan sudah korting seribu‟.
Artinya, penjual sudah memberikan
potongan harga sebesar seribu rupiah
pada pembeli.Karena pada tuturan
sebelumnya penjual telah
menjelaskan kepada pembeli bahwa
14
modal untuk sekilo ayam itu tiga
puluh satu ribu.
Terlepas dari benar atau
tidaknya tuturan penjual yang
menyebutkan bahwa modal ayam
tersebut tiga puluh satu ribu per
kilonya,sedangkan uang yang
dibayar oleh pembeli untuk setengah
kilo ayam sejumlah lima belas ribu
rupiah maka memang benar penjual
telah memberikan potongan harga
sebesar seribu rupiah pada pembeli.
Jika dikaji berdasarkan prinsip
kesantunan maka penjual telah
melakukan maksim kedermawanan
dengan memaksimalkan kerugian
terhadap dirinya dan memaksimalkan
keuntungan terhadap pembeli (mitra
tuturnya).
(05) Penjual :”Pire siq de tbeng
mun lek ito?”
/Pirə siɁ də tbêȠ mun
lêk ΙtÒ?
„berapa dikasih kalau
di sana?‟
Pembeli :”Pituq likur.”
/PituɁ likur/
„Dua puluh
tujuh‟
Penjual :”Enem likur
wah siq ku
beng side ne”
/әnәm likur
ȗah siɁ ku
beȠ sidә nê/
„Dua puluh
enam sudah
saya kasih ini‟
Tuturan di atas
memperlihatkan bahwa penjual telah
menjalankan prinsip kesantunan
yakni pematuhan maksim
kedermawanan.Aturan dalam
maksim ini menggariskan setiap
peserta tutur mengurangi keuntungan
bagi diri sendiri dan memaksimalkan
untungan bagi mitra tutur. Tuturan
yang membuktikan bahwa penjual
melaksanakan maksim
kedermawanan, ada pada tuturan
berikut ini Enem likur wah siq ku
beng sd ne„Dua puluh enam sudah
saya kasih ini‟. Tampak pada tuturan
tersebut, penjual memberikan
pembeli harga yang lebih murah dari
15
harga yang diberikan oleh penjual
lain.Hal tersebut menunjukkan sikap
kedermawanan penjual kepada
pembeli.
4.1.3 Maksim Penghargaan/Pujian
Berdasarkan data yang telah
diidentifikasi, di bawah ini akan
dianalisis tuturan yang mengandung
penerapan maksim pujian.
(06) Pembeli : Empat lima?
/əmpat limə?/
„Empat puluh
lima?‟
Penjual : “Aok”
/AÒɁ/
„Iya‟
Pembeli :“Ndeqne beu
empat pulu?”
/NdêɁnə bəu
əmpat pulu?/
„Tidak bisa
empat puluh.‟
Penjual :”Beit wah
inges.”
/Bәit ȗah
iȠәs/
„Ambil sudah
cantik.‟
Dalam percakapan di atas
memperlihatkan peserta tutur saling
menawar. Pembeli bertanya dan
menawar harga barang yang akan
dibeli yang diperlihatkan pada
kalimat Empat lima?„Empat puluh
lima‟ Dengan sabar penjual
menjawab “Aok” „Iya‟. Penjual
sudah memberikan dengan harga
yang lebih murah, jauh dengan harga
yang telah ditawarkan dan penjual
masih memberikan pujian dengan
panggilan ”cantik”. Tuturan ini
menunjukkan bahwa dengan
memberikan pujian kepada pembeli
berarti penjual telah menerapkan
maksim sesuai dengan prinsip
kesantunan yaitu maksim pujian.
(07) Penjual :”Dadar inges?”
/Dadar iȠәs?/ „Kacang panjang
cantik?‟
Pembeli : (Diam kemudian
berlalu)
Penjual :“Ne arak dadar ne”
Nê araɁ dadar nê/
„Ini ada kacang
panjang ni‟
Pembeli : (Menoleh kemudian
pergi lagi)
Dalam tuturan di atas, terlihat
bahwa penjual menjadi orang
16
pertama yang memulai percakapan
dengan memberikan penawaran
kepada pembeli (mitra tutur). Berikut
tuturan yang digunakan penjual
Dadar inges? „Kacang panjang
cantik?‟.meskipun tawaran penjual
ditanggapi dengan sikap yang kurang
baikoleh pembeli karena pembeli
tidak meberikan komentar apapun
melainkan bergegas pergi. Akan
tetapi, tuturan yang diucapkan oleh
penjual dengan memberikan
penghargaan berupa pujian kepad
pembeli dengan memanggi
perempuan muda yang menjadi mitra
tuturnya (pembeli) tersebut dengan
sebutan inges „cantik‟ menunjukkan
bahwa penjual dalam percakapan ini
melaksanakan prinsip kesantunanan
Leech (1983), yaitu penggunaan atau
pematuhan maksim
penghargaan/pujian.
