Kemiskinan_struktur_nelayan

38
REKONSTRUKSI TEORI POLA KEMISKINAN KOMUNITAS NELAYAN KOTA MAKASSAR (Aspek Spasial Kemiskinan Nelayan Perkotaan) Disusun oleh Sukardi BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Untuk meningkatkan produksi nelayan, motorisasi perahu dan modernisasi alat tangkap perikanan laut selama kurun waktu seperdua abad terakhir semakin intensif dilakukan. Hal ini diikuti oleh proses diferensiasi struktur sosial komunitas nelayan ke dalam unit-unit komunitas yang semakin terspesialisasi pada jenis teknologi alat tangkap yang dipergunakan. Dengan peningkatan produktivitas tersebut diharapkan kualitas kesejahteraan hidup nelayan pun akan meningkat pesat. Meskipun demikian, pada kenyataannya, kemiskinan masih tetap saja tampak dalam struktur sosial masyarakat nelayan bersangkutan. Oleh karena itu, untuk menjawab pertanyaan berikut, “Adakah diferensiasi struktur sosial komunitas nelayan akibat perkembangan motorisasi perahu dan modernisasi alat tangkap berkorelasi positif dengan peningkatan pendapatan 1

description

Nelayan

Transcript of Kemiskinan_struktur_nelayan

REKONSTRUKSI TEORI

POLA KEMISKINAN KOMUNITAS NELAYAN KOTA MAKASSAR(Aspek Spasial Kemiskinan Nelayan Perkotaan)

Disusun oleh

SukardiBAB I

PENDAHULUAN

1. Latar BelakangUntuk meningkatkan produksi nelayan, motorisasi perahu dan modernisasi alat tangkap perikanan laut selama kurun waktu seperdua abad terakhir semakin intensif dilakukan. Hal ini diikuti oleh proses diferensiasi struktur sosial komunitas nelayan ke dalam unit-unit komunitas yang semakin terspesialisasi pada jenis teknologi alat tangkap yang dipergunakan. Dengan peningkatan produktivitas tersebut diharapkan kualitas kesejahteraan hidup nelayan pun akan meningkat pesat. Meskipun demikian, pada kenyataannya, kemiskinan masih tetap saja tampak dalam struktur sosial masyarakat nelayan bersangkutan.Oleh karena itu, untuk menjawab pertanyaan berikut, Adakah diferensiasi struktur sosial komunitas nelayan akibat perkembangan motorisasi perahu dan modernisasi alat tangkap berkorelasi positif dengan peningkatan pendapatan perkapita sehingga pertumbuhan ekonomi tinggi dapat terpelihara? Dengan kata lain, adakah hubungan yang signifikan proses modernisasi pembangunan pada komunitas nelayan yang dicirikan oleh mekanisasi alat tangkap dengan tingkat kesejahteraan mereka? dalam makalah ini mengajukan hipotesis bahwa kedua hal tersebut di atas kurang berkorelasi positif. Hal ini diindikasikan oleh adanya kemiskinan dan kesenjangan sosial yang tetap saja tampak dalam struktur sosial masyarakat nelayan bersangkutan.Kemiskinan dalam perspektif struiktural dan kultural menekankan pada aspek tingkah laku manusia yang kurang mendukung pembangunan. Inti dari perspektif kultural ialah kesediaan untuk mempertimbangkan perubahan. Ditandai dengan sifat individu yang lazim seperti, fatalisme atau pasrah pada nasib, boros dan tergantung. Aksioma yang terbangun dalam fenomena kemiskinan kultural dalam makalah ini menempatkan bahwa pada posisi determinan sebagai penyebab lemahnya nilai-nilai instrumental sebagian masyarakat nelayan.Sumber daya laut serta daerah pesisir banyak di geluti oleh komunitas di pinggir pantai yang biasa dikenal dengan komunitas nelayan. Nelayan adalah suatu kelompok yang hidupnya tergantung pada langsung pada hasil laut. Mereka umunya tinggal di pingiran pantai, sebuah lingkungan yang dekat dengan lokasi kegiatannya (Imron, 2003). Sesungguhnya nelayan bukanlah suatu entitas tunggal mereka terdiri dari beberapa kelompok. Dilihat dari segi pemelikan alat tangkap, nelayan dapat dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu Punggawa atau pemilik kapal, modal serta alat tangkap lainnya, Papalele atau disebagian tempat disebut parewa atau nelayan yang memiliki perahu serta alat tangkap sendiri namun menangkap ikan secara perorangan saja. Sedangkan sawi atau nelayan buruh, nelayan yang tidak memiliki kapal maupun perahu, keterbatasan alat tangkap, serta bekerja atas suruhan orang lain.Kota Makassar terletak di sebelah selatan Pulau Sulawesiterdiri dari 14 kecamatan dan 142 kelurahan/desa dengan total jumlah pulau-pulau kecil sebanyak 11 pulau (BPS Kota Makassar, 2009). Kota Makassar yang dikenal sebagai gerbang menuju Indonesia Timur telah mengokohkan dirinya sebagai salah satu kota besar dengan pendapatan daerahtahun Anggaran2014terealisasi sebesar Rp 2,3 trilyun. Selanjutnya data tahun 2012Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Makassar mencatat realisasi ekspor perikanan sebanyak 216 ton dengan nilai sekitar US$3,02 juta. Dengan begitu besarnya potensi hayatilaut di Makassar seyogyanya dapat menjadi suatu aset besar bagi nelayan kota Makassar dalam upaya memperbaiki taraf hidup mereka secara ekonomi. Namun, realitanya kehidupan nelayan tetap saja masih berada dalam ketidakmampuan secara finansial dan belum sejahtera. Ironiskarena dengan hidup di antara sumberdaya alam laut yang melimpah ruah, harusnya masyarakat setempat dapat hidup dengan bahagia dan sejahtera. Beberapa tempat di Kota Makassar banyak daerah-daerah yang ditempati bermukim oleh para nelayan contohnya di Kelurahan Tanjung Merdeka, Kecamatan Tamalate, di Kelurahan Lette, Kecamatan Mariso, hingga di Kelurahan Untia Kecamatan Biringkanaya, Kota Makassar.

