KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH...
-
Upload
truongnhan -
Category
Documents
-
view
228 -
download
1
Transcript of KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH...
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 103
KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH
MENENGAH PERTAMA (SMP) DALAM MEMECAHKAN
MASALAH MATEMATIKA
Suyono Wiryoatmojo1)
, Muhtarom2)
, Ali Shodiqin3)
1) Dosen Pendidikan Matematika IKIP PGRI Semarang
Jl. Lontar Nomor 1 (Sidodadi Timur) Semarang Indonesia 2)
Dosen Pendidikan Matematika IKIP PGRI Semarang
Jl. Lontar Nomor 1 (Sidodadi Timur) Semarang Indonesia, email: [email protected] 3)
Dosen Pendidikan Matematika IKIP PGRI Semarang
Jl. Lontar Nomor 1 (Sidodadi Timur) Semarang Indonesia, email:[email protected]
Abstrak Tujuan penelitian ini adalah mengetahui kesalahan proses berpikir siswa SMP
berkemampuan matematika rendah dalam memecahkan masalah matematika yang
valid dan reliabel. Jenis penelitian yang digunakan untuk mencapai tujuan ini adalah
penelitian kualitatif-eksploratif. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas VII
SMP Se-Kota Semarang yang berkemampuan matematika rendah. Pemilihan subjek
didasarkan pada kemampuan matematika siswa dan kelancaran dalam
berkomunikasi baik secara lisan maupun tulisan. Penelitian tahap-1 (materi bangun
datar segiempat) ini dilaksanakan di SMP N 34 Semarang dan tahap-2 (materi
bangun datar segitiga) ini dilaksanakan di SMP N 9 Semarang.Hasil penelitian
menunjukkan bahwa subjek mengalami beberapa kesalahan dalam menyelesaikan
soal bangun datar segiempat dan segitiga. Kesalahan yang dialami diantaranya
adalah kesalahan konsep, kesalahan prinsip, dan kesalahan algoritma. Kesalahan
konsep yang terjadi meliputi kesalahan dalam memberikan nama,
mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan arti simbol
dan syarat perlu dari suatu bangun. Kesalahan prinsip meliputi subyek tidak dapat
menentukan hubungan antara dua sudut, hubungan antar rumus, dan tidak dapat
menuliskan rumus. Sedangkan kesalahan algoritma meliputi subyek tidak dapat
menentukan satuan luas yang tepat dan kesalahan kalkulasi dalam menghitung luas
bangun.
Kata kunci: Kesalahan, Proses Berpikir, Pemecahan Masalah.
PENDAHULUAN
Setiap siswa tidak dapat menghindar dari kesulitan belajar matematika. Jika siswa
menghindar dari kesulitan termasuk dalam belajar matematika hanya untuk tujuan pragmatis,
mencari mudahnya saja, sama artinya menjerumuskan diri dalam kebodohan dan akan
berhadapan dengan kesulitan lain yang lebih besar. Oleh karena itu, siswa perlu berusaha
memotivasi diri untuk lebih menyenangi matematika. Siswa perlu menanamkan dalam
benaknya bahwa matematika itu penting. Sesuai dengan tujuan pembelajaran matematika yaitu
memecahkan masalah, maka setiap siswa pasti akan menjumpai masalah matematika dalam
pembelajaran.
Yulaelawati (2004) mengatakan salah satu peran pendidik dalam pembelajaran
matematika adalah membantu siswa mengungkapkan bagaimana proses yang berjalan dalam
pikirannya ketika memecahkan masalah, misalnya dengan cara meminta siswa menceritakan
langkah yang ada dalam pikirannya. Hal ini diperlukan untuk mengetahui kesalahan berpikir
yang terjadi dan merapikan jaringan pengetahuan siswa. Kesalahan proses berpikir siswa dalam
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
104 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
memecahkan masalah matematika diungkapkan oleh Muhtarom (2010) yang menyatakan bahwa
siswa kelas VI Sekolah Dasar (SD) dalam mengalami kesalahan dalam pemahaman konsep,
kesalahan dalam menggunakan prinsip matematika dan kesalahan algoritma. Hasil penelitian ini
juga memberikan gambaran bahwa dalam memecahkan masalah/soal matematika, seorang siswa
pasti mengalami kesalahan proses berpikir.
Hasil penelitian tersebut diperkuat oleh penelitian penelitian lanjutan Muhtarom (2012)
menunjukkan bahwa siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang berkemampuan
matematika rendah ketika memecahkan masalah matematika terjadi kesalahan proses berpikir
sehingga menyebabkan kesalahan dalam jawaban. Oleh karena itu, mengetahui proses berpikir
siswa dalam memecahkan suatu masalah sangat diperlukan. Dengan mengetahui proses berpikir
siswa, guru dapat melacak letak dan jenis kesalahan yang dilakukan siswa. Kesalahan yang
diperbuat siswa dapat dijadikan sumber informasi belajar dan pemahaman bagi siswa. Yang tak
kalah pentingnya adalah guru dapat dengan merancang pembelajaran yang sesuai dengan proses
berpikir siswa.
Jika kesalahan proses berpikir yang dilakukan oleh siswa tidak segera mendapatkan
perhatian yang serius, maka dapat dimungkinkan akan terjadi kesalahan proses berpikir lanjutan
pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Oleh karena itu, pengungkapan kesalahan proses
berpikir siswa dalam memecahkan masalah matematika perlu dilakukan sejak dini sehingga
guru dapat segera merapikan skema/struktur kognitif siswa. Dalam hal ini dilakukan penelitian
lanjutan tentang analisis kesalahan proses berpikir siswa khususnya siswa SMP dalam
memecahkan masalah matematika. Berdasarkan latar belakang diatas, maka permasalahan
dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: “bagaimanakah kesalahan proses berpikir
siswa SMP dalam memecahkan masalah matematika”.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini tergolong penelitian kualitatif-eksploratif yang dilaksanakan pada siswa
kelas VII SMP di Kota Semarang. Pemilihan subjek penelitian didasari beberapa pertimbangan,
yaitu: (1) dipilih siswa kelas VII SMP yang mempunyai kemampuan matematika rendah,
sehingga akan mudah mendapatkan data tentang kesalahan proses berpikir yang dilakukan (2)
mudah diwawancarai sehingga diperoleh data akurat yang dibutuhkan pada penelitian.
Instrumen dalam penelitian ini dibagi dalam dua bagian yaitu: (1) peneliti sendiri sebagai
instrumen utama, (2) lembar tugas dan (3) pedoman wawancara.
Prosedur penelitian ini menempuh langkah-langkah sebagai berikut: (1) menyusun
instrumen penelitian, (2) menentukan subyek penelitian, (3) mengumpulkan data penelitian
melalui wawancara berbasis tugas dan analisis pekerjaan tertulis, (4) menganalisis data
penelitian dan triangulasi. Data yang telah terkumpul baik dari tes tertulis maupun dari hasil
wawancara dianalisis dengan langkah-langkah sebagai berikut: (a) reduksi data yakni
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 105
melakukan proses pemilihan, pemusatan perhatian penyederhanaan, pengabstraksian dan
transformasi data mentah di lapangan. Bila terdapat data yang tidak valid, maka data itu
dikumpulkan tersendiri yang mungkin dapat digunakan sebagai pelengkap data atau temuan-
temuan sampingan; (b) pemaparan data yakni mengklasifikasi dan mengidentifikasi data
sehingga terorganisir dan terkategori dengan baik; (c) menarik kesimpulan berdasarkan hasil
paparan data. Setelah data dipaparkan sedemikianrupa sehingga terkategori dengan baik, maka
langkah selanjutnya menarik kesimpulan atau menginterprestasikan makna dari paparan data
tersebut. Analisis data ini dilakukan pada setiap data yang diperoleh dari tiap metode
pengumpulan data (analisis tugas, wawancara). Kemudian triangulasi metode untuk
mendapatkan data subjek yang valid.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan data yang valid dari masing-masing subyek, selanjutnya dibandingkan untuk
digeneralisaikan jenis kesalahan yang dilakukan oleh siswa berkemampuan rendah pada materi
Bangun Datar. Hasil analisis triangulasi sumber disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1 Perbandingan Data Subjek FM dan Subjek RS
No. Jenis
Kesalahan Subyek FM Subyek RS Kesimpulan
1. Kesalahan
Konsep
a. Subyek FM
mengalami
kesalahan dalam
memberikan nama
dari suatu bangun
datar segi empat
b. Subyek FM tidak
mampu
menjelaskan arti
simbol koefisien-
koefisien dalam k =
2(a+b).
c. Subyek FM
mengalami
kesalahan dalam
menjelaskan syarat
yang diperlukan
dari suatu obyek
a. Subyek RS
mengalami
kesalahan dalam
mem-berikan
nama dari suatu
bangun datar segi
empat
b. Subyek RS tidak
mampu
menjelaskan arti
simbol koefisien-
koefisien dalam k
= 2(a+b)
c. Subyek RS tidak
dapat menjelaskan
syarat yang perlu
dari suatu istilah
dalam bangun
datar segi empat
a. Subyek FM dan
RS mengalami
kesalahan dalam
memberikan nama
dari suatu bangun
datar segi empat
b. Subyek RS tidak
mampu
menjelaskan arti
simbol koefisien-
koefisien dalam k
= 2(a+b)
c. Subyek FM dan
RS tidak dapat
menjelas-kan
syarat yang perlu
dari suatu istilah
dalam bangun
datar segi empat
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
106 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
bangun datar segi
empat berdasarkan
definisi yang
diketahui.
d. Subyek FM
mengalami
kesalahan dalam
memberikan contoh
penerapan teorema
Phytagoras.
e. Subyek FM
mengalami
kesalahan dalam
mengklasifikasikan
contoh dan non
contoh dari suatu
bangun datar segi
empat.
f. Subyek FM
mengalami
kesalahan dalam
mengelompokkan
sifat-sifat dari suatu
bangun datar segi
empat
d. Subyek RS tidak
mampu mengenal
contoh penerapan
konsep teorema
Phytagoras
e. Subyek RS
mengalami
kesalahan dalam
mengklasifikasika
n contoh dan non
contoh dari suatu
bangun datar segi
empat
f. Subyek RS
mengalami
kesalahan dalam
mengelompokan
sifat-sifat dari
suatu bangun datar
segi empat
d. Subyek FM dan
RS mengalami
kesalahan dalam
memberikan
contoh penerapan
teorema
Phytagoras
e. Subyek FM dan
RS mengalami
kesalahan dalam
mengklasifika-
sikan contoh dan
non contoh dari
suatu bangun datar
segi empat
f. Subyek FM dan
RS mengalami
kesalahan dalam
mengelompok-kan
sifat-sifat dari
suatu bangun datar
segi empat
2. Kasalahan
Prinsip
a. Subyek FM tidak
dapat menentukan
hubungan dari
rumus suatu
bangun datar
berdasarkan hasil
percobaan.
b. Subyek FM
mengalami
kesalahan dalam
a. Subyek RS tidak
dapat menentukan
hubungan antara
dua sudut dari
salah satu sudut
yang sudah
diketahui pada
bangun datar segi
empat
b. Subyek RS tidak
a. Subyek FM dan
RS tidak dapat
menentukan
hubungan dari
rumus suatu
bangun datar
berdasarkan hasil
percobaan
b. Subyek FM dan
RS mengalami
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 107
menentukan
hubungan anatar
dua sudut
dapat menentukan
hubungan dari
rumus suatu
bangun datar
berdasarkan hasil
percobaan
c. Subyek RS tidak
dapat menuliskan
rumus suatu
bangun datar segi
empat
d. Subyek RS tidak
dapat menuliskan
rumus yang tepat
untuk
menyelesaikan
permasalahan
kesalahan dam
menentukan hu-
bungan antara dua
sudut.
3. Kesalahan
Algoritma
a. Subyek FM
mengala-mi
kesalahan dalam
menentukan satuan
luas dan terlalu
berle-bihan dalam
memberi-kan
jawaban
b. Subyek FM
mengalami
kesalahan dalam
menentukan satuan
dari soal yang
ditanyakan
a. Subyek RS tidak
dapat menentukan
satuan luas yang
tepat.
b. Subyek RS tidak
dapat menentukan
luas bangun datar
segi empat.
a. Subyek FM dan
RS mengalami
kesalahan dalam
menentukan luas
bangun datar segi
empat.
b. Subyek FM dan
RS mengalami
kesalahan dalam
menentukan satuan
luas dari bangun
adatr segi empat.
Sedangkan untuk analisis jenis kesalahan yang dilakukan oleh siswa berkemampuan
rendah pada materi Segitiga disajikan dalam Tabel 2.
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
108 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
Tabel 2 Perbandingan Data Subjek SI dan Subjek APH
No. Jenis
Kesalahan Subyek SI Subyek APH Kesimpulan
1. Kesalahan
Konsep
a. Mengalami
kesalahan dalam
menjelaskan
definisi dari suatu
bangun datar
segitiga.
b. Tidak mampu
menjelaskan
definisi garis
tinggi, garis berat,
garis bagi, dan
garis sumbu
c. Tidak mampu
mema-hami syarat
cukup dari suatu
bangun datar
untuk dapat
dikatakan bangun
segitiga lancip,
segitiga tumpul,
segitiga siku-siku.
d. Menganggap
bahwa gambar A
dan gambar B
merupakan bangun
datar segitiga
e. Tidak mampu
memberikan
contoh gambar
garis tinggi, garis
berat, garis bagi,
dan garis sumbu.
a. Mengalami
kesalahan dalam
menjelaskan
definisi dari suatu
bangun datar
segitiga.
b. Tidak mampu
menjelaskan
definisi garis
tinggi, garis berat,
garis bagi, dan
garis sumbu.
c. Tidak mampu
mema-hami syarat
cukup dari suatu
bangun datar
untuk dapat
dikatakan bangun
segitiga lancip,
segitiga tumpul,
segitiga siku-siku.
d. Tidak mampu
memberikan
contoh gambar
garis tinggi, garis
berat, garis tinggi,
dan garis sumbu
a. Subyek SI dan
APH mengalami
kesalahan dalam
menjelaskan
definisi dari suatu
bangun datar
segitiga.
b. Subyek SI dan
APH mengalami
kesalahan dalam
menjelaskan
definisi garis
tinggi, garis berat,
garis bagi, dan
garis sumbu.
c. Subyek SI dan
APH mengalami
kesalahan dalam
memahami syarat
cukup dari suatu
bangun datar untuk
dapat dikatakan
bangun segitiga
lancip, segitiga
tumpul, segitiga
siku-siku.
d. Subyek SI dan
APH tidak mampu
memberikan
contoh gambar
garis tinggi, garis
berat, garis tinggi,
dan garis sumbu.
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 109
2. Kasalahan
Prinsip
Mengalami kesalahan
dalam menggambar-
kan soal cerita yang
disajikan.
a. Mengalami
kesalahan dalam
menggambarkan
soal cerita yang
disajikan
b. Mengalami
kesalahan dalam
mengkaitkan
hubungan sudut
dalam segitiga
dengan sudut luar
segitiga.
Subyek SI dan APH
mengalami kesalahan
dalam
menggambarkan soal
cerita yang disajikan.
3. Kesalahan
Algoritma
c. Megalami
kesalahan dasar
dalam menjawab
soal.
d. Mengalami
kesalahan dalam
menentukan dasar
dalam menentukan
satuan sudut dalam
menjawab soal.
a. Mengalami
kesalahan dasar
dalam menjawab
soal.
b. Mengalami
kesalahan dalam
menentukan satuan
sudut dalam
menjawab soal.
Subyek SI dan APH
mengalami kesalahan
dasar dalam menjawab
soal dan kesalahan
dalam menentukan
satuan sudut dalam
menjawab soal.
SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka penelitian ini dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut: Pada materi bangun datar segiempat dan materi segitiga, subyek
mengalami beberapa kesalahan dalam menyelesaikan soal bangun datar segiempat dan segitiga.
Kesalahan yang dialami diantaranya adalah kesalahan konsep, kesalahan prinsip, dan kesalahan
algoritma. Kesalahan konsep yang terjadi meliputi kesalahan dalam memberikan nama,
mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan arti simbol dan sayarat
perlu dari suatu bangun datar segiempat. kesalahan prinsip meliputi subyek tidak dapat
menentukan hubungan antara dua sudut, hubungan antar rumus, dan tidak dapat menuliskan
rumus. Sedangkan kesalahan algoritma meliputi subyek tidak dapat menentukan satuan luas
yang tepat dan kesalahan kalkulasi dalam menghitung luas bangun datar segi empat dan
segitiga. Berdasar simpulan dari hasil penelitian ini, maka disampaikan saran yaitu untuk guru
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
110 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
matematika di tingkat SMP diharapkan melakukan penekankan pembelajaran konsep dan
mengajarkan pemecahan masalah matematika yang menggunakan langkah-langkah Polya.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas N. (2000). Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika Berorientasi Model
Pembelajaran Berdasarkan Masalah (Problem Based-Instruction). Surabaya: PPs
Universitas Negeri Surabaya.
Agung Handayanto, Ali Shodiqin dan Muhtarom. (2011). Proses Berpikir Mahasiswa
Pendidikan Matematika IKIP PGRI Semarang dalam Memecahkan Masalah Kalkulus
2. Laporan Penelitian Hibah APBI IKIP PGRI Semarang.
Begerson T. (2000). Teaching and Learning Mathematics: Using Research to Shift from the
“Yesterday” Mind to the “Tomorrow” Mind. Washington: superintendent of Public
Instruction. (Online). http://www.k12.wa.us. diakses tanggal 3 Agustus 2011.
Daniel Muijs dan David Reynold. (2008). Effective Teaching. Translated by Helly dan Sri
Muyantini. 2008. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Dewiyani. (2008). Mengajarkan Pemecahan Masalah dengan Menggunakan Langkah Polya.
Jurnal STIKOM, Volume 12 Nomor 2.
Henk Vos dan E. D. Graff. (2004). Developing Metacognition: a Basis For Active Learning.
European Journal of Engineering Education. 29. 543-548.
Huitt. (1992). Problem Solving and Decision Making: Consideration of individual differences
using the Myers-Briggs Type Indicator. Journal of Psychological Type.24.33-44.
tersedia dalam: http://chiron.valdosta.edu/whuitt/papers/prbsmbti.html. diakses 10 Juli
2010.
Jerry Glover. (2002). Adaptive Leadership: When Change is Not Enough. The Organization
Development Journal. 20 (2). 15-31.
Lexy J Moleong. (2007). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya
Offset.
Maarten W. van Someren, Yvonne F. Barnard, dan Jacobijn A.C. Sandberg. (1994). The Think
Aloud Method: A Pratical Guide to ModellingCognitive Processes. London: Academic
Press.
Muhtarom. (2010). Analisis Permasalahan Proses Berfikir Siswa Sekolah Dasar dalam
Menyelesaikan Soal Cerita dan Alternatif Pemecahannya. Makalah dalam Seminar
Nasional FPMIPA IKIP PGRI Semarang tanggal 2 Maret 2010.
Muhtarom. (2012). Proses Berpikir Siswa IX Kelas Sekolah Menengah Pertama dalam
Memecahkan Masalah Matematika. Tesis. Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Patrick Reany. (1991). “Heuristics 101”. Arizona Journal of Natural Philosophy. 3. 5-7.
http://www.ajnpx.com/pdf/AJNP/apr91c.pdf.
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 111
Polya. (1973). How to Solve It. 2nd
ed , Princeton University Press, ISBN 0-691-08097-6.
Rheta DeVries. (2006). Piaget's Social Theory. The Constructivist Journal. 17 (1) ISSN 1091-
4072.
Robert L Solso. (1988). Cognitive Psychology. Boston: Allyn and Bacon.
Shahnaz Qayumi. (2001). Piaget and His Role in Problem Based Learning. Journal of
Investigative Surgery. 14. 63-65.
Sukayasa. (2010). Profil Karakteristik Penalaran Siswa SMP dalam MemecahkanMasalah
Geometri. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan
Matematika di UNY pada tanggal 27 November 2010.
Wayne A. Wicklelgren. (1974). How to Solve Problem; Elements of a Theory of Problems and
Problems Solving. New York: W.H. Freeman and Company.
Yulaelawati. (2004). Kurikulum dan Pembelajaran: Filosofi Teori dan Aplikasi, Bandung:
Pakar Raya.
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
112 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
KEMAMPUAN GURU DALAM PROSES ASESMEN MATEMATIS
Edy Bambang Irawan
Jurusan Matematika FMIPA – UM ; [email protected]
Abstrak
Kemampuan guru melakukan asesmen matematis akan membawa dampak
terhadap perubahan proses pembelajaran. Fakta-fakta di lapangan menunjukkan bahwa
masih banyak guru mengalami permasalahan dalam melaksanakan proses asesmen
matematis. Permasalahan tersebut dapat dilihat dari dua aspek pembelajaran , yaitu
pengusaan materi dan kemampuan mengorganisasi siswa. Fakta-fakta tersebut memberi
petunjuk perlunya mengkaji perkembangan kemampuan guru dalam proses asesmen.
Perkembangan kemampuan guru dalam proses asesmen dapat ditinjau dari
berbagai sudut pandang. Romberg (2004,h.230) menawarkan empat langkah yang perlu
dilakukan guru dalam mengembangkan proses asesmen, yaitu: initiate, investigate,
interpret, dan integrate. Langkah pertama berorientasi ke arah memulai dengan
pemahaman guru terhadap praktek asesmen, langkah kedua berorientasi pada
keterlibatan guru dalam melakukan investigasi terhadap teknik asesmen. Langkah ketiga
mengharapkan guru dapat menginterpretasikan hasil kerja siswa, langkah keempat
memberikan kesempatan kepada guru untuk mengembangkan lebih jauh terhadap
praktek asesmen, antara lain melalui kegiatan lokakarya, atau kegiatan profesional guru
lainnya. Merujuk pada Battista (2007, h.836), reformasi proses asesmen matematis
dapat dilakukan melalui pengintegrasian proses asesmen dalam pembelajaran konsep
matemais. Idea pembelajaran konsep menuntut guru melakukan pengkajian konsep
matematika secara spesifik, sebelum melaksanakan proses pembelajaran.
Kata kunci: Kemampuan guru, asesmen matematis
A. Pendahuluan
Perubahan orientasi pembelajaran matematika, tidak dapat dilepaskan dari peran guru
untuk mempelajari perubahan proses belajar bagi dirinya sendiri. Dalam hal ini, guru perlu
melakukan proses belajar yang berbeda dari proses belajar yang dilakukan siswa, atau guru
perlu melakukan proses belajar yang berbeda dengan proses belajar yang pernah dialami
sebelumnya. Demikian pula, guru perlu melakukan perubahan proses asesmen dalam
pembelajaran. Proses asesmen yang perlu dilakukan guru terkait perubahan kurikulum dapat
dihubungkan dengan dua pertanyaan berikut:
(i) apakah guru dapat memahami proses asesmen sesuai pembelajaran
yang dituntut kurikulum baru ?
(ii) apakah guru dapat melaksanakan proses asesmen sesuai pembelajaran
yang dituntut kurikulum baru ?
Ditinjau dari dimensi perkembangan guru, pada umumnya teori perkembangan berpijak pada
pandangan bahwa guru merupakan pebelajar dewasa yang perkembangannya diperoleh dari
perubahan struktur berpikir. Diasumsikan pola berpikirnya berkembang melalui interaksi
dengan lingkungan (Brown & Borko, 1992,h. 227).
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 113
B. Fakta-fakta di Lapangan
Fakta-fakta kelemahan guru dalam proses asesmen tercermin dari beberapa hasil
penelitian tentang kelemahan kemampuan guru dalam pembelajaran. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa tidak semua guru mampu berkomunikasi secara jelas dan secara langsung
pada siswanya tanpa ngelantur (wandering), berbicara melampaui kemampuan anak atau
menggunakan pola berbicara yang merusak (impair) kejelasan dari yang dipresentasikan (Land
& Smith, 1979; Smith & land, 1981; dalam Borich, 1992, h. 9). Hasil penelitian Leinhardt
(1989, h. 173) menunjukkan bahwa banyak guru muda matematika lemah dalam kemampuan
analitik. Struktur pelajaran oleh guru muda terpotong-potong dengan peralihan yang lama,
sering kebingungan yang disebabkan oleh tanda-tanda keliru (missent signal) dan sistem dari
tujuan pelajaran tidak jelas. Sehingga sangat disarankan bagi guruuntuk mengembangkan
kemampuan mengajar sesuai tujuan yang diinginkan, yaitu: pelajaran secara terbuka, fleksibel,
responsif, mendasarkan pada masalah (problem-based) dan tidak berbelit-belit. Brown &
Borko (1992, dalam Hino & Shigematsu, 2002, h. 240) telah membandingkan kemampuan
guru muda dan guru berpengalaman (expert teacher). Dikatakannya bahwa guru
berpengalaman lebih sistematis dan mempunyai kemampuan lebih dalam hal materi (content)
dan pengetahuan mengajar (pedagogical knowledge) dibandingkan dengan guru muda.
Salah satu tujuan pembelajaran matematika adalah mengembangkan kemampuan siswa
dalam menyelesaikan masalah. Namun demikian, banyak kasus yang terjadi di lapangan
berkaitan pembelajaran penyelesaian masalah. Kasus-kasus tersebut dikemukakan antara lain
oleh Koplowitz (1979), Lester (1982), Schoenfeld (1985) dan Victor (2004). Koplowitz
menemukan adanya kesalahan penalaran dalam proses penyelesaian masalah. Lester
menggunakan istilah “masalah proses” dalam penelitiannya yang menemukan ciri khas
kesalahan siswa dalam menyelesaikan masalah matematis. Victor mengemukakan bahwa
secara umum kegagalan siswa dalam menyelesaikan masalah disebabkan oleh kegagalan dalam
memahami masalah, mengorganisasikan operasi matematis, dan kegagalan dalam proses
analisis.
Adanya kesalahan penalaran dalam proses penyelesaian yang dikemukakan oleh Koplowitz
(1979) dilandasi oleh pemberian masalah berikut kapada mahasiswa undergraduate pada
matakuliah ketrampilan belajar matematika.
Saya pergi ke suatu tempat tertentu dengan 40 mil per jam dan sayamembutuhkan 20
menit untuk sampai ke sana. Saya kembali dengan 50 mil per jam. Berapa lama perjalanan
pulang yang saya butuhkan?
Koplowitz melaporkan bahwa berbagai penyelesaian salah yang sering muncul
dikerjakan murid-muridnya adalah 15, l7 1
2, dan 25 menit. Dalam proses pembelajaran,
Koplowitz memberikan kesempatan siswa untuk mendiskusikan penyelesaian masalah
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
114 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
tersebut, dan mereka tidak merasa heran dengan jawaban beragam dalam kelompok.
Selanjutnya Koplowitz membimbing kelompok yang mengarah pada jawaban benar dari
masalah. Namun jalan pikiran yang disampaikan Koplowitz tidak dipandang sebagai jawaban
yang lebih logis dari pikiran para siswa. Bahkan siswa memandang apa yang disampaikan
Koplowitz sebagai cara lain dalam menyelesaikan masalah.
Disisi lain Koplowitz menyampaikan bahwa meskipun murid-muridnya memiliki keterampilan
yang diperlukan dalammenyelesaikan masalah, mereka tidak mengetahui apakah mereka telah
menyelesaikan masalah atau belum. Para siswa berhenti bekerja dalam menyelesaikan
masalah ketika mereka merasa telah menyelesaikannya. Istilah “masalah proses” dalam
menyelesaikan masalah yang dikemukakan Lester (1985) dihasilkan dalam penelitian pada
kelas tiga dan kelas lima dengan mengangkat masalah berikut.
Tom dan Sue mengunjungi peternakan dan melihat ada ayam dan babi.
Tom mengatakan, "Ada 18 binatang." Sue berkata, "Ya, dan mereka memiliki 52
kaki seluruhnya." Berapa banyak dari setiap jenis binatang yang ada di sana?
Dalam hasil penelitiannya ditemukan bahwa hampir semua siswa kelas tiga menyelesaikan
masalah ini dengan menambahkan 18 dan 52, sedangkan siswa kelas lima menyelesaikan
dengan membagi 52 dengan 18. Ketika ditanya tentang jawaban mereka, siswa kelas tiga
mengatakan “ soal tersebut bertanya tentang „berapa banyak semuanya‟ sehingga
ditambahkan”. Sedangkan siswa kelas lima menulis jawaban 52 : 18 kemudian berhenti
bekerja. Mereka merasa ada sesuatu yang salah, tetapi tidak dapat berbuat apa-apa selain
menyerah. Baik siswa kelas tiga maupun siswa kelas lima, ketika mereka menyadari bahwa
jawaban mereka salah, mereka tidak mampu memikirkan prosedur alternatif untuk
menyelesaikannya.
C. Perkembangan Kemampuan Guru
Sebagai manusia dewasa, seorang guru memiliki karakteristik berbeda dengan siswa
dalam melaksanakan proses belajar. Proses belajar bagi guru sebagai manusia dewasa dapat
ditinjau berdasarkan teori perkembangan. Teori perkembangan dalam bidang pendidikan
matematika dapat diklasifikasi dalam dua dimensi, yaitu dimensi psikologi belajar matematika
bagi siswa dan dimensi perkembangan guru. Ditinjau dari dimensi psikologi belajar
matematika bagi siswa, pada umumnya teori perkembangan berpijak pada teori-teori belajar
dari para ahli psikologi belajar matematika yang terkenal, antara lain: jean Piaget, J.P Guilford,
Robert Gagne, Zalton Dienes, David Ausubel, Jerome Bruner dan B.F. Skinner (Bell, 1978, h.
98-157). Ditinjau dari dimensi perkembangan guru, pada umumnya teori perkembangan
berpijak pada pandangan bahwa guru merupakan pebelajar dewasa yang perkembangannya
diperoleh dari perubahan struktur berpikir. Diasumsikan pola berpikirnya berkembang melalui
interaksi dengan lingkungan (Brown & Borko, 1992,h. 227).
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 115
Teori-teori yang dihasilkan dari para pakar penelitian pengembangan tentang
kemampuan guru antara lain: Teori Piaget tentang perkembangan kognitif (1972), Teori
Kohlberg tentang membuat keputusan moral (1969), Teori Loevinger tentang perkembangan
diri (1976), Teori Hunt tentang perkembangan konseptual (1970) Teori Perry tentang
perkembangan etika dan intelektual (1970), Teori Fuller tentang level-level perhatian (1969)
(Brown & Borko, 1992, h. 227). Pada makalah ini akan disajikan secara singkat tentang Teori
Perry, karena mempunyai kaitan erat berkaitan dengan proses asesmen sebagai bagi guru
matematika.
Teori Perry tentang perkembangan etika dan intelektual merupakan level
perkembangan yang berguna dalam menetapkan level-level perkembangan bagi guru
matematika. Pada Teori Perry dikenalkan istilah Pola Perry (Perry’ Scheme), yaitu evolusi
interpretasi kehidupan seseorang yang diperoleh dari sejumlah pengalaman selama bertahun-
tahun. Dalam Pola Perry dikenalkan 9 level perkembangan yang dimampatkan dalam 4
kategori, yaitu: dualisme, multiplistik, relativisme dan komitmen.
Seseorang pada level dualisme berpandangan bahwa setiap pertanyaan mempunyai
jawaban, atau setiap masalah mempunyai penyelesaian, dan setiap ahli akan mengetahui dan
menyediakan jawaban tersebut. Seorang guru pada level ini mempunyai kecenderungan
mendominasi proses pembelajaran, dan menempatkan diri sebagai sentral dalam
menyelesaikan setiap permasalahan yang dihadapi di kelas. Dalam proses pembelajaran
matematika , guru cenderung menempatkan diri memiliki otoritas internal, sedangkan siswa
akan memandang guru memiliki otoritas eksternal.
Seseorang pada level multiplistik berpandangan bahwa segala sesuatu dihargai
berdasarkan cara berpikir dan keyakinan masing-masing. Guru berperan membuat muridnya
berpikir sesuai caranya masing-masing. Seorang guru pada level ini cenderung menciptakan
pembelajaran yang bersifat demokratik. Dalam proses pembelajaran, guru cenderung
menghargai pendapat siswa, walaupun pendapat tersebut bertentangan dengan guru.
Seseorang pada level relativisme berpandangan bahwa tidak semua gagasan bernilai
baik secara bersama, terdapat kriteria untuk mengevaluasi gagasan tersebut sesuai konteks
evaluasinya. Pada level relativisme ini guru tidak sekedar mampu menciptakan pembelajaran
demokratik, tetapi juga lebih obyektif. Pada proses pembelajaran, guru tidak akan memandang
pendapat murid bertentang dengan dirinya, guru tidak mudah menyalahkan siswa yang
bertentangan dengan pendapatnya. Guru akan memandang bahwa pendapat siswa yang
bertentangan tidak bisa disalahkan, karena konteks berpikir siswa tersebut berbeda dengan
konteks berpikir yang dimiliki guru.
