Kepailitan
-
Upload
andi-syahriel -
Category
Documents
-
view
150 -
download
1
description
Transcript of Kepailitan
Tugas Individu Hukum Bisnis
PENGADILAN TOLAK GUGATAN PAILIT
TERHADAP KARK (DAYAINDO)
ANDI SYAHRIL
361 12 039
1B-D3
JURUSAN AKUNTANSI
POLITEKNIK NEGERI UJUNGPANDANG
2013
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah senantiasa dipanjatkan atas kehadirat Tuhan
Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan dan penyusunan makalah ini yang berjudul
“PENGADILAN TOLAK GUGATAN PAILIT TERHADAP KARK” dengan
tepat waktu yang merupakan salah satu syarat untuk melengkapi salah satu tugas
pada mata kuliah Hukum Bisnis dalam Program Studi Akuntansi Politeknik
Negeri Ujung Pandang (PNUP).
Saya sangat menyadari bahwa dalam makalah ini, baik isi maupun
penyajian makalah masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu Saya sangat
mengharapkan adanya kritik dan saran sebagai penyempurnaan makalah ini dari
berbagai pihak terutama Dosen yang bersangkutan, sehingga dikemudian hari
makalah ini dapat bermanfaat bagi semua mahasiswa-mahasiswi di Politeknik
Negeri Ujung Pandang (PNUP).
Dengan demikian Saya mengucapkan terima kasih pada pihak yang secara
langsung maupun tidak langsung yang telah membantu penyusunan makalah ini.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan kesehatan serta Rahmat dan hidayah-
Nya kepada kita semua. Amin.
Makassar, 18 Januari 2013
Penulis
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................... i
KATA PENGANTAR .................................................................... ii
DAFATAR ISI ................................................................................ iii
BAB I. PENDAHULUAN .............................................................. 1
1.1. Latar Belakang ..................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ................................................................ 2
1.3. Tujuan dan Kegunaan .......................................................... 3
BAB II. PEMBAHASAN .............................................................. 4
2.1. Tinjauan Pustaka .................................................................. 4
2.1.1. Pengertian Pailit dan Kepailitan ................................................. 4
2.1.2. Sejarah dan perkembangan Hukum Kepailitan di Indonesia ..... 6
2.1.3. Syarat-syarat suatu perusahaan dinyatakan ................................ 11
2.1.4. Dasar Hukum Kepailitan dan arbitrase........................................ 12
2.1.5. Pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan Pailit ........... 13
2.1.6. Pihak yang terlibat dalam proses Kepailitan .............................. 14
2.1.7. Langkah-langkah dalam menyatakan pailit ................................ 15
2.1.8. Akibat Putusan Pailit .................................................................. 18
2.1.9. Pengertian arbitrase dan alasan memilih arbitrase ..................... 19
2.1.10. Pelaksanaan putusan arbitrase .................................................... 21
2.1.11. Hubungan arbitrase dengan Pengadilan ..................................... 22
iii
2.2. Analisi Masalah ................................................................... 23
BAB III. PENUTUP ......................................................................................... 27
3.1. Kesimpulan .......................................................................... 27
3.2. Saran .................................................................................... 28
DAFATAR PUSTAKA .................................................................................... 29
LAMPIRAN ...................................................................................................... 30
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Indonesia pada umumnya
tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku
ekonomi yang melakukan kegiatan ekonomi. Pertumbuhan dan
perkembangan pelaku-pelaku ekonomi dapat terjadi karena tersedianya
beberapa faktor penunjang serta iklim berusaha yang bagus sebagai salah
satu faktor yang dominan. Meskipun demikian terdapat satu faktor yang
relatif sangat penting dan harus tersedia, ialah tersedianya dana dan sumber
dana, mengingat dana merupakan motor bagi kegiatan dunia usaha pada
umumnya.
Setiap organisasi ekonomi dalam bentuk apapun atau dalam skala
apapun selalu membutuhkan dana yang cukup agar laju kegiatan serta
perkembangannya dapat diharapkan terwujud sesuai dengan
perencanaannya. Kebutuhan dana, adakalanya dapat dipenuhi sendiri (secara
internal) sesuai dengan kemampuan, tetapi adakalanya tidak dapat dipenuhi
sendiri. Untuk itu dibutuhkan bantuan pihak lain (eksternal) yang bersedia
membantu menyediakan dana sesuai dengan kebutuhan dengan cara
meminjam atau berutang kepada pihak lain.
Pada dasarnya pemberian kredit dapat diberikan oleh siapa saja yang
memilki kemampuan, untuk itu melalui perjanjian utang piutang antara
Pemberi utang (kreditur) disatu pihak dan Penerima utang (Debitur) di lain
pihak. Setelah perjanjian tersebut disepakati, maka lahirlah kewajiban pada
diri kreditur, yaitu untuk menyerahkan uang yang diperjanjikan kepada
debitur, dengan hak untuk menerima kembali uang itu dari debitur pada
waktunya, disertai dengan bunga yang disepakati oleh para pihak pada saat
perjanjian pemberian kredit tersebut disetujui oleh para pihak. Hak dan
kewajiban debitur adalah bertimbal balik dengan hak dan kewajiban
kreditur. Selama proses ini tidak menghadapi masalah, dalam arti kedua
pihak melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan yang
diperjanjikan, maka persoalan tidak akan muncul.
Biasanya persoalan baru muncul jika debitur lalai mengembalikan
uang pinjaman sesuai perjanjian yang telah disepakati. Hal tersebut dapat
merugikan pihak kreditur. Sehingga kreditur dapat menggugat debitur di
pengadilan niaga atas dasar tidak mampu lagi membayar utang-utangnya.
Gugatan seperti ini diistilahkan dengan gugatan pailit.
Sehubungan dengan pernyataan di atas bahwa gugatan pailit di
sebabkan karena suatu perusahaan di nyatakan tidak mampu melunasi
hutangnya kepada kreditur. Tapi kadang perusahaan mengajukan kasasi ke
pengadilan supaya tidak dinyatakan pailit oleh pengadilan. Dari pernyataan
di atas penulis tertarik untuk menelaah atau mengkaji suatu masalah yaitu
berjudul “Pengadilan Tolak Gugatan Pailit Terhadap KARK”.
1.2. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1) Mengapa Pengadilan Niaga menolak gugatan Pailit PT Dayaindo
Resources International Tbk?
2
2) Apa dasar Hukum Pengadilan Niaga menolak gugatan Pailit PT
Dayaindo Resources International Tbk?
3) Mengapa PT Dayaindo Resources International Tbk dapat digugat
pailit?
1.3. Tujuan Dan Kegunaan
1) Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini, antara lain:
a. Untuk mengetahui alasan Pengadilan Niaga menolak gugatan
Pailit PT Dayaindo Resources International Tbk;
b. Untuk mengetahui dasar hukum yang mengatur tentang kepailitan;
c. Untuk mengetahui alasan PT Dayaindo Resources International
Tbk dapat digugat pailit.
2) Kegunaan
Kegunaan dari penulisan makalah ini, antara lain:
a. Untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh Dosen kepada
Mahasiswa semester I; Prodi D3-Akuntansi pada Hukum Bisnis;
b. Sebagai bahan bacaan bagi mahasiswa yang ingin mengetahui
bagaimana suatu gugatan Pailit dapat ditolak Pengadilan Niaga;
c. Bagi penulis, untuk menambah wawasan dalam menulis Karya
Ilmiah;
d. Sebagai salah satu syarat untuk memenuhi tugas akademik, yang
diberikan oleh Dosen.
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Tinjauan Pustaka
2.1.1. Pengertian Pailit dan Kepailitan
Kata “pailit” telah sering kita dengar akhir-akhir ini. Banyak
perusahaan maupun perorangan yang dinyatakan pailit oleh pengadilan
karena tidak membayar utang-utangnya yang telah jatuh tempo. Kata
pailit berasal dari bahasa Prancis; failite yang berarti kemacetan
pembayaran. Secara tata bahasa, kepailitan berarti segala hal yang
berhubungan dengan pailit. Istilah lain yang Biasa digunakan ialah
bangkrut.
Hal tersebut mengacu hukum kepailitan negara Anglo Saxon
yang menyebutnya bankruptcy yang berarti ketidakmampuan
membayar utang. Kata bankrupycy tersebut kemudian diterjemahkan
bangkrut dalam Bahasa Indonesia. Menurut penulis pengertian pailit
tidak sama dengan bangkrut, karena bangkrut berarti ada unsur
keuangan yang tidak sehat dalam suatu perusahaan.
Selain itu, bangkrut lebih cenderung pada kondisi dimana suatu
perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus yang
memungkinkan perusahaan itu gulung tikar, sehingga unsur utama
dari kebangkrutan ialah kerugian. Perlu diketahui bahwa pailit bisa
terjadi pada perusahaan yang kondisi keuangannya sehat, perusahaan
tersebut dipailitkan karena tidak membayar utang yang telah jatuh
4
tempo dari salah satu atau lebih kreditornya. Jadi, unsur utama dari
kepailitan ialah adanya utang.
Kepailitan kini menjadi tren penyelesaian sengketa utang
piutang yang paling banyak diminati karena dirasa lebih cepat sehingga
hak para kreditor lebih terjamin. Di Indonesia peraturan mengenai
kepailitan diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang atau
lebih dikenal dengan Undang-Undang Kepailitan (UUK). Undang-
Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang merupakan penyempurnaan dari
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998.
Undang-Undang tersebut perlu dikeluarkan karena
perkembangan perekonomian yang semakin pesat sehingga semakin
banyak permasalahan utang piutang yang timbul di masyarakat. Oleh
karena itu, perlu diatur cara penyelesaian masalah utang piutang secara
adil, cepat, terbuka, dan efektif.
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang–Undang Nomor 37 tahun
2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
sebagai berikut:
“Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang
pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah
pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-
undang ini.”
5
2.1.2. Sejarah dan Perkembangan Hukum Kepailitan di
Indonesia
Dalam sejarah berlakunya kepailitan di Indonesia, maka dapat
dibagi menjadi tiga masa, yakni:
1. Masa sebelum Faillisements Verordening berlaku
Sebelum Faillisements Verordening berlaku, dulu hukum
kepailitan itu diatur dalam dua tempat, yaitu:
a. Wet Book Van Koophandel atau WvK buku ketiga yang
berjudul Van de voorzieningen in geval van onvormogen van
kooplieden atau peraturan tentang ketidakmampuan pedagang.
Peraturan ini adalah peraturan kepailitan untuk pedagang;
b. Reglement op de Rechtvoordering (RV) Stb 1847-52 jo 1849-
63, buku ketiga bab ketujuh dengan judul Van de staat van
kenneljk onvermogen atau tentang keadaan nyata-nyata tidak
mampu.
Peraturan ini adalah Peraturan Kepailitan bagi orang-orang
bukan pedagang. Akan tetapi ternyata dalam pelaksanaanya, kedua
aturan tersebut justru menimbulkan banyak kesulitan antara lain
adalah:
a. Banyaknya formalitas sehingga sulit dalam pelaksanaannya;
b. Biaya tinggi;
c. Pengaruh kreditur terlalu sedikit terhadap jalannya kepailitan;
d. Perlu waktu yang cukup lama.
Oleh karena itu maka dibuatlah aturan baru, yang sederhana
dan tidak perlu banyak biaya, maka lahirlah Faillisements
6
Verordening (Stb. 1905-217) untuk menggantikan 2 (dua)
Peraturan Kepailitan tersebut.
2. Masa berlakunya Faillisements Verordening
Selanjutnya mengenai kepailitan diatur
dalam Faillisements Verordening (Stb. 1905-217 jo Stb. 1906-348).
Peraturan kepailitan ini sebenarnya hanya berlaku bagi golongan
Eropah, golongan Cina, dan golongan Timur Asing (Stb.1924-556).
Bagi golongan Indonesia Asli (pribumi) dapat saja
menggunakan Faillisements Verordening ini dengan cara
melakukan penundukan diri. Dalam masa ini untuk kepalitan
berlaku Faillisements Verordening 1905-217 yang berlaku bagi
semua orang yaitu bagi pedagang maupun bukan pedagang, baik
perseorangan maupun badan hukum. Jalannya sejarah peraturan
kepailitan di Indonesia ini adalah sejalan dengan apa yang
terjadi di negara Belanda melalui asas konkordansi (Pasal 131 IS),
yakni dimulai dengan berlakunya Code du Commerce (tahun
1811-1838) kemudian pada tahun 1893 diganti dengan
Faillisementswet 1893 yang berlaku pada 1 Spetember 1896.
3. Masa Berlakunya Undang-Undang Kepailitan Produk Hukum
Nasional
Pada akhirnya setelah berlakunya Faillisements
Verordening Stb. 1905-217 jo Stb. 1906-348, Republik Indonesia
mampu membuat sendiri peraturan kepailitan, yakni sudah ada 3
(tiga) peraturan perundangan yang merupakan produk hukum
7
nasional, dimulai dari terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perpu) No.1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas
UU tentang Kepailitan yang kemudian diubah menjadi UU No.4
Tahun 1998 dan terakhir pada tanggal 18 November 2004
disempurnakan lagi dengan UU No. 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
a. Masa Berlakunya Perpu No. 1 Tahun 1998 dan UU Kepailitan
No.4 Tahun 1998
Pengaruh gejolak moneter yang terjadi beberapa
negara di Asia termasuk di Indonesia sejak pertengahan tahun
1997 telah menimbulkan Kesulitan yang sangat besar terhadap
perekonomian Nasional terutama kemampuan dunia usaha
dalam mengembangkan usahanya. Terlebih lagi dalam rangka
untuk memenuhi kewajiban pembayaran mereka pada para
kreditur. Keadaan ini pada gilirannya telah melahirkan akibat
yang berantai dan apabila tidak segera diselesaikan akan
menimbulkan dampak yang lebih luas lagi. Penyelesaian
masalah utang haruslah dilakukan secara cepat dan efektif.
Selama ini masalah kepailitan dan penundaan kewajiban diatur
dalam Faillisements Verordening Stb. 1905-217 jo Stb. 1906-
348. Secara umum prosedur yang diatur dalam Faillisements
Verordeningmasih baik. Namum sementara seiring dengan
berjalannya waktu, kehidupan perekonomian berlangsung
pesat maka wajarlah bahkan sudah semakin mendesak untuk
8
menyediakan sarana hukum yang memadai yakni yang cepat,
adil, terbuka dan efektif guna menyelesaikan utang piutang
perusahaan yang besar penyelesaiannya terhadap kehidupan
perekonomian Nasional.
Kemudian dilaksanakanlah penyempurnaan atas
peraturan kepailitan atau Faillisements Verordening melalui
Perpu No. 1 Tahun 1998 tentang perubahan UU tentang
kepailitan pada tanggal 22 April 1998 Perpu ini diubah
menjadi UU No. 4 Tahun 1998 yang disahkan dan
diundangkan di Jakarta pada tanggal 19 September 1998 yang
tertuang dalam Lembaran Negara (LNRI) tahun 1998 No. 135.
b. Masa Berlakunya UU Kepailitan No. 37 Tahun 2004
Pada 18 Oktober 2004 UU No. 4 Tahun 1998 diganti
dengan disahkannya UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. UU No.37
Tahun 2004 ini mempunyai cakupan yang luas karena adanya
perkembangan dan kebutuhan hukum dalam masyarakat untuk
menyelesaikan utang piutang secara adil, cepat, terbuka dan
efektif. Adapun pokok materi baru dalam UU Kepailitan ini
antara lain:
1) Agar tidak menimbulkan berbagai penafsiran
dalam UU ini pengertian utang diberikan batasan secara
tegas. Demikian juga pengertian jatuh waktu.
9
2) Mengenai syarat-syarat dan prosedur
permohonan pernyataan pailit dan permohonan penundaan
kewajiban pembayaran utang termasuk di dalamnya
pemberian kerangka waktu secara pasti bagi pengambilan
putusan pernyataan pailit dan/atau penundaan kewajiban
pembayaran utang.
4. Perkembangan Substansi Hukum
Terdapat sebahagian perubahan mengenai substansi hukum
antara aturan kepailitan yang lama dengan aturan kepailitan yang
baru. Substansi tersebut antara lain:
1. Pada Failisment Verordenning tidak dikenal adanya
kepastian Frame Time yaitu batas waktu dalam penyelesaian
kasus kepailitan sehingga proses penyelesaian akan menjadi
sangat lama sebab Undang-undang tidak memberi kepastian
mengenai batas waktu. Hal ini dalam PERPU No.1 Tahun
1998 diatur sehingga dalam penyelesaiannya lebih singkat
karena ditentukan masalah Frame Time;
2. Pada Failisment Verordening hanya dikenal satu
Kurator yang bernama Weestcomer atau Balai Harta
Peninggalan. Para kalangan berpendapat kinerja dari Balai
Harta Peninggalan sangat mengecewakan dan terkesan lamban
sehingga dalam PERPU No.1 Tahun 1998 diatur adanya
Kurator Swasta;
10
3. Upaya Hukum Banding dipangkas, maksudnya segala
upaya hukum dalam penyelesaian kasus kepailitan yang
dahulunya dapat dilakukan Banding dan Kasasi, kini dalam
Perpu No. 1 Tahun 1998 hanya dapat dilakukan Kasasi
sehingga Banding tidak dibenarkan lagi. Hal tersebut
dikarenakan lamanya waktu yang ditempu dalam penyelesaian
kasus apabila Banding diperbolehkan;
4. Dalam Aturan yang baru terdapat Asas Verplichte
Proccurure stelling yang artinya yang dapat mengajukan
kepailitan hanya Penasihat Hukum yang telah
mempunyai/memiliki izin praktek;
5. Dalam UU No. 37 Tahun 2004 ditambah 1 pihak lagi
yang dapat mengjaukan permohonan kepailitan.
2.1.3. Syarat-Syarat suatu Perusahaan dinyatakan Pailit
Pasal 2 ayat (1) menyebutkan bahwa debitor yang mempunyai
dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang
yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan
putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas
permohonan satu atau lebih kreditornya. Jadi, pada dasarnya setiap
debitor dapat dinyatakan pailit sepanjang memenuhi ketentuan dalam
Pasal 2 Undang-Undang Kepailitan. Berdasarkan ketentuan pasal
tersebut di atas, maka syarat-syarat yuridis agar suatu perusahaan dapat
dinyatakan pailit adalah sebagai berikut:
11
1. Adanya utang;
2. Minimal satu utang sudah jatuh tempo;
3. Minimal satu utang dapat ditagih;
4. Adanya kreditor;
5. Kreditor lebih dari satu;
6. Pernyataan pailit dilakukan oleh pengadilan khusus yang disebut
dengan “Pengadilan Niaga”;
7. Permohonan pernyataan pailit diajukan oleh pihak yang
berwenang;
8. Syarat-syarat yuridis lainnya yang disebutkan dalam Undang
Undang Kepailitan.
Apabila syarat-syarat di atas terpenuhi, hakim ”harus
menyatakan pailit”, bukan “dapat menyatakan pailit”, sehingga dalam
hal ini kepada hakim tidak diberikan ruang untuk memberikan
“judgement” yang luas seperti pada perkara lainnya. Hal tersebut
diperkuat dengan ketentuan dalam Pasal 8 ayat (4), bahwa permohonan
pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan
yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan
pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah terpenuhi.
2.1.4. Dasar Hukum Kepailitan dan Hukum Arbitrase
Adapun pengaturan mengenai kepailitan di Indonesia dapat
dilihat dalam beberapa ketentuan antara lain:
1. UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran;
12
2. UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas;
3. UU No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan;
4. UU No. 42 Tahun 1992 Tentang Jaminan Fiducia;
5. Pasal- Pasal yang Terdapat Dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (BW) yaitu Pasal 1131-1134;
6. Dan beberapa Undang-Undang Lainnya yang mengatur Mengenai
BUMN (UU No.19 Tahun 2003), Pasar Modal( UU No. 8 Tahun
1995), Yayasan (UU No.16 Tahun 2001 ) , Koperasi (UU No. 25
Tahun 1992).
Peratutan perundang-undangan yang mengatur tentang arbitrase
adalah sebagai berikut.
1. UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa.
2.1.5. Pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan Pailit
Adapun Udang-undang mengatur pihak-pihak yang dapat
mengajukan permohonan Pailiit, yaitu:
1. Pihak Debitor itu sendiri;
2. Pihak Kreditor;
3. Jaksa, untuk kepentingan umum;
4. Dalam hal Debitornya adalah Bank, maka pihak yang berhak
mengajukan permohonan pailit adalah Bank Indonesia;
5. Dalam hal Debitornya adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek,
Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian, maka pihak yang hanya dapat mengajukan
13
permohonan pailit adalah Badan Pengawas Pasar Modal
(BAPEPAM);
6. Dalam hal Debitornya adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Re-
Asuransi, Dana Pensiun, dan BUMN yang bergerak di bidang
kepentingan Publik maka pihak yang mengajukan adalah Mentri
Keuangan.
Yang perlu diingat sehubungan dengan para pihak-pihak yang
mengajukan permohonan pailit harus dapat diketahui apabila seorang
pemohon tersebut adalah Debitor orang-perorangan dalam prosesnya
maka harus ditinjau terlebih dahulu apakah pihak tersebut masih terikat
dalam suatu perkawinan dan apakah perkawinan tersebut mempunyai
perjanjian pemisahan harta?. Hal sangat penting sekali sebab orang
yang terikat dalam suatu perkawinan (baik suami maupun istri) yang
tidak mempunyai perjanjian pemisahan harta (maka ada harta
bersama/campuran) tidak dapat mengajukan permohonan pailit tanpa
sepengetahuan pasangannya(suami /istri), adapun alasannya karena
pailit itu mempunyai akibat hukum terhadap harta.
2.1.6. Pihak-pihak yang terlibat dalam proses Kepailitan
1. Pihak Permohonan Pailit
Salah satu pihak yang terlibat dalam perkara kepailitan adalah pihak
yang mengajukan permohonan pailit.
2. Debitur Pailit
Pihak debitur pailit adalah pihak yang dimohonkan pailit ke
pengadilan yang berwenang.
14
3. Hakim Pengadilan Niaga
Perkara kepailitan pada tingkat pertama diperiksa dan diputus oleh
majelis hakim Pengadilan Niaga.
4. Hakim Pengawas
Untuk mengawasi pelaksanaan pengurusan dan pemberesan harta pailit
yang dilakukan oleh kurator, maka dalam keputusan kepailitan, oleh
pengadilan harus diangkat seorang hakim pengawas.
5. Kurator
Kurator merupakan salah satu pihak yang cukup memegang peranan
dalam suatu proses perkara pailit, karena tugas umum kurator adalah
melakukan pengurusan dan atau pemberesan terhadap harta pailit.
2.1.7. Langkah-langkah dalam menyatakan Pailit
Ada beberapa langkah dalam menyatakan sebuah perusahaan
pailit, dimana langkah-langkah tersebut adalah sebagai berikut:
1. Permohonan pailit, syarat permohonan pailit telah diatur dalam UU
No. 4 Tahun 1998, seperti apa yang telah ditulis diatas.
2. Keputusan pailit berkekuatan tetap, jangka waktu permohonan pailit
sampai sampai keputusan pailit berkekuatan tetap adalah 90 hari.
3. Rapat verifikasi, adalah rapat pendaftaran utang-piutang, pada
langkah ini dilakukan pendataan berapa jumlah utang dan piutang
yang dimiliki oleh debitur. Verifikasi utang merupakan tahap yang
paling penting dalam kepailitan karena akan ditentukan urutan
15
pertimbangan hak dari masing-masing kreditur. Rapat verifikasi
dipimpin oleh hakim pengawas dan dihadiri oleh:
a. Panitera (sebagai pencatat);
b. Debitur (tidak boleh diwakilkan karena nanti debitur harus
menjelaskan kalau nanti terjadi perbedaan pendapat tentang
jumlah tagihan;
c. Kreditur atau kuasanya (jika berhalangan untuk hadir tidak apa-
apa, nantinya mengikuti hasil rapat);
d. Kurator (harus hadir karena merupakan pengelola aset).
4. Perdamaian, jika perdamaian diterima maka proses kepailitan
berakhir, jika tidak maka akan dilanjutkan ke proses selanjutnya.
Proses perdamaian selalu diupayakan dan diagendakan. Ada
beberapa perbedaan antara perdamaian yang terjadi dalam proses
kepailitan dengan perdamaian yang biasa. Perdamaian dalam proses
kepailitan meliputi:
a. Mengikat semua kreditur kecuali kreditur separatis, karena
kreditur separatis telah dijamin tersendiri dengan benda jaminan
yang terpisah dengan harta pailit umumnya;
b. Terikat formalitas;
c. Ratifikasi dalam sidang homologasi;
d. Jika pengadilan niaga menolak adanya hukum kasasi;
e. Ada kekuatan eksekutorial, apa yang tertera dalam perdamaian,
pelaksanaanya dapat dilakukan secara paksa.
Tahap-tahap dalam proses perdamaian antara lain:
16
a. Pengajuan usul perdamaian
b. Pengumuman usulan perdamaian
c. Rapat pengambilan keputusan
d. Sidang homologasi
e. Upaya hukum kasasi
f. Rehabilitasi
e. Homologasi akur, yaitu permintaan pengesahan oleh Pengadilan
Niaga, jika proses perdamaian diterima.
f. Insolvensi, yaitu suatu keadaan dimana debitur dinyatakan benar-
benar tidak mampu membayar, atau dengan kata lain harta debitur
lebih sedikit jumlahnya dengan hutangnya. Hal tentang insolvensi
ini sangat menentukan nasib debitur, apakah akan ada eksekusi atau
terjadi restrukturisasi hutang dengan damai. Saat terjadinya
insolvensi (pasal 178 UUK) yaitu:
1. Saat verifikasi tidak ditawarkan perdamaian;
2. Penawaran perdamaian ditolak;
3. Pengesahan perdamaian ditolak oleh hakim.
Dengan adanya insolvensi maka harta pailit segera
dieksekusi dan dibagi kepada para kreditur.
g. Pemberesan/likuidasi, yaitu penjualan harta kekayaan debitur pailit,
yang dibagikan kepada kreditur konkuren, setelah dikurangi biaya-
biaya.
h. Rehabilitasi, yaitu suatu usaha pemulihan nama baik kreditur, akan
tetapi dengan catatan jika proses perdamaian diterima, karena jika
17
perdamaian ditolak maka rehabilitasi tidak ada. Syarat rehabilitsi
adalah: telah terjadi perdamaian, telah terjadi pembayaran utang
secara penuh.
i. Kepailitan berakhir.
2.1.8. Akibat putusan Pailit
Akibat Hukum Pernyataan Pailit Secara umum dengan adanta
pernyataan pailit maka terhadap debitur pailit berlakulah hal-hal sebagai
berikut:
1. Terjadi sitaan umum terhadap harta kekayaan debitur pailit;
2. Kepailitan ini semata-mata hanya mengenai harta kekayaan saja dan
tidak mengenai diri pribadi si debitur pailit;
3. Segala perikatan debitur pailit yang timbul setelah putusan pailit
yang diucapkan tidak dapat dibayar dari harta pailit;
4. Harta pailit diurus dan dikuasai kurator untuk kepentingan semua
para kreditur dan debitur;
5. Tuntutan dan gugatan mengenai hak dan kewajiban harta pailit
harus diajukan oleh atau terhadap kurator (Pasal 26 ayat (1) UUK);
6. Semua tuntutan atau gugatan yang bertujuan mendapatkan
pelunasan dari harta pailit selama kepailitan harus diajukan dengan
laporan untuk pencocokan utang (Pasal 27 UUK);
7. Kreditur yang dijamin dengan Hak Gadai, Hak Tanggungan, Hak
hipotik, jaminan fidusia dapat melaksanakan hak agunannya seolah-
18
olah tidak ada kepailitan (Pasal 55 ayat(1) UUK) Pihak kreditur
yang mempunyai hak menahan barang milik debitur pailit sampai
dibayar tagihannya (hak retensi), tidak kehilangan hak untuk
menahan barang debitur pailit tersebur meskipun ada putusan pailit
(Pasal 61 UUK) 9) Hak eksekusi kreditur yang dijamin
sebagaimana disebut dalam Pasal 55 ayat (1) UU Kepailitan
(kreditur separatis/kreditur dengan jaminan khusus) dan pihak
ketiga untuk menuntut hartanya yang berada dalam penguasaan
debitur pailit atau kurator.
2.1.9. Pengertian arbitrase dan alasan memilih arbitrase
1. Pengertian arbitrase
Arbitrase merupakan istilah yang dipakai untuk menjabarkan
suatu bentuk tata cara damai yang sesuai atau sebagai penyediaan
dengan cara bagaimana menyelesaikan sengketa yang timbul sehingga
mencapai suatu hasil tertentu yang secara hukum final dan mengikat.
Prasyarat yang utama bagi suatu proses arbitrase ialah
kewajiban pada para pihak membuat suatu kesepakatan tertulis atau
perjanjian arbitrase (arbitration clause/agreement) dan kemudian
menyepakati hukum dan tata cara bagaimana mereka akan
mengakhiri penyelesaian. Di luar arbitrase biasanya bilamana timbul
sengketa, para pihak minta seorang pengacara, melalui suatu surat
kuasa kepadanya kemudian melibatkan pengadilan mencoba
menyelesaikan sengketa yang telah terjadi atau bisa saja berusaha
menyelesaikan sendiri secara langsung.
19
2. Alasan memilih arbitrase
Arbitrase biasa dipilih oleh para pengusaha untuk penyelesaian
sengketa komersialnya, karena ternyata memiliki beberapa kelebihan
dan kemudahan ( walaupun ternyata disana–sini terdapat kelemahan-
kelemahan yang bisa saja terjadi ), yakni antara lain:
1. Para pihak yang bersengketa dapat memilih para arbiternya sendiri
dan untuk ini tentunya akan dipilih mereka yang dipercayai
memiliki integritas, kejujujuran, keahlian dan profesionalisme
dibidangnya masing-masing;
2. Proses majelis arbitrase konfidensial dan oleh karena itu dapat
menjamin rahasia dan publisitas yang tidak dikehendaki;
3. Putusan arbitrase, sesuai dengan kehendak dan niat para pihak
merupakan putusan final dan mengikat para pihak bagi
sengketanya, lain lagi putusan pengadilan yang terbuka bagi
peninjauan yang memakan waktu lama;
4. Karena putusannya final dan mengikat, tata caranya bisa cepat,
tidak mahal serta jauh lebih rendah dari biaya-biaya yang harus
dikeluarkan dalam proses pengadilan. Apalagi kalau kebetulan
ditangani oleh pengacara yang kurang bertanggung jawab
sehingga masalahnya dapat saja dengan itikad buruk diperpanjang
selama mungkin;
20
5. Tata cara arbitrase lebih informal dari tata cara pengadilan dan
oleh karena itu terbuka untuk memperoleh dan tersedianya tata
cara penyelesaian kekeluargaan dan damai.
2.1.10. Pelaksanaan putusan arbitrase
1. Putusan Arbitrase Nasional
Pelaksanaan putusan arbitrase nasional diatur dalam Pasal 59-
64 UU No.30 Tahun 1999. Pada dasarnya para pihak harus
melaksanakan putusan secara sukarela. Agar putusan arbitrase dapat
dipaksakan pelaksanaanya, putusan tersebut harus diserahkan dan
didaftarkan pada kepaniteraan pengadilan negeri, dengan mendaftarkan
dan menyerahkan lembar asli atau salinan autentik putusan arbitrase
nasional oleh arbiter atau kuasanya ke panitera pengadilan negeri,
dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah putusan arbitase diucapkan.
Putusan Arbitrase nasional bersifat mandiri, final ddan mengikat.
Putusan Arbitrase nasional bersifat mandiri, final dan mengikat
(seperti putusan yang mempunyai kekeuatan hukum tetap) sehingga
Ketua Pengadilan Negeri tidak diperkenankan memeriksa alasan atau
pertimbangan dari putusan arbitrase nasional tersebut. Kewenangan
memeriksa yang dimiliki Ketua Pengadilan Negeri, terbatas pada
pemeriksaan secara formal terhadap putusan arbitrase nasional yang
21
dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase. Berdasar Pasal 62 UU
No.30 Tahun 1999 sebelum memberi perintah pelaksanaan , Ketua
Pengadilan memeriksa dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi
Pasal 4 dan pasal 5 (khusus untuk arbitrase internasional). Bila tidak
memenuhi maka, Ketua Pengadilan Negeri dapat menolak permohonan
arbitrase dan terhadap penolakan itu tidak ada upaya hukum apapun.
2. Putusan Arbitrase Internasional
Semula pelaksanaan putusan-putusan arbitrase asing di
indonesia didasarkan pada ketentuan Konvensi Jenewa 1927, dan
pemerintah Belanda yang merupakan negara peserta konvensi tersebut
menyatakan bahwa Konvensi berlaku juga di wilayah Indonesia. Pada
tanggal 10 Juni 1958 di New York ditandatangani UN Convention on
the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award.
Indonesia telah mengaksesi Konvensi New York tersebut dengan
Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 pada 5 Agustus 1981 dan
didaftar di Sekretaris PBB pada 7 Oktober 1981. Pada 1 Maret 1990
Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan mahkamah Agung Nomor
1 tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan arbitrase Asing
sehubungan dengan disahkannya Konvensi New York 1958. Dengan
adanya Perma tersebut hambatan bagi pelaksanaan putusan arbitrase
asing di Indonesia seharusnya bisa diatasi. Tapi dalam prakteknya
kesulitan-kesulitan masih ditemui dalam eksekusi putusan arbitrase
asing.
22
2.1.11. Hubungan arbitrase dengan Pengadilan
Lembaga arbitrase masih memiliki ketergantungan pada
pengadilan, misalnya dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase. Ada
keharusan untuk mendaftarkan putusan arbitrase di pengadilan negeri.
Hal ini menunjukkan bahwa lembaga arbitrase tidak mempunyai
upaya pemaksa terhadap para pihak untuk menaati putusannya.
Peranan pengadilan dalam penyelenggaraan arbitrase berdasar
UU Arbitrase antara lain mengenai penunjukkan arbiter atau majelis
arbiter dalam hal para pihak tidak ada kesepakatan (pasal 14 (3)) dan
dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase nasional maupun nasional
yang harus dilakukan melalui mekanisme sistem peradilan yaitu
pendafataran putusan tersebut dengan menyerahkan salinan autentik
putusan. Bagi arbitrase internasional mengembil tempat di Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat.
2.2. Analisis Masalah
2.2.1. Mengapa Pengadilan Niaga menolak gugatan Pailit PT
Dayaindo Resources International Tbk?
Majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat diketahui
menolak gugatan pailit kepada emiten berkode efek KARK (PT
Dayaindo Resources International Tbk) yang diajukan oleh perusahaan
asal Swiss, SUEK AG. "Salinan resmi putusan pengadilan telah kami
terima pada Senin, 3 September 2012," kata dia dalam keterbukaan
informasi di Bursa Efek Indonesia, Selasa 11 September 2012.
23
Salah satu situs bisnis menyebutkan bahwa Majelis hakim
Pengadilan Niaga berpendapat permohonan pailit yang diajukan SUEK
AG belum waktunya atau prematur karena kewajiban yang timbul dari
kasus arbitrase hingga saat ini belum dieksekusi. Putusan hukum
terhadap perkara gugatan perdata yang diajukan Dayaindo serta anak
usahanya,PT Risna Karya Wardhana Mandiri belum juga juga
diputuskan.
"Kami meminta pembatalan putusan perkara arbitrase internasional
yang saat ini proses perkaranya baru memasuki masa mediasi," ia
menjelaskan.
Di sini dilihat bahwa memang PT Dayaindo Resources
International Tbk belum saatnya harus dipailitkan karena harus
nenunggu hasil gugatan perdata yang dilakukan Dayaindo dan kasus
arbitrase yang belum dieksekusi.
2.2.2. Apa dasar Hukum Pengadilan Niaga menolak gugatan
Pailit PT Dayaindo Resources International Tbk?
Dalam hukum Indonesia tentang Kepailitan yang diatur oleh
peraturan perundang-undangan tertentu merupakan dasar hukum yang
diambil dalam mengeksekusi kasusu kepailitan. Peraturan perundang-
undangan tersebut adalah:
1. UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran;
2. UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas;
3. UU No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan;
24
4. UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa;
5. Pasal- Pasal yang Terdapat Dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (BW) yaitu Pasal 1131-1134;
6. Dan beberapa Undang-Undang Lainnya yang mengatur Mengenai
BUMN (UU No.19 Tahun 2003), Pasar Modal( UU No. 8 Tahun
1995), Yayasan (UU No.16 Tahun 2001 ) , Koperasi (UU No. 25
Tahun 1992).
2.2.3. Mengapa PT Dayaindo Resources International Tbk
dapat digugat pailit?
Kasus gugatan pailit itu bermula dari perjanjian jual-beli batu
bara jenis steam coal antara anak usaha Dayaindo, PT Risna Karya
Wardhana Mandiri, dengan SUEK AG. Perjanjian kontrak ditekan pada
2010 lalu. Untuk kontrak itu, menurut versi SUEK, anak usaha
Dayaindo gagal memenuhi penyediaan batu bara. Padahal, perusahaan
Swiss itu sudah terlanjur menyewa dan mengirimkan kapal pengangkut
batu bara ke Indonesia. Karena itu, SUEK mengklaim mengalami
kerugian US$ 1 juta.
Kuasa hukum SUEK AG, Gita Petrimalia, mengatakan kedua
perusahaan sempat membuat perjanjian kontrak baru. Dalam perjanjian
itu Risna berjanji akan mengganti kerugian SUEK AG senilai US$ 1
juta dan mengirim pasokan batu bara yang diminta. Dalam perjanjian
yang baru ini Dayaindo tercatat sebagai penjamin Risna Karya.
25
Dayaindo akan mengambil alih kewajiban Risna Karya jika gagal
memenuhi janjinya.
SUEK pun mengajukan gugatan ke Mahkamah Arbitrase di
London dan menang. SUEK juga mendaftarkan putusan arbitrase ini ke
PN Jakarta Pusat agar dapat dieksekusi pejabat di Indonesia. Karena tak
kunjung menerima pembayaran, SUEK pun memilih menggugat pailit
Dayaindo.
Di sini lihat bahwa Dayaindo tidak memenuhi kewajibannya
dalam putusan arbitrase sehingga SUEK berpikir Dayaindo tidak
mampu lagi memenuhi kewajibannya sesuai dengan arbitrase yang telah
dibuat dan memilih menggugat pailit Dayaindo.
26
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dari analisis di atas, dapat dirangkum sebuah kesimpulan sebagai
berikut.
1. Pengadilan Niaga menolak gugatan Pailit PT Dayaindo Resources
International Tbk karena kasus yang timbul dari kewajiban kasus
arbitrase yang dilakukan oleh Dayindo dan SUEK AG belum juga
dieksekusi, yang seharusnya diselesaikan terlebih dulu sebelum
mengajukan gugatan pailit. Putusan hukum terhadap gugatan perdata
yang diajukan Dayaindo belum juga diputuskan sehingga tidak ada
kepastian yang jelas mengenai kebenaran bukti-bukti yang menyatakan
Dayaindo mempunyai utang kepada SUEK AG.
2. Dasar hukum Majelis hakim Pengadilan Niaga dalam menolak gugatan
pailit PT Dayaindo Resources International Tbk adalah UU No. 37
tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
dan UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa.
3. PT Dayaindo Resources International Tbk dapat digugat pailit karena
menurut SUEK AG, anak usaha Dayaindo gagal memenuhi penyediaan
batu bara. Padahal, perusahaan Swiss itu sudah terlanjur menyewa dan
mengirimkan kapal pengangkut batu bara ke Indonesia. Karena itu,
SUEK mengklaim mengalami kerugian US$ 1 juta. Dayaindo dalam
27
perjanjian kontrak baru gagal memenuhi janjinya sehingga SUEK
mengajukan gugatan ke Mahkamah Arbitrase di London dan menang.
Dari situlah SUEK AG menggugat Dayaindo yang sampai saat itu
Dayaindo tak kunjung membayar kewajibannya.
3.2. Saran
1. Sebaiknya kasus yang menjadi dasar dari kasus gugatan pailit ini yakni
kasus putusan arbitrase harus diselesaikan terlebih dahulu.
2. Dalam menyelesaikan kasus ini hendaknya berdasarkan Undang-
Undang yang berlaku tanpa ada unsur apapun.
3. Hendaknya menunjukkan bukti-bukti yang kuat agar kasus ini lebih
jelas kebenarannya dan tidak menimbulkan kerugian salah satu pihak.
4. Penulis mengharapkan saran dan kritikan dari berbagai pihak yang
sifatnya membangun demi kesempurnaan makalah ini.
28
DAFTAR PUSTAKA
Decilya, Sutji. (2012) Pengadilan Tolak Gugatan Pailit Terhadap KARK [Internet] 11 September. Available from: http://www.tempo.co [diakses, 05 Oktober 2012]
Faiz Mohamad Fan. (2006) Klausul Arbitrase dan Pengadilan [Internet] 18 September. Available from: http://jurnalhukum.blogspot.com [diakses, 10 Januari 2013]
Gultom, Bestori. (2009) Hukum Kepailitan Pengantar [Internet] 09 Nopember. Available from: http://hukum-area.blogspot.com [diakses, 09 Januari 2013]
Pramudya, Kelik S.H. (2010) Hukum Kepailitan [Internet] 09 Nopember. Available from: http://click-gtg.blogspot.com [diakses, 08 Januari 2013]
Sunarmi. (2009). Hukum Kepailitan. [Internet]. Available from: http://repository.usu.ac.id [diakses, 09 Januari 2013]
--------------------. (2012) Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang. [Internet] 30 Mei. Available from: http://sesukakita.wordpress.com [diakses, 09 Januari 2013
--------------------. (2011) Syarat-Syarat Dinyatakan Pailit. [Internet] http://www.tanyahukum.com [diakses, 09 Januari 2012]
--------------------------. Arbitrase dan Arbiter. [Internet] http://wonkdermayu.wordpress.com, [diakses, 10 Januari 2013]
-------------------. (2002) Kepailitan dan Arbitrase. [Internet] 03 April. Available from: http://www.hukumonline.com [diakses, 10 Januari 2013]
-------------------. (2011) Hukum Kepailitan. [Internet] 17 November. Available from: http://jalusemuaada.blogspot.com [diakses, 10 Januari 2013]
29
LAMPIRAN
30
Nama/STB/Kelas : Andi Syahril/361 12 039/1B-D3
Judul artikel : Pengadilan Tolak Gugatan Pailit Terhadap KARK
Topik kajian materi : Hukum Kepailitan
Sumber artikel : http://www.tempo.co
Tanggal artikel : Selasa, 11 September 2012 14:19 WIB
Tanggal diakses : Jumat, 5 Oktoberer 2012
Ringkasan Artikel/Resume
PT Dayaindo Resources International Tbk bisa sedikit bernapas lega.
Soalnya, gugatan pailit yang diajukan perusahaan asal Swiss, SUEK AG, ditolak
oleh majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada 30 Agustus 2012 lalu.
Sekretaris Perusahaan Dayaindo Resources Deni Hidayat mengatakan
permohonan pailit tersebut diajukan SUEK AG sejak 6 Juli 2012. "Salinan resmi
putusan pengadilan telah kami terima pada Senin, 3 September 2012," kata dia
dalam keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia, Selasa 11 September 2012.
Dengan demikian, pelaksanaan eksekusi atas putusan arbitrase LCIA, yang
dijadikan dasar SUEK AG dalam mengajukan permohonan pailit kepada emiten
berkode efek KARK itu, belum dapat dilaksanakan. Alasannya, harus menunggu
putusan hukum terhadap perkara gugatan perdata yang diajukan Dayaindo serta
anak usahanya, PT Risna Karya Wardhana Mandiri, terhadap SUEK AG di
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. "Kami meminta pembatalan putusan perkara
31
arbitrase internasional yang saat ini proses perkaranya baru memasuki masa
mediasi," ia menjelaskan.
Kasus gugatan pailit itu bermula dari perjanjian jual-beli batu bara jenis
steam coal antara anak usaha Dayaindo, PT Risna Karya Wardhana Mandiri,
dengan SUEK AG. Perjanjian kontrak diteken pada 2010 lalu. Untuk kontrak itu,
menurut versi SUEK, anak usaha Dayaindo gagal memenuhi penyediaan batu
bara. Padahal, perusahaan Swiss itu sudah terlanjur menyewa dan mengirimkan
kapal pengangkut batu bara ke Indonesia. Karena itu, SUEK mengklaim
mengalami kerugian US$ 1 juta.
Kuasa hukum SUEK AG, Gita Petrimalia, mengatakan kedua perusahaan
sempat membuat perjanjian kontrak baru. Dalam perjanjian itu Risna berjanji akan
mengganti kerugian SUEK AG senilai US$ 1 juta dan mengirim pasokan batu
bara yang diminta. Dalam perjanjian yang baru ini Dayaindo tercatat sebagai
penjamin Risna Karya. Dayaindo akan mengambil alih kewajiban Risna Karya
jika gagal memenuhi janjinya.
SUEK pun mengajukan gugatan ke Mahkamah Arbitrase di London dan
menang. SUEK juga mendaftarkan putusan arbitrase ini ke PN Jakarta Pusat agar
dapat dieksekusi pejabat di Indonesia. Karena tak kunjung menerima pembayaran,
SUEK pun memilih menggugat pailit Dayaindo.
Tanggapan :
Dari kasusu di atas, PT Dayindo Resources International Tbk beruntung
karena gugatan pailit yang diajukan perusahaan asal swiss, SUEK AG, ditolak
oleh majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Tapi, PT Dayindo juga harus
32
belajar dari kasus tersebut. Jangan sampai kasus tersebut berkelanjutan atau
terulang kembali bahkan lebih yang dapat mengakibatkan kerugian PT Dayindo
oleh karena tidak baiknya pelayanan terhadap para debitur. Jadi PT Dayindo harus
lebih meningkatkan kinerjanya dalam memproduksi batu bara dan distribusi
pasokan batu bara kepada distributor.
Kesimpulan :
Dari kasus di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Gugatan pailit PT
Dayindo Resources International Tbk dari SUEK AG ditolak oleh Majelis Hakim
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dengan demikian, pelaksanaan eksekusi atas
putusan arbitrase LCIA, yang dijadikan dasar SUEK AG dalam mengajukan
permohonan pailit emitmen berkode efek KARK itu, belum dapat dilaksanakan
gugatan pailit tersebut. Kasus ini juga harus menunggu putusan hukum terhadap
perkara gugatan perdata yang diajukan Dayaindo serta anak usahanya, PT Risna
Karya Wardhana Mandiri, terhadap SUEK AG di Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat.
33