Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

92
Indonesia BAB I PENDAHULUAN Air adalah unsur terpenting bagi hidup manusia. Kualitas air yang baik dan kuantitas yang cukup sangat berpengaruh bagi kelangsungan hidup manusia. Begitu pentingnya air, telah menjadikan akses terhadap air bersih sebagai hak asasi manusia 1 . Akses terhadap air bersih juga menjadi salah satu target dari Millenium Development Goals (MDGs) 2 yang harus tercapai pada tahun 2015, yang ditandatangani oleh 189 negara termasuk Indonesia pada tahun 2000. Bagi Indonesia, banyak tantangan yang dihadapi untuk merealisasikan hal tersebut. Salah satunya adalah meningkatnya kebutuhan air bersih akibat peningkatan jumlah penduduk dan peningkatan kegiatan pembangunan seperti pertanian dan industri. Pada sisi yang lain, ketersediaan air bersih secara kuantitas semakin langka akibat kondisi daerah tangkapan air dan daerah retensi air yang semakin kritis serta secara kualitas pun ketersediaan air bersih mengalami pengurangan karena pencemaran air permukaan dan air tanah. Tantangan lain yang dihadapi adalah masih terbatasnya kemampuan penyedia layanan air bersih untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Beberapa laporan dari lembaga-lembaga internasional menunjukkan kondisi akses masyarakat terhadap air bersih. World Health Organization (2003), menyatakan bahwa dari 217 juta penduduk Indonesia dengan komposisi sekitar 44% tinggal di perkotaan dan 56 % tinggal di pedesaan, 78% penduduk memiliki akses atas air dari sumber yang aman (improved water), tetapi hanya 17% rumah tangga yang memiliki sambungan ke PDAM. Di wilayah perkotaan, sekitar 89% penduduk memiliki akses terhadap air bersih tetapi hanya 31% rumah tangga di perkotaan yang tersambung dengan PDAM. Sedangkan untuk wilayah pedesaan sekitar 69% memiliki akses terhadap air bersih tetapi hanya 5% rumah tangga yang memiliki sambungan ke PDAM. Data SUSENAS dengan kategori akses terhadap air minum yang dikutip oleh Bank Dunia (2004), mengindikasikan bahwa dari penduduk yang memiliki akses atas air bersih, sekitar 52% memiliki sumber air 1 General Comment No.15 yang diadopsi secara menyeluruh pada November 2002 oleh Committee on Economics, Social and Cultural Rights menyatakan : “The human right to water entitles to sufficient, safe, acceptable, physically accessible and affordable water for personal and domestic use.” 2 MDGs Target 10: Mengurangi separuh dari proporsi penduduk tanpa akses terhadap air minum dan sanitasi dasar pada tahun 2015 (to halve by 2015, the proportion of people without sustainable access to safe drinking water and basic sanitation) 1

description

Buku Putih ini dihasilkan oleh Water Dialogue (suatu kelompok kerja yang terdiri dari beragam latar belakang keahlian dan institusi) pada tahun 2009

Transcript of Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Page 1: Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Indonesia

BAB I

PENDAHULUAN

Air adalah unsur terpenting bagi hidup manusia. Kualitas air yang baik dan

kuantitas yang cukup sangat berpengaruh bagi kelangsungan hidup manusia.

Begitu pentingnya air, telah menjadikan akses terhadap air bersih sebagai hak

asasi manusia1. Akses terhadap air bersih juga menjadi salah satu target dari

Millenium Development Goals (MDGs)2 yang harus tercapai pada tahun 2015,

yang ditandatangani oleh 189 negara termasuk Indonesia pada tahun 2000.

Bagi Indonesia, banyak tantangan yang dihadapi untuk merealisasikan

hal tersebut. Salah satunya adalah meningkatnya kebutuhan air bersih akibat

peningkatan jumlah penduduk dan peningkatan kegiatan pembangunan seperti

pertanian dan industri. Pada sisi yang lain, ketersediaan air bersih secara

kuantitas semakin langka akibat kondisi daerah tangkapan air dan daerah

retensi air yang semakin kritis serta secara kualitas pun ketersediaan air bersih

mengalami pengurangan karena pencemaran air permukaan dan air tanah.

Tantangan lain yang dihadapi adalah masih terbatasnya kemampuan

penyedia layanan air bersih untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Beberapa laporan dari lembaga-lembaga internasional menunjukkan kondisi

akses masyarakat terhadap air bersih. World Health Organization (2003),

menyatakan bahwa dari 217 juta penduduk Indonesia dengan komposisi sekitar

44% tinggal di perkotaan dan 56 % tinggal di pedesaan, 78% penduduk memiliki

akses atas air dari sumber yang aman (improved water), tetapi hanya 17%

rumah tangga yang memiliki sambungan ke PDAM. Di wilayah perkotaan, sekitar

89% penduduk memiliki akses terhadap air bersih tetapi hanya 31% rumah

tangga di perkotaan yang tersambung dengan PDAM. Sedangkan untuk wilayah

pedesaan sekitar 69% memiliki akses terhadap air bersih tetapi hanya 5% rumah

tangga yang memiliki sambungan ke PDAM. Data SUSENAS dengan kategori

akses terhadap air minum yang dikutip oleh Bank Dunia (2004), mengindikasikan

bahwa dari penduduk yang memiliki akses atas air bersih, sekitar 52% memiliki

sumber air pribadi (pompa, sumur, dan lainnya), 25% memiliki akses terhadap

sumber air yang dimiliki bersama (hidran air umum) dan hanya 15 % yang

bergantung pada utilitas publik3.

Pada tahun 2006, akses rumah tangga terhadap air perpipaan di daerah

perkotaan baru mencapai 30,8%, sedang di pedesaan sebesar 9% (Laporan

1 General Comment No.15 yang diadopsi secara menyeluruh pada November 2002 oleh Committee on Economics, Social and Cultural Rights menyatakan : “The human right to water entitles to sufficient, safe, acceptable, physically accessible and affordable water for personal and domestic use.” 2 MDGs Target 10: Mengurangi separuh dari proporsi penduduk tanpa akses terhadap air minum dan sanitasi dasar pada tahun 2015 (to halve by 2015, the proportion of people without sustainable access to safe drinking water and basic sanitation)3 Fabby Tumiwa, “ Menjamin Hak Rakyat Atas Air: Alternatif Sumber dan Mekanisme Pembiayaan Infrastruktur Air di Indonesia, 2006, www.kruha.org

1

Page 2: Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Indonesia

Pencapaian Pembangunan Millenium, 2007). Cakupan pelayanan PDAM pada

tahun 2006, mencapai 30,6% dengan rata-rata tingkat kebocoran sebesar

41,31%4. Dari ukuran pelanggan, lebih dari 85% PDAM memiliki pelanggan

kurang dari 10.000 dan hanya 4 % yang memiliki pelanggan di atas 50.000,

sedangkan dari aspek kesehatan finansial, berdasarkan data dari 260 PDAM

pada tahun 2007, hanya 18% PDAM yang berada dalam kondisi sehat, sisanya

berada dalam kondisi kurang sehat dan tidak sehat.5 Selain cakupan pelayanan

yang masih rendah, beberapa permasalahan umum yang dihadapi oleh PDAM di

Indonesia adalah kualitas air dan pelayanan yang semakin menurun terutama

setelah krisis ekonomi, yang diakibatkan tertundanya perbaikan dan perawatan

untuk memotong pengeluaran operasi. Effisiensi operasi dan keuangan PDAM

mengindikasikan bahwa PDAM belum mengoptimalkan asset yang mereka miliki

yang berakibat pada rendahnya efisiensi dan kinerja usahanya.

Tantangan selanjutnya yang dihadapi Indonesia untuk dapat menjamin

akses masyarakat terhadap air bersih adalah keterbatasan pembiayaan yang

dimiliki oleh Pemerintah. Dalam upaya mencapai target MDGs pada tahun 2015,

dibutuhkan investasi sebesar Rp 43 triliun, sedangkan kemampuan pembiayaan

pemerintah pusat sebesar Rp 500 milyar/tahun6.

Gambaran situasi di atas, sedikit banyak menunjukkan bahwa dibutuhkan

kerja keras bagi Indonesia untuk dapat meningkatkan akses masyarakat

terhadap air bersih. Proposal yang telah diajukan yang mencakup strategi

pencapaian target 10 MDGs adalah melakukan intervensi-intervensi yang

mencakup perluasan akses air bersih baik di perkotaan maupun pedesaan,

peningkatan kualitas layanan, memperkenalkan teknologi baru dan memperluas

partisipasi sektor swasta (private sector participation/PSP).

Dalam kerangka inilah kemudian PSP menjadi perdebatan. Pro dan kontra

terhadap keterlibatan sektor swasta dalam penyediaan layanan air bersih terus

mengemuka dalam beberapa tahun terakhir. Perdebatan yang terjadi tidak

hanya terjadi pada tataran ideologi, namun juga terjadi pada tataran praktis

termasuk perdebatan tentang terminologi yang digunakan. Kelompok

pendukung PSP berpendapat bahwa partisipasi sektor swasta berbeda dengan

privatisasi, karena PSP tidak bertujuan untuk mengambil alih asset perusahaan

publik kepada swasta. Selain itu kelompok pendukung PSP juga meyakini bahwa

dengan PSP akan meningkatkan efektifitas dan efisiensi layanan air bersih

termasuk mengatasi keterbatasan pembiayaan yang dimiliki oleh pemerintah

melalui investasi yang ditanamkan oleh sektor swasta.

4 Presentasi Basah Hernowo (BAPPENAS) dalam Diskusi Terbatas “Pembiayaan Air Bersih di Indonesia; Peluang dan Tantangan Yang Dihadapi”, yang diselenggarakan oleh Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA), 29 Agustus 20075 Presentasi Direktorat Permukiman dan Perumahan, Bappenas, dalam Diskusi “Pembiayaan Air Minum” yang diadakan oleh Indonesia Water Dialogue, 24 Juli 20086 Presentasi BPP SPAM dalam Diskusi Terbatas “Pembiayaan Air Bersih di Indonesia; Peluang dan Tantangan Yang Dihadapi”, yang diselenggarakan oleh Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA), 29 Agustus 2007

2

Page 3: Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Indonesia

Di lain pihak, kelompok penentang PSP berpendapat bahwa PSP

merupakan bagian dari skema global untuk menerapakan resep-resep ekonomi

neoliberal. PSP dipandang akan menghilangkan kedaulatan negara dan rakyat,

pengambil alihan asset kepada Multinational Corporations (MNCs), dan

pengalihan tanggung jawab penyediaan layanan dasar dari sektor publik kepada

sektor swasta. Para penentang juga berpendapat bahwa PSP tidak berbeda

dengan privatisasi dan pada tingkatan praktis tidak ada bukti yang signifikan

bahwa pengelolan air oleh swasta akan lebih baik jika dibandingkan dengan

pengelolaan air oleh publik. Bahkan pengelolaan air oleh swasta dipandang akan

semakin menjauhkan akses masyarakat terhadap air.

Situasi perdebatan seperti inilah yang mendorong terbitnya buku ini. Buku

ini merupakan konsolidasi dari beberapa literatur yang membahas tentang PSP

baik yang pro maupun kontra dan data-data yang terkait dengan PSP serta tidak

bermaksud untuk mencari “siapa yang paling benar” dalam konteks perdebatan

PSP tersebut.

Secara umum uraian dalam buku ini akan terbagi dalam empat bab. Bab

pertama merupakan pengantar umum terhadap situasi penyediaan air bersih di

Indonesia dan perdebatan umum PSP di sektor air bersih. Bab kedua merupakan

uraian terhadap kontroversi PSP di sektor air, latar belakang yang mendasari

kontroversi tersebut, dan bukti-bukti empiris mengenai PSP di sektor air bersih

serta berbagai isu penting seputar PSP. Bab ketiga menguraikan berbagai fakta

seputar PSP di Indonesia, termasuk sejarah keterlibatan swasta dalam

penyediaan air minum di Indonesia, regulasi terhadap keterlibatan swasta

tersebut, tinjauan atas kerjasama swasta dan PDAM serta bagaimana

keterlibatan swasta lokal dan masyarakat dalam hal penyediaan air minum. Bab

keempat merupakan penutup yang akan merangkum berbagai pandangan

terhadap PSP di dalam National Working Group on PSP Review dan merumuskan

pertanyaan-pertanyaan kunci bagi kajian lebih lanjut.

3

Page 4: Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Indonesia

BAB II

KONTROVERSI di SEPUTAR PSP

2.1. Air: Barang Publik atau Barang Ekonomi ?

Pada Januari 1992, berlangsung International Conference on Water and

Environment di Dublin Irlandia. Konferensi tersebut menghasilkan empat butir

prinsip - yang kemudian dikenal dengan Dublin Principles -, yang salah satunya

adalah “water has an economic value in all its competing uses and should be

recognized as an economic good. Within this principle, it is vital to recognize first

the basic right of all human beings to have access to clean water and sanitation

at an affordable price. Past failure to recognize the economic value of water has

led to wasteful and environmentally damaging uses of the resources. Managing

water as an economic good is an important way of achieving efficient and

equitable use, and of encouraging conservation and protection of water

resources”.

Cara pandang baru terhadap air menjadi awal pertarungan paradigma

tentang siapa yang memiliki air, bagaimana memahami fungsi air dan

pengunaannya. Terlebih setelah banyak organisasi internasional memberikan

dukungannya terhadap cara pandang baru terhadap air, seperti yang dikatakan

oleh Budds dan McGranahan (2003), “…In the wake of Dublin, many

international organizations realigned their position in the water sector, and the

World Bank came to play a central role in developing and promoting new

approaches consistent with its interpretation of the Dublin Principles, in

particular the treatment of water as an economic good. … Bilateral development

agencies also started to promote private sector participation in their recipient

countries, including DFID and USAID…”

Bagi kelompok penentang privatisasi, memberlakukan air sebagai barang

ekonomi dipandang akan memperluas keterlibatan swasta dalam penyediaan

layanan air bersih. In the years following Dublin, the concept of water as an

economic good has been used to challenge traditional approaches to

government provision of basic water services. Economist seized upon the idea

to argue that water should be treated as a private good, subject to corporate

control, financial rule, market forces, and competitive pricing. Kelompok

penentang juga berpendapat bahwa secara turun temurun air diperlakukan

sebagai hak asasi – hak yang muncul dari kodrat manusia, kondisi historis,

kebutuhan dasar atau gagasan tentang keadilan (Shiva, 2002), sehingga

keterlibatan swasta di sektor air akan mengancam hak asasi atas air.

4

Page 5: Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Indonesia

Pada sisi yang lain, kelompok pendukung privatisasi berpendapat bahwa

jika suatu produk tersedia gratis, maka fungsi pasar yang seharusnya

mengalokasikan sumber-sumber daya secara efisien tidak akan tercapai. Artinya

tidak ada jaminan ketersediaan air sebanding dengan tingkat konsumsi yang

dilakukan. Orang cenderung untuk memanfaatkan air secara berlebihan. Cara

yang bisa dilakukan oleh Pemerintah untuk mengendalikan hal tersebut adalah

dengan membatasi penggunaannya melalui peraturan, pajak, atau dengan

memberlakukannya sebagai private good yaitu barang yang bersifat excludable

dan rival (Mankiw, 2001). Pendukung privatisasi juga berpendapat banyak

kejadian dimana pengelolaan oleh publik cenderung menerapkan harga rendah

sehingga tidak mampu mempertahankan kualitas layanan jaringan yang ada,

apalagi meningkatkan jangkauan pelayanan (Gray, 2000). Meskipun harga

rendah yang dikatakan bermanfaat bagi penduduk miskin, dalam kenyataannya

tidak membantu penduduk miskin karena mereka belum terlayani sehingga

harus mencari sumber lain dengan harga yang jauh lebih mahal (Walker dkk,

2000).

Menariknya, diantara pro kontra tentang keterlibatan swasta dalam

penyediaan layanan air bersih, terdapat kelompok yang mencoba bersikap lebih

pragmatis terhadap kehadiran swasta dalam penyediaan air bersih. Kelompok

ini berpendapat bahwa air tidak bisa secara murni diperlakukan sebagai barang

publik. Air membutuhkan biaya untuk pengadaannya, sehingga juga harus

diberlakukan sebagai barang ekonomi yang harus dikelola sesuai dengan

hukum-hukum ekonomi. Seperti yang diungkapkan oleh Budds dan McGranahan

(2003) “In debating the appropriate role of the private and public sectors,

recognizing water as an economic good can seem to support a strong private

sector role. This is not strictly correct, and depends on how the term “economic

good” – which is not widely used in economics – is interpreted. If “economic

good” are taken to mean the sort of goods idealized in economic theories of

perfect markets, then the case for private provision of economic goods is strong.

But urban water services are not economic goods in this sense any more than

they are “pure” public goods (and in any case, water utilities rarely operated in

a competitive market). Alternatively, if economic goods are simply taken to be

goods that have an economic value, and to which economic principles apply,

then this would also apply to public goods, and is largely irrelevant to the case

for private provisioning”

Dalam situasi kontroversi tersebut, Savenije (2001) mencoba

memberikan sedikit gambaran tentang karakteristik air minum, yaitu:

Air minum adalah kebutuhan dasar. Tidak ada kehidupan tanpa air, tanpa air

tidak ada proses produksi, tanpa air tidak ada lingkungan. Tidak akan ada

kegiatan manusia yang tidak tergantung pada air. Air merupakan sumber

5

Page 6: Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Indonesia

daya penting. Hal ini membuat air menjadi khusus tetapi tidak unik. Sama

halnya dengan lahan, dan makanan.

Air minum terbatas. Jumlah air terbatas. Hanya sebagian kecil saja air yang

dapat dikonsumsi.

Air minum adalah barang publik. Air minum tidak dapat dimiliki secara

pribadi dan ketergantungan sosial terhadap air minum sangat tinggi. Hal ini

merupakan konsekuensi dari sifat air minum yang penting dan tidak dapat

disubstitusi. Pemerintah bertanggung jawab menyediakan air minum tetapi

pemerintah tidak bertanggung jawab menyediakan air secara gratis

sebagaimana sering disalahpahami.

Meskipun air mengalir tetapi sebenarnya dibatasi oleh lokasi dan sistem

tertentu. Akibatnya, air minum sering menjadi sumber perseteruan politik

antar daerah.

Terdapat biaya produksi dan biaya transaksi yang besar bahkan jika

pengaliran air menggunakan sistem gravitasi.

Pasar air minum tidak homogen. Sebagian pengguna mempunyai

kemampuan membayar yang tinggi dan mengkonsumsi dalam jumlah sedikit

(pengguna domestik dan industri), lainnya mempunyai kemampuan

membayar rendah dan menggunakan air dalam jumlah besar (petani),

bahkan lainnya tidak mempunyai kemampuan membayar (lingkungan dan

penduduk miskin). Semuanya tidak dapat digabung dalam satu pasar.

Meskipun air minum yang dibutuhkan merupakan benda yang sama tetapi

karakter permintaan berbeda. Pertukaran diantara kepentingan yang

berbeda ini sebaiknya diselesaikan melalui jalur politis dan bukan pasar.

Terdapat ketergantungan ekonomi makro antara aktivitas pengguna air. Air

digunakan oleh pertanian mempengaruhi industri. Akibatnya hubungannya

menjadi rumit.

Selalu terdapat ancaman kegagalan pasar dalam penyediaan air minum.

Untuk mencapai skala ekonomi, dibutuhkan investasi besar yang mengarah

ke monopoli alamiah.

Air minum mempunyai nilai tertentu yang seringkali tidak dapat dinilai

dengan uang.

Menurut Ouyahia (2006), karakteristik dari air bersih adalah high

investment specificity, natural monopoly features of the sector, buried asset,

externalities involving public health and environment, the need for universal

provision, and location-specific. Karakteristik lain adalah “70-80 percent of

water and wastewater assets are underground (Infrastructure Canada, 2004).

Hence obtaining accurate information about them can be costly and there is

6

Page 7: Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Indonesia

generally a lack reliable information about the condition of existing

infrastructure”.

7

Kotak 1.1Sejarah Sistem Penyediaan Layanan Air Minum

Sistem penyediaan layanan air bersih memiliki sejarah yang cukup panjang. Menurut Swyngedouw (2003), system penyediaan layanan air bersih dapat dibagi dalam empat tahapan perkembangan. Tahap pertama, berlangsung sampai pertengahan kedua abad ke-19, dimana sistem penyediaan layanan air minum dilakukan oleh perusahaan swasta kecil. Layanan yang diberikan hanya untuk sebagian kecil kota khususnya daerah-daerah kaya perkotaan.

Tahapan selanjutnya adalah pada periode munisipalisasi. Menurunnya kualitas lingkungan dan munculnya kesadaran akan sanitasi lingkungan menjadi pendorong utama periode ini. Periode ini juga diwarnai dengan kesadaran terhadap tanggung jawab daerah dalam penyediaan layanan dasar yang mendasar yang jika perlu diikuti oleh subsidi tarif yang tinggi di kebanyakan negara Eropa. Pada periode ini, sistem air bersih yang pada awalnya dibangun oleh perusahaan swasta, kemudian diambil alih oleh pemerintah daerah (munisipal) di hampir semua negara-negara Eropa, termasuk Inggris. Hanya di Perancis yang perusahaan air milik swastanya dapat bertahan, dan karena itu satu-satunya perusahaan swasta air raksasa di dunia adalah milik Perancis: Suez (dulunya Lyonnaise des Eaux) dan Veolia (tadinya Vivendi dan the Compagnie Generale des Eaux) yang sudah berdiri sejak tahun 1853. Namun proses munisipalisasi jauh lebih cepat terjadi di Amerika Serikat ketimbang di Eropa: pada tahun 1897, sudah 82% kota-kota besar di Amerika Serikat terlayani oleh operator publik tingkat daerah.

Tahapan ketiga dimulai setelah perang dunia I, ketika air bersama dengan layanan publik lainnya seperti telekomunikasi dan listrik menjadi perhatian nasional negara. Pemerintah pusat dengan beragam intensitas kendali, regulasi dan investasinya mengambil alih peran daerah pada sektor air minum. Investasi dalam pengembangan infrastruktur juga menjadi bagian penting usaha mendorong pertumbuhan ekonomi dan sekaligus meredam keresahan sosial melalui kebijakan redistribusi aset – dalam hal ini layanan air minum. Pada periode ini meskipun manajemen air minum masih ada yang di tangan daerah namun pemerintah pusat punya peranan yang besar khususnya pada pembiayaan proyek-proyek infrastruktur dan juga intervensi peraturan. Pada periode ini mulai dibentuk berbagai badan pengatur untuk berbagai kepentingan seperti kepentingan sosial, ekonomi, kualitas, dan lingkungan yang biasanya bersifat nasional.

Periode keempat, periode terakhir, dimulai saat terjadi resesi global tahun 1970-an, sebuah periode yang ditandai dengan menurunnya peran negara dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Anggaran yang terbatas dari pemerintah pusat berakibat pada berkurangnya pengeluaran untuk kesejahteraan publik dan dukungan terhadap program pengembangan investasi infrastruktur. Tarif air yang rendah, investasi yang disubsidi, infrastruktur yang mulai menua, ditambah tingginya permintaan terhadap layanan air minum, memperparah tekanan terhadap anggaran pemerintah pusat. Hal ini menjadi masalah akut yang sulit dipecahkan khususnya bagi negara berkembang. Tekanan negara pemberi hutang untuk mengamankan hutangnya melalui berbagai program seperti Structural Adjustment Program (SAP) dan tekanan untuk memperbaiki daya saing melalui peningkatan efisiensi mendorong munculnya berbagai program pemotongan anggaran biaya layanan publik, program privatisasi dan deregulasi.

Sedangkan di negara berkembang memiliki sejarah perkembangan yang

Page 8: Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Indonesia

8

Kotak 1.2

Structural Adjustment Program (SAP)

Structural Adjustment Program (SAP) diperkenalkan pada awal tahun 1980-an oleh Bank Dunia (di bawah kepemimpinan Robert McNamara). Pinjaman Bank Dunia diberikan untuk periode beberapa tahun melalui program untuk mendukung secara langsung reformasi kebijakan dan tidak lagi terkait dengan salah satu program investasi dalam bentuk proyek. Sejak saat itu pinjaman yang memuat komponen SAP mendominasi portofolio pinjaman baik dari Bank Dunia maupun IMF. Bank Dunia mempraktekkan SAP dari sisi persediaan ekonomi, sedangkan IMF memfokuskan diri pada sisi permintaan melalui kebijakan-kebijakan stabilisasi.

Pada tahun 1989, John Williamson ekonom dari Institute of International Economics (IIE) Washington DC, mencetuskan Washington Concensus yang berisi sepuluh rekomendasi kebijakan untuk mengatasi krisis ekonomi di Amerika Latin. Dalam perkembangannya rekomendasi tersebut diterima secara luas oleh ekonom di Amerika Serikat termasuk Depatemen Keuangan, Bank Dunia dan IMF, yang kemudian dijadikan standar kebijakan mereka. Konsensus Washington menganjurkan stabilisasi ekonomi lewat kendali penyediaan mata uang dan perluasan pertumbuhan dengan seperangkat ukuran demi terwujudnya peningkatan aktifitas sektor swasta, kebijakan privatisasi pun menjadi standar Bank Dunia dan IMF serta bank-bank pembangunan regional seperti ADB, Inter America Development Bank dan lainnya. Pada tahun 1990-an, SAP mengimplementasikan beberapa prinsip Konsensus Washington dalam berbagai bentuk program yang didanai oleh lembaga-lembaga tersebut. Secara keseluruhan, tujuan yang ingin dicapai oleh lembaga-lembaga keuangan internasional melalui privatisasi adalah (i) tujuan ekonomi, yaitu meningkatkan efisiensi seluruh sektor ekonomi, meningkatkan efisiensi, produktifitas dan keuntungan perusahaan, meningkatkan kualitas produk dan pelayanan, dan menarik investasi swasta; (ii) tujuan fiskal, yaitu menghapus subsidi pemerintah pada badan usaha milik negara; memperoleh tambahan dana dari penjualan kepemilikan negara atas badan usaha serta meningkatkan pendapatan pajak dari badan usaha swasta; (iii) tujuan sosial politik, yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mempromosikan kepemilikan badan usaha oleh swasta nasional; meningkatkan kepemilikan properti kelas menengah, meningkatkan pemanfaatan tenaga kerja, dan mengurangi korupsi serta penyalahgunaan di kantor publik.

Instrumen untuk mempengaruhi kebijakan dilakukan melalui mekanisme pinjaman baik program atau proyek yang senantiasa diikuti dengan pelbagai persyaratan. Karena kebanyakan negara-negara berkembang pada umumnya sangat membutuhkan dana pinjaman dari Bank Dunia dan IMF - selain bank-bank regional lainnya –untuk menutupi defisit anggaran atau membiayai program pembangunan, maka persyaratan yang diajukan pun pada akhirnya mendapat

banyak dalam sistem air bersih dibandingkan negara-negara utara. Lebih terdorong oleh kemerdekaan dan bukan oleh industrialisasi, negara-negara ini tidak memiliki daerah yang kuat ataupun masyarakat setempat kelas menengah yang kuat, sehingga kepemilikan di tingkat pusat untuk perusahaan air bersih lebih banyak terjadi dibanding di negara-negara Utara. Di Sri Lanka, sebuah negara dengan sejarah pembangunan yang hebat di bidang kesehatan dan pendidikan, air bersih merupakan tanggung jawab primer Badan Usaha Milik Negara (parastatal) pemerintah pusat. Di Argentina, perluasan jaringan air di seluruh negeri dilakukan oleh penyedia layanan air milik pemerintah pusat. Namun, kesemuanya lambat laun mulai terkikis, ketika Lembaga Keuangan Internasional mensyaratkan untuk melakukan privatisasi kepada negara-negara tersebut.

Page 9: Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Indonesia

2.2. Privatisasi, Private Sector Participation (PSP) atau Public Private

Partnership (PPP)

Beberapa literatur menyebutkan bahwa konsep privatisasi masih belum

terklarifikasi. Seperti yang diungkapkan Bailey (1987), ”one of the concepts in

vogue is privatization. Although the concepts itself is unclear, it might be

tentatively defined as general effort to relieves the disincentives toward

efficiency in public organizations by subjecting them to the incentives of the

private market. There are in fact several different concepts of privatization.

Demikian juga menurut Kay dan Thompson (1986) “privatization is term which is

used to cover several distinct, and possibly alternative means of changing the

relationships between the government and private sector”.

Namun, beberapa literatur yang lain mencoba mendefinisikan konsep

privatisasi dengan lebih jelas. Menurut Subagjo (1996) secara umum definisi

privatisasi dapat dirangkum sebagai berikut: (i) perubahan bentuk usaha dari

“perusahaan negara” menjadi perusahaan berbentuk perseroan terbatas, (ii)

pelepasan sebagian (besar/kecil) atau seluruh saham dari suatu perusahaan

9

Page 10: Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Indonesia

yang dimiliki negara kepada swasta, (iii) pelepasan hak atau aset milik negara

atau perusahaan yang sahamnya dimiliki negara pada swasta, baik pelepasan

untuk selamanya (antara lain melalui jual beli, hibah atau tukar guling) maupun

pelepasan untuk sementara waktu (termasuk dengan cara Build Operate

Transfer), (iv) pemberian kesempatan pada swasta untuk menggeluti bidang

usaha tertentu yang sebelumnya merupakan monopoli pemerintah, (v) pembuat

usaha patungan atau kerjasama dalam bentuk lain dengan memanfaatkan aset

pemerintah, serta (vi) membuka dan meningkatkan adanya persaingan sehat

dalam dunia usaha. Dalam pasal 1 ayat 12 Undang-Undang (UU) Nomor 23

Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN), privatisasi adalah

penjualan saham Persero baik sebagian maupun seluruhnya kepada pihak lain

dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar

manfaat bagi negara dan masyarakat serta memperluas pemilikan saham oleh

masyarakat.

Sedangkan Savas (1987) mendefinisikan privatisasi sebagai tindakan

mengurangi peran pemerintah, atau meningkatkan peran swasta, dalam sebuah

aktifitas atau pemilikan aset. Privatisasi dapat berbentuk umum (dikontrakkan ke

swasta atau LSM dan penyediaan sukarela) dan khusus (food stamps, housing

vouchers, and volunteer fire departments). Lebih lanjut Savas menyatakan

bahwa ada beragam tekanan atau alasan yang mendorong privatisasi. Alasan ini

dikelompokkan sebagai (i) pragmatis, ketika masyarakat mendefinisikan

kebutuhan akan pelayanan pemerintah yang lebih baik, (ii) ideologis, ketika

terdapat keinginan mengurangi peran pemerintah; (iii) komersil, ketika swasta

melihat kesempatan mendapatkan keuntungan dari melakukan pelayanan

publik; (iv) populis, ketika masyarakat melihat privatisasi sebagai cara menuju

kondisi masyarakat yang lebih baik.

Diana Carney dan John Farrington (1998) menyatakan bahwa privatisasi

bisa diartikan secara luas sebagai proses perubahan yang melibatkan sektor

privat untuk ikut bertanggung jawab terhadap kegiatan yang semula

dikendalikan secara eksklusif oleh sektor publik. Privatisasi termasuk di

dalamnya pengalihan kepemilikan aset produktif dari sektor publik ke swasta

atau hanya sekedar memberikan ruang kepada sektor privat untuk ikut terlibat

dalam kegiatan operasional seperti contracting out dan internal markets.

Seperti yang ditulis oleh Tumiwa dan Santono, “...dalam konteks ekonomi

politik, privatisasi adalah sebuah cara untuk memperbaiki pengelolaan dan

kinerja badan usaha serta sektor publik lainnya, termasuk mengurangi beban

negara.” (Globalisasi Menghempas Indonesia: hal 137). Privatisasi bertujuan

untuk mencapai efisiensi ekonomi mikro, mendorong pertumbuhan ekonomi

sekaligus mengurangi kebutuhan pinjaman publik akibat defisit anggaran belanja

10

Page 11: Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Indonesia

dengan cara mengurangi subsidi negara yang diberikan kepada BUMN7.

Sedangkan menurut Stiglitz, keuntungan ekonomi privatisasi sesungguhnya

berasal dari ketidakmampuan pemerintah dalam menyusun sejumlah komitmen ,

khususnya berkompetisi dan tidak memberi subsidi8.

Dalam tulisannya yang berjudul The New Economy of Water; The Risks

and Benefits of Globalization and Privatization of Fresh Water, Gleick

menyatakan privatization in the water sector involves transferring some or all of

the assets or operations of public water system into private hands.There are

numeorus ways to privatize water, such as the transfer of the responsibility to

operate a water delivery or treatment system, a more complete transfer of

system ownership and operation responsibilities, or even the sale of publicly

owned water rights to private companies. Alternatively, various combinations are

possible, such as soliciting private investment in the development of new

facilities, with transfer of those facilities to public ownership after investors have

been repaid". Sedangkan Budds dan McGranahan (2003) menyatakan “Private-

sector participation” is used in the literature to cover a wide range of

arrangements between a government agency and a non-public institution, but

usually refers to a contractual agreement involving a public agency and a formal

(often multinational) private company. The term “privatization” is also widely

used but can refer to two rather different things. It is sometimes used as a

generic term to refer to increasing private sector involment, but also specifically

to the model of divesture. “Public-private partnership” is common term but is

rarely explicitly defined. In the water and sanitation sector, it tends to be used to

refer to contractual agreements in which private companies assume greater

responsibility and/or risk, especially through concession contracts. Lebih lanjut

Budds and McGranahan mengatakan bahwa “There are several models of private

sector involvement in water and sanitation utilities, with numerous variations,

depending on the legal and regulatory frameworks, the nature of the company

and the type of contract”.

Dalam Policy Brief yang diterbitkan oleh OECD (April, 2003), menyatakan

bahwa “Public-Private Partnerships refer to any form agreement (partnership)

between public and private parties. They should not be misunderstood as

privatization, where the management and ownership of the water infrastructure

are transferred to the private sector”. Lebih lanjut, dinyatakan “Some options

keep the operations (and ownership) in public hands, but involve the private

sector in the design and constructions of the infrastructure. Other options involve

private actors in the management, operation and/or the financing asset”.

Pendapat lainnya disampaikan oleh McDonald dan Ruiters, yang

menyatakan bahwa “More properly known as “private sector participation” or as

7 Lihat, Eytan Shesinski dan Luis F Lopez-Calva, “Privatization and Its Benefits: Theory and Evidence”, dalam CESifo Economics Studies, No.3, Vol.49, 20038 Lihat, Joseph E Stiglitz, Whither Socialism (Massachusetts: MIT Press, 1994)

11

Page 12: Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Indonesia

will be used in this chapter “public private partnerships”, these institutional

arrangements are nevertheless a form of privatization. There is a clear transfer

of crucial decision making responsibilities from the public to the private sector

and an effective transfer of power over assets to a private company, with

qualitatively and quantitatively different rules and regulations guiding the

decision that are made and how citizens are able to access information”.

Dalam perkembangannya, terdapat dua model keterlibatan swasta di

sektor air. Pertama berupa model UK yang diterapkan di Inggris dan Wales

dimana kepemilikan dan pengelolaan utilitas air dilakukan oleh sektor swasta.

Kedua adalah model Perancis, dimana kepemilikan di tangan publik sedangkan

pengelolaannya dilakukan oleh publik atau private. Perbedaan lain dari kedua

model tersebut adalah di UK dibentuk Office of Water Services (OFWAT) sebagai

badan pengatur independen, sedangkan di Perancis “economic regulator”

diperankan oleh pemerintah daerah9.

Secara umum, keterlibatan swasta dalam penyediaan layanan air minum

dapat berbentuk:

(i) Kontrak Jasa ( service contracts ) .

Aspek individual dari penyediaan infrastruktur (pemasangan dan

pembacaan meteran air, operasi stasiun pompa dan sebagainya)

diserahkan kepada swasta untuk periode waktu tertentu (6 bulan sampai 2

tahun). Kategori ini kurang memberi manfaat bagi penduduk miskin.

Kontrak jasa dipergunakan di banyak tempat seperti di Madras (India), dan

Santiago (Chile).

(ii) Kontrak Manajemen .

Manajemen swasta mengoperasikan perusahaan dengan memperoleh jasa

manajemen baik seluruh maupun sebagian operasi. Kontrak bersifat jangka

pendek (3 sampai 5 tahun) dan tidak terkait langsung dengan penyediaan

jasa sehingga lebih fokus pada peningkatan mutu layanan daripada

peningkatan akses penduduk miskin. Kontrak manajemen dilaksanakan di

Mexico City, Trinidad, dan Tobago.

(iii) Kontrak Sewa-Beli ( lease contracts ).

Perusahaan swasta melakukan lease terhadap aset perusahaan pemerintah

dan bertanggung jawab terhadap operasi dan pemeliharaannya. Biasanya

kontrak sewa berjangka 10-15 tahun. Perusahaan swasta mendapat hak

dari penerimaan dikurangi biaya sewa beli yang dibayarkan kepada

pemerintah. Menurut Panos (1998), perusahaan swasta tersebut

memperoleh bagian dari pengumuman pendapatan yang berasal dari

9 Lihat, OECD Policy Brief, “Public-Private Partnerships in Urban Water Sector”, April 2003, http://www.oecd.org/dataoecd/31/50/2510696.pdf

12

Page 13: Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Indonesia

tagihan pembayaran. Konsep ‘enhanced lease’ diperkenalkan karena di

negara berkembang dibutuhkan investasi pengembangan sistem distribusi,

pengurangan kebocoran, dan peningkatan cakupan layanan. Perbaikan

kecil menjadi tanggungjawab operator dan investasi besar untuk fasilitas

pengolahan menjadi tanggungjawab pemerintah. Kontrak sewa-beli banyak

digunakan di Perancis, Spanyol, Ceko, Guinea, dan Senegal.

(iv) Bangun-Operasi-Alih ( Build-Operate-Transfer/BOT ) .

BOT dan beragam variasinya biasanya berjangka waktu lama tergantung

masa amortisasi (25-30 tahun). Operator menanggung risiko dalam

mendesain, membangun dan mengoperasikan aset. Imbalannya adalah

berupa jaminan aliran dana tunai. Pada akhir masa perjanjian, pihak swasta

mengembalikan seluruh aset ke pemerintah. Terdapat beragam bentuk

BOT. Pelaksanaan BOT terdapat di Australia, Malaysia, dan Cina. Di bawah

prinsip BOT, pendanaan pihak swasta akan digunakan untuk membangun

dan mengoperasikan fasilitas atau sistem infrastruktur berdasarkan

standar-standar performance yang disusun oleh pemerintah. Masa periode

yang diberikan memiliki waktu yang cukup panjang untuk perusahaan

swasta guna mendapatkan kembali biaya yang telah dikeluarkan dalam

membangun konstruksi beserta keuntungan yang akan didapat yaitu

sekitar 10 sampai 20 tahun. Pemerintah tetap menguasai kepemilikan

fasilitas infrastruktur dan memiliki dua peran sebagai pengguna dan

regulator pelayanan infrastruktur tersebut.

(v) Konsesi .

Konsesi biasanya berjangka waktu 25 tahun yang berupa pengalihan

seluruh tanggung jawab investasi modal dan pemeliharaan serta

pengoperasian ke operator swasta. Aset tetap milik pemerintah dan

operator swasta membayar jasa penggunaannya. Tarif mungkin dibuat

rendah dengan mengurangi jumlah modal yang diamortisasi, yang dapat

menguntungkan penduduk miskin jika mereka menjadi pelanggan. Konsesi

dengan target cakupan yang jelas mengarah pada layanan bagi seluruh

penduduk dapat menjadi alat yang tepat dalam memanfaatkan

kemampuan swasta meningkatkan investasi, memberikan layanan yang

baik, dan menetapkan tarif yang memadai. Melalui cara ini, pemerintah

tetap mengatur tarif melalui sistem regulasi dan memantau kualitas

layanan. Konsesi mempunyai sejarah panjang di Perancis, kemudian

berkembang di Buenos Aires (Argentina), Macao, Manila (Pilipina),

Malaysia, dan Jakarta.

Dalam konsesi, Pemerintah memberikan tanggung jawab dan pengelolaan

penuh kepada kontraktor (konsesioner) swasta untuk menyediakan

pelayanan infrastruktur dalam sesuatu area tertentu, termasuk dalam hal

13

Page 14: Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Indonesia

pengoperasian, perawatan, pengumpulan dan manajemennya. Konsesioner

bertanggung jawab atas sebagian besar investasi yang digunakan untuk

membangun, meningkatkan kapasitas, atau memperluas sistem jaringan,

dimana konsesioner mendapatkan pendanaan atas investasi yang

dikeluarkan berasal dari tarif yang dibayar oleh konsumen. Sedangkan

peran pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan standar kinerja

dan jaminan kepada konsesioner.

(vi) Divestiture .

Kategori ini merupakan bentuk paling ekstrim dari privatisasi, yang berupa

pengalihan aset dan operasi ke swasta, baik keseluruhan maupun sebagian

aset. Pemerintah hanya bertanggung jawab terhadap regulasi. Tidak

banyak contoh dari divestiture, hanya Inggris dan Wales melakukan dalam

skala besar (Weitz, 2002; Stottmann, 2000).

Tabel 1.

Pembagian Tanggungjawab dalam Beragam Bentuk Partisipasi Swasta

Kontrak jasa (Service contract)

Kontrak Manajemen(Management contract)

Sewa-Beli(Lease)

Konsesi (Concession)

Tipe BOT

Pengalihan Penuh (Divestiture)

Kepemilikan

Aset

Publik Publik Publik Publik Swasta/

publik

Private

Investasi

Modal

Publik Publik Publik Swasta Swasta Private

Resiko

komersial

Publik Publik Berbagi Swasta Swasta Private

Operasi/pe-

meliharaan

Swasta/

Publik

Swasta Swasta Swasta Swasta Private

Lama

Kontrak

1-2 tahun 3-5 tahun 8-15

tahun

25-30

tahun

20-30

tahun

Selama

nya

Sumber: Stottman, Walter (2000) dalam Budds and McGranahan, 2003 “Are Debates on Water Privatizations Missing The Points? Experiences from Africa, Asia and Latin America”

14

Page 15: Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Indonesia

15

Kotak 1.3

Komersialisasi, Privatisasi, dan Komodifikasi

Komersialisasi mengacu pada proses dimana mekanisme pasar dan praktek pasar diperkenalkan pada pengambilan keputusan operasi dari pelayanan publik, misalnya maksimalisasi keuntungan, pemulihan biaya, dan lain-lain (McDonald and Ruiter,2005).

Komodifikasi adalah proses merubah barang atau layanan yang sebelumnya merupakan subyek yang mengikuti aturan sosial non-pasar menjadi suatu subyek yang mengikuti aturan pasar (Gleick, 2002).

Bentuk institusi yang populer dari komersialisasi adalah korporatisasi, dimana pelayanan dibatasi menjadi unit bisnis yang berdiri sendiri yang dimiliki dan dioperasikan oleh negara tetapi dijalankan dengan prinsip-prinsip pasar. Lalu bagaimana kaitan antara korporatisasi dengan privatisasi?

1. Pertama dan yang terutama adalah perubahan dalam etos pengelolaan dengan fokus

pada penyempitan dan pertambahan prinsip dasar keuangan jangka pendek. Sehingga perubahan budaya pengelolaan terjadi jika penyedia jasa dan pelayanan yang dimiliki dan dioperasikan secara penuh oleh negara akan menjadi lebih komersial dibandingkan dengan mitra swasta mereka, dimana manager secara agresif mempromosikan dan menerapkan pemulihan biaya dan prinsip-prinsip pasar lainnya.

2. Korporatisasi sering mempromosikan kontrak pihak ketiga (outsourcing) sebagai strategi operasi dan cara lain dari pemotongan biaya mereka. Kondisi operasi yang kompetitif, pada akhirnya membutuhkan deregulasi (atau regulasi kembali) terhadap kendali monopoli dari pelayanan dan memperbolehkan berbagai penyedia layanan untuk berkompetisi dengan unit khusus untuk menyediakan layanan tertentu dengan harga yang memadai (misalnya: pembacaan meter).

3. Korporatisasi bisa menjadi pintu masuk bagi investasi langsung sektor swasta, kepemilikan atau kendali dengan membuat pelayanan publik menjadi lebih atraktif bagi sektor swasta. Meskipun begitu perusahaan swasta tidak tertarik untuk membeli pelayanan yang mempunyai struktur yang rumit/atau subsidi silang tersembunyi, prosedur pengambilan keputusan yang tidak fleksibel dan terintegrasi secara politis atau budaya pengelolaan yang anti pasar.

Untuk dapat menjalankan privatisasi dan komersialisasi, air harus diberlakukan sebagai komoditas. Seperti yang diungkapkan oleh Gleick (2002), “The processes of

Page 16: Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Indonesia

2.3 Pro-Kontra PSP

Perdebatan mengenai keterlibatan swasta dalam penyediaan air terjadi di

banyak negara seperti di Bolivia, India, Philipina, Korea Selatan, Brazil, Afirica

Selatan, Indonesia dan sebagainya. Tidak jarang perdebatan tersebut memicu

perlawanan dari LSM, Serikat Pekerja dan kelompok masyarakat sipil lainnya

untuk menentang keterlibatan swasta dalam penyediaan layanan air bersih.

Bahkan beberapa kelompok masyarakat sipil di Eropa sudah meminta kepada

pemerintah mereka untuk menghentikan dukungannya terhadap keterlibatan

swasta dalam penyediaan air bersih seperti yang terjadi di Norwegia.

Sepanjang dekade 1990, keterlibatan swasta didorong menjadi agenda

kebijakan air dan sanitasi bagi negara berkembang sebagai cara mencapai

tingkat efisiensi lebih baik dan peningkatan cakupan air dan sanitasi. Terdapat

kesepakatan umum bahwa perusahaan publik menjadi lemban dalam

meningkatkan akses layanan dan tidak efisien dan menjadi sarang korupsi10.

10 Budds and McGranahan, 2003, “Are the debates on water privatization missing the point? Experiences from Africa, Asia and Latin America”, Environment and Urbanization, Vol.15, No. 2 October

16

Kotak 1.4

Terlucutnya Peran Negara

Menurunnya kepercayaan terhadap kebijakan intervensi negara dalam pembangunan ekonomi mulai terjadi sejak tahun 1970-an, akibat melonjaknya harga minyak, menurunnya harga komoditas ekspor sedangkan harga barang impor meningkat, yang berdampak pada krisis utang luar negeri yang berujung pada defisit anggaran. Dominasi negara atas aktivitas ekonomi di negara berkembang, mengakibatkan kinerja sektor publik terutama badan usaha milik negara menjadi perhatian utama dalam rangka mengatasi kemerosotan ekonomi. Sedangkan di negara yang menganut konsep negara kesejahteraan, serangan terhadap kebijakan intervensi negara dilakukan menjelang akhir tahun 60-an dan awal 70-an. Berbagai kajian terus bermunculan yang menggugat dominasi negara dalam aktivitas ekonomi dan terutama kinerja badan usaha yang dipandang sebagai sumber ketidakefisienan dan stagnannya ekonomi di negara berkembang. Ketidakpercayaan terhadap kebijakan negara semakin berkembang setelah Inggris dan AS (di bawah kepemimpinan Thatcher dan Reagan) “dinobatkan” sebagai pelopor kebijakan “menolak negara”.

Kebijakan “menolak negara” atau “emoh negara” (meminjam istilah I. Wibowo) semakin mendapat tempat di banyak negara berkembang termasuk Indonesia, ketika negara seolah berasosiasi dengan segala keburukan. Dalam berbagai sektor, ekonomi misalnya negara berkonotasi dengan kolusi, ketidakefisienan dan nepotisme. Dalam politik, negara berkonotasi dengan berbagai pelanggaran hak asasi manusia dan di dalam birokrasi negara berdampingan dengan korupsi. Reputasi buruk yang memberikan legitimasi bagi pelucutan peran negara.

Tidak aneh, jika kemudian (dan di bawah tekanan lembaga keuangan internasional) kebijakan publik yang dihasilkan adalah pencabutan dan

Page 17: Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Indonesia

Kelemahan dan ketidakmampuan negara (yang juga didukung oleh

berbagai teori ekonomi) menjadi dasar terbentuknya sintesa privatisasi ataupun

keterlibatan swasta yang membangun argumentasi mendukung kepemilikan

swasta daripada publik11.

Argumen dari pendukung privatisasi menyatakan bahwa perusahaan

swasta cenderung lebih efisien dibandingkan dengan pemerintah dalam hal

skala ekonomis, produktivitas pegawai yang tinggi serta sedikitnya aturan yang

membatasi. E.S. Savas dan Elliot Sclar dalam bukunya menyalahkan pelayanan

jasa yang dilakukan oleh pemerintah karena seringkali menerapkan sistem

monopoli dan ketidakmampuan pemerintah dalam menanggapi kebutuhan

warga negaranya atau masyarakat serta seringnya terjadi ketidakefisienan

dalam pelayanan

Johnson dkk (1995), Peraita dan Benson (1995) berpendapat sektor swasta

dapat menyediakan modal dan pengalaman untuk memastikan pengelolaan dan

penggunaan air yang efisien. Pendukung privatisasi pun menyatakan bahwa

meningkatnya keterlibatan swasta akan menguntungkan penduduk yang belum

terjangkau khususnya penduduk miskin (Finger dan Allouche, 2002). Selain itu,

sektor publik dipandang tidak efisien, kelebihan pegawai, korupsi, terbuka bagi

intervensi politisi, dan tidak tanggap terhadap kebutuhan konsumen. Tarif

rendah tidak menjamin keterjangkauan bagi penduduk miskin, yang ada malah

mengabaikan penduduk miskin. Pendukung keterlibatan swasta menyatakan

swasta lebih efisien, apolitis dan tanggap kebutuhan. Regulasi yang independen,

pemberian konsesi melalui proses yang kompetitif, akan menghalangi

penyalahgunaan kewenangan.

11 Beberapa sintesa tersebut antara lain adalah teorema property rights, principal-agents, methodological individualism, dan public choice. Lebih lanjut lihat “Globalisasi Menghempas Indonesia” hal 133-140, Perkumpulan Prakarsa, 2006.

17

Page 18: Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Indonesia

Di lain pihak, tidak sedikit pula pihak yang menolak dilakukannya

privatisasi air bersih. Argumen yang mendasarinya adalah bahwa sifat pelayanan

yang dilakukan oleh pemerintah memang tidak cocok apabila dilakukan oleh

swasta/privatisasi. Mereka menganggap bahwa kontrak yang dilakukan swasta

dapat menimbulkan hidden-cost karena kurangnya informasi, perlunya

pengawasan serta lelang yang sering bersifat terbatas. Terdapat juga kondisi

yang tidak memungkinkan untuk menciptakan kompetisi bagi pelaksanaan oleh

pihak ketiga, sehingga privatisasi menjadi lebih rumit dari yang dibayangkan.

Tidak ada indikasi bahwa perusahaan swasta lebih akuntabel. Justru, hal

sebaliknya yang lebih cenderung terjadi. Privatisasi tidak memiliki track record

keberhasilan. Yang dimiliki privatisasi hanya risiko/bahaya dan kegagalan.

Perusahaan swasta seringkali tidak memenuhi standar operasi, namun

mengeksploitasi harga tanpa banyak menanggung konsekuensi.

Sepanjang abad 20, pemahaman yang diterima publik adalah bahwa

penyediaan air minum bersifat monopoli alamiah dan memberi manfaat bagi

kesehatan masyarakat. Namun perlu diwaspadai bahwa monopoli swasta akan

meningkatkan beban biaya dan mengabaikan kepentingan kesehatan publik.

Sektor publik harus memegang kendali untuk menghindari penggunaan

kekuasaan sewenang-wenang oleh swasta.

Penentang keterlibatan swasta juga mengkritisi bahwa penyediaan

kepentingan publik yang diberikan pada swasta tetapi cenderung bersifat

monopoli alamiah akan mengarah pada penerapan tarif tinggi dan pelayanan

terfokus hanya pada penduduk yang dapat membayar. Selain itu, dikatakan

bahwa air minum adalah hak asasi, sehingga tidak tepat jika swasta mendapat

keuntungan dari penyediaan air minum bagi penduduk miskin. Lebih ekstrim

dikatakan bahwa perusahaan swasta mencuri air dunia (Barlow dan Clarke,

2003).

18

Kotak 1.5

Perlawanan terhadap Kebijakan Privatisasi Air di Indonesia

Pada tanggal 9 Juni 2004, sekelompok organisasi masyarakat sipil dan individu mengajukan gugatan uji materil (judicial review) terhadap UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI). Gugatan ini merupakan bagian dari proses perlawanan (pada saat masih menjadi RUU, beberapa kelompok masyarakat sipil di Indonesia, sudah melakukan serangkaian advokasi, lobby dan kampanye untuk menentang diundangkannya UU No.7 tahun 2004) terhadap reformasi kebijakan sumberdaya air di Indonesia yang disusun melalui WATSAP (Water Resources Sector Adjustment Program), yang didanai dari pinjaman Bank Dunia sebesar US $ 300 juta. Penggugat berpendapat bahwa UU Sumberdaya Air bertentangan dengan UUD 1945 dan dirancang sebagai legitimasi atas kebijakan privatisasi air di Indonesia.

Satu tahun kemudian, tepatnya tanggal 19 Juli 2005 MKRI memutuskan menolak permohonan uji materil tersebut. Tujuh dari sembilan hakim MKRI menolak permohonan penggugat sedangkan dua hakim lainnya menerima permohonan penggugat.

Menariknya, meskipun MKRI menolak gugatan para penggugat, namun MKRI memberikan kesempatan ”conditionally constitutional” jika dalam pelaksanaannya UU Sumberdaya Air bertentangan dengan pertimbangan-pertimbangan MKRI. Bagaimanapun, hal ini merupakan sesuatu yang baru dimana biasanya keputusan MKRI bersifat final. Namun sayangnya mekanisme

Page 19: Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Indonesia

2.4. Fakta Empiris PSP di Sektor Air Minum

Menarik untuk disimak, seberapa besar keterlibatan sektor swasta di

sektor air minum. Menurut World Bank12, dalam kurun waktu 1990-2006 terdapat

524 proyek (dalam berbagai model) keterlibatan swasta di sektor air di 58

negara.

Tabel 2.Indikator Penting

Indikator, 1990-2007 Value

Jumlah Negara dengan keterlibatan swasta

60

Proyek yang terlaksana 584

Wilayah dengan porsi investasi terbesar Asia Timur dan Pasifik (48%)

Tipe keterlibatan swasta berdasar porsi investasi terbesar

konsesi (68%)

Tipe keterlibatan swasta berdasar porsi jenis proyek terbesar

konsesi (40%)

Proyek dibatalkan atau dalam masalah 53 yang menunjukkan 29% dari total investasi

Sumber: http://ppi.worldbank.org/explore/ppi_exploreSector.aspx?sectorID=4

Dari tabel di atas, terlihat bahwa sebagian besar keterlibatan swasta

dalam sektor air baik dari sisi investasi maupun proyek adalah model konsesi.

Namun, dalam 5 tahun terakhir (2003-2007) keterlibatan sektor swasta di sektor

air lebih banyak dilakukan dalam greenfield project13, meskipun dari sisi nilai

investasi dalam kurun waktu tersebut masih lebih besar model konsesi (tabel 3)

12 Lihat, http://ppi.worldbank.org/explore/ppi_exploreSector.aspx?sectorID=413 Greenfield project: A private entity or a public-private joint venture build and operates a new facility. This category includes build-operate-transfer and build-own-operate contracts as well as merchant power plants, http://ppi.worldbank.org/book/216Housk-10-23.pdf

19

Page 20: Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Indonesia

Tabel 3.

Jumlah Proyek Berdasar Bentuk Keterlibatan Swasta

Tahun Anggaran

Konsesi Divestiture

Greenfield Project

Kontrak Manjemen dan Lease

Total

1991 1 0 0 1 2

1992 2 0 2 2 6

1993 6 0 3 2 11

1994 8 0 5 1 14

1995 9 1 3 5 18

1996 7 1 9 7 24

1997 16 2 9 12 39

1998 18 1 11 2 32

1999 13 7 8 10 38

2000 28 1 5 5 39

2001 12 1 13 14 40

2002 24 3 8 9 44

2003 12 1 21 10 44

2004 27 0 21 5 53

2005 18 0 32 11 61

2006 15 2 27 13 57

2007 20 5 30 7 62

Total 236 25 207 116 584

Sumber: http://ppi.worldbank.org/explore/ppi_exploreSector.aspx?sectorID=4

Dari sekian banyak proyek swasta di sektor air, dalam kurun waktu 2001-

2004 terdapat lima perusahaan terbesar yang memiliki lebih dari 50 proyek

penyediaan air di seluruh dunia (tabel 4). Namun menurut Izzaguirre dan Hunt

(2005), “Sponsors from developed countries still accounted for a large share of

investment flows. But they limited their investment to selected developing

20

Page 21: Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Indonesia

countries and sought to exit underperforming contracts. RWE Thames

announced that it would withdraw from most regions while focusing on Central

and Eastern Europe, Veolia Environment that it would concentrate on selected

Asian countries, and Suez that it would pull out of Asia and Latin America. The

retrenchment by global sponsors in some cases facilitated greater activity by

local and regional sponsors”. Selain itu Izzaguirre dan Hunt menyatakan “...local

companies with little or no operational experience entered the water business.

One example is the Russian investment conglomerate Interros, which won the

lease contract for the water utility in Siberia’s Perm City. In Chile local investors

(Grupo Solari, Consorcio Financiero, Grupo Luksic, and Icafal) won five of the six

water contract in 2004...”

Tabel 4.

Lima Besar Perusahaan Air dan Air Limbah

Skema Partisipasi Swasta di Negara Berkembang (2001-2004)

Perusahaan

Proyek

Investasi

(US$ juta)

Proyek per Wilayah

Asia Timur dan Pasifik

Eropa dan Asia Tengah

Amerika Latin dan Karibia

Timur Tengah dan Afrika Utara

Asia Selatan

Sub-Sahara Afrika

Suez Environment

17 1,053 9 2 1 2 0 3

Veolia Environment

16 1,088 8 6 0 0 0 2

New World Infrastructure

7 292 7 0 0 0 0 0

RWE Thames

6 762 3 1 2 0 0 0

Berlinwasser International

6 135 3 2 0 0 0 1

Total 52 3,330 30 11 3 2 0 6

Sumber: Bank Dunia, PPI Project Database

21

Page 22: Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Indonesia

Situasi ini, coba dijelaskan oleh Ducci (2007)14 dengan mengambil kasus pada

negara-negara Amerika Latin, “Many of international water operators, which

were operating water and sewerage services in Latin America, withdrew from the

region during the first five years of the new millennium. The study examines the

causes and consequences of the withdrawal international water operators in 14

cases in five countries (Argentina, Bolivia, Chile, Uruguay, and Venezuela) as well

as in Brazil, Colombia, and Mexico. The study finds different reasons explained

the departure. For some international water operators, the withdrawal was

driven by their refocusing in their local and regional markets. In these cases, the

exit was planned with investments sold to local investors. In other cases, the exit

resulted from changes in sectoral policies or social and political conflicts caused

by tariff increases, perception of lack of transparency in the biddings, among

other problems. The study indicates that it is unlikely that international operators

return to the region in the short term, but local and regional operators are

emerging and filling the gap”.

Menurut Hall dan Lobina, satu alasan kunci untuk hal ini adalah karena

negara-negara berkembang tidak dapat memberikan tingkat pengembalian (rate

of return) yang dibutuhkan oleh pemilik modal dari luar negeri. Sebuah studi

yang dilakukan Bank Dunia menunjukkan bahwa tingkat pengembalian investasi

infrastruktur di negara-negara berkembang, termasuk di air bersih, berada

dibawah biaya modal.

Secara keseluruhan, penyediaan layanan air bersih oleh swasta jumlahnya

kecil. Menurut Stephenson (2005) dalam Ouyahia (2006) menyatakan bahwa “Of

the total of the world population of 6 billion, only about 5 percent are served by

private companies. Of (these) 290 million people, 126 million are in Europe, 72

million in Asia and Oceania, 48 million in North America, 21 million in South

America, and 22 million in other countries”. Lebih lanjut Stephenson mengatakan

bahwa “ the water market represents about US$ 400 billion per year

internationally, compared to US$ 1,000 billion per year for electricity “.

Meskipun mengalami peningkatan cukup signifikan sejak tahun 1990-an,

namun keterlibatan sektor swasta di sektor air tetap kecil jika dibandingkan

dengan sektor publik. Only 3 percent of the population in poor or emerging

countries is supplied through fully or partially private operators (Winpenny,

2003). Hall dan Lobina (2006) menyatakan bahwa kota-kota besar yang berada

di negara-negara berpendapatan kecil atau menengah penyediaannya

didominasi oleh sektor publik. Lebih dari 90% layanan air di kota-kota tersebut

dilakukan oleh sektor publik – yang populasinya lebih dari 1 juta jiwa –

Tabel 5.

14Lihat, http://ppi.worldbank.org/resources/ppi_otherresources.aspx?resourceId=6

22

Page 23: Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Indonesia

Porsi Kerjasama Pemerintah-Swasta di Pasar Air Perkotaan Negara OECD

(dalam % dari penduduk yang terlayani)

Negara Manajemen Publik Manajemen Swasta

Jerman 96 4

Perancis 20 80

Inggris 12 88

Belanda 100 -

Amerika

Serikat

85 15

Sumber: BIPE (2001), dalam Public-Private Partnerships in the Urban Water Sector, Policy Brief

OECD, April 2003

Tabel 5 menjelaskan perbandingan penyediaan layanan yang dilakukan

oleh sektor publik dan swasta di negara-negara OECD. Dari tabel tersebut

terlihat bahwa Perancis dan Inggris merupakan negara dengan sebagian besar

penyediaan layanan airnya dilakukan oleh sektor swasta. Cukup menarik adalah

Belanda yang 100% penyediaan layanan airnya dilakukan oleh sektor publik,

namun pada sisi lain Belanda merupakan salah satu negara yang mendorong

keterlibatan swasta dalam penyediaan air terutama di negara-negara

berkembang.

Lebih spesifik studi-studi yang terkait keterlibatan swasta dalam di sektor

air menunjukkan hasil yang beragam. Ouyahia (2006) menyatakan studi-studi

yang telah dilakukan menggunakan pendekatan yang berbeda. Lebih lanjut

Ouyahia, mengutip Renzetti dan Dupont (2004) menyatakan bahwa studi-studi

yang sudah dilakukan (Morgan; 1977, Crain dan Zardkoohi; 1978) menunjukkan

bahwa utilitas air swasta secara rata-rata memiliki biaya yang lebih rendah.

Namun studi lain (Bruggink;1982, Feigenbaum dan Teeples;1983, Teeples dan

Glyer;1987) menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan biaya antara publik dan

swasta atau utilitas publik memiliki biaya yang lebih rendah.

Studi lain menggunakan pendekatan produktivitas seperti yang dilakukan

oleh Saal dan Parker (2001) (dalam Ouyahia, 2006). Keduanya mengukur kinerja

industri air dan air limbah di Inggris sebelum dan sesudah privatisasi dengan

menggunakan indikator tenaga kerja dan total factor productivity. Keduanya

menemukan bahwa meskipun produktifitas tenaga kerja meningkat namun total

factor productivity menurun yang berarti bahwa privatisasi menghasilkan

23

Page 24: Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Indonesia

pengganti. Keduanya juga menemukan bahwa privatisasi menghasilkan

keuntungan yang lebih tinggi tetapi keuntungan efisiensinya sedikit.

Orwin (1999) dan Houstma (2003)15, keduanya menunjukkan bahwa

secara rata-rata perusahaan swasta menetapkan harga yang lebih tinggi

dibanding publik baik di Perancis maupun California. Studi yang dilakukan oleh

Ballance dan Taylor (2005)16 yang melakukan survei terhadap 5000 municipal

dan mencakup 68% penduduk di Perancis, menunjukkan bahwa “...on average,

water delivered by private companies is 27% more expensive than that delivered

by public operators...”.

Studi lain dilakukan oleh ECLAC (1998) yang mencoba membandingkan

kesuksesan dan kegagalan pendekatan privatisasi di Meksiko, Venezuela, dan

Chile, menyimpulkan bahwa kegagalan di Venezuela disebabkan kurangnya

pemahaman terhadap sistem privatisasi sehingga menghasilkan kebijakan yang

kurang sesuai. Selain itu, sektor publik tidak mempunyai kapabilitas memadai

untuk mengawasi swasta. Pemantauan ketat yang dibutuhkan untuk

memastikan swasta memenuhi kewajibannya tidak dilaksanakan. Sebaliknya,

keberhasilan di Chile disebabkan penerapan standar baku dan badan regulasi

independen. Pada kasus Meksiko, keberhasilan ditunjang oleh minat dan

keterlibatan industri swasta dalam penyediaan air dan sekaligus

mempertahankan ketersediaan air bagi kebutuhan industri masing-masing

Cabrera (2003) berdasarkan pengamatannya terhadap privatisasi di

Aguascalientes, Mexico menemukan beberapa kesimpulan diantaranya (i) pada

beberapa aspek, keterlibatan swasta menguntungkan khususnya dalam bentuk

peningkatan efisiensi dan akses, (ii) pada aspek keberlanjutan kurang mendapat

perhatian seperti meningkatnya kesenjangan pendapatan. Khususnya dalam

kondisi monopoli, dan keterbatasan sumber air, besar kemungkinan penduduk

miskin akan mengalami kesulitan.

Surjadi (2003) yang melakukan studi terhadap privatisasi air di Jakarta

menyatakan “One effect of privatization, which our interviews highlighted, is two

years after the implementation of the PSP, the majority of the respondents

perceive the flow and the quality of drinking water to be the same as before

privatisation...These data indicate that expectation of the improvement of flow of

the drinking quality of the water is still high but has yet to be fulfilled”. Pada

studi yang membandingkan kinerja 50 perusahaan penyedia air minum di negara

berkembang Asia dan Pasifik ditemukan bahwa perusahaan swasta lebih efisien

(Estache, 1999). Namun dalam publikasi selanjutnya Estache menyimpulkan

15 Orwin, A 1999. Privatization of Water and Wastewater Utilities: An International Survey”. Toronto: Environment Probe dan Houstma, J. 2003. “Water Supply in California: Economic of Scale, Water Charge, Efficiency, and Privatization.” Mimeo, Mount Allison University.16 Ballance,T. and A.Taylor.2005. Competition and Economic Regulation: The Future of the European Water Industry. IWA Publishing, London UK

24

Page 25: Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Indonesia

bahwa “The results show that efficiency is not significantly different in private

companies than in public ones”17.

Studi-studi lain mencoba melihat latar belakang keterlibatan swasta dalam

penyediaan layanan air bersih. Dalam salah satu kesimpulannya, Shofiani (2003)

menyatakan bahwa “Financial difficulties and low level of service delivery as a

motives to privatise Jakarta water utility is proved inaccurate. PAM Jaya in fact

had a status of self reliance. The Jakarta water privatisation is related to IFIs

involvement, i.e ADB, IMF and the World Bank. The IFIs provide loans on water

sector reformation that give limited room for domestic policy choices.”. Ouyahia

menyatakan “In Latin America, privatization was launched mainly because of

heavy political control of public utilities in more countries and goverment

corruption. Privatization and decentralization have been at the centre of the

structural reform process over the last 20 years”. Sedangkan Finger dan Allouche

(2002) menyatakan “Because of financial pressure, more than 30 African

countries have decided to let the private sector operate and invest in their water

infrastructure”.

2.5 Beberapa Isu Penting terkait dengan PSP

2.5.1 PSP dan Kemiskinan

Kehadiran PSP dalam penyediaan layanan air bersih sering dikaitkan

dengan pengurangan kemiskinan. Sektor swasta dipandang sebagai sosok yang

paling pantas atas keterbatasan dana investasi, peningkatan kualitas dan

perluasan akses layanan, termasuk memberikan layanan terhadap kelompok

masyarakat miskin untuk mendapatkan air.

Dari kacamata ekonomi makro, Estache (2002) menjelaskan bahwa

terdapat tiga cara privatisasi sehingga mempunyai dampak pada kesejahteraan

penduduk miskin. Pertumbuhan ekonomi. Pertama, investasi infrastruktur

merupakan faktor penting dalam pertumbuhan ekonomi, yang kemudian

menjadi pendorong utama bagi pengurangan kemiskinan. Kedua, pengurangan

pegawai. Langkah pertama privatisasi adalah peningkatan efisiensi dan

keuntungan melalui pengurangan pegawai. Dalam jangka panjang langkah ini

menghasilkan pertumbuhan ekonomi. Ketiga, realokasi pengeluaran publik.

Secara konvensional, infrastruktur menyerap dana pemerintah dalam jumlah

besar untuk menutup subsidi dan membiayai pembangunan. Privatisasi

mengurangi pengeluaran pemerintah pada kegiatan yang tadinya dibiayai

pemerintah sehingga tersedia dana untuk membiayai kegiatan lain.

Lebih lanjut menurut Estache (2002), dari perspektif ekonomi mikro,

privatisasi mempengaruhi penduduk miskin dalam dua hal yaitu:

17 Lihat, Hall dan Lobina, The Relative Efficiency of Public and Private Sector”, PSIRU, 2005

25

Page 26: Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Indonesia

(i) Akses.

Pengaruh terhadap akses melalui hal-hal berikut:

a. Peningkatan biaya sambungan.

Biaya sambungan ditingkatkan sampai mencapai tingkatan yang

sewajarnya setelah sebelumnya dipatok pada biaya yang minimum. Oleh

karena itu, biaya sambungan kemungkinan tidak terjangkau oleh

penduduk miskin kecuali disediakan pilihan membayar bertahap.

b. Pengurangan insentif.

Penduduk miskin biasanya berlokasi di daerah yang sulit dijangkau

(padat, akses rendah, tak aman) sehingga biaya layanan lebih tinggi,

sementara konsumsi air rendah dan sering tidak membayar. Hal ini

mengurangi keinginan swasta melayani penduduk miskin.

(ii) Keterjangkauan.

Terdapat berbagai cara privatisasi dapat meningkatkan keterjangkauan.

a. Peningkatan tarif.

Sebelum privatisasi, tarif selalu lebih rendah dari biaya operasi sehingga

perlu ditingkatkan agar dapat menutup biaya operasi. Ketika produksi

telah efisien dan regulasi telah diterapkan dengan baik, terdapat

kemungkinan tarif akan menurun setelah beberapa waktu.

b. Pembayaran diformalkan.

Perusahaan pemerintah cenderung membiarkan penunggakan dan

sambungan liar. Perusahaan swasta berlaku sebaliknya. Akibatnya,

banyak penduduk miskin kemudian mulai membayar sesuai dengan

pemakaiannya. Hal ini bukan sesuatu yang buruk dengan

mempertimbangkan bahwa sambungan liar cenderung tidak stabil,

bahkan membayar lebih mahal pada ‘mafia air’.

c. Peningkatan kualitas.

Kondisi ini membutuhkan biaya besar yang kemudian dibebankan pada

konsumen, yang kemungkinan membebani penduduk miskin.

Namun dalam kenyataannya, kehadiran PSP tidak selalu seperti yang

digambarkan oleh Estache. Perusahaan swasta, cenderung melakukan “cherry

picking”, dimana perusahaan swasta hanya akan hadir pada area yang

menjanjikan keuntungan dan menghindari area yang tidak menguntungkan

seperti area kumuh, pedesaan, dimana secara topografi sulit, konsumsi air per

kapitanya rendah, dan pendapatan masyarakatnya juga rendah. Meskipun

terdapat dalam kontrak, sangat jarang ada perusahaan swasta yang mampu

26

Page 27: Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Indonesia

memenuhi kewajiban kontrak ini (Swyngedouw, 2003 dan Castro, 2004:342),

kecuali jika terdapat insentif yang cukup besar seperti dalam bentuk

pembayaran kompensasi, pemberian subsidi dari pemerintah, pengurangan

atau pembebasan pajak (Hardoy dan Schusterman, 2000: 68). Estache sendiri,

memahami ini dengan mencoba melihat privatisasi dalam kacamata ekonomi

mikro dengan menyebutnya sebagai pengurangan insentif dimana penduduk

miskin biasanya berlokasi di daerah yang sulit dijangkau (padat, akses rendah,

tak aman) sehingga biaya layanan lebih tinggi, sementara konsumsi air rendah

dan sering tidak membayar. Hal ini mengurangi keinginan swasta melayani

penduduk miskin. Situasi ini juga digambarkan oleh Kessler (2004), yang

menyatakan ...government services sometimes lose money because they

subsidize prices for a large number of poor people. Because privatization

inevitably commercialized prices through user fees, government maybe forced

to keep subsidies for those who can’t afford market prices. In other words,

private provision may still require public subsidies.

Dalam studinya, Guiterez (2003) berpendapat bahwa untuk dapat

bermanfaat bagi masyarakat (terutama masyarakat miskin), PSP membutuhkan

peningkatan kapasitas, partisipasi masyarakat, dan peran serta aturan baru

diantara stakeholders. Sedangkan menurut Esteban Castro (2005), kebijakan

neo-liberalisme yang diterapkan di sektor air dan sanitasi (WSS) sejak awal

1980-an tidaklah bertujuan untuk memperluas layanan terhadap masyarakat

miskin. Retorika pro-poor baru dimasukkan dalam kebijakan WSS pada tahun

1990-an, sebagai hasil dari meningkatnya protes dari masyarakat di negara

berkembang dan gagalnya proyek-proyek privatisasi WSS di Eropa dan Amerika.

Kebijakan PSP tidak hanya gagal dalam memberikan pelayanan atas air dan

sanitasi terhadap masyarakat miskin, akan tetapi juga memperdalam

kesenjangan kekuasaan yang berasal dari melemahnya kontrol negara,

pemerintah lokal, dan kapasitas dari masyarakat sipil untuk melakukan kontrol

demokrasi terhadap monopoli sektor swasta terhadap air, terutama di negara-

negara berkembang.

Pandangan yang meragukan PSP terutama terkait dengan pengurangan

kemiskinan, juga diungkapkan oleh Prasad N (2006) yang menyatakan bahwa

“...experiences of PSP in water supply worldwide demonstrate that there is

conflict between social development, public health, environment concerns and

poverty reduction on the one hand and the motive of profit maximizing of the

private sector on the other hand. ...The PSP in water supply which is mainly

based on commercial and profit motives may not achieve the benefits it was

supposed to bring to the poor”. Dalam kajiannya, Global Water Intelligence

(2005), menyatakan bahwa Multi-National Companies (MNCs) tidak tertarik

terhadap negara-negara berpendapatan rendah dimana terdapat ketiadaan

kesinambungan secara komersial dalam penyediaan air. Dengan kata lain,

27

Page 28: Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Indonesia

dalam perspektif sektor swasta, negara-negara berpendapatan rendah dan

masyarakat miskin tidak menarik dan memiliki tingkat resiko yang tinggi.

2.5.2 Pembiayaan Air dan PSP

Pembiayaan menjadi salah isu penting dalam penyediaan layanan air,

terlebih setelah akses terhadap air dan sanitasi menjadi salah satu target yang

harus dicapai dalam MDGs. Untuk mencapai target 10 MDGs, sekitar 1,6 milyar

orang harus memperoleh sambungan terhadap air bersih antara tahun 2006-

2015 dan 2,1 milyar orang untuk sanitasi18. Dalam kerangka tersebut, investasi

yang dibutuhkan diperkirakan berkisar antara US$ 51 milyar sampai dengan US$

102 milyar untuk air bersih dan US$ 24 milyar sampai dengan US$ 42 milyar

untuk sanitasi19.

Tabel 6.

Jumlah Penduduk yang Perlu Mendapat Akses

Sesuai Target Air dan Sanitasi MDGs Tahun 2015

Wilayah

Jumlah Penduduk yang Memperoleh Akses Air Minum

(juta)

Jumlah Penduduk yang Memperoleh Akses Sanitasi

Dasar (juta)

Perkotaan Perdesaan Total

Perkotaan

Perdesaan

Total

Sub-Sahara Afrika

175 184 359 178 185 363

Timr Tengah dan Afrika Utara

104 30 134 105 34 140

Asia Selatan 243 201 444 263 451 714

Asia Timur dan Pacifik

290 174 465 330 376 705

America Latin dan Karibia

121 20 141 132 29 161

Eropa Tengah dan Timur

27 0 27 24 0 24

Total 961 609 1.570

1.032 1.076 2.108

18 Hall and Lobina, Pipe Dreams, The Failure of the Private Sector to Invest in Water Services in Developing Countries, World Development Movement, 200619 Ibid

28

Page 29: Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Indonesia

Sumber: UN Millenium Project (2005), dalam Hall and Lobina, Pipe Dreams, The Failure of the

Private Sector to Invest in Water Services in Developing Countries, World Development Movement,

2006

Besarnya investasi yang dibutuhkan, membuat banyak pihak percaya

bahwa partisipasi swasta menjadi penting dalam penyediaan layanan air.

Menurut Braadbaart (2001) “There are two arguments for privatizations: the

fiscal argument that privatization will relieve government of the burden of

investment financing and the efficiency argument taht performance will improve

under private ownership”. Pendapat lain disampaikan oleh Palmer dkk (2003),

“why do we need the private sector to be involved at all ? Government and

government-controlled para-statals rarely deliver services cost-efectively for the

reasons noted earlier. Nor can governments usually raise the finance needed to

expand the service provision. Involvement of the international water companies

(on an appropriate basis) can serve to facilitate cost-effective delivery of

services. It can also facilitate mobilising long-term finance. Participation on a risk

sharing basis of the international water companies enhances the confidence of

the providers of finance that investment programmes will be implemented

eficiently”.

Keniscayaan atas keterlibatan sektor swasta sebagai “juru selamat” atas

persoalan pembiayaan air bersih, menempatkan kebijakan PSP menjadi

“mantera wajib” terutama di banyak negara berkembang. Seperti yang

dikatakan oleh Clare Short (2002) “Privatization is the only way to get the

investment that (poor) countries need in things like banking, tourism,

telecommunications and services such as water under good regulatory

arrangements. Sedangankan Hilary Benn (2006) mengatakan bahwa “Clearly

there needs to be significantly increased public investment (in order to meet the

MDGs) – making water and sanitation a priority of national plans in developing

countries. There needs to be a recognition private sector investment may have

a role too.

Menurut data Bank Dunia, total investasi swasta di berbagai proyek air

minum dalam kurun waktu 1991-2006 adalah US$ 57.159 juta, dengan

puncaknya terjadi pada tahun 1997 (tabel 7). Meskipun setelah tahun 1997,

investasi swasta terus menurun (ditandai dengan banyaknya perusahaan swasta

terutama MNCs yang menarik diri), namun menurut Izaguirre dan Marin (2006),

situasi ini tidak berarti aktivitas swasta di sektor air bersih telah berakhir.

Masuknya pemain baru yang berasal dari perusahaan nasional dan regional

dipandang sebagai kecenderungan positif dari keterlibatan swasta dalam

layanan air bersih. Lebih lanjut Izaguirre dan Marin, mengatakan “ So what we

are seeing today is not a backlash but a natural maturation of the market

following an initial boom. Now more aware of the benefits and risks involved,

29

Page 30: Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Indonesia

stakeholders are looking for contractual arrangements best suited to each

country’s situation”.

Tabel 7.

Jumlah Investasi berdasar Tipe Keterlibatan Swasta (US$ Juta)

Tahun Investasi Konsesi

Jual Penuh (Divestiture)

Greenfield project

Pengelolaan dan Kontrak

Sewa-Beli Total

1991 75 0 0 0 75

1992 284 0 0 0 284

1993 6.465 0 164 0 6.629

1994 966 0 380 0 1.346

1995 1.563 20 228 13 1.823

1996 122 36 1.125 20 1.304

1997 9.164 499 333 166 10.161

1998 1.676 266 385 0 2.327

1999 1.684 4.313 347 27 6.372

2000 7.134 456 633 7 8,229

2001 1.138 51 937 17 2.143

2002 1.032 323 232 1 1.589

2003 804 43 554 92 1.494

2004 3.341 210 1.041 180 4.772

2005 697 0 974 331 2.001

2006 1.152 383 405 737 2.677

2007 1.323 498 1.422 2 3.245

Grand Total 38.618 7.099 9.161 1.593 56.471

Sumber: http://ppi.worldbank.org/explore/ppi_exploreSector.aspx?sectorID=4

30

Page 31: Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Indonesia

Pendapat lain disampaikan oleh Hall dan Lobina (2006), dalam

publikasinya yang diterbitkan oleh PSI dan World Development Movement

(WDM)20, dimana:

1. Sebagian besar kontrak swasta untuk kontrak manajemen dan lease tidak

melibatkan investasi badan usaha swasta sama sekali untuk perluasan

sambungan untuk rumah yang belum tersambung pada jaringan air

bersih.

2. Kontrak konsesi melibatkan investasi badan usaha swasta untuk perluasan

jaringan. Tetapi komitmen investasi yang telah disepakati mengalami

perubahan, dibatalkan atau tidak mencapai target.

3. Untuk sebagian kontrak privatisasi, pembiayaan publik atau jaminan dari

pemerintah atau bank pembangunan menjadi hal yang terpenting untuk

mendatangkan investasi swasta yang nyata, khususnya menyambung

jaringan air bersih untuk komunitas miskin.

4. Perusahaan air swasta tidak membawa sumber dan volume pembiayaan

investasi tetapi mereka juga sangat bergantung pada sumber yang sama

dengan sektor publik.

Pembiayaan air oleh sektor swasta juga diragukan, sektor swasta pada dasarnya

juga menggunakan sumber pembiayaan yang sama dengan sektor publik. Hal ini

terjadi karena sektor swasta beranggapan bahwa terlalu beresiko untuk

berinvestasi di negara berkembang dengan tingkat pendapatan masyarakat

yang rendah. Dalam tulisannya, Prasad N (2005) mengatakan bahwa “To

overcome some of these insufficiencies, the private sector prefers to rely on

subsidies, soft loans, and a renegotiation of the contractual agreement in order

to provide service to the poor. In other words, the private sector is using the

same sources of funds as the public sector, such as loans from bilateral and

multilateral donors, aid money, and money from customers through tariffs. In

general, and as evidence suggest, it is public funds that supports the private

sector in providing services to the poor”.

20 Hall and Lobina, Pipe Dreams, The Failure of the Private Sector to Invest in Water Services in Developing Countries, World Development Movement, 2006

31

Page 32: Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Indonesia

BAB III

Fakta Sekitar PSP di Indonesia

3.1. Sejarah Keterlibatan Swasta dalam Penyediaan Air Minum di

Indonesia

Seperti negara berkembang lainnya, sistem penyediaan air minum di

Indonesia kebanyakan merupakan warisan kolonial. Sebagai contoh PDAM Kota

Semarang yang didirikan pada tahun 1911, PDAM Kota Solo yang didirikan pada

tahun 1929, PDAM Kota Salatiga tahun 1921, dan PAM Jaya yang sudah berdiri

sejak tahun 1843. Tahapan selanjutnya cikal bakal PDAM ini menjadi bagian dari

Dinas Pekerjaan Umum dan baru pada sekitar tahun 60-an dan 70-an berubah

menjadi PDAM.

Sejak awal tahun 1970 an sampai dengan tahun 1990 an (khususnya

selama Pelita III 1979-1984 dan Pelita IV 1984-1989), pemerintah pusat

memegang peran aktif dalam pembangunan infrastruktur bidang air minum

secara luas di seluruh Indonesia. Targetnya adalah memenuhi kebutuhan dasar

air minum 60 liter/orang/hari dengan cakupan layanan 60% di daerah perkotaan.

Pembangunan infrastruktur pemerintah pusat tersebut dimaksudkan sebagai

modal awal yang pada tahap selanjutnya diharapkan dapat dikembangkan oleh

PDAM dan Pemerintah Daerah setempat .

Selama Pelita III pemerintah mulai melakukan kerja sama dengan lembaga

keuangan internasional dalam bentuk pinjaman luar negeri untuk melakukan

investasi di sektor air minum perkotaan. Model pendekatan pembangunan dan

standar teknis pengelolaan dirumuskan oleh pemerintah pusat. Pembangunan

prasarana dan sarana air minum dilaksanakan oleh Departemen Pekerjaan

Umum. Untuk kota kecil dengan penduduk kurang dari 50.000 jiwa

pengelolaannya dilakukan dengan membentuk BPAM (Badan Pengelola Air

Minum) yang bersama-sama dengan pemerintah daerah diharapkan dapat

dikembangkan menjadi PDAM.

Keterlibatan sektor swasta dalam penyediaan air bersih di Indonesia,

mulai terjadi pada tahun 90-an, seiring dengan semakin menurunnya peran

pendanaan dari pemerintah pusat. Proyek PSP pertama adalah BOO Serang

Utara pada tahun 1993, kemudian kontrak konsesi di Pulau Batam oleh PT.

Aditia Tirta Batam (ATB) pada tahun 1996. Pada tahun 1998, pekerjaan serupa

dilakukan oleh PT Palyja di Jakarta bagian barat dan PT Thames PAM Jaya (TPJ) di

Jakarta bagian timur.

32

Page 33: Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Indonesia

Meskipun sudah berlangsung sejak tahun 1990-an, namun pada saat itu

kerangka hukum yang mengatur keterlibatan swasta dalam penyediaan layanan

air bersih belum mencukupi. Peraturan perundangan yang mengatur

keterlibataan swasta pada saat itu hanyalah UU Penanaman Modal Asing dalam

Pasal 6 Undang-Undang PMA No 1/1967i jo Undang-Undang No. 11/1970 yang

mengatur secara tegas bahwa kegiatan ekonomi yang sifatnya menyangkut

hajat hidup orang banyak, termasuk air minum tidak diperkenankan dikelola

dengan modal lain termasuk modal asing dan Peraturan Pemerintah No.20

Tahun 1994 tentang Pemilikan Saham dalam Perusahaan yang Didirikan dalam

Rangka Penanaman Modal Asing.

Baru pada tahun 2000, pengaturan yang lebih jelas tentang keterlibatan

swasta dalam penyediaan air bersih disusun melalui Keputusan Presiden

(Keppres) No. 96 tahun 200021 tentang Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang

Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan Tertentu Bagi Penanaman Modal,

dimana dumungkinkan bagi modal asing untuk melakukan usaha dalam bidang

yang tergolong penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak

termasuk air minum dimana pemilik modal asing dimungkinkan untuk memiliki

95% saham dari perusahaan tersebut - dalam perkembangannya Keppres No.96

tahun 2000 ini dirubah menjadi Keppres No.118 tahun 2000.

Pada tahun 2004, pemerintah mengesahkan UU No. 7 Tahun 2004 tentang

Sumber Daya Air, yang merupakan salah satu hasil dari reformasi kebijakan

sumberdaya air di Indonesia (lihat kotak 3.1). Dengan adanya UU ini,

keterlibatan swasta di sektor air semakin dipertegas.

21 Dalam konteks ini pada dasarnya terjadi kerancuan regulasi dimana pada tingkatan UU (UU No.II tahun 1970) mengatur secara tegas bahwa kegiatan ekonomi yang sifatnya menyangkut hajat hidup orang banyak, termasuk air minum tidak diperkenankan dikelola dengan modal lain termasuk modal asing. Namun, pada PP No.20 Tahun 1994 dan Keppres No.96 Tahun 2000 dimungkinkan bagi modal asing untuk melakukan usaha dalam bidang yang tergolong penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak khususnya dalam hal ini air minum dimana pemilik modal asing dimungkinkan untuk memiliki 95% saham dari perusahaan tersebut.

33

Kotak 3.1.Krisis Ekonomi dan Reformasi Sektor Sumberdaya Air

Pada saat hampir bersamaan dengan mulainya keterlibatan swasta, sektor sumberdaya air di Indonesia sedang mengalami tekanan luar biasa, akibat ketidakmampuan mempertemukan akibat meningkatnya pertumbuhan dan berbagai permintaan akibat meningkatnya jumlah penduduk. Paradigma kebijakan sumberdaya air di Indonesia juga dipandang sudah kadaluwarsa, sehingga pada tahun 1993 muncul draft Rencana Aksi Kebijakan Sumberdaya Air Nasional (1994-2020) yang merupakan hasil studi yang disponsori oleh FAO dan UNDP. Tanpa sebab yang jelas, draft rencana aksi ini ”menguap” begitu saja, sampai kemudian pembahasan terhadap reformasi kebijakan sumberdaya air di Indonesia dimulai kembali pada sekitar tahun 1997.

Melalui rangkaian seminar dan diskusi yang diinisiasi oleh Bappenas dihasilkan sejumlah visi pengelolaan sumber daya air yang terkait dengan perubahan pendekatan, yakni dari pendekatan sisi pasokan menjadi sisi permintaan; perubahan cara pandang terhadap air, yakni air tidak hanya dilihat sebagai

Page 34: Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Indonesia

34

Kotak 3.1.Krisis Ekonomi dan Reformasi Sektor Sumberdaya Air

Krisis ekonomi tahun 1997, ”memaksa” Indonesia untuk berada di bawah program penyehatan yang dipimpin IMF, dan melaksanakan kerangka kerja dan kebijakan ekonomi makro yang tertuang dalam Memorandum of Economic and Financial Policies dalam perjanjian Letter of Intent (LoI), yang kali pertama ditandatangani pada tanggal 31 Oktober 1997 antara Pemerintah Indonesia dan IMF. Sejumlah agenda reformasi kebijakan dan institusional dilaksanakan berdasarkan: a) manajemen ekonomi makro; b) restrukturisasi finansial dan sektor bisnis; c) proteksi terhadap kaum miskin; dan d) reformasi institusi ekonomi. Strategi dan program untuk melaksanakan agenda tersebut dimatangkan sepanjang tahun 1998 bekerja sama dengan Bank Dunia, ADB dan sejumlah kreditor bilateral. Bank Dunia pun mengeluarkan Policy Reform Support Loan (PRSL) pada bulan Juni 1998, kemudian disusul dengan PRSL II yang mencantumkan rencana untuk memperbaiki pengelolaan sumber daya air Indonesia, sebagaimana tertera dalam Matrix of Policy Actions PRSL II.

Rencana perbaikan pengelolaan sumber daya air tersebut muncul pada akhir 1997. Ketika itu sebuah tim kerja sektoral Bank Dunia menyimpulkan bahwa Bank Dunia tidak dapat memberikan bantuan lebih lanjut untuk sektor sumber daya air dan irigasi Indonesia, jika tidak ada perombakan besar-besaran pada sektor tersebut. Perlunya perombakan ini sebenarnya sudah diidentifikasi oleh pihak Bank Dunia saat dialog sektoral antardepartemen yang diadakan Bappenas pada 1997 dalam rangka penyusunan Repelita VII. Dengan terjadinya krisis ekonomi, pada bulan April 1998, Bank Dunia menawarkan kepada Pemerintah Indonesia sebuah pinjaman program untuk merestrukturisasi sektor sumber daya air, yaitu WATSAL. Pinjaman program ini menjadi bagian dari keseluruhan pinjaman untuk mereformasi kebijakan ekonomi makro Indonesia yang sifatnya “cepat dicairkan” supaya dapat menutupi defisit neraca pembayaran, seperti juga tertera dalam dokumen Country Assistance Strategy (CAS) Progress Report untuk Indonesia, Juni 1999. Dokumen ini merupakan revisi dari CAS Indonesia yang dikeluarkan Juni 1997, ketika Indonesia mulai dilanda krisis ekonomi.

Tawaran tersebut diterima oleh Pemerintah Indonesia. Bappenas kemudian membentuk sebuah tim khusus terdiri dari sejumlah staf pemerintah dan organisasi nonpemerintah untuk menyusun sebuah matriks kebijakan bersama dengan tim dari Bank Dunia. Tim ini, melalui Keputusan Menteri tertanggal 2 November 1998, resmi menjadi Tim Pengarah Nasional Program Pembangunan Bidang Sumber Daya Air (Task Force for Reform of Water Resources Sector Policy) yang berada di bawah Bappenas dan Kementrian Infrastruktur dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil). Tim yang lebih dikenal sebagai Kelompok Kerja WATSAL ini, bersama dengan dirjen-dirjen terkait dan Tim Koordinasi Pemerintah/Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air, menandatangani Letter of Sector Policy yang mencakup matriks kebijakan yang disusun oleh Kelompok Kerja WATSAL. Selain itu, Kelompok Kerja WATSAL juga membuat sebuah Rencana Implementasi WATSAL yang berisi tahapan proses dan jadwal dari masing-masing rencana restrukturisasi dalam Matriks Kebijakan. Rancangan itu diserahkan kepada Bank Dunia pada 29 Maret 1999 sebagai panduan mereka dalam mengawasi perkembangan pelaksanaan restrukturisasi.

Surat perjanjian pinjaman sebesar US$ 300 juta ditandatangani pada 28 Mei 1999 dengan jangka waktu pengembalian 15 tahun dan grace period selama tiga tahun. Pencairan pinjaman dilakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama dicairkan

Page 35: Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Indonesia

3.2 Pengalaman PSP di Indonesia

Akses masyarakat terhadap air bersih secara umum dapat dibedakan

menjadi dua yaitu air perpipaan dan air non perpipaan baik yang terlindungi

maupun tidak terlindungi22. Sampai dengan tahun 2006, hanya 18,4% rumah

tangga yang dapat mengakses air perpipaan yang terdiri dari 30,8% di daerah

perkotaan dan 9% di daerah pedesaan (lihat tabel 3.1)

Tabel 3.1

Akses Masyarakat Terhadap Air Perpipaan di Pedesaan dan Perkotaan

Tahun

Sumber Air Perpipaan

Perkotaan (%) Pedesaan (%)

2000 36,2 6,9

2006 30,8 9

Sumber: Laporan Pembangunan Millenium Tahun 2007

Penyediaan air perpipaan biasanya dilakukan oleh PDAM. Namun, dari

sekian banyak PDAM tersebut sedikit sekali yang berada dalam kondisi sehat,

sedangkan yang lainnya berada dalam kondisi kurang sehat, tidak sehat dan

kritis (Gambar 3.1). Buruknya kondisi yang dialami oleh sebagian besar PDAM

22 Sumber air yang tidak terlindungi artinya jarak antara sumber air dan tempat pembuangan tinja kurang dari 10 meter sehingga kemungkinan besar terkontaminasi limbah tinja. Air dengan sumber terlindungi adalah air dengan kualitas sumber air yang mempertimbangkan konstruksi bangunan sumber airnya serta jarak dari tempat pembuangan tinja terdekat. Jarak yang layak antara sumber air dan tempat pembuangan tinja terdekat adalah lebih dari 10 meter, sedangkan air perpipaan adalah air dengan kualitas yang dapat diandalkan dan lebih sehat dibandingkan sumber air lainnya.

35

Page 36: Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Indonesia

tidak terlepas dari berbagai persoalan yang dihadapi antara hutang yang sudah

mencapai lebih kurang Rp 6 triliun, tingkat kebocoran air rata-rata 40 %, tarif

yang lebih rendah dari biaya produksi dan sebagainya.

Gambar 3.1

Kondisi Keuangan 260 PDAM sampai dengan Agustus 2007

Sumber: BPSPAM per Agustus 2007, dikutip dari presentasi Direktorat Pemukiman dan Perumahan

Bappenas, dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Indonesia Water Dialogue, 24 Juli 2008

Situasi buruk yang hinggap dalam institusi penyedia layanan air bersih di

Indonesia khususnya air perpipaan inilah yang kemudian menjadi dasar bagi

keterlibatan sektor swasta dalam penyediaan layanan air minum, seiring dengan

berbagai perubahan yang terjadi pada tingkatan global. Sektor swasta

dipandang akan mampu menutup kesenjangan investasi yang terjadi akibat

berbagai persoalan yang dihadapi dalam pembangunan air minum, dan

keterbatasan pendanaan yang dimiliki oleh pemerintah.

Sampai dengan tahun 2006, terdapat 25 proyek PSP di Indonesia dimana

sebagian besar proyek PSP tersebut adalah model BOT dengan beberapa

kontrak konsesi seperti Jakarta, Batam dan Palembang. Hal lain yang juga cukup

menarik adalah sebagian besar kerjasama tersebut berada di daerah industri

dan kota besar (lihat Tabel 3.2)

Tabel 3.2

Partisipasi Swasta dalam Penyediaan dan Pengelolaan Air Bersih di

Indonesia

No Kota Total Investasi (juta US$)

Periode Kontrak

Investor

1 BOT Medan 5 2000-2025 Lyonnaise Des Eaux

36

Page 37: Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Indonesia

No Kota Total Investasi (juta US$)

Periode Kontrak

Investor

2 Konsesi Batam 100 1996-2021 Cascal dan Bangun Cipta

Sarana

3 BOT Jambi 2 1996-2001 PT. Noviantama

4 Konsesi Palembang 5 1998-2003 PT. Bangun Cipta Sarana

5 BOT Pekanbaru 10 2005-2020 PT. DAPENMA

6 BOO Serang Utara 5 1993 PT. Sauh Bahtera Samudra

7 Konsesi Jakarta Bagian Barat

225 1997-2022 PT. Palyja

8 Konsesi Jakarta Bagian Timur

225 1998-2023 PT.TPJ

9 JO Cisadane - 1998-2003 Tirta Cisadane

10 BOT Serpong 2,5 1997-2022 Bintang Jaya

11 BOT Lippo Karawaci 10 1999-2024 Lippo Karawaci

12 BOO Bintaro Jaya 10 1990 Pembangunan Jaya

13 BOT Cikampek 0,5 2000-2025 -

14 BOO Bekasi 10 1993 Kemang Pratama

15 BOO Hyundai Indutrial Estate

5 1994 PT. Hyundai

16 BOO Kota Legenda 2,5 1995 PT. Cikarang Permai

17 BOO Bukit Indah 10 1998 PT. Bukit Indah

18 BOT Subang 2,5 2005-2025 PT. MLD

19 Up Rating Gajah Mungkur 2 2006-2026 PT. Tirta Gajah Mungkur

20 BOT Bawen 10 2004 APAC Inti

21 BOT Sidoarjo 2,5

3

1998-2003

2005-2030

PT. Vivendi

PT. Hanarida

22 BOT Denpasar 10 1995-2020 PT. Tirta Artha

37

Page 38: Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Indonesia

No Kota Total Investasi (juta US$)

Periode Kontrak

Investor

Buana

23 BOT Samarinda 5 2004-2029 WATTS

24 BTO Banjarmasin 5 2005-2010 PT. Adhi Karya

25 BOT Tangerang - 2006-2031 Gadang Berhad

Sumber: BPP SPAM

38

Kotak 3.2

Konsesi Air di Jakarta

Dari sekian banyak proyek PSP di Indonesia, kontrak konsesi Jakarta yang dilakukan oleh PT. Palyja dan PT. AERTA (sebelumnya TPJ) merupakan yang paling fenomenal, baik dari proses maupun kinerja kedua operator swasta tersebut. Tabel di bawah ini menunjukkan target teknis dan realisasi kedua operator air swasta di Jakarta, dari tahun 2003-2007.

Tabel 3.3 Kinerja Palyja 2003-2007PALYJA Satuan 2003 2004 2005 2006 2007TARGET (PKS 2004)

           

UFW % 44,88 42,48 38,95 37,15 35,40Cakupan Pelayanan

% 51.0 57.0 63.0 69.0 75.0

Jumlah sambungan

Pelanggan 329.987 340.987 351.987 361.987 371.987

Air terjual juta m3 131,31 134,40 138,70 143,00 146,93 REALISASI

           

Jumlah penduduk

Orang 4.362.714 4.371.252 4.382.764 4.387.320 4.414.993

UFW % 44,93 46,86 50,59 49,04 47,60 Cakupan Pelayanan

% 52,18 53,74 54,55 55,49 58,99

Page 39: Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Indonesia

3.3 Kerjasama Publik-Publik

3.3.1 Kerjasama Swasta-Publik Non Profit23: Kerjasama Perusahaan

Publik Belanda dan Beberapa PDAM

Sejarah panjang keterlibatan perusahaan air minum Belanda (Dutch Water

Companies, sebuah perusahaan publik) di Indonesia telah dimulai sejak tahun

1980-an melalui twinning program dalam bentuk proyek konsultansi dan

peningkatan kapasitas. Hasilnya hanya terlihat dalam jangka pendek dan

23 Sebagian besar bahan dikutip dari hasil riset Budhi Yonanta Bahroelim, Public-Private Partnerships Non-Profit in Water Services: Case Studies from Indonesia-Netherland Cooperation, 2007.

39

Tabel 3.4Kinerja PT. TPJ 2003-2007

TPJ Satuan 2003 2004 2005 2006 2007TARGET (PKS 2005)

           

UFW % 44,36 48,24 44,55 42,58 40,59Cakupan Pelayanan

% 64,40 66,80 69,20 71,60 74,00

Jumlah sambungan

Pelanggan 360.469 368.25 379.032 387.158 395.253

air terjual Juta m3 142,79 143,57 144,00 146,28 148,47 REALISASI

         

Jumlah penduduk

Orang 4.148.259 4.195.666 4.245.472 4.297.748 4.352.566

UFW % 44,36 48,24 49,58 52,56 53,15 Cakupan Pelayanan

% 65,59 67,06 66,45 67,26 66,08

Jumlah

Page 40: Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Indonesia

kemudian masalah yang sama kembali terulang. Pada akhir 1990-an, kerjasama

ditingkatkan dengan memasukkan investasi sebagai tambahan dalam satu paket

dengan bantuan teknis. Kerjasama jangka panjang dipandang lebih

berkelanjutan dan efektif (Soussan, 2000).

Sejak dicanangkannya Millenium Development Goals (MDGs), Pemerintah

Belanda, melalui The Directorate General for International Cooperation, Dutch

Ministry of Foreign Affairs (DGIS), kemudian berkomitmen untuk membantu

pencapaian target MDG tersebut. Komitmen tersebut akan dipenuhi oleh

pemerintah Belanda melalui kerjasama dengan perusahaan air minum Belanda,

konsultan teknik, dan organisasi lainnya.

Pemerintah Belanda mempersyaratkan bentuk kerjasama publik dan

swasta ditandai dengan kontribusi keuangan, berbagi resiko, tanggungjawab dan

manfaat dari masing-masing pihak. Sehingga publik dan swasta merupakan

mitra sejajar dalam pencapaian pembangunan berkelanjutan dan

penanggulangan kemiskinan di negara berkembang.

Tahun 2004, pemerintah Belanda bekerjasama dengan WMD dan WFI

kemudian meluncurkan proyek percontohan “Public-Private Partnership Water

Sector” (P3SW), dengan dukungan keuangan dari pemerintah Belanda.

Pendekatan yang diterapkan berbasis bisnis tapi nir laba, sehingga disebut juga

Public-Private Partnership Non-Profit. Model kerjasama ini pada dasarnya bagian

dari usaha pelaku publik mencapai sasaran sosial dengan bekerjasama dengan

pelaku swasta yang bertujuan memperlebar pasar luar negeri. Bentuk baru

kerjasama ini mengarah pada lahirnya kerjasama publik swasta nir laba.

A. Proyek Kerjasama dengan WMD

Melalui proyek P3SW, WMD dikontrak untuk menyediakan air minum bagi

2,4 juta penduduk di 10 kota Indonesia Timur, dan mengurangi kebocoran air

dari 50 persen menjadi 15 persen dalam jangka waktu 15 tahun. Dibutuhkan 120

juta Euro. Untuk 5 tahun pertama, investasi WMD mencapai 3,5 juta Euro dan

kontribusi DGIS 7,5 juta Euro. Seluruh investasi akan dikelola oleh Water Fund

East Indonesia Foundation.

Saat ini telah terlaksana kerjasama dengan 6 PDAM yaitu Ambon dan

Seram (Propinsi Maluku), Manado dan Tomohon (Propinsi Sulawesi Utara), Biak

dan Sorong (Propinsi Papua). Sebenarnya WMD telah memulai bentuk kemitraan

ini di Ambon dan beberapa kota lainnya di Indonesia Timur sejak 1998.

Kemudian sejak 2005 diadopsi oleh P3SW.

Pendekatan kemitraan WMD melalui pembentukan perusahaan patungan

bersama PDAM setempat dengan komposisi saham mayoritas berada di tangan

40

Page 41: Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Indonesia

WMD, sehingga menghindari campur tangan pemerintah daerah dan PDAM.

Kondisi ini memungkinkan WMD mengambil alih segala jenis keputusan

khususnya terkait penerapan prinsip pemulihan biaya melalui peningkatan tarif.

Ditargetkan dalam 5 tahun, perusahaan sudah dapat memperoleh modal untuk

memperluas cakupan pelayanan. Disamping juga perusahaan akan menjelma

menjadi entitas bisnis yang independen. Pemerintah daerah harus membeli

kembali (buy back) saham WMD . Hasil pengembalian ini akan digunakan untuk

menjalankan pendekatan sejenis di tempat lain.

A.1 Kemitraan WMD dan PDAM Ambon

Sejak tahun 1994, WMD dan PDAM Ambon telah merintis kemitraan

melalui twinning program. Tahun 1998, kedua pihak bersepakat meningkatkan

bentuk kemitraan dengan mendirikan perusahaan patungan, PT. Dream Sukses

Airindo (DSA), dengan saham mayoritas 58% dikuasai WMD. Sebagai bagian

kontribusi PDAM Ambon, diserahkan beberapa aset ke DSA seperti sumber air,

reservoir berikut peralatannya, pipa distribusi utama dan sambungan rumah

yang senilai 435 ribu Euro. WMD menyediakan kontribusi modal sebesar 610 ribu

Euro untuk investasi dan modal kerja. DSA bertanggungjawab memperluas

cakupan layanan dan mengelola sistem layanan pada sebagian kecil wilayah

kota Ambon, sekitar 1.800 sambungan yang sebelumnya dikelola PDAM Ambon

(ADB, 2004)

Namun, perkembangan kemitraan ini terhambat oleh terjadinya

kerusuhan Ambon tahun 1999, hanya beberapa minggu setalah DSA beroperasi.

Walaupun demikian setelah kondisi membaik, tahun 2002, DSA berhasil

menambah sambungan baru sebanyak 1.400 Sambungan Rumah. Namun DSA

tetap beroperasi dengan tarif dan tingkat kerugian yang sama dengan ketika

dikelola PDAM Ambon. Keinginan DSA untuk memperluas cakupan layanan

menjangkau seluruh kota Ambon masih belum tercapai. Pemerintah daerah

masih menunda kesepakatan tersebut.

A.2 Kemitraan WMD dengan PDAM Manado

Di Manado, Sulawesi Utara, pemerintah daerah menyetujui kemitraan

dengan WMD pada tahun 2004. Namun PDAM Manado tidak menindaklanjuti

kesepakatan tersebut. Sampai akhirnya pada tahun 2007, PT. Air Manado, yang

merupakan perusahaan patungan antara PDAM Manado dan WMD diluncurkan.

41

Page 42: Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Indonesia

B. Proyek Kerjasama dengan WFI

Bentuk kemitraan lain adalah kemitraan dengan Water Fund Indonesia

(WFI). WFI merupakan yayasan yang dibentuk oleh Aquanet yang merupakan

perusahaan swasta yang dimiliki oleh lima perusahaan air minum Belanda.

Kelima perusahaan tersebut bersama dengan pemerintah Belanda membentuk

Water Fund Holland Foundation. WFI memperoleh suntikan dana dari DGIS

berupa subsidi sebesar 5,1 juta Euro dan modal sebesar 4,7 juta Euro dari

perusahaan air minum Belanda selama peirode 2005-2010.

WFI kemudian membentuk perusahaan patungan dengan PT. Karta Tirta

Dharma Pangada (KTDP)24, sebuah perusahaan swasta lokal, dengan nama PT.

Tirta Riau. WFI memegang saham mayoritas 51%. Tirta Riau membiayai

rehabilitasi Instalasi Pengolahan Air Minum, reservoir dan jaringan distribusi,

termasuk pemberian saran manajerial ke PDAM Pekanbaru. Kemitraan mengikuti

skema REOT (Rehabilitasi, Expansi, Operasi, dan Transfer), dengan Tirta Riau

akan mengoperasikan instalasi pengolahan air dan menjual air baku ke PDAM.

Hasil pembayaran akan digunakan untuk mengamblikan investasi dari WFI.

Pinjaman diberikan dalam bentuk mata uang Rupiah.

24 PT KTDP memperoleh kontrak dari pemerintah Kota Pekanbaru membiayai investasi infrastruktur PDAM Pekanbaru, tetapi kemudian mengalami kesualitan memenuhi kewajibannya.

42

Page 43: Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Indonesia

KOTAK 3.3 Sekilas Public-Private Partnership Water Sector (P3SW)

Pelaku pembangunan air minum dan sanitasi Belanda terdiri dari beragam institusi publik, swasta dan LSM, yang menyumbang sekitar 2% dari total pasar air minum dan sanitasi dunia. Para pelaku ini telah mempunyai pengalaman yang cukup panjang sehingga kemampuan, keahlian, kehandalan teknologi, pengalaman dan sumber dayanya dapat disumbangkan kepada negara lain. Disamping itu, akses layanan air minum dan sanitasi telah mencapai 100% sejak dekad 70-an.

Kerjasama perusahaan Belanda dengan mitra luar dibatasi oleh aturan untuk melindungi kualitas pelayanan domestik Belanda sehingga perusahaan air minum Belanda membentuk anak perusahaan yang akan mewakili kepentingannya. Terdapat 6 perusahaan air publik dan 14 Water Boards dan Kiwa yang membentuk Aquanet BV pada tahun 1991. Tujuannya adalah untuk memberikan layanan konsultansi dalam pengembangan kelembagaan kepada mitra luar negeri dibawah proyek bilateral/multilateral. Perusahaan juga memberi kontribusi modal untuk menarik dukungan pemerintah dalam memperbesar pasar luar negeri. Model kerjasama ini pada dasarnya bagian dari usaha pelaku publik mencapai sasaran sosial dengan bekerjasama dengan pelaku swasta dengan tujuan pelebaran pasar

Tujuan P3SW adalah mengurangi kemiskinan di Indonesia melalui peningkatan akses air minum. Dalam kemitraan ini, pemerintah Belanda memberi hibah berupa subsidi ke yayasan berbasis di Belanda yang dimiliki oleh perusahaan air Belanda yang juga berkontribusi modal dalam yayasan. Yayasan berfungsi sebagai pengumpul dana. Keberadaan yayasan ini menjadi penting untuk membelokkan motif mencari keuntungan dari institusi swasta. Subsidi dari pemerintah Belanda mengurangi resiko modal bagi perusahaan air minum Belanda. Dana yang terkumpul di yayasan kemudian disalurkan dalam bentuk pinjaman lunak untuk membiayai investasi modal melalui anak perusahaan di Indonesia. Anak perusahaan didirikan oleh yayasan tersebut, yang kemudian mendirikan perusahaan patungan dengan PDAM atau perusahaan setempat, dengan mitra Belanda memegang saham mayoritas minimal 51%. Hal ini memberi kendali bagi mitra Belanda untuk memastikan perusahaan patungan mengimplementasikan prinsip pemulihan biaya paling tidak selama 15 tahun

Dalam proyek percontohan ini, investasi dilakukan untuk memperbesar produksi, mengurangi kebocoran air, meningkatkan kapasitas terpakai, memperbaiki operasi dan pemeliharaan sekaligus juga melakukan pelatihan. Diharapkan intervensi ini akan meningkatkan pendapatan dan kapasitas pegawai. Untuk memastikan terlaksananya prinsip pemulihan biaya, tarif air ditingkatkan bertahap. Penerimaan akan dipergunakan untuk mengembalikan pinjaman, yang selanjutnya dipergunakan untuk investasi program sejenis di tempat lain. Implementasi proyek dimulai tahun 2005 di dua lokasi yaitu bekerjasama dengan WMD di 10 kota di Indonesia Timur dan bekerjasama dengan WFI di Pekanbaru.

43

Page 44: Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Indonesia

Gambar 3.2

Private Sector

WMD Subsidiary Companies

Loan

Inowa ConsultingWMD 50% WFI

50%

Wahana ConsultingWMD 100%

PT. Dream Sukses Airindo

WMD 58%PDAM Ambon 42%

Netherlands Indonesia

PPP Non-Profit-WMD

Non-Profit Organization

Water Fund East IndonesiaFoundation-є11 millionEstablished by WMD

Risk CapitalЄ3.5 million Indo Water BV

Subsidiary of WMD 100%

Loan

Government

Central Government

DGIS

Drenthe Water CompanyWMD NV

Provincial Government

Province Drenthe

RWS

Grant/Subsidy P3SW

Engineering Consultants

Royal Haskoning

Witteveen+Bos

DHV

Private Sector

Consultancy Services

Government

Central Government

Ministry of Public Works

Ministry of Health

Ministry of Finance

Ministry of Home Affairs

Bappenas

Local Government

Ambon Municipality

PDAM Ambon

BPPSPAM

44

Page 45: Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Indonesia

Gambar 3.3

Sumber: Budhi Yonanta Bahroelim, 2007

PPP Non-Profit-Water Fund Indonesia

Netherlands

HibahSubsidy P3SW

Water Companies

Government

Central Government

DGIS

Provincial Government

RWS

ShareCapita

l

Water FundHolland StichtingЄ9.8 million

Non-Profit Organization

Loan

Layanan Konsultansi

Aquanet BV

Water Fund Indonesia BV

Loan

Loan

Indonesia

Engineering Consultants

Royal Haskoning

Witteveen+Bos

DHV

Private Sector

Swasta

Perusahaan Indonesia

DapenmaPamsi

PT. TDP

Joint Venture Companies

PT. Tirta Riau WFI 51% KTDP 49%

PT. MTI WFI 51% Dapenma 49% Inowa Consulting Indo Water 50% WFI 50%

Municipality Pekanbaru

PDAM Pekanbaru

Pemerintah

Pusat

Departemen PU

Pemda

Depkes

Depkeu

Depdagri

Bappenas

BPPSPAMM

45

Page 46: Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Indonesia

KOTAK 3.4

Manfaat dan Resiko Public Private Partnership Non-Profit

ManfaatSecara umum terdapat beberapa manfaat yang diperoleh PDAM yaitu (i)

kendala campur tangan pemerintah daerah terhadap pengelolaan PDAM akan dapat dihindari karena saham pengendali berada di tangan mitra Belanda; (ii) tarif dapat ditetapkan di atas biaya produksi sehingga prinsip pemulihan biaya dapat terlaksana; (iii) tingkat bunga pengembalian (marginal rate of return) akan relatif rendah, dibawah bunga pasar; (iv) transfer pengalaman, keterampilan dan pengetahuan.

Resiko

Terdapat beberapa resiko yang perlu diantisipasi PDAM diantaranya (i) proses kemitraan tidak melalui proses tender sehingga kemungkinan bentuk kerjasama ini bukan merupakan pilihan yang optimal; (ii) kendali perusahaan berada di tangan mitra Belanda sehingga informasi yang tersedia menjadi tidak simetris (information asymmetry) yang dapat berdampak pada pengambilan keputusan yang tidak optimal terutama menyangkut tarif yang cenderung kurang memperhatikan kepentingan masyarakat miskin; (iii) pengelolaan usaha akan efisien tapi biaya manajemen kemungkinan akan sangat besar mempertimbangkan penggunaan tenaga ahli asing yang sangat ekstensif dengan gaji yang tinggi; (iv) walaupun kemitraan ini bersifat nirlaba tetapi dengan adanya motif mengembalikan pinjaman yang nilainya cukup besar dengan melalui penerapan tarif yang cenderung tidak terjangkau oleh masyarakat miskin, kemitraan ini akan gagal memenuhi target MDG yang seharusnya diperuntukkan bagi masyarakat miskin.

Penerapan subsidi silang akan kurang bermanfaat ketika jumlah pelanggan sedikit sementara pelanggan masyarakat miskin dominan. Disamping itu, penerapan subsidi silang dalam kondisi seperti ini akan mengakibatkan tarif menjadi sangat mahal yang mendorong pelanggan menggunakan alternatif sumber air lain (pompa, sumur, dan lainnya) akibatnya kapasitas terpakai akan menurun tajam; (v) pada kasus PDAM Pekanbaru, resiko kekurangan permintaan

Komponen lain dari kerjasama ini adalah melibatkan PT. Mitra Tirta

Indonesia (MTI) yang merupakan perusahaan patungan antara WFI dan PT.

Dapenma Pamsi25. MTI dikontrak oleh PDAM Pekanbaru untuk memasang

sambungan rumah dan memperluas jaringan distribusi. Kegiatan ini juga

dibiayai oleh WFI. Kemitraan ini juga mengatur rencana bisnis termasuk

peningkatan tarif secara berkala tiap 6 bulan. PDAM Pekanbaru

bertanggungjawab menanggung selisih dari kekurangan biaya air baku dan

harga jual air, dan juga ketika terjadi kekurangan permintaan. Tirta Riau saat

ini (2007) belum beroperasi

25 Merupakan perusahaan pengelola dana pensiun pegawai PDAM dan merupakan pemilik PT. KTDP.

46

Page 47: Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Indonesia

Kerjasama WFI dengan PDAM telah terjalin pada tahun 2002 melalui

kemitraan dengan PDAM Tirta Nadi Sumatera Utara. WFI dan PDAM Tirta Nadi

membentuk perusahaan patungan dengan nama Tirta Sumut untuk

menyediakan air baku ke PDAM Tirta Nadi. Dalam kemitraan ini, WFI disubsidi

oleh pemerintah Belanda sebesar 400 ribu Euro dan kontribusi WFI sebesar

700 ribu Euro untuk 15 tahun. Dibutuhkan 2 tahun memformulasikan bentuk

kontrak kemitraan tersebut.

3.3.2 Kerjasama Publik-Publik (PDAM-PDAM)

Tirtanadi di Sumatera Utara adalah satu-satunya PDAM yang telah

mengadopsi Kemitraan Antarpemerintah. PDAM Tirtanadi dimiliki oleh

Pemerintah Daerah Sumatera Utara. Dari 319 PDAM (data tahun 2006),

hanya terdapat 2 PDAM yang dimiliki oleh Pemerintah Propinsi, yaitu DKI

Jakarta dan Sumatera Utara.

Melalui kerjasama operasi, PDAM Tirtanadi terlibat dalam kerjasama

dengan PDAM yang lebih kecil. Sejak 17 Juli 1999, kontrak kerjasama 25

tahun ditandatangani antara PDAM Tirtanadi dengan PDAM Deli Serdang,

PDAM Simalungun, PDAM Tapanuli Tengah, PDAM Nias, dan PDAM Tapanuli

Selatan. Kontrak kerjasama manajemen ditandatangani dengan PDAM

Labuan Batu dan PDAM Dairi.

3.4 Kerjasama Publik (PDAM) dan Komunitas: Sambungan Rumah

Komunal Bagi Daerah Kumuh Perkotaan

Pada dasarnya, sistem sambungan rumah komunal ini adalah

perpanjangan layanan keran umum dari PDAM. Dengan adanya sambungan

rumah komunal, masyarakat tidak lagi perlu berjalan kaki bolak-balik

menggotong ember atau jerigen untuk memperoleh air dari keran umum.

Namun masyarakat tetap memperoleh air dengan harga sosial (tarif keran

umum PDAM).

Sistem sambungan rumah komunal merupakan jawaban terhadap

dilema PDAM dalam menyediakan layanan air minum bagi daerah kumuh

perkotaan. Di satu sisi, PDAM memiliki kewajiban untuk menyediakan

pelayanan bagi seluruh masyarakat di daerah pelayanan/wilayah

administratif kota/kabupaten, baik bagi warga golongan kaya, menengah,

maupun miskin. Di sisi lain, PDAM menghadapi kendala seperti status rumah

dan tanah yang ilegal, kondisi perumahan yang kurang memadai untuk

47

Page 48: Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Indonesia

standar teknis pelayanan PDAM, serta kehilangan air, pencurian air, dan

yang utama adalah masalah tunggakan pembayaran.

Sistem sambungan rumah komunal ini merupakan sebuah inovasi

dalam pelayanan air minum kepada masyarakat. Sistem sambungan rumah

komunal ini merupakan contoh ketika pemerintah dapat berbagi tanggung

jawab dengan masyarakat. Dengan demikian, masyarakat didorong untuk

berpartisipasi aktif dan melaksanakan tanggungjawab dengan baik.

48

Page 49: Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Indonesia

KOTAK 3.4Proyek Percontohan Sistem Sambungan Rumah Komunal

ESP-USAID bekerjasama dengan Jaringan Kesejahteraan/Kesehatan Masyarakat (JKM) Medan membantu memfasilitasi pembangunan Master Meter System (Sistem Meter Induk) atau sistem sambungan rumah Komunal di kota Medan. Proyek percontohan sistem sambungan rumah komunal ini dilaksanakan di tiga kelurahan, yaitu Kelurahan Sunggal, Kelurahan Kampung Baru dan Kelurahan Sei Mati.

Dalam pembangunan sistem sambungan air komunal ini, terdapat 4 tahapan yang dilalui. Tahapan pertama adalah penyiapan masyarakat. Kegiatannya berupa pemilihan lokasi, kemudian dengan bantuan fasilitator (LSM) dilakukan diskusi dan perencanaan di tingkat masyarakat untuk mengembangkan konsep. Selain itu, masyarakat juga menerima program penguatan kapasitas dan peningkatan kesadaran. Setelah itu, dibentuklah kelompok pengguna (Community-based Organization/CBO) yang nantinya akan mengelola sistem. Tahap kedua adalah pembuatan kontrak antara pihak PDAM dan CBO yang telah terbentuk yang meliputi perencanaan sistem, biaya pembangunan dan pengadaan barang. Tahap ketiga adalah tahap konstruksi. PDAM bertanggungjawab untuk menyediakan sambungan melalui meter induk di dalam atau tepat di luar area komunitas yang akan dilayani. Kemudian, dengan bantuan fasilitator (LSM) dan/atau PDAM, CBO bertanggung jawab untuk membangun jaringan pipa sederhana setelah meter induk. Tahap keempat, yaitu penguatan CBO berupa pelatihan teknis, dan pelatihan pemeliharaan sarana, serta pengelolaannya.

Tanggungjawab PDAM, LSM dan CBOCBO bertanggung jawab (i) membangun pipa distribusi dan sambungan rumah di

daerah kumuh; (ii) mengoperasikan dan melakukan pemeliharaan jaringan perpipaan setelah meter induk. (ii) pembayaran rekening air ke PDAM. CBO bertanggungjawab mengumpulkan pembayaran dari tiap rumah tangga pelanggan. Sementara PDAM berperan (i) membangun jaringan pipa induk sampai batas daerah permukiman kumuh; (ii) membantu penyelesaian permasalahan yang diluar kemampuan masyarakat/CBO. Selain itu, LSM berperan (i) sebagai mediator antara pihak PDAM dan masyarakat; (ii) mempersiapkan masyarakat dan (iii) menjadi salah satu penyandang dana.

Sistem TarifTarif pada meteran induk merupakan tarif sosial yang ditetapkan PDAM, sementara jumlah yang dibayarkan tiap Kepala Keluarga (KK) merupakan kesepakatan bersama warga, tergantung dari sistem distribusi airnya, sehingga bisa saja terdapat perbedaan. Misalnya pada Kelurahan Sunggal, air dari meter induk kemudian didistribusikan langsung pada tiap rumah tangga tanpa adanya tambahan meter di tiap KK, sehingga tarif yang dibebankan kepada masyarakat adalah sebesar tarif total dari meter induk dibagi dengan jumlah KK. Di Kelurahan Sei Mati dan Kampung Baru, dari meter induk kemudian dipasang meteran kontrol yang digunakan bersama oleh beberapa KK. Dengan demikian tarif yang dibayarkan bergantung kepada jumlah pemakaian yang tertera pada meteran kontrol yang kemudian dibagi bersama antara pengguna meteran tersebut.

Manfaat dari Sistem Sambungan Rumah Komunal Sistem sambungan rumah komunal ini, memberi manfaat pada kedua belah pihak,

yaitu PDAM dan warga daerah kumuh. Bagi PDAM, kekhawatiran mengenai pembayaran rekening air bisa ditiadakan. Karena dengan sistem sambungan rumah komunal ini, urusan administrasi dan tagihan air akan menjadi lebih mudah, karena PDAM hanya berurusan dengan 1 konsumen. Kemudian, permasalahan kebocoran dan sambungan ilegal setelah meter induk pun bukan lagi menjadi kekhawatiran PDAM, karena masyarakat ikut berpartisipasi aktif dalam memelihara jaringan perpipaan, misalnya melaporkan adanya kebocoran, sambungan ilegal, penggunaan pompa dan lain-lain. Keuntungan lain yang bisa diperoleh dari sambungan rumah komunal ini adalah bahwa sistem ini memungkinkan PDAM untuk membangun sistem jaringan perpipaan sederhana/teknologi berbiaya rendah. Selain itu rumah tangga dengan status tidak

49

Page 50: Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Indonesia

3.5 Penyedia Air Minum Skala Kecil (Small Scale Water Providers/

SSWP)26

Berdasar data Susenas 2006, penduduk perkotaan (baik kota kecil

maupun kota besar), yang memperoleh layanan air minum perpipaan hanya

mencapai sekitar 41 persen. Penduduk kota besar hanya separuhnya yang

memperoleh layanan air minum perpipaan. Sementara sebagian besar

sisanya memperoleh air dari sumber seperti sumur dangkal, sumur dalam,

keran/hidran umum, sungai/danau maupun penyedia air skala kecil (small

scale water providers)27. Tidak tersedia data yang pasti berapa porsi

penyedia air skala kecil.

Walaupun demikian, berdasar hasil studi yang dilakukan WSP pada 5

kota besar yaitu Jakarta, Palembang, Makassar, Bandung, dan Subang,

ternyata pada lokasi di luar jangkauan pelayanan PDAM penyedia air skala

kecil menjadi sumber utama.

3.5.1 Truk Tangki

Porsi layanan melalui truk tangki relatif tidak signifikan, terutama buat

masyarakat miskin. Hal ini terutama karena volume layanannya yang besar

sehingga bersifat perantara (intermediate), biasanya melayani pembelian

skala besar seperti hidran, terminal air, industri, pertokoan, dan penduduk

menengah atas. Truk tangki dioperasikan oleh swasta maupun PDAM.

3.5.2 Hidran/Terminal Air

Hidran berfungsi sebagai perantara antara sistem perpipaan PDAM

dengan penduduk khususnya yang kurang mampu. Walaupun tidak sedikit

sumber hidran tersebut berasal dari sumur dalam atau bahkan truk tangki.

Kebutuhan modal yang besar dalam mengelola hidran menjadikan

pengelolaannya membutuhkan keterampilan yang cukup tinggi. Pada

dasarnya hidran membantu PDAM untuk menjangkau penduduk kurang

mampu tetapi karena tarif hidran yang dikenakan oleh PDAM bersifat sosial

sehingga terdapat kecenderungan bahwa PDAM kurang mendukung

keberadaannya. Apalagi kemudian ketika hidran tersebut menjual air dengan

harga di atas tarif sosial tersebut. PDAM sendiri tidak dapat menerapkan tarif

26 Sebagian besar dikutip dari Peter Gardiner dkk. Indonesia Small Scale Water Providers Study. Final Report. Water and Sanitation Program East Asia Pacific (WSP-EAP), 2007.

27 SSWP didefinisikan sebagai sumber layanan air minum yang berasal dari terminal air, membayar air dari tetangga atau pemilik lahan/bangunan, truk tangki, kereta doorong (carter), air kemasan/isi ulang. Namun dalam tulisan ini air kemasan tidak akan dibahas.

50

Page 51: Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Indonesia

progresif disebabkan adanya persepsi bahwa hidran diperuntukkan bagi

penduduk kurang mampu.

Walaupun demikian di Makassar ditemukan kerjasama antara PDAM

dan swasta lokal dalam pengelolaan terminal air. Tangki air disediakan oleh

PDAM, sementara swasta menyediakan lahan.

3.5.3 Gerobak Dorong

Terkecuali Makassar, porsi layanan kereta dorong pada daerah kumuh

dan daerah tidak terlayani PDAM di keempat kota lainnya relatif dominan.

Kereta dorong merupakan bisnis skala kecil dan bersifat informal. Kereta

dorong sangat bergantung pada sumber air PDAM, sehingga lebih bersifat

sebagai perpanjangan tangan PDAM. Pasar kereta dorong terutama pada

daerah kumuh perkotaan dengan karakteristik pemilikan lahan yang tidak

jelas sehingga PDAM menghadapi hambatan hukum untuk melayani daerah

tersebut. Layanan PDAM pada daerah tersebut akan beresiko dianggap

sebagai legalisasi perumahan liar28

3.5.4 Jaringan Skala Kecil dikelola oleh Pemilik Swasta Lokal

Sistem layanan ini bisa berupa sistem jaringan perpipaan yang canggih

di daerah perumahan menengah atas sampai sistem jaringan sederhana

dengan skala layanan terbatas. Sumber air berasal dari air tanah. Layanan

jenis ini relatif kecil porsinya.

Beberapa contoh jaringan skala kecil di Jakarta adalah di Kamal Muara,

Cengkareng, Pulo Gebang dan Kebon Pala. Sedikit berbeda di Bandung,

sumber mata air dikuasai oleh swasta berlokasi di Desa Mekarwangi,

Kecamatan Ujung Berung. Air yang berasal dari mata air disalurkan melalui

pipa ke terminal air, lalu diangkut menggunakan truk tangki ke industri,

bisnis air isi ulang, dan hidran dikelola perorangan. Di Makassar juga

ditemukan jaringan skala kecil yang bersumber dari air tanah dalam, atau

PDAM, yang didistribusikan melalui pipa ke beberapa rumah di sekitarnya.

3.6 Kemitraan Pemerintah, LSM dan Masyarakat

Berdasar pembelajaran pembangunan air minum di Indonesia, dapat

dikatakan pembangunan yang dilakukan oleh masyarakat selalu dipicu oleh

28 Pada bagian lain tulisan ini dibahas tentang sambungan rumah komunal sebagai alternatif solusi masalah perumahan liar di daerah kumuh perkotaan.

51

Page 52: Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Indonesia

adanya dorongan dari pihak luar baik pemerintah, LSM, bahkan swasta.

Bentuk kemitraan yang paling sering terjadi adalah kemitraan antara LSM,

pemerintah dan masyarakat seperti pada contoh Desa Togo-Togo, Kabupaten

Jeneponto Sulawesi Selatan. Bahkan dapat pula terjadi kemitraan antara LSM,

masyarakat, dan swasta seperti pada contoh Desa Cibodas Kabupaten

Bandung. Sementara kemitraan dua pihak antara pemerintah dan

masyarakat biasanya terjadi ketika terdapat komponen pinjaman dalam

sumber pembiayaannya seperti contoh proyek Water Supply for Low Income

Community (WSLIC) dan Pro Air.

Kesemua kemitraan tersebut dapat disebut sebagai kemitraan

pemerintah-masyarakat, walaupun pada contoh Desa Cibodas terdapat

keterlibatan swasta tapi hanya dalam bentuk pemberian pinjaman pada

lembaga pengelola sarana air minum tanpa keterlibatan dalam

pengelolaannya.

Pada ketiga contoh tersebut, masyarakat terlibat secara aktif sejak

awal perencanaan sampai pengelolaannya. Untuk menjamin keberlanjutan

prasarana yang dibangun, masyarakat dipersyaratkan untuk memberi

kontribusi baik berupa dana tunai, tenaga maupun material tergantung pada

kesepakatan awal. Kemudian masyarakat membentuk lembaga/kelompok

pengelola sarana. Keterlibatan pemerintah dan LSM secara intensigf hanya

pada tahap awal persiapan dan pembangunan sarana, untuk kemudian pada

tahap operasi dan pemeliharaan secara perlahan masyarakat yang kemudian

berperan aktif.

Setelah sistem berjalan selama beberapa tahun, kelompok/lembaga

pengelola mulai berkembang dan bahkan mempunyai aset dan dana tunai

yang cukup besar. Hal ini kemudian mendorong masyarakat untuk

mengembangkan jaringan pelayanan bahkan sampai keluar desa. Dana yang

terkumpul dari penerimaan kemudian sebagian dipergunakan untuk kegiatan

sosial kemasyarakatan diantaranya seperti membeli lahan dan membangun

sekolah, dan memberi bea siswa.

Semakin lama lembaga pengelola mulai terlihat seperti PDAM dalam

skala kecil. Seringkali disebut sebagai ’PDAM Desa’. Bahkan untuk beberapa

kondisi, ’PDAM Desa’ ini jelas kinerjanya lebih baik. Hal ini terlihat dalam

akuntabilitas laporan keuangan dalam bentuk pelaportan keuangan yang

terbuka dan dipampang di papan pengumuman. Penerapan sanksi pada

pelanggan dilakukan secara ketat. Penerapan tarif pun bersifat progresif dan

bahkan subsidi silang juga diterapkan. Kinerja yang baik terlihat dari Dana

tersisa setiap tahun semakin meningkat sehingga dapat dipergunakan untuk

reinvestasi, kontribusi ke APBDes dan juga kegiatan kemasyarakatan.

52

Page 53: Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Indonesia

Hal lain yang mengemuka bahwa salah satu dari ’PDAM Desa’ ini

memperoleh pinjaman dari swasta tanpa jaminan, dan dapat dikembalikan

lebih cepat dari waktunya. Selain itu, fleksibilitas pelayanan juga terlihat dari

kemauan pengelola melayani desa tetangga tanpa memperhatikan batasan

administrasi sehingga tidak setiap desa harus mempunyai ’PDAM Desa’.

Pemanfaatan air menjadi lebih efisien.

KOTAK 3.7Pengelolaan Air Desa Togo-Togo Kabupaten Jeneponto

Penyediaan air bersih di Desa Togo-Togo merupakan kerjasama antara Plan Indonesia dengan masyarakat Togo-togo. Sistem penyediaan air bersih Desa Togo-togo ini dibangun pada tahun 1994, dan sampai saat ini telah berlangsung selama 14 tahun. Sistem penyediaan air bersih di Togo-togo ini berjalan dengan baik terlihat dari peningkatan pendapatan kotor dari rekening air sehingga dana ini dapat diinvestasikan kembali dengan membangun bak penampung air (reservoir) berkapasitas 20 m3. Bahkan kemudian hal ini memancing Plan Indonesia membantu mengembangkan daerah pelayanan dari tiga desa menjadi lima desa dengan penambahan jumlah SR menjadi 1.000 unit, termasuk juga memancing investasi dari pemerintah berupa pompa distribusi sebanyak 4 buah.

Keberhasilan ini terutama disebabkan oleh keterlibatan masyarakat sejak awal, dan juga pendampingan yang intensif dari Plan Indonesia. Keterlibatan masyarakat dipersyaratkan oleh Plan Indonesia dalam bentuk (i) ketersediaan lahan untuk perangkat yang akan dipasang, termasuk lahan untuk jalur pipa, (ii) adanya kontribusi warga selama konstruksi, (iii) adanya kepanitiaan selama konstruksi serta kepengurusan dalam operasional dan pemeliharaan fasilitas, dan (iv) adanya peraturan dalam pelayanan.

Selain itu, penerapan sistem meter pada semua jenis sambungan, baik SR maupun HU, dengan tarif air yang sama mendorong masyarakat menggunakan air secara efisien. Disamping juga mejadi sumber dana operasi dan pemeliharaan.

Kontribusi masyarakat, baik berupa uang, jasa ataupun barang semakin menguatkan rasa memiliki terhadap sarana dan prasarana air minum. Untuk menjamin keberlangsungan sarana, pengelolaan sistem diserahkan pada suatu badan pengelola, yaitu Badan Pengelola Air Minum (BPAM). Organisasi BPAM ini sudah cukup rapi, terlihat dari struktur organisasi yang jelas, administrasi keuangan yang akuntabel serta standar prosedur operasional yang baik, termasuk aturan main bagi pelanggan (biaya, sanksi dan lainnya). Calon pengelola yang akan menduduki kepengurusan di BPAM sebelumnya juga mendapatkan pelatihan dari Plan Indonesia. Selain itu, pejabat struktural tingkat kecamatan juga ikut

KOTAK 3.8

Pengelolaan Air Bersih di Desa Cibodas, Kabupaten Bandung

Pengelolaan air bersih di Desa Cibodas merupakan hasil kerjasama Yayasan CARE dengan masyarakat melalui fasilitasi pemerintah. Sejak awal pembangunan sarana air bersih, masyarakat sudah ikut terlibat dalam setiap kegiatan mulai dari melakukan survei untuk mencari sumber air yang potensial, melakukan pengukuran dan perhitungan untuk menyusun anggaran biaya hingga proses konstruksinya. Bantuan dari Yayasan CARE berupa pipa induk dan bimbingan teknik, administrasi serta penyuluhan ke masyarakat. Sementara sisa dana yang dibutuhkan berasal dari biaya sambungan yang dibayar dimuka oleh masyarakat.

Proses pembangunan dimulai tahun 1988, dimulai dengan yayasan CARE melaksanakan penataran teknik, administrasi dan cara memberikan penyuluhan kepada masyarakat bagi para tokoh masyarakat. Setelah itu,dibentuk Panitia Pembangunan Sarana Air Bersih (PPSAB) yang anggotanya adalah masyarakat itu sendiri. Karena jaringan perpipaan juga melewati desa lain, sehingga pelayanan air bersih mencakup desa tetangga dengan peraturan yang berlaku sama.

Pembangunan dilakukan secara bertahap dengan waktu konstruksi dua tahun. Setelah konstruksi selesai, PPSAB dibubarkan dan dibentuk Badan Pengelola Sarana Air Bersih dan Sanitasi (BPABS) yang disahkan oleh kepala desa. Anggota BPABS ini dibedakan dengan PPSAB, yaitu anggota PPSAB merupakan anggota yang memahami mengenai teknis konstruksi sarana, sementara anggota BPABS memiliki keahlian administrasi dan manajerial.

Akibat permintaan terus bertambah, pada tahun 2002 BPABS berinisiatif melakukan pengembangan jaringan yang sebagian didapatkan dari kas BPABS ditambah dengan pinjaman dari sebuah perusahaan swasta. Pinjaman ini diperoleh tanpa jaminan, dengan masa pinjaman 5 tahun, dan ternyata pinjaman dapat dilunasi dalam waktu 3 tahun.

Tarif Tarif progresif dan subsidi silang diberlakukan bagi masyarakat yang tidak

mampu sehingga BPABS dapat memasang sambungan air tanpa biaya apapun dan pelanggan tersebut tidak perlu membayar tagihan air. Sementara pengguna air yang berlebihan, dikenakan biaya cukup besar. Pemberlakuan sistem tarif ini menyadarkan masyarakat bahwa memperoleh air tidaklah gratis (benda ekonomi).

Kenaikan tarif diputuskan oleh pengelola BPABS, namun masyarakat ikut terlibat dalam pengambilan keputusannya dan di sosialisasikan kepada seluruh pengguna air bersih. Legalisasi tarif diputuskan melalui Badan Perwakilan Desa (BPD) dan ditandatangani Kepala Desa Cibodas. Segala peraturan bagi pemakai air bersih dengan jelas tertuang dalam AD/ART BPABS.

Transparansi Dana BPABSPemasukan BPABS Cibodas berasal dari iuran rutin dan biaya sambungan

air, yang digunakan untuk pengeluaran rutin berupa pembayaran honor perangkat BPABS, insentif kepada Perhutani, PT Perkebunan Nusantara dan Desa Suntenjaya yang dilalui oleh pipa induk. Pemasukan BPABS juga digunakan untuk kepentingan masyarakat, seperti disumbangkan ke dalam kas desa untuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes), pembelian lahan untuk pembangunan

KOTAK 3.5The Second Water and Sanitation for Low Incomes Communities Project

(WSLIC-2)

Proyek WSLIC-2 merupakan inisiatif bersama antara Pemerintah Indonesia, Bank Dunia, dan Pemerintah Australia. WSLIC-2 dilaksanakan di 8 propinsi yaitu Propinsi Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Jawa Timur, Jawa Barat, NTB, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat dan mencakup 37 kabupaten, 2300 desa dan menjangkau 4,5 juta penduduk. Kegiatan mulai dilaksanakan pada tahun 2001 dan berakhir tahun 2009.

Sasaran WSLIC-2 adalah menyediakan layanan air minum dan sanitasi yang aman, mudah, terjangkau untuk komunitas miskin di desa yang tingkat layanan air minum dan sanitasi belum memadai dalam rangka meningkatkan status kesehatan, produktifitas, dan kualitas hidup masyarakat.

WSLIC-2 dilaksanakan dengan menerapkan pendekatan (i) berdasar kebutuhan masyarakat, pro miskin dan mempertimbangkan aspek gender; (ii) masyarakat terlibat secara aktif dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengelolaan; (iii) kontribusi masyarakat, sebesar 20% dari kebutuhan investasi (4% tunai dan 16% material dan tenaga); (iv) pemerintah berperan lebih sebagai

KOTAK 3.6

ProAir

ProAir merupakan proyek penyediaan air minum dan sanitasi di Propinsi Nusa Tenggara Timur mencakup 5 kabupaten yaitu Kabupaten Sumba Barat, Sumba Timur, Timor Tengah Selatan, Alor, dan Ende. Pendanaan PrroAir sebagian besar dari hibah Pemerintah Jerman. Proyek dimulai tahun 2002 dan akan berakhir tahun 2009.

ProAir dilaksanakan dengan menerapkan pendekatan (i) berdasar kebutuhan masyarakat; (ii) masyarakat terlibat secara aktif dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengelolaan; (iii) kontribusi masyarakat untuk dana pemeliharaan dalam bentuk tunai sebesar 4% dari kebutuhan investasi, dan berupa tenaga pada saat konstruksi.

53

Page 54: Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Indonesia

BAB IV

KESIMPULAN DAN PEMBELAJARAN

Tema buku ini adalah tentang Kerjasama Pemerintah - Swasta dalam Sektor

Air Minum di Indonesia, dengan tujuan untuk membuka perbedaan pemikiran

tentang masuknya pelaku bisnis swasta di dalam penyelenggaraan

pelayanan air perpipaan, atau air PAM, di perkotaan di Indonesia. Kerjasama

pemerintah swasta yang disebut sebagai PPP ini sebenarnya dapat

dikategorikan ke dalam salah satu varian dari privatisasi, yaitu di mana

Pemerintah mengajak fihak di luar Pemerintah, untuk ikut bersama-sama

menjalankan tugas yang sebelumnya dilaksanakan Pemerintah atau untuk

menjalankan menjalankan tugas yang seharusnya menjadi tugas Pemerintah

(Nugroho & Wrihatnolo, 2008).

Namun demikian, privatisasi acapkali dinilai berlebihan dari berbagai pihak.

Pihak yang mendukung privatisasi berpendapat bahwa privatisasi adalah hal

yang wajar dan bahkan harus, karena Pemerintah semakin tidak mampu

memberikan layanan kepada warganya. Pihak yang menentang privatisasi

berpendapat bahwa privatisasi adalah hal yang di luar kewajaran, bahkan

perlu ditentang, karena Pemerintah tidak pada tempatnya untuk “lari dari

tanggungjawabnya” untuk melayani publik pada sektor-sektor yang

berkenaan dengan kebutuhan dasar, terutama yang dapat dimaknai sebagai

public goods provider. Alasan selanjutnya adalah bahwa pihak swasta yang

diserahi tugas pelayanan publik oleh Pemerintah pada dasarnya cenderung

memperkaya diri sendiri daripada memberikan pelayanan yang lebih baik.

Akibatnya, pelayanan menjadi lebih mahal karena public goods telah

dikomodifikasi atau dijadikan sebagai komoditi bisnis, atau telah menjadi

private goods.

Perdebatan yang menjadi semakin meruncing, apabila mencermati pusat

tren privatisasi. Sebagaimana diketahui, pemahaman privatisasi mulai

54

Page 55: Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Indonesia

menjadi arus-utama dunia sejak kepemimpinan Margareth Thatcher di Inggris

bersamaan dengan kepemimpinan Ronald Reagan di Amerika Serikat.

Kejatuhan rezim sosialis di Uni Soviet dan seluruh sekutunya di Eropa Timur

dan privatisasi bisnis yang masif di Inggris membuat dunia bergerak ke arah

sebuah kepastian baru bahwa neoliberal adalah pilihan terbaik yang tersedia.

Pemahaman tersebut dibakukan oleh Prof. John Williamson dalam sebuah

premis bahwa: “Audiences the world over seem to believe that this signifies a

set of neoliberal policies that have been imposed on hapless countries by the

Washington-based international financial institutions and have led them to

crisis and misery. There are people who cannot utter the term without

foaming at the mouth.”

Pemikiran Williamson mendapatkan respon mendunia pada tahun 1990,

ketika pernyataan akademisnya disampaikan “to refer to the lowest common

denominator of policy advice being addressed by the Washington-based

institutions to Latin American countries as of 1989.”29 Gagasan ini

dikembangkan menjadi serangkaian paket kebijakan yang diadopsi oleh

lembaga-lembaga keuangan dunia, khususnya Dana Moneter Internasional

dan Bank Dunia. Paket kebijakan yang disebut sebagai “Washington

Concensus” adalah :

1. Fiscal discipline

2. A redirection of public expenditure priorities toward fields offering both

high economic returns and the potential to improve income

distribution, such as primary health care, primary education, and

infrastructure

3. Tax reform (to lower marginal rates and broaden the tax base)

4. Interest rate liberalization

5. A competitive exchange rate

6. Trade liberalization

7. Liberalization of inflows of foreign direct investment

8. Privatization

9. Deregulation (to abolish barriers to entry and exit)

10.Secure property rights

29 http://www.cid.harvard.edu/cidtrade/issues/washington.html

55

Page 56: Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Indonesia

Diakui atau tidak, konsep ini menjadi inti pemikiran dari pembuat keputusan

global pada tahun 1990an, tidak terkecuali yang dibawa ke Indonesia

berkenaan dengan privatisasi pelayanan-pelayanan publik. Prof. Joseph

Stiglitz adalah salah satu kritikus utama dari gagasan neo-liberalisasi tanpa

pandang bulu dari Washington Concensus. Buku Stiglizt Globalization and Its

Discontent (2001)30 menjadi sebuah manifesto global gerakan anti-globalisasi

yang dihela serba-privatisasi, yang dilatarbelakangi pemahaman Washington

Concesus. Kegagalan resep IMF mengatasi krisis di Asia pada tahun

1998/1999 dan kegagalan Bank Dunia memastikan hasil baik dari privatisasi

pelayanan publik menghasilkan pandangan baru bahwa Washington

Concensus bukanlah panasea. Williamson pun kemudian, dengan mengutip

kritik kepadanya, mengoreksi Washington Concensus, dengan mengatakan:

Some of the most vociferous of today's critics of what they call the

Washington Consensus, most prominently Joe Stiglitz... do not object

so much to the agenda laid out above as to the neoliberalism that they

interpret the term as implying. I of course never intended my term to

imply policies like capital account liberalization...monetarism, supply-

side economics, or a minimal state (getting the state out of welfare

provision and income redistribution), which I think of as the

quintessentially neoliberal ideas . 31

Bagi Indonesia, terlepas dari Williamson yang menyadari kekurangan dari

gagasan besar Washington Concensus-nya, namun ide tersebut telah

terlanjur mendunia. Indonesia menjadi salah satu bagiannya. Salah satu

pelayanan dasar yang seharusnya diberikan oleh Pemerintah yaitu air minum

perpipaan di perkotaan, sebagian telah diserahkan pengelolaannya kepada

swasta.

Pilihan tersebut, yang biasanya diberi penamaan yang lebih lembut: PPP,

tidak dapat dengan serta merta disalahkan, karena Pemerintah menghadapi

masalah dalam melakukan investasi untuk pelayanan dasar air minum,

30 Joseph Stiglitz, 2001, Globalization and Its Discontent, .....31 http://www.cid.harvard.edu/cidtrade/issues/washington.html

56

Page 57: Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Indonesia

termasuk jika dikaitkan dengan target Millenium Development Goals (MDGs).

Uniknya, meski telah mengundang mitra swasta, hingga tahun belakangan ini

pun Pemerintah masih mengalami kesulitan memastikan bahwa MDGs dalam

air minum tercapai pada tahun 2015. Tantangan yang dihadapi Indonesia

dalam mencapai target MDGs di bidang air minum sangatlah besar.

Informasi yang diperoleh dari BPP SPAM menunjukkan bahwa kondisi air

minum dapat disimak pada tabel berikut.

Tabel 4.1. Target Pencapaian MDGs dan Pendanaan

No. Uraian 2005 2015

1 Cakupan pelayanan, % 41 80

2 Penduduk terlayani, juta 42 90

3 Sambungan Rumah, juta 7,1 15

4 Kapasitas produksi, m3/detik 105 155

5 Investas, Rp 500 Miliar 43Triliun

Sumber: BPP SPAM, 2008.

Dari segi investasi, total investasi yang diperlukan untuk mencapai cakupan

pelayanan dengan standar prestasi MDGs tahun 2015, yaitu 80% penduduk

perkotaan dilayani melalui air perpipaan, adalah Rp 43 trilyun. Sementara,

Pemerintah memprediksi kemampuan investasinya adalah Rp 0,5 trilyun per

tahun. Artinya, jika direntang antara 2005-2015, maka Pemerintah “hanya”

mempunyai kapasitas investasi Rp 5 trilyun, atau 11,6%. Dari tabel di atas

dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat gap yang besar antara kemampuan

Pemerintah dalam penyediaan dana dibandingkan dengan kebutuhan. Tentu

saja, data dari BPPS-PAM ini adalah data berdasarkan perkiraan pemenuhan

kebutuhan air dalam arti kuantitatif.

Disadari atau tidak, arah pikir ini tetap sejajar dengan pemikiran Washington

Concensus, yang oleh inisiatornya sendiri telah dikoreksi, bahwa kebijakan ke

depan adalah mempercepat pelibatan sektor swasta di air minum perpipaan.

Kondisi ini biasanya diperkuat dengan pembuktian inefisiensi dari perusahaan

57

Page 58: Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Indonesia

milik daerah yang menyelenggarakan pelayanan air perpipaan yaitu PDAM.

Banyak disebutkan bahwa PDAM sebagai operator air minum yang

bertanggung jawab terhadap pelayanan air minum kepada masyarakat, jag

menghadapi beberapa masalah yang umum dihadapi, yaitu kualitas air yang

semakin jelek, kualitas pelayanan yang semakin menurun, terutama akibat

krisis moneter 1998 yang menjadi penyebab tertundanya perbaikan dan

perawatan aset. Keadaan ini diperparah oleh adanya inefisiensi operasi dan

keuangan PDAM akibat belum optimalnya penggunaan aset yang dimiliki oleh

PDAM.

Pemikiran yang berkembang adalah bahwa keterlibatan swasta dalam

berperan serta untuk membenahi kinerja PDAM adalah dalam rangka

menjawab tantangan yang disebutkan tadi, yaitu swasta dipandang mampu

mengatasi masalah pendanaan yang tidak bisa disediakan oleh Pemerintah.

Selanjutnya, banyak disebutkan bahwa swasta dapat bekerja lebih efisien,

baik dalam mengoperasikan sistem pelayanan air minum, maupun dalam

mengelola aset agar lebih efektif penggunaannya, sedangkan kepemilikan

aset tetap berada dalam kekuasaan Pemerintah/PDAM.

Pendapat tersebut semakin mengristal ketika membandingkan prestasi

pelayanan pada PDAM yang diswastanisasi dan yang tidak diswastanisasi32.

Kombinasi pernyataan-pernyataan Pemerintah yang pro-privatisasi dan

pembuktian bahwa dalam pelayanan air minum swasta lebih efisien

mengukuhkan keyakinan bahwa privatization is a must.

Di sisi lain, bagi yang kontra terhadap keterlibatan swasta terdapat

kekhawatiran bahwa terlibatnya swasta dalam pengelolaan air minum dapat

berdampak hilangnya kedaulatan rakyat karena aset PDAM akan diambilalih

oleh MNC. Selain itu, juga dianggap bahwa Pemerintah mengalihkan

tanggung jawab yang semestinya menjadi kewajiban Pemerintah untuk

melayani masyarakat akan kebutuhan air minum, kemudian tanggung jawab

ini dilaksanakan oleh swasta. Padahal, belum ada kenyataan yang kongkrit

32 Lihat antara lain hasil riset dari Water Dialog yang dilaksanakanoleh ITB yang membandingkan kinerja pelayanan PAM

yang diswastanisasi di Batam dan yang tidak diswastanisasi di Kabupaten Bogor. Water Dialog, Review for Private Sector Paticipation in Water and Sanitation in Indonesia: A Case-Comparative Study Batam and Bogor, Jakarta: 2009

58

Page 59: Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Indonesia

yang bisa membuktikan bahwa swasta mampu mengelola lebih baik

dibandingkan PDAM. Tambahan lagi, dikhawatirkan bahwa pelayanan oleh

swasta ditujukan terhadap orang kaya, sedangkan golongan berpenghasilan

rendah diabaikan karena hanya mampu membayar dengan tarif yang

disubsidi. Apa lagi karena sifat bisnis air minum adalah monopoli alamiah,

dan apabila dipegang swasta, maka hal ini akan menjurus kepada penerapan

tarif tinggi dan pelayanan hanya terfokus pada penduduk yang mampu

membayar.

Ditengah permasalahan mencari upaya agar pelayanan air minum dapat

meningkat hingga tercapainya target MDGs, kontroversi sekitar PSP seakan

tidak pernah selesai sebagai akibat dari tidak adanya rumusan yang jelas

tentang konsep PSP tersebut. Misalnya, adanya dua pendapat yang

berseberangan dalam menjawab pertanyaan apakah air merupakan barang

publik ataukah barang ekonomi. Di satu sisi ia adalah barang publik karena

merupakan barang yang esensial dalam hidup dan kehidupan manusia, tetapi

di sisi lain ia juga adalah barang ekonomi, karena dengan menganggapnya

sebagai barang ekonomi, maka ini berarti kita mengakui nilai ekonomi dari

air sehingga pengelolaannya dapat terhindar dari penanganan yang tidak

efisien. Dengan demikian, dengan menganggap air sebagai barang ekonomi,

maka pengelolaannya akan menjurus kepada tercapainya efisiensi dan

mendorong konservasi dan perlindungan sumber daya air.

Tentang konsep privatisasi ternyata juga masih belum terklarifikasi dengan

jelas. Jadi, proses privatisasi berlangsung ditengah tidak adanya konsep yang

jelas sehingga arah dan tujuan privatisasipun dengan demikian tidak jelas

pula. Yang jelas secara empiris kelihatan bahwa privatisasi adalah

menghilangkan disinsentif ke arah efisiensi dari organisasi publik ke pasar

swasta. Di sini terkandung pengertian bahwa peran Pemerintah akan

berkurang dan peran swasta akan bertambah dalam hal kepemilikan atau

pengelolaan aset. Ada beberapa tekanan atau alasan mengapa suatu negara

melakukan privatisasi. Alasannya (i) secara pragmatis adalah ketika

masyarakat menginginkan pelayanan yang lebih baik, (ii) secara ideologis

ketika terdapat keinginan mengurangi peran pemerintah, (iii) secara

59

Page 60: Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Indonesia

komersial, ketika swasta melihat adanya kesempatan mendapatkan

keuntungan dari melakukan pelayanan kepada publik, dan (iv) populis, ketika

masyarakat melihat privatisasi sebagai cara menuju kondisi masyarakat yang

lebih baik.

Ada beberapa model tentang keterlibatan swasta dalam air minum, dan

dengan beberapa variasi pula, bergantung pada kerangka legal dan kerangka

regulatory, bentuk dari perusahaan dan jenis kontrak yang terjadi. Tetapi

kemudian dalam perkembangannya, bermacam -macam model tersebut

dapat dikelompokkan menjadi dua model. Yang pertama adalah model yang

diterapkan di Inggris dan Wales di mana kepemilikan dan pengelolaan

dilakukan oleh swasta. Kedua, adalah model Prancis di mana kepemilikan

ditangan publik sedangkan swasta hanya melakukan pengelolaan saja.

Perbedaan lainnya adalah di UK dibentuk Ofwat (Office of Water) suatu

badan independen yang mengatur pelayanan air minum kepada publik. Di

Prancis, pengaturan dilakukan oleh Pemerintah Daerah.

Ditinjau dari perdebatan ideologis keterlibatan swasta, butir masalah yang

dijadikan argumen bagi pro privatisasi adalah diseputar yang menyangkut

efisiensi, ketersediaan modal untuk investasi untuk memperbaiki dan

mengganti infrastruktur yang sudah usang, dan penyederhanaan birokrasi

yang apabila dipegang swsata akan menjadi lebih ringkas, tidak berbelit-

belit.

Berseberangan dengan yang telah dikemukakan di muka, pihak yang kontra

terhadap privatisasi menganggap bahwa sebagai kebutuhan dasar manusia,

penyediaan air minum lebih tepat dilakukan oleh pemerintah dan tidak cocok

apabila dilakukan oleh swasta. Kontrak yang dilakukan swasta, menurut

mereka, dapat memberi peluang adanya hidden costs yang sulit dibuktikan

karena terbatasnya informasi. Apalagi mengingat bahwa pelayanan ini

bersifat monopoli sehingga peluang untuk menaikkan harga menjadi terbuka

lebar. Monopoli swasta akan meningkatkan beban biaya dan mengabaikan

kesehatan publik. Pelayanan hanya mengutamakan pelanggan kaya yang

mampu membayar, sehingga pelayanan bagi masyarakat miskin terabaikan.

60

Page 61: Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Indonesia

Selain itu, tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa swasta lebih mampu

melayani publik; justru sebaliknya yang terjadi, swasta tidak memiliki track

record yang menunjukkan bahwa mereka berhasil.

Dari fakta empiris di lapangan, pada kurun waktu 1990-2006 terdapat 524

proyek keterlibatan swasta di sektor air minum di58 negara, terbanyak

adalah jenis konsesi. Namun dalam lima tahun terakhir, antara 2003-2007,

keterlibatan swasta lebih banyak dilakukan dalam greenfield project.

61

Page 62: Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Indonesia

Perkembangan yang menarik berlangsung pada kurun waktu 2001-2004, di

mana pihak swasta melakukan rasionalisasi dalam menjalankan operasinya

hanya untuk wilayah-wilayah tertentu saja. Salah satunya adalah RWE

Thames yang menarik diri dari Jakarta dan hanya fokus pada bisnisnya di

Eropah Tengah dan Eropa Timur. Thames PAM Jaya dijual kepada Acuatico,

perusahaan Singapura yang sebagian besar sahamnya dimiliki Kelompok

Recapital dari Indonesia. Demikian juga Suez menarik diri dari Asia dan

Amerika Latin. Di Jakarta, Suez menjual sebagian sahamnya kepada

konsorsium Grup Astratel, anak perusahaan Astra International Tbk, dan Citi

Group. Mayoritas dari pembeli adalah berbasis lokal. Salah satu alasan kunci

mengapa mereka menarik diri adalah negara berkembang seperti Indonesia

tidak bisa menjamin tingkat pengembalian (rate of return) yang dibutuhkan

oleh international equity capital. Hasil studi Bank Dunia menunjukkan bahwa

tingkat pengembalian investasi infrastruktur jatuh turun pada tingkat

pengembalian cost of capital

i

62

Page 63: Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Indonesia

Meski keterlibatan swasta meningkat, namun penyediaan air minum oleh

swasta sebenarnya jumlahnya kecil; dari seluruh penduduk dunia yang

berjumla 6 milyar orang, hanya 5% yang dilayani oleh swasta. Kota-kota

besar yang berpendapatan kecil atau menengah penyediaannya masih

didominasi oleh sektor publik. Menarik juga mengetahui Belanda yang

seluruh penyediaan air minum dilayani oleh sektor publik, namun merupakan

salah satu negara yang mendorong keterlibatan swasta dalam penyediaan air

minum terutama di negara-negara berkembang, tidak terkecuali Indonesia.

Meski privatisasi sudah berlangsung sejak 1990-an, studi yang terkait dengan

keterlibatan swasta menyimpulkan hasil yang beragam. Beberapa

diantaranya adalah sebagai berikut:

Ditinjau dari sisi harga ada yang menyimpulkan bahwa utilitas swasta

memiliki biaya yang lebih rendah dibanding perusahaan publik. Namn

studi dengan fokus yang sama oleh peneliti lain menyimplkan bahwa

tidak ada perbedaan antara publik dan swasta, malah utilitas publik

memiliki biaya yang lebih rendah.

Studi lain menunjukkan bahwa air yang didistribusikan oleh swasta 27

% lebih mahal daripada yang disediakan oleh publik.

Ada juga studi yang mengukur kesuksesan atau kegagalan swasta

dalam penyediaan air minum di Amerika Latin. Kegagalan di Venezuela

disebabkan kurangnya pemahaman tentang privatisasi sehingga

menghasilkan kebijakan yang kurang sesuai. Selain itu sektor publik

tidak mempunyai kapabilitas memadai untuk mengawasi swasta,

sehingga ketentuan dalam kontrak yang seharusnya dilaksanakan oleh

swasta tidak terpantau dan tidak terawasi dengan ketat. Sebaliknya di

Chile, peran serta swasta berhasil karena adanya penerapan standar

baku dan badan regulasi independen.

Studi terhadap kasus privatisasi Meksiko menunjukkan dua hal yang

signifikan; pertama keterlibatan swasta meningkatkan efisiensi dan

akses; kedua, aspek keberlanjutan kurang mendapat perhatian.

Studi tentang privatisasi di Jakarta menunjukkan tidak adanya

perbaikan pada tingkat pelayanan setelah 2 tahun kerjasama.. Meski

63

Page 64: Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Indonesia

beberapa studi menunjukkan swasta lebih efisien, tetapi pada

kesimpulannya ternyata tidak banyak perbedaan antara efisiensi yang

dicapai swasta dibandingkan dengan perusahaan publik.

Akhirnya dapat disimpulkan bahwa keterlibatan swasta di Jakarta

bukanlah karena kesulitan keuangan untuk investasi dan bukan pula

karena inefisiensi, tetapi hal ini terjadi karena adanya tekanan dari

lembaga finansial internasional yang mengakibatkan ruang gerak

penyusun kebijakan nasional menjadi sempit. Hal senada juga

terungkap di Afrika: karena adanya tekanan yang bersifat finansial, 30

negara di Afrika memutuskan untuk mengundang swasta untuk

mengoperasikan pelayanan infrastruktur air minum.

PSP sering dikaitkan dengan penanggulangan kemiskinan dengan

argumentasi bahwa dengan adanya investasi, maka akan terjadi peningkatan

kualitas pelayanan dan cakupan pelayanan, dengan demikian pelayanan

akan menjadi lebih baik. Sebagai konsekuensinya, masyarakat miskin akan

ikut menikmati pelayanan air minum. Namun yang terjadi adalah, dengan

adanya investasi, maka biaya penyambungan akan semakin tinggi, tarif air

minum akan dirasionalisasi ke angka keekonomian, artinya tarif akan

semakin tinggi sehingga tidak lagi terjangkau oleh masyarakat miskin. Belum

lagi apabila ada biaya tambahan akibat peningkatan kualitas pelayanan. Ini

berarti, meski pengelolaan air minum dilakukan oleh swasta, masyarakat

miskin tetap perlu dilindungi melalui subsidi oleh pemerintah.

Mengenai pembiayaan air minum dan kaitannya dengan PSP, dapat ditarik

kesimpulan bahwa besarnya kebutuhan dana untuk mencapai target MDGs

membuat orang berkesimpulan bahwa dengan terbatasnya dana yang ada

pada pemerintah, maka swasta akan dapat mengisi kesenjangan (gap) dalam

hal pendanaan. Selain itu, diyakini bahwa dengan dipegang oleh swasta

maka efisiensi pengelolaan air minum akan dapat ditingkatkan. Tetapi ada

pendapat lain yang sama sekali bertentangan dengan apa yang dinyatakan di

atas. Hall dan Lobina (2006) berpendapat bahwa sebagaian besar kontrak

manajemen dan lease tidak melibatkan badan usaha swasta sama sekali

dalam memperluas jaringan dan penyambungan baru. Jikapun ada komitmen

64

Page 65: Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Indonesia

untuk melakukan investasi untuk memperluas jaringan, hal ini atau sering

kali berubah, atau dibatalkan sama sekali, atau malah tidak mencapai target.

Sampai di sini, dengan melihat pro dan kontra privatisasi yang dipaparkan,

pertanyaanya adalah : apakah kita akan memilih rejim privatisasi atau non-

privatisasi ? Buku ini menggambarkan bahwa pilihannya lebih dari sekedar

pro atau kontra. Pembelajaran lah yang perlu untuk diambil sebagai

simpulan. Pembejaran yang paling pokok adalah bagaimana memahami

prinsip right to water dengan baik.

Pemahaman bahwa hak untuk air (right to water), terutama air minum

perpipaan yang sebagian besar terdapat pada kawasan urban, adalah hak

dari rakyat sebagai warganegara yang harus dipenuhi oleh Negara. Melalui

UU No. 11 Tahun 2005 Indonesia telah meratifikasi kovenan internasional

tentang hak ekonomi, sosial dan budaya, yang termasuk di dalamnya

menghormati, melindungi dan memenuhi hak atas air. Selanjutnya, pada

pasal 5 UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air disebutkan bahwa

negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan

pokok minimal sehari-hari guna memenuhi kehidupannya yang sehat, bersih

dan produktif, yang berarti jaminan atas right to water. Ditambahkan pada

pasal 6 UU No. 7/2004 bahwa sumberdaya air dikuasai oleh negara dan

dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, yang

mempertegas prinsip water right untuk rakyat.

Permasalahannya adalah adalah bagaimana Pemerintah memahami water

right dari sisi sebagai penyedia hak atas air. Hak atas air berada pada muara

dari tata kelola air. Di belakangnya terdapat hak atas terdapatnya

pengelolaan lembaga penyedia layanan air yang baik, selanjutnya di

belakangnya terdapat hak atas terdapatnya pengelolaan sumber air baku

yang baik, dan di belakangnya terdapat hak atas terdapatnya pengelolaan

atas kawasan sumberdaya air yang baik. Di depan hak atas air yang berarti

hak atas ketersediaan air yang baik terdapat hak atas adanya pengelolaan

sistem sanitasi dan limbah air yang baik. Pemahaman tata kelola hak atas air

dapat digambarkan sebagai berikut.

65

Page 66: Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Indonesia

Gambar 4.1. Hak Atas Air

Hak atas terdapatnya pengelolaan atas

sumberdaya air yang baik

Hak atas terdapatnya pengelolaan atas air baku

yang baik

Hak atas terdapatnya lembaga penyedia layanan air (perpipaan) yang baik

Hak atas ketersedian air yang baik

Hak atas ketersedian penyediaan sistem sanitasi

dan limbah yang baik

Right to water (hulu)

Right to water (hilir)

Ketersediaan air mimum perpipaan tidak ada dengan sendirinya, melainkan

tergantung kepada fakta adakah lembaga pemberi layanan air perpipaan

yang baik. Isu ini mengena kepada adakah PDAM telah memberikan layanan

yang baik. Sejauh kata dibawa, hingga hari ini simpulannya adalah sebagian

besar PDAM tidak mampu memberikan layanan yang baik. Diperkirakan

kurang dari 10% PDAM yang sehat secara keuangan, kemudian mampu

melayani dengan baik karena mempunyai manajemen yang baik.

Pertimbangan yang seringkali diberikan pada saat ini jika PDAM tidak perform

adalah hutangnya banyak dan manajemen tidak profesional. Pahadal,

masalahnya tidak di situ.

Penyebab pertama pelayanan PDAM tidak baik sebelum manajemen yang

buruk adalah keuangan yang buruk. Total hutang PDAM sekitar Rp 5 trilyun,

dengan pengutang terbesar adalam PDAM DKI Jakarta dengan total pinjaman

66

Page 67: Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Indonesia

kepada Pemerintah Pusat pada tahun 2009 sekitar Rp 1,2 trilyun, dan hutang

kepada mitra swasta diperkirakan sekitar Rp 700 milyar. Mengapa hutang

PDAM begitu besar? Karena Pemerintah tidak bersedia melakukan public

investment untuk membangun infrastruktur penyedia layanan air minum

perpipaan. Sebagai contoh, di Jakarta, seluruh investasi untuk instalasi

penjernihan air, jaringan pipa primer, dan jaringan pipa sekunder dibebankan

kepada PDAM, yang berarti dibebankan kepada tarif, yang berarti dibebankan

kepada masyarakat. Pada sejumlah negara, seperti di Australia, Malaysia,

Singapura, Hongkong, Spanyol, dan Prancis, negara melalui Pemerintah

Daerah melakukan investasi infrastruktur publik untuk sarana air minum

perpipaan, paling tidak pada instalasi penjernihan air. Ini merupakan bukti

implementasi pemahaman bahwa penyediaan air adalah tugas dan tanggung

jawab pemerintah. Dengan demikian, operator penyediaan air perpipaan,

baik perusahaan daerah ataupun swasta, hanya menanggung biaya

operasional, yang termasuk di dalamnya sambungan tersier, yaitu

sambungan ke perumahan. Tarif air perpipaan menjadi efisien. Tidak perlu

dilakukan setiap tahun. Dan tidak membebani operatornya, siapa pun

operatornya. Ketidaksediaan untuk menanggung investasi publik dengan

berbagai alasan, adalah bentuk nyata upaya untuk berkelit dari tugas dan

tanggung jawab. Di mana pun PDAM, tidak akan mampu melakukan self-

financing jika biaya infrastruktur publik dimasukkan, karena memang khittah

dari infrastruktur publik adalah high-investment and low return. Karena itu

lah para cerdik dan bijak meletakkan keharusan membangun pelayanan

publik menjadi tugas negara, karena negara telah memungut pajak, dan hak

atas pelayanan yang baik ada di dalam setiap pajak yang dibayarkan

warganegara.

Pertimbangan lain, investasi untuk infrastruktur publik tidak akan pernah

terkejar dari sisi harga atau tarif. Terlebih, jika tidak diberikan tarif yang

tinggi. Di Indonesia air PAM bukan saja sekedar public goods, melainkan juga

political goods. Para pimpinan daerah sejak dibentuknya PDAM memilih untuk

menjaga agar tarif air PAM tetap rendah agar mendapatkan popularitas dan

dukungan publik yang berkesinambungan. Di sisi lain, investasi dibebankan

kepada PDAM. Ditambah dengan manajemen yang kurang baik, maka

67

Page 68: Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Indonesia

lengkaplah proses self-defeating PDAM. Privatisasi adalah penyelesaian yang

tidak kalah buruk. Sebagai contoh, di Jakarta biaya investasi atau capital

expenditure (capex) dari mitra swasta senantiasa naik dari tahun ke tahun.

Bersamaan dengan itu, tarif didesak untuk naik. Karena sudah swasta, maka

Pemerintah “terpaksa” membuat mekanisme agar tarif dapat naik terus.

Bahkan, selama tiga tahun (2004-2007) terdapat kebijakan penyesuaian tarif

otomatis yang dapat dilaksanakan setiap semester. Artinya, setiap semester

tarif PAM dapat dinaikkan. Pada kenyataannya, pelayanan tidak dapat

ditingkatkan secara signifikan sesuai dengan investasi yang ditanamkan. Ada

pertimbangan, investasinya tidak efektif. Namun, kenyataannya adalah

memang investasi tersebut tidak mudah untuk diskemakan untuk

dikembalikan untuk jangka waktu tertentu. Yang terjadi adalah investasi

kemudian tarif naik, bukan untuk kebutuhan return on investment, tetapi

untuk kebutuhan menutup investasi itu. Karena investasinya tidak dapat

ditutup oleh tarif, terkecuali tarif dapat ditetapkan secara arbitrer oleh

operator, yang berarti lonjakan tarif yang luar biasa, dan air PAM makin

absah sebagai komoditi atau private goods.

Solusi instan yang biasanya diambil adalah “subsidi silang”. Ini adalah

“penyakit malas berfikir” yang diidap banyak pengambil kebijakan. Subsidi

silang artinya, kelompok kaya membayar sangat mahal, kelompok miskin

membayar murah. Ada tiga komplikasi yang mengikutinya. Pertama,

kejengkelan (yang pasti tidak diungkap) oleh kelompok kaya, bahwa mereka

sudah dikenai pajak yang tinggi karena kaya, masih harus mensubsidi orang

miskin. Kalau memberikan derma, hal itu dapat diterima. Namun, mensubsidi

orang miskin adalah tugas Pemerintah yang sudah menerima pajak.

Terkecuali, tidak ada pajak, maka orang kaya harus berbagi kekayaan

dengan orang miskin. Pajak adalah mekanisme share of wealth yang sah,

legal, dan rasional. Ke dua, kelompok miskin juga melakukan kejahatan

publik. Rata-rata pelanggan rumah tangga non-subsidi di Jakarta

mengkonsumsi 30 meter kubik per bulan. Sementara itu, rumah tangga

disubsidi mengonsumsi sampai 40 meter kubik per bulan. Karena harganya

murah, ada kecenderungan menggunaan air dengan boros. Subsidi seperti

memasukkan koin ke kantung celana berlubang. Kontribusi yang relatif sia-

68

Page 69: Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Indonesia

sia. Ke tiga, karena pelanggan kaya memberikan pendapatan terbaik, maka

operator PAM, entah swasta atau PDAM, cenderung mengutamakan

pelanggan kaya daripada miskin.

Sementara itu, jika Pemerintah mematok harga tanpa mau berinvestasi di

infrastruktur dasar, maka sepatutnya Pemerintah yang memberikan subsidi

melalui pola public service obligation. Jadi, tarif dapat dipatok wajar, tetapi

Pemerintah membayar kekurangan bayar dari kelompok masyarakat miskin

yang tidak mampu menjangkau tarif yang “wajar” tersebut. Hingga hari ini,

tidak satu pun Pemda yang bersedia mengalokasikan sebagian APBD-nya

untuk membayar subsidi dalam bentuk PSO ini.

Pembelajaran pertama : Pemerintah Indonesia masih memahami air bukan

sebagai public goods yang harus disediakan oleh negara, baik secara

langsung atau pun tidak langsung. Baik dari sisi ketidaksediaan melakukan

investasi pada infrasruktur dasar maupun ketidaksediaan membiayai subsidi

untuk orang miskin melalui mekanisme yang wajar, yaitu PSO.

Mundur ke belakang, adalah hak atas terdapatnya pengelolaan sumber air

baku yang baik. Dengan alasan keterbatasan dana, maka Perum Jasa Tirta,

pengelola bendungan-bendungan di Indonesia, terutama di Jawa mempunyai

kendala untuk mendapatkan pembiayaan yang memadai. Sumber di BUMN

pengelola bendungan pernah mengemukakan, “Kami tidak pernah

mendapatkan cukup anggaran. Bahkan untuk biaya pemeliharaan jaringan

pun kami tidak mendapatkan dana yang mencukupi”. Pembiayaan terbatas

untuk pengelolaan air baku diperburuk dengan rendahnya kualitas kebijakan

yang mengatur kewajiban industri untuk menjaga agar limbahnya tidak

mencemari air. Tarum Barat, yang mengalir dari Bendung Jatiluhur ke Jakarta,

tercemar oleh tiga sungai di Bekasi, dengan sungai yang paling berat

pencemarannya adalah Kali Bekasi. Dengan demikian, pengelola air PAM di

Jakarta terpaksa mempergunakan bahan kimia lebih banyak dari kondisi

wajar air Tarum Barat sebelum masuk ke Jakarta.

69

Page 70: Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Indonesia

Trie M. Sunaryo, dari Kemitraan Air Indonesia, dalam “Sistem Pembiayaan

Pengelolaan SDA WS Brantas” melakukan kajian tentang Perum Jasa Tirta I

yang mengelola wilayah Sungai Brantas33. Disampaikan bahwa wilayah

Sungai Brantas mempunyai luas tangkapan hujan 11.800 km2 (25% Jawa

Timur), Penduduk  18 juta (43% Jawa Timur), Curah hujan 2,000 mm/ th,

Potensi air 12 milyar m3/th, Panjang sungai  320 km, dengan tata guna lahan

: sawah 26.5 %, tegalan 22.5 %, tanaman 4.0 %, hutan 26.4 %, hunian 19.4

%, lain-lain 1.2 %. Investasi bagi bendungan Brantas menelan nvestasi Rp.

7,38 trilyun untuk pengembangan SDA antara lain membangun Waduk 8

(delapan) buah untuk memasok air baku (irigasi, industri, rumah tangga),

PLTA, pengendalian banjir. Manfaat pengembangan SDA Brantas meliputi

pengendalian banjir untuk skala periode 50 tahunan, pasokan air irigasi untuk

33Sumber : http://www.inawater.org/index.php?option=com_content&task=view&id=59&Itemid=70

70

Page 71: Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Indonesia

345,000 ha sebesar 2,400 juta m3/tahun, energi listrik 1,200 juta kWh/th, air

baku untuk industri & air minum 350 juta m3/th.

Dikemukakan oleh Sunaryo, bahwa sebelum 1990 semua pembiayaan

pengelolaan SDA wilayah sungai Brantas didanai dari Pemerintah 100 %

tanpa ada kontribusi dari pemanfaat, bahkan yang komersialpun gratis

mendapatkan air. Pada 1990 Pemerintah membentuk Perum Jasa Tirta untuk

menerapkan Konsep dasar Pemerintah mengenai sistem pembiayaan

pengelolaan SDA wilayah sungai Brantas pertama untuk layanan penyediaan

air baku komersial (industri, air minum, energi listrik), pemanfaat

berkewajiban membayar jasa pengelolaan SDA berupa iuran Operasi &

Pemeliharaan sarana dan prasarana terkait yang ditetapkan Pemerintah

kepada Perum Jasa Tirta, untuk layanan publik (pengendalian banjir,

pengendalian kualitas, penyediaan air baku untuk kebutuhan dasar

kehidupan sehari-hari) dan penyediaan air irigasi, Pemerintah menyediakan

dana jasa pengelolaan SDA berupa dana Operasi & Pemeliharaan sarana dan

prasarana tekait untuk layanan publik (Public Service Obligation / PSO)

kepada Perum Jasa Tirta, dan untuk pembangunan prasarana SDA didanai

Pemerintah dan dilaksanakan sendiri oleh Pemerintah.

Menurut Sunaryo, sampai dengan tahun 2007 konsep tersebut berhasil

diterapkan dengan catatan sebagai berikut. Pertama, pemanfaat komersial

(industri, air minum, energi listrik) telah membayar jasa pengelolaan SDA

berupa iuran Operasi & Pemeliharaan sarana dan prasarana terkait sesuai

tarip yang ditetapkan Pemerintah, dengan tarif yang ditetapkan Pemerintah

belum sepenuhnya cost recovery, mengingat penerapannya secara bertahap

dan dengan pertimbangan bahwa di wilayah sungai yang lain masih belum

diterapkan iuran serupa. Ke dua, Pemerintah telah memberikan PSO (Public

Service Obligation) kepada Perum Jasa Tirta sebagai kewajiban Pemerintah

dalam pelayanan publik yang dilaksanakan oleh Perum Jasa Tirta. Ke tiga,

besaran dana PSO belum memadai dibandingkan dengan pengeluaran Perum

Jasa Tirta untuk melaksanakan kewajiban Pemerintah dalam pelayanan

publik. Ke empat, Pemerintah telah membangun secara bertahap prasarana

SDA untuk melengkapi pengembangan SDA di wilayah sungai Brantas

71

Page 72: Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Indonesia

dengan membentuk lembaga yang melaksanakan pembangunan. Ke lima,

akibat kondisi tersebut di atas, maka kinerja Perum Jasa Tirta dalam Operasi

& Pemeliharaan Sarana dan Prasarana SDA WS Brantas tidak optimal, seperti

tampak pada tabel berikut ini :

72

Page 73: Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Indonesia

UraianTahun

1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998

 Pendapatan dari iuran (Milyar Rp.) 9.04 10.26 11.52 16.34 17.72 19.06 21.64

 Biaya O&P (Milyar Rp.)  21.70 22.80 29.10 30.60 38.70 41.40 43.10

 Derajat Ketersediaan Dana O&P

(%)41.65 44.98 39.59 53.38 45.78 46.03 50.20

UraianTahun

 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005

 Pendapatan dari iuran (Milyar Rp.)  26.99 28.62 29.08 32.97 38.57 45.40 55.71

 Biaya O&P (Milyar Rp.) 84.1 86.1 95.1 104.4 115.1 130.6 139.1

 Derajat Ketersediaan Dana O&P

(%)32.09 33.24 30.58 31.58 33.50 34.76 40.07

Pada tahun 2006, Jasa Tirta I mengajukan PSO melalui APBN-P sebesar Rp 37

miliar. Pada saat diajukan pun, sebagaimana dikemukakan pihak Jasa Tirta

sendiri, kemungkinan besar dana PSO yang disetujui hanya sekitar Rp 5

miliar 34. Simpulannya, pengelola pelayanan sumber air baku tetap dibebani

tugas-tugas operasional yang maksimal dengan anggaran lebih dari yang

tersedia.

34 http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=152902

73

Page 74: Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Indonesia

Pembelajaran ke tiga, hak atas

terdapatnya pengelolaan atas

kawasan sumberdaya air yang baik.

Pertanyaannya adakah Pemerintah

telah mampu menjaga kawasan

hutang di hulu sungai yang

berfungsi sebagai resapan air,

untuk kemudian muncul sebagai

sumber air sungai. Limbah

kebijakan lingkungan hidup berupa

kebijakan pembangunan ekonomi,

industri, dan otonomi daerah yang

tidak align dengan pembangunan lingkungan menjadikan Indonesia sebagai

negara penghancur hutan tercepat di dunia, dengan kecepatan 1,871 juta

hektar lahan hutan per tahun. Kawasan hulu sungai menjadi salah satu

kawasan yang paling terancam kepunahan. UU SDA belum bisa berjalan

sebagai pelindung hak atas terjaminnya kelestarian kawasan hulu sungai.

Mungkin, beberapa tahun kemudian akan dapat dilaksanakan. Tetapi, hutan-

hutan tersebut telah hilang. Penghutanan kembali dan menjadikan kawasan

tersebut sebagai kawasan resapan utama memerlukan waktu sekitar 50

tahun.

Hak atas air juga berkenaan

dengan hak atas adanya

pengelolaan sistem sanitasi

dan limbah air yang baik.

Kawasan perkotaan

Indonesia dengan perlahan

dan pasti melakukan

kesalahan yang sama:

menjadikan sungai sebagai

tempat sampah raksasa,

baik sampah rumah tangga

74

Page 75: Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Indonesia

maupun industri. Pelakunya mulai dari

masyarakat kelompok bawah hingga industri

raksasa. Jakarta bahkan “dikutuk” oleh tiga

belas sungai yang mengalirinya. Kutukan itu

adalah tidak ada satu sungai pun yang layak

untuk diolah menjadi air baku. Tingkat

pencemaran sudah berada pada tingkat yang

paling parah untuk dapat diolah kembali.

Sementara itu proposal dari Badan Regulator

PAM Jaya untuk membangun Deep Tunnel

ditolak oleh Pemerintah. Program revitalisasi Kali Besar yang diajukan oleh

ahli lingkungan hidup, Dr. Firdaus Ali dari Universitas Indonesia, diterima,

tetapi terkendala entah di mana, sehingga implementasinya tidak kunjung

merealita.

Simpulannya adalah privatisasi atau bukan privatisasi adalah sebuah

pertanyaan yang hakiki. Permasalahan pokoknya adalah bagaimana

Pemerintah menilai pelayanan air PAM atau perpipaan. Air minum perpipaan

adalah infrastruktur publik yang menjadi kewajiban Pemerintah untuk

memenuhi. Pembangunan instalasi penjernihan air dan infrastruktur primer

adalah investasi yang non-returanble-investment. Investasi yang diperlukan

lebih dari rata-rata kemampuan-bayar-tarif dari publik. Pengalaman Jakarta,

investasi pembangunan IPA PAM Jaya yang dibiayai dari hutang two-step loan

Bank Dunia, pada akhirnya tidak mampu dibayar, dan mengakibatkan pada

saat ini PAM Jaya berbeban hutang Rp 1,5 trilyun kepada Pemerintah Pusat.

Permasalahannya adalah tidak “setiap saat” tarif PAM dapat dinaikkan. Pada

kondisi ekonomi normal, upaya penaikan tarif dapat menciptakan keresahan

sosial, terlebih dalam situasi ekonomi yang berat. Pada saat ini, PAM Jaya

telah di”privatisasi” dalam bentuk konsesi selama 25 tahun. Investasi

terbesar memang telah dilakukan oleh PAM Jaya, sehingga mitra swasta tidak

perlu lagi mengeluarkan biaya raksasa. Namun demikian, umber di Badan

Regulator PAM, meragukan biaya investasi atau capital expenditure yang

dikeluarkan setiap tahun dapat memberikan kontribusi tambahan

pendapatan lebih besar, atau paling tidak, sama dengan pengeluaran untuk

75

Page 76: Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Indonesia

investasi. Bahkan, investasi yang besar ternyata tidak memberikan

peningkatan pelayanan sebagaimana diharapkan. Data berikut ini

menunjukkan bahwa mitra swasta ternyata semakin jauh dari

kemampuannya memenuhi janji sesuai target, sehingga melakukan proses

penyesuaian target yang semakin jauh dari target awal.

76

Page 77: Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Indonesia

No. Tahun

Target (awal)

Target (re-

basing 1)

Target (re-

basing 2)

Capaian (riil)

1 1998 58,35 % 61,17 %2 1999 54,79 % 57,94 %3 2000 48,51 % 50,94 %4 2001 47,15 % 50,78 %5 2002 45,38 % 47,75 %6 2003 43,50 % 44,65 % 45,26 %7 2004 41,63 % 45,34 % 47,81 %8 2005 39,76 % 41,75 % 50,36 %9 2006 37,89 % 39,86 % 51,17 %10 2007 36,02 % 37,99 % 51,01 %11 2008 35,06 % 36,92 % 48,25 % 50,20 %12 2009 34,11 % 35,56 % 47,15 % 46,78 %*13 2010 33,15 % 34,18 % 46,05 %14 2011 32,19 % 32,77 % 44,52 %15 2012 31,23 % 31,21 % 43,25 %16 2013 30,28 % 30,00 % 41,62 %17 2014 29,32 % 28,68 % 40,00 %18 2015 28,36 % 28,05 % 38,37 %19 2016 27,40 % 27,29 % 37,00 %20 2017 26,45 % 27,01 % 35,62 %21 2018 25,93 % 26,74 % 34,44 %22 2019 25,41 % 26,50 % 33,37 %23 2020 24,89 % 26,24 % 32,24 %24 2021 24,37 % 26,30 % 31,14 %25 2022 23,85 % 26,29 % 29,93 %

* data hingga Februari 2009

Sumber : Irzal Z. Djamal, dkk, Penurunan Kehilangan Air: Pengalaman Jakarta Setelah Kerjasama Pelayanan Air Minum PAM Pemerintah-Swasta 1998-2008, Jakarta: BR PAM, 2009

Dari tabel di atas pun kita dapat menyimak, bahwa kerjasama dengan swasta

tidak menjamin Jakarta dapat mencapai target Millenium Development Goals

di air minum perpipaan di perkotaan pada tahun 2015, sebagaimana

ditargetkan. Achmad Lanti dkk., dalam Sepuluh Tahun Kerjasama Kemitraan

Pemerintah-Swasta Air Minum di DKI Jakarta 1998-2008 (2008)

mengemukakan bahwa dalam kaitannya dengan kualitas air, berbeda dengan

kondisi di negara – negara yang lebih maju, di Indonesia, air yang keluar dari

keran tidak bisa langsung diminum, mesti direbus terlebih dulu agar layak

diminum. Dari sudut pandang pemanfaatan energi, kondisi ini sebenarnya

jauh dari efisien, karena masyarakat Jakarta harus untuk memasak air PAM

tersebih dahulu sebelum dikonsumsi. Meski belum ada penelitian tentang

kebutuhan energi untuk memasak di jakarta, tetapi diperkirakan konsumsi

77

Page 78: Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Indonesia

energi yang diperlukan untuk memasak air saja sudah sangat besar. Kondisi

pelayanan pun masih mencemaskan. Pada Januari 2009, dilaporkan terdapat

64.500 pelanggan yang tidak mendapatkan air karena kurangnya tekanan

(no water), dari 141.000 pelanggan yang tidak mengkonsumsi air (zero

consumption). Sebagian besar pelanggan tersebut dilaporkan terus ditagih

atas biaya air yang tidak mereka terima.

Berkenaan dengan tarif, pada penelitian daya bayar masyarakat (affordability

survey) akan air PAM di Jakarta yang dilakukan konsultan independen pada

bulan Nopember-Desember 2008 menemukan bahwa tingkat tarif rata-rata di

DKI Jakarta telah masuk ke pada kategori saturated, atau terlalu tinggi untuk

dinaikkan lagi. Kondisi ini terutama pada kelompok pensubsidi, yaitu

kelompok III B hingga kelompok khusus. Bahkan, menurut Departemen PU,

tarif rata-rata PAM Jakarta relatif lebih tinggi dibanding kota-kota besar di

Asia Tenggara, di antaranya Bangkok, Manila, Kuala Lumpur Johor Baru, dan

Singapura (Achmad Lanti, 2008, dkk). Dibanding kota-kota lain di Indonesia,

dapat dipastikan tarif Jakarta adalah yang tertinggi. Ditengarai tingginya

harga air bersih per unit ini disebabkan oleh proses provision, produksi dan

delivery air bersih masih di bawah tingkat efisiensi yang diperlukan.

Inefisiensi tersebut dibebankan pada konsumen. Dengan demikian, ternyata

mengundang swasta sebagai pengelola pelayanan PAM belum menjadi

jaminan pelayanan menjadi baik sebagaimana diharapkan. Pada kasus

seperti di Australia, Pemerintah Melbuorne menunjuk sebuah otorita untuk

mengelola pelayanan PAM. Otorita tersebut semacam badan di bawah

Pemerintah, dan bukan swasta. Namun demikian, pelayanan yang diterima

masyarakat dapat dikatakan memuaskan. Di Singapura, Pemerintah

mendirikan badan otorita yang sama untuk mengelola air minum, dengan

hasil yang memuaskan. Kuala Lumpur dan Johor Baru memilih untuk

menyerahkan penguasaan dan pengelolaan air PAM kepada perusahaan

patungan, antara perusahaan milik daerah dengan perusahaan swasta

domestik, dengan hasil yang memuaskan.

Pertanyaannya adalah, bagaimana jika Pemerintah sudah terlanjur

membebankan kepada “pihak lain”, sehingga biaya tarif menjadi di atas

78

Page 79: Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Indonesia

kewajaran. Jawabannya tinggal satu: bentuk Public Service Obligation atau

PSO. Mengapa, karena Pemerintah memberikan penugasan yang menjadi

tugasnya kepada pihak lain. Kekurangan-biaya ini harus ditanggung pemberi

tugas, yaitu Pemerintah. PSO menjadi lebih rumit, jika Pemerintah

menyerahkan penugasan tersebut kepada swasta, karena secara anggaran,

swasta tidak berhak menerima uang Pemerintah yang berasal dari pajak.

Logikanya, sebagai konsekuensi dari penyerahan kewajiban Pemerintah

kepada swasta, maka jika swasta mengalami masalah dalam pembiayaan

yang wajar, Pemerintah memberikan “subsidi” dalam bentuk PSO.

Pemecahannya adalah bahwa mekanisme PSO harus ditata agar tidak

menyalahi aturan administrasi publik, yaitu hanya dapat diberikan kepada

badan layanan umum atau badan usaha yang dimiliki negara. Satu catatan

kritis adalah, pemberian PSO harus benar-benar dapat

dipertanggungjawabkan, karena swasta sering dengan sangat “cerdas”

menyembunyikan ketidakmampuannya dengan cara memaksa meminta PSO.

Kotak 4.1

Public Service Obligation (PSO)

PSO adalah konsep yang bari berkembang akhir 1990an. Salah satu pemrakarsanya adalah Asian Development Bank (ADB). Tidak sulit sebenarnya untuk memahami PSO. Yang pasti, PSO berbeda dengan subsidi, meski banyak fihak yang mempertukarkannya.

Subsidi adalah peristiwa di mana Pemerintah mengeluarkan dana untuk membiaya pengeluaran dari masyarakat miskin atau tidak mampu. Di masa lalu subsidi untuk produk pelayanan yang non-consumtion disebut subsidi, sebagaimana untuk yang produk yang dikonsumsi (secara habis). Jadi, pada masa lalu ada subsidi pendidikan, subsidi kesehatan, subsidi pupuk, dan subsidi BBM.

Pemahaman terkini adalah bahwa subsidi diberikan hanya kepada produk yang tidak dikonsumsi, atau tidak habis dalam sekali konsumsi. Jadi, subsidi diberikan kepada pelayanan-pelayanan yang diberikan oleh pemerintah dalam bentuk pelayanan jangka panjang. Misalnya, subsidi pendidikan, dalam bentuk beasiswa atau tunjangan pendidikan, dan kesehatan, dalam bentuk subsidi untuk pelayanan kesehatan di Puskesmas, subsidi bagi ongkos berobat.

Sementara itu, ada pula kegiatan yang seharusnya dilakukan pemerintah, namun karena alasan-alasan khusus, maka pemerintah tidak menyelenggarakannya. Misalnya penyediaan air bersih. Di masa lalu, pemerintah yang melayani secara langsung penyediaan air bersih, kemudian diserahkan kepada perusahaan daerah –

79

Page 80: Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Indonesia

ada yang diswastakan ada yang tetap PDAM. Dengan demikian, proses penyediaan air minum dikelola melalui proses bisnis, dan bukan proses birokrasi.

Proses bisnis memerlukan satu hal: laba, dalam rangka menjaga kesinambungan usaha. Karena itu, ditetapkan harga jual tertentu, agar perusahaan memperoleh marjin laba. Namun, bagaimana jika terdapat suatu populasi yang tidak mungkin mencapai harga tersebut, padahal mereka memerlukan air bersih? Pemerintah kemudian menetapkan tarif harga jual produk tersebut. Masalahnya, bagaimana jika harga jual tersebut berada dibawah biaya produksi atau operasi? Artinya, ada selisih negatif antara harga jual dengan harga produksi (plus laba). Di sini lah muncul klausul PSO.

Karena pemerintah yang menentukan tarif, maka pemerintah harus menanggung kerugian akibat penetapan tarif tersebut. Jadi, selisih negatif dikalikan dengan volume yang dikonsumsi/terjual kepada kelompok miskin tersebut yang harus dibayar oleh pemerintah. Inilah inti pemahaman PSO.

Bukankah ada subsidi silang dari kelompok kaya? Benar. Tetapi bukanlah tidak fair, jika seluruhnya ditanggung secara subsidi silang? Bukankah kelompok ini juga telah membayar pajak kepada pemerintah, termasuk pajak penggunaan air bersih yang dipergunakanya?

Jadi, PSO adalah bagian dari tanggung-jawab pemerintah atas keputusan publik yang dibuatnya. Apabila keputusan tersebut tidak merugikan proses bisnis, demi kesinambungan pelayanan, maka tidak perlu PSO, namun jika sampai merugikan, baru diperlukan PSO.

Dengan demikian, buku ini hendak diakhiri dengan sebuah kenyataan baru,

bahwa pertanyaannya bukanlah to privatize or not to privatize, melainkan

bagaimana kita menilai pelayanan air minum perpipaan. Pelayanan air

minum perpipaan, terutama di perkotaan, merupakan tugas atau

tanggungjawab Pemerintah. Tanggung jawab tersebut minimal direalisasikan

dalam kesediaan dari Pemerintah untuk menanamkan investasi kepada

infrastruktur dasar pelayanan air minum perpipaan, yang berkenaan dengan

instalasi penjernihan air

dan jaringan primer.

Sisanya diserahkan

kepada operator, apa

pun bentuknya, otorita,

perusahaan daerah,

ataupun swasta. Dengan

demikian, masyarakat

membiayai hanya untuk

investasi jaringan

Pelayanan PAM adalah

tugas/tanggung jawab Pemerintah

Dikelola oleh Pemerintah sendiri

dalam bentuk birokrasi pemerintah

atau otorita

Pemerintah mempunyai

keandalan untuk membangun

infrastruktur, tetapi mempunyai

keterbatasan untuk mengelola

Diserahkan pengelolaan kepada perusahaan daerah atau swasta, atau patungan, atau

konsesi

Pemerintah membangun infrastruktur,

lembaga bisnis sebagai pengelola80

Page 81: Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Indonesia

sekunder dan tersier, dan biaya pemeliharaan. Gagasan yang serta-merta

mendikotomikan kebijakan untuk meprivatisasi atau tidak memprivatisasi

bukan saja gagasan yang keliru, tetapi tidak relevan. Terlebih jika yang

mengarus-utamakan wacana tersebut adalah Pemerintah. Apa pun

alasannya, kebijakan tersebut dapat mengundang kritik bahwa Pemerintah

lari dari tanggung-jawabnya untuk menyediakan kebutuhan dasar bagi publik

setelah menerima pembiayaan dari instrumen fiskal dari negara. Pilihan

bijaksana adalah memastikan bahwa pelayanan PAM adalah tugas dan

tanggung jawab Pemerintah, yang diwujudkan dalam investasi publik di

infrastruktur dasar. Setelahitu pilihan tergantung kemampuan manajemen.

Jika birokrasi mempunyai kecakapan manajerial, dapat dibentuk badan

otorita yang mengelola pelayanan dengan pola seperti bisnis. Namun jika

birokrasi tidak mampu, pilihannya adalah mendirikan perusahaan milik

Pemerintah (Daerah) atau jika perusahaan tersebut tidak mampu, maka baru

kemudian pilihannya mengundang mitra swasta untuk menggandeng

perusahaan milik pemerintah tersebut, baik dalam bentuk konsesi ataupun

patungan. Dengan demikian, privatisasi atau tidak, merupakan secondary

issue dari pelayanan air minum PAM.

--ooo0ooo-

DAFTAR ISTILAH

AD/ART Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga

ADB Asian Development Bank

APBDes Anggaran Pembangunan dan Belanja Desa

ATB PT. Aditia Tirta Batam

BOT Build Operate Transfer

BPABS Badan Pengelola Sarana Air Bersih dan Sanitasi

BPAM Badan Pengelola Air Minum

BPD Badan Perwakilan Desa

BUMN Badan Usaha Milik Negara

CAS Country Assistance Strategy

81

Page 82: Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Indonesia

CBO Community-based Organization

DGIS The Directorate General for International Cooperation, Dutch

Ministry of Foreign Affairs

DSA PT. Dream Sukses Airindo

JKM Jaringan Kesejahteraan/Kesehatan Masyarakat

Keppres Keputusan Presiden

KK Kepala Keluarga

KTDP PT. Karta Tirta Dharma Pangada

LOI Letter of Intent

LSM Lembaga Swadaya Masyarakat

MDGs Millenium Development Goals (MDGs),

MKRI Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

MNC Multinational Corporations

MTI Mitra Tirta Indonesia

Offwat Office of Water Services

P3SW Public-Private Partnership Water Sector

PDAM Perusahaan Daerah Air Minum

PMA Penanaman Modal Asing

PPP Public Private Partnership

PPSAB Panitia Pembangunan Sarana Air Bersih

PRSL Policy Reform Support Loan

PSP Private Sector Participation

REOT Rehabilitasi, Expansi, Operasi, dan Transfer

SAP Structural Adjustment Program

SSWP Small Scale Water Providers

SUSENAS Survei Sosial Ekonomi Nasional

TPJ PT Thames PAM Jaya

UU Undang Undang

WATSAP Water Resources Sector Adjustment Program

WFI Water Fund Indonesia BV

82

Page 83: Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

Indonesia

WDM World Development Movement

WSLIC Water Supply for Low Income Community

DAFTAR PUSTAKA

Bahroelim, Budhi Yonanta. Public-Private Partnerships Non-Profit in Water

Services: Case Studies from Indonesia-Netherland Cooperation, 2007.

Gardiner, Peter dkk. Indonesia Small Scale Water Providers Study. Final

Report. Water and Sanitation Program East Asia Pacific (WSP-EAP),

2007.

Mungkasa, Oswar ed. Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan

di Indonesia. Pembelajaran dari Berbagai Pengalaman. Kelompok Keja

Air Minum dan Penyehatan Lingkungan, Jakarta, 2008.

83