KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH...

102
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 103 KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH MENENGAH PERTAMA (SMP) DALAM MEMECAHKAN MASALAH MATEMATIKA Suyono Wiryoatmojo 1) , Muhtarom 2) , Ali Shodiqin 3) 1) Dosen Pendidikan Matematika IKIP PGRI Semarang Jl. Lontar Nomor 1 (Sidodadi Timur) Semarang Indonesia 2) Dosen Pendidikan Matematika IKIP PGRI Semarang Jl. Lontar Nomor 1 (Sidodadi Timur) Semarang Indonesia, email: [email protected] 3) Dosen Pendidikan Matematika IKIP PGRI Semarang Jl. Lontar Nomor 1 (Sidodadi Timur) Semarang Indonesia, email:[email protected] Abstrak Tujuan penelitian ini adalah mengetahui kesalahan proses berpikir siswa SMP berkemampuan matematika rendah dalam memecahkan masalah matematika yang valid dan reliabel. Jenis penelitian yang digunakan untuk mencapai tujuan ini adalah penelitian kualitatif-eksploratif. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas VII SMP Se-Kota Semarang yang berkemampuan matematika rendah. Pemilihan subjek didasarkan pada kemampuan matematika siswa dan kelancaran dalam berkomunikasi baik secara lisan maupun tulisan. Penelitian tahap-1 (materi bangun datar segiempat) ini dilaksanakan di SMP N 34 Semarang dan tahap-2 (materi bangun datar segitiga) ini dilaksanakan di SMP N 9 Semarang.Hasil penelitian menunjukkan bahwa subjek mengalami beberapa kesalahan dalam menyelesaikan soal bangun datar segiempat dan segitiga. Kesalahan yang dialami diantaranya adalah kesalahan konsep, kesalahan prinsip, dan kesalahan algoritma. Kesalahan konsep yang terjadi meliputi kesalahan dalam memberikan nama, mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan arti simbol dan syarat perlu dari suatu bangun. Kesalahan prinsip meliputi subyek tidak dapat menentukan hubungan antara dua sudut, hubungan antar rumus, dan tidak dapat menuliskan rumus. Sedangkan kesalahan algoritma meliputi subyek tidak dapat menentukan satuan luas yang tepat dan kesalahan kalkulasi dalam menghitung luas bangun. Kata kunci: Kesalahan, Proses Berpikir, Pemecahan Masalah. PENDAHULUAN Setiap siswa tidak dapat menghindar dari kesulitan belajar matematika. Jika siswa menghindar dari kesulitan termasuk dalam belajar matematika hanya untuk tujuan pragmatis, mencari mudahnya saja, sama artinya menjerumuskan diri dalam kebodohan dan akan berhadapan dengan kesulitan lain yang lebih besar. Oleh karena itu, siswa perlu berusaha memotivasi diri untuk lebih menyenangi matematika. Siswa perlu menanamkan dalam benaknya bahwa matematika itu penting. Sesuai dengan tujuan pembelajaran matematika yaitu memecahkan masalah, maka setiap siswa pasti akan menjumpai masalah matematika dalam pembelajaran. Yulaelawati (2004) mengatakan salah satu peran pendidik dalam pembelajaran matematika adalah membantu siswa mengungkapkan bagaimana proses yang berjalan dalam pikirannya ketika memecahkan masalah, misalnya dengan cara meminta siswa menceritakan langkah yang ada dalam pikirannya. Hal ini diperlukan untuk mengetahui kesalahan berpikir yang terjadi dan merapikan jaringan pengetahuan siswa. Kesalahan proses berpikir siswa dalam

Transcript of KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH...

Page 1: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 103

KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH

MENENGAH PERTAMA (SMP) DALAM MEMECAHKAN

MASALAH MATEMATIKA

Suyono Wiryoatmojo1)

, Muhtarom2)

, Ali Shodiqin3)

1) Dosen Pendidikan Matematika IKIP PGRI Semarang

Jl. Lontar Nomor 1 (Sidodadi Timur) Semarang Indonesia 2)

Dosen Pendidikan Matematika IKIP PGRI Semarang

Jl. Lontar Nomor 1 (Sidodadi Timur) Semarang Indonesia, email: [email protected] 3)

Dosen Pendidikan Matematika IKIP PGRI Semarang

Jl. Lontar Nomor 1 (Sidodadi Timur) Semarang Indonesia, email:[email protected]

Abstrak Tujuan penelitian ini adalah mengetahui kesalahan proses berpikir siswa SMP

berkemampuan matematika rendah dalam memecahkan masalah matematika yang

valid dan reliabel. Jenis penelitian yang digunakan untuk mencapai tujuan ini adalah

penelitian kualitatif-eksploratif. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas VII

SMP Se-Kota Semarang yang berkemampuan matematika rendah. Pemilihan subjek

didasarkan pada kemampuan matematika siswa dan kelancaran dalam

berkomunikasi baik secara lisan maupun tulisan. Penelitian tahap-1 (materi bangun

datar segiempat) ini dilaksanakan di SMP N 34 Semarang dan tahap-2 (materi

bangun datar segitiga) ini dilaksanakan di SMP N 9 Semarang.Hasil penelitian

menunjukkan bahwa subjek mengalami beberapa kesalahan dalam menyelesaikan

soal bangun datar segiempat dan segitiga. Kesalahan yang dialami diantaranya

adalah kesalahan konsep, kesalahan prinsip, dan kesalahan algoritma. Kesalahan

konsep yang terjadi meliputi kesalahan dalam memberikan nama,

mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan arti simbol

dan syarat perlu dari suatu bangun. Kesalahan prinsip meliputi subyek tidak dapat

menentukan hubungan antara dua sudut, hubungan antar rumus, dan tidak dapat

menuliskan rumus. Sedangkan kesalahan algoritma meliputi subyek tidak dapat

menentukan satuan luas yang tepat dan kesalahan kalkulasi dalam menghitung luas

bangun.

Kata kunci: Kesalahan, Proses Berpikir, Pemecahan Masalah.

PENDAHULUAN

Setiap siswa tidak dapat menghindar dari kesulitan belajar matematika. Jika siswa

menghindar dari kesulitan termasuk dalam belajar matematika hanya untuk tujuan pragmatis,

mencari mudahnya saja, sama artinya menjerumuskan diri dalam kebodohan dan akan

berhadapan dengan kesulitan lain yang lebih besar. Oleh karena itu, siswa perlu berusaha

memotivasi diri untuk lebih menyenangi matematika. Siswa perlu menanamkan dalam

benaknya bahwa matematika itu penting. Sesuai dengan tujuan pembelajaran matematika yaitu

memecahkan masalah, maka setiap siswa pasti akan menjumpai masalah matematika dalam

pembelajaran.

Yulaelawati (2004) mengatakan salah satu peran pendidik dalam pembelajaran

matematika adalah membantu siswa mengungkapkan bagaimana proses yang berjalan dalam

pikirannya ketika memecahkan masalah, misalnya dengan cara meminta siswa menceritakan

langkah yang ada dalam pikirannya. Hal ini diperlukan untuk mengetahui kesalahan berpikir

yang terjadi dan merapikan jaringan pengetahuan siswa. Kesalahan proses berpikir siswa dalam

Page 2: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

104 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2

memecahkan masalah matematika diungkapkan oleh Muhtarom (2010) yang menyatakan bahwa

siswa kelas VI Sekolah Dasar (SD) dalam mengalami kesalahan dalam pemahaman konsep,

kesalahan dalam menggunakan prinsip matematika dan kesalahan algoritma. Hasil penelitian ini

juga memberikan gambaran bahwa dalam memecahkan masalah/soal matematika, seorang siswa

pasti mengalami kesalahan proses berpikir.

Hasil penelitian tersebut diperkuat oleh penelitian penelitian lanjutan Muhtarom (2012)

menunjukkan bahwa siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang berkemampuan

matematika rendah ketika memecahkan masalah matematika terjadi kesalahan proses berpikir

sehingga menyebabkan kesalahan dalam jawaban. Oleh karena itu, mengetahui proses berpikir

siswa dalam memecahkan suatu masalah sangat diperlukan. Dengan mengetahui proses berpikir

siswa, guru dapat melacak letak dan jenis kesalahan yang dilakukan siswa. Kesalahan yang

diperbuat siswa dapat dijadikan sumber informasi belajar dan pemahaman bagi siswa. Yang tak

kalah pentingnya adalah guru dapat dengan merancang pembelajaran yang sesuai dengan proses

berpikir siswa.

Jika kesalahan proses berpikir yang dilakukan oleh siswa tidak segera mendapatkan

perhatian yang serius, maka dapat dimungkinkan akan terjadi kesalahan proses berpikir lanjutan

pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Oleh karena itu, pengungkapan kesalahan proses

berpikir siswa dalam memecahkan masalah matematika perlu dilakukan sejak dini sehingga

guru dapat segera merapikan skema/struktur kognitif siswa. Dalam hal ini dilakukan penelitian

lanjutan tentang analisis kesalahan proses berpikir siswa khususnya siswa SMP dalam

memecahkan masalah matematika. Berdasarkan latar belakang diatas, maka permasalahan

dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: “bagaimanakah kesalahan proses berpikir

siswa SMP dalam memecahkan masalah matematika”.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini tergolong penelitian kualitatif-eksploratif yang dilaksanakan pada siswa

kelas VII SMP di Kota Semarang. Pemilihan subjek penelitian didasari beberapa pertimbangan,

yaitu: (1) dipilih siswa kelas VII SMP yang mempunyai kemampuan matematika rendah,

sehingga akan mudah mendapatkan data tentang kesalahan proses berpikir yang dilakukan (2)

mudah diwawancarai sehingga diperoleh data akurat yang dibutuhkan pada penelitian.

Instrumen dalam penelitian ini dibagi dalam dua bagian yaitu: (1) peneliti sendiri sebagai

instrumen utama, (2) lembar tugas dan (3) pedoman wawancara.

Prosedur penelitian ini menempuh langkah-langkah sebagai berikut: (1) menyusun

instrumen penelitian, (2) menentukan subyek penelitian, (3) mengumpulkan data penelitian

melalui wawancara berbasis tugas dan analisis pekerjaan tertulis, (4) menganalisis data

penelitian dan triangulasi. Data yang telah terkumpul baik dari tes tertulis maupun dari hasil

wawancara dianalisis dengan langkah-langkah sebagai berikut: (a) reduksi data yakni

Page 3: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 105

melakukan proses pemilihan, pemusatan perhatian penyederhanaan, pengabstraksian dan

transformasi data mentah di lapangan. Bila terdapat data yang tidak valid, maka data itu

dikumpulkan tersendiri yang mungkin dapat digunakan sebagai pelengkap data atau temuan-

temuan sampingan; (b) pemaparan data yakni mengklasifikasi dan mengidentifikasi data

sehingga terorganisir dan terkategori dengan baik; (c) menarik kesimpulan berdasarkan hasil

paparan data. Setelah data dipaparkan sedemikianrupa sehingga terkategori dengan baik, maka

langkah selanjutnya menarik kesimpulan atau menginterprestasikan makna dari paparan data

tersebut. Analisis data ini dilakukan pada setiap data yang diperoleh dari tiap metode

pengumpulan data (analisis tugas, wawancara). Kemudian triangulasi metode untuk

mendapatkan data subjek yang valid.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan data yang valid dari masing-masing subyek, selanjutnya dibandingkan untuk

digeneralisaikan jenis kesalahan yang dilakukan oleh siswa berkemampuan rendah pada materi

Bangun Datar. Hasil analisis triangulasi sumber disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1 Perbandingan Data Subjek FM dan Subjek RS

No. Jenis

Kesalahan Subyek FM Subyek RS Kesimpulan

1. Kesalahan

Konsep

a. Subyek FM

mengalami

kesalahan dalam

memberikan nama

dari suatu bangun

datar segi empat

b. Subyek FM tidak

mampu

menjelaskan arti

simbol koefisien-

koefisien dalam k =

2(a+b).

c. Subyek FM

mengalami

kesalahan dalam

menjelaskan syarat

yang diperlukan

dari suatu obyek

a. Subyek RS

mengalami

kesalahan dalam

mem-berikan

nama dari suatu

bangun datar segi

empat

b. Subyek RS tidak

mampu

menjelaskan arti

simbol koefisien-

koefisien dalam k

= 2(a+b)

c. Subyek RS tidak

dapat menjelaskan

syarat yang perlu

dari suatu istilah

dalam bangun

datar segi empat

a. Subyek FM dan

RS mengalami

kesalahan dalam

memberikan nama

dari suatu bangun

datar segi empat

b. Subyek RS tidak

mampu

menjelaskan arti

simbol koefisien-

koefisien dalam k

= 2(a+b)

c. Subyek FM dan

RS tidak dapat

menjelas-kan

syarat yang perlu

dari suatu istilah

dalam bangun

datar segi empat

Page 4: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

106 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2

bangun datar segi

empat berdasarkan

definisi yang

diketahui.

d. Subyek FM

mengalami

kesalahan dalam

memberikan contoh

penerapan teorema

Phytagoras.

e. Subyek FM

mengalami

kesalahan dalam

mengklasifikasikan

contoh dan non

contoh dari suatu

bangun datar segi

empat.

f. Subyek FM

mengalami

kesalahan dalam

mengelompokkan

sifat-sifat dari suatu

bangun datar segi

empat

d. Subyek RS tidak

mampu mengenal

contoh penerapan

konsep teorema

Phytagoras

e. Subyek RS

mengalami

kesalahan dalam

mengklasifikasika

n contoh dan non

contoh dari suatu

bangun datar segi

empat

f. Subyek RS

mengalami

kesalahan dalam

mengelompokan

sifat-sifat dari

suatu bangun datar

segi empat

d. Subyek FM dan

RS mengalami

kesalahan dalam

memberikan

contoh penerapan

teorema

Phytagoras

e. Subyek FM dan

RS mengalami

kesalahan dalam

mengklasifika-

sikan contoh dan

non contoh dari

suatu bangun datar

segi empat

f. Subyek FM dan

RS mengalami

kesalahan dalam

mengelompok-kan

sifat-sifat dari

suatu bangun datar

segi empat

2. Kasalahan

Prinsip

a. Subyek FM tidak

dapat menentukan

hubungan dari

rumus suatu

bangun datar

berdasarkan hasil

percobaan.

b. Subyek FM

mengalami

kesalahan dalam

a. Subyek RS tidak

dapat menentukan

hubungan antara

dua sudut dari

salah satu sudut

yang sudah

diketahui pada

bangun datar segi

empat

b. Subyek RS tidak

a. Subyek FM dan

RS tidak dapat

menentukan

hubungan dari

rumus suatu

bangun datar

berdasarkan hasil

percobaan

b. Subyek FM dan

RS mengalami

Page 5: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 107

menentukan

hubungan anatar

dua sudut

dapat menentukan

hubungan dari

rumus suatu

bangun datar

berdasarkan hasil

percobaan

c. Subyek RS tidak

dapat menuliskan

rumus suatu

bangun datar segi

empat

d. Subyek RS tidak

dapat menuliskan

rumus yang tepat

untuk

menyelesaikan

permasalahan

kesalahan dam

menentukan hu-

bungan antara dua

sudut.

3. Kesalahan

Algoritma

a. Subyek FM

mengala-mi

kesalahan dalam

menentukan satuan

luas dan terlalu

berle-bihan dalam

memberi-kan

jawaban

b. Subyek FM

mengalami

kesalahan dalam

menentukan satuan

dari soal yang

ditanyakan

a. Subyek RS tidak

dapat menentukan

satuan luas yang

tepat.

b. Subyek RS tidak

dapat menentukan

luas bangun datar

segi empat.

a. Subyek FM dan

RS mengalami

kesalahan dalam

menentukan luas

bangun datar segi

empat.

b. Subyek FM dan

RS mengalami

kesalahan dalam

menentukan satuan

luas dari bangun

adatr segi empat.

Sedangkan untuk analisis jenis kesalahan yang dilakukan oleh siswa berkemampuan

rendah pada materi Segitiga disajikan dalam Tabel 2.

Page 6: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

108 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2

Tabel 2 Perbandingan Data Subjek SI dan Subjek APH

No. Jenis

Kesalahan Subyek SI Subyek APH Kesimpulan

1. Kesalahan

Konsep

a. Mengalami

kesalahan dalam

menjelaskan

definisi dari suatu

bangun datar

segitiga.

b. Tidak mampu

menjelaskan

definisi garis

tinggi, garis berat,

garis bagi, dan

garis sumbu

c. Tidak mampu

mema-hami syarat

cukup dari suatu

bangun datar

untuk dapat

dikatakan bangun

segitiga lancip,

segitiga tumpul,

segitiga siku-siku.

d. Menganggap

bahwa gambar A

dan gambar B

merupakan bangun

datar segitiga

e. Tidak mampu

memberikan

contoh gambar

garis tinggi, garis

berat, garis bagi,

dan garis sumbu.

a. Mengalami

kesalahan dalam

menjelaskan

definisi dari suatu

bangun datar

segitiga.

b. Tidak mampu

menjelaskan

definisi garis

tinggi, garis berat,

garis bagi, dan

garis sumbu.

c. Tidak mampu

mema-hami syarat

cukup dari suatu

bangun datar

untuk dapat

dikatakan bangun

segitiga lancip,

segitiga tumpul,

segitiga siku-siku.

d. Tidak mampu

memberikan

contoh gambar

garis tinggi, garis

berat, garis tinggi,

dan garis sumbu

a. Subyek SI dan

APH mengalami

kesalahan dalam

menjelaskan

definisi dari suatu

bangun datar

segitiga.

b. Subyek SI dan

APH mengalami

kesalahan dalam

menjelaskan

definisi garis

tinggi, garis berat,

garis bagi, dan

garis sumbu.

c. Subyek SI dan

APH mengalami

kesalahan dalam

memahami syarat

cukup dari suatu

bangun datar untuk

dapat dikatakan

bangun segitiga

lancip, segitiga

tumpul, segitiga

siku-siku.

d. Subyek SI dan

APH tidak mampu

memberikan

contoh gambar

garis tinggi, garis

berat, garis tinggi,

dan garis sumbu.

Page 7: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 109

2. Kasalahan

Prinsip

Mengalami kesalahan

dalam menggambar-

kan soal cerita yang

disajikan.

a. Mengalami

kesalahan dalam

menggambarkan

soal cerita yang

disajikan

b. Mengalami

kesalahan dalam

mengkaitkan

hubungan sudut

dalam segitiga

dengan sudut luar

segitiga.

Subyek SI dan APH

mengalami kesalahan

dalam

menggambarkan soal

cerita yang disajikan.

3. Kesalahan

Algoritma

c. Megalami

kesalahan dasar

dalam menjawab

soal.

d. Mengalami

kesalahan dalam

menentukan dasar

dalam menentukan

satuan sudut dalam

menjawab soal.

a. Mengalami

kesalahan dasar

dalam menjawab

soal.

b. Mengalami

kesalahan dalam

menentukan satuan

sudut dalam

menjawab soal.

Subyek SI dan APH

mengalami kesalahan

dasar dalam menjawab

soal dan kesalahan

dalam menentukan

satuan sudut dalam

menjawab soal.

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka penelitian ini dapat diambil

kesimpulan sebagai berikut: Pada materi bangun datar segiempat dan materi segitiga, subyek

mengalami beberapa kesalahan dalam menyelesaikan soal bangun datar segiempat dan segitiga.

Kesalahan yang dialami diantaranya adalah kesalahan konsep, kesalahan prinsip, dan kesalahan

algoritma. Kesalahan konsep yang terjadi meliputi kesalahan dalam memberikan nama,

mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan arti simbol dan sayarat

perlu dari suatu bangun datar segiempat. kesalahan prinsip meliputi subyek tidak dapat

menentukan hubungan antara dua sudut, hubungan antar rumus, dan tidak dapat menuliskan

rumus. Sedangkan kesalahan algoritma meliputi subyek tidak dapat menentukan satuan luas

yang tepat dan kesalahan kalkulasi dalam menghitung luas bangun datar segi empat dan

segitiga. Berdasar simpulan dari hasil penelitian ini, maka disampaikan saran yaitu untuk guru

Page 8: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

110 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2

matematika di tingkat SMP diharapkan melakukan penekankan pembelajaran konsep dan

mengajarkan pemecahan masalah matematika yang menggunakan langkah-langkah Polya.

DAFTAR PUSTAKA

Abbas N. (2000). Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika Berorientasi Model

Pembelajaran Berdasarkan Masalah (Problem Based-Instruction). Surabaya: PPs

Universitas Negeri Surabaya.

Agung Handayanto, Ali Shodiqin dan Muhtarom. (2011). Proses Berpikir Mahasiswa

Pendidikan Matematika IKIP PGRI Semarang dalam Memecahkan Masalah Kalkulus

2. Laporan Penelitian Hibah APBI IKIP PGRI Semarang.

Begerson T. (2000). Teaching and Learning Mathematics: Using Research to Shift from the

“Yesterday” Mind to the “Tomorrow” Mind. Washington: superintendent of Public

Instruction. (Online). http://www.k12.wa.us. diakses tanggal 3 Agustus 2011.

Daniel Muijs dan David Reynold. (2008). Effective Teaching. Translated by Helly dan Sri

Muyantini. 2008. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Dewiyani. (2008). Mengajarkan Pemecahan Masalah dengan Menggunakan Langkah Polya.

Jurnal STIKOM, Volume 12 Nomor 2.

Henk Vos dan E. D. Graff. (2004). Developing Metacognition: a Basis For Active Learning.

European Journal of Engineering Education. 29. 543-548.

Huitt. (1992). Problem Solving and Decision Making: Consideration of individual differences

using the Myers-Briggs Type Indicator. Journal of Psychological Type.24.33-44.

tersedia dalam: http://chiron.valdosta.edu/whuitt/papers/prbsmbti.html. diakses 10 Juli

2010.

Jerry Glover. (2002). Adaptive Leadership: When Change is Not Enough. The Organization

Development Journal. 20 (2). 15-31.

Lexy J Moleong. (2007). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya

Offset.

Maarten W. van Someren, Yvonne F. Barnard, dan Jacobijn A.C. Sandberg. (1994). The Think

Aloud Method: A Pratical Guide to ModellingCognitive Processes. London: Academic

Press.

Muhtarom. (2010). Analisis Permasalahan Proses Berfikir Siswa Sekolah Dasar dalam

Menyelesaikan Soal Cerita dan Alternatif Pemecahannya. Makalah dalam Seminar

Nasional FPMIPA IKIP PGRI Semarang tanggal 2 Maret 2010.

Muhtarom. (2012). Proses Berpikir Siswa IX Kelas Sekolah Menengah Pertama dalam

Memecahkan Masalah Matematika. Tesis. Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Patrick Reany. (1991). “Heuristics 101”. Arizona Journal of Natural Philosophy. 3. 5-7.

http://www.ajnpx.com/pdf/AJNP/apr91c.pdf.

Page 9: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 111

Polya. (1973). How to Solve It. 2nd

ed , Princeton University Press, ISBN 0-691-08097-6.

Rheta DeVries. (2006). Piaget's Social Theory. The Constructivist Journal. 17 (1) ISSN 1091-

4072.

Robert L Solso. (1988). Cognitive Psychology. Boston: Allyn and Bacon.

Shahnaz Qayumi. (2001). Piaget and His Role in Problem Based Learning. Journal of

Investigative Surgery. 14. 63-65.

Sukayasa. (2010). Profil Karakteristik Penalaran Siswa SMP dalam MemecahkanMasalah

Geometri. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan

Matematika di UNY pada tanggal 27 November 2010.

Wayne A. Wicklelgren. (1974). How to Solve Problem; Elements of a Theory of Problems and

Problems Solving. New York: W.H. Freeman and Company.

Yulaelawati. (2004). Kurikulum dan Pembelajaran: Filosofi Teori dan Aplikasi, Bandung:

Pakar Raya.

Page 10: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

112 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2

KEMAMPUAN GURU DALAM PROSES ASESMEN MATEMATIS

Edy Bambang Irawan

Jurusan Matematika FMIPA – UM ; [email protected]

Abstrak

Kemampuan guru melakukan asesmen matematis akan membawa dampak

terhadap perubahan proses pembelajaran. Fakta-fakta di lapangan menunjukkan bahwa

masih banyak guru mengalami permasalahan dalam melaksanakan proses asesmen

matematis. Permasalahan tersebut dapat dilihat dari dua aspek pembelajaran , yaitu

pengusaan materi dan kemampuan mengorganisasi siswa. Fakta-fakta tersebut memberi

petunjuk perlunya mengkaji perkembangan kemampuan guru dalam proses asesmen.

Perkembangan kemampuan guru dalam proses asesmen dapat ditinjau dari

berbagai sudut pandang. Romberg (2004,h.230) menawarkan empat langkah yang perlu

dilakukan guru dalam mengembangkan proses asesmen, yaitu: initiate, investigate,

interpret, dan integrate. Langkah pertama berorientasi ke arah memulai dengan

pemahaman guru terhadap praktek asesmen, langkah kedua berorientasi pada

keterlibatan guru dalam melakukan investigasi terhadap teknik asesmen. Langkah ketiga

mengharapkan guru dapat menginterpretasikan hasil kerja siswa, langkah keempat

memberikan kesempatan kepada guru untuk mengembangkan lebih jauh terhadap

praktek asesmen, antara lain melalui kegiatan lokakarya, atau kegiatan profesional guru

lainnya. Merujuk pada Battista (2007, h.836), reformasi proses asesmen matematis

dapat dilakukan melalui pengintegrasian proses asesmen dalam pembelajaran konsep

matemais. Idea pembelajaran konsep menuntut guru melakukan pengkajian konsep

matematika secara spesifik, sebelum melaksanakan proses pembelajaran.

Kata kunci: Kemampuan guru, asesmen matematis

A. Pendahuluan

Perubahan orientasi pembelajaran matematika, tidak dapat dilepaskan dari peran guru

untuk mempelajari perubahan proses belajar bagi dirinya sendiri. Dalam hal ini, guru perlu

melakukan proses belajar yang berbeda dari proses belajar yang dilakukan siswa, atau guru

perlu melakukan proses belajar yang berbeda dengan proses belajar yang pernah dialami

sebelumnya. Demikian pula, guru perlu melakukan perubahan proses asesmen dalam

pembelajaran. Proses asesmen yang perlu dilakukan guru terkait perubahan kurikulum dapat

dihubungkan dengan dua pertanyaan berikut:

(i) apakah guru dapat memahami proses asesmen sesuai pembelajaran

yang dituntut kurikulum baru ?

(ii) apakah guru dapat melaksanakan proses asesmen sesuai pembelajaran

yang dituntut kurikulum baru ?

Ditinjau dari dimensi perkembangan guru, pada umumnya teori perkembangan berpijak pada

pandangan bahwa guru merupakan pebelajar dewasa yang perkembangannya diperoleh dari

perubahan struktur berpikir. Diasumsikan pola berpikirnya berkembang melalui interaksi

dengan lingkungan (Brown & Borko, 1992,h. 227).

Page 11: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 113

B. Fakta-fakta di Lapangan

Fakta-fakta kelemahan guru dalam proses asesmen tercermin dari beberapa hasil

penelitian tentang kelemahan kemampuan guru dalam pembelajaran. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa tidak semua guru mampu berkomunikasi secara jelas dan secara langsung

pada siswanya tanpa ngelantur (wandering), berbicara melampaui kemampuan anak atau

menggunakan pola berbicara yang merusak (impair) kejelasan dari yang dipresentasikan (Land

& Smith, 1979; Smith & land, 1981; dalam Borich, 1992, h. 9). Hasil penelitian Leinhardt

(1989, h. 173) menunjukkan bahwa banyak guru muda matematika lemah dalam kemampuan

analitik. Struktur pelajaran oleh guru muda terpotong-potong dengan peralihan yang lama,

sering kebingungan yang disebabkan oleh tanda-tanda keliru (missent signal) dan sistem dari

tujuan pelajaran tidak jelas. Sehingga sangat disarankan bagi guruuntuk mengembangkan

kemampuan mengajar sesuai tujuan yang diinginkan, yaitu: pelajaran secara terbuka, fleksibel,

responsif, mendasarkan pada masalah (problem-based) dan tidak berbelit-belit. Brown &

Borko (1992, dalam Hino & Shigematsu, 2002, h. 240) telah membandingkan kemampuan

guru muda dan guru berpengalaman (expert teacher). Dikatakannya bahwa guru

berpengalaman lebih sistematis dan mempunyai kemampuan lebih dalam hal materi (content)

dan pengetahuan mengajar (pedagogical knowledge) dibandingkan dengan guru muda.

Salah satu tujuan pembelajaran matematika adalah mengembangkan kemampuan siswa

dalam menyelesaikan masalah. Namun demikian, banyak kasus yang terjadi di lapangan

berkaitan pembelajaran penyelesaian masalah. Kasus-kasus tersebut dikemukakan antara lain

oleh Koplowitz (1979), Lester (1982), Schoenfeld (1985) dan Victor (2004). Koplowitz

menemukan adanya kesalahan penalaran dalam proses penyelesaian masalah. Lester

menggunakan istilah “masalah proses” dalam penelitiannya yang menemukan ciri khas

kesalahan siswa dalam menyelesaikan masalah matematis. Victor mengemukakan bahwa

secara umum kegagalan siswa dalam menyelesaikan masalah disebabkan oleh kegagalan dalam

memahami masalah, mengorganisasikan operasi matematis, dan kegagalan dalam proses

analisis.

Adanya kesalahan penalaran dalam proses penyelesaian yang dikemukakan oleh Koplowitz

(1979) dilandasi oleh pemberian masalah berikut kapada mahasiswa undergraduate pada

matakuliah ketrampilan belajar matematika.

Saya pergi ke suatu tempat tertentu dengan 40 mil per jam dan sayamembutuhkan 20

menit untuk sampai ke sana. Saya kembali dengan 50 mil per jam. Berapa lama perjalanan

pulang yang saya butuhkan?

Koplowitz melaporkan bahwa berbagai penyelesaian salah yang sering muncul

dikerjakan murid-muridnya adalah 15, l7 1

2, dan 25 menit. Dalam proses pembelajaran,

Koplowitz memberikan kesempatan siswa untuk mendiskusikan penyelesaian masalah

Page 12: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

114 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2

tersebut, dan mereka tidak merasa heran dengan jawaban beragam dalam kelompok.

Selanjutnya Koplowitz membimbing kelompok yang mengarah pada jawaban benar dari

masalah. Namun jalan pikiran yang disampaikan Koplowitz tidak dipandang sebagai jawaban

yang lebih logis dari pikiran para siswa. Bahkan siswa memandang apa yang disampaikan

Koplowitz sebagai cara lain dalam menyelesaikan masalah.

Disisi lain Koplowitz menyampaikan bahwa meskipun murid-muridnya memiliki keterampilan

yang diperlukan dalammenyelesaikan masalah, mereka tidak mengetahui apakah mereka telah

menyelesaikan masalah atau belum. Para siswa berhenti bekerja dalam menyelesaikan

masalah ketika mereka merasa telah menyelesaikannya. Istilah “masalah proses” dalam

menyelesaikan masalah yang dikemukakan Lester (1985) dihasilkan dalam penelitian pada

kelas tiga dan kelas lima dengan mengangkat masalah berikut.

Tom dan Sue mengunjungi peternakan dan melihat ada ayam dan babi.

Tom mengatakan, "Ada 18 binatang." Sue berkata, "Ya, dan mereka memiliki 52

kaki seluruhnya." Berapa banyak dari setiap jenis binatang yang ada di sana?

Dalam hasil penelitiannya ditemukan bahwa hampir semua siswa kelas tiga menyelesaikan

masalah ini dengan menambahkan 18 dan 52, sedangkan siswa kelas lima menyelesaikan

dengan membagi 52 dengan 18. Ketika ditanya tentang jawaban mereka, siswa kelas tiga

mengatakan “ soal tersebut bertanya tentang „berapa banyak semuanya‟ sehingga

ditambahkan”. Sedangkan siswa kelas lima menulis jawaban 52 : 18 kemudian berhenti

bekerja. Mereka merasa ada sesuatu yang salah, tetapi tidak dapat berbuat apa-apa selain

menyerah. Baik siswa kelas tiga maupun siswa kelas lima, ketika mereka menyadari bahwa

jawaban mereka salah, mereka tidak mampu memikirkan prosedur alternatif untuk

menyelesaikannya.

C. Perkembangan Kemampuan Guru

Sebagai manusia dewasa, seorang guru memiliki karakteristik berbeda dengan siswa

dalam melaksanakan proses belajar. Proses belajar bagi guru sebagai manusia dewasa dapat

ditinjau berdasarkan teori perkembangan. Teori perkembangan dalam bidang pendidikan

matematika dapat diklasifikasi dalam dua dimensi, yaitu dimensi psikologi belajar matematika

bagi siswa dan dimensi perkembangan guru. Ditinjau dari dimensi psikologi belajar

matematika bagi siswa, pada umumnya teori perkembangan berpijak pada teori-teori belajar

dari para ahli psikologi belajar matematika yang terkenal, antara lain: jean Piaget, J.P Guilford,

Robert Gagne, Zalton Dienes, David Ausubel, Jerome Bruner dan B.F. Skinner (Bell, 1978, h.

98-157). Ditinjau dari dimensi perkembangan guru, pada umumnya teori perkembangan

berpijak pada pandangan bahwa guru merupakan pebelajar dewasa yang perkembangannya

diperoleh dari perubahan struktur berpikir. Diasumsikan pola berpikirnya berkembang melalui

interaksi dengan lingkungan (Brown & Borko, 1992,h. 227).