4.1.4MaksimKesederhanaan/
Kerendahan Hati
Wujud tuturan penjual
ataupun pembeli yang termasuk
dalam pematuhan maksim
kesederhanaan/kerendahan hati,
terdapat dalam percakapan-
percakapan di bawah ini.
(08) Pembeli :”Pire sekilo?
Makat ngne
ruene?”
(sambil
menunjuk ke
arah daging
ayam yang
terlihat kusam
karena terkena
panas)
/Pirə səkilo?
Makat Ƞnê
rȗənə?/
„Berapa
sekilo?
Kenapa begini
rupanya?‟
Penjual :”Ye
kepanasan.
Epene bae
ngne, pileq
wah siq
segerang”
/Yә
kәpanasan.
êpênә baê
ngnê, pilêɁ
ȗah siɁ
sәgәraȠ/
17
„Dia
kepanasan.
Orang yang
punya aja
begitu, pilih
sudah yang
lebih bagus‟
Pada awal tuturan, tampak
bahwa pembeli menanyakan harga
sekilo ayam kepada pembeli.Hanya
saja pembeli merasa heran karena
ayam tersebut sudah tampak tidak
segar.menanggapi hal tersebut,
penjual menunjukkan sikap rendah
hatinya dalam tuturannya berikut ini,
ye kepanasan. Epene bae ngne, pileq
wah siq segerang„ Dia kepanasan.
Orang yang punya aja begitu, pilih
sudah yang lebih bagus‟. Dalam
tuturan tersebut, penjual menjelaskan
kepada pembeli bahwa ayam tersebut
tampak layu dan tidak segar karen
aterus-menerus terkena panas
matahari. Dengan sikap rendah
hatinya pula penjual pun
menyamakan dirinya dengan ayam
yang tampak tidak segar tersebut.
Tidak hanya itu, penjual pun
menunjukkan kepada pembeli mana
ayam yang lebih bagus dengan
membebaskan pembeli untuk
memilih sesuai dengan keinginannya.
Sikap yang ditunjukkan oleh
pembeli tersebut memperlihatkan
terlaksananya prinsip kesantunan
yakni pematuhan maksim
kerendahan hati. Aturan di dalam
maksim ini agar peserta tutur
senantiasa bersikap rendah hati
dengan menurangi pujian tersebut
terhadap diri sendiri.
4.1.5MaksimKemufakatan/
Kecocokan
Dalam penelitian ini
ditemukan percakapan yang
mengandung prinsip kesantunan
yang berupa maksim kesepakatan.
(09) Pembeli :“Selae aok?”
/Səlaê aoɁ?/
„Dua puluh
lima, ya?‟
18
Penjual :“Ndeqne beu,
romboq Nak
Aton!”
/NdêɁnə bəu,
romboɁ NaɁ
Aton!/
„Tidak bisa,
tambah Nak
Aton!‟
Pembeli :“Selae wah
siq beng”
/Səlaê ȗah siɁ
bêȠ/
„Kasih dua
puluh lima
sudah‟
Penjual :“Beit wah,
due pituq!”
/Bəit ȗah, dȗə
pituɁ!/
„Ambil sudah,
dua puluh
tujuh‟
Pembeli :“Ee..selae
wah siq
beng.”
/êê..sәlaê ȗah
siɁ bêȠ/ „Ee.. Dua
puluh lima
kasih sudah‟
Dalam percakapan di atas,
terdapat pematuhan prinsip
kesantunan berbahasa yang berupa
pematuhan maksim kesepakatan.
Penjual meminta tambahan harga,
namun pembeli tidak mau. Ini
terlihat dalam dialog Penjual:
Ndeqne beu, romboq Nak Aton!
„Tidak bisa, tambah, Bu Aton!‟.
