Kepailitan

59
Tugas Individu Hukum Bisnis PENGADILAN TOLAK GUGATAN PAILIT TERHADAP KARK (DAYAINDO) ANDI SYAHRIL 361 12 039 1B-D3 JURUSAN AKUNTANSI i

description

Hukum Kepailitan

Transcript of Kepailitan

Page 1: Kepailitan

Tugas Individu Hukum Bisnis

PENGADILAN TOLAK GUGATAN PAILIT

TERHADAP KARK (DAYAINDO)

ANDI SYAHRIL

361 12 039

1B-D3

JURUSAN AKUNTANSI

POLITEKNIK NEGERI UJUNGPANDANG

2013

i

Page 2: Kepailitan

KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah senantiasa dipanjatkan atas kehadirat Tuhan

Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan penulisan dan penyusunan makalah ini yang berjudul

“PENGADILAN TOLAK GUGATAN PAILIT TERHADAP KARK” dengan

tepat waktu yang merupakan salah satu syarat untuk melengkapi salah satu tugas

pada mata kuliah Hukum Bisnis dalam Program Studi Akuntansi Politeknik

Negeri Ujung Pandang (PNUP).

Saya sangat menyadari bahwa dalam makalah ini, baik isi maupun

penyajian makalah masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu Saya sangat

mengharapkan adanya kritik dan saran sebagai penyempurnaan makalah ini dari

berbagai pihak terutama Dosen yang bersangkutan, sehingga dikemudian hari

makalah ini dapat bermanfaat bagi semua mahasiswa-mahasiswi di Politeknik

Negeri Ujung Pandang (PNUP).

Dengan demikian Saya mengucapkan terima kasih pada pihak yang secara

langsung maupun tidak langsung yang telah membantu penyusunan makalah ini.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan kesehatan serta Rahmat dan hidayah-

Nya kepada kita semua. Amin.

Makassar, 18 Januari 2013

Penulis

ii

Page 3: Kepailitan

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................... i

KATA PENGANTAR .................................................................... ii

DAFATAR ISI ................................................................................ iii

BAB I. PENDAHULUAN .............................................................. 1

1.1. Latar Belakang ..................................................................... 1

1.2. Rumusan Masalah ................................................................ 2

1.3. Tujuan dan Kegunaan .......................................................... 3

BAB II. PEMBAHASAN .............................................................. 4

2.1. Tinjauan Pustaka .................................................................. 4

2.1.1. Pengertian Pailit dan Kepailitan ................................................. 4

2.1.2. Sejarah dan perkembangan Hukum Kepailitan di Indonesia ..... 6

2.1.3. Syarat-syarat suatu perusahaan dinyatakan ................................ 11

2.1.4. Dasar Hukum Kepailitan dan arbitrase........................................ 12

2.1.5. Pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan Pailit ........... 13

2.1.6. Pihak yang terlibat dalam proses Kepailitan .............................. 14

2.1.7. Langkah-langkah dalam menyatakan pailit ................................ 15

2.1.8. Akibat Putusan Pailit .................................................................. 18

2.1.9. Pengertian arbitrase dan alasan memilih arbitrase ..................... 19

2.1.10. Pelaksanaan putusan arbitrase .................................................... 21

2.1.11. Hubungan arbitrase dengan Pengadilan ..................................... 22

iii

Page 4: Kepailitan

2.2. Analisi Masalah ................................................................... 23

BAB III. PENUTUP ......................................................................................... 27

3.1. Kesimpulan .......................................................................... 27

3.2. Saran .................................................................................... 28

DAFATAR PUSTAKA .................................................................................... 29

LAMPIRAN ...................................................................................................... 30

iv

Page 5: Kepailitan

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Indonesia pada umumnya

tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku

ekonomi yang melakukan kegiatan ekonomi. Pertumbuhan dan

perkembangan pelaku-pelaku ekonomi dapat terjadi karena tersedianya

beberapa faktor penunjang serta iklim berusaha yang bagus sebagai salah

satu faktor yang dominan. Meskipun demikian terdapat satu faktor yang

relatif sangat penting dan harus tersedia, ialah tersedianya dana dan sumber

dana, mengingat dana merupakan motor bagi kegiatan dunia usaha pada

umumnya.

Setiap organisasi ekonomi dalam bentuk apapun atau dalam skala

apapun selalu membutuhkan dana yang cukup agar laju kegiatan serta

perkembangannya dapat diharapkan terwujud sesuai dengan

perencanaannya. Kebutuhan dana, adakalanya dapat dipenuhi sendiri (secara

internal) sesuai dengan kemampuan, tetapi adakalanya tidak dapat dipenuhi

sendiri. Untuk itu dibutuhkan bantuan pihak lain (eksternal) yang bersedia

membantu menyediakan dana sesuai dengan kebutuhan dengan cara

meminjam atau berutang kepada pihak lain.

Pada dasarnya pemberian kredit dapat diberikan oleh siapa saja yang

memilki kemampuan, untuk itu melalui perjanjian utang piutang antara

Pemberi utang (kreditur) disatu pihak dan Penerima utang (Debitur) di lain

pihak. Setelah perjanjian tersebut disepakati, maka lahirlah kewajiban pada

Page 6: Kepailitan

diri kreditur, yaitu untuk menyerahkan uang yang diperjanjikan kepada

debitur, dengan hak untuk menerima kembali uang itu dari debitur pada

waktunya, disertai dengan bunga yang disepakati oleh para pihak pada saat

perjanjian pemberian kredit tersebut disetujui oleh para pihak. Hak dan

kewajiban debitur adalah bertimbal balik dengan hak dan kewajiban

kreditur. Selama proses ini tidak menghadapi masalah, dalam arti kedua

pihak melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan yang

diperjanjikan, maka persoalan tidak akan muncul.

Biasanya persoalan baru muncul jika debitur lalai mengembalikan

uang pinjaman sesuai perjanjian yang telah disepakati. Hal tersebut dapat

merugikan pihak kreditur. Sehingga kreditur dapat menggugat debitur di

pengadilan niaga atas dasar tidak mampu lagi membayar utang-utangnya.

Gugatan seperti ini diistilahkan dengan gugatan pailit.

Sehubungan dengan pernyataan di atas bahwa gugatan pailit di

sebabkan karena suatu perusahaan di nyatakan tidak mampu melunasi

hutangnya kepada kreditur. Tapi kadang perusahaan mengajukan kasasi ke

pengadilan supaya tidak dinyatakan pailit oleh pengadilan. Dari pernyataan

di atas penulis tertarik untuk menelaah atau mengkaji suatu masalah yaitu

berjudul “Pengadilan Tolak Gugatan Pailit Terhadap KARK”.

1.2. Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

1) Mengapa Pengadilan Niaga menolak gugatan Pailit PT Dayaindo

Resources International Tbk?

2

Page 7: Kepailitan

2) Apa dasar Hukum Pengadilan Niaga menolak gugatan Pailit PT

Dayaindo Resources International Tbk?

3) Mengapa PT Dayaindo Resources International Tbk dapat digugat

pailit?

1.3. Tujuan Dan Kegunaan

1) Tujuan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini, antara lain:

a. Untuk mengetahui alasan Pengadilan Niaga menolak gugatan

Pailit PT Dayaindo Resources International Tbk;

b. Untuk mengetahui dasar hukum yang mengatur tentang kepailitan;

c. Untuk mengetahui alasan PT Dayaindo Resources International

Tbk dapat digugat pailit.

2) Kegunaan

Kegunaan dari penulisan makalah ini, antara lain:

a. Untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh Dosen kepada

Mahasiswa semester I; Prodi D3-Akuntansi pada Hukum Bisnis;

b. Sebagai bahan bacaan bagi mahasiswa yang ingin mengetahui

bagaimana suatu gugatan Pailit dapat ditolak Pengadilan Niaga;

c. Bagi penulis, untuk menambah wawasan dalam menulis Karya

Ilmiah;

d. Sebagai salah satu syarat untuk memenuhi tugas akademik, yang

diberikan oleh Dosen.

3

Page 8: Kepailitan

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Tinjauan Pustaka

2.1.1. Pengertian Pailit dan Kepailitan

Kata “pailit” telah sering kita dengar akhir-akhir ini. Banyak

perusahaan maupun perorangan yang dinyatakan pailit oleh pengadilan

karena tidak membayar utang-utangnya yang telah jatuh tempo. Kata

pailit berasal dari bahasa Prancis; failite yang berarti kemacetan

pembayaran. Secara tata bahasa, kepailitan berarti segala hal yang

berhubungan dengan pailit. Istilah lain yang Biasa digunakan ialah

bangkrut.

Hal tersebut mengacu hukum kepailitan negara Anglo Saxon

yang menyebutnya bankruptcy yang berarti ketidakmampuan

membayar utang. Kata bankrupycy tersebut kemudian diterjemahkan

bangkrut dalam Bahasa Indonesia. Menurut penulis pengertian pailit

tidak sama dengan bangkrut, karena bangkrut berarti ada unsur

keuangan yang tidak sehat dalam suatu perusahaan.

Selain itu, bangkrut lebih cenderung pada kondisi dimana suatu

perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus yang

memungkinkan perusahaan itu gulung tikar, sehingga unsur utama

dari kebangkrutan ialah kerugian. Perlu diketahui bahwa pailit bisa

terjadi pada perusahaan yang kondisi keuangannya sehat, perusahaan

tersebut dipailitkan karena tidak membayar utang yang telah jatuh

4

Page 9: Kepailitan

tempo dari salah satu atau lebih kreditornya. Jadi, unsur utama dari

kepailitan ialah adanya utang.

Kepailitan kini menjadi tren penyelesaian sengketa utang

piutang yang paling banyak diminati karena dirasa lebih cepat sehingga

hak para kreditor lebih terjamin. Di Indonesia peraturan mengenai

kepailitan diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004

Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang atau

lebih dikenal dengan Undang-Undang Kepailitan (UUK). Undang-

Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang merupakan penyempurnaan dari

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998.

Undang-Undang tersebut perlu dikeluarkan karena

perkembangan perekonomian yang semakin pesat sehingga semakin

banyak permasalahan utang piutang yang timbul di masyarakat. Oleh

karena itu, perlu diatur cara penyelesaian masalah utang piutang secara

adil, cepat, terbuka, dan efektif.

Menurut Pasal 1 angka 1 Undang–Undang Nomor 37 tahun

2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

sebagai berikut:

“Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang

pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah

pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-

undang ini.”

5

Page 10: Kepailitan

2.1.2. Sejarah dan Perkembangan Hukum Kepailitan di

Indonesia

Dalam sejarah berlakunya kepailitan di Indonesia, maka dapat

dibagi menjadi tiga masa, yakni:

1. Masa sebelum Faillisements Verordening berlaku

Sebelum Faillisements Verordening berlaku, dulu hukum

kepailitan itu diatur dalam dua tempat, yaitu:

a. Wet Book Van Koophandel atau WvK buku ketiga yang

berjudul Van de voorzieningen in geval van onvormogen van

kooplieden atau peraturan tentang ketidakmampuan pedagang.

Peraturan ini adalah peraturan kepailitan untuk pedagang;

b. Reglement op de Rechtvoordering (RV) Stb 1847-52 jo 1849-

63, buku ketiga bab ketujuh dengan judul Van de staat van

kenneljk onvermogen atau tentang keadaan nyata-nyata tidak

mampu.

Peraturan ini adalah Peraturan Kepailitan bagi orang-orang

bukan pedagang. Akan tetapi ternyata dalam pelaksanaanya, kedua

aturan tersebut justru menimbulkan banyak kesulitan antara lain

adalah:

a. Banyaknya formalitas sehingga sulit dalam pelaksanaannya;

b. Biaya tinggi;

c. Pengaruh kreditur terlalu sedikit terhadap jalannya kepailitan;

d. Perlu waktu yang cukup lama.

Oleh karena itu maka dibuatlah aturan baru, yang sederhana

dan tidak perlu banyak biaya, maka lahirlah Faillisements

6

Page 11: Kepailitan

Verordening (Stb. 1905-217) untuk menggantikan 2 (dua)

Peraturan Kepailitan tersebut.

2. Masa berlakunya Faillisements Verordening

Selanjutnya mengenai kepailitan diatur

dalam Faillisements Verordening (Stb. 1905-217 jo Stb. 1906-348).

Peraturan kepailitan ini sebenarnya hanya berlaku bagi golongan

Eropah, golongan Cina, dan golongan Timur Asing (Stb.1924-556).

Bagi golongan Indonesia Asli (pribumi) dapat saja

menggunakan Faillisements Verordening ini dengan cara

melakukan penundukan diri. Dalam masa ini untuk kepalitan

berlaku Faillisements Verordening 1905-217 yang berlaku bagi

semua orang yaitu bagi pedagang maupun bukan pedagang, baik

perseorangan maupun badan hukum. Jalannya sejarah peraturan

kepailitan di Indonesia ini adalah sejalan dengan apa yang

terjadi di negara Belanda melalui asas konkordansi (Pasal 131 IS),

yakni dimulai dengan berlakunya Code du Commerce (tahun

1811-1838) kemudian pada tahun 1893 diganti dengan

Faillisementswet 1893 yang berlaku pada 1 Spetember 1896.

3. Masa Berlakunya Undang-Undang Kepailitan Produk Hukum

Nasional

Pada akhirnya setelah berlakunya Faillisements

Verordening Stb. 1905-217 jo Stb. 1906-348, Republik Indonesia

mampu membuat sendiri peraturan kepailitan, yakni sudah ada 3

(tiga) peraturan perundangan yang merupakan produk hukum

7

Page 12: Kepailitan

nasional, dimulai dari terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang (Perpu) No.1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas

UU tentang Kepailitan yang kemudian diubah menjadi UU No.4

Tahun 1998 dan terakhir pada tanggal 18 November 2004

disempurnakan lagi dengan UU No. 37 Tahun 2004 tentang

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

a. Masa Berlakunya Perpu No. 1 Tahun 1998 dan UU Kepailitan

No.4 Tahun 1998

Pengaruh gejolak moneter yang terjadi beberapa

negara di Asia termasuk di Indonesia sejak pertengahan tahun

1997 telah menimbulkan Kesulitan yang sangat besar terhadap

perekonomian Nasional terutama kemampuan dunia usaha

dalam mengembangkan usahanya. Terlebih lagi dalam rangka

untuk memenuhi kewajiban pembayaran mereka pada para

kreditur. Keadaan ini pada gilirannya telah melahirkan akibat

yang berantai dan apabila tidak segera diselesaikan akan

menimbulkan dampak yang lebih luas lagi. Penyelesaian

masalah utang haruslah dilakukan secara cepat dan efektif.

Selama ini masalah kepailitan dan penundaan kewajiban diatur

dalam Faillisements Verordening Stb. 1905-217 jo Stb. 1906-

348. Secara umum prosedur yang diatur dalam Faillisements

Verordeningmasih baik. Namum sementara seiring dengan

berjalannya waktu, kehidupan perekonomian berlangsung

pesat maka wajarlah bahkan sudah semakin mendesak untuk

8

Page 13: Kepailitan

menyediakan sarana hukum yang memadai yakni yang cepat,

adil, terbuka dan efektif guna menyelesaikan utang piutang

perusahaan yang besar penyelesaiannya terhadap kehidupan

perekonomian Nasional.

Kemudian dilaksanakanlah penyempurnaan atas

peraturan kepailitan atau Faillisements Verordening melalui

Perpu No. 1 Tahun 1998 tentang perubahan UU tentang

kepailitan pada tanggal 22 April 1998 Perpu ini diubah

menjadi UU No. 4 Tahun 1998 yang disahkan dan

diundangkan di Jakarta pada tanggal 19 September 1998 yang

tertuang dalam Lembaran Negara (LNRI) tahun 1998 No. 135.

b. Masa Berlakunya UU Kepailitan No. 37 Tahun 2004

Pada 18 Oktober 2004 UU No. 4 Tahun 1998 diganti

dengan disahkannya UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan

dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. UU No.37

Tahun 2004 ini mempunyai cakupan yang luas karena adanya

perkembangan dan kebutuhan hukum dalam masyarakat untuk

menyelesaikan utang piutang secara adil, cepat, terbuka dan

efektif. Adapun pokok materi baru dalam UU Kepailitan ini

antara lain:

1) Agar tidak menimbulkan berbagai penafsiran

dalam UU ini pengertian utang diberikan batasan secara

tegas. Demikian juga pengertian jatuh waktu.

9

Page 14: Kepailitan

2) Mengenai syarat-syarat dan prosedur

permohonan pernyataan pailit dan permohonan penundaan

kewajiban pembayaran utang termasuk di dalamnya

pemberian kerangka waktu secara pasti bagi pengambilan

putusan pernyataan pailit dan/atau penundaan kewajiban

pembayaran utang.

4. Perkembangan Substansi Hukum

Terdapat sebahagian perubahan mengenai substansi hukum

antara aturan kepailitan yang lama dengan aturan kepailitan yang

baru. Substansi tersebut antara lain:

1. Pada Failisment Verordenning tidak dikenal adanya

kepastian Frame Time yaitu batas waktu dalam penyelesaian

kasus kepailitan sehingga proses penyelesaian akan menjadi

sangat lama sebab Undang-undang tidak memberi kepastian

mengenai batas waktu. Hal ini dalam PERPU No.1 Tahun

1998 diatur sehingga dalam penyelesaiannya lebih singkat

karena ditentukan masalah Frame Time;

2. Pada Failisment Verordening hanya dikenal satu

Kurator yang bernama Weestcomer atau Balai Harta

Peninggalan. Para kalangan berpendapat kinerja dari Balai

Harta Peninggalan sangat mengecewakan dan terkesan lamban

sehingga dalam PERPU No.1 Tahun 1998 diatur adanya

Kurator Swasta;

10

Page 15: Kepailitan

3. Upaya Hukum Banding dipangkas, maksudnya segala

upaya hukum dalam penyelesaian kasus kepailitan yang

dahulunya dapat dilakukan Banding dan Kasasi, kini dalam

Perpu No. 1 Tahun 1998 hanya dapat dilakukan Kasasi

sehingga Banding tidak dibenarkan lagi. Hal tersebut

dikarenakan lamanya waktu yang ditempu dalam penyelesaian

kasus apabila Banding diperbolehkan;

4. Dalam Aturan yang baru terdapat Asas Verplichte

Proccurure stelling yang artinya yang dapat mengajukan

kepailitan hanya Penasihat Hukum yang telah

mempunyai/memiliki izin praktek;

5. Dalam UU No. 37 Tahun 2004 ditambah 1 pihak lagi

yang dapat mengjaukan permohonan kepailitan.

2.1.3. Syarat-Syarat suatu Perusahaan dinyatakan Pailit

Pasal 2 ayat (1) menyebutkan bahwa debitor yang mempunyai

dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang

yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan

putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas

permohonan satu atau lebih kreditornya. Jadi, pada dasarnya setiap

debitor dapat dinyatakan pailit sepanjang memenuhi ketentuan dalam

Pasal 2 Undang-Undang Kepailitan. Berdasarkan ketentuan pasal

tersebut di atas, maka syarat-syarat yuridis agar suatu perusahaan dapat

dinyatakan pailit adalah sebagai berikut:

11

Page 16: Kepailitan

1. Adanya utang;

2. Minimal satu utang sudah jatuh tempo;

3. Minimal satu utang dapat ditagih;

4. Adanya kreditor;

5. Kreditor lebih dari satu;

6. Pernyataan pailit dilakukan oleh pengadilan khusus yang disebut

dengan “Pengadilan Niaga”;

7. Permohonan pernyataan pailit diajukan oleh pihak yang

berwenang;

8. Syarat-syarat yuridis lainnya yang disebutkan dalam Undang

Undang Kepailitan.

Apabila syarat-syarat di atas terpenuhi, hakim ”harus

menyatakan pailit”, bukan “dapat menyatakan pailit”, sehingga dalam

hal ini kepada hakim tidak diberikan ruang untuk memberikan

“judgement” yang luas seperti pada perkara lainnya. Hal tersebut

diperkuat dengan ketentuan dalam Pasal 8 ayat (4), bahwa permohonan

pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan

yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan

pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah terpenuhi.

2.1.4. Dasar Hukum Kepailitan dan Hukum Arbitrase

Adapun pengaturan mengenai kepailitan di Indonesia dapat

dilihat dalam beberapa ketentuan antara lain:

1. UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran;

12

Page 17: Kepailitan

2. UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas;

3. UU No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan;

4. UU No. 42 Tahun 1992 Tentang Jaminan Fiducia;

5. Pasal- Pasal yang Terdapat Dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata (BW) yaitu Pasal 1131-1134;

6. Dan beberapa Undang-Undang Lainnya yang mengatur Mengenai

BUMN (UU No.19 Tahun 2003), Pasar Modal( UU No. 8 Tahun

1995), Yayasan (UU No.16 Tahun 2001 ) , Koperasi (UU No. 25

Tahun 1992).

Peratutan perundang-undangan yang mengatur tentang arbitrase

adalah sebagai berikut.

1. UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa.

2.1.5. Pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan Pailit

Adapun Udang-undang mengatur pihak-pihak yang dapat

mengajukan permohonan Pailiit, yaitu:

1. Pihak Debitor itu sendiri;

2. Pihak Kreditor;

3. Jaksa, untuk kepentingan umum;

4. Dalam hal Debitornya adalah Bank, maka pihak yang berhak

mengajukan permohonan pailit adalah Bank Indonesia;

5. Dalam hal Debitornya adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek,

Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan

Penyelesaian, maka pihak yang hanya dapat mengajukan

13

Page 18: Kepailitan

permohonan pailit adalah Badan Pengawas Pasar Modal

(BAPEPAM);

6. Dalam hal Debitornya adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Re-

Asuransi, Dana Pensiun, dan BUMN yang bergerak di bidang

kepentingan Publik maka pihak yang mengajukan adalah Mentri

Keuangan.

Yang perlu diingat sehubungan dengan para pihak-pihak yang

mengajukan permohonan pailit harus dapat diketahui apabila seorang

pemohon tersebut adalah Debitor orang-perorangan dalam prosesnya

maka harus ditinjau terlebih dahulu apakah pihak tersebut masih terikat

dalam suatu perkawinan dan apakah perkawinan tersebut mempunyai

perjanjian pemisahan harta?. Hal sangat penting sekali sebab orang

yang terikat dalam suatu perkawinan (baik suami maupun istri) yang

tidak mempunyai perjanjian pemisahan harta (maka ada harta

bersama/campuran) tidak dapat mengajukan permohonan pailit tanpa

sepengetahuan pasangannya(suami /istri), adapun alasannya karena

pailit itu mempunyai akibat hukum terhadap harta.

2.1.6. Pihak-pihak yang terlibat dalam proses Kepailitan

1. Pihak Permohonan Pailit

Salah satu pihak yang terlibat dalam perkara kepailitan adalah pihak

yang mengajukan permohonan pailit.

2. Debitur Pailit

Pihak debitur pailit adalah pihak yang dimohonkan pailit ke

pengadilan yang berwenang.

14

Page 19: Kepailitan

3. Hakim Pengadilan Niaga

Perkara kepailitan pada tingkat pertama diperiksa dan diputus oleh

majelis hakim Pengadilan Niaga.

4. Hakim Pengawas

Untuk mengawasi pelaksanaan pengurusan dan pemberesan harta pailit

yang dilakukan oleh kurator, maka dalam keputusan kepailitan, oleh

pengadilan harus diangkat seorang hakim pengawas.

5. Kurator

Kurator merupakan salah satu pihak yang cukup memegang peranan

dalam suatu proses perkara pailit, karena tugas umum kurator adalah

melakukan pengurusan dan atau pemberesan terhadap harta pailit.

2.1.7. Langkah-langkah dalam menyatakan Pailit

Ada beberapa langkah dalam menyatakan sebuah perusahaan

pailit, dimana langkah-langkah tersebut adalah sebagai berikut:

1. Permohonan pailit, syarat permohonan pailit telah diatur dalam UU

No. 4 Tahun 1998, seperti apa yang telah ditulis diatas.

2. Keputusan pailit berkekuatan tetap, jangka waktu permohonan pailit

sampai sampai keputusan pailit berkekuatan tetap adalah 90 hari.

3. Rapat verifikasi, adalah rapat pendaftaran utang-piutang, pada

langkah ini dilakukan pendataan berapa jumlah utang dan piutang

yang dimiliki oleh debitur. Verifikasi utang merupakan tahap yang

paling penting dalam kepailitan karena akan ditentukan urutan

15

Page 20: Kepailitan

pertimbangan hak dari masing-masing kreditur. Rapat verifikasi

dipimpin oleh hakim pengawas dan dihadiri oleh:

a. Panitera (sebagai pencatat);

b. Debitur (tidak boleh diwakilkan karena nanti debitur harus

menjelaskan kalau nanti terjadi perbedaan pendapat tentang

jumlah tagihan;

c. Kreditur atau kuasanya (jika berhalangan untuk hadir tidak apa-

apa, nantinya mengikuti hasil rapat);

d. Kurator (harus hadir karena merupakan pengelola aset).

4. Perdamaian, jika perdamaian diterima maka proses kepailitan

berakhir, jika tidak maka akan dilanjutkan ke proses selanjutnya.

Proses perdamaian selalu diupayakan dan diagendakan. Ada

beberapa perbedaan antara perdamaian yang terjadi dalam proses

kepailitan dengan perdamaian yang biasa. Perdamaian dalam proses

kepailitan meliputi:

a. Mengikat semua kreditur kecuali kreditur separatis, karena

kreditur separatis telah dijamin tersendiri dengan benda jaminan

yang terpisah dengan harta pailit umumnya;

b. Terikat formalitas;

c. Ratifikasi dalam sidang homologasi;

d. Jika pengadilan niaga menolak adanya hukum kasasi;

e. Ada kekuatan eksekutorial, apa yang tertera dalam perdamaian,

pelaksanaanya dapat dilakukan secara paksa.

Tahap-tahap dalam proses perdamaian antara lain:

16

Page 21: Kepailitan

a. Pengajuan usul perdamaian

b. Pengumuman usulan perdamaian

c. Rapat pengambilan keputusan

d. Sidang homologasi

e. Upaya hukum kasasi

f. Rehabilitasi

e. Homologasi akur, yaitu permintaan pengesahan oleh Pengadilan

Niaga, jika proses perdamaian diterima.

f. Insolvensi, yaitu suatu keadaan dimana debitur dinyatakan benar-

benar tidak mampu membayar, atau dengan kata lain harta debitur

lebih sedikit jumlahnya dengan hutangnya. Hal tentang insolvensi

ini sangat menentukan nasib debitur, apakah akan ada eksekusi atau

terjadi restrukturisasi hutang dengan damai. Saat terjadinya

insolvensi (pasal 178 UUK) yaitu:

1. Saat verifikasi tidak ditawarkan perdamaian;

2. Penawaran perdamaian ditolak;

3. Pengesahan perdamaian ditolak oleh hakim.

Dengan adanya insolvensi maka harta pailit segera

dieksekusi dan dibagi kepada para kreditur.

g. Pemberesan/likuidasi, yaitu penjualan harta kekayaan debitur pailit,

yang dibagikan kepada kreditur konkuren, setelah dikurangi biaya-

biaya.

h. Rehabilitasi, yaitu suatu usaha pemulihan nama baik kreditur, akan

tetapi dengan catatan jika proses perdamaian diterima, karena jika

17

Page 22: Kepailitan

perdamaian ditolak maka rehabilitasi tidak ada. Syarat rehabilitsi

adalah: telah terjadi perdamaian, telah terjadi pembayaran utang

secara penuh.

i. Kepailitan berakhir.

2.1.8. Akibat putusan Pailit

Akibat Hukum Pernyataan Pailit Secara umum dengan adanta

pernyataan pailit maka terhadap debitur pailit berlakulah hal-hal sebagai

berikut:

1. Terjadi sitaan umum terhadap harta kekayaan debitur pailit;

2. Kepailitan ini semata-mata hanya mengenai harta kekayaan saja dan

tidak mengenai diri pribadi si debitur pailit;

3. Segala perikatan debitur pailit yang timbul setelah putusan pailit

yang diucapkan tidak dapat dibayar dari harta pailit;

4. Harta pailit diurus dan dikuasai kurator untuk kepentingan semua

para kreditur dan debitur;

5. Tuntutan dan gugatan mengenai hak dan kewajiban harta pailit

harus diajukan oleh atau terhadap kurator (Pasal 26 ayat (1) UUK);

6. Semua tuntutan atau gugatan yang bertujuan mendapatkan

pelunasan dari harta pailit selama kepailitan harus diajukan dengan

laporan untuk pencocokan utang (Pasal 27 UUK);

7. Kreditur yang dijamin dengan Hak Gadai, Hak Tanggungan, Hak

hipotik, jaminan fidusia dapat melaksanakan hak agunannya seolah-

18

Page 23: Kepailitan

olah tidak ada kepailitan (Pasal 55 ayat(1) UUK) Pihak kreditur

yang mempunyai hak menahan barang milik debitur pailit sampai

dibayar tagihannya (hak retensi), tidak kehilangan hak untuk

menahan barang debitur pailit tersebur meskipun ada putusan pailit

(Pasal 61 UUK) 9) Hak eksekusi kreditur yang dijamin

sebagaimana disebut dalam Pasal 55 ayat (1) UU Kepailitan

(kreditur separatis/kreditur dengan jaminan khusus) dan pihak

ketiga untuk menuntut hartanya yang berada dalam penguasaan

debitur pailit atau kurator.

2.1.9. Pengertian arbitrase dan alasan memilih arbitrase

1. Pengertian arbitrase

Arbitrase merupakan istilah yang dipakai untuk menjabarkan

suatu bentuk tata cara damai yang sesuai atau sebagai penyediaan

dengan cara bagaimana menyelesaikan sengketa yang timbul sehingga

mencapai suatu hasil tertentu yang secara hukum final dan mengikat.

Prasyarat yang utama bagi suatu proses arbitrase ialah

kewajiban pada para pihak membuat suatu kesepakatan tertulis atau

perjanjian arbitrase (arbitration clause/agreement) dan kemudian

menyepakati hukum dan tata cara bagaimana mereka akan

mengakhiri  penyelesaian. Di luar arbitrase biasanya bilamana timbul

sengketa, para pihak minta seorang pengacara, melalui suatu surat

kuasa kepadanya kemudian melibatkan pengadilan mencoba

menyelesaikan sengketa yang telah terjadi atau bisa saja berusaha

menyelesaikan sendiri secara langsung.

19

Page 24: Kepailitan

2. Alasan memilih arbitrase

Arbitrase biasa dipilih oleh para pengusaha untuk penyelesaian

sengketa komersialnya, karena ternyata memiliki beberapa kelebihan

dan kemudahan ( walaupun ternyata disana–sini terdapat kelemahan-

kelemahan yang bisa saja terjadi ), yakni antara  lain:

1. Para pihak yang bersengketa dapat memilih para arbiternya sendiri

dan untuk ini tentunya akan dipilih mereka yang dipercayai

memiliki integritas, kejujujuran, keahlian dan profesionalisme

dibidangnya masing-masing;

2. Proses majelis arbitrase konfidensial dan oleh karena itu dapat

menjamin rahasia dan publisitas yang tidak dikehendaki;

3. Putusan arbitrase, sesuai dengan kehendak dan niat para pihak

merupakan putusan final dan mengikat para pihak bagi

sengketanya, lain lagi putusan pengadilan yang terbuka bagi

peninjauan yang memakan waktu lama;

4. Karena putusannya final dan mengikat, tata caranya bisa cepat,

tidak mahal serta jauh lebih rendah dari biaya-biaya yang harus

dikeluarkan dalam proses pengadilan. Apalagi kalau kebetulan

ditangani oleh pengacara yang kurang bertanggung jawab

sehingga masalahnya dapat saja dengan itikad buruk diperpanjang

selama mungkin;

20

Page 25: Kepailitan

5. Tata cara arbitrase lebih informal dari tata cara pengadilan dan

oleh karena itu terbuka untuk memperoleh dan tersedianya tata

cara penyelesaian kekeluargaan dan damai.

2.1.10. Pelaksanaan putusan arbitrase

1. Putusan Arbitrase Nasional

Pelaksanaan putusan arbitrase nasional diatur dalam Pasal 59-

64 UU No.30 Tahun 1999. Pada dasarnya para pihak harus

melaksanakan putusan secara sukarela. Agar putusan arbitrase dapat

dipaksakan pelaksanaanya, putusan tersebut harus diserahkan dan

didaftarkan pada kepaniteraan pengadilan negeri, dengan mendaftarkan

dan menyerahkan lembar asli atau salinan autentik putusan arbitrase

nasional oleh arbiter atau kuasanya ke panitera pengadilan negeri,

dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah putusan arbitase diucapkan.

Putusan Arbitrase nasional bersifat mandiri, final ddan mengikat.

Putusan Arbitrase nasional bersifat mandiri, final dan mengikat

(seperti putusan yang mempunyai kekeuatan hukum tetap) sehingga

Ketua Pengadilan Negeri tidak diperkenankan memeriksa alasan atau

pertimbangan dari putusan arbitrase nasional tersebut. Kewenangan

memeriksa yang dimiliki Ketua Pengadilan Negeri, terbatas pada

pemeriksaan secara formal terhadap putusan arbitrase nasional yang

21

Page 26: Kepailitan

dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase. Berdasar Pasal 62 UU

No.30 Tahun 1999 sebelum memberi perintah pelaksanaan , Ketua

Pengadilan memeriksa dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi

Pasal 4 dan pasal 5 (khusus untuk arbitrase internasional). Bila tidak

memenuhi maka, Ketua Pengadilan Negeri dapat menolak permohonan

arbitrase dan terhadap penolakan itu tidak ada upaya hukum apapun.

2. Putusan Arbitrase Internasional

Semula pelaksanaan putusan-putusan arbitrase asing di

indonesia didasarkan pada ketentuan Konvensi Jenewa 1927, dan

pemerintah Belanda yang merupakan negara peserta konvensi tersebut

menyatakan bahwa Konvensi berlaku juga di wilayah Indonesia. Pada

tanggal 10 Juni 1958 di New York ditandatangani UN Convention on

the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award.

Indonesia telah mengaksesi Konvensi New York tersebut dengan

Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 pada 5 Agustus 1981 dan

didaftar di Sekretaris PBB pada 7 Oktober 1981. Pada 1 Maret 1990

Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan mahkamah Agung Nomor

1 tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan arbitrase Asing

sehubungan dengan disahkannya Konvensi New York 1958. Dengan

adanya Perma tersebut hambatan bagi pelaksanaan putusan arbitrase

asing di Indonesia seharusnya bisa diatasi. Tapi dalam prakteknya

kesulitan-kesulitan masih ditemui dalam eksekusi putusan arbitrase

asing.

22

Page 27: Kepailitan

2.1.11. Hubungan arbitrase dengan Pengadilan

Lembaga arbitrase masih memiliki ketergantungan pada

pengadilan, misalnya dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase. Ada

keharusan untuk mendaftarkan putusan arbitrase di pengadilan negeri.

Hal ini menunjukkan bahwa lembaga arbitrase tidak mempunyai

upaya pemaksa terhadap para pihak untuk menaati putusannya.

Peranan pengadilan dalam penyelenggaraan arbitrase berdasar

UU Arbitrase antara lain mengenai penunjukkan arbiter atau majelis

arbiter dalam hal para pihak tidak ada kesepakatan (pasal 14 (3)) dan

dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase nasional maupun nasional

yang harus dilakukan melalui mekanisme sistem peradilan yaitu

pendafataran putusan tersebut dengan menyerahkan salinan autentik

putusan. Bagi arbitrase internasional mengembil tempat di Pengadilan

Negeri Jakarta Pusat.

2.2. Analisis Masalah

2.2.1. Mengapa Pengadilan Niaga menolak gugatan Pailit PT

Dayaindo Resources International Tbk?

Majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat diketahui

menolak gugatan pailit kepada emiten berkode efek KARK (PT

Dayaindo Resources International Tbk) yang diajukan oleh perusahaan

asal Swiss, SUEK AG. "Salinan resmi putusan pengadilan telah kami

terima pada Senin, 3 September 2012," kata dia dalam keterbukaan

informasi di Bursa Efek Indonesia, Selasa 11 September 2012.

23

Page 28: Kepailitan

Salah satu situs bisnis menyebutkan bahwa Majelis hakim

Pengadilan Niaga berpendapat permohonan pailit yang diajukan SUEK

AG belum waktunya atau prematur karena kewajiban yang timbul dari

kasus arbitrase hingga saat ini belum dieksekusi. Putusan hukum

terhadap perkara gugatan perdata yang diajukan Dayaindo serta anak

usahanya,PT Risna Karya Wardhana Mandiri belum juga juga

diputuskan.

"Kami meminta pembatalan putusan perkara arbitrase internasional

yang saat ini proses perkaranya baru memasuki masa mediasi," ia

menjelaskan.

Di sini dilihat bahwa memang PT Dayaindo Resources

International Tbk belum saatnya harus dipailitkan karena harus

nenunggu hasil gugatan perdata yang dilakukan Dayaindo dan kasus

arbitrase yang belum dieksekusi.

2.2.2. Apa dasar Hukum Pengadilan Niaga menolak gugatan

Pailit PT Dayaindo Resources International Tbk?

Dalam hukum Indonesia tentang Kepailitan yang diatur oleh

peraturan perundang-undangan tertentu merupakan dasar hukum yang

diambil dalam mengeksekusi kasusu kepailitan. Peraturan perundang-

undangan tersebut adalah:

1. UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran;

2. UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas;

3. UU No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan;

24

Page 29: Kepailitan

4. UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa;

5. Pasal- Pasal yang Terdapat Dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata (BW) yaitu Pasal 1131-1134;

6. Dan beberapa Undang-Undang Lainnya yang mengatur Mengenai

BUMN (UU No.19 Tahun 2003), Pasar Modal( UU No. 8 Tahun

1995), Yayasan (UU No.16 Tahun 2001 ) , Koperasi (UU No. 25

Tahun 1992).

2.2.3. Mengapa PT Dayaindo Resources International Tbk

dapat digugat pailit?

Kasus gugatan pailit itu bermula dari perjanjian jual-beli batu

bara jenis steam coal antara anak usaha Dayaindo, PT Risna Karya

Wardhana Mandiri, dengan SUEK AG. Perjanjian kontrak ditekan pada

2010 lalu. Untuk kontrak itu, menurut versi SUEK, anak usaha

Dayaindo gagal memenuhi penyediaan batu bara. Padahal, perusahaan

Swiss itu sudah terlanjur menyewa dan mengirimkan kapal pengangkut

batu bara ke Indonesia. Karena itu, SUEK mengklaim mengalami

kerugian US$ 1 juta.

Kuasa hukum SUEK AG, Gita Petrimalia, mengatakan kedua

perusahaan sempat membuat perjanjian kontrak baru. Dalam perjanjian

itu Risna berjanji akan mengganti kerugian SUEK AG senilai US$ 1

juta dan mengirim pasokan batu bara yang diminta. Dalam perjanjian

yang baru ini Dayaindo tercatat sebagai penjamin Risna Karya.

25

Page 30: Kepailitan

Dayaindo akan mengambil alih kewajiban Risna Karya jika gagal

memenuhi janjinya.

SUEK pun mengajukan gugatan ke Mahkamah Arbitrase di

London dan menang. SUEK juga mendaftarkan putusan arbitrase ini ke

PN Jakarta Pusat agar dapat dieksekusi pejabat di Indonesia. Karena tak

kunjung menerima pembayaran, SUEK pun memilih menggugat pailit

Dayaindo.

Di sini lihat bahwa Dayaindo tidak memenuhi kewajibannya

dalam putusan arbitrase sehingga SUEK berpikir Dayaindo tidak

mampu lagi memenuhi kewajibannya sesuai dengan arbitrase yang telah

dibuat dan memilih menggugat pailit Dayaindo.

26

Page 31: Kepailitan

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Dari analisis di atas, dapat dirangkum sebuah kesimpulan sebagai

berikut.

1. Pengadilan Niaga menolak gugatan Pailit PT Dayaindo Resources

International Tbk karena kasus yang timbul dari kewajiban kasus

arbitrase yang dilakukan oleh Dayindo dan SUEK AG belum juga

dieksekusi, yang seharusnya diselesaikan terlebih dulu sebelum

mengajukan gugatan pailit. Putusan hukum terhadap gugatan perdata

yang diajukan Dayaindo belum juga diputuskan sehingga tidak ada

kepastian yang jelas mengenai kebenaran bukti-bukti yang menyatakan

Dayaindo mempunyai utang kepada SUEK AG.

2. Dasar hukum Majelis hakim Pengadilan Niaga dalam menolak gugatan

pailit PT Dayaindo Resources International Tbk adalah UU No. 37

tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran

dan UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa.

3. PT Dayaindo Resources International Tbk dapat digugat pailit karena

menurut SUEK AG, anak usaha Dayaindo gagal memenuhi penyediaan

batu bara. Padahal, perusahaan Swiss itu sudah terlanjur menyewa dan

mengirimkan kapal pengangkut batu bara ke Indonesia. Karena itu,

SUEK mengklaim mengalami kerugian US$ 1 juta. Dayaindo dalam

27

Page 32: Kepailitan

perjanjian kontrak baru gagal memenuhi janjinya sehingga SUEK

mengajukan gugatan ke Mahkamah Arbitrase di London dan menang.

Dari situlah SUEK AG menggugat Dayaindo yang sampai saat itu

Dayaindo tak kunjung membayar kewajibannya.

3.2. Saran

1. Sebaiknya kasus yang menjadi dasar dari kasus gugatan pailit ini yakni

kasus putusan arbitrase harus diselesaikan terlebih dahulu.

2. Dalam menyelesaikan kasus ini hendaknya berdasarkan Undang-

Undang yang berlaku tanpa ada unsur apapun.

3. Hendaknya menunjukkan bukti-bukti yang kuat agar kasus ini lebih

jelas kebenarannya dan tidak menimbulkan kerugian salah satu pihak.

4. Penulis mengharapkan saran dan kritikan dari berbagai pihak yang

sifatnya membangun demi kesempurnaan makalah ini.

28

Page 33: Kepailitan

DAFTAR PUSTAKA

Decilya, Sutji. (2012) Pengadilan Tolak Gugatan Pailit Terhadap KARK [Internet] 11 September. Available from: http://www.tempo.co [diakses, 05 Oktober 2012]

Faiz Mohamad Fan. (2006) Klausul Arbitrase dan Pengadilan [Internet] 18 September. Available from: http://jurnalhukum.blogspot.com [diakses, 10 Januari 2013]

Gultom, Bestori. (2009) Hukum Kepailitan Pengantar [Internet] 09 Nopember. Available from: http://hukum-area.blogspot.com [diakses, 09 Januari 2013]

Pramudya, Kelik S.H. (2010) Hukum Kepailitan [Internet] 09 Nopember. Available from: http://click-gtg.blogspot.com [diakses, 08 Januari 2013]

Sunarmi. (2009). Hukum Kepailitan. [Internet]. Available from: http://repository.usu.ac.id [diakses, 09 Januari 2013]

--------------------. (2012) Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang. [Internet] 30 Mei. Available from: http://sesukakita.wordpress.com [diakses, 09 Januari 2013

--------------------. (2011) Syarat-Syarat Dinyatakan Pailit. [Internet] http://www.tanyahukum.com [diakses, 09 Januari 2012]

--------------------------. Arbitrase dan Arbiter. [Internet] http://wonkdermayu.wordpress.com, [diakses, 10 Januari 2013]

-------------------. (2002) Kepailitan dan Arbitrase. [Internet] 03 April. Available from: http://www.hukumonline.com [diakses, 10 Januari 2013]

-------------------. (2011) Hukum Kepailitan. [Internet] 17 November. Available from: http://jalusemuaada.blogspot.com [diakses, 10 Januari 2013]

29

Page 34: Kepailitan

LAMPIRAN

30

Page 35: Kepailitan

Nama/STB/Kelas : Andi Syahril/361 12 039/1B-D3

Judul artikel : Pengadilan Tolak Gugatan Pailit Terhadap KARK

Topik kajian materi : Hukum Kepailitan

Sumber artikel : http://www.tempo.co

Tanggal artikel : Selasa, 11 September 2012 14:19 WIB

Tanggal diakses : Jumat, 5 Oktoberer 2012

Ringkasan Artikel/Resume

PT Dayaindo Resources International Tbk bisa sedikit bernapas lega.

Soalnya, gugatan pailit yang diajukan perusahaan asal Swiss, SUEK AG, ditolak

oleh majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada 30 Agustus 2012 lalu.

Sekretaris Perusahaan Dayaindo Resources Deni Hidayat mengatakan

permohonan pailit tersebut diajukan SUEK AG sejak 6 Juli 2012. "Salinan resmi

putusan pengadilan telah kami terima pada Senin, 3 September 2012," kata dia

dalam keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia, Selasa 11 September 2012.

Dengan demikian, pelaksanaan eksekusi atas putusan arbitrase LCIA, yang

dijadikan dasar SUEK AG dalam mengajukan permohonan pailit kepada emiten

berkode efek KARK itu, belum dapat dilaksanakan. Alasannya, harus menunggu

putusan hukum terhadap perkara gugatan perdata yang diajukan Dayaindo serta

anak usahanya, PT Risna Karya Wardhana Mandiri, terhadap SUEK AG di

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. "Kami meminta pembatalan putusan perkara

31

Page 36: Kepailitan

arbitrase internasional yang saat ini proses perkaranya baru memasuki masa

mediasi," ia menjelaskan.

Kasus gugatan pailit itu bermula dari perjanjian jual-beli batu bara jenis

steam coal antara anak usaha Dayaindo, PT Risna Karya Wardhana Mandiri,

dengan SUEK AG. Perjanjian kontrak diteken pada 2010 lalu. Untuk kontrak itu,

menurut versi SUEK, anak usaha Dayaindo gagal memenuhi penyediaan batu

bara. Padahal, perusahaan Swiss itu sudah terlanjur menyewa dan mengirimkan

kapal pengangkut batu bara ke Indonesia. Karena itu, SUEK mengklaim

mengalami kerugian US$ 1 juta.

Kuasa hukum SUEK AG, Gita Petrimalia, mengatakan kedua perusahaan

sempat membuat perjanjian kontrak baru. Dalam perjanjian itu Risna berjanji akan

mengganti kerugian SUEK AG senilai US$ 1 juta dan mengirim pasokan batu

bara yang diminta. Dalam perjanjian yang baru ini Dayaindo tercatat sebagai

penjamin Risna Karya. Dayaindo akan mengambil alih kewajiban Risna Karya

jika gagal memenuhi janjinya.

SUEK pun mengajukan gugatan ke Mahkamah Arbitrase di London dan

menang. SUEK juga mendaftarkan putusan arbitrase ini ke PN Jakarta Pusat agar

dapat dieksekusi pejabat di Indonesia. Karena tak kunjung menerima pembayaran,

SUEK pun memilih menggugat pailit Dayaindo.

Tanggapan :

Dari kasusu di atas, PT Dayindo Resources International Tbk beruntung

karena gugatan pailit yang diajukan perusahaan asal swiss, SUEK AG, ditolak

oleh majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Tapi, PT Dayindo juga harus

32

Page 37: Kepailitan

belajar dari kasus tersebut. Jangan sampai kasus tersebut berkelanjutan atau

terulang kembali bahkan lebih yang dapat mengakibatkan kerugian PT Dayindo

oleh karena tidak baiknya pelayanan terhadap para debitur. Jadi PT Dayindo harus

lebih meningkatkan kinerjanya dalam memproduksi batu bara dan distribusi

pasokan batu bara kepada distributor.

Kesimpulan :

Dari kasus di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Gugatan pailit PT

Dayindo Resources International Tbk dari SUEK AG ditolak oleh Majelis Hakim

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dengan demikian, pelaksanaan eksekusi atas

putusan arbitrase LCIA, yang dijadikan dasar SUEK AG dalam mengajukan

permohonan pailit emitmen berkode efek KARK itu, belum dapat dilaksanakan

gugatan pailit tersebut. Kasus ini juga harus menunggu putusan hukum terhadap

perkara gugatan perdata yang diajukan Dayaindo serta anak usahanya, PT Risna

Karya Wardhana Mandiri, terhadap SUEK AG di Pengadilan Negeri Jakarta

Pusat.

33