Guru pada level relativisme ini kiranya akan lebih mudah dalam menerapkan perubahan
kurikulum dibandingkan guru pada level multiplistik. Pada tahap relativisme ini, guru tidak
menggunakan kriteria benar atau salah dengan berorientasi pada pendapatnya sendiri. Kriteria
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
116 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
dalam menetapkan sesuatu itu benar atau salah tergantung dari konteks yang dihadapi. Dalam
memberikan penilaian, kiranya guru pada level relativisme akan melakukan penilaian lebih
teliti terhadap siswanya. Guru tidak dapat memberikan penilaian berdasarkan subyektifitas
yang dimiliki guru. Namun penilaian yang dilakukan perlu mepertimbangkan berbagai faktor
sesuai konteks berpikir siswa.
Seseorang pada level komitmen berpandangan bahwa sesuatu keputusan hanya dapat
dibuat dengan berdasarkan pada ketidakpastian (uncertainty). Pada tahap ini, seseorang akan
menerima sesuatu gagasan bersifat alternatif, dan pengetahuan dipandang sebagai struktur
individu dalam menafsirkan pengalaman yang dihadapi. Guru pada level ini kiranya akan
mampu menerapkan berbagai perubahan kurikulum secara lebih baik. Setiap proses
pembelajaran akan dirancang dengan sangat hati-hati, karena terdapat banyak faktor yang
menjadi pertimbangan dalam menyusun rencana pembelajaran. Berbagai alternatif yang terjadi
dalam proses pembelajaran akan diperhitungkan secara matang. Pada proses pembelajaran guru
tidak mudah mengklaim setiap keputusan dengan ungkapan benar atau salah. Bahkan guru
cenderung tidak mengatakan benar atau salah terhadap suatu keputusan, tetapi cenderung
memberikan argumentasi terhadap setiap keputusan yang dibuat guru maupun siswa.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa para guru cenderung berada pada level rendah dari
Pola Perry, dan sulit berpindah pada level yang lebih tinggi. Dikemukakan pula bahwa hasil
penelitian menunjukkan bahwa para guru cenderung sulit menerima konsepsi konstruktivisme
dalam pembelajaran matematika yang dapat menempatkan semua individu termasuk siswa
sebagai seseorang yang mempunyai otoritas (Brown & Borko, 1992, h. 229). Kondisi ini
menjadi tantangan berat bagi para guru dalam menerapkan setiap perubahan kurikulum . Guru-
guru pada level rendah cenderung melaksanakan proses pembelajaran bersifat sentralistik,
sedangkan dalam perkembangan kurikulum menuntut proses pembelajaran bersifat
demokratik. Guru yang akan menerapkan proses asesmen secara baik harus meningkatkan
level tinggi dari Pola Perry. Upaya meningkatkan level lebih tinggi kiranya dapat dilakukan
melalui serangkaian aktivitas profesional para guru.
D. Reformasi Proses Asesmen Matematis
Reformasi proses asesmen matematis untuk meningkatkan profesionalisme guru dalam
rangka menghadapi pergeseran paradigma pembelajaran dapat dilakukan melalui berbagai
sudut pandang. Romberg (2004,h.230) menawarkan empat langkah yang perlu dilakukan guru
dalam mengembangkan proses asesmen, yaitu: initiate, investigate, interpret, dan integrate.
Langkah pertama berorientasi ke arah memulai dengan pemahaman guru terhadap praktek
asesmen, langkah kedua berorientasi pada keterlibatan guru dalam melakukan investigasi
terhadap teknik asesmen. Langkah ketiga mengharapkan guru dapat menginterpretasikan hasil
kerja siswa, langkah keempat memberikan kesempatan kepada guru untuk mengembangkan
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 117
lebih jauh terhadap praktek asesmen, antara lain melalui kegiatan lokakarya, atau kegiatan
profesional guru lainnya.
Apabila merujuk pada Battista (2007, h.836), reformasi proses asesmen matematis
dapat dilakukan melalui pengintegrasian proses asesmen dalam pembelajaran konsep. Idea
pembelajaran konsep menuntut guru melakukan pengkajian konsep matematika secara spesifik,
sebelum melaksanakan proses pembelajaran. Pengkajian konsep matematika dapat dilakukan
dengan mengidentifikasi konsep, dan membuat pertanyaan.
Kemampuan mengidentifikasi konsep yang dimaksudkan dalam makalah ini
dihubungkan dengan dua hal, yaitu memahami karakteristik konsep dan kemampuan
memberikan contoh dan bukan contoh. Menyusun karakteristik konsep berarti melakukan
analisis sifat-sifat terhadap konsep. Analisis sifat-sifat tersebit memberi dukungan dalam
pengenalan pola. (Kellas, Ferraro & Simpson, 1988; dalam Bruning et.al., h. 26). Proses
mengenal pola merupakan unsur penting dalam belajar matematika (Burger & Murser, 1991, h.
11; Fendel,1987, h. 104).
Kemampuan memberikan contoh dan bukan contoh terhadap suatu konsep penting
dimiliki oleh seorang guru, untuk membantu siswa agar siswa memahami secara mendalam
dari konsep yang dipelajari. Kebiasaan guru dalam menyusun contoh dan bukan contoh dapat
menciptakan aktivitas matematika di kelas. Booler (Lester, 2007, h. 411) memandang bahwa
pemberian contoh dan bukan contoh sebagai aktivitas di kelas dapat memberi inspirasi dalam
melakukan reformasi pembelajaran. Menurut Booler, belajar matematika di kelas secara aktif
tidak sekedar hanya memiliki pengetahuan prosedural, tetapi akan mampu mengembangkan
conceptual understanding, (Lester, h. 411)
Disadari bahwa guru matematika di sekolah menengah tidak hanya dituntut untuk
mampu mengidentifikasi konsep, tetapi juga dituntut mampu mengkomunikasikan kepada
siswa . Komunikasi tersebut mempunyai peran penting dalam mengkonstruksi pemahaman
anak, mengevaluasi, dan menginterpretasikan ide-ide (Bloomer & Carlson, 1993, h.2). Sebagai
upaya untuk mampu mengkomunikasikan konsep matematika kepada siswa, guru perlu
mempunyai kemampuan menyusun pernyataan verbal terkait dengan konsep yang dikaji.
Seseorang dikatakan belajar matematika secara baik bila mampu menggunakan strategi
penyelesaian masalah, dan dapat berkreasi terhadap masalah yang diselesaikan (Moses, dalam
Brown, 1993, h. 187). Siswa mampu menggunakan strategi penyelesaian masalah, sangat
dipengaruhi peran guru dalam memilih strategi pembelajaran di kelas. Kemampuan guru
membuat pertanyaan dalam kegiatan mengajar di kelas akan mempunyai pengaruh terhadap
peningkatan kreatifitas siswa. Pertanyaan yang diformulasikan dengan baik oleh guru dapat
meningkatkan partisipasi di kelas dan menjadikan siswa merasa dirinya mempunyai peran
penting di dalam kelas. Cobb & Hadge (2002, h.408) memperkuat perlunya meningkatan
partisipasi siswa dengan menggunakan istilah relational perspektif. Dalam prinsip relational
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
118 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
perspektif, partisipasi anak tidak hanya dikembangkan dalam pembelajaran di kelas, tetapi perlu
pembentukan hubungan antara partisipasi di kelas dan praktek di luar kelas, dimana siswa
berperan sebagai anggota masyarakat.
E. Penutup
Pokok-pokok pikiran dalam mendukung kemampuan guru dalam proses asesmen matematik
dalam menghadapi pergeseran paradigma pembelajaran dapat dideksripsikan sebagai berikut.
1. Fakta-fakta di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak guru mengalami permasalahan
dalam melaksanakan proses asesmen, namun demikian perlu disadari bahwa perkembangan
kemampuan guru melakukan asesmen akan membawa dampak terhadap perubahan proses
pembelajaran. Guru perlu membangun lingkungan belajar yang kondusif bagi anak didik,
yaitu pembelajaran yang dilaksanakan secara terbuka, fleksibel, responsif, mendasarkan
pada masalah, dan tidak berbelit-belit.
2. Guru yang akan menerapkan proses asesmen secara baik, perlu meningkatkan serangkaian
aktivitas profesional, dapat menerima dan melaksanakan konsepsi konstruktivisme, dan
dapat menempatkan individu termasuk siswa sebagai seseorang yang mempunyai otoritas.
3. Dalam mengembangkan proses asesmen, guru dapat melakukan empat langkah, yaitu:
initiate, investigate, interpret, dan integrate. Langkah pertama berorientasi ke arah memulai
dengan pemahaman guru terhadap praktek asesmen, langkah kedua berorientasi pada
keterlibatan guru dalam melakukan investigasi terhadap teknik asesmen. Langkah ketiga
mengharapkan guru dapat menginterpretasikan hasil kerja siswa, langkah keempat
memberikan kesempatan kepada guru untuk mengembangkan lebih jauh terhadap praktek
asesmen, antara lain melalui kegiatan lokakarya, atau kegiatan profesional lainnya.
F. Sumber Pustaka
Battista M.T. 2007. The development of geometric and spatial thinking. In Lester F.K, Jr.
Second Handbook of Research on Mathematics Teaching and Learning. NCTM
Bell, F.H. 1978. Teaching and learning mathematics (in secondary schools). WCB. Iowa
Borich G.D. 1992. Effective Teaching Methods. 2nd
Eds. Merrill.
Burger, W.F. & Murser, G.L. 2006. Mathematics for elementary teachers. Contemporary
Approach. USA: Macmillan
Bloomer, A.M. & Carlson, P.A.T. 1993. Activity math, using manipulative in the classroom.
USA: Addison –Wesley
Brown, C.A. & Borko, H. 1992. Becoming a mathematics teacher. In Grouws D.A. (Ed.)
Handbook of Research on Mathematics Teaching and Learning. New York: NCTM
Brown, S.I. & Walter, M.I. 1993. Problem posing: reflection and application. USA:
Lawrence, E.A.
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 119
Howard T.C & Aleman G.R. 2008. Teacher capacity for diverse learner. In Cochran M-Smith
etc.Handbook of Research on Teacher Education. Enduring Question in Changing
Contexts. 3th
Eds. Routledge
Hino, K. & Shigematsu, K. 2002. Creating a frame of reference for mathematics teaching: a
study of teacher change through an in-service education program. In Edge D & Har Y.B.
(Eds). MathematicsEducation for a Knowledge-Based Era. Proceeding of ICMI
Singapore:SEAME 9
Koplowitz. 1979. H. The feeling of knowing when one has solved a problem. In J.Lochhead &
J. Clement (Eds.). Cognitive process instruction: Research in teaching thinking skill.
Philadelphia: The Franklin Institute Press.
Leinhardt, G. 1989. Math lesson: a contrast of novice and expert competence. Journal for
Research in Mathematics Education. USA: NCTM
Lester F.K. 1985. Methodological Consideration In Research on Mathematical Problem
Solving Instruction. In TeAching and learning mathematical problem olving. Multiple
reseach perspective (E.Silver),ed. Hillsdale.NJ:LEA.
Romberg. (2004). Standard Based Mathematics Assessment in Midlle School. Rethinking
College Press, Columbia University
Schoenfeld, A. (1985). Mathematical Problem Solving. San Diego, CA: Academic Press.
Victor, A.M. (2004). The effects of metacognitive instruction on the planning and
academic achievement of first and second grade children. (Doctoral Thesis). Chicago,
IL: Graduate College of the Illinois Istitute of Technology.
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
120 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
PENGGUNAAN METODE MIND MAPPING (PETA PIKIRAN) UNTUK
MENINGKATKAN KEMAMPUAN PENALARAN MATEMATIS SISWA SMP
Ratna Cempaka Kombado1)
, Louise M. Saija Sihotang2)
1) Program Studi Pendidikan Matematika FKIP UNAI
Jl. Kolonel masturi no.288, e-mail: [email protected]
2) Dosen FKIP Universitas Advent Indonesia
Jl. Kolonel masturi no.288, e-mail:[email protected]
Abstrak
Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk meningkatkan kemampuan penalaran matematis
siswa SMP. Kemampuan penalaran matematis pada siswa SMP masih rendah seperti yang
dilaporkan dari berbagai hasil penelitan, sehingga dilakukan usaha untuk meningkatkannya.
Oleh sebab itu, dibutuhkan suatu metode yang tepat untuk mengatasinya. Metode mind
mapping digunakan untuk mengatasi hal tersebut. Metode ini menggunakan peta-peta
pikiran yang bercabang-cabang, dan dengan metode ini dapat meningkatkan daya berpikir
dan daya nalar seorang anak. Dalam penelitian ini, yang menjadi sampel adalah dari siswa
SMPN 10 Cimahi dan ada 2 kelompok, yaitu kelompok kontrol dan eksperimen dengan
metode mind mapping. Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen.Teknik
pengumpulan data menggunakan observasi, angket, wawancara, dokumentasi, dan tes.
Keywords : Mind mapping, penalaran.
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan hal yang sangat penting dan juga merupakan harapan bagi setiap
orang. Priantini et al., (2013) melaporkan bahwa pendidikan juga merupakan hal yang sangat
menarik untuk dibahas karena melalui usaha pendidikan diharapkan tujuan pendidikan akan
segera tercapai. Hal tersebut juga terlihat pada era reformasi yang telah membuka ruang bagi
masyarakat untuk membicarakan masalah pendidikan dengan lebih baik dan banyak orang tua
yang sangat antusias untuk memasukkan anaknya ke sekolah unggulan, bahkan hal ini telah
menjadi sebuah kompetisi pendidikan (Ali, 2009).
Lee dan Statham., (2010) melaporkan bahwa untuk meningkatkan kemampuan belajar
matematis siswa, hendaknya disertakan lima standar proses National Council of Teachers of
Mathematics (NCTM) ke dalam proses belajar mengajar. Lima standar proses di antaranya : 1)
pemecahan masalah, 2) Penalaran, 3) komunikasi, 4) koneksi, dan 5) pemahaman. Tetapi pada
kenyataannya, kemampuan penalaran matematis siswa khususnya siswa SMP masih rendah
dibandingkan dengan kemampuan matematis lainnnya seperti yang dilaporkan oleh mullis et al,.
(2012). Dapat dilihat pada tabel 1.1.
Tabel 1.1 menunjukkan bahwa siswa di Indonesia memiliki kemampuan penalaran yang
rendah dibandingkan dengan Negara lainnya. Padahal, penalaran matematis sangat dibutuhkan
dalam matematika khususnya untuk menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi siswa
(Soares et al., 2012) dengan penalaran juga memungkinkan kita untuk mengevaluasi argument,
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 121
menguji hipotesis alternative, mengumpulkan bukti, menarik kesimpulan, dan pada akhirnya
membuat keputusan untuk hidup kita (Metllidou et al., 2012).
Tabel 1.1 Presentase TIMSS 2011 Penilaian Matematika untuk Domain Kognitif
Negara Knowing Applying Reasoning
Singapura 82 (0.8) 73 (1.0) 62 (1.1)
Korea Ref. 80 (0.5) 73 (0.6) 65 (0.6)
Jepang 70 (0.6) 64 (0.6) 56 (0.7)
Malaysia 44(1.2) 33 (1.0) 23 (0.9)
Thailand 38 (1.0) 30 (0.8) 22 (0.8)
Indonesia 37 (0.7) 23 (0.6) 17 (0.4)
Rata-rata Internasional 49 (0.1) 39 (0.1) 30 (0.1)
Sumber: Mullis et al., (2012)
Deporter., (2007) melaporkan bahwa banyak faktor yang melatar belakangi hal tersebut
di atas, diantaranya adalah kurangnya pemahaman akan materi yang diberikan guru dalam
pembelajaran matematika dan kurangnya saling pengertian antara Guru dan siswa. Hal ini bisa
terjadi karena materi yang disampaikan belum terstruktur dengan baik dalam pikiran seorang
anak dan juga kurangnya kreatifitas serta cara bernalar seorang anak terhadap materi yang
disampaikan kurang maksimal (Lamon, 2007), serta penggunaan metode dalam pembelajaran
matematika yang belum efektif dan efisien (Kamaruddin & Amin, 2012).
Mencermati hal-hal di atas, guru sangat berperan penting dalam kesuksesan seorang
siswa. Kamaruddin dan Amin., (2012) melaporkan bahwa guru hendaknya memilih strategi
pembelajaran yang tepat yang dapat meningkatkan kemampuan bernalar dan kreativitas dalam
belajar khususnya dalam pembelajaran matematika.
Banyak strategi pembelajaran yang dapat digunakan, salah satu diantaranya ialah Mind
Mapping (Peta Pikiran). Metode mind mapping sangat cocok digunakan sebagai suatu metode
pada pembelajaran karena dengan metode mind mapping dapat meningkatkan pemikiran
seorang anak dan dapat menyampaikan apa yang telah ia dapatkan dengan baik, yaitu dengan
cara berdiskusi (Riswanto & Putra, 2012). Selain itu, metode mind mapping dapat digunakan
untuk belajar dan mengingat juga menyelesaikan masalah yang sangat rumit sekalipun dan
membuat memori jangka panjang (Adodo, 2013) dan melalui metode mind mapping
jugapenalaran secara signifikan ditingkatkan dan ini sangat efektif untuk digunakan (Cheng et
al., 2010).
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
122 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
KAJIAN TEORITIS
A. Kemampuan Penalaran Matematis
Istilah panalaran atau reasoning dapat diartikan sebagai kemampuan berpikir seseorang
khususnya siswa dan mampu menghubungkan dan membandingkan fakta-fakta dan akhirnya
menuju kepada suatu kesimpulan (Cetin & Ertekin, 2011). Penalaran merupakan suatu proses
yang akhirnya menuju kepada suatu kesimpulan yang merupakan pernyataan baru dan yang
berasal dari pernyataan-pernyataan yang telah diketahui sebelumnya (Siswanto & Rechana,
2011). Penalaran matematis sangat dibutuhkan dalam matematika khususnya untuk
menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi siswa (Soares et al., 2012).
Wardhani (2010) melaporkan indikator-indikator kemampuan penalaran yang harus dicapai
oleh seorang siswa, yaitu :
1. Menyajikan pernyataan matematika secara lisan, tertulis, gambar, dan diagram
2. Mengajukan dugaan
3. Melakukan manipulasi matematika
4. Menarik kesimpulan dari sebuah pernyataann
5. Memeriksa kesahihan suatu argument
6. Menemukan pola atau sifat dari gejala matematis untuk membuat generalisasi
B. Mind Mapping
Mind Mapping atau peta pikiran petama kali dikembangkan oleh Tony Buzan. Mind
mapping merupakan satu strategi yang melibatkan topik dari suatu ide di tengah dari sebuh
kertas dan membuat cabang-cabang dari topic atau yang menjadi bagian dari topik. Ini adalah
sebuah alat visual yang dapat menghasilkan ide-ide, mengorganisir pikiran dan
mengembangkan konsep dengan menggunakan berbagai warna (Al-Jarf, 2011).
Jones et al., (2012) melaporkan bahwa ada tiga kegiatan pemetaan pikiran yang
dikelompokkan menjadi tiga tingkatan meditasi sosial, yaitu :
1. Selama proses belajar mengajar berlangsung, siswa dituntut atau diwajibkan untuk membuat
peta dengan buku catatan
2. Siswa diberikan satu jam di kelas untuk menyelesaikan peta dan serahkan ke guru yang
menjadi seorang instruktur dan guru tetap berada di kelas untuk menjawab setiap
pertanyaan yang diberikan oleh siswa. Siswa diajak untuk bekerja dengan siswa lain di
kelas mereka.
3. Guru membagi siswa kedalam tiga atau empat kelompok, dan siswa diajak untuk mebuat
peta pikiran secara berkelompok yang telah dibagikan.
Dari pernyataan di atas, dapat kita simpulkan bahwa siswa diajak atau diwajibkan
untuk membuat peta pikiran baik secara individu ataupun secara berkelompok dari pelajaran
yang mereka pelajari.
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 123
Al-jarf (2011) melaporkan bahwa mind mapping dapat digunakan oleh guru untuk
meningkatkan belajar seorang anak. Hal ini juga berguna untuk pelajar dengan cara visual
sebagai alat ilustrasi yang dapat membantu mengelola cara berpikir seorang anak, mengarahkan
pembelajaran, dan membuat koneksi dari setiap pelajaran yang telah dipelajari dengan yang
sedang dipelajari dan akan dipelajari.
Metode mind mapping sangat cocok digunakan sebagai suatu metode pada
pembelajaran karena dengan metode mind mapping dapat meningkatkan pemikiran seorang
anak dan dapat menyampaikan apa yang telah ia dapatkan dengan baik, yaitu dengan cara
berdiskusi (Riswanto & Putra, 2012). Oleh sebab itu efesiensi penggunaannya sangat tinggi.
Selain itu, metode mind mapping dapat digunakan untuk belajar dan mengingat juga
menyelesaikan masalah yang sangat rumit sekalipun dan membuat memori jangka panjang
(Adodo, 2013). Selain itu, dengan menggunakan metode mind mapping penalaran secara
signifikan ditingkatkan dan ini sangat efektif digunakan (Cheng et al., 2010).
Adapun langkah-langkah dalam membuat mind mapping seperti yang dilaporkan oleh
Cheng et al., (2010) sebagai berikut :
1. Tempatkan topi yang akan dibahas di tengah. Mulailah dari tengah kertas, sebagaimana cara
berpikir kita.
2. Alangkah baiknya jika menggunakan kertas yang memiliki kualitas tinggi dan kertas A3
yang kosong atau kertas A4 dan letakkan horizontal.
3. Kertas yang memmiliki kualitas yang baik dapat membuat perasaan yang nyaman,
sedangkan kertas kosong menyediakan ketidakterbatasan dan memberikan ruang untuk
bebas dalam berpikir.
4. Aplikasi gambar-lebih baik jika menggunakan banyak warna dan tiga dimensi karena akan
memicu pola pikir dan lebih mudah memperkuat daya ingat ketika lebih dekat dengan
kehidupan nyata.
5. Aplikasi warna-warna yang berbeda memiliki arti yang berbeda untuk semua orang.
6. Aplikasi kata-kata dari setiap garis merupakan kata kunci, tulislah dengan rapi in lembar
kertas yang kosong dan letakkan hanya satu kosa kata.
7. Panjang garis harus sama dengan ukuran gambar atau panjang kalimat.
8. Garis harus halus dan terstruktur dan dihubungkan satu sama lain.
9. Ketebalan garis tergantung pada jarak dari pusat. Semakin dekat ke pusat, semakin tebal
garis tersebut. Tetapi dapat disesuaikan dengan situasi yang berbeda.
10. Sangat penting bentuk dari mind mapping harus menyoroti poin dan menunjukkan bentuk
sendiri.
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
124 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
Gambar 1.1
METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode mind mapping atau peta
pikiran. Penelitian ini dilakukan guna meningkatkan kemampuan penalaran matematis
siswa SMP khususnya kelas VII C dan kelas VII D sebagai sampel dalam penelitian ini.
Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen.
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan pada semester ganjil tahun akademik 2013/2014 di SMP
Negeri 10 Cimahi, Bandung, Jawa Barat.
Target/Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah siswa kelas VII C dan kelas VII D SMP Negeri 10 Cimahi
yang masing-masing kelas terdiri dari 31 orang siswa.
Prosedur
Adapun prosedur dalam penelitian eksperimen dapat dilihat pada Gambar 2.2:
Data, Instrumen, dan Teknik Pengumpulan Data
Data, instrument dan teknik pengumpulan data merupakan suatu tahap yang sangat
penting dilakukan dalam penelitian. Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah semua
data yang berhubungan dengan kemampuan penalaran matematis siswa dan sikap siswa
terhadap aspek yang dinilai. Untuk mendapat data dan informasi yang lengkap yang
bersangkutan dengan penelitian ini, maka dibuat instrument tes yang diberikan pada tahap awal
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 125
dan akhir penelitian, tetapi sebelumnya tes sudah diujicobakan dan dianalisis. Selain instrumen
tes, maka pada penelitian ini digunakan juga instrumen non tes, berupa angket. Langkah-
langkah untuk mengumpulkan data-data tersebut di atas adalah sebagai berikut :
1. Semua data yang berhubungan dengan kemampuan penalaran matematis siswa,
dikumpulkan melalui pre-test dan post-test.
2. Data yang berhubungan dengan sikap siswa selama pembelajaran dengan menggunakan
metode mind mapping, dikumpulkan melalui angket skala sikap siswa seusai pemberian
materi ajar.
Gambar 1.2. Prosedur Pelaksanaan Penelitian
Mengidentifikasi Masalah
Persiapan Penelitian
Penyusunan Instrumen
Penelitian
Pre-Test
Kelas Kontrol Kelas Eksperimen
Post-Test
Angket Skala Skiap
Pengolahan Data
Analisis Kemampuan Penalaran Matematis
Penarikan Kesimpulan
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
126 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
Teknik Analisis Data
Terhadap data hasil uji coba dilakukan analisis validitas, reliabilitas, daya beda dan
tingkat kesukaran. Sedangkan terhadap data hasil pre-test dan post-test dilakukan teknik analisis
data sebagai berikut : analisis data Gain, Uji Normalitas, Uji homogenitas dan Uji perbedaan
dua rata-rata.
1. Analisis Data Gain
Analisis data gain dilakukan untuk mengetahui besarnya peningkatan kemampuan
penalaran matematis siswa pada kelas eksperimen dan kelas kontrol dan dilakukan analisis
terhadap hasil tes awal (pre-tes) dan tes akhir (post-tes). Berikut ini merupakan rumus Gain
ternormalisasi oleh Hake, dengan rumus sebagai berikut:
𝑔𝑛 = 𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑝𝑜𝑠𝑡 𝑡𝑒𝑠𝑡 −(𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑝𝑟𝑒 𝑡𝑒𝑠𝑡 )
𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑖𝑑𝑒𝑎𝑙 −(𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑝𝑟𝑒 𝑡𝑒𝑠𝑡 ) Hake ( Afrilianto, 2012)
Dari hasil perhitungan gain dikategorikan sebagai berikut :
Tabel 3.6
Klasifikasi Gain (g)
Besarnya Gain (g) Interpretasi
g≥ 0,7 Tinggi
0,3 ≤ g < 0,7 Sedang
g < 0,3 Rendah
(Hake, Afrilianto, 2012)
2. Uji Normalitas
Langkah pertama adalah melakukan uji normalitas. Uji normalitas ini berfungsi untuk
melihat dan mengetahui apakah data terdistribusi normal atau tidak. Hipotesis nol untuk uji ini
adalah : 𝐻0 = skor kemampuan penalaran matematis siswa berasal dari populasi yang
berdistribusi normal.𝐻0 tidak ditolak jika nilai signifikan lebih dari α = 0,05. Untuk Uji
normalitas digunakan uji Shapiro-Wilk sebagai berikut:
𝑤 =( 𝑎𝑖𝑥 𝑖 )2𝑛
𝑖=1
𝑥1−𝑥 2𝑛𝑖=1
(Uyanto dalam Tarigan ,2013)
Dengan ;
𝑋(𝑖) = statistik tatanan 𝑥 1 ,𝑥(2),… , 𝑥(𝑛)
𝑎(𝑖) = konstanta yang diperoleh dari nilai rata-rata (mean), varians dan kovarians sampel
tatanan sebesar n dari distribusi normal.
3. Uji Homogenitas
Untuk mengetahui apakah data berasal dari populasi-populasi yang memiliki varians yang
homogen dan tidak homogen, maka dilakukan uji homogenitas. Untuk uji homogenitas ini
digunakan rumus Uji-F sebagai berikut :
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 127
𝐹ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 =𝑠𝑒
2
𝑠𝑘2 , (Sudjana dalam Tarigan, 2013)
Keterangan :
F : Nilai F
𝑠𝑒2 : Varians data kelas eksperimen
𝑠𝑘2 : Varians data kelas kontrol
Ho : 𝜌𝑒2 = 𝜌𝑘
2 tidak akan ditolak jika nilai signifikan > α = 0,05
Artinya : varians dari kedua populasi data homogeny
4. Uji Perbedaan Dua Rata-rata
Pengujian ini memiliki hipotesis sebagai berikut :
𝐻0 𝜇𝑘 = 𝜇𝑒 : Tidak terdapat peningkatan rata-rata kemampuan penalaran matematis siswa
terhadap pembelajaran dengan menggunakan metode mind mapping dengan pembelajaran
konvensional atau biasa.
𝐻𝑎 𝜇𝑘 < 𝜇𝑒 : Terdapat perbedaan yang signifikan antara peningkatan rata-rata kemampuan
penalaran matematis siswa yang mendapat pembelajaran dengan menggunakan metode mind
mapping dengan siswa yang mendapat pembelajaran dengan metode mengajar konvensional
(biasa).
Hipotesis dari penelitian ini diuji dengan menggunakan uji-t sebagai berikut :
𝑡 =𝑥1−𝑥2
𝑠𝑔2 1
𝑛1+
1
𝑛2
Dengan standar deviasi gabungan (𝑠𝑔) dapat dihitung dengan menggunakkan rumus sebagai
berikut :
𝑠𝑔2 =
𝑛1−1 𝑠12+ 𝑛2−1 𝑠2
2
𝑛1+𝑛2−2 (Sudjana dalam Astuti et al., 2012)
Jika terdapat populasi yang tidak terdistribusi normal, maka dapat menggunakan statistik uji
non parametrik, yaitu uji Mann-Whitney. Rumus untuk uji Mann Whitney adalah ebagai berikut
:
𝑢 = 𝑛1𝑛2 +𝑛𝑖(𝑛𝑖+1)
2− 𝑅𝑖
Dimana;
𝑅𝑖 = jumlah peringkat yang diberikan pada sampel dengan jumlah 𝑛𝑖
𝑅𝑖 = jumlah peringkat yang diberikan pada sampel dengan jumlah 𝑛𝑖 . 𝑖 = 1,2
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
128 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
HASIL PENELITIAN YANG RELEVAN DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian berikut yang dilakukan oleh Siswanto & Rechana (2011) yang berjudul
“Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT (Numbered Heads Together)
Menggunakan Peta Konsep dan Peta Pikiran Terhadap Penalaran Formal Siswa”, berdasarkan
hasil perhitungan dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe NHT
menggunakan peta pikiran lebih berpengaruh terhadap penalaran formal siswa.
Penelitian berikut yang dilakukan oleh Priantini et al., (2013) dengan judul penelitiaan
“Pengaruh Meode Mind Mapping Terhadap Keterampilan Berpikir Kreatif dan Prestasi Belajar
IPS”, berdasarkan data yang diperoleh hasil penelitian menunjukkan bahwa : 1) terdapat
perbedaan keterampilan berpikir kreatif yang signifikan antara siswa yang mengikuti
pembelajaran menggunakan metode Mind Mapping dan siswa yang mengikuti pembelajaran
konvensional, dan 2) Secara simultan keterampilan menggunakan metode Mind Mapping lebih
baik secara signifikan daripada siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional.
Penelitian yang sedang dilaksanakan berpusat pada mind mapping dengan warna dan
kertas, yang dapat memicu kemampuan bernalar, daya ingat dan pola pikir siswa yang terarah.
Seperti yang telah di bahas bahwa metode mind mapping merupakan satu strategi yang
melibatkan topik dari suatu ide di tengah dari sebuh kertas dan membuat cabang-cabang dari
topic atau yang menjadi bagian dari topik. Ini adalah sebuah alat visual yang dapat
menghasilkan ide-ide, mengorganisir pikiran dan mengembangkan konsep dengan
menggunakan berbagai warna (Al-Jarf, 2011). Metode mind mapping juga dapat digunakan
untuk belajar dan mengingat juga menyelesaikan masalah yang sangat rumit sekalipun dan
membuat memori jangka panjang (Adodo, 2013). Selain itu, dengan menggunakan metode mind
mapping penalaran secara signifikan ditingkatkan dan ini sangat efektif digunakan (Cheng et al.,
2010).
Dalam pembuatan mind mapping digunakan kertas A4 dengan kualitas yang baik. Kertas
yang memiliki kualitas yang baik dapat membuat perasaan yang nyaman, sedangkan kertas
kosong menyediakan ketidakterbatasan dan memberikan ruang untuk bebas dalam berpikir.
Pembuatan mind mapping juga menggunakan Aplikasi gambar degan menggunakan banyak
warna. Warna yang berbeda memiliki arti yang berbeda untuk semua orang. Dengan
menggunakan banyak warna dan tiga dimensi akan memicu pola pikir dan lebih mudah
memperkuat daya ingat ketika lebih dekat dengan kehidupan nyata (Cheng et al., 2010).