Dijawab oleh pembeli Selae wah siq
beng„ Dua puluh lima ribu sudah
berikan‟ Pembeli tetap menawar dua
puluh lima ribu. Penjual meminta
menambah penawarannya tetapi
pembeli tetap tidak mau. Penjual
akan memberikan tetapi masih
ditawarkan lagi dengan jalan pembeli
disuruh menambah sedikit lagi. Hal
ini ditunjukkan pada tuturan beit
wah, dua pituq! „Ambil sudah. Dua
puluh tujuh ribu‟. Pembeli tetap tidak
mau dan masih tetap pada penawaran
semula dua puluh lima ribu, Karena
pembeli tetap pada penawarannya,
akhirnya penjual menyepakati harga
dua puluh lima ribu.
(10) Pembeli :”Terong aceh
setenge pire?”
/TəroȠ acêh
sətəȠə pirə?/
„Tomat berapa
setengah?‟
Penjual :”Sekilo wah,
due setenge!”
19
/Səkilo ȗah,
duə sətəȠə/
„Sekilo sudah,
dua ribu lima
ratus!‟
Pembeli :”Due kilo,
seribu siq beng
sekilo aok?”
/Duə kilo,
səribu siɁ bêȠ
səkilo aoɁ/
„Dua kilo,
seribu dikasih
saya sekilo
ya?‟
„
Penjual :”Due kilo
ne?”
/Duә kilo nê?/
„Dua kilo ini?‟
Pembeli :”Aok wah”
/AoɁ ȗah/
„Iya sudah‟
Jika disimak secara seksama,
ada ketidaksesuaian antara tuturan
pembeli dengan jawaban penjual
pada awal percakapan tersebut.Jika
pada tuturan awalnya dengan jelas
pembeli menanyakan harga setengah
kilo tomat, penjual justru memberi
jawaban berbeda yang meminta
pembeli untuk membeli lebih dari
yang diinginkanya. Kemudian pada
tuturan berikutnya pembeli
melakukan penawaran seperti berikut
Due kilo, seribu siq beng sekilo aok?
„Dua kilo, seribu dikasih saya sekilo
ya?‟. Penjual pun meresponnya
dengan kalimat pertanyaan berikut
Due kilo ne? „Dua kilo ini?‟.
Jawaban tersebut dianggap sebagai
bentuk kesetujuan penjual terhadap
penawaran pembeli, sekaligus ingin
menanyakan kembali perihal
kesanggupan pembeli untuk membeli
barang sebanyak penawarannya
tersebut dan pembeli pun
menyetujuinya. Jadi, dalam
percakapan di atas terjadi pematuhan
prinsip kesantunan yakni pematuhan
maksim kecocokan yang dilakuksn
oleh penjual.
4.1.6 Maksim Kesimpatian
Wujud tuturan penjual
ataupun pembeli yang termasuk
dalam pematuhan maksim
20
kesimpatian, terdapat dalam
percakapan-percakapan di bawah ini.
(11) Pembeli :“Beluq ribu aok?”
/BəluɁ ribu aoɁ?
„Delapan ribu yaa‟
Penjual :“Sépulu”
/Səpulu/
„Sepuluh ribu‟
Pembeli :“Beluq ribu wah!”
/BəluɁ ribu ȗah!/
„Delapan ribu sudah!‟
Penjual :“Beit wah, jeri
penggarus”
/Bәit ȗah, jәri
peȠgarus/ „Ambil sudah, jadi
penglaris‟
Rasa simpati penjual pada
data di atas dapat dibuktikan pada
tuturan Beitwah jeri penggarus
„ambil sudah jadi penglaris‟. Kalimat
ini diungkapkan penjual kepada
pembeli dengan penuh kesimpatian
dengan rela memberikan harga sesuai
dengan tawaran pembeli.
(12) Penjual :”Selae wah me”
/Səlaê ȗah mə/
„Dua puluh sudah
ayo‟
Pembeli I :”Due pulu wah
mae!”(langsung
memasukkan daging
tersebut ke dalam
timbangan)
/Duə pulu ȗah maê!/
„Dua puluh
sudah ayo‟
Penjual :(Diam tanpa
berkomentar
apapun)
Pembeli II :”E...
keagetne, oku
bae ndeqne
wah beng eji
due pulu”
/ê...kәagәtnә,
Òku baê
ndêɁnә ȗah
bêȠ әji duә
pulu/
„E... beruntung
kamu, saya
saja tidak
pernah dikasih
seharga dua
puluh‟
Pembeli I :”Girangne siq
ngilon
dengan”
/GiraȠnə siɁ
Ƞilon dəȠan/
„sukanya
membela
orang‟
Tuturan yang diucapkan oleh
pembeli II pada kutipan berikut E...
keagetne, oku bae ndeqne wah beng
eji due pulu„E... beruntung kamu,
saya saja tidak pernah dikasih
seharga dua puluh‟ merujuk pada
kesimpatian yang ditunjukkan oleh
pembeli II kepada penjual.Wujud
21
rasa simpati yang ditunjukkan oleh
pembeli II kepada penjual dapat
dilihat dari tuturan selanjutnya dari
pembeli I yang menganggap pembeli
II membela penjual dengan
menuturkan Girangne siq ngilon
dengan„sukanya membela orang‟.
Tuturan pembeli II bersimpati pada
penjual karena pembeli I menawar
terlalu rendah kepada penjual,
padahal penjual telah memberikan
tawaran yang cukup rendah pada
pembeli I daripada pembeli
lainnya.Oleh sebab itu, pembeli II
membela penjual. Dalam hal ini
pembeli II telah mematuhi prinsip
kesantunan yaitu pematuhan maksim
kesimpatian.
4.2 Bentuk Penyimpangan Prinsip
Kesantunan Berbahasa dalam
Transaksi Jual Beli di Pasar
Tradisional Sesela
Apabila penutur atau mitra
tutur tidak menaati prinsip-prinsip
kesantunan dikatakan tidak santun.
Di bawah ini akan dianalisis kegiatan
tutur transaksi jual beli di pasar
Tradisional Sesela yang melanggar
bentuk kesantunan berbahasa.
4.2.1 Penyimpangan Maksim
Kebijaksanaan
Wujud tuturan penjual dan
pembeli yang melanggar prinsip
kebijaksanaan adalah sebagai
berikut.
(13) Pembeli : “Pire ejin
kicang?”
(menanyakan
harga barang
ke penjual)
„Berapa harga
kicang?‟
/Pirə əjin
kicaȠ?/
Penjual :”Seribu pas
sekeq ndeqne
beu kurang”
/Sәribu pas
sәkêɁ ndêɁnә
bәȗ kuraȠ/ „Seribu satu
tidak bisa
kurang‟
22
Konteks tuturan pada data (2)
terjadi ketika seorang pembeli
menanyakan harga barang ke pada
penjual, kemudian penjual merespon
dengan kalimat Seribu pas sekeq
ndeqne beu kurang„Seribu satu tidak
bisa kurang‟. Dari penuturan penjual
tersebut, terdapat adanya unsur
penyimpangan prinsip kesantunan
yakni penyimpangan maksim
kebijaksanaan.
Tuturan penjual dikatakan
menyimpang dari maksim
kebijaksanaan karena tampak pada
tuturan tersebut, penjual telah
menetapkan atau mematok harga
barangnya sehingga menutup
kesempatan peluang bagi pembeli
untuk dapat melakukan penawaran
lagi. Hal itu dipertegas dengan
tuturan pas dan dipertegas dengan
tuturan ndeqne beu kurang yang
diucapkan langsung oleh penjual.
Jika dikaitkan dengan skala
kesantunan Leech (1983),
Optionality scale atau skala pilihan
yang mengatakan bahwa apabila
pertuturan itu sama sekali tidak
memberikan kemungkinan memilih
bagi si penutur dan mitra tutur, maka
tuturan tersebut akan dianggap tidak
santun. Oleh karena itu, sikap yang
ditunjukkan oleh penjual dalam hal
ini dianggap meminimalkan
keuntungan bagi mitra tutur
(pembeli) dan menyimpang dari
maksim kebijaksanaan.
4.2.2 Penyimpangan Maksim
Kedermawanan
Wujud tuturan penjual atau
pembeli yang menyimpang dari
maksim kedermawanan terdapat
pada percakapan-percakapan di
bawah ini.
(14) Pembeli :”Romboq
oku maeh
sekeq” (sambil
23
membayar
dengan uang
pas)
/RomboɁ Òku
maêh səkêɁ/
„Tambahkan
saya satu‟
Penjual :”Eeehhh”(menolak
permintaan
pembeli)
Pembeli :”Makat siq
pelit laloq!”
/Makat siɁ
pəlit laloɁ!/
„kenapa sih
pelit sekali!‟
Tuturan pada data (7) di atas
berlangsung setelah terjadinya
kesepakatan harga dan jumlah barang
antara penjual dengan pembeli. Lalu
berlanjut dengan tuturan pembeli,
seperti yang dikutip berikut Romboq
eku maeh sekeq„Tambahkan saya
satu‟. Tuturan pembeli pada tuturan
tersebut, termasuk dalam
penyimpangan prinsip kesantunan
yakni penyimpangan maksim
kedermawanan. Maksim
kedermawanan mengharuskan setiap
peserta tutur mengurangi keuntungan
bagi diri sendiri dan memaksimalkan
keuntungan bagi mitra
tutur.Sedangkan hal yang dilakukan
oleh pembeli sangat bertolak
belakang dari tuturan tersebut,
karena tampak pada tuturan tersebut,
pembeli meminta diberikan
tambahan atau bonus sebanyak satu
buah kepada penjual. Padahal
sebelumnya, telah terjadi
kesepakatan antar penjual dengan
pembeli.Dengan adanya tambahan
atau bonus tersebut, maka dapat
merugikan penjual.
Sementara itu, jika dilihat
dari skala kesantunan Leech (1983),
maka tuturan pembeli tersebut
termasuk dalam skala kesantunan
yang pertama yaitu Cost benefit scale
atau skala kerugian dan keuntungan.
Menurut skala kerugian dan
keuntungan ini, semakin tuturan
tersebut merugikan diri penutur,
maka akan semakin dianggap
24
santunlah tuturan itu. Sebaliknya,
semakin tuturan itu menguntungkan
diri penutur, maka akan semakin
dianggap tidak santunlah tuturan itu.
(15) Pembeli :”E.... ndeq naraq
dengan nimbang
maraq ngni ntan ne,
romboq oku karing
sekediq”
/ê... ndêɁ naraɁ
dәȠan nimbaȠ
maraɁ Ƞni ntan nә,
romboɁ Òku kariȠ
sәkәdiɁ/ „E... tidak ada orang
yang nimbang seperti
itu, tambahkan sedikit
lagi‟
Penjual :“Wah ne”
/ȗah nê/
„Sudah ini‟
Memperhatikan tuturan
pembeli pada percakapan (7) di atas,
yaitu E.... ndeq naraq dengan
nimbang maraq ngni ntan ne,
romboq eku karing sekediq„E... tidak
ada orang yang nimbang seperti itu,
tambahkan sedikit lagi‟. Tuturan
tersebut berlangsung ketika pembeli
tengah memperhatikan penjual yang
sedang menimbang cabe
merah.karena merasa cara
menimbang penjual terlalu pas, maka
pembeli merasa kurang puas dengan
hal itu. Lalu pembeli dengan
sendirinya menambahkan lagi cabe
nerah tersebut ke dalam
timbangan.Hanya saja cabe merah
yang diambil pembeli sebagai
tambahan terlalu banyak dan jauh
melampaui batas ukuran yang
sebenarnya.Hingga pada akhirnya
penjual pun meminta pembeli untuk
tidak menambahkan lagi cabe merah
tersebut.Sikap yang ditunjukkan
pembeli dalam hal ini telah
melanggar prinsip kesantunan yakni
penyimpangan maksim
kedermawanan. Hal tersebut
dikarenakan pembeli telah
memaksimalkan keuntungan bagi
diri sendiri dan meminimalkan
keuntungan bagi mitra tutur
(penjual).
25
4.2.3 Penyimpangan Maksim
Penghargaan/Pujian
Wujud tuturan penjual
ataupun pembeli yang menyimpang
dari maksim penghargaan/pujian
terdapat dalam percakapan di bawah
ini.