2. Permasalahan Komunitas NelayanDari latar belakang yang diuraikan diatas, disimpulkan ungkapan masalah komunitas nelayan kota Makassar adalah sebagai berikut :

Faktor Spasial sangat mempengaruhi Pola, Dinamika dan Kerentanan Kemiskinan Komunitas Nelayan Kota Makassar. Tingginya APBD Kota Makassar dan Realisasi Eksport Hasil Perikanan Kota Makassar, seyogyanya dapat menjadi suatu aset besar bagi nelayan kota Makassar dalam upaya memperbaiki taraf hidup mereka secara ekonomi. Namun, realitanya kehidupan nelayan tetap saja masih berada dalam ketidakmampuan secara finansial dan belum sejahtera.3. Tujuan Rekonstruksi TeoriAdapun tujuan rekonstruksi teori ini adalah :

Menjelaskan Pola Kemiskinan permukiman Nelayan di Makassar dengan melihat BAB IILANDASAN TEORITIS1. Konsep dan Definisi KemiskinanKemiskinan adalah teori, fakta dan kebijakan bahkan masalah yang sudah sejak lama ada dan hampir dapat dikatakan akan tetap menjadi kenyataan abadi. Kemiskinan selalu mendapatkan tempat yang cukup penting dalam pembahasan pembangunan. Pengertian kemiskinan menurut Gunawan Sumodiningrat dkk (1999:1) adalah sebuah konsep ilmiah yang lahir sebagai dampak ikutan dari pembangunan dalam kehidupan. Kemiskinan dipandang sebagai bagian dari masalah dalam pembangunan, yang keberadaannya ditandai dengan adanya pengangguran, keterbelakangan, yang kemudian meningkat menjadi ketimpangan.Beberapa study empiris, dengan pendekatan time series yang bersifat cross-section study memberikan kesimpulan yang beragam. Deininger dan Squire (1995, 1996) menyimpulkan bahwa ada korelasi positif antara pertumbuhan ekonomi suatu negara dengan peningkatan angka kemiskinan. Namun studi yang dilakukan oleh World Bank (1990), Fields dan Jakobson (1989) dan Ravallion (1995), menunjukan tidak ada korelasi antara pertumbuhan ekonomi dengan tingkat kemiskinan. Kajian kajian empiris di atas pada hakekatnya adalah menguji hipotesis Kuznets dimana hubungan antara kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi menunjukkan hubungan negatif, sebaliknya hubungan pertumbuhan ekonomi dan tingkat kesenjangan ekonomi adalah hubungan positif. Hubungan ini sangat terkenal dengan nama kurva U terbalik dari kuznets. Maka kedua studi yang mempunyai hasil bertolak belakang tersebut, justru menguatkan hipotesis dari Kuznets dengan kurva U terbalik. Kuznets menyimpulkan bahwa pola hubungan yang positif kemudian menjadi negatif, menunjukkan terjadi proses evolusi dari distribusi pendapatan dari masa transisi suatu ekonomi pedesaan (rural) ke suatu ekonomi perkotaan (urban) atau ekonomi industri.

Menurut Sumodiningrat (1989) bahwa Kemiskinanadalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. Kemiskinan merupakan masalah global. Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan.

Pengertian mengenai kemiskinan dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, dalam hal ini Sumodiningrat (1989) mengklasifikasikan kemiskinan menjadi lima jenis, yaitu kemiskinan absolut, kemiskinan relatif, kemiskinan kultural, kemiskinan kronis, dan kemiskinan sementara.a) Kemiskinan absolut adalah apabila tingkat pendapatan seseorang dibawah garis kemiskinan atau sejumlah pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum (basic needs), antara lain kebutuhan pangan, sandang, kesehatan, perumahan, dan pendidikan yang diperlukan untuk hidup dan bekerja.b) Kemiskinan relatif adalah apabila seseorang yang mempunyai pendapatan di atas garis kemiskinan, namun relatif lebih rendah dibandingkan dengan masyarakat sekitarnya. Kemiskinan relatif ini erat kaitannya dengan masalah pembangunan yang sifatnya struktural, yakni kesenjangan akibat kebiijaksanaan pembangunan yang belum menjangkau seluruh masyarakat.c) Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang diakibatkan oleh acuan pada sikap seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh faktor budaya tidak mau berusaha untuk memperbaiki tingkat kehidupannya meskipun ada usaha dari pihak luar untuk membantunya.d) Kemiskinan kronis adalah kemiskinan yang disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: Kondisi sosial budaya yang mendorong sikap dan kebiasaan hidup masyarakat yang tidak produktif. Keterbatasan sumberdaya dan keterisolasian (yaitu daerah-daerah kritis sumberdaya alam dan daerah terpencil).

Rendahnya taraf pendidikan dan derajat perawatan kesehatan, terbatasnya lapangan kerja, dan ketidakberdayaan masyarakat dalam mengikuti ekonomi pasar.e) Kemiskinan sementara adalah kemiskinan yang terjadi akibat adanya: Perubahan siklus ekonomi dari kondisi normal menjadi krisis ekonomi. Perubahan yang bersifat musiman seperti dijumpai pada kasus kemiskinan nelayan dan pertanian tanaman pangan. Bencana alam atau dampak dari suatu kebijakan tertentu yang menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan suatu masyarakat.Pengklasifikasian jenis-jenis kemiskinan seperti tersebut diatas bertujuan agar program-program pengentasan kemiskinan yang akan dilaksanakan dapat tepat sasaran dan efektif dalam penaggulanganya.

Kini di Indonesia jerat kemiskinan itu makin akut. Jumlah kemiskinan di Indonesia pada Maret 2009 saja mencapai 32,53 juta atau 14,15 persen Kemiskinan tidak hanya terjadi di perdesaan tapi juga di kota-kota besar seperti di Jakarta. Kemiskinan juga tidak semata-mata persoalan ekonomi melainkan kemiskinan kultural dan struktural.

Sedangkan Sar A Levitan (1980) dalam bukunya Program in Aid of the Poor for the 1980s mendefinisikan bahwa kemiskinan adalah kekurangan barang-barang dan pelayanan-pelayanan yang dibutuhkan untuk mencapai suatu standard hidup yang layak. Maka tidak ada definisi kemiskinan yang dapat diterima secara universal. Istilah kemiskinan masihbersifat multi-interpretable, sementara itu, Bappenas merumuskan kemiskinan ini sebagai situasi serba kekurangan yang terjadi bukan karena dikehendaki oleh si miskin, melainkan karena tidak dapat dihindari oleh si miskin, serta tidak dapat dihindari dengan kekuatan yang ada padanya.Hal ini tercermin dalam lemahnya kemauan untuk maju, rendahnya kualitas sumber daya manusia, lemahnya nilai tukar hasil produksi, rendahnya pendapatan dan terbatasnya modal yang dimiliki, rendahnya dan terbatasnya kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan. Hal ini sesuai dengan definisi kemiskinan yang diungkapkan oleh Bradly R. Schiller dalam Murin (1979:214) bahwa kemiskinan adalah ketidaksanggupan untuk mendapatkan barang-barang dan pelayanan-pelayanan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial yang terbatas. Kemiskinan dapat dilukiskan dengan kurangnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok (Salim, 1984: 41). Dalam kaitannya dengan hal ini, Wolrd Bank mendefinisikan keadaan miskin sebagai:

Poverty is concern with absolute standard of living of part of society the

poor in equality refers to relative living standards across the whole

society (World Bank, 1990; 26)Dengan kata lain, kemiskinan dapat diukur dengan membandingkan tingkat pendapatan atau rumah tangga dengan tingkat pendapatan yang diperlukan, untuk memenuhi kebutuhan minimum. Kebutuhan tersebut hanya dibatasi pada kebutuhan pokok atau kebutuhan dasar minimum yang memungkinkan seseorang dapat hidup secara layak. Jika tingkat pendapatan tidak dapat memenuhi kebutuhan minimum, maka orang atau rumah tangga tersebut dapat dikatakan sebagai keluarga miskin.

