KESADARAN HUKUM MASYARAKAT TERHADAP HUKUM · PDF fileKESADARAN HUKUM MASYARAKAT TERHADAP HUKUM...
Transcript of KESADARAN HUKUM MASYARAKAT TERHADAP HUKUM · PDF fileKESADARAN HUKUM MASYARAKAT TERHADAP HUKUM...
KESADARAN HUKUM MASYARAKAT TERHADAP HUKUM WARIS
ISLAM
( Studi di Kelurahan Kapuk Cengkareng Jakarta Barat )
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
Mariyah
NIM : 105044101414
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1430 H / 2009 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri
( UIN ) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri ( UIN ) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri ( UIN ) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 31 Agustus 2009
Mariyah
KATA PENGANTAR
�������������������� ������������ �������� ����������������������������
������������������������������������
Assalamualaikum Wr.Wb.
Tiada untaian kata yang paling indah selain memanjatkan rasa syukur
kehadirat Illahi Robbi, semoga rahmat dan karunia-Nya selalu menyertai setiap
langkah-langkah kita di permukaan bumi ini. Tak lupa sholawat serta salam tetap
tercurahkan kepada hamba yang paling mulia, yaitu baginda Nabi Muhammad SAW,
keluarga, sahabat dan para pengikutnya yang selalu Istiqamah dalam menjalankan
risalahnya hingga akhir zaman.
Dengan rasa syukur, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai
persyaratan untuk mendapatkan gelar arjana Hukum Islam di Fakultas Syariah dan
Hukum. Dalam menyelesaikan skripsi ini tidak sedikit kesulitan serta hambatan yang
penulis alami dan berkat kesungguhan hati, kerja keras, dan motivasi serta bantuan
berbagai pihak, maka kesulitan tersebut dapat teratasi dengan baik.
Maka tersusunnya skripsi ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, bimbingan, petunjuk
serta dukungan terutama kepada kedua orang tua penulis yang selalu mencurahkan
kasih sayang dan doa nya serta berharap penulis dapat menjadi anak yang berguna
dan sukses dalam menempuh hidup di dunia dan akhirat.
Ucapan terima kasih Penulis disampaikan kepada Bapak:
1. Prof. Dr.H.Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM, Dekan Fakultas Syariah
dan Hukum Univertas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA selaku Ketua Program Studi Ahwal Al-
Sakhsyiyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Kamarusdiana S.Ag, MH selaku pembimbing penulis yang dengan penuh
kesabaran telah membimbing dan menjadi konsultan hingga skripsi ini
selesai.
4. Asmawi, S.Ag, M.Ag selaku pembimbing penulis yang dengan penuh
kesabaran telah membimbing dan menjadi konsultan hingga skripsi ini
selesai.
5. Staff Kelurahan Kapuk Cengkareng yang telah memberikan data-data yang
dibutuhkan penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
6. Kyai Achya Al-Anshori, Kyai Ma’ruf Asyirun, yang telah memberikan
pendapatnya mengenai hukum waris yang berlaku di masyarakat Betawi.
7. Seluruh Ketua RT dan RW, yang telah memberikan izin untuk penulis
menyebarkan angket di wilayahnya.
8. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah membekali penuis
dengan ilmu pengetahuan, dan seluruh staf Perpustakaan Fakultas Syariah
dan Hukum atas pelayanan yang sangat membantu penulis dalam
memperoleh referensi-referensi untuk karya ilmiah ini.
9. Untuk keluarga penulis, khususnya kepada kedua orang tua yaitu Ayahanda
H.Maing dan Ibunda Hj.Muna.
10. Kepada semua teman-teman seperjuangan yang telah memberikan warna
hidup dalam diri penulis selama menempuh perkuliahan di Kosentrasi
Peradilan Agama kelas B Prodi Ahwal Al-Sakhsyiyah Univeritas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta angkatan 2005-2006.
Akhirul kalam, sekali lagi penulis ucapkan kepada seluruh pihak yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Tidak ada yang dapat penulis
berikan selain harapan mudah-mudahan semua bantuan para pihak kepada penulis
dibalas yang setimpal oleh Allah SWT.
Wassalamualaikum Wr,Wb
Jakarta, September 2009
Penulis
Mariyah
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………………………..i
DAFTAR ISI………………………………………………………………………...iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah…………………………………. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah…………………… 6
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian………………. 7
D. Metode Penelitian………………………………………. 9
E. Sistematika Penulisan…………………………………… 15
BAB II LANDASAN TEORETIS KESADARAN HUKUM
A. Konsep Kesadaran Hukum…………………………….. 16
B. Indikator Kesadaran Hukum……………………............ 20
C. Definisi Operasional…...………………………………. 28
BAB III SENDI-SENDI HUKUM WARIS ISLAM, HUKUM WARIS
BARAT DAN HUKUM WARIS ADAT
A. Hukum Harta Kekayaan ………………………………… 30
B. Sendi-Sendi Dasar Hukum Waris Islam…………………. 32
C. Sendi-Sendi Dasar Hukum Waris Barat………………..... 43
D. Sendi-Sendi Dasar Hukum Waris Adat ……...………..... 48
BAB IV PELAKSANAAN WARIS ISLAM DI KELURAHAN KAPUK
A. Monografi Kelurahan Kapuk……………………………. 55
B. Kesadaran Hukum Masyarakat Kapuk………………….. 61
C. Kesadaran Hukum Waris Responden…………………... 70
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan…………………………………………….... 76
B. Saran……………………………………………………... 78
Daftar Pustaka ………………………………………………………….. 80
Lampiran-Lampiran ……………………………………………………
1. Kuesioner Penelitian.......................................................... 83
2. Hasil Wawancara I………………………………………. 88
3. Hasil Wawancara II……………………………………… 90
4. Hasil Wawancara III……………………………………… 92
5. Permohonan Data dan Wawancara……………………….. 94
6. Surat Keterangan Lurah, Rt dan Rw………………………. 95
7. Laporan Monografi Kelurahan Kapuk…………………….. 98
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setiap manusia pasti mengalami peristiwa kelahiran dan kematian.
Peristiwa kelahiran seseorang, tentunya menimbulkan akibat-akibat hukum,
seperti timbulnya hubungan hukum dengan masyarakat sekitarnya, dan timbulnya
hak dan kewajiban pada dirinya. Peristiwa kematian pun akan menimbulkan
akibat hukum kepada orang lain, terutama pada pihak keluarganya dan pihak-
pihak tertentu yang ada hubungannya dengan orang tersebut semasa hidupnya.
Dalam hal kematian (meninggalnya) seseorang, pada prinsipnya, segala
kewajiban perorangannya tidak beralih kepada pihak lain kecuali hutang-piutang
yang apabila masih ada maka ahli warisnya yang akan menggantinya. Adapun
yang menyangkut harta kekayaan dari yang meninggal tersebut beralih kepada
pihak lain yang masih hidup, yaitu kepada orang-orang yang telah ditetapkan
sebagai pihak penerimanya. Proses peralihan harta kekayaan dari yang meninggal
kepada yang masih hidup inilah yang diatur oleh hukum Islam dengan sebutan
hukum waris/ilmu faraidh.
Hukum waris sebelum Islam sangat dipengaruhi oleh sistem sosial yang
dianut oleh masyarakat yang ada, menurut masyarakat jahiliyah ahli waris yang
berhak mendapatkan harta warisan dari keluarganya yang meninggal, adalah
Mereka yang laki-laki, berfisik kuat, dan memiliki kemampuan untuk memanggul
senjata serta mengalahkan musuh dalam setiap peperangan.1 Namun setelah Islam
datang sedikit demi sedikit masyarakat jahiliyah meninggalkan kebiasaan
pembagian seperti ini. Hukum kewarisan dalam Islam mendapat perhatian besar
karena pembagian warisan sering menimbulkan akibat-akibat yang tidak
menguntungkan bagi keluarga yang ditinggal mati pewarisnya.2 Sebab seseorang
mendapatkan warisan salah satunya adalah dengan pernikahan, di dalam
pernikahan mempunyai beberapa tujuan. Menurut Qur’an yaitu Litaskunu Ilaiha,
Mawaddah, Rahmah. Menurut hadist tujuan pernikahan adalah pertama, untuk
menundukkan pandangan dan menjaga faraj. Kedua, sebagai kebanggaan nabi
dihari kiamat. Dan menurut akal tujuan dari pernikahan yaitu pertama, untuk
meningkatkan jumlah manusia di muka bumi. Kedua, untuk ketertiban nasab.
Ketiga, untuk ketertiban kewarisan.3
Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata hukum kewarisan adalah
hukum-hukum atau peraturan-peraturan yang mengatur, tentang apakah dan
bagaimanakah berbagai hak-hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang pada
waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup. 4
1 Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002 ), h. 8
2 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo, 1997 ), h. 356.
3 A. Basiq Djalil, Tebaran Pemikiran Keislaman di Tanah Gayo, (Jakarta: Prenada Media
Group, 2006 ), h. 86-90.
Dalam hukum waris perdata berlaku suatu asas, bahwa hanyalah hak-hak dan
kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta benda saja yang
dapat diwariskan.5 Dengan kata lain hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang
dapat dinilai dengan uang saja yang dapat diwariskan. Menurut undang-undang
yang berhak untuk menjadi ahli waris ialah, para keluarga sedarah, baik sah
maupun luar kawin dan si suami atau istri yang hidup terlama.6
Secara terminologi ilmu faraidh/fiqh mawaris/hukum kewarisan adalah
ilmu yang membahas tentang hal ihwal pemindahan harta peninggalan dari
seseorang yang meninggal dunia kepada yang masih hidup, baik mengenai harta
yang ditinggalkannya, orang-orang yang berhak menerima harta peninggalan
tersebut, bagian masing-masing ahli waris, maupun cara penyelesaian pembagian
harta peninggalan itu. Hasbi Ash-Shiddiqy mendefinisikan Fiqh Mawaris sebagai
ilmu yang mempelajari tentang siapa yang mendapatkan warisan dan siapa yang
tidak mendapatkannya, kadar yang diterima oleh tiap-tiap ahli waris, dan cara
pembagiannya.7
4 M. Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya,
1992), h. 108.
5 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2001 ), h. 95.
6 Subekti danTjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya
Paramita, 2006 ), h. 221.
7 Hasby Ash-Shiddiqy, Fiqhul Mawaris, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001 ), h. 6.
Hukum kewarisan menurut adat adalah pokok pangkal uraian tentang
hukum waris adat yang bertitik tolak dari bentuk masyarakat dan sifat
kekeluargaan yang terdapat di Indonesia menurut sistem keturunan.8
Secara normatif, pembagian harta warisan hanya biasa dilakukan menurut
hukum Islam atau yang biasa disebut ilmu faraidh namun kenyataannya
masyarakat lebih memilih membagikan harta warisannya dengan jalan
perdamaian pembagian semacam ini diatur dalam KHI pasal 183 yang
menyatakan: “para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam
pembagian harta warisan setelah masing-masing menyadari bagiannya.9
Mengenai pembagian warisan ini, Rasulullah SAW memerintahkan secara
tegas kepada umatnya untuk melaksanakan pembagian sesuai dengan ketentuan
yang telah digariskan dalam kitabullah (al-Qur’an) di dalam surat An-Nisâ’ ayat
7. Dari firman Allah di dalam surat An-Nisa’ ayat 7 dipahami bahwa hukum
melaksanakan dan mengamalkan pembagian waris sesuai dengan syarî’at Islam
adalah wajib (fardhu’ain) bagi setiap muslim. Pembagian warisan telah diatur al-
Qur’an, Hadits, ijma’ dan fiqih, sebagaimana yang tertera dalam surat An-Nisâ’
ayat 7, ayat 11, ayat 12 dan ayat 176.
Dalam prakteknya dimasyarakat Indonesia, khususnya di Kelurahan
Kapuk. Pembagian warisan sering tidak digunakan, meskipun penduduknya
8 Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2004 ), h. 41.
9 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Akademika Presindo, , 2004 ), h. 158.
mayoritas beragama Islam. Masyarakat lebih memilih untuk menyelesaikan
pembagian secara hukum perdata, secara hukum yang berlaku di masyarakat
(adat) atau secara perdamaian (kekeluargaan). Pemerintah Indonesia sendiri telah
mengatur di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 183 yang berbunyi:
“Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta
warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya masing-masing”. Namun
dalam prakteknya dimasyarakat para ahli waris tidak menyadari bagian masing-
masing menurut hukum waris Islam. Hal ini sangat berkaitan dengan kesadaran
hukum masyarakat setempat terhadap hukum waris Islam.
Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa ide tentang kesadaran warga-
warga masyarakat sebagai dasar sahnya hukum positif tertulis dalam ajaran-ajaran
tentang Rechtsgefuhl atau Rechtsbewustzijn yang intinya adalah, bahwa tidak ada
hukum yang mengikat warga-warga masyarakat kecuali atas dasar kesadaran
hukumnya.10
Siapa saja yang mencari hukum berarti ia mencari suatu ketentuan yang
umum, ia tidak perlu menanyakan bagaimana isi ketentuan itu, tetapi yang perlu
ditanyakan apakah masyarakat akan memerima dan mentaatinya. Masyarakat
dimaksud tentu mencakup sejumlah elemen sosial dengan segala status dan
10 Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Rajawali
Pers, 1983), h. 338.
peranannya dalam kehidupan bermasyarakat.11
Dalam hal ini masyarakat kapuk
yang merupakan sebagai elemen sosial yang memiliki kesadaran hukum waris
seperti apapun kuwalitasnya.
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis ingin mengadakan sebuah
penelitian dan menuangkan dalam bentuk tulisan sehingga memberikan kejelasan
tentang “apakah penerapan hukum waris di masyarakat telah sesuai dengan
syari’at Islam”. Oleh karena itu, skripsi ini berjudul: “Kesadaran Hukum
Masyarakat Terhadap Hukum Waris Islam (Studi di Kelurahan Kapuk
Kecamatan Cengkareng Jakarta Barat)”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Agar memudahkan penulis dalam tugas penelitian ini, penulis membatasi
ruang lingkup permasalahan ini hanya pada pelaksanaan pembagian waris pada
masyarakat Kelurahan Kapuk Kecamatan Cengkareng. Penulis memilih lokasi
tersebut supaya lebih memudahkan dan lebih fokus dalam penulisannya, serta
lokasi tersebut mudah dijangkau, dan juga penulis bertempat tinggal di daerah
tersebut.
11 Asmawi dkk, Religiusitas dan Kesadaran Hukum Islam Pada Mahasiswa UIN Syarif
Hidayatullah, (Jakarta: t.tp., 2005), h. 3.