Berdasarkan kajian teori di atas, penelitian yang sedang dilakukan dengan judul
“Penggunaan Metode Mind Mapping (Peta Pikiran) untuk Meningkatkan Kemampuan
Penalaran Matematis Siswa SMP” dapat diprediksi akan menghasilkan: 1) kemampuan
penalaran siswa yang tinggi khususnya untuk siswa SMP, 2) siswa-siswa yang kreatif dalam
membuat mind mapping nya sendiri, dan 3) sikap yang baik terhadap pembelajaran ini karena
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 129
siswa memiliki pengalaman belajar yang berbeda, menantang mereka untuk berpikir dan
menyenangkan.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan kajian teori dan penelitian yang sedang berlangsung, maka dapat saya
simpulkan sebagai berikut:
1. Penelitian dengan menggunakan metode mind mapping ini akan menghasilkan kemampuan
penalaran siswa yang tinggi khususnya untuk siswa SMP.
2. Penelitian ini akan menghasilkan siswa-siswa yang kreatif dalam membuat mind mapping
nya sendiri.
3. Dapat dipredidksi sikap yang baik terhadap pembelajaran ini karena siswa memiliki
pengalaman belajar yang berbeda, menantang mereka untuk berpikir dan menyenangkan.
Saran
Berdasarkan kajian teori dan penelitian yang sedang berlangsung, maka dapat disarankan
sebagai berikut:
1. Bagi guru matematika, agar dapat menggunakan metode mind mapping sebagai salah satu
media untuk melatih dan meningkatkan penalaran dan berpikir kreatif siswa.
2. Bagi siswa, agar terus termotivasi untuk membiasakan diri dalam cara bernalar dalam
belajar matematika dengan menggunakan mind mapping.
3. Bagu peneliti lain, agar dapat dipergunakan sebagai masukan untuk menggunakan metode
mind mapping dalam meneliti dengan materi lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Adodo, S.O. (2013). Effect of Mind Mapping as a Self-Regulated Learning Strategy on
Students‟ Achievement in Basic Science and Thechnology. Mediterranean Journal of
Social Sciences Vol 4 No.6, hal 163-164
Afrilianto, M. (2012). Peningkatan Pemahaman Konsep dan Kompetensi Strategis Matematika
Siswa SMP Dengan Pendekatan Metaphorical Thinking. Dalam Jurnal Ilmiah Program
Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Volume 1, Nomor 2, September 2012.
Al-jarf, R. (2011). Teaching Spelling Skills with a Mind Mapping Software. Asian EFL Journal
Professional Teaching Articles Vol 53, hal 4-5
Ali, M. (2009). Pendidikan untuk Pembangunan Nasional : Menuju Bangsa Indonesia
yang Mandiri. Bandung : PT. Imperial Bakti Utama. Tersedia Online :
http://books.google.co.id/books?id=g3ZUyBYo94YC&printsec=frontcover&dq=M
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
130 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
ohammad+Ali+pendidikan&hl=en&sa=X&ei=nBBuUdGxBo3xrQeD7oHwDA&re
dir_esc=y [diakses tanggal 17 April 2013]
Astuti, S., (2012). Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Active Knowledge Sharing
Untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa Pada Poko Bahasan Kelarutan dan Hasil
Ksli Kelarutan di Kelas XI SMA Al Huda Pekanbaru. Skripsi pada Universitas Riau :
Diterbitkan.
Cetin, H & Ertekin, E., (2011). The Relationship Between eigth grade primary School Students‟
Proportional Reasoning Skills and Success in Solving Equations. Dalam International
Journal of Instruction, Volume 4, Nomor 1, Januari 2011.
Cheng W.W., Chieh L.C. dan Chien C.Y. (2010). A Brief Review on Developing Creative
Thinking in Young Children by Mind Mapping. International Business ResearchVol 3
No. 3, hal 233-234
Deporeter, B et al., (2007). Quantum Teaching. Bandung : Kaifa. Tersedia Online :
http://books.google.co.id/books?id=oRQbeySpce8C&printsec=frontcover&source=gbs_g
e_summary_r&cad=0#v=onepage&q&f=false [diakses tanggal 05 mei 2013]
Kamaruddin, k. & Amin Z. (2012). Dilemma in Teaching Mathematics. Dalam US-China
Education Review B 2, 2012
Jones B. D., Ruff C., Petrich B., dan Koonce C. (2012). The Effects of Mind Mapping Activities
on Students‟ Motivation. International Journal for the Scholarship of Teaching and
Learning Vol 6 No.1, Hal 6
Lamon, S. J. (2007). “Rational numbers and proportional reasoning”, dalam Make Your Own
Paint Chart. Australia : University of Tasmania.
Lee K, H dan Statham A., (2010). The Impacts of a Service-Learning Experience on Pre-
service Mathematics Teachers. IUMPST journal Vol 2
Metallidou P., Diamantidou E., Konstantinopoulou E., dan Megari K. (2012). Changes in
Children‟s Beliefs about Everyday Reasoning : Evidence from Greek Primary
Students. Australian Journal of Education & Developmental Psycology Vol 12, hal
83
Mullis, I.V.S., Martin, M.O., Foy, P., & Arora, A. (2012). TIMSS 2011 Internastional Result in
Mathematics. Chestnut Hill, MA: TIMSS & PIRLS International Study Center,
BostonCollege.
Priantini, D. A. M. M. O., Atmadja, N.B., Marhaeni, A.A.I.N. (2013). Pengaruh Metode Mind
Mapping Terhadap Keterampilan Berpikir Kreatif dan Prestasi Belajar IPS. Dalam e-
Journal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Pendidikan
Dasar, Volume 3, Tahun 2013
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 131
Riswanto dan Putra P.P. (2012). The Use of Mind Mapping Strategy in the Teaching of Writing
at SMAN 3 Bengkulu, Indonesia. International Journal of Humanities and Social Science
Vol.2 No. 21, hal. 60
Siswanto J, dan Rechana S. (2011). Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT
(Numbered Heads Together) Menggunakan Peta konsep dan peta Pikiran Terhadap
Penalaran Formal Siswa. JP2F Vol 2, No.2
Soares M.T.C., Maro.L.F. dan Spinillo.A.G. (2012). Graps of Consciousbess and Performance
in Mathematics Making Explicit the Ways of Thingking in Solving Cartesian Product
Problems. Us-China Review Vol 5, hal 484-489
Tarigan, L. L. (2013). Meningkatkan Kemampuan Komunkasi Matemtis Siswa SMP Melalui
Pembelajaran Kooperatif Tipe Snowball Throwing. (Studi Eksperimen Pada Siswa Kelas
V11-D SMPN 1 Parompong). Skripsi FKIP UNAI Bandung : Tidak Diterbitkan.
Wardhani S. (2010). Teknik Pengembangan Instrumen Penilaian Hasil Belajar Matematika Di
SMP/MTs.
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
132 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
PENGEMBANGAN RUBRIK PEER ASSESSMENT
UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH
PADA PERKULIAHAN TEORI GRAF
Erika Laras Astutiningtyas, Utami Murwaningsih, Januar Budi Asmari
Program Studi Pendidikan Matematika FKIP
Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo
Jl. Letjend. S. Humardani No.1 Jombor Sukoharjo
E-mail: [email protected]
Abstrak:
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mendeskripsikan pengembangan rubrik peer assessment
dengan model ADDIE pada perkuliahan Teori Graf, (2) menghasilkan rubrik peer
assessment pada perkuliahan Teori Graf, (3) mengetahui efektifitas rubrik peer assessment
untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah Teori Graf. Penelitian ini tergolong
penelitian pengembangan dengan produk: rubrik peer assessment dan modul kuliah Teori
Graf. Model pengembangan yang digunakan adalah ADDIE (Analysis, Design,
Development, Implementation, and Evaluation). Penelitian ini dibatasi pada tahap
development. Pengumpulan data dilakukan dengan metode angket, pengamatan dan tes.
Instrumen penelitian terdiri dari: lembar validasi, checklist keterlaksanaan perkuliahan,
angket mahasiswa, dan tes pemecahan masalah. Analisis data kualitatif dilakukan dengan
telaah data, reduksi data, dan kesimpulan. Skor kemampuan pemecahan masalah Teori Graf
dianalisis dengan uji beda rerata. Metode Lilliefors dan Bartlett digunakan untuk menguji
normalitas dan homogenitas. Berdasarkan penelitian diperoleh: (1) pengembangan rubrik
peer assessment dengan model ADDIE pada penelitian ini meliputi tiga tahap yaitu
analysis untuk menentukan pengembangan yang dilakukan, design meliputi perancangan
draft modul perkuliahan dan rubrik peer assessment, development meliputi expert
judgement dan uji terbatas produk, (2) luaran penelitian berupa modul perkuliahan, dan
rubrik peer assessment, (3) penerapan rubrik peer assessment pada perkuliahan Teori Graf
menghasilkan kemampuan pemecahan masalah lebih tinggi daripada traditional
assessment. Kata-kata kunci : peer assessment, penilaian sebaya, model ADDIE
PENDAHULUAN
Teori Graf adalah bagian dari Matematika Diskrit. Materi yang terdapat pada mata
kuliah Teori Graf dapat diaplikasikan dalam beberapa kebutuhan, misalnya perencanaan jalur
transportasi, dan strategi penentuan jalur distribusi dengan konsep minimum spanning tree dan
Hamiltonian Graf. Keragaman masalah pada mata kuliah Teori Graf bertujuan mengembangkan
kemampuan pemecahan masalah mahasiswa. Akan tetapi, pada kenyataannya tujuan tersebut
belum dapat terlaksana. Hal ini terlihat pada Tabel 1.1 yang menunjukkan nilai Teori Graf
mahasiswa program studi pendidikan matematika FKIP Universitas Veteran Bangun Nusantara
Sukoharjo Tahun Akademik 2011/2012.
Tabel 1 Sebaraan Nilai Teori Graf Tahun Akademik 2011/2012
Kategori A B C D E
Interval Nilai (x) 85 <x 100 75 <x 85 60 <x 75 50 <x 60 0 x 50
Prosentase 4% 10% 41% 25% 20%
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 133
Tabel 1 menunjukkan bahwa hanya 14% dari mahasiswa yang memiliki nilai di atas 75, artinya
hanya 7% dari mahasiswa yang menguasai lebih dari 75% materi, dan selebihnya memiliki
penguasaan kurang dari 75%. Fakta yang diperoleh dari data nilai tersebut, mendorong untuk
segera mencari tahu apa penyebab dan bagaimana mencari solusinya. Angket respon mahasiswa
tentang perkuliahan teori graf telah disebarkan kepada 80 responden memberikan informasi
bahwa sebanyak 85,5% dari responden mengalami kesulitan pada mata kuliah Teori Graf seperti
pada Gambar 1 berikut.
Gambar 1 Diagram Hasil Angket Respon Mahasiswa
Berdasarkan hasil angket, ternyata ketika mengalami kesulitan, 55% responden lebih suka
bertanya kepada teman, 29% suka bertanya kepada dosen pengampu dan 19% memilih untuk
mencari buku dan referensi yang lain. Oleh karena itu, peran teman sebaya dalam meningkatkan
kemampuan pemecahan masalah harus dikaji lebih lanjut. Peer assessment adalah salah satu
teknik penilaian yang melibatkan teman sebaya dalam proses penilaian. Sejalan dengan hasil
studi pendahuluan di atas, perlu diujikan apakah Peer assessment mampu membantu mahasiswa
untuk memiliki kemampuan pemecahan masalah yang baik.
Penilaian merupakan alih bahasa dari kata Assessment. Zainal Arifin (2012)
menyebutkan bahwa penilaian adalah suatu proses atau kegiatan yang sistematis dan
berkesinambungan untuk mengumpulkan informasi tentang proses dan hasil belajar peserta
didik dalam rangka membuat keputusan berdasarkan kriteria dan pertimbangan tertentu.
Zulrahman (2007) menyatakan bahwa peer asessment adalah sebuah proses dimana seorang
pelajar menilai hasil belajar teman atau pelajar lainnya yang bersifat se-level. Maksud dari se-
level adalah jika dua orang atau lebih berada dalam level kelas yang sama atau subyek pelajaran
yang sama. Boud and Falchikov (2007) menyatakan bahwa peer assessmet mengharuskan siswa
untuk memberikan umpan balik rekan-rekan mereka pada produk atau kinerja, berdasarkan
kriteria yang telah ditentukan. Boud and Falchikov (2007) juga menyebukan beberapa hal yang
terkandung dalam peer assessment berikut. (1) Umpan balik pelaksanaan peer assessment
mendorong pembelajaran kolaboratif melaluiinterchange tentang apa yang merupakan
pekerjaan yang baik. (2) Siswa dapat saling membantu untuk memahami materi yang nantinya
27.5%
55%
15%2.5%
0.0%10.0%20.0%30.0%40.0%50.0%60.0%
Sangat Sulit
Sulit Mudah Sangat Mudah
Angket Respon Mahasiswa
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
134 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
diharapkan mampu mendapatkan pemahaman lebih baik. (3) Siswa dapat meningkatkan
kemampuan penilaian dan membuat pilihan intelektual. (4) Siswa mendapatkan berbagai
gagasan tentang pekerjaan mereka untuk selanjutnya dilakukan pengembangan dan perbaikan.
(5) Proses dalam peer assessment mendorong siswa untuk mengklarifikasi, meninjau dan
mengedit ide-ide mereka. Proses peer assessment dapat membantu siswa belajar menerima dan
memberikan umpan balik.
Boud and Falchikov (2007) menyatakan bahwa bukti menunjukkan tentang peningkatan
kemampuan siswa peer assessment. Siswa perlu berlatih untuk mendapatkan kepercayaan dalam
peer assessment dan menjadi lebih kompeten dalam hal itu.. Ada empat langkah dalam
perencanaan dan penerapan peer assessment agar efektif yaitu sebagai berikut. (1) Penyampaian
maksud dan tujuan peer assessment kepada semua partisipan yang terlibat. (2) Penggunaan
kriteria standar penilaian harus jelas dan mudah dipahami. Kriteria harus disampaikan kepada
partisipan. Kriteria ini meliputi berapa banyak partisipan yang terlibat, karakteristik partisipan,
komponen kompetensi apakah yang akan dinilai, kapan penilaian akan dilaksanakan, dan juga
metode pengambilan data (checklist, rating form, scoring key). (3) Pelatihan perlu dilakukan
untuk semua partisipan. Pelatihan yang intensif perlu dilakukan untuk para mahasiswa yang
pertama kali menghadapi penilaian ini. Pelatihan ini mencakup pelatihan mengenai penentuan
kriteria penilaian dan pelatihan cara memberikan feedback yang efektif. (4) Hasil penilaian
perlu dimonitor, apakah hasil penilaian dari peer dan instruktur, dalam hal ini pengajar, sudah
memiliki kesamaan. Hal ini perlu untuk mengidentifikasi hal-hal yang dapat menyebabkan
perbedaan hasil penilaian oleh peer dan instruktur sehingga nantinya dapat diperbaiki.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa proses peer assessment dimulai dengan
mendiskusikan item dan kriteria penilaian oleh dosen dan para mahasiswa. Kemudian masing-
masing mahasiswa menilai teman mereka yang telah ditunjuk dan juga memberikan feedback.
Hasil penilaian ini biasanya dicocokkan dengan hasil penilaian dosen. Apabila selisih nilai
penilaian peer kurang dari 10 % maka penilaian ini dapat diterima.
Menurut Polya (1973) memecahkan masalah terdiri atas empat langkah, yaitu: (l)
memahami masalah, (2) menyusun rencana penyelesaian masalah, (3) melaksanakan rencana
penyelesaian masalah, dan (4) mengecek penyelesaian masalah. Penjelasan setiap tahapnya
adalah sebagai berikut. (1) Memahami masalah, pada tahap ini, kegiatan diarahkan untuk
membantu siswa menetapkan apa yang diketahui pada permasalahan dan apa yang ditanyakan.
Beberapa pertanyaan perlu dimunculkan kepada siswa untuk membantunya dalam memahami
masalah ini. (2) Menyusun rencana penyelesaian masalah, pendekatan pemecahan masalah tidak
akan berhasil tanpa perencanaan yang baik. Pada tahap ini, siswa diarahkan untuk dapat
mengidentifikasi strategi pemecahan masalah yang sesuai. Hal yang paling penting untuk
diperhatikan adalah apakah strategi tersebut berkaitan dengan permasalahan yang akan
dipecahkan. (3) Melaksanakan rencana penyelesaian masalah, jika siswa telah memahami
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 135
permasalahan dengan baik dan sudah menentukan strategi pemecahannya, langkah selanjutnya
adalah melaksanakan penyelesaian soal sesuai dengan yang telah direncanakan. Kemampuan
siswa memahami substansi materi dan keterampilan siswa melakukan perhitungan-perhitungan
matematika akan sangat membantu siswa untuk melaksanakan tahap ini. (4) Mengecek
penyelesaian masalah, langkah memeriksa ulang jawaban yang diperoleh penting dilakukan
untuk mengecek apakah hasil yang diperoleh sudah sesuai dengan ketentuan dan tidak terjadi
kontradiksi dengan yang ditanya. Penskoran pada kemampuan pemecahan masalah yang akan
digunakan pada penelitian ini mengadopsi pada model Schoem dan Ochmke (dalam Fina L.H,
2006) seperti terlihat pada tabel berikut.
Tabel 2. Penskoran Tes Kemampuan Pemecahan Masalah
Skor Memahami
Masalah
Merencanakan
Strategi
Penyelesaian
Melaksanakan
Strategi
Penyelesaian
Memeriksa
Kembali
Hasil
0
Salah
menginterpretasikan
/ tidak memahami
soal / tidak ada
jawaban
Tidak ada
rencana strategi
penyelesaian
Tidak ada
penyelesaian sama
sekali
1
Interpretasi soal
kurang tepat/ salah
menginterpretasikan
sebagian soal/
mengabaikan
kondisional
Merencanakan
strategi
penyelesaian
yang tidak
relevan
Melaksanakan
prosedur yang
benar dan
mungkin
menghasilkan
jawaban yang
benar tapi salah
perhitungan/
penyelesaian tidak
lengkap
Ada
pengecekan
jawaban/
hasil tidak
tuntas
2
Memahami soal
dengan baik
Membuat
rencana strategi
penyelesaian
yang tidak
relevan
Melakukan
prosedur/proses
yang benar dan
mendapatkan hasil
yang benar
Pengecakan
dilaksanakan
untuk
melihat
kebenaran
proses
3
Membuat
rencana strategi
penyelesaian
tetapi tidak
lengkap
4
Membuat
rencana strategi
penyelesaian
yang benar dan
mengarah pada
jawaban yang
benar
Skor
Maks 2 4 2 2
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
136 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Penelitian ini tergolong dalam penelitian pengembangan, hal ini sesuai dengan tujuan
penelitian. Produk yang akan mengembangkan adalah rubrik peer assessment pada mata kuliah
Teori Graf. Sejalan dengan pengembangan rubrik peer assessment dikembangkan pula modul
mata kuliah Teori Graf yang mengarah pada pelaksanaan peer assessment.
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo.
Perancangan produk dilakukan pada semester genap Tahun Akademik 2012/2013. Pelaksanaan
uji terbatas terhadap produk yang dihasilkan dilakukan pada semester gasal Tahun Akademik
2012/2013.
Target Penelitian
Luaran yang ditargetkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. (1) Rubrik peer
assessment, dilengkapi kriteria standar penilaian kemampuan pemecahan masalah mahasiswa
pada perkuliahan Teori Graf. (2) Modul mata kuliah Teori Graf.
Prosedur Penelitian
Model pengembangan yang akan digunakan adalah model ADDIE dari Dick and Carry.
ADDIE merupakan singkatan dari Analysis, Design, Development or Production,
Implementation or Delivery and Evaluations. Endang Mulyatiningsih (2012) menyatakan bahwa
model ini dapat digunakan untuk berbagai macam bentuk pengembangan produk seperti model,
strategi pembelajaran, metode pembelajaran, media dan bahan ajar. Menurut Benny A. Pribadi
(2009) model pengembangan ADDIE terdiri atas 5 langkah pokok, yaitu Analysis, Design,
Development, Implementation, dan Evaluation. Kegiatan pada tahap analysis adalah
menganalisis urgensi pengembangan perangkat pembelajaran, menganalisis kelayakan dan
syarat-syarat pengembangan media pembelajaran baru. Pengembangan media pembelajaran
diawali oleh adanya masalah. Setelah itu, dilakukan analisis perlunya pengembangan media
pembelajaran baru, menganalisis kelayakan dan syarat pengembangan media pembelajaran baru
tersebut. Tahap design merupakan proses sistematik yang dimulai dari menetapkan tujuan
belajar, merancang skenario kegiatan belajar mengajar, merancang perangkat dan materi
pembelajaran serta alat evaluasi hasil belajar. Rancangan perangkat pembelajaran ini masih
bersifat konseptual. Development dalam model ADDIE berisi kegiatan realisasi rancangan
produk. Dalam tahap desain, telah disusun kerangka konseptual perangkat pembelajaran yang
baru. Pada tahap development, kerangka konseptual direalisasikan menjadi produk yang siap
diimplementasikan. Pada tahap implementasi perangkat yang dikembangkan pada situasi di
kelas. Selama implementasi, rancangan media/metode yang telah dikembangkan diterapkan
pada kondisi yang sebenarnya. Setelah penerapan, dilakukan evaluasi awal untuk memberi
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 137
umpan balik. Rancangan penelitian pengembangan rubrik peer assessment ini mengacu pada
model ADDIE yang dibatasi sampai 3 tahap yaitu analysis, design, dan development.
Data, Instrumen dan Teknik Pengumpulan Data
Instrumen penelitian ini terdiri dari lembar validasi untuk rubrik, modul kuliah, dan
instrumen tes kemampuan pemecahan masalah. Instrumen yang lain adalah checklist
keterlaksanaan perkuliahan, angket mahasiswa, dan soal tes pemecahan masalah. Metode
pengumpulan data dilakukan dengan metode dokumentasi, angket, pengamatan, dan tes. Metode
angket digunakan untuk mengumpukan data pada identifikasi permasalahan dalam tahap
analysis dan design. Selain itu metode angket digunakan untuk mengetahui keterlaksanaan
perkuliahan dan respon mahasiswa. Metode pengamatan dilakukan untuk mengetahui
keterlaksanaan proses perkuliahan dengan instrumen yang dipakai berupa checklist dari
observer. Metode tes digunakan untuk mengumpulkan data kemampuan pemecahan masalah
mahasiswa pada mata kuliah Teori Graf. Sebelum digunakan, seluruh instrumen penelitian
harus melalui expert judgement.
Data penelitian ini ada dua macam, yaitu data kualitatif dan data kuantitatif. Data
kualitatif berupa lembar validasi perangkat pembelajaran, checklist keterlaksanaan perkuliahan,
dan angket respon mahasiswa. Lexy J. Moleong (2002) menyatakan bahwa proses analisis data
dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber. Pada penelitian ini
data berasal dari lembar validasi, checklist dan angket. Data mengenai pelaksanaan perkuliahan
diperoleh dari checklistpelaksanaan peer assessment pada saatperkuliahan berlangsung Angket
respon mahasiswa berisi pertanyaan mengenai perasaan siswa selama kegiatan perkuliahan dan
pendapat siswa mengenai pelaksanaan pembelajaran.
Teknik Analisa Data
Data checklistpelaksanaan peer assessment angket respon mahasiswa dihitung dengan
menggunakan persentase indikator keberhasilan. Selanjutnya, data persentasedikategorikan
sebagaiberikut.
Tabel 3 Kategori ketertarikan mahasiswa dan keberhasilan pembelajaran
Rata-rata Tingkat Keberhasilan
90% < IKK ≤ 100% Sangat baik
80% < IKK ≤ 90% Baik
70% < IKK ≤ 80% Cukup
60% < IKK ≤ 70% Kurang
0% < IKK ≤ 60% Sangat kurang
Data kuantitatif berupa skor kemampuan pemecahan masalah pada mata kuliah Teori
Graf. Teknik analisis yang digunakan adalah uji beda rerata menggunakan uji t. Selain itu,
digunakan pula dua jenis analisa data yang lain yaitu : metode Lilliefors dan metode Bartlett
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
138 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
untuk menguji persyaratan analisis yaitu normalitas dan homogenitas. Budiyono (2009)
merumuskan langkah uji normalitas dimulai dengan penentuan hipotesis nol yaitu sampel
berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Hipotesis diuji pada taraf signifikansi = 5%
dengan statistik uji L = Max | F(Zi) – S(Zi) |, F(Zi) = P(Z Zi) ZN(0,1), Zi = skor standart Xi,
S = deviasi standart, S(Zi) = proporsi banyaknya Z Zi terhadap banyaknya Zi. Daearah kritik
uji adalah ;nL | L L . Hipotesis nol ditolak jika LhitungDK. Uji homogenitas dilakukan
dengan dengan menggunakan uji Bartlett. Budiyono (2009) merumuskan prosedur uji Bartlett
yang dimulai dengan penentuan hipotesis nol yaitu 2 2 21 2 k... dengan taraf
signifikansi = 5% dengan statistik uji 2 2j j
2,303f log RKG f logs
c ,
2 ~
2
k 1 , dengan RKG =
jSS
f
; f = derajad kebebasan RKG = N–k =
k
jj 1
f
; k=banyak
populasi; fj = derajad kebebasan 2
j js n 1 , j = 1,2,… , k; N = banyaknya seluruh amatan;
nj = banyaknya amatan pada sampel ke-i , i = 1, 2, 3, …, k, untuk nilai c =
j
1 1 11
3 k 1 f f
dan SSj =
2
j2 2j j j
j
XX n 1 s
n
daerah kritis (DK) =
2 2 2;k 1| . Hipotesis nol ditolak jika
2 DK.
Pengukuran kinerja produk dilakukan dengan pemberian tes kepada dua kelompok
populasi. Agar hasil dari eksperimen benar-benar akibat dari perlakuan yang dibuat, maka
dilakukan uji untuk mengetahui keseimbangan kondisi awal kedua kelompok tersebut
menggunakan uji t. Untuk mengetahui perbedaan efek perlakuan juga digunakan uji t. Budiyono
(2009) memulai prosedur uji t dengan menetapkan hipotesis nol 1 = 2 yang diuji pada taraf
signifikansi = 5%. Statistik uji yang digunakan adalah t = 1 2
p
1 2
X X
1 1s
n n
dengan sp2 =
2 21 1 2 2
1 2
n 1 s n 1 s
n n 2
. DK =
v,
2
αv,
2
α ttatautt|t . Hipotesis nol ditolak jika
thitungDK.
Tahap penelitian pengembangan rubrik peer assessmet mulai dari tahap analysis sampai
dengan tahap development dapat dijelaskan pada diagram alir pada Gambar 2.
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 139
Gambar 2. Diagram Alir Penelitian Pengembangan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Data dalam penelitian ini meliputi data skor pada sampel penelitian yang masing-
masing terdiri dari skor tes proses berfikir siswa pemecahan masalah, dan skor tes kemampuan
awal siswa. Setelah kedua data tersebut diperoleh selanjutnya data tersebut diuji dengan uji
statistik, yang akan dibahas pada bagian selanjutnya. Sebagai prasayarat penelitian, kedua
populasi penelitian harus memiliki kondisi awal yang seimbang. Tujuannya, agar apabila
terdapat perbedaan hasil tes proses berfikir siswa pemecahan masalah, diakibatkan karena
Perencanaan Analisis situasi (siswa dan proses perkuliahan)
Pengumpulan data awal
Identifikasi produk Ta
hap
An
aly
sis
Pemilihan produk dan analisis kelayakan produk
yang direncanakan
Ta
hap
Des
ign
Perancangan produk Perancangan konsep produk
Perangcangan modul kuliah
Perancangan rubrik peer assessment
Draft 1
Ta
hap
Dev
elo
pm
ent
Expert judgement
Revisi I
Draft 2 Penyusunan instrumen
pengukur kinerja produk 1. Checklist keterlaksanaan
perkuliahan
2. Angket respon
mahasiswa
3. Tes kemampuan
pemecahan masalah
Uji coba produk
Analisa Data
Checklist keterlaksanaan perkuliahan
Lembar angket respon mahasiswa
Tes kemampuan pemecahan masalah
Validasi Instrumen
Telaah data
Reduksi Data
Penyajian Data
ttest
Kesimpulan
Refleksi
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
140 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
perlakuan dan bukan karena kondisi awal yang sudah berbeda. Untuk mengetahui keseimbangan
kemampuan awal siswa, digunakan data nilai ahir mata kuliah riset operasi. Berikut ini uraian
tentang data yang diperoleh.
Sebelum digunakan, instrumen divalidasi terlebih dahulu. Validasi oleh pakar (expert
judgement) dilakukan untuk menyusun beberapa perangkat dan instrumen berikut: modul
perkuliahan Teori Graph, rubrik peer assessment, dan tes pemecahan masalah. Validasi
dilakukan oleh dua orang pakar, Drs. Joko Bekti Haryono, M.Pd., yang sudah berpengalaman
mengajar mata kuliah teori graf dan Andhika Ayu Wulandari, S.Si., M.Pd.
Angket pelaksaan peer assessment pada perkuliahan teori graph terdiri atas duapuluh
dua pertanyaan yang harus dijawab oleh observer dengan memilih ya dan tidak. Jawaban ya
diberi nilai 1 dan jawaban tidak bernilai nol. Berikut adalah rekapitulasi checklist yang
diperoleh dari 4 orang observer.
Tabel 4. Hasil checklist pelaksanaan peer assessment
Keterangan Data IK Kesimpulan
Sd 83
95,318
Tingkat
keberhasilan:
Sangat baik
Smaks 22
N 4
Berdasarkan hasil pada Tabel 4, diperoleh bahwa pelaksanan perkuliahan dengan penerapan
peer assessment memiliki tingkat keberhasilan sangat baik, dan tahapan yang harus ada dalam
peer assessment telah dilakukan pada saat perkuliahan. Artinya, peer assessment sudah
dilaksanakan sesuai dengan ciri dan karakteristiknya.
Angket respon mahasiswa terdiri atas empatbelas pertanyaan yang harus dijawab
mahasiswa dengan memilih ya dan tidak. Untuk pernyataan positif, jawaban ya bernilai 1 dan
jawaban tidak bernilai nol. Sebaliknya, untuk pernyataan negatif, jawaban ya bernilai 0 dan
jawaban tidak bernilai 1. Berdasarkan angket yang disebarkan ke kelas eksperimen yang terdiri
dari 36 mahasiswa, diperoleh hasil sebagai berikut.
Tabel 5. Hasil Angket Mahasiswa
Keterangan Data IK Kesimpulan
Sd 432
85,714
Tingkat
keberhasilan:
Baik
Smaks 14
N 36
Berdasarkan hasil di atas, diperoleh bahwa pelaksanan perkuliahan dengan penerapan peer
assessment memiliki tingkat keberhasilan baik, artinya siswa merasa terbantu dan tertarik pada
pembelajaran.
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 141
Uji terbatas untuk mengukur kinerja produk dilakukan setelah melalui expert
judgement. Uji terbatas dilakukan dengan melalui tahap eksperimentasi dan tahap tes. Hasil uji
hipotesis untuk data tes kemampuan pemecahan masalah dilakukan terlihat pada tabel berikut.
Tabel 6. Uji Hipotesis
Sumber Variasi N Rerata s sp ttabel tobs Keputusan
uji
Kelas Kontrol 38 75,474 8,500 8,799 1,987 2,068 H0 ditolak
Kelas Eksperimen 37 79,676 9,095
Uji hipotesis menggunakan uji-t dan diperoleh nilai dari tobs = 2,068 Nilai tersebut termasuk
anggota daerah kritik (DK) yaitu {tobs|tobs> t(0,05; 70) = 1,987 atau tobs<t(0,05; 70) = 1,987} maka H0
tidak ditolak. Hal ini berarti kelompok eksperimen dan kelompok kontrol memiliki kemampuan
pemecahan masalah yang berbeda. Perbedaaan kemampuan pemecahan masalah pada siswa
kelompok kontrol dan eksperimen menunjukkan bahwa ada salah satu dari dua macam
pendekatan pembelajaran yang lebih efektif. Penentuan jenis pendekatan pembelajaran yang
lebih baik dilakukan dengan melihat rerata dari kedua kelompok populasi. Rerata kelompok
eksperimen adalah 79,676 dan kelompok kontrol 75,474. Hal ini menunjukkan bahwa teknik
penilaian yang diberikan pada kelas eksperimen menghasilkan kemampuan pemecahan masalah
yang lebih baik dari pada kelas kontrol. Artinya, perkuliahan dengan peer assessment
menghasilkan kemampuan pemecahan masalah yang lebih baik daripada traditional assessment.
Rubrik peer assessment yang dikembangkan pada mata kuliah Teori Graf ini adalah
seperti terlihat pada tabel berikut.
Tabel 4. Rubrik peer assessment pada mata kuliah Teori Graf
Skor Memahami
Masalah
Merencanakan,
dan
Melaksanakan
Strategi
Penyelesaian
Melaksanakan
Strategi
Penyelesaian
Memeriksa
Kembali
Hasil
0
Mahasiswa salah
menginterpretasi
soal/ tidak
memahami soal/
tidak ada jawaban
Tidak ada proses
perancangan graf
sesuai ketentuan
Tidak ada
penyelesaian
sama sekali
1
Mahasiswa kurang
tepat dalam
menginterpretasi
soal /
mengabaikan
beberapa
persyaratan
Membuat graf
tetapi tidak lengkap
Melaksanakan
proses yang benar
tapi kurang teliti
mengidentifikasi
persyaratan
Ada
pengecekan
jawaban/ hasil
tidak tuntas
2
Memahami soal
dengan baik
Membuat graf
tetapi tidak
memenuhi kriteria
yang ditentukan
Melakukan proses
yang benar dan
mendapatkan
hasil yang benar
Pengecakan
dilaksanakan
untuk melihat
kebenaran
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
142 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
proses
3
Mampu membuat
graf, tetapi hanya
memnuhi beberapa
ketentuan
4
Mampu membuat
graf, yang
memenuhi seluruh
ketentuan
Skor
Maks 2 4 2 2
KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian dan hasil analisa data yang telah diuraikan di atas, dapat
disimpulkan beberapa hal berikut. (1) Pengembangan rubrik peer assessment dengan model
ADDIE pada mata kuliah Teori Graf untuk penelitian dibatasi tiga tahapan yaitu analysis,
design, dan development. Tahap analysis meliputi studi pendahuluan guna pengumpulan data
untuk menentukan pengembangan yang akan dilakukan. Tahap design meliputi perancangan
draft modul perkuliahan dan rubrik peer assessment. Tahap development meliputi expert
judgement dan uji terbatas produk yang sudah divalidasi pakar. Serangkaian proses tersebut
akan menghasilkan draft awal untuk tahapan pengembangan selanjutnya. (2) Hasil
pengembangan rubrik peer assessment dengan model ADDIE pada mata kuliah Teori Graf
meliputi modul perkuliahan, dan rubrik peer assessment pada pemecahan masalah. (3)
Pengembangan rubrik peer assessment dengan model ADDIE pada mata kuliah Teori Graf
dapat menghasilkan kemampuan pemecahan masalah lebih tinggi daripada traditional
assessment pada perkuliahan Teori Graf.
Berdasarkan hasil penelitian pengambangan yang telah dilakukan, disarankan beberapa
hal berikut. (1) Penerapan peer assessment dengan rubrik yang baik, direkomendasikan untuk
perkuliahan teori graf. (2) Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk menerapkan peer
assessment beserta rubriknya pada mata kuliah atau jenjang pendidikan yang lain. (3) Penelitian
pengembangan ini hanya dibatasi pada tiga tahapan, oleh karena itu akan lebih baik lagi jika ada
penelitian lajutan mengenai implementasi dan evaluasi penggunaan rubrik peer assessment. Hal
ini dimaksudkan agar hasil penelitian ini yang berupa draft dapat diuji kelayakan
penggunaannya kemudian dievaluasi untuk dilakukan perbaikan.
DAFTAR PUSTAKA
Benny A Pribadi. 2009. Model Desain Sistem Pembelajaran. Jakarta:PT. Dian Rakyat
Boud, D. & Falchikov, N. 2007. Rethinking assessment in higher education. London: Kogan
Page.
Budiyono. 2009. Statistika untuk penelitian. Surakarta: UNS Press
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 143
Fina Listiana H. 2006. Keefektifan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw terhadap
Kemampuan Pemecahan Masalah Siswa Kelas VII SMPN 1 Wonosobo Tahun
Pelajaran 2005/2006 pada Pokok Bahasan Segiempat. Skripsi. Jurusan Matematika
FMIPA UNNES.
Lexy J. Moleong. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif.Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Polya, G.1973. How To Solve It. New Jersey: Princeton University Press
Zainal Arifin. 2012. Evaluasi pembelajaran. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya
Zulrahman. 2007. Self dan Peer Assessment sebagai penilaian formatif dan sumatif.
http://zulharman79.wordpress.com. diunduh tanggal 12 Februari 2013
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
144 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
KEPERCAYAAN DIRI SISWA SMP DALAM
MEMECAHKAN MASALAH MATEMATIKA
Ellita Idorestu1)
, M. Andy Rudhito2)
1) Mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Universitas Sanata Dharma
Kampus III USD Paingan Maguwoharjo Yogyakarta,
e-mail: [email protected]
2) Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Universitas Sanata Dharma
Kampus III USD Paingan Maguwoharjo Yogyakarta, email: [email protected]
Abstract
Kepercayaan diri siswa merupakan salah satu sikap yang menjadi tujuan pembelajaran
yang direkomendasikan Kurikulum 2013. Dalam pembelajaran matematika, khususnya
dalam pemecahan masalah kepercayaan diri juga sangat diperlukan. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahuikepercayaan diri siswa dalam memecahkan masalah
matematika. Penelitian ini merupakan penelitian diskriptif kualitatif dengan subyek
penelitian 5 siswa SMP kelas IX. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) terdapat siswa
yang merasa yakin atas hasil pekerjaannya, tetapi jawabannya salah, yang diakibatkan oleh
kekurang cermatan dalam perhitungan numerik, (2) terdapat siswa yang merasa tidak yakin
dengan jawabannya justru jawabannya benar, dengan ketidakyakinan pada pemahaman
soal dan jawabannya sendiri.
Keywords:kepercayaan diri, siswa SMP, pemecahan masalah, kesalahan.
PENDAHULUAN
Salah satu tujuan pembelajaran yang direkomendasikan dalam kurikulum 2013 adalah
kepercayaan diri. Dengan ini, diharapkan peserta didik dapat memiliki sikap dan citra diri yang
baik agar dia dapat menjadi generasi yang hebat dan memiliki kualitas diri yang tinggi sehingga
dia pun dapat bersaing di era global bermodalkan pengetahuan serta diiringi dengan sikap dan
karakter yang baik pula.
Saat ini sudah menjadi rahasia umum, ada banyak kecurangan yang terjadi di Indonesia.
Ada banyak hal yang dapat mengakibatkan kecurangan-kecurangan ini terjadi di dalam dunia
pendidikan. Salah satunya adalah ketidakpercayaandiri siswa dalam menjalani proses
pembelajaran yang dilakukannya di sekolah dan dia harus menghadapi ujian nasional yang
menjadi penentu masa depannya. Untuk itu, pada kurikulum 2013 kepercayaandiri siswa
menjadi salah satu tujuan yang akan dicapai agar menjadi sikap yang dimiliki oleh siswa.
Percaya diri merupakan salah satu aspek kepribadian yang sangat penting dalam
kehidupan manusia. Orang yang percaya diri yakin atas kemampuan mereka sendiri serta
memiliki pengharapan yang realistis, bahkan ketika harapan mereka tidak terwujud, mereka
tetap berpikiran positif dan dapat menerimanya. Menurut Thantaway dalam Kamus istilah
Bimbingan dan Konseling (2005:87), percaya diri adalah kondisi mental atau psikologis diri
seseorang yang memberi keyakinan kuat pada dirinya untuk berbuat atau melakukan sesuatu
tindakan. Orang yang tidak percaya diri memiliki konsep diri negatif, kurang percaya pada
kemampuannya, karena itu sering menutup diri.
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 145
Pada proses pembelajaran mata pelajaran matematika, secara khusus untuk kurikulum
2013, siswa diajak untuk berpikir logis dan jujur dalam setiap langkah yang dilakukannya.
Apabila ada hal yang tidak benar pada jawaban yang diketemukan, maka sudah dapat ditebak
bahwa ada yang salah pada proses yang dijalaninya. Untuk itu, diperlukan pemikiran yang benar
dan kepercayaan diri yang tinggi dalam menyelesaikan masalah matematika.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang dilakukan adalah dengan memberikan soal tes kepada siswa
Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif.
Waktu dan Tempat Penelitian
Pelaksanaan penelitian ini di luar jam sekolah.
Target/Subjek Penelitian
Dipilih lima orang siswa SMP kelas IX di suatu sekolah negeri di Godean, Sleman Yogyakarta
yang kebetulan sudahdikenal oleh penulis.
Prosedur
1. Siswa mengerjakan soal-soal yang sudah dipersiapkan.
2. Hasil jawabannya dikoreksi dan dibandingkan dengan teman yang lain dan diolah.
Data, Intrumen, dan Teknik Pengumpulan Data
Kerjakansoal-soal berikut dengan baik!
1. Titin berangkat dari kota A ke kota B mengendarai sepeda motor dengan kecepatan 25
km/jam. Andi berangkat dari kota B ke kota A mengendarai sepedadengan kecepatan 15
km/jam. Mereka berangkat bersama pada pukul 07.30. pukul berapa mereka bertemu di
jalan jika jarak kota A ke kota B adalah 60 km?
Yakinkah dengan jawabanmu?
Berapa persentase keyakinanmu?
Dari langkah mana mulai tidak yakin?
Kenapa tidak yakin?
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
146 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
2. Panjang diagonal ruang DF pada balok ABCD. EFGH di bawah adalah ....
Yakinkah dengan jawabanmu?
Berapa persentase keyakinanmu?
Dari langkahmana mulai tidak yakin?
Kenapa tidak yakin?
3. Pada gambar berikut panjang diameter setengah lingkaran CD = 4, DB tegak lurus
terhadap AB, AC = 13 dan AB = 9. Berapakah luas daerah yang diarsir?
A
C
D B B
Yakinkah dengan jawabanmu?
Berapa persentase keyakinanmu?
Dari langkah mana mulai tidak yakin?
Kenapa tidak yakin?
4. Sebuah kubus memiliki volume 64 cm3
dipotong secara horizontal. Kedua belahan
tersebut kemudian direkatkan lagi sehingga membentuk balok (bukan kubus). Berapa luas
permukaan untuk bangun ruang yang baru?
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 147
Yakinkah dengan jawabanmu?
Berapa persentase keyakinanmu?
Dari langkah mana mulai tidak yakin?
Kenapa tidak yakin?
5. Toko I menjualpensil merahRp 1.000,00 per empat buah dan pensil kuning Rp 1.000,00
per tiga buah. Toko II menjual pensil merah Rp 1.000,00 per empat buah dan pensil
kuningRp 1.000,00 per enam buah. Ana membelanjakan uang Rp 10.000,00 untuk
membeli m buah pensil merah dan n buah pensil kuning pada masing-masing toko.
Tentukan banyaknya pensil yang dibeli Ana!
Yakinkah dengan jawabanmu?
Berapa persentase keyakinanmu?
Dari langkah mana mulai tidak yakin?
Kenapa tidak yakin?
6. Suatu persegi dengan panjang sisinya adalah s terdapat X yang terletak pada garis DC
sehingga DX : XC = 5 : 2 dan Y terletak pada garis BC sehingga BY : YC = 3 : 4.
Perbandingan luas segitiga AXC dan ABY adalah…
Yakinkah dengan jawabanmu?
Berapa persentase keyakinanmu?
Dari langkah mana mulai tidak yakin?
Kenapa tidak yakin?
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
148 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
Teknik Analisis Data
Proses penelitian dimulai dari proses penyusunan soal yang merupakan materi dari kelas
1 sampai dengan materi kelas 3 dengan tingkat kesulitan yang semakin tinggi. Hal ini dilakukan
agar dapat diketahui mengenai kemampuan siswa dalam menghadapi setiap masalah
matematika dengan logika yang baik dan benar.
Siswa yang sudah dikenal oleh penulis secara kebetulan, berkumpul di luar jam sekolah
untuk menyelesaikan soal yang sudah disiapkan oleh penuli agar dapat diselesaikan dengan baik
oleh siswa SMP kelas IX tersebut.
Setelah soal-soal sebanyak enam buah soal tersebut diselesaikan, soal-soal tersebut
dikumpulkan dan diolah oleh penulis untuk dapat dijadikan bahan sebagai hasil penelitian.
Penilaian dari soal-soal tersebut dilakukan dengan cara melihat hasil akhir dari siswa dan
melihat tingkat keyakinan siswa dalam menyelesaikan masalah matematika yang ada.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Setelah soal-soal dapat diselesaikan dengan baik oleh para siswa, soal-soal tersebut diolah
sedemikian rupa oleh penulis hingga didapati data sebagai berikut :
Tabel hasil olahan dari jawaban siswa
SISW
A
SOAL
1 2 3 4 5 6
B S PD B S PD B S PD B S PD B S PD B S PD
A √ 65% √ 89% √ 55% √ 90% √ 70% √ 20%
B √ 100
% √
100
% √
100
% √
100
% √
100
% √
100
%
C √ 50% √ 50% √ 50% √ 50% √ 50% √ 50%
D √ 100
% √
80% √
100
% √
100
% √
50% √
90%
E √ 45%
√ 50%
√ 100
% √
100
% √
90% √
95%
Keterangan :
B: Jawaban benar
S : Jawaban salah
PD : Tingkat kepercayaan diri pada siswa dalam menyelesaikan masalah matematika
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 149
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif yang menekankan pada
pendekatan paradigm naturalistic. Pada penelitian ini, subjek yang diteliti adalah kondisi
responden dengan keadaannya tanpa dibuat-buat, dalam hal ini adalah siswa SMP kelas IX yang
akan menghadapi ujian nasional.
Fokus penelitian berpijak pada kepercayaandiri siswa dalam menghadapi dan
menyelesaikan masalah matematika. Tuntutan hirarki matematika mengajak anak untuk berpikir
logis dan runtut supaya mendapatkan hasil yang benar.
Berdasarkan tabel yang disusun sesuai dengan jawaban para responden, diketahui bahwa
pada siswa A, D dan E memiliki tingkat kepercayaan diri yang berbeda-beda dan
tergantungpada tingkat kepercayaan diri masing-masing terhadap soal yang dikerjakannya.
Sedangkan pada siswa B dan C memiliki tingkat kepercayaan diri yang selalu sama pada tiap
soalnya, yaitu pada siswa B selalu 100% sedangkan pada siswa C selalu 50% dengan jawaban
yang tidak selalu benar dan tidak selalu salah.
PEMBAHASAN
Dalam menyelesaikan masalah matematika, diperlukan proses berpikir yang logis dan
runtut, serta kepercayaan diri yang tinggi dalam menjawab setiap soal yang ada. Dalam
penelitian ini, poin-poin penting yang menjadi pembahasan adalah mengenai sikap siswa dalam
menghadapi masalah matematika. Siswa yang sudah memiliki bakat dan talenta masing-masing
diajak untuk dapat menyelesaikan masalah matematika dengan logis.
Pada penelitian ini, anak mengerjakan sendiri soal yang diberikan. Soal-soal ini
merupakan soal-soal yang diambil dari materi soal kelas 1 sampai dengan kelas 3 dengan
tingkat kesulitan yang semakin tinggi.
Sesuai dengan tabel hasil penelitian, diketahui bahwa pada siswa A, D dan E memiliki
tingkat kepercayaan diri yang berbeda-beda dan tergantung pada tingkat kepercayaan diri
masing-masing terhadap soal yang dikerjakannya, tetapi pada siswa B dan C memiliki tingkat
kepercayaan diri yang selalu sama pada tiap soalnya, yaitu pada siswa B selalu 100% sedangkan
pada siswa C selalu 50% dengan jawaban yang tidak selalu benar dan tidak selalu
salah.Argumentasi yang diberikan oleh siswa B yang selalu memiliki kepercayaan diri 100%
atas apa yang telah dikerjakannya tidah terkait dengan materi yang sedang diselesaikan.
Sedangkan pada siswa C, tidak banyak memberikan argumentasi atas pekerjaannya dan apabila
memberikan argument, cukup terkait dengan materi.
Berikut ini adalah tabel rincian dari tiap pekerjaan siswa yang memiliki tingkat
kepercayaan diri yang berbeda-beda.
Keterangan :
B/S : Nilai kebenaran pada tiap soal
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
150 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
PD : Tingkat kepercayaandiri siswa terhadap jawabannya
Siswa A
NO. B/S PD ARGUMENTASI LETAK
KESALAHAN/KOMENTAR
1. S 65% Bingung menerapkan rumusnya Pada logika berpikirnya
2. B 89% bingung rumus pithagoras jawabannya benar tanpa proses
3. S 55% gambarnya kurang jelas salah perhitungan
4. S 90% - salah perhitungan
5. S 70% merasa aneh dengan jawaban
sendiri
salah perhitungan
6. B 20% Tidak tahu jawabannya Tidak ada proses perhitungan
Siswa D
NO. B/S PD ARGUMENTASI LETAK
KESALAHAN/KOMENTAR
1. B 100% lupa pakai rumus apa dengan logika berpikir yang benar
2. B 80% lupa hukum pithagoras benar, dengan proses yang benar
3. S 100% awalnya soal kelihatan sulit salah konsep
4. B 100% biasanya saya salah menjumlahkan benar dengan proses yang benar
5. S 50% tidak/kurang mengerti soal penalaran yang keliru
6. B 90% bingung sama soalnya penalarannya benar
Siswa E
NO. B/S PD ARGUMENTASI LETAK KESALAHAN
1. S 45% lupa caranya salah pada logikanya
2. B 50% jawabanku aneh penalarannya sudah benar
3. B 100% - -
4. S 100% - salah perhitungan
5. S 90% - penalaran kurang tepat
6. S 95% - salah penalaran
Dari berbagai alasan dan kepercayaan diri siswa, dapat dilihat bahwa pada siswa A dan
siswa D terkadang lupa mengenai rumus yang harus dipergunakan dalam menyelesaikan
masalah, pada siswa A dan siswa E ada beberapa soal yang salah karena kurang teliti pada
proses perhitungannya. Untuk siswa D, didapati ada lebih banyak jawaban yang benar karena
dia dapat memahami maksud soal dan menggunakan logika berpikir matematikanya dengan
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 151
baik dan benar sehingga walaupun dia lupa rumusnya, dia dapat menyelesaikan soal tersebut
dengan benar.
SIMPULAN DAN SARAN
Dari data yang sudah diperoleh, diketahui bahwa :
1. Ada hubungan antara kepercayaan diri siswa dengan hasil jawabannya, tetapi ada juga
keunikkan-keunikkan yang terjadi pada beberapa siswa yang mau menjadi responden
dalam penelitian ini, yaitu :
a. Ada siswa yang merasa yakin 100% dan jawabannya benar tetapi ada juga yang
merasa yakin dengan jawabannya tetapi jawabannya tersebut salah.
b. Dari siswa yang lain, dapat diketahui juga bahwa ada siswa yang merasa ragu-
ragu dan tidak percaya diri dengan jawabannya dan jawabannya salah, tetapi
ada juga siswa yang ragu-ragu dan ternyata jawabannya benar.
2. Hasil jawaban siswa dapat dilihat dari kepercayaan dirinya dalam menyelesaikan
masalah walaupun ada beberapa kasus khusus. Namun, kepercayaan diri siswa tersebut
dapat terbentuk berdasarkan modal pengetahuan apa saja yang sudah diketahui dan
dipelajarinya selama ini serta bagaimana logika dan konstruksi pengetahuannya selama
ini.
Untuk itu ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu siswa membutuhkan
pengetahuan yang benar dan kepercayaan diri yang tinggi dalam menyelesaikan suatu masalah
secara khusus masalah-masalah matematika.
Dalam menyelesaikan masalah, peran guru adalah membangkitkan kepercayaan diri
siswa dan membantu siswa agar dia dapat mengkonstruksi pengetahuan-pengetahuan yang
diterimanya dengan baik dan benar sehingga siswa dapat menghadapi dan menyelesaikan
maslah matematika dengan baik dan benar pula.
Penelitian ini dilakukan pada ruang lingkup yang kecil, akan lebih baik lagi apabila dapat
diketahui untuk ruang lingkup yang lebih luas agar sudut pandangnya pun semakin luas lagi dan
lebih bervariasi.
DAFTAR PUSTAKA
http://belajarpsikologi.com/pengertian-kepercayaan-diri/
http://fadjarp3g.files.wordpress.com/2007/09/01-hirarki_pelangi_.pdf
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/131569335/Makalah%20Medan-2.pdf
Peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan Nomor 54 tahun 2013 tentang Standar
kompetensi lulusan pendidikan dasar dan menengah
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
152 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
Adhetia Martyanti. 2013. Membangun Self-Cofidence Siswadalam Pembelajaran
Matematikadengan Pendekatan Problem Solving. Prosiding, Seminar dan Musyawarah
Nasional MIPA yang diselenggarakan oleh FMIPA UNY, tanggal 09 November 2013.
Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.
Nasution, S. 1984. Berbagai Pendekatan dalam proses belajar dan mengajar. Bina Aksara :
Jakarta.
M.A.W. Brouwer…[et al.]. 1983. Kepribadian dan perubahannya( Edisi kedua ). Gramedia :
Jakarta.
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 153
PEMBELAJARAN MATEMATIKA MATERI LUAS TRAPESIUM DENGAN
PENDEKATAN LUAS PERSEGI PANJANG MENGGUNAKAN MODEL
PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK
BERKONTEKS RUMAH ADAT KUDUS
Henry Suryo Bintoro 1)
, Eka Zuliana 2)
1) Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar FKIP Universitas Muria Kudus
Gondang manis-Bae Kudus 59352, email: [email protected].
2) Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar FKIP Universitas Muria Kudus
Gondang manis-Bae Kudus 59352, email: [email protected].
Abstrak Inovasi pembelajaran matematika di SD diperlukan di tengah maraknya pola
pembelajaran yang masih berpusat pada guru dan kurang memanfaatkan
potensi lokal daerah sebagai sumber belajar khususnya di kabupaten Kudus.
Siswa kelas V SD di Kabupaten Kudus mengalami kesulitan dalam
memahami konsep luas daerah trapesium. Berdasarkan masalah tersebut
peneliti merancang sebuah desain pembelajaran menggunakan model
pembelajaran matematika realistik berkonteks rumah adat Kudus. Tujuan
penelitian ini adalah untuk (1) mendapatkan desain pembelajaran matematika
realistik berkonteks rumah adat Kudus, (2) menggunakan desain pembelajaran
tersebut untuk membantu siswa mengkonstruksi pemahaman tentang luas
daerah trapesium dengan pendekatan luas persegi panjang, dan (3) melihat
dampak penggunaan desain pembelajaran tersebut terhadap proses konstruksi
pengetahuan matematis siswa. Jenis penelitian yang digunakan adalah
designresearch, dengan tahapan (1) persiapan uji coba desain, (2) uji coba
desain, dan (3) analisis retrospektif. Hasil dari penelitian ini menunjukkan
bahwa modelpembelajaran matematika realistikberkonteks rumah adat
Kudusdapatmerangsang danmeningkatkankemampuan siswauntuk
memahamikonsepluas daerahtrapesium dengan pendekatan luas persegi
panjang.
Keywords: Pembelajaran Matematika Realistik, Keunggulan Lokal Kudus,
dan Luas Trapesium.
PENDAHULUAN
Masalah utama dalam pembelajaran matematika di Indonesia adalah masih rendahnya
daya serap siswa. Sebuah laporan dalam studi TIMSS (Trends in International Mathematics and
Science Study) tahun 2011 menyatakan bahwa rata-rata skor matematika siswa di Indonesia
berada di bawah rata-rata skor Internasional dan berada pada ranking 38 dari 42 negara. Skor
rata-rata yang diperoleh siswa Indonesia adalah 386. Hasil studi TIMSS ini mengakibatkan
Indonesia masih jauh tertinggal dari Thailand, Malaysia dan Palestina. Sebagian besar siswa
hanya mampu mengerjakan soal sampai level menengah saja, dan dari hasil ini terlihat bahwa
pendidikan matematika di Indonesia selama ini terlalu fokus pada kecakapan teknis dan tidak
mampu sampai pada proses bernalar.
National Council of Teacher of Mathematics (2000:20) menyebutkan bahwa dalam
belajar matematika siswa hendaknya secara aktif membangun pengetahuan baru dari
pengalaman dan pengetahuan sebelumnya. Namun kondisi di lapangan yang ada selama ini,
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
154 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
proses pembelajaran matematika masih mekanistik dan tidak berangkat dari pengetahuan
maupun pengalaman siswa sebelumnya dalam kehidupan mereka sehari – hari. (Soedjadi, 2000)
menyatakan pembelajaran matematika di kelas hampir selalu dilaksanakan dengan urutan sajian:
(1) diajarkan teori/definisi/teorema melalui pemberitahuan, (2) diberikan dan dibahas contoh-
contoh, kemudian (3) diberikan latihan soal. Akibatnya siswa kurang diberdayakan untuk
berpikir, sedangkan kemampuan yang dikembangkan adalah kemampuan menghafal dan
kemampuan kognitif tingkat rendah.
Dalam pembelajaran matematika banyak metode mengajar yang dapat digunakan, namun
tidak setiap metode mengajar cocok dengan materi yang diajarkan. Oleh karena itu, diperlukan
pemikiran yang matang dalam pemilihan metode mengajar yang tepat untuk suatu materi yang
akan disajikan, hal tersebut dimaksudkan agar pembelajaran matematika efektif dan efisien.
Namun yang sering terjadi guru kurang bervariasi dalam menggunakan metode mengajar.
Umumnya yang sering digunakan adalah metode ceramah dan ekspositori. Kedua metode
tersebut terpusat pada guru. Dominasi guru menyebabkan siswa kurang dapat berpikir kritis dan
kreatif.
Salah satu materi yang dianggap sulit oleh sebagian besar siswa kelas V adalah materi
luas trapesium. Untuk mencari luas trapesium diperlukan kemampuan-kemampuan yang
mendukung seperti kemampuan numerik, kemampuan memahami rumus, dan kemampuan
menggambar benda-benda bangun datar. Pada umumnya kesulitan yang dihadapi siswa adalah
dalam menerapkan rumus untuk mencari luas trapesium dikarenakan begitu banyak rumus yang
ada. Sehingga banyak siswa yang merasa bingung dalam mempelajari dan memahami materi
luas trapesium tersebut. Hal ini disebabkan karena pembelajaran yang digunakan guru masih
bersifat konvensional, yang menempatkan guru sebagai pusat belajar (teacher centered).
Pola teacher centered ini mengakibatkan banyaknya dominasi guru dalam pembelajaran.
Dalam pembelajaran terkadang guru juga melupakan kemampuan-kemampuan matematika yang
seharusnya dimiliki siswa. Pola teacher centered ini masih banyak terjadi dalam pembelajaran
matematika SD di kabupaten Kudus. Dari beberapa SD Mitra PPL dan MBS PGSD FKIP
Universitas Muria Kudus, lebih dari 75% SD masih menggunakan pola ini.
Konstruksi pengetahuan akan lebih mudah jika berangkat dari pengalaman nyata yang
dekat dengan siswa, terkait dengan realitas, mudah dibayangkan (imagineable), berwujud suatu
kegiatan dan kebiasaan yang sering dilakukan di lingkungan atau daerah sekitarnya.
Pola teacher centered yang masih mendominasi dalam pembelajaran matematika SD di
kabupaten Kudus, mengakibatkan konstruksi pengetahuan siswa kurang, selain itu pemanfaatan
potensi keunggulan lokal Kudus yang bisa dijadikan sumber belajar kurang maksimal. Rumah
adat kudus bisa dijadikan sebuah media pembelajaran yang menarik.
Berangkat dari masalah ini, diperlukan suatu model pembelajaran yang tepat dalam
mendukung proses pembelajaran matematika SD di kabupaten Kudus agar dapat memberikan
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 155
iklim kondusif dalam perkembangan daya nalar, meningkatkan keaktifan, kreatifitas siswa serta
menanamkan kecintaan terhadap potensi keunggulan lokal Kudus.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, peneliti membuat rancangan sebuah desain
pembelajaran matematika materi luas trapesium dengan pendekatan luas persegi panjang
menggunakan model pembelajaran matematika realistik berkonteks rumah adat kudus.
Penelitian ini penting dilaksanakan untuk mendapatkan desain pembelajaran matematika
realistik berkonteks rumah adat kudus pada materi luas trapesium dan untuk mengetahui
keefektifannya dalam pembelajaran matematika SD.
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah (1) bagaimanakah desain pembelajaran
matematika realistik berkonteks rumah adat Kudus? (2) bagaimanakah pelaksanaan
pembelajaran matematika realistik berkonteks rumah adat Kudus? (3) apakah implementasi
pembelajaran matematika realistik berkonteks rumah adat Kudus efektif?
Tujuan penelitian ini adalah untuk (1) mendapatkan desain pembelajaran matematika
realistik berkonteks rumah adat Kudus, (2) menggunakan desain pembelajaran tersebut untuk
membantu siswa mengkonstruksi pemahaman tentang luas daerah trapesium dengan pendekatan
persegi panjang, dan (3) melihat dampak penggunaan desain pembelajaran tersebut terhadap
proses konstruksi pengetahuan matematis siswa.
Manfaat dalam penelitian ini adalah (1) mendapatkan desain pembelajaran matematika
realistik di sekolah dasar berkonteks rumah adat Kudus dan (2) memberikan pengalaman kepada
guru dalam pelaksanaan pembelajaran matematika realistik di sekolah dasar berkonteks rumah
adat Kudus.
Design research dalam penelitian ini merupakan model penelitian yang digunakan untuk
merancang desain pembelajaran untuk memecahkan masalah pendidikan yang kompleks dan
mengembangkan pengetahuan (teori). Langkah design research dalam penelitian ini : (1)
persiapan uji coba desain, (2) uji coba desain, dan (3) analisis retrospektif.
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode design research. Langkah proses penelitian design
research seperti halnya pada proses perancangan pendidikan (educational design), yaitu
analisis, perancangan, evaluasi dan revisi yang merupakan proses siklikal yang berakhir pada
keseimbangan antara teori ideal dengan praktiknya.
Menurut Gravemeijer & Cobb (2006) tahapan pelaksanaan design research adalah: 1)
preparing for the experiment (persiapan penelitian), 2) design experiment (pelaksanaan desain
eksperimen), dan 3) retrospective analysis (analisis data yang diperoeh dari tahap sebelumnya).
Waktu dan Tempat Penelitian
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
156 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Kudus pada bulan Oktober 2013 dengan
mengujicobakan hasil rancangan desain dan perangkat pembelajaran matematika realistik
berkonteks rumah adat kudus ke 2 SD di kabupaten Kudus, yaitu SD 1 Gondangmanis dan SD 1
Prambatan Kidul.
Target/Subyek Penelitian
Subyek dalam penelitian ini adalah siswa kelas V SD 1 Gondangmanis yang berjumlah
18 orang dan siswa kelas V SD 1 Prambatan Kidul yang berjumlah 24 orang. Dari beberapa
kecamatan di Kudus, diambil 2 SD yang berbeda kecamatan, satu berada di desa dan yang satu
dekat dengan kota.
Prosedur
Penelitian ini menggunakan metode design research untuk meningkatkan kualitas
pembelajaran melalui iterative analysis, mendesain atau memperbaiki design sebelumnya, dan
melaksanakan pembelajaran dengan mengacu pada teori dan prinsip – prinsip realitas.
Langkah yang dilakukan Menurut Gravemeijer & Cobb (2006) adalah:
1. Preparing for the experiment (persiapan penelitian)
Pada tahap ini dibuat hypothetical learning trajectory (HLT) atau lintasan belajar (proses
berpikir) hipotesis. Dalam membuat HLT ini diperlukan desain pendahuluan yang berfungsi
untuk mengimplementasikan ide-ide awal yang diperoleh dari kajian literatur sebelum
mendesain aktivitas pembelajaran, diskusi dengan guru yang berpengalaman, peneliti
maupun ahli dalam bidang yang terkait.
2. Design experiment (pelaksanaan desain eksperimen)
Tahap ini bertujuan untuk mengumpulkan data yang akan digunakan untuk menjawab
pertanyaan penelitian. Pada tahap ini, desain yang sudah dirancang diujicobakan di lapangan
(ruang – ruang kelas). Pengalaman-pengalaman yang terjadi pada tahap ini akan menjadi
dasar untuk mendesain ulang atau memodifikasi HLT untuk proses-proses pembelajaran
berikutnya.
3. Retrospective analysis (analisis data yang diperoeh dari tahap sebelumnya)
Peneliti menganalisis data yang diperoleh dari tahap design experiment dan menggunakan
hasil dari analisis untuk mengembangkan desain selanjutnya. HLT digunakan dalam tahap
retrospective analysis sebagai panduan dan referensi utama dalam menjawab pertanyaan
penelitian.
Adapun alur rancangan penelitian tiap siklusnya dengan menggunakan metode design
research disajikan pada gambar 1.
Data, Instrumen, dan Teknik Pengumpulan Data
Dokumentasi digunakan untuk mengumpulkan data-data keunggulan lokal Kudus.
Kaitannya dalam penelitian ini adalah rumah adat Kudus. Observasi digunakan untuk
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 157
mengumpulkan data aktivitas belajar siswa, aktivitas guru dalam mengelola pembelajaran
matematika realistik berkonteks rumah adat Kudus. Selain itu data aktivitas siswa dan guru ini
direkam menggunakan video dan kamera. Rekaman video dan kamera kemudian di
deskripsikan.
Tes digunakan untuk mengumpulkan data nilai hasil belajar matematika siswa khususnya
pada materi luas daerah trapesium setelah mendapatkan pembelajaran matematika realistik
berkonteks rumah adat Kudus. Angket digunakan untuk mengumpulkan data respon siswa dan
guru terhadap pembelajaran matematika realistik berkonteks rumah adat Kudus.
Teknik Analisis Data
Data potensi lokal Kudus (rumah adat) dianalisis dari hasil dokumentasi pengumpulan
data keunggulan lokal Kudus. Data hasil belajar matematika siswa dianalisis dari hasil tes hasil
belajar siswa pada materi luas daerah trapesium.
Data aktivitas belajar siswa dan aktivitas pengelolaan pembelajaran oleh guru
menggunakan pembelajaran matematika realistik berbasis keunggulan lokal Kudus dianalisis
menggunakan lembar observasi aktivitas siswa dan lembar observasi aktivitas pengelolaan
pembelajaran guru. Selain itu data tersebut dianalisis dari hasil rekaman video dan kamera.
Preparing for the experiment
1. Telaah literatur
2. Diskusi dengan guru dan
peneliti dalam bidang
pendidikan matematika
3. Mendesain model PMR
berkonteks rumah adat
Kudus termasuk HLT
4. Telaah ahli dan guru
terhadap desain awal
Design experiment
1. Pengumpulan data di
lapangan
2. Uji coba 2 SD di
Kabupaten Kudus
3. Observasi
4. Tes
5. Angket
Retrospective analysis
1. Analisis data kuantitatif dan kualitatif
2. Analisis keefektifan model PMR
berkonteks rumah adat Kudus dalam
pembelajaran matematika SD
3. Sintesis untuk kemungkinan perbaikan
desain siklus berikutnya
Gambar 1. Alur Rancangan Penelitian
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
158 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
Respon siswa dan guru terhadap pembelajaran matematika realistik berbasis keunggulan
lokal Kudus dianalisis menggunakan hasil sebaran angket respon siswa dan guru terhadap
pembelajaran matematika realistik berbasis keunggulan lokal Kudus.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Tahap Pembuatan Desain dan Perangkat Pembelajaran Matematika Realistik
Berkonteks Rumah Adat Kudus
Pada tahap ini peneliti berada pada proses preparing for the experiment (persiapan
penelitian) dan membuat lintasan belajar atau hypothetical learning trajectory (HLT). Dalam
membuat HLT peneliti melakukan:
a. Kajian literatur sekaligus diskusi dengan guru yang berpengalaman terkait keunggulan
lokal Kudus. Keunggulan lokal Kudus yang dapat digunakan untuk proses pembelajaran
adalah rumah adat Kudus.
b. Pembuatan perangkat pembelajaran matematika realistik berkonteks rumah adat Kudus
berdasarkan data – data rumah adat Kudus, beberapa perangkat pembelajaran matematika
yang dibuat antara lain: silabus, RPP, Lembar Kegiatan Siswa, media pembelajaran, alat
peraga dan bahan ajar berkonteks rumah adat Kudus.
c. Pendesainan model pembelajaran matematika realistik berkonteks rumah adat Kudus,
dengan menggabungkan syntax pembelajaran matematika realistik dan data-data rumah
adat Kudus sebagai konteks masalah realistiknya.
Adapun tahapan model pembelajaran matematika realistik berkonteks rumah adat Kudus
adalah :
1) Penggunaan konteks masalah realistik berbasis keunggulan lokal Kudus, yaitu: rumah
adat Kudus.
2) Penggunaan model untuk matematisasi progresif
3) Model yang digunakan disini adalah beberapa alat peraga trapesium dan LKS yang
mengantarkan pada suatu bentuk representasi matematis dari suatu masalah. Proses
matematisasi terhadap model nyata akan menghasilkan suatu model matematika.
4) Pemanfaatan hasil konstruksi siswa
5) Pengembangan interaktivitas dan karakter
6) Pengaitan antar konsep matematika
2. Tahap Telaah Desain Awal Model dan Perangkat Pembelajaran Matematika Realistik
Berkonteks Rumah Adat Kudus
Pada tahap ini peneliti bersama dengan guru melakukan telaah desain awal prototipe
pembelajaran matematika realistik berkonteks rumah adat Kudus di SD 1 Gondangmanis dan
SD 1 Prambatan Kidul. Dalam telaah desain awal terhadap prototipe, peneliti dan beberapa
guru mitra melihat, mengamati dan mengecek kesesuaian dan kelayakan prototipe desain awal
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 159
pembelajaran matematika realistik berkonteks rumah adat Kudus untuk digunakan dalam
proses pembelajaran.
3. Tahap Pembuatan Instrumen Penelitian
Pada tahap ini peneliti membuat instrumen penelitian, antara lain: soal tes, lembar
observasi pengelolaan pembelajaran, lembar observasi aktivitas belajar siswa, angket respon
guru dan angket respon siswa.
a. Soal tes digunakan untuk mengukur kemampuan kognitif siswa pada materi luas daerah
trapesium setelah mengikuti pembelajaran matematika realistik berkonteks rumah adat
Kudus.
b. Lembar observasi pengelolaan pembelajaran digunakan untuk mengamati keterlaksanaan
dan pengelolaan pembelajaran yang dilakukan peneliti dengan menggunakan model
pembelajaran realistik berkonteks rumah adat Kudus.
c. Lembar observasi aktivitas belajar siswa digunakan untuk mengamati aktivitas belajar
siswa selama mengikuti pembelajaran matematika realistik berkonteks rumah adat Kudus.
d. Angket respon guru digunakan untuk mengetahui respon guru terkait desain pembelajaran
dan pembelajaran matematika realistik berkonteks rumah adat Kudus.
e. Angket respon siswa digunakan untuk mengetahui respon siswa terkait pembelajaran
matematika realistik berkonteks rumah adat Kudus.
4. Tahap Uji Coba Lapangan Dan Pengumpulan Data
Pada tahap ini peneliti telah melakukan uji coba dan pengumpulan data di 2 SD
Kabupaten Kudus, yaitu : SD 1 Gondangmanis dan SD 1 Prambatan Kidul.
a. Tahap preparation for the experiment (persiapan penelitian)
Beberapa hal yang telah dilakukan pada tahap ini adalah:
1) membuat lintasan belajar atau hypothetical learning trajectory (HLT) pada materi
luas daerah trapesium. Dalam membuat HLT peneliti melakukan:
a) Kajian literatur sekaligus diskusi dengan guru mitra yang berpengalaman terkait
keunggulan lokal Kudus. Keunggulan lokal Kudus yang dapat digunakan untuk
proses pembelajaran matematika materi luas daerah trapesium adalah rumah
adat Kudus (Joglo).
b) Pembuatan perangkat pembelajaran matematika realistik berkonteks rumah adat
Kudus berdasarkan data – data rumah adat Kudus, beberapa perangkat
pembelajaran matematika yang dibuat antara lain: silabus, RPP, Lembar
Kegiatan Siswa, media pembelajaran, alat peraga dan bahan ajar berkonteks
rumah adat Kudus.
c) Pendesainan model pembelajaran matematika realistik berbasis keunggulan
lokal Kudus, dengan menggabungkan syntax pembelajaran matematika realistik
dan data – data rumah adat Kudus sebagai konteks masalah realistiknya.
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
160 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
Adapun tahapan model pembelajaran matematika realistik berkonteks rumah adat
Kudus pada materi luas daerah trapesium adalah :
(1) Penggunaan konteks masalah realistik berbasis keunggulan lokal Kudus,
yaitu rumah adat Kudus.
(2) Penggunaan model untuk matematisasi progresif
Model yang digunakan disini adalah beberapa alat peraga dan LKS yang
mengantarkan pada suatu bentuk representasi matematis dari suatu masalah.
Proses matematisasi terhadap model nyata akan menghasilkan suatu model
matematika.
(3) Pemanfaatan hasil konstruksi siswa
(4) Pengembangan interaktivitas dan karakter
(5) Pengaitan antar konsep matematika
2) Telaah desain awal model dan perangkat pembelajaran matematika realistik
berkonteks rumah adat Kudus. Dalam telaah desain awal terhadap model dan
perangkat, peneliti dan beberapa guru mitra melihat, mengamati dan mengecek
kesesuaian dan kelayakan model dan perangkat desain awal pembelajaran
matematika realistik berkonteks rumah adat Kudus untuk digunakan dalam proses
pembelajaran.
b. Tahap design experiment (pelaksanaan desain pembelajaran)
Pada tahap ini tim peneliti melakukan pembelajaran matematika realistik berkonteks
rumah adat Kudus dengan materi luas daerah trapesium. Adapun tahapan – tahapan
pelaksanaannya sebagai berikut.
1) Penggunaan konteks masalah realistik berbasis keunggulan lokal Kudus, dalam hal ini
peneliti menggunakan rumah adat Kudus (Joglo) sebagai konteks masalah realistik.
2) Penggunaan model untuk matematisasi progresif
Pada tahap ini peneliti menggunakan alat peraga luas daerah trapesium dengan
pendekatan luas daerah persegi panjang serta lembar kegiatan siswa (LKS) penemuan
konsep luas daerah trapesium dengan pendekatan luas daerah persegi panjang.
Model tersebut mengantarkan pada suatu bentuk representasi matematis dari suatu
masalah nyata. Proses matematisasi terhadap model nyata akan menghasilkan suatu
model matematika yang mengarah kepada konstruksi konsep matematika formal.
3) Pemanfaatan hasil konstruksi siswa
Pada tahap ini siswa mengkonstruksi peraga yang diberikan dengan didampingi LKS
untuk menemukan konsep luas daerah trapesium. Hasil kerja dan konstruksi siswa
selanjutnya digunakan untuk landasan pengembangan konsep matematika.
4) Pengembangan interaktivitas dan karakter
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 161
Dari kegiatan ini terjadi interaksi sosial antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru,
dan siswa dengan anggota kelompok yang lain. Interaksi sosial dalam pembelajaran
ini berperan membentuk karakter siswa yang mau menghargai pendapat orang lain dan
bersikap demokratis. Tuntutan mempresentasikan gagasan penemuan konsep luas
daerah trapesium berkembang menjadi suatu bentuk kesadaran dan tanggung jawab
dalam mengkomunikasikan gagasan kepada lingkungan.
5) Pengaitan antar konsep matematika
Dalam proses penemuan konsep luas daerah trapesium, beberapa konsep matematika
yang saling terkait antara lain: konsep geometri, luas persegi panjang, dan operasi
hitung perkalian.
Proses matematisasi yang dikonstruksi oleh siswa melalui penggunaan model digambarkan
dalam iceberg penemuan konsep luas daerah trapesium berikut.
c. Tahap retrospective analysis (analisis data yang diperoleh dari tahap sebelumnya)
Peneliti menganalisis data yang diperoleh dari tahap teaching experiment dan
menggunakan hasil dari analisis untuk mengembangkan desain selanjutnya.
Tabel 1. Hasil Penelitian di SD 1 Gondangmanis
No Data Hasil Kriteria
1 Rata-rata tes prestasi belajar siswa 81,3 Tuntas
2 Rata-rata aktivitas belajar siswa 4,1 Baik
3 Rata-rata respon siswa terhadap pembelajaran 4,3 Senang
4 Rata-rata pengelolaan pembelajaran guru 4,1 Baik
Orientasi lingkungan/
masalah realistik : rumah
Joglo
Penggunaan model untuk
jembatan(penggunaan alat
peraga&media yang sesuai)
Pembuatan Pondasi pemahaman
matematis. Siswa mengkonstruksi
konsep dan melakukan interaksi sosial
Gambar 2.Iceberg Penemuan Konsep Luas Daerah Trapesium
Tahapan
Matematika Formal
Luas daerah trapesium =
𝟏
𝟐× (𝒂 + 𝒃) × 𝒕
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
162 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
5 Rata-rata respon guru terhadap desain
pembelajaran
3,97 Baik
6 Rata-rata respon guru terhadap proses
pembelajaran
4,17 Baik
Tabel 2. Hasil Penelitian di SD 1 Prambatan Kidul
No Data Hasil Kriteria
1 Rata-rata tes prestasi belajar siswa 82,6 Tuntas
2 Rata-rata aktivitas belajar siswa 4,3 Baik
3 Rata-rata respon siswa terhadap pembelajaran 4,6 Senang
4 Rata-rata pengelolaan pembelajaran guru 4,3 Baik
5 Rata-rata respon guru terhadap desain
pembelajaran
4,69 Baik
6 Rata-rata respon guru terhadap proses
pembelajaran
4,17 Baik
Dari hasil di atas, rata-rata tes prestasi belajar menunjukkan nilai di atas Kriteria
Ketuntasan Minimal (KKM) dimana KKM untuk mata pelajaran matematika adalah 70.
Hal tersebut membuktikan bahwa penggunaan pembelajaran matematika realistik
berkonteks rumah adat kudus sudah optimal. Dalam pembelajaran tersebut siswa diajak
menemukan luas daerah trapesium menggunkan konteks yang dekat dengan lingkungan
sekitar, dalam hal ini rumah adat kudus. Pembelajaran menjadi menyenangkan, sehingga
tahap-tahap pembelajaran matematika realistik dapat berjalan secara maksimal.
Kenyataan di lapangan ada 2 orang siswa yang tidak tahu rumah adat kudus, karena
mereka tinggal di perumahan perkotaan. Hal tersebut tidak terlalu bermasalah, karena
setelah ditunjukkan rumah adat kudus, mereka langsung tahu dan langsung ikut
memahami beberapa bentuk bangun datar yang ada pada rumah adat kudus.
Rata-rata aktivitas belajar siswa menunjukkan kriteria “baik” dan respon siswa
terhadap pembelajaran menunjukkan kriteria “senang”. Hal tersebut dikarenakan siswa
merasa tertarik karena di awal pembelajaran siswa diperlihatkan beberapa keunggulan
lokal kudus, salah satu diantaranya yang akan dijadikan untuk pembelajaran adalah
rumah adat kudus. Rumah adat tersebut diidentifikasi bentuk-bentuk bangun apa yang
menyusun rumah adat tersebut. Rumah adat tersebut ditampilkan dalam LCD projector.
Siswa semakin tertarik karena pembelajarannya berkelompok, disediakan Lembar Kerja
Siswa (LKS), menggunakan CD Pembelajaran interaktif, dan alat peraga manipulatif
(luas daerah trapesium). Keunggulan lokal Kudus harus sering ditonjolkan dalam
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 163
pembelajaran, karena masih ada sebagian kecil siswa belum tahu terkait keunggulan lokal
Kudus. Dengan konteks seperti itu ternyata pembelajaran akan semakin menyenangkan.
Rata-rata pengelolaan pembelajaran guru dan respon guru terhadap desain serta
proses pembelajaran menunjukkan kriteria “baik”. Dalam pembelajaran menggunkan
konteks rumah adat kudus, di mana hal tersebut sangat dekat dengan siswa. Penggunaan
LKS dan alat peraga manipulatif (luas dareah trapesium) yang mengharuskan siswa
bekerja dalam kelompok untuk menemukan luas daerah trapesium dengan pendekatan
persegi panjang. Siswa dituntut mengisi LKS dengan bantuan alat peraga sampai
menemukan luas daerah trapesium. LKS dibuat sedemikian rupa sehingga dapat
menuntun siswa menemukan luas daerah trapesium dengan pendekatan persegi panjang.
Pelaksanaan pembelajaran matematika realistik berjalan efektif dan efisien, tahap demi
tahap dijalankan secara optimal, mulai orientasi masalah kontekstual (rumah adat Kudus)
sampai pada penarikan kesimpulan.
Hal-hal yang masih perlu ditingkatkan lagi, yaitu (1) masalah kontekstual harus
lebih bervariatif, kaitannya dengan bangun datar, bisa ditambah dengan pakaian adat
Kudus atau makanan khas Kudus yang berbentuk bangun datar. (2) CD pembelajaran
interaktif dan LKS harus match, agar siswa dapat lebih fokus. Dalam penelitian ini antara
CD pembelajaran interaktif dan LKS kurang sedikit match di bagian awal atau bagian
materi prasyarat, sehingga siswa merasa kebingungan waktu mengisi LKS pada bagian
itu. (3) Menambah membuat alat peraga manipulatif lagi. Hal tersebut bertujuan sebagai
cadangan. Dalam penelitian ini ada satu alat peraga yang tidak lengkap, sehingga perlu
meminjam ke kelompok lain bagian yang hilang tersebut. Untuk mengatasi masalah
tersebut harus membuat beberapa alat peraga manipulatif lagi (luas daerah trapesium
dengan pendekatan persegi panjang).
Secara keseluruhan pembelajaran matematika realistik berkonteks rumah adat
kudus pada materi luas trapesium sudah berjalan dengan optimal. Hal tersebut dapat
dilihat dari hasil tes prestasi belajar yang mendapatkan nilai rata-rata di atas KKM. Selain
itu dapat dilihat dari aktivitas guru dan siswa yang menunjukkan kriteria baik. Respon
guru dan siswa juga menunjukkan kriteria baik.
SIMPULAN DAN SARAN
Pelaksanaan pembelajaran matematika realistik berkonteks rumah adat kudus pada materi
luas daerah trapesium di SD 1 Gondangmanis dan SD 1 Prambatan Kidul berjalanoptimal,
respon siswa dan guru baik dan aktivitas guru dan siswa juga baik. Implementasi pelaksanaan
pembelajaran matematika realistik berkonteks rumah adat kudus dapat meningkatkan prestasi
belajar matematika pada materi luas daerah trapesium. Memperoleh desain dan perangkat
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
164 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
pembelajaran matematika realistik berkonteks rumah adat kudus pada materi luas daerah
trapesium dengan pendekatan luas persegi panjang.
Guru maupun peneliti hendaknya lebih memaksimalkan potensi keunggulan lokal Kudus
(rumah adat, pakaian adat, makanan khas, dll.). Dalam pembuatan desain dan perangkat
pembelajaran hendaknya melakukan telaah dan diskusi yang melibatkan beberapa guru dan ahli
yang berpengalaman
DAFTAR PUSTAKA
Asmani, J. 2012. Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal. Yogyakarta : DIVA Press.
Charitas, dkk. 2012. Learning Multiplication Using Indonesian Traditional game in Third
Grade. IndoMs – JME, 3(2), 115 – 132.
Depdiknas. 2006. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar dalam KTSP mata pelajaran
matematika Sekolah Dasar/Madrasah Ibtiaiyah. Jakarta : Depdiknas.
Freudenthal. 1991. Revisiting Mathematics Education. Dordrecht: Kluwer Academic Publisher.
Gravemeijer & Cobb. 2006. “Design Research from a Learning Perspective, dalam Educational
Design Research. New York : Routledge
Helsa, Y., & Hartono, Y. 2011. Designing Reflection and Symmetry Learning by Using Math
Traditional Dance in Primary School. IndoMs – JME, 2(1), 79 – 94.
Heruman. 2012. Model Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar. Bandung: PT Remaja
Rosda Karya.
Hidayat, M. 2005. Teori Pembelajaran Matematika. Semarang: PPs UNNES.
Ibrahim & Suparni. 2012. Pembelajaran Matematika Teori dan Aplikasinya. Yogyakarta:
SUKA-Press UIN Sunan Kalijaga.
Kwang, T.S. 2002. An Investigative Approach to Mathematics Teaching and Learning. The
Mathematics Educator, 6(2), 32-46.
Maaβ, K. 2010. Classification Scheme for Modelling Task. J Math Didakt, 31(2), 285-311.
Nasrullah & Zulkardi. 2011. Building counting by traditional game: A Mathematics Program
for Young Children. IndoMs – JME, 2(1), 41 – 54.
National Council of Teachers of Mathematics (NCTM). (2000). Principles and Standards for
School Mathematics. Reston, VA: National Council of Teachers of Mathematics.
Soedjadi, R. 2000. Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia (konstatasi keadaan masa
kini menuju harapan masa depan). Jakarta : Depdiknas.
Suherman, E. 2003. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA,
Universitas Pendidikan Indonesia.
Sumardyono. 2004. Karakteristik Matematika dan Implikasinya terhadap Pembelajaran
Matematika. Yogyakarta : Dirjen Dikdasmen P3G Matematika
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 165
The International Association for the Evaluation of Educational Achievement. 2011. Progress in
Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS).The International
Association for the Evaluation of Educational Achievement Washington DC: Department
of Education. Tersedia di http://timss.bc.edu/. Diunduh 17 Februari 2012.
Wijaya. 2012. Pendidikan Matematika Realistik suatu Alternatif Pendekatan Pembelajaran
Matematika. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Zulkardi & Ilma. 2010. Pengembangan Blog Support Untuk Membantu Siswa Dan Guru
Matematika Indonesia Belajar Pendidikan Matematika Realistik Indonesia
(PMRI).Jurnal Inovasi Perekayasa Pendidikan (JIPP), 2(1), 1-24.
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
166 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
RESPONS GURU TERHADAP PEMBELAJARAN BERBASIS PENGAJUAN
DAN PEMECAHAN MASALAH UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN
BERPIKIR KREATIF SISWA
Eka Puspitasari, Dwi Shinta Rahayu,Tatag Yuli Eko Siswono
(Program Pascasarjana Pendidikan Matematika
Universitas Negeri Surabaya Kampus Ketintang Surabaya;
Tulang Bawang Barat, Lampung 081369277783; [email protected])
Abstrak
Salah satu tujuan pembelajaran matematika di Indonesia adalah melatih siswa
berpikir kreatif. Kemampuan ini dapat dikembangkan melalui berbagai cara, salah
satunya dengan menerapkan model pembelajaran pengajuan dan pemecahan
masalah (JUCAMA). Dalam hal ini, guru memegang peran penting dalam
pelaksanaan pembelajaran. Opini guru mempengaruhi kelanjutan implementasi
JUCAMA di kelas sebagai upaya meningkatkan kreativitas siswa. Penelitian ini
bertujuan untuk (1) mengetahui respon guru dalam kaitannya dengan kemampuan
merencanakan dan mengimplementasikan JUCAMA, mengevaluasi kemampuan
berpikir kreatif siswa serta keyakinan guru terhadap tujuan pembelajaran yang
meningkatkan kemampuan berpikir kreatif, dan (2) mengetahui kendala-kendala
yang dihadapi guru dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi dalam
pembelajaran JUCAMA. Penelitian kuantitatif dan deskriptif ini merupakan bagian
dari penelitian strategi nasional yang dilakukan dengan metode angket terhadap 35
guru yang terdiri dari guru kelas 3, 4 dan 5 dari 8 SD di Kabupaten Sidoarjo. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas responden tidak mengalami kesulitan
dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi dalam pembelajaran JUCAMA. Selain
itu, mereka juga yakin bahwa model ini dapat meningkatkan kemampuan berpikir
kreatif siswa. Dengan demikian, dapat disimpulkan guru memberikan respon positif
terhadap pembelajaran JUCAMA.
Kata kunci: pengajuan masalah, pemecahan masalah, berpikir kreatif
PENDAHULUAN
Di masa yang kompetitif ini, kemampuan berpikir kreatif mutlak perlu dimiliki oleh siswa.
Bahkan, menurut Career Center Maine Department of Labor USA, yang dikutip oleh Mahmudi
(2010), berpikir kreatif merupakan salah satu kemampuan yang dikehendaki dunia kerja. Hal ini
menjadi salah satu faktor yang menyebabkan berpikir kreatif menjadi fokus dalam tujuan
pendidikan di Indonesia, terutama melalui pembelajaran matematika. Lebih jauh, Peraturan
Menteri no 22 Tahun 2006 tentang standar isi untuk satuan Pendidikan Dasar dan Menengah
menyebutkan bahwa matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah
dasar untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis,
kritis, dan kreatif, serta memiliki kemampuan bekerja sama.
Definisi berpikir kreatif sendiri telah diungkapkan oleh banyak ahli, misalnya McGregor
mendefinisikan berpikir kreatif sebagai berpikir yang mengarah pada pemerolehan wawasan
baru, pendekatan baru, perspektif baru, atau cara baru dalam memahami sesuatu. Senada
dengan pendapat tersebut, Martin berpendapat bahwa kemampuan berpikir kreatif digunakan
untuk menghasilkan ide atau cara baru dalam menghasilkan suatu produk. (Mahmudi,
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 167
2010). Aspek kebaruan juga ditekankan oleh Ruggirro dan Evans dalam memandang
kemampuan berpikir kreatif sebagai suatu kegiatan mental yang dialami seseorang bila mereka
dihadapkan pada suatu masala atau situasi yang harus dipecahkan untuk membangun ide atau
gagasan ”baru (dalam Siswono, 2011). Tampak jelas bahwa berpikir kreatif mengandung unsur
kebaruan.
Selain unsur kebaruan, Isaksen mengkaitkan berpikir kreatif dengan proses pembentukan
ide yang menekankan pada aspek kelancaran, keluwesan, dan keterincian. Sementara itu,
menurut Sharp, beberapa aspek berpikir kreatif antara lain kebaruan, produktivitas, dan
dampak atau manfaat. Kebaruan disini bersifat relatif untuk setiap individu, dalam konteks
belajar mengajar hal ini dapat dikaitkan dengan penemuan penyelesaian yang bagi siswa
dianggap baru ketika mereka menghadapi masalah yang menantang. Aspek produktivitas
dijelaskan sebagai penemuan banyak ide, bisa baru ataupun tidak. Sedangkan dampak atau
manfaat dipandang perlu karena jika suatu produk proses berpikir seseorang jika tanpa ada
kebermanfaatannya tidak akan bernilai. Manfaat disini bisa merujuk pada peningkatan
kepercayaan diri siswa setelah menyelesaikan masalah yang baru tersebut.
Penjelasan yang hampir sama dikemukakan oleh Martin (dalam Mahmudi, 2010), bahwa
kemampuan berpikir kreatif berkaitan dengan produktivitas, keaslian atau originalitas, dan
keflesibelan atau keluwesan. Komponen produktivitas di sini merujuk pada hal yang sama
dengan pendapat sebelumnya, sedangkan keaslian merujuk pada aspek kebaruan. Sementara itu,
fleksibilitas terkait dengan kemampuan memodifikasi ide berdasarkan informsi baru. Siswa
yang memiliki fleksibiltas dapat memodifikasi ide mereka untuk mendapatkan cara
penyelesaian yang berbeda-beda dari suatu masalah yang sama. Dalam artikel ini, indikator
berpikir kreatif meliputi keluwesan yaitu kemampuan menghasilkan banyak ide, kebaruan yang
merujuk pada ide-ide yang ”baru” menurut siswa dan bersifat unik, dan fleksibilitas yaitu
kemampuan memodifikasi ide-ide menggunakan informasi yang baru.
Sementara itu, kreativitas tidak hanya dapat dilatih melalui bidang-bidang seni atau sastra,
tetapi juga dapat dilatih melalui pembelajaran sains dan matematika (Pehkonen dalam
Mahmudi, 2010). Hanya saja, dalam pembelajaran matematika aspek kreativitas ini lebih
difokuskan pada proses berpikir, yaitu proses berpikir kreatif. Proses berpikir kreatif
matematika merujuk pada proses berpikir kreatif umum, Siswono dan Budayasa (2006)
mengutip pendapat Pehkonen, Krutetskii, Haylock, dan Silver bahwa berpikir kreatif merupakan
kombinasi berpikir logis dan berpikir divergen yang didasarkan pada intuisi tetapi masih dalam
kesadaran yang memperhatikan fleksibilitas, kefasihan dan kebaruan. Kemampuan berpikir
logis dan divergen ini dapat dilatihkan melalui pembelajaran matematika.
Adapun salah satu cara untuk melatih siswa berpikir kreatif adalah melalui pembelajaran
dengan tugas yang memuat masalah. Masalah merupakan situasi dimana seseorang ingin
melakukan sesuatu tetapi tidak tahu apa yang diperlukan untuk mendapatkan yang diinginkan
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
168 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
(Crowl et a, dalam King, et al). Dalam konteks pembelajaran, masalah harus menantang dan
tidak otomatis diketahui cara penyelesaiannya. Hal ini ditegaskan oleh Becker dan Shimada
sebagai berikut.
Genuine problem solving requires a problem that is just beyond the student’s
skill level so that she will not automatically know which solution method to use.
The problem should be nonroutine, in that the student perceives the problem
as challenging and unfamiliar, yet not insurmountable.
Berdasarkan penjelasan tersebut, tidak semua pertanyaan matematika merupakan masalah.
Adanya ciri menantang dan tidak bisa secara langsung dipecahkan dengan prosedur rutin yang
diketahui berimplikasi pada kenyataan bahwa suatu pertanyaan mungkin menjadi masalah bagi
seorang siswa tapi belum tentu demikian bagi siswa yang lain. Dari pendapat di atas dapat
diidentifikasi ciri utama masalah, yaitu (1) individu memiliki pengetahuan prasayarat tentang
situasi yang dihadapi, (2) menantang, dan (3) langkah menemukan penyelesaiannya tidak harus
jelas atau mudah dipahami orang lain.
Dalam proses belajar mengajar, siswa dapat didorong untuk berpikir kreatif melalui
pembelajaran yang melibatkan pengajuan dan pemecahan masalah. Istilah pemecahan masalah
sendiri didefinisikan oleh beberapa ahli, salah satunya Gagne. Papola (2005) menjelaskan
bahwa menurut Gagne, “Problem solving is a set of events in which human being was
rudes to achieve science goals”. Berdasarkan pendapat Gagne, pemecahan masalah adalah
rangkaian peristiwa dimana seseorang berusaha keras untuk mencapai tujuannya.
Definisi yang lain diajukan oleh Risk (dalam Papola, 2005), yaitu
“Problem solving may be defined as a process of raising a problem in the minds
of the students in such a way as to stimulate purposeful reflective thinking in
arriving at a rational solution”.
Menurut Risk, pemecahan masalah merupakan suatu proses memunculkan masalah dalam
pikiran untuk mendorong siswa berpikir reflektif dalam mencari solusi yang rasional.
Sementara itu, menurut Siswono,
pemecahan masalah matematika dapat diartikan sebagai proses siswa dalam menyelesaikan
suatu masalah matematika yang langkahnya terdiri dari memahami masalah, merencanakan
penyelesaian, melaksanakan rencana tersebut, dan memeriksa kembali jawaban.
Pengertian pemecahan masalah menurut Siswono ini mengacu pada langkah-langkah
penyelesaian masalah yang digagas oleh Polya.
Dari pendapat-pendapat ahli di atas, pemecahan masalah dapat diartikan sebagai proses
seseorang untuk menemukan penyeleaian masalah yang rasional dengan mengacu pada langkah-
langkah yang dikemukakan Polya, yaitu memahami masalah, merencanakan penyelesaian,
melaksanakan rencana tersebut, dan memeriksa kembali jawaban.
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 169
Sedangkan, pengajuan masalah merujuk pada pemberian tugas yang bersifat open-ended
atau masalah terbuka dengan meminta siswa menuliskan sebarang masalah yang dipikirkannya
tanpa batas dari isi ataupun konteks matematika. Becker dan Shimada (1997), dalam bukunya
“How to Solve It”, mendefinisikan masalah open ended sebagai masalah yang memiliki banyak
jawaban yang benar atau banyak cara menemukan jawaban yang benar. Hal ini didukung oleh
Moses (dalam Siswono, 2011) bahwa untuk mendorong berpikir kreatif siswa guru dapat
memodifikasi masalah dari buku teks dan menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang memiliki
jawaban majemuk, karena masalah yang hanya memiliki satu jawaban tunggal tidak akan
mendorong siswa untuk berpikir kreatif.
Pengajuan masalah memang sedikit berbeda dengan pemecahan masalah, namun strategi
ini dapat digunakan untuk menstimulus siswa untuk berpikir kreatif dalam pembelajaran
matematika. Strategi ini dapat dilakukan melalui langkah-langkah yang dikembangkan Silver
dan Chai yaitu (1) pengajuan pre-solusi dimana siswa mengajukan pertanyaan dari informasi
yang diberikan, (2) pengajuan di dalam solusi dimana siswa siswa merumuskan ulang seperti
yang telah diselesaikan, (3) pengajuan stelah solusi dimana siswa memodifikasi soal yang telah
diselesaikan untuk membuat soal yang baru.
Model pembelajaran matematia yang melibatkan tugas pemecahan dan pengajuan masalah
disebut model pembelajaran JUCAMA. Siswono (2008), mendefinisikan model pembelajaran
JUCAMA untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif sebagai
suatu model pembelajaran matematika yang berorientasi pada pemecahan dan
pengajuan masalah matematika sebagai fokus pembelajarannya dan menekankan belajar
aktif secara mental dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif
Adapun sintaks dalam model pembelajaran JUCAMA adalah sebagai berikut.
Fase Aktivitas Guru
1. Menyampaikan tujuan dan
mempersiapkan siswa
Menjelaskan tujuan, materi prasyarat, memotivasi
siwa, dan mengaitkan materi pelajaran denan konteks
kehidupan sehari-hari
2. Mengorientasikan siswa
pada masalah dan
mengorganisasikannya
untuk belajar
Memberikan masalah yang sesuai dengan tingkat
perkembanagn anak untuk diselesaikan atau meminta
siswa mengajukan masalah berdasarkan informasi
maupun masalah awal. Meminta siswa bekerja
dalamkelompok atau individu dan mengarahkan siswa
membantu dan membagi dengan anggota kelompok
atau teman lainnya
3. Membimbing
penyelesaiannya secara
individual maupun
Guru membimbing dan mengarahkan belajar secara
efektif dan efisien
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
170 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
Fase Aktivitas Guru
kelompok
4. Menyajian hasil
penyelesaian pemecahan dan
pengajuan masalah
Guru membantu siswa dalam merencanakan dan
menetapkan suatu kelompok atau seorang siswa
dalam menyajikan hasil tugasnya
5. Memeriksa pemahaman dan
memberikan umpan balik
sebagai evaluasi
Memeriksa kemampuan siswa dan memberikan
umpan balik untuk menerapkan maslaah yang
dipelajari pada suatu materi lebih lanut dan pada
konteks nyata masalah sehar-hari
Dalam model pembelajaran JUCAMA untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreaif
siswa, penilaian tidak hanya dilakukan pada kemampuan siswa memecahkan dan mengajukan
masalah namun juga pada tingkat berpikir kreatif siswa. Siswono (2008) merumuskan suatu
penjenjangan kemampuan berpikir kreatif siswa yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam
mengukur kemampuan berpikir kreatif siswa. Penjenjangan tersebut didasarkan pada indikator
berpikir kreatif yakni kefasihan, fleksibilitas, dan kebaruan. Kebaruan ditempatkan pada tingkat
teratas dalam penjenjangan ini mengingat indikator ini menunjukkan kekhasan dan keunikan
dari suatu produk berpikir kreatif yag sangat ditekankan. Selanjutnya, diikuti oleh fleksibilitas
dimana kemampuan siswa memodifikasi ide dan cara penyelesaian. Sementara itu, kefasihan
mencerminkan kelancaran siswa dalam menghasilkan penyelesaian melalui proses berpikir
kreatif. Penjelasan selengkapnya tentang pejenjangan tingkat berpikir kreatif siswa adalah
sebagai berikut.
Tingkat Berpikir Kreatif 4
Siswa mampu menyelesaikan suatu masalah dengan lebih dari satu alternatif
jawaban maupun cara penyelesaian atau membuat masalah yang berbeda-beda dengan
lancar (fasih) dan fleksibel. Siswa yang mencapai tingkat ini dapat dinamakan sebagai
siswa sangat kreatif.
Tingkat Berpikir Kreatif 3
Siswa mampu menunjukkan suatu jawaban yang baru dengan cara penyelesaian
yang berbeda (fleksibel) meskipun tidak fasih atau membuat berbagai jawaban yang
baru meskipun tidak dengan cara yang berbeda (tidak fleksibel). Selain itu, siswa
dapat membuat masalah yang berbeda dengan lancar (fasih) meskipun jawaban masalah
tunggal atau membuat masalah yang baru dengan jawaban divergen. Siswa yang
mencapai tingkat ini dapat dinamakan sebagai siswa kreatif.
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 171
Tingkat Berpikir Kreatif 2
Siswa mampu membuat satu jawaban atau masalah yang berbeda dari kebiasaan umum
meskipun tidak dengan fleksibel atau fasih, atau mampu menunjukkan berbagai cara
penyelesaian yang berbeda dengan fasih meskipun jawaban yang dihasilkan tidak baru.
Siswa yang mencapai tingkat
ini dapat dinamakan sebagai siswa cukup kreatif.
Tingkat Berpikir Kreatif 1
Siswa tidak mampu membuat jawaban atau membuat masalah yang berbeda (baru),
meskipun salah satu kondisi berikut dipenuhi, yaitu cara penyelesaian yang dibuat
berbeda-beda (fleksibel) atau jawaban/masalah yang dibuat beragam (fasih). Siswa
yang mencapai tingkat ini dapat dinamakan sebagai siswa kurang kreatif.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Siswono pada tahun 2005 serta Siswono
dan Novitasari pada tahun 2007 menunjukkan bahwa pembelajaran dengan model ini dapat
meningkatkan hasil belajar siswa terutama dalam pemecahan masalah dan mengindikasikan
peningkatan kemampuan berpikir kreatif sesuai indikator kefasihan, fleksibilitas, dan kebaruan
dalam memcahkan dan mengajukan masalah. Selain itu model ini juga daat digunakan untuk
melatih siswa mengkomunikasikan ide secara rasional karena dalam pembelajaran ini siswa
ditantang untuk menyelesaikan masalah terbuka yang memiliki jawaban atau cara penyelesaian
yang bermacam-macam. (Siswono, 2011)
Masih menurut Siswono, meskipun model ini memberikan kontribusi positif dalam
peningkatan kemampuan pengajuan dan pemecahan masalah serta berpikir kreatif siswa, model
ini perlu persiapan yang sangat matang terutama dalam memilih masalah yang tepat bagi siswa
dan waktu yang lama. Hal yang perlu digarisbawahi oleh guru dalam menerapkan model ini
adalah penerapan yang berkelanjutan sehingga siswa menjadi terbiasa menyelesaikan masalah-
masalah terbuka.
Persiapan yang matang akan tercapai jika guru menguasai konten yang akan diajarkan dan
memiliki kemampuan pedagogik yang mumpuni, dalam hal ini guru perlu memiliki pemahaman
yang mendalam tentang model JUCAMA sebelum menerapkannya dalam kelas. Dengan adanya
pemahaman yang baik ini diharapkan tujuan pembelajaran, yaitu meningkatkan kemampuan
berpikir kreatif siswa melalui pembelajaran JUCAMA, dapat tercapai maksimal. Pemahaman
guru ini dapat tercermin dari respons guru terhadap pembelajaran.
Peran guru dalam proses belajar mengajar sangat penting. Guru yang menentukan strategi
apa yang akan digunakan di kelas untuk membantu siswa mengkonstruk pengetahuannya.
Sementara itu, model JUCAMA ini merupakan salah satu model yang baru. Pandangan guru
terhadap penerapan model pembelajaran ini menentukan keberlangsnungan penerapan model ini
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
172 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
di dalam proses belajar mengajar di kelas. Jika guru memandang JUCAMA sebagai model yang
mudah untuk diaplikasikan dan yakin bahwa model ini dapat meningkatkan kemampuan
berpikir kreatif siswa maka, guru tentunya akan menerapkannya secara berkesinambungan
seperti yang telah disebutkan di atas bahwa hal yang peru diperhatikan dalam penerapan model
ini adalah kekontinyuan pelaksanaannya.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang bertujuan
untuk (1) mengetahui respons guru dalam kaitannya dengan kemampuan merencanakan dan
mengimplementasikan JUCAMA, mengevaluasi kemampuan berpikir kreatif siswa serta
keyakinan guru terhadap tujuan pembelajaran yang meningkatkan kemampuan berpikir kreatif,
dan (2) mengetahui kendala-kendala yang dihadapi guru dalam perencanaan, pelaksanaan, dan
evaluasi dalam pembelajaran JUCAMA.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dan deskriptif yang dilaksanakan sebagai
bagian dari penelitian strategi nasional. Penelitian ini dilakukan dengan pemberian angket
kepada guru SD di Kabupaten Sidoarjo untuk mengetahui respon guru terhadap pembelajaran
JUCAMA. Guru yang terlibat dalam penelitian ini sebanyak 30 orang yang terdiri dari 10 guru
kelas 3, 7 guru kelas 4 dan 13 guru kelas 5. Berdasarkan wawancara yang bertujuan untuk
mengetahui informasi awal tentang guru, pengalaman mengajar guru bervariasi antara 5-35
tahun dengan pendidikan terakhir S1 dan S2. Ditinjau dari pengetahuan guru tentang model
pembelajaran JUCAMA, paea guru belum pernah mendapatkan pelatihan yang terkait dengan
upaya peningkatan berpikir kreatif siswa dengan menggunakan JUCAMA sehingga memiliki
pengalaman yang relatif sama yaitu suatu metode yang baru.
Prosedur penelitian diawali dengan mendesain workshop mengenai perencanaan
pembelajaran JUCAMA dan melaksanakannya sebanyak 2 kali. Setelah kegiatan itu guru
merancang perangkat pembelajaran jucama dan mengimplementasikan pada sekolah masing-
masing. Setelah itu, semua guru diberi angket respon terhadap pembelajaran menggunakan
model JUCAMA. Penelitian deskriptif dilakukan dengan melakukan wawancara semi
terstruktur terhadap beberapa guru terpilih pada masing-masing tingkat kelas untuk menggali
informasi lebih lanjut dalam kaitannya dengan kemampuan merencanakan dan
mengimplementasikan JUCAMA, mengevaluasi kemampuan berpikir kreatif siswa serta
keyakinan guru terhadap tujuan pembelajaran yang meningkatkan kemampuan berpikir kreatif.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah angket untuk mengetahui tanggapan
guru setelah melaksanakan pembelajaran dan pedoman wawancara semi terstruktur sebagai
panduan dalam menggali kemampuan berpikir kreatif guru, kendala-kendala yang dihadapi, dan
keyakinannya terhadap pelaksanaan pembelajaran. Analisis kuantitatif dilakukan setelah
melakukan rekapitulasi angket dan menghitung persentase nilai respon guru (NRG) dari tiap
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 173
butir pernyataan, kemudian menentukan kriteria persentase NRG per butir pernyataan serta
menghitung jumlah butir pernyataan yang memenuhi masing-masing kriteria (sangat baik, baik,
kurang baik dan tidak baik). Selanjutnya, membuat kategori utuk seluruh butir pernyataan.
Respons guru dikatakan positif jika ≥ 50% dari seluruh butir pernyataan termasuk kategori
“baik” atau “sangat baik”. Sedangkan analisis deskriptif dilakukan dengan melakukan
wawancara untuk mendapatkan gambaran kesulitan-kesulitan guru dalam merancang,
melaksanakan, maupun menilai kemampuan berpikir kreatif siswa dalam implementasi jucama.
Hasil Penelitian:
Respon guru terhadap pembelajaran JUCAMA
Respons guru diperoleh dari angket yang diberikan setelah guru melakukan serangkaian
pembelajaran menggunakan model JUCAMA pada bulan Oktober 2013. Hasil angket disajikan
pada Tabel 1 berikut.
Tabel 1. Hasil Angket Respon Guru
No. Pernyataan Jumlah Respons %
NRG SS S KS TS
1 Saya tidak mengalami kendala yang berarti dalam
membuat rencana pembalajaran yang
mengkaitkan kemampuan berpikir kreatif siswa
7 16 6 1 74,17%
2 Saya tidak kesulitan menyusun soal yang terbuka
untuk mendorong berpikir kreatif siswa
5 16 9 0 71,67%
3 saya mengalami kesulitan dalam membuat tugas
pengajuan masalah
1 18 9 1 64,17%
4 Saya tidak kesulitan merumuskan tujuan dari
indikator untuk mengukur kemampuan berpikir
kreatif siswa.
2 19 9 0 69,17%
5 Saya dapat menyusun kegiatan inti yang sesuai
dengan langkah-langkah pada pembelajaran
JUCAMA
7 21 2 0 79,17%
6 Saya senang dalam mengajar menggunakan RPP
untuk mendorong berpikir kreatif siswa
16 13 1 0 87,50%
7 Saya tidak kesulitan menilai kemampuan berpikir
kreatif siswa
5 16 7 2 70,00%
8 Indikator-indikator berpikir kreatif siswa
(kefasihan, fleksibilitas dan kebaruan) dapat saya
pahami dengan mudah
2 18 9 1 67,50%
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
174 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
9 Saya yakin materi yang saya ajarkan menyebabkan
siswa dapat berpikir kreatif
10 19 0 0 80,83%
10 Saya percaya tugas-tugas memecahkan masalah
dapat medorong siswa berpikir kreatif
15 15 0 0 87,50%
11 Saya tidak ragu sama sekali siswa akan berpikir
kreatif ketika diminta membuat soal
7 18 5 0 76,67%
12 Saya percaya bahwa langkah-langkah
pembelajaran jucama benar-benar dapat diterapkan
untuk mendorong berpikir kreatif siswa
13 17 0 0 85,83%
13 Saya merasakan dengan sesungguhnya
pembelajaran JUCAMA memudahkan guru
mengantar siswa berpikir kreatif
9 18 2 1 79,17%
14 Saya berketetapan hati menggunakan langkah-
langkah pembelajaran JUCAMA ini untuk materi-
materi lain
3 20 2 0 63,33%
15 Saya percaya siswa kami mampu berpikir kreatif
dalam pembelajaran
9 21 0 0 82,50%
kriteria persentase NRG
25% ≤ NRG < 44% Tidak Baik
44% ≤ NRG < 63% Kurang Baik
63% ≤ NRG < 82% Baik
82% ≤ NRG ≤ 100% Sangat Baik
Berdasarkan angket, butir 1, 2, 3, 4 dan 5 merepresentasikan respons guru dalam
perencanaan pembelajaran. Butir 6 berkaitan dengan pelaksanaan, butir 7 dan 8 berkaitan
dengan evaluasi kemampuan berpikir kreatif siswa, sedangkan butir 9-15 mencerminkan
keyakinan guru terhadap pembelajaran menggunakan JUCAMA dalam upaya meningkatkan
kemampuan berpikir kreatif siswa. Berdasarkan kriteria persentase NRG, guru memberikan
respon “baik” terhadap perencanaan pembelajaran dan evaluasi kemampuan berpikir kreatif
siswa. Respons berbeda, yaitu “sangat baik”, ditunjukkan terhadap pelaksanaan pembelajaran
menggunakan model JUCAMA. Berdasarkan Tabel 1, sebagian besar butir pernyataan tentang
keyakinan guru terhadap pembelajaran menggunakan JUCAMA jika dikaitkan dengan
kreativitas siswa masuk dalam kategori “baik”.
Kendala dan Keyakinan Guru dalam Mengimplementasikan JUCAMA
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 175
Hasil angket menunjukkan tidak semua guru menjawab setuju atau sangat setuju pada tiap
butir pernyataan. Hal ini mengindikasikan bahwa ada beberapa hal yang masih kurang dalam
implementasi JUCAMA. Hal tersebutlah yang kita sebut sebagai kendala. Demi memperoleh
gambaran kendala yang dialami guru dalam penerapan model JUCAMA, peneliti melakukan
wawancara semi terstruktur berdasarkan jawaban pada angket. Kendala-kendala tersebut
disajikan pada Tabel 2 berikut ini.
Tabel 2. Kendala- Kendala dalam Mengimplementasikan JUCAMA
Tahap Implementasi Kendala-Kendala
Persiapan membuat soal open-ended untuk melatih siswa berpikir kreatif
kurang waktu
Pengetahuan kurang
Kekurangan waktu untuk persiapan
Kesulitan membuat RPP
Kesulitan mencari bahan
Pelaksanaan Siswa yang aktif makin aktif, sedangkan siswa yang pasif lebih pasif
Kesulitan melakukan manajemen kelas dengan jumlah siswa yang
banyak
Kesulitan mengajak siswa berpikir kreatif
siswa ramai
siswa belum bisa mengajukan soal kebaruan
Kurikulum yang digunakan kurang sesuai dengan jucama sehingga
menjadi bingung
kurang pengarahan
Kesulitan mengarahkan siswa
Evaluasi bingung format penilaian
kesulitan untuk membedakan fleksibilitas dan kebaruan
banyak indikator yang harus dinilai
analisis indikator
Berdasarkan hasil wawancara yang telah dirangkum dalam tabel diatas, jelas bahwa pada
setiap tahap implementasi guru masih mengalami kesulitan. Pada tahap persiapan, sebagian
besar guru merasa kesulitan saat membuat soal-soal open-ended yang dapat merangsang siswa
untuk berpikir kreatif. Selain itu, guru masih merasa kesulitan dalam membuat RPP hal ini
disebabkan oleh kurangnya bimbingan dalam pembuatan perangkat pembelajaran JUCAMA.
Pada tahap pelaksanaan, guru merasa kesulitan mengatur kelas dengan jumlah siswa yang
banyak, akibatnya kelas menjadi ramai. Disamping itu, guru dan siswa juga belum terbiasa
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
176 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
untuk melaksanakan dan mengikuti pembelajaran yang melibatkan kemampuan mengajukan
masalah. Pada saat evaluasi atau penilaian kesulitan utama guru adalah tentang perbedaan cara
penilaian dibandingkan dengan penilaian yang telah dilakukan guru sebelumnya, baik berupa
format penilaian maupun indikator yang dinilai. Terkait dengan indikator, jumlah indikator yang
lebih banyak membuat guru kesulitan dalam membedakan indikator-indikator yang muncul,
terutama indikator kebaruan dimana guru belum pernah mangevaluasi indikator ini sebelumnya.
Keyakinan guru dalam penggunaan model JUCAMA untuk meningkatkan kemampuan
berpikir kreatif siswa juga diungkap melalui wawancara. Hasil tersebut dapat dilihat pada Tabel
3 berikut ini.
Tabel 3. Keyakinan guru terhadap penerapan JUCAMA
Terlihat dari tabel bahwa lebih dari 50% guru yakin bahwa JUCAMA dapat meningkatkan
kemampuan berpikir kreatif siswa. Keragu-raguan muncul dengan persentase 26,92% dari
jumlah guru yang diwawancara. Hal ini dapat dilihat dari jawaban guru dimana mereka percaya
JUCAMA bisa meningkatkan kreativitas siswa tetapi masih perlu dilatihkan lagi baik pada guru
dan siswa. Kurang dari 20% guru tidak yakin dengan penerapan JUCAMA.
Pembahasan Hasil Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui respon guru terhadap pembelajaran
JUCAMA yang terbilang baru bagi guru. Respon masuk dalam kategori “positif” jika ≥ 50%
dari seluruh butir pernyataan pada angket masuk dalam kriteria baik atau sangat baik. Terlihat
dari tabel 1, tahap perencanaan, tahap evaluasi dan tingkat keyakinan guru mendapat respon
“baik”, sedangkan tahap pelaksanaan mendapat respon “sangat baik”. Ditinjau dari kategori
respon secara keseluruhan, lebih dari 50% pernyataan mendapat respon baik atau sangat baik.
Artinya guru memberikan respon positif terhadap penerapan model JUCAMA untuk
meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa.
Meskipun guru memberikan respon positif terhadap pembelajaran dengan menggunakan
JUCAMA, tak dapat dipungkiri bahwa masih ada kendala-kendala dalam penerapannya. Guru
merasa kendala utama dalam proses persiapan adalah kurangnya pelatihan yang diberikan
sehingga guru masih kesulitan dalam pembuatan perangkat pembelajaran. Meskipun RPP yang
digunakan hanya merupakan pengembangan dari RPP yang biasa guru gunakan, penyesuaian
tujuan dan langkah-langkah pembelajaran menggunakan JUCAMA pun masih memerlukan
Tingkat Keyakinan Persentase
Yakin 53,85%
Ragu-ragu 26,92%
Tidak Yakin 19,23%
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 177
bimbingan. Selain itu, kesulitan juga dihadapi guru saat pembuatan perangkat lain yaitu berupa
soal-soal dalam LKS maupun lembar evaluasi. Guru masih belum mengerti bagaimana cara
membuat soal open-ended yang dapat digunakan untuk mengukur kemampuan berpikir kreatif
siswa.
Selanjutnya, meskipun pada tahap pelaksanaan respon sangat baik ditunjukkan oleh guru,
masih ada kendala yang dihadapi guru terutama terkait dengan waktu dan manajemen kelas.
Langkah pembelajaran JUCAMA yang berbeda dari pembelajaran yang biasa guru lakukan
memerlukan waktu yang lebih lama. Ditambah lagi dengan kenyataan dimana guru dan siswa
sama-sama belum terbiasa dengan model pembelajaran baru sehingga masih perlu bimbingan
dalam melaksanakan proses pembelajaran. Terkait dengan manajemen kelas, perubahan susunan
klasik menjadi berkelompok dengan jumlah siswa yang banyak (mayoritas, jumlah siswa setiap
kelas lebih dari 30 orang) membuat guru kesulitan memonitor secara menyeluruh sehingga
dipertengahan proses pembelajaran kelas menjadi ribut. Selain itu, ditinjau dari kemampuan
siswa, siswa baru pertama kali mengikuti pembelajaran yang melibatkan kemampuan
mengajukan/membuat soal sehingga mereka masih sulit saat diminta untuk membuat soal yang
berkaitan dengan materi yang sedang dipelajari. Ditambah lagi dengan 3 indikator kreativitas
(kefasihan, fleksibilitas dan kebaruan) yang diharapkan muncul pada jawaban siswa, ternyata
siswa masih belum memunculkan kebaruan pada pengajuan masalah.
Evaluasi hasil kerja siswa pada pembelajaran JUCAMA meliputi analisis ketuntasan
belajar dan kemampuan berpikir kreatif siswa. Guru biasa melakukan analisis ketuntasan belajar
siswa, namun evaluasi kemampuan berpikir kreativitas siswa merupakan pengalaman baru bagi
guru-guru tersebut dan disinilah kendala dihadapi. Guru mengaku masih bingung dengan format
penilaian yang diberikan. Jumlah indikator yang lebih banyak (3 indikator) membuat guru
kesulitan dalam menentukan indikator apa saja yang muncul dalam jawaban siswa. Masalah lain
terkait dengan pemahaman guru terhadap 3 indikator kreativitas. Guru mengaku mengerti secara
teori apa yang dimaksud dengan indikator-indikator tersebut, namun ketika dihadapkan dengan
jawaban siswa masih sulit membedakan antara fleksibilitas dan kebaruan.
Keyakinan guru terhadap suatu model pembelajaran menentukan keberlangsungan
penerapan model tersebut dalam kegiatan belajar mengajar di kelas. Selain itu, keyakinan
tersebut dapat merepresentasikan pencapaian tujuan dari penerapan suatu model pembelajaran.
Berdasarkan data yang telah dituliskan dalam Tabel 3, terlihat bahwa lebih dari 50% guru yakin
bahwa JUCAMA dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa, meskipun masih ada
sebagian yang menjawab ragu-ragu. Keragu-raguan itu muncul karena kurangnya pelatihan
yang diterima oleh para guru sehingga guru merasa belum maksimal dalam penerapan model
JUCAMA di kelas. Guru juga merasa siswa masih perlu dilatihkan untuk berpikir kreatif
sehingga kreativitas siswa dalam mengerjakan tugas dari guru bisa keluar secara maksimal.
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
178 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
Simpulan dan Saran
Berdasarkan pertanyaan penelitian yang diajukan, dapat disimpulkan bahwa guru
memberikan respon “positif” dalam kaitannya dengan kemampuan merencanakan dan
menerapkan JUCAMA serta mengevaluasi kemampuan berpikir kreatif siswa. Berdasarkan hasil
analisis angket, lebih dari 50% guru yakin bahwa pembelajaran dengan menggunakan model
JUCAMA dapat meningkatkan kemampuan berikir kreatif siswa namun masih perlu banyak
pelatihan.
Kendala-kendala selalu muncul pada saat mencoba hal baru, termasuk penerapan suatu
model pembelajaran. Kendala yang muncul disini terkait kurangnya pelatihan yang diberikan
kepada guru sebelum implementasi di kelas. Ditambah lagi dengan keadaan dimana guru dan
siswa yang masih belum terbiasa dengan model JUCAMA membuat alokasi waktu yang
diperlukan lebih lama.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, disarankan agar model pembelajaran
JUCAMA ini dapat diterapkan untuk pembelajaran materi atau mata pelajaran lain sehingga
kemampuan berpikir kreatif siswa lebih terlatih. Dan juga, siswa akan terbiasa mengerjakan
soal-soal terbuka atau bahkan mampu mengajukan masalah/soal terbuka
Daftar Pustaka
Mahmudi, Ali. 2010. Mengukur Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis. Makalah Disajikan
Pada Konferensi Nasional Matematika XV UNIMA Manado, 30 Juni – 3 Juli 2010
Papola, C. 2005. Teaching of Mathematics. New Delhi: Anmol Publication
Polya, George. 1973. How To Solve It. New Jersey: Princeton University Press
Siswono, Tatag Yuli Eko, dan Budayasa, I Ketut. 2006 Implementasi Teori Tentang Tingkat
Berpikir Kreatif Dalam Matematika. Makalah dipresentasikan pada Seminar Konferensi
Nasional Matematika XIII dan Konggres Himpunan Matematika Indonesia di Jurusan
Matematika FMIPA Universitas Negeri Semarang, 24-27 Juli 2006
Siswono, Tatag Yuli Eko. 2008. Model Pembelajaran Matematika Berbasis Pengajuan dan
Pemecahan Masalah Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif. Surabaya:
Unesa University Press
Siswono, Tatag Yuli Eko. 2011. Pembelajaran Matematika Berbasis Pengajuan dan
Pemecahan Masalah (JUCAMA) untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif
Siswa. Makalah dipresentasikan pada Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan
Matematka 2011 di Universitas Negeri Surabaya, 22 Oktober 2011
.
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 179
ANALISIS KETERAMPILAN GEOMETRI SISWA DALAM MEMECAHKAN
MASALAH GEOMETRI BERDASARKAN TINGKAT BERPIKIR VAN HIELE
(Studi Kasus pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri 16 Surakarta Tahun Ajaran
2013/2014)
Imam Sujadi1, Nur’aini Muhassanah
2
1) Dosen Pendidikan Matematika FKIP UNS
2) Mahasiswa Program Pascasarjana Pendidikan Matematika UNS
Email: 1)
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan keterampilan geometri siswa kelas VIII
SMP Negeri 16 Surakarta dalam memecahkan masalah geometri berdasarkan tingkat berpikir van Hiele.
Sejalan dengan tujuan penelitian maka penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan.Subyek
penelitian ini adalah siswa kelas VIII SMP N 16 Surakarta tahun ajaran 2013/2014.
Hasil penelitian dapat diketahui keterampilan geometri siswa dalam memecahkan masalah
geometri sebagai berikut, siswa tingkat 0 (visualisasi) pada keterampilan visual (visual skill), siswa hanya
bisa menentukan jenis bangun datar segiempat berdasarkan penampilan bentuknya, dan dalam
menjelaskan sifat-sifat bangun segiempat berdasarkan gambar tidak dapat secara spesifik lebih terfokus
pada banyaknya sisi, dan banyaknya sudut; keterampilan verbal (descriptive skill), siswa dapat
mengelompokkan nama yang benar untuk gambar-gambar segiempat yang diberikan, belum dapat
mendefinisikan suatu bangun segiempat berdasarkan sifat-sifat yang dimiliki karena sifat yang dijelaskan
meliputi ukuran sudut, ukuran sisi, dan kesejajaran sisi, dan belum bisa membedakan antara segiempat
yang satu dengan yang lain karena sifat yang dijelaskan sama antara segiempat; keterampilan
menggambar (drawing skill), siswa hanya mampu membuat sebuah segiempat dengan pelabelan tetapi
tidak mampu mengkonstruksi gambar sesuai dengan ciri-ciri dan sifat-sifat yang diberikan seperti dua
garis yang saling tegak lurus dan menentukan suatu titik dalam sebuah garis; keterampilan logika (logical
skill), subyek dapat memahami konservasi bentuk gambar segiempat dalam berbagai posisi dengan
menyebutkan jenis masing-masing gambar, dan menyadari adanya persamaan dari beberapa gambar
segiempat yaitu sama- sama berbentuk segiempat; dan keterampilan terapan (applied skill), siswa dapat
menghubungkan informasi (objek fisik) yang diberikan dan mengembangkannya dalam model geometri
(tanpa menggunakan skala), dapat menjelaskan sifat geometri dari benda-benda fisik.
Selanjutnya keterampilan geometri siswa tingkat 1 (analisis) pada keterampilan visual (visual
skill), siswa hanya bisa menentukan jenis bangun datar segiempat berdasarkan penampilan bentuknya dan
sifat-sifat yang dimiliki, dalam menjelaskan sifat-sifat bangun segiempat berdasarkan gambar dapat
menjelaskan secara spesifik yang meliputi banyaknya sisi, ukuran sisi, ukuran sudut, kesejajaran sisi, dan
hubungan antara dua sudut yang berhadapan sama besar; keterampilan verbal (descriptive skill), siswa
dapat menggambarkan/ mendefinisikan suatu bangun segiempat berdasarkan sifat-sifat yang dimiliki
mulai dari banyaknya sisi, ukuran sisi, ukuran sudut, banyaknya sudut, kesejajaran sisi; keterampilan
menggambar (drawing skill), siswa mampu mengkonstruksi gambar sesuai dengan ciri-ciri dan sifat-sifat
yang diberikan seperti dua garis yang saling sejajar, dua garis yang saling tegak lurus dan menentukan
suatu titik dalam sebuah garis, dan mampu membangun gambar segiempat lain yang berkaitan dengan
gambar segiempat yang diberikan dan bisa menjelaskan sifat-sifat dari segiempat tersebut mulai dari
ukuran sisi; keterampilan logika (logical), siswa menyadari adanya persamaan dari beberapa gambar
segiempat mulai dari sama-sama berbentuk segiempat dan banyaknya sisi, dan dapat menyebutkan
perbedaan segiempat dan menyadari bahwa sifat dapat digunakan untuk membedakan jenis segiempat,
mulai dari ukuran sisi, ukuran sudutnya dan banyaknya sisi yang sejajar; keterampilan terapan (applied
skill), siswa dapat menggunakan model geometri dalam pemecahan masalah.
Kemudian keterampilan geometri siswa tingkat 2 (deduksi informal) pada keterampilan visual
(visual skill), siswa dalam menjelaskan sifat-sifat bangun segiempat berdasarkan gambar dapat
menjelaskan secara spesifik yang meliputi banyaknya sisi, ukuran sisi, kesejajaran sisi, ukuran sudut,
hubungan antara dua sudut yang berhadapan sama besar, banyaknya sudut, dan hubungan antara sudut
yang berdekatan jumlahnya 180o, dapat menjelaskan keterkaitan antara berbagai jenis gambar segiempat
berdasarkan sifat-sifat yang dimiliki masing-masing gambar, dan mengakui sifat umum dari berbagai
jenis gambar segiempat dengan memilah mana yang masuk ke dalam sifat umum atau bukan;
keterampilan verbal (descriptive skill), siswa dapat menggambarkan/ mendefinisikan suatu bangun
segiempat berdasarkan sifat-sifat yang dimiliki mulai dari banyaknya sisi, ukuran sisi, ukuran sudut,
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
180 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
banyaknya sudut, kesejajaran sisi, dan hubungan antara dua sudut yang berhadapan sama besar, hubungan
antara sudut yang berdekatan jumlah sudutnya 180o, dan dapat merumuskan kalimat yang menunjukkan
keterkaitan antara bangun segiempat berdasarkan sifat umum yang dimiliki oleh segiempat-segiempat
tersebut; keterampilan menggambar (drawing skill), siswa mampu membangun gambar segiempat lain
yang berkaitan dengan gambar segiempat yang diberikan bahkan mampu membuat garis bantu untuk
membentuk segiempat yang baru, dan dapat menjelaskan sifat-sifat yang dimiliki gambar segiempat yang
dibentuknya itu; keterampilan logika (logical skill), siswa dapat menggunakan sifat-sifat dari suatu
gambar segiempat untuk menentukan suatu kelas segiempat terkandung di dalam jenis kelas segiempat
yang lain; dan keterampilan terapan (applied skill), siswa dapat menghubungkan informasi (objek fisik)
yang diberikan dan mengembangkannya dalam model geometri (dengan menggunakan skala), dan dapat
menggunakan konsep model matematika yang mewakili hubungan antara objek.
Kata kunci: Keterampilan Geometri, Tingkat Berpikir van Hiele, Pemecahan Masalah.
PENDAHULUAN
Pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) ada beberapa kompetensi yang
harus ditunjukkan pada hasil belajar siswa dalam mata pelajaran matematika, salah satu
kompetensi tersebut adalah pemecahan masalah.Secara umum untuk memecahkan masalah
matematika, siswa bisa menggunakan beberapa strategi-strategi.Untuk beberapa kasus tertentu
memerlukan keterampilan khusus untuk pelaksanaan rencana dalam pemecahan masalah.Seperti
pada permasalahan geometri, keterampilan geometri siswa dapat mempengaruhi keberhasilan
pelaksanaan rencana dalam pemecahan masalah (Polya). Keterampilan geometri yang dimaksud
adalah keterampilan siswa dalam belajar geometri yang menurut Hoffer (1981) terdiri dari 5
keterampilan, yaitu: (1) keterampilan visual (visual skill), (2) keterampilan verbal (descriptive
skill), (3) keterampilan menggambar (drawing skill), (4) keterampilan logika (logical skill), dan
(5) keterampilan terapan (applied Skill).
Dalam mempelajari geometri siswa membutuhkan suatu konsep yang matang sehingga
siswa mampu menerapkan keterampilan dasar geometri yang dimiliki seperti menvisualisasikan,
mengenal bermacam-macambangun datar dan ruang, mendeskripsikan gambar, menyeketsa
gambarbangun, melabel titik tertentu, dan kemampuan untuk mengenal perbedaan dan
kesamaan antar bangun geometri. Selain itu, di dalam memecahkan masalah geometri
dibutuhkan pola berpikir dalam menerapkan konsep dan keterampilan dalam memecahkan
masalah tersebut.Tetapi dalam kenyataannya siswa-siswa masih mengalami kesulitan dalam
mempelajari dan memecahkan soal-soal geometri.Hal ini ditunjukan dari beberapa hasil
penelitian.
Penelitian tentang pengajaran geometri di sekolah sudah banyak dilakukan. Clements
dan Battista (dalam Budiarto, 2002) melakukan penelitian pada siswa SMP kelas VII
mengemukakan temuannya bahwa : (1) hanya 64% dari sejumlah 52 siswa yang mengetahui
bahwa persegipanjang merupakan jajar genjang; (2) 50% dari sejumlah siswa tidak menyukai
masalah pembuktian; (3) siswa lebih baik menyelesaikan permasalahan geometri yang disajikan
secara visual dibanding secara verbal. Selain itu, seperti yang diungkapkan Sehatta Saragih
(2003) dalam penelitiannya pada siswa SMP kelas VII mengungkapkan bahwa berdasarkan
penelitian tersebut diperoleh fakta bahwa secara umum siswa belum memiliki kemampuan yang
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 181
baik mengenai sifat-sifat yang dimiliki oleh setiap jenis segitiga sehingga belum bisa
mengklasifikasikan suatu objek segitiga dalam hal ini klasifikasi jenis segitiga sama kaki, sama
sisi, dan siku-siku. Secara umum pengetahuan siswa tentang contoh dan bukan contoh dari
konsep segitiga hanya sebatas yang diberikan oleh guru pada saat pembelajaran. Siswa tidak
mengetahui bahwa suatu konsep segitiga sama sisi, sama kaki, dan siku-siku dapat dimodelkan
dalam bentuk yang bermacam-macam.
Dari penelitian-penelitian yang telah dijelaskan di atas dapat disimpulkan bahwa
kemampuan geometri siswa masih relatif rendah.Rendahnya kemampuan geometri ini
dimungkinkan oleh pemahaman konsep dan keterampilan geometri siswa dalam pemecahan
masalah geometri masih lemah. Penyebab lainnya adalah perlakuan yang diberikan oleh guru
(model, metode, maupun pendekatan pembelajaran yang digunakan guru) cenderung sama
untuk setiap siswa, padahal siswa memiliki cara belajar dan berfikir yang berbeda-beda.
Menurut Mulyana (2003) pengajaran geometri yang baik harus sesuai dengan kemampuan anak.
Kemampuan anak dapat dilihat dari proses berpikir dan penerapan keterampilan dalam
pemecahan masalah geometri. Penerapan teori van Hiele diyakini dapat mengatasi kesulitan
siswa dalam pemecahan masalah dalam geometri.Hal ini disebabkan karena teori van Hiele
menjelaskan perkembangan berpikir siswa dalam belajar geometri. Berdasarkan teori van Hiele,
tingkat berpikir siswa terbagi menjadi lima tingkat (level) yaitu, tingkat 0 (visualisasi), tingkat 1
(analisis), tingkat 2 (deduksi informal), tingkat 3 (deduksi formal), dan tingkat 4 (rigor).
Dalam setiap tingkat berpikir van Hiele juga dibutuhkan keterampilan-keterampilan
dasar dalam memecahkan masalah geometri yang berbeda-beda. Misalnya, untuk tingkat 0
(visualisasi) dan tingkat 1 (analisis) dilihat dari keterampilan verbal (verbal skill) mempunyai
karakteristik yang berbeda, yaitu: untuk tingkat 0 (visualisasi) siswa hanya mampu
mengelompokkan gambar segiempat dan memberikan nama jenis segiempat tersebut, sedangkan
untuk tingkat 1 (analisis) siswa sudah dapat secara akurat menjelaskan sifat berbagai gambar
segiempat. Berdasarkan penjelasan itu terlihat bahwa keterampilan geometri yang dimiliki siswa
dalam memecahkan masalah geometri berkaitan dengan tingkat berpikir van Hiele yang terdiri
dari 5 tingkatan yang mempunyai karakteristik keterampilan geometri yang berbeda-beda.
Untuk itu perlu dilakukan penelitian keterampilan geometri siswa dalam memecahkan
masalah geometri berdasarkan tingkat berpikir van Hiele. Dengan mengetahui karakteristik
keterampilan geometri siswa dalam memecahkan masalah geometri untuk masing-masing
tingkat berpikir van Hiele siswa di kelasnya, seorang guru diharapkan mempunyai referensi
untuk mengambil keputusan dalam memilih model dan media pembelajaran yang tepat bagi
siswanya.
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
182 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
KETERAMPILAN GEOMETRI
Menurut Hoffer (1981), keterampilan geometri dalam memecahkan masalah geometri
merupakan prasyarat untuk mempelajari konsep-konsep dalam geometri khususnya pada materi
bangun datar. Hoffer juga mengemukakan bahwa ada lima keterampilan geometri dalam
memecahkan masalah geometri, yaitu:
1) Keterampilan Visual (Visual Skill)
Hoffer (1981: 11) memberikan penjelasan tentang keterampilan visual seperti di bawah
ini:
“Visual skill, including the ability to: recognize various plane and space figures; observe
parts of a given figure and their interrelations; identify centres, axes, and planes of
symmetry of given figure; classify given figures by their observable characteristic; deduce
further information from visual observations; and visualize the geometric representations
(models), or counter-example, which are implied by given data in a given deductive
mathematical system.”
Kutipan di atas dapat diartikan bahwa keterampilan visual adalah yaitu meliputi
kemampuan untuk mengenal bermacam-macambangun datar dan ruang, mengamati bagian-
bagian dari sebuahbangun dan keterkaitan bagian satu dengan bagian yang lain,
menunjukkanpusat simetri, sumbu simetri, dan bidang simetri dari sebuah gambar
bangun,mengklasifikasikan bangun-bangun geometri menurut ciri-ciri yang
teramati,menyimpulkan informasi lanjut berdasarkan pengamatan visual,
dan memvisualisasikan model geometri, atau contoh-contoh penangkal yangdinyatakan secara
implisit oleh data dalam suatu sistem matematika deduktif.
2) Keterampilan Verbal (Deskriptive Skill)
Hoffer (1981: 12) mengemukakan penjelasan terkait keterampilan verbal sebagai
berikut:
“Verbal skills, including the ability to: identify various figures by name; visualize figures
from verbal descriptions of them; describe given figures and their properties; formulate
proper definitions of the words used; describe relationships among given figures, recognize
the logical structure of verbal problems; and formulate statements of generalization and of
abstractions.”
Kutipan di atas dapat diartikan bahwa keterampilan verbal, meliputi kemampuan untuk
menunujukkan bermacam-macam bangun geometri menurut namanya. Memvisualisasikan
bangun geometrimenurut deskripsi verbalnya, mengungkapkan bangun geometri dan sifat-
sifatnya,merumuskan definisi dengan tepat dan benar, mengungkapkanhubungan antar bangun,
mengenali struktur logis dari masalah verbal, danmerumuskan pernyataan generalisasi dan
abstraksi.
3) Keterampilan Menggambar (Drawing Skill)
Hoffer (1981: 12) memberikan penjelasan tentang keterampilan menggambar seperti di
bawah ini:
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 183
“Drawing skills, including the ability to: sketch given figure and label spesified points;
sketch figure from their verbal descriptions; draw or construct figure with given properties;
construct figures having a specified relation to given figures; sketch plane secauxiliary
elements to figures; recognize the role (and limitations) of sketches and constructed figures;
and sketch of construct geometric models or counter-example.”
Kutipan di atas dapat diterjemahkan bahwa keterampilan menggambar, meliputi
kemampuan untuk menyeketsa gambarbangun dan melabel titik tertentu, mensketsa gambar
bangun menurutdeskripsi verbalnya, menggambar atau mengkonstruksi gambar
bangunberdasarkan sifat-sifat yang diberikan, mengkonstruksi gambar bangun yangmempunyai
kaitan tertentu dengan gambar-gambar yang telah diberikan, mensketsa bagian-bagian bidang
dan interaksi gambar-gambar bangun yangdiberikan, menambahkan unsur-unsur tambahan yang
berguna pada sebuahgambar bangun, mengenal peranan (keterbatasan) sketsa dan gambar
bangunyang terkonstruksi, dan mensketsa atau mengkonstruksi model geometri ataucontoh
penyangkal.
4) Keterampilan Logika (Logical Skill)
Hoffer (1981: 12-13) mengemukakan penjelasan terkait keterampilan logika sebagai
berikut:
“Logical skills, including the ability to; recognize differences and similarities among given
figures; recognize the figures can be classified by their properties; determine whether or
not a given figures belong to a specified class; understand ang apply the describle
properties of definitions; identify the logical consequences of given data; develop logical
proofs; and recognize the role and limitations of deductive methods.”
Kutipan di atas dapat diterjemahkan bahwa keterampilan logika, meliputi kemampuan
untuk mengenal perbedaan dankesamaaan antar bangun geometri, mengenal bangun geometri
yang dapatdiklasifikasikan menurut sifat-sifatnya, menentukan apakah sebuah gambar masuk
atau tidak masuk dalam kelas tertentu, memahami dan menerapkansifat-sifat penting dari
definisi, menujukkan akibar-akibat logis dari data-datayang diberikan, mengembangkan bukti-
bukti yang logis, dan mengenalperanan dan keterbatasan metode deduktif.
5) Keterampilan Terapan (Applied Skill)
Hoffer (1981: 13) memberikan penjelasan tentang keterampilan terapan seperti di
bawah ini:
“Applied skills, including the ability to: recognize phisical models of geometric figures;
sketch or construct geometric models of phisical objects; use properties of geometric model
to conjecture properties of the usefulness of geometric model for natural phenomena, sets of
element in the phisical sciences and sets of elements in the social sciences; ang use
geometric models in problem solving.”
Kutipan di atas dapat diartikan sebagai keterampilan terapan, meliputi kemampuan
untuk mengenal model fisik daribangun geometri. Mensketsa atau mengekonstruksi model
geometriberdasarkan objek fisiknya, menerapkan sifat-sifat dari model geometri padasifat-sifat
dari objek fisik, mengembangkan model-model geometri untukfenomena alam, himpunan
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
184 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
elemen di IPA dan himpunan elemen di IPS, danmenerapkan model-model geometri dalam
pemecahan masalah.
TINGKAT (LEVEL) BERPIKIR VAN HIELE
Pembelajaran geometri (Euclides) di jenjang pendidikan dasar dan pendidikan
menengah sekarang ini sejalan juga dengan perkembangan berpikir geometri menurut model
van Hiele (Soemaadi, 1994: 10). Van Hiele adalah seorang guru matematika berkebangsaan
Belanda yang pada tahun 1954 menulis disertasi tentang pembelajaran geometri. Disertasi
tersebut ditulis berdasarkan hasil penelitian di lapangan melalui observasi dan tanya jawab.
Kesimpulan yang diperoleh oleh van Hiele adalah bahwa terdapat lima tingkat berpikir geometri
secara urut yaitu: secara visual, analysis, informal-deduction, deduction, ke rigor.
National Council of Teachers of Mathematics (NCTM) (1989) merekomendasikan
pengajaran geometri di sekolah-sekolah di Amerika dikonsentrasikan pada tingkat 0 dan tingkat
1, dan beberapa kegiatan dirancang untuk untuk tingkat 2, model van Hiele (Holmes, 1995:
333). Ini didasarkan dari sejumlah penelitian pendidikan matematika yang menerapkan teori
dari vah Hiele tersebut.
Menurut model Piaget dalam diri seorang anak terbentuk konsep ruang geometri
Euclides secara alami, jika ia mempelajari dulu hubungan-hubungan sederhana yang bersifat
topologis, dilanjutkan dengan yang bersifat proyektif, baru yang bersifat Euclides (Geddes dan
Fortunato, 1993: 200). Sedangkan menurut model van Hiele, tingkat-tingkat yang berkaitan
dengan perkembangan berpikir seorang anak agar dapat memahami geometri dalam 5 tingkat,
yaitu tingkat 0: visualization, tingkat 1: analysis, tingkat 2: informal-deduction, tingkat 3:
deduction, dan tingkat 4: rigor (Suydam, 1983: 100; Geddes dan Fortunato, 1993: 202; Holmes,
1995: 332-333).
KETERAMPILAN GEOMETRI BERDASARKAN TINGKAT BERPIKIR VAN HIELE
Meurut Hoffer (1981), keterampilan geometri siswa dalam memecahkan masalah
geometri terdiri dari 5 keterampilan. Dia juga menjelaskan tentang keterampilan geometri
memecahkan masalah geometri menurut tingkat berpikir van Hiele pada indikator yang berada
pada Tabel 2.2 di bawah ini:
Tabel 2.2 Indikator Keterampilan Geometri dalam Memecahkan Masalah Geometri berdasarkan
Tingkat (level) berpikir van Hiele
Tingkat
Skill
Tingkat 0 Tingkat 1 Tingkat 2 Tingkat 3 Tingkat 4
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 185
Visual
(a)
Dapat
mengenali
bentuk
gambar
yang
berbeda dari
beberapa
gambar dan
mengenali
informasi
label yang
tertulis pada
gambar. (0a)
Dapat
memberitahua
n sifat-sifat
dalam gambar.
mengidentifik
asi gambar
sebagai bagian
dari gambar
yang lain. (1a)
Dapat
mengakui
keterkaitan
antara
berbagai jenis
gambar
dengan
mengakui sifat
umum dari
berbagai jenis
gambar. (2a)
Menggunaka
n informasi
dari gambar
untuk
menarik
kesimpulan
dan informasi
lebih lanjut.
(3a)
Mengenali
asumsi-asumsi
yang tidak
tepat yang
dibuat
menggunakan
gambar.
Memahami
gambar-
gambar yang
saling
berkaitan
dalam sistem
deduksi. (4a)
Verbal
(b)
Dapat
mengelomp
okkan nama
yang benar
untuk
gambar
yang
diberikan
dan
menafsirkan
kalimat
yang
menjelaskan
gambar
tersebut.
(0b)
Dapat
menjelaskan
secara akurat
sifat berbagai
gambar. (1b)
Dapat
mendefinisika
n kata-kata
secara akurat
dan ringkas
untuk
merumuskan
kalimat yang
menunjukkan
keterkaitan
antara
gambar-
gambar
tersebut. (2b)
Dapat
memahami
perbedaan
diantara
definisi,
postulant/dali
l, dan
teorema-
teorema.
Mengenali
apa yang
diberikan
sebagai
masalah dan
diminta
dalam
masalah
tersebut. (3b)
Membentuk
pola yang
lebih luas dari
hasil-hasil
yang diketahui
dan
menggambark
an macam-
macam sistem
deduksi. (4b)
Drawin
g
(c)
Dapat
membuat
sketsa
gambar
Dapat
menerjemahka
n informasi
verbal yang
Gambar-
gambar
tertentu yang
diberikan
Mengenali
kapan dan
bagaimana
menggunaka
Memahami
batasan-
batasan dan
kemampuan-
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
186 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
akurat
dengan
pelabelan
bagian
tertentu.
(0c)
diberikan ke
dalam gambar.
Dengan
menggunakan
sifat yang
diberikan
gambar untuk
menggambar
atau
membangun
suatu gambar.
(1c)
mampu
membangun
gambar lain
yang berkaitan
dengan
gambar yang
diberikan. (2c)
n elemen
pembantu
dalam sebuah
gambar.
Menarik
kesimpulan
dari
informasi
yang
diberikan
untuk
menggambar
sebuah
bangun. (3c)
kemampuan
dari berbagai
alat gambar.
Dari berbagai
macam
gambar
mampu
menjelaskan
konsep/gagasa
n yang tidak
standar dalam
berbagai
macam sistem
deduktif. (4c)
Logical
(d)
Dapat
menyadari
ada
perbedaan
dan
kesamaan
antara
gambar.
memahami
konservasi
bentuk
gambar
dalam
berbagai
posisi. (0d)
Dapat
memahami
bahwa gambar
dapat
diklasifikasika
n ke dalam
jenis yang
berbeda.
menyadari
bahwa sifat
dapat
digunakan
untuk
membedakan
gambar. (1d)
Dapat
menggunakan
sifat-sifat
gambar untuk
menentukan
apakah satu
kelas gambar
yang
terkandung di
kelas lain. (2d)
Dapat
menggunaka
n aturan-
aturan yang
masuk akal
untuk
membangun
bukti-bukti
dan dapat
mengambil
kesimpulan
dari
informasi-
informasi
yang
diberikan.
(3d)
Dapat
memahami
batasan-
batasan dan
kemampuan-
kemampuan
dari asums-
asumsi dan
postulat-
postulat yang
ada.
Mengetahui
kapan sebuah
sistem dari
postulat
bersifat
independen,
konsisten, dan
dapat
dikelompokka
n. (4d)
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 187
METODE PENELITIAN
Berdasarkan tujuan yang akan dicapai pada penelitian ini, maka bentuk penelitian yang
digunakan merupakan penelitian kualitatif. Menurut Bodgan dan Taylor (dalam Moleong, 2009:
4) penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa
kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Penelitian
deskriptif kualitatif ini menggunakan data kualitatif untuk mendeskripsikan secara jelas dan
terperinci mengenai keterampilan geometri siswa dalam memecahkan masalah geometri
berdasarkan tingkat (level) berpikir van Hiele. Subyek penelitian adalah 9 siswa kelas VIII SMP
Negeri 16 Surakarta tahun ajaran 2013/2014.
Pemilihan subyek penelitian dilakukan dengan pemberian tes penempatan untuk
mengkategorikan siswa ke dalam tingkat berpikir van Hiele kepada 28 siswa.Dan hasil dari tes
tersebut adalah terbagi siswa ke dalam tiga kategori yaitu kategori tingkat 0 (visualisasi), tingkat
1 (analisis), dan tingkat 2 (deduksi informal).Dari masing-masing kategori tersebut dilakukan
teknik clustering sehingga terpilih 3 siswa pada masing-masing kategori yang menjadi subyek
penelitian.Setelah itu kesembilan subyek dilakukan wawancara brbasis tugas sebanyak dua kali
dalam waktu yang berbeda guna menguji kevalidan data yang diperoleh dengan menggunakan
triangulasi waktu.Selanjutnya, peneliti menyimpulkan keterampilan geometri siswa pada tingkat
0 (visualisasi), tingkat 1 (analisis), dan tingkat 2 (deduksi informal) berdasarkan data yang
diperoleh dan divalidasi.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan analisis data hasil penelitian, dapat diketahui keterampilan geometri
siswa dalam memecahkan masalah geometri sebagai berikut: Siswa tingkat 0 (visualisasi) pada
keterampilan visual (visual skill), siswa hanya bisa menentukan jenis bangun datar segiempat
berdasarkan penampilan bentuknya, dan dalam menjelaskan sifat-sifat bangun segiempat
berdasarkan gambar tidak dapat secara spesifik lebih terfokus pada banyaknya sisi, dan
banyaknya sudut; keterampilan verbal (descriptive skill), siswa dapat mengelompokkan nama
yang benar untuk gambar-gambar segiempat yang diberikan, belum dapat mendefinisikan suatu
bangun segiempat berdasarkan sifat-sifat yang dimiliki karena sifat yang dijelaskan meliputi
ukuran sudut, ukuran sisi, dan kesejajaran sisi, dan belum bisa membedakan antara segiempat
yang satu dengan yang lain karena sifat yang dijelaskan sama antara segiempat; keterampilan
menggambar (drawing skill), siswa hanya mampu membuat sebuah segiempat dengan pelabelan
tetapi tidak mampu mengkonstruksi gambar sesuai dengan ciri-ciri dan sifat-sifat yang diberikan
seperti dua garis yang saling tegak lurus dan menentukan suatu titik dalam sebuah garis;
keterampilan logika (logical skill), subyek dapat memahami konservasi bentuk gambar
segiempat dalam berbagai posisi dengan menyebutkan jenis masing-masing gambar, dan
menyadari adanya persamaan dari beberapa gambar segiempat yaitu sama- sama berbentuk
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
188 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
segiempat; dan keterampilan terapan (applied skill), siswa dapat menghubungkan informasi
(objek fisik) yang diberikan dan mengembangkannya dalam model geometri (tanpa
menggunakan skala), dapat menjelaskan sifat geometri dari benda-benda fisik.
Selanjutnya keterampilan geometri siswa tingkat 1 (analisis) pada keterampilan visual
(visual skill), siswa hanya bisa menentukan jenis bangun datar segiempat berdasarkan
penampilan bentuknya dan sifat-sifat yang dimiliki, dalam menjelaskan sifat-sifat bangun
segiempat berdasarkan gambar dapat menjelaskan secara spesifik yang meliputi banyaknya sisi,
ukuran sisi, ukuran sudut, kesejajaran sisi, dan hubungan antara dua sudut yang berhadapan
sama besar; keterampilan verbal (descriptive skill), siswa dapat menggambarkan/
mendefinisikan suatu bangun segiempat berdasarkan sifat-sifat yang dimiliki mulai dari
banyaknya sisi, ukuran sisi, ukuran sudut, banyaknya sudut, kesejajaran sisi; keterampilan
menggambar (drawing skill), siswa mampu mengkonstruksi gambar sesuai dengan ciri-ciri dan
sifat-sifat yang diberikan seperti dua garis yang saling sejajar, dua garis yang saling tegak lurus
dan menentukan suatu titik dalam sebuah garis, dan mampu membangun gambar segiempat lain
yang berkaitan dengan gambar segiempat yang diberikan dan bisa menjelaskan sifat-sifat dari
segiempat tersebut mulai dari ukuran sisi; keterampilan logika (logical), siswa menyadari
adanya persamaan dari beberapa gambar segiempat mulai dari sama-sama berbentuk segiempat
dan banyaknya sisi, dan dapat menyebutkan perbedaan segiempat dan menyadari bahwa sifat
dapat digunakan untuk membedakan jenis segiempat, mulai dari ukuran sisi, ukuran sudutnya
dan banyaknya sisi yang sejajar; keterampilan terapan (applied skill), siswa dapat menggunakan
model geometri dalam pemecahan masalah.
Kemudian keterampilan geometri siswa tingkat 2 (deduksi informal) pada
keterampilan visual (visual skill), siswa dalam menjelaskan sifat-sifat bangun segiempat
berdasarkan gambar dapat menjelaskan secara spesifik yang meliputi banyaknya sisi, ukuran
sisi, kesejajaran sisi, ukuran sudut, hubungan antara dua sudut yang berhadapan sama besar,
banyaknya sudut, dan hubungan antara sudut yang berdekatan jumlahnya 180o, dapat
menjelaskan keterkaitan antara berbagai jenis gambar segiempat berdasarkan sifat-sifat yang
dimiliki masing-masing gambar, dan mengakui sifat umum dari berbagai jenis gambar
segiempat dengan memilah mana yang masuk ke dalam sifat umum atau bukan; keterampilan
verbal (descriptive skill), siswa dapat menggambarkan/ mendefinisikan suatu bangun segiempat
berdasarkan sifat-sifat yang dimiliki mulai dari banyaknya sisi, ukuran sisi, ukuran sudut,
banyaknya sudut, kesejajaran sisi, dan hubungan antara dua sudut yang berhadapan sama besar,
hubungan antara sudut yang berdekatan jumlah sudutnya 180o, dan dapat merumuskan kalimat
yang menunjukkan keterkaitan antara bangun segiempat berdasarkan sifat umum yang dimiliki
oleh segiempat-segiempat tersebut; keterampilan menggambar (drawing skill), siswa mampu
membangun gambar segiempat lain yang berkaitan dengan gambar segiempat yang diberikan
bahkan mampu membuat garis bantu untuk membentuk segiempat yang baru, dan dapat
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 189
menjelaskan sifat-sifat yang dimiliki gambar segiempat yang dibentuknya itu; keterampilan
logika (logical skill), siswa dapat menggunakan sifat-sifat dari suatu gambar segiempat untuk
menentukan suatu kelas segiempat terkandung di dalam jenis kelas segiempat yang lain; dan
keterampilan terapan (applied skill), siswa dapat menghubungkan informasi (objek fisik) yang
diberikan dan mengembangkannya dalam model geometri (dengan menggunakan skala), dan
dapat menggunakan konsep model matematika yang mewakili hubungan antara objek.
Dari hasil penelitian tersebut diperoleh karakteristik keterampilan geometri pada
masing-masing tingkat berpikir van Hiele yang berbeda-beda, dimana jika siswa berada pada
tingkat 2 (deduksi informal) berarti siswa tersebut juga menguasai keterampilan geometri pada
tingkat 1 (analisis) dan tingkat 0 (visualisasi), sedangkan siswa yang berada pada tingkat 1
(analisis) juga menguasai keterampilan geometri pada tingkat 0 (visualisasi) tetapi tidak
menguasai keterampilan geometri yang ada pada tingkat 2 (deduksi informal).
SARAN
Berdasarkan hasil penelitian ini, maka disarankan kepada guru-guru matematika dan
calon guru matematika untuk:
1. Menjadikan sebagai bahan referensi bagi guru dalam mengajar geometri, terutama dalam
menentukan cara mengajar yang tepat dan efektif sesuai dengan keterampilan geometri
(berdasarkan tingkat berpikir van Hiele) yang dimiliki oleh siswa.
2. Mengembangkan metode, strategi, maupun model peembelajaran yang mampu meningatan
keterampilan geometri siswa dalam belajar geometri berdasarkan hasil penelitian ini.
3. Menjadikan sebagai bahan referensi bagi guru dan calon guru untuk mengembangkan
penelitian sejenis yang berkaitan dengan keterampilan geometri siswa berdasarkan tingkat
berpikir van Hiele dalam memecahkan masalah geometri.
DAFTAR PUSTAKA
Abdussakir.2011. Pembelajaran Geometrid dan Teori Van Hiele. Tersedia di:
http://abdussakir.wordpress.com/2009/01/25/pembelajaran-geometri-dan teori
van-hiele/ [20 Februari 2013].
Mega Teguh Budiato. 2002. Bentuk Kesalahan Dalam Menyelesaikan Permasalahan
Geometri.Pusat Penelitian IKIP Surabaya.
Burger, W.F. & Shaughnessy, J.M. 1986. “Characterizing the van Hiele Levels of
Development in Geometry.”Journal for Research in Mathematics Education. Vol.17.1:
31- 48.
Crowley, Mary L. 1987. "The van Hiele Model of the Development of Geometric
Thought".Learning and TeachingGeometry, K-12,Yearbook of the National Council of
Teachers.
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
190 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
Departemen Pendidikan Nasional.2007. Kajian Kebijakan Kurikulum Mata Pelajaran
Matematika. Jakarta: Depdiknas.
Endang Mulyana. 2003. Masalah Ketidaktepatan Istilah dan Simbol dalam Geometri SLTA
Kelas 1 dalam file.upi.edu/…ENDANG_MULYANA/…/Psikologi_geometri. (diakses
pada 1 Maret 2013 pukul 12:23).
Hoffer, Allan. 1981. Geometry is More Than Proof.NCTM Journal. Vol. 74. 1. Januari
1981. NCTM.
Holmes, Emma E. 1995. New Directions in Elementary School Mathematics, Interactive
Teaching and Learning.Engglewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Moleong, Lexy. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Siregih Sehatta. 2002. “Profil Miskonsepsi Siswa SD Tentang Bangun Datar.” Forum
Kependidikan. Vol.23. (19-47).
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 191
PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI SMP
DENGAN PENDEKATAN SAINS
DALAM IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013
Imam Sujadi, Bambang Sugiarto, Dwi Maryono
Dosen Pendidikan Matematika FKIP UNS
Abstrak
Pada periode 2010 sampai 2035, Indonesia dianugrahi “Bonus Demografi”,
yaitu jumlah penduduk usia produktif mencapai sekitar 70% populasi. Jika
usia produktif tersebut diisi oleh SDM berkualitas, bonus demografi tersebut
akan menjadikan Bangkitnya Generasi Emas Indonesia tahun 2045. Bila
tidak, bukan tidak mungkin yang akan terjadi nanti justru sebaliknya yaitu
bencana demografi.Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan
pembelajaran matematika kelas VII SMP dengan pendekatan
sains/pendekatan ilmiah (scientific approach), yang dapat meningkatkan
kemampuan pikir tindak efektif dan kreatif. Perangkat pembelajaran yang
dikembangkan dalam penelitian ini perangkat pembelajaran matematika
dengan pendekatan sains yang berupa prototipe model (berisi sintaks) beserta
perangkat pembelajaran berupa silabus, RPP, LKS, dan instrument penilaian.
Pengembangan perangkat dilakukan menggunakan model pengembangan 4-
D(model Thiagarajan) yang dimodifikasi terdiri dari tiga tahap, yaitu
pendefinisian (define), perancangan (design), dan pengembangan (develop)
melalui uji terbatas. Hasil penelitian ini adalah berupa model pembelajaran
matematika dengan pendekatan sains/pendekatan ilmiah dan perangkat
pembelajaran berupa silabus, RPP, LKS, dan instrumen penilaian yang
memenuhi kriteria valid, praktis, dan efektif.
Kata kunci: Bonus demografi, Pembelajaran Inovatif, Penilaian Otentik.
PENDAHULUAN
Bangsa Indonesia pada periode 2010 sampai 2035, dianugrahi “Bonus Demografi”
sebagai konsekwensi keberhasilan program Keluarga Berencan berupa perubahan struktur umur
penduduk, yaitu adanya peningkatan jumlah penduduk yang berada dalam usia produktif.
Sementara di sisi lain jumlah penduduk yang ada dalam usia non-produktif mengalami
penurunan. Bonus demografi ini sesungguhnya suatu kesempatan yang sangat langka, karena
dalam 10 hingga 30 tahun ke depan, Indonesia akan memasuki demographic window (jendela
demografi), dengan jumlah penduduk usia produktif mencapai sekitar 70% populasi. Jendela
demografi tersebut akan menjadi bonus demografi bila penduduk usia produktif tersebut
berkualitas. Bila tidak, bukan tidak mungkin yang akan terjadi nanti justru sebaliknya yaitu
bencana demografi.
Kekhawatiran akan terjadinya bencana demografi bukanlah sesuatu yang berlebihan.
Apa yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia saat ini mengindikasikan masyarakat yang
kurang berkualitas, intelektualitas dan budaya masyarakat Indonesia justru masih terbelakang.
Tumpuan harapan untuk masa depan Indonesia yang lebih baik adalah ada pada anak-anak dan
para remaja saat ini karena merekalah yang akan memimpin dan mengelola bangsa ini di masa
yang akan datang. Tugas yang harus diemban sekarang sebagai orang dewasa, khususnya para
pendidik, pewarta, dan pemuka agama serta orang-orang yang masih didengar dan diakui
integritasnya oleh masyarakat, ialah memandu anak-anak dan para remaja, termasuk mereka
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
192 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
yang baru memasuki usia dewasa muda, ke arah yang diidamkan, menuju kehidupan bangsa
yang cerdas. Oleh karena itu, perlu disiapkan akses seluas-luasnya kepada seluruh anak bangsa
untuk memasuki dunia pendidikan,
Pemerintah sedang mengimplementasikan kurikulum 2013 sebagai pengembangan dari
KTSP. Dalam naskah kurikulum 2013 dinyatakan bahwa proses pembelajaran yang semula
terfokus pada kegiatan eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi, pada kurikulum 2013 proses
pembelajaran tersebut dilengkapi menggunakan pendekatan sains / pendekatan ilmiah (scientific
approach), yaitu proses pembelajaran yang diarahkan agar siswa melakukan kegiatan
mengamati, menanya, mencoba, mengolah, menyajikan, menyimpulkan, dan
mencipta(Depdikbud : 2013).
Guru merupakan ujung tombak yang berperan utama dalam mencetak sumber daya
manusia yang berbobot yang mampu bersaing pada zamannya melalui proses pembelajaran
yang bermutu. Perubahan kurikulum tidak akan punya makna yang signifikan untuk
peningkatan mutu pendidikan tanpa peran Guru dalam pengimplementasian kurikulum tersebut.
Guru senantiasa dituntut untuk dapat merespon perubahan kurikulum dengan memahami
landasan filosofis kenapa kurikulum tersebut berubah. Agar pelaksanaan kurikulum baru
tersebut sesuai dengan landasan filosofis tentang perubahan kurikulum tersebut, maka guru
dituntut mampu menggunakan model, pendekatan, metoda maupun strategi yang tepat untuk
keberhasilan pembelajaran berdasar kurikulum baru tersebut. Untuk itu dibutuhkan Guru yang
mempunyai kompetensi khususnya kompetensi pedagogis dan kompetensi profesional yang
baik agar mampu mengembangkan diri dalam menghadapi perubahan kurikulum yang di
lapangan.
Berdasarkan data kondisi pendidikan di Kota Surakarta saat ini, kualitas guru SMP di
Kota Surakarta jika dilihat dari tingkat pendidikan, ternyata masih terdapat 15,78% yang belum
berpendidikan S1. Kualitas guru SMP di Kota Surakarta jika dilihat dari status sertifikasi,
ternyata baru terdapat 30,56% yang sudah tersertifikasi sampai tahun 2011 (Dinas Dikpora,
2012). Berdasar pengalaman peneliti selama membimbing guru-guru pada kegiatan Sertifikasi
Guru melalui PLPG ditemukan banyak guru matematika SMP yang masih kesulitan dalam
mengembangkan perangkat dan melakukan proses pembelajaran melalui proses eksplorasi,
elaborasi, dan konfirmasi. Padahal pada kurikulum 2013 selain proses eksplorasi, elaborasi, dan
konfirmasi tersebut Guru diharapkan melakukan pembelajaran dengan pendekatan
sains/pendekatan ilmiah.
Agar pembelajaran mata pelajaran matematika di SMP yang mengacu pada Kurikulum
2013 dapat berjalan dengan baik, maka Guru-guru matematika SMP perlu mempunyai bekal
pengetahuan terkait dengan bagaimana mengembangkan model pembelajaran matematika
menggunakan pendekatan sains dan bagaimana mengimplementasikan model tersebut di dalam
kelas. Untuk itu penelitian ini perlu dilakukan untuk membantu guru matematika SMP di Kota
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 193
Surakarta agar mempunyai kesiapan dalam mengimplementasikan kurikulum 2013. Untuk itu
tujuan penelitian ini adalah mengembangkan pembelajaran matematika dengan pendekatan
sains yang berkualitas baik pada materi pokok segiempat dan segitiga bagi siswa kelas VII
SMP, sertra mendeskripsikan kesulitan Guru ketika mengembangkan perangkat pembelajaran
tersebut.
METODE PENELITIAN
Menurut Arends (1997), istilah model pembelajaran mempunyai empat ciri khusus yang
tidak dimiliki oleh strategi atau prosedur tertentu. Ciri-ciri tersebut adalah (1) rasional teoritik
yang logis yang disusun oleh para pencipta atau pengembangnya; (2) landasan pemikiran
tentang apa dan bagaimana siswa belajar (tujuan pembelajaran yang akan dicapai); (3) tingkah
laku mengajar dan belajar yang diperlukan agar model tersebut dapat dilaksanakan dengan
berhasil; dan (4) lingkungan belajar yang diperlukan agar tujuan pembelajaran itu dapat dicapai.
Joyce, Weil, with Shower (1992) menyatakan, suatu model pembelajaran dapat
dianalisis sesuai dengan empat konsep inti operasional model yang mencirikan, yaitu: (1)
sintaksis (urutan aktivitas mengajar dan belajar), (2) sistem sosial (peran dan hubungan siswa
dan guru), (3) prinsip reaksi (cara guru memandang dan merespons siswa terhadap apa yang
dilakukan), dan (4) sistem pendukung (persyaratan dan dukungan apa yang diperlukan diluar
fasilitas teknis lazimnya). Selain konsep inti operasional model ada komponen lain, yaitu: (5)
tujuan dan asumsi, dan (6) dampak pembelajaran dan dampak pengiring pembelajaran (Joyce,
Weil, with Shower, 1992; Joyce and Weil, 1996).
Menurut kedua pendapat di atas, ada beberapa kesamaan ciri. Ciri (3) menurut Arend,
sama dengan ciri (1) menurut Joyce, Weil, with Shower; ciri (4) menurut Arend, sama dengan
ciri (4) menurut Joyce, Weil, with Shower; dan ciri (2) menurut Arend, sama dengan ciri (5) dan
(6) menurut Joyce, Weil, with Shower. Empat ciri menurut Arend dan Joyce, Weil, with Shower
tersebut akan membedakan suatu model pembelajaran dengan model pembelajaran yang lain.
Untuk itu model yang akan dikembangkan peneliti mempunyai ciri sebagai berikut ini,
(1) landasan pemikiran tentang apa dan bagaimana siswa belajar (tujuan pembelajaran yang
akan dicapai). Untuk dapat menetapkan tujuan pembelajaran yang akan dicapai peneliti telah
mengkaji kurikulum 2013 matematika SMP, khususnya terkait dengan Kompetensi Inti dan
Kompetensi Lulusan. Adapun ciri selanjutnya adalah (2) sintaksis (urutan aktivitas mengajar
dan belajar). Untuk dapat menyusun sintaksis dengan baik peneliti telah mengakji pustaka
terkait pendekatan sain terkait dengan langkah-langkah pendekatan ketrampilan proses,
(Suryosubroto,2002). Menurut Suryobroto, pendekatan sains hanya cocok untuk
membelajarkan IPA. Terkait dengan hal tersebut perlu dikembangkan bagaimana pendekatan
sains digunakan dalam pembelajaran matematika. Ciri yang selanjutnya (3) sistem pendukung
(persyaratan dan dukungan apa yang diperlukan diluar fasilitas teknis lazimnya). Untuk itu
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
194 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
Peneliti akan mengembangkan perangkat pembelajaran yang sesuai dengan Kompetensi Inti dan
Kompetensi Lulusan, dan ciri terakhir (4) dampak pembelajaran dan dampak pengiring
pembelajaran.
Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan. Richey dan Nelson (1996)
mengidentifikasikan bahwa penelitian pengembangan (Developmental research) berorientasi
pada pengembangan produk dimana proses pengembangannya dideskripsikan seteliti mungkin
dan produk akhirnya dievaluasi. Van den Akker (1999) menyebutnya sebagai penelitian
formatif dimana aktivitas penelitiannya dilaksanakan dalam proses berulang (cyclic) dan
ditujukan pada pengoptimalisasian kualitas implementasi produk di situasi tertentu. Di dalam
pembelajaran matematika, penelitian pengembangan ini diterapkan dalam aktivitas berulang
dari pendesainan dan pengujian terhadap produk material pembelajaran matematika
(Gravemeijer, 1999). Twelker (Mudhoffir, 1990) menyatakan bahwa pengembangan sistem
pembelajaran adalah suatu cara yang sistematis dalam mengidentifikasi, mengembangkan dan
mengevaluasi seperangkat materi, dan strategi yang diarahkan untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Terdapat beberapa model yang dapat dijadikan pedoman dalam mengembangkan suatu model
pembelajaran, seperti model Kemp, model Dick & Carey, dan model Thiagarajan Semmel &
Semmel. Thiagarajan, et.al., (1974) memperkenalkan model mengembangkan sistem pembelajaran
yang disebut “Model 4-D” melalui empat tahap,yaitu: (1) tahap pendefinisian (define), (2) tahap
perancangan (design),(3) tahap pengembangan (develop), dan (4) tahap penyebaran(dessiminate).
Sumber data dalam penelitian ini adalah Guru matematika SMP yang mengajar di
kelas VII, siswa SMP kelas VII, dan anggota MGMP matematika kota surakarta, serta Dosen
pendidikan matematika prodi pendidikan matematika FKIP UNS. Dosen prodi pendidikan
matematika FKIP UNS dan Guru matematika kelas VII SMPN 1, Guru matematika kelas VII
SMPN 4, Guru matematika SMP Al-azhar Syifa Budi Surakarta merupakan sumber data yang
dibutuhkan untuk mengembangkan model pembelajaran dengan pendekatan sains, serta
perangkat pembelajaran
HASIL PENELITIAN
Hasil Pengembangan Model Pembelajaran matematika dengan Pendekatan Sains
Pengembangan Model Pembelajaran matematika dengan Pendekatan Sains mengikuti fase-
fase pengembangan seiring dengan pengembangan perangkat pembelajaran. Deskripsi tahap
pendefinisian (Define), atau yang dilakukan pada tahap pendefinisian, yaitu: analisis awal-akhir,
analisis siswa, analisis materi, analisis tugas, dan spesifikasi tujuan pembelajaran. Kegiatan ini
dilakukan di SMP Negeri 4 Surakarta.
Berdasarkan telaah terhadap kurikulum yang dipergunakan, ketersediaan alat dan sumber
pembelajaran, dan pendekatan pembelajaran yang dilakukan di kelas VII Sekolah Menengah
Pertama (SMP) Negeri 4 Surakarta, diperoleh hasil sebagai berikut.
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 195
1) Prosespembelajaran matematika di SMP Negeri 4 Surakarta pada tahun pelajaran 2013/2014
berpedoman pada Kurikulum 2013 untuk siswa kelas VII, sedangkan untuk siswa kelas VIII
dan kelas IX masih menggunakan KTSP 2006. Sebagai sekolah yang digunakan untuk
sekolah sasaran pembelajaran matematika di kelas VII menggunakan kurikulum 2013, guru
matematika kelas VII sudah mencoba menggunakan pendekatan pembelajaran, buku guru,
dan buku siswa sesuai dengan yang dianjurkan pemerintah dalam implementasi kurikulum
2013. Namun demikian guru dalam pembelajaran yang dilakukan belum mengacu pada
silabus yang telah dikembangkan oleh pemerintah. Buku siswa hanya digunakan untuk
pemberian tugas/pengembangan latihan soal pada materi yang diajarkannya. Sedangkan
evaluasi hasil belajar matematika yang dilakukan oleh guru penekanannya lebih dominan
pada tujuan kognitif, yaitu: penguasaan substansi materi ajar tanpa memperhatikan sikap dan
ketrampilan yang harus dikuasai.
2) Sumber pembelajaran yang dipergunakan sebagai buku pegangan guru dan siswa adalah buku
siswa dari kementrian pendidikan dan kebudayaan dan buku lain dari penerbit Erlangga.
Buku terbitan Erlangga tersebut mengikuti urutan materi di KTSP, namun isinya masih
dominan contoh soal dan soal-soal latihan, kurang memberikan ilustrasi dan argumen yang
melibatkan proses kognitif siswa untuk mempelajarinya.
3) Pendekatan pembelajaran matematika yang dilakukan oleh guru masih menggunakan pola
pembelajaran langsung, yaitu: menjelaskan konsep atau prosedur matematika disertai tanya-
jawab, kemudian memberikan contoh soal dan soal latihan. Akibatnya proses pembelajaran
lebih banyak didominasi oleh guru, sehingga siswa cenderung hanya mendengarkan dan
mencatat apa yang disampaikan oleh guru. Siswa kurang diberi kesempatan untuk
mengembangkan kemampuannya sendiri. Guru belum mengembangkan langkah-langkah
pembelajaran dengan pendekatan sains, seperti kegiatan mengamati, menanya,
mengumpulkan informasi, mengasosiasikan informasi, dan mengomunikasikan hasil. Karena
itu, dapat dikatakan bahwa pelaksanaan pembelajaran matematika yang dilaksanakan selama
ini, belum sesuai dengan tuntutan pembelajaran yang dimaksudkan pada Kurikulum 2013
Berdasar analisis awal akhir tersebut maka untuk mencoba menjalankan pembelajaran
matematika pada salahg satu materi pokok kelas VII yaitu materi segiempat dan segitiga maka
perlu dilakukan proses pembelajaran matematika yang melibatkan siswa untuk dapat
menerapkan pendekatan sains. Dengan pengalaman belajar menerapkan metode ilmiah yaitu
melakukan kegiatan mengamati masalah dengan seksama, kemudian berdasar hasil pengamatan
tersebut siswa mau menanya pada dirinya atau pada sumber lain bagaimana hasil pengamatan
yang dialami, kemudian aktif mengumpulkan informasi terkait masalah yang diamati dengan
melakukan kegiatan menalar, kemudian siswa mengasosiasikan informasi yang sudah
dikumpulkan, berani mencoba dan berani mengomunikasikan apa yang sudah diperoleh maka
siswa akan memiliki sikap logis, analitik dan teliti dalam memecahkan masalah, dan sikap ini
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
196 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
akan menghasilkan kemampuan pikir tindak efektif. Disamping itu dengan proses ilmiah
tersebut siawa akan memiliki sikap kritis dan tidak mudah menyerah dalam memecahkan
masalah, dan sikap ini akan menghasilkan kemampuan pikir kreatif.
Untuk itu model pembelajaran matematika dengan pendekatan sains mempunyai
sintaks dengan fase-fase sebagai berikut ini: (1) Orientasikan siswa kepada masalah/projek, (2)
mengorganisasi peserta didik untuk mengamati masalah/projek, (3) membimbing peserta didik
untuk menanya terkait informasi yang telah dikumpulkan, (4) membimbing peserta didik untuk
menalar dengan mengasosiasikan informasi yang telah dikumpulkan, (5) mengembangakan
kemapuan peserta untuk berani mencoba melakukan suatu eksperimen dari hasil menalar, (6)
mengembangkan dan mengomunikasikan hasil karya individu/kelompok, dan (7) menganalisa
dan mengevaluasi proses pemecahan masalah.
Deskripsi hasil pelaksanaan uji-coba Perangkat
(1) Deskripsi hasil penilaian pakar dan praktisi pendidikan matematika
a. Deskripsi hasil validasi instrumen
Uji-validasi setiap instrumen ditinjau dari tiga aspek, yaitu: aspek petunjuk, aspek bahasa,
dan aspek isi. Hasil uji-validasi yang dilakukan terhadap setiap instrumen pengembangan
perangkat pembelajaran adalah sebagai berikut.
Tabel 1. Hasil Validasi Instrumen
No. Jenis Instrumen Aspek Penilaian
Ket. Petunjuk Bahasa Isi
1. Lembar validasi silabus V V V LD
2. Lembar validasi rencana pelaksanaan
pembelajaran V V V LD
3. Lembar validasi lembar kegiatan siswa V V V LD
4. Lembar validasi instrumen penilaian V V V LD
5. Lembar observasi kemampuan guru
dalam mengelola pembelajaran V V V LD
6. Lembar observasi aktivitas siswa dalam
pembelajaran V V V LD
Keterangan:
V adalah penilaian pakar dan praktisi menyatakan instrument valid untuk setiap indikator
aspek penilaian.
LD adalah kesimpulan penilaian dari semua pakar dan praktisi bahwa instrumen yang
dikembangkan Layak Dipergunakan.
LDP adalah kesimpulan penilaian dari beberapa validator bahwa instrumen yang
dikembangkan Layak Dipergunakan dengan Perbaikan (revisi kecil).
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 197
Berdasarkan hasil penilaian validator pada Tabel 1, disimpulkan bahwa: (1) Lembar
validasi silabus; (2) Lembar validasi rencana pelaksanaan pembelajaran; (3) Lembar validasi
lembar kegiatan siswa; (4) Lembar validasi instrument penilaian; (5) Lembar observasi aktivitas
siswa dalam pembelajaran matematika; (6) Lembar observasi kemampuan guru dalam mengelola
pembelajaran matematika layak dipergunakan.
(2) Kepraktisan perangkat pembelajaran matematika
Kepraktisan perangkat pembelajaran matematika ditunjukkan oleh kemampuan guru
mengelola pembelajaran matematika, diuji cobakan selama dua kali. Kemampuan guru mengelola
pembelajaran matematika untuk setiap aspek yang teramati setelah uji coba yang kedua adalah
sebagai berikut.
Tabel 2. Kemampuan Guru dalam Mengelola Pembelajaran
Menurut Hasil Pelaksanaan Uji-Coba
No. Aspek yang diamati
Hasil Pengamatan Pengamat
Kategori 1 2 3 4 5 6
Rata-
Rata
I
Kegiatan Pendahuluan
Kemampuan memotivasi
siswa dengan menguraikan
pentingnya mempelajari
materi
4 4 4 4 4 4 4,00 S. Baik
Kemampuan memberi
apersepsi 4 3 3 3 4 4 3,50 S. Baik
Kemampuan menyampaikan
tujuan 3 3 3 3 3 3 3,00 Baik
Kemampuan menjelaskan
langkah-langkah kegiatan
pembelajaran
4 3 3 4 3 4 3,50 Baik
II
Kegiatan Inti
Kemampuan memfasilitasi
siswa untuk siswa bisa
melakukan proses
mengamati
3 3 3 3 3 3 3,00 Baik
Kemampuan memfasilitasi
siswa untuk siswa bisa
melakukan proses menanya
3 2 3 3 2 3 2,67 C. Baik
Kemampuan memfasilitasi
siswa untuk siswa bisa 3 3 3 3 3 3 3,00 Baik
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
198 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
melakukan proses
mengumpulkan informasi
Kemampuan memfasilitasi
siswa untuk siswa bisa
melakukan proses
mengasosiasi
3 3 3 3 4 3 3,17 Baik
Kemampuan memfasilitasi
siswa untuk siswa bisa
melakukan proses
mengomunikasikan
4 3 4 4 3 4 3,67 S. Baik
Kemampuan memimpin
diskusi kelas/menguasai
kelas.
3 2 3 2 3 3 2,67 C. Baik
Kemampuan menghargai
berbagai pendapat siswa. 3 3 3 3 3 3 3,00 Baik
Kemampuan mengajukan
dan menjawab pertanyaan. 3 3 3 3 3 3 3,00 Baik
III
Kegiatan Penutup
Kemampuan menegaskan
hal-hal penting/inti sari
yang berkaitan dengan
pembelajaran.
3 3 2 2 3 3 2,67 C. Baik
Kemampuan
menyampaikan tindak
lanjut berikutnya
/memberikan PR kepada
siswa/menutup pelajaran.
3 2 2 3 3 3 2,67 C. Baik
IV
Kesesuaian dengan RPP
Kegiatan pembelajaran
sesuai dengan alokasi
waktu.
3 3 3 3 3 3 3,00 Baik
Tahapan pembelajaran
sesuai dengan RPP. 3 3 2 3 3 2 2,67 C. Baik
V
Susasana Kelas
Siswa antusias. 3 3 3 3 3 4 3,17 Baik
Guru antusias. 3 3 3 3 4 4 3,33 Baik
Keterangan: C adalah cukup
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 199
Berdasarkan Tabel 2, diperoleh semua aspek memenuhi kriteria kepraktisan, yaitu:
minimal cukup baik. Oleh karena itu, disimpulkan bahwa perangkat pembelajaran matematika
memenuhi kriteria kepraktisan.
(3) Keefektifan perangkat pembelajaran matematika
Perangkat pembelajaran matematika dikatakan memenuhi kriteria keefektifan, apabila
indikator: aktivitas siswa dalam pembelajaran matematika, ketuntasan belajar siswa secara
klasikal, dan respons siswa terhadap perangkat pembelajaran matematika memenuhi kriteria
yang ditetapkan.
Data hasil observasi terhadap aktivitas siswa dalam pembelajaran matematika oleh 6 orang
pengamat persentase waktu yang dipergunakan siswa untuk masing-masing indikator
aktivitasnya pada suatu pertemuan adalah sebagai berikut.
Tabel 3. Persentase Aktivitas Siswa dalam Pembelajaran matematika Menurut Hasil
Pelaksanaan Uji-Coba
No. Kategori Pengamatan
Persentase Aktivitas dalam
Pembelajaran oleh pengamat Interval
Toleransi
PWI I II III IV V VI Rata
-rata
Aktivitas dalam tugas (on-task)
Aktivitas siswa yang berkaitan dengan Kemampuan Pikir Tindak Efektif
1.
Mengamati dengan
cermat apa yang
disampaikan Guru dalam
pembelajaran
10,0
0 8,33 10,83 8,33 10,83 10,00 9,72
5% ≤ PWI
≤ 15%
2.
Merespons penjelasan guru
baik secara tertulis atau
secara lisan melalui
menanya aspek yang
belum dipahami
kemudian mau mencoba
mengumpulkan informasi.
5,83 5,83 8,33 12,5 6,67 5,83 7,50 5% ≤ PWI
≤ 15%
3.
Memperhatikan umpan
balik yang disampaikan
oleh guru.
8,33 9,17 6,67 6,67 7,50 6,67 7,50 0% ≤ PWI
≤ 10%
Aktivitas siswa yang berkaitan dengan Kemampuan Pikir Kreatif
4. Menerapkan pengetahuan
matematika (fakta,
10,8
3
13,3
3
10,8
3
10,0
0
10,8
3 12,50 11,39
10% ≤ PWI
≤ 20%
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
200 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
konsep, operasi, dan
prinsip) yang dimilikinya
baik melalui pertanyaan,
memberi saran,
menanggapi/memberi
komentar baik sebelum,
sedang, atau setelah
menyelesaikan masalah
kontekstual dalam
pembelajaran.
5.
Menerapkan kemampuan
mengomunikasikan hasil.
Secara operasional aktivitas
yang perlu diperhatikan oleh
peneliti dalam pembelajaran,
yaitu:
8,33 10,8
3 7,50 8,33 9,17 8,33 8,75
5% ≤ PWI
≤ 15%
6.
Siswa melakukan kegiatan
mengasosiasikan masalah
kontekstual dan cara yang
akan dipergunakannya
untuk menyelesaikan
masalah kontekstual baik
secara individu maupun
secara kelompok.
43,3
3
40,0
0
40,0
0
42,5
0
42,4
0 41,67 41,65
35% ≤ PWI
≤ 45%
7.
Siswa menyelesaikan
masalah kontekstual sesuai
dengan waktu yang
diberikan.
5,83 5,00 7,50 5,83 5,83 7,50 6,25 3% ≤ PWI
≤ 13%
8.
Siswa mengomunikasikan
hasil penyelesaian masalah
sesuai dengan alokasi
waktu yang telah
ditetapkan.
4,17 3,33 5,00 3,33 2,50 3,33 3,61 0% ≤ PWI
≤ 7%
Aktivitas luar tugas (off-task)
9.
Melakukan kegiatan lain
di luar pembelajaran.
Misalnya tidak
3,33 4,17 3,33 4,58 4,17 4,17 3,96 0% ≤ PWI
≤ 5%
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 201
memperhatikan
penjelasan guru, atau
melakukan aktivitas yang
tidak berkaitan dengan
kegiatan pembelajaran
(ngantuk, tidur, ngobrol,
melamun, dsb.)
Keterangan:
PWI adalah prosentase waktu ideal, dan Batas toleransi yang dipergunakan
adalah 5%
Berdasarkan Tabel 3, diperoleh bahwa rata-rata persentase aktivitas siswa memenuhi
kriteria interval persentase waktu ideal yang ditetapkan. Karena itu, disimpulkan bahwa
perangkat pembelajaran matematika memenuhi kriteria keefektifan menurut indikator aktivitas
siswa dalam pembelajaran matematika.
Berdasar hasil analisis diatas dapat disimpulkan bahwa penelitian ini telah
menghasilkan perangkat pembelajaran matematika (Silabus, RPP, Instrumen Penilaian
Proses dan Hasil Belajar) materi segiempat dan segitiga bagi siswa SMP kelas VII
menggunakan pendekatan sains/pendekatan ilmiah (scientific approach) yang baik yaitu
telah memenuhi kevalidan, kepraktisan, dan keefektifan.
Kesulitan yang dihadapi Guru dalam mengembangkan perangkat Pembelajaran dengan
Pendekatan Sains.
Kurikulum 2013 mengembangkan dua modus proses pembelajaran yaitu proses
pembelajaran langsung dan proses pembelajaran tidak langsung. Proses pembelajaran langsung
adalah proses pendidikan di mana peserta didik mengembangkan pengetahuan, kemampuan
berpikir dan keterampilan psikomotorik melalui interaksi langsung dengan sumber belajar yang
dirancang dalam silabus dan RPP berupa kegiatan-kegiatan pembelajaran. Dalam pembelajaran
langsung tersebut peserta didik melakukan kegiatan belajar mengamati, menanya,
mengumpulkan informasi, mengasosiasi atau menganalisis, dan mengkomunikasikan apa yang
sudah ditemukannya dalam kegiatan analisis. Proses pembelajaran langsung menghasilkan
pengetahuan dan keterampilan langsung atau yang disebut dengan instructional effect.
Pembelajaran tidak langsung adalah proses pendidikan yang terjadi selama proses
pembelajaran langsung tetapi tidak dirancang dalam kegiatan khusus. Pembelajaran tidak
langsung berkenaan dengan pengembangan nilai dan sikap. Berbeda dengan pengetahuan
tentang nilai dan sikap yang dilakukan dalam proses pembelajaran langsung oleh mata pelajaran
tertentu, pengembangan sikap sebagai proses pengembangan moral dan perilaku dilakukan oleh
seluruh mata pelajaran dan dalam setiap kegiatan yang terjadi di kelas, sekolah, dan masyarakat.
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
202 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
Baik pembelajaran langsung maupun pembelajaran tidak langsung terjadi secara
terintegrasi dan tidak terpisah. Pembelajaran langsung berkenaan dengan pembelajaran yang
menyangkut KD yang dikembangkan dari KI-3 dan KI-4. Keduanya, dikembangkan secara
bersamaan dalam suatu proses pembelajaran dan menjadi wahana untuk mengembangkan KD
pada KI-1 dan KI-2. Pembelajaran tidak langsung berkenaan dengan pembelajaran yang
menyangkut KD yang dikembangkan dari KI-1 dan KI-2. Proses pembelajaran tersebut terdiri
atas lima pengalaman belajar pokok yaitu: (1) mengamati; (2) menanya; (3) mengumpulkan
informasi; (4) mengasosiasi; dan (5) mengkomunikasikan.
Dalam mengembangkan perangkat pembelajaran yang berupa RPP, silabus sudah
disediakan oleh pemerintah, sehingga RPP yang akan dikembangkan berdasar pada silabus yang
sudah ada. RPP memuat komponen: Kompetensi Inti (KI), Kompetensi Dasar dan Indikator,
Tujuan Pembelajaran, Materi Pembelajaran (rincian dari Materi Pokok), Metode Pembelajaran
(Rincian dari Kegiatan Pembelajaran), Media, Alat, dan Sumber Pembelajaran, Langkah-
langkah Kegiatan Pembelajaran, Penilaian (yang meliputi Jenis/teknik penilaian, Bentuk
instrumen dan instrument, Pedoman penskoran). Untuk menentukan kompetensi inti guru tidak
mengalamin kesulitan karena kompetensi inti sudah termuat dalam kurikulum.
Pada penyusunan RPP Guru kesulitan dam mengembangkan KD dan Indikator.
Kesulitan dalam menentukan KD teridentifikasi ketika guru akan menuliskan KD untuk KI 1
dan KI 2. Sedangkan KD untuk KI 3 dan KI 4 sudah tersedia di Silabus. Untuk menentukan
indicator terkait dengan semua KI, guru merasa kesulitan terkait dengan hal tersebut Karena di
silabus belum terumuskan indicator untuk tiap KD. Akibat dari ini guru kesulitan menuliskan
tujuan pembelajaran untuk setiap KD. Dengan tujuan pembelajaran yang kurang jelas maka hal
ini akan mempengaruhi dalam penyusunan materi pembelajaran, rincian dari kegiatan
pembelajaran. Rincian kegiatan pembelajaran matematika pada kegiatan inti pembelajaran
banyak disebabkan karena guru kurang memahami makna operasional dari kegiatan inti yang
meliputi kegiatan mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, mengasosiasi, dan
mengomunikasikan. Kesulitan guru dalam menentukan rincian dari tujuan pembelajaran maka
hal ini akan berdampak pada penilaian yang akan dilakukan. Guru kurang memahamin prinsip
penilaian proses dan produk pembelajaran yang dilakukan.
KESIMPULAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan Pembelajaran Matematika dengan
pendekatan sains berikut perangkat pembelajaran yang sesuai untuk materi segiempat dan
segitigsa . Berikut simpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah:
1. Teori pengembangan yang digunakan untuk mengembangkan Model Pembelajaran
Matematika dengan pendekatan sains adalah teori pengembangan dengan model yang
digunakan menggunakan model 4-D (model Thiagarajan) yang dimodifikasi terdiri dari tiga
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 203
tahap, yaitu pendefinisian (define), perancangan (design), dan pengembangan (develop)
melalui uji terbatas. Diperoleh Model Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Sains
untuk meningkatkan Kemampuan Pikir Tindak Efektif dan Kreatif dengan sintaks: (a)
Orientasikan siswa kepada masalah/projek, (b) mengorganisasi siswa untuk mengamati
masalah/projek, (c) membimbing siswa untuk menanya terkait informasi yang telah
dikumpulkan, (d) membimbing siswa untuk menalar dengan mengasosiasikan informasi
yang telah dikumpulkan, (e) mengembangakan kemapuan siswa untuk berani mencoba
melakukan suatu eksperimen dari hasil menalar, (f) mengembangkan dan
mengomunikasikan hasil karya individu/kelompok, (g) menganalisa dan mengevaluasi
proses pemecahan masalah. yang valid, praktis, dan efektif.
2. Selain memperoleh model pembelajaran, penelitian ini juga menghasilkan perangkat
pembelajaran yang baik yang sesuai dengan Model Pembelajaran Matematika dengan
Pendekatan Sains untuk meningkatkan Kemampuan Pikir Tindak Efektif dan Kreatif untuk
materi pokok segiempat dan segitiga siswa kelas VII SMP. Perangkat pembelajaran tersebut
memenuhi kriteria valid dan hasil uji coba menunjukkan baik. Perangkat pembelajaran
tersebut adalah Silabus, Rencana Program Pembelajaran (RPP) dan Lembar Kegiatan Siswa
(LKS).
3. Dalam pengembangan pembelajaran matematika di SMP dengan pendekatan sains, guru
banyak yang mengalami kesulitan terkait dengan pengembangan perangkat pembelajaran
yaitu RPP. Kesulitan yang dialami oleh Guru dalam mengembangkan RPP adalah ketika
memilih KD, khususnya KD terkait dengan KI-1 dan KI-2. Kesulitan yang kedua adalah
bagaimana menentukan indicator pada KD. Kesulitan menentukan indicator ini akan
berdampak pada kesulitan dalam menentukan tujuan pembelajaran, dan menjabarkan dalam
kegiatan pembelajaran yang sesuai dengan pendekatan sains. Kesulitan menentukan tujuan
pembelajaran tentunya akan berdampak pada penentuan penilaian formatif pada KD
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Arends, Richard I. 1997.Clssroom Intruction and Management. New York: Mc Graw Hill
Companies, Inc.
Gravemeijer, K.P.E. 1999. Developmental Reseach: Fostering a Dialectic Relation Between
Theory and Practice. Utrecht: Freudenthal Institute.
Joyce, Bruce and Weil.1992. Models of Teaching(fourth Edition). Boston-Toronto-Sydney-
Singapore : Allyn and Bacon Publishers.
Van den Akker, Jan. 1999. Principles and methods of development research. In Jan van den
Akker et al. (Ed.) Design Approaches and Tools in Education and Training pp. 1-14.
Dordrecht: kluwer Academic Publishers
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
204 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
Allen, L. (1973). An examination of the ability of third grade children from the Science
Curriculum Improvement Study to identify experimental variables and to recognize
change. Science Education, 57, 123-151.
Depdikbud. 2013. Materi Pelatihan Guru Implementasi Kurikulum 2013 Mata Pelajaran
Matematika SMP/MTs.
Imam Sujadi, 2013. Menyiapkan Sumber Daya Manusia Indonesia Berkualitas Melalui
Penyempurnaan Kurikulum. Makalah. Disampaikan dalam seminar nasional
“Rekonstruksi Pendidikan dalam Kurikulum 2013 Guna Mencetak Tenaga Pendidik
yang Kreatif dan Inovatif”, 5 Mei 2013 di STKIP PGRI Pacitan.
Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah
Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 64 Tahun
2013Tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar Dan Menengah.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2013
Tentang Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Dasar dan Menengah.
Peraturan Menteri Pendidikan dan KebudayaanRepublik Indonesia Nomor 65 Tahun 2013
Tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2013
Tentang Standar Penilaian Pendidikan.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik IndonesiaNomor 68 Tahun 2013
Tentang Kerangka Dasar Dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah
Pertama/Madrasah Tsanawiyah.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 81a Tahun 2013
Tentang Implementasi Kurikulum 2013
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentangSistemPendidikanNasional