KERAJAAN MAJAPAHIT

47
Sesudah Singasari mengusir Sriwijaya dari Jawa secara keseluruhan pada tahun 1290 M, Singasari menjadi kerajaan paling kuat di wilayah tersebut. Hal ini menjadi perhatian Kubilai Khan, penguasa Dinasti Yuan di Tiongkok. Ia mengirim utusan yang bernama Meng Chi ke Singasari yang menuntut upeti. Kertanagara, penguasa kerajaan Singasari yang terakhir menolak untuk membayar upeti dan mempermalukan utusan tersebut dengan merusak wajahnya dan memotong telinganya. Kublai Khan marah dan lalu memberangkatkan ekspedisi besar ke Jawa tahun 1293 M. Ketika itu, Jayakatwang, adipati Kediri, sudah membunuh Kertanagara. Atas saran Aria Wiraraja, Jayakatwang memberikan pengampunan kepada Raden Wijaya, menantu Kertanegara, yang datang menyerahkan diri. Raden Wijaya kemudian diberi hutan Tarik. Ia membuka hutan itu dan membangun desa baru. Desa itu dinamai Majapahit, yang namanya diambil dari buah maja, dan rasa pahit dari buah tersebut. Ketika pasukan Mongol tiba, Raden Wijaya bersekutu dengan pasukan Mongol untuk bertempur melawan Jayakatwang. Raden Wijaya berbalik menyerang sekutu Mongolnya sehingga memaksa mereka menarik pulang kembali pasukannya secara kalang-kabut karena mereka berada di teritori asing. Saat itu juga merupakan kesempatan terakhir mereka untuk menangkap angin muson agar dapat pulang, atau mereka harus terpaksa menunggu enam bulan lagi di pulau yang asing. Tanggal pasti yang digunakan sebagai tanggal kelahiran kerajaan Majapahit adalah hari penobatan Raden Wijaya sebagai raja, yaitu pada tanggal 10 November 1293 M. Ia dinobatkan dengan nama resmi Kertarajasa Jayawardhana. Kerajaan ini menghadapi beberapa masalah dalam negeri. Orang-orang terpercaya Kertarajasa, termasuk Ranggalawe, Sora, dan Nambi memberontak melawannya, meskipun pemberontakan tersebut tidak berhasil. Slamet Muljana menduga bahwa mahapatih Halayudha lah yang melakukan konspirasi untuk menjatuhkan semua orang terpercaya raja, agar ia dapat mencapai posisi tertinggi dalam pemerintahan. Namun setelah kematian pemberontak terakhir yaitu Kuti, Halayudha ditangkap dan dipenjara, lalu dihukum mati. Gambar: Candi Bajang Ratu, salah satu peninggalan kerajaan Majapahit

Transcript of KERAJAAN MAJAPAHIT

Sesudah Singasari mengusir Sriwijaya dari Jawa secara keseluruhan pada tahun 1290 M, Singasari menjadi kerajaan paling kuat di wilayah tersebut. Hal ini menjadi perhatian Kubilai Khan, penguasa Dinasti Yuan di Tiongkok. Ia mengirim utusan yang bernama Meng Chi ke Singasari yang menuntut upeti. Kertanagara, penguasa kerajaan Singasari yang terakhir menolak untuk membayar upeti dan mempermalukan utusan tersebut dengan merusak wajahnya dan memotong telinganya.

Kublai Khan marah dan lalu memberangkatkan ekspedisi besar ke Jawa tahun 1293 M. Ketika itu, Jayakatwang, adipati Kediri, sudah membunuh Kertanagara. Atas saran Aria Wiraraja, Jayakatwang memberikan pengampunan kepada Raden Wijaya, menantu Kertanegara, yang datang menyerahkan diri. Raden Wijaya kemudian diberi hutan Tarik. Ia membuka hutan itu dan membangun desa baru. Desa itu dinamai Majapahit, yang namanya diambil dari buah maja, dan rasa pahit dari buah tersebut. Ketika pasukan Mongol tiba, Raden Wijaya bersekutu dengan pasukan Mongol untuk bertempur melawan Jayakatwang. Raden Wijaya berbalik menyerang sekutu Mongolnya sehingga memaksa mereka menarik pulang kembali pasukannya secara kalang-kabut karena mereka berada di teritori asing. Saat itu juga merupakan kesempatan terakhir mereka untuk menangkap angin muson agar dapat pulang, atau mereka harus terpaksa menunggu enam bulan lagi di pulau yang asing.

Tanggal pasti yang digunakan sebagai tanggal kelahiran kerajaan Majapahit adalah hari penobatan Raden Wijaya sebagai raja, yaitu pada tanggal 10 November 1293 M. Ia dinobatkan dengan nama resmi Kertarajasa Jayawardhana. Kerajaan ini menghadapi beberapa masalah dalam negeri. Orang-orang terpercaya Kertarajasa, termasuk Ranggalawe, Sora, dan Nambi memberontak melawannya, meskipun pemberontakan tersebut tidak berhasil. Slamet Muljana menduga bahwa mahapatih Halayudha lah yang melakukan konspirasi untuk menjatuhkan semua orang terpercaya raja, agar ia dapat mencapai posisi tertinggi dalam pemerintahan. Namun setelah kematian pemberontak terakhir yaitu Kuti, Halayudha ditangkap dan dipenjara, lalu dihukum mati.

Gambar: Candi Bajang Ratu, salah satu peninggalan kerajaan Majapahit

A. PENINGGALAN SEJARAHHanya terdapat sedikit bukti fisik sisa-sisa Majapahit, dan sejarahnya tidak jelas. Sumber utama yang digunakan oleh para sejarawan adalah Pararaton (kitab raja-raja) dalam bahasa Kawi dan Nagarakertagama dalam bahasa Jawa Kuno. Pararaton terutama menceritakan Ken Arok (pendiri Kerajaan Singasari) namun juga memuat beberapa bagian pendek mengenai terbentuknya Majapahit. Sementara itu, Nagarakertagama merupakan puisi Jawa Kuno yang ditulis pada masa keemasan Majapahit di bawah pemerintahan Hayam Wuruk. Setelah masa itu, hal yang terjadi tidaklah jelas. Selain itu, terdapat beberapa prasasti dalam bahasa Jawa Kuno maupun catatan sejarah dari Tiongkok dan negara-negara lain. Keakuratan semua naskah berbahasa Jawa tersebut dipertentangkan. Tidak dapat disangkal bahwa sumber-sumber itu memuat unsur non-historis dan mitos. Beberapa sarjana seperti C.C. Berg menganggap semua naskah tersebut bukan catatan masa lalu, tetapi memiliki arti supranatural dalam hal dapat mengetahui masa depan. Namun demikian, banyak pula sarjana yang beranggapan bahwa garis besar sumber-sumber tersebut dapat diterima karena sejalan dengan catatan sejarah dari Tiongkok, khususnya daftar penguasa dan keadaan kerajaan yang tampak cukup pasti.

B. RAJA-RAJA MAJAPAHIT1. Raden Wijaya, bergelar Kertarajasa Jayawardhana (1293 M - 1309 M)Raden Wijaya merupakan pendiri kerajaan Majapahit. Pada masa pemerintahannya, Raden Wijaya dibantu oleh mereka yang turut berjasa dalam merintis berdirinya Kerajaan Majapahit. Aryawiraraja yang sangat besar jasanya diberi kekuasaan atas sebelah Timur meliputi daerah Lumajang, Blambangan. Raden Wijaya memerintah dengan sangat baik dan bijaksana.

2. Kalagamet, bergelar Sri Jayanagara (1309 M - 1328 M)Anak dan penerus Wijaya, Jayanegara, adalah penguasa yang jahat dan amoral. Ia digelari Kala Gemet, yang berarti 'penjahat lemah'. Pada Masa pemerintahannnya ditandai dengan pemberontakan-pemberontakan. Misalnya pemberontakan Ranggalawe 1231 Saka, pemberontakan Lembu Sora 1233 Saka, pemberontakan Juru Demung 1235 Saka, pemberontakan Gajah Biru 1236 Saka, Pemberontakan Nambi, Lasem, Semi, Kuti dengan peristiwa Bandaderga. Pemberontakan Kuti adalah pemberontakan yang berbahaya, hampir meruntuhkan Kerajaan Majapahit. Namun pada akhirnya semua itu dapat diatasi. Pada tahun 1328, Jayanegara dibunuh oleh tabibnya, Tanca. Ibu tirinya yaitu Gayatri Rajapatni seharusnya menggantikannya, akan tetapi Rajapatni memilih mengundurkan diri dari istana dan menjadi pendeta wanita. Rajapatni menunjuk anak perempuannya Tribhuwana Wijayatunggadewi untuk menjadi ratu Majapahit.

3. Sri Gitarja, bergelar Tribhuwana Wijayatunggadewi (1328 M - 1350 M)Raja Jayanegara meninggal tanpa meninggalkan seorang putrapun, oleh karena itu yang seharusnya menjadi raja adalah Gayatri, tetapi karena ia telah menjadi seorang Bhiksu maka digantikan oleh putrinya Bhre Kahuripan dengan gelar Tribuwana Tunggadewi, yang dibantu oleh suaminya yang bernama Kartawardhana. Pada tahun 1331 M, timbul pemberontakan yang dilakukan oleh daerah Sadeng dan Keta (Besuki). Pemberontakan ini berhasil ditumpas oleh Gajah Mada yang pada saat itu menjabat Patih Daha. Atas jasanya ini Gajah Mada diangkat sebagai Mahapatih Kerajaan Majapahit menggantikan Pu Naga. Gajah Mada kemudian berusaha menunjukkan kesetiaannya, ia bercita-cita menyatukan wilayah Nusantara yang dibantu oleh Mpu Nala dan Adityawarman. Pada tahun 1339 M, Gajah Mada bersumpah tidak makan Palapa sebelum wilayah Nusantara bersatu. Sumpahnya itu dikenal dengan Sumpah Palapa, adapun isi dari amukti palapa adalah sebagai berikut: 'Lamun luwas kalah nusantara isum amakti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, ring Sunda, ring Palembang, ring Tumasik, samana sun amukti palapa'. Kemudian Gajah Mada melakukan penaklukan-penaklukan. Selama kekuasaan Tribhuwana, kerajaan Majapahit berkembang menjadi lebih besar dan terkenal di daerah tersebut. Tribhuwana menguasai Majapahit sampai kematian ibunya pada tahun 1350 M. Ia diteruskan oleh putranya, Hayam Wuruk

4. Hayam Wuruk, bergelar Sri Rajasanagara (1350 M - 1389 M)Hayam Wuruk naik tahta pada usia yang sangat muda yaitu 16 tahun. Ia bergelar Rajasanegara. Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk yang didampingi oleh Mahapatih Gajah Mada, Majapahit mencapai keemasannya. Berdasarkan Kitab Negerakertagama dapat diketahui bahwa daerah kekuasaan pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, hampir sama luasnya dengan wilayah Indonesia yang sekarang, bahkan pengaruh kerajaan Majapahit sampai ke negara-negara tetangga. Satu-satunya daerah yang tidak tunduk kepada kekuasaaan Majapahit adalah kerajaan Sunda yang saat itu dibawah kekuasaan Sri Baduga Maharaja. Hayam Wuruk bermaksud mengambil putri Sunda untuk dijadikan permaisurinya. Setelah putri Sunda, Diah Pitaloka, serta ayahnya Sri Baduga Maharaja bersama para pembesar Sunda berada di Bubat, Gajah Mada melakukan tipu muslihat, Gajah Mada tidak mau perkawinan Hayam Wuruk dengan putri Sunda dilangsungkan begitu saja. Ia menghendaki agar putri Sunda dipersembahkan kepada Majapahit sebagai upeti. Maka terjadilah perselisihan paham dan akhirnya terjadinya perang Bubat. Banyak korban dikedua belah pihak, Sri Baduga gugur, putri Sunda pun akhirnya bunuh diri.

Tahun 1364 M Gajah Mada meninggal, Kerajaan Majapahit kehilangan seorang mahapatih yang tak ada duanya. Untuk memilih penggantinya bukan suatu pekerjaan yang mudah. Dewan Saptaprabu yang sudah beberapa kali mengadakan sidang untuk memilih pengganti Gajah Mada akhirnya memutuskan bahwa Patih Hamungkubhumi Gajah Mada tidak akan diganti. Untuk mengisi kekosongan dalam pelaksanaan pemerintahan diangkat Mpu Tandi sebagai Wridhamantri, Mpu Nala sebagai menteri Amancanegara dan patih dami sebagai Yuamentri.

Sementara itu Raja Hayam Wuruk meninggal pada tahun 1389 M.

5. Wikramawardhana (1389 - 1429)Putri mahkota Kusumawardhani yang naik tahta menggantikan ayahnya bersuamikan Wikramawardhana. Dalam prakteknya Wikramawardhanalah yang menjalankan roda pemerintahan. Sedangkan Bhre Wirabhumi anak Hayam Wuruk dari selir, karena Bhre Wirabhumi (Putri Hayam Wuruk) dari selir maka ia tidak berhak menduduki tahta kerajaan walaupun demikian ia masih diberi kekuasaan untuk memerintah di Bagian Timur Majapahit , yaitu daerah Blambangan. Perebutan kekuasaan antara Wikramawardhana dengan Bhre Wirabhumi disebut perang Paregreg. Wikramawardhana meninggal tahun 1429 M.

Gambar: Candi Wringin Lawang, salah satu peninggalan kerajaan Majapahit

C. KEHIDUPAN SOSIAL, EKONOMI DAN KEBUDAYAANHubungan persahabatan yang dijalin dengan negara tentangga itu sangat mendukung dalam bidang perekonomian terutama dalam bidang pelayaran dan perdagangan. Wilayah kerajaan Majapahit terdiri atas pulau dan daerah kepulauan yang menghasilkan berbagai sumber barang dagangan. Barang dagangan yang dipasarkan antara lain beras, lada, gading, timah, besi, intan, ikan, cengkeh, pala, kapas dan kayu cendana.

Dalam dunia perdagangan, kerajaan Majapahit memegang dua peranan yang sangat penting. Sebagai kerajaan produsen, Majapahit mempunyai wilayah yang sangat luas dengan kondisi tanah yang sangat subur. Banyaknya daerah subur tersebut menjadikan kerajaan Majapahit menjadi produsen barang dagangan. Sementara itu sebagai kerajaan perantara, Kerajaan Majapahit membawa hasil bumi dari daerah yang satu ke daerah yang lainnya. Keadaan masyarakat yang teratur mendukung terciptanya karya-karya budaya yang bermutu. Bukti-bukti perkembangan kebudayaan di kerajaan Majapahit dapat diketahui melalui peninggalan-peninggalan berikut ini:

Candi: Antara lain candi Penataran (Blitar), Candi Tegowangi dan Candi Tikus (Trowulan).

Gambar: Candi Penataran

Gambar: Candi Tegowangi

Gambar: Candi Tikus

Sastra: Hasil sastra zaman Majapahit dapat kita bedakan menjadi:Sastra Zaman Majapahit Awal

Kitab Negarakertagama, karangan Mpu Prapanca Kitab Sutasoma, karangan Mpu Tantular Kitab Arjunawiwaha, karangan Mpu Tantular Kitab Kunjarakarna Kitab Parhayajna Sastra Zaman Majapahit Akhir

Hasil sastra zaman Majapahit akhir ditulis dalam bahasa Jawa, diantaranya ada yang ditulis dalam bentuk tembang (kidung) dan yang ditulis dalam bentuk gancaran (prosa). Hasil sastra terpenting antara lain:

Kitab Prapanca, isinya menceritakan raja-raja Singasari dan Majapahit Kitab Sundayana, isinya tentang peristiwa Bubat Kitab Sarandaka, isinya tentang pemberontakan sora Kitab Ranggalawe, isinya tentang pemberontakan Ranggalawe Panjiwijayakrama, isinya menguraikan riwayat Raden Wijaya sampai menjadi raja Kitab Usana Jawa, isinya tentang penaklukan Pulau Bali oleh Gajah Mada dan

Aryadamar, pemindahan Keraton Majapahit ke Gelgel dan penumpasan raja raksasa bernama Maya Denawa

Kitab Usana Bali, isinya tentanng kekacauan di Pulau Bali

Selain kitab-kitab tersebut masih ada lagi kitab sastra yang penting pada zaman Majapahit akhir seperti Kitab Paman Cangah, Tantu Pagelaran, Calon Arang, Korawasrama, Babhulisah, Tantri Kamandaka dan Pancatantra.

D. PUNCAK KEJAYAAN MAJAPAHITZaman keemasan Kerajaan Majapahit dimulai sejak diangkatnya Hayam Wuruk, anak Tribhuana Wijayatunggadewi sebagai penguasa Majapahit pada tahun 1350 M. Tribhuana Wijayatunggadewi meletakkan kekuasaannya sebagai ratu tepat setelah ibunya meninggal. Hayam Wuruk, dikenal pula sebagai Rajasanagara, menguasai Majapahit sejak 1350 M – 1389 M. Pada tahun-tahun inilah, Majapahit berada dalam puncak keemasannya. Kesuksesan ini dicapai berkat bantuan patih agung Majapahit, Gajah Mada. Gajah Mada melakukan penaklukan ke berbagai wilayah di Nusantara. Penaklukan ini melalui upaya militer dan diplomatik. Upaya seperti pernikahan antarkeluarga raja pun menjadi jalan untuk melakukan aliansi dengan kerajaan-kerajaan kecil.

Gambar: Wilayah Kekuasaan Majapahit

Berdasarkan kitab Negrakretagama, wilayah Majapahit pada masa Gajah Mada adalah beberapa kerajaan di Sumatra dan Semenanjung Melayu, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, Papua, dan sebagian pulau di Filipina.Dibawah patih Gajah Mada Majapahit banyak menaklukkan daerah lain. Dengan semangat persatuan yang dimilikinya, dan membuatkan Sumpah Palapa yang berbunyi 'Ia tidak akan makan buah palapa sebelum berhasil menyatukan seluruh wilayah Nusantara'. Mpu Prapanca dalam bukunya Negarakertagama menceritakan tentang zaman gemilang kerajaan di masa Hayam Wuruk dan juga silsilah raja sebelumnya tahun 1364 Gajah Mada meninggal disusun oleh Hayam Wuruk di tahun 1389 dan kerajaan Majapahit mulai mengalami kemunduran.

Gambar: Candi Brahu, salah satu peninggalan kerajaan Majapahit

E. KEMUNDURAN MAJAPAHITMajapahit kehilangan tokoh besar seperti Hayam Wuruk dan Gajah Mada meletusnya Perang Paragreg tahun 1401 M - 1406 M merupakan perang saudara memperebutkan kekuasaan daerah bawahan mulai melepaskan diri. Setelah kematian Hayam Wuruk pada 1389 M. Terjadi kekacauan dan perpecahan di dalam keluarga kerajaan. Hal ini dipicu oleh perebutan kekuasaan antara putri mahkota Kusumawardhani yang menikahi Pangeran Wirakramawardhana dengan anak Hayam Wuruk dari pernikahan sebelumnya, yaitu Bhre Wirabhumi. Bhre Wirabhumi yang telah diberi kekuasaan sebagai penguasa daerah (Bupati) di Blambangan. Akan tetapi ternyata Bhre Wirabumi menuntut takhta Majapahit. Shingga terjadilah Perang Paregreg (Perang Saudara) pada tahun 1405 M – 1406 M. Wirakramawardhana menang, sedangkan Bhre Wirabhumi ditangkap. Perang saudara tersebut mengakibatkan lemahnya kekuasaan Majapahit. Selain itu,

kekuatan Majapahit mulai tersaingi oleh Kesultanan Malaka yang mulai mengenggam kendali terhadap Selat Malaka. Tahun keruntuhan Majapahit terjadi sekitar 1487 M (atau tahun 1400 Saka) atau 1527 M, ketika Kesultanan Demak yang dipimpin Raden Patah merebut Daha yang dijadikan ibu kota Majapahit oleh Ranawijaya.

Adapun faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran Majapahit antara lain sebagai berikut:

1. Tidak ada lagi tokoh-tokoh yang kuat di pusat pemerintahan yang dapat mempertahankan kesatuan wilayah sepeninggal Gajah Mada dan Hayam Wuruk.

2. Terjadinya perang paregreg (perang saudara).3. Banyak daerah-daerah jajahan yang melepaskan diri dari kekuasaan

Majapahit.4. Masuk dan berkembangnya agama Islam.

Setelah mengalami kemunduran, akhirnya Majapahit runtuh. Dalam hal ini ada dua pendapat:

1. Tahun 1478, yakni adanya serangan Girindrawardana dari Kediri. Peristiwa tersebut diberi candrasengkala 'Hilang Sirna Kertaning Bhumi' yang berarti tahun 1400 Saka / 1478 M.

2. Tahun 1526, yakni adanya serangan tentara dari Demak di bawah pimpinan Raden Patah. Serangan Demak ini menandai berakhirnya kekuasaan Hindu di Jawa.

1. Candi Bajang Ratu

Candi Bajangratu terletah di Dukuh Kraton, Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, sekitar 3,5 km dari Candi Wringinlawang dan sekitar 600 m dari Candi Tikus. Candi ini masih menyimpan banyak hal yang belum diketahui secara pasti, baik mengenai tahun pembuatannya, raja yang memerintahkan pembangunannya, fungsinya, maupun segi-segi lainnya.

Nama Bajangratu pertama kali disebut dalam Oudheidkunding Verslag (OV) tahun 1915. Arkeolog Sri Soeyatmi Satari menduga nama Bajangratu ada hubungannya dengan Raja Jayanegara dari Majapahit, karena kata ‘bajang’ berarti kerdil. Menurut Kitab Pararaton dan cerita rakyat, Jayanegara dinobatkan tatkala masih berusia bajang atau masih kecil, sehingga gelar Ratu Bajang atau Bajangratu melekat padanya.

Mengenai fungsi candi, diperkirakan bahwa Candi Bajangratu didirikan untuk menghormati Jayanegara. Dasar perkiraan ini adalah adanya relief Sri Tanjung di bagian kaki gapura yang menggambarkan cerita peruwatan. Relief yang memuat cerita peruwatan ditemukan juga, antara lain, di Candi Surawana. Candi Surawana diduga dibangun sehubungan dengan wafatnya Bhre Wengker (akhir abad ke-7).

Dalam Kitab Pararaton dijelaskan bahwa Jayanegara wafat tahun 1328 (‘sira ta dhinar meng Kapopongan, bhiseka ring csrenggapura pratista ring Antarawulan’). Disebutkan juga bahwa

Raja Jayanegara, yang kembali ke alam Wisnu (wafat) pada tahun 1328, dibuatkan tempat sucinya di dalam kedaton, dibuatkan arcanya dalam bentuk Wisnu di Shila Petak dan Bubat, serta dibuatkan arcanya dalam bentuk Amoghasidhi di Sukalila. Menurut Krom, Csrenggapura dalam Pararaton sama dengan Antarasasi (Antarawulan) dalam Negarakertagama, sehingga dapat disimpulkan bahwa ‘dharma’ (tempat suci) Raja Jayanegara berada di Kapopongan alias Csrenggapura alias Crirangga Pura alias Antarawulan, yang kini disebut Trowulan. Arca perwujudan sang raja dalam bentuk Wisnu juga terdapat di Bubat (Trowulan). Hanya lokasi Shila Petak (Selapethak) yang belum diketahui.

Di samping pendapat di atas, ada pendapat lain mengenai fungsi Candi Bajangratu. Mengingat bentuknya yang merupakan gapura paduraksa atau gapura beratap dengan tangga naik dan turun, Bajangratu diduga merupakan salah satu pintu gerbang Keraton Majapahit. Perkiraan ini didukung oleh letaknya yang tidak jauh dari lokasi bekas istana Majapahit.

Bajang ratu diperkirakan didirikan antara abad ke-13 dan ke-14, mengingat: 1) Prakiraan fungsinya sebagai candi peruwatan Prabu Jayanegara yang wafat tahun 1328 M ; 2) Bentuk gapura yang mirip dengan candi berangka tahun di Panataran Blitar; 3) Relief penghias bingkai pintu yang mirip dengan relief Ramayana di Candi Panataran; 4) Bentuk relief naga yang menunjukkan pengaruh Dinasti Yuan. J.L.A. Brandes memperkirakan bahwa Bajangratu dibangun pada masa yang sama dengan pembangunan Candi Jago di Tumpang, Malang, ditilik dari adanya relief singa yang mengapit sisi kiri dan kanan kepala Kala, yang juga terdapat di Candi Jago. Candi Jago sendiri diperkirakan dibangun pada abad ke-13.

Bagian dalam candi membentuk lorong yang membujur dari barat ke timur. Anak tangga dan lantai lorong terbuat dari batu. Bagian dalam atap candi juga terbuat dari balok batu yang disusun membujur utara-selatan, membentuk ruang yang menyempit di bagian atas.

Atap candi berbentuk meru (gunung), mirip limas bersusun, dengan puncak persegi. Setiap lapisan dihiasi dengan ukiran dengan pola limas terbalik dan pola tanaman. Pada bagian tengah lapis ke-3 terdapat relief matahari, yang konon merupakan simbol kerajaan Majapahit. Walaupun candi ini menghadap timur-barat, namun bentuk dan hiasan di sisi utara dan selatan dibuat mirip dengan kedua sisi lainnya. Di sisi utara dan selatan dibuat relung yang menyerupai bentuk pintu. Di bagian atas tubuh candi terdapat ukiran kepala garuda dan matahari diapit naga.

Candi Bajang ratu telah mengalami pemugaran pada zaman Belanda, namun tidak didapatkan data mengenai kapan tepatnya pemugaran tersebut dilaksanakan. Perbaikan yang telah dilakukan mencakup penguatan pada bagian sudut dengan cara mengisikan adonan pengeras ke dalam nat-nat yang renggang dan mengganti balok-balok kayu dengan semen cor. Beberapa batu yang hilang dari susunan anak tangga anak tangga juga sudah diganti.

 

2.      CANDI BRAHU

Candi Brahu terletak di Pedukuhan Jambu Mente, Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Propinsi Jawa Timur. Tepat di depan kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Timur yang terletak di jalan raya Mojokerto – Jombang, terdapat jalan masuk ke arah utara yang agak sempit. Candi Brahu terletak di sisi kanan jalan kecil tersebut, sekitar 1,8 km dari jalan raya. Denah bangunan bujur sangkar dan arah hadapnya ke barat dengan azimuth 227°. Ukuran bangunan : tinggi 25,7 m, serta lebar 20,7 m.

 

a.      STRUKTUR BANGUNAN CANDI BRAHU

Struktur bangunan Candi Brahu terdiri dari kaki candi, tubuh candi dan atap candi. Kaki candi terdiri dari bingkai bawah, tubuh candi serta bingkai atas.Bingkai tersebut terdiri dari pelipit rata, sisi genta dan setengah lingkaran.Dari penelitian yang terdapat pada kaki candi diketahui terdapat susunan bata yang strukturnya terpisah, diduga sebagai kaki candi yang dibangun pada masa sebelumnya.Ukuran kaki candi lama ini 17 x 17 m. Dengan demikian struktur kaki yang sekarang merupakan tambahan dari bangunan sebelumnya. Kaki Candi Brahu terdiri dari dua tingkat dengan selasarnya serta tangga di sisi barat yang belum diketahui bentuknya dengan jelas. Bagian tubuh Candi Brahu sebagian merupakan susunan bata baru yang dipasang pada masa pemerintahan Belanda.

Bentuk tubuh Candi Brahu tidak tegas persegi, melainkan bersudut banyak, tumpul dan berlekuk. Bagian tengah tubuh candi melekuk ke dalam seperti pinggang. Lekukan tersebut dipertegas dengan pola susunan batu bata pada dinding barat atau dinding depan candi. Atap candi juga tidak berbentuk prisma bersusun atau segi empat, melainkan bersudut banyak dengan puncak datar. Candi Brahu dibangun dari bata yang direkatkan satu sama lain dengan sistem gosok. Sebagai bahan perbandingan, ciri-ciri candi Jawa Timur adalah bentuk bangunannya ramping, atapnya merupakan perpaduan tingkatan, puncaknya berbentuk kubus, makara tidak ada, dan pintu serta relung hanya ambang atasnya saja yang diberi kepala kala, reliefnya timbul sedikit saja dan lukisanya simbolis menyerupai wayang kulit, letak candi di belakang halaman, kebanyakan menghadap ke barat, sebagian besar terbuat dari batu bata merah. Penggunaan batu bata merah disebabkan karena faktor lingkungan yang kurang mendukung dengan tidak adanya batu andesit seperti yang digunakan pada candi-candi di Jawa Tengah.

Denah Candi Brahu berukuran 10 x 10,5 m dengan tinggi 9,6 m. Di dalamnya terdapat bilik berukuran 4×4 m, namun kondisi lantainya telah rusak. Pada waktu pembongkaran struktur bata pada bilik ini ditemukan sisa – sisa arang yang kemudian dianalisa di Pusat Penelitian Tenaga Atom Nasional (BATAN) di Yogyakarta.Hasil analisa menunjukkan bahwa pertanggalan radio karbon arang Candi Brahu berasal dari masa antara tahun 1410 hingga 1646 masehi.

Atap Candi Brahu tingginya kurang lebih 6 m. Pada sudut tenggara atap terdapat sisa hiasan berdenah lingkaran yang diduga sebagai bentuk stupa. Berdasarkan gaya bangunan serta profil sisa hiasan yang berdenah lingkaran pada atap candi yang diduga sebagai bentuk stupa, para ahli menduga bahwa Candi Brahu bersifat Budhis. Selain itu diperkirakan Candi Brahu umurnya lebih tua dibandingkan dengan candi-candi yang ada di situs Trowulan. Dasar dugaan ini adalah prasasti tembaga Alasantan yang ditemukan tidak jauh dari Candi Brahu, kira-kira sekitar 45 m di sebelah barat Candi Brahu. Prasasti tersebut dikeluarkan oleh Raja Mpu Sindok pada tahun 861 Saka 939 M, di antara isinya menyebutkan nama sebuah bangunan suci yaitu Waharu atau Warahu. Nama istilah inilah yang diduga sebagai asal nama Candi Brahu sekarang. Candi Brahu dipugar pada tahun 1990/1991 sampai dengan 1994/1995.

Dari reliefnya, candi ini adalah gambaran sinkretisme keagamaan antara agama Hindu dan agama Budha, dan dengan gambaran sinkretisme tersebut, hingga saat ini pemeliharaan Candi Brahu dilakukan oleh kedua agama tersebut. Awalnya candi ini berfungsi sebagai tempat pembakaran raja-raja Majapahit, namun asumsi tersebut tidak terbukti karena tidak ditemukannya sisa–sisa abu pembakaran jenazah. Berbeda dengan ritual pemujaan pada situs pemujaan lainnya, di sini aktifitas tersebut dilakukan hanya dengan cara meletakkan sesaji pada bagian depan dan pintu candi yang menghadap ke arah barat.

Meskipun tidak terbukti, menurut masyarakat sekitar Candi Brahu, candi ini dahulunya berfungsi sebagai tempat pembakaran jenasah dari Raja Brawijaya I sampai IV. Akan tetapi, hasil penelitian yang dilakukan terhadap Candi Brahu tersebut tidak menunjukkan adanya bekas-bekas abu atau mayat, karena bilik candi sekarang sudah kosong. Candi Brahu tidak berdiri sendiri, disekitarnya terdapat beberapa bangunan candi-candi lain, yaitu candi Gentong. Candi Gentong berjarak kurang lebih sekitar 360m dari Candi Brahu. Dan candi-candi lainnya ialah Candi Gedong dan Candi Tengah yang sekarang sudah tidak nampak lagi. Di sekitar Candi Brahu pernah ditemukan benda-benda kuno, antara lain :

1. Benda-benda semisal perhiasan dari emas dan perak.2. 6 buah arca yang bersifat agama Budha.3. Piring perak yang bagian bawah bertuliskan tulisan kuno.4. 4 lempeng prasati tembaga pada masa Raja Mpu Sindok.

b.   SEJARAH CANDI BRAHU

Candi Brahu merupakan salah satu candi yang ada dalam lingkungan situs Trowulan Kerajaan Majapahit. Candi Brahu sudah ada sebelum masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk bahkan diperkirakan juga sudah ada sebelum masa Raja Brawijaya I. Dapat dikatakan bahwa Candi Brahu merupakan candi yang paling tua dibandingkan dengan candi-candi lainnya yang ada di daerah situs Trowulan. Candi Brahu didirikan oleh Mpu Sindok yang sebelumnya ia merupakan raja dari Kerajaan Mataram Kuno yang ada di Jawa Tengah. Hal ini dijelaskan dari nama Brahu dihubungkan diperkirakan berasal dari kata ‘Wanaru’ atau ‘Warahu’, yaitu nama sebuah bangunan suci keagamaan yang disebutkan di dalam prasasti tembaga ‘Alasantan’ yang ditemukan kira-kira 45 meter disebelah barat Candi Brahu. Prasasti ini dibuat pada tahun 861 Saka atau, tepatnya, 9 September 939 M atas perintah Raja Mpu Sindok dari Kahuripan. Dari penuturan prasasti itu dijelaskan bahwa Candi Brahu yang didirikan oleh masa Mpu Sindok ialah candi yang usianya lebih tua dibanding candi-candi lain bahkan lebih tua dari Kerajaan Majapahit. Pada masa Kerajaan Majapahit, Candi Brahu digunakan sebagai tempat persembayangan atau merupakan bangunan suci yang digunakan untuk berdoa.Hal ini dapat dilihat dari temuan-temuan yang berada di candi tersebut seperti beberapa benda yang kerap menjadi alat-alat upacara keagamaan seperti alat-alat upacara dari logam.

Menurut beberapa penelitian, Candi Brahu dinyatakan sebagai candi agama Budha. Anggapan ini muncul karena candi Brahu memiliki stupa yang kerapnya menjadi ciri-ciri bagi candi agama Budha. Selain itu bentuk dari Candi Brahu yang lebih berbeda dibanding candi-candi lain di situs Trowulan Kerajaan Majapahit, bentuk tubuh Candi Brahu tidak tegas persegi melainkan bersudut banyak, tumpul dan berlekuk. Bagian tengah tubuhnya melekuk ke dalam seperti pinggang. Lekukan tersebut dipertegas dengan pola susunan batu bata pada dinding barat atau dinding depan candi.

Atap candi juga tidak berbentuk berbentuk prisma bersusun atau segi empat, melainkan bersudut banyak dengan puncak datar, hal tersebut memunculkan anggapan bahwa Candi Brahu didirikan bukan pada masa kerajaan Majapahit, melainkan merupakan bangunan candi yang dibangun sebelum Kerajaan Majapahit. Selain itu anggapan lain yang menerangkan bahwa Candi Brahu merupakan candi agama Budha ialah penemuan beberapa benda-benda kuno. Disekitar kompleks candi Brahu pernah ditemukan benda-benda kuno, antara lain alat upacara dari logam, perhiasan dan benda-benda dari emas, dan arca-arca logam di mana hal tersebut menunjukkan adanya cirri-ciri agama Budha. Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa candi Brahu merupakan candi Budha .

c.  KEHIDUPAN SOSIAL MASYARAKAT SEKITAR CANDI

Pemukiman terpencar-pencar di lembah-lembah sungai ataupun pegunungan-pegunungan. Tempat-tempat tersebut masih sedikit penduduknya,maka banyak masyarakat-masyarakat desa yang memiliki hutan dan tanah persawahan yang luas.Tanah yang dimiliki oleh para rakyat

kebanyakan atau golongan bangsawan biasa atau golongan bangsawan agama. Dari situlah tumbuh masyarakat seperti masyarakat lingkungan yang meninggali wilayah yang berdekatan dengan bangunan suci seperti candi yang terdapat golongan agamawan yang disekelilingnya masyarakat sekitanya bekerja sebagai tani.

Kehidupan sosial masyarakat sekitar Candi Brahu pada waktu itu kurang lebih sama seperti daerah kehidupan sosial masyarakat sekitar peninggalan candi yang lainnya di situs Trowulan. Kehidupan masyarakat sekitar Candi Brahu tak jauh berbeda dengan kehidupan masyarakat pada perkembangan kerajaan Majapahit, walau Candi Brahu dimungkinkan berdiri sebelum Kerajaan Majapahit itu sendiri. Masyarakat di sekitar Candi Brahu sangat menginternal sekali, di dalam diri mereka kebudayaan serta keahlian para leluhurnya sangatlahdihargai dan mereka terus lestarikan sesuai tradisi yang ada. Dengan adanya regenerisasi kebudayaan tersebut mencerminkan bahwa masyarakat sekitar Candi Brahu sangat menghargai,menghormati, peduli serta menjunjung tinggi terhadap kebudayaan leluhur mereka.

Sebagai lingkungan candi yang dipergunakan sebagai tempat keagamaan, lingkungan sekitar Candi Brahu menjadi lingkungan yang menumbuhkan masyarakat yang sadar betul akan kehidupan beragama. Di lingkungan Candi Brahu ada pula lingkungan kaum agama yang biasa hidup berkelompok di sekitar bangunan agama, seperti mandala, dharma, sima, wihara dan sebagainya.Pada umumnya mandala memperoleh kebebasan yang luas.Mereka dinyatakan bebas dari pembayaran pajak dan hanya diwajibkan membayar beberapa yang memang sudah lazim.Mereka berada dibawah kekuasaaan pendeta tertinggi, bebas dari campur tangan raja dan bebas dari kewajiban pemilik tanah sekuler. Sama seperti halnya Candi Brahu yang dinyatakan sebagai tempat pendarmaan raja Brawijaya yang jelas merupakan bangunan suci keagaaman dan tentunya mendapat asuhan dari para pendeta yang berada di mandala.Hal itu membuktikan bahwa adanya lingkungan yang ditempati kaum agamawan.

Ada pula kehidupan yang di bagi-bagi sesuai golongan menurut pekerjaan dari penduduk desa, seperti golongan keluarga tani bebas (rama) dan anggota komunitas biasa (dapur) yang diperintah oleh para pengetua(buyut). Dapur ialah bentuk kelompok masyarakat asli yang tertua dan penduduknya ialah apa yang dinamakan kulina, yaitu para masyarakat dari keluarga petani kuno, penduduk asli daerah dan anak keturunan cikal-bakal desa. Mereka merupakan penduduk asli desa.

Kebanyakan profesi masyarakat desa ialah menjadi petani yang dimana petani terbagi menjadi beberapa golongan diantaranya petani yang menggarap tanah sendiri atau milik tuan tanah atau dan buruh tani. Didaerah kaum agamawan, para bangsawan menyuruh budak-budak untuk mengolah tanah mereka dan memungut panennya, sebagian pengolahan tanah dan panen diserahkan kepada pekerja dari masyarakat desa yang ada didekatnya, dan juga para kaum agamawan.Para pekerja itu dibayar dengan sebagian dari hasil panen yang ditetapkan menurut adat.

 

2. CANDI TIKUS

3.

Terletak di dukuh Dinuk, Desa Temon, Kecamatan Trowulan. Dari Candi Bajangratu ke arah tenggara sekitar 500 m. Candi Tikus adalah sebuah candi peninggalan Kerajaan Majapahit yang

terletak di kompleks Trowulan, Kabupaten Mojokerto, di Trowulan. Bangunan Candi Tikus berupa tempat ritual mandi (petirtaan) di kompleks pusat pemerintahan Majapahit. Bangunan utamanya terdiri dari dua tingkat. Candi Tikus diperkirakan dibangun pada abad ke-13 atau abad ke-14. Candi ini dihubungkan dengan keterangan Mpu Prapanca dalam kitab Nagarakretagama, bahwa ada tempat untuk mandi raja dan upacara-upacara tertentu yang dilaksanakan di kolam-kolamnya. Arsitektur bangunan melambangkan kesucian Gunung Mahameru sebagai tempat bersemayamnya para dewa. Menurut kepercayaan Hindu, Gunung Mahameru merupakan tempat sumber air Tirta Amerta atau air kehidupan, yang dipercaya mempunyai kekuatan magis dan dapat memberikan kesejahteraan, dari mitos air yang mengalir di Candi Tikus dianggap bersumber dari Gunung Mahameru.

Candi ini disebut Candi Tikus karena sewaktu ditemukan merupakan tempat bersarangnya tikus yang memangsa padi petani. Di tengah Candi Tikus terdapat miniatur empat buah candi kecil yang dianggap melambangkan Gunung Mahameru tempat para dewa bersemayam dan sumber segala kehidupan yang diwujudkan dalam bentuk air mengalir dari pancuran-pancuran/jaladwara yang terdapat di sepanjang kaki candi. Air ini dianggap sebagai air suci amrta, yaitu sumber segala kehidupan. Situs candi ini digali pada tahun 1914 atas perintah Bupati MojokertoKromodjojo Adinegoro. Karena banyak dijumpai tikus pada sekitar reruntuhannya, situs ini kemudian dinamai Candi Tikus. Candi Tikus baru dipugar pada tahun 1985-1989. Dulu, ada petani dari Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Mojokerto gelisah karena serbuan tikus sawah. Hasil tani yang biasanya cukup untuk menghidupi seluruh anggota keluarga, kini nyaris tak tersisa. Tak tahan menghadapi serbuan tikus, ia memohon pada Sang Pencipta. Suatu malam, Si Petani mendapat wisik (wangsit,) agar mengambil air di kawasan Candi Tikus lalu menyiramkan air itu ke empat sudut sawah.Sebuah keajaiban terjadi. Tikus-tikus yang biasanya kerap beraksi di malam hari hilang begitu saja. Tanah sawah juga mendadak jadi subur. Si Petani tak kuasa menahan kegembiraannya dan bercerita pada warga desa.

Beberapa saat kemudian, ada saudagar kaya mendengar kabar tentang khasiat air Candi Tikus. Dengan rakus, ia mencari jalan pintas untuk menambah kekayaannya. Suatu malam, ia mencuri batu candi dan meletakkannya di sudut-sudut sawah. Lagi-lagi sebuah kejaiban terjadi.

Tapi kali ini, tikus-tikus malah datang dan menghabisi padi di sawah. Fenomena ini membuat warga desa sadar, bahwa mereka tak bisa berharap lebih. “Kami hanya bisa memanfaatkan air di Candi Tikus, tapi bukan batu-batu candi,” kata mereka. Dan mitos ini, ternyata masih dipercaya hingga kini.

Di sisi lain, ada mitos lain yang berkembang kebalikannya. Pada tahun 1914, candi ini ditemukan oleh Bupati Mojokerto, RAA Kromojoyo Adinegoro. Sebelumnya, ia mendengar keluh kesah warga Desa Temon yang kalang kabut karena serbuan hama tikus di sawah mereka. Tanpa pikir panjang, Kromojoyo memerintah aparat desa agar memobilisasi massa dan menyatakan perang pada tikus. Anehnya, saat terjadi pengejaran, tikus-tikus itu selalu lari dan masuk dalam lobang dalam sebuah gundukan besar.

Karena ingin membersihkan tikus sampai habis, Kromojoyo memilnta agar gundukan itu dibongkar. Ternyata, di dalam gundukan terdapat sebuah candi. Melihat sejarah penemuannya, Kromojoyo memberi nama Candi Tikus.

Memasuki masa kemerdekaan, Candi Tikus yang mulai rusak dipugar setahap demi setahap. Puncaknya, Candi Tikus dipugar pada tahun 1984 hingga 1989. Tentu, pemugaran ini dilakukan dengan ekstra hati-hati agar tak berseberangan dengan tampilan asli. Kini, masyarakat bisa melihat Candi Tikus sebagai aset wisata sejarah yang kaya sentuhan estetika.

Secara keseluruhan, candi ini lebih mirip dengan petirtaan. Bangunannya dibangun di atas tanah yang lebih rendah 3,5 meter dari tanah di sekitarnya. Untuk mendekati candi, kita harus melewati tangga masuk di sisi utara. Dari situ, kita bisa melihat candi berukuran 29,5X28,25 meter dan tinggi keseluruhan 5,2 meter ini dari dekat.

Sampai sekarang, Candi Tikus masih sering dijadikan ajang penelitian ahli purbakala dari dalam dan luar negeri. Kebanyakan, mereka ingin merangkai fakta sekaligus antitesis sebuah teori yang menyebut, semua bangunan yang berasal dari masa pengaruh agama Hindu – Budha abad 5-15 M adalah candi. Padahal, bangunan-bangunan itu tak selalu berfungsi sebagai sarana pemujaan.

Sebagai bangunan berkarakter khas, Candi Tikus adalah icon yang berseberangan dengan teori itu. Karena Candi Tikus memiliki pancuran dan saluran air yang konon berperan besar sebagai pengatur debit air di Majapahit. Di luar itu, Candi Tikus juga memiliki daya tarik yang tak bisa lepas dari rangkaian situs Majapahit yang tersebar di Trowulan.

Candi Tikus merupakan salah satu bangunan yang mempunyai nilai eksotisme tersendiri. Selain memiliki arsitektur yang cukup unik dengan ornamen pada bangunan induk yang dihiasi pancuran air berbentuk makara dan padma, candi tersebut juga memiliki dua kolam dan saluran-saluran air yang mengandung struktur petirtaan. Adanya pancuran air di Candi Tikus (jaladwara) yang berbentuk makara dan padma, makara merupakan perubahan bentuk tunas-tunas yang keluar dari bonggol teratai, sedangkan padma merupakan teratai itu sendiri.

Secara keseluruhan candi itu dapat dikategorikan sebagai bangunan petirtaan. Mengenai keterangan akar kronologis tentang Candi Tikus dapat dikaitkan dengan uraian dalam kitab Nagarakartagama yang ditulis oleh Prapanca (1385 M). Dalam kitab tersebut pada pupuh 27 dan 29 menyebutkan adanya tempat pemandian (petirtaan) raja yang dikunjungi Hayam Wuruk dan keterangan yang menyebutkan adanya upacara-upacara tertentu yang dirayakan di kolam-kolam.

Meskipun dalam kitab tersebut Prapanca tidak menyebutkan secara eksplisit mengenai nama Candi Tikus, namun diyakini oleh sebagian besar pengamat situs kebudayaan purbakala, salah satu tempat pemandian yang dimaksudkan dalam kitab Nagarakartagama adalah Candi Tikus, terkait dengan letak bangunan yang masih berada di kawasan Kerajaan Majapahit.

Di sisi lain, menara-menara (bangunan miniatur yang mengelilingi bangunan induk) merupakan bagian terpenting dari gubahan arsitektur abad ke XIII-XIV. Secara tidak langsung bangunan candi itu dapat diyakini didirikan pada abad ke XIII-XIV, premis ini semakin memperuncing kebenaran bahwa yang dimaksud dalam kitab Nagarakartagama mengenai petirtaan yang dikunjungi oleh Hayam Wuruk dan kolam-kolam yang dijadikan sebagai tempat untuk mengadakan prosesi upacara-upacara tertentu, salah satunya adalah Candi Tikus.

Meskipun Candi Tikus sempat tenggelam dari panggung sejarah dan kembali tampil sekitar 1914, setelah diadakan penggalian terhadap tanah yang menutupinya dan adanya beberapa kerusakan fisik yang hampir menyusutkan eksotisme bangunan tersebut.

Namun autentisitas nilai dan kandungan filosofis yang terdapat dalam keutuhan candi itu hingga dewasa ini masih mampu terlestarikan dengan baik.

Simbolis Gunung Meru

Menurut Bernet Kempers (1954:210), Candi Tikus merupakan replika atau simbolis Gunung Meru. Hal itu terkait dengan konsep religi yang melatarbelakangi bangunan candi, di samping itu model bangunan Candi Tikus yang makin ke atas makin mengecil dan pada bangunan induk

seakan-akan terdapat puncak utama yang dikelilingi oleh delapan puncak yang lebih kecil, menurut Bernet, model tersebut ada kemiripan tersendiri dengan bentuk utuh Gunung Meru.

Secara mitologi, Gunung Meru selalu dihubungkan dengan air kehidupan yang dipercaya mempunyai kekuatan magis dalam memberi kekuatan pada semua makhluk hidup. Kepercayaan ini lahir dari konsep Hindu-Buddha yang meyakini gunung tersebut sebagai pusat kehidupan, yang kemudian termanefestasikan dalam bentuk bangunan candi, pemahaman itu hingga dewasa ini masih dikultuskan oleh segenap masyarakat tradisionalis.

Perpaduan konsep Hindu-Buddha dalam bangunan Candi Tikus yang sudah kadung mendarah daging membentuk pola pemikiran dan perilaku masyarakat Jawa. Secara teoritis sebenarnya masyarakat berhasil membangun tempat pemujaan merupakan suatu kebanggaan tersendiri karena tempat tersebut dipercaya sebagai sarana untuk bersua dengan Sang Penciptanya atau sebagai sarana komunikasi dengan Tuhan yang diyakininya.

Lahirnya kebanggaan tersebut secara tidak langsung merupakan percikan dari rasa cinta manusia terhadap zat yang menciptakannya, jangan heran jika kemudian Candi Tikus juga dipersepsikan sebagai salah satu petirtaan tempat diadakannya prosesi upacara-upacara tertentu sebab selain sebagai petirtaan, candi itu juga memilik dimensi religi yang sangat kental tergambar dalam model bangunannya.

Berpijak pada akar kronologis dibangunnya ragam candi pada masa pemerintahan Kerajaan Majapahit, tidak lepas dari pengaruh sosial-kultural masyarakat Jawa yang pada waktu itu masih kebanyakan menganut paham Hindu-Buddha sehingga pasca kepemerintahan Kerajaan Majapahit banyak ditemukan situs purbakala yang berbentuk candi.

Pada dasarnya salah satu unsur terbentuknya candi yang mempunyai replika atau simbolis tersendiri semisal Candi Tikus sebagai lambang Gunung Meru, pertama, guna memberi dukungan emosional dan moral. Kedua sebagai sarana memperkukuh hubungan transendental. Ketiga mengeramatkan nilai-nilai dan norma-norma masyarakat setempat. Keempat memberi identitas pada individu dan kelompok. Kelima, erat hubungannya dengan siklus pertumbuhan (life cycle) Sederhananya,

Candi Tikus yang terletak lebih rendah dari permukaan tanah di sekitarnya, yaitu pada kedalaman sekitar 3,50 m atau sekitar 46,78 m dari permukaan laut, secara umum bangunan ini berdenah bujur sangkar dengan ukuran 22,50 x 22,50 m, apabila dipahami dari konsep yang melatarbelakangi perwujudan bangunan dikaitkan dengan ciri yang ada pada candi tersebut, akan menunjukkan tujuan pembangunan candi itu adalah untuk melambangkan air amrta yang keluar dari gunung.

Simbol-simbol semacam itu sebenarnya mempertegas manusia merupakan makhluk yang penuh dengan lambang, baginya realitas lebih dari sekadar tumpukan fakta-fakta. Ada semacam simbiosis-mutualisme antara makhluk hidup dengan alam yang ada di sekitarnya karena pada dasarnya setiap makhluk hidup sangat dipengaruhi lingkungan sekitar yang menghidupi keberadaan dirinya.

Konsep semacam ini dapat ditemukan dalam konsep triloka yang dibangun dari kepercayaan agama Hindu-Buddha dengan menempatkan semesta pada dua versi antara jagad gedhe (makrokosmos) dan jagat cilik (mikro-kosmos). Penempatan Candi Tikus sebagai simbol keagungan Gunung Meru, secara tidak langsung telah menisbahkan adanya suatu keterkaitan yang erat antara manusia dengan alam yang ada di sekitarnya.

Keyakinan semacam itu sebenarnya tumbuh dari pembacaan awal manusia terhadap gejala alam dengan menggunakan logika dasar. Namun, tidak bisa dinafikan pembacaan semacam itu yang termanefestasikan dalam model bangunan Candi Tikus merupakan salah satu pijakan yang membantu terbentuknya pola pemikiran manusia masyarakat Jawa tradisionalis dan peletak pertama dasar-dasar pemikiran masyarakat Jawa secara general.

Lahirnya premis yang mengatakan mempelajari maupun berusaha mengenali peninggalan-peninggalan purbakala secara implisit merupakan bentuk lain dari belajar mengenali keberadaan diri sendiri. Di satu sisi premis tersebut tidak bisa dibantah kebenarannya karena pada dasarnya peninggalan purbakala selain memiliki momen sejarah yang teramat penting untuk senantiasa diketahui para penerusnya guna menegaskan eksistensinya sebagai masyarakat Jawa.

Di sisi lain, peninggalan purbakala juga menampung beberapa kandungan makna filosofis yang teramat penting untuk dipelajari oleh para generasi muda masyarakat Jawa. Berpijak pada UU No 5/1992, tentang Benda Cagar Budaya Pasal 2 yang berbunyi, perlindungan benda cagar budaya dan situs bertujuan melestarikan dan memanfaatkannya untuk memajukan kebudayaan nasional Indonesia.

Maka sudah selayaknya pelestarian terhadap peninggalan purbakala seperti Candi Tikus yang terletak di daerah Trowulan, tepatnya di dukuh Dinuk, Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Mojokerto semakin digalakkan. Menziarahi Candi Tikus secara tidak langsung membuka diri untuk memasuki dimensi lain tempat para leluhur masyarakat Jawa melalukan prosesi ritual penyerahan diri terhadap Sang Pencitanya.

Candi Tikus, Pengatur Debit Air Majapahit

Sudah bukan rahasia lagi bila mendengar nama candi. Benak kita lantas tertuju pada suatu bangunan (terbuat dari batu atau bata merah) yang berasal dari masa silam yang berfungsi sebagai sarana pemujaan. Ini tidak keliru, karena memang candi berfungsi sebagai sarana untuk melakukan suatu ritual pemujaan.

Namun di Indonesia, tampaknya ada semacam pandangan yang menyatakan bahwa segala bangunan yang berasal dari masa pengaruh agama Hindu – Budha (abad V – XV M) sering disebut segabagai candi. Padahal, bangunan-bangunan itu belum tentu berfungsi sebagai sarana pemujaan. Salah satu contoh dalam bangunan kuno yang sudah terlanjur disebut candi adalah candi Tikus di Jawa Timur.

Sejak ditemukan pertama kalinya pada tahun 1914, kemudian sampai dilakukan pemugaran sekitar tahun 1983 – 1986, candi Tikus yang secara administratif terletak di dukuh Dinuk, Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Kbaupaten Mojokerto, Jawa Timur, telah banyak mengundang perhatian para pakar sejarah kuno dan arkeologi.

Betapa tidak! Letaknya yang berada dibawah permukaan tanah (sekitar 3,5 meter) dengan beberapa pancuran air dan saluran-saluran air serta mengingat lokasinya yang berada di Trowulan (yang diduga kuat merupakan bekas ibukota kerajaan Majapahit), telah mengusik perhatian para pakar untuk menentukan makna dan fungsi dari bangunan itu, baik dari segi arsitektural naupun ditinjau dari segi religius.

Dua Tahap Pembangunan

Secara pasti, tidak diketahui kapan candi Tikus ini didirikan karena tidak adanya sumber sejarah yang memberitakan tentang pendirian candi Tikus ini.

Dalam kitab Nagarakertagama yang ditulis oleh Prapanca pada tahun 1365 M (yang telah diakui oleh para pakar sebagai suatu sumber sejarah yang cukup lengkap memuat tentang kerajaan Majapahit, khususnya pada masa pemerintahan raja Hayam Wuruk), tidak disebutkan tentang eksistensi candi Tikus ini.

Namun demikian, ini tidak berarti bahwa serangkaian penelitian yang ditujukan guna mencari dan menentukan saat dibangunnya candi Tikus ini lantas manjadi tidak bisa dilaksanakan. Setidaknya, berdasarkan kajian arsitektural, diperoleh gambaran perbedaan dalam hal penggunaan bahan baku candi, yaitu bata merah.

Adanya perbedaan penggunaan bata merah (baik perbedaan kualitas maupun kuantitasnya), memberikan indikasi tentang tahapan pembangunan candi Tikus. Dari hasil penelitian yang telah

dilakukan oleh para arkeolog, terbukti bahwa bata merah yang berukuran lebih besar berusia lebih tua dibandingkan dengan bata merah yang berukuran lebih kecil.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa selama masa berdiri dan berfungsinya, candi Tikus pernah mengalami dua tahap pembangunan. Pembangunan tahap pertama dilakukan dengan mempergunakan batu bata merah yang berukuran lebih besar sebagai bahan bakunya, sedangkan pembangunan tahap kedua dilakukan dengan mempergunakan bata merah yang berukuran lebih kecil.

Lain halnya dengan pendapat yang dikemukankan oleh N.J. Krom lewat buku “sakti”-nya yang berjudul Inleiding tot de Hindoe Javaansche Kunst II (Pengantar Kesenian Hindu Jawa). Dengan memperhatikan bahan dan gaya seni dari saluran air, pakar sejarah kesenian Jawa kuno berkebangsaan Belanda itu berasumsi bahwa ada dua tahap pembangunan candi Tikus.

Tahap pertama, saluran airnya terbuat dari bata merah dan memperlihatkan bentuknya yang kaku. Sedangkan tahap kedua saluran airnya terbuat dari batu andesit dan memperlihatkan bentuknya yang lebih dinamis serta dibuat pada masa keemasan Majapahit. Ini berarti pula bahwa menurut Krom, candi Tikus telah berdiri sebelum kerajaan Majapahit mencapai puncak keemasannya, yaitu pada masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350 – 1380).

Sementara itu, ketika dilakukan pemugaran pada tahun 1984/1985, berhasil disingkap sisi tenggara bangunan candi Tikus. Kaki bangunan yang terdapat di sisi tersebut, menunjukan perbedaan ukuran bata merah yang dipergunakan sebagai bahan bakunya. Hal ini semakin memperkuat dugaan mengenai dua tahap pembangunan candi tersebut. Kaki bangunan tahap pertama yang tersusun dari bata merah yang berukuran besar, tampak ditutup oleh kaki bangunan tahap kedua yang tersusun dari bata merah yang berukuran lebih kecil. Kapan secara pasti pembangunan tahap pertama dan kedua ini dilakukan, belum jelas benar.

Menurut catatan hasil penelitian yang telah dilakukan H. Maclaine Pont pada tahun 1926, setidaknya terdapat 18 buah waduk besar yang diduga kuat dibangun pada masa Majapahit (letaknya kini tersebar diseluruh kabupaten Mojokerto, Jawa Timur). Dari 18 buah waduk besar itu 4 buah diantaranya terletak di daerah Trowulan. Yaitu di Desa Baureno, Kumitir, Domas dan Temon. Waduk-waduk besar ini berfungsi sebagai tempat penampungan air pertama untuk selanjutnya dialirkan ke tempat-tempat lain.

Dari ke-empat waduk besar yang terletak di daerah Trowulan, waduk Baureno diduga merupakan sumber dari air yang masuk ke candi Tikus. Untuk selanjutnya air dari candi Tikus ini didistribusikan ka arah kota. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh alm. Didiek Samsu W.T. selama tahun 1986/1987, diketahui bahwa debit air rata-rata dari pancuran-pancuran air di candi Tikus adalah 17.604.915 cm/******* “Berdasarkan perhitungan ini, dapat diperkirakan bahwa candi Tikus pada masa itu memiliki peranan yang cukup penting dalam sistem jaringan air di daerah Trowulan,” tulis arkeolog ini dalam skripsinya.

Lebih lanjut, alm. Didiek menyatakan bahwa air candi Tikus juga bisa dijadikan patokan musim kemarau dan musim penghujan. Pada musim kemarau, debit air rata-rata setiap pancuran pancuran lebih kurang 400 cm/******* Sedangkan jika lantai dasar candi Tikus mulai tergenang dan pancuran air memancarkan air lebih jauh, dapat diartikan bahwa musim hujan telah menjelang. Ini berarti pula bahwa pada musim hujan debit air di candi Tikus akan naik, sehingga bisa jadi patokan untuk membuka atau menutup pintu air di waduk atau bendungan.

Memiliki Kekuatan Magis

Tanpa usaha yang telah dilakukan oleh H. Maclaine Pont, barangkali nama Trowulan tidak akan mencuat ke permukaan dalam panggung sejarah Indonesia. Dialah yang pertama kali menyatakan bahwa Trowulan merupakan bekas Ibukota kerajaan Majapahit. Dengan bersumber pada kitap Nagarakertagama, Maclaine Pont berhasil merekonstruksi (bina ulang) ibukota kerajaan Majapahit. Dari peta kota hasil rekonstruksi Maclaine Pont pada tahun 1926 tersebut, tampak bahwa candi Tikus terletak di luar kota Majapahit.

Sejak zaman Prasejarah, air memang memiliki peranan penting dalam kehidupan spiritual manusia. Air dipercaya memiliki daya magis utnuk membersihkan, mensucikan dan menyuburkan. Tak heran, bila kemudian air yang keluar dari candi Tikus juga dipercaya memiliki kekuatan magis untuk memenuhi harapan rakyat agar hasil pertanian mereka berlipat ganda dan terhindar dari kesulitan-kesulitan yang merugikan.

PENINGGALAN SISA SISA SENI KERAJINAN TANGAN KERAJAAN MAJAPAHIT

Dimas Indranata /120731435995/34/A/DDA/2012

Benda benda Terakota

Istilah terakota berasal dari akar kata terra-cotta (bahasa Italia) yaitu produk dari

pembakaran tanah liat sehingga berwarna merah kecoklatan, kadang-kadang dilapikilap dan

berwarna.Produk ini dapat digunakan untuk bangunan sebagai media ekspresi.Terakota dapat

diartikan sebagai benda-benda yang dibuat dari tanah liat atau tembikar yang dilapisi lasir, dibuat

dr tanah liat yang dibakar sehingga warnanya merah kecokelat-cokelatan (digunakan sbg benda

hias atau pelapis lantai): artefak dan terdapat dalam peti kubur.

Jejak sejarah kerajaan Majapahit tersebar pada tinggalan-tinggalannya yang ditemukan di

Mojokerto, Jawa Timur.Ada banyak artefak yang dapat menjelaskan banyak hal termasuk

mengenai kehidupan ekonomi masyarakat.Terakota, misalnya, atau kerajinan tanah liat era

Majapahit.Seni Terakota adalah satu karakter budaya pada masa Majapahit yang cukup terkenal

dan banyak diketemukan.Di trowulan dan sekitarnya telah ditemukan banyak artefak terakota

dalam berbagai bentuk dan ukuran unsur bangunan (bata, genteng, jobong sumur, pipa saluran),

wadah (periuk, pasu, kendi, tempayan, boneka, vas bunga), ritus religi (sesaji, meterai), dan alat

kebutuhan praktis lainnya seperti timbangan, dan lampu (clupak).

               Foto benda benda terakota peninggalen kerajaan Majapahit

Sebagian besar terakota ini diduga merupakan buatan setempat karena ditemukan alat

produksinya yang berupa pelandas.Selain terakota, di Situs Trowulan banyak ditemukan juga

berbagai benda yang terbuat dari bahan logam dan batu seperti genta, guci amerta dan arca, yang

telah memiliki nilai seni yang cukup tinggi.Dilihat dari dimensi bentuk, berbagai karya terakota

seperti tersebut menunjukkan bahwa teknologi tanah sudah sangat maju karaena mereka sudaj

mengenal berbagai teknik pembuatan seperti teknik cetak (casting), teknik roda putar (whell

made), teknik tatap pelandas (paddle-alvil) dan teknik tangan (hand-made).

Pada era Majapahit pengetahuan tentang pembuatan barang-barang dari tanah liat bakar

diduga dapat diuraikan dengan prinsip yang sangat sederhana, yaitu membuat bentuk atau model

dari tanah liat, mengeringkan di bawah sinar matahari, dan membakarnya dalam api. Walaupun

prinsipnya sederhana,  berdasarkan pengamatan dapat diketahui, bahwa hasil kesenian terakota

dalam berbagai bentuk tersebut tidak mempunyai cacat bawaan yang diakibatkan kurangnya

pengetahuan dalam proses pembuatannya. Hal ini menunjukkan bahwa si pembuat benda seni

tersebut.Di dalam prasasti dan kitab-kitab kesastraan, para pembuat gerabah disebut ‘andyun’.

Selain bahan dari tanah liat, juaga ada bahan laian seperti bambu, ijuk, dan dari tanaman lain

yang digunakan untuk bahan artefak. Di dalam prasati dikenal: anganamanam(anayam-

anyaman), magawai payung (tukang membuat payung).Di Trowulan juga banyak ditemukan

miniatur bangunan  terakota, terdiri dari aneka bentuk miniatur ini ada yang menggambarkan

bangunan suci (candi) dan ada yang menggambarkan berbagai bentuk bangunan rumah. Dilihat

dari bentuk atapnya bangunan rurmah ada yang beratap tajuk, kampung, limasan, dan

gonjong.Penutup atap ada yang terbuat dari genteng, sirap, bambu, dan ijuk atau

rumbia.Bangunan yang ada dapat dibedakan menjadi bangunan terbuka tanpa dinding serta

bangunan yang tertutup.

Foto celengan babi peninggalan kerajaan Majapahit

             Salah satu temuan terakota dari Situs Trowulan adalah arca binatang yang bagiannya

berongga sehingga arca itu nampak sangat gemuk dan digambarkan dengan posisi duduk; pada

bagian punggungnya diberi lubang sempit memanjang, Bentuk arca seperti ini mengingatkan

kepada ‘celengan’ sebagai tempat/wadah menabung uang. Selain arca binatang, ‘celengan’

terakota lainnya ada yang berbentuk bulatan biasa seperti ‘bola’ dengan diberi pegangan pada

bagian atas dan sedikit hiasan.Dalam perkembangannya istilah celengan (babi-babian) yang

berasal dari kata celeng, atau babi hutan tidak hanya digunakan untuk menyebut kotak uang

dalam bentuk babi, tetapi juga untuk kotak uang dalam bentuk yang lain. Sejauh ini kotak uang

yang ada sebagian besar berbentuk babi yang terbesar berukuran lebih kurang 45 cm dan

tingginya 31 cm. Selain itu terdapat sebuah contoh kotak uang berbentuk induk babi yang

dikelilingi oleh 4 ekor anaknya. Sampai sekarang di Jawa Timur istilah yang dipakai untuk

menyebut kotak uang yang berbentuk babi adalah celengan.Wujud celengan hewan bukanlah

tanpa makna.Ini bentuk ekspresif manusia yang menganggap sejumlah binatang menandai simbol

tertentu.Wujud babi diyakini sebagai bentuk kemakmuran.

Artefak Terakota

Artefak atau artifact merupakan benda arkeologi atau peningalan benda-benda bersejarah,

yaitu semua benda yang dibuat atau dimodifikasi oleh manusia yang dapat dipindahkan.Contoh

artefak adalah alat-alat batu, logam dan tulang, gerabah, prasasti lempeng dan kertas, senjata-

senjata logam (anak panah, mata panah, dll), terracotta dan tanduk binatang.barang yang

bersejarah ini sangatlah penting untuk diletakkan di museum sehingga semua orang dapat melihat

dan mempelajarinya.

Artefak dalam arkeologi mengandung pengertian benda (atau bahan alam) yang jelas

dibuat oleh (tangan) manusia atau jelas menampakkan (observable) adanya jejak-jejak buatan

manusia padanya (bukan benda alamiah semata) melalui teknologi pengurangan maupun

teknologi penambahan pada benda alam tersebut.Ciri penting dalam konsep artefak adalah bahwa

benda ini dapat bergerak atau dapat dipindahkan (movable) oleh tangan manusia dengan mudah

(relatif) tanpa merusak atau menghancurkan bentuknya. Banyak artefak terakota yang ditemukan

di Trowulan diantaranya sebagai berikut:

1. Wadah

Banyak wadah dalam berbagai ukuran dan bentuk ditemukan di Trowulan.Wadah

mungkin digunakan untuk berbagai tujuan, dari wadah air sampai wadah gabah.Ada wadah air

berbentuk kotak dan Kendi khas, bejana dengan leher bulat dan tinggi dengan payudara-seperti

cerat berasal dari periode Majapahit.

2.Kepala

Kepala kecil banyak ditemukan di sekitar Trrowulan. Dari berbagai ukuran dari 3 cm

sampai  10cm. Banyak dari kepala menunjukkan fitur Jawa dengan gaya rambut dan perhiasan

telinga. Untuk sebagian besar kepala dibuat solid, tetapi kadang-kadang contoh berdinding tipis

yang ditemukan.Hal ini mendalilkan bahwa wajah yang banyak hiasan mewakili wanita kelas

atas.

3. Figur

Umumnya patung-patung dengan ukuran kecil, dibuat dengan metode kumparan dan

mencubit dengan dekorasi ukiran atau gores, metode pembentukan yang mirip patung-patung lain

yang dibuat dengan pencetakan..Berbagai dari patung ini berekspresi tak terbatas dengan sikap

dan ekspresi alami.

4. Hewan

Salah satu tokoh terkenal hewan terakota Majapahit Majapahit adalah Celengan, Kata

Celengan sebenarnya berasal dari Nama binatang Celeng (Babi), karena bentuk Celengan

memang banyak yang berbentuk Celeng ditemukan di Trowulan. Tokoh hewan lain juga

ditemukan, seperti banteng Nandi dan gajah

5. Relief

Ukiran batu bata telah ditemukan di daerah tersebut.Adegan ini menunjukkan dari

kehidupan sehari-hari dan penggambaran cerita agama atau sastra.Teknik konstruksi yang mirip

dengan relief batu berukir yang terlihat pada candi Borobudur.Untuk sebagian besar batu bata

ditemukan terpisah dan dalam perbaikan yang minim, tetapi urutannya sesekali telah ditemukan.

Sering angka-angka dalam panel digambarkan dalam gaya Jawa Timur, dimana tubuh penuh

frontal, wajah tiga perempat dan kaki berada dalam profil.

6. Tujuan Lain

Orang-orang Majapahit memanfaatkan metode gerabah terakota untuk memproduksi

berbagai objek untuk kebutuhan sehari-hari.Di antaranya; atap, lantai ubin, clupak (lampu),

jobong sumur, ritus religi dan pipa.Beberapa terakota model miniatur arsitektur dan ornamen

arsitektur juga ditemukan.

Karya-karya tersebut semakin menjelaskan bahwa spesifikasi pekerjaan berdasarkan

kompetisi telah berjalan dengan baik. Secara konsptual-teoreitis, suatu inovasi teknolgi akan bias

terwujud manakala ada aspek kepandaian (genius), aspek kebutuhan (need), aspek kesempatan

(opportunity), dan aspek sumber bahan (resources). Aspek kepandaian dan keterampilan saja

tidak menjamin terjadinya inovasi jika masyarakat yang bersangkutan tidak merasa memerlukan

atau membutuhkan. Demikian pula, ketersediaan sumber bahan juga belum menjamin terjadinya

inovasi jika masyarakat tidak memiliki keterampilan atau pengetahuan , tidak merasa

memerlukan.

Artefak Logam

            Artefak logam pada masa majapahit cukup beragam pula, seperti arca perunggu, darpana

perunggu (cermin), dipa perunggu (lampu minyak), alat-alat musik perunggu atau gamelan,

nampan perunggu, keris besi, alat-alat pertanaian besi, artefak perhiasan (emas dan perunggu,

prasasti tembaga. Keberagaman jenis bahan tersebut memenag sudah dinyatakan di sumber lain

khususnya di dalam sumber tertulis prasasti, bahwa untuk mencukupi kebutuhan alat

perlengkapan didalam kehidupan keagamaan maupun kehidupan domestic sudah ada masing-

masing tukang yang disebut pande. Berdasarka pengamatan arteaktual, pengetahuan tentang

metalurgi sudah dikuasai dengan perkembangan ketika itu.Mereka para pande logam telah

mengenal logam dengan baik, logam tunggal dan logam paduan.Teknik pembuatan benda logam

tampak telah dikuasai sesuai dengan kompetensinya masing-masing.Pada prinsipnya, teknik

pengerjaan untuk artefak logam adalah teknik cetak dan teknik tempa.

            Pembuatan dekorasi untuk artefak tembaga dan perunggu dapat dilakukan dengan

beberapa teknik yaitu: repouse, chasing, engraving, overlying, flushing. Teknik repouse adalah

pembuatan dekorasi dengan penempaan dari sisi belakang sehingga menimbulkan hiasan seperti

relief.Penempaan dilakukan secara hati-hati dan perlahan.Teknik tersebut juga dapat dilakukan

dengan penempaan bagian permukaan yang disebut chasing.Kedua macam teknik tersebut tidak

meninggalkan goresan seperti halnya pada teknik engraving. Teknik overlying dilakukan dengan

menempelkan logam lain pada artefak logam yang akan dihias kemudian dipukul-pukul sampai

menempel. Teknik flushing dilakukan dengan melapisi permukaan artefak denagn lempengan

logam menggunakan sodir.

Manfaat sisa-sisa peninggalan pada masa kini

            Dari uraian singkat yang dipaparkan dimuka, warisan budaya kerajaan Mejapahit masih

memilki niai relevansi tinggi bagi kehidupan masa kini. Karya budaya memiliki tiga macam

manfaat yaitu: Ideologis, edukatif dan ekonomis. Nilai ideologis bermakna bahwa warisan

budaya Majapahit bagi masyarakat masa kinimerupakan sebuah kebanggaan.Di dalam warisan

budaya terdapat nilai-nilai luhur.Nilai ekonomis adalah bahwa warisan budaya Majapahit pada

masa kini dapat dimanfaatkan untuk kepeningan ekonomimelalui sector pariwisata. Nilai edukatif

adalah bahwa di dalam warisan budaya terdapat pesan-pesan  edukatif, karena sebuah karya seni

pada hakikatnya mengandung pesan yang ingin disampaikan kepada masyarakat.

            Pesan-pesan semua warisan yang telah diuraikan di depan menisyaratkan bahwa nilai nilai

yang terkandung di dalam kerajaan Majapahit masih bermanfaat untuk kehidupan masa kini:

1. Persatuan dan kesatuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara2. Rasa saling menghormati sesame umat beragama3.  Ketaatan dalam hukum4.  Perdamaian dan kedamaian dalam mengerjakan kehidupan bermasyarakat5. Ketahanan budaya yang tangguh dalam menghadapi pengaruh budaya asing6.  Peran kebudayaan lokal yang kuat.

Sejarah Terbentuknya Kerajaan Majapahit

Pada saat terjadi serangan Jayakatwang, Raden Wijaya bertugas menghadang bagian utara, ternyata serangan yang lebih besar justru dilancarkan dari selatan. Maka ketika Raden Wijaya kembali ke Istana, ia melihat Istana Kerajaan Singasari hampir habis dilalap api dan mendengar Kertanegara telah terbunuh bersama pembesar-pembesar lainnya. Akhirnya ia melarikan diri bersama sisa-sisa tentaranya yang masih setia dan dibantu penduduk desa Kugagu. Setelah merasa aman ia pergi ke Madura meminta perlindungan dari Aryawiraraja. Berkat bantuannya ia

berhasil menduduki tahta, dengan menghadiahkan daerah tarik kepada Raden Wijaya sebagai daerah kekuasaannya. Ketika tentara Mongol datang ke Jawa dengan dipimpin Shih-Pi, Ike-Mise, dan Kau Hsing dengan tujuan menghukum Kertanegara, maka Raden Wijaya memanfaatkan situasi itu untuk bekerja sama menyerang Jayakatwang. Setelah Jayakatwang terbunuh, tentara Mongol berpesta pora merayakan kemenanganya. Kesempatan itu pula dimanfaatkan oleh Raden Wijaya untuk berbalik melawan tentara Mongol, sehingga tentara Mongol terusir dari Jawa dan pulang ke negrinya. Maka tahun 1293 Raden Wijaya naik tahta dan bergelar Sri Kertajasa Jayawardhana.

Raja-raja Majapahit

Kertajasa Jawardhana (1293 – 1309)

Merupakan pendiri kerajaan Majapahit, pada masa pemerintahannya, Raden Wijaya dibantu oleh mereka yang turut berjasa dalam merintis berdirinya Kerajaan Majapahit, Aryawiraraja yang sangat besar jasanya diberi kekuasaan atas sebelah Timur meliputi daerah Lumajang, Blambangan. Raden Wijaya memerintah dengan sangat baik dan bijaksana. Susunan pemerintahannya tidak berbeda dengan susunan pemerintahan Kerajaan Singasari.

Raja Jayanegara (1309-1328)

Kala Gemet naik tahta menggantikan ayahnya dengan gelar Sri Jayanegara. Pada Masa pemerintahannnya ditandai dengan pemberontakan-pemberontakan. Misalnya pemberontakan Ranggalawe 1231 saka, pemberontakan Lembu Sora 1233 saka, pemberontakan Juru Demung 1235 saka, pemberontakan Gajah Biru 1236 saka, Pemberontakan Nambi, Lasem, Semi, Kuti dengan peristiwa Bandaderga. Pemberontakan Kuti adalah pemberontakan yang berbahaya, hampir meruntuhkan Kerajaan Majapahit. Namun semua itu dapat diatasi. Raja Jayanegara dibunuh oleh tabibnya sendiri yang bernama Tanca. Tanca akhirnya dibunuh pula oleh Gajah Mada.

Tribuwana Tunggadewi (1328 – 1350)

Raja Jayanegara meninggal tanpa meninggalkan seorang putrapun, oleh karena itu yang seharusnya menjadi raja adalah Gayatri, tetapi karena ia telah menjadi seorang Bhiksu maka digantikan oleh putrinya Bhre Kahuripan dengan gelar Tribuwana Tunggadewi, yang dibantu oleh suaminya yang bernama Kartawardhana. Pada tahun 1331 timbul pemberontakan yang dilakukan oleh daerah Sadeng dan Keta (Besuki). Pemberontakan ini berhasil ditumpas oleh Gajah Mada yang pada saat itu menjabat Patih Daha. Atas jasanya ini Gajah Mada diangkat sebagai Mahapatih Kerajaan Majapahit menggantikan Pu Naga. Gajah Mada kemudian berusaha menunjukkan kesetiaannya, ia bercita-cita menyatukan wilayah Nusantara yang dibantu oleh Mpu Nala dan Adityawarman. Pada tahun 1339, Gajah Mada bersumpah tidak makan Palapa sebelum wilayah Nusantara bersatu. Sumpahnya itu dikenal dengan Sumpah Palapa, adapun isi dari amukti palapa adalah sebagai berikut :”Lamun luwas kalah nusantara isum amakti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, ring Sunda, ring Palembang, ring Tumasik, samana sun amukti palapa”. Kemudian Gajah Mada melakukan penaklukan-penaklukan.

Hayam Wuruk

Hayam Wuruk naik tahta pada usia yang sangat muda yaitu 16 tahun dan bergelar Rajasanegara. Di masa pemerintahan Hayam Wuruk yang didampingi oleh Mahapatih Gajah Mada, Majapahit mencapai keemasannya. Dari Kitab Negerakertagama dapat diketahui bahwa daerah kekuasaan pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, hampir sama luasnya dengan wilayah Indonesia yang sekarang, bahkan pengaruh kerajaan Majapahit sampai ke negara-negara tettangga. Satu-satunya daerah yang tidak tunduk kepada kekuasaaan Majapahit adalah kerajaan Sunda yang saat itu dibawah kekuasaan Sri baduga Maharaja. Hayam Wuruk bermaksud mengambil putri Sunda untuk dijadikan permaisurinya. Setelah putri Sunda (Diah Pitaloka) serta ayahnya Sri Baduga Maharaja bersama para pembesar Sunda berada di Bubat, Gajah Mada melakukan tipu muslihat, Gajah Mada tidak mau perkawinan Hayam Wuruk dengan putri Sunda dilangsungkan begitu saja. Ia menghendaki agar putri Sunda dipersembahkan kepada Majapahit (sebagai upeti). Maka terjadilah perselisihan paham dan akhirnya terjadinya perang Bubat. Banyak korban dikedua belah pihak, Sri Baduga gugur, putri Sunda bunuh diri.

Tahun 1364 Gajah Mada meninggal, Kerajaan Majapahit kehilangan seorang mahapatih yang tak ada duanya. Untuk memilih penggantinya bukan suatu pekerjaan yang mudah. Dewan Saptaprabu yang sudah beberapa kali mengadakan sidang untuk memilih pengganti Gajah Mada akhirnya memutuskan bahwa Patih Hamungkubhumi Gajah Mada tidak akan diganti “untuk mengisi kekosongan dalam pelaksanaan pemerintahan diangkat Mpu Tandi sebagais Wridhamantri, Mpu Nala sebagai menteri Amancanegara dan patih dami sebagai Yuamentri. Raja Hayam Wuruk meninggal pada tahun 1389.

Wikramawardhana

Putri mahkota Kusumawardhani yang naik tahta menggantikan ayahnya bersuamikan Wikramawardhana. Dalam prakteknya Wikramawardhanalah yang menjalankan roda pemerintahan. Sedangkan Bhre Wirabhumi anak Hayam Wuruk dari selir, karena Bhre Wirabhumi (Putri Hayam Wuruk) dari selir maka ia tidak berhak menduduki tahta kerajaan walaupun demikian ia masih diberi kekuasaan untuk memerintah di Bagian Timur Majapahit , yaitu daerah Blambangan. Perebutan kekuasaan antara Wikramawardhana dengan Bhre Wirabhumi disebut perang Paregreg.

Wikramawardhana meninggal tahun 1429, pemerintahan raja-raja berikutnya berturut-turut adalah Suhita, Kertawijaya, Rajasa Wardhana, Purwawisesa dan Brawijaya V, yang tidak luput ditandai perebutan kekuasaan.

Sumber Sejarah berdirinya Kerajaan Majaahit

Sumber sejarah mengenai berdiri dan berkembangnya kerajaan Majapahit berasal dari berbagai sumber yakni :

Prasasti Butok (1244 tahun). Prasasti ini dikeluarkan oleh Raden Wijaya setelah ia berhasil naik tahta kerajaan. Prasasti ini memuat peristiwa keruntuhan kerajaan Singasari dan perjuangan Raden Wijaya untuk mendirikan kerajaan

Kidung Harsawijaya dan Kidung Panji Wijayakrama, kedua kidung ini menceritakan Raden Wijaya ketika menghadapi musuh dari kediri dan tahun-tahun awal perkembangan Majapahit

Kitab Pararaton, menceritakan tentang pemerintahan raja-raja Singasari dan Majapahit

Kitab Negarakertagama, menceritakan tentang perjalanan Rajam Hayam Wuruk ke Jawa Timur.

Kehidupan Politik

Majapahit selalu menjalankan politik bertetangga yang baik dengan kerajaan asing, seperti Kerajaan Cina, Ayodya (Siam), Champa dan Kamboja. Hal itu terbukti sekitar tahun 1370 – 1381, Majapahit telah beberapa kali mengirim utusan persahabatan ke Cina. Hal itu diketahui dari berita kronik Cina dari Dinasti Ming.

Raja kerajaan Majapahit sebagai negarawan ulung juga sebagai politikus-politikus yang handal. Hal ini dibuktikan oleh Raden Wiajaya, Hayam Wuruk, dan Maha Patih Gajahmada dalam usahanya mewujudkan kerajaan besar, tangguh dan berwibawa. Struktur pemerintahan di pusat pemerintahan Majapahit :

1. Raja

2. Yuaraja atau Kumaraja (Raja Muda)

3. Rakryan Mahamantri Katrini

a. Mahamantri i-hino

b. Mahamantri i –hulu

c. Mahamantri i-sirikan

4. Rakryan Mahamantri ri Pakirakiran

a. Rakryan Mahapatih (Panglima/Hamangkubhumi)

b. Rakryan Tumenggung (panglima Kerajaan)

c. Rakryan Demung (Pengatur Rumah Tangga Kerajaan)

d. Rakryan Kemuruhan (Penghubung dan tugas-tugas protokoler) dan

e. Rakryan Rangga (Pembantu Panglima)

5. Dharmadyaka yang diduduki oleh 2 orang, masing-masing dharmadyaka dibantu oleh sejumlah pejabat keagamaan yang disebut Upapat. Pada masa hayam Wuruk ada 7 Upapati.

Selain pejabat-pejabat yang telah disebutkan dibawah raja ada sejumlah raja daerah (paduka bharata) yang masing-masing memerintah suatu daerah. Disamping raja-raja daerah adapula pejabat-pejabat sipil maupun militer. Dari susunan pemerintahannya kita dapat melihat bahwa sistem pemerintahan dan kehidupan politik kerjaan Majapahit sudah sangat teratur.

Kehidupan Sosial Ekonomi dan Kebudayaan Kerajaan Majapahit

Hubungan persahabatan yang dijalin dengan negara tentangga itu sangat mendukung dalam bidang perekonomian (pelayaran dan perdagangan). Wilayah kerajaan Majapahit terdiri atas pulau dan daerah kepulauan yang menghasilkan berbagai sumber barang dagangan.

Barang dagangan yang dipasarkan antara lain beras, lada, gading, timah, besi, intan, ikan, cengkeh, pala, kapas dan kayu cendana.

Dalam dunia perdagangan, kerajaan Majapahit memegang dua peranan yang sangat penting.

Sebagai kerajaan Produsen – Majapahit mempunyai wilayah yang sangat luas dengan kondisi tanah yang sangat subur. Dengan daerah subur itu maka kerajaan Majapahit merupakan produsen barang dagangan.

Sebagai Kerajaan Perantara – Kerajaan Majapahit membawa hasil bumi dari daerah yang satu ke daerah yang lainnya. Keadaan masyarakat yang teratur mendukung terciptanya karya-karya budaya yang bermutu. bukti-bukti.perkembangan kebudayaan di kerajaan Majapahit dapat diketahui melalui peninggalan-peninggalan berikut ini :

Candi : Antara lain candi Penataran (Blitar), Candi Tegalwangi dan candi Tikus (Trowulan).

Sastra : Hasil sastra zaman Majapahit dapat kita bedakan menjadi

Sastra Zaman Majapahit Awal

Kitab Negarakertagama, karangan Mpu Prapanca

Kitab Sutasoma, karangan Mpu Tantular

Kitab Arjunawiwaha, karangan Mpu Tantular

Kitab Kunjarakarna

Kitab Parhayajna

Sastra Zaman Majapahit Akhir

Hasil sastra zaman Majapahit akhir ditulis dalam bahasa Jawa Tengah, diantaranya ada yang ditulis dalam bentuk tembang (kidung) dan yang ditulis dalam bentuk gancaran (prosa). Hasil sastra terpenting antara lain :

Kitab Prapanca, isinya menceritakan raja-raja Singasari dan Majapahit

Kitab Sundayana, isinya tentang peristiwa Bubat

Kitab Sarandaka, isinya tentang pemberontakan sora

Kitab Ranggalawe, isinya tentang pemberontakan Ranggalawe

Panjiwijayakrama, isinya menguraikan riwayat Raden Wijaya sampai menjadi raja

Kitab Usana Jawa, isinya tentang penaklukan Pulau Bali oleh Gajah Mada dan Aryadamar, pemindahan Keraton Majapahit ke Gelgel dan penumpasan raja raksasa bernama Maya Denawa.

Kitab Usana Bali, isinya tentanng kekacauan di Pulau Bali.

Selain kitab-kitab tersebut masih ada lagi kitab sastra yang penting pada zaman Majapahit akhir seperti Kitab Paman Cangah, Tantu Pagelaran, Calon Arang, Korawasrama, Babhulisah, Tantri Kamandaka dan Pancatantra.

Sejarah Runtuhnya Kerajaan Majapahit

Kehancuran Kerajaan Majapahit, yang di sertai tumbuhnya negara-negara Islam di Bumi Nusantara, menyimpan banyak sekali fakta sejarah yang sangat menarik untuk diungkap kembali. Sebagai kerajaan Hindu terbesar di tanah Jawa, Majapahit bukan saja menjadi romantisme sejarah dari puncak kemajuan peradaban Hindu-Jawa, sudah menjadi bukti sejarah tentang pergulatan politik yang terjadi di tengah islamisasi pada masa peralihan.

Keruntuhan Kerajaan Majapahit banyak mengantarkan suatu peradaban bagi orang China dalam proses islamisasi di Nusantara. Stigma yang kecenderungan para sejarawan dalam mengungkapkan bahwa kedatangan Islam di Indonesia lebih pada kecenderungan orang Arablah yang berjasa sebagai penyebar Islam, sehingga tidak pernah melirik, orang China pernah andil dalam membangun peradaban Islam.

Peristiwa keruntuhan Majapahit yang berpusat di Mojokerto diyakini terjadi tahun 1478, namun sering diceritakan dalam berbagai versi, antara lain:

Raja terakhir adalah Brawijaya. Ia dikalahkan oleh Raden Patah dari Demak. Brawijaya mengundurkan diri dan pindah ke gunung Lawu, kemudian masuk agama Islam melalui Sunan Kalijaga, dimana pengikut setianya yaitu Sabdapalon dan Noyogenggong sangat menentang

kepindahan agamanya.

Sehingga, dikenal adanya semacam sumpah dari Sabdopalon dan Noyogenggong, yang salah satunya mengatakan bahwa sekitar Teori ini muncul berdasarkan penemuan Kronik Cina dari Kuil Sam Po Kong. 500 tahun kemudian, akan tiba waktunya, hadirnya kembali agama budi, yang kalau ditentang, akan menjadikan tanah Jawa hancur lebur luluh lantak.

Majapahit runtuh tahun 1478, ketika Girindrawardhana memisahkan diri dari Majapahit dan menamakan dirinya sebagai raja Wilwatikta Daha Janggala Kediri. Tahun peristiwa tersebut di tulis dalam Candrasangkala yang berbunyi “Hilang sirna kertaning bhumi”.

Kebudayaan Majapahit

Gapura Bajang Ratu, gerbang masuk salah satu kompleks bangunan penting di ibu kota Majapahit. Bangunan ini masih tegak berdiri di Trowulan.

“Dari semua bangunan, tidak ada tiang yang luput dari ukiran halus dan warna indah” [Dalam lingkungan dikelilingi tembok] “terdapat pendopo anggun beratap ijuk, indah bagai pemandangan dalam lukisan… Kelopak bunga katangga gugur tertiup angin dan bertaburan di atas atap. Atap itu bagaikan rambut gadis yang berhiaskan bunga, menyenangkan hati siapa saja yang memandangnya”.

— Gambaran ibu kota Majapahit kutipan dari Nagarakertagama.

Nagarakretagama menyebutkan budaya keraton yang adiluhung dan anggun, dengan cita rasa seni dan sastra yang halus, serta sistem ritual keagamaan yang rumit. Peristiwa utama dalam kalender tata negara digelar tiap hari pertama bulan Caitra (Maret-April) ketika semua utusan dari semua wilayah taklukan Majapahit datang ke istana untuk membayar upeti atau pajak. Kawasan Majapahit secara sederhana terbagi dalam tiga jenis: keraton termasuk kawasan ibu kota dan sekitarnya; wilayah-wilayah di Jawa Timur dan Bali yang secara langsung dikepalai oleh pejabat yang ditunjuk langsung oleh raja; serta wilayah-wilayah taklukan di kepulauan Nusantara yang menikmati otonomi luas.[25]

Ibu kota Majapahit di Trowulan merupakan kota besar dan terkenal dengan perayaan besar keagamaan yang diselenggarakan setiap tahun. Agama Buddha, Siwa, dan Waisnawa (pemuja Wisnu) dipeluk oleh penduduk Majapahit, dan raja dianggap sekaligus titisan Buddha, Siwa, maupun Wisnu. Nagarakertagama sama sekali tidak menyinggung tentang Islam, akan tetapi sangat mungkin terdapat beberapa pegawai atau abdi istana muslim saat itu.[2]

Walaupun batu bata telah digunakan dalam candi pada masa sebelumnya, arsitek Majapahitlah yang paling ahli menggunakannya[26]. Candi-candi Majapahit berkualitas baik secara geometris dengan memanfaatkan getah tumbuhan merambat dan gula merah sebagai perekat batu bata. Contoh candi Majapahit yang masih dapat ditemui sekarang adalah Candi Tikus dan Gapura Bajang Ratu di Trowulan, Mojokerto.

“…. Raja [Jawa] memiliki bawahan tujuh raja bermahkota. [Dan] pulaunya berpenduduk banyak, merupakan pulau terbaik kedua yang pernah ada…. Raja pulau ini memiliki istana yang luar biasa mengagumkan. Karena sangat besar, tangga dan bagian dalam ruangannya berlapis emas dan perak, bahkan atapnya pun bersepuh emas. Kini Khan Agung dari China beberapa kali berperang melawan raja ini; akan tetapi selalu gagal dan raja ini selalu berhasil mengalahkannya.”

— Gambaran Majapahit menurut Mattiussi (Pendeta Odorico da Pordenone).[27]

Catatan yang berasal dari sumber Italia mengenai Jawa pada era Majapahit didapatkan dari catatan perjalanan Mattiussi, seorang pendeta Ordo Fransiskan dalam bukunya: “Perjalanan Pendeta Odorico da Pordenone”. Ia mengunjungi beberapa tempat di Nusantara: Sumatera, Jawa, dan Banjarmasin di Kalimantan. Ia dikirim Paus untuk menjalankan misi Katolik di Asia Tengah. Pada 1318 ia berangkat dari Padua, menyeberangi Laut Hitam dan menembus Persia, terus hingga mencapai Kolkata, Madras, dan Srilanka. Lalu menuju kepulauan Nikobar hingga mencapai Sumatera, lalu mengunjungi Jawa dan Banjarmasin. Ia kembali ke Italia melalui jalan darat lewat Vietnam, China, terus mengikuti Jalur Sutra menuju Eropa pada 1330.

Di buku ini ia menyebut kunjungannya di Jawa tanpa menjelaskan lebih rinci nama tempat yang ia kunjungi. Disebutkan raja Jawa menguasai tujuh raja bawahan. Disebutkan juga di pulau ini terdapat banyak cengkeh, kemukus, pala, dan berbagai rempah-rempah lainnya. Ia menyebutkan istana raja Jawa sangat mewah dan mengagumkan, penuh bersepuh emas dan perak. Ia juga menyebutkan raja Mongol beberapa kali berusaha menyerang Jawa, tetapi selalu gagal dan berhasil diusir kembali. Kerajaan Jawa yang disebutkan disini tak lain adalah Majapahit yang dikunjungi pada suatu waktu dalam kurun 1318-1330 pada masa pemerintahan Jayanegara.[sunting] EkonomiCelengan zaman Majapahit, abad 14-15 Masehi Trowulan, Jawa Timur. (Koleksi Museum Gajah, Jakarta)

Majapahit merupakan negara agraris dan sekaligus negara perdagangan[15]. Pajak dan denda dibayarkan dalam uang tunai. Ekonomi Jawa telah sebagian mengenal mata uang sejak abad ke-8 pada masa kerajaan Medang yang menggunakan butiran dan keping uang emas dan perak. Sekitar tahun 1300, pada masa pemerintahan raja pertama Majapahit, sebuah perubahan moneter penting terjadi: keping uang dalam negeri diganti dengan uang “kepeng” yaitu keping uang tembaga impor dari China. Pada November 2008 sekitar 10.388 keping koin China kuno seberat sekitar 40 kilogram digali dari halaman belakang seorang penduduk di Sidoarjo. Badan Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Timur memastikan bahwa koin tersebut berasal dari era Majapahit.[28] Alasan penggunaan uang logam atau koin asing ini tidak disebutkan dalam catatan sejarah, akan tetapi kebanyakan ahli menduga bahwa dengan semakin kompleksnya ekonomi Jawa, maka diperlukan uang pecahan kecil atau uang receh dalam sistem mata uang Majapahit agar dapat digunakan dalam aktivitas ekonomi sehari-hari di pasar Majapahit. Peran ini tidak cocok dan tidak dapat dipenuhi oleh uang emas dan perak yang mahal.[25]

Beberapa gambaran mengenai skala ekonomi dalam negeri Jawa saat itu dikumpulkan dari berbagai data dan prasasti. Prasasti Canggu yang berangka tahun 1358 menyebutkan sebanyak 78 titik perlintasan berupa tempat perahu penyeberangan di dalam negeri (mandala Jawa).[25] Prasasti dari masa Majapahit menyebutkan berbagai macam pekerjaan dan spesialisasi karier, mulai dari pengrajin emas dan perak, hingga penjual minuman, dan jagal atau tukang daging. Meskipun banyak di antara pekerjaan-pekerjaan ini sudah ada sejak zaman sebelumnya, namun proporsi populasi yang mencari pendapatan dan bermata pencarian di luar pertanian semakin meningkat pada era Majapahit.

Menurut catatan Wang Ta-Yuan, pedagang Tiongkok, komoditas ekspor Jawa pada saat itu ialah lada, garam, kain, dan burung kakak tua, sedangkan komoditas impornya adalah mutiara, emas, perak, sutra, barang keramik, dan barang dari besi. Mata uangnya dibuat dari campuran perak, timah putih, timah hitam, dan tembaga[29]. Selain itu, catatan Odorico da Pordenone, biarawan Katolik Roma dari Italia yang mengunjungi Jawa pada tahun 1321, menyebutkan bahwa istana raja Jawa penuh dengan perhiasan emas, perak, dan permata. [30]

Kemakmuran Majapahit diduga karena dua faktor. Faktor pertama; lembah sungai Brantas dan Bengawan Solo di dataran rendah Jawa Timur utara sangat cocok untuk pertanian padi. Pada masa jayanya Majapahit membangun berbagai infrastruktur irigasi, sebagian dengan dukungan pemerintah. Faktor kedua; pelabuhan-pelabuhan Majapahit di pantai utara Jawa mungkin sekali berperan penting sebagai pelabuhan pangkalan untuk mendapatkan komoditas rempah-rempah Maluku. Pajak yang dikenakan pada komoditas rempah-rempah yang melewati Jawa merupakan sumber pemasukan penting bagi Majapahit.[25]

Nagarakretagama menyebutkan bahwa kemashuran penguasa Wilwatikta telah menarik banyak pedagang asing, di antaranya pedagang dari India, Khmer, Siam, dan China. Pajak khusus dikenakan pada orang asing terutama yang menetap semi-permanen di Jawa dan melakukan pekerjaan selain perdagangan internasional. Majapahit memiliki pejabat sendiri untuk mengurusi pedagang dari India dan Tiongkok yang menetap di ibu kota kerajaan maupun berbagai tempat lain di wilayah Majapahit di Jawa[31].[sunting] Struktur pemerintahanArca dewi Parwati sebagai perwujudan anumerta Tribhuwanottunggadewi, ratu Majapahit ibunda Hayam Wuruk.

Majapahit memiliki struktur pemerintahan dan susunan birokrasi yang teratur pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, dan tampaknya struktur dan birokrasi tersebut tidak banyak berubah selama perkembangan sejarahnya [32]. Raja dianggap sebagai penjelmaan dewa di dunia dan ia memegang otoritas politik tertinggi.[sunting] Aparat birokrasi

Raja dibantu oleh sejumlah pejabat birokrasi dalam melaksanakan pemerintahan, dengan para putra dan kerabat dekat raja memiliki kedudukan tinggi. Perintah raja biasanya diturunkan kepada pejabat-pejabat di bawahnya, antara lain yaitu:

Rakryan Mahamantri Katrini, biasanya dijabat putra-putra rajaRakryan Mantri ri Pakira-kiran, dewan menteri yang melaksanakan pemerintahan

Dharmmadhyaksa, para pejabat hukum keagamaanDharmma-upapatti, para pejabat keagamaan

Dalam Rakryan Mantri ri Pakira-kiran terdapat seorang pejabat yang terpenting yaitu Rakryan Mapatih atau Patih Hamangkubhumi. Pejabat ini dapat dikatakan sebagai perdana menteri yang bersama-sama raja dapat ikut melaksanakan kebijaksanaan pemerintahan. Selain itu, terdapat pula semacam dewan pertimbangan kerajaan yang anggotanya para sanak saudara raja, yang disebut Bhattara Saptaprabhu.[sunting] Pembagian wilayah

Dalam pembentukannya, kerajaan Majapahit merupakan kelanjutan Singhasari[13], terdiri atas beberapa kawasan tertentu di bagian timur dan bagian tengah Jawa. Daerah ini diperintah oleh uparaja yang disebut Paduka Bhattara yang bergelar Bhre. Gelar ini adalah gelar tertinggi bangsawan kerajaan. Biasanya posisi ini hanyalah untuk kerabat dekat raja. Tugas mereka adalah untuk mengelola kerajaan mereka, memungut pajak, dan mengirimkan upeti ke pusat, dan mengelola pertahanan di perbatasan daerah yang mereka pimpin.

Selama masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350 s.d. 1389) ada 12 wilayah di Majapahit, yang dikelola oleh kerabat dekat raja. Hierarki dalam pengklasifikasian wilayah di kerajaan Majapahit dikenal sebagai berikut:

Bhumi: kerajaan, diperintah oleh RajaNagara: diperintah oleh rajya (gubernur), atau natha (tuan), atau bhre (pangeran atau bangsawan)Watek: dikelola oleh wiyasa,Kuwu: dikelola oleh lurah,Wanua: dikelola oleh thani,Kabuyutan: dusun kecil atau tempat sakral.

No Provinsi Gelar Penguasa Hubungan dengan Raja1 Kahuripan (atau Janggala, sekarang Surabaya) Bhre Kahuripan Tribhuwanatunggadewi ibu suri2 Daha (bekas ibukota dari Kediri) Bhre Daha Rajadewi Maharajasa bibi sekaligus ibu mertua3 Tumapel (bekas ibukota dari Singhasari) Bhre Tumapel Kertawardhana ayah4 Wengker (sekarang Ponorogo) Bhre Wengker Wijayarajasa paman sekaligus ayah mertua5 Matahun (sekarang Bojonegoro) Bhre Matahun Rajasawardhana suami dari Putri Lasem, sepupu raja6 Wirabhumi (Blambangan) Bhre Wirabhumi Bhre Wirabhumi1 anak7 Paguhan Bhre Paguhan Singhawardhana saudara laki-laki ipar8 Kabalan Bhre Kabalan Kusumawardhani2 anak perempuan9 Pawanuan Bhre Pawanuan Surawardhani keponakan perempuan10 Lasem (kota pesisir di Jawa Tengah) Bhre Lasem Rajasaduhita Indudewi sepupu11 Pajang (sekarang Surakarta) Bhre Pajang Rajasaduhita Iswari saudara perempuan12 Mataram (sekarang Yogyakarta) Bhre Mataram Wikramawardhana2 keponakan laku-laki

Catatan:1 Bhre Wirabhumi sebenarnya adalah gelar: Pangeran Wirabhumi (blambangan), nama aslinya tidak diketahui dan sering disebut sebagai Bhre Wirabhumi dari Pararaton. Dia menikah dengan Nagawardhani, keponakan perempuan raja.2 Kusumawardhani (putri raja) menikah dengan Wikramawardhana (keponakan laki-laki raja), pasangan ini lalu menjadi pewaris tahta.

Sedangkan dalam Prasasti Wingun Pitu (1447 M) disebutkan bahwa pemerintahan Majapahit dibagi menjadi 14 daerah bawahan, yang dipimpin oleh seseorang yang bergelar Bhre.[33] Daerah-daerah bawahan tersebut yaitu:

DahaJagaragaKabalan

KahuripanKelingKelinggapura

Kembang JenarMatahunPajang

SinghapuraTanjungpuraTumapel

WengkerWirabumi

Saat Majapahit memasuki era kemaharajaan Thalasokrasi saat pemerintahan Gajah Mada, beberapa negara bagian di luar negeri juga termasuk dalam lingkaran pengaruh Majapahit, sebagai hasilnya, konsep teritorial yang lebih besar pun terbentuk:

Negara Agung, atau Negara Utama, inti kerajaan. Area awal Majapahit atau Majapahit Lama selama masa pembentukannya sebelum memasuki era kemaharajaan. Yang termasuk area ini adalah ibukota kerajaan dan wilayah sekitarnya dimana raja secara efektif menjalankan pemerintahannya. Area ini meliputi setengah bagian timur Jawa, dengan semua provinsinya yang dikelola oleh para Bhre (bangsawan), yang merupakan kerabat dekat raja.Mancanegara, area yang melingkupi Negara Agung. Area ini secara langsung dipengaruhi oleh budaya Jawa, dan wajib membayar upeti tahunan. Akan tetapi, area-area tersebut biasanya memiliki penguasa atau raja pribumi, yang kemungkinan membentuk aliansi atau menikah dengan keluarga kerajaan Majapahit. Kerajaan Majapahit menempatkan birokrat dan pegawainya di tempat-tempat ini dan mengatur kegiatan perdagangan luar negeri mereka dan mengumpulkan pajak, namun mereka menikmati otonomi internal yang cukup penting. Termasuk didalamnya daerah Pulau Jawa lainnya, Madura, Bali, dan juga Dharmasraya, Pagaruyung, Lampung dan Palembang di Sumatra.Nusantara, adalah area yang tidak merefleksikan kebudayaan Jawa, tetapi termasuk ke dalam koloni dan mereka harus membayar upeti tahunan. Mereka menikmati otonomi yang cukup dan kebebasan internal, dan Majapahit tidak merasa penting untuk menempatkan birokratnya atau tentara militernya di sini; akan tetapi, tantangan apa pun yang terlihat mengancam Majapahit akan menghasilkan reaksi keras. Termasuk dalam area ini adalah kerajaan kecil dan koloni di Maluku, Kepulauan Nusa Tenggara, Sulawesi, Kalimantan, dan Semenanjung Malaya.

Ketiga kategori itu masuk ke dalam lingkaran pengaruh Kerajaan Majapahit. Akan tetapi Majapahit juga mengenal lingkup keempat yang didefinisikan sebagai hubungan diplomatik luar negeri:

Mitreka Satata, yang secara harafiah berarti “mitra dengan tatanan (aturan) yang sama”. Hal itu menunjukkan negara independen luar negeri yang dianggap setara oleh Majapahit, bukan sebagai bawahan dalam kekuatan Majapahit. Menurut Negarakertagama pupuh 15, bangsa asing adalah Syangkayodhyapura (Ayutthaya dari Thailand), Dharmmanagari (Kerajaan Nakhon Si Thammarat), Marutma, Rajapura dan Sinhanagari (kerajaan di Myanmar), Kerajaan Champa, Kamboja (Kamboja), dan Yawana (Annam).[34] Mitreka Satata dapat dianggap sebagai aliansi Majapahit, karena kerajaan asing di luar negeri seperti China dan India tidak termasuk dalam kategori ini meskipun Majapahit telah melakukan hubungan luar negeri dengan kedua bangsa ini.

[sunting] Raja-raja MajapahitSilsilah wangsa Rajasa, keluarga penguasa Singhasari dan Majapahit. Penguasa ditandai dalam gambar ini.[35]

Para penguasa Majapahit adalah penerus dari keluarga kerajaan Singhasari, yang dirintis oleh Sri Ranggah Rajasa, pendiri Wangsa Rajasa pada akhir abad ke-13. Berikut adalah daftar penguasa Majapahit. Perhatikan bahwa terdapat periode kekosongan antara pemerintahan Rajasawardhana (penguasa ke-8) dan Girishawardhana yang mungkin diakibatkan oleh krisis suksesi yang

memecahkan keluarga kerajaan Majapahit menjadi dua kelompok[8].Nama Raja Gelar TahunRaden Wijaya Kertarajasa Jayawardhana 1293 – 1309Kalagamet Sri Jayanagara 1309 – 1328Sri Gitarja Tribhuwana Wijayatunggadewi 1328 – 1350Hayam Wuruk Sri Rajasanagara 1350 – 1389Wikramawardhana 1389 – 1429Suhita Dyah Ayu Kencana Wungu 1429 – 1447Kertawijaya Brawijaya I 1447 – 1451Rajasawardhana Brawijaya II 1451 – 1453Purwawisesa atau Girishawardhana Brawijaya III 1456 – 1466Bhre Pandansalas, atau Suraprabhawa Brawijaya IV 1466 – 1468Bhre Kertabumi Brawijaya V 1468 – 1478Girindrawardhana Brawijaya VI 1478 – 1498Patih Udara 1498 – 1518[sunting] Warisan sejarahArca pertapa Hindu dari masa Majapahit akhir. Koleksi Museum für Indische Kunst, Berlin-Dahlem, Jerman.

Majapahit telah menjadi sumber inspirasi kejayaan masa lalu bagi bangsa-bangsa Nusantara pada abad-abad berikutnya.[sunting] Legitimasi politik

Kesultanan-kesultanan Islam Demak, Pajang, dan Mataram berusaha mendapatkan legitimasi atas kekuasaan mereka melalui hubungan ke Majapahit. Demak menyatakan legitimasi keturunannya melalui Kertabhumi; pendirinya, Raden Patah, menurut babad-babad keraton Demak dinyatakan sebagai anak Kertabhumi dan seorang Putri Cina, yang dikirim ke luar istana sebelum ia melahirkan. Penaklukan Mataram atas Wirasaba tahun 1615 yang dipimpin langsung oleh Sultan Agung sendiri memiliki arti penting karena merupakan lokasi ibukota Majapahit. Keraton-keraton Jawa Tengah memiliki tradisi dan silsilah yang berusaha membuktikan hubungan para rajanya dengan keluarga kerajaan Majapahit — sering kali dalam bentuk makam leluhur, yang di Jawa merupakan bukti penting — dan legitimasi dianggap meningkat melalui hubungan tersebut. Bali secara khusus mendapat pengaruh besar dari Majapahit, dan masyarakat Bali menganggap diri mereka penerus sejati kebudayaan Majapahit.[26]

Para penggerak nasionalisme Indonesia modern, termasuk mereka yang terlibat Gerakan Kebangkitan Nasional di awal abad ke-20, telah merujuk pada Majapahit, disamping Sriwijaya, sebagai contoh gemilang masa lalu Indonesia. Majapahit kadang dijadikan acuan batas politik negara Republik Indonesia saat ini.[15] Dalam propaganda yang dijalankan tahun 1920-an, Partai Komunis Indonesia menyampaikan visinya tentang masyarakat tanpa kelas sebagai penjelmaan kembali dari Majapahit yang diromantiskan.[36]Sukarno juga mengangkat Majapahit untuk kepentingan persatuan bangsa, sedangkan Orde Baru menggunakannya untuk kepentingan perluasan dan konsolidasi kekuasaan negara.[37] Sebagaimana Majapahit, negara Indonesia modern meliputi wilayah yang luas dan secara politik berpusat di pulau Jawa.

Beberapa simbol dan atribut kenegaraan Indonesia berasal dari elemen-elemen Majapahit. Bendera kebangsaan Indonesia “Sang Merah Putih” atau kadang disebut “Dwiwarna” (“dua warna”), berasal dari warna Panji Kerajaan Majapahit. Demikian pula bendera armada kapal perang TNI Angkatan Laut berupa garis-garis merah dan putih juga berasal dari warna Majapahit. Semboyan nasional Indonesia, “Bhinneka Tunggal Ika”, dikutip dari “Kakawin Sutasoma” yang ditulis oleh Mpu Tantular, seorang pujangga Majapahit.