(16) Penjual :”Seger ne, beruqne
dateng”
/Səgər nê, bəruɁnə
datəȠ/
„Segar ini, baru
datang‟
Pembeli :”E..laguq siq
beleqan sekediq, ne
maraq beleq tolang
bageq”
/ê..laguɁ siɁ bәlêɁan
sәkәdiɁ, nê maraɁ
bәlêɁ tolaȠ bagêɁ/ „E.. tapi yang besaran
sedikit, ini kayak
sebesar biji asam‟
Terlihat pada tuturan pembeli
berikut E..laguq siq beleqan sekediq,
ne maraq beleq tolang bageq„E.. tapi
yang besaran sedikit, ini kayak
sebesar biji asam‟. Pernyataan
pembeli yang menyamakan buah
salak dengan biki asam semakin
memperlihatkan bahwa tuturan yang
digunakan oleh pembeli merupakan
suatu bentuk celaan dan hal tersebut,
termasuk alam
pelanggaran/penyimpangan prinsip
kesantunan yakni penyimpangan
maksim penghargaan.
Berbeda halnya dengan
tuturan penjual dalam percakapan di
atas, tuturan penjual yang digunakan
untuk mengawali percakapan
tersebut tidak ditemukan adanya
unsur penggunaan atau
penyimpangan terhadap prinsip
kesantunan berbahasa.
4.2.4 Penyimpangan Maksim
Kesederhanaan/Kerendahan Hati
Dalam penelitian ini,
pelangaran terhadap maksim
kesederhanaan/kerendahan hati
terdapat pada percakapan di bawah
ini.
(17) Pembeli : “Pire sekilo?”
/Pirə səkilo?/
26
„Berapa
sekilo?‟
Penjual ; “Baluq olas”
/BaluɁ Òlas/
„Delapan
belas‟
Pembeli :Lima olas,
aok?
/Lima Òlas
aoɁ?/
„Lima belas,
ya?‟
Penjual :“Ndeqne
beu.”
/NdêɁnə bəu/
„Tidak bisa‟
Pembeli :“Kemahelne”
/Kəmahəlnə/
„Mahal sekali‟
Penjual : Lasing ndeq
naraq bae
barang
mudaq!
Selapuq taek
harga barang
neke.”
/LasiȠ ndêɁ
naraɁ baê
baraȠ
mudaɁ!
SәlapuɁ taêk
harga baraȠ
nәkә/ „Tidak ada
barang
murah!Sekara
ng emua harga
barang naik.‟
Percakapan menunjukkan
bahwa penjual marah-marah karena
barangnya ditawar dengan harga
yang sangat murah.Ini berarti penjual
tidak berusaha memaksimalkan rasa
hormat kepada pembeli.Ia justru
marah-marah dengan muka yang
cemberut. Tuturan penjual Lasing
ndeq narak bae barang mudaq!
Selapuk taek harga barang neke
„Tidak ada barang murah! Sekarang
emua harga barang
naik‟.Menunjukkan penyimpangan
terhadap prinsip kesantunan yakni
penyimpangan maksim
keederhanaan/kerendahan hati.
4.2.5 Penyimpangan Maksim
Kemufakatan/Kecocokan
Wujud penyimpangan prinsip
kesantunan berbahasa yakni maksim
kemufakatan/kecocokan terdapat
pada tuturan di bawah ini.
(18) Pembeli :“Pire sekilo?”(sambil
memegang kol)
/Pirə səkilo?/
„Berapa sekilo?‟
Penjual :“Sepulu”
/Səpulu/
„Sepuluh ribu‟
Pembeli :“Dua pulu, telu aok?”
/Dua pulu, təlu aoɁ/
27
„Dua puluh ribu ambil
tiga, ya?‟
Penjual:(Tidak
menghiraukan,
sambil menata
dagangannya)
Data di atas memperlihatkan
tidak ada jawaban apapun dari
penjual. Bahkan penjual tidak
menghiraukan pembeli dan ditinggal
sambil menata dagangannya.Ini
menunjukkan bahwa belum ada
kesepakatan harga antara penjual dan
pembeli. Ketidaksepakatan itu terjadi
lagi ketika pembeli mengulang
menawaar lagi dengan penawaran
tetap.Pembeli tambah menoleh tak
menghiraukan dan tetap tidak ada
jawaban.Percakapan ini
menunjukkan ketidaksepakatan
antara penjual dan pembeli.Tuturan
di atas menunjukkan penyimpangan
prinsip kesantunan berbahsa yakni
penyimpakan maksim
kemufakatan/kecocokan.
4.2.6 Penyimpangan Maksim
Kesimpatian
Berdasarkan hasil identifikasi
dan klasifikasi data, tuturan yang
mengandung pelanggaran maksim
simpati antara lain seperti di bawah
ini.
(18) Pembeli :“Pire sekilo?”(sambil
memegang kol)
/Pirə səkilo?/
„Berapa sekilo?‟
Penjual:“Sepulu”
/Səpulu/
„Sepuluh ribu‟
Pembeli:“Dua pulu, telu aok?”
/Dua pulu, təlu aoɁ/
„Dua puluh ribu ambil
tiga, ya?‟
Penjual:(Tidak
menghiraukan,
sambil menata
dagangannya)
Berdasarkan data di atas,
pelanggaran maksim kesimpatian
ditunjukkan dengan lambang non
verbal misalnya, menoleh, menata
dagangannya, ekspresi wajah
cemberut. Sayur yang ditawar oleh
pembeli memang tidak diberikan
oleh penjual, entah penawaran terlalu
28
rendah atau tidak boleh ditawar
pembeli. Pada tuturan di atas pembeli
menawar barang yang akan dibeli
kepada penjual, tapi penjual tetap
tidak menghiraukan pembeli dan
dengan ekspresi wajah cemberut.
Penjual tidak menunjukkan sikap
yang simpati kepada pembeli. Sikap
seperti ini menunjukkan sikap yang
tidak dikehendaki di dalam kaidah
bertutur. Oleh karena itu percakapan
ini melanggar prinsip kesantunan
berbahasa yakni pelanggaran maksim
kesimpatian.
(19) Pembeli : “Pire mpaq ne?”
/Pirə mpaɁ nê?
„Berapa daging ini?
Penjual : “Telong dese”
/TəloȠ dəsə/
„Tiga puluh‟
Pembeli : “Selae wah aok?”
/Səlaê ȗah aoɁ?
„Dua puluh lima yaa?‟
Penjual : “Telong dese wah
mule ejine”
/TəloȠ dəsə ȗah mulə
əjinə/
„Tiga puluh sudah
harganya‟
Pembeli : “Selae wah yek.
Nggakne kepengku”
/Səlaê ȗah yeɁ.
ȠgaɁnə kêpêȠku/
„Dua puluh lima
sudah. Cuma ini uang
saya‟
Penjual : “Keh.. ndak mbeli
wah. Ndek narak
barang mudaq nke
/Kêh.. ndaɁ mbәli
ȗah. ndәɁ naraɁ
baraȠ mudaɁ nkә/
„Keh.. jangan beli di
sini sudah. Tidak ada
barang murah
sekarang‟
Dalam percakapan di atas
pelanggaran atau penyimpangan
maksim kesimpatian yang
ditunjukkan dengan percakapan
penjual yang tidak memiliki sikap
simpati terhadap lawan tuturnya.
Percakapan yang dimaksud adalah
“Keh.. ndak mbeli wah. Ndek narak
barang mudaq nke.” „Keh.. jangan
beli di sini sudah. Tidak ada barang
murah sekarang‟. Pada dialog
sebelumya, pembeli sudah menawar
harga daging dengan harga yang
tidak terlalu jauh selisihnya. Pembeli
sudah menyatakan penawarannya
sesuai dengan uang yang
dimilikinya. Namun, penjual tidak
memberikan bahkan pembeli itu
merespon negatif dengan melarang
pembeli tersebut membeli
29
dagangannya. Hal ini menunjukkan
adanya penyimpangan maksim
kesimpatian.
D. PENUTUP
Berdasarkan hasil penelitian yang
telah dibahas pada bab sebelumnya
yaitu mengenai pematuhan dan
penyimpangan prinsip kesantunan
berbahasa yang terjadi dlam transaksi
jual beli di pasar tradisional Sesela.
1. Sesuai dengan data yang
ditemukan, terdapat bukti-bukti
bahwa beberapa penjual dan pembeli
di pasar tradisional Sesela mamatuhi
prinsip kesantunan berbahasa ketika
melangsungkan transaksi di pasar.
Bentuk pematuhn prinsip kesantunan
terjadi pada keenam maksim
kesantunan berbahasa, yaitu maksim
kebijaksanaan, maksim
kedermawanan/kemurahan, maksim
pujian/penghargaan, maksim
kesederhanaan/kerendahan hati,
maksim kecocokan/kemufakatan,
dan maksim kesimpatian yang
dianalisis berdasarkan teori prinsip
kesantunan Leech (1983).
2. Tidak hanya tuturan yang
mematuhi prinsip kesantunan yang
terjadi dalam transaksi jual beli di
pasar tradisional Sesela, tetapi
adapula tuturan yang menyimpang
atau melanggar prinsip kesantunan
berbahasa. Penyimpangan terhadap
prinsip kesantunan berbahasa yang
dimaksud terjadi pada keenam
maksim, yaitu maksim
kebijaksanaan, maksim
kedermawanan/kemurahan, maksim
pujian/penghargaan, maksim
kesederhanaan/kerendahan hati,
maksim kecocokan/kemufakatan,
dan maksim kesimpatian.
30
Saran
Setiap penelitian membutuhkan
saran-saran yang membangun dan
berguna untuk menyempurnakan
suatu penelitian. Adapun saran yang
dipaparkan dalam penelitian ini
sebagai berikut.
1. Mengingat masih banyak hal
yang perlu diteliti mengenai
fenomena kebahasaan yang
terjadi di lingkunagn penjual
dan pembeli yang ada di
pasar tradisional Sesela,
peneliti berharap ada peneliti
berikutnya yang dapat
menggali lebih rinci
mengenai pematuhan dan
penyimpangan prinsip
kesantunan di lingkungan
pasar.
2. Sebagai mahasiswa
(masyarakat yang
berpendidikan) yang
menjunjung tinggi nilai-nilai
kesopanan, hendaknya hasil
penelitian ini dapat
meningkatkan adat kesantunan
dalam berkomunikasi.
3. Hasil penelitian ini dapat
dimanfaatkan sebagai bahan
informasi penelitian dan
sebagai bahan perbandingan
peneliti-peneliti berikutnya.
31
DAFTAR PUSTAKA
Ariyani. 2010. Pelanggaran Prinsip
Kesantunan dan Implikatur
dalam Acara Opera Van
Java di Trans 7 (Sebuah
Kajian Pragmatik.
Universitas Mataram.
Chaer, Abdul dan Agustina, Leonie.
2004.Sosiolinguistik:Perken
alan Awal. Jakarta: Rineka
Cipta.
Chaer, Abdul. 2010. Kesantunan
Berbahasa. Jakarta: PT
Rineka Cipta.
Ismari. 1995. Percakapan. Surabaya:
Airlangga University Press
Kridalaksana, Harimurti. 1978.
Keutuhan Wacana. Jakarta:
Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa.
Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-
prinsip Pragmatik. Jakarta:
Universitas Indonesia
Nazlah, Siti. 2013. Penggunaan
Prinsip Kesantunan
Berbahasa dalam Kegiatan
Jual Beli di Pasar
Mandalika. Universitas
Mataram.
Mahsun. 2011. Metode Penelitian
Bahasa. Jakarta: PT.
Rajagrafindo Persada.
Munawarah. 2013. Analisis Maksim-
maksim Tutur di dalam
Novel Negeri 5 Menara
Karya A. Fuadi. Universitas
Mataram.
Pranowo. 2012. Berbahasa Secara
Santun. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Rahardi, Kunjana. 2005. Pragmatik:
Kesantunan Imperatif
Bahasa Indonesia.Jakarta:
Erlangga.
Rohmadi, Muhammad. 2010.
Pragmatik Teori dan
Analisis. Surakarta: Yuma
Pustaka.
Samsuri. 1988. Analisis Bahasa.
Jakarta: Erlangga.
Sudaryanto. 1992. Metodologi
Penelitian Kualitatif.
Malang: Ar-ruzz Media.
--------------. 1993. Metode dan
Aneka Teknik Analisis
Bahasa (Pengantar
Penelitian Wacana
Kebudayaan secara
Linguistis). Yogyakarta:
Duta Wacana University
Press.
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian
Pendidikan. Bandung:
Alfabeta.
Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa
Indonesia. 2007. KBBI.
Jakarta: Balai Pustaka.
Trisna. 2011. Relasi Penggunaan
Prinsip Kerja Sama
dengan Prinsip
Kesantunan Berbahasa
pada Transaksi Jual Beli
di Pasar Tradisional
Presak Timur (Sebuah
32
Kajian Sosio-Pragmatik).
Universitas Mataram.
Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-
Dasar Pragmatik.
Yogyakarta: Penerbit
Andi.
33