Kerentanan Masyarakat Dan Rapuhnya Konstruksi Politik

download Kerentanan Masyarakat Dan Rapuhnya Konstruksi Politik

of 6

Transcript of Kerentanan Masyarakat Dan Rapuhnya Konstruksi Politik

  • 8/6/2019 Kerentanan Masyarakat Dan Rapuhnya Konstruksi Politik

    1/6

    Kerentanan Masyarakat dan Rapuhnya Sistem PolitikAnalisis atas Kecenderungan Konflik-kekerasan berbasis Identitas

    Arie Sujito1

    Menyaksikan bermacam bentuk konflik dan eskalasi kekerasan yangterjadi di berbagai tempat, makin mempertebal keyakinan bahwakemajemukan struktur masyarakat Indonesia dalam situasi yangcukup rentan. Frekuensi kasus yang kian meningkat, sebagaimanadiperlihatkan dari ekspose media massa, mengenai sengketamaupun pertentangan antar kelompok dengan bermacam akarmasalah maupun pemicunya, serta besaran korban akibat yangmuncul menjadi petunjuk seolah-olah suasana perubahan(reformasi) justru memperpuruk keadaan.

    Tragisnya, konstruksi semacam ini makin menjalar menjadi paham

    awam, yang dilengkapi dengan rangkaian pandangan yang dapatspekulatif bahwa, kesemua itu dianggap erat kaitannya denganpergeseran kekuasaan pasca orde baru. Apalagi, sejumlah episodekonflik dan kekerasan itu berlangsung tidak luput dari momentum,atau event-event politik dan kebijakan, baik itu terkait langsungmaupun tidak. Sebut saja misalnya, maraknya sengketa disertaidestruksi dalam pilkada, pertentangan masyarakat denganpemerintah akibat kebijakan pembangunan yang ditandaipenggusuran, serta reaksi-reaksi negatif atas praktik dramahukum di Indonesia, adalah sejumlah contoh-contoh yang mudah

    ditafsir oleh banyak pihak yang mengkaitkannya dengan urusanpolitik. Benarkah itu akibat reformasi?

    Saya berpandangan, dan sekaligus berposisi, bahwa, konflik dankekerasan itu bukan akibat reformasi. Oleh karena itu, segala gejaladan bentuk konflik dan kekerasan dengan dinamika yangmengitarinya menjadi alat justifikasi secara sepihak denganserangkaian mantra dengan kandungan hasrat, untuk kembali ke

    jaman orde baru. Mengapa demikian? Jika ditimbang-timbangsecara sepintas, neraca dinamik kondisi sosial dan konfigurasipolitik antara era orde baru dengan jaman reformasi, seolah-olah

    orde baru tidak memperlihatkan keadaan konflik dan kekerasandibandingkan jaman reformasi. Tentu saja pandangan itu sangatmenyesatkan. Saya menilai, terlalu distortif jika mengkaitkan secarakausalitas antara makin tingginya derajat konflik dan kekerasanberkorelasi positif dengan reformasi. Artinya, sesungguhnyareformasi bukan menjadi penyebab langsung maraknya konflik,

    1 Sosiolog UGM, Direktur Eksekutif IRE Yogyakarta

    1

  • 8/6/2019 Kerentanan Masyarakat Dan Rapuhnya Konstruksi Politik

    2/6

    bahkan kekerasan yang makin membesar. Namun sebaliknya, justrukarena reformasi yang sementara pihak dinilai gagal itulahmenyebabkan derajat konflik dan kekerasan meningkat, yang besarkemungkinan akibat dari kerentanan kondisi sosial masyarakat

    (struktur dan kultur) akibat masa lalu serta rapuhnya tata politikIndonesia dalam menjalankan fase transisional.

    Apa yang bisa menjelaskan bahwa reformasi yang terseok-seok saatini merupakan dampak masa lalu yang begitu berat untuk bangkit?Kekuasaan otoriterisme orde baru sesungguhnya memiliki selimuttebal penutup konflik dalam pengertian struktural melalui cara-cararepresif agar tidak mencuat ke permukaan. Pada jamannya dikenaltiga praktek politik; depolitisasi, deideologisasi dan floiting mass(Mohtar Pabottingi, 1997), yang dilandasi oleh paham stabilitaspolitik dan pertumbuhan ekonomi (Mohtar Masoed, 1989). Dengancara seperti itu, ruang-ruang ekspresi dan artikulasi sebagai mediainteraksi, baik secara vertikal maupun horisontal tertutup. Keadaantenang dan harmoni jika diperiksa secara seksama, bukandiartikan kenyamanan dan perdamaian dalam arti positif dan riil,tetapi sebentuk hegemoni dan stabilitas palsu karena dibangundengan landasan rasa takut dan kematian aspirasi dari warganya.

    Tak pelak jika kuatnya penguasa dijaman orde baru harus dibayarmahal, yakni hilangnya kebebasan sipil dan terbonsainyamasyarakat. Seolah-olah tidak ada konflik. Padahal konflik, dari cara

    pandang kritis ditafsir tidak sekadar perilaku, namun lebih dari ituadalah konteks struktural atau kondisi ekonomi politik yang ditandaioleh ketimpangan dan kesenjangan sosial, yang berkorelasi dengansikap dan tindakan. (Galtung, dalam Lambang Trijono, 2007). Ordebaru, dalam pengertian konflik semacam ini, jelas berisi konflikterpendam (sifatnya struktural) yang demikian besar dan tidakteraktualisasikan.

    Sementara, keadaan berubah saat mitos orde baru akhirnya runtuhsejak 1998. Reformasi, dengan segala keterbatasan yangdikandungnya, telah menginvestasikan secara besar-besaran

    kebebasan media massa dan liberalisasi politik sebagai prasyaratdemokrasi, yang keduanya telah berhasil membuka selimut tebalmembuat suasana makin komunikatif dan partisipatif. Pesonaperubahan begitu terasa, ketika derajat partisipasi masyarakatmeningkat serta kehendak melepas genggaman kuasa diaras pusatpemerintahan ke lokus daerah melalui desentralisasi dan otonomidaerah yang diintrodusir melalui UU 22/99 yang menghasilkan

    2

  • 8/6/2019 Kerentanan Masyarakat Dan Rapuhnya Konstruksi Politik

    3/6

    ruang dan arena praktek demokrasi lokal makin terbuka lebar .(ArieSujito, 2002). Regulasi itu kemudian diganti dengan UU 32/ 2004.Dalam Konteks itu, daerah menjadi ajang kontestasi politik yangsemakin marak, serta perangkat perubahan terpasang secara

    marak, itulah suatu bentuk kelangsungan fase transisi demokrasidari rute daerah (Sutoro Eko, 2002). Dengan set-up kelembagaandan regulasi semacam itulah, pemilihan dan pergantian kekuasaandi tingkat lokal dimungkinkan menggunakan skema demokrasilangsung. (Nico Kana, 2004), sebagaimana saat ini tengah menjadibagian episode reformasi.

    Terbukanya ruang politik lokal, ekpresi partisipasi, inisiasi, danhasrat berasosiasi meningkat. Tak heran jika urusan identitaskelompok juga mengemuka, dengan sulama dan konstruksi politikidentitas. Arena mutakhir yang terasa begitu nyata adalahkontestasi pemilihan umum, dan juga pemilihan kepala daerah diaras lokal. Jika perspektif ini dikaitkan soal relasi antara kelompok,soal positif dan kecenderungan dampak dan kerawanan juga takterhindarkan.

    Secara konseptual, mengikuti alur desentralisasi dan reformasi,pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung sesungguhnya secaranormatif menjadi skema strategis demokratisasi. Rotasi kekuasaansebelum reformasi yang dipraktekan dengan cara-cara oligarkhisdan elitis yakni hanya oleh DPRD, berdasarkan pengalaman sangat

    rawan terjadinya distorsi, manipulasi, bahkan jelas-jelasmenenggelamkan aspirasi masyarakat luas. Melalui mekanismepilkada langsung oleh masyarakat, diharapkan dan diasumsikan,akan terjadi negosiasi kepentingan serta terbangun ikatan kuatantara calon pemimpin dan yang memilihnya. Jika kontraktualterselenggara dengan baik dalam proses pilkada, maka parapemimpin terpilih dipastikan akan menjalankan tanggungjawabnyakepada mayarakat. Dalam paham ini, desentralisasi dandemokratisasi, diharapkan mampu berpadu dengan produkkebijakan yang lebih berbasis aspirasi rakyat karena kewenanganmakin mendarat di tingkat daerah.

    Sayangnya, proses lima tahun terakhir ini membuktikan bahwa citaideal semacam itu, terbukti meleset. Desentralisasi dan otonomi,serta demokratisasi hanya bergerak pada lintasan formal-prosedural(Demos, 2005). Skema kebijakan politik daerah, karena tidakberlangsung secara baik akhirnya justru menghasilkan karakterdemokrasi oligarkhis, yang secara kental ditandai lahirnya aktor-

    3

  • 8/6/2019 Kerentanan Masyarakat Dan Rapuhnya Konstruksi Politik

    4/6

    aktor politik lokal berwatak dan bergaya bosses, dimana merekaitulah pelaku pembajakan dan membonceng arus perubahan didaerah. Secara pragmatis, para aktor politik lokal bergaya boss itumempengaruhi dinamika masyarakat lalu menyeret politik pada

    tindakan konfliktual, yang tidak jarang menggunakan cara-carakekerasan untuk mencapai kepentingannya dalam pilkada. Darisitulah bisa dicermati betapa proses politik lokal dalam event politikpilkada seringkali diwarnai bermacam sengketa, ketegangan,konflik antar kelompok yang mengarah kekerasan. Kasus Tuban,Sulsel, Maluku Utara, Sampang Madura, Sulawesi Selatan, untukmenyebut beberapa yang aktual, menjadi bagian jejak konfliktualpenyelenggaraan kontestasi politik di arena elektoral. Atas dasaritulah, kita dapat sebut dan nilai bahwa, pilkada akhirnya terperosokpada langgam pragmatis, masih terasa sulit dijadikan sebagai

    mesin rotasi kekuasaan untuk menjalankan demokratisasi lokal.

    Jika ditarik kedalam cara pandang makro, fakta-fakta konflik dankekerasan tersebut kian memudarkan politik sebagai senikekuasaan, dan sebaliknya politik dianggap arena yang syaratdengan manipulasi dan ketegangan. Ketidakpercayaan (distrust)begitu terasa teralamatkan pada institusi-institusi strategsi sepertiparpol dan parlemen, yang dinilai berkontribusi atas kegagalanpenyelenggaraan demokrasi lokal secara damai dan bermartabat.Itu yang menjadi sinyalemen bahwa betapa besarnya biayademokrasi baik itu berasal dari APBN maupun APBD, tetapi hasilnya

    dianggap murahan (Cornelis Lay, 2007). Sehingga, demokrasi lokalakan menyusut karena makin memiliki keterbatasan legitimasi.Sekali lagi, soal-soal seperti ini hendaknya menjadi perhatian seriusditengah harapan agar kualitas demokrasi lokal dipertahankan danbahkan ditingkatkan.

    Pilkada seringkali menjadi pemicu konflik dan kekerasan di daerah,karena eventpolitik ini melibatkan banyak pihak dalam kontestasiperebutan posisi. Dalam pengalaman sejauh ini menunjukkan,pengelompokan masyarakat berbasis etnik dan agama menjadibasis dalam relasi dan kontestasi politik. Para calon gubernur,bupati, atau walikota menggunakan sentimen sektarian untukmemobilisasi, mendulang suara dalam pemilu. Betapapun hal inidianggap wajar, sebagaimana juga terjadi di negara-negara lain,namun perbedaan kesadaran dan pemahaman soal kelompokmelahirkan sentimen berbeda. Kemajemukan masyarakat sepertiIndonesia, setelah sekian lama terbatasi oleh tempurung konstruksistate corporatism, keyakinan perbedaan sebagai hal yang

    4

  • 8/6/2019 Kerentanan Masyarakat Dan Rapuhnya Konstruksi Politik

    5/6

    lumprah masih cukup terbatas ketika masuk arena politik.Toleransi atas perbedaan yang terbatas diantara kelompokmasyarakat, karena akibat manajemen politik etnisitas masa laluyang memelihara hubungan semu dalam wilayah SARA,

    membuktikan betapa rentannya struktur kemajemukan masyarakatIndonesia. Apalagi, pengalaman orde baru menyembunyikan kondisinyata pluralisme dengan politik otoriter, akhirnya gagalmembangun hubungan antar kelompok yang solid dan kokoh. Erosinasionalisme (kemajemukan dalam kohesi) makin berlanjut, ketikaliberalisasi politik disalahartikan, hingga muncul penebalan politikidentitas warga.

    Misalnya saja, Salah satu isu krusial yang muncul mengiringi prosesotonomi daerah saat ini adalah berlangsungnya berbagai prosespenguatan politik identitas yang, antara lain, muncul dalam bentukupaya-upaya untuk melakukan integrasi ajaran keagamaan kedalam sistem pemerintahan di masing-masing daerah. Di Prosestersebut terlihat jelas dalam upaya formulasi Peraturan Daerah(Perda) yang ke dalamnya Syariat Islam dicoba diintegrasikan untukmengatur prilaku sehari-hari masyarakat setempat. Secara luas,peraturan-peraturan daerah juga mengandung spirit identitaskelompok, seperti Perda Syariat Islam (PSI). Kalau dibaca secarakritis, upaya semacam itu pada dasarnya adalah bentuk formalisasiagama mayoritas, dalam konteks ini berarti Islam, yang akibat-akibatnya bisa sangat luas bagi masyarakat setempat. Dinamik

    tersebut bergayung sambut dengan terbukanya peluang untukmendirikan partai politik berazaskan agama (Sahar L. Hasan dkk.(edt)1998). Bahkan, partai-partai yang memilih haluan agamadalam berpolitik makin mengisyaratkan pertautan agama dan politiksecara formal. (Almanak Parpol Indonesia, Pemilu 1999 (Jakarta:API, (1999), atau Hinca Panjaitan, 2003).

    Gejala tersebut, makin mempermudah apa yang disebut politisasiagama dan etnik, dan menemukan lahan yang subur dalam strukturpolitik lokal yang, dapat dibilang cukup emosional, rapuh dimanaditandai oligarkhi. Dengan kondisi seperti itulah, masyarakat yanglama menderita floating mass terjebak pada nalar-nalarkepentingan pragmatis para politisi. Kondisi demikian bisa ditebak,

    jika akhirnya bukan partisipasi dalam arti kesadaran dalam politik,apalagi emansipasi (Heru Nugroho, 2003), namun hanyalahsebentuk mobilisasi tanpa kesadaran kritis. Fakta konflik dankekerasan antar kelompok menjadi bukti terjadinya kesenjangan,antara set up kelembagaan dalam demokrasi (haluan liberal)

    5

  • 8/6/2019 Kerentanan Masyarakat Dan Rapuhnya Konstruksi Politik

    6/6

    dengan realitas kesadaran masyarakat sipil (Arie Sujito, 2007), yangberakibat makin merosotnya kualitas demokrasi (Demos, 2005).

    Jika demikian kondisinya, maka, konflik dan kekerasan dalam arena

    pilkada itu sesungguhnya dapat dipahami sebagai kerentananstruktur sosial (gagal dibangun pengorganisasian yang kokohdiantara mereka untuk menyemaikan sikap-sikap keberadaban) danbertemu secara objective pada rapuhnya politik lokal di Indonesia.Mengatasi atas hal ini, tidak cukup melalui penanganan akibat-akibat semata, misalnya dengan pendekatan legalistik (hukum)yang bekerja mengabaikan pertimbangan struktur sosial. Atauhanya memberikan langkah kuratif dengan manajemen konflikberbasis normatif (pendekatan hukum dan peraturan). Akan tetapi,sudah semestinya kita menempuh jalan antisipatif, preventifdengan cara memetakan seluruh kecenderungan konflik dankekerasan politik yang akhirnya ditemukan pola dan modusnya.Atas dasar peta berbasis evaluasi penyelenggarakan pilkada itulah,kita bisa menemukan akar masalah sesungguhnya, dari akarserabut sampai akar tunggang konflik dan kekerasan dalampemilu, sehingga seluruh ranting dan dan dedaunan (metoforapohon konflik) dapat terbaca dengan baik. Sudah saatnya,pemerintah dan elemen-elemen politik yang berkepentingan dalampilkada, seperti parpol, NGO, media massa, serta organisasi sosialkemasyarakatan menyadari hal ini, dan membuat terobosan baruyang lebih responsif, paradigmatik dan konstruktif untuk

    memastikan agar kualitas pilkada makin meningkat. Ukuranpeningkatan kualitas pilkada itu diantaranya ditandai oleh kianmenurunnya derajat konflik dan kekerasan, dan pada akhirnyamakin menumbuhkan rasa solidaritas perdamaian yang kokoh agardemokratisasi lokal sesungguhnya dicita-citakan dapat terwujud.***

    6