2. Rumusan Masalah
Masyarakat Betawi yang mayoritas beragama Islam dalam pembagian
harta warisannya mestinya menggunakan Ilmu Faraidh namun dalam praktek di
masyarakat para keluarga yang menggunakan tata cara selain hukum waris Islam
namun ahli waris tidak mengetahui bagian masing-masing yang semestinya
diterima.. Memahami permasalahan di atas dapat diketahui bahwa dalam hal
pembagian warisan selain hukum waris Islam perlu adanya kesadaran dari
masing-masing ahli waris mengenai bagian masing-masing. Dalam pokok
masalah penelitian ini ialah bagaimana kesadaran hukum masyarakat terhadapa
hukum waris Islam, adapun rincian masalah yang menjadi fokus studi dapat
diketahui sebagai berikut:
1. Bagaimana pengetahuan masyarakat Kelurahan Kapuk terhadap hukum waris
Islam?
2. Bagaimana pemahaman masyarakat Kelurahan Kapuk terhadap hukum waris
Islam?
3. Bagaimana sikap masyarakat Kelurahan Kapuk terhadap hukum waris Islam?
4. Bagaimana perilaku masyarakat terhadap hukum waris Islam?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penulis mengadakan penelitian tentang praktek hukum
waris adalah:
1) Untuk mengetahui dan menjelaskan / menggambarkan pengetahuan
masyarakat Kelurahan Kapuk tentang sistem kewarisan.
2) Untuk mengetahui dan mengkaji pemahaman masyarakat Kelurahan
kapuk tentang sistem kewarisan.
3) Untuk mengetahui dan mengkaji sikap masyarakat Kelurahan kapuk
tentang sistem kewarisan.
4) Untuk mengetahui dan mengkaji perilaku masyarakat Kelurahan kapuk
tentang sistem kewarisan.
2. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan penulis dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui tentang pengetahuan, pemahaman, sikap dan perilaku masyarakat
kelurahan kapuk terhadap hukum waris Islam.
Manfaat lain yang diharapkan penulis dari hasil penelitian ini yaitu bisa
bermanfaat untuk bahan informasi tentang praktek hukum waris Islam di dalam
masyarakat. Dan dapat dijadikan sebagai karya ilmiah yang dapat bermanfaat
untuk orang lain.
Sedangkan bagi penulis sendiri penelitian ini bermanfaat untuk menambah
keilmuan sebagai dedikasi yang dapat penulis berikan terhadap perkembangan
ilmu pengetahuan.
D. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
a. Penelitian kuantitatif yaitu mendeskripsikan objek penelitian yang
menjadi target penelitian dengan analisis kuantitatif mulai dari
pengumpulan data, penyajian data dan menganalisis data serta
menginterpretasikannya.12
b. Penelitian deskriptif yaitu penelitian dengan membuat pecandraan secara
sistematis, faktual dan akurat. Mengenai faka-fakta dan sifat-sifat
populasi atau daerah tertentu.
2. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini menggunakan penelitian survei yaitu penelitian yang
mengambil sample dari suatu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat
pengumpulan data yang pokok.13
3. Teknik Pengumpulan Data.
Data Primer adalah data yang langsung dikumpulkan oleh peneliti dari
sumber pertamanya, yaitu data-data yang didapatkan dari hasil penyebaran
quisoner kepada masyarakat kelurahan kapuk.
Data Sekunder adalah data yang berasal dari dokumen-dokumen ataupun
buku-buku yang diperlukan oleh peneliti seperti tentang kewarisan baik waris
Islam, perdata, adat serta data-data yang diperoleh dari kelurahan kapuk.
12 Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Cet.I, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2006), h. 75.
13 Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survai, Cet. II, (Jakarta: PT
Pustaka LP3ES Indonesia Anggota IKAPI, 1995), h. 3.
Adapun untuk mandapatkan data tersebut penulis menggunakan tekhnik
pengumpulan data sebagai berikut:
a. Wawancara langsung dengan para ulama dan pejabat pemerintahan
yang dianggap mengerti tentang gejala dan objek yang diteliti.
b. Kuesioner yang diberikan langsung kepada responden yaitu
masyarakat kelurahan kapuk.
c. Dokumen, yaitu Data berdasarkan laporan yang didapat dari instasi
yang diteliti dan laporan lainnya yang berkaitan dengan masalah
penelitian.
Adapun objek dari penelitian ini adalah warga Kelurahan Kapuk yang
diambil dari 2 (dua) RW yaitu RW 03 dan RW 11, masing-masing RW akan
diambil 5 (lima) RT yang nantinya akan diambil 10 kepala keluarga dari masing-
masing RT. Adapun jumlah sample pada penelitian ini adalah 100 responden,
yang terdiri dari setiap RW sebanyak 50 kepala keluarga.
Penelitiam ini menggunakan teknik sampling dengan metode
nonprobablity sampling dengan tipe accidental sampling (pengambilan sample
secara kebetulan). Accidental sampling disebut pula sebagai convenience
sampling, yaitu anggota sample yang diambil tidak direncanakan terlebih dahulu,
melainkan didapatkan atau dijumpai secara tiba-tiba.14
5. Variable penelitian
Penelitian ini meneliti satu variable, yaitu kesadaran hukum masyarakat
kelurahan kapuk terhadap hukum waris Islam. Adapun indikator dari variable
tingkat kesadaran adalah (1) pengetahuan responden terhadap hukum waris Islam,
(2) pemahaman responden terhadap hukum waris Islam, (3) sikap responden
terhadap hokum waris Islam, (4) pola perilaku responden terhadap hukum waris
Islam. Instrumen penelitian untuk mengukur variable tersebut, akan dijelaskan
sebagai berikut:
Kesadaran hukum masyarakat Kelurahan Kapuk terhadap kewarisan
diukur dengan menggunakan instrumen quesioner model skor sebanyak 33 butir
pertanyaan yang mencerminkan dimensi pengetahuan, pemahaman, sikap dan
pola perilaku. Secara lengkap disajikan dalam kisi-kisi instrument (lihat table
1.1). Kisi-kisi instrumen untuk mengukur tingkat pemahaman warga Kelurahan
Kapuk terhadap kewarisan dapat dilihat pada table 1.1 di bawah ini.
Tabel 1.1
Kisi-Kisi Instrumen
No Dimensi Jumlah soal
1. Pengetahuan masyarakat 6 butir
14 Sukandar Rumidi, Metode Penelitian Petunjuk Praktis Untuk Peneliti Pemula, cet. II,
(Jogjakarta: Gajah Mada University Press, 2004), h. 79.
tentang kewarisan.
2. Pandangan masyarakat
terhadap waris Islam.
14 butir
3. Sikap masyarakat terhadap
waris Islam
8 butir
4. Perilaku masyarakat
terhadap waris Islam
5 butir
5. Teknik Pengukuran Variable
Format pengukuran variabel tingkat kesadaran hukum masyarakat
terhadap hukum waris Islam dapat diuraikan sebagai berikut. Terdapat 33 item
pertanyaan/pernyataan untuk keempat indikator tersebut ditentukan skornya.
Indikator pengetahuan responden untuk pertanyaan/pernyataan yang bersifat
positif maka skor 3 untuk jawaban Ya, skor 2 untuk jawaban Tidak Tahu, skor 1
untuk jawaban Tidak. Dan jika content item pertanyaan/pernyataan bersifat
negatif maka skor 3 untuk jawaban Tidak, skor 2 untuk jawaban Tidak Tahu, skor
1 untuk jawaban Ya.
Untuk indikator variabel pemahaman terhadap hukum waris Islam dapat
diuraikan sebagai berikut. Indikator pemahaman responden untuk
pertanyaan/pernyataan yang bersifat positif maka skor 3 untuk jawaban Benar,
skor 2 untuk jawaban Tidak Tahu, skor 1 untuk jawaban Salah. Dan jika content
item pertanyaan/pernyataan bersifat negatif maka skor 3 untuk jawaban Salah,
skor 2 untuk jawaban Tidak Tahu, skor 1 untuk jawaban Benar.
Untuk indikator variabel sikap terhadap hukum waris Islam dapat
diuraikan sebagai berikut. Indikator sikap responden untuk
pertanyaan/pernyataan yang bersifat positif maka skor 3 untuk jawaban Setuju,
skor 2 untuk jawaban Ragu, skor 1 untuk jawaban Tidak Setuju. Dan jika content
item pertanyaan/pernyataan bersifat negatif maka skor 3 untuk jawaban Tidak
Setuju, skor 2 untuk jawaban Ragu, skor 1 untuk jawaban Setuju.
Untuk indikator variabel pola perilaku terhadap hukum waris Islam dapat
diuraikan sebagai berikut. Indikator pola perilaku responden untuk
pertanyaan/pernyataan yang bersifat positif maka skor 3 untuk jawaban Sudah,
skor 2 untuk jawaban Ragu, skor 1 untuk jawaban Tidak Pernah. Dan jika content
item pertanyaan/pernyataan bersifat negatif maka skor 3 untuk jawaban Tidak
Pernah, skor 2 untuk jawaban Ragu, skor 1 untuk jawaban Sudah.
Dengan demikian, jumlah skor tertinggi dari total keempat indikator-
variabel tersebut adalah 132 dan jumlah skor terendah adalah 33. dari hasil pen-
skor-an ini kemudian dibuat kategorisasi tingkat kesadaran hukum responden
terhadap hukum waris Islam, yakni:
Jumlah Skor Kategori Tingkat Kesadaran
33 – 65 Rendah
66 – 95 Memadai
99 – 132 Tinggi
Dengan demikian setiap responden memiliki jumlah skor tertentu untuk
keempat indikator tersebut dapat ditentukan tingkat kesadaran hukum terhadap
hukum waris Islam apakah rendah, memadai atau tinggi. Dari sini pula diperoleh
gambaran tingkat kesadaran hukum waris responden.15
Adapun hasil dari penelitian disajikan dalam bentuk tabel dan grafik
histogram. Table silang merupakan penyajian data hasil penelitian yang berupa
perhitungan frekuensi pemunculan data dan data yang disajikan ke dalam bentuk
table pada umumnya adalah data nominal, data yang diperoleh adalah data dari
pemberian angket atau pengamatan. Sedangkan grafik histogram merupakan
sebuah grafik frekuensi yang menyajikan data ke dalam bentuk deretan kolom
persegi panjang yang digambarkan dari kiri ke kanan.
Design grafik histogram dalam penelitian adalah sebagai berikut :
Gambar 1.
Grafik Histogram
15 Asmawi, Religiusitas dan Kesadaran Hukum Islam Pada Mahasiswa UIN Syarif
Hidayatullah, h. 25-26.
G. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini untuk mempermudah dalam memahami
skripsi ini, maka penulis membagi skripsi ini dalam lima bab dengan teknik
penulisan berpedoman pada buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007. Adapun sistematikanya
adalah sebagai berikut:
Bab pertama, Merupakan bagian pendahuluan yang memuat latar
belakang masalah, rumusan dan pembatasan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, study Review, kerangka teori, metode penelitian dan sistematika
penulisan.
Bab kedua, Menjelaskan Pengertian dan Dasar Hukum Waris Islam,
Kewarisan dalam Islam dan beberapa teori tentang pemberlakuan hukum adat
betawi.
Bab ketiga, Menjelaskan hukum harta kekayaan, Sendi-Sendi Dasar
Hukum Waris Adat, Sendi-Sendi Dasar Hukum Islam dan Hukum Waris Perdata
Bab keempat, Membahas tentang monografi Kelurahan Kapuk,
Kesadaran Hukum Waris Masyarakat Kapuk, Kesadaran Hukum Waris
Responden.
Bab kelima, Berisi kesimpulan dan saran.
BAB II
LANDASAN TEORITIS
A. Konsep Kesadaran Hukum
1. Pengertian
Di dalam ilmu hukum dikenal adanya beberapa pendapat tentang
kesadaran hukum. Perihal kata atau pengertian kesadaran hukum, ada juga yang
merumuskan bahwa sumber satu-satunya dari hukum dan kekuatan mengikatnya
adalah kesadaran hukum dan keyakinan hukum individu di dalam masyarakat
yang merupakan kesadaran hukum individu, merupakan pangkal dari pada
kesadaran hukum masyarakat16
. Selanjutnya pendapat tersebut menyatakan bahwa
kesadaran hukum masyarakat adalah jumlah terbanyak dari pada kesadaran-
kesadaran hukum individu sesuatu peristiwa yang tertentu.
Kesadaran hukum mempunyai beberapa konsepsi, salah satunya konsepsi
mengenai kebudayaan hukum. Konsepsi ini mengandung ajaran ajaran kesadaran
hukum lebih banyak mempermasalahkan kesadaran hukum yang dianggap
16
Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1994), h 147
sebagai mediator antara hukum dengan perilaku manusia, baik secara individual
maupun kolektif.17
Konsepsi ini berkaitan dengan aspek-aspek kognitif dan perasaan yang
sering kali dianggap sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi hubungan antara
hukum dengan pola-pola perilaku manusia dalam masyarakat. Setiap masyarakat
senantiasa mempunyai kebutuhan-kebutuhan utama atau dasar, dan para warga
masyarakat menetapkan pengalaman-pengalaman tentang faktor-faktor yang
mendukung dan yang mungkin menghalang-halangi usahanya untuk memenuhi
kebutuhan utama atau dasar tersebut.
Apabila faktor-faktor tersebut dikonsolidasikan, maka terciptalah sistem
nilai-nilai yang mencakup konsepsi-konsepsi atau patokan-patokan abstrak
tentang apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk. Sistem nilai-nilai
yang mencakup konsepsi-konsepsi antara lain sebagai berikut :
a. Merupakan abstraksi dari pada pengalaman-pengalaman pribadi, sebagai
akibat dari pada proses interaksi sosial yang terus menerus.
b. Senantiasa harus diisi dan bersifat dinamis, oleh karena didasarkan pada
interaksi sosial yang dinamis pula.
c. Merupakan suatu kriteria untuk memilih tujuan-tujuan di dalam kehidupan
sosial.18
17
Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat,( Jakarta
:Rajawali, 1987), h. 217.
d. Merupakan sesuatu yang menjadi penggerak manusia ke arah pemenuhan
hasrat hidupnya, sehingga nilai-nilai merupakan faktor yang sangat
penting di dalam pengarahan kehidupan sosial maupun kehidupan pribadi
manusia.19
Hal-hal di atas dapat dipakai sebagai petunjuk untuk mengetahui nilai-
nilai warga masyarakat maupun golongan-golongan dan individu-individu
tertentu walaupun sistem nilai-nilai timbul dari proses interaksi sosial, namun
pada akhirnya apabila sistem tersebut telah melembaga dan menjiwai, maka
sistem nilai-nilai tersebut dianggap sebagai seolah-olah berada di luar dan di atas
para warga masyarakat yang bersangkutan.
Sistem nilai-nilai menghasilkan patokan-patokan untuk proses yang
bersifat psikologis, antara lain pola-pola berfikir yang menentukan sikap mental
manusia. Sikap mental tersebut pada hakikatnya merupakan kecenderungan-
kecenderungan untuk bertingkah laku, membentuk pola perilaku maupun kaidah-
kaidah.
Dari proses tersebut nyatalah bahwa manusia sebagai warga masyarakat
senantiasa berusaha untuk mengarahkan dirinya ke suatu keadaan yang dianggap
wajar yang terwujud di dalam pola-pola perilaku dan kaidah-kaidah tertentu.
Dengan demikian manusia hidup di dalam suatu struktur pola perilaku dan
struktur kaidah untuk hidup, struktur mana sekaligus merupakan suatu pola hidup,
18 Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi hukum, h. 146.
19 Soerjono soekanto, Ibid, h. 146.
walaupun kadang-kadang manusia tidak menyadari keadaan tersebut. Pola-pola
hidup tersebut merupakan suatu susunan dari pada kaidah-kaidah yang erat
hubungannya dengan adanya dua aspek kehidupan, yaitu kehidupan pribadi dan
kehidupan antara pribadi.20
Apabila pola-pola tersebut sudah mulai tidak dapat menjamin
kepentingan-kepentingan manusia, maka niscaya dia akan berusaha untuk
mengubahnya atau di dalam bentuknya yang paling ekstrim dia akan menyimpang
dari pola-pola tersebut. Dengan demikian maka sebetulnya pola-pola yang
mengatur pergaulan hidup manusia terbentuk melalui suatu proses pengkaidahan
yang tujuannya sangat tergantung pada obyek pengaturannya yaitu aspek hidup
pribadi.
Apabila arah proses pengkaidahan tersebut tertuju pada hubungan antar
pribadi atau dasar ketertiban dan ketentraman yang dihadapkan, maka proses
tersebut menuju pada pembentukan kaidah-kaidah hukum. Proses pengkaidahan
tersebut mungkin terjadi oleh para warga masyarakat atau oleh bagian kecil dari
masyarakat yang mempunyai kekuasaan dan wewenang. Maka adanya hukum
yang berproses di dalam masyarakat bukanlah semata-mata tergantung dari
adanya suatu ketetapan, walaupun ada hukum yang memang berdasarkan oleh
penguasa.21
20 ZainudinAli, Sosiologi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 74.
21 Djojodigoena, Asas-Asas Sosiologi, (Jakarta: Untag University Press, 1971), h. 241.
Di lain pihak, apabila hukum tersebut memang sudah ada, maka ketetapan
dari mereka yang mempunyai kekuasaan dan wewenang mungkin hanyalah
merupakan suatu ketegasan terhadap berlakunya hukum tersebut. Di dalam hal
pemegang kekuasaan dan wewenang mempelopori proses pengkaidahan tersebut,
maka terjadilah proses social engineering.
Sedangkan apabila yang dilakukan adalah menegaskan hukum yang telah
ada, maka yang dilakukan adalah pengendalian sosial atau social control. Dari
paparan di atas bahwa hukum merupakan kontribusi daripada sistem nilai-nilai
yang berlaku di dalam masyarakat. Dengan demikian nyatalah bahwa masalah
kesadarah hukum sebenarnya masalah nilai-nilai.
Maka kesadaran hukum adalah konsepsi-konsepsi abstrak di dalam diri
manusia, tentang keserasian antara ketertiban dengan ketentraman yang
dikehendaki atau yang sepantasnya.
Kesadaran hukum berkaitan dengan nilai-nilai yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat. Dengan demikian masyarakat mentaati hukum
bukan karena paksaan, melainkan karena hukum itu sesuai dengan nilai-nilai yang
ada dalam masyarakat itu sendiri. Dalam hal ini telah terjadi internalisasi hukum
dalam masyarakat. Validitas hukum diletakkan pada nilai-nilai yang berlaku
dalam masyarakat.22
B. Indikator-indikator dari Masalah Kesadaran Hukum
22 Otje Salman, Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris, h. 40.
Indikator-indikator dari kesadaran hukum merupakan petunjuk-petunjuk
yang konkrit tentang adanya taraf kesadaran hukum tertentu. Dengan adanya
indikator-indikator tersebut, seseorang yang menaruh perhatian pada kesadaran
hukum akan dapat mengetahui apa yang sesungguhnya merupakan kesadaran
hukum.23
a. Pengetahuan Hukum
Artinya seseorang mengetahui bahwa perilaku-perilaku hokum tertentu
diatur oleh hukum. Maksudnya bahwa hukum di sini adalah hukum tertulis atau
hukum yang tidak tertulis. Pengetahuan tersebut menyangkut perilaku yang
dilarang oleh hukum atau perilaku yang diperbolehkan oleh hukum.
Menurut Otje Salman pengetahuan hukum adalah pengetahuan seseorang
mengenai beberapa perilaku tertentu yang diatur oleh hukum. Sudah tentu hokum
yang dimaksud di sini adalah hokum tertulis dan hokum tidak tertulis.
Pengetahuan tersebut berkaitan dengan perilaku yang dilarang ataupun perilaku
yang diperbolehkan oleh hukum. Sebagaimana dapat dilihat di dalam masyarakat
bahwa pada umumnya seseorang mengetahui bahwa membunuh, mencuri, dan
seterusnya dilarang oleh hukum.24
b. Pemahaman Hukum
23 Zainudin Ali, Sosiologi Hukum, h. 100.
24 Otje Salman, Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris, h. 40.
Artinya seseorang warga masyarakat mempunyai pengetahuan dan
pemahaman mengenai aturan-aturan tertentu, terutama dalam segi isinya.
Pengetahuan hukum dan pemahaman hukum, secara teoritis bukan merupakan
dua indikator saling bergantung. Artinya seseorang dapat berperilaku tersebut,
akan tetapi mungkin dia tidak menyadari apakah perilaku tersebut sesuai atau
tidak sesuai dengan norma hukum tertentu. Di lain pihak mungkin ada orang yang
sadar bahwasuatu kaidah hukum mengatur perilaku tertentu, akan tetapi dia tidak
mengetahui mengenai isi hukum tersebut atau hanya mempunyai pengetahuan
sedikit tentang isinya.
c. Sikap Hukum
Artinya, seseorang mempunyai kecenderungan untuk mengadakan
penilaian tertentu terhadap hukum. Salah satu tugas hukum yang penting adalah
mengatur, kepentingan-kepentingan warga masyarakat tersebut, lazimnya
bersumber pada nilai-nilai yang berlaku yaitu anggapan tentang apa yang baik dan
apa yang harus dihindari. Ketaatan masyarakat terhadap hukum dengan demikian
sedikit banyak tergantung pada apakah kepentingan-kepentingan warga
masyarakat dalam bidang-bidang tertentu dapat ditampung oleh ketentuan-
ketentuan hukum tersebut.25
Di samping itu, ketaatan sangat banyak tergantung pada daya upaya
persuasif untuk melembagakan ketentuan-ketentuan hukum tertentu dalam
25 Zainudin Ali, Sosiologi Hukum, h. 100.
masyarakat. Usaha-usaha untuk memperbesar derajat ketaatan biasanya dilakukan
dengan jalan membiarkan para warga masyarakat untuk mengerti ketentuan-
ketentuan hukum yang dihadapinya.
Hal ini akan memberikan kesempatan untuk dapat menerapkan pendirian
bahwa teladan-teladan yang paling buruk adalah perbuatan melanggar ketentuan
atau penilaian terhadap hukum, manusia telah menempuh berbagai macam jalan,
yaitu :
1) Penemuan secara kebetulan, yaitu penemuan-penemuan yang dijumpai
tanpa suatu rencana. Artinya, penemuan tadi adalah secara kebetulan
sekali
2) Metode percobaan dan kesalahan. Metode ini lebih banyak didasarkan pada
sikap untung-untungan.
3) Melalui kewibawaan, yaitu berdasarkan penghormatan pada suatu pendapat
atau penemuan yang dihasilkan oleh seseorang atau badan tertentu yang
dianggap mempunyai kewibawaan .
4) Usaha-usaha yang bersifat spekulatif yang mirip dengan metode percobaan
dan kesalahan, akan tetapi lebih teratur sifatnya. Artinya, dari sekian
banyak kemungkinan, dipilihkan satu kemungkinan walaupun pilihan
tersebut tidak berdasarkan pada keyakinan apakah pilihan tersebut
merupakan cara yang setepat tepatnya.
5) Dengan menggunakan pikiran kritis, atau berdasarkan pengalaman.26
6) Melalui penelitian secara ilmiah. Penelitian secara ilmiah dilakukan
manusia untuk menyalurkan hasrat ingin tahu yang telah mencapai taraf
keilmuan, yang disertai dengan suatu keyakinan bahwa setiap gejala dapat
ditelaah dan dicari sebab-sebabnya.27
d. Perilaku Hukum
Artinya dimana seseorang berperilaku sesuai dengan hukum.28
Indikator
perilaku hukum merupakan petunjuk akan adanya tingkat kesadaran yang tinggi.
Buktinya adalah bahwa yang bersangkutan patuh atau taat pada hukum. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa tinggi rendahnya tingkat kesadaran hukum akan
dapat dilihat dari derajat kepatuhan hukum yang terwujud dalam pola perilaku
manusia yang nyata. Kalau hukum ditaati, maka hal itu merupakan suatu petunjuk
penting bahwa hukum tersebut adalah efektif (dalam arti mencapai tujuannya).
Adapun dasar-dasar kepatuhan di dalam perilaku hukum yaitu :
1) Indoctrination; Sebab pertama mengapa warga masyarakat mematuhi
kaidah-kaidah adalah karena dia diberi indoktrinasi untuk berbuat
demikian. Sejak kecil manusia telah dididik agar mematuhi kaidah-kaidah
yang belaku dalam masyarakat.
26 Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, h. 137-138.
27 Soerjono Soekanto, Ibid, h. 137138.
28 Zainudin Ali, Sosiologi Hukum, h. 100.
2) Habituation; Oleh karena sejak kecil mengalami proses sosialisasi, maka
lama kelamaan menjadi suatu kebiasaan untuk mematuhi kaidahkaidah
yang berlaku. Memang pada mulanya adalah sukar sekali untuk mematuhi
kaidah-kaidah tadi yang seolah-olah mengekang kebebasan. Akan tetapi
apabila hal itu setiap hari ditemui, maka lama kelamaan menjadi suatu
kebiasaan untuk mematuhinya terutama apabila manusia sudah mulai
mengulangi perbuatanperbuatannya dengan bentuk dan cara yang sama.
3) Utility; Pada dasarnya manusia mempunyai suatu kecenderungan untuk
hidup pantas dan teratur. Akan tetapi apa yang pantas danteratur untuk
seeorang belum tentu pantas dan teratur bagi orang lain. Oleh karena itu
diperlukan suatu patokan tentang kepantasan dan keteraturan tersebut.
Patokan-patokan tadi merupakan pedoman-pedoman atau takaran-takaran
tentang tingkah laku dan dinamakan kaidah.
4) Group Identification; Salah satu sebab mengapa seseorang patuh pada
kaidah kaidah adalah karena kepatuhan tersebut merupakan salah satu
sarana untuk mengadakan identifikasi dengan kelompok. Seseorang
mematuhi kaidah-kaidah yang berlaku dalam kelompoknya bukan karena
dia menganggap kelompoknya lebih dominan dari kelompok-kelompok
lainnya, akan tetapi justru karena ingin mengadakan identifikasi dengan
kelompoknya tadi. Bahkan kadang-kadang seseorang mematuhi kaidah-
kaidah kelompok lain karena ingin mengadakan identifikasi dengan
kelompok lain tersebut.29
Dari keempat indikator di atas menunjukkan pada tingkatan-tingkatan
kesadaran hukum tertentu di dalam perwujudannya. Apabila seseorang hanya
mengetahui hukum, maka dapat dikatakan bahwa tingkat kesadaran hukum masih
rendah, kalau dia telah berperilaku sesuai dengan hukum, maka kesadaran
hukumnya tinggi.
Dalam literatur lain dikatakan bahwa masalah kesadaran hukum
sebetulnya merupakan masalah nilai-nilai, maka kesadaran hukum adalah
konsepsi-konsepsi abstrak di dalam diri manusia, tentang keserasian antara
ketertiban dengan ketentraman yang dikehendaki atau sepantasnya. Indikator-
indikator dari masalah kesadaran hukum tersebut adalah:
a. Pengetahuan tentang peraturan-peraturan hukum
b. Pengetahuan tentang isi peraturan-peraturan hukum
c. Sikap terhadap peraturan-peraturan hukum
d. Pola prikelakuan hukum.30
Setiap indikator tersebut di atas menunjukkan pada tingkat kesadaran
hukum tertentu mulai dari yang terendah sampai dengan yang tertinggi. Pada
masyarakat-masyarakat dengan struktur sosial dan kebudayaan sederhana, maka
29 Zainudin Ali, Ibid, h. 351-352.
30 Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, h. 159.
hukum timbul dan tumbuh sejalan dengan pengalaman warga-warga masyarakat
di dalam proses interaksi sosial. Pada masyarakat dengan struktur sosial dan
kebudayaan pra modern/modern agak sulit untuk mengidentifisir kesadaran
hukum, yang timbul dan tumbuh dari warga-warga masyarakat yang kepentingan-
kepentingannya sangat berbeda yang satu dengan yang lainnya.
Pengetahuan hukum adalah pengetahuan seseorang mengenai beberapa
prilaku tertentu yang diatur oleh hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis.
Pengetahuan hukum berkaitan dengan perilaku yang dilarang ataupun prilaku
yang diperbolehkan oleh hukum.
Pemahaman hukum adalah sejumlah informasi yang dimilki seseorang
mengenai isi peraturan dari suatu hukum tertentu, baik hukum tertulis maupun
hokum tidak tertulis. Dalam hal pemahaman hukum seseorang tidak disyaratkan
seseorang untuk mengetahui terlebih dahulu akan tetapi yang dilihat di sini adalah
bagaimana persepsi mereka dalam menghadapi berbagai hal, dalam kaitannya
dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat. Pemahaman hukum ini dapat
diperoleh bila peraturan tersebut dapat atau mudah dimengerti oleh warga
masyarakat.
Adapun yang dimaksud dengan sikap hukum adalah suatu kecenderungan
untuk menerima hukum karena adanya penghargaan terhadap hukum sebagai
sesuatu yang bermanfaat atau menguntungkan jika hukum itu ditaati.
Dengan demikian pola perilaku hukum adalah merupakan hal yang utama
dalam kesadaran hukum karena di sini dapat dilihat apakah suatu peraturan
hukum berlaku atau tidak dalam masyarakat. Dapat dikatakan bahwa seberapa
jauh kesadaran masyarakat terhadap suatu hukum dapat dilihat dari pola perilaku
hukum suatu masyarakat.31
C. Definisi Operasional
1. Kesadaran-Hukum Waris
Makna Konseptual: Suatu pengetahuan tentang hukum waris secara
mendalam baik dalil, bagian masing-masing ahli waris, cara pembagian, yang
menimbulkan pengakuan dan penghargaan atas ketentuan-ketentuan hukum
waris dimaksud, yang akhirnya akan membawa pada sikap penghayatan
terhadap hukum waris tersebut dan dengan sendirinya mewujudkan kepatuhan
hukum waris.
Definisi Operasional: suatu keadaan yang terbentuk pada diri individu
melalui integrasi unsur-unsur tingkat pengetahuan tentang hukum waris Islam,
tingkat pemahaman tentang hukum waris Islam, pola sikap terhadap hukum
waris Islam dan pola perilaku terhadap hukum waris Islam.
2. Pengetahuan Tentang Hukum Waris Islam
Makna Konseptual : hal-hal yang diketahui seputar hukum waris
Islam. Definisi Operasional: pengetahuan terhadap perilaku yang diatur dalam
doktrin hukum waris Islam.
3. Pemahaman Terhadap Hukum Waris Islam
31 Otje Salman, Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris, h. 40-42.
Makna Konseptual : hal-hal yang dipahami seputar hukum waris
Islam. Definisi Operasional : pemahaman terhadap isi kandungan yang
terdapat dalam teori-teori hukum waris Islam.32
4. Sikap Terhadap Hukum Waris Islam
Makna Konseptual : reaksi diwujudkan terhadap hukum waris Islam.
Makna Operasional : kesediaan untuk bereaksi secara positif atau secara
negative terhadap ketentuan-ketentuan isi hukum waris Islam.
5. Perilaku Hukum Waris Islam
Makna Konseptual : suatu hal yang dilakukan yang berhubungan
dengan hukum waris Islam. Makna Operasional : suatu laku perbuatan yang
ditentukan secara imperative oleh ketentuan hukum waris Islam.
6. Masyarakat
Makna Konseptual : sekelompok individu yang hidup dan berdomisili
di suatu wilayah. Makna Operasional : sekelompok individu yang terdaftar
pada wilayah tertentu.33
32 Asmawi dkk, Religiusitas dan Kesadaran Hukum Islam Pada Mahasiswa UIN Syarif
Hidayatullah, (Jakarta: t.tp., 2005), h. 18-19.
33Asmawi dkk, Ibid, h. 18-19.
BAB III
SENDI-SENDI HUKUM WARIS ISLAM, HUKUM WARIS PERDATA DAN
HUKUM WARIS ADAT
A. Hukum Harta Kekayaan
Harta dari segi etimologi ialah setiap barang yang benar-benar dimiliki
dan dikawal (hiyazah) oleh seseorang. Sama ada barang itu ‘ain atupun manfaat.
Contoh harta ‘ain adalah seperti emas, perak, binatang dan tumbuh-tumbuhan.
Contoh harta manfaat adalah seperti menunggang, memakai, dan mendiami
rumah. Barang yang tidak dikawal oleh seseorang, tidak dinamakan harta dari
segi bahasa. Umpamanya burung di udara, ikan di laut, pokok hutan dan galian di
perut bumi.34
Menurut Islam harta kekayaan dalam perkawinan adalah harta benda milik
suami dan harta benda milik isteri adalah terpisah dengan kata lain bahwa harta
yang mereka miliki masing-masing, yang dibawa pada saat mereka melakukan
pernikahan adalah menjadi hak milik masing-masing.
34 Wahbah Zuhaili, Fiqh dan Perundangan Islam: Penerjemah Akhir Haji Yacoob dkk,jil.IV,
(Kuala lumpur, Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia, 1991), h. 41.
Menurut hukum perdata mengenai harta benda dalam perkawinan, bahwa
pada hakekatnya terdapat campur harta benda dari suami isteri secara bulat
artinya bahwa seluruh harta benda masing-masing pada saat melakukan.
pernikahan maupun harta benda yang mereka dapat selama pernikahan adalah
tidak terpisah yang merupakan harta benda milik bersama
Menurut hukum adat yang dimaksud dengan harta benda dalam
perkawinan yaitu harta benda yang bisa dikatakan ada kemungkinan sebagian dari
harta benda suami isteri itu terpisah dan juga ada kemungkinan pula sebagian dari
harta benda itu tercampur menjadi harta benda bersama.2
Bahasan tentang harta perkawinan diharapkan dapat memberikan
gambaran tentang objek kewarisan. Adapun macam-macam harta dalam
perkawinan adalah sebagai berikut:
a. Harta masing-masing suami isteri yang telah dimilkinya sebelum mereka
kawin baik berasal dari warisan, hibah atau usaha mereka sendiri-sendiri.
b. Harta suami isteri yang dimilkinya sesudah mereka berada dalam
hubungan perkawinan, tetapi diperolehnya bukan dari usaha mereka
melainkan merupakan hibah , wasiat atau warisan untuk masing-masing.
c. Harta yang diperoleh sesudah mereka dalam perkawinan atas usaha
mereka berdua atau usaha salah seoranag mereka.3
Adapun harta kekayaan jika dilihat dari segi asalnya dibedakan menjadi
dua macam, sebagai berikut :
2 Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Azas-Azas Hukum Perkawinan di Indonesia, cet.I
(Jakarta: PT Bina Aksara, 1987), h. 166-169.
3 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Cet V, (Jakarta: UI-Press, 1986), h. 83.
1. Harta asal, yaitu semua harta kekayaan yang dikuasai dan dimiliki oleh
pewaris sejak mula pertama, baik harta bawaan dan lainnya yang dibawa
masuk ke dalam perkawinan dan kemungkinan bertambah sampai akhir
hayatnya.
2. Harta gono-gini, yaitu semua harta yang diperoleh selama berlangsungnya
perkawinan baik yang diperoleh suami isteri atau suami sendiri.37
Masing-masing jenis harta di atas proses peralihan dan pengoperannya
dikuasai oleh peraturan-peraturan sendiri. Setiap jenis harta di atas dibagi-bagikan
kepada ahli waris menurut sifat, macam dan hukum yang mengikatnya.
B. Sendi-Sendi Dasar Hukum Waris Islam
Masalah waris bagi umat Islam bukan hanya proses penerusan dan
pengoperan harta peninggalan dari satu generasi kepada generasi yang lain,
melainkan merupakan salah satu ibadah yang pihak-pihak penerima warisnya
telah ditentukan.
Adapun sumber-sumber hukum yang merupakan sendi-sendi dalam
pembagian waris Islam adalah sebagai berikut:
1. Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan sumber hukum yang tertinggi dalam pengambilan
suatu hukum. Adapun ayat-ayat Al-Qur’an yang menjelaskan ketentuan-ketentuan
pembagian warisan secara jelas antara lain :
37 Imam Muchlas, Waris Mewarisi Dalam Islam, Cet I, ( Pasuruan: PT. Garuda Buana indah,
1996), h. 86-87.
a. Surat An-Nisa,/4: 7 yaitu:
����������� ���� !" �#☺�%& ⌧(!�)* +,!���- �.�� !,�/0!�.�12� 3 �4��5��%6��� 3
���� !" �#☺�%& ⌧(!�)* +,!���- �.�� 78�/0!�.�12� 3 �#☺�& 9:)�
/��;�& �33< =>6⌧? @ �6A�� !" �;B3�.D9& ) 7 /4 / ا����ء(
Artinya:“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan
ibu bapak dan kerabatnya. Dan bagi wanita pula ada bagian hak (pula) harta
peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut
bagian yang telah ditetapkan”. (An-Nisa, /4: 7)
b. Surat An-Nisa,/4: 11 yaitu:
E�4F��G�H I�� JK�L MNOP�Q�)��33< R ��⌧?S��� :�T�&
�UV�� +L�W X)T"Y2� @ ,�Z)[ #�4? ☯4��5��] )^M�)[ +L�W!_!`.�� #�bc�)[ �)T>�>� �!& ⌧(!�)* R ,�d 3 ef!"�⌧? ;g�Q��- 3 ��bc�)[
� �%;�� @ ���H �!0h2 3 +U:4F�� AQ�c- 3 ��☺ij�k�%&
l9Qm��� �#☺�& ⌧(!�)* ,�d !,�⌧? n/�)� o�)� 3 @ ,�Z)[ ��S� �4F!H n<S� o�)� 3 Dn/�3�q 3 3
/c �!03< ���%&r5)[ k>�sY�� @ ,�Z)[ !,�⌧? Dn<)� tg ��u�d
���%&r5)[ l9Qm��� @ ?��& �Q�>!0 Av�X�G 3 o���H ��vjw �33< �L.x��
F MN4?4!��!0 4 MN4?4!��g6M03< 3 yz !,3lqeQ)*
MNb{H3< |}!�.�3< M04F)� �6>.D!" @ ;vy�H��)[ 7~�%& ��� F 9,�d S��
!,�⌧? ��☺���! �T☺��F�� )11 / 4 / ا����ء (
Artinya: “Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka
untuk) anak-anakmu. Yaitu: bagian seorang anak laki-laki sama dengan
bagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya
perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh
separoh harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu
mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan
ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga;
jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya
mendapat seperenam. (pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah
dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar
utangnya.(tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak
mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya
bagi kamu. Ini adalah ketetapan Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (An-Nisa,/4 : 11).
c. Surat An-Nisa,/4: 12 yaitu:
MNO�)� 3 � �" �!& ⌧(!�)* MNO��- 3.�3< ,�d ��S� �4F!H #�bS�
o�)� 3 @ ,�Z)[ !,�yP �~b)� o�)� 3 NO�c�)[ �/0���� �#☺�& u��P!�)* @ ?��& �Q�>!0 Av�X�G 3 7�W�G�H
���b�0 �33< <�.x�� @ �~b)� 3 �/0���� �#☺�& ��/1.?!�)* ,�d
MNS� �O�!H MN4FS� oQ)� 3 @ ,�Z)[ !,�yP MNO�)� o�)� 3 #�bc�)[ �☺sT�� �#☺�& h4��P!�)* @ ?��%& �Q�>!0
Av�X�G 3 78�G�>* ���b�0 �33< <L.x�� F ,�d 3 78�⌧? t:� q ` q�H
��)�c�yP 33< tg3<!�.&� Dn<)� 3 ��3< �33< tf�u�< +U:4F��)[ AQ�c- 3
��☺b�6�%& l9Qm��� @ ,�Z)[ RJ�/"�yP =)6�P3< ��& �A��-)�
efb)[ l4��yP =O� K�L �k>�sY�� @ ?��& �Q�>!0 Av�X�G 3 @o5��H
��vjw �33< �L.x�� =M�⌧� ��q��y�& @ ;v�X�G 3 u��%& ��� F I�� 3
����!� ����� )12 /4 /ا����ء ( ��
Artinya: “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang
ditinggalkan oleh isteri-isteri-mu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika
isteri-isteri-mu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat
dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat
atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh
seperempat harta yang ditinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak.
Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan
dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat
atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik
laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak
meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu
saja), atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka masing-
masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika
saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu
dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuatnya atau
sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli
waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari’at yang
benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Penyantun.” (An-Nisa,/4: 12).
d. Surat An-Nisa,/4: 176 yaitu:
�A!"�/1.D!_��g� +:>� I�� MNO�X�1.DH K�L ��)�c�)F.�� @ +,�d R�!l�M�� �Ac��� ��.�)� n/�)�
o�)� 3 Dn<)� 3 tf�u�< ��bc�)[ � �" �!& ⌧(!�)* @ �>� 3
���b>���!H ,�d MNS� �4F!H �g��� o�)� 3 @ ,�Z)[ �!1!"�⌧?
+L�W!1 ;.�� ��☺bc�)[ +,�)T>�sT�� ��DB ⌧(!�)* @ ,�d 3
RJ�/"�⌧? ;g ��u�d ;z����q ☯4��5��] 3 ��⌧?S���)[ :�Y�&
�UV�� +L�W X)☯"Y2� F L�%W!�H I�� MNO�)� ,3< R�����)* F I�� 3
+U:4F�0 }4�o⌧� A���� )176/ 4 /ا����ء (�!
Artinya: “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah).
Katakanlah: “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu):
jika seseorang meninggal dunia, dan ia mempunyai anak dan ia
mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan
itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-
laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak
mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka
bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang
meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara
laki-laki dan perempuan, maka bagian saudara laki-laki sebanyak bagian
dua orang saudara perempuan, Allah menerangkan (hukum ini)
kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu.” (An-Nisa,/4: 176).
2. Al-Sunnah
Selain Al-Qur’an sumber hukum Islam yang dijadikan sebagai dasar
pengambilan suatu hukum yaitu Al-Sunnah. Adapun hadits-hadits yang
menerangkan tentang waris Islam adalah sebagai berikut:
a. Hadits tentang diberikannya warisan kepada yang berhak
��س ر�� ا� ��� ��ل���# ص: �� ا � ��ا�)'& . : م. ��ل ا��روا; ا��:�رى (ا�8(ا67 �ه�14 �32 '� 12& 0 و�. ر-, ذآ(
38)وم�4>
Artinya: Dari Ibnu Abbas r.a. berkata: Nabi saw bersabda:
“Berikanlah harta warisan kepada orang-orang yang berhak. Sesudah
itu, sisanya, untuk orang laki-laki yang lebih utama. (H.R. Bukhari dan
Muslim).
b. Hadits tentang orang yang meninggal dunia maka harta yang
ditinggalkannya untuk ahli warisnya.
آ�ن ?BC. � ا�(�-, . م. ا� ��� ان� رس& ل ا� ص�� ا � ه(?(ة ر��اM4� NM3�� ا�?H� M2��ل ه, B(ك H�?�� م� KL�ء ؟ 2�ن حHث ان� B(ك
342 <O��. M4�� وا0 �� ل 4P&ا �P .4�ح4P ح و�2ء&S8ا� �M4� ا� TS2 ��4� �L� ؤ; : ��لV2 �?د �M4�2. و&B �32 <1�2 ان �م �M�مC3�ان� او�. �ا
�SYك م� 0 12& �&ر)B �وم
39)روا; م�4> (
Artinya: Dari Abu Hurairah r.a., bahwasanya Rsulullah SAW pernah
dihadapkan dengan jenazah seorang lelaki yang mempunyai hutang. Lalu
beliau bertanya: Apakah ia meninggalkan sesuatu untuk membayar
hutangnya? Kalau beliau diberi kabar bahwa orang yang wafat itu
meninggalkan sesuatu untuk membayar hutangnya, maka beliau mau
menshalatkannya. Akan tetapi jika mayat tersebut tidak meninggalkan
38Muhammad Nashrudin al-Bani, Mukhtashar Shahih Muslim. Penerjemah Imam Rosadi, ,
cet. I (Jakarta: Islam Rahmatan,2003), h. 697.
39 Imam Abi al-Husain bin al-hajjaj, Shahih Muslim, juz. II(Beirut: Daar al-Fikr,t.th), h. 58.
sesuatu untuk membayar hutangnya, maka beliau akan berkata:
Shalatkanlah mayat temanmu itu. Ketika Allah memberikan berbagai
kemenangan kepada kaum muslimin dalam menaklukan banyak negeri,
beliau bersabda: Aku lebih berhak terhadap orang-orang yang beriman
dari pada diri mereka sendiri, oleh karena itu, barang siapa diantara
kamu ada yang meninggal dunia sedangkan ia mempunyai hutang, maka
akulah yang akan membayarnya, dan barang siapa meninggalkan harta
maka hartanya itu untuk ahli warisnya. (HR. Muslim).
c. Hadist tentang anak yang baru lahir mendapat warisan
�حHY�ه �Z� � م���ح.�ر3HY���ح.ر [H� M � ا�(HY�ا�\#& � ا M� )�- �) ,�� ل�S1اسذم ا.ل ا� ص&س�ل ر�,� � ا�P �4�� 4Mم� (ثرو� و �روا; ا
�-(40
Artinya: Telah berkata kepada kami Hisyam bin ‘Amar. Telah berkata
kepada kami Rabi’ bin Badr. Telah berkata kepada kami Abu Zubair Dari
Jabir r.a. berkata: bersabda Rasulullah SAW: Jika menangis seorang
anak yang baru dilahirkan maka ia mendapat warisan. (HR. Abu Daud).
3. Ijma’ dan Ijtihad
Ijma’ dan Ijtihad para sahabat, imam-imam madzhab dan mujtahid-
mujtahid kenamaan mempunyai peranan yang tidak kecil sumbangannya terhadap
pemecahan-pemecahan masalah mawaris yang belum djelaskan dalam nash-nash
yang sarih. Seperti pembagian muqasamah (bagi sama) dalam masalah al-Jaddu
wal-Ikhwah (kakek bersama-sama saudara-saudara), pembagian bagi cucu yang
ayahnya lebih dahulu meninggal dunia dalam masalah wasiat wajibah,
pengurangan dan penambahan bagian ahli waris dalam masalah ‘Aul dan Raad,
40 Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, (Beirut: Daarul Fikr, 1995), h. 117.
pembagian tsulutsul baqi (sepertiga sisa) bagi ibu jika hanya bersama bapak dan
suami atau isteri dalam masalah Gharrawain.41
Hukum Kewarisan Islam mengandung beberapa asas yang mengandung
beberapa hal berlaku pula dalam hukum kewarisan yang bersumber dari akal
manusia. Berbagai asas hukum ini memperlihatkan bentuk karakteristik dari
Hukum Kewarisan Islam itu sendiri.
Adapun lima asas yang berkaitan dengan sifat peralihan harta kepada ahli
waris, cara pemilikan harta oleh yang menerima, kadar jumlah harta yang
diterima dan waktu terjadinya peralihan harta itu. Asas tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Asas Ijbariy
Kata ijbariy dalam terminologi Ilmu Kalam mengandung arti paksaan,
dengan arti semua perbuatan yang dilakukan seorang hamba, bukanlah atas
kehendak dari hamba tersebut tetapi adalah sebab kehendak dan kekuasaan
Allah.42
Adapun maksud Asas ijbariy dalam waris Islam adalah peralihan harta
dari yang meninggal kepada orang yang masih hidup tanpa adanya usaha atau
kehendak dari orang yang akan meninggal maupun dari orang yang akan
menerima.
41 Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam, h. 21.
42 Harun Nasution, Theologi Islam, Cet II, (Jakarta: UI Press, 2002), h. 36.
Adanya unsur ijbariy dalam hukum kewarisan Islam dapat dilihat dari
beberapa segi yaitu:
a). Unsur Ijbariy Dari Segi Peralihan Harta yaitu Unsur ijbariy dari segi ini
mengandung arti bahwa harta orang yang meninggal itu dengan sendirinya
beralih kepada keturunannya, bukan dialihkan oleh manusia melainkan
dialihkan oleh Allah. Dalam peralihan ini dapat dilihat pada firman Allah
dalam surat al-Nisa’ : 7. Ayat ini menjelaskan bahwa bagi seseorang laki-
laki maupun perempuan ada ‘nasib’ dari harta peninggalan orang tua dan
kerabat. Dari kata ‘nasib’ itu dapat dipahami bahwa dalam jumlah harta
yang ditinggalkan si pewaris, disadari atau tidak, telah terdapat hak ahli
waris. Dalam hal ini pewaris tidak perlu menjanjikan sesuatu sebelum ia
meninggal; begitu pula ahli waris tidak perlu meminta haknya.
b). Unsur Ijbariy Dari Segi Jumlah yaitu Adanya unsur ijbariy dari segi ini
dapat dilihat dari kata “mafrudan” yang secara etimologis berarti ‘telah
ditentukan atau telah diperhitungkan’. Kata-kata tersebut dalam
terminologi Ilmu Fiqh berarti sesuatu yang telah diwajibkan Allah kepada
hambanya. Dengan menggabungkan kedua kemungkinan pengertian itu,
maka maksudnya ialah: “sudah ditentukan jumlahnya dan harus dilakukan
sedemikian rupa secara mengikat dan memaksa.
c). Unsur Ijbariy Dari Segi Penerimaan Peralihan Harta Yaitu Adanya unsure
ijbariy ini dapat dipahami dari kelompok ahli waris sebagaimana
disebutkan Allah dalam ayat-ayat 11, 12 dan 176 surat al-Nisa’.43
2. Asas Bilateral
Asas bilateral yaitu bahwa seseorang menerima hak kewarisan dari pihak
kerabat laki-laki dan kerabat perempuan. Asas ini dapat dilihat, antara lain dalam
surat An-Nisa, ayat 7, 12, dan 176.
3. Asas Individual
Berarti bahwa harta peninggalan diberikan terhadap ahli waris untuk
dimiliki secara perorangan.
4. Asas Keadilan Berimbang
Bahwa harus ada keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara hak
yang diperoleh seseorang dengan kewajiban yang harus dilakukannya.44
5. Asas Akibat Kematian
Bahwa kewarisan hanya terjadi kalau ada yang meninggal dunia. Hal ini
berbeda dengan kewarisan pada hukum adat waris, yang memandang proses
pewarisan dapat pula berlangsung pada saat pewaris masih hidup.45
43 Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam, Cet I, (Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 18-19.
44 Muhammad Daud Ali, Asas-Asas Hukum Islam (Hukum Islam I): Pengantar Ilmu Hukum
dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 1990), h. 126.
Kaitannya dengan hal di atas, dalam waris Islam telah ditentukan tiga
rukun pewarisan. Adapun tiga rukun tersebut adalah:
(1) Mauruts (warisan), yaitu harta benda yang ditinggalkan oleh si mati yang
bakal dipusakai oleh para ahli waris setelah diambil untuk biaya-biaya
perawatan, melunasi hutang-hutang, dan melaksanakan wasiat. Harta
peninggalan itu oleh para fardhiyun disebut juga dengan tirkah atau turats.
(2) Muwarits, yaitu orang yang meninggal dunia, baik mati haqiqi maupun
mati hukmi.
(3) Waris, yaitu orang yang akan mewarisi harta peninggalan si mawarits
lantaran mempunyai sebab-sebab untuk mempusakai, seperti adanya
ikatan perkawinan, hubungan darah (keturunan), dan hubungan hak
perwalian dengan muwarits.46
Dalam Islam mereka yang mempunyai hak dan dapat menerima waris
adalah yang mempunyai sebab-sebab sebagai berikut:
1. Pernikahan; seseorang yang berhak mendapat harta peninggalan oleh
sebab hubungan pernikahan adalah Janda dan Duda.
2. Keturunan; mereka yang berhak menerima harta peninggalan karena
hubungan keturunan adalah ayah, ibu, kakek, nenek, anak perempuan,
anak laki-laki, cucu perempuan, cucu laki-laki, saudara laki-laki kandung,
45 Otje Salman, Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris, Cet I, (Bandung:
Alumni, 1993), h. 66-67.
46 Komite Fakultas Syari’ah Universitas Al-Azhar Mesir, Ahkamul-Mawaarits fil-Fiqhil-
Islami: Hukum Waris,Penerjemah Addys Aldizar dan Faturrahman, h. 28.
saudara perempuan kandung, saudara laki-laki sebapak, saudara
perempuan sebapak, saudara perempuan seibu,saudara laki-laki seibu.
3. Wala; seseorang yang mendapatka waris karena hubungan wala’ adalah
orang yang memerdekakan budaknya hal ini disebabkan adanya
pembebasan budak, atau antara seseorang dengan seorang lainnya
disebabkan adanya akad muwalah atau muhalafah. 47
Adapun Faktor-faktor yang menyebabkan gugurnya seseorang
mendapatkan harta warisan dari harta peninggalan al-muwarris adalah:
1). Pembunuhan
Apabila ada seorang waris yang membunuh Muwaris-nya, maka ia tidak
berhak mewarisi harta Muwaris itu, karena membunuh Muwaris menghalangi
waris menerima warisan. Sesuai dengan sabda Nabi:
م .ل ا� ص��ل رس&:�� 3�( � شMV_ �� ا � �� -H; ��ل aاث ش)Mم ,B �'� bM�)�-م� �48)روا; ا
Artinya : “ Dari Umar bin Su’aib dari ayahnya dari kakeknya berkata
Rasulullah saw bersabda: tidak ada pusaka bagi si pembunuh.” (HR.
Ibnu Majah)
2). Perbedaan Agama
Yang dimaksud dengan perbedaan agama yang menghalangi pusaka ialah
adanya perbedaan agama antara ahli waris dengan Muwaris, sehingga ahli waris
gugur haknya dalam memperoleh harta warisan. Rasulullah bersabda:
47 Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam, h. 29.
48 Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, juz.II, (Beirut: Daarul Fikr, 1995), h. 884.
�� ص�49)روا; احH3(, مMS4� aZ م ��ل S? 0&ارث اه.�� ��Hا � � 3�(و ان� ا��
Artinya: “orang Islam tidak mewarisi orang kafir demikian juga
orang kafir tidak mewarisi orang Islam.” (Riwayat Jamaah).
3). Beralih Agama atau Murtad
Orang murtad ialah orang yang meninggalkan Agama Islam dengan
kemauan sendiri. Para ulama sependapat menetapkan bahwa orang yang murtad,
laki-laki atau perempuan, tidak berhak menerima warisan dari keluarganya yang
beragama Islam. Demikian juga keluarganya yang Islam tidak berhak menerima
warisan dari Muwaris yang murtad.
Dalam hal besar kecilnya perolehan harta peninggalan untuk masing-
masing ahli waris didasarkan pada derajat kekerabatan mereka. Oleh karena itu
kerabat-kerabat yang derajat kekerabatannya lebih kuat mendapatkan bagian yang
lebih banyak. Bahkan tidak semua kerabat akan mendapatkan waris karena hak-
hak yang dimiliki oleh sebagian kerabat baru timbul jika tidak terdapatnya kerabat
tertentu hal tersebut semuanya telah diatur secara jelas pada al-Qur’an dan al-
Hadits.
C. Sendi-Sendi Dasar Hukum Waris Perdata
Hukum Waris menurut Hukum Perdata adalah suatu proses menggantikan
hak dan kewajiban seseorang yang meninggal dunia. Pada umumnya yang
digantikan adalah hanya hak dan kewajiban di bidang hukum kekayaan saja.
49 Imam Ahmad bin Hambal, al-musnad li al- Imam Ahmad bin Hanbal, juz.II, (t.tp.,t.p.,
t.th.,), h. 594.
Fungsi dari yang mewariskan yang bersifat pribadi atau yang bersifat hukum
keluarga (misalnya suatu perwalian) tidaklah beralih.50
Dalam kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) hak dan kewajiban di
bidang hukum kekayaan adalah hak dan kewajiban yang diatur dalam buku ke II
KUHPerdata tentang benda dan buku ke III KUHPerdata tentang perikatan.51
Hukum waris yang diatur dalam KUHPerdata atau yang sering disebut
hukum waris BW tidak berlaku untuk semua golongan penduduk, hukum waris
BW tersebut hanya berlaku untuk:
a. Golongan orang-orang Eropa dan mereka yang dipersamakan dengan
golongan orang-orang tersebut.
b. Golongan orang-orang Timur Asing Tionghoa dan
c. Golongan orang-orang Timur Asing lainnya dan orang-orang Pribumi
yang menundukan diri.52
Dalam KUH.Perdata terdapat dua cara untuk mendapatkan warisan
sebagai berikut:
i. Seseorang menjadi ahli waris menurut ketentuan undang-undang atau ab
intestate;
50 H.F.A. Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, Cet II, (Jakarta: Rajawali, 1989), h. 375.
51 Surini Ahlan Sjarif dan Nurul Elmiyah, Hukum Kewarisan Perdata Barat “Kewarisan
Menurut Undang-Undang”, Cet II, (Jakarta: Kencana Renada Media Group, 2006), h. 7.
52 Anisitus Amanat, Membagi Warisan Berdasarkan Pasal-Pasal Hukum Perdata BW, Cet I,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h. 2.
ii. Seseorang mendapatkan harta peninggalan dari si meninggal karena
ditunjuk dalam surat wasiat atau testamentair.
Adapun yang menjadi syarat umum pewarisan di dalam KUHPerdata
yaitu:
1. Ada orang yang meninggal dunia. Pasal 830 KUHPerdata menyebutkan,
bahwa peawarisan hanya berlangsung karena kematian. Kematian di sini
adalah kematian alamiah. (wajar).
2. Untuk memperoleh harta peninggalan ahli waris harus hidup pada saat
Pewaris meninggal. Menurut pasal 836 KUHPerdata, Seseorang yang
bertindak sebagai ahli waris, si ahli waris harus hadir pada saat harta
peninggalan jatuh meluang (warisan terbuka).53
Dalam KUH.Perdata dijelaskan tentang orang-orang yang berhak
mewarisi harta peninggalan dari si meninggal yang tercantum di dalam pasal 852-
861 KUH.Perdata bagian ke-Dua tentang perwarisan para keluarga sedarah yang
sah, dan suami atau isteri yang hidup terlama. Menurut Subekti untuk menentukan
siapa yang berhak mewarisi harta peninggalan, anggota keluarga si meninggal
dibagi dalam beberapa golongan sebagai berikut:
1. Ahli waris dalam golongan pertama, dimasukkan suami, isteri dan anak-
anak beserta turunan-turunan dalam garis lencang kebawah, dengan tidak
53 Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, h. 221-222.
membedakan laki-laki atau perempuan dan dengan tidak membedakan
urutan kelahiran.
2. Ahli waris dalam golongan kedua, dimasukkan orang tua dan saudara-
saudara dari si meninggal. Bagi orang tua diadakan peraturan-peraturan
yang menjamin bahwa ia pasti mendapat bagian yang tidak kurang dari
seperempat harta peninggalan.
3. Ahli waris dalam golongan ketiga ini akan mendapat harta peninggalan
jika tidak terdapat keluarga dari golongan kedua. Orang-orang yang
termasuk dalam golongan ini adalah sanak keluarga dari pancar ayah si
yang meninggal dan sanak keluarga dari pancar ibu si yang meninggal.54
Dalam hukum waris perdata seseorang yang dianggap tidak patut menjadi
ahli waris dan karenanya pun dikecualikan dari pewarisan terdapat dalam pasal
838 KUH.Perdata tentang pewarisan karena kematian adalah sebagai berikut:
1. Mereka yang telah dihukum karena dipersalahkan telah membunuh, atau
mencoba membunuh si yang meninggal.
2. Mereka yang dengan putusan hakim pernah dipersalahkan karena secara
fitnah telah mengajukan pengaduan terhadap si yang meninggal, ialah
suatu pengaduan telah melakukan sesuatu kejahatan yang terancam
dengan hukuman penjara lima tahun lamanya atau hukuman yang lebih
berat.
54 Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia, Cet II, (Bandung: Refika Aditama, 2007), h. 35-
36.
3. Mereka yang dengan kekerasan atau perbuatan telah mencegah si yang
meninggal untuk membuat atau mencabut surat wasiatnya.
4. Mereka yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat
si yang meninggal.55
Asas-asas KUH.Perdata (BW) yang merupakan sendi-sendi dasar hukum
waris perdata adalah sebagai berikut:
1. Dalam hukum waris berlaku suatu asas bahwa apabila seorang meninggal
dunia seketika itu juga segala hak dan kewajibannya beralih pada sekalian
ahli warisnya meskipun seorang bayi yang baru lahir adalah cakap untuk
tampil sebagai ahli waris mewarisi harta peninggalan orang tua.56
Seperti
yang tercantum pada pasal 833 KUHPer tentang pewarisan karena
kematian yang berbunyi:”bahwa sekalian ahli waris dengan sendirinya
karena hukum memperoleh hak milik atas segala barang, segala hak dan
segala piutang si yang meninggal”. Selanjutnya dijelaskan pula dalam
pasal 834 yang berbunyi:”bahwa tiap-tiap waris berhak memajukan
gugatan guna memperjuangkan hak warisnya, terhadap segala mereka,
yang baik atas dasar hak yang sama, baik tanpa dasar sesuatu hak pun
55 Subekti dan Tjitrosudibio, Ibid, h. 223.
56 Surini Ahlan Syarif, Dalam Intisari Hukum Waris Menurut Buurgerlijk Wetboek, (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1983), h. 10.
menguasai seluruh atau sebagian harta peninggalan, seperti pun terhadap
mereka, yang secara licik telah menghentikan penguasaannya.57
2. Di samping itu berlaku juga asas, bahwa hanyalah hak-hak dan kewajiban
dalam lapangan hukum harta kekayaan harta benda saja yang dapat
diwariskan.
3. Bahwa dalam waris perdata berlaku juga asas kematian artinya pewarisan
hanya berlaku jika si pemilik harta meninggal dunia.
4. Asas individual dimana yang menjadi ahli waris adalah perorangan bukan
kelompok ahli waris dan bukan kelompok lain, suku atau keluarga. Hal ini
dapat dilihat dalam pasal 852 852a.
5. Asas Bilateral artinya bahwa seseorang tidak hanya mewarisi dari bapak
saja tetapi juga mewarisi dari ibu juga, demikian juga saudara laki-laki
mewarisi dari saudara laki-lakinya, maupun saudara perempuannya. Hal
ini tercantum dalam pasal 850, 853, dan 856.
6. Asas perderajatan maksudnya ahli waris yang derajatnya dekat dengan si
pewaris menutup ahli waris yang lebih jauh derajatnya.58
E. Sendi-Sendi Dasar Hukum Waris Adat
Seperti yang telah dijelaskan pada bab II bahwa waris adat adalah
penerusan dan pengalihan harta kekayaan dari si pemilik harta kepada ahli waris
57 Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, h. 2
58 Muhammad Idris Ramulyo, Beberapa Masalah Pelaksanaan Kewarisan Perdata Barat, Cet
VI, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), h. 46-47.
yang dilakukan pada saat setelah si pemilik harta meninggal ataupun masih hidup.
Orang yang berhak menerima harta kekayaan yaitu orang-orang yang mempunyai
hak atas harta tersebut menurut hukum adat yang berlaku. Pada masyarakat
betawi dalam hal pembagian warisan menggunakan sistem kewarisan individual,
dimana harta peninggalan dibagikan secara merata kepada ahli waris baik laki-
laki maupun perempuan.
Masyarakat Indonesia yang menganut berbagai macam agama dan
kepercayaan yang berbeda-beda mempunyai bentuk-bentuk kekerabatan dengan
sistem keturunan yang berbeda-beda. Sistem keturunan yang berbeda-beda ini
akan berpengaruh dalam sistem kewarisan yang berlaku di masyarakat. Adapun
sistem keturunan itu adalah sebagai berikut:
1. Sistem patrilineal, yaitu system keturunan yang ditarik menurut garis
bapak, dimana kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya dari
kedudukan wanita di dalam pewarisan.
2. Sistem matrilineal, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis ibu,
dimana kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan
pria di dalam pewarisan.
3. Sistem parental atau bilateral, yaitu system keturunan yang ditarik
menurut garis orang tua atau menurut garis dua sisi (bapak-ibu), dimana
pada sistem keturunan ini kedudukan pria dan wanita tidak dibedakan di
dalam pewarisan.59
Setelah mengetahui tentang sistem keturunan yang mempunyai pengaruh
dalam hal pewarisan menurut penulis pada masyarakat betawi sistem keturunan
yang dipakai adalah sistem keturunan parental atau bilateral yang terlihat pada
sistem pembagian warisan yang tidak membeda-bedakan antara laki-laki dan
perempuan dalam perolehan dari harta peninggalan.
Asas-asas yang menjadi sendi-sendi dasar dari hukum waris adat dihayati
dan diamalkan sesuai dengan filsafat hidup pancasila. Adapun unsur-unsur
pandangan hidup pancasila sebagai asas dalam proses pewarisan adalah sebagai
berikut:
1. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
Sila ini mempunyai asas bahwa rejeki dan harta kekayaan yang dapat
dikuasai dan dimilkinya adalah karunia Tuhan. Kaitannya dengan pewarisan
adalah bahwa terbagi atau tidak terbaginya harta warisan bukan tujuan tetapi yang
penting adalah tetap menjaga kerukunan hidup diantara para ahli waris dan semua
anggota keluarga keturunan pewaris.
2. Sila Kemanusiaan
59 Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Azas-Azas Hukum Perkawinan di Indonesia, Cet I,
(Jakarta: Bina Aksara, 1987), h. 26-28.
Di dalam proses pewarisan sila kemanusiaan berperan mewujudkan sikap
saling cinta mencintai antara sesama ahli waris, sikap tenggang rasa dan tepo
seliro antara ahli waris yang satu dengan yang lain dan mewujudkan sikap untuk
tidak sewenang-wenang, oleh karena adanya sikap tersebut maka di dalam hukum
waris adat sesungguhnya bukan penentuan banyaknya bagian warisan yang harus
diutamakan , tetapi kepentingan dan kebutuhan para ahli waris yang dapat dibantu
oleh adanya warisan itu.
3. Sila Persatuan
Pada sila persatuan ini dapat dilihat tentang asas kerukunan, yaitu asaa
yang tetap dipertahankan untuk teteap memelihara hubungan kekeluargaan yang
tenteram dan damai dalam mengurus, menikmati dan memanfaatkan warisan yang
tidak terbagi-bagi ataupun dalam menyelesaikan masalah pembagian, pemilikan
harta warisan yang terbagi dua.60
4. Sila Kerakyatan
Pada sila kerakyatan ini terdapat asas musyawarah dan mufakat, artinya
dalam mengatur dan menyelesaikan harta warisan setiap anggita waris
memepunyai tanggung jawab yang sama dan atau hak kewajiban yang sama
berdasarka musyawarah dan mufakat yang sama.
5. Sila Keadilan
60 Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Cet II, (Tanjung Karang: t.p., 1983), h. 24-30.
Di dalam hukum waris adat sila keadilan, bukan berarti umum seperti
sebagaimana dikatakan “ Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia“, tetapi
keadilan bagi semua anggota waris mengenai pembagian harta warisan, baik ahli
waris maupun ahli waris yang bukan karena hubungan darah tetapi karena
pengakuan hubungan saudara dan lain sebagainya menurut hukum adat
setempat.61
Pada sistem hukum waris yang berlaku di masyarakat betawi setelah
penulis melakukan wawancara kepada para ulama betawi cengkareng dijelaskan
bahwa pada masyarakat betawi tidak terdapat sistem pembagian waris secara
khusus sebagaimana sistem kewarisan yang berlaku di daerah sumatera selatan,
minang kabau, bali, jawa barat.
Menurut K.H. Ma’ruf ‘Asyirun bahwa di masyarkat betawi dalam hal
pembagian warisan terdapat dua macam cara yang digunakan yaitu:
1. Kesepakatan maksudnya adalah pada pembagian jenis ini sebelum harta
peninggalan dibagikan ahli waris melakukan musyawarah lalu kemudian
bersepakat untuk membagikan harta warisan dengan seadil-adilnya tanpa
membedakan bagian untuk laki-laki ataupun perempuan.
2. Menggunakan pembagian secara Islam maksudnya adalah pada
pembagian jenis ini ahli waris membagikan harta peninggalan secara
61 Hilman Hadikusuma, Ibid, h. 24-30.
hukum Islam yaitu laki-laki mendapatkan harta warisan lebih banyak
dibandingkan bagian yang diterima oleh perempuan.
3. Menggunakan Wasiat Maksudnya adalah dengan meninggalkan pesan baik
dalam bentuk tulisan ataupun tulisan sebelum pewaris meninggal kepada
ahli waris atau pihak selain ahli waris. Namun dalam pembagian semacam
ini kyai Ma’ruf ‘Asyirun berpendapat bahwa tidak sah wasiat yang
diberikan kepada ahli waris.
4. Menggunakan Pemberian Maksudnya adalah dengan cara membagikan
harta warisan kepada ahli waris sebelum pewaris meninggal yang biasa
disebut dengan hibah. Menurut kyai Achya Anshori hibah bukan termasuk
kedalam kategori warisan beliau berpendapat bahwa dalam Islam yang
dikatakan harta warisan adalah harta yang ditinggalkan oleh orang yang
telah meninggal dunia.62
K.H. Achya Anshori menambahkan bahwa terdapat beberapa macam cara
pembagian harta warisan di masyarkat betawi terdapat faktor yang melatar
belakanginya. Pada pembagian warisan dengan cara kesepakatan digunakan oleh
keluarga yang kurang berpegang teguh pada hukum Islam sedangkan keluarga
yang membagikan harta warisan dengan cara farâid digunakan oleh keluarga
yang berpegang teguh pada hukum Islam selain itu dalam pembagian harta
62 Wawancara Pribadi dengan Ma’ruf Asyirun. Jakarta, 29 Mei 2009.
warisan secara kesepakatan dipilih untuk menghindari adanya perselisihan antara
para ahli waris.63
Menurut Firmansyah SE, selaku Sekertaris Lurah menambahkan bahwa
pada dasarnya masyarakat Kelurahan Kapuk mengetahui tentang pembagian
waris secara Islam namun untuk masalah pembagian masing-masing ahli waris
tidak tahu secara mendalam. Lalu pada prakeknya masyarakat betawi lebih
memilih membagikan warisan menurut mufakat atau kesepakatan keluarga agar
tidak terjadi perselisihan.64
Setelah mengetahui sistem waris adat yang ada di Indonesia dan
pembagian warisan di masyarkat betawi terdapat dua macam pembagian warisan
menurut penulis bahwa masyarkat betawi mempunyai sistem kewarisan
individual bahwa setiap ahli waris berhak untuk mendapatkan harta peninggalan
dan dalam hal pembagian warisan setiap keluarga mempunyai sistem pembagian
tersendiri yaitu membagikan dengan cara kesepakatan, membagikan dengan cara
farâid, membagikan dengan cara wasiat atau membagikan dengan cara pemberian
atau hibah.
63 Wawancara Pribadi dengan Achya al-Anshori. Jakarta, 8 Juni 2009.
64 Wawancara Pribadi dengan Firmansyah, Jakarta, 30 Juni 2009.
BAB IV
KEWARISAN ISLAM DI KELURAHAN KAPUK
A. Monografi Kelurahan Kapuk
Dalam pembahasan terdahulu penulis telah menguraikan tentang serta
lainnya yang berkenaan dengan kewarisan Islam. Kemudian dalam bab ini penulis
akan menguraikan tentang selayang pandang masyarakat kelurahan kapuk
mengenai keberadaannya, struktural masyarakat, kebudayaan/kultur, serta hal-hal
yang berkaitan erat dengan masyarakat terkait.
Wilayah masyarakat Kelurahan Kapuk berada di bagian Barat DKI Jakarta
dengan luas wilayah 562,68 Ha. Di sebelah Utara kelurahan kapuk berbatasan
dengan kelurahan Kapuk Muara dan Kelurahan Kamal Muara Kecamatan
penjaringan Kotamadya Jakarta Utara, di sebelah Timur berbatasan dengan
Sungai Cisadane dan Kelurahan Kedaung Kali Angke, di sebelah Selatan
berbatasan dengan Kelurahan Cengkareng Timur dan Kedaung Kali Angke, dan
di sebelah Barat berbatasan dengan Cengkareng Timur.65
Adapun pembagian luas wilayah Kelurahan Kapuk terdiri dari 16 (enam
belas) RW yang terdapat 222 RT dengan jumlah penduduk sebanyak 54.564
warga. Dari jumlah tersebut terdapat warga negara asing (WNA) sebanyak 6
65 Sumber Data dari Kantor Kelurahan Kapuk.
orang, yang berarti jumlah warga negara Indonesia (WNI) sebanyak 54.558
orang.
Data potensi wilayah antara lain: (1) Aparat Pemerintah Kelurahan dan
Aparat Instansi lain, (2) Mata pencaharian, (3) Tingkat Pendidikan penduduk
Kelurahan Kapuk sangatlah beragam, hal ini dapat dilihat dari tabel di bawah ini :
Tabel I
Aparat Pemerintah Kelurahan dan Instansi lain
Aparat Pemerintah Kelurahan dan
Aparat Instansi Lain
Jumlah
Golongan I
Golongan II
Golongan III
Golongan IV
Golongan I
Golongan II
Golongan III
0
6
5
0
0
1
5
Total 17
Sumber: Data Monografi Kelurahan Kapuk (Laporan Tahun 2008)
Tabel II
Mata Pencaharian Masyarakat Kelurahan Kapuk
N=54097
Mata Pencaharian Jumlah
TNI
POLRI
Pegawai Negeri Sipil
Pensiunan TNI
Pensiunan POLRI
Pensiunan PNS
Karyawan Swasta
Pedagang/Swasta
Buruh
Jasa
Lain-Lain
46
49
701
36
59
158
15073
3022
3997
805
30151
Jumlah 54097
Sumber: Data Monografi Kelurahan Kapuk (Laporan Tahun 2008)
Tabel III
Tingkat Pendidikan Masyarakat Kapuk
N=27591
Tingkat Pendidikan Jumlah
SD
SLTP
SLTA
Akademi
S1
S2
S3
Tamat SD
Tamat SLTP
Tamat SLTA
Tamat Akademik
Tamat Universitas
2816
3126
529
291
290
225
0
9106
5577
4637
501
439
Total 27591
Sumber: Data Monografi Kelurahan Kapuk (Laporan Tahun 2008)
Adapun fasilitas umum yang terdapat di Kelurahan Kapuk antara lain: (1)
Sarana Keagamaan, (2) Sarana Pendidikan, (3) Sarana Kesehatan. Dapat dilihat
pada tabel di bawah ini:
Tabel I
Sarana Keagamaan
N=290
Sarana Keagamaan Jumlah
Masjid
Musholla
Gereja
Kelenteng
Pura
Kuil
Vihara
Majelis Taklim
Persatuan Gereja
Remaja Masjid
Remaja Gereja
Pesantren
34
78
2
1
0
0
6
31
6
37
0
95
Total 290
Sumber: Data Monografi Kelurahan Kapuk (Laporan Tahun 2008)
Tabel II
Sarana Pendidikan Kelurahan Kapuk
N=82
Sarana Pendidikan Jumlah
Taman Kanak-kanak
Sekolah Dasar
Madrasah Ibtidaiyyah
SLTP
Madrasah Tsanawiyah
SLTA
Madrasah Aliyah
Pasca Sarjana
Kursus Komputer
Kursus Menjahit
Kursus Tata Boga
Kursus Tata Busana
Kursus Montir Mobil/Motor
Kursus Seni Tari/Musik
17
31
3
12
3
3
2
5
1
1
1
1
1
1
Total 82
Sumber: Data Monografi Kelurahan Kapuk (Laporan Tahun 2008)
Tabel III
Sarana Kesehatan Kelurahan Kapuk
N=41
Sarana Kesehatan Jumlah
Puskesmas
Rumah Bersalin
Poliklinik
Balai Pengobatan
Praktek Dokter Umum
Praktek Dokter Gigi
Depo Obat
Posyandu
Klinik Keluarga Berencana
2
2
2
2
12
1
16
2
2
Total 41
Sumber: Data Monografi Kelurahan Kapuk (laporan Tahun 2008)
B. KESADARAN HUKUM MASYARAKAT KAPUK
1. Profil Responden
Obyek yang menjadi penelitian penulis adalah masyarakat Kelurahan
Kapuk Kecamatan Cengkareng Jakarta Barat. Adapun deskripsi profil responden
mengacu pada tiga indikator, yaitu: (1) Jenis Kelamin, (2) Tingkat Pendidikan, (3)
Pekerjaan.
Dari sebaran responden ternyata lebih didominasi oleh masyarakat yang
berjenis kelamin laki-laki, yakni 68 %. Dan sebagian responden yang berjenis
kelamin perempuan berjumlah 32 %.
Tabel 1
Jenis Kelamin Responden
N=100
Jenis Kelamin Frekuensi %
Laki-laki
Perempuan
68
32
68
32
Total 100 100
Diagram Histogram
0
10
20
30
40
50
60
70
%
Laki-Laki
Perempuan
Berdasarkan perbedaan tingkat pendidikan jumlah responden untuk setiap
tingkat pendidikan yaitu: tingkat pendidikan tidak tamat SD (0) berjumlah 21 %,
tingkat pendidikan SD yakni, 30 %, tingkat pendidikan SMP yaitu, 13 %, tingkat
pendidikan SMA adalah, 27 %, tingkat pendidikan Perguruan Tinggi berjumlah 9
%.
Tabel 2
Tingkat Pendidikan
N=100
Tingkat Pendidikan Frekuensi %
Tidak tamat (0)
SD
SMP
SMA
Perguruan Tinggi
21
30
13
27
9
21
30
13
27
9
Total 100 100
Diagram Histogram
0
5
10
15
20
25
30
%
Tidak Tamat
SD
SMP
SMA
Perguruan Tinggi
Mengacu kepada indikator pekerjaan ternyata sebagian besar adalah
pekerja sebagai Karyawan, Buruh dan Wiraswasta yang berjumlah 68 %. Ibu
Rumah Tangga yakni, 24 %. Dan masyarakat yang berprofesi sebagai pengajar
baik sebagai pengajar formal maupun non formal berjumlah 8 %.
Tabel 3
Jenis Pekerjaan
N=100
Pekerjaan Frekuensi %
Pekerja
Ibu Rumah Tangga
Pengajar
68
24
8
68
24
8
Total 100 100
Diagram Histogram
0
10
20
30
40
50
60
70
%
Pekerja
Ibu Rumah Tangga
Pengajar
2. Pengetahuan Masyarakat Terhadap Hukum Waris Islam
Pengetahuan merupakan salah satu indikator dari kesadaran hukum. Untuk
itu pada bagian ini akan dikemukakan pengetahuan masyarakat terhadap hukum
waris Islam. Dari pengisian kuesioner kepada 100 responden ternyata 32 %
pengetahuan masyarakat kurang terhadap hukum waris Islam. Pengetahuan
masyarakat pada tingkat cukup yaitu, 53 %. Dan tingkat pengetahuan yang tinggi
pada masyarakat yakni, 15%.
Tabel 4
Pengetahuan Masyarakat Terhadap Hukum Waris Islam
N=100
Pengetahuan Masyarakat Terhadap Hukum Waris
Islam
Frekuensi %
Kurang
Cukup
Tinggi
32
53
15
32
53
15
Total 100 100
Diagram Histogram
0
10
20
30
40
50
60
%
Kurang
Cukup
Tinggi
3. Pemahaman Masyarakat Terhadap Hukum Waris Islam
Pemahaman tentang suatu sistem hukum merupakan indikator kedua dari
kesadaran hukum. Untuk itu akan dikemukakan pemahaman masyarakat terhadap
hukum waris Islam. Pemahaman masyarakat terhadap hukum waris Islam pada
tingkat kurang berjumlah 15 % dan pemahaman pada masyarakat pada tingkat
cukup yakni, 84 % sedangkan pemahaman pada tingkat tinggi yaitu, 1 %.
Tabel 5
Pemahaman Masyarakat Terhadap Hukum Waris Islam
N=100
Pemahaman Masyarakat Terhadap Hukum Waris
Islam
Frekuensi %
Kurang
Cukup
Tinggi
15
84
1
15
84
1
Total 100 100
Diagram Histogram
0
20
40
60
80
100
%
Kurang
Cukup
Tinggi
4. Sikap Masyarakat Terhadap Hukum Waris Islam
Salah satu indikator dari kesadaran hukum adalah sikap terhadap suatu
sistem hukum. Untuk itu maka pada bagian ini akan dikemukakan sikap
masyarakat terhadap hukum waris Islam. Adapun sikap masyarakat yang
memberikan tanggapan negatif terhadap hukum waris Islam yakni, 10 %.
Masyarakat yang bersikap netral berjumlah 70 %. Masyarakat yang bersikap
positif terhadap hukum waris Islam berjumlah 20 %.
Tabel 6
Sikap Masyarakat Terhadap Hukum Waris Islam
N=100
Sikap Masyarakat Terhadap Hukum Waris Islam Frekuensi %
Negatif
Netral
Positif
10
70
20
10
70
20
Total 100 100
Diagram Histogram
0
20
40
60
80
%
Negatif
Netral
Positif
5. Perilaku Masyarakat Terhadap Hukum Waris Islam
Perilaku masyarakat terhadap suatu sistem hukum merupakan indikator
keempat dari kesadaran hukum. Maka dapat dikemukakan perilaku masyarakat
terhadap hukum waris Islam. Dari pengisian kuesioner diketahui bahwa
masyarakat yang berperilaku positif terhadap hukum waris Islam berjumlah 20 %.
Dan masyarakat yang berprilaku netral berjumlah 70 %. Sedangkan yang
berprilaku negatif sebanyak 49 %.
Tabel 7
Perilaku Masyarakat Terhadap Hukum Waris Islam
N=100
Perilaku Masyarakat Terhadap Hukum Waris Islam Frekuensi %
Negatif
Netral
Positif
10
70
20
49
70
20
Total 100 100
Diagram Histogram
0
10
20
30
40
50
60
70
%
Negatif
Netral
Positif
C. Kesadaran Hukum Waris Responden
Deskripsi kesadaran hukum waris Islam responden pada uraian berikut ini
akan di- crosstab-kan dengan keempat indikator di atas yang mengacu pada
kepada (1) Jenis Kelamin, (2) Pekerjaan, (3) Pendidikan.
Secara umum tingkat kesadaran hukum waris Islam hampir seluruh
responden memiliki tingkat kesadaran hukum yang cukup dengan jumlah 93%.
Kesadaran hukum responden lain yang berkadar rendah berjumlah 2%. Dan
kesadaran hukum waris Islam sebagian responden yang berkadar tinggi berjumlah
5 %.
Tabel 8
Kesadaran Hukum Waris Islam Responden
N=100
Tingkat Kesadaran Hukum Waris Islam Frekuensi %
Tinggi
Cukup
Rendah
5
93
2
5
93
2
Total 100 100
Diagram Histogram
0
20
40
60
80
100
%
Tinggi
Cukup
Rendah
Dengan mengacu pada indikator jenis kelamin, pada responden laki-laki di
dominasi oleh tingkat kesadaran hukum waris yang berkadar cukup berjumlah 94
%. Kemudian tingkat kesadaran hukum waris yang berkadar rendah berjumlah 3
%. Dan disusul pada tingkat kesadaran hukum waris Islam yang berkadar tinggi
berjumlah 3%. Demikian pula pada responden perempuan mayoritas responden
memiliki kadar kesadaran hukum waris Islam yang cukup yaitu 91 %. Lalu
responden yang memilki kadar kesadaran hukum waris Islam yang rendah pada
responden perempuan tidak ada atau 0 %. Sedangkan tingkat kesadaran hukum
waris Islam yang berkadar tinggi berjumlah 9 %.
Tabel 9
Tingkat Kesadaran Hukum Waris Responden Menurut Jenis Kelamin
N=100
Tingkat Kesadaran Hukum Waris Responden Jenis
Kelamin Rendah
F %
Cukup
F %
Tinggi
F %
Total
F %
Laki-laki 2 3 64 94 2 3 68 100
Perempuan 0 0 29 91 3 9 32 100
Diagram Histogram
0
20
40
60
80
100
Laki-Laki Perempuan
Rendah
Cukup
Tinggi
Dilihat dari segi jenis pendidikan dikalangan responden ternyata tingkat
pendidikan 0 (tidak tamat SD) yang mendominasi adalah tingkat kesadaran
berkadar cukup yang berjumlah 85 %. Untuk tingkat kesadaran yang berkadar
rendah berjumlah 10 %. Dan tingkat kesadaran yang berkadar tinggi berjumlah 5
%.
Lalu pada tingkat pendidikan SD lebih mendominasi tingkat kesadaran
yang berkadar cukup dengan jumlah yakni, 30 %. Tingkat kesadaran yang
berkadar rendah berjumlah 0 %. Tingkat kesadaran yang berkadar tinggi
berjumlah 0 %.
Kemudian pada tingkat pendidikan SMP tingkat kesadaran yang berkadar
cukup yakni, 92 %. Tingkat kesadaran yang berkadar rendah berjumlah 0 %.
Sedangkan tingkat kesadaran yang berkadar tinggi berjumlah 8 %.
Adapun pada tingkat pendidikan SMA ternyata yang lebih mendominasi
adalah tingkat kesadaran berkadar cukup dengan jumlah yaitu, 96 %. Pada tingkat
kesadaran berkadar rendah berjumlah 0 %. Dan tingkat kesadaran berkadar tinggi
berjumlah 4 %.
Sedangkan pada tingkat pendidikan Perguruan Tinggi, tingkat kesadaran
yang berkadar rendah berjumlah 0 %. Dan pada tingkat kesadaran yang berkadar
tinggi berjumlah 22 %. Untuk tingkat kesadaran yang berkadar cukup
mendominasi dengan jumlah 78 %.
Tabel 10
Tingkat Kesadaran Hukum Waris Responden Menurut Tingkat Pendidikan
N=100
Tingkat Kesadaran Hukum Waris Responden Tingkat
Pendidikan Rendah
F %
Cukup
F %
Tinggi
F %
Total
F %
0 2 10 18 85 1 5 21 100
SD 0 0 30 100 0 0 30 100
SMP 0 0 12 92 1 8 13 100
SMA 0 0 26 96 1 4 27 100
PT 0 0 7 78 2 22 9 100
Diagram Histogram
0
20
40
60
80
100
0 SD SMP SMA PT
Rendah
Cukup
Tinggi
Dengan mengacu pada indikator jenis pekerjaan diketahui bahwa pada
jenis pekerjaan sebagai Ibu Rumah Tangga yang mendominasi adalah tingkat
kesadaran berkadar cukup dengan jumlah 96 %. Tingkat kesadaran yang berkadar
rendah yakni, 0 %. Dan tingkat kesadaran yang berkadar tinggi yaitu, 4 %. Lalu
pada jenis pekerjaan sebagai pekerja (Wiraswasta, Karyawan, Buruh) tingkat
kesadaran berkadar rendah berjumlah 1 %. Disusul dengan tingkat kesadaran
yang berkadar cukup mendominasi dengan jumlah 99%. Dan pada tingkat
kesadaran berkadar tinggi berjumlah 0 %. Sedangkan pada jenis pekerjaan
sebagai pengajar (formal/ non formal) ternyata separuh responden tingkat
kesadarannya berkadar cukup dengan jumlah 50 %. Pada tingkat kesadaran yang
berkadar rendah berjumlah 0 %. Dan separuh untuk tingkat kesadaran yang
berkadar tinggi yakni, 50 %.
Tabel 11
Tingkat Kesadaran Hukum Waris Responden Menurut Tingkat Pekerjaan
N=100
Tingkat Kesadaran Hukum Waris Responden Jenis
Pekerjaan Rendah
F %
Cukup
F %
Tinggi
F %
Total
F %
IRT 0 0 23 96 1 4 24 100
Pekerja 1 1 67 99 0 0 68 100
Pengajar 0 0 4 50 4 50 8 100
Diagram Histogram
0
20
40
60
80
100
IRT Pekerja Pengajar
Rendah
Cukup
Tinggi
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah melihat dan menganalisa dari hasil penelitian yang penulis
lakukan kepada warga Kelurahan Kapuk Kecamatan Cengkareng Jakarta
Barat,untuk penulis ada berapa kesimpulan yang dapat diambil, yaitu :
1. Dari hasil penyebaran angket kepada 100 responden ternyata 32 %
pengetahuan masyarakat kurang terhadap hukum waris Islam. Adapun
pengetahuan masyarakat pada tingkat cukup yaitu, 53 %, dan tingkat
pengetahuan yang tinggi pada masyarakat hanya, 15%. Dari prosentase ini
dapat disimpulkan bahwa sebagian masyarakat mengetahui hukum waris telah
diatur dalam Islam.
2. Pemahaman masyarakat Kapuk terhadap hukum waris Islam dilihat dari hasil
penyebaran angket yaitu, pada tingkat kurang berjumlah 15 % dan
pemahaman pada masyarakat pada tingkat cukup yakni, 84 % sedangkan
pemahaman pada tingkat tinggi yaitu, 1 %. Dari hasil prosentase di atas dapat
disimpulkan bahwa sebagian besar masyarakat kapuk tidak begitu memahami
secara mendalam terhadap hukum waris Islam.
3. Sikap masyarakat Kapuk tentang hukum waris Islam yang memberikan
tanggapan negatif terhadap hukum waris Islam yakni, 10 %. Masyarakat yang
bersikap netral berjumlah 70 %. Masyarakat yang bersikap positif terhadap
hukum waris Islam berjumlah 20 %. Dari prosentase seperti ini mencerminka
bahwa sikap warga Kapuk pada umumnya tentang hukum waris Islam
pada tingkat netral artinya Masyarakat bersikap netral baik dalam
mempelajari maupun mempraktekan hukum waris Islam di dalam
keluarga mereka masing-masing.
4. Perilaku masyarakat Kapuk tentang hukum waris Islam yang memberikan
tanggapan negatif yakni, 49 %. Masyarakat yang berperilaku netral
terhadap hukum waris Islam berjumlah 70 %, dan masyarakat yang
berperilaku positif terhadap hukum waris Islam yaitu, 20 %. Dari hasil
prosentase seperti ini penulis menyimpulkan bahwa masyarakat kapuk
baik yang tingkat pemahaman pengetahuan tinggi, cukup ataupun rendah
dalam hal pembagian harta warisan jarang sekali menggunakan hukum
waris Islam, masyarakat lebih menyukai pembagian dengan sistem
pembagian melalui jalan musyawarah keluarga.
Sehingga apabila kita melihat dari hasil di atas dapat ditarik kesimpulan
bahwa pemahaman, pengetahuan, sikap dan perilaku warga Kapuk tentang hukum
waris adalah pada tingkat cukup atau memadai, karena setelah penulis
menyebarkan angket kepada responden serta mewawancara ulama dan pejabat
pemerintahan yang dalam hal ini adalah pegawai kelurahan sebagian besar warga
kapuk hanya mengetahui bahwa dalam pembagian waris dalam hukum Islam
telah diatur , tetapi apabila ditinjau dari segi tehnik pembagian waris secara Islam
sebagian besar masyarakat tidak menguasai dengan baik. Hal ini dikarenakan
mereka tidak memiliki dasar atau pengetahuan dasar tentang tata cara pembagian
hukum waris Islam.
B. Saran – saran
Setelah kita perhatikan data di atas, menurut penulis ada beberapa hal
yang bisa menjadi catatan atau saran bagi semua pihak tentang pelaksanaan
hukum waris Islam khususnya di masyarakat Kelurahan Kapuk. Adapun saran-
saran tersebut adalah sebagai berikut :
1. Kepada para guru atau ustadz/ustadzah baik di bidang formal atau
informal lebih diperhatikan lagi tentang pemberian materi atau
pembelajaran kepada semua pihak tentang pelaksanaan hukum waris.
Memasukkan materi-materi tentang ilmu waris Islam kedalam mata
pelajaran di sekolah.
2. Kepada masyarakat Kapuk agar lebih ditekankan pemahaman tentang
pelaksanaan hukum waris melalui pengajian-pengajian yang diadakan oleh
warga sekitar dan lebih banyak bertanya kepada para pihak yang lebih
memahami seperti kepada para ustadz/ustadzah sehingga ketika terjadi
pembagian waris secara Islam dapat dilakukan dengan baik tanpa adanya
pihak yang dirugikan.
Sehingga apabila hal ini dapat dilakukan, maka kesadaran hukum
masyarakat terhadap hukum waris Islam akan berjalan dengan baik. Masyarakat
akan lebih mengetahui dan memahami hukum waris Islam, jika masyarakat sudah
mengetahui dan memahami maka masyarakat akan bersikap positif dan berprilaku
sesuai dengan hukum waris Islam. Dari sikap dan perilaku positif akan tercipta
sebuah kesadaran hukum yang baik terhadap hukum waris Islam.
Daftar Pustaka
Al-Qur’an dan Terjemah.
Amanat, Anisitus, Membagi Warisan Berdasarkan Pasal-pasal Hukum Perdata
BW, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000, Cet. Ke-1.
Asmawi dkk, Relegiusitas Dan Kesadaran Hukum Islam Pada Mahasiswa UIN
Syarif Hidayatullah, Jakarta: t.tp., 2005.
Ash-Shidieqy, Hasby, Fiqhul Mawaris, Semarang: Pustaka Rizki Putra,2001, Cet.
Ke-3.
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Akademika Pressindo, 2004,
Cet. Ke-4.
Abu, Imam al-Hajaj al-Husain, Shahih Muslim, Beirut: Daarul Fikr, 1993, Juz II.
Ahlan, Surini Syarif, Dalam Intisari Hukum Waris Menurut Burgerlijk Wet Boek,
Jakarta Ghalia Indonesia, 1983.
Ali, Zainudin, Sosiologi Hukum, Jakarta: Sinar Grafika 2006.
Djalil, Ahmad Basiq. Tebaran Pemikiran Keislaman di Tanah Gayo, Jakarta:
Prenada Media Group, 2006, Cet. Ke-1.
Daud, Muhammad Ali, Asas-Asas Hukum Islam (Hukum Islam I): Pengantar
Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press,
1990.
Djojodigoeno, Asas-Asas Sosiologi, Jakarta: Untag University Press, 1971.
Elmiyah, Nurul dan Surini Ahlan Syarif, Hukum Kewarisan Perdata Barat
Kewarisan Menurut Undang Undang, Jakarta: Kencana Prenada Group,
2006, Cet. Ke-2.
Hadikusuma, Hilman, Hukum Waris Adat, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1983,
Cet. Ke-4.
Majah, Ibnu, Sunan Ibnu Majah, Beirut: Daarul Fikr, 1995, Juz II.
80
Mustafa, Abdullah dan Soerjono Soekanto, Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat,
Jakarta: Rajawali, 1987.
Nasution, Harun, Teologi Islam, Jakarta: UI-Press, 2002, Cet. Ke-2.
Prakoso, Djoko dan I Ketut Murtika, Azas-Azas Hukum perkawinan di Indonesia,
Jakarta: PT Bina Aksara, 1987, Cet. Ke-1.
Ramulyo, Muhammad Idris, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam, Jakarta:
Pedoman Ilmu Jaya, 1992, Cet. Ke-1.
Rafiq, Ahmad, Fiqh Mawaris, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002, Cet. Ke-4.
--------------, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997,
Cet. Ke-2.
Rumidi, Sukandar, Metode Penelitian Petunjuk Praktis Untuk Peneliti Pemula,
Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2004, Cet. Ke-2.
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, 2001, Cet. Ke-29.
Soleman B. Taneko dan Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Jakarta:
Rajawali Press, 1983.
Soekanto, Soerjono, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1994.
--------------, Kesadaran Dan Kepatuhan Hukum, Jakarta: CV Rajawali, 1982,
Cet. Ke-1.
Suryabrata, Sumadi, Metodologi Penelitian, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2006, Cet. Ke-1.
Salman, Otje, Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris, Bandung:
Alumni, 1993, Cet. Ke-1.
Suparman, Eman, Hukum Waris Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2007, Cet.
Ke-2.
Syarifudin, Amir, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Prenada Media, 2004, Cet.
Ke-1.
Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survai, Jakarta: PT
Pustaka LP3ES Indonesia Anggota IKAPI, 1995, Cet. Ke-2.
Tjitrosudibio, Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya
Paramita, 2006, Cet. Ke-37.
Thalib, Sayuti, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta: UI-Press, 1986, Cet. Ke-
5.
Vollmar, H.F.A, Pengantar Studi Hukum Perdata, Jakarta: Rajawali, 1983, Cet.
Ke-2.
Usman, Suparman, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Gaya
Media Pratama, 2002, Cet. Ke-2.
Zuhaili, Wahbah, Fiqh dan perundangan Islam: Penerjemah : Akhir Haji Yacoob
dkk, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pendidikan
Malaysia, 1991, Cet. Ke-1.
HASIL WAWANCARA I
Nama : Firmansyah, S.E
Jabatan : Sekertaris Lurah
Hari / Tanggal : 22 Mei 2009
Tempat : Kantor Kelurahan
1. Bagaimana pengetahuan masyarakat tentang hukum waris Islam?
Jawab : Masyarakat kita ini sebenarnya tahu kalau untuk masalah pembagian
warisan diatur dalam hukum Islam.
2. Lalu bagaimana dengan pemahaman mereka terhadap hukum waris Islam?
Jawab : Kalau ditanya mengenai pemahaman kan berarti mengetahui lebih dalam
tentang hukum waris baik tata cara pembagian maupun ahli waris yang
berhak menerima atau tidak menerima warisan. Menurut saya
masyarakat di sini hanya sebagian kecil saja yang mengerti betul
masalah teori dari hukum waris Islam dan sebagian yang lain hanya
sekedar mengetahui bahwa laki-laki mendapat bagian lebih besar
daripada wanita.
3. Bagaiman sikap masyarakat terhadap hukum waris Islam?
Jawab : Hanya orang-orang atau keluarga yang mengerti betul dengan waris Islam
yang memberikan sikap positif dan menggunakan tata cara pembagian
waris menurut hukum Islam.
4. Lalu bagaimana perilaku masyarakat terhadap hukum waris Islam?
Jawab : Perilaku di sini maksudnya prakteknya ya. Kalau prakteknya selama ini
jarang sekali masyarakat kapuk membagikan warisan dengan cara
hukum Islam, ujung-ujungnya dibagikan dengan cara mufakat, karena
mereka berfikir dan merasa tidak adil kalau harta warisan dibagikan
tidak sama rata.
HASIL WAWANCARA II
Nama : K.H. Achya Al-Anshori, Lc
Jabatan : Pendiri Pondok Pesantren Minhajut-Thalibin
Hari / Tanggal : Senin, 8 Juni 2009
Tempat : Rumah K.H. Achya Al-Anshori
1. Bagaimana pembagian waris yang ada di masyarakat ?
Jawab : Pembagian waris yang ada di masyarakat mengikuti pembagian menurut
tradisi keluarga yaitu tidak mengacu pada syariat. Hanya keluarga yang
keimanannya kuat yang membagikan warisan menurut ketentuan syariat,
orang yang tahu hukum dan paham akan waris Islam juga belum tentu
bisa menggunakan pembagian waris secara syariat akan tetapi jangan
disalah artikan jika suatu keluarga yang tidak menggunakan pembagian
waris menurut syariat tidak kuat imannya bisa juga karena pihak
keluarga ingin menghindari terjadinya perselisihan.
2. Menurut Pak Kyai bagaimana pengetahuan dan pemahaman masyarakat
terhadap hukum waris Islam?
Jawab: Masyarakat yang paham betul tentang ilmu faraidh pada zaman sekarang
ini sangat jarang sekali ini dikarenakan bagi masyarakat ilmu faraidh itu
sulit sekali untuk dipelajari dan kaitannya dengan harta yang menurut
sebagian orang harta merupakan akar dari permusuhan keluarga. Selain
karena itu di negara kita ini Undang-Undang juga sudah mengatur bagi
keluarga muslim diperbolehkan membagikan warisan dengan cara
kesepakatan asalkan masing-masing pihak ahli waris sudah tahu bagian
masing-masing.
HASIL WAWANCARA III
Nama : K.H. Ma’ruf ‘Asyirun
Jabatan : Pendiri Pondok Pesantren Al-Itqon
Hari / Tanggal : Senin, 2 Juni 2009
Tempat : Kantor Pondok Al-Itqon
1. Bagaimana cara masyarakat dalam membagikan harta warisan?
Jawab: Pada masyarakat terdapat dua macam cara pembagian yang pertama
menggunakan cara pembagian menurut hukum Islam (syariat) laki-laki
mendapat bagian lebih besar daripada perempuan yaitu 2:1. Tata cara
cara seperti ini digunakan oleh keluarga yang meang bisa dikatakan taat
akan hukum Islam yang berlaku karena mereka sudah tahu dan
memahami tentang firman-firman Allah yang mengatur tentang warisan.
Lalu cara yang kedua menggunakan cara kesepakatan keluarga artinya
keluarga bermusyawarah untuk membagikan harta warisan secara
merata kepada semua pihak, keluarga yang menggunakna tata cara sperti
ini biasanya keluarga yang kurang begitu memahami hukum waris
Islam, mereka tidak mau melibatkan orang yang berkompeten dalam hal
pmbagian warisan dan tidak ingin terjadi perselisihan antar saudara
karena warisan.
2. Apakah masyarakat mengetahui bahwa dalam Islam diatur tentang tata cara
pembagian waris?
Jawab : Masyarakat yang awam artinya yang kurang pengetahuannya tentang
agama hanya tahu saja kalau dalam Islam telah diatur hukum waris tapi
kalau untuk lebih mendalam lagi mengenai ilmu waris bisa dikatakan
hanya sebagian kecil saja yang memahami.
3. menurut bapak sebagai seorang ulama, bagaimana sikap masyarakat terhadap
hukum waris Islam?
Jawab : Hukum waris Islam di masyarakat sebenarnya bisa dikatakan kurang
begitu diminati dalam membagikan harta warisan mereka lebih senang
kalau membagikan harta warisan tanpa memanggil orang yang
berkompeten dalam hal ini ulama, ulama dipanggil cuma buat tahlilan
atau ceramah saja.
4. Lalu apakah pada masyarakat Betawi terdapat sistem pembagian sendiri seperti
yang ada di daerah lain misalnya pada daerah padang dan laian-alain?
Jawab : Sepengetahuan saya kalau di masyarakat Betawi tidak ada sistem secara
khusus seperti yang ada di daerah lain.