Page 13: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 115

Teori-teori yang dihasilkan dari para pakar penelitian pengembangan tentang

kemampuan guru antara lain: Teori Piaget tentang perkembangan kognitif (1972), Teori

Kohlberg tentang membuat keputusan moral (1969), Teori Loevinger tentang perkembangan

diri (1976), Teori Hunt tentang perkembangan konseptual (1970) Teori Perry tentang

perkembangan etika dan intelektual (1970), Teori Fuller tentang level-level perhatian (1969)

(Brown & Borko, 1992, h. 227). Pada makalah ini akan disajikan secara singkat tentang Teori

Perry, karena mempunyai kaitan erat berkaitan dengan proses asesmen sebagai bagi guru

matematika.

Teori Perry tentang perkembangan etika dan intelektual merupakan level

perkembangan yang berguna dalam menetapkan level-level perkembangan bagi guru

matematika. Pada Teori Perry dikenalkan istilah Pola Perry (Perry’ Scheme), yaitu evolusi

interpretasi kehidupan seseorang yang diperoleh dari sejumlah pengalaman selama bertahun-

tahun. Dalam Pola Perry dikenalkan 9 level perkembangan yang dimampatkan dalam 4

kategori, yaitu: dualisme, multiplistik, relativisme dan komitmen.

Seseorang pada level dualisme berpandangan bahwa setiap pertanyaan mempunyai

jawaban, atau setiap masalah mempunyai penyelesaian, dan setiap ahli akan mengetahui dan

menyediakan jawaban tersebut. Seorang guru pada level ini mempunyai kecenderungan

mendominasi proses pembelajaran, dan menempatkan diri sebagai sentral dalam

menyelesaikan setiap permasalahan yang dihadapi di kelas. Dalam proses pembelajaran

matematika , guru cenderung menempatkan diri memiliki otoritas internal, sedangkan siswa

akan memandang guru memiliki otoritas eksternal.

Seseorang pada level multiplistik berpandangan bahwa segala sesuatu dihargai

berdasarkan cara berpikir dan keyakinan masing-masing. Guru berperan membuat muridnya

berpikir sesuai caranya masing-masing. Seorang guru pada level ini cenderung menciptakan

pembelajaran yang bersifat demokratik. Dalam proses pembelajaran, guru cenderung

menghargai pendapat siswa, walaupun pendapat tersebut bertentangan dengan guru.

Seseorang pada level relativisme berpandangan bahwa tidak semua gagasan bernilai

baik secara bersama, terdapat kriteria untuk mengevaluasi gagasan tersebut sesuai konteks

evaluasinya. Pada level relativisme ini guru tidak sekedar mampu menciptakan pembelajaran

demokratik, tetapi juga lebih obyektif. Pada proses pembelajaran, guru tidak akan memandang

pendapat murid bertentang dengan dirinya, guru tidak mudah menyalahkan siswa yang

bertentangan dengan pendapatnya. Guru akan memandang bahwa pendapat siswa yang

bertentangan tidak bisa disalahkan, karena konteks berpikir siswa tersebut berbeda dengan

konteks berpikir yang dimiliki guru.

Guru pada level relativisme ini kiranya akan lebih mudah dalam menerapkan perubahan

kurikulum dibandingkan guru pada level multiplistik. Pada tahap relativisme ini, guru tidak

menggunakan kriteria benar atau salah dengan berorientasi pada pendapatnya sendiri. Kriteria

Page 14: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

116 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2

dalam menetapkan sesuatu itu benar atau salah tergantung dari konteks yang dihadapi. Dalam

memberikan penilaian, kiranya guru pada level relativisme akan melakukan penilaian lebih

teliti terhadap siswanya. Guru tidak dapat memberikan penilaian berdasarkan subyektifitas

yang dimiliki guru. Namun penilaian yang dilakukan perlu mepertimbangkan berbagai faktor

sesuai konteks berpikir siswa.

Seseorang pada level komitmen berpandangan bahwa sesuatu keputusan hanya dapat

dibuat dengan berdasarkan pada ketidakpastian (uncertainty). Pada tahap ini, seseorang akan

menerima sesuatu gagasan bersifat alternatif, dan pengetahuan dipandang sebagai struktur

individu dalam menafsirkan pengalaman yang dihadapi. Guru pada level ini kiranya akan

mampu menerapkan berbagai perubahan kurikulum secara lebih baik. Setiap proses

pembelajaran akan dirancang dengan sangat hati-hati, karena terdapat banyak faktor yang

menjadi pertimbangan dalam menyusun rencana pembelajaran. Berbagai alternatif yang terjadi

dalam proses pembelajaran akan diperhitungkan secara matang. Pada proses pembelajaran guru

tidak mudah mengklaim setiap keputusan dengan ungkapan benar atau salah. Bahkan guru

cenderung tidak mengatakan benar atau salah terhadap suatu keputusan, tetapi cenderung

memberikan argumentasi terhadap setiap keputusan yang dibuat guru maupun siswa.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa para guru cenderung berada pada level rendah dari

Pola Perry, dan sulit berpindah pada level yang lebih tinggi. Dikemukakan pula bahwa hasil

penelitian menunjukkan bahwa para guru cenderung sulit menerima konsepsi konstruktivisme

dalam pembelajaran matematika yang dapat menempatkan semua individu termasuk siswa

sebagai seseorang yang mempunyai otoritas (Brown & Borko, 1992, h. 229). Kondisi ini

menjadi tantangan berat bagi para guru dalam menerapkan setiap perubahan kurikulum . Guru-

guru pada level rendah cenderung melaksanakan proses pembelajaran bersifat sentralistik,

sedangkan dalam perkembangan kurikulum menuntut proses pembelajaran bersifat

demokratik. Guru yang akan menerapkan proses asesmen secara baik harus meningkatkan

level tinggi dari Pola Perry. Upaya meningkatkan level lebih tinggi kiranya dapat dilakukan

melalui serangkaian aktivitas profesional para guru.

D. Reformasi Proses Asesmen Matematis

Reformasi proses asesmen matematis untuk meningkatkan profesionalisme guru dalam

rangka menghadapi pergeseran paradigma pembelajaran dapat dilakukan melalui berbagai

sudut pandang. Romberg (2004,h.230) menawarkan empat langkah yang perlu dilakukan guru

dalam mengembangkan proses asesmen, yaitu: initiate, investigate, interpret, dan integrate.

Langkah pertama berorientasi ke arah memulai dengan pemahaman guru terhadap praktek

asesmen, langkah kedua berorientasi pada keterlibatan guru dalam melakukan investigasi

terhadap teknik asesmen. Langkah ketiga mengharapkan guru dapat menginterpretasikan hasil

kerja siswa, langkah keempat memberikan kesempatan kepada guru untuk mengembangkan

Page 15: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 117

lebih jauh terhadap praktek asesmen, antara lain melalui kegiatan lokakarya, atau kegiatan

profesional guru lainnya.

Apabila merujuk pada Battista (2007, h.836), reformasi proses asesmen matematis

dapat dilakukan melalui pengintegrasian proses asesmen dalam pembelajaran konsep. Idea

pembelajaran konsep menuntut guru melakukan pengkajian konsep matematika secara spesifik,

sebelum melaksanakan proses pembelajaran. Pengkajian konsep matematika dapat dilakukan

dengan mengidentifikasi konsep, dan membuat pertanyaan.

Kemampuan mengidentifikasi konsep yang dimaksudkan dalam makalah ini

dihubungkan dengan dua hal, yaitu memahami karakteristik konsep dan kemampuan

memberikan contoh dan bukan contoh. Menyusun karakteristik konsep berarti melakukan

analisis sifat-sifat terhadap konsep. Analisis sifat-sifat tersebit memberi dukungan dalam

pengenalan pola. (Kellas, Ferraro & Simpson, 1988; dalam Bruning et.al., h. 26). Proses

mengenal pola merupakan unsur penting dalam belajar matematika (Burger & Murser, 1991, h.

11; Fendel,1987, h. 104).

Kemampuan memberikan contoh dan bukan contoh terhadap suatu konsep penting

dimiliki oleh seorang guru, untuk membantu siswa agar siswa memahami secara mendalam

dari konsep yang dipelajari. Kebiasaan guru dalam menyusun contoh dan bukan contoh dapat

menciptakan aktivitas matematika di kelas. Booler (Lester, 2007, h. 411) memandang bahwa

pemberian contoh dan bukan contoh sebagai aktivitas di kelas dapat memberi inspirasi dalam

melakukan reformasi pembelajaran. Menurut Booler, belajar matematika di kelas secara aktif

tidak sekedar hanya memiliki pengetahuan prosedural, tetapi akan mampu mengembangkan

conceptual understanding, (Lester, h. 411)

Disadari bahwa guru matematika di sekolah menengah tidak hanya dituntut untuk

mampu mengidentifikasi konsep, tetapi juga dituntut mampu mengkomunikasikan kepada

siswa . Komunikasi tersebut mempunyai peran penting dalam mengkonstruksi pemahaman

anak, mengevaluasi, dan menginterpretasikan ide-ide (Bloomer & Carlson, 1993, h.2). Sebagai

upaya untuk mampu mengkomunikasikan konsep matematika kepada siswa, guru perlu

mempunyai kemampuan menyusun pernyataan verbal terkait dengan konsep yang dikaji.

Seseorang dikatakan belajar matematika secara baik bila mampu menggunakan strategi

penyelesaian masalah, dan dapat berkreasi terhadap masalah yang diselesaikan (Moses, dalam

Brown, 1993, h. 187). Siswa mampu menggunakan strategi penyelesaian masalah, sangat

dipengaruhi peran guru dalam memilih strategi pembelajaran di kelas. Kemampuan guru

membuat pertanyaan dalam kegiatan mengajar di kelas akan mempunyai pengaruh terhadap

peningkatan kreatifitas siswa. Pertanyaan yang diformulasikan dengan baik oleh guru dapat

meningkatkan partisipasi di kelas dan menjadikan siswa merasa dirinya mempunyai peran

penting di dalam kelas. Cobb & Hadge (2002, h.408) memperkuat perlunya meningkatan

partisipasi siswa dengan menggunakan istilah relational perspektif. Dalam prinsip relational

Page 16: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

118 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2

perspektif, partisipasi anak tidak hanya dikembangkan dalam pembelajaran di kelas, tetapi perlu

pembentukan hubungan antara partisipasi di kelas dan praktek di luar kelas, dimana siswa

berperan sebagai anggota masyarakat.

E. Penutup

Pokok-pokok pikiran dalam mendukung kemampuan guru dalam proses asesmen matematik

dalam menghadapi pergeseran paradigma pembelajaran dapat dideksripsikan sebagai berikut.

1. Fakta-fakta di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak guru mengalami permasalahan

dalam melaksanakan proses asesmen, namun demikian perlu disadari bahwa perkembangan

kemampuan guru melakukan asesmen akan membawa dampak terhadap perubahan proses

pembelajaran. Guru perlu membangun lingkungan belajar yang kondusif bagi anak didik,

yaitu pembelajaran yang dilaksanakan secara terbuka, fleksibel, responsif, mendasarkan

pada masalah, dan tidak berbelit-belit.

2. Guru yang akan menerapkan proses asesmen secara baik, perlu meningkatkan serangkaian

aktivitas profesional, dapat menerima dan melaksanakan konsepsi konstruktivisme, dan

dapat menempatkan individu termasuk siswa sebagai seseorang yang mempunyai otoritas.

3. Dalam mengembangkan proses asesmen, guru dapat melakukan empat langkah, yaitu:

initiate, investigate, interpret, dan integrate. Langkah pertama berorientasi ke arah memulai

dengan pemahaman guru terhadap praktek asesmen, langkah kedua berorientasi pada

keterlibatan guru dalam melakukan investigasi terhadap teknik asesmen. Langkah ketiga

mengharapkan guru dapat menginterpretasikan hasil kerja siswa, langkah keempat

memberikan kesempatan kepada guru untuk mengembangkan lebih jauh terhadap praktek

asesmen, antara lain melalui kegiatan lokakarya, atau kegiatan profesional lainnya.

F. Sumber Pustaka

Battista M.T. 2007. The development of geometric and spatial thinking. In Lester F.K, Jr.

Second Handbook of Research on Mathematics Teaching and Learning. NCTM

Bell, F.H. 1978. Teaching and learning mathematics (in secondary schools). WCB. Iowa

Borich G.D. 1992. Effective Teaching Methods. 2nd

Eds. Merrill.

Burger, W.F. & Murser, G.L. 2006. Mathematics for elementary teachers. Contemporary

Approach. USA: Macmillan

Bloomer, A.M. & Carlson, P.A.T. 1993. Activity math, using manipulative in the classroom.

USA: Addison –Wesley

Brown, C.A. & Borko, H. 1992. Becoming a mathematics teacher. In Grouws D.A. (Ed.)

Handbook of Research on Mathematics Teaching and Learning. New York: NCTM

Brown, S.I. & Walter, M.I. 1993. Problem posing: reflection and application. USA:

Lawrence, E.A.

Page 17: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 119

Howard T.C & Aleman G.R. 2008. Teacher capacity for diverse learner. In Cochran M-Smith

etc.Handbook of Research on Teacher Education. Enduring Question in Changing

Contexts. 3th

Eds. Routledge

Hino, K. & Shigematsu, K. 2002. Creating a frame of reference for mathematics teaching: a

study of teacher change through an in-service education program. In Edge D & Har Y.B.

(Eds). MathematicsEducation for a Knowledge-Based Era. Proceeding of ICMI

Singapore:SEAME 9

Koplowitz. 1979. H. The feeling of knowing when one has solved a problem. In J.Lochhead &

J. Clement (Eds.). Cognitive process instruction: Research in teaching thinking skill.

Philadelphia: The Franklin Institute Press.

Leinhardt, G. 1989. Math lesson: a contrast of novice and expert competence. Journal for

Research in Mathematics Education. USA: NCTM

Lester F.K. 1985. Methodological Consideration In Research on Mathematical Problem

Solving Instruction. In TeAching and learning mathematical problem olving. Multiple

reseach perspective (E.Silver),ed. Hillsdale.NJ:LEA.

Romberg. (2004). Standard Based Mathematics Assessment in Midlle School. Rethinking

College Press, Columbia University

Schoenfeld, A. (1985). Mathematical Problem Solving. San Diego, CA: Academic Press.

Victor, A.M. (2004). The effects of metacognitive instruction on the planning and

academic achievement of first and second grade children. (Doctoral Thesis). Chicago,

IL: Graduate College of the Illinois Istitute of Technology.

Page 18: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

120 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2

PENGGUNAAN METODE MIND MAPPING (PETA PIKIRAN) UNTUK

MENINGKATKAN KEMAMPUAN PENALARAN MATEMATIS SISWA SMP

Ratna Cempaka Kombado1)

, Louise M. Saija Sihotang2)

1) Program Studi Pendidikan Matematika FKIP UNAI

Jl. Kolonel masturi no.288, e-mail: [email protected]

2) Dosen FKIP Universitas Advent Indonesia

Jl. Kolonel masturi no.288, e-mail:[email protected]

Abstrak

Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk meningkatkan kemampuan penalaran matematis

siswa SMP. Kemampuan penalaran matematis pada siswa SMP masih rendah seperti yang

dilaporkan dari berbagai hasil penelitan, sehingga dilakukan usaha untuk meningkatkannya.

Oleh sebab itu, dibutuhkan suatu metode yang tepat untuk mengatasinya. Metode mind

mapping digunakan untuk mengatasi hal tersebut. Metode ini menggunakan peta-peta

pikiran yang bercabang-cabang, dan dengan metode ini dapat meningkatkan daya berpikir

dan daya nalar seorang anak. Dalam penelitian ini, yang menjadi sampel adalah dari siswa

SMPN 10 Cimahi dan ada 2 kelompok, yaitu kelompok kontrol dan eksperimen dengan

metode mind mapping. Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen.Teknik

pengumpulan data menggunakan observasi, angket, wawancara, dokumentasi, dan tes.

Keywords : Mind mapping, penalaran.

PENDAHULUAN

Pendidikan merupakan hal yang sangat penting dan juga merupakan harapan bagi setiap

orang. Priantini et al., (2013) melaporkan bahwa pendidikan juga merupakan hal yang sangat

menarik untuk dibahas karena melalui usaha pendidikan diharapkan tujuan pendidikan akan

segera tercapai. Hal tersebut juga terlihat pada era reformasi yang telah membuka ruang bagi

masyarakat untuk membicarakan masalah pendidikan dengan lebih baik dan banyak orang tua

yang sangat antusias untuk memasukkan anaknya ke sekolah unggulan, bahkan hal ini telah

menjadi sebuah kompetisi pendidikan (Ali, 2009).

Lee dan Statham., (2010) melaporkan bahwa untuk meningkatkan kemampuan belajar

matematis siswa, hendaknya disertakan lima standar proses National Council of Teachers of

Mathematics (NCTM) ke dalam proses belajar mengajar. Lima standar proses di antaranya : 1)

pemecahan masalah, 2) Penalaran, 3) komunikasi, 4) koneksi, dan 5) pemahaman. Tetapi pada

kenyataannya, kemampuan penalaran matematis siswa khususnya siswa SMP masih rendah

dibandingkan dengan kemampuan matematis lainnnya seperti yang dilaporkan oleh mullis et al,.

(2012). Dapat dilihat pada tabel 1.1.

Tabel 1.1 menunjukkan bahwa siswa di Indonesia memiliki kemampuan penalaran yang

rendah dibandingkan dengan Negara lainnya. Padahal, penalaran matematis sangat dibutuhkan

dalam matematika khususnya untuk menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi siswa

(Soares et al., 2012) dengan penalaran juga memungkinkan kita untuk mengevaluasi argument,

Page 19: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 121

menguji hipotesis alternative, mengumpulkan bukti, menarik kesimpulan, dan pada akhirnya

membuat keputusan untuk hidup kita (Metllidou et al., 2012).

Tabel 1.1 Presentase TIMSS 2011 Penilaian Matematika untuk Domain Kognitif

Negara Knowing Applying Reasoning

Singapura 82 (0.8) 73 (1.0) 62 (1.1)

Korea Ref. 80 (0.5) 73 (0.6) 65 (0.6)

Jepang 70 (0.6) 64 (0.6) 56 (0.7)

Malaysia 44(1.2) 33 (1.0) 23 (0.9)

Thailand 38 (1.0) 30 (0.8) 22 (0.8)

Indonesia 37 (0.7) 23 (0.6) 17 (0.4)

Rata-rata Internasional 49 (0.1) 39 (0.1) 30 (0.1)

Sumber: Mullis et al., (2012)

Deporter., (2007) melaporkan bahwa banyak faktor yang melatar belakangi hal tersebut

di atas, diantaranya adalah kurangnya pemahaman akan materi yang diberikan guru dalam

pembelajaran matematika dan kurangnya saling pengertian antara Guru dan siswa. Hal ini bisa

terjadi karena materi yang disampaikan belum terstruktur dengan baik dalam pikiran seorang

anak dan juga kurangnya kreatifitas serta cara bernalar seorang anak terhadap materi yang

disampaikan kurang maksimal (Lamon, 2007), serta penggunaan metode dalam pembelajaran

matematika yang belum efektif dan efisien (Kamaruddin & Amin, 2012).

Mencermati hal-hal di atas, guru sangat berperan penting dalam kesuksesan seorang

siswa. Kamaruddin dan Amin., (2012) melaporkan bahwa guru hendaknya memilih strategi

pembelajaran yang tepat yang dapat meningkatkan kemampuan bernalar dan kreativitas dalam

belajar khususnya dalam pembelajaran matematika.

Banyak strategi pembelajaran yang dapat digunakan, salah satu diantaranya ialah Mind

Mapping (Peta Pikiran). Metode mind mapping sangat cocok digunakan sebagai suatu metode

pada pembelajaran karena dengan metode mind mapping dapat meningkatkan pemikiran

seorang anak dan dapat menyampaikan apa yang telah ia dapatkan dengan baik, yaitu dengan

cara berdiskusi (Riswanto & Putra, 2012). Selain itu, metode mind mapping dapat digunakan

untuk belajar dan mengingat juga menyelesaikan masalah yang sangat rumit sekalipun dan

membuat memori jangka panjang (Adodo, 2013) dan melalui metode mind mapping

jugapenalaran secara signifikan ditingkatkan dan ini sangat efektif untuk digunakan (Cheng et

al., 2010).

Page 20: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

122 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2

KAJIAN TEORITIS

A. Kemampuan Penalaran Matematis

Istilah panalaran atau reasoning dapat diartikan sebagai kemampuan berpikir seseorang

khususnya siswa dan mampu menghubungkan dan membandingkan fakta-fakta dan akhirnya

menuju kepada suatu kesimpulan (Cetin & Ertekin, 2011). Penalaran merupakan suatu proses

yang akhirnya menuju kepada suatu kesimpulan yang merupakan pernyataan baru dan yang

berasal dari pernyataan-pernyataan yang telah diketahui sebelumnya (Siswanto & Rechana,

2011). Penalaran matematis sangat dibutuhkan dalam matematika khususnya untuk

menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi siswa (Soares et al., 2012).

Wardhani (2010) melaporkan indikator-indikator kemampuan penalaran yang harus dicapai

oleh seorang siswa, yaitu :

1. Menyajikan pernyataan matematika secara lisan, tertulis, gambar, dan diagram

2. Mengajukan dugaan

3. Melakukan manipulasi matematika

4. Menarik kesimpulan dari sebuah pernyataann

5. Memeriksa kesahihan suatu argument

6. Menemukan pola atau sifat dari gejala matematis untuk membuat generalisasi

B. Mind Mapping

Mind Mapping atau peta pikiran petama kali dikembangkan oleh Tony Buzan. Mind

mapping merupakan satu strategi yang melibatkan topik dari suatu ide di tengah dari sebuh

kertas dan membuat cabang-cabang dari topic atau yang menjadi bagian dari topik. Ini adalah

sebuah alat visual yang dapat menghasilkan ide-ide, mengorganisir pikiran dan

mengembangkan konsep dengan menggunakan berbagai warna (Al-Jarf, 2011).

Jones et al., (2012) melaporkan bahwa ada tiga kegiatan pemetaan pikiran yang

dikelompokkan menjadi tiga tingkatan meditasi sosial, yaitu :

1. Selama proses belajar mengajar berlangsung, siswa dituntut atau diwajibkan untuk membuat

peta dengan buku catatan

2. Siswa diberikan satu jam di kelas untuk menyelesaikan peta dan serahkan ke guru yang

menjadi seorang instruktur dan guru tetap berada di kelas untuk menjawab setiap

pertanyaan yang diberikan oleh siswa. Siswa diajak untuk bekerja dengan siswa lain di

kelas mereka.

3. Guru membagi siswa kedalam tiga atau empat kelompok, dan siswa diajak untuk mebuat

peta pikiran secara berkelompok yang telah dibagikan.

Dari pernyataan di atas, dapat kita simpulkan bahwa siswa diajak atau diwajibkan

untuk membuat peta pikiran baik secara individu ataupun secara berkelompok dari pelajaran

yang mereka pelajari.

Page 21: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 123

Al-jarf (2011) melaporkan bahwa mind mapping dapat digunakan oleh guru untuk

meningkatkan belajar seorang anak. Hal ini juga berguna untuk pelajar dengan cara visual

sebagai alat ilustrasi yang dapat membantu mengelola cara berpikir seorang anak, mengarahkan

pembelajaran, dan membuat koneksi dari setiap pelajaran yang telah dipelajari dengan yang

sedang dipelajari dan akan dipelajari.

Metode mind mapping sangat cocok digunakan sebagai suatu metode pada

pembelajaran karena dengan metode mind mapping dapat meningkatkan pemikiran seorang

anak dan dapat menyampaikan apa yang telah ia dapatkan dengan baik, yaitu dengan cara

berdiskusi (Riswanto & Putra, 2012). Oleh sebab itu efesiensi penggunaannya sangat tinggi.

Selain itu, metode mind mapping dapat digunakan untuk belajar dan mengingat juga

menyelesaikan masalah yang sangat rumit sekalipun dan membuat memori jangka panjang

(Adodo, 2013). Selain itu, dengan menggunakan metode mind mapping penalaran secara

signifikan ditingkatkan dan ini sangat efektif digunakan (Cheng et al., 2010).

Adapun langkah-langkah dalam membuat mind mapping seperti yang dilaporkan oleh

Cheng et al., (2010) sebagai berikut :

1. Tempatkan topi yang akan dibahas di tengah. Mulailah dari tengah kertas, sebagaimana cara

berpikir kita.

2. Alangkah baiknya jika menggunakan kertas yang memiliki kualitas tinggi dan kertas A3

yang kosong atau kertas A4 dan letakkan horizontal.

3. Kertas yang memmiliki kualitas yang baik dapat membuat perasaan yang nyaman,

sedangkan kertas kosong menyediakan ketidakterbatasan dan memberikan ruang untuk

bebas dalam berpikir.

4. Aplikasi gambar-lebih baik jika menggunakan banyak warna dan tiga dimensi karena akan

memicu pola pikir dan lebih mudah memperkuat daya ingat ketika lebih dekat dengan

kehidupan nyata.

5. Aplikasi warna-warna yang berbeda memiliki arti yang berbeda untuk semua orang.

6. Aplikasi kata-kata dari setiap garis merupakan kata kunci, tulislah dengan rapi in lembar

kertas yang kosong dan letakkan hanya satu kosa kata.

7. Panjang garis harus sama dengan ukuran gambar atau panjang kalimat.

8. Garis harus halus dan terstruktur dan dihubungkan satu sama lain.

9. Ketebalan garis tergantung pada jarak dari pusat. Semakin dekat ke pusat, semakin tebal

garis tersebut. Tetapi dapat disesuaikan dengan situasi yang berbeda.

10. Sangat penting bentuk dari mind mapping harus menyoroti poin dan menunjukkan bentuk

sendiri.

Page 22: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

124 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2

Gambar 1.1

METODE PENELITIAN

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode mind mapping atau peta

pikiran. Penelitian ini dilakukan guna meningkatkan kemampuan penalaran matematis

siswa SMP khususnya kelas VII C dan kelas VII D sebagai sampel dalam penelitian ini.

Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen.

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan pada semester ganjil tahun akademik 2013/2014 di SMP

Negeri 10 Cimahi, Bandung, Jawa Barat.

Target/Subjek Penelitian

Subjek penelitian adalah siswa kelas VII C dan kelas VII D SMP Negeri 10 Cimahi

yang masing-masing kelas terdiri dari 31 orang siswa.

Prosedur

Adapun prosedur dalam penelitian eksperimen dapat dilihat pada Gambar 2.2:

Data, Instrumen, dan Teknik Pengumpulan Data

Data, instrument dan teknik pengumpulan data merupakan suatu tahap yang sangat

penting dilakukan dalam penelitian. Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah semua

data yang berhubungan dengan kemampuan penalaran matematis siswa dan sikap siswa

terhadap aspek yang dinilai. Untuk mendapat data dan informasi yang lengkap yang

bersangkutan dengan penelitian ini, maka dibuat instrument tes yang diberikan pada tahap awal

Page 23: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 125

dan akhir penelitian, tetapi sebelumnya tes sudah diujicobakan dan dianalisis. Selain instrumen

tes, maka pada penelitian ini digunakan juga instrumen non tes, berupa angket. Langkah-

langkah untuk mengumpulkan data-data tersebut di atas adalah sebagai berikut :

1. Semua data yang berhubungan dengan kemampuan penalaran matematis siswa,

dikumpulkan melalui pre-test dan post-test.

2. Data yang berhubungan dengan sikap siswa selama pembelajaran dengan menggunakan

metode mind mapping, dikumpulkan melalui angket skala sikap siswa seusai pemberian

materi ajar.

Gambar 1.2. Prosedur Pelaksanaan Penelitian

Mengidentifikasi Masalah

Persiapan Penelitian

Penyusunan Instrumen

Penelitian

Pre-Test

Kelas Kontrol Kelas Eksperimen

Post-Test

Angket Skala Skiap

Pengolahan Data

Analisis Kemampuan Penalaran Matematis

Penarikan Kesimpulan

Page 24: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

126 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2

Teknik Analisis Data

Terhadap data hasil uji coba dilakukan analisis validitas, reliabilitas, daya beda dan

tingkat kesukaran. Sedangkan terhadap data hasil pre-test dan post-test dilakukan teknik analisis

data sebagai berikut : analisis data Gain, Uji Normalitas, Uji homogenitas dan Uji perbedaan

dua rata-rata.

1. Analisis Data Gain

Analisis data gain dilakukan untuk mengetahui besarnya peningkatan kemampuan

penalaran matematis siswa pada kelas eksperimen dan kelas kontrol dan dilakukan analisis

terhadap hasil tes awal (pre-tes) dan tes akhir (post-tes). Berikut ini merupakan rumus Gain

ternormalisasi oleh Hake, dengan rumus sebagai berikut:

𝑔𝑛 = 𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑝𝑜𝑠𝑡 𝑡𝑒𝑠𝑡 −(𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑝𝑟𝑒 𝑡𝑒𝑠𝑡 )

𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑖𝑑𝑒𝑎𝑙 −(𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑝𝑟𝑒 𝑡𝑒𝑠𝑡 ) Hake ( Afrilianto, 2012)

Dari hasil perhitungan gain dikategorikan sebagai berikut :

Tabel 3.6

Klasifikasi Gain (g)

Besarnya Gain (g) Interpretasi

g≥ 0,7 Tinggi

0,3 ≤ g < 0,7 Sedang

g < 0,3 Rendah

(Hake, Afrilianto, 2012)

2. Uji Normalitas

Langkah pertama adalah melakukan uji normalitas. Uji normalitas ini berfungsi untuk

melihat dan mengetahui apakah data terdistribusi normal atau tidak. Hipotesis nol untuk uji ini

adalah : 𝐻0 = skor kemampuan penalaran matematis siswa berasal dari populasi yang

berdistribusi normal.𝐻0 tidak ditolak jika nilai signifikan lebih dari α = 0,05. Untuk Uji

normalitas digunakan uji Shapiro-Wilk sebagai berikut:

𝑤 =( 𝑎𝑖𝑥 𝑖 )2𝑛

𝑖=1

𝑥1−𝑥 2𝑛𝑖=1

(Uyanto dalam Tarigan ,2013)

Dengan ;

𝑋(𝑖) = statistik tatanan 𝑥 1 ,𝑥(2),… , 𝑥(𝑛)

𝑎(𝑖) = konstanta yang diperoleh dari nilai rata-rata (mean), varians dan kovarians sampel

tatanan sebesar n dari distribusi normal.

3. Uji Homogenitas

Untuk mengetahui apakah data berasal dari populasi-populasi yang memiliki varians yang

homogen dan tidak homogen, maka dilakukan uji homogenitas. Untuk uji homogenitas ini

digunakan rumus Uji-F sebagai berikut :

Page 25: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 127

𝐹ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 =𝑠𝑒

2

𝑠𝑘2 , (Sudjana dalam Tarigan, 2013)

Keterangan :

F : Nilai F

𝑠𝑒2 : Varians data kelas eksperimen

𝑠𝑘2 : Varians data kelas kontrol

Ho : 𝜌𝑒2 = 𝜌𝑘

2 tidak akan ditolak jika nilai signifikan > α = 0,05

Artinya : varians dari kedua populasi data homogeny

4. Uji Perbedaan Dua Rata-rata

Pengujian ini memiliki hipotesis sebagai berikut :

𝐻0 𝜇𝑘 = 𝜇𝑒 : Tidak terdapat peningkatan rata-rata kemampuan penalaran matematis siswa

terhadap pembelajaran dengan menggunakan metode mind mapping dengan pembelajaran

konvensional atau biasa.

𝐻𝑎 𝜇𝑘 < 𝜇𝑒 : Terdapat perbedaan yang signifikan antara peningkatan rata-rata kemampuan

penalaran matematis siswa yang mendapat pembelajaran dengan menggunakan metode mind

mapping dengan siswa yang mendapat pembelajaran dengan metode mengajar konvensional

(biasa).

Hipotesis dari penelitian ini diuji dengan menggunakan uji-t sebagai berikut :

𝑡 =𝑥1−𝑥2

𝑠𝑔2 1

𝑛1+

1

𝑛2

Dengan standar deviasi gabungan (𝑠𝑔) dapat dihitung dengan menggunakkan rumus sebagai

berikut :

𝑠𝑔2 =

𝑛1−1 𝑠12+ 𝑛2−1 𝑠2

2

𝑛1+𝑛2−2 (Sudjana dalam Astuti et al., 2012)

Jika terdapat populasi yang tidak terdistribusi normal, maka dapat menggunakan statistik uji

non parametrik, yaitu uji Mann-Whitney. Rumus untuk uji Mann Whitney adalah ebagai berikut

:

𝑢 = 𝑛1𝑛2 +𝑛𝑖(𝑛𝑖+1)

2− 𝑅𝑖

Dimana;

𝑅𝑖 = jumlah peringkat yang diberikan pada sampel dengan jumlah 𝑛𝑖

𝑅𝑖 = jumlah peringkat yang diberikan pada sampel dengan jumlah 𝑛𝑖 . 𝑖 = 1,2

Page 26: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

128 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2

HASIL PENELITIAN YANG RELEVAN DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian berikut yang dilakukan oleh Siswanto & Rechana (2011) yang berjudul

“Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT (Numbered Heads Together)

Menggunakan Peta Konsep dan Peta Pikiran Terhadap Penalaran Formal Siswa”, berdasarkan

hasil perhitungan dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe NHT

menggunakan peta pikiran lebih berpengaruh terhadap penalaran formal siswa.