Masyarakat miskin umumnya lemah dalam kemampuan berusaha dan terbatas aksesnya kepada kegiatan ekonomi, sehingga tertinggal jauh dari masyarakat lainnya yang memiliki potensi lebih tinggi. Masalah kemiskinan muncul karena adanya sekelompok anggota masyarakat yang secara struktural tidak mempunyai peluang dan kemampuan yang memadai untuk mencapai tingkat kehidupan yang layak. Akibatnya mereka harus mengakui keunggulan kelompok masyarakat lainnya dalam persaingan mencari nafkah dan kepemilikan aset produktif, sehingga semakin lama menjadi semakin tertinggal. Dalam prosesnya, gejala tersebut memunculkan persoalan ketimpangan distribusi pendapatan.Walaupun ada perbedaan pandangan tentang definisi kemiskinan, tetapi jika dikaji hubungan sebab akibat dari kemiskinan itu, maka dapat disimpulkan bahwa kedua konsep tersebut tidak dapat dipisahkan. Jika di dalam suatu masyarakat terjadi ketidakadilan dalam pembagian kekayaan, maka sebagian anggota masyarakat yang posisinya lemah akan menerima bagian kekayaan terkecil.Kerena itu golongan yang lemah ini akan menjadi miskin. Sebaliknya jika sebagian anggota masyarakat itu miskin, maka golongan ini akan mempunyai posisi yang lemah dalam penentuan pembagian kekayaan di dalam masyarakattersebut.Secara diagramatis hubungan sebab akibat antara masyarakat yang lemah (secara relatif) dan yang miskin (secara absolut) ini dapat divisualisasikan sebagai berikut:Saat ini konsep kemiskinan yang digunakan tidak hanya menghitung kemiskinan absolut saja, melainkan juga memperhitungkan kemiskinan relatif. Fokus kemiskinan relatif lebih menyoroti pada proses pemiskinan dan sebab-sebab kemiskinan. Dari perspektif ini kemiskinan dipahami sebagai perampasan kapabilitas dan akses. Posisi yang diambil dengan sudut pandang kemiskinan struktural mencakup lima dimensi pokok, yaitu: pola hubungan kekuasaan, dimensi kelembagaan, dimensi kebijakan, dimensi budaya, dan dimensi lingkungan fisik.Kemiskinan adalah masalah yang kronis dan kompleks, karena itu, dalam menanggulangi kemiskinan, permasalahan yang dihadapi bukan hanya terbatas hal-hal yang menyangkut pemahaman hubungan sebab akibat timbulnya kemiskinan, melainkan juga melibatkan preferensi, nilai, dan politik.Hadiwigeno dan Pakpahan mengingatkan bahwa kemiskinan selalu berada dalam konteks sosial, maka interdepensi antarindividu atau antargolongan masyarakat merupakan karakteristik intern.Karena itu pula untuk menanggulangi kemiskinan, tidak terbatas pada masalah peningkatan produktivitas, tetapi lebih penting lagi menyangkut permasalahan perubahan dalam entitlement. Baik terhadap sumber daya dalam arti fisik maupun dalam arti kesempatan untuk memperolehsharedari aliran manfaat.Kemiskinan juga merupakan akibat dari proses eksklusi dan peminggiran yang menyebabkan hilangnya partisipasi, keterpurukan, dan pada akhirnya menghilangkan akuntabilitas. Karena itu, kemiskinan tidak hanya merupakan akibat deprivasi kapabilitas, tapi juga karena masalah hubungan kekuasaan (power relationship) diantara masyarakat dan negara maupun antara masyarakat dengan kelompok masyarakat lainnya.Dalam perspektif yang lebih makro, pemiskinan juga dapat dilihat sebagaigrand designkaum kapitalis dan mafia neoliberal dimana negara-negara miskin menjadi objek utamanya. Aktivis debtWach, Arimbi Heroepoetri menduga bahwa proses pemiskinan global ini terjadi karena lemahnya regulasi yang dimiliki negara-negara miskin.Dengan begitu, mesin uang globalisasi yang terdiri dari kelompok Bank Dunia (IBRD, IFC, GIGA, ICSID), Kelompok TNCs/MNCs, dan lembaga multilateral lainnya dengan mudahnya menjebak negara-negara miskin melalui resep neoliberalisme yang manjur: deregulasi, privatisasi, dan liberalisasi. Dengan resep ini maka terjadilah monopoli di berbagai sektor produksi, distribusi, dan konsumsi. Keuntungannya tentu saja hanya dinikmati para kapitalis, sementara rakyat miskin di berbagai belahan dunia terus-menerus menjadi sapi perahan.Sikap dan pandangan kelompok yang menganggap kemiskinan sebagai hal yang biasa oleh Taylor (2007) disebut sebagai kondisi membiasanya penderitaan. Taylor mengatakan bahwa :Pola hidup sederhana ada dalam komunitas-komunitas yang agak stabil dan lebih kuat, bahkan pola itu semakin meningkat. Lingkungan tempat mereka lahir dan bertumbuh, dalam banyak hal, lebih mudah dihadapi daripada kebudayaan baru yang perlu penyesuaian bahkan mungkin mengkhawatirkan. Ciri pokok kondisi membiasanya penderitaan dalam suatu lingkungan adalah bahwa kondisi tersebut sangat sulit disadari oleh orang-orang yang hidup di dalamnya. Dengan demikian, apa yang tampak dari luar sebagai kondisi hidup yang mengerikan, oleh orang-orang yang berada di dalam, dilihat sebagai realitas hidup harian yang tidak menutup kemungkinan bagi berkembangnya rasa senang atau kepuasan.Kemiskinan yang digambarkan oleh Taylor menunjukkan bahwa ada kelompok-kelompok masyarakat yang tidak menyadari kemiskinan yang dialaminya sebagai suatu masalah. Sekalipun mereka memandang kemiskinan sebagai suatu masalah tetapi tidak berupaya untuk mengatasi masalah dan keluar dari kondisi miskin yang memerangkap dirinya. Kondisi membiasanya penderitaan dan perangkap kemiskinan sebagaimana digambarkan Taylor utamanya dapat dilihat pada kelompok-kelompok yang secara turun temurun selalu berada dalam stratifikasi sosial paling bawah. Kelompok masyarakat seperti ini cenderung menerima kemiskinan sebagai nasib. Mereka tidak menangkap peluang dalam perkembangan dan pembangunan di sekitarnya, bahkan seringkali enggan atau takut untuk memulai sesuatu yang baru.

Terbiasanya suatu kelompok dalam kondisi miskin yang memerangkapnya, tidak hanya disebabkan oleh sikap pasrah terhadap nasib tetapi dipengaruhi juga oleh budaya kemiskinan (cultural of poverty). Suparlan (2003 : 4) mengenai segi sosial dan ekonomi pemukiman kumuh mengatakan bahwa :Permasalahan informal dan aksesibiliti (warga di pemukiman kumuh) mungkin lebih tepat kalau dilihat dalam kaitannya dengan kebudayaan kemiskinan yang mereka miliki. Sebab bukan hanya mereka itu tidak mempunyai akses tetapi seringkali juga mereka tidak bersedia untuk menggunakan atau salah menggunakan fasilitas yang disediakan oleh pemerintah melalui pranata-pranatanya.Dari pernyataan Suparlan tersebut diatas dapat dilihat bahwa ada kelompok-kelompok miskin tertentu yang sulit untuk diberdayakan sekalipun sudah mendapat bantuan dari pemerintah karena sikap dan perilakunya dipengaruhi budaya kemiskinan. Menurut Lewis dalam Suparlan (2003 : 4 6) kebudayaan kemiskinan berkembang dalam kehidupan masyarakat orang miskin yang dari generasi ke generasi berikutnya hidup dalam kemiskinan. Definisi budaya kemiskinan menurut Lewis dalam Masjkuri (2007 : 40) adalah suatu adaptasi atau penyesuaian dan sekaligus juga merupakan reaksi kaum miskin terhadap kedudukan marginal mereka di dalam masyarakat yang berstrata kelas, sangat individualistis dan berciri kapitalisme.

Definisi kemiskinan menurut Bappenas cenderung mengarah pada terminologi kemiskinan struktural karena di dalamnya terkandung makna dan maksud negara untuk memberi kesempatan yang sama kepada seluruh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup sebagaimana hak-hak dasarnya sebagai manusia dan sebagai warga negara. Perumusan definisi ini tentunya tidak terlepas dari kepentingan Bappenas sebagai suatu lembaga perangkat pemerintah yang mempunyai tugas untuk merancang berbagai kebijakan dan program pembangunan untuk masyarakat.Pengertian kemiskinan yang kompleks dan disebabkan oleh faktor-faktor yang berasal dari dalam maupun dari luar diri orang miskin dikemukakan oleh Michel Mollat dalam Muller (2006 : 8). Menurut Mollat, kemiskinan dapat dilukiskan sebagai berikut :

Orang miskin adalah mereka yang tetap atau sementara dalam keadaan lemah, tergantung dan remeh, dalam keadaan kekurangan yang berbeda-beda menurut zaman dan pola masyarakat serta dalam keadaan tak berdaya dan terhina. Orang miskin tidak memiliki uang, koneksi, pengaruh, kuasa, pengetahuan, keterampilan teknis, kelahiran yang terhormat, kekuatan fisik, kemampuan intelektual, kebebasan pribadi bahkan harkat manusia. Mereka hidup dari hari ke hari dan tidak punya peluang sedikit pun untuk melepaskan diri dari keadaannya tanpa bantuan orang lain. Definisi semacam ini meliputi semua orang yang tersingkirkan dan dicabut hak-haknya, semua orang aneh dan semua kelompok marginal.2. Tinjauan Pemikiran Terhadap Kemiskinan 2.1. Tinjauan Teologi dan Etika Terhadap Kemiskinan

Kajian kemiskinan dari sudut teology adalah adanya suatu paham apakah kemiskinan yang menimpa seseorang merupakan suatu takdir ataukah timbul karena si manusia itu sendiri tidak berusaha untuk tidak miskin. Kajian teologi juga mempertanyakan apakah pengentasan kemiskinan tersebut menjadi kewajiban negara atau kewajiban masing masing individu untuk berusaha sendiri. Beberapa tinjauan empiris dari peneliti kemiskinan di Indonesia berpendapat bahwa pengentasan kemiskinan menjadi kewajiban negara, baik dilihat dari sisi moral, maupun amanat yang sudah tertera dalam Undang Undang Dasar 1945. Oleh karena itu kemiskinan yang dialami oleh para nelayan adalah merupakan tanggung jawab Negara dalam memberikan penghidupan yang layak sesuai amanat UUD 1945.2.2. Tinjauan Ontologi

Dalam kaitannya dengan kemiskinan, ontologi berusaha untuk menkaji definisi dari suatu obyek kemiskinan. Kajian definisi dari kemiskinan dapat dilihat dari beberapa kajian. Menurut Badan Pusat Statistik (2000) kemiskinan didefinisikan sebagai pola konsumsi yang setara dengan beras 320 kg/kapita/tahun di pedesaan dan 480 kg/kapita/tahun di daerah perkotaan. Menurut hasil survey Susenas (1999), kemiskinan disetarakan dengan pengeluaran untuk bahan makanan dan non makanan sebesar Rp.89.845,-/kapita/bulan dan Rp.69.420,- /kapita/bulan. Pada Grafik dan table 1 dibawah ini disajikan perbandingan antara jumlah penduduk secara nasional pada kelompok desil 1 (desil 1 merupakan hasil estimasi pengeluaran konsumsi terbawah rumah tangga) dengan jumlah penduduk sangat miskin dan miskin secara nasional (yang didapatkan dari data Susenas 2011). Dari gambar tersebut terlihat bahwa Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) berada pada sekitar 5 persen kelompok terbawah dari Data PPLS 2011, sedangkan rumah tangga miskin (RTM) berada di bawah 10 persen kelompok terbawah dari PPLS 2011 atau dibawah desil 1.Gambar 1. Perbandingan Jumlah Penduduk Miskin menurutData Susenas 2011 dan PPLS 2001.

Apabila dilihat sampai dengan level provinsi juga akan menunjukkan hasil yang tidak begitu jauh berbeda. Sebagai contoh pada Tabel berikut dapat dilihat perbandingan antara jumlah penduduk miskin (hasil Susenas) dengan jumlah penduduk pada 10 persen kelompok kesejahteraan terbawah/ desil 1 (hasil PPLS 2011).Tabel. 1. Perbandingan Jumlah Penduduk Miskin menurut Provinsi Berdasarkan Data Susenas 2011 dan PPLS 2001

2.3. Tinjauan Kasualitas

Dalam makalah ini sebab sebab terjadinya kemiskinan. Dari data data empiris dapat diambil kesimpulan bahwa sebab sebab kemiskinan dapat dibagi menjadi 2 golongan. Kemiskinan yang ditimbulkan oleh faktor alamiah, yaitu kondisi lingkungan yang miskin, ilmu pengetahuan yang tidak memadai, adanya bencana alam dan lain lain. Kemiskinan yang disebabkan karena faktor non alamiah, yaitu adanya kesalahan kebijakan ekonomi, korupsi, kondisi politik yang tidak stabil, kesalahan pengelolaan sumber daya alam dan lain lain. Kausalitas kemiskinan dalam kajian ini adalah, bahwa penyebab kemiskinan yang terjadi di Indonesia adalah faktor non alamiah, terutama karena adanya kesalahan dalam kebijakan ekonomi.2.4. Kajian Epistemologi

Dalam kajian kemiskinan, beberapa penelitian yang dilakukan dengan mempelajari data data empiris, baik yang berada di dalam negeri maupun di luar negeri. Juga dilakukan kajian banding dengan negara negara lain, terutama mengenai kebijakan kebijakan ekonomi pengentasan kemiskinan. Hasil yang diharapkan berupa model kemiskinan, dengan diketahui peubah peubah yang mempengaruhi kemiskinan. Akhirnya dapat mengambil kebijaksanaan untuk menekan angka kemiskinan.2.5. Kajian Aksiologi

Aksiologi adalah cabang ilmu filsafat yang mempertanyakan nilai suatu obyek yang akan dikaji dan manfaat dari obyek yang dikaji. Tujuan dari kajian kemiskinan di Indonesia adalah untuk mengetahui gambaran atau peta kemiskinan di Indonesia, baik dilihat dari geographis, tingkat pendidikan dan peubah peubah yang mempengaruhi kemiskinan. Dengan diketahuinya peta kemiskinan tersebut maka akan memudahkan bagi pengambil keputusan untuk membuat kebijakan untuk mengentaskan kemiskinan.

3. Indikator, Dimensi dan Karakteristik Kemiskinan3.1. Indikator Kemiskinan Menurut Work BankIndikator Kemiskinan menurut Bank Dunia yaitu :1) Kepemilikan tanah dan modal yang terbatas

2) Terbatasnya sarana dan prasarana yang dibutuhkan, pembangunan yang bias kota

3) Perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat

4) Perbedaan sumber daya manusia dan sektor ekonomi

5) Rendahnya produktivitas

6) Budaya hidup yang jelek

7) Tata pemerintahan yang buruk

8) Pengelolaan sumber daya alam yang berlebihan3.2. Indikator Kemiskinan Menurut BappenasIndikator Kemiskinan menurut Bappenas yaitu :

1) Kurangnya pangan, sandang dan perumahan yang tidak layak; 2) Terbatasnya kepemilikan tanah dan alat-alat produktif; 3) Kuranya kemampuan membaca dan menulis; 4) Kurangnya jaminan dan kesejahteraan hidup; 5) Kerentanan dan keterpurukan dalam bidang sosial dan ekonomi; 6) Ketakberdayaan atau daya tawar yang rendah; 7) Akses terhadap ilmu pengetahuan yang terbatas.Dalam kehidupan masyarakat yang tergolong klarifikasi penduduk miskin berdasarkan kemampuannya memenuhi kebutuhan hidupnya, menurut Badan Pusat Statistik adalah : Penduduk dikatakan sangat miskin apabila kemampuan memenuhi konsumsi makanan hanya mencapai 900/kalori/orang/hari ditambah kebutuhan dasar atau setara dengan Rp. 120.000/orang/hari.

Penduduk dikatakan miskin apabila kemampuan memenuhi konsumsi makanan hanya mencapai antara 1900/2100 kalori/orang/hari ditambah kebutuhan dasar atau setara dengan Rp. 120.000-Rp. 150.000/orang/bulan.

Penduduk dikatakan mendekati miskin apabila kemampuan memenuhi konsumsi makanan hanya mencapai 2100/23000 kalori/orang/hari dan kebutuhan dasar atau setara dengan Rp. 150.000-Rp. 175.000/orang/bulan.3.3. Kategori KemiskinanSuharto (2006 : 148 149) mengatakan bahwa ada tiga kategori kemiskinan yang menjadi pusat perhatian pekerjaan sosial, yaitu:

1) Kelompok yang paling miskin (destitute) atau yang sering didefinisikan sebagai fakir miskin. Kelompok ini secara absolut memiliki pendapatan di bawah garis kemiskinan (umumnya tidak memiliki sumber pendapatan sama sekali) serta tidak memiliki akses terhadap berbagai pelayanan sosial.

2) Kelompok miskin (poor). Kelompok ini memiliki pendapatan di bawah garis kemiskinan namun secara relatif memiliki akses terhadap pelayanan sosial dasar.

3) Kelompok rentan (vunerable group). Kelompok ini dapat dikategorikan bebas dari kemiskinan, karena memiliki kehidupan yang relatif lebih baik ketimbang kelompokdestitutemaupun miskin. Namun sebenarnya kelompok yang sering disebut near poor (agak miskin) ini masih rentan terhadap berbagai perubahan sosial di sekitarnya. Mereka seringkali berpindah dari status rentan menjadi miskin dan bahkan destitute bila terjadi krisis ekonomi dan tidak mendapat pertolongan sosial

Kemiskinan oleh profesi pekerjaan sosial lebih dipandang sebagai persoalan-persoalan struktural tetapi dalam upaya pemecahannya pekerjaan sosial menekankan keberfungsian sosial sebagai upaya untuk keluar dari lingkaran kemiskinan yang menjerat individu, keluarga, kelompok dan masyarakat. 3.4. Dimensi KemiskinanKonsep dimensi kemiskinan antara lain dikemukakan oleh David Cox dalam Suharto (2006 : 132 133). David Cox membagi kemiskinan dalam empat dimensi, yaitu :

1) Kemiskinan yang diakibatkan oleh globalisasi.

2) Kemiskinan yang berkaitan dengan pembangunan.

3) Kemiskinan sosial, dan

4) Kemiskinan konsekuensial.

Suharto (2006 : 133) mengatakan bahwa konsepsi kemiskinan yang multidimensional ini lebih tepat untuk digunakan sebagai pisau analisis dalam mendefinisikan kemiskinan dan merumuskan kebijakan penanganan di Indonesia. Dimensi ekonomi memungkinkan untuk dilakukan pengukuran secara langsung terhadap kemiskinan untuk menetapkan standar baku yang dikenal sebagai garis kemiskinan (line poverty). Dalam konteks politik, kemiskinan didefinisikan sebagai ketidaksamaan kesempatan dalam mengakumulasikan basis kekuasaan sosial. Dimensi sosial psikologis dalam kemiskinan menunjuk pada kurangnya jaringan dan struktur sosial yang dapat mendukung upaya untuk mendapat kesempatan-kesempatan peningkatan produktivitas.

Dimensi-dimensi kemiskinan merupakan faktor-faktor yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi. Hubungan sebab akibat dan saling mempengaruhi ini kemudian menyebabkan masyarakat terjebak dalam perangkap kemiskinan atau sering disebut juga sebagai lingkaran setan kemiskinan. Pada beberapa kelompok masyarakat miskin mungkin bisa jadi kemiskinan pada awalnya dipicu oleh satu atau dua faktor yang dominan, tetapi kemiskinan tersebut menjadi lebih kronis dan berkelanjutan pada saat dimensi lainnya mengarah pada kondisi yang negatif dan tidak memberikan peluang untuk melakukan perubahan. Sarasutha dan Noor dalam Supadi dan Akhmad Rozany (2008) mengatakan bahwa ketimpangan pendapatan di pedesaan banyak dipengaruhi oleh kondisi agroekosistem setempat. Wilayah berproduktivitas rendah mempunyai hubungan timbal balik dengan kemiskinan, baik sebagai penyebab maupun sebagai akibat. Oleh karena itu, suatu wilayah yang tingkat produktivitasnya rendah dapat mengakibatkan masyarakatnya miskin. Demikian pula sebaliknya, ketidakmampuan masyarakat mengelola sumber daya mengakibatkan wilayah itu menjadi miskin.4. Gambaran Umum Kemiskinan Nelayan Kota MakassarNelayan merupakan salah satu dari sekian yang teridentifikasi di kota Makassar sebagai golongan miskin.Saat ini industri perikanan di Kota Makassar memainkan peranan yang penting, namun ia tidak memberikan dampak positif pada kesejahteraan penduduk yang tinggal di kawasan pesisir dan bergantung kepada sektor perikanan sebagai sumber pendapatan.Hasil pendataan yang dilakukan oleh pemerintah kota Makassar, menyebutkan bahwa jumlah warga miskin yang tinggal di kawasan pesisir terbanyak di kecamatan Ujung Tanah sebesar 11,14%, diikuti dengan kecamatan Tallo 7,71% dan Mariso 6,93%.Salah satu contoh, tingkat pendapatan masyarakat nelayan Pantai Untia rata-rata masih rendah. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan sumberdaya yang mereka miliki, ikan yang diperoleh setiap hari masih rendah karena tempat penangkapan ikan cukup jauh dari Pesisir Untia., serta tingkat pendidikan masyarakat masih rendah. Pembangunan PPN Untia Makassar diharapkan menjadi tempat yang mampu menampung aktivitas perikanan yang akan meningkatkan kesejahteraan nelayan Pantai Untia.Selain itu berbagai program dari pemerintah Kota Makassar terus digulirkan dalam mengentaskan masalah kemiskinan. Namun, ternyata belum mampu mengangkat masyarakat nelayan miskin dari garis kemiskinan. Nelayan bahkan disebut sebagai masyarakat termiskin dari kelompok masyarakat lainnya.Sepertinya berbagai progam yang diberikan belum mampu menyentuh akar permasalahan kemiskinan yang dirasa tidak tepat sasaran.Tidak dapat dipungkiri pemilik modal juga memiliki kontribusi dalam melanggengkan kemiskinan nelayan akibat monopoli harga ikan sehingga nelayan dirugikan dari penurunan segi pendapatan dan malah makin memperkaya pemilik modal. Nelayan tradisional makin terpinggirkan oleh modernisasi perikanan seperti munculnya kapal - kapal tangkap yang berukuran besar dan berteknologi modern yang mampu menangkap ikan lebih banyak yang mereka sendiri tidak mampu dalam menguasai dan memilikinya. Rendahnya motivasi dan etos kerja nelayan juga ikut mempengaruhi rendahnya tingkat kesejahteraan hidup.Lembaga seperti koperasi perikanan agaknya juga belum mampu memainkan peranannya dalam memasarkan produk perikanan, menjamin harga dan ketersediaan faktor produksi kebutuhan nelayan.

Maka berdasarkan uraian singkat diatas, bahwa berdasarkan Definisi, Dimensi dan Indikator kemiskinan nelayan Kota Makassar berdasarkan sudut pandang teori-teori kemiskinan bahwa komplesitas masalah yang dihadapi komunitas nelayan baik nelayan buruh (sawi) maupun nelayan tradisional yang hidup mencari nafkah berdasarkan kebutuhan harian rumah tangga, maka disimpulkan sebagai berikut :1. Tingkat pendapatan masyarakat nelayan masih rendah. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan sumberdaya yang mereka miliki, ikan yang diperoleh setiap hari masih rendah karena tempat penangkapan ikan cukup jauh dari Pesisir, serta tingkat pendidikan masyarakat masih rendah;2. Program dari pemerintah Kota Makassar terus digulirkan dalam mengentaskan masalah kemiskinan. Namun, ternyata belum mampu mengangkat masyarakat nelayan miskin dari garis kemiskinan. Nelayan bahkan disebut sebagai masyarakat termiskin dari kelompok masyarakat lainnya;3. Sepertinya berbagai progam yang diberikan belum mampu menyentuh akar permasalahan kemiskinan yang dirasa tidak tepat sasaran. Tidak dapat dipungkiri pemilik modal juga memiliki kontribusi dalam melanggengkan kemiskinan nelayan akibat monopoli harga ikan sehingga nelayan dirugikan dari penurunan segi pendapatan dan malah makin memperkaya pemilik modal;

4. Nelayan tradisional makin terpinggirkan oleh modernisasi perikanan seperti munculnya kapal-kapal tangkap yang berukuran besar dan berteknologi modern yang mampu menangkap ikan lebih banyak yang mereka sendiri tidak mampu dalam menguasai dan memilikinya;

5. Rendahnya motivasi dan etos kerja nelayan juga ikut mempengaruhi rendahnya tingkat kesejahteraan hidup. Lembaga seperti koperasi perikanan agaknya juga belum mampu memainkan peranannya dalam memasarkan produk perikanan, menjamin harga dan ketersediaan faktor produksi kebutuhan nelayan.Komunitas nelayan kurang diposisikan sebagai subjek pembangunan, tetapi selalu diposisikan sebagai objek. Demikian pula informasi dan data yang tidak akurat mengakibatkan kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan dan pemberdayaan nelayan kurang tepat sasaran dan tidak menyentuh akar dan permasalahan kemiskinan. Maka kebijakan pembangunan dan program pemberdayaan nelayan hendaknya didasarkan pada pemahaman dan informasi dan nelayan itu sendiri. Mereka harus menjadi sumber informasi berkaitan dengan kemiskinan yang dialami dan bagaimana keluar dari kemiskinan.Model pemberdayaan ekonomi yang akan diterapkan pada nelayan tradisional di Kota Makassar tentunya tidak boleh sembarangan. Penerapan model pemberdayaan ekonomi nelayan tradisional harus sesuai dengan masalah yang mereka hadapi agar model pemberdayaan dalam penentasan kemiskinan nelayan tersebut betul-betul mampu mengeluarkan mereka dan belenggu kemiskinan. Faktor-faktor yang menghambat nelayan tradisional kurang mendapatkan hasil tangkapan adalah cuaca buruk, perahu dan alat penangkapan rusak, tidak ada biaya melaut. Terkadang nelayan tradisional tidak melaut karena tidak mempunyai biaya untuk membeli solar/bensin dan umpan. Adapun masalah-masalah yang dihadapi nelayan tradisional di Kota Makassar adalah sebagai berikut :

a) Tingkat Pendapatan yang rendahRata-rata pendapatan perkapita nelayan tradisional per tahun sebesar Rp 1.945.500,-, sedangkan rata-rata pendapatan perbulannya sebesar Rp 772.300,-. Tingkat pendapatan yang sedikit tersebut mengantarkan mereka pada garis kemiskinan sesuai dengan kategori Sayogyo.b) Jumlah anggota rumah tangga yang cukup besar

Berdasarkan hasil penelitian pada nelayan tradisional, diperoleh jumlah anggota rumah tangga yang cukup besar, yaitu rata-rata 5 jiwa, yang menyebar dan 2 sampai 8 jiwa. Jumlah anggota rumah tangga yang besar merupakan ciri yang menandai masyarakat miskin terutama di Negara berkembang. Hal ini merupakan beban yang harus ditanggung oleh nelayan dalam memenuhi kebutuhan anggota yang demikian besar.c) Tingkat Pendidikan yang Rendah

Rendahnya tingkat pendidikan nelayan tradisional merupakan cikal bakal kemiskinan mereka. Rendahnya kualitas SDM berpengaruh pada pemanfaatan teknologi dalam berusaha. Nelayan yang berpendidikan rendah cenderung menggunakan alat berteknologi rendah dan tidak berkembang, akibatnya pendapatan yang diperoleh sangat minim.d) Keterbatasan akses permodalan

Kemiskinan masyarakat pesisir berakar pada keterbatasan akses permodalan dan kultur kewirausahaan yang tidak kondusif. Keterbatasan akses permodalan ditandai dengan realisasi modal melalui investasi pemerintah dan swasta selama periode Pembangunan Jangka Panjang Tahap Pertama (PJPT I) yang hanya 0,02% dan keseluruhan modal pembangunan (Pratikto: 2007). Konsekuensinya adalah nelayan, kebutuhan permodalan dipenuhi oleh tengkulak, toke, punggawa, atau papalele. Ponggawa atau Papalele pada kenyataannya tidak banyak menolong untuk meningkatkan kesejahteraan mereka, malah cenderung menjeratnya dalam lilitan utang yang tidak pernah bisa dilunasi. Demikian pula kultur kewirausahaan mereka yang masih bercorak manajemen keluarga dengan orientasi sekedar memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

e) Keterbatasan teknologi penangkapan

Nelayan di Kota Makassar mayoritas adalah nelayan tradisional dengan armada tangkap berupa perahu bermotor dengan ukuran mesin 4 - 8 PK. Beberapa di antaranya bahkan hanya mempunyai perahu tanpa motor. Hal ini menyebabkan mereka tidak bisa melaut sampai ke wilayah perairan yang jauh dari pantai, sehingga hasil tangkapan pun menjadi terbatas. Keterbatasan kemampuan armada tangkap semakin dirasakan pada musim gelombang laut kuat, terutama pada bulan-bulan Januari sampai Maret. Mesin perahu berkekuatan kecil yang dimiliki nelayan tidak dapat mengimbangi kondisi cuaca dengan gelombang yang besar, sehingga banyak yang tidak bisa pergi melaut selama musim tersebut.f) Cuaca dan musim paceklik

Rata-rata nelayan tradisional di Kota Makassar menurut hasil penelitian, melakukan kegiatan penangkapan ikan dan kepiting pada bulan-bulan 4-12. Biasanya bulan 1-3 mereka terkadang tidak melaut karena cuaca buruk dan ombak besar. Jika mereka tidak mempunyai pekerjaan sampingan, maka waktu 3 bulan tersebut hanya digunakan sebagai waktu istirahat, sedangkan biaya untuk kebutuhan berlangsung terus selama setahun. Bila tanpa pemasukan, sementara pengeluaran terus berjalan maka diperkirakan keadaan keuangan nelayan tradisional menjadi minus, pada hasil penelitian diperoleh sisa akhir musim (musim penangkapan) Rp 1.150.200,- dikurangi pengeluaran selama paceklik Rp 1.952.100,- menjadi minus Rp 801.900,-. (M. Nur Zakariah Leo, 2012).g) Masyarakat nelayan tradisional masih tergantung terhadap tauke/tengkulak

Sebagai nelayan tradisional dengan kepemilikan modal yang terbatas, mayoritas nelayan sangat tergantung kepada tauke / Ponggawa. Ketergantungan tersebut berupa pinjaman uang, baik untuk modal melaut maupun untuk kelangsungan hidup rumah tangga nelayan serta pemasaran hasil tangkapan nelayan. Karena di tidak ada lembaga ekonomi yang berfungsi sebagai pemberi pinjaman uang, maka nelayan meminjam uang kepada tauke / punggawa. Hubungan ketergantungan ini kemungkinan akan berlangsung terus menerus selama tidak ada lembaga ekonomi lainnya yang dapat menggantikan peran tauke di wilayah ini. Selain kepemilikan modal yang terbatas, pada umumnya nelayan tradisional tidak mempunyai informasi pasar yang memadai sehingga posisi nelayan sebagai underdog tidak terhindarkan. Keadaan semacam ini terjadi pada nelayan tradisional di Kota Makassar. (M. Nur Zakariah Leo, 2012).BAB IIIKESIMPULANMasalah-masalah atau hambatan yang dihadapi nelayan tradisional khususnya Nelayan Tradisional Kota Makassar sangatlah kompleks dan multi dimensional, dimana Definisi, Dimensi dan Indikator kemiskinan telah kompleks dimiliki oleh kaum komunitas kawasan pesisir terkhusus oleh kaum nelayan. Adapun tinjauan kemiskinan nelayan dalam sudut pandang teori yang dikeluarkan Sumodinigrat adalah sebagai berikut :

1) Kemiskinan absolut, Jika ditinjau dari tingkat pendapatan nelayan, maka kotegori tersebut sebahagian besar nelayan tradisional berada pada dibawah kebutuhan hidup minimum (Basic Needs), dimana kebutuhan sandang pangan dan papan masih sulit, tingkat kesehatan dan pendidikan yang rendah.2) Kemiskinan relatif, Nelayan buruh (Sawi) masuk dalam kategori seseorang yang mempunyai pendapatan di atas garis kemiskinan, namun relatif lebih rendah dibandingkan dengan masyarakat sekitarnya. Akan tetapi seiring dengan kebijakan sektor pembangunan kota Makassar, maka perubahan kebijakan seringkali berdampak negatif terhadap perubahan pendapatan, sehingga daya beli nelayan semakin rendah akibat perubahan moneter atau kebijakan pembangunan daerah yang tidak pro nelayan. Contoh kasus adalah nelayan Mariso yang yang hilang mata pencahariannya akibat terbangunnya metro tanjung bunga.3) Kemiskinan kultural. Kehidupan sosial dan budaya wilayah pesisir khususnya komunitas nelayan Kota Makassar terkadang faktor budaya tidak mau berusaha untuk memperbaiki tingkat kehidupannya meskipun ada usaha dari pihak luar untuk membantunya baik pemerintah daerah, perbankan dan sektor swasta lainnya, tetapi pola interaksi yang terjadi dikawasan pesisir Kota Makassar telah terjadi pola cultural antara Patron Klien dimana kultur yang terjadi tidak dapat merubah konsep berpikir dan meningkatkan diri para kaum nelayan.4) Kemiskinan kronis, Pola kemiskinan nelayan Kota Makassar sangat identik dengan kemiskinan kronis sesuai landasan teori kemiskinan, yaitu : Kondisi sosial budaya yang mendorong sikap dan kebiasaan hidup masyarakat yang tidak produktif. Keterbatasan sumberdaya dan keterisolasian (yaitu daerah-daerah kritis sumberdaya alam dan daerah terpencil).

Rendahnya taraf pendidikan dan derajat perawatan kesehatan, terbatasnya lapangan kerja, dan ketidakberdayaan masyarakat dalam mengikuti ekonomi pasar.

REFERENSI

Ala, Andre Bayo. 1996. Kemiskinan dan Strategi Memerangi Kemiskinan. Yogyakarta : LibertyAlfian,MelyG.Tan,SeloSoemardjan.1980.KemiskinanStruktural:Suatu BungaRampai.Jakarta:YIISAuslan, Patrick Mc. 1986. Tanah Perkotaan Dan Perlindungan Rakyat Jelata. Jakarta : Pen. PT GramediaBaker, David. 1980. Memahami Kemiskinan di Kota : Masa Apung di Kota. PRISMA. No. 6 Tahun VIIIBappenass dan Depdagri (1993).Panduan Program Inpres Desa Tertinggal, Bappenas, Jakarta.BPS. 2011a. Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi Indonesia. Badan Pusat Statistik. Jakarta.

Dahuri,R.,Rais,J., Ginting,SP.,Sitepu, HJ., 2004, Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Wilayah Pesisir dan Laut Secara Terpadu, PT. Pradnya Paramita, Jakarta.Dahuri, dkk. 2001. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara

Deininger, K. and L. Squire (1998), New Ways of Looking at Old Issues: Inequality and Growth, Journal of Development Economics, Vol. 57.

Dietriech G. Bengen. 2001. Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu, Insitut Pertanian Bogor, BogorImron, Masyuri. 2003. Pemberdayaan Masyarakat Nelayan. Media Pressindo: YogyakartaKartasasmita, G. 1996. Pembangunan Untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan

Kusnadi. 2002. Konflik Sosial Nelayan. LKIS, Yogyakarta.

Kusnadi, Konflik Sosial Nelayan, Ke -miskinan dan Perebutan Sumber -daya Perikanan (Yogyakarta: LKiS, 2002).Leo, N. Zakariah (2012), Kemiskinan dan Model Pemberdayaan Ekonomi Rumah Tangga Nelayan (Studi Kasus Di Desa Bontosunggu Kec. Galesong Kab. Takalar), Jurnal Kelautan, Makassar.

Levitan, Sar A., 1980, Programs in Aid of the Poor for the 1980s, Policy Studies in Employment and Welfare, Fouth Edition, The Johns Hopkinds University Press, Baltimore and London

Mubyarto (et.al). 1984. Nelayan dan Kemiskinan: Studi Ekonomi Antropologi di Dua Desa Pantai. Rajawali Press: Jakarta.

Mulyadi. 2007. Ekonomi Kelautan. PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta.

Mungkasa, O (2013), Arahan Pemanfaatan Ruang dan Arahan Pengendalian Pemanfaatan Ruang, Pulau dan Kepulauan, Bappenas, JakartaSasono, Adi 1999, Pemberdayaan Ekonomi Rakyat Menuju Indonesian Baru, Cidesindo, Jakarta. Hlm 321Schiller, Bradley R, 1989, The Micro Economy Today, Fourd Edition Mc.Graw Publishing Company, New York.

Sumodiningrat, Gunawan. 2009. Mewujudkan Kesejahteraan Bangsa Menanggulangi Kemiskinan dengan Prinsip Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta : PT. Alex Media Komputindo.

Sumodiningrat, G. 1999. Pemberdayaan Masyarakat dan Jaring Pengaman Sosial. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Suparlan, Supardi. 1995. Kebudayaan Kemiskinan dalam Kemiskinan di Perkotaan : Bacaan Untuk Antropologi Perkotaan. Yogyakarta : YOISuparlan, Parsudi., 1980. Lapangan Kerja bagi Penduduk Berpenghasilan Rendah di Kota, dalam Widyapura, No 6, tahun 2, 1980

Suyanto, Bagong, Perangkap Kemiskinan Problem dan Strategi Pengentas annya Dalam Pembangunan Desa (Yogyakarta: Aditya Media, 1996).Taylor, S.E, Peplau, L. A., Sears, D.O. Social Psycology. Prentice Hall: New Jersey 1997

Wie, Thee Kian. 1983. Pembangunan Ekonomi dan Pemerataan, Beberapa Pendekatan Alternatif. Jakarta: LP3ES.

World Bank. 2012. Poverty Headcount Ratio at National Poverty Line (% of Population). http://data.worldbank.org/indicator/SI.POV.NAHC

.23