KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA - repositori.usu.ac.id
Transcript of KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA - repositori.usu.ac.id
KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA
(Studi Etnografi: Nilai Sosial Kerukunan Antar Umat
Beragama di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir)
OLEH:
FRENKI LEO CANDRA SAGALA
120901032
DEPARTEMEN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2017
Universitas Sumatera Utara
Abstrak
Masyarakat kecamatan Pangururan adalah masyarakat yang
beranekaragam agama yakni agama Islam, Katolik, Protestan, Buddha, dan aliran
kepercaaan lainnya. Kerukunan antar umat beragama merupakan suatu hal yang
harus dipertahankan untuk mencapai suatu kesejahteraan dan terwujudnya
pembangunan bangsa. Masyarakat Pangururan secara teritorial etnis dan agama
adalah suku Batak Toba dan beragama mayoritas Kristen Katolik dan Kristen
Protestan dan minoritas agama Islam, Buddha dan Aliran kepercayaan lainnya
(Parmalim). Tetapi dengan keadaan seperti itu, masyarakat Pangururan yang
berbeda agama menjalin hubungan dalam keadaan rukun ataupun harmonis.
Sikap-sikap masyarakat Pangururan walaupun berbeda agama namun hidup saling
menghormati, saling menghargai, saling tolong menolong, saling membantu,
bekerjasama, dan bersikap toleran. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
nilai-nilai sosial masyarakat sebagai dasar praktik yang mencerminkan kerukunan
antar umat beragama serta untuk mengetahui bagaimana peran elit lokal dan
masyarakat yang mencerminkan terciptanya kerukunan antar umat beragama di
kecamatan Pangururan.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan
etnografi. Adapun teknik yang digunakan dalam penghimpunan data yaitu dengan
melakukan pengamatan, wawancara, dan data dokumen dari berbagai instansi.
Pengamatan yang dilakukan berusaha untuk menggambarkan serta menjelaskan
bagaimana nilai-nilai sosial yang mencerminkan terciptanya kerukunan antar umat
beragama di kecamatan Pangururan kabupaten Samosir. wawancara dilakukan
untuk mengetahui mengenai peranan elit lokal dan masyarakat sebagai wujud
Universitas Sumatera Utara
terciptanya kerukunan antar umat beragama yang berbeda. Data dokumen yang
diperoleh dari instansi merupakan data pendukung untuk menggambarkan
keadaan masyarakat Pangururan didaerah penelitian.
Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa terciptanya kerukunan antar
umat beragama di pengaruhi oleh nilai-nilai budaya dan juga nilai-nilai agama
sebagai dasar praktik masyarakat. Nilai budaya masyarakat Pangururan adalah
Dalihan Natolu atau tiga tungku sebagai bentuk pola keseimbangan dan pola
keteraturan masyarakat. Pola keteraturan masyarakat tercermin dalam tiga
kedudukan status masyarakat dan mempunyai peranan penting sebagai bentuk
kewajiban masyarakat atas kedudukan yang diperoleh. Sedangkan nilai agama
sebagai acuan/pedoman masyarakat yang dimana setiap ajaran agama mendoktrin
setiap umatnya untuk hidup saling menghormati, menghargai, mengasihi, saling
membantu, dan toleran. Peranan elit lokal yang mencerminkan kerukunan antar
umat beragamaadalahmembangun solidaritas, memfasilitasi setiap lembaga
agama, dan mensosialisasikan nilai-nilai agama. Sedangkan peranan masyarakat
tercermin dalam faktor kekerabatan, faktor budaya, faktor lingkungan, dan faktor
ekonomi.
Kata Kunci: Kerukunan, Nilai Sosial, Peranan, Umat Beragama
Universitas Sumatera Utara
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
perlindungan serta memberikan berkat dan Karunia-Nya dalam proses
penyusunan dan penyelesaian tugas akhir skripsi ini yang menjadi salah satu
persyaratan dalam memperoleh gelar sarjana di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, Universitas Sumatera Utara.
Skripsi berjudul “Kerukunan Antar Umat Beragama” yang berlokasi di
Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir. Skripsi ini mengkaji nilai-nilai sosial
yang menjadi cerminan terciptanya hubungan harmonis antar umat beragama di
lokasi penelitian. Skripsi ini tidak hanya ditujukan untuk mencapai kelulusan dan
gelar sarjana saja tetapi, tulisan dan penelitian ini sangat diharapkan sebagai
sumber wawasan baru dan memberi manfaat bagi masyarakat umum bahwa nilai
budaya merupakan salah satu faktor yang mencerminkan terciptanya kerukunan
antar umat beragama dan juga nilai-nilai agama sebagai landasan/pedoman pola
hidup setiap umat beragama dengan pemahaman yang lebih dihayati.
Penulis sadari bahwa penulisan skripsi ini tidak lepas dari dukungan dan
doa dari berbagai pihak yang terkait, sehingga tulisan skripsi ini dapat
terselesaikan, maka dari itu penulis mengucapkan terimakasih sedalam-dalamnya
kepada seluruh pihak yang telah mencurahkan ide, gagasan, saran, materi, kritik,
dan waktu demi penyelesaian skripsi ini.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih mendalam yakni
kepada :
Universitas Sumatera Utara
1. Bapak Dr. Muryanto Amin, S.Sos, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu Dr. Harmona Daulay, S.Sos, M.Si selaku Ketua Departemen Sosiologi
FISIP USU.
3. Bapak Drs. Muba Simanihuruk, M.Si selaku dosen pembimbing dan
sekaligus pembimbing Akademik yang memberikan banyak arahan selama
penulis aktif dalam perkuliahan, kemudian atas saran dan kritik serta
dengan sabar dalam membimbing penulis untuk penyelesaian skripsi ini.
4. Bapak Henri F Sitorus, M.Sc, Ph. D selaku dosen penguji skripsi yang
telah memberikan banyak masukan berupa saran dan kritik bagi penulis
yang sangat bermanfaat.
5. Seluruh dosen Departemen Sosiologi yang telah memberikan ilmu yang
sangat bermanfaat dan juga membimbing penulis dan seluruh mahasiswa
Sosiologi dengan penuh semangat dan keikhlasan selama menuntut ilmu di
FISIP USU.
6. Seluruh jajaran staff pegawai di FISIP USU terkhususnya staff dan
pegawai Departemen Sosiologi atas bantuannya selama penulis kuliah di
FISIP USU.
7. Kedaua orang tua penulis yang sangat dibanggakan, Ayahanda terkasih
Erbin Sagala dan Ibunda tercinta Norma Saragi, atas segala doa dan kasih
sayang yang tak terhingga yang senantiasa membesarkan, mendidik, dan
sumber material dan moral, serta tetap memotivasi penulis selama berada
dibangku perkuliahan.
Universitas Sumatera Utara
8. Ke enam saudara yang penulis sayangi, Parmonangan Sagala, Aliberto
Sagala, Rina Fitrayani Sagala, Agjes Parulian Sagala, Margen Palwin
Sagala, Dani Pardingotan Sagala, atas doa dan dukungan baik secara
materi maupun moral yang selama ini penulis dapatkan dan menjadi
motivasi penulis untuk menyelesaikan kuliah dengan sebaik-baiknya.
9. Teman-teman penulis saat perkuliahan di FISIP USU Departemen
Sosiologi stambuk 2012, Holong A.T.I. Sitompul, Ivo Andreas Sinaga, M.
Rizky Dermawan Sitakar, Masraini Nahampun, Dedi Roy Hutagalung,
Hesty Aritonang, serta kepada seluruh kawan-kawan penulis lainnya yang
tidak dapat dituliskan satu persatu, penulis mengucapkan banyak
terimakasih buat pertemanan dan serta motivasinya selama ini.
10. Senioren penulis di Departemen Sosiologi yang telah memberi ide serta
motivasi kepada penulis, Adian Sinambela S.Sos, Waren Stifo Sianturi
S.Sos, Teo Tarigan, Ribel Hutapea S.Sos, Hezron Pardede, dan masih
banyak lagi yang tidak dapat penulis sampaikan, terimakasih atas arahan
serta masukan kepada penulis saat berkuliah maupun dalam penulisan
skripsi ini.
11. Kepada teman-teman yang lain yang telah mendukung dan memotivasi
penulis dalam penyusunan Skripsi ini, Christin Natalia Lumbantobing,
Jupentus B Pardosi, Richardo Nababan, Bill Tancer Situmorang, Mikhael
Simamora, Ben Eriktus Simatupang, dan semua teman-teman yang tidak
penulis sampaikan satu-persatu. Semoga Tuhan memberkati kita
seluruhnya.
Universitas Sumatera Utara
12. Bapak Enrownara Tinambunan selaku Kasie Pemerintahan Camat
Pangururan, yang telah berkenan memberi izin penelitian bagi penulis
dalam menyelesaikan skripsi ini.
13. Seluruh narasumber yang telah bersedia membantu memberikan informasi
yang luar biasa bermanfaat bagi penulis dalam proses penyelesaian skripsi
ini, atas data-data yang diperlukan dan bantuan lain selama proses
penyusunan skripsi ini.
Dalam penulisan skripsi ini, Penulis menyadari bahwa tulisan skripsi ini
masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak kekurangan. Oleh karena itu
penulis mengharapkan saran, masukan, dan kritikan yang membangun demi
kesempurnaan skripsi ini. Terimakasih sebesar-besarnya dan semoga tulisan
skripsi ini dapat bermanfaat.
Medan, 2017
penulis,
Frenki Leo Candra Sagala
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK .............................................................................................................. i
KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ vii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ................................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah ............................................................................ 9
1.3. Tujuan Penelitian ........................................................................... 10
1.4. Manfaat Penelitian ......................................................................... 10
1.4.1 Manfaat Teoritis ................................................................. 11
1.4.2 Manfaat Praktis .................................................................. 11
1.5. Defenisi Konsep ............................................................................. 11
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1. Fungsional Struktural ..................................................................... 16
2.2. Elit Lokal ........................................................................................ 25
2.3. Konsep Kerukunan ......................................................................... 27
2.4. Penelitian Relevan .......................................................................... 33
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian ............................................................................... 37
3.2. Lokasi Penelitian ............................................................................ 38
3.3. Unit Analisis dan Informan ............................................................ 39
3.3.1. Unit Analisis ........................................................................ 39
3.3.2. Informan ................................................................................ 39
Universitas Sumatera Utara
3.3.2.1. Informan Kunci .................................................... 39
3.3.2.2. Informan Biasa ..................................................... 40
3.4. Teknik Pengumpulan Data ............................................................. 41
3.4.1. Pengumpulan Data Primer .................................................. 41
3.4.1.1. Observasi .............................................................. 42
3.4.1.2. Wawancara ........................................................... 42
3.4.2. Pengumpulan Data Sekunder .............................................. 43
3.5. Interpretasi Data ............................................................................. 44
BAB IV HASIL DAN INTERPRETASI DATA
4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ............................................................ 46
4.1.1. Gambaran Umum ............................................................... 46
4.1.2. Letak Geografis .................................................................. 49
4.1.3. Sistem Mata Pencaharian ................................................... 51
4.1.4. Kependudukan ................................................................... 53
4.1.5. Pendidikan .......................................................................... 55
4.1.6. Kesehatan ........................................................................... 58
4.1.7. Sosial Ekonomi .................................................................. 59
4.2. Sejarah Agama Kristen dan Islam .................................................. 61
4.3. Profil Informan ............................................................................... 62
4.3.1. Informan Kunci ................................................................... 62
4.3.2. Informan Biasa ................................................................... 70
4.4. Dasar Praktik Kerukunan antar umat beragama ............................. 72
4.4.1. Konsep Kerukunan ............................................................. 72
4.4.2. Dalihan Natolu Sebagai Nilai Budaya ................................ 73
Universitas Sumatera Utara
4.4.3. Nilai Agama Sebagai Dasar Praktik Kerukunan ................ 80
4.5. Peranan Elit Lokal dan Masyarakat ................................................ 84
4.5.1. Peranan Elit Lokal .............................................................. 84
4.5.1.1. Peran Elit Formal ................................................... 84
4.5.1.1.1. Membangun Solidaritas .......................... 86
4.5.1.1.2. Fasilitas dan Sosialisasi .......................... 87
4.5.1.2. Peran Elit Informal ............................................... 88
4.5.2. Peranan Masyarakat yang Mencerminkan Kerukunan ....... 90
4.5.2.1. Faktor Kekerabatan .............................................. 91
4.5.2.2. Faktor Budaya ...................................................... 95
4.5.2.3. Faktor Lingkungan ............................................... 99
4.5.2.4. Faktor Ekonomi .................................................. 102
BAB V PENUTUP
5.1. Kesimpulan ................................................................................... 104
5.2. Saran ............................................................................................. 111
LAMPIRAN DOKUMENTASI ........................................................................ 114
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 117
Universitas Sumatera Utara
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kerukunan hidup beragama merupakan salah satu pilar utama dalam
memelihara persatuan bangsa dan kedaulatan negara Republik Indonesia.
Kerukunan hidup beragama adalah kondisi bagi semua golongan agama bisa
hidup bersama-sama secara damai tanpa mengurangi hak dan kebebasan masing-
masing untuk menganut dan melaksanakan kewajiban agamanya (Sairin, 2006).
Kerukunan akan bisa dicapai apabila setiap golongan agama memiliki prinsip
setuju dalam perbedaan. Setuju dalam perbedaan berarti setiap individu maupun
kelompok mau menerima dan menghormati individu ataupun kelompok lainnya
dengan seluruh aspirasi, keyakinan, kebiasaan dan pola hidupnya, menerima dan
menghormati orang lain dengan kebebasan untuk menganut keyakinan agamanya
sendiri.
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang multikultural dan
menjungjung tinggi pluralisme, kaya akan perbedaan yang bermacam-macam
yang terdiri dari suku, ras, bahasa, agama dan budaya. Masyarakat Indonesia
adalah masyarakat yang pluralis yang tercermin dalam dasar ideologi negara
Indonesia yaitu Pancasila, sila pertama yang berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sila tersebut memerintahkan kepada kita segenap bangsa Indonesia untuk
memiliki kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai landasan utama
menjalani kehidupan. Hal inilah yang mencerminkan bahwa bangsa Indonesia
bukan negara agama maupun negara sekuler namun, bangsa yang mengakui
Universitas Sumatera Utara
keberadaan agama. Kemunculan agama lahir dari lingkungan yang plural dan
membentuk dirinya sebagai tanggapan terhadap pluralitas tersebut. Jika
pluralisme agama tidak dipahami secara tegas dan benar oleh masing-masing
pemeluk agama akan menimbulkan dampak, tidak hanya berupa konflik antar
umat beragama, tetapi juga konflik sosial dan desintegrasi bangsa (Akhyar, 2015).
Kerukunan antar umat beragama pastilah sangat kompleks, apalagi di
Indonesia yang memang secara historis dan sosial sangat majemuk dari sudut
keagamaan. Dalam kemajemukan agama tersebut, tidak jarang munculnya
persoalan antar penganut agama yang disebabkan atas perbedaan paham dan
pandangan terhadap keberadaan agama lain. Faktor terjadinya konflik antar umat
beragama dalam masyarakat plural bukan hanya dipengaruhi oleh faktor-faktor
atas nama agama akan tetapi konflik agama juga dipengaruhi oleh hal lain, karena
dalam masyarakat meskipun berada dalam pluralitas agama tetapi diwarnai juga
dengan aspek pluralitas atau kemajemukan lainnya seperti, dari sudut budaya,
ekonomi dan politik. Pandangan yang melihat dari sudut keagamaan saja
dipastikan tidak hanya gagal memahami dinamika hubungan antar kelompok
agama, melainkan juga tidak historis dan sosiologis (Elmirzanah, 2002).
Agama adalah salah satu aspek kepercayaan hidup bermasyarakat yang
sangat penting kedudukannya dalam kehidupan bermasyarakat seperti juga dalam
kehidupan ekonomi, sosial dan pendidikan. Pada umumnya, agama membantu
memberikan rasa aman, tentram dan damai karena agama dipercaya mampu
mengontrol dan membimbing setiap penganutnya kearah yang lebih baik.
Disamping itu, agama berfungsi untuk menjadikan hidup dibumi ini untuk dapat
ditolerir, damai dan tentram antara penganut agama yang berbeda-beda ataupun
Universitas Sumatera Utara
dapat tarsatukannya kehidupan masyarakat antar bangsa, antar budaya dan antar
agama didunia ini (O’dea, 1994).
Agama yang dianggap sebagai jalan kebenaran dan kedamaian hidup
manusia, tidak selamanya berjalan sesuai dengan nilai dan norma yang tertanam
didalamnya. Melainkan, agama-agama dapat menjadi sumber konflik, bahkan
bukan tidak mungkin manusia justru mencari dasar-dasar pembenaran dalam kitab
sucinya masing-masing untuk membenarkan konflik yang terjadi. Ayat-ayat kitab
suci yang mengajarkan cinta kasih diantara sesama manusia malah mengantarkan
manusia kedalam fanatisme sempit, sebab ia beranggapan bahwa ia sedang
menjalankan perintah agama. Padahal yang dilakukannya itu sangat bertentangan
dengan tujuan agama yang luhur (Yewangoe, 2002).
Apabila ditinjau dari sudut keagamaan, setiap manusia cenderung
memiliki kepribadian yang berbeda-beda. Ada yang eksklusivisme, inklusivisme
dan pluralisme. Dalam konteks hubungan antar umat beragama, adanya
kecenderungan agama sebagai media perekat sosial. Melalui elit agama dan
interaksi antar umat beragama diharapkan muncul kesadaran beragama untuk
menciptakan kedamaian dan persaudaraan sejati berdasarkan spirit kebenaran
universal agama. Pluralisme jika tidak disikapi secara positif dan dewasa akan
berbuah lahirnya konflik antar umat beragama (Knitter, 2004).
Keanekaragaman agama yang dianut oleh masyarakat Indonesia,
membawa persoalan atau masalah hubungan antar penganut agama. Persoalan
atau konflik yang terjadi atas nama agama diakibatkan pemahaman dan
pandangan sebagian kelompok terhadap pluralitas agama masih formal, dari
Universitas Sumatera Utara
sebagian kelompok tersebut, menganggap hanya ajaran agamanyalah yang paling
benar dan lebih baik dan agama-agama lain dianggap agama yang kurang
sempurna atau mengalami reduksionisme. Formalnya pemahaman dan pandangan
antar umat beragama terhadap pluralitas agama maka secara tidak sadar individu
atau kelompok tersebut akan terjerumus pada stereotipe atau prasangka buruk
terhadap diluar kelompoknya. Pluralisme tidak berfungsi jika masing-masing
individu maupun kelompok mengklaim hanya ajaran agamanyalah yang paling
benar (ekslusivisme). Sikap eksklusif yang melekat dalam diri manusia pada
dasarnya akan memicu konflik antar beda agama ataupun sesama umat beragama,
antar-budaya dan antar suku bangsa. Memahami agama hendaknya tidak hanya
pada klaim kebenaran saja tetapi menginduksi dari interaksi sosial keagamaaan
antar umat beragama yang akan memunculkan sikap toleransi terhadap agama lain
(Sabri, 1999).
Kerukunan antar umat beragama di Indonesia perlu ditinjau ulang dalam
latar munculnya konflik-konflik yang mengatasnamakan agama. Kasus-kasus
kerusuhan atas latar belakang agama yakni pembakaran dan pembongkaran gereja
di Aceh, pembakaran tempat ibadah di Tanjung Balai, dan banyak kasus-kasus
kerusuhan atas nama agama antara lain di Situbondo, Tasikmalaya, Kupang,
Sambas, Maluku, Ambon, Poso dan yang lain mengisyaratkan betapa kompleks
persoalan-persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia yang sedang membangun
ditengah kemajemukan (pluralitas) bangsa yang sedemikian pusparagam. Konflik
agama tersebut, mengindikasikan bahwa pemahaman masyarakat tentang
kerukunan antar umat beragama perlu ditinjau ulang. Banyaknya konflik yang
melibatkan agama sebagai pemicunya menuntut adanya perhatian yang serius
Universitas Sumatera Utara
untuk mengambil langkah-langkah yang antisipatif demi damainya kehidupan
umat beragama di Indonesia pada masa-masa mendatang. Jika diabaikan,
dikwatirkan akan muncul masalah-masalah yang lebih berat dalam angka
pembangunan bangsa dibidang politik, ekonomi, pendidikan, keamanan, budaya
dan bidang-bidang lainnya (Nashir, 1997).
Masalah kerukunan beragama perlu di analisa lebih dalam tentang konflik-
konflik yang terjadi yang mengatasnamakan agama, baik intern maupun antar
umat beragama dan umat berkeyakinan di negeri ini. Masalah kerukunan
beragama berakar pada banyak persoalan, dari dalam dan dari luar agama. Faktor
dari dalam sepertinya Sebagian kelompok memiliki pemahaman yang sempit
tentang agama. Faktor luar berasal dari banyak masalah yang membelit
masyarakat, seperti kemiskinan, pengangguran, pendidikan, infrastruktur yang
lemah atau lingkungan. Pemerintah dinilai belum mampu membangun yang
sumber daya alamnya melimpah. Penegakan hukum yang lemah, bahkan korupsi,
kolusi, nepotisme semakin meraja lela. Kemampuan penegak hukum yang kurang
mampu dalam mengantisipasi dan menyelesaikan persoalan-persoalan keagamaan
yang pluralis. Pemerintah diharapkan dapat mencapai tujuan negara dimana
terciptanya keadilan yang dimaksud serta tidak terjadinya lagi praktik-praktik
diskriminasi atau kriminalisasi terhadap keragaman agama di Indonesia. Akibat
kurang mampunya penegak hukum, tren kekerasan di Indonesia meningkat,
toleransi beragama semakin terkikis dan radikalisasi agama kian menguat yang
terlihat dari merosotnya toleransi terhadap kelompok atau agama lain (Rosyid,
2013).
Universitas Sumatera Utara
Upaya mencari jalan keluar supaya terciptanya pengaturan kemajemukan
agama yang baik dan mampu mendukung terbentuknya persatuan dan kesatuan
bangsa, khususnya menyangkut peran aktif antar kelompok dan keberagaman
mestinya harus dapat segera diwujudkan. Kebersamaan dalam menjalankan
aktifitas keagamaan pada masyarakat yang majemuk atau masyarakat yang
memiliki lebih dari satu jenis kepercayaan, akan menciptakan keharmonisan
agama atau kerukunan umat beragama, dan saling menghargai atau menghormati
antar pemeluk-pemeluk agama yang berbeda. Terciptanya kerukunan beragama
tergantung kesadaran kognitif individu maupun kelompok dalam menjalankan
ajaran agamanya, politik, ekonomi dan budaya, dimana timbulnya konflik atau
pergesekan berdasarakan agama yang disebabkan para pemeluk agama kurang
memahami keseluruhan arti nilai-nilai spritual dan fungsi agama tersebut.
Berangkat dari permasalahan diatas, ada fenomena yang menarik bagi
penulis melihat kerukunan antar umat beragama yang berbeda keyakinan di
kecamatan Pangururan, kabupaten Samosir, provinsi Sumatera Utara yang bisa
hidup berdampingan, rukun, damai, tentram dan mampu menjaga keharmonisan
meskipun dikategorikan masyarakatnya berada dalam golongan masyarakat yang
heterogen. Terdapat empat jenis kepercayaan yang dianut masyarakat Pangururan
yang secara sah diakui negara yakni : Katolik, Protestan, Islam dan Budha.
Menurut data sensus penduduk BPS tahun 2010 jumlah penduduk kecamatan
Pangururan berkisar 29.412 jiwa yakni, pemeluk agama Katolik (47,30%),
Protestan (50,07%), Islam (2,44%), Budha (0,01%) dan lainnya (0,18%),
(www.bps.go.id). Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa agama Kristen
Universitas Sumatera Utara
adalah agama Mayoritas dan agama lainnya seperti Islam, Buddha dan aliaran
kepercayaan lainnya adalah Minoritas.
Ditambahkan juga, bahwa realitas yang tidak dapat disangkal di daerah ini,
bahwa adanya bangunan Mesjid dan Gereja yang letaknya bersebelahan ataupun
berdekatan. Meskipun demikian bahwa salah satu aspek yang dapat mengganggu
terwujudnya kerukunan antar umat beragama adalah persoalan pendirian rumah
ibadah, tetapi hal tersebut sudah diatasi dengan keputusan dari departemen agama
dan departemen dalam negeri, bersama majelis-majelis agama yakni Majelis
Ulama Indonesia (MUI), Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PHDI),
Perwakilan Umat Buddha Indonesia (WALUBI) melalui diskusi dan dialog yang
intensif, serius dan berulang-ulang yang berhasil dalam mencapai kesepakatan dan
dituangkan dalam Persatuan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri
Tentang Pedoman dan Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah atau Wakil Kepala
Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum
Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadah.
Dengan penjelasan diatas, posisi tempat ibadah tersebut tidak juga menjadi
suatu hal yang mempengaruhi ataupun menjadi pemicu terjadinya konflik antar
umat beragama dalam kehidupan bermasyarakat di kecamatan Pangururan
kabupaten Samosir. Kondisi demikian dapat terlihat karena masih adanya
kehangatan, keakraban bertetangga dan berhubungan sosial antar umat beragama
yang satu dengan yang lain dalam masyarakat.
Pangururan merupakan suatu wilayah yang menjunjung tinggi nilai
kerukunan, walaupun masyarakatnya hidup dalam berbeda agama, namun mereka
Universitas Sumatera Utara
mampu untuk menghormati satu sama lain, saling menghargai dan saling menjaga
keharmonisan. Bekerjasama dalam pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.
Suatu realita yang mencerminkan kerukunan antar umat beragama adalah adanya
sikap dan perilaku tolong menolong yang terlihat dalam upacara pernikahan dan
acara orang yang meninggal. Kerukunan di daerah ini menjadi hal yang menarik
untuk dikaji, karena kecamatan Pangururan merupakan wilayah yang berkembang
dan masyarakatnya rata-rata berpendidikan Sekolah Menengah, maka penulis
tertarik untuk meneliti, apakah kerukunan ini terjadi karena mereka saling
memahami bagaimana menghormati dan menghargai agama lainnya atau hanya
karena mereka takut karena ada salah satu agama yang jumlahnya lebih banyak
dibandingkan agama lainnya.
Suatu hal yang sangat menarik dalam kerukunan umat beragama di
kecamatan Pangururan adalah suatu bentuk kerjasama dalam suatu tujuan,
misalnya secara bersama-sama dalam mensukseskan agenda dan acara keagamaan
masing-masing serta bersama-sama aktif dalam mensukseskan kegiatan yang
diadakan oleh berbagai desa dan pemerintahan setempat. Masyarakat Pangururan
juga menjadi contoh bagi masyarakat wilayah lainnya, karena masyarakatnya
mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan tetangga yang berbeda agama
dengan baik. Masyarakat Pangururan juga terkenal karena masih menjaga tradisi
nenek moyangnya dengan tanpa mengurangi atau menambah adat yang sudah ada
walaupun banyak unsur-unsur baru yang masuk kedalam kehidupan masyarakat
pangururan. Adat yang kental sampai sekarang adalah upacara adat pernikahan,
upacara adat kematian, pemberian sesajen ketempat yang dianggap keramat dan
Universitas Sumatera Utara
berjiarah ketempat makam nenek moyang sebagai lambang menghormati roh
nenek luhur.
Ditambahkan juga bahwa sikap yang dimiliki oleh masyarakat Pangururan
terlebih masyarakat etnis Batak yang secara realistis adalah mayoritas penganut
agama Kristen dilihat dari jumlah penduduk dan agama Islam sebagai agama
minoritas, tidak saling memiliki prasangka buruk terhadap kelompok yang beda
sama kelompoknya. Hal tersebut ditemui pada sikap mayoritas terhadap minoritas
bahwa adanya sikap saling membiarkan satu sama lain seperti halnya dalam
membuka usaha, penggunaan kerudung dan yang lainnya. Disisi lain, adanya
hubungan kekerabatan sebagai pengikat tali persaudaraan antara umat beragama
yang berbeda, seperti halnya ikatan marga, asimilasi yang dimana walaupun
berbeda agama tetapi hubungan kekerabatan didaerah ini masih sangat kental
sehingga mempengaruhi kerukunan antar umat beragama yang baik.
Dengan kondisi sosial seperti itulah yang menjadi salah satu ketertarikan
penulis untuk melakukan penelitian tentang Kerukunan Antar Umat Beragama di
kecamatan Pangururan, kabupaten Samosir.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka yang menjadi rumusan masalah
yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah :
1. Apakah dasar praktik antar umat beragama yang mencerminkan kerukunan di
kecamatan Pangururan kabupaten Samosir?
Universitas Sumatera Utara
2. Bagaimana peranan elit lokal dan masyarakat yang mencerminkan kerukunan
antar umat beragama di kecamatan Pangururan kabupaten Samosir?
1.3. Tujuan Penelitian
1.Untuk mengetahuikerukunan yang terjalin antara umat beragama Islam, Kristen
Protestan, Katolik, Buddha dan aliran kepercayaan lainnya di kecamatan
Pangururan kabupaten Samosir.
2. Untuk menggali nilai-nilai lokal budaya masyarakat di kecamatan Pangururan
yang mencerminkan kerukunan dalam keberagaman agama dan untuk
mengetahui bagaimana perilaku elit lokal dan masyarakat dalam menjaga
kerukunan di kecamatan Pangururan kabupaten Samosir.
1.4. Manfaat Penelitian
Dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoritis
maupun secara praktis.
1.4.1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi,
pemahaman, serta sumbangan bagi kepustakaan departemen sosiologi dan
segenap para mahasiswa, khususnya mahasiswaa sosiologi maupun masyarakat
luas dalam meningkatkan wawasan serta cakrawala berpikir.
1.4.2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan penulis dalam
menulis karya ilmiah serta menambah wawasan penulis khususnya yang berkaitan
Universitas Sumatera Utara
dengan kerukunan antar umat beragama, serta penelitian ini juga diharapkan
mampu menjawab persoalan-persoalan yang terjadi di dalam masyarakat dan
dijadikan sebagai bahan masukan, informasi, ataupun referensi bagi masyarakat
luas dan masyarakat di sekitar tempat penelitian.
1.5. Defenisi Konsep
Dalam sebuah penelitian, defenisi konsep sangat diperlukan untuk
mempermudah dan memfokuskan penelitian. Defenisi konsep bertujuan untuk
merumuskan istilah-istilah yang digunakan secara mendasar agar tercipta suatu
persamaan persepsi dan menghindari salah pengertian yang dapat mengaburkan
penelitian. Adapun defenisi konsep dalam penelitian ini adalah:
1. Nilai Sosial
Nilai sosial adalah sesuatu yang dipandang berharga oleh orang
atau kelompok orang serta dijadikan acuan tindakan maupun pengarti arah
hidup. Dari penjelasan diatas dimaksud bahwa nilai ditumbuhkan dan
dibatinkan lewat kebudayaan orang itu yang dihayatinya sebagai jagat
makna hidup dan diwancanakan serta dihayati dalam jagat simbol.
Nilai adalah suatu bagian penting dari kebudayaan. Suatu tindakan
dianggap sah yang artinya secara moral dapat diterima, apabila harmonis
dengan nilai-nilai yang disepakati dan dijunjung oleh masyarakat dimana
tindakan itu dilakukan. Menurut Horton dan Hunt (1987) nilai adalah
gagasan mengenai apakah sesuatu pengalaman itu berarti atau tidak
berarti. Nilai pada hakikatnya mengarahkan perilaku dan pertimbangan
seseorang tetapi ia tidak menghakimi apakah sebuah perilaku dan
Universitas Sumatera Utara
pertimbangan seseorang, tetapi ia tidak menghakimi apakah sebuah
perilaku tertentu itu salah atau benar (Narwoko, 2004).
2. Kerukunan
Menurut Lubis (2005) Kerukunan adalah kondisi sosial yang
ditandai oleh adanya keselarasan, kecocokan atau ketidak berselisihan.
Dalam literatur ilmu sosial kerukunan diartikan dengan istilah integrasi
sosial. Kerukunan merupakan kondisi dan proses tercipta dan
terpeliharanya pola-pola interaksi yang beragam diantara unit-unit (unsure
/ sub sistem) yang otonom. Kerukunan mencerminkan hubungan timbal
balik yang ditandai oleh sikap saling menerima, saling mempercayai,
saling menghormati dan menghargai, serta sikap saling memaknai
kebersamaan (ejournal, Suryawandan, 2016).
Keselarasan adalah cita-cita luhur masyarakat Jawa. Keselarasan
artinya harmoni kehidupan lahir dan batin serta antara personal dan sosial.
Masyarakat jawa menerapkan berbagai prisnsip etika yang disebut prinsip
rukun dan hormat untuk untuk mencapai keseimbangan. Prinsip ukun dan
hormat menjadikan individu semakin arif dalam komunikasi antar personal
dalam masyarakat, hinga jauh dari ketegangan sosial. Prinsip yang
mengandung keselarasan hidup adalah pengendalian diri. Masyarakat jawa
memandang oang lain bukan sebagai lawan, melainkan kawan antara
kawan dan dengan dirinya diciptakan rona komunikasi yang ritmis, tidak
saling menjatuhkan, saling hormat agar tidak terjadi perpecahan
(Endraswara, 2010).
Universitas Sumatera Utara
3. Jemaat Agama Kristen
Tiga ajaran Kristen yang dikenal yaitu Inkarnasi, Penebusan dan
Trinitas. Ajaran Inkarnasi adalah percaya bahwa dalam tubuh Kristus itu
adalah Tuhan yang memakai tubuh manusia, kepercayaan ini menyatakan
bahwa Kristus adalah manusia-Tuhan yang sekaligus merupakan Tuhan
seutuhnya dan sekaligus juga manusia seutuhnya. Ajaran Penebusan
adalah Rekonsiliasi atau merukunkan kembali yaitu pulihnya kembali
persatuan (at-one-ment). Orang Kristen percaya, bahwa kehidupan dan
kematian Kristus adalah sebuah penebusan dosa dan perdamaian bagi
umat manusia. Konsep penting Kristen ketiga adalah konsep Trinitas yang
mengajarkan bahwa walaupun Tuhan itu Esa, dia juga tiga dengan kata
lain, Allah Tri Tunggal (Smith, 2008).
Agama Kristen berarti suatu keyakinan ataupun kepercayaan yang
mempercayai bahwa Yesus Kristus sebagai juru selamat manusia yang
menebus Dosa-dosa manusia dengan kematian-nya di Kayu Salib. Tempat
ibadah agama Kristen adalah Gereja dan kitab suci yang digunakan adalah
Alkitab.
Jemaat adalah persekutuan orang-orang yang percaya kepada
Yesus Kristus baik yang disuatu maupun keseluruhan persekutuan Kristen.
Jemaat dalam bahasa Yunani disebut dengan “ekklesia” yang berarti
perkumpulan orang-orang yang Sdipanggil dan dipilih Tuhan (Alkitab
Perjanjian Baru).
4. Umat agama Islam
Universitas Sumatera Utara
Islam berasal dari kata salam yang berarti damai, tentram dan juga
berarti menyerahkan diri, maka keseluruhan pengertian yang dikandung
adalah kedamaian sempurna yang terwujud jika hidup seseorang
diserahkan kepada Allah. Kata sifat yang berkenaan dengan ini adalah
Muslim (Huston Smith, 2008).
Islam artinya penyerahan diri kepada Allah, Tuhan yang Maha
Kuasa, Maha Perkasa dan Maha Esa. Penyerahan itu diikuti dengan
kepatuhan dan ketaatan untuk menerima dan melakukan apa saja perintah
dan larangan-nya. Aturan dan undang-undang yang dibuat oleh Allah itu
dikenal dengan istilah Syari’ah (Kaelany, 2005).
Agama Islam berarti sebuah kepercayaan yang mengutamakan
ketaatan dan kepatuhan terhadap Syari’ah untuk mengatur hubungan
kehidupan manusia dengan Allah. Kitab suci agama Islam adalah Al-
Quran.
5. Penganut Aliran Kepercayaan
Menurut Kartapradja (1985) aliran kepercayaan adalah keyakinan dan
kepercayaan suatu individu atau masyarakat di luar agama yang artinya
tidak termasuk salah satu agama. Aliran kepercayaan itu ada dua macam
yakni:
• Kepercayaan yang sifatnya tradisional dan animistis, tanpa filosofi
dan tidak ada pelajaran mistiknya, seperti kepercayaan orang-orang
perlamin dan pelebegu di tapanuli.
• Golongan kepercayaan yang ajarannya ada filosofisnya juga
disertai mistik, golongan inilah yang disebut atau menamakan
Universitas Sumatera Utara
dirinya golongan kebatinan. Golongan kebatinan ini
perkembangannya akhirnya menamakan dirinya sebagai golongan
kepercayaan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa.
Universitas Sumatera Utara
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Fungsional Struktural
Asumsi dasar teori fungsionalisme strutural adalah bahwa suatu
masyarakat terintegrasi atas dasar kesepakatan dari para anggotanya akan nilai-
nilai dan norma-norma kemasyarakatan tertentu yang mempunyai kemampuan
mengatasi perbedaan-perbedaan sehingga masyarakat tersebut dipandang sebagai
suatu sitsem yang secara fungsional terintegrasi dalam suatu keseimbangan
(equilibrium). Dengan demikian masyarakat adalah kumpulan sistem-sistem sosial
yang satu sama lain berhubungan dan saling ketergantungan.
Menurut teori fungsionalisme struktural, masyarakat berada dalam kondisi
statis atau lebih tepatnya berdiri dalam kondisi keseimbangan, selalu melihat
bahwa anggota masyarakat terikat informal oleh norma-noram, nilai-nilai dan
moralitas umum. Dalam teori struktural fungsional juga diterangkan bahwa
masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terjadi atas bagian-bagian atau
elemen-elemen yang menyatu dalam keseimbangan. Perubahan yang terjadi dalam
suatu bagian akan membawa perubahan pula terhadap bagian lainnya. Asumsi
dasarnya adalah bahwa setiap struktur dalam sistem sosial, fungsional terhadap
sistem yang lainnya. Penganut teori ini cenderung hanya melihat kepada
sumbangan satu sistem dapat beroperasi dalam menentang fungsi-fungsi lainnya
dalam suatu sitem sosial. Penganut teori ini beranggapan bahwa semua struktur
adalah fungsional bagi suatu masyarakat (Ritzer, 1992).
Universitas Sumatera Utara
Talccot Parsons sebagai penggas dalam teori ini menyatakan bahwa suatu
keadaan yang teratur itu disebut “masyarakat”. masyarakat terdiri banyak individu
yang berbeda, dan perbedaan itu yang menimbulkan masalah.
Parsons menyusun beberapa konsep yang melatarbelakangi perpaduan
masyarakat sebagai berikut;
1. Adanya nilai-nilai budaya, dan
2. Nilai tersebut dikembangkan menjadi norma-norma sosial, dan
3. Diterapkan setiap aktor/individu menjadi suatu motivasi.
Dalam struktural fungsional, Parsons memandang bahwa suatu masyarakat
sebagai bagian dari suatu lembaga sosial yang berada dalam keseimbangan, yang
mempolakan kegiatan manusia berdasarkan norma-norma yang dianut bersama
serta dianggap sah dan mengikat peran status manusia itu sendiri (Vegeer, 1986).
Talccot Parsons juga berpendapat bahwa tingkah laku manusia
dipengaruhi dari batin oleh tujuan-tujuan tertentu yang diterapkan atas nilai-nilai
dan norma-norma yang dibagi bersama dengan orang lain. Parsons merumuskan
empat prasyarat fungsional yang harus dipenuhi oleh setiap masyarakat, kelompok
atau organisasi untuk menjaga keseimbangan dan keberadaannya tersebut. Empat
prasyarat tersebut adalah AGIL yakni, Adaptation, Goal Atteinment, integration,
dan Laten Pattern Maintenance (Doyle, 1990).
Adaptation yaitu penyesuaian diri dengan keadaan dengan cara
mendahulukan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi maupun golongan.
Goal Attainment yaitu penggunaan sumber daya secara efektif dalam
meraih tujuan tertentu serta penerapan perioritas diantara tujuan tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Integration yaitu membangun landasan yang kondusif bagi terciptanya
kordinasi yang baik antar sistem. Masyarakat harus mengatur hubungan diantara
komponen-komponennya supaya berfungsi secara maksimal.
Latent Pattern Maintenence atau pemeliharaan pola-pola yang sudah ada:
setiap masyarakat harus mempertahankan, memperbaiki dan memperbaharui baik
motivasi individu-individu maupun pola-pola budaya yang menciptakan dan
mempertahankan motivasi-motivasi itu.
Dalam teori struktural fungsional, Parsons juga mengungkapkan adanya
beberapa struktur institusional dalam mekanisme untuk memenuhi persyaratan
fungsional yang diberikan sehingga mencapai hasil sebuah identifikasi tipe
struktural tertentu yang ada dalam masyarakat (Doyle, 1990). Parsons dalam hal
ini menunjukkan :
a) Struktur kekerabatan, struktur ini berhubungan dengan pengaturan
pengungkapan perasaan, seksual, pemeliharaan dan pendidikan anak
muda.
b) Struktur prestasi instrumental dan stratifikasi, struktur ini menyalurkan
semangat dorongan individu dalam memenuhi tugas yang perlu untuk
mempertahankan kesejahteraan masyarakat keseluruhan sesuai dengan
nilai-nilai yang dianut bersama.
c) Teritorialitas, kekuatan dan integrasi dalam sistem kekuasaan, sema
masyarakat harus memiliki suatu bentuk organisasi teritorial. Hal ini perlu
untuk mengontrol konflik internal dan untuk berhubungan dengan
masyarakat lainnya, atau masyarakat memiliki suatu bentuk organisasi
politik.
Universitas Sumatera Utara
d) Agama dan integrasi nilai, pentingnya nilai-nilai yang dianut bersama
sudah sering kali ditekankan. Masalah membatasi nilai dan komitmen
yang kuat terhadap nilai-nilai itu sangat erat hubungannya dengan istitusi
agama. Secara tradisional agama memberikan kerangka arti simbolis yang
bersifat umum yang karenanya sistem nilai dalam masyarakat memperoleh
makna akhir atau mutlak.
Teori fungsionalisme menerangkan hal bahwa sistem sosial seimbang oleh
karena adanya nilai-nilai yang dianut bersama oleh individu seperti nilai moral
dan agama. Inilah yang mengikat individu dalam kelompok masyarakat.
Rusaknya nilai-nilai ini berarti rusaknya keseimbangan sosial melalui
ketidaknyamanan para individu-individu masyarakat. Menurut teori
fungsionalisme masyarakat merupakan suatu organisme yang harus ditelaah
dengan konsep biologis tentang struktur dan fungsinya (Nazsir, 2008).
Prinsip pokok perspektif fungsionalisme ini adalah sebagai berikut
1) Masyarakat merupakan sistem yang kompleks yang terdiri dari bagian-
bagian yang saling berhubungan dan tergantung, dan setiap bagian-
bagian tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap bagian-bagian
lainnya.
2) Setiap bagian dari sebuah masyarakat eksis karena bagian tersebut
memiliki fungsi penting dalam memelihara eksistensi dan stabilitas
masyarakat secara keseluruhan, karena itu eksistensi dari satu bagian
tertentu dari masyarakat dapat diterangkan apabila fungsinya bagi
masyarakat sebagai keseluruhan dapat diidentifikasi.
Universitas Sumatera Utara
3) Semua masyarakat mempunyai mekanisme untuk mengintegrasikan
dirinya, yaitu mekanisme yang dapat mengintegrasikan dirinya,
merekatkannya menjadi satu; satu bagian penting dari mekanisme
tersebut adalah komitmen anggota suatu masyarakat kepada
serangkaian kepercayaan dan nilai yang sama.
4) Masyarakat cenderung mengarah pada suatu keadaan ekuilibrium
(seimbang), dan gangguan pada salah satu bagiannya cenderung
menimbulkan penyesuaian pada bagian lain agar tercapai harmoni atau
stabilitas.
5) Perubahan sosial merupakan kejadian yang tidak biasa dalam
masyarakat, tetapi apabila hal tersebut terjadi, maka perubahan itu pada
umumnya akan membawa konsekuensi yang menguntungkan
masyarakat secara keseluruhan. Sebagai konsekuensi logis dari prinsip
pokok diatas, perspektif ini berpandangan bahwa segala hal yang tidak
berfungsi akan lenyap dengan sendirinya.
6) Karena agama sampai saat ini masih tetap eksis maka jelas bahwa
agama mempunyai fungsi atau bahkan memainkan sejumlah fungsi
didalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, perspektif fungsionalis
lebih memfokuskan perhatian dalam mengamati fenomena keagaamaan
pada sumbangan fungsional agama yang diberikan pada sistem sosial.
Melalui perspektif ini, pembicaraan tentang agama akan berkisar pada
permasalahan tentang fungsi agama dalam meningkatkan kohesi
masyarakat dan kontrol terhadap perilaku individu.
Universitas Sumatera Utara
Teori tindakan ini dikemukakan oleh Max Weber yang kemudian
dikembangkan oleh Talcott Parsons yang menyatakan bahwa aksi itu bukanlah
perilaku/behavior. Aksi adalah tindakan mekanis terhadap stimulus sedangkan
perilaku merupakan proses mental yang aktif dan kreatif. Parsons juga
beranggapan bahwa yang utama bukanlah tindakan individu melainkan norma dan
nilai-nilai sosial yang menuntut dan mengatur perilaku itu. Kondisi objektif
disatukan dengan komitmen kolektif terhadap suatu nilai akan mengembangkan
suatu bentuk tindakan sosial tetentu. Parsons juga beranggapan bahwa
tindakannya juga melakukan klasifikasi tipe peranan dalam suatu sistem sosial
yang disebut pattern variables, yang didalamnya berisi tentang interaksi yang
afektif, beriorentasi pada diri sendiri dan orientasi kelompok. Sedangkan sistem
yaitu suatu kerangka yang terdiri dari beberapa elemen/sub elemen/sub sistem
yang saling berinteraksi dan berpengaruh.
Konsep sistem digunakan untuk menganalisis perilaku dan gejala sosial
dengan berbagai sistem yang lebih luas maupun dengan sub sistem yang
tercangkup didalamnya. Dalam pandangan Parsons, masyarakat dan suatu
organisme hidup merupakan sistem yang terbuka yang berinteraksi dan saling
mempengaruhi dengan lingkungannya. Sitem kehidupan ini dapat dianalisis
melalui interaksi atau bagian-bagian yang membentuk sistem dan pertukaran
antara sitem itu dengan lingkungannya. Parsons mengemukakan teorinya tentang
model masyarakat kedalam empat sistem tindakan yakni (Ritzer, 2008):
Universitas Sumatera Utara
1. Sistem budaya
Dalam unit analisisnya yang paling dasar adalah tentang “arti” atau
“sistem simbolik”. Dalam tingkat ini, Parsons memusatkan perhatiannya
pada nilai yang dihayati bersama.
2. Sistem sosial
Kesatuan yang paling dasar pada analisanya adalah interaksi
berdasarkan peran. Menurut Tallcot Parsons sistem sosial adalah interaksi
antara dua atau lebih individu didalam suatu lingkungan tertentu.
3. Sistem kepribadian
Kesatuan yang paling dasar dari unit analisanya adalah individu
merupakan aktor atau pelaku. Pusat perhatian Parsons dalam analisisnya
adalah kebutuhan-kebutuhan, motif-motif, sikap-sikap, seperti motivasi
untuk mendapat kepuasan atau keuntungan.
4. Sistem organisme (aspek biologis manusia sebagai suatu sistem)
Kesatuan paling dasar dalam sistem ini adalah manusia dalam arti
biologis, yakni aspek fisik dari manusia itu. Yang termasuk aspek fisik
ialah lingkungan fisik dimana manusia itu hidup.
Inti pemikiran Parsons ditemukan didalam empat sistem tindakan
ciptaannya. Proplem Hobbesian tentang keteraturan yang dapat mencegah perang
sosial semua lawan semua, menurut Parsons tak dapat dijawab oleh filsuf kuno.
Parsons menemukan jawaban problem didalam fungsional struktural dengan
asumsi sebagai berikut (Ritzer, 2008):
1. Sistem memiliki properti keteraturan dan bagian-bagian yang saling
bergantung.
Universitas Sumatera Utara
2. Sistem cenderung bergerak ke arah mempertahankan keteraturan diri atau
keseimbangan.
3. Sistem mungkin statis atau bergerak dalam proses perubahan yang teratur.
4. Sifat dasar bagian dari suatu sistem berpengaruh terhadap bagian-bagian
lainnya.
5. sistem memelihara batas-batas dengan lingkungannya.
6. Alokasi dan integrasi merupakan dua proses fundamental yang diperlukan
untuk memelihara keseimbangan sistem
7. Sistem cenderung menuju kearah pemeliharaan keseimbangan diri yang
meliputi pemeliharaan batas dan pemeliharaan hubungan antara bagian-
bagian dan keseluruhan sistem, mengendalikan lingkungan yang berbeda-
beda dan mengendalikan kecenderungan untuk merubah sistem dari
dalam.
Dengan asumsi-asumsi diatas hal ini menyebabkan bahwa Parsons
menempatkan analisis struktur keteraturan masyarakat pada perioritas utama.
Dengan demikian, ia sedikit sekali membicarakan/membahas mengenai perubahan
sosial.
Konsepsi Parson mengenai sistem sosial dimulai dari level mikro, yaitu
interaksi-interaksi antara ego dan alter ego, yang diartikan sebagai bentuk dasar
dari sistem dasar dari sistem sosial. Menurut Parsons sistem yang terdiri dari
beragam aktor individual yang berinteraksi satu sama lain dalam situasi yang
setidaknya memiliki aspek fisik atau lingkungan, aktor yang cenderung
termotivasi kearah optimalisasi kepuasan dan yang hubungannya dengan situasi
mereka, termasuk hubungan satu sama lain, didefenisikan dan diperantarai dalam
Universitas Sumatera Utara
bentuk sistem simbol yang terstruktur secara kultural dan dimiliki bersama
(Ritzer, 2008).
Walaupun sistem sosial identik dengan interaksi sosial namun Parsons
menganggap interaksi bukan hal terpenting dalam sitem sosial, namun ia
menempatkan status peran sebagai unit yang mendasari sistem sosial. Status
merujuk pada posisi struktural dalam sistem sosial, dan peran adalah apa yang
dilakukan aktor dalam suatu posisi.
Aktor tindak dipandang menurut pemikiran dan tindakan, karena dia tidak
lain hanyalah sekumpulan peran status dan peran. Contohnya, sosialisasi dalam
masyarakat membutuhkan seseorang yang mempunyai posisi struktural yang lebih
tinggi daripada masyarakat yang diberikan sosialisasi.
Menurut Talccot Parsons, kebudayaan merupakan kekuatan utama yang
mengikat sistem tindakan. Hal ini disebabkan karena didalam kebudayaan
terdapat norma dan nilai yang harus ditaati oleh individu untuk mencapai tujuan
dari kebudayaan itu sendiri. Nilai dan norma tersebut akan diinternalisasikan oleh
aktor kedalam dirinya sebagai suatu proses dalam sistem kepribadian agar
membentuk individu sesuia ang diinginkan dalam sistem kultural. Contohnya nilai
dan norma akan mendorong individu untuk bertutur kata lebih sospan kepada
orang yang lebih tua.
Parsons berpendapat bahwa sistem kultural sama dengan sistem tindakan
yang lain. Jadi, kebudayaan adalah sistem soimbol yang terpola dan tertata yang
merupakan sarana orientasi aktor, aspek sistem kepribadian yang
diinternalisasikan, dan pola-pola yang terinstitusionalkan dalam sistem sosial
(Ritzer, 2008).
Universitas Sumatera Utara
2.2. Elit Lokal
Teori elit dibangun diatas pandangan atau persepsi bahwa keberadaan elit
baik elit dibidang politik maupun elit dibidang agama tidak dapat dielakkan dari
aspek-aspek kehidupan modren ang serba kompleks. Elit diklasifikasikan atas elit
lokal atau elit setempat yaitu, lurah, guru, pegawai-pegawai daerah dan pusat,
tokoh-tokoh politik, agama dan petani kaya. Kepemimpinan elit tidak dapat
dielakkan dari sifatnya yang asli yaitu pemimpin merupakan seseorang yang
ditunjuk oleh masyarakat untuk mengatur dan mengarahkan berbagai persoalan-
persoalan yang dihadapi masyarakat mengarah pada kesejahteraan hidup
masyarakat.
Pada dasarnya tokoh elit ini dibedakan menjadi dua yakni: elit formal dan
elit informal. Elit formal adalah orang yang oleh organisasi/lembaga tertentu
ditunjuk sebagai pemimpin, berdasarkan keputusan dan pengangkatan resmi
memangku suatu jabatan dan struktur organisasi dengan segala hak dan kewajiban
yang berkaitan dengannya untuk mencapai sasaran organisasi. Sedangkan
informal ialah orang yang tidak mendapatkan pengangkatan formal sebagai
pemimpin, namun karena dia memiliki kualitas unggul, dia mencapai kedudukan
sebagai orang yang mampu mempengaruhi kondisi psikis dan perilaku suatu
kelompok atau masyarakat (Keller, 1995).
Ada dua tradisi akademik tentang elit. Dalam tradisi yang lebih tua elit
diperlukan sebagai sosok khusus yang menjalankan misi historis, memenuhi
kebutuhan mendesak, melahirkan bakat-bakat unggul. Elit dipandang sebagai
kelompok pencipta tatanan yang dianut oleh semua pihak. Dalam pendekatan
Universitas Sumatera Utara
yang lebih baru, elit dipandang sebagai kelompok yang menghimpun para
petinggi para pemerintahan (Kartini, 1998).
Dalam setiap masyarakat akan selalu terdapat peran dan pengaruh. Namun
agar dapat menggunakan peran dan pengaruh tersebut secara optimal maka
seseorang harus memiliki keunggulan dibanding orang lain. Dalam kenyataannya
orang yang memiliki keunggulan hanya berjumlah sedikit dan mempunyai
pengaruh yang sangat besar dalam masyarakat itulah yang disebut dengan elit.
Lebih lanjut disampaikan bahwa masing-masing elit dapat menguasai dari satu
bidang sehingga peran dan pengaruhnya dimasyarakat akan besar. Menurut
Raymond Aron (ahli sosiologi dan wartawan); menyatakan bahwa ide tentang elit
ini menjadi minoritas yang melaksanakan kekuasaan; dimana saja dia berbicara
mengenai kelas-kelas penguasa (keller, 1995).
Secara umum konsep elit menunjukkan ciri-ciri berikut: 1) superioritas
atau kelebihan dalam bidang-bidang tertentu, kekuasaan, pengetahuan, kekayaan
dan sebagainnya. 2) karena kelebihannya sehingga menempati kedudukan sosial
yang lebih tinggi diatas warga masyarakat lainnya. Dalam kehidupan masyarakat
ada anggapan bahwa akan selalu dibutuhkan seorang pemimpin, sehingga akan
muncul orang yang diperintah dan memerintah orang yang lainnya. Menurut
Pareto, dalam hubungan memerintah dan diperintah tersebut akan terdapat
governing elit dan non governing elit yang kemudian digambarkan melalui
gambar piramida dimana dibawah kedua golongan elit tersebut kemudian terdapat
yang disebut non golongan elit yang jumlahnya lebih banyak daripada kedua jenis
golongan elit tersebut. dengan keunggulan yang dimiliki maka elit akan dapat
meningkatkan peran dan pengaruhnya dimasyarakat (Keller, 1995).
Universitas Sumatera Utara
2.3. Konsep Kerukunan
Secara etimologis kata kerukunan pada mulanya adalah bahasa Arab, yaitu
“ruknum” berarti tiang, dasar, sila. Jamak ruknum adalah “arkan”, artinya suatu
bangunan sederhana yang terdiri dari bagian unsur dari kata arkan diperoleh
pengertian, bahwa kerukunan merupakan suatu kesatuan yang terdiri dari berbagai
unsur yang berlainan dan setiap unsur tersebut saling menguatkan (Syaukani,
2008). Dalam bahasa Indonesia arti rukun adalah:
1. Rukun nominal adalah sesuatu yang dipenuhi untuk sahnya pekerjaan, seperti
tidak sahnya manusia dalam sembahyang yang tidak cukup syarat, dan
rukunya asas, yang berarti dasar atau sendi: semuanya terlaksana dengan baik
dan tidak menyimpang dari rukunnya agama.
2. Rukun ajektif berarti baik dan damai tidak bertentangan: hendaknya kita
hidup rukun dengan tetangga, bersatu hati, sepakat.
Menurut Eka Darmaputera, kerukunan dibagi menjadi dua yakni,
kerukunan yang Autentik yang artinya kerukunan itu sungguh-sungguh keluar
dari hati yang tulus dan murni. Kerukunan Dinamis artinya kerukunan dimana
orang hidup tidak sekedar hidup berdampingan (ko-eksisten) secara damai,
kerukunan yang dinamis adalah kerukunan dimana di dalamnya kelompok-
kelompok yang berbeda secara proaktif, dinamis serta kreatif terlibat dalam
interaksi yang intens dan terus-menerus untuk mencari kebenaran yang lebih
tinggi, untuk merumuskan kesepakatan-kesepakatan bersama yang lebih
berkualitas (Yewangoe, 2002).
Universitas Sumatera Utara
Kerukunan berarti sepakat dengan perbedaan-perbedaan dan menjadikan
perbedaan tersebut sebagai titik tolak untuk membina kehidupan sosial yanrg
saling pengertian dan menerima dengan ketulusan hati dan penuh dengan
keiklasan. Kerukunan merupakan kondisi dan proses tercipta dan terpeliharanya
pola-pola interaksi yang beragam diantara unit-unit (unsur / subsistem) yang
otonom. Kerukunan mencerminkan hubungan timbal balik yang ditandai oleh
sikap untuk saling menerima, saling mempercayai, saling menghormati dan
menghargai, serta sikap saling memaknai kebersamaan.
Menurut Lubis (2005:7-8) dalam bahasa inggris disepadankan dengan
harmonious atau concord. Dengan demikian, kerukunan berarti kondisi sosial
yang ditandai oleh adanya keselarasan, kecocokan atau ketidak berselisihan.
Dalam literatur ilmu sosial kerukunan diartikan dengan istilah integrasi sosial.
Kerukunan merupakan kondisi dan proses tercipta dan terpeliharanya pola-pola
interaksi yang beragam diantara unit-unit (unsure / sub sistem) yang otonom.
Kerukunan mencerminkan hubungan timbal balik yang ditandai oleh sikap saling
menerima, saling mempercayai, saling menghormati dan menghargai, serta sikap
saling memaknai kebersamaan (Suryawandan, 2016).
Dengan demikian kerukunan merupakan jalan hidup manusia yang
memiliki bagian-bagian dan tujuan tertentu yang harus dijaga bersama-sama,
seperti hidup saling tolong-menolong, toleransi, tidak saling bermusuhan, saling
menjaga satu sama lain. Menurut Suseno (2001), Prinsip kerukunan bertujuan
untuk mempertahankan masyarakat dalam keadaan harmonis. Rukun ialah berada
dengan selaras, damai dan tentram, tanpa perselisihan dan pertentangan, bersatu
dalam maksud untuk membantu. Kata rukun juga menunjuk atau bertujuan pada
Universitas Sumatera Utara
cara bertindak pada individu maupun kelompok. Berlaku rukun berarti mencegah
tanda-tanda ketegangan dalam masyarakat atau antara pribadi-pribadi sehingga
hubungan-hubungan sosial tetap kelihatan selaras dan baik (Soehardi, 2002).
Kerukunan antar agama yang dimaksud ialah mengupayakan terciptanya
suatu keadaan yang tidak ada pertentangan intern dalam masing-masing umat
beragama, antar golongan agama-agama yang berbeda satu sama lain, antara
pemeluk agama yang satu dengan pemeluk agama lainnya, antara umat beragama
dengan pemerintah.
Menurut Weinata Sairin (2006) kerukunan antar agama merupakan salah
satu pilar utama dalam memelihara persatuan bangsa dan kedaulatan negara
republik indonesia. Kerukunan diartikan sebagai kondisi hidup dan kehidupan
yang mencerminkan suasana damai, tertib, tentram, sejahtera, hormat-
menghormati, tenggang rasa, gotong royong sesuai ajaran agama dan kepribadian
pancasila. Dengan kata lain kerukunan dalam perspektif agama adalah hidup
damai dan tentram saling toleransi antara masyarakat yang beragama sama
ataupun berbeda, kesediaan mereka untuk menerima adanya perbedaan keyakinan
dengan orang atau kelompok lain, membiarkan orang lain untuk mengamalkan
ajaran yang diyakini oleh masing-masing masyarakat, dan kemampuan untuk
menerima perbedaan.
Kerukunan antar agama adalah suatu bentuk hubungan yang harmonis
dalam dinamika pergaulan hidup bermasyarakat yang saling menguatkan yang
diikat oleh sikap pengendalian hidup dalam wujud (Hendropuspito, 2000):
Universitas Sumatera Utara
1) Saling hormat menghormati kebebasan menjalankan ibadanya sesuai
dengan agamanya
2) Saling hormat-menghormati dan bekerjasama intern pemeluk agama, antar
berbagai golongan agama dan umat-umat beragama dengan pemerintah
yang sama-sama bertanggungjawab membangun bangsa dan negara
3) Saling tenggang rasa dan toleransi dengan tidak memaksa agama dengan
orang lain.
2.1.1. Tri Kerukunan
Untuk mencegah agar manusia tidak terjebak dalam konflik-konflik atas
perbedaan, maka indonesia mencanangkan tri kerukunan yakni (Yewangoe,
2002):
1. Kerukunan intern-umat beragama
Ialah kerukunan di antara aliran-aliran / paham-paham yang ada dalam
suatu umat atau komunitas agama. Dalam hal ini, diperlukan kesadaran-kesadaran
para umat beragama agar saling menghargai satu sama lain supaya tidak timbul
pertentangan atau miskonsepsi terhadap suatu agama yang dianutnya. Dan para
tokoh agama dalam hal pembinaannya agar menonjolkan tentang agama yang baik
agar teciptanya suasana harmonis antara umat beragama ataupun beda agama.
2. Kerukunan antar-umat beragama
Ialah kerukunan diantara pemeluk-pemeluk agama yang berbeda-beda
yaitu diantara pemeluk islam dengan pemeluk kristen-protestan, katolik, hindu
dan budha. Kerukunan yang dimaksud adalah diupayakannya bahwa yang beda
Universitas Sumatera Utara
agama agar mempunyai rasa toleransi, menciptakan suasana damai, tentram,
damai, mengurangi adanya pembedaan dan hidup berdampingan satu sama lain
antar umat beragama serta menjungjung tinggi nilai-nilai pancasila.
3. Kerukunan antar umat-beragama dengan pemerintah
Ialah supaya diupayakan keserasian dan keselarasan di antara para
pemeluk atau pejabat agama dengan para pejabat pemerintah dengan saling
memahami dan menghargai tugas masing-masing dalam rangka membangun
masyarakat dan bangsa indonesia yang beragama. Dalam Undang-Undang 1945
Pasal 29 Ayat (2) dengan tegas menyatakan Negara menjamin kemerdekaan tiap-
tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah
menurut agamanya dan kepercayannya. Pasal tersebut dikuatkan dengan Undang-
Undang No 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Pasal 22 Ayat (2), maka
Negara tidak diperkenankan melakukan diskriminasi dan membatasi kebebasan
beragama dan keyakinan warga negaranya.
2.1.2. Faktor-Faktor Pendukung Kerukunan
Faktor pendukung kerukunan antar umat beragama terwujud karena antar
pemeluk agama atau intern pemeluk agama yang berbeda aliran terdapat
hubungan persaudaraan (geneologis, terjadi simbiosis mutualisme di bidang
perekonomian, pemahaman dalam batin antar-pemeluk agama dan atau intern
agama yang berbeda aliran diwujudkan dalam kehidupan dengan mengedepankan
persamaan kebutuhan dan menafikan konflik yang lazimnya dipicu oleh
perbedaan keyakinan dan agama, pola pikir antar pemeluk agama dan atau intern
agama yang berbeda aliran terjauhkan dari sikap negatif (Rosyid, 2013).
Universitas Sumatera Utara
1. Antar agama dan intern agama yang berbeda aliran terdapat hubungan
persaudaraan (geneologis), dimana lebih mengedepankan ikatan
persaudaraan yang berimbas saling memahami perbedaan agama dan
perbedaan aliran kepercayaan.
2. Antar pemeluk agama dan atau intern agama yang berbeda aliran
terjadinya simbiosis mutualisme di bidang perekonomian yakni mitra
kerja.
3. Pemahaman dalam batin antar pemeluk agama dan atau intern umat
beragama yang berbeda aliran diwujudkan dalam kehidupan dengan
mengedepankan persamaan kebutuhan dan menafikan oleh perbedaan
keyakinan agama.
4. Pola pikir antar-pemeluk agama atau intern agama yang berbeda agama
terjauhkan dari sikap negatif. Hal ini karena adanya kesamaan kehidupan
ekonomi masyarakat yang sama.
5. Warga minoritas mengikuti acara budaya yang bernuansa ritual
keagamaan jika diundang menghadiri acara warga mayoritas, seperti
hajatan untuk doa kematian, hajatan menantu dan hajatan lainnya. Begitu
juga sebaliknya, pemeluk agama mayoritas akan memenuhi hal yang sama
karena sepenanggungan
6. Adanya hubungan kerjasama dalam pembangunan antara kelompok
mayoritas dan minoritas
7. Terdapat dalam hubungan kekeluargaan dimana ada anggota-anggota
didalam keluarga memiliki multiagama. Dalam artian setiap individu
bebas menentukan mana yang baik dan yang buruk untuk dirinya.
Universitas Sumatera Utara
2.4. Penelitan Relevan
Pembahasan mengenai kerukunan antar umat beragama bukan kali
pertama diangkat dalam penyusunan skripsi, namun telah banyak diteliti oleh
peneliti sebelumnya. Salah satu penelitian yang berkaitan dekat dengan penelitian
ini adalah tesis Mukti Ali Harahap program pascasarjana UNIMED. Dalam
penelitiannya mengenai nilai budaya yakni peranan Dalihan Natolu dalam
mewujudkan kerukunan umat beragama di Balige.
Kerukunan antar umat beragama di Indonesia memang sangat kompleks
dalam mewujudkan hubungan yang harmonis. Hal tersebut dipengaruhi bahwa
keanekaragaman masyarakat Indonesia yang terdiri dari budaya, ras, etnis, klan,
agama, dan yang lainnya. Suatu hubungan harmonis akan terjalin apabila suatu
nilai-nilai dan norma dihayati dan diinternalisasikan dalam kepribadian setiap
individu. Seperti halnya nilai Pancasila merupakan ideologi seluruh bangsa
Indonesia dalam mewujudkan integritas bangsa yang tercermin dalam semboyan
Bhineka Tunggal Ika. Dalam mewujudkan suatu kerukunan yang berbeda
identitas merupakan hal yang kompleks, untuk itu diperlukan suatu peranan yang
dapat menjaga, mempertahankan dan mewujudkan nilai-nilai yang menjadi
landasan masyarakat.
Menurut hemat penulis, hubungan harmonis antar umat beragama akan
tercapai apabila nilai dan norma kebudayaan, agama, dihayati dan dipraktikkan
dalam pola hidup setiap individu. Seperti halnya Dalihan Natolu adalah suatu
bentuk sistem yang didalam terdapat subsistem-subsistem yang mencerminkan
pola keteraturan dan pola keseimbangan masyarakat. Pola keseimbangan
Universitas Sumatera Utara
masyarakat tercermin dalam peranan status yang terdapat dalam unsur-unsur
Dalihan Natolu sebagai nilai kebudayaan masyarakat Batak Toba. Peranan status
merupakan suatu kewajiban dan hak, yang tercermin dalam suatu tindakan atau
perilaku setiap individu maupun kelompok. Keteraturan akan terwujud apabila
setiap status yang dimiliki individu maupun kelompok diperankan sesuai dengan
fungsi statusnya. Talccot Parsons juga mengemukakan bahwa keteraturan
masyarakat tercipta dengan adanya sistem kebudayaan yang menjadi landasan
masyarakat. sistem kultur tersebut menjadi sasaran orientasi setiap individu untuk
bertindak. Perbedaan pandangan agama akan bersifat mengurangi apabila setiap
individu yang berbeda unsur kebudayaan melakukan asimilasi yakni melalui
peleburan dalam pernikahan. Hal tersebut adalah suatu tindakan yang secara
otomatis dapat menjalin hubungan rukun antar yang beda agama. Sistem
kekerabatan masyarakat kebudayaan suku Batak Toba adalah Dalihan Natolu. Hal
tersebut merupakan suatu sistem yang mempersatukan masyarakat yang berbeda
agama dimana setiap individu masyarakat dalam melakukan pemenuhan
kebutuhan biologisnya adalah dengan menikah dengan lawan jenis masing-masing
dan juga berbeda klan.
Sistem kekerabatan adalah suatu wujud yang mencerminkan tindakan dan
perilaku masyarakat. Tindakan atau perilaku tersebut adalah wujud kebudayaan,
seperti halnya wujud dalam unsur-unsur Dalihan Natolu, somba marhula-hula,
manat mardongan tubu, elek marboru. Hal tersebut merupakan norma-norma yang
harus dijalankan setiap individu masyarakat Batak, yang artinya individu dalam
wujud tersebut harus menjalankan fungsi peranan statusnya. Hal inilah yang
menjadi cerminan kerukunan antar umat beragama di Balige dimana baik yang
Universitas Sumatera Utara
beragama Islam maupun Kristen terikat dengan kerabat dan pola budaya Batak
secara teritorial.
Dalam hemat penulis suatu kerukunan akan terjalin dengan harmonis
apabila setiap masyarakat bersikap “conformity” yakni menyesuaikan atau
menyelaraskan pola nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang berlaku dimasyarakat.
Penyesuaian atau penyelarasan yang mendukung kerukunan antar umat beragama
adalah adanya penyelarasan dibidang kebudayaan setiap individu yakni
kebudayaan agama. Misalnya, dalam budaya Batak Toba daging Babi adalah
makanan Khas terutama di pesta adat, tetapi bagi umat Muslim hal tersebut adalah
“Haram” (tidak dapat dikonsumsi). Suatu tindakan rukun atau perilaku rukun
adalah dengan melakukan pemotongan hewan lain atau juga dengan pemesanan
makanan khusus. Hal inilah yang menjadi dasar pijakan yang hendak diteliti oleh
penulis, dimana masyarakat Pangururan hidup dengan rukun dengan adanya
adaptasi/penyelarasan nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang berlaku di masyarakat.
Maka dengan itu penulis tertarik untuk membahasnya dengan judul kerukunan
antar umat beragama studi etnografi: nilai sosial kerukunan antar umat beragama
kecamatan Pangururan kabupaten Samosir (Mukti Ali Harahap, 2004).
Universitas Sumatera Utara
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Metode penelitian adalah cara yang digunakan untuk mencapai tujuan dan
memecahkan suatu masalah. Metode penelitian yang dimaksud adalah sebagai
cara yang ilmiah untuk mendapatkan data yang valid, dengan tujuan untuk dapat
ditemukan, dikembangkan dan dibuktikan tentang suatu gejala atau fenomena
tetentu sehingga, dapat digunakan untuk memahami, memecahkan dan
mengantisipasi masalah (sugiyono : 2009).
Dalam penelitian ini, metode penelitian yang digunakan adalah etnografi
dan pendekatan kualitatif. Clifford Geertz (1992) mengemukakan etnografi
merupakan lukisan mendalam. Etnografi merupakan catatan mendalam mengenai
penelitian mengenai keanekaragaman sruktur-struktur konseptual yang kompleks.
Seorang etnografer pertama-tama harus memahami dan kemudian menerjemahkan
struktur-struktur tersebut. Metode etnografi digunakan agar mampu menghasilkan
data-data yang mendalam mengenai suatu gejala sosial yang akan diteliti,
sehingga ekplorasi data secara mendalam bisa terjaring dengan baik. Pendekatan
kualitatif memusatkan perhatian pada prinsip-prinsip umum yang mendasari
perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan sosial. Pendekatan
kualitatif juga biasa dikaitkan dengan pengertian yang sama dengan pendekatan
yang dikenal dalam antropologi yang dinamakan pendekatan holistic. Dalam
penelitian kualitatif tidak dekenal sampel, tetapi penelitian kasus yang diteliti
secara mendalam dan menyeluruh untuk memperoleh gambaran mengenai
Universitas Sumatera Utara
prinsip-prinsip umum atau pola-pola yang berlaku umum berkenaan dengan
gejala-gejala yang ada dalam kehidupan sosial dari komuniti yang diteliti sebagai
kasus (Famiola, 2008).
Pendekatan kualitataif ini juga bertujuan untuk menggambarkan,
meringkas berbagai kondisi, dan fenomena realitas sosial yang ada dimasyarakat
yang menjadi objek penelitian dan menarik realitas itu kepermukaan sebagai suatu
ciri, karakter, sifat, model, tanda atau gambaran tentang kondisi, situasi, ataupun
fenomena tertentu (Bungin, 2007). Artinya data yang dikumpulkan bukan
merupakan angka-angka, statistika, melainkan data tersebut berasal dari naskah
wawancara, catatan lapangan, dokumen pribadi, catatan memo, jurnal, internet
dan dokumen resmi lainnya.
3.2. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian merupakan tempat atau wilayah penelitian tersebut
dilaksanakan. Yang menjadi lokasi penelitian ini adalah kecamatan Pangururan
kabupaten Samosir provinsi Sumatera Utara. Dalam kajian penelitian ini, peneliti
memusatkan fokus lokasi penelitian ini di Desa pasar pangururan. Adapun alasan
peneliti untuk melakukan penelitian di daerah ini adalah dikarenakan masyarakat
di daerah ini multiagama (bermacam-macam agama) dan yang menarik perhatian
peneliti, bahwa perbedaan agama tersebut mempunyai hubungan yang rukun dan
harmoni antar sesama penganut agama yang berbeda.
Universitas Sumatera Utara
3.3. Unit Analisis dan Informan
Dalam melakukan penelitian harus mempunyai unit analisis (satuan
tertentu yang dapat dihitung sebagai suatu subjek penelitian) dan informan yang
menjadi sumber informasi dalam penelitian ini.
3.3.1. Unit Analisis
Karakteristik dari penelitian kualitatif adalah menggunakan apa yang
dimaksud dengan unit analisis. Unit analisis kualitatif terdiri dari tingkat yang
sangat mikro yaitu pikiran dan tindakan individu, sampai dengan konteks yang
paling makro, yaitu sistem dunia (Bungin, 2007). Dalam penelitian ini yang
menjadi unit analisis adalah masyarakat yang beragama kristen dan agama islam.
3.3.2. Informan
Informan adalah orang-orang yang menjadi sumber informasi yang aktual
dalam menjelaskan masalah penelitian. Informan adalah orang yang diperkirakan
menguasai dan memahami data, ataupun fakta dari suatu objek penelitian
(Bungin:2007). Adapun yang menjadi informan dalam penelitian ini dibagi
menjadi dua yaitu:
3.3.2.1.Informan Kunci
Informan kunci adalah individu-individu yang sangat memahami
permasalahan yang diteliti serta dianggap memiliki atau mengetahui informasi
pokok yang diperlukan dalam penelitian tersebut.
Dalam penelitian ini informan kunci adalah tokoh-tokoh masyarakat yang
mengerti dan memehami permasalahan keberagaman agama di Pangururan, serta
Universitas Sumatera Utara
mengetahui apa yang mendasari praktik perilaku rukun antar umat beragam di
Pangururan. Dalam penelitian ini, informan kunci sangat dibatasi mengingat
sensitifitas hubungan antar umat beragama di Indonesia untuk itu, peneliti
mempertimbangkan seorang informan dalam memberikan informasi mengenai
masalah penelitian ini. Penulis menyaring informan sebagai informan kunci agar
tidak terjadi kekeliruan dalam pengumpulan data dalam hal ini. Untuk itu penulis
memilahnya dengan memilih informan yang mengetahui banyak mengenai
hubungan antar umat beragama dan juga terjun dalam tugas untuk menjaga dan
mempertahankan hubungan antar umat beragama.
Informan dipilih menjadi informan kunci atas dasar alasan bahwa mereka
adalah objek penelitian ini dan mereka dapat memberikan data bagaimana
kerukunan antar umat beragama di Pangururan dapat terjalin dengan harmonis.
Terjaring 8 orang informan kunci, yang terdiri dari 1 orang dari Depag, 2 orang
dari FKUB, 1 orang tokoh adat, 3 orang tokoh agama, 1 orang MUI
3.3.2.2. Informan Biasa
Informan pendukung atau informan biasa adalah orang yang dapat
dijadikan sebagai pelengkap informasi yang dibutuhkan. Informan pendukung
biasanya orang-orang yang mengetahui informasi tentang masalah dalam
penelitian namun informasinya cenderung terbatas sehingga informasi dan
informan biasa hanya akan menjadi data tambahan untuk memperjelas data dari
informan kunci. Informan biasa dalam penelitian ini adalah masyarakat yang
berhubungan langsung antara umat Kristen dan umat Islam dalam kesehariannya
Universitas Sumatera Utara
dan mampu menjadi objek penelitian yang tentunya mampu memberikan
informasi tambahan.
Alasan mengapa masayarakat yang berhubungan langsung antar umat
beragama yang berbeda, karna mereka langsung terlibat dalam bentuk hubungan
aktivitas-aktivitas sehari-harinya, sehingga dengan begitu, dapat memberikan
informasi yang mungkin dapat memperjelas atau memperkuat data yang diberikan
oleh informan kunci. Informan biasa terdiri dari empat orang.
3.4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan untuk memperoleh informasi atau
data yang dibutuhkan untuk menjawab permasalahan yang diteliti. Dalam
pengumpulan data dilakukan dengan beberapa metode untuk memperoleh data
atau informasi. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik pengumpulan
data sebagai berikut
3.4.1. Pengumpulan Data Primer
Teknik pengumpulan data primer adalah peneliti melakukan kegiatan
langsung ke lokasi penelitian untuk mencari data dan informasi yang lengkap
berkaitan dengan masalah yang akan diteliti. Teknik pengumpulan data secara
perimer merupakan hal yang paling penting untuk dilakukan oleh seorang peneliti
untuk memperoleh data yang sesuai dengan permasalahan dalam penelitian
sipeneliti. Adapun teknik pengumpulan data primer ini dilakukan dengan cara:
Universitas Sumatera Utara
3.4.1.1. Observasi
Observasi atau pengamatan adalah dengan menggunakan indera sebagai
alat untuk melihat keseharian manusia dalam melakukan aktivitasnya. Dengan
menggunakan metode observasi, peneliti dapat mengidentifikasi dan
mengkategorikan dan melihat sejauh mana tingkat gejala atau fenomena yang
harus diamati dan perlu untuk diteliti (Bungin, 2007).
Adapun yang menjadi objek observasi dalam penelitian ini adalah
peneliti langsung kelokasi penelitian dan mengamati bagaimana aktivitas sosial
sebelum dilanjutkan kepada wawancara yang mendalam. Dalam penelitian ini
yang akan diobservasi adalah sistem landasan yang mempengaruhi terciptanya
kerukunan antar umat beragama serta bagaimana peran masing-masing
masyarakat dalam menjaga dan mempertahankan keteraturan dan pola
keseimbangan hubungan masyarakat yang berbeda agama di lingkungan
kecamatan Pangururan. dan juga bagaimana peran-peran tokoh-tokoh masyarakat
dalam membangun maupun menjaga dan mempertahankan keharmonasan antar
umat beragama di Pangururan.
3.4.1.2. Wawancara
Dalam penelitian ini, peneliti melakukan wawancara kepada orang-orang
yang menjadi informan dari peneliti, ini bisa disebut dengan metode interview
guide, yakni aturan-aturan daftar pertanyaan yang dijadikan acuan bagi peneliti
untuk memperoleh data yang diperlukan. Metode pengumpulan data dengan
wawancara yang dilakukan berulang-ulang kali dan membutuhkan waktu yang
cukup lama bersama informan dilokasi penelitian (Bungin, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Wawancara yang dimaksud adalah percakapan yang mendalam yang
bersifat terbuka dan tidak baku. Wawancara dilakukan untuk memperoleh data
dan informasi secara lengkap tentang kerukunan antar umat beragama yang
difokuskan mengenai apa yang menjadi dasar praktik masyarakat dalam menjalin
hubungan harmonis di kecamatan Pangururan. wawncara langsung dilakukan
secara bertatap muka dengan kedua jenis informan yakni informan kunci dan
informan biasa.
3.4.2. Data Sekunder
Teknik pengumpulan data sekunder adalah pengumpulan data yang
dilakukan melalui penelitian studi kepustakaan yang diperlukan untuk mendukung
data yang berkaitan dengan penelitian.data diperoleh dari buku-buku ilmiah,
tulisan ilmiah dan laporan penelitian yang berkaitan dengan objek kajian
penelitian, penelitian terdahulu, serta materi-materi yang dianggap relevan dengan
masalah-masalah yang diteliti.
Dalam pengumpulan data sekunder, majalah, jurnal, dokumentasi yang
diperoleh dari sumber elektronik atau internet dapat dilakukan. Metode ini untuk
memeksimalkan data baik mengenai teori atau kajian yang berkaitan dengan
permasalahan penelitian. Dalam penelitian ini, peneliti mengumpulkan bahan
sebagai data sekunder dari jurnal ilmiah tentang kerukunan antar umat beragama
di Pangururan, buku tentang teori-teori sosiologi, buku tentang pluralitas agama,
dan juga konsep yang menyerupai kerukunan antar umat beragama.
Universitas Sumatera Utara
3.5 Interpretasi Data
Pengolahan data dalam penelitian ini dimulai dengan menelah seluruh data
yang telah tersedia dari berbagai sumber yaitu wawancara, pengamatan yang
sudah dituliskan dalam catatan lapangan, dokumen resmi, foto dan sebagainya
(Moleong, 2010). Data yang diperoleh nantinya disaring dan menghasilkan inti
atau rangkuman data yang diperoleh, kemudian ditampilkan kembali dalam
bentuk yang sederhana. Interpretasi data merupakan suatu kegiatan
menggabungkan antara hasil analisis dengan permasalahan penelitian untuk
menemukan makna yang ada dalam permasalahan. Interpretasi data dimulai
dengan menelah seluruh data yang tersedia yang dapat melalui observasi,
wawancara, dan juga dokumentasi. Setelah itu data akan dipelajari dan ditelaah
kembali menggunakan teori yang digunakan dan diinterpretasikan secara kualitatif
untuk menganalisis permasalahan tersebut. analisis data melibatkan pengumpulan
data ang terbuka, yang didasarkan pada pernyataan-pernyataan umum, dan
analisis informasi dari partisipan (Creswel, 20013).
Untuk menghasilkan rangkuman, maka data yang telah tersedia
sebelumnya telah dibaca, dipelajari, dan ditelaah sebelumnya. Dengan demikian
hasil interpretasi data ini tetap berada pada fokus penelitian. Selanjutnya
dilakukan penyusunan data-data, kemudian dikategorikan dan dikembangkan
dengan dukungan teori dalam kajian pustaka, serta diinterpretasikan secara
kualitatif. Yaitu proses pengolahan data dimulai dari tahap mengedit data sesuai
dengan pokok permasalahan, serta metode penelitian yang telah ditetapkan.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV
HASIL DAN INTERPRETASI DATA
4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian
4.1.1. Gambaran Umum
Penelitian ini dilakukan di Pangururan yang merupakan salah satu wilayah
kecamatan yang terletak di kabupaten Samosir, Sumatera Utara, Indonesia.
Pangururan adalah ibu kota kabupaten Samosir setelah pemekaran pada tahun
2003 dari kabupaten Toba Samosir. Kabupaten Samosir adalah sebuah pulau yang
terbentuk dari letusan Gunung Toba sekitar tahun 69000 – 77000 tahun yang lalu
yang dideskripsikan sebagai letusan supervulkanologi yang sangat dasyat yang
memuntahkan 1000 km3 material letusan dengan ketinggian letusannya mencapai
50 km dan mempengaruhi suhu dan kondisi dilapisan toposphere dan stratosphere
bumi.
Kecamatan Pangururan adalah ibu kota dari kabupaten Samosir, untuk
dapat mengetahui sejarah terbentuknya Pangururan penulis mengalami kesulitan
dengan tidak adanya catatan atau penelitian yang relevan yang menyangkut
gambaran sejarah mengenai terbentuknya Pangururan. Namun menurut informasi
dari media massa,konon ceritanya bahwa nama dari Pangururan ini terbentuk dari
suatu “partukkoan” atau dalam bahasa indonesia tempat perkumpulan, kedai
(warung) dan sekaligus sebagai tempat bermain judi masyarakat Batak yang
datang dari perkampungan lainnya,dan tempat perkumpulan tersebut didirikan
raja Natanggang pada waktu itu. Setiap orang atau masyarakat yang bermain judi
ditempat itu selalu kalah ataupun kehabisan uang sehingga banyak orang-orang
Universitas Sumatera Utara
atau masyarakat mengatakan tempat itu adalah tempat Pang-urur-an uang atau
dalam bahasa indonesia sebagai tempat kita mengeluarkan uang.Oleh karna hal
tersebut, maka raja Natanggang sebagai keturunan dari raja Sitempang
menjadikan nama tempat tersebut Pangururan (www. Partukkoan.com).
Dilihat dari sejarah singkat diatas, bahwa Pangururan sampai sekarang
tetap berdiri sesuai latar historisnya, dimana tempat masyarakat untuk
mengeluarkan uang. Sebagai bukti Pangururan adalah sebagai pusat kota
Kabupaten Samosir, sebagai pusat perbelanjaan masyarakat kabupaten Samosir
dan pusat pemerintahan kabupaten Samosir.
Penduduk kecamatan Pangururan secara etnis bahwa suku yang pertama
kali yang bertempat tinggal diwilayah tersebut adalah masyarakat yang beretnis
Batak Toba. Sejarah etnis Batak Toba di Samosir menurut pengakuan masyarakat
dan bersumber dari buku yang diperoleh, menurut Ypes keberadaan masyarakat
Batak Toba pada mulanya berasal dari Teluk Haru provinsi Aceh dan kemudian
pindah ke Pusuk Buhit ditepian Danau Toba (Simanjuntak, 2006).
Kemudian dari Pusuk Buhit, menurut Cunmingham keturunan Batak
tersebut melakukan migrasi lagi keseluruh tanah Batak yang sekarang yakni:
wilayah Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, kabupaten Asahan,
Simalungun, Deli Serdang, Labuhan Batu, Aceh Tenggara dan luar Sumatera
(simanjuntak, 2006). Menurut mitos, saat Si Raja Batak sampai di Pusuk Buhit
(Pucuk Bukit), Masyarakat meyakini bahwa Si Raja Batak Merupakan manusia
ciptaan dewa (Mulajadi Nabolon). Melihat kesendirian Si Raja Batak, maka dewa
Universitas Sumatera Utara
(Mulajadi Nabolon) mengirimkan putrinya untuk menemani Si Raja Batak dan
menikah dengannya.
Si Raja Batak memiliki dua anak yang disebut Guru Tateabulan dan Raja
Isumbaon. Guru Tateabulan memiliki lima orang anak laki-laki yakni: Raja Biak-
Biak, Sariburaja, Limbongmulana, Sagalaraja, Malauraja dan memiliki empat
anak perempuan yakni: Sibidinglaut, Si Boru Pareme, Si Boru Paromas dan Nan
Tinjo. Anak pertama Guru Tateabulan adalah Raja Biak-Biak dan diyakini
sebagai mahluk yang dapat berubah wujud, namun sampai saat ini keberadaan raja
biak-biak tersebut dan siapa keturunannya tidak diketahui. Dan anak kedua dari
Guru Tateabulan yakni Sariburaja menikahi adiknya Si Boru Pareme.
Sariburaja merupakan anak kedua dari Guru Tateabulan yang pertamakali
pergi merantau dan menjadi leluhur bagi kelompok besar marga lainnya yaitu
Lontung. Sedangkan Limbongmulana dan Sagalaraja menjadi marga menetap dan
penghuni tetap di lereng Pusuk Buhit (Pucuk Bukit). Sementara Malauraja dan
keturunanya berpencar ke daerah Pangururan saat ini. Raja Isumbaon anak kedua
dari Si Raja Batak memiliki keturunan yang bernama Sorimangaraja dan
kemudian memiliki tiga anak yakni: Sorba Dijulu, Sorba Dijae dan Sorba Dibanua
dan kemudian memiliki anak yang dijadikan marga saat ini.
Marga-marga diatas menyebar hampir disetiap daratan yang berdekatan
dengan Danau Toba. Marga merupakan nama leluhur yang kemudian dijadikan
sebagai kelompok seperti ikatan marga saat ini. Kemudian menyebar kesegala
penjuru wilayah Indonesia bahkan Dunia sampai saat ini. Melalui sumber-sumber
Universitas Sumatera Utara
yang ada maka dapat dijelaskan bagaimana posisi masyarakat Batak Toba sebagai
penghuni awal dan berpengaruh sampai saat ini di wilayah kabupaten Samosir.
4.1.2. Letak Geografis
Kecamatan Pangururan merupakan sebuah kecamatan yang berada di
kabupaten Samosir, Sumatera Utara, Indonesia. Luas wilayah kecamatan
Pangururan sebesar 121,43 km2 dengan ketinggian berada pada 904 – 2.157 m
diatas permukaan laut.
Secara administratif batas-batas wilayah kecamatan Pangururan antara
lain: sebelah Utara berbatasan dengan kecamatan Simanindo, sebelah Selatan
berbatasan dengan kecamatan Palipi, sebelah Barat berbatasan dengan kecamatan
Sianjur Mula-Mula dan sebelah Timur berbatasan dengan Ronggur Nihuta.
Kecamatan Pangururan terdiri dari 28 desa, berikut tabel nama-nama desa
di kecamatan Pangururan:
Daftar Nama-Nama Desa/Kelruahan
NO DESA/KELURAHAN JUMLAH DUSUN
01 Desa Sialanguan 2 Dusun
02 Desa Situngkir 2 Dusun
03 Desa Hutabolon 2 Dusun
04 Desa Siopat Sososr 2 Dusun
05 Desa Parbaba Dolok 3 Dusun
06 Desa Lumban Suhi-Suhi Toruan 3 Dusun
07 Desa Lumban Suhi-Suhi Dolok 2 Dusun
Universitas Sumatera Utara
08 Desa Pardomuan Nauli 2 Dusun
09 Desa Sitolu Huta 2 Dusun
10 Desa Sinabulan 2 Dusun
11 Desa Aek Nauli 2 Dusun
12 Desa Parhorasan 3 Dusun
13 Desa Panampangan 2 Dusun
14 Desa Pardugul 2 Dusun
15 Desa Parlondut 2 Dusun
16 Desa Sianting-Anting 2 Dusun
17 Desa Sait Nihuta 2 Dusun
18 Desa Parsaoran I 3 Dusun
19 Desa Lumban Pinggol 2 Dusun
20 Desa Tanjung Bunga 3 Dusun
21 Desa Pardomuan I 3 Dusun
22 Desa Huta Tinggi 3 Dusun
23 Desa Huta Namora 3 Dusun
24 Desa Raniate 3 Dusun
25 Desa Parmonangan 3 Dusun
26 Kelurahan Pasar Pangururan 4 Lingkungan
27 Kelurahan Siogung-Ogung 3 Lingkungan
28 Kelurahan Pintu Sona 3 Lingkungan
Tabel1: Daftar Nama-Nama Desa/Kelurahan Sumber: Kecamatan Pangururan Dalam Angka 2017
Dari 25 desa dan 3 kelurahan di kecamatan Pangururan bahwa 23 desa dan
3 kelurahan berada di hamparan dan 2 desa berada di lereng pegunungan.
Universitas Sumatera Utara
Topografi wilayah kecamatan Pangururan berbukit-bukit dan bergelombang
hingga pegunungan yang berada pada ketinggian 904 – 2.157 m diatas permukaan
laut.
Kecamatan pangururan mempunyai dua iklim aitu musim kemarau dan
musim penghujan, dimana kedua iklim tersebut sangat berpengaruh terhadap
potensi pertanian masyarakat Pangururan. Dalam tiga tahun terakhir ini, iklim di
kecamatan Pangururan tidak stabil dimana musim penghujan sangat rendah dan
tingkat musim kemarau sangat tinggi. Hal ini sangat berpengaruh terhadap potensi
hasil pertanian masyarakat di kecamatan Pangururan.
4.1.3. Sistem Mata Pencaharian
Hampir 85% masyarakat indonesia bekerja di sektor pertanian, hal ini
menjadikan negara Indonesia terkenal dengan negara agraris. Pangururan
merupakan salah satu kecamatan yang terdapat di wilayah Indonesia, hampir 90%
masyarakat Pangururan bekerja di sektor pertanian. Hasil pertanian yang utama
adalah tanaman padi, jagung, cabe, kacang tanah dan ubi.
Hasil tanaman, jagung, cabe, kacang tanah, sayuran biasanya di jual ke
pasar pada hari Rabu oleh masyarakat, karena di Pangururan pasar di adakan pada
hari Rabu, dan istilah pasar di Pangururan adalah “Onan”. Dan selain kepasar,
hasil tanaman tersebut juga dijual pada orang-orang tertentu yang menampung
hasil tanaman apabila hasil tanaman tersebut berjumlah banyak. Biasanya orang
yang menampung disebut sebagai “Toke” atau dalam bahasa Indonesianya
Penadah. Sementara hasil padi biasanya masyarakat tidak menjualnya, padi
Universitas Sumatera Utara
disimpan di umah masing-masing, dan digiling ke kilang padi sesuai dengan
kebutuhan saja.
Pada masyarakat kecamatan Pangururan, ada anggapan bahwa menyimpan
padi di rumah merupakan suatu kebanggan, karena padi merupakan ukuran
kemakmuran petani disana. Semakin banyak hasil panen padi yang diperoleh
seseorang, maka orang itu dianggap orang yang hebat atau orang yang sudah
sukses bertani. Karna persepsi masyarakat petani Pangururan apabila lumbung
padi telah penuh di rumah, maka diperhitungkan makan dalam jangka setahun
sudah terpenuhi.
Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Padi Sawah dan Perladangan Menurut
Desa di Kecamatan Pangururan
NO
DESA/KELURAHAN
LUAS
PANEN
(ha)
PRODUKSI
(ton)
PRODUKTIVITAS
(kw/ha)
01 Desa Sialanguan - - -
02 Desa Situngkir - - -
03 Desa Hutabolon 5 27 5.4
04 Desa Siopat Sososr - - -
05 Desa Parbaba Dolok 52 208 4.0
06 Desa Lumban Suhi-Suhi
Toruan
87 539 6.2
07 Desa Lumban Suhi-Suhi
Dolok
58 278 4.8
08 Desa Pardomuan Nauli 68 286 4.2
Universitas Sumatera Utara
09 Desa Sitolu Huta 30 180 6.0
10 Desa Sinabulan 18 95 5.3
11 Desa Aek Nauli 18 95 5.3
12 Desa Parhorasan 34 146 4.3
13 Desa Panampangan 42.5 259 6.1
14 Desa Pardugul 40.5 235 5.8
15 Desa Parlondut 41.5 249 6.0
16 Desa Sianting-Anting 36.5 226 6.2
17 Desa Sait Nihuta 31 167 5.4
18 Desa Parsaoran I 44 242 5.5
19 Desa Lumban Pinggol 30 168 5.6
20 Desa Tanjung Bunga - - -
21 Desa Pardomuan I 8 46 5.7
22 Desa Huta Tinggi 16 93 5.8
23 Desa Huta Namora 62.5 363 5.8
24 Desa Raniate 53,5 332 6.2
25 Desa Parmonangan 24 122 5.1
26 Kelurahan Pasar Pangururan 8 46 5.7
27 Kelurahan Siogung-Ogung 12 64 5.3
28 Kelurahan Pintu Sona 17 95 5.6
JUMLAH 837 4562 5.5
Tabel 2. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Padi Sawah dan Perladangan Menurut Desa. Sumber: Kecamatan Pangururan dalam Angka 2017
Universitas Sumatera Utara
4.1.4. Kependudukan
Jumlah penduduk kecamatan Pangururan tergolong besar dan tersebar
seluruh wilayah desa dan wilayah kelurahan yang terdapat di Pangururan.
Persebaran penduduk di kecamatan Pangururan belum seluruhnya merata, ada
beberapa desa maupun kelurahan yang sudah cukup padat penduduk dan ada juga
wilayah desa maupun kelurahan yamg masih sedikit penduduknya. Hal ini
disebabkan oleh berbagai faktor seperti kesuburan tanah, kondisi wilayah, serta
akses wilayah ke ibu kota kecamatan.
NO
DESA/KELURAHAN
LUAS WILAYAH (km2) PENDUDUK
(jiwa)
01 Desa Sialanguan 2.00 355
02 Desa Situngkir 2.00 416
03 Desa Hutabolon 2.00 543
04 Desa Siopat Sososr 1.00 786
05 Desa Parbaba Dolok 20.50 911
06 Desa Lumban Suhi-Suhi Toruan 3.50 2103
07 Desa Lumban Suhi-Suhi Dolok 6.30 1066
08 Desa Pardomuan Nauli 9.50 500
09 Desa Sitolu Huta 0.80 799
10 Desa Sinabulan 1.23 425
11 Desa Aek Nauli 5.36 408
12 Desa Parhorasan 15.40 726
13 Desa Panampangan 2.65 684
Universitas Sumatera Utara
14 Desa Pardugul 5.44 745
15 Desa Parlondut 1.50 885
16 Desa Sianting-Anting 1.80 803
17 Desa Sait Nihuta 1.40 862
18 Desa Parsaoran I 1.50 1385
19 Desa Lumban Pinggol 1.50 626
20 Desa Tanjung Bunga 6.50 1881
21 Desa Pardomuan I 2.50 4861
22 Desa Huta Tinggi 3.00 1045
23 Desa Huta Namora 7.00 2582
24 Desa Raniate 6.75 2598
25 Desa Parmonangan 3.00 1005
26 Kelurahan Pasar Pangururan 0.50 2718
27 Kelurahan Siogung-Ogung 4.00 1570
28 Kelurahan Pintu Sona 2.80 1890
JUMLAH 121.43 35.178
Tabel 3. Jumlah Penduduk dan Luas Wilayah Menurut Desa dan Kelurahan Kecamatan Pangururan. Sumber: Kecamatan Pangururan dalam Angka 2017
Komposisi penduduk kecamatan Pangururan didominasi oleh penduduk
kaum usia muda. Hal menarik yang dapat diamati dari piramida penduduk adalah
kelompok 20-24 tahun yang jauh lebih kecil dari kelompok penduduk usia muda
15-19 tahun. Hal ini mencerminkan suatu kondisi besarnya jumlah penduduk usia
dewasa yang merantau keluar kecamatan untuki melanjutkan pendidikan ke
perguruan tinggi dan mencari pekerjaan.
Universitas Sumatera Utara
No Kelompok Umur Laki-Laki Perempuan Jumlah
1 0 - 4 936 898 1834
2 5 - 9 1936 1721 3657
3 10 - 14 1866 1927 3793
4 15 - 19 1939 1773 3712
5 20 - 24 1658 1559 3217
6 25 - 29 1593 1424 3017
7 30 - 34 1629 1564 3193
8 35 - 39 1438 1297 2735
9 40 - 44 1039 918 1957
10 45 - 49 883 888 1771
11 50 - 54 735 798 1533
12 55 - 59 716 785 1501
13 60 -64 464 584 1048
14 65 - 69 361 458 819
15 70 - 74 173 329 502
16 >74 298 591 889
Jumlah 17664 17514 35178
Tabel 4. Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin. Sumber: Kecamatan Pangururan dalam Angka 2017.
4.1.5. Pendidikan
Fasilitas pendidikan di kecamatan Pangururan pada Tahun 2017 sebanyak
52lembaga sekolah yang terdiri dari 37 SD Negeri dan 2 SD Swasta, 5 SLTP Negeri dan
1 SLTP Swasta, 2 SLTA Negeri , 3 SLTA Swasta dan 2 SMK.
Universitas Sumatera Utara
Fasilitas sekolah dasar (SD) belum terdapat diseluruh desa, ada 2 desa yang
belum memiliki Sekolah Dasar yaitu: desa Sialanguan dan desa Panampangan.
Jika anak dikedua desa ini ingin pergi sekolah, mereka harus menempuh
perjalanan yang cukup jauh untuk bersekolah ke desa tetangga mereka yang sudah
memiliki sarana sekolah Dasar.
No
Desa/Kelurahan
SD SLTP SLTA/SMK
Negeri Swasta Negeri Swasta Negeri Swast
a
01 Sialanguan - - - - - -
02 Situngkir 1 - - - - -
03 Hutabolon 1 - 1 - - -
04 Siopat Sosor - - - - 1 -
05 Parbaba Dolok 1 - - - - -
06 Lumban Suhi-Suhi
Toruan
3 - - - - -
07 Lumban Suhi-Suhi
Dolok
2 - 1 - - -
08 Pardomuan Nauli 2 - - - - -
09 Sitolu Huta 1 - - - - -
10 Sinabulan 1 - - - - -
11 Aek Nauli 1 - - - - -
12 Parhorasan 1 - - - - -
13 Panampangan - - - - - -
14 Pardugul 1 - - - - -
Universitas Sumatera Utara
15 Parlondut 1 - - - - -
16 Sianting-Anting 1 - - - - -
17 Sait Nihuta 2 - - - - -
18 Parsaoran I 1 - 1 - - -
19 Lumban Pinggol 1 - - - - -
20 Tanjung Bunga 3 - - - - -
21 Pardomuan I 2 1 - 1 - 1
22 Huta Tinggi 1 - - - - -
23 Huta Namora 2 - - - - -
24 Raniate 3 - 1 - - -
25 Parmonangan 1 - - - - -
26 Pasar Pangururan 1 1 1 4
27 Siogung-Ogung 2 - - - - -
28 Pintu Sona 1 - - - 1 -
Jumlah 37 2 5 1 2 5
Tabel 5. SD, SLTP, SLTA Dirinci Menurut Desa/Kelurahan. Sumber: Kecamatan Pangururan dalam Angka 2016.
Jumlah guru yang terdapat di kecamatan Pangururan sebanyak 779 orang
yang terdiri dari 405 orang untuk guru SD, 171 orang guru SLTP, 157 orang
SLTA, dan 46 orang SMK. Pada jenjang pendidikan SD seorang guru di
kecamatan Pangururan mengajarrata-rata berkisar 11 murid, untuk SLTP rata-rata
berkisar 15 murid, untuk SLTA rata-rata berkisar 17 siswa, dan SMK rata-rata
berkisar 16 siswa.
Untuk setiap desa ang belum memiliki fasilitas pendidikan SLTP dan
SLTA, jika anak-anak di desa ini ingin melanjutkan pendidikan, mereka harus
Universitas Sumatera Utara
melanjutkan pendidikan keluar desa mereka yang memiliki fasilitas SLTP dan
SLTA. Kebanyakan murid/siswa dari semua desa memilih melanjutkan
pendidikannya ke kelurahan Pasar Pangururan. Alasan mereka memilih untuk
sekolah di Pasar Pangururan adalah dikarenakan fasilitas sekolah di kelurahan ini
sudah begitu lengkap dan baik, dan sarana-prasarana lainnya pun sangat
mendukung seperti angkutan umum, teknologi dan ilmu pengetahuan.
Hampir seluruh desa tidak memiliki fasilitas SLTP dan SLTA dan hampir
sebagian desa di kecamatan Pangururan memiliki jarak yang cukup jauh ke
kelurahan Pasar Pangururan dan kelurahan Pintu Sona, sehingga sangat sulit jika
anak-anak dari desa tersebut untuk menempuh perjalanan untuk kesekolah. Untuk
menghindari keterlambatan ke sekolah, mereka memilih untuk menjadi anak kos
di kelurahan Pasar Pangururan. Sebagian anak-anak yang tidak memiliki SLTP
dan SLTA di desanya memilih menyewa kamar di rumah warga pasar
Pangururan. Dampak negatif dari anak kos tersebut, kurangnya pengawasan
terhadap mereka sehingga mereka terlalu bebas dengan segala perilaku kenakalan
remaja yang tentunya sangat merugikan mereka sendiri dan merugikan orang tua
mereka.
Dan sebagian lagi siswa/murid yang ingin kesekolah memilih naik sepeda motor
untuk menempuh perjalanan kesekolahnya. Waktu yang dibutuhkan untuk
menempuh perjalanan kesekolah jika menggunakan sepeda motor berkisar 20-30
menit saja. Namun selain dampak positif bagi para pengemudi sepeda motor, ada
juga berdampak negatif bagi anak sekolah yang mengemudikan sepeda motor,
sering terjadi kecelakaan lalu lintas dan rata-rata yang mengalami kecelakaan
tersebut adalah anak-anak sekolah. Hal ini disebabkan usia mereka yang masih
Universitas Sumatera Utara
terlalu muda untuk mengendarai sepeda motor, serta minimnya pengetahuan
mereka tentang aturan jalan saat berkendara.
4.1.6. Kesehatan
Fasilitas Kesehatan Jumlah Unit
Rumah sakit 1
Puskesmas 1
Pustu 5
Polindes 16
Posyandu 38
Lainnya 9
Tabel 6. Fasilitas kesehatan di kecamatan Pangururan Sumber: kecamatan Pangururan dalam angka 2016.
Pada tahun 2016 dari seluruh sarana yang ada di kecamatan Pangururan
lebih banyak sarana kesehatan Posyandu, diperkirakan sebanyak 38 unit
dibandingkan sarana fasilitas lainnya yaitu Rumah sakit, Puskesmas, Polindes,
Pustu, dan lainnya.
4.1.7. Sosial Ekonomi
Masyarakat kecamatan Pangururan merupakan masyarakat yang terdiri
dari bermacam-macam sukudan agama. Penduduk yang menhuni desa/kelurahan
wilayah kecamatan Pangururan terdiri dari suku Batak Toba, Batak Karo,
Simalungun, Pakpak, Jawa, Minang dan Tionghoa. Etnis mayoritas yang
berdomisili di kecamatan Pangururan adalah suku Batak Toba, namun perbedaan
Universitas Sumatera Utara
etnis bukan menjadi suatu permasalahan bagi semua masyarakat Pangururan.
Masyarakat tetap hidup rukun dan menjunjung tinggi nilai Pancasila.
Masyarakat Pangururan mayoritas memeluk agama Kristen, baik Kristen
Protestan maupun Kristen Katolik. Selain agama Kristen terdapat juga agama
Islam, Budha dan aliran kepercayaan lainnya.
No
Desa/
Kelurahan
Islam
Kristen
Protestan
Katolik
Hindu
Budha
Kong
hucu
Aliran
Keperc
ayaan
Lainny
a
01 Desa Sialanguan 5 116 234 0 0 0 0
02 Desa Situngkir 0 169 247 0 0 0 0
03 Desa Hutabolon 19 363 161 0 0 0 0
04 Desa Siopat Sososr 37 329 416 0 4 0 0
05 Desa Parbaba Dolok 3 428 480 0 0 0 0
06 Desa Lumban Suhi-
Suhi Toruan
43 1218 842 0 0 0 0
07 Desa Lumban Suhi-
Suhi Dolok
0 116 950 0 0 0 0
08 Desa Pardomuan
Nauli
0 151 349 0 0 0 0
09 Desa Sitolu Huta 40 182 577 0 0 0 0
10 Desa Sinabulan 10 73 342 0 0 0 0
11 Desa Aek Nauli 4 145 259 0 0 0 0
12 Desa Parhorasan 0 258 468 0 0 0 0
13 Desa Panampangan 11 160 513 0 0 0 0
Universitas Sumatera Utara
14 Desa Pardugul 0 387 358 0 0 0 0
15 Desa Parlondut 5 569 311 0 0 0 0
16 Desa Sianting-Anting 15 47 316 0 0 0 0
17 Desa Sait Nihuta 29 510 323 0 0 0 0
18 Desa Parsaoran I 31 1089 256 0 0 0 0
19 Desa Lumban
Pinggol
3 550 73 0 0 0 0
20 Desa Tanjung Bunga 0 625 1256 0 0 0 0
21 Desa Pardomuan I 251 2167 1843 0 0 0 0
22 Desa Huta Tinggi 38 803 204 0 0 0 0
23 Desa Huta Namora 71 1404 1107 0 0 0 0
24 Desa Raniate 1 788 1809 0 0 0 0
25 Desa Parmonangan 0 650 355 0 0 0 0
26 Kelurahan Pasar
Pangururan
121 2193 403 0 0 1
27 Kelurahan Siogung-
Ogung
28 690 852 0 0 0 0
28 Kelurahan Pintu Sona 39 1153 698 0 0 0 0
JUMLAH 804 18358 16011 0 4 0 1
Tabel 7. Jumlah Penganut Agama Menurut Desa di Kecamatan Pangururan. Sumber: Kecamatan Pangururan dalam Angka 2017.
Masyarakat Pangururan merupakan masyarakat yang memiliki bemacam-macam
agama yakni, agama Islam, Kristen Protestan, Katolik, Budha dan aliran kepercayaan
lainnya. Jumlah tempat ibadah di kecamatan Pangururan didominasi oleh penganut
agama Kristen Protestan dan penganut agama Kristen Katolik. Menurut data kecamatan
dalam angka 2017, bahwa jumlah ruang ibadah di kecamatan Pangururan berkisar yakni:
Universitas Sumatera Utara
jumlah Gereja sebanyak 66 unit, jumlah Mesjid 1unit dan Mushola 1unit, jumlah kuil 0
unit, dan Whihara 0unit. Maka dapat disimpulkan bahwa jumlah keseluruhan rumah
ibadah dikecamatan Pangururan sebanyak 68 unit.
Industri kecil atau kerajinan rakyat yang terdapat di kecamatan Pangururan
pada tahun 2016 sebanyak 17 unit Kilang Padi, 59 unit Tukang Jahit, 58
Pertukangan, 41 unit Bengkel. Jumlah pedangang eceran, 97 unit pedagang
minyak, dan 78 unit warung nasi.
4.2. Sejarah Agama Kristen dan Agama Islam di Pangururan
Ditinjau dari etnis bahwa kabupaten Samosir adalah sebuah wilayah
geografis yang dihuni oleh suku pertama kali adalah suku Batak Toba yang
menganut kepercayaan agama Parmalim. Dalam evolusi waktu, sistem
kepercayaan agama Batak tersebut, tersingkir oleh ajaran agama-agama Barat
melalui doktrin-doktrin yang dilakukan para misionaris-misionaris Jerman pada
masa penjajahan di Indonesia. Yang berhasil membawa ajaran Kristen adalah
Ludwing Ingwer Nommensen (1834-1918) dan dibantu dengan misionaris-
misionaris lain dan salah satunya adalah misionaris Van Der Tuk yang gagal
menyebarkan agama Kristen sebelum Nommensen. Para misionaris-misionaris ini
pada waktu itu, berupaya untuk mendoktrin suku Batak Toba untuk menganut
agama Kristen sekaligus menghambat masuknya ajaran-ajaran agama Islam
masuk kewilayah tanah Batak. Keberhasilan para misionaris Belanda dalam
menyebarkan agama Kristen ditanah Batak mengakibatkan masyarakat Batak
beralih agama ke Kristen dan meninggalkan agama-agama lokal yaitu agama
Parmalim. Pada masa itu, agama Parmalim yang dianut oleh masyarakat Batak
Toba mengalami transformasi yang sangat pesat akibat zending agama Kristen.
(Togar Nainggolan, 2012:176-218).
Sedangkan yang membawa ajaran agama Islam ke kabupaten Samosir pertama
kali adalah melalui penjajahan Belanda yang datang ke tanah Batak. Umat agama
Islam diketahui keberadaannya ditanah Batak pada masa penjajahan yaitu yang
Universitas Sumatera Utara
pertama kali di kecamatan Harian kabupaten Samosir dilihat pada bangunan
Mesjid Nurul Huda yang dibangun pada tahun 1940. Beranjak ke kecamatan
Pangururan Mesjid Al-Ha-Sannah pada umumnya adalah sebuah Musholah yang
didirikan pada masa penjajahan Belanda. Seiring jalannya waktu, Mushola
tersebut direnovasi oleh umat Islam menjadi Mesjid yang telah berdiri kokoh
sekarang. Dan Mushola ini dulunya tidak diketahui kapan masa berdirinya
sekaligus tokoh yang
membangunnya. Yang menjadi bukti berdirinya Mushola tersebut dilihat dari bukt
i peningalan sisa-
sisa penjajahan Belanda. (irindonesia.wordpress.com/2011/08/09/masjid-al-
hasannah. diakses: tanggal 12 Desember 2016).
4.3. Profil Informan
4.3.1. Informan Kunci
Profil informan ketua Depertemen agama Kabupaten Samosir
Nama : Tawar Tua Simbolon
Usia :49 tahun
Etnis : Batak Toba
Agama : Kristen Protestan
Pekerjaan : PNS
Jabatan di FKUB : Wakil penasihat FKUB
Beliau menuturkan bahwa di kecamatan Pangururan kabupaten Samosir
sudah dibentuk Forum Kerukunan Umat Beragama yakni untuk menjaga dan
mempertahankan identitas daerah yang mana bahwa masyarakat Samosir
mempunyai keanekaragaman agama dan juga suku. Untuk itu diperlukan suatu
perkumpulan ataupun forum dalam menjaga stabilitas identitas daerah Samosir.
Dalam penuturan beliau terciptanya Kerukunan Umat Beragama di Pangururan
Universitas Sumatera Utara
maupun seluruh kecamatan yang ada di Samosir terjadi secara natural tanpa ada
unsur paksaan pihak manapun. Kerukunan secara natural ini tergambar pada
adanya ikatan kekerabatan antara umat Kristen dan umat Islam di Samosir.
Hubungan kekerabatan antara Kristen dan Islam terlihat jelas dalam suatu acara
adat dimana masyarakat saling marsiurupan (saling membantu) dalam menjalan
kelangsungan acara tersebut. Dalam tradisi penyajian makanan acara adat Batak
Toba akan disajikan oleh pihak Parboru (pihak perempuan) maka apabila salah
seorang kerabat yang beragama Islam terikat dalam perkumpulan pihak Boru
(pihak perempuan), tentu wajib seseorang yang beragama Islam tersebut ikut serta
dalam penyajian makanan. Karna hal tersebut adalah kewajiban sebagai tradisi
Batak Toba di Pangururan. Suatu perilaku masyarakat itu dalam penyajian
makanan seperti pemotongan hewan Kerbau agar umat Islam ikut mengkonsumsi
daging hewan tersebut, maka acara pemotongan hewan Kerbau itu dilakukan
pihak parboru yang beragama Islam. Dan apabila hewan Babi yang disediakan
dalam acara tersebut maka, kelompok kerabat tersebut akan menyediakan
makanan khusus yang tidak dapat mengkonsumsi hewan Babi, yaitu dengan
menyediakan makanan dari cathering.
Profil informan Majelis Ulama Samosir
Nama : Ustad Amruh Hasibuan
Usia : 40 tahun
Etnis : Batak Toba
Agama : Islam
Pekerjaan : PNS
Universitas Sumatera Utara
Bapak Amruh Hasibuan adalah seorang Ustad di desa Takkaran
kecamatan Onan Runggu dan menjabat sebagai Majelis Ulama di kabupaten
Samosir. belia menjelaskan bahwa kerukunan antar umat beragama di Pangururan
tercipta dengan adanya ikatan kekerabatan masyarakat seperti ikatan pernikahan.
Sikap masyarakat walaupun berbeda agama di Pangururan cenderung saling
menghargai, menghormati, yang terlihat dalam acara adat. Salah satu sikap
masyarakat menghormati budaya agama adalah dengan penyajian makanan yang
khusus bagi yang tidak dapat mengkonsumsi makanan tersebut. Beliau juga
menjelaskan salah satu perilaku rukun masyarakat di Pangururan terletak pada
kebiasaan masyarakat seperti minum Tuak. Baik yang beragama Islam maupun
Nasrani bergabung dilapo Tuak dan berbaur seperti kebiasaan masyarakat Batak
Toba di Pangururan. Beliau juga menjelaskan bahwa sikap rukun masyarakat
Pangururan dipengaruhi oleh ajaran agama masing-masing dan juga dipengaruhi
oleh peranan pemerintah serta FKUB kabupaten Samosir.
Profil informan ketua Forum Kerukunan Umat Beragama
Nama : J. Molder Sinaga
Usia : 52 tahun
Etnis : Batak Toba
Agama : Kristen Protestan
Pekerjaan : Pelayan Gereja Pentakosta
Jabatan di FKUB : Ketua FKUB
Bapak J. Molder Sinaga adalah ketua FKUB kabupaten Samosir dan
bekerja sebagai pendeta pelayan gereja Pentakosta. Beliau menjelaskan bahwa
kebudayaan menjadi landasan kerukunan antar umat beragama di Pangururan
Universitas Sumatera Utara
seperti halnya keterikatan dalam ritual acara adat-istidat, baik yang berbeda agama
tetap menjalankan dan melaksanakan kewajiban sesuai dengan adat bagaimana
semestinya. Beliau menjelaskan bahwa peranan FKUB merupakan bentuk cara
untuk mencegah agar antar umat beragama hidup dengan harmonis dan
menjauhkan konflik. Salah satu tindakan FKUB adalah berdialog antar anggota
yang termasuk seluruh tokoh-tokoh agama di Pangururan untuk menjaga dan
mempertahankan keharmonisan hubungan antar umat beragama, dengan cara
mensosialisasikan nilai budaya melalui pendidikan dan nilai agama melalaui
pendidikan dan Khotbah.
Profil informan Pendeta Kristen Protestan
Nama : Pendeta Ramli Sihombing
Usia : 45 tahun
Etnis : Batak Toba
Agama : Kristen Protestan
Pekerjaan : Pelayan Gereja HKBP (Huria Kristen Batak Protestan)
Jabatan : Menjabat sebagai pengurus Forum Komunikasi Kristen Protestan, Kristen Katolik (FK3S)
Bapak Ramli Sihombing adalah seorang pendeta disalah satu gereja
Kristen Protestan di kecamatan Pangururan dan juga menjabat sebagai Anggota
pengurus forum komunikasi Kristen Protestan dan Kristen Katolik. Beliau
menjelaskan bahwa kerukunan antar umat beragama di Pangururan dapat terjalin
harmonis disebabkan bahwa sebagian antar umat beragama memiliki ikatan
kekerabatan yakni satu marga dan sebagai Hula-Hula ataupun Boru. Walaupun
berbeda agama namun di Pangururan masyarakat apabila ada acara maka setiap
status menjalankan peranan masing-masing. Beliau juga menjelaskan bahwa
Universitas Sumatera Utara
peranan tokoh-tokoh masyarakat juga berperan dalam mempertahankan
kerukunan antar umat beragama, melalui dialog antar tokoh yakni di FKUB.
Dalam dialog antar tokoh-tokoh masyarakat, dalam mempertahankan kerukunan
umat beragama adalah dengan mengedepankan penanaman nilai-nilai agama yang
diutamakan kepada generasi muda.
Profil informan Pastor Kristen Katolik
Nama : Herman Sitanggang
Usia : 57 tahun
Etnis : Batak Toba
Agama : Kristen Katolik
Pekerjaan : Pelayan Gereja Kristen Katolik
Jabatan : Pastor
Bapak Herman Sitanggang adalah seorang Pastor Paroki St. Mikhael
Pangururan. Beliau menjelaskan bahwa kerukunan antar umat beragama di
Pangururan terjalin dengan harmonis disebabkan bahwa ajaran agama tersebutlah
menjadi acuan masyarakat Pangururan untuk berperilaku. Seperti halnya ajaran
umat Kristiani untuk hidup saling mengasihi satu sama lain. Beliau juga
menuturkan kerukunan antar umat beragama di Pangururan ini hidup saling
mengharagai dan menghormati, dan untuk mempertahankan kerukunan tersebut
maka peranan tokoh-tokoh masyarakat berdedikasi dalam menjaga kerusuhan
yang bernuansa agama. Peranan tokoh-tokoh masyarakat adalah menekankan
nilai-nilai agama pada generasi muda dalam rangka untuk menciptakan
kepribadian manusia masyarakat Pangururan.
Profil informan tokoh adat
Universitas Sumatera Utara
Nama : A. Riston Sitanggang
Usia : 67 tahun
Etnis : Batak Toba
Agama : Kristen Katolik
Pekerjaan : Petani
Jabatan : Tokoh Adat
A. Riston Sitanggang adalah seorang masyarakat biasa yang berprofesi
sebagai petani dan beliau tersebut dipercaya sebagai tokoh yang mengerti adat-
istiadat di Pangururan. Beliau menuturkan bahwa terciptanya kerukunan antar
umat beragama di Pangururan terjalin dengan hubungan kekerabatan. Dengan
hubungan kerabat tersebut walaupun berbeda agama namun kenyataanya di
Pangururan bahwa masyarakat terlibat dengan adat yang tercermin dalam Dalihan
Natolu sebagai sistem budaya dan menjadi nilai dan norma pola hidup
masyarakat. beliau menjelaskan walaupun mereka yang beragama Islam namun
mereka terlibat dalam unsur-unsur Dalihan Natolu yakni sebagai Hula-Hula,
Dongan Tubu, dan Boru. Terciptanya kerukunan antar umat beragama disebabkan
aturan-aturan dalam makna Dalihan Natolu yang menentukan sikap dan perilaku
masyarakat.
Profil informan Ustad agama Islam Pangururan
Nama : Hendra Himawan Manik
Usia : 29 tahun
Etnis : Batak Toba (Pendatang dari daerah Singkil)
Agama : Islam
Pekerjaan : Najir Masjid
Jabatan : Ustad
Universitas Sumatera Utara
Bapak Hendra adalah seorang Ustad di Masjid Al Hasanah Pangururan
dan bekerja sebagai Najir Masjid. Beliau menuturkan terciptanya kerukunan antar
umat beragama di Pangururan dikarnakan adanya ikatan persaudaraan. Dengan
ikatan persaudaraan itu beliau menjelaskan bahwa walaupun berbeda agama
namun kalau di adat baik umat Islam terlibat dengan bagaimana adat kebudayaan
di Pangururan. Beliau menjelaskan bahwa sikap masyarakat yang berbeda agama
di Pangururan ini hidup saling menghargai dan menghormati juga dipengaruhi
oleh ajaran agama dan pevan tokoh-tokoh masyarakat. Seperti halnya, Bupati
Samosir mengadakan silaturahmi dan mengundang antar tokoh-tokoh masyarakat
seluruh Samosir untuk berbuka Puasa dan membahas untuk selalu menjaga dan
mempertahankan hubungan yang harmonis antar umat beragama.
Profil informan masyarakat pendatang di Pangururan
Nama : Selamet Ryono
Usia : 50 tahun
Etnis : Minang (pendatang)
Agama : Islam
Pekerjaan : Industri usaha rumah makan
Bapak Selamet adalah masyarakat yang merantau ke Pangururan beserta
keluarganya dan tinggal menetap sebagai warga masyarakat Pangururan. Beliau
sudah hampir 13 tahun hidup dan tinggal di Pangururan dan berusaha membuka
rumah makan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya.
Slamet Ryono menuturkan bahwa keharmonisan hubungan umat beragama
baik Islam maupun umat Nasrani dapat terjaga dengan baik di pengaruhi oleh
sikap masyarakat yang saling menghargai, hormat-menghormati dan bersifat
Universitas Sumatera Utara
kekeluargaan. Menurut beliau bahwa perilaku-perilaku rukun antar umat Nasrani
dan Islam tercermin dalam sikap saling menyapa, menegur, membantu ataupun
menolong. Perilaku kedua umat beragama di Pangururan tidak berdasar pada
adanya sikap prasangka buruk, beliau menuturkan bahwa mereka umat pendatang
yang sama sekali tidak mempunyai kerabat di Pangururan, menganggap umat
Nasrani adalah sebagai saudara kandung. Beliau mengatakan apabila mereka umat
Muslim jatuh sakit, maka perilaku masyarakat setempat yang di lingkungannya
dan beragama Nasrani tersebutlah, yang datang untuk menolong dan membantu
untuk membawakan ke rumah sakit, dan mereka umat Nasrani juga kadang
memberikan pinjaman uang untuk membantu sementara biaya pengobatannya,
Dan begitu juga sebaliknya.
Profil informan masyarakat pendatang
Nama : Masronggo
Usia : 47 tahun
Etnis : Jawa
Agama : Islam
Pekerjaan : Industri usaha rumah makan
Menurut beliau bahwa kerukunan umat beragama di Pangururan sangat
harmonis dan alasannya tidak pernah ditemuinya sedikitpun pertengkaran antara
umat nasrani dan umat muslim. kerukunan umat beragama dapat terjalin didukung
sikap masyarakat yang saling menghargai dan menghormati dengan kata lainnya,
bahwa masyarakat tidak memiliki saling prasangka buruk walaupun berbeda
agama. Sikap masyarakat di Pangururan identik bahwa semua manusia adalah
saudara. Sebagian umat Islam adalah beretnis Batak Toba dan sebagian lagi
Universitas Sumatera Utara
adalah suku Pendatang dan inilah faktor pendukung terjalinnya hubungan
masyarakat yang harmonis. Keberadaan etnis pendatang yang tidak memiliki
kerabat di Pangururan secara realistis tidak pernah mengalami diskriminasi dari
umat Nasrani. Hubungan masyarakat Nasrani dan Islam begitu harmonis, dimana
keduanya saling menghargai dan menghormati satu sama lain. Suatu perilaku
menghargai dan menghormati terdapat pada sikap masyarakat bahwa pengunjung
rumah makan Islam hampir 70% adalah umat Nasrani, sebagaian umat Islam
pendatang berbaur bersama umat Nasrani masyarakat setempat di kedai Tuak
maupun di kedai Kopi, sikap saling mengundang apabila ada acara yang
dilaksanakan.
4.3.2. Informan Biasa
Profil informan Biasa
Nama : Paima Patricius Saing
Usia : 48 tahun
Etnis : Batak Toba
Agama : Kristen Protestan
Pekerjaan : PNS
Jabatan : Menjabat sebagai pengurus FKUB
Beliau menuturkan terjalinya kerukunan antarumat beragama di
Pangururan dipengaruhi oleh penanaman nilai-nilai agama sesuai ajaran
agamanya masing-masing. Disamping itu juga, kerukunan umat beragama
terbentuk oleh adanya hubungan ikatan kerja dibidang ekonomi. Yakni hal
tersebut terlihat pada hubungan pekerja Batu Bata di Pangururan (simbiosis
mutualisme dibidang ekonomi). Dan juga ikatan kerja di pemerintahan dan
Universitas Sumatera Utara
instansi-instansi lainnya. Dalam peran FKUB mengharapkan dan
mensosialisasikan kepada seluruh penyuluh agama dan guru agama agar
membimbing dan menekankan ajaran-ajaran nilai keagamaan kepada seluruh
masyarakat maupun murid/siswa. Maksud dari peran FKUB dalam hal tersebut
adalah untuk menciptakan dan mempertahankan visi dan misi yang sesuai dengan
nilai-nilai yang tertera pada Bhineka Tunggal Ika.
Profil informan Biasa
Nama : Harduga Nainggolan
Usia : 22 tahun
Etnis : Batak Toba
Agama : Kristen Protestan
Pekerjaan : Penarik Betor
Jabatan : Kepala Dusun di desa Parsaoran I
Menurut beliau hubungan antara umat Nasrani dan umat Islam di
Pangururan sangat harmonis dimana salah satu faktor pendukung adalah sikap dan
perilaku mereka saling menghargai, menghormati, saling menolong dan saling
menegur. Sikap dan Perilaku baik masyarakat pendatang ini selalu mendapat
respon yang positif dari masyarakat setempat dan tidak mempunyai celah untuk
berprasangka buruk baik secara beda agama maupun suku. Dalam kesehariannya
bahwa kadang kala masyarakat pendatang Islam yang berada pada umur 27 Tahun
kebawah juga mau berbaur dan ikut serta mengkonsumsi minuman dilapo tuak.
Hal tersebut terlihat pada kebanyakan pada pergaulan anak muda yang berkumpul
di kedai Tuak (Aren) sebagai tempat perkumpulan dan juga untuk tujuan
mengkonsumsi minuman Tuak Tersebut.
Universitas Sumatera Utara
4.4. Dasar Praktik Kerukunan Umat Beragama
4.4.1. Konsep Kerukunan
Kerukunan merupakan suatu kondisi sosial yang didorong oleh kesadaran
dan hasrat bersama demi kepentingan bersama. Kerukunan adalah proses interaksi
yang mencerminkan hubungan timbal balik yang ditandai oleh sikap saling
menghargai, menghormati, toleran dan sikap saling memaknai kebersamaan.
Rukun mencerminkan keadaan selaras, damai dan tentram, tidak ada perselisihan
ataupun pertentangan.
Kerukunan dalam perspektif agama adalah kondisi masyarakat hidup
dengan suasana damai dan tentram, saling toleransi antara masyarakat yang
beragama sama ataupun berbeda, kesedian umat beragama untuk menerima
adanya perbedaan keyakinan dengan orang atau kelompok umat agama lainnya,
sikap membiarkan umat agama lain untuk mengamalkan ajaran yang diyakini oleh
masing-masing umat beragama dan sikap untuk menerima adanya perbedaan..
Masyarakat Pangururan secara teritorial, kekuatan, agama, dan integrasi
dalam kekuasaan adalah mayoritas suku Batak Toba. Menurut Talcott Parsons,
semua masyarakat harus memiliki suatu bentuk organisasi teritorial. Hal ini
bertujuan untuk mengontrol konflik internal dan untuk berhubungan dengan
masyarakat lainnya. Dengan penjelasan teori tersebut, penulis menemukan bahwa
integrasi masyarakat Pangururan dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya dan juga
berfungsi sebagai pengontrol konflik dalam tatanan kehidupan masyarakat. Nilai
budaya tersebut merupakan sistem yang terpola sebagai landasan atau pedoman
dasar praktik yang mencerminkan perilaku rukun dalam kaitannya dengan
Universitas Sumatera Utara
dinamika hubungan antar umat beragama. Dalam teori Parson masyarakat adalah
suatu sistem sosial, secara fungsional terintegrasi kedalam suatu bentuk
keseimbangan (equilibrium) dan keteraturan (order). Dalam skema teori tindakan
yang dikemukakan oleh Parsons, bahwa sistem kebudayaan merupakan kekuatan
utama yang mengikat tindakan masyarakat. Hal ini disebabkan karena didalam
kebudayaan terdapat nilai-nilai dan norma-norma yang harus ditaati individu
untuk mencapai tujuan dari kebudayaan itu sendiri.
4.4.2. Dalihan Natolu Sebagai Nilai Budaya
Kebudayaan masyarakat Pangururan secara etnis adalah Batak Toba. Nilai
budaya sebagai wujud kebudayaan masyarakat Pangururan adalah Dalihan Natolu
(tiga tungku). Dalihan Natolu merupakan suatu struktur yang mengintegrasikan
masyarakat kedalam suatu bentuk keteraturan dan keseimbangan pola hidup
masyarakat. Seperti yang dijelaskan informan Bapak Tawar Tua Simbolon (49
tahun):
Dalihan Natolu itu dalah konsep kehidupan masyarakat di Pangururan dan tujuannya adalah untuk mempersatukan masyarakat. Dalihan Natolu adalah produk kebudayaan Batak Toba yang memberi dan mengarahkan masyarakat cara-cara hidup masyarakat, yang artinya konsep tersebut membentuk stabilisasi seluruh masyarakat di Pangururan ini.
Berangkat dari sejarah mengenai filosofi Dalihan Natolu yang dipegang
erat oleh masyarakat di Pangururan nampak jelas bahwa sistem tersebut dilahirkan
untuk mengintegrasikan masyarakat menuju keseimbangan. Keseimbangan yang
dimaksud disini bahwa konsep Dalihan Natolu tersebut mencerminkan tidak
Universitas Sumatera Utara
adanya pembagian kasta dalam masyarakat. seperti yang dijelaskan informan
Pendeta Ramli Sihombing (45 tahun ):
Dulu nenek moyang kita kalau memasak itu diatas tiga batu sebagai penyangga agar seimbang kuali atau periuklah contohnya. Inilah dirangkai para lelehur kita dulu sebagai cara-cara hidup dengan kelompok satu darah kita, ataupun dengan satu ikatan karna pernikahan. Masyarakat Pangururan tidak ada namanya siapa yang lebih tinggi kedudukannya kalau diadat. Yang artinya saya bilang tadi, walaupun dia hula-hula bukan berarti dia selamanya yang harus dihormati, hula-hula itupun harus menghargai dan menghormati borunya karna sebagian pekerjaan adatnya hula-hula adalah pekerjaannya boru.
Sistem sosial adalah pola-pola yang mengatur hubungan timbal balik antar
individu dengan masyarakat dan antara individu dengan masyarakatnya, dan
tingkah laku individu-individu tersebut. Dalam hubungan-hubungan timbal balik
tersebut, kedudukan dan peranan individu mempunyai arti yang penting, karena
harmonisnya hubungan masyarakat tergantung daripada keseimbangan individu-
individu.Konsep keseimbangan pola hidup masyarakat Pangururan dikategorikan
dalam tiga status dalam pembagiannya dimasyarakat yakni, Hula-Hula (pihak
pemberi istri), Dongan Tubu (satu Marga/klan), dan Boru (pihak penerima
perempuan). Hal ini juga dijelaskan oleh informan Bapak Paima Patricius Saing
(48 tahun):
Kedudukan yang dianut masyarakat Pangururan atas dasar dari Dalihan Natolu budaya Batak Toba, hal tersebut terbagi kedalam tiga kedudukan yaitu Hula-Hula (Paman), Dongan Tubu (satu Marga), Boru (pihak perempuan/suami anak perempuan). Ketiga kedudukan di Pangururan ini mempunyai adat masing-masing dalam status yang kita miliki.Dalam suatu acara di Pangururan
Universitas Sumatera Utara
ini, kedudukan-kedukan tadi harus menjalankan tugas-tugasnya, peran hula-hula itu apa, peran boru itu apa.
Kedudukan (status) yang dimiliki masyarakat Pangururan merupakan
suatu kedudukan yang diterima sejak lahir (asceibed status), status yang
diusahakan(aschieved status), status yang diberikan atas usaha (asigned status).
Status yang pertama yang dianut masyarakat adalah status Marga/klan, karna
status tersebut diterimanya mulai sejak lahir. Peranan setiap individu yang terikat
dengan ikatan Marga di Pangururan harus bersifat saling menjaga satu sama lain
agar hubungan marga tersebut hidup dengan langgeng. Potensi konflik masyarakat
Pangururan adalah ikatan satu Marga/klan. Hal ini jelas bahwa hubungan yang
berdekatan lah yang dapat memicu perpecahan ketimbang hubungan yang jauh,
dimana setiap individu kadangkala bersikap intoleran terhadap ikatan darahnya.
Seperti yang dituturkan oleh informan Bapak A. Riston Sitanggang (67 tahun):
Kalau satu marga kita itu disebut dengan Dongan Tubu/Sabutuha (satu darah). Masarakat Pangururan kalau kita dengan satu Marga itu harus bersikap hati-hati, jangan sampai tersinggung, karna yang satu Marga ininya yang sering salah paham dan juga berkelahi. Makanya dalam pesan-pesan leluhur kita selalu itu diumpamakan seperti ini “hau na jonok do naboi marsoigosan” (kayu yang berdekatannya saling bergesekan). Perumpamaan ini mengartikan bahwa kita yang satu marga itu harus “Marsipasangapan” (saling menghormati dan menghargai) biar gak timbul perkelahian diantara kita satu Marga.
Hal tersebut juga ditambahkan bapak Pator Herman Sitanggang (57 tahun):
Kalau satu Marga itu di Pangururan ini harus saling menjaga bersifat menghargailah. Kalau tidak menghargai perkelahian yang datang ujung-ujungnya. Kita tidak boleh anggap enteng atau sepele walaupun yang satu Marga atau adik kitapun itu, karna ini yang mala petaka bagi kita
Universitas Sumatera Utara
satu Marga di Pangururan ini. Contohnya masalah warisan, kita yang satu Marga harus saling menjaga dan menghargai. Seperti yang dikatakan pada perumpamaan “akka naso manta mardongan tubu, na tajom ma adopanna” (barang siapa yang tidak saling menjaga hubungan satu Marga, celaka yang akan dihadapinya).
Dari penjelasan diatas tampak jelas bahwa hubungan satu Marga di
Pangururan merupakan potensi terjadinya perpecahan/konflik. Penulis
menemukan bahwa Dalihan Natolu sebagai simbol pola keseimbangan
masyarakat Pangururan yang dimana dibagi menjadi tiga status yakni Hula-Hula,
Dongan Tubu, dan Boru mempunyai peranan masing-masing dalam mewujudkan
pola keteraturan hubungan-hubungan antar masyarakat. Seperti halnya konflik
yang terjadi dalam satu Marga di Pangururan, peranan Hula-Hula dan Boru sangat
potensial sebagai mediator perpecahan yang terjadi dalam ikatan Marga tersebut.
Seperti yang dikatakan oleh Informan Tawar Tua Simbolon (49 tahun):
Kalau konflik dalam satu Marga ada yang terjadi di Pangururan ini, maka yang datang nanti untuk mendamaikan perkara Marga tersebut adalah Hula-Hulanya dan Borunya.
Status/kedudukan masyarakat Pangururan yang kedua adalah Hula-Hula
yang diterima melalui usaha (aschieved status). Hula-Hula dalam masyarakat
Pangururan berperan sebagai pemberi perempuan terhadap suatu ikatan Marga
dan juga dipercaya sebagai pemberi berkat kepada yang disebut sebagai pihak
Boru, melalui doanya kepada Tuhan-nya. Dalam artian, ikatan Marga tersebut
dalam adat masyarakat Pangururan akan menjadi pihak Boru dari Hula-Hula
(pemberi perempuan). Maka untuk itu, sikap masyarakat Pangururan terhadap
Hula-Hula harus dihormati oleh Borunya. Seperti yang dikatakan oleh informan
Bapak Ramli Sihombing (45 tahun):
Universitas Sumatera Utara
Sikap kita di Pangururan ini kalau terhadap Hula-Hula, kita harus menghormati, menghargai, dan membantunya kalau ada contohnya acara pesta adat yang diadakannya. Hula-Hula itu bagi kita masyarakat Batak adalah Tampuk ni hita jolma (pusat/pusar kita manusia) yang artinya Hula-Hula lah yang memberikan kita keturunan lewat anak gadisnya. Maka dengan itulah, kita masyarakat Pangururan harus Somba(hormat) kepada Hula-Hula (tulang/paman)kita. “Songon nidok ni natua-tua, naso somba marhula-hula, siraraon ma gadong na” (seperti yang diumpamakan oleh orang tua, barang siapa yang tidak menghormati hula-hulanya, hancur/busuklah ubinya).
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa sikap masyarakat
terhadap hula-hulanya harus bersikap hormat dan menghargai. Pada waktu
penelitian dilapangan, penulis menemukan bahwa peran hula-hula terhadap pihak
parboru bersifat mengayomi, lemah lembut, dan menghargai. Hal ini dikarnakan,
Hula-Hula walaupun pemberi perempuan juga mempunyai ketergantungan
terhadap borunya, dimana Hula-Hula membutuhkan sebagian pekerjaan Boru
dalam suatu acara adat. Dan peran Hula-Hula juga di Pangururan, apabila konflik
terjadi dalam kehidupan Borunya maka Hula-Hula lah yang berperan untuk
mendamaikannya sebagai mediator. Seperti yang dikatakan oleh informan Bapak
Paima Patricius Saing (48 Tahun):
Kita memang harus menghormati Hula-Hula kita, tapi Hula-Hula kita juga harus menghormati dan menghargai kita borunya, karna kitalah Bukkulan/Siboru Parlopes/Sihunti Ampang, yang artinya Borulah yang memberikan tenaga seperti menyajikan makanan dalam acara yang diadakan Hula-Hula. Makanya, kalau Boru ada yang mengalami pertengkaran, maka Hula-Hula lah yang mendamaikannya.
Universitas Sumatera Utara
Status ketiga yang disebut sebagai unsur Dalihan Natolu adalah Pihak
“Parboru”, dimana status tersebut diterima melalui pemberian (asigned Status).
Pihak parboru merupakan kelompok yang paling berperan dalam suatu acara di
masyarakat Pangururan. Pihak tersebutlah yang mengkondisikan bagian
konsumsi, mengundang tamu yang terlibat kerabat dengan tutur Marga (konsep
dari hula-hulanya). Boru dalam konsep Batak di Pangururan adalah
Bukkulan/Sihunti Ampang (tenaga/penyajian/ bagian dapur), Maka untuk itulah
sikap Hula-Hulanya harus lemah lembut, membujuk, dan menghargai Borunya.
Seperti yang dituturkan informan Bapak J. Molder Sinaga (52 tahun):
Parboru nya dibilang bukkulan/siboru parhopes/sihunti ampang. Parboru juga disebut Parhobas (pembantu segalanya) kalau dalam suatu acara. Parborulah yang paling capek tugasnya kalau dikita masyarakat Pangururan.Bagian konsumsi didapur adalah tugas dan kewajiban parboru. kita Hula-Hula harus elek (membujuk, lemah lembut) terhadap pihak Boru kita, karna itu tadi merekalah bukkulan kita.
Dari penjelasan diatas nampak jelas bahwa sikap hula-hula terhadap
Borunya harus bersikap membujuk, lemah lembut, dan saling menghargai. Hal
tersebut dikarnakan bahwa peran Boru dalam masyarakat Pangururan untuk
membantu pihak Hula-hulanya dalam suatu pekerjaan. Dalam waktu penelitian,
penulis juga menemukan bahwa peran Boru di Pangururan bersikap akomodatif,
dimana apabila terjadi konflik dalam kelompok Hula-Hulanya, maka peran
Borulah yang menjadi mediator dalam mendamaikan konflik/pertengkaran
tersebut. Seperti yang dijelaskan oleh informan Bapak A. Riston Sitanggang (67
tahun):
Universitas Sumatera Utara
Kalau Hula-Hula kita bertengkar hebat, kitalah Borunya yang datang untuk mendamaikannya secara kekeluargaan. Hula-Hula kita itukan keluarga melalui istri kita, jadi kalau mereka bertengkar sudah menjadi kewajiban kita ikut campur untuk mendamaikan hula-hula kita tadi.
Konsep keseimbangan dan keteraturan pola hidup masyarakat Pangururan
merupakan wujud dari unsur-unsur Dalihan Natolu sebagai produk kebudayaan
Batak Toba. Pola keseimbangan masyarakat Pangururan tercipta sesuai tujuan
maknanya yaitu, peranan masing-masing fungsi status masyarakat dihayati dan
dijalankan sesuai fungsi status yang dimilikinya. Dari kesimpulan penjelasan
diatas tampak jelas bahwa nilai budaya masyarakat Pangururan merupakan
landasan/patokan berperilaku dan tindakannya. Dengan begitu, keberlangsungan
keharmonisan masyarakat Pangururan akan selalu terjaga, dikarnakan peranan dan
sistem budaya Dalihan Natolu diiternalisasikan kedalam sistem keperibadian
setiap individu masyarakat melalui adaptasi dan juga melalui proses sosialisasi
dari agen-agen sosial. Dengan proses internalisasi tersebut maka setiap individu
sadar akan dirinya adalah bagian dari kelompok masyarakat.
4.4.3. Nilai Agama Sebagai DasarPraktik Kerukunan Umat Beragama
Menurut Talcott Parsons agama secara tradisional memberikan kerangka
arti simbolis yang bersifat umum yang karenanya sistem nilai dalam masyarakat
memperoleh makna akhir atau mutlak. Dengan kata lain, pandangan dunia (word
view) yang mendasar dalam masyarakat berkaitan dengan struktur agamanya.
Pandangan dunia merupakan kerangka umum bagi orientasi kognitif yang pokok
dan simbol ekspresif yang dianut bersama dalam suatu masyarakat. Artinya,
Universitas Sumatera Utara
kepercayaan-kepercayaan dasar serta sentimen secara khas dibentuk oleh warisan
agama.
Nilai-nilai agama Kristen mengajarkan kepada seluruh umatnya agar hidup
dengan cinta- Kasih. Nilai tersebut bertujuan agar manusia hidup berlandaskan
dalam Kasih Yesus Kristus. Nilai tersebut adalah sebagai berikut:
a. Kebenaran (Truth), kita umat manusia harus memegang teguh kebenaran dan
mengajarkannya dalam kebenaran berdasar pada alkitab. Kebenaran ini juga
terletak pada integritas dan kejujuran, yaitu ada keselarasan antara apa yang
dikatakan dan dilakukan.
b. Kesalehan (righteousness), disini setiap orang percaya harus hidup berfokus
dan berpusat pada Allah Bapa di dalam nama Tuhan Yesus Kristus. Kesalehan
berbicara tentang hubungan kita dengan Allah dan kesederhanaan hidup.
c. Kekudusan (Holiness), ini merupakan syarat seseorang dapat melihat Allah, dan
masuk menghadap hadiratnya. Umat Kristen telah dipisahkan dari dunia ini untuk
tujuan khusus yaitu sebagai garam dan terang dunia.
d. Kesetian (Faithfulness), sifat setia sangat diharapkan untuk dapat dimiliki oleh
setiap orang percaya. Kesetian orang Kristen harus didasarkan pada kesetian
Allah sendiri dengan senantiasa menyertai kita.
e. Keutamaan (excellency), semangat yang terbaik untuk memberikan kepada
Tuhan dan sesama tentunya diilhami oleh Allah sendiri yang telah memberikan
pemberian yang terbaik yaitu anak-nya yang Tunggal bagi dunia.
f. Kasih (Love), ini merupakan ciri kehidupan umat Kristiani yang selalu
dinantikan oleh orang-orang disekitar kita. Kasih yang dinyatakan kesediaan
Universitas Sumatera Utara
untuk menerima orang lain, mengampuni yang bersalah, dan menyalurkan berkat
Tuhan yang membutuhkan.
Nilai-nilai agama Islam mengajarkan kepada seluruh penganutnya agar
tercipta keserasian para penganutnya maupun antar umat beragama. Nilai ajaran
agama Islam sangat menjunjung dan memperioritaskan terciptanya hubungan
yang harmonis antar umat beragama. Dalam hal tersebut nilai-nilai agama Islam
mencakup tiga aspek sebagai pokok yang harus diperhatikan dalam ajaran agama
Islam yaitu:
a. Nilai Akidah, akidah atau keimanan merupakan landasan bagi umat Islam,
sebab dengan akidah yang kuat seseorang tidak akan goyah dalam keimanannya.
Akidah dalam Islam keyakinan tentang akan Allah sebagai Tuhan yang wajib
disembah. Untuk itu sebagai umat Islam harus mengucapkan kalimat syahadat
sebanyak dua kali dan perbuatan dengan amal sholeh, beserta keyakinan yang
kuat dari dalam hati.
b. Nilai Syari’ah adalah panduan yang diberikan Allah yang berisikan hukum-
hukum atau aturan untuk semua hamba-hambanya untuk diamalkan demi
mendapatkan kebahagian dunia dan akhirat. Syariah juga diartikan sebagai
peraturan-peraturan atau pokok-pokok yang digariskan oleh Allah agar manusia
berpegang kepadanya, dalam mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya,
sesama manusia, alam dan hubungan manusia dengan kehidupan.
c. Nilai Akhlak, dalam agama Islam Akhlak merupakan perilaku seseorang
muslim memberikan suatu gambaran akan pemahamannya terhadap umat Islam.
Akhlak adalah gambaran tingkah laku dalam jiwa yang daripadanya lahir
perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan
Universitas Sumatera Utara
pertimbangan. Akhlak dalam ajaran Islam terdiri dari berbagai aspek, dimulai
akhlak terhadap Allah hingga terhadap manusia yyaitu sebagai berikut:
1. Akhlak terhadap Allah, nilai-nilai ke-Tuhanan yang mendasar adalah;
iman, ihsan, takwa, iklas, tawakal, syukur dan sabar.
2. Akhlak terhadap manusia, nilai-nilai akhlak terhadap sesama manusia
yakni sebagai berikut; silaturahmi, persaudaraan, persamaan, adil, baik
sangka, rendah hati, tepat janji, lapang dada, dapat dipercaya, perwira,
hemat dan dermawan.
Ajaran agama bagi masyarakat Pangururan merupakan simbol nilai yang
menjadi acuan/pedoman hidup setiap masyarakat. Doktrin agama mengarahkan
setiap umatnya untuk berintegrasi dan berperilaku atau bertindak sesuai aturan-
aturan yang tercakup didalam ajaran agama tersebut. Kerukunan antar umat
beragama di Pangururan dapat tercipta dengan harmonis dipengaruhi oleh ajaran-
ajaran agama masing-masing. Ajaran agama mendoktrin umatnya untuk bersikap
baik terhadap sesama manusia walaupun berbeda identitas budaya, agama, suku,
dan sebagainya. Kerukunan antar umat beragama di Pangururan dapat terjalin
dengan harmonis adalah bahwa setiap umat beragama menginternalisasikan ajaran
agama kedalam pembentukan kepribadiannya. Hal tersebut juga dapat
disimpulkan bahwa sifat masyarakat Pangururan yang berbeda agama
mengedepankan nilai-nilai agama, yakni tujuan dari ajaran agama tentang
keselamatan duniawi yang mutlak.Seperti yang dijelaskan informan Pendeta
Ramli Sihombing (45 tahun):
kita dapat rukun dengan umat beragama lain yang berbeda dengan aliran kepercayaan kita itu yang paling
Universitas Sumatera Utara
utama dipengaruhi oleh ajaran agama di Pangururan ini. Ajaran agama kita Kristen mengajarkan kita untuk saling mengasihi satu sama lain, baikpun itu agama Islam, Buddha, Hindu maupun Parmalim. Dalam ajaran agama Kristen, kita umatnya diajarkan untuk mengasihi musuh kita. Inilah yang kita jalankan sebagai umat Nasrani di Pangururan ini kita saling menghormati dan menghargai mereka yang berbeda agama dengan kita.
Hal tersebut juga ditambahkan oleh Ustad Hendra Himawan Manik :
Kita dapat hidup rukun di Pangururan ini karna kita saling menghargai dan menghormati agama masing-masing. Ajaran agama itu mengajarkan kita untuk berakhlak, yakni berakhlak kepada Subwanata Allah, berakhlak kepada sesama manusia, dan berakhlak kepada lingkungan. Di Pangururan ini ajaran agamalah yang menjadi landasan perilaku setiap umat Muslim, dimana kita diajarkan dalam “alquran” saling menghormati, saling menghargai, saling tolong-menolong, dan saling membantu satu sama lain.
4.5. Peran Elit Lokal dan Masyarakat Dalam wujud Kerukunan Umat
Beragama
4.5.1. Peran Elit Lokal
Peranan elit lokal mengacu pada fungsional struktural, yang dipercaya
dan ditunjuk oleh masyarakat sebagai pemimpin untuk mengatur dan
mempertahankan berbagai persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat
mengarah pada kesejahteraan hidup masyarakat. elit lokal merupakan status yang
merupakan suatu posisi struktural dalam sistem sosial yang ditunjuk oleh
masyarakat maupun status yang diusahakannya (aschieved dan asigned status),
dan berperan menjalankan fungsinya dalam membangun dan mempertahankan
pola kesejahteraan masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
4.5.1.1. Peran Elit Formal
Elit formal adalah orang yang oleh organisasi/lembaga tertentu ditunjuk
sebagai pemimpin, berdasarkan keputusan dan pengangkatan resmi memangku
suatu jabatan dan struktur organisasi dengan segala hak dan kewajiban yang
berkaitan dengannya untuk mencapai sasaran organisasi.
Gerakan sosial lahir sebagai wujud reaksi terhadap permasalah-
permasalahan yang dapat mempengaruhi keteraturan dan keseimbangan
masyarakat sehingga masyarakat berprinsip untuk menciptakan perubahan
diberbagai bidang kehidupan masyarakat. gerakan sosial juga sebagai sebuah
tindakan yang berkelanjutan secara bertahap, dan kampanye yang dilakukan oleh
orang-orang biasa dan mereka membuat tuntutan secara kolektif dan solidaritas
dalam interaksi yang berkesinambungan. Gerakan sosial dinilai sebagai bentuk
aktivitas yang khas dari masyarakat sipil dalam kegiatan sosial aktor-aktor terlibat
secara mandiri dan diikat oleh suatu identitas kolektif yang dibangun atas dasar
kebutuhan dan kesadaran.
Kondisi ini juga ditemui pada peran elit formal masyarakat Pangururan
sebagai bentuk gerak sosial maupun fungsi status sosial dalam menjaga dan
mempertahankan kerukunan antar umat beragama. Peran-peran elit formal
masyarakat Pangururan dalam menjaga kerukunan umat beragama terbentuk
dalam gerakan sosial dalam wujud tindakan yang dilakukan oleh segenap aktor
yang mempunyai status kepemimpinan. Demi terwujudnya keharmonisan
hubungan antar umat beragama cara-cara elit formal dalam fungsinya membentuk
Universitas Sumatera Utara
wujud perilaku dan tindakan seperti halnya, membangun solidaritas dan
memfasilitasi tokoh-tokoh agama.
4.5.1.1.1.Membangun Solidaritas
Solidaritas merupakan rasa kebersamaan, rasa kesatuan kepentingan, rasa
simpati, sebagai salah satu anggota dari kelas yang sama atau diartikan sebagai
perasaan atau ungkapan dalam sebuah kelompok yang dibentuk oleh kepentingan
bersama.
Solidaritas yang dimaksud disini adalah membangun rasa kebersamaan
atau kesatuan dalam kepentingan bersama untuk mengurangi keanekaragaman
masyarakat yakni perbedaan agama. Peranan elit formal masyarakat Pangururan
berfungsi dalam mewujudkan hubungan harmonis antar umat beragama, hal
tersebut dilihat dalam bentuk tindakan elit dalam membangun rasa kebersamaan
demi kepentingan bersama dalam keanekaragaman agama di Pangururan. Seperti
yang dituturkan oleh informan Bapak Tawar Tua Simbolon selaku ketua
Departemen agama kebupaten Samosir:
Peranan dari tokoh masyarakat sangat menjunjung tinggi keharmonisan umat beragama di Pangururan ini. Seperti Bupati kita kemarin mengadakan silaturahmi pada bulan Puasa agama Muslim, dengan mengajak dan mengundang jajaran tokoh-tokoh masyarakat sekabupaten Samosir untuk buka bersama. Silaturahmi yang diadakan bupati kita Rafidin Simbolon sangatlah berguna dimana dalam acara tersebut kita tokoh-tokoh masyarakat diajak untuk membangun dan mempertahankan kerukunan umat beragama. Dalam upaya yang dipaparkannya pada pertemuan tersebut, ditekankan kepada segenap penyuluh agama untuk selalu menekankan nilai-nilai agama
Universitas Sumatera Utara
masing-masing umat demi mewujudkan hubungan harmonis dibidang keagamaan.
Bentuk tindakan peran elit lokal dalam menjaga dan mempertahankan
kerukunan antar umat beragama di Pangururan juga didukung oleh peranan FKUB
(Forum kerukunan umat beragama). Seperti yang dituturkan oleh informan Bapak
J. Molder Sinaga selaku ketua FKUB:
Kita angota dalam forum kerukunan umat beragama terdiri dari para tokoh-tokoh dari setiap agama. Mengenai tindakan yang kami upayakan dalam menjaga kerukunan umat beragama didaerah kita ini, kita yang terdiri dari segenap penyuluh agama mencari soulusi yakni setiap penyuluh agama ditekankan untuk mengajarkan nilai-nilai agama pada umatnya. Tindakan kita untuk menjaga dan mempertahankan kerukunan umat beragama di Pangururan diutamakan sosialisasi kepada generasi muda untuk mencegah konflik-konflik agama dimasa mendatang.
Secara sosiologis, tindakan-tindakan para elit formal masyarakat
Pangururan, dalam membangun solidaritas adalah untuk menjaga timbulnya
konflik-konflik yang bernuansa agama. Yang artinya fungsi dari peranan status
elit lokal pangururan adalah sebagai bentuk pengendalian supaya tidak terjadi
dinamika konflik masyarakat yang berbeda agama. Dalam mengatasi dinamika
konflik agama, silaturahmi dan solidaritas FKUB merupakan suatu bentuk
pengendalian sosial.
4.5.1.1.2.Fasilitas dan Sosialisasi
Dalam mewujudkan kerukunan antar umat beragama, elit formal di
Pangururan dalam tindakannya adalah memfasilitasi setiap lembaga-lembaga
agama dan mensosialisasikannya untuk bekerjasama dalam penekanan nilai-nilai
Universitas Sumatera Utara
agama kepada setiap masyarakat sesuai kepercayaan yang dianut masing-masing.
Seperti yang dipaparkan oleh Bapak Tawar Tua Simbolon selaku ketua
departemen agama Samosir:
Kalau peran kami pemerintah dalam menjaga dan mempertahankan kerukunan antar umat beragama di Pangururan ini, kita selaku dari depag yaitu memfasilitasi setiap lembaga agama dan juga kita selalu nmensosialisasikan kepada jajaran tokoh-tokoh agama agar mengupayakan penekanan nilai-nilai agama kepada generasi muda.
Hal tersebut juga ditambahkan oleh informan Bapak J. Molder Sinaga
selaku ketua FKUB Samosir:
Dalam mewujudkan pembangunan wisata Samosir para pemerintah mengupayakan dengan mensosialisasikan lewat tokoh-tokoh agama agar berupaya menekankan nilai-nilai agama kepada masyarakat.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa peranan elit formal adalah
memfasilitasi dan mensosialisasikan kepada tokoh-tokoh agama untuk
mewujudkan keharmonisan hubungan antar umat beragama. Tujuan elit formal
adalah untuk selalu menjaga dan mempertahankan hubungan antar umat beragama
agar selalu harmonis dan guna untuk mewujudkan pembangunan kawasan wisata
Samosir.
4.5.1.1.2. Peran Elit Informal
Elit informal ialah orang yang tidak mendapatkan pengangkatan formal sebagai
pemimpin, namun karena dia memiliki kualitas unggul, dia mencapai kedudukan
Universitas Sumatera Utara
sebagai orang yang mampu mempengaruhi kondisi psikis dan perilaku suatu
kelompok atau masyarakat.
Elit informal di Pangururan mempunyai peranan sebagai status struktur
yang dimana berfungsi untuk mencapai sasaran sesuai tujuan yang dimaksud.
Tujuan yang dimaksud adalah mengupayakan terjalinnya kerukunan antar umat
beragama, yakni peranan tokoh-tokoh agama sebagai elit informal berfungsi
sebagai aktor untuk memotivasi umatnya dalam pembentukan karakter sesuai
ajaran agama yang dianut masing-masing. Peranan elit informal Pangururan
sangat berperan dalam menjaga dan mempertahankan kerukunan antar umat
beragama. Seperti yang dipaparkan oleh Ustad Amruh Hasibuan dan juga beliau
selaku Majelis Ulama Samosir:
Kita tokoh-tokoh agama berupaya untuk selalu mengingatkan dan juga mengajarkan ajaran agama agar setiap umatnya berakhlak mulia dan saling menghormati satu sama lain walaupun berbeda agama.
Hal tersebut juga ditambahkan oleh Pendeta Ramli Sihombing :
Ya kita sebagai Pendeta maupun Pastor di Pangururan ini sama-sama berupaya untuk selalu mengajarkan ajaran agama sebagai tugas kita. Ajaran agama kita sudah sangat jelas yah bahwa kita setiap umat manusia harus saling mengasihi satu sama lain. Ajaran inilah yang selalu kita tekankan kepada masyarakat umat beragama.
Dari penjelasan informan diatas dapat disimpulkan bahwa peranan elit
informal Pangururan adalah menjalankan fungsi peranannya sebagai tokoh-tokoh
agama. Peranan tokoh-tokoh agama masyarakat adalah mengajarkan ajaran agama
kepada umatnya yakni mengenai ajaran kebenaran mengenai keselamatan yang
Universitas Sumatera Utara
abstrak. Integrasi nilai antar umat beragama dapat mencerminkan kesatuan dan
persatuan adalah dengan ajaran agama yang bertujuan untuk mencapai kebenaran
mengenai keselamatan dunia.
4.5.2. Peran Masyarakat Pangururan yang Mencerminkan
Kerukunan
Peranan merupakan aspek yang dinamis dari kedudukan (status) yang
artinya apabila seseorang melaksanakan hak-hak dan kewajibannya sesuai dengan
kedudukannya maka individu tersebut menjalankan suatu peranan. Peranan
meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang
dalam masyarakat, yang merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang
membimbing seseorang dalam kehidupan kemasyarakatan. Peranan juga dapat
dikatakan sebagai perikelakuan individu yang penting bagi struktur sosial.
Setiap peranan bertujuan agar antara individu yang melaksanakan
peranan tadi dengan orang-orang yang disekitarnya yang tersangkut atau ada
hubungannya dengan peranan tersebut, terdapat hubungan yang diatur oleh nilai-
nilai sosial dan ditaati kedua belah pihak.
Keteraturan dan keseimbangan hubungan antar umat beragama yang
berbeda di Pangururan dan juga hubungan tersebut dikategorikan harmonis, hal
tersebut tercapai atau dipengaruhi adanya unsur-unsur nilai sebagai struktur sosial
masyarakat. Struktur nilai tersebut yang menjadi pengikat antar umat beragama di
Pangururan adalah Dalihan Natolu. Sistem nilai tersebut merupakan
landasan/acuan dikarnakan mempunyai peranan masing-masing dalam struktur
budaya tersebut. Kondisi keteraturan dan pola keseimbanagan yang
Universitas Sumatera Utara
mencerminkan keharmoniasa hubungan antar umat beragama, ditemui pada
sistem kekerabatan dan sistem budaya/tradisi masyarakat Pangururan.
4.5.2.1. Faktor kekerabatan
Kekerabatan adalah suatu ikatan,individu dengan individu, individu
dengan kelomok, kelompok dengan kelompok. Kekerabatan adalah suatu
kesatuan yang terhimpun dalam suatu ikatan darah (Marga/Klan) dan ikatan
Pernikahan. Keharmonisan dalam ikatan kekerabatan akan tercipta apabila setiap
status diperankan sesuai dengan fungsinya.
4.5.2.1.1. Ikatan Marga
Marga merupakan organisasi kelompok Primer yang terikat oleh ikatan
satu darah (Gemeinschaft/Panguyuban), yang artinya ikatan tersebut diterima oleh
masyarakat melalui keturunan. Dengan demikian, bahwa Marga yang terdiri dari
kumpulan orang-orang walaupun tempat tinggal tidak berdekatan akan tetapi,
kumpulan orang-orang tersebut mempunyai ideologi yang sama.
Kerukunan antar umat beragama di Pangururan salah satu faktor adalah
ikatan Marga (Panguyuban). Dalam hubungan Marga di Pangururan walaupun
berbeda agama namun perilaku-perilaku yang satu marga akan saling menghargai
dan bersikap menjaga satu sama lain. Hal ini dikarnakan konflik/pertentangan
masyarakat di Pangururan lebih dipengaruhi oleh ikatan Marga. Seperti yang
dituturkan oleh informan Bapak Ramli Sihombing (45 tahun):
Walaupun kita di Pangururan ini berbeda agama namun kita terikatnya sebagian oleh Marga. Walaupun kita satu Marga namun kita harus berhati-hati dengan satu Marga
Universitas Sumatera Utara
ini. Satu Marga ininya mau berkelahi. Makanya kita harus berhati-hati dalam artian kita harus sopan sesuai dengan adat kita.
Hal tersebut juga ditambahkan oleh A. Riston Sitanggang (67 tahun):
Kita di Pangururan ini walaupun berbeda agama kalau kita dengan Dongan Tubu harus saling menjaga dan menghargai. Hati-hati bersikap kepada satu Marga kita, Contohnya, kalau berbicara kepada yang lebih Tua apa adatnya dan bagaimana kita harus menyebutnya, bapak tua, bapak uda, oppung, abang, anggi, ito. Ini harus dipahami oleh setiap Marga kalau tidak, bisa-bisa nanti berkelahi. Seperti yang dibilang dalam perumpamaan “hau na jonok do Marsiogosan” yang artinya keluarga yang dekat-dekatannya bisa cepat berkelahi ketimbang keluarga yang jauh.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa kerukunan umat
beragama di Pangururan di bentuk oleh ikatan Marga. Nampak jelas bahwa ikatan
satu Marga mencerminkan perilaku rukun dimana setiap individu dalam Marga
tersebut harus bersikap hati-hati, yang artinya bersikap saling menjaga dan
menghargai satu sama lain dan diikuti juga dengan sebutan-sebutan yang khas
dalam tradisi budaya Pangururan.
4.5.2.1.2. Ikatan Pernikahan
Sistem pernikahan masyarakat Pangururan berbentuk tipe eksogami
(menikah diluar Marga/Klan), tipe tersebut membentuk hubungan kerabat yang
luas. Secara sosiologis, sistem pernikahan eksogami akan berfungsi sebagai
peleburan atas suatu dasar perbedaan. Peleburan tersebut dimaksud sebagai proses
yang kompleks terhadap tercapainya suatu kesatuan masyarakat yang
beranekaragam. Kompleks yang dimaksud merupakan suatu proses penyatuan
Universitas Sumatera Utara
masyarakat atas dasar pernikahan, akan mempengaruhi integrasi nilai-nilai dan
norma-norma dalam pola hidup masyarakat yang beranekaragam.
Ikatan pernikahan di Pangururan juga menjadi simbol terciptanya
kerukunan antar umat beragama di Pangururan.kerukunan antar umat beragama di
Pangururan dibentuk dalam unsur-unsur Dalihan Natolu, dimana antar umat
beragama mempunyai status dan peranan masing-masing. Tiga status dalam unsur
Dalihan Natolu yaitu Hula-Hula, Dongan Tubu, Boru, inilah yang menjadi
pengikat dan pembentuk tejalinnya hubungan harmonis antar umat beragama di
Pangururan. seperti yang dijelaskan oleh J. Molder Sihombing (52 tahun):
Kalau di Pangururan ini walaupun berbeda agama namun umat Islam sebagian orang terikat keluarga dengan kita Kristen. jadi kalau ada acara adat mereka juga ikut sebagai kumpulan hula-hula, kumpulan dongan tubu, dan kumpulan Boru.
Hal tersebut juga ditambahkan oleh informan Ustad Amruh Hasibuan (40tahun):
Kalau kami umat Islam di Pangururan ini yang terikat dengan kerabat Kristen bagaimana adat-istiadat budaya disini, ya begitu juga adat yang kami ikuti. Hula-Hulanya kami, Dongan Tubunya kami, dan Boru juga nya kami. Bagaimana kewajiban diadat bah kegitu juganya, tetapi gak seluruhnya lagi kalau masalah makanan tergantung personalnya lah.
4.5.2.1.3. Interaksi Antar Umat Beragama dalam Lingkup Kerabat
Interaksi dalam hal ini adalah hubungan timbal balik masyarakat baik
individu maupun kelompok dalam suatu aspek fisik atau lingkungan yang sama.
Interaksi antar umat beragama masyarakat Pangururan juga di pengaruhi oleh
Universitas Sumatera Utara
aspek lingkungan kebudayaan dimana sebagian masyarakat yang terikat dengan
kerabat baik Muslim maupun Nasrani mencerminkan sikap saling menghormati,
dan menghargai. Seperti yang dituturkan oleh informan A.Riston Sitanggang :
Walaupun Muslim di Pangururan ini kalau kita berbicara yakniantara Kristen dan Islam dimana kita saling teikat oleh keluarga juga berlandaskan pada budaya kita contohnya bagaimana kita harus berbicara dengan Hula-Hula (Tulang/Paman) sesama Dongan Tubu (satu Marga), dan dengan Boru. Umat Islam pun walaupun berbeda suku namun kita yang terikat dengan kerabat, mereka memanggil kita sesuai dengan adat budaya. begitu juga sebaliknya kita masyarakat Nasrani kalau kerabat kita etnis jawa juga kita panggil dengan kebudayaan kita. Kita disini sudah sama-sama ngerti adat budaya.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa kerukunan antar umat
beragama di Pangururan, keterlibatan antar umat beragama dalam adat-istiadat
kebudayaan masyarakat. Keterlibatan yang dimaksud adalah bahwa masyarakat
mempunyai peranan masing-masing dengan status yang dimilikinya. Sikap yang
digambarkan dalam penuturan tersebut dimana ketiga kedudukan masyarakat
Pangururan hidup saling menghargai, menghormat, mengayomi dan saling
membantu satu sama lain. Kerukunan antar umat beragama tercipta di Pangururan
secara sosiologis, adanya conformity, yang artinya bahwa setiap masyarakat baik
yang berbeda agama berproses pada penyesuaian/penyelarasan dengan cara
mengindahkan kaidah-kaidah dan nilai-nilai masyarakat.
4.5.2.2. Faktor Budaya
Dalam budaya Batak Toba di Pangururan bahwa budaya “marsisari-sarian”
(saling peduli) menjadi wujud praktik perilaku integratif umat beragama di
Universitas Sumatera Utara
Pangururan. Tradisi tersebut merupakan bentuk tata kelakuan/adat-istiadat yang
sangat jelas tampak pada prosesi adat, seperti pernikahan maupun acara yang
meninggal. Budaya marsisari-sarian adalah suatu bentuk peran dari fungsi ketiga
status yang diterimanya dari konsep Dalihan Natolu yaitu, hula-hula, dongan tubu,
dan boru. Budaya marsisari-sarian menggambarkan suatu proses kerjasama antar
ketiga status peranan dalam budaya masyarakat Pangururan. Dalam waktu
penelitian dilapangan penulis menemukan bahwa nilai budaya tersebut menjadi
landasan atau acuan baik yang beragama Islam maupun agama Kristen di
Pangururan. Yang artinya baik agama Islam atau agama Kristen sama-sama
terlibat dalam kelompok status hula-hula, dongan tubu, dan boru.Secara
sosiologis, keadaan tersebut merupakan “conformity” dimana umat beragama
menyesuaikan/penyelarasan nilai-nilai dan kaidah-kaidang yang berlaku
dimasyarakat. Penyelaran tersebut sangat nampak dalam proses kerjasama
masyarakat didalam adat-istiadat masyarakat, dimana kerjasama tersebut timbul
bahwa setiap masyarakat menyadari adanya kepentingan dan kewajiban yang
sama pada saat yang bersamaan. Seperti yang dijelaskan informan Pastor Herman
Sitanggang (57 tahun):
Kalau ada pesta maka hula-hula dan boru akan membentuk kerjasama meskipun anggotanya ada yang Muslim, kalau di Pangururan, agamanya Muslim jugai ikut serta dalam proses pelaksanaan adat. Kalau kerjasama diadat itu nampak tugas borulah yang membantu hula-hulanya untuk mengadakan acara adat. Tugas borulah yang paling capek di acara adat karna tugas mereka itu untuk mengundang kerabat yang dikampung ini dan juga tugas mereka harus menyediakan makanan sesuai dengan kapasitas undangan.
Universitas Sumatera Utara
Hal tersebut juga ditambahkan oleh informan Ustad Hendra Himawan
Manik (29 tahun):
Saya di Pangururan ini suku Batak Toba dan saya agama Islam dan kalau di adat saya juga pernah jadi hula-hula dan kelompok dari boru. Jadi kalau saya jadi kelompok Boru saya juga menjalankan tugas saya sebagai kelompok boru seperti mengundang kerabat hula-hula kita. Hula-hula kita tadi yang dia agama Kristen menghargai saya yang umat Islam, saya hanya ditugaskan untuk mengundang para kerabat kalau bagian memasak makanan, saya tidak disuruhkarna saya kan agama Islam dan haram bagi kami itu daging Babi.
Dari penjelasan beliau diatas tampak jelas bahwa kerjasama antar umat
beragama dalam proses acara adat saling menghargai dan bersikap toleran.
Hubungan antar umat beragama di Pangururan terjalin harmonis dimana setiap
penganut agama tersebut dalam proses adat melaksanakan kewajibannya dan
haknya sebagai landasan dari status yang dianutnya. Secara sosiologis hal ini
menggambarkan bahwa setiap umat beragama mengadakan
akomodasi/penyesuaian terhadap suatu kenyataan lingkungan budaya. Kenyataan
tersebut adalah bahwa adanya status dan peranan yang dimiliki setiap umat
beragama sebagai bentuk asimilasi melalui pernikahan.
Potensi konflik hubungan antar umat beragama akan terjadi apabila salah
satunya tidak menghargai keberadaan dan budaya kelompok agama lain. Seperti
di Pangururan bahwa mayoritas penganut agama Kristen adalah suku Batak Toba
dan minoritas umat agama Islam sebagian suku Batak dan terikat kerabat. Dalam
kebudayaan Batak daging Babi merupakan makanan tradisi masyarakat yang
beragama Kristen. Dalam penelitian dilapangan penulis menemukan bahwa
hubungan antar umat beragama di Pangururan hidup saling menghargai
Universitas Sumatera Utara
kebudayaan agama masing-masing yang dianut oleh masyarakat. Hidup saling
menghargai nampak jelas pada penyajian makanan dalam prosesi adat-istiadat
yang diadakan oleh masyarakat Pangururan. seperti yang dituturkan oleh Uatad
Amruh Hasibuan (40 tahun):
Kalau masalah makanan di pesta pernikahan, kalau umat Kristen yang mengadakan acara, maka mereka menyajikan makanan khusus bagi kerabatnya yang Muslim seperti pesanan dari luar (cathering). Tapi kalau yang berduit mengadakan acara pesta maka mereka akan memberikan satu ekor kambing/kerbau untuk disembelih dan yang menyembelih kambing tadi wajib kami yang Muslim dan memasak nya juga. Umat kristen juga akan menyediakan tempat khusus/tempat duduk khusus untuk kami yang Muslim diacara pesta itu.
Hal tersebut juga ditambahkan oleh informan Bapak A. Riston Sitanggang
(67 tahun):
Kalau di Pangururan karna kita Kristen juga mempunyai ikatan dengan orang Islam, kalau di adat kalau masalah penyajian makanan kita selalu menyediakan makanan untuk yang tidak bisa mengkonsumsi daging Babi, kalau bahasa Bataknya Parsubang. Kadang kita juga menyediakan Kambing/Kerbau untuk mereka Islam dan kalau yang memotong hewan tersebut di Pangururan ini, mereka yang Islamlah dan juga memasaknya di dapur. Nanti pas acara makan, itu disediakan tempat khusus tempat orang itu makan.
Dari penjelasan beliau diatas tampak jelas bahwa sikap masyarakat antar
umat beragama saling menghargai satu sama lain. Seperti halnya penyajian
makanan khusus untuk konsumsi umat Islam dan tempat duduk yang khusus. Hal
ini menggambarkan bahwa sikap masyarakat Pangururan sangat toleran terhadap
perbedaan agama. Secara sosiologis hal ini merupakan suatu akomodasi pada
Universitas Sumatera Utara
suatu kenyataan yang realistis (equilibrium), dimana setiap penganut agama
mengkondisikan budaya agama masing-masing dalam prosesi adat-istiadat.
Budaya Ulos dan Jambar merupakan suatu potensi terjadinya konflik
dalam adat-istiadat masyarakat Pangururan, dimana hal ini merupakan kewajiban
dan hak masyarakat. Dengan demikian, penulis menemukan bahwa tradisi ini
merupakan bentuk perilaku dan tindakan masyarakat antar umat beragama di
Pangururan, dimana nilai tersebut juga dipraktikkan oleh umat Muslim di
Pangururan. Seperti yang dituturkan oleh informan Bapak Tawar Tua Simbolon
(49 tahun):
Umat Muslim itu sebagian kan terikat keluarga dengan kita, jadi kalau dipesta adat mereka juga ikut Mangulosi atau menerima ulos, menerima Jambar, dan juga mereka membawa beras kepesta itu. Hal itu terjadi karna gini anak perempuanku menikah dengan Islam kalau aku mengadakan pesta contohnya menikahlah anak laki-laki saya tentu tadi anak perempuanku bersama suaminya tadi harus menjalankan tugasnya sebagai pihak boru, tidak bisa itu mengelak, jadi walaupun anak perempuanku Islam tetapnya orang itu mangulosi dan menerima jambar.
Hal tersebut juga ditambahkan oleh informa Bapak J. Molder Sinaga (52 tahun):
Ulos adalah kewajiban kita untuk memberikannya dan berhak menerimanya dari kerabat kita, kalau dibudaya kita di Pangururan ini. Suku jawa dan agama Islam pun di Pangururan ini kalau udah namanya adat harus dijalankan sesuai dengan kewajibannya. contohnya meninggallah seseorang agama Kristen dan hula-hulanya adalah orang jawa dan beragama Islam, hula-hulanya tadi kalau di Pangururan ini tetap dan wajib memberikan Ulos Saput kepada yang meninggal, itu udah tradisi kita yang wajib harus kita jalankan. Begitu juga sebaliknya
Universitas Sumatera Utara
kalau yang umat Muslim yang meninggal kita mengikuti adat mereka dan apa kewajiban kesitu juga kita berikan.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa setiap umat beragama di
Pangururan, budaya Ulos dan Jambar walaupun beragama Muslim namun tetap
juga menjalankannya sebagai fakta dari peranan status yang dimilikinya. Secara
sosiologis bahwa kerukunan/harmonisasi hubungan masyarakat tercipta apabila
setiap individu menginternalisasikan peranannya dengan sistem budaya dalam
pembentukan kepribadiannya. Dengan kata lain setiap aktor harus menyesuaikan
lingkungannya akibat kenyataan yang diterimanya. Hal ini jelas bahwa walaupun
dibedakan agama namun apabila seseorang tersebut terikat dengan kebudayaan
dimana dia tinggal maka aktor tersebut harus menjalankan perannya sesuai
dengan statusnya.
4.5.2.3. Faktor Lingkungan
Kerukunan antar umat beragama di Pangururan juga dipengaruhi keadaan
lingkungan. Keadaan lingkungan juga merupakan hasil dari ciptaan/wujud
kebudayaan yang mencerminkan pola dan bentuk tatanan kehidupan masyarakat.
Lingkungan kecamatan Pangururan secara teritorial didominasi oleh suku Batak
Toba dan agama Kristen dan keadaan masyarakat di lingkungan kecamatan
Pangururan dalam tatanan masyarakatnya mencerminkan keteraturan dan
keharmonisan masyarakat. Dalam penelitian dilapangan penulis juga menemukan
bahwa kerukunan atar umat beragama di Pangururan di pengaruhi oleh faktor
lingkungan, dimana adanya proses asimilasi yang terjadi pada setiap masyarakat.
Proses asimilasi yang terjadi di Pangururan adalah adanya penyesuaian bahasa
Universitas Sumatera Utara
dan tradisi pola hidup keseharian masyarakat. seperti yang dijelaskan oleh Slamet
Ryono (50 tahun):
Kami masyarakat pendatang disini, sudah 10 tahun lebih kami tinggal disini. Kalau kita umat Muslim di Pangururan ini apalagi kami yang merantau disini ya kami harus menghargai budaya masyarakat asli disini. Seperti halnya kalau saat kami berbicara dengan umat Kristen kadang-kadang kami itu sudah berbahasa Batak Toba. Kami yang merantau disini tidak ada keluarga, yang menjadi keluarga kami yah orang Kristen disini juga. Kalau kami sakit, yang menolong dan membawakan kami kerumah sakit itu yah itu tadi orang Kristen juga.
Hal ini juga ditambahkan oleh informan Harduga Nainggolan (22 Tahun):
Kalau kita umat Kristen di Pangururan ini juga menghargai budaya agama mereka dan juga budaya sukunya. Tapi kalau dalam bahasa sehari-hari kita dengan mereka sudah keseringan berbahasa Batak Toba walaupun mereka yang umat Muslim tadi dan juga masyarakat pendatang mereka masing kurang lancar dalam bahasa kita Toba. sikap mereka itu menghormati dan menghargai kita disini sebagai masyarakat setempat, kitapun gitu karna kita dihargai oleh mereka maka kita menghargai dan menghormati mereka juga.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa kerukunan antar umat
beragama secara sosiologis masyarakat imigran Pangururan bertindak secara
“conformity” adanya penyesuaian/penyelarasan nilai bahasa dan norma-norma
yang berlaku dimasyarakat. Penyesuaian tersebut merupakan suatu wujud perilaku
masyarakat untuk menjaga stabilisasi hubungan antar umat beragama di
Pangururan. Hal tersebut dipengaruhi oleh kesadaran individu atau kelompok
imigran masyarakat Pangururan, terhadap kedudukannya sebagai masyarakat
minoritas sehingga membentuk kepribadiannya sesuai dengan nilai dan norma
Universitas Sumatera Utara
yang berlaku dimasyarakat. Dengan demikian dengan penyesuaian terhadap
lingkungan budaya lain maka secara lambat laun (evolusi), suatu kepribadian
individu akan berubah.
Salah satu wujud tindakan perilaku rukun antar umat beragama di
Pangururan juga didukung dengan pola adaptasi terhadap kebiasaan-kebiasaan
yang membudaya dilingkungan masyarakat. Kebiasaan-kebiasaan masyarakat
Pangururan bahwa tempat perkumpulam masyarakat umumnya di Lapo Tuak
(kedai Tuak). Penulis menemukan bahwa kerukunan antar umat beragama di
Pangururan adanya proses asimilasi yakni saling bergaul langsung dalam kurun
waktu yang lama seperti halnya di Lapo Tuak. Seperti yang dijelaskan Ustad
Amruh Hasibuan (40 tahun):
Ya jelas agama Islam itu juga kadang minum tuak dengan agama Kristen di kedai tuak. Peminum tuak ini antara Islam dan Kristen itu paling banyak dijumpai di Pangururan ini mereka yang generasi muda. Generasi muda Islam dan Kristen di Pangururan dalam dunia permainan anak muda itu uda sama-sama kalau di Pangururan ini.
Hal ini juga ditambahkan oleh informan Harduga Nainggolan (22 Tahun):
Aku Kristen dan teman saya Islam itu sudah sering berkumpul dilapo tuak untuk minum tuak bersama. Bernyanyi bersama, kalau kita kan lagu Batak nya lagu populer kita mereka juga yang Islam baik itu yang pendatang ke Pangururan ini mereka ikut menyanyikan lagu Batak yang kita nyanyikan. Udah pandaipun orang itu mengenai lagu-lagu Batak.
Dari penjelasan informan diatas dapat disimpulkan bahwa hubungan
antar umat beragama di Pangururan hidup dalam rukun di pengaruhi adanya
Universitas Sumatera Utara
proses asimilasi umat Islam terhadap kebudayaan setempat. Proses asimilasi
tersebut sangat didukung dengan para imigran yang berdomisili di Pangururan
dimana mereka menyesuaikan pola perilakunya terhadap kebudayaan yang
berlaku dimasyarakat. Dengan proses asimilasi tersebut merupakan salah satu
gambaran terbentuknya kerukunan antar umat beragama di Pangururan.
4.5.2.4. Faktor Ekonomi
Kerukunan antar umat beragama di Pangururan juga dipengaruhi oleh
faktor ekonomi, dimana setiap individu masyarakat membutuhkan/memerlukan
pemenuhan kebutuhan biolgisnya. Salah satu faktor pendukung tindakan antar
umat beragama adalah dibidang ekonomi. Dalam hubungan ekonomi sebagai
motivasi yang membentuk kerukunan tersebut adalah adanya hubungan ikatan
kerja dan media pertukaran jasa dan uang antar umat beragama di Pangururan.
seperti yang dijelaskan informan bapak Paima Patricius Saing (48 tahun):
Ikatan kerjalah salah satu yang menjadikan masyarakat Pangururan itu dalam perbedaan agama dapat hidup rukun. Seperti pekerja di bagian departemen agama ini umat setiap umat agama pasti ada sebagai kaur disetiap bidang agama. Begitu juga dibagian pendidikan, FKUB, FKTM, dan lembaga kemasyarakatan lainnya di Pangururan ini semua umat beragama itu terikat dengan pekerjaan.
Hal tersebut juga ditambahkan oleh Masronggo (47 tahun):
Pekerja batu Bata di Pangururan ini banyak juga orang Muslim yang bersuku jawa. Ditengok dari kesehariannya mereka dan yang punya usaha tersebut akur-akur aja seperti kadangkala pekerjanya juga diservis dengan dibawa kewarung Tuak pas malamnya.
Universitas Sumatera Utara
Dari penjelasan diatas bahwa hubungan rukun antar umat beragama
sangat dipengaruhi oleh faktor ikatan kerja. Secara sosiologis kerukunan antar
umat beragama dapat terjalin dengan harmonis dikarnakan, pola adaptasi dengan
lingkungannya dalam pemenuhan kebutuhannya di Pangururan dengan bekerja
sebagai buruh maupun bekerja didalam struktur kepemerintahan. Hal tersebut
merupakan suatu tindakan adaptasi masyarakat pendatang di Pangururan dimana
masyarakat dalam pemenuhan kebutuhannya harus bekerja sebagai buruh maupun
bertugas dengan sistem kepemerintahan.
Kerukunan antar umat beragama di Pangururan juga diwujudkan dalam
praktik ekonomi yang dimana antar umat beragama Islam dan Kristen
mengadakan pertukaran barang dan uang. Dalam penelitian dilapangan, penulis
menemukan bahwa masyarakat imigran dalam bertahan hidup di Pangururan
adalah dengan berdagang seperti usaha dagang industri rumah makan. Dan
pengunjung/pembeli dagangan mereka masyarakat pendatang adalah sebagian
besar adalah umat Kristen. Hal ini menggambarkan bahwa tindakan dan perilaku
masyarakat antar umat beragama di Pangururan sangat toleran dan bersifat
menjauhkan sikap eksoterisme dalam suatu agama. Seperti yang dijelaskan oleh
informan Slamet Ryono (50 tahun):
Kami umat Islam disini dan juga sebagai orang yang merantau ke Pangururan ini, dalam mempertahankan hidup kami yah dengan berdagang rumah makanlah. Walaupun kami suku Minang dan pendatang disini tapi pengunjung/pembeli kewarung kami ini itu kebanyakan orang Kristen, sekitar 70% lah orang Kristen dibanding orang Islam yang datang makan kewarung kami ini.
Hal tersebut juga ditambahkan oleh informan Masronggo (47 tahun):
Universitas Sumatera Utara
Kami udah 15 Tahun disini dan hidup bertetangga dengan Kristen. Kami disini bekerja dengan menjual makanan. Diwarung ini, kebanyakan orang Kristen yang datang Markombur, dan juga biasanya kalau masalah pribadi (keuangan) orang Kristen itu terkadang ke kami yang Muslim ininya orang itu bertukar pikiran, katanya kalau sama-sama orang Kristen merasa dikucilkan kalau bicara masalah keuangan.
Dari penjelasan informan diatas tampak jelas bahwa perilaku dan tindakan
masyarakat sangat harmonis dengan perbedaan agama. Hal tersebut dilihat pada
proses pertukaran barang dan uang dimana umat Islam yang juga sebagai
pendatang menyediakan kebutuhan terhadap pelanggan Kristen dengan menerima
imbalan (reward) atas jasa/barang yang diberikannya kepada umat Kristen. juga
tampak jelas bahwa tindakan masyarakat seperti yang dijelaskan informan diatas
bahwa setiap keluhan pribadi individu agama Kristen lebih terbuka kepada umat
yang agamanya yang Islam.
Universitas Sumatera Utara
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan.
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan oleh penulis mengenai dasar
praktik yang mencerminkan kerukunan antar umat beragama di Pangururan, maka
kesimpulan yang diambil adalah sebagai berikut:
Sebagai landasan praktik kerukunan antar umat beragama di Pangururan
adalah Dalihan Natolu (tiga tungku), yang merupakan sistem budaya Batak Toba.
Nilai tersebut adalah suatu simbol atau lambang yang menjadi pedoman atau
acuan masyarakat Pangururan dan juga berpengaruh positif dalam memperkukuh
hubungan antar umat agama yang berbeda-beda. Dalihan Natolu merupakan
wujud kebudayaan Batak Toba di Pangururan yang melambangkan bentuk
keteraturan dan pola keseimbangan masyarakat. Pola keseimbangan masyarakat
Pangururan dilambangkan dalam tiga wujud status yakni, Hula-Hula (pihak
pemberi istri), Dongan Tubu (ikatan Marga/klan), dan Boru (pihak yang diberi
perempuan). Dalam wujud keteraturan masyarakat Pangururan, bahwa ketiga
status tersebut mempunyai peranan masing-masing dalam fungsi statusnya, yakni;
sikap hormat kepada pihak Hula-Hula, sikap hati-hati terhadap satu Marga/klan,
dan sikap mengayomi, lemah lembut dan membujuk kepada pihak Perempuan.
Peranan tersebutlah yang mencerminkan kerukunan antar umat beragama di
Pangururan dilihat bahwa Dalihan Natolu merupakan nilai dan norma yang
membentuk sikap perilaku dan tindakan umat beragama. Untuk membuktikan
nilai budaya tersebut dalam mengintegrasikan antar umat beragama di Pangururan
Universitas Sumatera Utara
yang mencerminkan sikap dan tindakan antar umat beragama adalah peranan atas
status.
1. Faktor Kekerabatan
Faktor kekerabatan di Pangururan merupakan wujud Dalihan Natolu yang
dilambangkan dalam tiga status pola hidup masyarakat. Kekerabatan masyarakat
Pangururan dibagi kedalam dua bentuk yakni, ikatan Marga dan ikatan
Pernikahan. Ikatan Marga dalam masyarakat Pangururan merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi keharmonisan hubungan antar umat beragama, dimana
bahwa sebagian penduduk Islam Pangururan terikat oleh Marga-Marga. Hal inilah
salah satu yang mendorong terjalinnya kerukunan antar umat beragama di
Pangururan, dimana simbol sikap atau tindakan masyarakat harus saling menjaga,
menghargai, menghormati, dan toleran terhadap yang satu Marga. Seperti halnya,
bahwa sebutan-sebutan dalam ikatan Marga di Pangururan adalah sebutan, bapak
tua, bapak uda, abang, anggi (adik), oppung (kakek/nenek), among (ayah), inong
(ibu), dan yang lainnya. Sebutan-sebutan tersebut merupakan norma-norma yang
ditaati setiap individu dalam berinteraksi/bergaul dengan satu Marganya.
Ikatan Pernikahan juga merupakan salah satu faktor yang mencerminkan
terjalinnya hubungan harmonis antar umat beragama di Pangururan. Ikatan
pernikahan tersebut sebagai bentuk peleburan atau proses asimilasi antar umat
beragama yang berbeda kebudayaan di Pangururan. Proses asimilasi di
Pangururan tercermin dalam perpaduan antar umat Kristiani dengan umat Islam
dalam pernikahan. Dengan perpaduan/peleburan tersebut masyarakat terintegrasi
dalam nilai-nilai dan norma dan menjadi cara masyarakat bertindak dan
Universitas Sumatera Utara
berperilaku sesuai dengan unsur-unsur Dalihan Natolu. Yang artinya umat Islam
yang terikat dengan pernikahan beradaptasi dengan kebudayaan masyarakat
Pangururan yang terlihat dalam status yang diperankannya yakni sebagai Hula-
Hula dan Boru. Sikap yang dicerminkan ikatan tersebut di Pangururan harus
saling menghormati, saling menjaga dan toleran, dimana ikatan tersebut
mempunyai peranan penting satu sama lain dalam suatu acara adat. Sikap-sikap
tersebutlah sebagai nilai dan norma yang menjadi landasan setiap individu atau
masyarakat di Pangururan.
2. Faktor Budaya
Faktor budaya merupakan ciri khas yang mencerminkan sikap dan
tindakan masyarakat Pangururan yang berbeda agama. Sikap dan tindakan antar
umat beragama tercermin dalam bahasa, dimana antar umat beragama baik yang
berbeda etnis mengadaptasikan pola bahasanya terhadap bahasa budaya Batak
Toba. Hal ini merupakan cerminan proses asimilasi antar umat agama yang
berbeda kebudayaan dimana umat beragama tersebut saling bergaul/berinteraksi
dengan waktu yang lama sehingga budaya-budaya yang melekat pada individu
berubah secara perlahan (evolusi).
Peranan status/kedudukan dalam unsur-unsur Dalihan Natolu merupakan
bentuk perilaku dan tindakan masyarakat antar umat beragama di Pangururan
yang mencerminkan terjalinnya kerukunan maupun hubungan harmonis. Peranan
status tersebut merupakan praktik kekerabatan masyarakat Pangururan yang
terlihat dalam peranan Hula-Hula dan Boru. Yang pertama, peranan status Hula-
Hula terhadap Boru dalam budaya masyarakat Pangururan yakni menghargai, dan
Universitas Sumatera Utara
bersikap lemah lembut. Hal ini dikarnakan bahwa sebagian pekerjaan Hula-Hula
adalah tugas boru, seperti menyajikan makanan dan minuman dalam acara yang
dilaksanakan. Suatu perilaku dan tindakan masyarakat Pangururan adalah apabila
ada pihak Boru yang berkelahi/konflik maka pihak Hula-Hulalah yang menjadi
pihak mediator untuk mendamaikan konflik dipihak Borunya. Hal inilah yang
mencerminkan kerukunan antar umat beragama di Pangururan walaupun berbeda
agama tetapi terlibat dalam kebudayaan yaitu peran status yang dimiliki masing-
masing atau kelompok. Kedua, peranan status Boru terhadap Hula-Hula nya
dalam budaya masyarakat Pangururan harus bersifat menghormati, menghargai,
dan membantu. Kerukunan antar umat beragama di Pangururan dipengaruhi oleh
kesatuan nilai dan norma, dimana setiap umat beragama terlibat dalam ikatan
Boru. Sikap Boru kepada Hula-Hula dalam prosesi acara adat harus saling
membantu seperti halnya penyajian makanan dan minuman. Sikap tindakan Boru
juga di Pangururan yang mencerminkan perilaku antar umat beragama yakni,
apabila dalam pihak hula-hula berkelahi/konflik maka tindakan/peranan Borulah
sebagai mediator untuk mendamaikannya secara kekeluargaan.
Salah satu sikap saling menghargai perbedaan agama di Pangururan adalah
masalah penyajian makanan, dimana dalam budaya Batak Toba dalam acara adat
dalam penyajian makanan, daging Babi merupakan makanan khas yang disajikan
dalam pelaksanaan acara adat. Sikap dan tindakan antar umat beragama di
Pangururan, apabila ada kerabatnya yang tidak bisa mengkonsumsi daging babi,
maka yang mengadakan acara akan mengkondisikan penyajian makanan untuk
mereka/kerabat yang tidak bisa mengkonsumsi sajian tersebut. Seperti halnya
penyajian makanan Khusus (cathering), atau menyembelih hewan
Universitas Sumatera Utara
Kambing,Kerbau atau Lembu untuk kerabat tersebut. Di Pangururan sikap
toleransi antar umat beragama tampak jelas saling menghargai dimana dalam
penyembelihan hewan Kambing, Kerbau atau Lembu dilakukan oleh umat Muslin
dan juga memasak daging hewan tersebut. Hal inilah bentuk sikap dan tindakan
masyarakat Pangururan dalam menjaga hubungan atas perbedaan budaya agama.
Perilaku dan tindakan yang mencerminkan terjalinnya kerukunan antar
umat beragama di Pangururan juga terwujud dalam tradisi Ulos, dan Jambar
dalam suatu acara adat. Secara teritorial, Pangururan dihuni oleh masyarakat
mayoritas agama Kristen dan berkebudayaan Batak Toba. Dalam prosesi adat di
Pangururan, Ulos dan Jambar adalah suatu simbol kewajiban dan hak masyarakat.
Kewajiban setiap unsur-unsur Dalihan Natolu yang disimbolkan dalam tiga peran
status/kedudukan diwajibkan harus memberikan Ulos dikarnakan hal tersebut
merupakan utang. Dan sebaliknya juga ketiga status tersebut sudah menjadi hak
untuk menerima Jambar (penghargaan) dari pihak yang mengadakan adat. Inilah
sikap-sikap yang melambangkan kerukunan antar umat beragama di Pangururan,
dimana baik umat Muslin dan juga Kristen terlibat dalam peran status adat
kebudayaan.
Sikap dan tindakan masyarakat Pangururan dalam menghargai dan
menghormati kebudayaan agama yang berbeda yakni Islam, maka dalam
pemberian Jambar juga dikondisikan seperti daging Kambing, Kerbau, atau
Lembu.
Universitas Sumatera Utara
3. Faktor Lingkungan
Kerukunan antar umat beragama di Pangururan juga dipengaruhi oleh
faktor lingkungan dimana faktor ini salah satu hal untuk menjelaskan hubungan
imigran dengan masyarakat setempat. Masyarakat imigran di Pangururan sebagai
wujud yang mencerminkan kerukunan adalah adanya adaptasi/conformity dengan
budaya masyarakat asli yakni, penyesuaian bahasa, sikap-sikap menegur dengan
sebutan-sebutan tradisi masyarakat Pangururan. Hal tersebut merupakan peranan
imigran maupun masyarakat lainnya dalam mewujudkan keteraturan dan
keharmonisan di lingkungan Pangururan.
Adaptasi yang lainnya juga dicerminkan dalam kebiasaan-kebiasaan
masyarakat Pangururan yakni minum/konsumsi Tuak. Adaptasi ini merupakan
pola yang mempererat hubungan masyarakat imigran yang tidak memiliki karabat
di Pangururan, dimana mereka dalam memposisikan diri berbaur dengan
lingkungan masyarakat seperti halnya dikedai Tuak dan kedai Kopi.
4. Faktor Ekonomi
Kerukunan antar umat beragama di Pangururan juga dipengaruhi oleh
faktor ekonomi yakni dengan adanya ikatan pekerjaan dan pertukaran sosial.
Dalam ikatan pekerjaan hubungan antar umat beragama terjalin dengan baik yakni
adanya hubungan kepemimpinan dengan bawahan (di pemerintahan), dan juga
adanya hubungan pemilik modal dengan buruh seperti ikatan dalam pekerja
industri batu Bata.
Faktor pertukaran sosial juga membentuk kerukunan antar umat beragama
di Pangururan dimana, adanya proses pertukaran barang dengan uang. Seperti
Universitas Sumatera Utara
halnya, bahwa strategi bertahan hidup masyarakat imigran yang Muslim di
Pangururan adalah dengan berusaha industri rumah makan. Dengan penjelasan
tersebut, sikap dan tindakan masyarakat Pangururan bahwa pengunjung rumah
makan tersebut diperkirakan sekitar 70% umat Islam dan sebagian lagi umat
Muslim. Hal inilah yang mencerminkan perilaku masyarakat bahwa sikap-sikap
antar umat beragama tidak eksoteris/etnosentris.
5. Peranan Elit Lokal
Peranan elit lokal di Pangururan juga sangat berfungsi dalam menjaga dan
mempertahankan kerukunan antar umat beragama di Pangururan. Salah satu hal
upaya yang dilakukan elit lokal Pangururan adalah membangun solidaritas antar
umat beragama yakni yang tercermin dalam tindakan Bupati dengan mengadakan
silaturahmi dan berbuka puasa bersama yang dihadiri seluruh jajaran tokoh-tokoh
masyarakat Samosir. Hal ini bertujuan untuk mendiskusikan dalam menjaga dan
mempertahankan keanekaragaman agama di Pangururan juga sekabupaten
Samosir.
Pendidikan Multikultural adalah suatu upaya yang dilakukan oleh elit
lokal di Pangururan seperti pendidikan agama dan budaya. Melalui pendidikan di
lembaga sekolah, bahwa setiap murid/siswa diajarkan pendidikan kebudayaan
dengan maksud untuk menyatukan nilai-nilai dan norma masyarakat yang berbeda
agama. Dan juga pendidikan agama sangat ditekankan kepada tokoh-
tokoh/penyuluh agama untuk menekankan ajaran agama masing-masing kepada
seluruh umat terutama genarasi mudah agar dipahami dan dihayati setiap individu.
Universitas Sumatera Utara
Tampak jelas bahwa agama merupakan tolak ukur setiap penganutnya untuk
bertindak dan berperilaku.
Keempat prasyarat fungsional yang digagas oleh Talcott Parsons mengenai
tindakan masyarakat yaitu AGIL yakni: Adaptasi, setiap masyarakat baik imigran
ataupun masyarakat setempat Pangururan menyesuaikan dirinya dengan pola
keteraturan dan keseimbangan masyarakat, yang artinya setiap umat beragama
mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi; Goal attainment,
untuk mencapai tujuan tersebut imigran maupun masyarakat setempat yang
berbeda agama bersikap menghormati, saling menghargai, menyapa/menegur,
saling membantu, dan toleran; Integrasi, dengan adanya upaya tujuan bersama,
masyarakat saling melebur dan bergaul/berbaur antara yang satu dengan yang lain
dengan waktu yang lama tanpa memandang perbedaan baik agama, suku, ras,
maupun status sosial. Dengan begitu, keteraturan dan keharmonisan antar umat
beragama akan terwujud; Latten Pattern Maintenance, dengan demikian anggota
masyarakat satu dengan yang lainnya melebur dalam suatu sistem sosial
masyarakat, yang artinya setiap masyarakat baik yang berbeda agama mempunyai
peranan masing-masing dalam mewujudkan sistem sosial tersebut, dengan
prinsip-prinsip yang dipertahankan yaitu nilai dan norma agama yang diyakini
setiap umatnya.
5.2. Saran
Setelah meneliti kondisi kerukunan antar umat beragama di kecamatan
Pangururan kabupaten Samosir, maka penulis mengajukan saran-saran sebagai
berikut:
Universitas Sumatera Utara
1. Kepada Tokoh-Tokoh Masyarakat
Diharapkan agar selalu berupaya menjaga dan mempertahankan kerukunan
masyarakat yang beranekaragam agama, etnis, dan budaya, dengan
memberi nasihat atau arahan kepada setiap warga melalui khotbah maupun
lewat pendidikan supaya sikap toleransi antar masyarakat selalu
dipertahankan dan diperkukuh guna terciptanya integritas dan identitas
masyarakat Pangururan.
2. Kepada Masyarakat
Kepada masyarakat hendaknya tetap menjaga dan melestarikan budaya
yang ada dengan berpegang pada etika (Batak Toba), yang artinya setiap
masyarakat harus menjalankan perannya sesuai nilai-nilai dan norma yang
dihayati agar kerukunan selalu terjaga dan bertahan.
3. Kepada Mahasiswa
Penelitian ini masih jauh dari kata sempurna. Kepada peneliti selanjutnya,
disarankan untuk melakukan penelitian sejenis dengan skala penelitian
yang lebih luas untuk mendapatkan hasil penelitian yang lebih akurat dan
kredibel.
Universitas Sumatera Utara
(Gambar 01. Kantor Depag Samosir dan spanduk toleransi dalam sikap menghargai budaya keagamaan)
(gambar 02. Visi dan misi kantor depertemen agama Samosir yang mencerminkan peranan tokoh-tokoh masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
(gambar 03. Rumah ibadah masjid Al-Hasanah dan gereja HKBP yang saling berdekatan di kecamatan Pangururan).
(gambar 04. Gereja Katolik inkulturasi Paroki St. Mikhael Pangururan).
Universitas Sumatera Utara
(gambar 05. Sikap pemerintah kabupaten Samosir yang mencerminkan sikap menghargai dan menghormati budaya agama Islam).
(gambar 06. Pamplet setiap desa yang melambangkan pengupayaan untuk selalu menjaga dan mempertahankan nilai-nilai kerukunan masyarakat).
Universitas Sumatera Utara
(gambar 07. Wawancara dengan tokoh Majelis Ulama Samosir).
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR PUSTAKA
SUMBER BUKU:
Burhan, Bungin. 2007. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
Endraswara, S. 2010. Etika Hidup Orang Jawa Pedoman Beretika dalam
Menjalani Kehidupan Sehari-hari. Yogyakarta: NARASI.
Elmirzanah, Syafa’atun., Limantina Sihaloho., Dkk. 2002. Pluralisme, Konflik
dan Perdamaian: Studi Bersama Antar-Iman. Yogyakarta: DIAN /
Interfidei dan The Asian Fondation.
Hendropuspito, D. 2000. Sosiologi Agama. Yogyakarta: Karnisius.
Harahap, Syahrin. 2011. Teologi Kerukunan. Jakarta: Prenada Media Group.
Ishomuddin. 2002. Pengantar Sosiologi Agama. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Johnson, Doyle Paul. 1981. Teori Sosiologi Klasik Dan Modren. Jakarta: PT
Gramedia dan Anggota IKAPI.
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Knitter, Paul F. 2004. Satu Bumi Banyak Agama: Dialog Multiagama dan
Tanggung Jawab Global. Jakarta: Gunung Mulia.
Kaelany. 2005. Islam dan Aspek-Aspek Kemasyarakatan. Jakarta: PT. Bumi
Aksara.
Khalikin, Ahsanul. 2013. Pandangan Pemuka Agama Terhadap Kebijaksanaan
Pemerintah Bidang Keagamaan. Jakarta: Kementerian Agama RI
Badan Litbang dan Diklat.
Keller, Suzanne. 1995. Penguasa dan Kelompok Elit; Peranan Elit Penentu
dalam Masyarakat Modren. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Kartotjio, Kartini. 1998. Pemimpin dan Kepemimpinan; Apakah Pemimpin
Abnormal Itu. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Universitas Sumatera Utara
Munawar, Said Agil Husin Al. 2005. Fikih Hubungan Antar Agama. Ciputat: PT
Ciputat Press.
Nainggolan, Togar. 2012. Batak Toba: Sejarah dan Transformasi Religi. Medan:
Bina Media Perintis.
Nazsir, Nasrullah. 2008. Teori-teori Sosiologi. Bandung: Widya Padjajaran.
Narwoko, J. Dwi., Bagong Suyanto. 2004. Sosiologi: Teks Pengantar dan
Terapan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Nashir, Haerdar. 1997. Agama dan Krisis Kemanusiaan Modern. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar Offset.
Nusyriwan, E. Jusuf. 1989. Interaksi Sosial dalam Ensiklopedia Nasional
Indonesia.Jilid 7. Jakarta: PT. Cipta Adi Pustaka.
Ritzer, George. 1992. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berpradigma Ganda
(Terjemahan Alimandan). Jakarta: Rajawali Press.
Ritzer, George, dan J. Goodman, Douglas. 2008. Teori Sosiologi Modren (Edisi
Keenam). Jakarta: Kencana.
Sabri, Mohammad. 1999. Keberagaman yang Saling Menyapa. Yogyakarta:
Adipura.
Simanjuntak, Bungaran Antonius. 2006. Struktur Sosial dan Sistem Politik Batak
Toba Hingga 1945: Suatu Pendekatan Antropologi Budaya dan Politik.
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Soekanto, Soerjono. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar (Edisi Kedua). Jakarta: PT
Rajagrafindo Persada.
Soekanto, Soerjono. 1987. Sosiologi Suatu Pengantar (Edisi Baru Ketiga).
Jakarta: Rajawali Pers.
Scharf, Betty R. 2004. Sosiologi Agama. Jakarta: Prenada Media.
Universitas Sumatera Utara
Syaukani, Imam. 2008. Komplikasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-
Undangan Kerukunan Umat Beragama. Jakarta: Puslitbang.
Smith, Huston. 2008. Agama-Agama Manusia: Terjemahan Saafroedin Bahar.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Sairin, Weinata. 2006. Kerukunan Umat Beragama Pilar Utama Kerukunan
Berbangsa. Jakarta: Gunung Mulia.
Vegeer, K. J. 1986. Realitas Sosial: Refleksi Filsafat Sosial Atas Hubungan
Masyarakat Dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka.
Yewangoe, A.A. 2002. Agama dan Kerukunan. Cetakan II. Jakarta: Gunung
Mulia.
SUMBER JURNAL:
Akhyar, Zainul., Harpani Matnuh., Siti Patimah. 2015. Implementasi Toleransi
Antar Umat Beragama di Desa Kolam Kanan Kecamatan Barambai
Kabupaten Barito Kuala. Online. Jurnal Pendidikan
Kewarganegaraan: Volume 5, Nomor 9, Mei 2015 (diakses tanggal 21
februari 2017).
Chowmas, Dharmaji. 2009. Kerukunan Antar Umat Beragama dalam Pandangan
Agama Budha. Online. Ejournal.uin suska.ac.id/index.php.toleransi/arti
cle/view/ (diakses tanggal 22 february 2017).
Hisyam, Mohamad Ali. 2015. Membaca Tantangan Kerukunan Antaragama Di
Indonesia. Jurnal Akademi Pengajian Islam Universiti Malaya Kuala
Lumpur Malasya. Online.
teosofi.uinsby.ac.id/index.php/teosofi/article/view/99(diakses tanggal 5
oktober 2016).
Universitas Sumatera Utara
Khotimah, M. Ag. 2011. Dialog dan Kerukunan Antar UmatBeragama. Online.
Ejornal.uin-suska.ac.id/index.php/ushuludin/article/viewFile/639/644
(diakses tanggal 21 february 2017).
Kartapradja, Kamil. 1985. Aliran Kebatinan dan Kepercayaan di Indonesia.
Jakarta: Yayasan Masagung.
Latif, Syarifuddin. 2012. Meretas Hubungan Mayoritas-Minoritas dalam
Perspektif Nilai Bugis.
Jurnal Al Ulum STAIN Watampone. Online. www.journal.iaingorontalo
.ac.id/index.php/au/article/view/56/41 (diakses tanggal 5 oktober
2016).
Rosyid, Moh. 2013. Harmoni Kehidupan Sosial Beda Agama dan Aliran Kudus.
Jurnal STAIN
Kudus Jawa Tengah. Online. journal.stainkudus.ac.id/index.php/Addin/
article/download/569/582 (diakses tanggal 5 oktober 2016).
Soehardi.2002. Nilai-Nilai Tradisilisan dalam Budaya Jawa. Online.
Jurnal.Ugm.Ac.Id/Jurnal-Humaniora/Article/View/763/608(Diakses
Tanggal 17 Desember 2016)
Suryawandana, Nashrul Wahyu.,Endang Danial. 2016. Implementasi Semangat
Persatuan Pada Masyarakat Multikultural Melalui Agenda Forum
Kerukunan Umat Beragama (Fkub) Kabupaten Malang. Online.
ejournal.undip.ac.id › Home › Vol 23, No 1 › Suryawan (Diakses
Tanggal 17 Desember 2016).
SUMBER INTERNET:
sp2010.bps.go.id/index.php/site/tabel?tid=321 ( diakses tanggal 29 oktober
2016).
https://www.bps.go.id/(diakses taanggal 19 januari 2017.
Universitas Sumatera Utara