Penelitian berikut yang dilakukan oleh Priantini et al., (2013) dengan judul penelitiaan

“Pengaruh Meode Mind Mapping Terhadap Keterampilan Berpikir Kreatif dan Prestasi Belajar

IPS”, berdasarkan data yang diperoleh hasil penelitian menunjukkan bahwa : 1) terdapat

perbedaan keterampilan berpikir kreatif yang signifikan antara siswa yang mengikuti

pembelajaran menggunakan metode Mind Mapping dan siswa yang mengikuti pembelajaran

konvensional, dan 2) Secara simultan keterampilan menggunakan metode Mind Mapping lebih

baik secara signifikan daripada siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional.

Penelitian yang sedang dilaksanakan berpusat pada mind mapping dengan warna dan

kertas, yang dapat memicu kemampuan bernalar, daya ingat dan pola pikir siswa yang terarah.

Seperti yang telah di bahas bahwa metode mind mapping merupakan satu strategi yang

melibatkan topik dari suatu ide di tengah dari sebuh kertas dan membuat cabang-cabang dari

topic atau yang menjadi bagian dari topik. Ini adalah sebuah alat visual yang dapat

menghasilkan ide-ide, mengorganisir pikiran dan mengembangkan konsep dengan

menggunakan berbagai warna (Al-Jarf, 2011). Metode mind mapping juga dapat digunakan

untuk belajar dan mengingat juga menyelesaikan masalah yang sangat rumit sekalipun dan

membuat memori jangka panjang (Adodo, 2013). Selain itu, dengan menggunakan metode mind

mapping penalaran secara signifikan ditingkatkan dan ini sangat efektif digunakan (Cheng et al.,

2010).

Dalam pembuatan mind mapping digunakan kertas A4 dengan kualitas yang baik. Kertas

yang memiliki kualitas yang baik dapat membuat perasaan yang nyaman, sedangkan kertas

kosong menyediakan ketidakterbatasan dan memberikan ruang untuk bebas dalam berpikir.

Pembuatan mind mapping juga menggunakan Aplikasi gambar degan menggunakan banyak

warna. Warna yang berbeda memiliki arti yang berbeda untuk semua orang. Dengan

menggunakan banyak warna dan tiga dimensi akan memicu pola pikir dan lebih mudah

memperkuat daya ingat ketika lebih dekat dengan kehidupan nyata (Cheng et al., 2010).

Berdasarkan kajian teori di atas, penelitian yang sedang dilakukan dengan judul

“Penggunaan Metode Mind Mapping (Peta Pikiran) untuk Meningkatkan Kemampuan

Penalaran Matematis Siswa SMP” dapat diprediksi akan menghasilkan: 1) kemampuan

penalaran siswa yang tinggi khususnya untuk siswa SMP, 2) siswa-siswa yang kreatif dalam

membuat mind mapping nya sendiri, dan 3) sikap yang baik terhadap pembelajaran ini karena

Page 27: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 129

siswa memiliki pengalaman belajar yang berbeda, menantang mereka untuk berpikir dan

menyenangkan.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan kajian teori dan penelitian yang sedang berlangsung, maka dapat saya

simpulkan sebagai berikut:

1. Penelitian dengan menggunakan metode mind mapping ini akan menghasilkan kemampuan

penalaran siswa yang tinggi khususnya untuk siswa SMP.

2. Penelitian ini akan menghasilkan siswa-siswa yang kreatif dalam membuat mind mapping

nya sendiri.

3. Dapat dipredidksi sikap yang baik terhadap pembelajaran ini karena siswa memiliki

pengalaman belajar yang berbeda, menantang mereka untuk berpikir dan menyenangkan.

Saran

Berdasarkan kajian teori dan penelitian yang sedang berlangsung, maka dapat disarankan

sebagai berikut:

1. Bagi guru matematika, agar dapat menggunakan metode mind mapping sebagai salah satu

media untuk melatih dan meningkatkan penalaran dan berpikir kreatif siswa.

2. Bagi siswa, agar terus termotivasi untuk membiasakan diri dalam cara bernalar dalam

belajar matematika dengan menggunakan mind mapping.

3. Bagu peneliti lain, agar dapat dipergunakan sebagai masukan untuk menggunakan metode

mind mapping dalam meneliti dengan materi lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Adodo, S.O. (2013). Effect of Mind Mapping as a Self-Regulated Learning Strategy on

Students‟ Achievement in Basic Science and Thechnology. Mediterranean Journal of

Social Sciences Vol 4 No.6, hal 163-164

Afrilianto, M. (2012). Peningkatan Pemahaman Konsep dan Kompetensi Strategis Matematika

Siswa SMP Dengan Pendekatan Metaphorical Thinking. Dalam Jurnal Ilmiah Program

Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Volume 1, Nomor 2, September 2012.

Al-jarf, R. (2011). Teaching Spelling Skills with a Mind Mapping Software. Asian EFL Journal

Professional Teaching Articles Vol 53, hal 4-5

Ali, M. (2009). Pendidikan untuk Pembangunan Nasional : Menuju Bangsa Indonesia

yang Mandiri. Bandung : PT. Imperial Bakti Utama. Tersedia Online :

http://books.google.co.id/books?id=g3ZUyBYo94YC&printsec=frontcover&dq=M

Page 28: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

130 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2

ohammad+Ali+pendidikan&hl=en&sa=X&ei=nBBuUdGxBo3xrQeD7oHwDA&re

dir_esc=y [diakses tanggal 17 April 2013]

Astuti, S., (2012). Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Active Knowledge Sharing

Untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa Pada Poko Bahasan Kelarutan dan Hasil

Ksli Kelarutan di Kelas XI SMA Al Huda Pekanbaru. Skripsi pada Universitas Riau :

Diterbitkan.

Cetin, H & Ertekin, E., (2011). The Relationship Between eigth grade primary School Students‟

Proportional Reasoning Skills and Success in Solving Equations. Dalam International

Journal of Instruction, Volume 4, Nomor 1, Januari 2011.

Cheng W.W., Chieh L.C. dan Chien C.Y. (2010). A Brief Review on Developing Creative

Thinking in Young Children by Mind Mapping. International Business ResearchVol 3

No. 3, hal 233-234

Deporeter, B et al., (2007). Quantum Teaching. Bandung : Kaifa. Tersedia Online :

http://books.google.co.id/books?id=oRQbeySpce8C&printsec=frontcover&source=gbs_g

e_summary_r&cad=0#v=onepage&q&f=false [diakses tanggal 05 mei 2013]

Kamaruddin, k. & Amin Z. (2012). Dilemma in Teaching Mathematics. Dalam US-China

Education Review B 2, 2012

Jones B. D., Ruff C., Petrich B., dan Koonce C. (2012). The Effects of Mind Mapping Activities

on Students‟ Motivation. International Journal for the Scholarship of Teaching and

Learning Vol 6 No.1, Hal 6

Lamon, S. J. (2007). “Rational numbers and proportional reasoning”, dalam Make Your Own

Paint Chart. Australia : University of Tasmania.

Lee K, H dan Statham A., (2010). The Impacts of a Service-Learning Experience on Pre-

service Mathematics Teachers. IUMPST journal Vol 2

Metallidou P., Diamantidou E., Konstantinopoulou E., dan Megari K. (2012). Changes in

Children‟s Beliefs about Everyday Reasoning : Evidence from Greek Primary

Students. Australian Journal of Education & Developmental Psycology Vol 12, hal

83

Mullis, I.V.S., Martin, M.O., Foy, P., & Arora, A. (2012). TIMSS 2011 Internastional Result in

Mathematics. Chestnut Hill, MA: TIMSS & PIRLS International Study Center,

BostonCollege.

Priantini, D. A. M. M. O., Atmadja, N.B., Marhaeni, A.A.I.N. (2013). Pengaruh Metode Mind

Mapping Terhadap Keterampilan Berpikir Kreatif dan Prestasi Belajar IPS. Dalam e-

Journal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Pendidikan

Dasar, Volume 3, Tahun 2013

Page 29: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 131

Riswanto dan Putra P.P. (2012). The Use of Mind Mapping Strategy in the Teaching of Writing

at SMAN 3 Bengkulu, Indonesia. International Journal of Humanities and Social Science

Vol.2 No. 21, hal. 60

Siswanto J, dan Rechana S. (2011). Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT

(Numbered Heads Together) Menggunakan Peta konsep dan peta Pikiran Terhadap

Penalaran Formal Siswa. JP2F Vol 2, No.2

Soares M.T.C., Maro.L.F. dan Spinillo.A.G. (2012). Graps of Consciousbess and Performance

in Mathematics Making Explicit the Ways of Thingking in Solving Cartesian Product

Problems. Us-China Review Vol 5, hal 484-489

Tarigan, L. L. (2013). Meningkatkan Kemampuan Komunkasi Matemtis Siswa SMP Melalui

Pembelajaran Kooperatif Tipe Snowball Throwing. (Studi Eksperimen Pada Siswa Kelas

V11-D SMPN 1 Parompong). Skripsi FKIP UNAI Bandung : Tidak Diterbitkan.

Wardhani S. (2010). Teknik Pengembangan Instrumen Penilaian Hasil Belajar Matematika Di

SMP/MTs.

Page 30: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

132 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2

PENGEMBANGAN RUBRIK PEER ASSESSMENT

UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH

PADA PERKULIAHAN TEORI GRAF

Erika Laras Astutiningtyas, Utami Murwaningsih, Januar Budi Asmari

Program Studi Pendidikan Matematika FKIP

Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo

Jl. Letjend. S. Humardani No.1 Jombor Sukoharjo

E-mail: [email protected]

Abstrak:

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mendeskripsikan pengembangan rubrik peer assessment

dengan model ADDIE pada perkuliahan Teori Graf, (2) menghasilkan rubrik peer

assessment pada perkuliahan Teori Graf, (3) mengetahui efektifitas rubrik peer assessment

untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah Teori Graf. Penelitian ini tergolong

penelitian pengembangan dengan produk: rubrik peer assessment dan modul kuliah Teori

Graf. Model pengembangan yang digunakan adalah ADDIE (Analysis, Design,

Development, Implementation, and Evaluation). Penelitian ini dibatasi pada tahap

development. Pengumpulan data dilakukan dengan metode angket, pengamatan dan tes.

Instrumen penelitian terdiri dari: lembar validasi, checklist keterlaksanaan perkuliahan,

angket mahasiswa, dan tes pemecahan masalah. Analisis data kualitatif dilakukan dengan

telaah data, reduksi data, dan kesimpulan. Skor kemampuan pemecahan masalah Teori Graf

dianalisis dengan uji beda rerata. Metode Lilliefors dan Bartlett digunakan untuk menguji

normalitas dan homogenitas. Berdasarkan penelitian diperoleh: (1) pengembangan rubrik

peer assessment dengan model ADDIE pada penelitian ini meliputi tiga tahap yaitu

analysis untuk menentukan pengembangan yang dilakukan, design meliputi perancangan

draft modul perkuliahan dan rubrik peer assessment, development meliputi expert

judgement dan uji terbatas produk, (2) luaran penelitian berupa modul perkuliahan, dan

rubrik peer assessment, (3) penerapan rubrik peer assessment pada perkuliahan Teori Graf

menghasilkan kemampuan pemecahan masalah lebih tinggi daripada traditional

assessment. Kata-kata kunci : peer assessment, penilaian sebaya, model ADDIE

PENDAHULUAN

Teori Graf adalah bagian dari Matematika Diskrit. Materi yang terdapat pada mata

kuliah Teori Graf dapat diaplikasikan dalam beberapa kebutuhan, misalnya perencanaan jalur

transportasi, dan strategi penentuan jalur distribusi dengan konsep minimum spanning tree dan

Hamiltonian Graf. Keragaman masalah pada mata kuliah Teori Graf bertujuan mengembangkan

kemampuan pemecahan masalah mahasiswa. Akan tetapi, pada kenyataannya tujuan tersebut

belum dapat terlaksana. Hal ini terlihat pada Tabel 1.1 yang menunjukkan nilai Teori Graf

mahasiswa program studi pendidikan matematika FKIP Universitas Veteran Bangun Nusantara

Sukoharjo Tahun Akademik 2011/2012.

Tabel 1 Sebaraan Nilai Teori Graf Tahun Akademik 2011/2012

Kategori A B C D E

Interval Nilai (x) 85 <x 100 75 <x 85 60 <x 75 50 <x 60 0 x 50

Prosentase 4% 10% 41% 25% 20%

Page 31: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 133

Tabel 1 menunjukkan bahwa hanya 14% dari mahasiswa yang memiliki nilai di atas 75, artinya

hanya 7% dari mahasiswa yang menguasai lebih dari 75% materi, dan selebihnya memiliki

penguasaan kurang dari 75%. Fakta yang diperoleh dari data nilai tersebut, mendorong untuk

segera mencari tahu apa penyebab dan bagaimana mencari solusinya. Angket respon mahasiswa

tentang perkuliahan teori graf telah disebarkan kepada 80 responden memberikan informasi

bahwa sebanyak 85,5% dari responden mengalami kesulitan pada mata kuliah Teori Graf seperti

pada Gambar 1 berikut.

Gambar 1 Diagram Hasil Angket Respon Mahasiswa

Berdasarkan hasil angket, ternyata ketika mengalami kesulitan, 55% responden lebih suka

bertanya kepada teman, 29% suka bertanya kepada dosen pengampu dan 19% memilih untuk

mencari buku dan referensi yang lain. Oleh karena itu, peran teman sebaya dalam meningkatkan

kemampuan pemecahan masalah harus dikaji lebih lanjut. Peer assessment adalah salah satu

teknik penilaian yang melibatkan teman sebaya dalam proses penilaian. Sejalan dengan hasil

studi pendahuluan di atas, perlu diujikan apakah Peer assessment mampu membantu mahasiswa

untuk memiliki kemampuan pemecahan masalah yang baik.

Penilaian merupakan alih bahasa dari kata Assessment. Zainal Arifin (2012)

menyebutkan bahwa penilaian adalah suatu proses atau kegiatan yang sistematis dan

berkesinambungan untuk mengumpulkan informasi tentang proses dan hasil belajar peserta

didik dalam rangka membuat keputusan berdasarkan kriteria dan pertimbangan tertentu.

Zulrahman (2007) menyatakan bahwa peer asessment adalah sebuah proses dimana seorang

pelajar menilai hasil belajar teman atau pelajar lainnya yang bersifat se-level. Maksud dari se-

level adalah jika dua orang atau lebih berada dalam level kelas yang sama atau subyek pelajaran

yang sama. Boud and Falchikov (2007) menyatakan bahwa peer assessmet mengharuskan siswa

untuk memberikan umpan balik rekan-rekan mereka pada produk atau kinerja, berdasarkan

kriteria yang telah ditentukan. Boud and Falchikov (2007) juga menyebukan beberapa hal yang

terkandung dalam peer assessment berikut. (1) Umpan balik pelaksanaan peer assessment

mendorong pembelajaran kolaboratif melaluiinterchange tentang apa yang merupakan

pekerjaan yang baik. (2) Siswa dapat saling membantu untuk memahami materi yang nantinya

27.5%

55%

15%2.5%

0.0%10.0%20.0%30.0%40.0%50.0%60.0%

Sangat Sulit

Sulit Mudah Sangat Mudah

Angket Respon Mahasiswa

Page 32: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

134 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2

diharapkan mampu mendapatkan pemahaman lebih baik. (3) Siswa dapat meningkatkan

kemampuan penilaian dan membuat pilihan intelektual. (4) Siswa mendapatkan berbagai

gagasan tentang pekerjaan mereka untuk selanjutnya dilakukan pengembangan dan perbaikan.

(5) Proses dalam peer assessment mendorong siswa untuk mengklarifikasi, meninjau dan

mengedit ide-ide mereka. Proses peer assessment dapat membantu siswa belajar menerima dan

memberikan umpan balik.

Boud and Falchikov (2007) menyatakan bahwa bukti menunjukkan tentang peningkatan

kemampuan siswa peer assessment. Siswa perlu berlatih untuk mendapatkan kepercayaan dalam

peer assessment dan menjadi lebih kompeten dalam hal itu.. Ada empat langkah dalam

perencanaan dan penerapan peer assessment agar efektif yaitu sebagai berikut. (1) Penyampaian

maksud dan tujuan peer assessment kepada semua partisipan yang terlibat. (2) Penggunaan

kriteria standar penilaian harus jelas dan mudah dipahami. Kriteria harus disampaikan kepada

partisipan. Kriteria ini meliputi berapa banyak partisipan yang terlibat, karakteristik partisipan,

komponen kompetensi apakah yang akan dinilai, kapan penilaian akan dilaksanakan, dan juga

metode pengambilan data (checklist, rating form, scoring key). (3) Pelatihan perlu dilakukan

untuk semua partisipan. Pelatihan yang intensif perlu dilakukan untuk para mahasiswa yang

pertama kali menghadapi penilaian ini. Pelatihan ini mencakup pelatihan mengenai penentuan

kriteria penilaian dan pelatihan cara memberikan feedback yang efektif. (4) Hasil penilaian

perlu dimonitor, apakah hasil penilaian dari peer dan instruktur, dalam hal ini pengajar, sudah

memiliki kesamaan. Hal ini perlu untuk mengidentifikasi hal-hal yang dapat menyebabkan

perbedaan hasil penilaian oleh peer dan instruktur sehingga nantinya dapat diperbaiki.

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa proses peer assessment dimulai dengan

mendiskusikan item dan kriteria penilaian oleh dosen dan para mahasiswa. Kemudian masing-

masing mahasiswa menilai teman mereka yang telah ditunjuk dan juga memberikan feedback.

Hasil penilaian ini biasanya dicocokkan dengan hasil penilaian dosen. Apabila selisih nilai

penilaian peer kurang dari 10 % maka penilaian ini dapat diterima.

Menurut Polya (1973) memecahkan masalah terdiri atas empat langkah, yaitu: (l)

memahami masalah, (2) menyusun rencana penyelesaian masalah, (3) melaksanakan rencana

penyelesaian masalah, dan (4) mengecek penyelesaian masalah. Penjelasan setiap tahapnya

adalah sebagai berikut. (1) Memahami masalah, pada tahap ini, kegiatan diarahkan untuk

membantu siswa menetapkan apa yang diketahui pada permasalahan dan apa yang ditanyakan.

Beberapa pertanyaan perlu dimunculkan kepada siswa untuk membantunya dalam memahami

masalah ini. (2) Menyusun rencana penyelesaian masalah, pendekatan pemecahan masalah tidak

akan berhasil tanpa perencanaan yang baik. Pada tahap ini, siswa diarahkan untuk dapat

mengidentifikasi strategi pemecahan masalah yang sesuai. Hal yang paling penting untuk

diperhatikan adalah apakah strategi tersebut berkaitan dengan permasalahan yang akan

dipecahkan. (3) Melaksanakan rencana penyelesaian masalah, jika siswa telah memahami

Page 33: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 135

permasalahan dengan baik dan sudah menentukan strategi pemecahannya, langkah selanjutnya

adalah melaksanakan penyelesaian soal sesuai dengan yang telah direncanakan. Kemampuan

siswa memahami substansi materi dan keterampilan siswa melakukan perhitungan-perhitungan

matematika akan sangat membantu siswa untuk melaksanakan tahap ini. (4) Mengecek

penyelesaian masalah, langkah memeriksa ulang jawaban yang diperoleh penting dilakukan

untuk mengecek apakah hasil yang diperoleh sudah sesuai dengan ketentuan dan tidak terjadi

kontradiksi dengan yang ditanya. Penskoran pada kemampuan pemecahan masalah yang akan

digunakan pada penelitian ini mengadopsi pada model Schoem dan Ochmke (dalam Fina L.H,

2006) seperti terlihat pada tabel berikut.

Tabel 2. Penskoran Tes Kemampuan Pemecahan Masalah

Skor Memahami

Masalah

Merencanakan

Strategi

Penyelesaian

Melaksanakan

Strategi

Penyelesaian

Memeriksa

Kembali

Hasil

0

Salah

menginterpretasikan

/ tidak memahami

soal / tidak ada

jawaban

Tidak ada

rencana strategi

penyelesaian

Tidak ada

penyelesaian sama

sekali

1

Interpretasi soal

kurang tepat/ salah

menginterpretasikan

sebagian soal/

mengabaikan

kondisional

Merencanakan

strategi

penyelesaian

yang tidak

relevan

Melaksanakan

prosedur yang

benar dan

mungkin

menghasilkan

jawaban yang

benar tapi salah

perhitungan/

penyelesaian tidak

lengkap

Ada

pengecekan

jawaban/

hasil tidak

tuntas

2

Memahami soal

dengan baik

Membuat

rencana strategi

penyelesaian

yang tidak

relevan

Melakukan

prosedur/proses

yang benar dan

mendapatkan hasil

yang benar

Pengecakan

dilaksanakan

untuk

melihat

kebenaran

proses

3

Membuat

rencana strategi

penyelesaian

tetapi tidak

lengkap

4

Membuat

rencana strategi

penyelesaian

yang benar dan

mengarah pada

jawaban yang

benar

Skor

Maks 2 4 2 2

Page 34: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

136 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2

METODE PENELITIAN

Jenis Penelitian

Penelitian ini tergolong dalam penelitian pengembangan, hal ini sesuai dengan tujuan

penelitian. Produk yang akan mengembangkan adalah rubrik peer assessment pada mata kuliah

Teori Graf. Sejalan dengan pengembangan rubrik peer assessment dikembangkan pula modul

mata kuliah Teori Graf yang mengarah pada pelaksanaan peer assessment.

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo.

Perancangan produk dilakukan pada semester genap Tahun Akademik 2012/2013. Pelaksanaan

uji terbatas terhadap produk yang dihasilkan dilakukan pada semester gasal Tahun Akademik

2012/2013.

Target Penelitian

Luaran yang ditargetkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. (1) Rubrik peer

assessment, dilengkapi kriteria standar penilaian kemampuan pemecahan masalah mahasiswa

pada perkuliahan Teori Graf. (2) Modul mata kuliah Teori Graf.

Prosedur Penelitian

Model pengembangan yang akan digunakan adalah model ADDIE dari Dick and Carry.

ADDIE merupakan singkatan dari Analysis, Design, Development or Production,

Implementation or Delivery and Evaluations. Endang Mulyatiningsih (2012) menyatakan bahwa

model ini dapat digunakan untuk berbagai macam bentuk pengembangan produk seperti model,

strategi pembelajaran, metode pembelajaran, media dan bahan ajar. Menurut Benny A. Pribadi

(2009) model pengembangan ADDIE terdiri atas 5 langkah pokok, yaitu Analysis, Design,

Development, Implementation, dan Evaluation. Kegiatan pada tahap analysis adalah

menganalisis urgensi pengembangan perangkat pembelajaran, menganalisis kelayakan dan

syarat-syarat pengembangan media pembelajaran baru. Pengembangan media pembelajaran

diawali oleh adanya masalah. Setelah itu, dilakukan analisis perlunya pengembangan media

pembelajaran baru, menganalisis kelayakan dan syarat pengembangan media pembelajaran baru

tersebut. Tahap design merupakan proses sistematik yang dimulai dari menetapkan tujuan

belajar, merancang skenario kegiatan belajar mengajar, merancang perangkat dan materi

pembelajaran serta alat evaluasi hasil belajar. Rancangan perangkat pembelajaran ini masih

bersifat konseptual. Development dalam model ADDIE berisi kegiatan realisasi rancangan

produk. Dalam tahap desain, telah disusun kerangka konseptual perangkat pembelajaran yang

baru. Pada tahap development, kerangka konseptual direalisasikan menjadi produk yang siap

diimplementasikan. Pada tahap implementasi perangkat yang dikembangkan pada situasi di

kelas. Selama implementasi, rancangan media/metode yang telah dikembangkan diterapkan

pada kondisi yang sebenarnya. Setelah penerapan, dilakukan evaluasi awal untuk memberi

Page 35: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 137

umpan balik. Rancangan penelitian pengembangan rubrik peer assessment ini mengacu pada

model ADDIE yang dibatasi sampai 3 tahap yaitu analysis, design, dan development.

Data, Instrumen dan Teknik Pengumpulan Data

Instrumen penelitian ini terdiri dari lembar validasi untuk rubrik, modul kuliah, dan

instrumen tes kemampuan pemecahan masalah. Instrumen yang lain adalah checklist

keterlaksanaan perkuliahan, angket mahasiswa, dan soal tes pemecahan masalah. Metode

pengumpulan data dilakukan dengan metode dokumentasi, angket, pengamatan, dan tes. Metode

angket digunakan untuk mengumpukan data pada identifikasi permasalahan dalam tahap

analysis dan design. Selain itu metode angket digunakan untuk mengetahui keterlaksanaan

perkuliahan dan respon mahasiswa. Metode pengamatan dilakukan untuk mengetahui

keterlaksanaan proses perkuliahan dengan instrumen yang dipakai berupa checklist dari

observer. Metode tes digunakan untuk mengumpulkan data kemampuan pemecahan masalah

mahasiswa pada mata kuliah Teori Graf. Sebelum digunakan, seluruh instrumen penelitian

harus melalui expert judgement.

Data penelitian ini ada dua macam, yaitu data kualitatif dan data kuantitatif. Data

kualitatif berupa lembar validasi perangkat pembelajaran, checklist keterlaksanaan perkuliahan,

dan angket respon mahasiswa. Lexy J. Moleong (2002) menyatakan bahwa proses analisis data

dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber. Pada penelitian ini

data berasal dari lembar validasi, checklist dan angket. Data mengenai pelaksanaan perkuliahan

diperoleh dari checklistpelaksanaan peer assessment pada saatperkuliahan berlangsung Angket

respon mahasiswa berisi pertanyaan mengenai perasaan siswa selama kegiatan perkuliahan dan

pendapat siswa mengenai pelaksanaan pembelajaran.

Teknik Analisa Data

Data checklistpelaksanaan peer assessment angket respon mahasiswa dihitung dengan

menggunakan persentase indikator keberhasilan. Selanjutnya, data persentasedikategorikan

sebagaiberikut.

Tabel 3 Kategori ketertarikan mahasiswa dan keberhasilan pembelajaran

Rata-rata Tingkat Keberhasilan

90% < IKK ≤ 100% Sangat baik

80% < IKK ≤ 90% Baik

70% < IKK ≤ 80% Cukup

60% < IKK ≤ 70% Kurang

0% < IKK ≤ 60% Sangat kurang

Data kuantitatif berupa skor kemampuan pemecahan masalah pada mata kuliah Teori

Graf. Teknik analisis yang digunakan adalah uji beda rerata menggunakan uji t. Selain itu,

digunakan pula dua jenis analisa data yang lain yaitu : metode Lilliefors dan metode Bartlett

Page 36: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

138 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2

untuk menguji persyaratan analisis yaitu normalitas dan homogenitas. Budiyono (2009)

merumuskan langkah uji normalitas dimulai dengan penentuan hipotesis nol yaitu sampel

berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Hipotesis diuji pada taraf signifikansi = 5%

dengan statistik uji L = Max | F(Zi) – S(Zi) |, F(Zi) = P(Z Zi) ZN(0,1), Zi = skor standart Xi,

S = deviasi standart, S(Zi) = proporsi banyaknya Z Zi terhadap banyaknya Zi. Daearah kritik

uji adalah ;nL | L L . Hipotesis nol ditolak jika LhitungDK. Uji homogenitas dilakukan

dengan dengan menggunakan uji Bartlett. Budiyono (2009) merumuskan prosedur uji Bartlett

yang dimulai dengan penentuan hipotesis nol yaitu 2 2 21 2 k... dengan taraf

signifikansi = 5% dengan statistik uji 2 2j j

2,303f log RKG f logs

c ,

2 ~

2

k 1 , dengan RKG =

jSS

f

; f = derajad kebebasan RKG = N–k =

k

jj 1

f

; k=banyak

populasi; fj = derajad kebebasan 2

j js n 1 , j = 1,2,… , k; N = banyaknya seluruh amatan;

nj = banyaknya amatan pada sampel ke-i , i = 1, 2, 3, …, k, untuk nilai c =

j

1 1 11

3 k 1 f f

dan SSj =

2

j2 2j j j

j

XX n 1 s

n

daerah kritis (DK) =

2 2 2;k 1| . Hipotesis nol ditolak jika

2 DK.

Pengukuran kinerja produk dilakukan dengan pemberian tes kepada dua kelompok

populasi. Agar hasil dari eksperimen benar-benar akibat dari perlakuan yang dibuat, maka

dilakukan uji untuk mengetahui keseimbangan kondisi awal kedua kelompok tersebut

menggunakan uji t. Untuk mengetahui perbedaan efek perlakuan juga digunakan uji t. Budiyono

(2009) memulai prosedur uji t dengan menetapkan hipotesis nol 1 = 2 yang diuji pada taraf

signifikansi = 5%. Statistik uji yang digunakan adalah t = 1 2

p

1 2

X X

1 1s

n n

dengan sp2 =

2 21 1 2 2

1 2

n 1 s n 1 s

n n 2

. DK =

v,

2

αv,

2

α ttatautt|t . Hipotesis nol ditolak jika

thitungDK.

Tahap penelitian pengembangan rubrik peer assessmet mulai dari tahap analysis sampai

dengan tahap development dapat dijelaskan pada diagram alir pada Gambar 2.

Page 37: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 139

Gambar 2. Diagram Alir Penelitian Pengembangan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Data dalam penelitian ini meliputi data skor pada sampel penelitian yang masing-

masing terdiri dari skor tes proses berfikir siswa pemecahan masalah, dan skor tes kemampuan

awal siswa. Setelah kedua data tersebut diperoleh selanjutnya data tersebut diuji dengan uji

statistik, yang akan dibahas pada bagian selanjutnya. Sebagai prasayarat penelitian, kedua

populasi penelitian harus memiliki kondisi awal yang seimbang. Tujuannya, agar apabila

terdapat perbedaan hasil tes proses berfikir siswa pemecahan masalah, diakibatkan karena

Perencanaan Analisis situasi (siswa dan proses perkuliahan)

Pengumpulan data awal

Identifikasi produk Ta

hap

An

aly

sis

Pemilihan produk dan analisis kelayakan produk

yang direncanakan

Ta

hap

Des

ign

Perancangan produk Perancangan konsep produk

Perangcangan modul kuliah

Perancangan rubrik peer assessment

Draft 1

Ta

hap

Dev

elo

pm

ent

Expert judgement

Revisi I

Draft 2 Penyusunan instrumen

pengukur kinerja produk 1. Checklist keterlaksanaan

perkuliahan

2. Angket respon

mahasiswa

3. Tes kemampuan

pemecahan masalah

Uji coba produk

Analisa Data

Checklist keterlaksanaan perkuliahan

Lembar angket respon mahasiswa

Tes kemampuan pemecahan masalah

Validasi Instrumen

Telaah data

Reduksi Data

Penyajian Data

ttest

Kesimpulan

Refleksi

Page 38: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

140 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2

perlakuan dan bukan karena kondisi awal yang sudah berbeda. Untuk mengetahui keseimbangan

kemampuan awal siswa, digunakan data nilai ahir mata kuliah riset operasi. Berikut ini uraian

tentang data yang diperoleh.

Sebelum digunakan, instrumen divalidasi terlebih dahulu. Validasi oleh pakar (expert

judgement) dilakukan untuk menyusun beberapa perangkat dan instrumen berikut: modul

perkuliahan Teori Graph, rubrik peer assessment, dan tes pemecahan masalah. Validasi

dilakukan oleh dua orang pakar, Drs. Joko Bekti Haryono, M.Pd., yang sudah berpengalaman

mengajar mata kuliah teori graf dan Andhika Ayu Wulandari, S.Si., M.Pd.

Angket pelaksaan peer assessment pada perkuliahan teori graph terdiri atas duapuluh

dua pertanyaan yang harus dijawab oleh observer dengan memilih ya dan tidak. Jawaban ya

diberi nilai 1 dan jawaban tidak bernilai nol. Berikut adalah rekapitulasi checklist yang

diperoleh dari 4 orang observer.

Tabel 4. Hasil checklist pelaksanaan peer assessment

Keterangan Data IK Kesimpulan

Sd 83

95,318

Tingkat

keberhasilan:

Sangat baik

Smaks 22

N 4

Berdasarkan hasil pada Tabel 4, diperoleh bahwa pelaksanan perkuliahan dengan penerapan

peer assessment memiliki tingkat keberhasilan sangat baik, dan tahapan yang harus ada dalam

peer assessment telah dilakukan pada saat perkuliahan. Artinya, peer assessment sudah

dilaksanakan sesuai dengan ciri dan karakteristiknya.

Angket respon mahasiswa terdiri atas empatbelas pertanyaan yang harus dijawab

mahasiswa dengan memilih ya dan tidak. Untuk pernyataan positif, jawaban ya bernilai 1 dan

jawaban tidak bernilai nol. Sebaliknya, untuk pernyataan negatif, jawaban ya bernilai 0 dan

jawaban tidak bernilai 1. Berdasarkan angket yang disebarkan ke kelas eksperimen yang terdiri

dari 36 mahasiswa, diperoleh hasil sebagai berikut.

Tabel 5. Hasil Angket Mahasiswa

Keterangan Data IK Kesimpulan

Sd 432

85,714

Tingkat

keberhasilan:

Baik

Smaks 14

N 36

Berdasarkan hasil di atas, diperoleh bahwa pelaksanan perkuliahan dengan penerapan peer

assessment memiliki tingkat keberhasilan baik, artinya siswa merasa terbantu dan tertarik pada

pembelajaran.

Page 39: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 141

Uji terbatas untuk mengukur kinerja produk dilakukan setelah melalui expert

judgement. Uji terbatas dilakukan dengan melalui tahap eksperimentasi dan tahap tes. Hasil uji

hipotesis untuk data tes kemampuan pemecahan masalah dilakukan terlihat pada tabel berikut.

Tabel 6. Uji Hipotesis

Sumber Variasi N Rerata s sp ttabel tobs Keputusan

uji

Kelas Kontrol 38 75,474 8,500 8,799 1,987 2,068 H0 ditolak

Kelas Eksperimen 37 79,676 9,095

Uji hipotesis menggunakan uji-t dan diperoleh nilai dari tobs = 2,068 Nilai tersebut termasuk

anggota daerah kritik (DK) yaitu {tobs|tobs> t(0,05; 70) = 1,987 atau tobs<t(0,05; 70) = 1,987} maka H0

tidak ditolak. Hal ini berarti kelompok eksperimen dan kelompok kontrol memiliki kemampuan

pemecahan masalah yang berbeda. Perbedaaan kemampuan pemecahan masalah pada siswa

kelompok kontrol dan eksperimen menunjukkan bahwa ada salah satu dari dua macam

pendekatan pembelajaran yang lebih efektif. Penentuan jenis pendekatan pembelajaran yang

lebih baik dilakukan dengan melihat rerata dari kedua kelompok populasi. Rerata kelompok

eksperimen adalah 79,676 dan kelompok kontrol 75,474. Hal ini menunjukkan bahwa teknik

penilaian yang diberikan pada kelas eksperimen menghasilkan kemampuan pemecahan masalah

yang lebih baik dari pada kelas kontrol. Artinya, perkuliahan dengan peer assessment

menghasilkan kemampuan pemecahan masalah yang lebih baik daripada traditional assessment.

Rubrik peer assessment yang dikembangkan pada mata kuliah Teori Graf ini adalah

seperti terlihat pada tabel berikut.

Tabel 4. Rubrik peer assessment pada mata kuliah Teori Graf

Skor Memahami

Masalah

Merencanakan,

dan

Melaksanakan

Strategi

Penyelesaian

Melaksanakan

Strategi

Penyelesaian

Memeriksa

Kembali

Hasil

0

Mahasiswa salah

menginterpretasi

soal/ tidak

memahami soal/

tidak ada jawaban

Tidak ada proses

perancangan graf

sesuai ketentuan

Tidak ada

penyelesaian

sama sekali

1

Mahasiswa kurang

tepat dalam

menginterpretasi

soal /

mengabaikan

beberapa

persyaratan

Membuat graf

tetapi tidak lengkap

Melaksanakan

proses yang benar

tapi kurang teliti

mengidentifikasi

persyaratan

Ada

pengecekan

jawaban/ hasil

tidak tuntas

2

Memahami soal

dengan baik

Membuat graf

tetapi tidak

memenuhi kriteria

yang ditentukan

Melakukan proses

yang benar dan

mendapatkan

hasil yang benar

Pengecakan

dilaksanakan

untuk melihat

kebenaran

Page 40: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

142 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2

proses

3

Mampu membuat

graf, tetapi hanya

memnuhi beberapa

ketentuan

4

Mampu membuat

graf, yang

memenuhi seluruh

ketentuan

Skor

Maks 2 4 2 2

KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian dan hasil analisa data yang telah diuraikan di atas, dapat

disimpulkan beberapa hal berikut. (1) Pengembangan rubrik peer assessment dengan model

ADDIE pada mata kuliah Teori Graf untuk penelitian dibatasi tiga tahapan yaitu analysis,

design, dan development. Tahap analysis meliputi studi pendahuluan guna pengumpulan data

untuk menentukan pengembangan yang akan dilakukan. Tahap design meliputi perancangan

draft modul perkuliahan dan rubrik peer assessment. Tahap development meliputi expert

judgement dan uji terbatas produk yang sudah divalidasi pakar. Serangkaian proses tersebut

akan menghasilkan draft awal untuk tahapan pengembangan selanjutnya. (2) Hasil

pengembangan rubrik peer assessment dengan model ADDIE pada mata kuliah Teori Graf

meliputi modul perkuliahan, dan rubrik peer assessment pada pemecahan masalah. (3)

Pengembangan rubrik peer assessment dengan model ADDIE pada mata kuliah Teori Graf

dapat menghasilkan kemampuan pemecahan masalah lebih tinggi daripada traditional

assessment pada perkuliahan Teori Graf.

Berdasarkan hasil penelitian pengambangan yang telah dilakukan, disarankan beberapa

hal berikut. (1) Penerapan peer assessment dengan rubrik yang baik, direkomendasikan untuk

perkuliahan teori graf. (2) Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk menerapkan peer

assessment beserta rubriknya pada mata kuliah atau jenjang pendidikan yang lain. (3) Penelitian

pengembangan ini hanya dibatasi pada tiga tahapan, oleh karena itu akan lebih baik lagi jika ada

penelitian lajutan mengenai implementasi dan evaluasi penggunaan rubrik peer assessment. Hal

ini dimaksudkan agar hasil penelitian ini yang berupa draft dapat diuji kelayakan

penggunaannya kemudian dievaluasi untuk dilakukan perbaikan.

DAFTAR PUSTAKA

Benny A Pribadi. 2009. Model Desain Sistem Pembelajaran. Jakarta:PT. Dian Rakyat

Boud, D. & Falchikov, N. 2007. Rethinking assessment in higher education. London: Kogan

Page.

Budiyono. 2009. Statistika untuk penelitian. Surakarta: UNS Press

Page 41: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 143

Fina Listiana H. 2006. Keefektifan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw terhadap

Kemampuan Pemecahan Masalah Siswa Kelas VII SMPN 1 Wonosobo Tahun

Pelajaran 2005/2006 pada Pokok Bahasan Segiempat. Skripsi. Jurusan Matematika

FMIPA UNNES.

Lexy J. Moleong. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif.Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Polya, G.1973. How To Solve It. New Jersey: Princeton University Press

Zainal Arifin. 2012. Evaluasi pembelajaran. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya

Zulrahman. 2007. Self dan Peer Assessment sebagai penilaian formatif dan sumatif.

http://zulharman79.wordpress.com. diunduh tanggal 12 Februari 2013

Page 42: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

144 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2

KEPERCAYAAN DIRI SISWA SMP DALAM

MEMECAHKAN MASALAH MATEMATIKA

Ellita Idorestu1)

, M. Andy Rudhito2)

1) Mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Universitas Sanata Dharma

Kampus III USD Paingan Maguwoharjo Yogyakarta,

e-mail: [email protected]

2) Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Universitas Sanata Dharma

Kampus III USD Paingan Maguwoharjo Yogyakarta, email: [email protected]

Abstract

Kepercayaan diri siswa merupakan salah satu sikap yang menjadi tujuan pembelajaran

yang direkomendasikan Kurikulum 2013. Dalam pembelajaran matematika, khususnya

dalam pemecahan masalah kepercayaan diri juga sangat diperlukan. Penelitian ini

bertujuan untuk mengetahuikepercayaan diri siswa dalam memecahkan masalah

matematika. Penelitian ini merupakan penelitian diskriptif kualitatif dengan subyek

penelitian 5 siswa SMP kelas IX. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) terdapat siswa

yang merasa yakin atas hasil pekerjaannya, tetapi jawabannya salah, yang diakibatkan oleh

kekurang cermatan dalam perhitungan numerik, (2) terdapat siswa yang merasa tidak yakin

dengan jawabannya justru jawabannya benar, dengan ketidakyakinan pada pemahaman

soal dan jawabannya sendiri.

Keywords:kepercayaan diri, siswa SMP, pemecahan masalah, kesalahan.

PENDAHULUAN

Salah satu tujuan pembelajaran yang direkomendasikan dalam kurikulum 2013 adalah

kepercayaan diri. Dengan ini, diharapkan peserta didik dapat memiliki sikap dan citra diri yang

baik agar dia dapat menjadi generasi yang hebat dan memiliki kualitas diri yang tinggi sehingga

dia pun dapat bersaing di era global bermodalkan pengetahuan serta diiringi dengan sikap dan

karakter yang baik pula.

Saat ini sudah menjadi rahasia umum, ada banyak kecurangan yang terjadi di Indonesia.

Ada banyak hal yang dapat mengakibatkan kecurangan-kecurangan ini terjadi di dalam dunia

pendidikan. Salah satunya adalah ketidakpercayaandiri siswa dalam menjalani proses

pembelajaran yang dilakukannya di sekolah dan dia harus menghadapi ujian nasional yang

menjadi penentu masa depannya. Untuk itu, pada kurikulum 2013 kepercayaandiri siswa

menjadi salah satu tujuan yang akan dicapai agar menjadi sikap yang dimiliki oleh siswa.

Percaya diri merupakan salah satu aspek kepribadian yang sangat penting dalam

kehidupan manusia. Orang yang percaya diri yakin atas kemampuan mereka sendiri serta

memiliki pengharapan yang realistis, bahkan ketika harapan mereka tidak terwujud, mereka

tetap berpikiran positif dan dapat menerimanya. Menurut Thantaway dalam Kamus istilah

Bimbingan dan Konseling (2005:87), percaya diri adalah kondisi mental atau psikologis diri

seseorang yang memberi keyakinan kuat pada dirinya untuk berbuat atau melakukan sesuatu

tindakan. Orang yang tidak percaya diri memiliki konsep diri negatif, kurang percaya pada

kemampuannya, karena itu sering menutup diri.

Page 43: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 145

Pada proses pembelajaran mata pelajaran matematika, secara khusus untuk kurikulum

2013, siswa diajak untuk berpikir logis dan jujur dalam setiap langkah yang dilakukannya.

Apabila ada hal yang tidak benar pada jawaban yang diketemukan, maka sudah dapat ditebak

bahwa ada yang salah pada proses yang dijalaninya. Untuk itu, diperlukan pemikiran yang benar

dan kepercayaan diri yang tinggi dalam menyelesaikan masalah matematika.

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang dilakukan adalah dengan memberikan soal tes kepada siswa

Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif.

Waktu dan Tempat Penelitian

Pelaksanaan penelitian ini di luar jam sekolah.

Target/Subjek Penelitian

Dipilih lima orang siswa SMP kelas IX di suatu sekolah negeri di Godean, Sleman Yogyakarta

yang kebetulan sudahdikenal oleh penulis.

Prosedur

1. Siswa mengerjakan soal-soal yang sudah dipersiapkan.

2. Hasil jawabannya dikoreksi dan dibandingkan dengan teman yang lain dan diolah.

Data, Intrumen, dan Teknik Pengumpulan Data

Kerjakansoal-soal berikut dengan baik!

1. Titin berangkat dari kota A ke kota B mengendarai sepeda motor dengan kecepatan 25

km/jam. Andi berangkat dari kota B ke kota A mengendarai sepedadengan kecepatan 15

km/jam. Mereka berangkat bersama pada pukul 07.30. pukul berapa mereka bertemu di

jalan jika jarak kota A ke kota B adalah 60 km?

Yakinkah dengan jawabanmu?

Berapa persentase keyakinanmu?

Dari langkah mana mulai tidak yakin?

Kenapa tidak yakin?

Page 44: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

146 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2

2. Panjang diagonal ruang DF pada balok ABCD. EFGH di bawah adalah ....

Yakinkah dengan jawabanmu?

Berapa persentase keyakinanmu?

Dari langkahmana mulai tidak yakin?

Kenapa tidak yakin?

3. Pada gambar berikut panjang diameter setengah lingkaran CD = 4, DB tegak lurus

terhadap AB, AC = 13 dan AB = 9. Berapakah luas daerah yang diarsir?

A

C

D B B

Yakinkah dengan jawabanmu?

Berapa persentase keyakinanmu?

Dari langkah mana mulai tidak yakin?

Kenapa tidak yakin?

4. Sebuah kubus memiliki volume 64 cm3

dipotong secara horizontal. Kedua belahan

tersebut kemudian direkatkan lagi sehingga membentuk balok (bukan kubus). Berapa luas

permukaan untuk bangun ruang yang baru?

Page 45: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 147

Yakinkah dengan jawabanmu?

Berapa persentase keyakinanmu?

Dari langkah mana mulai tidak yakin?

Kenapa tidak yakin?

5. Toko I menjualpensil merahRp 1.000,00 per empat buah dan pensil kuning Rp 1.000,00

per tiga buah. Toko II menjual pensil merah Rp 1.000,00 per empat buah dan pensil

kuningRp 1.000,00 per enam buah. Ana membelanjakan uang Rp 10.000,00 untuk

membeli m buah pensil merah dan n buah pensil kuning pada masing-masing toko.

Tentukan banyaknya pensil yang dibeli Ana!

Yakinkah dengan jawabanmu?

Berapa persentase keyakinanmu?

Dari langkah mana mulai tidak yakin?

Kenapa tidak yakin?

6. Suatu persegi dengan panjang sisinya adalah s terdapat X yang terletak pada garis DC

sehingga DX : XC = 5 : 2 dan Y terletak pada garis BC sehingga BY : YC = 3 : 4.

Perbandingan luas segitiga AXC dan ABY adalah…

Yakinkah dengan jawabanmu?

Berapa persentase keyakinanmu?

Dari langkah mana mulai tidak yakin?

Kenapa tidak yakin?

Page 46: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

148 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2

Teknik Analisis Data

Proses penelitian dimulai dari proses penyusunan soal yang merupakan materi dari kelas

1 sampai dengan materi kelas 3 dengan tingkat kesulitan yang semakin tinggi. Hal ini dilakukan

agar dapat diketahui mengenai kemampuan siswa dalam menghadapi setiap masalah

matematika dengan logika yang baik dan benar.

Siswa yang sudah dikenal oleh penulis secara kebetulan, berkumpul di luar jam sekolah

untuk menyelesaikan soal yang sudah disiapkan oleh penuli agar dapat diselesaikan dengan baik

oleh siswa SMP kelas IX tersebut.

Setelah soal-soal sebanyak enam buah soal tersebut diselesaikan, soal-soal tersebut

dikumpulkan dan diolah oleh penulis untuk dapat dijadikan bahan sebagai hasil penelitian.

Penilaian dari soal-soal tersebut dilakukan dengan cara melihat hasil akhir dari siswa dan

melihat tingkat keyakinan siswa dalam menyelesaikan masalah matematika yang ada.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian

Setelah soal-soal dapat diselesaikan dengan baik oleh para siswa, soal-soal tersebut diolah

sedemikian rupa oleh penulis hingga didapati data sebagai berikut :

Tabel hasil olahan dari jawaban siswa

SISW

A

SOAL

1 2 3 4 5 6

B S PD B S PD B S PD B S PD B S PD B S PD

A √ 65% √ 89% √ 55% √ 90% √ 70% √ 20%

B √ 100

% √

100

% √

100

% √

100

% √

100

% √

100

%

C √ 50% √ 50% √ 50% √ 50% √ 50% √ 50%

D √ 100

% √

80% √

100

% √

100

% √

50% √

90%

E √ 45%

√ 50%

√ 100

% √

100

% √

90% √

95%

Keterangan :

B: Jawaban benar

S : Jawaban salah

PD : Tingkat kepercayaan diri pada siswa dalam menyelesaikan masalah matematika

Page 47: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 149

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif yang menekankan pada

pendekatan paradigm naturalistic. Pada penelitian ini, subjek yang diteliti adalah kondisi

responden dengan keadaannya tanpa dibuat-buat, dalam hal ini adalah siswa SMP kelas IX yang

akan menghadapi ujian nasional.

Fokus penelitian berpijak pada kepercayaandiri siswa dalam menghadapi dan

menyelesaikan masalah matematika. Tuntutan hirarki matematika mengajak anak untuk berpikir

logis dan runtut supaya mendapatkan hasil yang benar.

Berdasarkan tabel yang disusun sesuai dengan jawaban para responden, diketahui bahwa

pada siswa A, D dan E memiliki tingkat kepercayaan diri yang berbeda-beda dan

tergantungpada tingkat kepercayaan diri masing-masing terhadap soal yang dikerjakannya.

Sedangkan pada siswa B dan C memiliki tingkat kepercayaan diri yang selalu sama pada tiap

soalnya, yaitu pada siswa B selalu 100% sedangkan pada siswa C selalu 50% dengan jawaban

yang tidak selalu benar dan tidak selalu salah.

PEMBAHASAN

Dalam menyelesaikan masalah matematika, diperlukan proses berpikir yang logis dan

runtut, serta kepercayaan diri yang tinggi dalam menjawab setiap soal yang ada. Dalam

penelitian ini, poin-poin penting yang menjadi pembahasan adalah mengenai sikap siswa dalam

menghadapi masalah matematika. Siswa yang sudah memiliki bakat dan talenta masing-masing

diajak untuk dapat menyelesaikan masalah matematika dengan logis.

Pada penelitian ini, anak mengerjakan sendiri soal yang diberikan. Soal-soal ini

merupakan soal-soal yang diambil dari materi soal kelas 1 sampai dengan kelas 3 dengan

tingkat kesulitan yang semakin tinggi.

Sesuai dengan tabel hasil penelitian, diketahui bahwa pada siswa A, D dan E memiliki

tingkat kepercayaan diri yang berbeda-beda dan tergantung pada tingkat kepercayaan diri

masing-masing terhadap soal yang dikerjakannya, tetapi pada siswa B dan C memiliki tingkat

kepercayaan diri yang selalu sama pada tiap soalnya, yaitu pada siswa B selalu 100% sedangkan

pada siswa C selalu 50% dengan jawaban yang tidak selalu benar dan tidak selalu

salah.Argumentasi yang diberikan oleh siswa B yang selalu memiliki kepercayaan diri 100%

atas apa yang telah dikerjakannya tidah terkait dengan materi yang sedang diselesaikan.

Sedangkan pada siswa C, tidak banyak memberikan argumentasi atas pekerjaannya dan apabila

memberikan argument, cukup terkait dengan materi.

Berikut ini adalah tabel rincian dari tiap pekerjaan siswa yang memiliki tingkat

kepercayaan diri yang berbeda-beda.

Keterangan :

B/S : Nilai kebenaran pada tiap soal

Page 48: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

150 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2

PD : Tingkat kepercayaandiri siswa terhadap jawabannya

Siswa A

NO. B/S PD ARGUMENTASI LETAK

KESALAHAN/KOMENTAR

1. S 65% Bingung menerapkan rumusnya Pada logika berpikirnya

2. B 89% bingung rumus pithagoras jawabannya benar tanpa proses

3. S 55% gambarnya kurang jelas salah perhitungan

4. S 90% - salah perhitungan

5. S 70% merasa aneh dengan jawaban

sendiri

salah perhitungan

6. B 20% Tidak tahu jawabannya Tidak ada proses perhitungan

Siswa D

NO. B/S PD ARGUMENTASI LETAK

KESALAHAN/KOMENTAR

1. B 100% lupa pakai rumus apa dengan logika berpikir yang benar

2. B 80% lupa hukum pithagoras benar, dengan proses yang benar

3. S 100% awalnya soal kelihatan sulit salah konsep

4. B 100% biasanya saya salah menjumlahkan benar dengan proses yang benar

5. S 50% tidak/kurang mengerti soal penalaran yang keliru

6. B 90% bingung sama soalnya penalarannya benar

Siswa E

NO. B/S PD ARGUMENTASI LETAK KESALAHAN

1. S 45% lupa caranya salah pada logikanya

2. B 50% jawabanku aneh penalarannya sudah benar

3. B 100% - -

4. S 100% - salah perhitungan

5. S 90% - penalaran kurang tepat

6. S 95% - salah penalaran

Dari berbagai alasan dan kepercayaan diri siswa, dapat dilihat bahwa pada siswa A dan

siswa D terkadang lupa mengenai rumus yang harus dipergunakan dalam menyelesaikan

masalah, pada siswa A dan siswa E ada beberapa soal yang salah karena kurang teliti pada

proses perhitungannya. Untuk siswa D, didapati ada lebih banyak jawaban yang benar karena

dia dapat memahami maksud soal dan menggunakan logika berpikir matematikanya dengan

Page 49: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 151

baik dan benar sehingga walaupun dia lupa rumusnya, dia dapat menyelesaikan soal tersebut

dengan benar.

SIMPULAN DAN SARAN

Dari data yang sudah diperoleh, diketahui bahwa :

1. Ada hubungan antara kepercayaan diri siswa dengan hasil jawabannya, tetapi ada juga

keunikkan-keunikkan yang terjadi pada beberapa siswa yang mau menjadi responden

dalam penelitian ini, yaitu :

a. Ada siswa yang merasa yakin 100% dan jawabannya benar tetapi ada juga yang

merasa yakin dengan jawabannya tetapi jawabannya tersebut salah.

b. Dari siswa yang lain, dapat diketahui juga bahwa ada siswa yang merasa ragu-

ragu dan tidak percaya diri dengan jawabannya dan jawabannya salah, tetapi

ada juga siswa yang ragu-ragu dan ternyata jawabannya benar.

2. Hasil jawaban siswa dapat dilihat dari kepercayaan dirinya dalam menyelesaikan

masalah walaupun ada beberapa kasus khusus. Namun, kepercayaan diri siswa tersebut

dapat terbentuk berdasarkan modal pengetahuan apa saja yang sudah diketahui dan

dipelajarinya selama ini serta bagaimana logika dan konstruksi pengetahuannya selama

ini.

Untuk itu ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu siswa membutuhkan

pengetahuan yang benar dan kepercayaan diri yang tinggi dalam menyelesaikan suatu masalah

secara khusus masalah-masalah matematika.

Dalam menyelesaikan masalah, peran guru adalah membangkitkan kepercayaan diri

siswa dan membantu siswa agar dia dapat mengkonstruksi pengetahuan-pengetahuan yang

diterimanya dengan baik dan benar sehingga siswa dapat menghadapi dan menyelesaikan

maslah matematika dengan baik dan benar pula.

Penelitian ini dilakukan pada ruang lingkup yang kecil, akan lebih baik lagi apabila dapat

diketahui untuk ruang lingkup yang lebih luas agar sudut pandangnya pun semakin luas lagi dan

lebih bervariasi.

DAFTAR PUSTAKA

http://belajarpsikologi.com/pengertian-kepercayaan-diri/

http://fadjarp3g.files.wordpress.com/2007/09/01-hirarki_pelangi_.pdf

http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/131569335/Makalah%20Medan-2.pdf

Peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan Nomor 54 tahun 2013 tentang Standar

kompetensi lulusan pendidikan dasar dan menengah

Page 50: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

152 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2

Adhetia Martyanti. 2013. Membangun Self-Cofidence Siswadalam Pembelajaran

Matematikadengan Pendekatan Problem Solving. Prosiding, Seminar dan Musyawarah

Nasional MIPA yang diselenggarakan oleh FMIPA UNY, tanggal 09 November 2013.

Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.

Nasution, S. 1984. Berbagai Pendekatan dalam proses belajar dan mengajar. Bina Aksara :

Jakarta.

M.A.W. Brouwer…[et al.]. 1983. Kepribadian dan perubahannya( Edisi kedua ). Gramedia :

Jakarta.

Page 51: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 153

PEMBELAJARAN MATEMATIKA MATERI LUAS TRAPESIUM DENGAN

PENDEKATAN LUAS PERSEGI PANJANG MENGGUNAKAN MODEL

PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK

BERKONTEKS RUMAH ADAT KUDUS

Henry Suryo Bintoro 1)

, Eka Zuliana 2)

1) Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar FKIP Universitas Muria Kudus

Gondang manis-Bae Kudus 59352, email: [email protected].

2) Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar FKIP Universitas Muria Kudus

Gondang manis-Bae Kudus 59352, email: [email protected].

Abstrak Inovasi pembelajaran matematika di SD diperlukan di tengah maraknya pola

pembelajaran yang masih berpusat pada guru dan kurang memanfaatkan

potensi lokal daerah sebagai sumber belajar khususnya di kabupaten Kudus.

Siswa kelas V SD di Kabupaten Kudus mengalami kesulitan dalam

memahami konsep luas daerah trapesium. Berdasarkan masalah tersebut

peneliti merancang sebuah desain pembelajaran menggunakan model

pembelajaran matematika realistik berkonteks rumah adat Kudus. Tujuan

penelitian ini adalah untuk (1) mendapatkan desain pembelajaran matematika

realistik berkonteks rumah adat Kudus, (2) menggunakan desain pembelajaran

tersebut untuk membantu siswa mengkonstruksi pemahaman tentang luas

daerah trapesium dengan pendekatan luas persegi panjang, dan (3) melihat

dampak penggunaan desain pembelajaran tersebut terhadap proses konstruksi

pengetahuan matematis siswa. Jenis penelitian yang digunakan adalah

designresearch, dengan tahapan (1) persiapan uji coba desain, (2) uji coba

desain, dan (3) analisis retrospektif. Hasil dari penelitian ini menunjukkan

bahwa modelpembelajaran matematika realistikberkonteks rumah adat

Kudusdapatmerangsang danmeningkatkankemampuan siswauntuk

memahamikonsepluas daerahtrapesium dengan pendekatan luas persegi

panjang.

Keywords: Pembelajaran Matematika Realistik, Keunggulan Lokal Kudus,

dan Luas Trapesium.

PENDAHULUAN

Masalah utama dalam pembelajaran matematika di Indonesia adalah masih rendahnya

daya serap siswa. Sebuah laporan dalam studi TIMSS (Trends in International Mathematics and

Science Study) tahun 2011 menyatakan bahwa rata-rata skor matematika siswa di Indonesia

berada di bawah rata-rata skor Internasional dan berada pada ranking 38 dari 42 negara. Skor

rata-rata yang diperoleh siswa Indonesia adalah 386. Hasil studi TIMSS ini mengakibatkan

Indonesia masih jauh tertinggal dari Thailand, Malaysia dan Palestina. Sebagian besar siswa

hanya mampu mengerjakan soal sampai level menengah saja, dan dari hasil ini terlihat bahwa

pendidikan matematika di Indonesia selama ini terlalu fokus pada kecakapan teknis dan tidak

mampu sampai pada proses bernalar.

National Council of Teacher of Mathematics (2000:20) menyebutkan bahwa dalam

belajar matematika siswa hendaknya secara aktif membangun pengetahuan baru dari

pengalaman dan pengetahuan sebelumnya. Namun kondisi di lapangan yang ada selama ini,

Page 52: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

154 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2

proses pembelajaran matematika masih mekanistik dan tidak berangkat dari pengetahuan

maupun pengalaman siswa sebelumnya dalam kehidupan mereka sehari – hari. (Soedjadi, 2000)

menyatakan pembelajaran matematika di kelas hampir selalu dilaksanakan dengan urutan sajian:

(1) diajarkan teori/definisi/teorema melalui pemberitahuan, (2) diberikan dan dibahas contoh-

contoh, kemudian (3) diberikan latihan soal. Akibatnya siswa kurang diberdayakan untuk

berpikir, sedangkan kemampuan yang dikembangkan adalah kemampuan menghafal dan

kemampuan kognitif tingkat rendah.

Dalam pembelajaran matematika banyak metode mengajar yang dapat digunakan, namun

tidak setiap metode mengajar cocok dengan materi yang diajarkan. Oleh karena itu, diperlukan

pemikiran yang matang dalam pemilihan metode mengajar yang tepat untuk suatu materi yang

akan disajikan, hal tersebut dimaksudkan agar pembelajaran matematika efektif dan efisien.

Namun yang sering terjadi guru kurang bervariasi dalam menggunakan metode mengajar.

Umumnya yang sering digunakan adalah metode ceramah dan ekspositori. Kedua metode

tersebut terpusat pada guru. Dominasi guru menyebabkan siswa kurang dapat berpikir kritis dan

kreatif.

Salah satu materi yang dianggap sulit oleh sebagian besar siswa kelas V adalah materi

luas trapesium. Untuk mencari luas trapesium diperlukan kemampuan-kemampuan yang

mendukung seperti kemampuan numerik, kemampuan memahami rumus, dan kemampuan

menggambar benda-benda bangun datar. Pada umumnya kesulitan yang dihadapi siswa adalah

dalam menerapkan rumus untuk mencari luas trapesium dikarenakan begitu banyak rumus yang

ada. Sehingga banyak siswa yang merasa bingung dalam mempelajari dan memahami materi

luas trapesium tersebut. Hal ini disebabkan karena pembelajaran yang digunakan guru masih

bersifat konvensional, yang menempatkan guru sebagai pusat belajar (teacher centered).

Pola teacher centered ini mengakibatkan banyaknya dominasi guru dalam pembelajaran.

Dalam pembelajaran terkadang guru juga melupakan kemampuan-kemampuan matematika yang

seharusnya dimiliki siswa. Pola teacher centered ini masih banyak terjadi dalam pembelajaran

matematika SD di kabupaten Kudus. Dari beberapa SD Mitra PPL dan MBS PGSD FKIP

Universitas Muria Kudus, lebih dari 75% SD masih menggunakan pola ini.

Konstruksi pengetahuan akan lebih mudah jika berangkat dari pengalaman nyata yang

dekat dengan siswa, terkait dengan realitas, mudah dibayangkan (imagineable), berwujud suatu

kegiatan dan kebiasaan yang sering dilakukan di lingkungan atau daerah sekitarnya.

Pola teacher centered yang masih mendominasi dalam pembelajaran matematika SD di

kabupaten Kudus, mengakibatkan konstruksi pengetahuan siswa kurang, selain itu pemanfaatan

potensi keunggulan lokal Kudus yang bisa dijadikan sumber belajar kurang maksimal. Rumah

adat kudus bisa dijadikan sebuah media pembelajaran yang menarik.

Berangkat dari masalah ini, diperlukan suatu model pembelajaran yang tepat dalam

mendukung proses pembelajaran matematika SD di kabupaten Kudus agar dapat memberikan

Page 53: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 155

iklim kondusif dalam perkembangan daya nalar, meningkatkan keaktifan, kreatifitas siswa serta

menanamkan kecintaan terhadap potensi keunggulan lokal Kudus.

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, peneliti membuat rancangan sebuah desain

pembelajaran matematika materi luas trapesium dengan pendekatan luas persegi panjang

menggunakan model pembelajaran matematika realistik berkonteks rumah adat kudus.

Penelitian ini penting dilaksanakan untuk mendapatkan desain pembelajaran matematika

realistik berkonteks rumah adat kudus pada materi luas trapesium dan untuk mengetahui

keefektifannya dalam pembelajaran matematika SD.

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah (1) bagaimanakah desain pembelajaran

matematika realistik berkonteks rumah adat Kudus? (2) bagaimanakah pelaksanaan

pembelajaran matematika realistik berkonteks rumah adat Kudus? (3) apakah implementasi

pembelajaran matematika realistik berkonteks rumah adat Kudus efektif?

Tujuan penelitian ini adalah untuk (1) mendapatkan desain pembelajaran matematika

realistik berkonteks rumah adat Kudus, (2) menggunakan desain pembelajaran tersebut untuk

membantu siswa mengkonstruksi pemahaman tentang luas daerah trapesium dengan pendekatan

persegi panjang, dan (3) melihat dampak penggunaan desain pembelajaran tersebut terhadap

proses konstruksi pengetahuan matematis siswa.

Manfaat dalam penelitian ini adalah (1) mendapatkan desain pembelajaran matematika

realistik di sekolah dasar berkonteks rumah adat Kudus dan (2) memberikan pengalaman kepada

guru dalam pelaksanaan pembelajaran matematika realistik di sekolah dasar berkonteks rumah

adat Kudus.

Design research dalam penelitian ini merupakan model penelitian yang digunakan untuk

merancang desain pembelajaran untuk memecahkan masalah pendidikan yang kompleks dan

mengembangkan pengetahuan (teori). Langkah design research dalam penelitian ini : (1)

persiapan uji coba desain, (2) uji coba desain, dan (3) analisis retrospektif.

METODE PENELITIAN

Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode design research. Langkah proses penelitian design

research seperti halnya pada proses perancangan pendidikan (educational design), yaitu

analisis, perancangan, evaluasi dan revisi yang merupakan proses siklikal yang berakhir pada

keseimbangan antara teori ideal dengan praktiknya.

Menurut Gravemeijer & Cobb (2006) tahapan pelaksanaan design research adalah: 1)

preparing for the experiment (persiapan penelitian), 2) design experiment (pelaksanaan desain

eksperimen), dan 3) retrospective analysis (analisis data yang diperoeh dari tahap sebelumnya).

Waktu dan Tempat Penelitian

Page 54: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

156 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2

Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Kudus pada bulan Oktober 2013 dengan

mengujicobakan hasil rancangan desain dan perangkat pembelajaran matematika realistik

berkonteks rumah adat kudus ke 2 SD di kabupaten Kudus, yaitu SD 1 Gondangmanis dan SD 1

Prambatan Kidul.

Target/Subyek Penelitian

Subyek dalam penelitian ini adalah siswa kelas V SD 1 Gondangmanis yang berjumlah

18 orang dan siswa kelas V SD 1 Prambatan Kidul yang berjumlah 24 orang. Dari beberapa

kecamatan di Kudus, diambil 2 SD yang berbeda kecamatan, satu berada di desa dan yang satu

dekat dengan kota.

Prosedur

Penelitian ini menggunakan metode design research untuk meningkatkan kualitas

pembelajaran melalui iterative analysis, mendesain atau memperbaiki design sebelumnya, dan

melaksanakan pembelajaran dengan mengacu pada teori dan prinsip – prinsip realitas.

Langkah yang dilakukan Menurut Gravemeijer & Cobb (2006) adalah:

1. Preparing for the experiment (persiapan penelitian)

Pada tahap ini dibuat hypothetical learning trajectory (HLT) atau lintasan belajar (proses

berpikir) hipotesis. Dalam membuat HLT ini diperlukan desain pendahuluan yang berfungsi

untuk mengimplementasikan ide-ide awal yang diperoleh dari kajian literatur sebelum

mendesain aktivitas pembelajaran, diskusi dengan guru yang berpengalaman, peneliti

maupun ahli dalam bidang yang terkait.

2. Design experiment (pelaksanaan desain eksperimen)

Tahap ini bertujuan untuk mengumpulkan data yang akan digunakan untuk menjawab

pertanyaan penelitian. Pada tahap ini, desain yang sudah dirancang diujicobakan di lapangan

(ruang – ruang kelas). Pengalaman-pengalaman yang terjadi pada tahap ini akan menjadi

dasar untuk mendesain ulang atau memodifikasi HLT untuk proses-proses pembelajaran

berikutnya.

3. Retrospective analysis (analisis data yang diperoeh dari tahap sebelumnya)

Peneliti menganalisis data yang diperoleh dari tahap design experiment dan menggunakan

hasil dari analisis untuk mengembangkan desain selanjutnya. HLT digunakan dalam tahap

retrospective analysis sebagai panduan dan referensi utama dalam menjawab pertanyaan

penelitian.

Adapun alur rancangan penelitian tiap siklusnya dengan menggunakan metode design

research disajikan pada gambar 1.

Data, Instrumen, dan Teknik Pengumpulan Data

Dokumentasi digunakan untuk mengumpulkan data-data keunggulan lokal Kudus.

Kaitannya dalam penelitian ini adalah rumah adat Kudus. Observasi digunakan untuk

Page 55: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 157

mengumpulkan data aktivitas belajar siswa, aktivitas guru dalam mengelola pembelajaran

matematika realistik berkonteks rumah adat Kudus. Selain itu data aktivitas siswa dan guru ini

direkam menggunakan video dan kamera. Rekaman video dan kamera kemudian di

deskripsikan.

Tes digunakan untuk mengumpulkan data nilai hasil belajar matematika siswa khususnya

pada materi luas daerah trapesium setelah mendapatkan pembelajaran matematika realistik

berkonteks rumah adat Kudus. Angket digunakan untuk mengumpulkan data respon siswa dan

guru terhadap pembelajaran matematika realistik berkonteks rumah adat Kudus.

Teknik Analisis Data

Data potensi lokal Kudus (rumah adat) dianalisis dari hasil dokumentasi pengumpulan

data keunggulan lokal Kudus. Data hasil belajar matematika siswa dianalisis dari hasil tes hasil

belajar siswa pada materi luas daerah trapesium.

Data aktivitas belajar siswa dan aktivitas pengelolaan pembelajaran oleh guru

menggunakan pembelajaran matematika realistik berbasis keunggulan lokal Kudus dianalisis

menggunakan lembar observasi aktivitas siswa dan lembar observasi aktivitas pengelolaan

pembelajaran guru. Selain itu data tersebut dianalisis dari hasil rekaman video dan kamera.

Preparing for the experiment

1. Telaah literatur

2. Diskusi dengan guru dan

peneliti dalam bidang

pendidikan matematika

3. Mendesain model PMR

berkonteks rumah adat

Kudus termasuk HLT

4. Telaah ahli dan guru

terhadap desain awal

Design experiment

1. Pengumpulan data di

lapangan

2. Uji coba 2 SD di

Kabupaten Kudus

3. Observasi

4. Tes

5. Angket

Retrospective analysis

1. Analisis data kuantitatif dan kualitatif

2. Analisis keefektifan model PMR

berkonteks rumah adat Kudus dalam

pembelajaran matematika SD

3. Sintesis untuk kemungkinan perbaikan

desain siklus berikutnya

Gambar 1. Alur Rancangan Penelitian

Page 56: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

158 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2

Respon siswa dan guru terhadap pembelajaran matematika realistik berbasis keunggulan

lokal Kudus dianalisis menggunakan hasil sebaran angket respon siswa dan guru terhadap

pembelajaran matematika realistik berbasis keunggulan lokal Kudus.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Tahap Pembuatan Desain dan Perangkat Pembelajaran Matematika Realistik

Berkonteks Rumah Adat Kudus

Pada tahap ini peneliti berada pada proses preparing for the experiment (persiapan

penelitian) dan membuat lintasan belajar atau hypothetical learning trajectory (HLT). Dalam

membuat HLT peneliti melakukan:

a. Kajian literatur sekaligus diskusi dengan guru yang berpengalaman terkait keunggulan

lokal Kudus. Keunggulan lokal Kudus yang dapat digunakan untuk proses pembelajaran

adalah rumah adat Kudus.

b. Pembuatan perangkat pembelajaran matematika realistik berkonteks rumah adat Kudus

berdasarkan data – data rumah adat Kudus, beberapa perangkat pembelajaran matematika

yang dibuat antara lain: silabus, RPP, Lembar Kegiatan Siswa, media pembelajaran, alat

peraga dan bahan ajar berkonteks rumah adat Kudus.

c. Pendesainan model pembelajaran matematika realistik berkonteks rumah adat Kudus,

dengan menggabungkan syntax pembelajaran matematika realistik dan data-data rumah

adat Kudus sebagai konteks masalah realistiknya.

Adapun tahapan model pembelajaran matematika realistik berkonteks rumah adat Kudus

adalah :

1) Penggunaan konteks masalah realistik berbasis keunggulan lokal Kudus, yaitu: rumah

adat Kudus.

2) Penggunaan model untuk matematisasi progresif

3) Model yang digunakan disini adalah beberapa alat peraga trapesium dan LKS yang

mengantarkan pada suatu bentuk representasi matematis dari suatu masalah. Proses

matematisasi terhadap model nyata akan menghasilkan suatu model matematika.

4) Pemanfaatan hasil konstruksi siswa

5) Pengembangan interaktivitas dan karakter

6) Pengaitan antar konsep matematika

2. Tahap Telaah Desain Awal Model dan Perangkat Pembelajaran Matematika Realistik

Berkonteks Rumah Adat Kudus

Pada tahap ini peneliti bersama dengan guru melakukan telaah desain awal prototipe

pembelajaran matematika realistik berkonteks rumah adat Kudus di SD 1 Gondangmanis dan

SD 1 Prambatan Kidul. Dalam telaah desain awal terhadap prototipe, peneliti dan beberapa

guru mitra melihat, mengamati dan mengecek kesesuaian dan kelayakan prototipe desain awal

Page 57: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 159

pembelajaran matematika realistik berkonteks rumah adat Kudus untuk digunakan dalam

proses pembelajaran.

3. Tahap Pembuatan Instrumen Penelitian

Pada tahap ini peneliti membuat instrumen penelitian, antara lain: soal tes, lembar

observasi pengelolaan pembelajaran, lembar observasi aktivitas belajar siswa, angket respon

guru dan angket respon siswa.

a. Soal tes digunakan untuk mengukur kemampuan kognitif siswa pada materi luas daerah

trapesium setelah mengikuti pembelajaran matematika realistik berkonteks rumah adat

Kudus.

b. Lembar observasi pengelolaan pembelajaran digunakan untuk mengamati keterlaksanaan

dan pengelolaan pembelajaran yang dilakukan peneliti dengan menggunakan model

pembelajaran realistik berkonteks rumah adat Kudus.

c. Lembar observasi aktivitas belajar siswa digunakan untuk mengamati aktivitas belajar

siswa selama mengikuti pembelajaran matematika realistik berkonteks rumah adat Kudus.

d. Angket respon guru digunakan untuk mengetahui respon guru terkait desain pembelajaran

dan pembelajaran matematika realistik berkonteks rumah adat Kudus.

e. Angket respon siswa digunakan untuk mengetahui respon siswa terkait pembelajaran

matematika realistik berkonteks rumah adat Kudus.

4. Tahap Uji Coba Lapangan Dan Pengumpulan Data

Pada tahap ini peneliti telah melakukan uji coba dan pengumpulan data di 2 SD

Kabupaten Kudus, yaitu : SD 1 Gondangmanis dan SD 1 Prambatan Kidul.

a. Tahap preparation for the experiment (persiapan penelitian)

Beberapa hal yang telah dilakukan pada tahap ini adalah:

1) membuat lintasan belajar atau hypothetical learning trajectory (HLT) pada materi

luas daerah trapesium. Dalam membuat HLT peneliti melakukan:

a) Kajian literatur sekaligus diskusi dengan guru mitra yang berpengalaman terkait

keunggulan lokal Kudus. Keunggulan lokal Kudus yang dapat digunakan untuk

proses pembelajaran matematika materi luas daerah trapesium adalah rumah

adat Kudus (Joglo).

b) Pembuatan perangkat pembelajaran matematika realistik berkonteks rumah adat

Kudus berdasarkan data – data rumah adat Kudus, beberapa perangkat

pembelajaran matematika yang dibuat antara lain: silabus, RPP, Lembar

Kegiatan Siswa, media pembelajaran, alat peraga dan bahan ajar berkonteks

rumah adat Kudus.

c) Pendesainan model pembelajaran matematika realistik berbasis keunggulan

lokal Kudus, dengan menggabungkan syntax pembelajaran matematika realistik

dan data – data rumah adat Kudus sebagai konteks masalah realistiknya.

Page 58: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

160 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2

Adapun tahapan model pembelajaran matematika realistik berkonteks rumah adat

Kudus pada materi luas daerah trapesium adalah :

(1) Penggunaan konteks masalah realistik berbasis keunggulan lokal Kudus,

yaitu rumah adat Kudus.

(2) Penggunaan model untuk matematisasi progresif

Model yang digunakan disini adalah beberapa alat peraga dan LKS yang

mengantarkan pada suatu bentuk representasi matematis dari suatu masalah.

Proses matematisasi terhadap model nyata akan menghasilkan suatu model

matematika.

(3) Pemanfaatan hasil konstruksi siswa

(4) Pengembangan interaktivitas dan karakter

(5) Pengaitan antar konsep matematika

2) Telaah desain awal model dan perangkat pembelajaran matematika realistik

berkonteks rumah adat Kudus. Dalam telaah desain awal terhadap model dan

perangkat, peneliti dan beberapa guru mitra melihat, mengamati dan mengecek

kesesuaian dan kelayakan model dan perangkat desain awal pembelajaran

matematika realistik berkonteks rumah adat Kudus untuk digunakan dalam proses

pembelajaran.

b. Tahap design experiment (pelaksanaan desain pembelajaran)

Pada tahap ini tim peneliti melakukan pembelajaran matematika realistik berkonteks

rumah adat Kudus dengan materi luas daerah trapesium. Adapun tahapan – tahapan

pelaksanaannya sebagai berikut.

1) Penggunaan konteks masalah realistik berbasis keunggulan lokal Kudus, dalam hal ini

peneliti menggunakan rumah adat Kudus (Joglo) sebagai konteks masalah realistik.

2) Penggunaan model untuk matematisasi progresif

Pada tahap ini peneliti menggunakan alat peraga luas daerah trapesium dengan

pendekatan luas daerah persegi panjang serta lembar kegiatan siswa (LKS) penemuan

konsep luas daerah trapesium dengan pendekatan luas daerah persegi panjang.

Model tersebut mengantarkan pada suatu bentuk representasi matematis dari suatu

masalah nyata. Proses matematisasi terhadap model nyata akan menghasilkan suatu

model matematika yang mengarah kepada konstruksi konsep matematika formal.

3) Pemanfaatan hasil konstruksi siswa

Pada tahap ini siswa mengkonstruksi peraga yang diberikan dengan didampingi LKS

untuk menemukan konsep luas daerah trapesium. Hasil kerja dan konstruksi siswa

selanjutnya digunakan untuk landasan pengembangan konsep matematika.

4) Pengembangan interaktivitas dan karakter

Page 59: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 161

Dari kegiatan ini terjadi interaksi sosial antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru,

dan siswa dengan anggota kelompok yang lain. Interaksi sosial dalam pembelajaran

ini berperan membentuk karakter siswa yang mau menghargai pendapat orang lain dan

bersikap demokratis. Tuntutan mempresentasikan gagasan penemuan konsep luas

daerah trapesium berkembang menjadi suatu bentuk kesadaran dan tanggung jawab

dalam mengkomunikasikan gagasan kepada lingkungan.

5) Pengaitan antar konsep matematika

Dalam proses penemuan konsep luas daerah trapesium, beberapa konsep matematika

yang saling terkait antara lain: konsep geometri, luas persegi panjang, dan operasi

hitung perkalian.

Proses matematisasi yang dikonstruksi oleh siswa melalui penggunaan model digambarkan

dalam iceberg penemuan konsep luas daerah trapesium berikut.

c. Tahap retrospective analysis (analisis data yang diperoleh dari tahap sebelumnya)

Peneliti menganalisis data yang diperoleh dari tahap teaching experiment dan

menggunakan hasil dari analisis untuk mengembangkan desain selanjutnya.

Tabel 1. Hasil Penelitian di SD 1 Gondangmanis

No Data Hasil Kriteria

1 Rata-rata tes prestasi belajar siswa 81,3 Tuntas

2 Rata-rata aktivitas belajar siswa 4,1 Baik

3 Rata-rata respon siswa terhadap pembelajaran 4,3 Senang

4 Rata-rata pengelolaan pembelajaran guru 4,1 Baik

Orientasi lingkungan/

masalah realistik : rumah

Joglo

Penggunaan model untuk

jembatan(penggunaan alat

peraga&media yang sesuai)

Pembuatan Pondasi pemahaman

matematis. Siswa mengkonstruksi

konsep dan melakukan interaksi sosial

Gambar 2.Iceberg Penemuan Konsep Luas Daerah Trapesium

Tahapan

Matematika Formal

Luas daerah trapesium =

𝟏

𝟐× (𝒂 + 𝒃) × 𝒕

Page 60: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

162 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2

5 Rata-rata respon guru terhadap desain

pembelajaran

3,97 Baik

6 Rata-rata respon guru terhadap proses

pembelajaran

4,17 Baik

Tabel 2. Hasil Penelitian di SD 1 Prambatan Kidul

No Data Hasil Kriteria

1 Rata-rata tes prestasi belajar siswa 82,6 Tuntas

2 Rata-rata aktivitas belajar siswa 4,3 Baik

3 Rata-rata respon siswa terhadap pembelajaran 4,6 Senang

4 Rata-rata pengelolaan pembelajaran guru 4,3 Baik

5 Rata-rata respon guru terhadap desain

pembelajaran

4,69 Baik

6 Rata-rata respon guru terhadap proses

pembelajaran

4,17 Baik

Dari hasil di atas, rata-rata tes prestasi belajar menunjukkan nilai di atas Kriteria

Ketuntasan Minimal (KKM) dimana KKM untuk mata pelajaran matematika adalah 70.

Hal tersebut membuktikan bahwa penggunaan pembelajaran matematika realistik

berkonteks rumah adat kudus sudah optimal. Dalam pembelajaran tersebut siswa diajak

menemukan luas daerah trapesium menggunkan konteks yang dekat dengan lingkungan

sekitar, dalam hal ini rumah adat kudus. Pembelajaran menjadi menyenangkan, sehingga

tahap-tahap pembelajaran matematika realistik dapat berjalan secara maksimal.

Kenyataan di lapangan ada 2 orang siswa yang tidak tahu rumah adat kudus, karena

mereka tinggal di perumahan perkotaan. Hal tersebut tidak terlalu bermasalah, karena

setelah ditunjukkan rumah adat kudus, mereka langsung tahu dan langsung ikut

memahami beberapa bentuk bangun datar yang ada pada rumah adat kudus.

Rata-rata aktivitas belajar siswa menunjukkan kriteria “baik” dan respon siswa

terhadap pembelajaran menunjukkan kriteria “senang”. Hal tersebut dikarenakan siswa

merasa tertarik karena di awal pembelajaran siswa diperlihatkan beberapa keunggulan

lokal kudus, salah satu diantaranya yang akan dijadikan untuk pembelajaran adalah

rumah adat kudus. Rumah adat tersebut diidentifikasi bentuk-bentuk bangun apa yang

menyusun rumah adat tersebut. Rumah adat tersebut ditampilkan dalam LCD projector.

Siswa semakin tertarik karena pembelajarannya berkelompok, disediakan Lembar Kerja

Siswa (LKS), menggunakan CD Pembelajaran interaktif, dan alat peraga manipulatif

(luas daerah trapesium). Keunggulan lokal Kudus harus sering ditonjolkan dalam

Page 61: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 163

pembelajaran, karena masih ada sebagian kecil siswa belum tahu terkait keunggulan lokal

Kudus. Dengan konteks seperti itu ternyata pembelajaran akan semakin menyenangkan.

Rata-rata pengelolaan pembelajaran guru dan respon guru terhadap desain serta

proses pembelajaran menunjukkan kriteria “baik”. Dalam pembelajaran menggunkan

konteks rumah adat kudus, di mana hal tersebut sangat dekat dengan siswa. Penggunaan

LKS dan alat peraga manipulatif (luas dareah trapesium) yang mengharuskan siswa

bekerja dalam kelompok untuk menemukan luas daerah trapesium dengan pendekatan

persegi panjang. Siswa dituntut mengisi LKS dengan bantuan alat peraga sampai

menemukan luas daerah trapesium. LKS dibuat sedemikian rupa sehingga dapat

menuntun siswa menemukan luas daerah trapesium dengan pendekatan persegi panjang.

Pelaksanaan pembelajaran matematika realistik berjalan efektif dan efisien, tahap demi

tahap dijalankan secara optimal, mulai orientasi masalah kontekstual (rumah adat Kudus)

sampai pada penarikan kesimpulan.

Hal-hal yang masih perlu ditingkatkan lagi, yaitu (1) masalah kontekstual harus

lebih bervariatif, kaitannya dengan bangun datar, bisa ditambah dengan pakaian adat

Kudus atau makanan khas Kudus yang berbentuk bangun datar. (2) CD pembelajaran

interaktif dan LKS harus match, agar siswa dapat lebih fokus. Dalam penelitian ini antara

CD pembelajaran interaktif dan LKS kurang sedikit match di bagian awal atau bagian

materi prasyarat, sehingga siswa merasa kebingungan waktu mengisi LKS pada bagian

itu. (3) Menambah membuat alat peraga manipulatif lagi. Hal tersebut bertujuan sebagai

cadangan. Dalam penelitian ini ada satu alat peraga yang tidak lengkap, sehingga perlu

meminjam ke kelompok lain bagian yang hilang tersebut. Untuk mengatasi masalah

tersebut harus membuat beberapa alat peraga manipulatif lagi (luas daerah trapesium

dengan pendekatan persegi panjang).

Secara keseluruhan pembelajaran matematika realistik berkonteks rumah adat

kudus pada materi luas trapesium sudah berjalan dengan optimal. Hal tersebut dapat

dilihat dari hasil tes prestasi belajar yang mendapatkan nilai rata-rata di atas KKM. Selain

itu dapat dilihat dari aktivitas guru dan siswa yang menunjukkan kriteria baik. Respon

guru dan siswa juga menunjukkan kriteria baik.

SIMPULAN DAN SARAN

Pelaksanaan pembelajaran matematika realistik berkonteks rumah adat kudus pada materi

luas daerah trapesium di SD 1 Gondangmanis dan SD 1 Prambatan Kidul berjalanoptimal,

respon siswa dan guru baik dan aktivitas guru dan siswa juga baik. Implementasi pelaksanaan

pembelajaran matematika realistik berkonteks rumah adat kudus dapat meningkatkan prestasi

belajar matematika pada materi luas daerah trapesium. Memperoleh desain dan perangkat

Page 62: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

164 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2

pembelajaran matematika realistik berkonteks rumah adat kudus pada materi luas daerah

trapesium dengan pendekatan luas persegi panjang.

Guru maupun peneliti hendaknya lebih memaksimalkan potensi keunggulan lokal Kudus

(rumah adat, pakaian adat, makanan khas, dll.). Dalam pembuatan desain dan perangkat

pembelajaran hendaknya melakukan telaah dan diskusi yang melibatkan beberapa guru dan ahli

yang berpengalaman

DAFTAR PUSTAKA

Asmani, J. 2012. Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal. Yogyakarta : DIVA Press.

Charitas, dkk. 2012. Learning Multiplication Using Indonesian Traditional game in Third

Grade. IndoMs – JME, 3(2), 115 – 132.

Depdiknas. 2006. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar dalam KTSP mata pelajaran

matematika Sekolah Dasar/Madrasah Ibtiaiyah. Jakarta : Depdiknas.

Freudenthal. 1991. Revisiting Mathematics Education. Dordrecht: Kluwer Academic Publisher.

Gravemeijer & Cobb. 2006. “Design Research from a Learning Perspective, dalam Educational

Design Research. New York : Routledge

Helsa, Y., & Hartono, Y. 2011. Designing Reflection and Symmetry Learning by Using Math

Traditional Dance in Primary School. IndoMs – JME, 2(1), 79 – 94.

Heruman. 2012. Model Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar. Bandung: PT Remaja

Rosda Karya.

Hidayat, M. 2005. Teori Pembelajaran Matematika. Semarang: PPs UNNES.

Ibrahim & Suparni. 2012. Pembelajaran Matematika Teori dan Aplikasinya. Yogyakarta:

SUKA-Press UIN Sunan Kalijaga.

Kwang, T.S. 2002. An Investigative Approach to Mathematics Teaching and Learning. The

Mathematics Educator, 6(2), 32-46.

Maaβ, K. 2010. Classification Scheme for Modelling Task. J Math Didakt, 31(2), 285-311.

Nasrullah & Zulkardi. 2011. Building counting by traditional game: A Mathematics Program

for Young Children. IndoMs – JME, 2(1), 41 – 54.

National Council of Teachers of Mathematics (NCTM). (2000). Principles and Standards for

School Mathematics. Reston, VA: National Council of Teachers of Mathematics.

Soedjadi, R. 2000. Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia (konstatasi keadaan masa

kini menuju harapan masa depan). Jakarta : Depdiknas.

Suherman, E. 2003. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA,

Universitas Pendidikan Indonesia.

Sumardyono. 2004. Karakteristik Matematika dan Implikasinya terhadap Pembelajaran

Matematika. Yogyakarta : Dirjen Dikdasmen P3G Matematika

Page 63: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 165

The International Association for the Evaluation of Educational Achievement. 2011. Progress in

Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS).The International

Association for the Evaluation of Educational Achievement Washington DC: Department

of Education. Tersedia di http://timss.bc.edu/. Diunduh 17 Februari 2012.

Wijaya. 2012. Pendidikan Matematika Realistik suatu Alternatif Pendekatan Pembelajaran

Matematika. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Zulkardi & Ilma. 2010. Pengembangan Blog Support Untuk Membantu Siswa Dan Guru

Matematika Indonesia Belajar Pendidikan Matematika Realistik Indonesia

(PMRI).Jurnal Inovasi Perekayasa Pendidikan (JIPP), 2(1), 1-24.

Page 64: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

166 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2

RESPONS GURU TERHADAP PEMBELAJARAN BERBASIS PENGAJUAN

DAN PEMECAHAN MASALAH UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN

BERPIKIR KREATIF SISWA

Eka Puspitasari, Dwi Shinta Rahayu,Tatag Yuli Eko Siswono

(Program Pascasarjana Pendidikan Matematika

Universitas Negeri Surabaya Kampus Ketintang Surabaya;

Tulang Bawang Barat, Lampung 081369277783; [email protected])

Abstrak

Salah satu tujuan pembelajaran matematika di Indonesia adalah melatih siswa

berpikir kreatif. Kemampuan ini dapat dikembangkan melalui berbagai cara, salah

satunya dengan menerapkan model pembelajaran pengajuan dan pemecahan

masalah (JUCAMA). Dalam hal ini, guru memegang peran penting dalam

pelaksanaan pembelajaran. Opini guru mempengaruhi kelanjutan implementasi

JUCAMA di kelas sebagai upaya meningkatkan kreativitas siswa. Penelitian ini

bertujuan untuk (1) mengetahui respon guru dalam kaitannya dengan kemampuan

merencanakan dan mengimplementasikan JUCAMA, mengevaluasi kemampuan

berpikir kreatif siswa serta keyakinan guru terhadap tujuan pembelajaran yang

meningkatkan kemampuan berpikir kreatif, dan (2) mengetahui kendala-kendala

yang dihadapi guru dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi dalam

pembelajaran JUCAMA. Penelitian kuantitatif dan deskriptif ini merupakan bagian

dari penelitian strategi nasional yang dilakukan dengan metode angket terhadap 35

guru yang terdiri dari guru kelas 3, 4 dan 5 dari 8 SD di Kabupaten Sidoarjo. Hasil

penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas responden tidak mengalami kesulitan

dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi dalam pembelajaran JUCAMA. Selain

itu, mereka juga yakin bahwa model ini dapat meningkatkan kemampuan berpikir

kreatif siswa. Dengan demikian, dapat disimpulkan guru memberikan respon positif

terhadap pembelajaran JUCAMA.

Kata kunci: pengajuan masalah, pemecahan masalah, berpikir kreatif

PENDAHULUAN

Di masa yang kompetitif ini, kemampuan berpikir kreatif mutlak perlu dimiliki oleh siswa.

Bahkan, menurut Career Center Maine Department of Labor USA, yang dikutip oleh Mahmudi

(2010), berpikir kreatif merupakan salah satu kemampuan yang dikehendaki dunia kerja. Hal ini

menjadi salah satu faktor yang menyebabkan berpikir kreatif menjadi fokus dalam tujuan

pendidikan di Indonesia, terutama melalui pembelajaran matematika. Lebih jauh, Peraturan

Menteri no 22 Tahun 2006 tentang standar isi untuk satuan Pendidikan Dasar dan Menengah

menyebutkan bahwa matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah

dasar untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis,

kritis, dan kreatif, serta memiliki kemampuan bekerja sama.

Definisi berpikir kreatif sendiri telah diungkapkan oleh banyak ahli, misalnya McGregor

mendefinisikan berpikir kreatif sebagai berpikir yang mengarah pada pemerolehan wawasan

baru, pendekatan baru, perspektif baru, atau cara baru dalam memahami sesuatu. Senada

dengan pendapat tersebut, Martin berpendapat bahwa kemampuan berpikir kreatif digunakan

untuk menghasilkan ide atau cara baru dalam menghasilkan suatu produk. (Mahmudi,

Page 65: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 167

2010). Aspek kebaruan juga ditekankan oleh Ruggirro dan Evans dalam memandang

kemampuan berpikir kreatif sebagai suatu kegiatan mental yang dialami seseorang bila mereka

dihadapkan pada suatu masala atau situasi yang harus dipecahkan untuk membangun ide atau

gagasan ”baru (dalam Siswono, 2011). Tampak jelas bahwa berpikir kreatif mengandung unsur

kebaruan.

Selain unsur kebaruan, Isaksen mengkaitkan berpikir kreatif dengan proses pembentukan

ide yang menekankan pada aspek kelancaran, keluwesan, dan keterincian. Sementara itu,

menurut Sharp, beberapa aspek berpikir kreatif antara lain kebaruan, produktivitas, dan

dampak atau manfaat. Kebaruan disini bersifat relatif untuk setiap individu, dalam konteks

belajar mengajar hal ini dapat dikaitkan dengan penemuan penyelesaian yang bagi siswa

dianggap baru ketika mereka menghadapi masalah yang menantang. Aspek produktivitas

dijelaskan sebagai penemuan banyak ide, bisa baru ataupun tidak. Sedangkan dampak atau

manfaat dipandang perlu karena jika suatu produk proses berpikir seseorang jika tanpa ada

kebermanfaatannya tidak akan bernilai. Manfaat disini bisa merujuk pada peningkatan

kepercayaan diri siswa setelah menyelesaikan masalah yang baru tersebut.

Penjelasan yang hampir sama dikemukakan oleh Martin (dalam Mahmudi, 2010), bahwa

kemampuan berpikir kreatif berkaitan dengan produktivitas, keaslian atau originalitas, dan

keflesibelan atau keluwesan. Komponen produktivitas di sini merujuk pada hal yang sama

dengan pendapat sebelumnya, sedangkan keaslian merujuk pada aspek kebaruan. Sementara itu,

fleksibilitas terkait dengan kemampuan memodifikasi ide berdasarkan informsi baru. Siswa

yang memiliki fleksibiltas dapat memodifikasi ide mereka untuk mendapatkan cara

penyelesaian yang berbeda-beda dari suatu masalah yang sama. Dalam artikel ini, indikator

berpikir kreatif meliputi keluwesan yaitu kemampuan menghasilkan banyak ide, kebaruan yang

merujuk pada ide-ide yang ”baru” menurut siswa dan bersifat unik, dan fleksibilitas yaitu

kemampuan memodifikasi ide-ide menggunakan informasi yang baru.

Sementara itu, kreativitas tidak hanya dapat dilatih melalui bidang-bidang seni atau sastra,

tetapi juga dapat dilatih melalui pembelajaran sains dan matematika (Pehkonen dalam

Mahmudi, 2010). Hanya saja, dalam pembelajaran matematika aspek kreativitas ini lebih

difokuskan pada proses berpikir, yaitu proses berpikir kreatif. Proses berpikir kreatif

matematika merujuk pada proses berpikir kreatif umum, Siswono dan Budayasa (2006)

mengutip pendapat Pehkonen, Krutetskii, Haylock, dan Silver bahwa berpikir kreatif merupakan

kombinasi berpikir logis dan berpikir divergen yang didasarkan pada intuisi tetapi masih dalam

kesadaran yang memperhatikan fleksibilitas, kefasihan dan kebaruan. Kemampuan berpikir

logis dan divergen ini dapat dilatihkan melalui pembelajaran matematika.

Adapun salah satu cara untuk melatih siswa berpikir kreatif adalah melalui pembelajaran

dengan tugas yang memuat masalah. Masalah merupakan situasi dimana seseorang ingin

melakukan sesuatu tetapi tidak tahu apa yang diperlukan untuk mendapatkan yang diinginkan

Page 66: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

168 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2

(Crowl et a, dalam King, et al). Dalam konteks pembelajaran, masalah harus menantang dan

tidak otomatis diketahui cara penyelesaiannya. Hal ini ditegaskan oleh Becker dan Shimada

sebagai berikut.

Genuine problem solving requires a problem that is just beyond the student’s

skill level so that she will not automatically know which solution method to use.

The problem should be nonroutine, in that the student perceives the problem

as challenging and unfamiliar, yet not insurmountable.

Berdasarkan penjelasan tersebut, tidak semua pertanyaan matematika merupakan masalah.

Adanya ciri menantang dan tidak bisa secara langsung dipecahkan dengan prosedur rutin yang

diketahui berimplikasi pada kenyataan bahwa suatu pertanyaan mungkin menjadi masalah bagi

seorang siswa tapi belum tentu demikian bagi siswa yang lain. Dari pendapat di atas dapat

diidentifikasi ciri utama masalah, yaitu (1) individu memiliki pengetahuan prasayarat tentang

situasi yang dihadapi, (2) menantang, dan (3) langkah menemukan penyelesaiannya tidak harus

jelas atau mudah dipahami orang lain.

Dalam proses belajar mengajar, siswa dapat didorong untuk berpikir kreatif melalui

pembelajaran yang melibatkan pengajuan dan pemecahan masalah. Istilah pemecahan masalah

sendiri didefinisikan oleh beberapa ahli, salah satunya Gagne. Papola (2005) menjelaskan

bahwa menurut Gagne, “Problem solving is a set of events in which human being was

rudes to achieve science goals”. Berdasarkan pendapat Gagne, pemecahan masalah adalah

rangkaian peristiwa dimana seseorang berusaha keras untuk mencapai tujuannya.

Definisi yang lain diajukan oleh Risk (dalam Papola, 2005), yaitu

“Problem solving may be defined as a process of raising a problem in the minds

of the students in such a way as to stimulate purposeful reflective thinking in

arriving at a rational solution”.

Menurut Risk, pemecahan masalah merupakan suatu proses memunculkan masalah dalam

pikiran untuk mendorong siswa berpikir reflektif dalam mencari solusi yang rasional.

Sementara itu, menurut Siswono,

pemecahan masalah matematika dapat diartikan sebagai proses siswa dalam menyelesaikan

suatu masalah matematika yang langkahnya terdiri dari memahami masalah, merencanakan

penyelesaian, melaksanakan rencana tersebut, dan memeriksa kembali jawaban.

Pengertian pemecahan masalah menurut Siswono ini mengacu pada langkah-langkah

penyelesaian masalah yang digagas oleh Polya.

Dari pendapat-pendapat ahli di atas, pemecahan masalah dapat diartikan sebagai proses

seseorang untuk menemukan penyeleaian masalah yang rasional dengan mengacu pada langkah-

langkah yang dikemukakan Polya, yaitu memahami masalah, merencanakan penyelesaian,

melaksanakan rencana tersebut, dan memeriksa kembali jawaban.

Page 67: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 169

Sedangkan, pengajuan masalah merujuk pada pemberian tugas yang bersifat open-ended

atau masalah terbuka dengan meminta siswa menuliskan sebarang masalah yang dipikirkannya

tanpa batas dari isi ataupun konteks matematika. Becker dan Shimada (1997), dalam bukunya

“How to Solve It”, mendefinisikan masalah open ended sebagai masalah yang memiliki banyak

jawaban yang benar atau banyak cara menemukan jawaban yang benar. Hal ini didukung oleh

Moses (dalam Siswono, 2011) bahwa untuk mendorong berpikir kreatif siswa guru dapat

memodifikasi masalah dari buku teks dan menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang memiliki

jawaban majemuk, karena masalah yang hanya memiliki satu jawaban tunggal tidak akan

mendorong siswa untuk berpikir kreatif.

Pengajuan masalah memang sedikit berbeda dengan pemecahan masalah, namun strategi

ini dapat digunakan untuk menstimulus siswa untuk berpikir kreatif dalam pembelajaran

matematika. Strategi ini dapat dilakukan melalui langkah-langkah yang dikembangkan Silver

dan Chai yaitu (1) pengajuan pre-solusi dimana siswa mengajukan pertanyaan dari informasi

yang diberikan, (2) pengajuan di dalam solusi dimana siswa siswa merumuskan ulang seperti

yang telah diselesaikan, (3) pengajuan stelah solusi dimana siswa memodifikasi soal yang telah

diselesaikan untuk membuat soal yang baru.

Model pembelajaran matematia yang melibatkan tugas pemecahan dan pengajuan masalah

disebut model pembelajaran JUCAMA. Siswono (2008), mendefinisikan model pembelajaran

JUCAMA untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif sebagai

suatu model pembelajaran matematika yang berorientasi pada pemecahan dan

pengajuan masalah matematika sebagai fokus pembelajarannya dan menekankan belajar

aktif secara mental dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif

Adapun sintaks dalam model pembelajaran JUCAMA adalah sebagai berikut.

Fase Aktivitas Guru

1. Menyampaikan tujuan dan

mempersiapkan siswa

Menjelaskan tujuan, materi prasyarat, memotivasi

siwa, dan mengaitkan materi pelajaran denan konteks

kehidupan sehari-hari

2. Mengorientasikan siswa

pada masalah dan

mengorganisasikannya

untuk belajar

Memberikan masalah yang sesuai dengan tingkat

perkembanagn anak untuk diselesaikan atau meminta

siswa mengajukan masalah berdasarkan informasi

maupun masalah awal. Meminta siswa bekerja

dalamkelompok atau individu dan mengarahkan siswa

membantu dan membagi dengan anggota kelompok

atau teman lainnya

3. Membimbing

penyelesaiannya secara

individual maupun

Guru membimbing dan mengarahkan belajar secara

efektif dan efisien

Page 68: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

170 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2

Fase Aktivitas Guru

kelompok

4. Menyajian hasil

penyelesaian pemecahan dan

pengajuan masalah

Guru membantu siswa dalam merencanakan dan

menetapkan suatu kelompok atau seorang siswa

dalam menyajikan hasil tugasnya

5. Memeriksa pemahaman dan

memberikan umpan balik

sebagai evaluasi

Memeriksa kemampuan siswa dan memberikan

umpan balik untuk menerapkan maslaah yang

dipelajari pada suatu materi lebih lanut dan pada

konteks nyata masalah sehar-hari

Dalam model pembelajaran JUCAMA untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreaif

siswa, penilaian tidak hanya dilakukan pada kemampuan siswa memecahkan dan mengajukan

masalah namun juga pada tingkat berpikir kreatif siswa. Siswono (2008) merumuskan suatu

penjenjangan kemampuan berpikir kreatif siswa yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam

mengukur kemampuan berpikir kreatif siswa. Penjenjangan tersebut didasarkan pada indikator

berpikir kreatif yakni kefasihan, fleksibilitas, dan kebaruan. Kebaruan ditempatkan pada tingkat

teratas dalam penjenjangan ini mengingat indikator ini menunjukkan kekhasan dan keunikan

dari suatu produk berpikir kreatif yag sangat ditekankan. Selanjutnya, diikuti oleh fleksibilitas

dimana kemampuan siswa memodifikasi ide dan cara penyelesaian. Sementara itu, kefasihan

mencerminkan kelancaran siswa dalam menghasilkan penyelesaian melalui proses berpikir

kreatif. Penjelasan selengkapnya tentang pejenjangan tingkat berpikir kreatif siswa adalah

sebagai berikut.

Tingkat Berpikir Kreatif 4

Siswa mampu menyelesaikan suatu masalah dengan lebih dari satu alternatif

jawaban maupun cara penyelesaian atau membuat masalah yang berbeda-beda dengan

lancar (fasih) dan fleksibel. Siswa yang mencapai tingkat ini dapat dinamakan sebagai

siswa sangat kreatif.

Tingkat Berpikir Kreatif 3

Siswa mampu menunjukkan suatu jawaban yang baru dengan cara penyelesaian

yang berbeda (fleksibel) meskipun tidak fasih atau membuat berbagai jawaban yang

baru meskipun tidak dengan cara yang berbeda (tidak fleksibel). Selain itu, siswa

dapat membuat masalah yang berbeda dengan lancar (fasih) meskipun jawaban masalah

tunggal atau membuat masalah yang baru dengan jawaban divergen. Siswa yang

mencapai tingkat ini dapat dinamakan sebagai siswa kreatif.

Page 69: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 171

Tingkat Berpikir Kreatif 2

Siswa mampu membuat satu jawaban atau masalah yang berbeda dari kebiasaan umum

meskipun tidak dengan fleksibel atau fasih, atau mampu menunjukkan berbagai cara

penyelesaian yang berbeda dengan fasih meskipun jawaban yang dihasilkan tidak baru.

Siswa yang mencapai tingkat

ini dapat dinamakan sebagai siswa cukup kreatif.

Tingkat Berpikir Kreatif 1

Siswa tidak mampu membuat jawaban atau membuat masalah yang berbeda (baru),

meskipun salah satu kondisi berikut dipenuhi, yaitu cara penyelesaian yang dibuat

berbeda-beda (fleksibel) atau jawaban/masalah yang dibuat beragam (fasih). Siswa

yang mencapai tingkat ini dapat dinamakan sebagai siswa kurang kreatif.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Siswono pada tahun 2005 serta Siswono

dan Novitasari pada tahun 2007 menunjukkan bahwa pembelajaran dengan model ini dapat

meningkatkan hasil belajar siswa terutama dalam pemecahan masalah dan mengindikasikan

peningkatan kemampuan berpikir kreatif sesuai indikator kefasihan, fleksibilitas, dan kebaruan

dalam memcahkan dan mengajukan masalah. Selain itu model ini juga daat digunakan untuk

melatih siswa mengkomunikasikan ide secara rasional karena dalam pembelajaran ini siswa

ditantang untuk menyelesaikan masalah terbuka yang memiliki jawaban atau cara penyelesaian

yang bermacam-macam. (Siswono, 2011)

Masih menurut Siswono, meskipun model ini memberikan kontribusi positif dalam

peningkatan kemampuan pengajuan dan pemecahan masalah serta berpikir kreatif siswa, model

ini perlu persiapan yang sangat matang terutama dalam memilih masalah yang tepat bagi siswa

dan waktu yang lama. Hal yang perlu digarisbawahi oleh guru dalam menerapkan model ini

adalah penerapan yang berkelanjutan sehingga siswa menjadi terbiasa menyelesaikan masalah-

masalah terbuka.

Persiapan yang matang akan tercapai jika guru menguasai konten yang akan diajarkan dan

memiliki kemampuan pedagogik yang mumpuni, dalam hal ini guru perlu memiliki pemahaman

yang mendalam tentang model JUCAMA sebelum menerapkannya dalam kelas. Dengan adanya

pemahaman yang baik ini diharapkan tujuan pembelajaran, yaitu meningkatkan kemampuan

berpikir kreatif siswa melalui pembelajaran JUCAMA, dapat tercapai maksimal. Pemahaman

guru ini dapat tercermin dari respons guru terhadap pembelajaran.

Peran guru dalam proses belajar mengajar sangat penting. Guru yang menentukan strategi

apa yang akan digunakan di kelas untuk membantu siswa mengkonstruk pengetahuannya.

Sementara itu, model JUCAMA ini merupakan salah satu model yang baru. Pandangan guru

terhadap penerapan model pembelajaran ini menentukan keberlangsnungan penerapan model ini

Page 70: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

172 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2

di dalam proses belajar mengajar di kelas. Jika guru memandang JUCAMA sebagai model yang

mudah untuk diaplikasikan dan yakin bahwa model ini dapat meningkatkan kemampuan

berpikir kreatif siswa maka, guru tentunya akan menerapkannya secara berkesinambungan

seperti yang telah disebutkan di atas bahwa hal yang peru diperhatikan dalam penerapan model

ini adalah kekontinyuan pelaksanaannya.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang bertujuan

untuk (1) mengetahui respons guru dalam kaitannya dengan kemampuan merencanakan dan

mengimplementasikan JUCAMA, mengevaluasi kemampuan berpikir kreatif siswa serta

keyakinan guru terhadap tujuan pembelajaran yang meningkatkan kemampuan berpikir kreatif,

dan (2) mengetahui kendala-kendala yang dihadapi guru dalam perencanaan, pelaksanaan, dan

evaluasi dalam pembelajaran JUCAMA.

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dan deskriptif yang dilaksanakan sebagai

bagian dari penelitian strategi nasional. Penelitian ini dilakukan dengan pemberian angket

kepada guru SD di Kabupaten Sidoarjo untuk mengetahui respon guru terhadap pembelajaran

JUCAMA. Guru yang terlibat dalam penelitian ini sebanyak 30 orang yang terdiri dari 10 guru

kelas 3, 7 guru kelas 4 dan 13 guru kelas 5. Berdasarkan wawancara yang bertujuan untuk

mengetahui informasi awal tentang guru, pengalaman mengajar guru bervariasi antara 5-35

tahun dengan pendidikan terakhir S1 dan S2. Ditinjau dari pengetahuan guru tentang model

pembelajaran JUCAMA, paea guru belum pernah mendapatkan pelatihan yang terkait dengan

upaya peningkatan berpikir kreatif siswa dengan menggunakan JUCAMA sehingga memiliki

pengalaman yang relatif sama yaitu suatu metode yang baru.

Prosedur penelitian diawali dengan mendesain workshop mengenai perencanaan

pembelajaran JUCAMA dan melaksanakannya sebanyak 2 kali. Setelah kegiatan itu guru

merancang perangkat pembelajaran jucama dan mengimplementasikan pada sekolah masing-

masing. Setelah itu, semua guru diberi angket respon terhadap pembelajaran menggunakan

model JUCAMA. Penelitian deskriptif dilakukan dengan melakukan wawancara semi

terstruktur terhadap beberapa guru terpilih pada masing-masing tingkat kelas untuk menggali

informasi lebih lanjut dalam kaitannya dengan kemampuan merencanakan dan

mengimplementasikan JUCAMA, mengevaluasi kemampuan berpikir kreatif siswa serta

keyakinan guru terhadap tujuan pembelajaran yang meningkatkan kemampuan berpikir kreatif.

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah angket untuk mengetahui tanggapan

guru setelah melaksanakan pembelajaran dan pedoman wawancara semi terstruktur sebagai

panduan dalam menggali kemampuan berpikir kreatif guru, kendala-kendala yang dihadapi, dan

keyakinannya terhadap pelaksanaan pembelajaran. Analisis kuantitatif dilakukan setelah

melakukan rekapitulasi angket dan menghitung persentase nilai respon guru (NRG) dari tiap

Page 71: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 173

butir pernyataan, kemudian menentukan kriteria persentase NRG per butir pernyataan serta

menghitung jumlah butir pernyataan yang memenuhi masing-masing kriteria (sangat baik, baik,

kurang baik dan tidak baik). Selanjutnya, membuat kategori utuk seluruh butir pernyataan.

Respons guru dikatakan positif jika ≥ 50% dari seluruh butir pernyataan termasuk kategori

“baik” atau “sangat baik”. Sedangkan analisis deskriptif dilakukan dengan melakukan

wawancara untuk mendapatkan gambaran kesulitan-kesulitan guru dalam merancang,

melaksanakan, maupun menilai kemampuan berpikir kreatif siswa dalam implementasi jucama.

Hasil Penelitian:

Respon guru terhadap pembelajaran JUCAMA

Respons guru diperoleh dari angket yang diberikan setelah guru melakukan serangkaian

pembelajaran menggunakan model JUCAMA pada bulan Oktober 2013. Hasil angket disajikan

pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1. Hasil Angket Respon Guru

No. Pernyataan Jumlah Respons %

NRG SS S KS TS

1 Saya tidak mengalami kendala yang berarti dalam

membuat rencana pembalajaran yang

mengkaitkan kemampuan berpikir kreatif siswa

7 16 6 1 74,17%

2 Saya tidak kesulitan menyusun soal yang terbuka

untuk mendorong berpikir kreatif siswa

5 16 9 0 71,67%

3 saya mengalami kesulitan dalam membuat tugas

pengajuan masalah

1 18 9 1 64,17%

4 Saya tidak kesulitan merumuskan tujuan dari

indikator untuk mengukur kemampuan berpikir

kreatif siswa.

2 19 9 0 69,17%

5 Saya dapat menyusun kegiatan inti yang sesuai

dengan langkah-langkah pada pembelajaran

JUCAMA

7 21 2 0 79,17%

6 Saya senang dalam mengajar menggunakan RPP

untuk mendorong berpikir kreatif siswa

16 13 1 0 87,50%

7 Saya tidak kesulitan menilai kemampuan berpikir

kreatif siswa

5 16 7 2 70,00%

8 Indikator-indikator berpikir kreatif siswa

(kefasihan, fleksibilitas dan kebaruan) dapat saya

pahami dengan mudah

2 18 9 1 67,50%

Page 72: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

174 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2

9 Saya yakin materi yang saya ajarkan menyebabkan

siswa dapat berpikir kreatif

10 19 0 0 80,83%

10 Saya percaya tugas-tugas memecahkan masalah

dapat medorong siswa berpikir kreatif

15 15 0 0 87,50%

11 Saya tidak ragu sama sekali siswa akan berpikir

kreatif ketika diminta membuat soal

7 18 5 0 76,67%

12 Saya percaya bahwa langkah-langkah

pembelajaran jucama benar-benar dapat diterapkan

untuk mendorong berpikir kreatif siswa

13 17 0 0 85,83%

13 Saya merasakan dengan sesungguhnya

pembelajaran JUCAMA memudahkan guru

mengantar siswa berpikir kreatif

9 18 2 1 79,17%

14 Saya berketetapan hati menggunakan langkah-

langkah pembelajaran JUCAMA ini untuk materi-

materi lain

3 20 2 0 63,33%

15 Saya percaya siswa kami mampu berpikir kreatif

dalam pembelajaran

9 21 0 0 82,50%

kriteria persentase NRG

25% ≤ NRG < 44% Tidak Baik

44% ≤ NRG < 63% Kurang Baik

63% ≤ NRG < 82% Baik

82% ≤ NRG ≤ 100% Sangat Baik

Berdasarkan angket, butir 1, 2, 3, 4 dan 5 merepresentasikan respons guru dalam

perencanaan pembelajaran. Butir 6 berkaitan dengan pelaksanaan, butir 7 dan 8 berkaitan

dengan evaluasi kemampuan berpikir kreatif siswa, sedangkan butir 9-15 mencerminkan

keyakinan guru terhadap pembelajaran menggunakan JUCAMA dalam upaya meningkatkan

kemampuan berpikir kreatif siswa. Berdasarkan kriteria persentase NRG, guru memberikan

respon “baik” terhadap perencanaan pembelajaran dan evaluasi kemampuan berpikir kreatif

siswa. Respons berbeda, yaitu “sangat baik”, ditunjukkan terhadap pelaksanaan pembelajaran

menggunakan model JUCAMA. Berdasarkan Tabel 1, sebagian besar butir pernyataan tentang

keyakinan guru terhadap pembelajaran menggunakan JUCAMA jika dikaitkan dengan

kreativitas siswa masuk dalam kategori “baik”.

Kendala dan Keyakinan Guru dalam Mengimplementasikan JUCAMA

Page 73: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 175

Hasil angket menunjukkan tidak semua guru menjawab setuju atau sangat setuju pada tiap

butir pernyataan. Hal ini mengindikasikan bahwa ada beberapa hal yang masih kurang dalam

implementasi JUCAMA. Hal tersebutlah yang kita sebut sebagai kendala. Demi memperoleh

gambaran kendala yang dialami guru dalam penerapan model JUCAMA, peneliti melakukan

wawancara semi terstruktur berdasarkan jawaban pada angket. Kendala-kendala tersebut

disajikan pada Tabel 2 berikut ini.

Tabel 2. Kendala- Kendala dalam Mengimplementasikan JUCAMA

Tahap Implementasi Kendala-Kendala

Persiapan membuat soal open-ended untuk melatih siswa berpikir kreatif

kurang waktu

Pengetahuan kurang

Kekurangan waktu untuk persiapan

Kesulitan membuat RPP

Kesulitan mencari bahan

Pelaksanaan Siswa yang aktif makin aktif, sedangkan siswa yang pasif lebih pasif

Kesulitan melakukan manajemen kelas dengan jumlah siswa yang

banyak

Kesulitan mengajak siswa berpikir kreatif

siswa ramai

siswa belum bisa mengajukan soal kebaruan

Kurikulum yang digunakan kurang sesuai dengan jucama sehingga

menjadi bingung

kurang pengarahan

Kesulitan mengarahkan siswa

Evaluasi bingung format penilaian

kesulitan untuk membedakan fleksibilitas dan kebaruan

banyak indikator yang harus dinilai

analisis indikator

Berdasarkan hasil wawancara yang telah dirangkum dalam tabel diatas, jelas bahwa pada

setiap tahap implementasi guru masih mengalami kesulitan. Pada tahap persiapan, sebagian

besar guru merasa kesulitan saat membuat soal-soal open-ended yang dapat merangsang siswa

untuk berpikir kreatif. Selain itu, guru masih merasa kesulitan dalam membuat RPP hal ini

disebabkan oleh kurangnya bimbingan dalam pembuatan perangkat pembelajaran JUCAMA.

Pada tahap pelaksanaan, guru merasa kesulitan mengatur kelas dengan jumlah siswa yang

banyak, akibatnya kelas menjadi ramai. Disamping itu, guru dan siswa juga belum terbiasa

Page 74: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

176 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2

untuk melaksanakan dan mengikuti pembelajaran yang melibatkan kemampuan mengajukan

masalah. Pada saat evaluasi atau penilaian kesulitan utama guru adalah tentang perbedaan cara

penilaian dibandingkan dengan penilaian yang telah dilakukan guru sebelumnya, baik berupa

format penilaian maupun indikator yang dinilai. Terkait dengan indikator, jumlah indikator yang

lebih banyak membuat guru kesulitan dalam membedakan indikator-indikator yang muncul,

terutama indikator kebaruan dimana guru belum pernah mangevaluasi indikator ini sebelumnya.

Keyakinan guru dalam penggunaan model JUCAMA untuk meningkatkan kemampuan

berpikir kreatif siswa juga diungkap melalui wawancara. Hasil tersebut dapat dilihat pada Tabel

3 berikut ini.

Tabel 3. Keyakinan guru terhadap penerapan JUCAMA

Terlihat dari tabel bahwa lebih dari 50% guru yakin bahwa JUCAMA dapat meningkatkan

kemampuan berpikir kreatif siswa. Keragu-raguan muncul dengan persentase 26,92% dari

jumlah guru yang diwawancara. Hal ini dapat dilihat dari jawaban guru dimana mereka percaya

JUCAMA bisa meningkatkan kreativitas siswa tetapi masih perlu dilatihkan lagi baik pada guru

dan siswa. Kurang dari 20% guru tidak yakin dengan penerapan JUCAMA.

Pembahasan Hasil Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui respon guru terhadap pembelajaran

JUCAMA yang terbilang baru bagi guru. Respon masuk dalam kategori “positif” jika ≥ 50%

dari seluruh butir pernyataan pada angket masuk dalam kriteria baik atau sangat baik. Terlihat

dari tabel 1, tahap perencanaan, tahap evaluasi dan tingkat keyakinan guru mendapat respon

“baik”, sedangkan tahap pelaksanaan mendapat respon “sangat baik”. Ditinjau dari kategori

respon secara keseluruhan, lebih dari 50% pernyataan mendapat respon baik atau sangat baik.

Artinya guru memberikan respon positif terhadap penerapan model JUCAMA untuk

meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa.

Meskipun guru memberikan respon positif terhadap pembelajaran dengan menggunakan

JUCAMA, tak dapat dipungkiri bahwa masih ada kendala-kendala dalam penerapannya. Guru

merasa kendala utama dalam proses persiapan adalah kurangnya pelatihan yang diberikan

sehingga guru masih kesulitan dalam pembuatan perangkat pembelajaran. Meskipun RPP yang

digunakan hanya merupakan pengembangan dari RPP yang biasa guru gunakan, penyesuaian

tujuan dan langkah-langkah pembelajaran menggunakan JUCAMA pun masih memerlukan

Tingkat Keyakinan Persentase

Yakin 53,85%

Ragu-ragu 26,92%

Tidak Yakin 19,23%

Page 75: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 177

bimbingan. Selain itu, kesulitan juga dihadapi guru saat pembuatan perangkat lain yaitu berupa

soal-soal dalam LKS maupun lembar evaluasi. Guru masih belum mengerti bagaimana cara

membuat soal open-ended yang dapat digunakan untuk mengukur kemampuan berpikir kreatif

siswa.

Selanjutnya, meskipun pada tahap pelaksanaan respon sangat baik ditunjukkan oleh guru,

masih ada kendala yang dihadapi guru terutama terkait dengan waktu dan manajemen kelas.

Langkah pembelajaran JUCAMA yang berbeda dari pembelajaran yang biasa guru lakukan

memerlukan waktu yang lebih lama. Ditambah lagi dengan kenyataan dimana guru dan siswa

sama-sama belum terbiasa dengan model pembelajaran baru sehingga masih perlu bimbingan

dalam melaksanakan proses pembelajaran. Terkait dengan manajemen kelas, perubahan susunan

klasik menjadi berkelompok dengan jumlah siswa yang banyak (mayoritas, jumlah siswa setiap

kelas lebih dari 30 orang) membuat guru kesulitan memonitor secara menyeluruh sehingga

dipertengahan proses pembelajaran kelas menjadi ribut. Selain itu, ditinjau dari kemampuan

siswa, siswa baru pertama kali mengikuti pembelajaran yang melibatkan kemampuan

mengajukan/membuat soal sehingga mereka masih sulit saat diminta untuk membuat soal yang

berkaitan dengan materi yang sedang dipelajari. Ditambah lagi dengan 3 indikator kreativitas

(kefasihan, fleksibilitas dan kebaruan) yang diharapkan muncul pada jawaban siswa, ternyata

siswa masih belum memunculkan kebaruan pada pengajuan masalah.

Evaluasi hasil kerja siswa pada pembelajaran JUCAMA meliputi analisis ketuntasan

belajar dan kemampuan berpikir kreatif siswa. Guru biasa melakukan analisis ketuntasan belajar

siswa, namun evaluasi kemampuan berpikir kreativitas siswa merupakan pengalaman baru bagi

guru-guru tersebut dan disinilah kendala dihadapi. Guru mengaku masih bingung dengan format

penilaian yang diberikan. Jumlah indikator yang lebih banyak (3 indikator) membuat guru

kesulitan dalam menentukan indikator apa saja yang muncul dalam jawaban siswa. Masalah lain

terkait dengan pemahaman guru terhadap 3 indikator kreativitas. Guru mengaku mengerti secara

teori apa yang dimaksud dengan indikator-indikator tersebut, namun ketika dihadapkan dengan

jawaban siswa masih sulit membedakan antara fleksibilitas dan kebaruan.

Keyakinan guru terhadap suatu model pembelajaran menentukan keberlangsungan

penerapan model tersebut dalam kegiatan belajar mengajar di kelas. Selain itu, keyakinan

tersebut dapat merepresentasikan pencapaian tujuan dari penerapan suatu model pembelajaran.

Berdasarkan data yang telah dituliskan dalam Tabel 3, terlihat bahwa lebih dari 50% guru yakin

bahwa JUCAMA dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa, meskipun masih ada

sebagian yang menjawab ragu-ragu. Keragu-raguan itu muncul karena kurangnya pelatihan

yang diterima oleh para guru sehingga guru merasa belum maksimal dalam penerapan model

JUCAMA di kelas. Guru juga merasa siswa masih perlu dilatihkan untuk berpikir kreatif

sehingga kreativitas siswa dalam mengerjakan tugas dari guru bisa keluar secara maksimal.

Page 76: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

178 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2

Simpulan dan Saran

Berdasarkan pertanyaan penelitian yang diajukan, dapat disimpulkan bahwa guru

memberikan respon “positif” dalam kaitannya dengan kemampuan merencanakan dan

menerapkan JUCAMA serta mengevaluasi kemampuan berpikir kreatif siswa. Berdasarkan hasil

analisis angket, lebih dari 50% guru yakin bahwa pembelajaran dengan menggunakan model

JUCAMA dapat meningkatkan kemampuan berikir kreatif siswa namun masih perlu banyak

pelatihan.

Kendala-kendala selalu muncul pada saat mencoba hal baru, termasuk penerapan suatu

model pembelajaran. Kendala yang muncul disini terkait kurangnya pelatihan yang diberikan

kepada guru sebelum implementasi di kelas. Ditambah lagi dengan keadaan dimana guru dan

siswa yang masih belum terbiasa dengan model JUCAMA membuat alokasi waktu yang

diperlukan lebih lama.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, disarankan agar model pembelajaran

JUCAMA ini dapat diterapkan untuk pembelajaran materi atau mata pelajaran lain sehingga

kemampuan berpikir kreatif siswa lebih terlatih. Dan juga, siswa akan terbiasa mengerjakan

soal-soal terbuka atau bahkan mampu mengajukan masalah/soal terbuka

Daftar Pustaka

Mahmudi, Ali. 2010. Mengukur Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis. Makalah Disajikan

Pada Konferensi Nasional Matematika XV UNIMA Manado, 30 Juni – 3 Juli 2010

Papola, C. 2005. Teaching of Mathematics. New Delhi: Anmol Publication

Polya, George. 1973. How To Solve It. New Jersey: Princeton University Press

Siswono, Tatag Yuli Eko, dan Budayasa, I Ketut. 2006 Implementasi Teori Tentang Tingkat

Berpikir Kreatif Dalam Matematika. Makalah dipresentasikan pada Seminar Konferensi

Nasional Matematika XIII dan Konggres Himpunan Matematika Indonesia di Jurusan

Matematika FMIPA Universitas Negeri Semarang, 24-27 Juli 2006

Siswono, Tatag Yuli Eko. 2008. Model Pembelajaran Matematika Berbasis Pengajuan dan

Pemecahan Masalah Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif. Surabaya:

Unesa University Press

Siswono, Tatag Yuli Eko. 2011. Pembelajaran Matematika Berbasis Pengajuan dan

Pemecahan Masalah (JUCAMA) untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif

Siswa. Makalah dipresentasikan pada Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan

Matematka 2011 di Universitas Negeri Surabaya, 22 Oktober 2011

.

Page 77: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 179

ANALISIS KETERAMPILAN GEOMETRI SISWA DALAM MEMECAHKAN

MASALAH GEOMETRI BERDASARKAN TINGKAT BERPIKIR VAN HIELE

(Studi Kasus pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri 16 Surakarta Tahun Ajaran

2013/2014)

Imam Sujadi1, Nur’aini Muhassanah

2

1) Dosen Pendidikan Matematika FKIP UNS

2) Mahasiswa Program Pascasarjana Pendidikan Matematika UNS

Email: 1)

[email protected], 2)

[email protected]

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan keterampilan geometri siswa kelas VIII

SMP Negeri 16 Surakarta dalam memecahkan masalah geometri berdasarkan tingkat berpikir van Hiele.

Sejalan dengan tujuan penelitian maka penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan

prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan.Subyek

penelitian ini adalah siswa kelas VIII SMP N 16 Surakarta tahun ajaran 2013/2014.

Hasil penelitian dapat diketahui keterampilan geometri siswa dalam memecahkan masalah

geometri sebagai berikut, siswa tingkat 0 (visualisasi) pada keterampilan visual (visual skill), siswa hanya

bisa menentukan jenis bangun datar segiempat berdasarkan penampilan bentuknya, dan dalam

menjelaskan sifat-sifat bangun segiempat berdasarkan gambar tidak dapat secara spesifik lebih terfokus

pada banyaknya sisi, dan banyaknya sudut; keterampilan verbal (descriptive skill), siswa dapat

mengelompokkan nama yang benar untuk gambar-gambar segiempat yang diberikan, belum dapat

mendefinisikan suatu bangun segiempat berdasarkan sifat-sifat yang dimiliki karena sifat yang dijelaskan

meliputi ukuran sudut, ukuran sisi, dan kesejajaran sisi, dan belum bisa membedakan antara segiempat

yang satu dengan yang lain karena sifat yang dijelaskan sama antara segiempat; keterampilan

menggambar (drawing skill), siswa hanya mampu membuat sebuah segiempat dengan pelabelan tetapi

tidak mampu mengkonstruksi gambar sesuai dengan ciri-ciri dan sifat-sifat yang diberikan seperti dua

garis yang saling tegak lurus dan menentukan suatu titik dalam sebuah garis; keterampilan logika (logical

skill), subyek dapat memahami konservasi bentuk gambar segiempat dalam berbagai posisi dengan

menyebutkan jenis masing-masing gambar, dan menyadari adanya persamaan dari beberapa gambar

segiempat yaitu sama- sama berbentuk segiempat; dan keterampilan terapan (applied skill), siswa dapat

menghubungkan informasi (objek fisik) yang diberikan dan mengembangkannya dalam model geometri

(tanpa menggunakan skala), dapat menjelaskan sifat geometri dari benda-benda fisik.

Selanjutnya keterampilan geometri siswa tingkat 1 (analisis) pada keterampilan visual (visual

skill), siswa hanya bisa menentukan jenis bangun datar segiempat berdasarkan penampilan bentuknya dan

sifat-sifat yang dimiliki, dalam menjelaskan sifat-sifat bangun segiempat berdasarkan gambar dapat

menjelaskan secara spesifik yang meliputi banyaknya sisi, ukuran sisi, ukuran sudut, kesejajaran sisi, dan

hubungan antara dua sudut yang berhadapan sama besar; keterampilan verbal (descriptive skill), siswa

dapat menggambarkan/ mendefinisikan suatu bangun segiempat berdasarkan sifat-sifat yang dimiliki

mulai dari banyaknya sisi, ukuran sisi, ukuran sudut, banyaknya sudut, kesejajaran sisi; keterampilan

menggambar (drawing skill), siswa mampu mengkonstruksi gambar sesuai dengan ciri-ciri dan sifat-sifat

yang diberikan seperti dua garis yang saling sejajar, dua garis yang saling tegak lurus dan menentukan

suatu titik dalam sebuah garis, dan mampu membangun gambar segiempat lain yang berkaitan dengan

gambar segiempat yang diberikan dan bisa menjelaskan sifat-sifat dari segiempat tersebut mulai dari

ukuran sisi; keterampilan logika (logical), siswa menyadari adanya persamaan dari beberapa gambar

segiempat mulai dari sama-sama berbentuk segiempat dan banyaknya sisi, dan dapat menyebutkan

perbedaan segiempat dan menyadari bahwa sifat dapat digunakan untuk membedakan jenis segiempat,

mulai dari ukuran sisi, ukuran sudutnya dan banyaknya sisi yang sejajar; keterampilan terapan (applied

skill), siswa dapat menggunakan model geometri dalam pemecahan masalah.

Kemudian keterampilan geometri siswa tingkat 2 (deduksi informal) pada keterampilan visual

(visual skill), siswa dalam menjelaskan sifat-sifat bangun segiempat berdasarkan gambar dapat

menjelaskan secara spesifik yang meliputi banyaknya sisi, ukuran sisi, kesejajaran sisi, ukuran sudut,

hubungan antara dua sudut yang berhadapan sama besar, banyaknya sudut, dan hubungan antara sudut

yang berdekatan jumlahnya 180o, dapat menjelaskan keterkaitan antara berbagai jenis gambar segiempat

berdasarkan sifat-sifat yang dimiliki masing-masing gambar, dan mengakui sifat umum dari berbagai

jenis gambar segiempat dengan memilah mana yang masuk ke dalam sifat umum atau bukan;

keterampilan verbal (descriptive skill), siswa dapat menggambarkan/ mendefinisikan suatu bangun

segiempat berdasarkan sifat-sifat yang dimiliki mulai dari banyaknya sisi, ukuran sisi, ukuran sudut,

Page 78: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

180 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2

banyaknya sudut, kesejajaran sisi, dan hubungan antara dua sudut yang berhadapan sama besar, hubungan

antara sudut yang berdekatan jumlah sudutnya 180o, dan dapat merumuskan kalimat yang menunjukkan

keterkaitan antara bangun segiempat berdasarkan sifat umum yang dimiliki oleh segiempat-segiempat

tersebut; keterampilan menggambar (drawing skill), siswa mampu membangun gambar segiempat lain

yang berkaitan dengan gambar segiempat yang diberikan bahkan mampu membuat garis bantu untuk

membentuk segiempat yang baru, dan dapat menjelaskan sifat-sifat yang dimiliki gambar segiempat yang

dibentuknya itu; keterampilan logika (logical skill), siswa dapat menggunakan sifat-sifat dari suatu

gambar segiempat untuk menentukan suatu kelas segiempat terkandung di dalam jenis kelas segiempat

yang lain; dan keterampilan terapan (applied skill), siswa dapat menghubungkan informasi (objek fisik)

yang diberikan dan mengembangkannya dalam model geometri (dengan menggunakan skala), dan dapat

menggunakan konsep model matematika yang mewakili hubungan antara objek.

Kata kunci: Keterampilan Geometri, Tingkat Berpikir van Hiele, Pemecahan Masalah.

PENDAHULUAN

Pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) ada beberapa kompetensi yang

harus ditunjukkan pada hasil belajar siswa dalam mata pelajaran matematika, salah satu

kompetensi tersebut adalah pemecahan masalah.Secara umum untuk memecahkan masalah

matematika, siswa bisa menggunakan beberapa strategi-strategi.Untuk beberapa kasus tertentu

memerlukan keterampilan khusus untuk pelaksanaan rencana dalam pemecahan masalah.Seperti

pada permasalahan geometri, keterampilan geometri siswa dapat mempengaruhi keberhasilan

pelaksanaan rencana dalam pemecahan masalah (Polya). Keterampilan geometri yang dimaksud

adalah keterampilan siswa dalam belajar geometri yang menurut Hoffer (1981) terdiri dari 5

keterampilan, yaitu: (1) keterampilan visual (visual skill), (2) keterampilan verbal (descriptive

skill), (3) keterampilan menggambar (drawing skill), (4) keterampilan logika (logical skill), dan

(5) keterampilan terapan (applied Skill).

Dalam mempelajari geometri siswa membutuhkan suatu konsep yang matang sehingga

siswa mampu menerapkan keterampilan dasar geometri yang dimiliki seperti menvisualisasikan,

mengenal bermacam-macambangun datar dan ruang, mendeskripsikan gambar, menyeketsa

gambarbangun, melabel titik tertentu, dan kemampuan untuk mengenal perbedaan dan

kesamaan antar bangun geometri. Selain itu, di dalam memecahkan masalah geometri

dibutuhkan pola berpikir dalam menerapkan konsep dan keterampilan dalam memecahkan

masalah tersebut.Tetapi dalam kenyataannya siswa-siswa masih mengalami kesulitan dalam

mempelajari dan memecahkan soal-soal geometri.Hal ini ditunjukan dari beberapa hasil

penelitian.

Penelitian tentang pengajaran geometri di sekolah sudah banyak dilakukan. Clements

dan Battista (dalam Budiarto, 2002) melakukan penelitian pada siswa SMP kelas VII

mengemukakan temuannya bahwa : (1) hanya 64% dari sejumlah 52 siswa yang mengetahui

bahwa persegipanjang merupakan jajar genjang; (2) 50% dari sejumlah siswa tidak menyukai

masalah pembuktian; (3) siswa lebih baik menyelesaikan permasalahan geometri yang disajikan

secara visual dibanding secara verbal. Selain itu, seperti yang diungkapkan Sehatta Saragih

(2003) dalam penelitiannya pada siswa SMP kelas VII mengungkapkan bahwa berdasarkan

penelitian tersebut diperoleh fakta bahwa secara umum siswa belum memiliki kemampuan yang

Page 79: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 181

baik mengenai sifat-sifat yang dimiliki oleh setiap jenis segitiga sehingga belum bisa

mengklasifikasikan suatu objek segitiga dalam hal ini klasifikasi jenis segitiga sama kaki, sama

sisi, dan siku-siku. Secara umum pengetahuan siswa tentang contoh dan bukan contoh dari

konsep segitiga hanya sebatas yang diberikan oleh guru pada saat pembelajaran. Siswa tidak

mengetahui bahwa suatu konsep segitiga sama sisi, sama kaki, dan siku-siku dapat dimodelkan

dalam bentuk yang bermacam-macam.

Dari penelitian-penelitian yang telah dijelaskan di atas dapat disimpulkan bahwa

kemampuan geometri siswa masih relatif rendah.Rendahnya kemampuan geometri ini

dimungkinkan oleh pemahaman konsep dan keterampilan geometri siswa dalam pemecahan

masalah geometri masih lemah. Penyebab lainnya adalah perlakuan yang diberikan oleh guru

(model, metode, maupun pendekatan pembelajaran yang digunakan guru) cenderung sama

untuk setiap siswa, padahal siswa memiliki cara belajar dan berfikir yang berbeda-beda.

Menurut Mulyana (2003) pengajaran geometri yang baik harus sesuai dengan kemampuan anak.

Kemampuan anak dapat dilihat dari proses berpikir dan penerapan keterampilan dalam

pemecahan masalah geometri. Penerapan teori van Hiele diyakini dapat mengatasi kesulitan

siswa dalam pemecahan masalah dalam geometri.Hal ini disebabkan karena teori van Hiele

menjelaskan perkembangan berpikir siswa dalam belajar geometri. Berdasarkan teori van Hiele,

tingkat berpikir siswa terbagi menjadi lima tingkat (level) yaitu, tingkat 0 (visualisasi), tingkat 1

(analisis), tingkat 2 (deduksi informal), tingkat 3 (deduksi formal), dan tingkat 4 (rigor).

Dalam setiap tingkat berpikir van Hiele juga dibutuhkan keterampilan-keterampilan

dasar dalam memecahkan masalah geometri yang berbeda-beda. Misalnya, untuk tingkat 0

(visualisasi) dan tingkat 1 (analisis) dilihat dari keterampilan verbal (verbal skill) mempunyai

karakteristik yang berbeda, yaitu: untuk tingkat 0 (visualisasi) siswa hanya mampu

mengelompokkan gambar segiempat dan memberikan nama jenis segiempat tersebut, sedangkan

untuk tingkat 1 (analisis) siswa sudah dapat secara akurat menjelaskan sifat berbagai gambar

segiempat. Berdasarkan penjelasan itu terlihat bahwa keterampilan geometri yang dimiliki siswa

dalam memecahkan masalah geometri berkaitan dengan tingkat berpikir van Hiele yang terdiri

dari 5 tingkatan yang mempunyai karakteristik keterampilan geometri yang berbeda-beda.

Untuk itu perlu dilakukan penelitian keterampilan geometri siswa dalam memecahkan

masalah geometri berdasarkan tingkat berpikir van Hiele. Dengan mengetahui karakteristik

keterampilan geometri siswa dalam memecahkan masalah geometri untuk masing-masing

tingkat berpikir van Hiele siswa di kelasnya, seorang guru diharapkan mempunyai referensi

untuk mengambil keputusan dalam memilih model dan media pembelajaran yang tepat bagi

siswanya.

Page 80: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

182 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2

KETERAMPILAN GEOMETRI

Menurut Hoffer (1981), keterampilan geometri dalam memecahkan masalah geometri

merupakan prasyarat untuk mempelajari konsep-konsep dalam geometri khususnya pada materi

bangun datar. Hoffer juga mengemukakan bahwa ada lima keterampilan geometri dalam

memecahkan masalah geometri, yaitu:

1) Keterampilan Visual (Visual Skill)

Hoffer (1981: 11) memberikan penjelasan tentang keterampilan visual seperti di bawah

ini:

“Visual skill, including the ability to: recognize various plane and space figures; observe

parts of a given figure and their interrelations; identify centres, axes, and planes of

symmetry of given figure; classify given figures by their observable characteristic; deduce

further information from visual observations; and visualize the geometric representations

(models), or counter-example, which are implied by given data in a given deductive

mathematical system.”

Kutipan di atas dapat diartikan bahwa keterampilan visual adalah yaitu meliputi

kemampuan untuk mengenal bermacam-macambangun datar dan ruang, mengamati bagian-

bagian dari sebuahbangun dan keterkaitan bagian satu dengan bagian yang lain,

menunjukkanpusat simetri, sumbu simetri, dan bidang simetri dari sebuah gambar

bangun,mengklasifikasikan bangun-bangun geometri menurut ciri-ciri yang

teramati,menyimpulkan informasi lanjut berdasarkan pengamatan visual,

dan memvisualisasikan model geometri, atau contoh-contoh penangkal yangdinyatakan secara

implisit oleh data dalam suatu sistem matematika deduktif.

2) Keterampilan Verbal (Deskriptive Skill)

Hoffer (1981: 12) mengemukakan penjelasan terkait keterampilan verbal sebagai

berikut:

“Verbal skills, including the ability to: identify various figures by name; visualize figures

from verbal descriptions of them; describe given figures and their properties; formulate

proper definitions of the words used; describe relationships among given figures, recognize

the logical structure of verbal problems; and formulate statements of generalization and of

abstractions.”

Kutipan di atas dapat diartikan bahwa keterampilan verbal, meliputi kemampuan untuk

menunujukkan bermacam-macam bangun geometri menurut namanya. Memvisualisasikan

bangun geometrimenurut deskripsi verbalnya, mengungkapkan bangun geometri dan sifat-

sifatnya,merumuskan definisi dengan tepat dan benar, mengungkapkanhubungan antar bangun,

mengenali struktur logis dari masalah verbal, danmerumuskan pernyataan generalisasi dan

abstraksi.

3) Keterampilan Menggambar (Drawing Skill)

Hoffer (1981: 12) memberikan penjelasan tentang keterampilan menggambar seperti di

bawah ini:

Page 81: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 183

“Drawing skills, including the ability to: sketch given figure and label spesified points;

sketch figure from their verbal descriptions; draw or construct figure with given properties;

construct figures having a specified relation to given figures; sketch plane secauxiliary

elements to figures; recognize the role (and limitations) of sketches and constructed figures;

and sketch of construct geometric models or counter-example.”

Kutipan di atas dapat diterjemahkan bahwa keterampilan menggambar, meliputi

kemampuan untuk menyeketsa gambarbangun dan melabel titik tertentu, mensketsa gambar

bangun menurutdeskripsi verbalnya, menggambar atau mengkonstruksi gambar

bangunberdasarkan sifat-sifat yang diberikan, mengkonstruksi gambar bangun yangmempunyai

kaitan tertentu dengan gambar-gambar yang telah diberikan, mensketsa bagian-bagian bidang

dan interaksi gambar-gambar bangun yangdiberikan, menambahkan unsur-unsur tambahan yang

berguna pada sebuahgambar bangun, mengenal peranan (keterbatasan) sketsa dan gambar

bangunyang terkonstruksi, dan mensketsa atau mengkonstruksi model geometri ataucontoh

penyangkal.

4) Keterampilan Logika (Logical Skill)

Hoffer (1981: 12-13) mengemukakan penjelasan terkait keterampilan logika sebagai

berikut:

“Logical skills, including the ability to; recognize differences and similarities among given

figures; recognize the figures can be classified by their properties; determine whether or

not a given figures belong to a specified class; understand ang apply the describle

properties of definitions; identify the logical consequences of given data; develop logical

proofs; and recognize the role and limitations of deductive methods.”

Kutipan di atas dapat diterjemahkan bahwa keterampilan logika, meliputi kemampuan

untuk mengenal perbedaan dankesamaaan antar bangun geometri, mengenal bangun geometri

yang dapatdiklasifikasikan menurut sifat-sifatnya, menentukan apakah sebuah gambar masuk

atau tidak masuk dalam kelas tertentu, memahami dan menerapkansifat-sifat penting dari

definisi, menujukkan akibar-akibat logis dari data-datayang diberikan, mengembangkan bukti-

bukti yang logis, dan mengenalperanan dan keterbatasan metode deduktif.

5) Keterampilan Terapan (Applied Skill)

Hoffer (1981: 13) memberikan penjelasan tentang keterampilan terapan seperti di

bawah ini:

“Applied skills, including the ability to: recognize phisical models of geometric figures;

sketch or construct geometric models of phisical objects; use properties of geometric model

to conjecture properties of the usefulness of geometric model for natural phenomena, sets of

element in the phisical sciences and sets of elements in the social sciences; ang use

geometric models in problem solving.”

Kutipan di atas dapat diartikan sebagai keterampilan terapan, meliputi kemampuan

untuk mengenal model fisik daribangun geometri. Mensketsa atau mengekonstruksi model

geometriberdasarkan objek fisiknya, menerapkan sifat-sifat dari model geometri padasifat-sifat

dari objek fisik, mengembangkan model-model geometri untukfenomena alam, himpunan

Page 82: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

184 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2

elemen di IPA dan himpunan elemen di IPS, danmenerapkan model-model geometri dalam

pemecahan masalah.

TINGKAT (LEVEL) BERPIKIR VAN HIELE

Pembelajaran geometri (Euclides) di jenjang pendidikan dasar dan pendidikan

menengah sekarang ini sejalan juga dengan perkembangan berpikir geometri menurut model

van Hiele (Soemaadi, 1994: 10). Van Hiele adalah seorang guru matematika berkebangsaan

Belanda yang pada tahun 1954 menulis disertasi tentang pembelajaran geometri. Disertasi

tersebut ditulis berdasarkan hasil penelitian di lapangan melalui observasi dan tanya jawab.

Kesimpulan yang diperoleh oleh van Hiele adalah bahwa terdapat lima tingkat berpikir geometri

secara urut yaitu: secara visual, analysis, informal-deduction, deduction, ke rigor.

National Council of Teachers of Mathematics (NCTM) (1989) merekomendasikan

pengajaran geometri di sekolah-sekolah di Amerika dikonsentrasikan pada tingkat 0 dan tingkat

1, dan beberapa kegiatan dirancang untuk untuk tingkat 2, model van Hiele (Holmes, 1995:

333). Ini didasarkan dari sejumlah penelitian pendidikan matematika yang menerapkan teori

dari vah Hiele tersebut.

Menurut model Piaget dalam diri seorang anak terbentuk konsep ruang geometri

Euclides secara alami, jika ia mempelajari dulu hubungan-hubungan sederhana yang bersifat

topologis, dilanjutkan dengan yang bersifat proyektif, baru yang bersifat Euclides (Geddes dan

Fortunato, 1993: 200). Sedangkan menurut model van Hiele, tingkat-tingkat yang berkaitan

dengan perkembangan berpikir seorang anak agar dapat memahami geometri dalam 5 tingkat,

yaitu tingkat 0: visualization, tingkat 1: analysis, tingkat 2: informal-deduction, tingkat 3:

deduction, dan tingkat 4: rigor (Suydam, 1983: 100; Geddes dan Fortunato, 1993: 202; Holmes,

1995: 332-333).

KETERAMPILAN GEOMETRI BERDASARKAN TINGKAT BERPIKIR VAN HIELE

Meurut Hoffer (1981), keterampilan geometri siswa dalam memecahkan masalah

geometri terdiri dari 5 keterampilan. Dia juga menjelaskan tentang keterampilan geometri

memecahkan masalah geometri menurut tingkat berpikir van Hiele pada indikator yang berada

pada Tabel 2.2 di bawah ini:

Tabel 2.2 Indikator Keterampilan Geometri dalam Memecahkan Masalah Geometri berdasarkan

Tingkat (level) berpikir van Hiele

Tingkat

Skill

Tingkat 0 Tingkat 1 Tingkat 2 Tingkat 3 Tingkat 4

Page 83: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 185

Visual

(a)

Dapat

mengenali

bentuk

gambar

yang

berbeda dari

beberapa

gambar dan

mengenali

informasi

label yang

tertulis pada

gambar. (0a)

Dapat

memberitahua

n sifat-sifat

dalam gambar.

mengidentifik

asi gambar

sebagai bagian

dari gambar

yang lain. (1a)

Dapat

mengakui

keterkaitan

antara

berbagai jenis

gambar

dengan

mengakui sifat

umum dari

berbagai jenis

gambar. (2a)

Menggunaka

n informasi

dari gambar

untuk

menarik

kesimpulan

dan informasi

lebih lanjut.

(3a)

Mengenali

asumsi-asumsi

yang tidak

tepat yang

dibuat

menggunakan

gambar.

Memahami

gambar-

gambar yang

saling

berkaitan

dalam sistem

deduksi. (4a)

Verbal

(b)

Dapat

mengelomp

okkan nama

yang benar

untuk

gambar

yang

diberikan

dan

menafsirkan

kalimat

yang

menjelaskan

gambar

tersebut.

(0b)

Dapat

menjelaskan

secara akurat

sifat berbagai

gambar. (1b)

Dapat

mendefinisika

n kata-kata

secara akurat

dan ringkas

untuk

merumuskan

kalimat yang

menunjukkan

keterkaitan

antara

gambar-

gambar

tersebut. (2b)

Dapat

memahami

perbedaan

diantara

definisi,

postulant/dali

l, dan

teorema-

teorema.

Mengenali

apa yang

diberikan

sebagai

masalah dan

diminta

dalam

masalah

tersebut. (3b)

Membentuk

pola yang

lebih luas dari

hasil-hasil

yang diketahui

dan

menggambark

an macam-

macam sistem

deduksi. (4b)

Drawin

g

(c)

Dapat

membuat

sketsa

gambar

Dapat

menerjemahka

n informasi

verbal yang

Gambar-

gambar

tertentu yang

diberikan

Mengenali

kapan dan

bagaimana

menggunaka

Memahami

batasan-

batasan dan

kemampuan-

Page 84: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

186 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2

akurat

dengan

pelabelan

bagian

tertentu.

(0c)

diberikan ke

dalam gambar.

Dengan

menggunakan

sifat yang

diberikan

gambar untuk

menggambar

atau

membangun

suatu gambar.

(1c)

mampu

membangun

gambar lain

yang berkaitan

dengan

gambar yang

diberikan. (2c)

n elemen

pembantu

dalam sebuah

gambar.

Menarik

kesimpulan

dari

informasi

yang

diberikan

untuk

menggambar

sebuah

bangun. (3c)

kemampuan

dari berbagai

alat gambar.

Dari berbagai

macam

gambar

mampu

menjelaskan

konsep/gagasa

n yang tidak

standar dalam

berbagai

macam sistem

deduktif. (4c)

Logical

(d)

Dapat

menyadari

ada

perbedaan

dan

kesamaan

antara

gambar.

memahami

konservasi

bentuk

gambar

dalam

berbagai

posisi. (0d)

Dapat

memahami

bahwa gambar

dapat

diklasifikasika

n ke dalam

jenis yang

berbeda.

menyadari

bahwa sifat

dapat

digunakan

untuk

membedakan

gambar. (1d)

Dapat

menggunakan

sifat-sifat

gambar untuk

menentukan

apakah satu

kelas gambar

yang

terkandung di

kelas lain. (2d)

Dapat

menggunaka

n aturan-

aturan yang

masuk akal

untuk

membangun

bukti-bukti

dan dapat

mengambil

kesimpulan

dari

informasi-

informasi

yang

diberikan.

(3d)

Dapat

memahami

batasan-

batasan dan

kemampuan-

kemampuan

dari asums-

asumsi dan

postulat-

postulat yang

ada.

Mengetahui

kapan sebuah

sistem dari

postulat

bersifat

independen,

konsisten, dan

dapat

dikelompokka

n. (4d)

Page 85: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 187

METODE PENELITIAN

Berdasarkan tujuan yang akan dicapai pada penelitian ini, maka bentuk penelitian yang

digunakan merupakan penelitian kualitatif. Menurut Bodgan dan Taylor (dalam Moleong, 2009:

4) penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa

kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Penelitian

deskriptif kualitatif ini menggunakan data kualitatif untuk mendeskripsikan secara jelas dan

terperinci mengenai keterampilan geometri siswa dalam memecahkan masalah geometri

berdasarkan tingkat (level) berpikir van Hiele. Subyek penelitian adalah 9 siswa kelas VIII SMP

Negeri 16 Surakarta tahun ajaran 2013/2014.

Pemilihan subyek penelitian dilakukan dengan pemberian tes penempatan untuk

mengkategorikan siswa ke dalam tingkat berpikir van Hiele kepada 28 siswa.Dan hasil dari tes

tersebut adalah terbagi siswa ke dalam tiga kategori yaitu kategori tingkat 0 (visualisasi), tingkat

1 (analisis), dan tingkat 2 (deduksi informal).Dari masing-masing kategori tersebut dilakukan

teknik clustering sehingga terpilih 3 siswa pada masing-masing kategori yang menjadi subyek

penelitian.Setelah itu kesembilan subyek dilakukan wawancara brbasis tugas sebanyak dua kali

dalam waktu yang berbeda guna menguji kevalidan data yang diperoleh dengan menggunakan

triangulasi waktu.Selanjutnya, peneliti menyimpulkan keterampilan geometri siswa pada tingkat

0 (visualisasi), tingkat 1 (analisis), dan tingkat 2 (deduksi informal) berdasarkan data yang

diperoleh dan divalidasi.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan analisis data hasil penelitian, dapat diketahui keterampilan geometri

siswa dalam memecahkan masalah geometri sebagai berikut: Siswa tingkat 0 (visualisasi) pada

keterampilan visual (visual skill), siswa hanya bisa menentukan jenis bangun datar segiempat

berdasarkan penampilan bentuknya, dan dalam menjelaskan sifat-sifat bangun segiempat

berdasarkan gambar tidak dapat secara spesifik lebih terfokus pada banyaknya sisi, dan

banyaknya sudut; keterampilan verbal (descriptive skill), siswa dapat mengelompokkan nama

yang benar untuk gambar-gambar segiempat yang diberikan, belum dapat mendefinisikan suatu

bangun segiempat berdasarkan sifat-sifat yang dimiliki karena sifat yang dijelaskan meliputi

ukuran sudut, ukuran sisi, dan kesejajaran sisi, dan belum bisa membedakan antara segiempat

yang satu dengan yang lain karena sifat yang dijelaskan sama antara segiempat; keterampilan

menggambar (drawing skill), siswa hanya mampu membuat sebuah segiempat dengan pelabelan

tetapi tidak mampu mengkonstruksi gambar sesuai dengan ciri-ciri dan sifat-sifat yang diberikan

seperti dua garis yang saling tegak lurus dan menentukan suatu titik dalam sebuah garis;

keterampilan logika (logical skill), subyek dapat memahami konservasi bentuk gambar

segiempat dalam berbagai posisi dengan menyebutkan jenis masing-masing gambar, dan

menyadari adanya persamaan dari beberapa gambar segiempat yaitu sama- sama berbentuk

Page 86: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

188 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2

segiempat; dan keterampilan terapan (applied skill), siswa dapat menghubungkan informasi

(objek fisik) yang diberikan dan mengembangkannya dalam model geometri (tanpa

menggunakan skala), dapat menjelaskan sifat geometri dari benda-benda fisik.

Selanjutnya keterampilan geometri siswa tingkat 1 (analisis) pada keterampilan visual

(visual skill), siswa hanya bisa menentukan jenis bangun datar segiempat berdasarkan

penampilan bentuknya dan sifat-sifat yang dimiliki, dalam menjelaskan sifat-sifat bangun

segiempat berdasarkan gambar dapat menjelaskan secara spesifik yang meliputi banyaknya sisi,

ukuran sisi, ukuran sudut, kesejajaran sisi, dan hubungan antara dua sudut yang berhadapan

sama besar; keterampilan verbal (descriptive skill), siswa dapat menggambarkan/

mendefinisikan suatu bangun segiempat berdasarkan sifat-sifat yang dimiliki mulai dari

banyaknya sisi, ukuran sisi, ukuran sudut, banyaknya sudut, kesejajaran sisi; keterampilan

menggambar (drawing skill), siswa mampu mengkonstruksi gambar sesuai dengan ciri-ciri dan

sifat-sifat yang diberikan seperti dua garis yang saling sejajar, dua garis yang saling tegak lurus

dan menentukan suatu titik dalam sebuah garis, dan mampu membangun gambar segiempat lain

yang berkaitan dengan gambar segiempat yang diberikan dan bisa menjelaskan sifat-sifat dari

segiempat tersebut mulai dari ukuran sisi; keterampilan logika (logical), siswa menyadari

adanya persamaan dari beberapa gambar segiempat mulai dari sama-sama berbentuk segiempat

dan banyaknya sisi, dan dapat menyebutkan perbedaan segiempat dan menyadari bahwa sifat

dapat digunakan untuk membedakan jenis segiempat, mulai dari ukuran sisi, ukuran sudutnya

dan banyaknya sisi yang sejajar; keterampilan terapan (applied skill), siswa dapat menggunakan

model geometri dalam pemecahan masalah.

Kemudian keterampilan geometri siswa tingkat 2 (deduksi informal) pada

keterampilan visual (visual skill), siswa dalam menjelaskan sifat-sifat bangun segiempat

berdasarkan gambar dapat menjelaskan secara spesifik yang meliputi banyaknya sisi, ukuran

sisi, kesejajaran sisi, ukuran sudut, hubungan antara dua sudut yang berhadapan sama besar,

banyaknya sudut, dan hubungan antara sudut yang berdekatan jumlahnya 180o, dapat

menjelaskan keterkaitan antara berbagai jenis gambar segiempat berdasarkan sifat-sifat yang

dimiliki masing-masing gambar, dan mengakui sifat umum dari berbagai jenis gambar

segiempat dengan memilah mana yang masuk ke dalam sifat umum atau bukan; keterampilan

verbal (descriptive skill), siswa dapat menggambarkan/ mendefinisikan suatu bangun segiempat

berdasarkan sifat-sifat yang dimiliki mulai dari banyaknya sisi, ukuran sisi, ukuran sudut,

banyaknya sudut, kesejajaran sisi, dan hubungan antara dua sudut yang berhadapan sama besar,

hubungan antara sudut yang berdekatan jumlah sudutnya 180o, dan dapat merumuskan kalimat

yang menunjukkan keterkaitan antara bangun segiempat berdasarkan sifat umum yang dimiliki

oleh segiempat-segiempat tersebut; keterampilan menggambar (drawing skill), siswa mampu

membangun gambar segiempat lain yang berkaitan dengan gambar segiempat yang diberikan

bahkan mampu membuat garis bantu untuk membentuk segiempat yang baru, dan dapat

Page 87: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 189

menjelaskan sifat-sifat yang dimiliki gambar segiempat yang dibentuknya itu; keterampilan

logika (logical skill), siswa dapat menggunakan sifat-sifat dari suatu gambar segiempat untuk

menentukan suatu kelas segiempat terkandung di dalam jenis kelas segiempat yang lain; dan

keterampilan terapan (applied skill), siswa dapat menghubungkan informasi (objek fisik) yang

diberikan dan mengembangkannya dalam model geometri (dengan menggunakan skala), dan

dapat menggunakan konsep model matematika yang mewakili hubungan antara objek.

Dari hasil penelitian tersebut diperoleh karakteristik keterampilan geometri pada

masing-masing tingkat berpikir van Hiele yang berbeda-beda, dimana jika siswa berada pada

tingkat 2 (deduksi informal) berarti siswa tersebut juga menguasai keterampilan geometri pada

tingkat 1 (analisis) dan tingkat 0 (visualisasi), sedangkan siswa yang berada pada tingkat 1

(analisis) juga menguasai keterampilan geometri pada tingkat 0 (visualisasi) tetapi tidak

menguasai keterampilan geometri yang ada pada tingkat 2 (deduksi informal).

SARAN

Berdasarkan hasil penelitian ini, maka disarankan kepada guru-guru matematika dan

calon guru matematika untuk:

1. Menjadikan sebagai bahan referensi bagi guru dalam mengajar geometri, terutama dalam

menentukan cara mengajar yang tepat dan efektif sesuai dengan keterampilan geometri

(berdasarkan tingkat berpikir van Hiele) yang dimiliki oleh siswa.

2. Mengembangkan metode, strategi, maupun model peembelajaran yang mampu meningatan

keterampilan geometri siswa dalam belajar geometri berdasarkan hasil penelitian ini.

3. Menjadikan sebagai bahan referensi bagi guru dan calon guru untuk mengembangkan

penelitian sejenis yang berkaitan dengan keterampilan geometri siswa berdasarkan tingkat

berpikir van Hiele dalam memecahkan masalah geometri.

DAFTAR PUSTAKA

Abdussakir.2011. Pembelajaran Geometrid dan Teori Van Hiele. Tersedia di:

http://abdussakir.wordpress.com/2009/01/25/pembelajaran-geometri-dan teori

van-hiele/ [20 Februari 2013].

Mega Teguh Budiato. 2002. Bentuk Kesalahan Dalam Menyelesaikan Permasalahan

Geometri.Pusat Penelitian IKIP Surabaya.

Burger, W.F. & Shaughnessy, J.M. 1986. “Characterizing the van Hiele Levels of

Development in Geometry.”Journal for Research in Mathematics Education. Vol.17.1:

31- 48.

Crowley, Mary L. 1987. "The van Hiele Model of the Development of Geometric

Thought".Learning and TeachingGeometry, K-12,Yearbook of the National Council of

Teachers.

Page 88: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

190 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2

Departemen Pendidikan Nasional.2007. Kajian Kebijakan Kurikulum Mata Pelajaran

Matematika. Jakarta: Depdiknas.

Endang Mulyana. 2003. Masalah Ketidaktepatan Istilah dan Simbol dalam Geometri SLTA

Kelas 1 dalam file.upi.edu/…ENDANG_MULYANA/…/Psikologi_geometri. (diakses

pada 1 Maret 2013 pukul 12:23).

Hoffer, Allan. 1981. Geometry is More Than Proof.NCTM Journal. Vol. 74. 1. Januari

1981. NCTM.

Holmes, Emma E. 1995. New Directions in Elementary School Mathematics, Interactive

Teaching and Learning.Engglewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall, Inc.

Moleong, Lexy. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

Siregih Sehatta. 2002. “Profil Miskonsepsi Siswa SD Tentang Bangun Datar.” Forum

Kependidikan. Vol.23. (19-47).

Page 89: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 191

PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI SMP

DENGAN PENDEKATAN SAINS

DALAM IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013

Imam Sujadi, Bambang Sugiarto, Dwi Maryono

Dosen Pendidikan Matematika FKIP UNS

Abstrak

Pada periode 2010 sampai 2035, Indonesia dianugrahi “Bonus Demografi”,

yaitu jumlah penduduk usia produktif mencapai sekitar 70% populasi. Jika

usia produktif tersebut diisi oleh SDM berkualitas, bonus demografi tersebut

akan menjadikan Bangkitnya Generasi Emas Indonesia tahun 2045. Bila

tidak, bukan tidak mungkin yang akan terjadi nanti justru sebaliknya yaitu

bencana demografi.Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan

pembelajaran matematika kelas VII SMP dengan pendekatan

sains/pendekatan ilmiah (scientific approach), yang dapat meningkatkan

kemampuan pikir tindak efektif dan kreatif. Perangkat pembelajaran yang

dikembangkan dalam penelitian ini perangkat pembelajaran matematika

dengan pendekatan sains yang berupa prototipe model (berisi sintaks) beserta

perangkat pembelajaran berupa silabus, RPP, LKS, dan instrument penilaian.

Pengembangan perangkat dilakukan menggunakan model pengembangan 4-

D(model Thiagarajan) yang dimodifikasi terdiri dari tiga tahap, yaitu

pendefinisian (define), perancangan (design), dan pengembangan (develop)

melalui uji terbatas. Hasil penelitian ini adalah berupa model pembelajaran

matematika dengan pendekatan sains/pendekatan ilmiah dan perangkat

pembelajaran berupa silabus, RPP, LKS, dan instrumen penilaian yang

memenuhi kriteria valid, praktis, dan efektif.

Kata kunci: Bonus demografi, Pembelajaran Inovatif, Penilaian Otentik.

PENDAHULUAN

Bangsa Indonesia pada periode 2010 sampai 2035, dianugrahi “Bonus Demografi”

sebagai konsekwensi keberhasilan program Keluarga Berencan berupa perubahan struktur umur

penduduk, yaitu adanya peningkatan jumlah penduduk yang berada dalam usia produktif.

Sementara di sisi lain jumlah penduduk yang ada dalam usia non-produktif mengalami

penurunan. Bonus demografi ini sesungguhnya suatu kesempatan yang sangat langka, karena

dalam 10 hingga 30 tahun ke depan, Indonesia akan memasuki demographic window (jendela

demografi), dengan jumlah penduduk usia produktif mencapai sekitar 70% populasi. Jendela

demografi tersebut akan menjadi bonus demografi bila penduduk usia produktif tersebut

berkualitas. Bila tidak, bukan tidak mungkin yang akan terjadi nanti justru sebaliknya yaitu

bencana demografi.

Kekhawatiran akan terjadinya bencana demografi bukanlah sesuatu yang berlebihan.

Apa yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia saat ini mengindikasikan masyarakat yang

kurang berkualitas, intelektualitas dan budaya masyarakat Indonesia justru masih terbelakang.

Tumpuan harapan untuk masa depan Indonesia yang lebih baik adalah ada pada anak-anak dan

para remaja saat ini karena merekalah yang akan memimpin dan mengelola bangsa ini di masa

yang akan datang. Tugas yang harus diemban sekarang sebagai orang dewasa, khususnya para

pendidik, pewarta, dan pemuka agama serta orang-orang yang masih didengar dan diakui

integritasnya oleh masyarakat, ialah memandu anak-anak dan para remaja, termasuk mereka

Page 90: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

192 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2

yang baru memasuki usia dewasa muda, ke arah yang diidamkan, menuju kehidupan bangsa

yang cerdas. Oleh karena itu, perlu disiapkan akses seluas-luasnya kepada seluruh anak bangsa

untuk memasuki dunia pendidikan,

Pemerintah sedang mengimplementasikan kurikulum 2013 sebagai pengembangan dari

KTSP. Dalam naskah kurikulum 2013 dinyatakan bahwa proses pembelajaran yang semula

terfokus pada kegiatan eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi, pada kurikulum 2013 proses

pembelajaran tersebut dilengkapi menggunakan pendekatan sains / pendekatan ilmiah (scientific

approach), yaitu proses pembelajaran yang diarahkan agar siswa melakukan kegiatan

mengamati, menanya, mencoba, mengolah, menyajikan, menyimpulkan, dan

mencipta(Depdikbud : 2013).

Guru merupakan ujung tombak yang berperan utama dalam mencetak sumber daya

manusia yang berbobot yang mampu bersaing pada zamannya melalui proses pembelajaran

yang bermutu. Perubahan kurikulum tidak akan punya makna yang signifikan untuk

peningkatan mutu pendidikan tanpa peran Guru dalam pengimplementasian kurikulum tersebut.

Guru senantiasa dituntut untuk dapat merespon perubahan kurikulum dengan memahami

landasan filosofis kenapa kurikulum tersebut berubah. Agar pelaksanaan kurikulum baru

tersebut sesuai dengan landasan filosofis tentang perubahan kurikulum tersebut, maka guru

dituntut mampu menggunakan model, pendekatan, metoda maupun strategi yang tepat untuk

keberhasilan pembelajaran berdasar kurikulum baru tersebut. Untuk itu dibutuhkan Guru yang

mempunyai kompetensi khususnya kompetensi pedagogis dan kompetensi profesional yang

baik agar mampu mengembangkan diri dalam menghadapi perubahan kurikulum yang di

lapangan.

Berdasarkan data kondisi pendidikan di Kota Surakarta saat ini, kualitas guru SMP di

Kota Surakarta jika dilihat dari tingkat pendidikan, ternyata masih terdapat 15,78% yang belum

berpendidikan S1. Kualitas guru SMP di Kota Surakarta jika dilihat dari status sertifikasi,

ternyata baru terdapat 30,56% yang sudah tersertifikasi sampai tahun 2011 (Dinas Dikpora,

2012). Berdasar pengalaman peneliti selama membimbing guru-guru pada kegiatan Sertifikasi

Guru melalui PLPG ditemukan banyak guru matematika SMP yang masih kesulitan dalam

mengembangkan perangkat dan melakukan proses pembelajaran melalui proses eksplorasi,

elaborasi, dan konfirmasi. Padahal pada kurikulum 2013 selain proses eksplorasi, elaborasi, dan

konfirmasi tersebut Guru diharapkan melakukan pembelajaran dengan pendekatan

sains/pendekatan ilmiah.

Agar pembelajaran mata pelajaran matematika di SMP yang mengacu pada Kurikulum

2013 dapat berjalan dengan baik, maka Guru-guru matematika SMP perlu mempunyai bekal

pengetahuan terkait dengan bagaimana mengembangkan model pembelajaran matematika

menggunakan pendekatan sains dan bagaimana mengimplementasikan model tersebut di dalam

kelas. Untuk itu penelitian ini perlu dilakukan untuk membantu guru matematika SMP di Kota

Page 91: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 193

Surakarta agar mempunyai kesiapan dalam mengimplementasikan kurikulum 2013. Untuk itu

tujuan penelitian ini adalah mengembangkan pembelajaran matematika dengan pendekatan

sains yang berkualitas baik pada materi pokok segiempat dan segitiga bagi siswa kelas VII

SMP, sertra mendeskripsikan kesulitan Guru ketika mengembangkan perangkat pembelajaran

tersebut.

METODE PENELITIAN

Menurut Arends (1997), istilah model pembelajaran mempunyai empat ciri khusus yang

tidak dimiliki oleh strategi atau prosedur tertentu. Ciri-ciri tersebut adalah (1) rasional teoritik

yang logis yang disusun oleh para pencipta atau pengembangnya; (2) landasan pemikiran

tentang apa dan bagaimana siswa belajar (tujuan pembelajaran yang akan dicapai); (3) tingkah

laku mengajar dan belajar yang diperlukan agar model tersebut dapat dilaksanakan dengan

berhasil; dan (4) lingkungan belajar yang diperlukan agar tujuan pembelajaran itu dapat dicapai.

Joyce, Weil, with Shower (1992) menyatakan, suatu model pembelajaran dapat

dianalisis sesuai dengan empat konsep inti operasional model yang mencirikan, yaitu: (1)

sintaksis (urutan aktivitas mengajar dan belajar), (2) sistem sosial (peran dan hubungan siswa

dan guru), (3) prinsip reaksi (cara guru memandang dan merespons siswa terhadap apa yang

dilakukan), dan (4) sistem pendukung (persyaratan dan dukungan apa yang diperlukan diluar

fasilitas teknis lazimnya). Selain konsep inti operasional model ada komponen lain, yaitu: (5)

tujuan dan asumsi, dan (6) dampak pembelajaran dan dampak pengiring pembelajaran (Joyce,

Weil, with Shower, 1992; Joyce and Weil, 1996).

Menurut kedua pendapat di atas, ada beberapa kesamaan ciri. Ciri (3) menurut Arend,

sama dengan ciri (1) menurut Joyce, Weil, with Shower; ciri (4) menurut Arend, sama dengan

ciri (4) menurut Joyce, Weil, with Shower; dan ciri (2) menurut Arend, sama dengan ciri (5) dan

(6) menurut Joyce, Weil, with Shower. Empat ciri menurut Arend dan Joyce, Weil, with Shower

tersebut akan membedakan suatu model pembelajaran dengan model pembelajaran yang lain.

Untuk itu model yang akan dikembangkan peneliti mempunyai ciri sebagai berikut ini,

(1) landasan pemikiran tentang apa dan bagaimana siswa belajar (tujuan pembelajaran yang

akan dicapai). Untuk dapat menetapkan tujuan pembelajaran yang akan dicapai peneliti telah

mengkaji kurikulum 2013 matematika SMP, khususnya terkait dengan Kompetensi Inti dan

Kompetensi Lulusan. Adapun ciri selanjutnya adalah (2) sintaksis (urutan aktivitas mengajar

dan belajar). Untuk dapat menyusun sintaksis dengan baik peneliti telah mengakji pustaka

terkait pendekatan sain terkait dengan langkah-langkah pendekatan ketrampilan proses,

(Suryosubroto,2002). Menurut Suryobroto, pendekatan sains hanya cocok untuk

membelajarkan IPA. Terkait dengan hal tersebut perlu dikembangkan bagaimana pendekatan

sains digunakan dalam pembelajaran matematika. Ciri yang selanjutnya (3) sistem pendukung

(persyaratan dan dukungan apa yang diperlukan diluar fasilitas teknis lazimnya). Untuk itu

Page 92: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

194 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2

Peneliti akan mengembangkan perangkat pembelajaran yang sesuai dengan Kompetensi Inti dan

Kompetensi Lulusan, dan ciri terakhir (4) dampak pembelajaran dan dampak pengiring

pembelajaran.

Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan. Richey dan Nelson (1996)

mengidentifikasikan bahwa penelitian pengembangan (Developmental research) berorientasi

pada pengembangan produk dimana proses pengembangannya dideskripsikan seteliti mungkin

dan produk akhirnya dievaluasi. Van den Akker (1999) menyebutnya sebagai penelitian

formatif dimana aktivitas penelitiannya dilaksanakan dalam proses berulang (cyclic) dan

ditujukan pada pengoptimalisasian kualitas implementasi produk di situasi tertentu. Di dalam

pembelajaran matematika, penelitian pengembangan ini diterapkan dalam aktivitas berulang

dari pendesainan dan pengujian terhadap produk material pembelajaran matematika

(Gravemeijer, 1999). Twelker (Mudhoffir, 1990) menyatakan bahwa pengembangan sistem

pembelajaran adalah suatu cara yang sistematis dalam mengidentifikasi, mengembangkan dan

mengevaluasi seperangkat materi, dan strategi yang diarahkan untuk mencapai tujuan pembelajaran.

Terdapat beberapa model yang dapat dijadikan pedoman dalam mengembangkan suatu model

pembelajaran, seperti model Kemp, model Dick & Carey, dan model Thiagarajan Semmel &

Semmel. Thiagarajan, et.al., (1974) memperkenalkan model mengembangkan sistem pembelajaran

yang disebut “Model 4-D” melalui empat tahap,yaitu: (1) tahap pendefinisian (define), (2) tahap

perancangan (design),(3) tahap pengembangan (develop), dan (4) tahap penyebaran(dessiminate).

Sumber data dalam penelitian ini adalah Guru matematika SMP yang mengajar di

kelas VII, siswa SMP kelas VII, dan anggota MGMP matematika kota surakarta, serta Dosen

pendidikan matematika prodi pendidikan matematika FKIP UNS. Dosen prodi pendidikan

matematika FKIP UNS dan Guru matematika kelas VII SMPN 1, Guru matematika kelas VII

SMPN 4, Guru matematika SMP Al-azhar Syifa Budi Surakarta merupakan sumber data yang

dibutuhkan untuk mengembangkan model pembelajaran dengan pendekatan sains, serta

perangkat pembelajaran

HASIL PENELITIAN

Hasil Pengembangan Model Pembelajaran matematika dengan Pendekatan Sains

Pengembangan Model Pembelajaran matematika dengan Pendekatan Sains mengikuti fase-

fase pengembangan seiring dengan pengembangan perangkat pembelajaran. Deskripsi tahap

pendefinisian (Define), atau yang dilakukan pada tahap pendefinisian, yaitu: analisis awal-akhir,

analisis siswa, analisis materi, analisis tugas, dan spesifikasi tujuan pembelajaran. Kegiatan ini

dilakukan di SMP Negeri 4 Surakarta.

Berdasarkan telaah terhadap kurikulum yang dipergunakan, ketersediaan alat dan sumber

pembelajaran, dan pendekatan pembelajaran yang dilakukan di kelas VII Sekolah Menengah

Pertama (SMP) Negeri 4 Surakarta, diperoleh hasil sebagai berikut.

Page 93: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 195

1) Prosespembelajaran matematika di SMP Negeri 4 Surakarta pada tahun pelajaran 2013/2014

berpedoman pada Kurikulum 2013 untuk siswa kelas VII, sedangkan untuk siswa kelas VIII

dan kelas IX masih menggunakan KTSP 2006. Sebagai sekolah yang digunakan untuk

sekolah sasaran pembelajaran matematika di kelas VII menggunakan kurikulum 2013, guru

matematika kelas VII sudah mencoba menggunakan pendekatan pembelajaran, buku guru,

dan buku siswa sesuai dengan yang dianjurkan pemerintah dalam implementasi kurikulum

2013. Namun demikian guru dalam pembelajaran yang dilakukan belum mengacu pada

silabus yang telah dikembangkan oleh pemerintah. Buku siswa hanya digunakan untuk

pemberian tugas/pengembangan latihan soal pada materi yang diajarkannya. Sedangkan

evaluasi hasil belajar matematika yang dilakukan oleh guru penekanannya lebih dominan

pada tujuan kognitif, yaitu: penguasaan substansi materi ajar tanpa memperhatikan sikap dan

ketrampilan yang harus dikuasai.

2) Sumber pembelajaran yang dipergunakan sebagai buku pegangan guru dan siswa adalah buku

siswa dari kementrian pendidikan dan kebudayaan dan buku lain dari penerbit Erlangga.

Buku terbitan Erlangga tersebut mengikuti urutan materi di KTSP, namun isinya masih

dominan contoh soal dan soal-soal latihan, kurang memberikan ilustrasi dan argumen yang

melibatkan proses kognitif siswa untuk mempelajarinya.

3) Pendekatan pembelajaran matematika yang dilakukan oleh guru masih menggunakan pola

pembelajaran langsung, yaitu: menjelaskan konsep atau prosedur matematika disertai tanya-

jawab, kemudian memberikan contoh soal dan soal latihan. Akibatnya proses pembelajaran

lebih banyak didominasi oleh guru, sehingga siswa cenderung hanya mendengarkan dan

mencatat apa yang disampaikan oleh guru. Siswa kurang diberi kesempatan untuk

mengembangkan kemampuannya sendiri. Guru belum mengembangkan langkah-langkah

pembelajaran dengan pendekatan sains, seperti kegiatan mengamati, menanya,

mengumpulkan informasi, mengasosiasikan informasi, dan mengomunikasikan hasil. Karena

itu, dapat dikatakan bahwa pelaksanaan pembelajaran matematika yang dilaksanakan selama

ini, belum sesuai dengan tuntutan pembelajaran yang dimaksudkan pada Kurikulum 2013

Berdasar analisis awal akhir tersebut maka untuk mencoba menjalankan pembelajaran

matematika pada salahg satu materi pokok kelas VII yaitu materi segiempat dan segitiga maka

perlu dilakukan proses pembelajaran matematika yang melibatkan siswa untuk dapat

menerapkan pendekatan sains. Dengan pengalaman belajar menerapkan metode ilmiah yaitu

melakukan kegiatan mengamati masalah dengan seksama, kemudian berdasar hasil pengamatan

tersebut siswa mau menanya pada dirinya atau pada sumber lain bagaimana hasil pengamatan

yang dialami, kemudian aktif mengumpulkan informasi terkait masalah yang diamati dengan

melakukan kegiatan menalar, kemudian siswa mengasosiasikan informasi yang sudah

dikumpulkan, berani mencoba dan berani mengomunikasikan apa yang sudah diperoleh maka

siswa akan memiliki sikap logis, analitik dan teliti dalam memecahkan masalah, dan sikap ini

Page 94: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

196 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2

akan menghasilkan kemampuan pikir tindak efektif. Disamping itu dengan proses ilmiah

tersebut siawa akan memiliki sikap kritis dan tidak mudah menyerah dalam memecahkan

masalah, dan sikap ini akan menghasilkan kemampuan pikir kreatif.

Untuk itu model pembelajaran matematika dengan pendekatan sains mempunyai

sintaks dengan fase-fase sebagai berikut ini: (1) Orientasikan siswa kepada masalah/projek, (2)

mengorganisasi peserta didik untuk mengamati masalah/projek, (3) membimbing peserta didik

untuk menanya terkait informasi yang telah dikumpulkan, (4) membimbing peserta didik untuk

menalar dengan mengasosiasikan informasi yang telah dikumpulkan, (5) mengembangakan

kemapuan peserta untuk berani mencoba melakukan suatu eksperimen dari hasil menalar, (6)

mengembangkan dan mengomunikasikan hasil karya individu/kelompok, dan (7) menganalisa

dan mengevaluasi proses pemecahan masalah.

Deskripsi hasil pelaksanaan uji-coba Perangkat

(1) Deskripsi hasil penilaian pakar dan praktisi pendidikan matematika

a. Deskripsi hasil validasi instrumen

Uji-validasi setiap instrumen ditinjau dari tiga aspek, yaitu: aspek petunjuk, aspek bahasa,

dan aspek isi. Hasil uji-validasi yang dilakukan terhadap setiap instrumen pengembangan

perangkat pembelajaran adalah sebagai berikut.

Tabel 1. Hasil Validasi Instrumen

No. Jenis Instrumen Aspek Penilaian

Ket. Petunjuk Bahasa Isi

1. Lembar validasi silabus V V V LD

2. Lembar validasi rencana pelaksanaan

pembelajaran V V V LD

3. Lembar validasi lembar kegiatan siswa V V V LD

4. Lembar validasi instrumen penilaian V V V LD

5. Lembar observasi kemampuan guru

dalam mengelola pembelajaran V V V LD

6. Lembar observasi aktivitas siswa dalam

pembelajaran V V V LD

Keterangan:

V adalah penilaian pakar dan praktisi menyatakan instrument valid untuk setiap indikator

aspek penilaian.

LD adalah kesimpulan penilaian dari semua pakar dan praktisi bahwa instrumen yang

dikembangkan Layak Dipergunakan.

LDP adalah kesimpulan penilaian dari beberapa validator bahwa instrumen yang

dikembangkan Layak Dipergunakan dengan Perbaikan (revisi kecil).

Page 95: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 197

Berdasarkan hasil penilaian validator pada Tabel 1, disimpulkan bahwa: (1) Lembar

validasi silabus; (2) Lembar validasi rencana pelaksanaan pembelajaran; (3) Lembar validasi

lembar kegiatan siswa; (4) Lembar validasi instrument penilaian; (5) Lembar observasi aktivitas

siswa dalam pembelajaran matematika; (6) Lembar observasi kemampuan guru dalam mengelola

pembelajaran matematika layak dipergunakan.

(2) Kepraktisan perangkat pembelajaran matematika

Kepraktisan perangkat pembelajaran matematika ditunjukkan oleh kemampuan guru

mengelola pembelajaran matematika, diuji cobakan selama dua kali. Kemampuan guru mengelola

pembelajaran matematika untuk setiap aspek yang teramati setelah uji coba yang kedua adalah

sebagai berikut.

Tabel 2. Kemampuan Guru dalam Mengelola Pembelajaran

Menurut Hasil Pelaksanaan Uji-Coba

No. Aspek yang diamati

Hasil Pengamatan Pengamat

Kategori 1 2 3 4 5 6

Rata-

Rata

I

Kegiatan Pendahuluan

Kemampuan memotivasi

siswa dengan menguraikan

pentingnya mempelajari

materi

4 4 4 4 4 4 4,00 S. Baik

Kemampuan memberi

apersepsi 4 3 3 3 4 4 3,50 S. Baik

Kemampuan menyampaikan

tujuan 3 3 3 3 3 3 3,00 Baik

Kemampuan menjelaskan

langkah-langkah kegiatan

pembelajaran

4 3 3 4 3 4 3,50 Baik

II

Kegiatan Inti

Kemampuan memfasilitasi

siswa untuk siswa bisa

melakukan proses

mengamati

3 3 3 3 3 3 3,00 Baik

Kemampuan memfasilitasi

siswa untuk siswa bisa

melakukan proses menanya

3 2 3 3 2 3 2,67 C. Baik

Kemampuan memfasilitasi

siswa untuk siswa bisa 3 3 3 3 3 3 3,00 Baik

Page 96: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

198 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2

melakukan proses

mengumpulkan informasi

Kemampuan memfasilitasi

siswa untuk siswa bisa

melakukan proses

mengasosiasi

3 3 3 3 4 3 3,17 Baik

Kemampuan memfasilitasi

siswa untuk siswa bisa

melakukan proses

mengomunikasikan

4 3 4 4 3 4 3,67 S. Baik

Kemampuan memimpin

diskusi kelas/menguasai

kelas.

3 2 3 2 3 3 2,67 C. Baik

Kemampuan menghargai

berbagai pendapat siswa. 3 3 3 3 3 3 3,00 Baik

Kemampuan mengajukan

dan menjawab pertanyaan. 3 3 3 3 3 3 3,00 Baik

III

Kegiatan Penutup

Kemampuan menegaskan

hal-hal penting/inti sari

yang berkaitan dengan

pembelajaran.

3 3 2 2 3 3 2,67 C. Baik

Kemampuan

menyampaikan tindak

lanjut berikutnya

/memberikan PR kepada

siswa/menutup pelajaran.

3 2 2 3 3 3 2,67 C. Baik

IV

Kesesuaian dengan RPP

Kegiatan pembelajaran

sesuai dengan alokasi

waktu.

3 3 3 3 3 3 3,00 Baik

Tahapan pembelajaran

sesuai dengan RPP. 3 3 2 3 3 2 2,67 C. Baik

V

Susasana Kelas

Siswa antusias. 3 3 3 3 3 4 3,17 Baik

Guru antusias. 3 3 3 3 4 4 3,33 Baik

Keterangan: C adalah cukup

Page 97: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 199

Berdasarkan Tabel 2, diperoleh semua aspek memenuhi kriteria kepraktisan, yaitu:

minimal cukup baik. Oleh karena itu, disimpulkan bahwa perangkat pembelajaran matematika

memenuhi kriteria kepraktisan.

(3) Keefektifan perangkat pembelajaran matematika

Perangkat pembelajaran matematika dikatakan memenuhi kriteria keefektifan, apabila

indikator: aktivitas siswa dalam pembelajaran matematika, ketuntasan belajar siswa secara

klasikal, dan respons siswa terhadap perangkat pembelajaran matematika memenuhi kriteria

yang ditetapkan.

Data hasil observasi terhadap aktivitas siswa dalam pembelajaran matematika oleh 6 orang

pengamat persentase waktu yang dipergunakan siswa untuk masing-masing indikator

aktivitasnya pada suatu pertemuan adalah sebagai berikut.

Tabel 3. Persentase Aktivitas Siswa dalam Pembelajaran matematika Menurut Hasil

Pelaksanaan Uji-Coba

No. Kategori Pengamatan

Persentase Aktivitas dalam

Pembelajaran oleh pengamat Interval

Toleransi

PWI I II III IV V VI Rata

-rata

Aktivitas dalam tugas (on-task)

Aktivitas siswa yang berkaitan dengan Kemampuan Pikir Tindak Efektif

1.

Mengamati dengan

cermat apa yang

disampaikan Guru dalam

pembelajaran

10,0

0 8,33 10,83 8,33 10,83 10,00 9,72

5% ≤ PWI

≤ 15%

2.

Merespons penjelasan guru

baik secara tertulis atau

secara lisan melalui

menanya aspek yang

belum dipahami

kemudian mau mencoba

mengumpulkan informasi.

5,83 5,83 8,33 12,5 6,67 5,83 7,50 5% ≤ PWI

≤ 15%

3.

Memperhatikan umpan

balik yang disampaikan

oleh guru.

8,33 9,17 6,67 6,67 7,50 6,67 7,50 0% ≤ PWI

≤ 10%

Aktivitas siswa yang berkaitan dengan Kemampuan Pikir Kreatif

4. Menerapkan pengetahuan

matematika (fakta,

10,8

3

13,3

3

10,8

3

10,0

0

10,8

3 12,50 11,39

10% ≤ PWI

≤ 20%

Page 98: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

200 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2

konsep, operasi, dan

prinsip) yang dimilikinya

baik melalui pertanyaan,

memberi saran,

menanggapi/memberi

komentar baik sebelum,

sedang, atau setelah

menyelesaikan masalah

kontekstual dalam

pembelajaran.

5.

Menerapkan kemampuan

mengomunikasikan hasil.

Secara operasional aktivitas

yang perlu diperhatikan oleh

peneliti dalam pembelajaran,

yaitu:

8,33 10,8

3 7,50 8,33 9,17 8,33 8,75

5% ≤ PWI

≤ 15%

6.

Siswa melakukan kegiatan

mengasosiasikan masalah

kontekstual dan cara yang

akan dipergunakannya

untuk menyelesaikan

masalah kontekstual baik

secara individu maupun

secara kelompok.

43,3

3

40,0

0

40,0

0

42,5

0

42,4

0 41,67 41,65

35% ≤ PWI

≤ 45%

7.

Siswa menyelesaikan

masalah kontekstual sesuai

dengan waktu yang

diberikan.

5,83 5,00 7,50 5,83 5,83 7,50 6,25 3% ≤ PWI

≤ 13%

8.

Siswa mengomunikasikan

hasil penyelesaian masalah

sesuai dengan alokasi

waktu yang telah

ditetapkan.

4,17 3,33 5,00 3,33 2,50 3,33 3,61 0% ≤ PWI

≤ 7%

Aktivitas luar tugas (off-task)

9.

Melakukan kegiatan lain

di luar pembelajaran.

Misalnya tidak

3,33 4,17 3,33 4,58 4,17 4,17 3,96 0% ≤ PWI

≤ 5%

Page 99: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 201

memperhatikan

penjelasan guru, atau

melakukan aktivitas yang

tidak berkaitan dengan

kegiatan pembelajaran

(ngantuk, tidur, ngobrol,

melamun, dsb.)

Keterangan:

PWI adalah prosentase waktu ideal, dan Batas toleransi yang dipergunakan

adalah 5%

Berdasarkan Tabel 3, diperoleh bahwa rata-rata persentase aktivitas siswa memenuhi

kriteria interval persentase waktu ideal yang ditetapkan. Karena itu, disimpulkan bahwa

perangkat pembelajaran matematika memenuhi kriteria keefektifan menurut indikator aktivitas

siswa dalam pembelajaran matematika.

Berdasar hasil analisis diatas dapat disimpulkan bahwa penelitian ini telah

menghasilkan perangkat pembelajaran matematika (Silabus, RPP, Instrumen Penilaian

Proses dan Hasil Belajar) materi segiempat dan segitiga bagi siswa SMP kelas VII

menggunakan pendekatan sains/pendekatan ilmiah (scientific approach) yang baik yaitu

telah memenuhi kevalidan, kepraktisan, dan keefektifan.

Kesulitan yang dihadapi Guru dalam mengembangkan perangkat Pembelajaran dengan

Pendekatan Sains.

Kurikulum 2013 mengembangkan dua modus proses pembelajaran yaitu proses

pembelajaran langsung dan proses pembelajaran tidak langsung. Proses pembelajaran langsung

adalah proses pendidikan di mana peserta didik mengembangkan pengetahuan, kemampuan

berpikir dan keterampilan psikomotorik melalui interaksi langsung dengan sumber belajar yang

dirancang dalam silabus dan RPP berupa kegiatan-kegiatan pembelajaran. Dalam pembelajaran

langsung tersebut peserta didik melakukan kegiatan belajar mengamati, menanya,

mengumpulkan informasi, mengasosiasi atau menganalisis, dan mengkomunikasikan apa yang

sudah ditemukannya dalam kegiatan analisis. Proses pembelajaran langsung menghasilkan

pengetahuan dan keterampilan langsung atau yang disebut dengan instructional effect.

Pembelajaran tidak langsung adalah proses pendidikan yang terjadi selama proses

pembelajaran langsung tetapi tidak dirancang dalam kegiatan khusus. Pembelajaran tidak

langsung berkenaan dengan pengembangan nilai dan sikap. Berbeda dengan pengetahuan

tentang nilai dan sikap yang dilakukan dalam proses pembelajaran langsung oleh mata pelajaran

tertentu, pengembangan sikap sebagai proses pengembangan moral dan perilaku dilakukan oleh

seluruh mata pelajaran dan dalam setiap kegiatan yang terjadi di kelas, sekolah, dan masyarakat.

Page 100: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

202 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2

Baik pembelajaran langsung maupun pembelajaran tidak langsung terjadi secara

terintegrasi dan tidak terpisah. Pembelajaran langsung berkenaan dengan pembelajaran yang

menyangkut KD yang dikembangkan dari KI-3 dan KI-4. Keduanya, dikembangkan secara

bersamaan dalam suatu proses pembelajaran dan menjadi wahana untuk mengembangkan KD

pada KI-1 dan KI-2. Pembelajaran tidak langsung berkenaan dengan pembelajaran yang

menyangkut KD yang dikembangkan dari KI-1 dan KI-2. Proses pembelajaran tersebut terdiri

atas lima pengalaman belajar pokok yaitu: (1) mengamati; (2) menanya; (3) mengumpulkan

informasi; (4) mengasosiasi; dan (5) mengkomunikasikan.

Dalam mengembangkan perangkat pembelajaran yang berupa RPP, silabus sudah

disediakan oleh pemerintah, sehingga RPP yang akan dikembangkan berdasar pada silabus yang

sudah ada. RPP memuat komponen: Kompetensi Inti (KI), Kompetensi Dasar dan Indikator,

Tujuan Pembelajaran, Materi Pembelajaran (rincian dari Materi Pokok), Metode Pembelajaran

(Rincian dari Kegiatan Pembelajaran), Media, Alat, dan Sumber Pembelajaran, Langkah-

langkah Kegiatan Pembelajaran, Penilaian (yang meliputi Jenis/teknik penilaian, Bentuk

instrumen dan instrument, Pedoman penskoran). Untuk menentukan kompetensi inti guru tidak

mengalamin kesulitan karena kompetensi inti sudah termuat dalam kurikulum.

Pada penyusunan RPP Guru kesulitan dam mengembangkan KD dan Indikator.

Kesulitan dalam menentukan KD teridentifikasi ketika guru akan menuliskan KD untuk KI 1

dan KI 2. Sedangkan KD untuk KI 3 dan KI 4 sudah tersedia di Silabus. Untuk menentukan

indicator terkait dengan semua KI, guru merasa kesulitan terkait dengan hal tersebut Karena di

silabus belum terumuskan indicator untuk tiap KD. Akibat dari ini guru kesulitan menuliskan

tujuan pembelajaran untuk setiap KD. Dengan tujuan pembelajaran yang kurang jelas maka hal

ini akan mempengaruhi dalam penyusunan materi pembelajaran, rincian dari kegiatan

pembelajaran. Rincian kegiatan pembelajaran matematika pada kegiatan inti pembelajaran

banyak disebabkan karena guru kurang memahami makna operasional dari kegiatan inti yang

meliputi kegiatan mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, mengasosiasi, dan

mengomunikasikan. Kesulitan guru dalam menentukan rincian dari tujuan pembelajaran maka

hal ini akan berdampak pada penilaian yang akan dilakukan. Guru kurang memahamin prinsip

penilaian proses dan produk pembelajaran yang dilakukan.

KESIMPULAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan Pembelajaran Matematika dengan

pendekatan sains berikut perangkat pembelajaran yang sesuai untuk materi segiempat dan

segitigsa . Berikut simpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah:

1. Teori pengembangan yang digunakan untuk mengembangkan Model Pembelajaran

Matematika dengan pendekatan sains adalah teori pengembangan dengan model yang

digunakan menggunakan model 4-D (model Thiagarajan) yang dimodifikasi terdiri dari tiga

Page 101: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 203

tahap, yaitu pendefinisian (define), perancangan (design), dan pengembangan (develop)

melalui uji terbatas. Diperoleh Model Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Sains

untuk meningkatkan Kemampuan Pikir Tindak Efektif dan Kreatif dengan sintaks: (a)

Orientasikan siswa kepada masalah/projek, (b) mengorganisasi siswa untuk mengamati

masalah/projek, (c) membimbing siswa untuk menanya terkait informasi yang telah

dikumpulkan, (d) membimbing siswa untuk menalar dengan mengasosiasikan informasi

yang telah dikumpulkan, (e) mengembangakan kemapuan siswa untuk berani mencoba

melakukan suatu eksperimen dari hasil menalar, (f) mengembangkan dan

mengomunikasikan hasil karya individu/kelompok, (g) menganalisa dan mengevaluasi

proses pemecahan masalah. yang valid, praktis, dan efektif.

2. Selain memperoleh model pembelajaran, penelitian ini juga menghasilkan perangkat

pembelajaran yang baik yang sesuai dengan Model Pembelajaran Matematika dengan

Pendekatan Sains untuk meningkatkan Kemampuan Pikir Tindak Efektif dan Kreatif untuk

materi pokok segiempat dan segitiga siswa kelas VII SMP. Perangkat pembelajaran tersebut

memenuhi kriteria valid dan hasil uji coba menunjukkan baik. Perangkat pembelajaran

tersebut adalah Silabus, Rencana Program Pembelajaran (RPP) dan Lembar Kegiatan Siswa

(LKS).

3. Dalam pengembangan pembelajaran matematika di SMP dengan pendekatan sains, guru

banyak yang mengalami kesulitan terkait dengan pengembangan perangkat pembelajaran

yaitu RPP. Kesulitan yang dialami oleh Guru dalam mengembangkan RPP adalah ketika

memilih KD, khususnya KD terkait dengan KI-1 dan KI-2. Kesulitan yang kedua adalah

bagaimana menentukan indicator pada KD. Kesulitan menentukan indicator ini akan

berdampak pada kesulitan dalam menentukan tujuan pembelajaran, dan menjabarkan dalam

kegiatan pembelajaran yang sesuai dengan pendekatan sains. Kesulitan menentukan tujuan

pembelajaran tentunya akan berdampak pada penentuan penilaian formatif pada KD

tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Arends, Richard I. 1997.Clssroom Intruction and Management. New York: Mc Graw Hill

Companies, Inc.

Gravemeijer, K.P.E. 1999. Developmental Reseach: Fostering a Dialectic Relation Between

Theory and Practice. Utrecht: Freudenthal Institute.

Joyce, Bruce and Weil.1992. Models of Teaching(fourth Edition). Boston-Toronto-Sydney-

Singapore : Allyn and Bacon Publishers.

Van den Akker, Jan. 1999. Principles and methods of development research. In Jan van den

Akker et al. (Ed.) Design Approaches and Tools in Education and Training pp. 1-14.

Dordrecht: kluwer Academic Publishers

Page 102: KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/Ruang-2.pdf · mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

204 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2

Allen, L. (1973). An examination of the ability of third grade children from the Science

Curriculum Improvement Study to identify experimental variables and to recognize

change. Science Education, 57, 123-151.

Depdikbud. 2013. Materi Pelatihan Guru Implementasi Kurikulum 2013 Mata Pelajaran

Matematika SMP/MTs.

Imam Sujadi, 2013. Menyiapkan Sumber Daya Manusia Indonesia Berkualitas Melalui

Penyempurnaan Kurikulum. Makalah. Disampaikan dalam seminar nasional

“Rekonstruksi Pendidikan dalam Kurikulum 2013 Guna Mencetak Tenaga Pendidik

yang Kreatif dan Inovatif”, 5 Mei 2013 di STKIP PGRI Pacitan.

Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah

Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 64 Tahun

2013Tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar Dan Menengah.

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2013

Tentang Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Dasar dan Menengah.

Peraturan Menteri Pendidikan dan KebudayaanRepublik Indonesia Nomor 65 Tahun 2013

Tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah.

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2013

Tentang Standar Penilaian Pendidikan.

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik IndonesiaNomor 68 Tahun 2013

Tentang Kerangka Dasar Dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah

Pertama/Madrasah Tsanawiyah.

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 81a Tahun 2013

Tentang Implementasi Kurikulum 2013

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentangSistemPendidikanNasional