KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP Adaptasi Perubahan … fileNEWSLETTER USAID Adaptasi Perubahan Iklim...

12
NEWSLETTER USAID Adaptasi Perubahan Iklim dan Ketangguhan (APIK) Regional Maluku Edisi III / 2018 KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN Adaptasi Perubahan Iklim dan Ketangguhan (APIK) Publikasi ini dibuat dengan dukungan Rakyat Amerika melalui Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID). Isi dari publikasi ini merupakan sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan pemerintah Amerika Serikat ataupun USAID.

Transcript of KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP Adaptasi Perubahan … fileNEWSLETTER USAID Adaptasi Perubahan Iklim...

Page 1: KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP Adaptasi Perubahan … fileNEWSLETTER USAID Adaptasi Perubahan Iklim dan Ketangguhan (APIK) Regional Maluku Edisi III / 2018 KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP

NEWSLETTERUSAID Adaptasi Perubahan Iklim dan Ketangguhan (APIK) Regional Maluku Edisi III / 2018

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUPDAN KEHUTANAN Adaptasi Perubahan Iklim dan Ketangguhan (APIK)

Publikasi ini dibuat dengan dukungan Rakyat Amerika melalui Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID). Isi dari publikasi ini merupakan sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan

pemerintah Amerika Serikat ataupun USAID.

Page 2: KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP Adaptasi Perubahan … fileNEWSLETTER USAID Adaptasi Perubahan Iklim dan Ketangguhan (APIK) Regional Maluku Edisi III / 2018 KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP

2

Periode Juli-September 2018 merupakan k u a r t a l p e n u t u p d i t a h u n k e t i g a perjalanan program APIK. Kuartal ini juga menyelesaikan implementasi 10 aksi untuk adaptasi perubahan iklim dan pengurangan risiko bencana di enam negeri (desa) yang didampingi oleh Yayasan Walang Perempuan melalui skema Dana Ketangguhan. Aksi-aksi yang telah dijalankan tersebut diperkirakan akan memberikan manfaat kepada 2.177 orang di enam negeri. Namun, masih banyak rencana aksi yang perlu dijalankan baik melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) dan dukungan pihak lainnya untuk meningkatkan ketangguhan masyarakat.

Sepanjang tahun ketiga program dari Oktober 2017 sampai September 2018, APIK telah membantu memperkuat instrumen kelembagaan dan kebijakan serta aksi-aksi membangun ketangguhan. Advokasi dilakukan di wilayah kerja APIK mulai dari tingkat negeri hingga provinsi, sehingga upaya adaptasi dan pengurangan risiko bencana terarusutamakan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan Rencana Kerja Pemerintah di segala level. Tercatat setidaknya 40 rencana aksi adaptasi di 12 negeri telah diakomodir dalam APBD dan APBDes untuk direalisasikan di tahun 2018.

Dalam bidang spasial, sepanjang tahun ketiga, APIK telah meningkatkan kapasitas 324 orang staf pemerintah daerah di Kota Ambon dan Kabupaten Maluku Tengah. Upaya-upaya yang telah berjalan selama tiga tahun ini sesungguhnya merupakan tahap membangun pondasi, sebagai basis untuk menjalankan aksi adaptasi perubahan iklim dan pengurangan risiko bencana yang lebih konkret lagi.

Mulai Oktober 2018, APIK memasuki perjalanan tahun keempat. Periode ini akan berlangsung hingga September 2 0 1 9 d a n m e n i t i k b e r a t k a n p a d a implementasi aksi adaptasi lebih nyata dan mengurangi kerentanan bidang prioritas pembangunan. Peningkatan kapasitas kelembagaan maupun individu para pemangku kepentingan akan terus

PENGANTAR REDAKSI

dilakukan, sekaligus mempertimbangkan kampanye-kampanye penyadartahuan berdasarkan hasil kajian yang telah dibuat. Perluasan manfaat layanan informasi cuaca dan iklim juga akan menjadi tema penting di tahun ini agar dapat dijangkau, dipahami, dan dipraktikkan sebagai pendukung pengambilan keputusan kebijakan dan perencanaan pembangunan.

PERUBAHAN STAF DI TIM REGIONAL MALUKUKuartal ini menjadi saksi pergantian beberapa personel yang terjadi di tim regional Maluku. Berikut adalah detailnya.

Richard Lokollo

Richard adalah putra asli Ambon yang telah lama bergerak dalam pendampingan

m a s y a r a k a t . S e m p a t t e r g a b u n g d a l a m p r o g ra m a i r d a n s a n i t a s i s e r t a rehabilitasi di Ambon di periode 1999-2005, R i c h a r d k e m u d i a n berkelana di Aceh dan Nias dengan beberapa

organisasi. Terhitung Juli 2018 Richard kembali ke Maluku dan bertugas sebagai Field Coordinator APIK untuk wilayah Negeri Haruku dan Wassu.

Susanti De Fretes

Juga di bulan Juli, Susanti De Fretes yang menjabat sebagai Office Manager/A cco u n ta n t d i ka n to r A P I K M a l u ku memutuskan untuk menjalankan peran di program DAI yang lain. Santi selama ini telah banyak berkontribusi kepada standar akuntabilitas yang tinggi, serta sebagai personel tim yang sangat kolaboratif. Untuk menggantikan Santi, manajemen APIK mempromosikan Jean Latumahina yang sebelumnya bertanggung jawab sebagai Administrative Assistant, untuk mengambil peran yang lebih krusial. Jean bergabung dengan APIK sejak awal dan menjalankan tugas adminstrasi yang ramah namun tegas. Pengalaman di bidang administrasi dan keuangan telah

dikuasai Jean sejak tahun 2000, sehingga kami yakin ia adalah orang yang tepat untuk posisi ini.

Immanuella Caesarona Thenu

Dengan dipromosikannya Jean, maka sejak Agustus 2018 posisi Administrative A s s i s t a n t d i i s i o l e h I m m a n u e l l a C a e s a r o n a T h e n u . Caesa bukanlah nama b a r u d i p r o g r a m APIK Maluku karena s e j a k A p r i l i a s e r i n g m e n d a m p i n g i p r o g ra m s e b a g a i L o c a l A s s i s t a n t . Sebelum bergabung dengan APIK, Caesa telah berpengalaman sebagai Head of Administration di sebuah perusahaan.

Devirisal Djabumir

Salah seorang Field Coordinator APIK Maluku, Janny Hattu, s a a t i n i s e d a n g c u t i k a r e n a a l a s a n k e s e h a t a n . O l e h karena itu, tugas Field Coordinator sementara dipegang oleh Devirisal D j a b u m i r, s e o r a n g

pemuda asli Aru yang mahir berbahasa Inggris. Dev (begitu panggilannya), akan mengawal proses penyusunan kajian kerentanan iklim serta mengidentifikasi kebutuhan peningkatan kapasitas bagi staf pemerintah di Kabupaten Kepulauan Aru.

Kami ucapkan selamat berpisah untuk Santi dan selamat bergabung bagi Richard, Caesa, dan Dev!

a www.apikindonesia.or.id

f USAID APIK–Adaptasi Perubahan Iklim dan Ketangguhan

t @USAID_APIK

i @USAID_APIK

Penyunting: Enggar Paramita Desain dan tata letak: Bobby HaryantoFoto sampul depan dan belakang: Aktivitas nelayan di Kecamatan Nusaniwe, Kota Ambon. (Foto: Oscar Siagian/USAID APIK)

Page 3: KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP Adaptasi Perubahan … fileNEWSLETTER USAID Adaptasi Perubahan Iklim dan Ketangguhan (APIK) Regional Maluku Edisi III / 2018 KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP

3

Riky Kaimana adalah seorang staf Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Ambon yang bertugas melakukan survei wilayah rawan penyakit di Kota Ambon. Ia mengumpulkan informasi daerah mana saja yang menjadi sebaran malaria, TBC, demam berdarah, dan HIV/AIDS. Hasil pendataan Riky digunakan sebagai bahan penyusunan anggaran dan kegiatan di dinas terkait dan Kementerian Kesehatan. Setelah kegiatan survei berakhir pada akhir Maret 2018, Riky mendapat arahan dari Kementerian Kesehatan agar data yang ia peroleh ditampilkan dalam bentuk peta. Ia merasa bingung karena tidak satupun staf di Dinkes Kota Ambon yang memiliki keterampilan mengubah data tabulasi menjadi bentuk peta, dan lagi pula, apakah data-data tersebut bisa dijadikan tampilan visual, Riky pun bertanya-tanya.

“Saya sampai stres memikirkan hal tersebut karena di internal Dinkes Kota Ambon, tidak satupun staf yang dapat mengoperasikan GIS (Geographic Information System), dan mungkin untuk mendengar istilah GIS itu sendiri baru pertama kali, termasuk saya sendiri,” kata Riky. Tak hanya Dinkes Kota Ambon

yang diminta Kementerian Kesehatan u n t u k m e m e t a k a n w i l a y a h ra w a n penyakit, seluruh Dinkes kabupaten/kota di Provinsi Maluku juga mendapat tugas serupa. Namun kenyataannya, kebanyakan kebupaten/kota di Maluku belum memiliki sistem spasial yang dapat mendukung kegiatan pemetaan dan diseminasi informasi kepada masyarakat, sehingga banyak data-data yang telah

dikumpulkan oleh Dinkes tidak terpakai secara maksimal.

Kebutuhan Daerah Versus Kebutuhan Pusat

Pada tahun 2014, Kementerian Kesehatan menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 101, tentang Strategi Adaptasi Perubahan Iklim di Sektor Kesehatan yang salah satunya mensyaratkan seluruh gugus kerja kesehatan mulai tingkat pusat hingga kabupaten/kota untuk mempublikasikan perencanaan dan menyebarluaskan informasi kesehatan kepada masyarakat dalam bentuk visual atau peta. Untuk wilayah Kota Ambon, kebijakan ini menjadi tantangan tersendiri akibat minimnya sumber daya yang menguasai spasial, karena hampir seluruh staf Dinkes memiliki latar belakang ilmu kesehatan.

Pendampingan yang Membuahkan Hasil

Sejak tahun 2016, USAID APIK Regional M a l u k u m e n j a d i m i t r a k e r j a s a m a p e m e r i n t a h K o t a A m b o n d a l a m mengelola risiko iklim dan meningkatkan ketangguhan pemerintah di bidang-bidang prioritas pembangunan, salah satunya spasial. Sejak awal, peningkatan kapasitas di bidang spasial mentit ikberatkan pada pemahaman aparatur pemerintah terhadap sistem spasial untuk membantu perencanaan dan diseminasi informasi kepada masyarakat. Tercatat USAID APIK Regional Maluku telah melatih 150 orang staf pemerintah daerah Kota Ambon, serta mendampingi terbentuknya tiga komunitas spasial di Kota Ambon (data per September 2018).

Pendampingan teknis bidang spasial kepada Dinkes Kota Ambon dimulai sejak pertengahan April 2018 dengan tema berbeda-beda. Hingga Oktober 2018, pelatihan telah berlangsung delapan kali, membahas topik pemetaan yang berbeda-beda mulai dari sebaran penyakit malaria, HIV/AIDS, sebaran gizi, daerah endemik demam berdarah, dan sebaran penyakit menular lainnya. Lebih dari 15 orang staf Dinkes telah dilatih.

DARI DATA MENJADI PETA Oleh: Imam Munandar – GIS Specialist APIK Maluku

Peta indeks HIV/ibu hamil Kota Ambon yang dihasilkan dari pelatihan dengan APIK. (Sumber: Riky Kaimana)

Staf Dinkes dalam kegiatan pelatihan. (Foto: Imam Munandar/USAID APIK)

Page 4: KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP Adaptasi Perubahan … fileNEWSLETTER USAID Adaptasi Perubahan Iklim dan Ketangguhan (APIK) Regional Maluku Edisi III / 2018 KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP

4

Evolusi alam adalah bagian dari proses yang terjadi setiap saat. Kita tidak bisa menyalahkan alam ketika bencana terjadi, karena alam hanya terus berproses menuju keseimbangannya. Manusialah yang harus bisa beradaptasi dan mengurangi risiko terjadinya bencana. Bencana tidak melihat batas wilayah maupun kematangan perencanaan. Bahkan dampak dari bencana mampu menghilangkan batas wilayah dan jejak-jejak perencanaan.

Rentang kendali di wilayah kepulauan m e m b u a t k a b u p a t e n / k o t a y a n g bertetangga harus saling mendukung

u n t u k m e n c a p a i t u j u a n b e r s a m a , yakni kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan. Di Maluku, pemerintah daerah menerapkan konsep pembangunan berdasarkan gugus pulau. Gugus pulau sendiri adalah kumpulan pulau yang saling berdekatan, terdiri dari berbagai jenis dan ukuran, dan mempunyai hubungan satu dengan yang lain. Pendekatan dalam pembangunan gugus pulau dilakukan secara regional dan bukan sektoral sehingga lebih menguntungkan. Masing-masing gugus pulau pun mempunyai prioritas pembangunan sesuai dengan potensi daerah tersebut.

Berdasarkan dokumen Kajian Kerentanan dan Risiko Iklim yang dibuat bersama pemangku kepentingan di Provinsi Maluku di tahun 2017, Kota Ambon dan sebagian wilayah Kabupaten Maluku Tengah di dalam Gugus Pulau VII berbagi kerentanan yang sama yaitu di bidang pariwisata, kebencanaan, lingkungan hidup, maupun sanitasi (sampah, air minum, dan air limbah). Kecamatan Salahutu, Leihitu, dan Leihitu Barat merupakan bagian dari Kabupaten Maluku Tengah yang berada di Pulau Ambon dan memiliki akses yang dekat dengan Kota Ambon sebagai pusat pemerintahan dan pembangunan

KERJA SAMA ANTAR WILAYAH UNTUK KETANGGUHANOleh: Desi Patty – Governance/Institutional Strengthening Specialist APIK Maluku

G I S S p e c i a l i s t A P I K M a l u ku , I m a m Munandar mengungkapkan, ia berusaha memasukkan konsep spasial ke tiap Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Kota Ambon untuk membantu perencanaan agar lebih efisien dan tepat sasaran. Menurutnya, spasial akan membantu perencanaan antar OPD tidak saling berlawanan satu sama lain.

Pengalaman Riky membuktikan hal serupa. “Kegiatan ini telah memberikan cara baru bagi Dinkes Kota Ambon untuk memberikan informasi terkait daerah rawan penyakit kepada masyarakat, dan yang lebih penting memberikan konsep perencanaan yang lebih tepat sasaran di internal Dinkes, sehingga sumber daya

yang ada lebih maksimal digunakan,” tutur Riky.

Berkat pelatihan, Riky dapat melakukan pemetaan dengan menggunakan data hasil survei berbentuk Excel. Hal ini sangat membantu karena hampir semua data di Dinkes Kota Ambon tersedia dalam bentuk Excel. Dinkes Kota Ambon pun telah menggunakan data berbentuk peta hasil pelatihan untuk dipresentasikan dalam rapat kerja kesehatan daerah tahun 2018 di Pulau Buru. Kegiatan ini dihadiri oleh seluruh perwakilan Dinkes kabupaten/kota di Provinsi Maluku dan Kementerian Kesehatan. Dari kegiatan ini, hanya Dinkes Kota Ambon yang telah memiliki data berbentuk peta, dan hal tersebut

menjadi kebanggaan tersendiri bagi para staf. Melihat perkembangan tersebut, Kepala Dinkes Kota Ambon Drg. Wendy Pelupessy, M.Kes telah mengagendakan pelat ihan spasial sebagai kegiatan rutin bulanan staf di Dinas Kesehatan, yang akan dilaksanakan di anggaran tahun berikutnya.

Pendampingan yang diinisasi oleh USAID APIK Regional Maluku menunjukkan bahwa implementasi konsep spasial dapat membantu kegiatan perencanaan dan memudahkan penyampaian informasi. Ke depannya diharapkan dinas-dinas lain di lingkup Kota Ambon dan daerah dampingan APIK lainnya dapat mereplikasi kegiatan ini sesuai dengan kebutuhan mereka.

Tim dari Pulau Seram dan Pulau Ambon (Kabupaten Maluku Tengah, Kota Ambon, Seram Bagian Barat, Seram Bagian Timur) membahas tentang sampah di pesisir, kebakaran hutan, banjir, dan longsor. (Foto: Willy Wicaksono/USAID APIK)

Page 5: KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP Adaptasi Perubahan … fileNEWSLETTER USAID Adaptasi Perubahan Iklim dan Ketangguhan (APIK) Regional Maluku Edisi III / 2018 KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP

5

Provinsi Maluku. Akan tetapi, berbagai persoalan yang dihadapi tiga kecamatan ini tidak bisa serta-merta dibantu oleh Pemerintah Kota Ambon karena perbedaan wilayah administratif.

Dampak dari aktivitas yang dilakukan oleh warga di ketiga kecamatan tersebut juga dirasakan oleh hampir sebagian besar masyarakat Kota Ambon, dan sebaliknya. Contohnya jika terjadi kerusakan hutan di daerah petuanan (wilayah adat) Negeri Hitu, Kecamatan Leihitu, maka berdampak bagi sumber air Waiheru di Desa Waiheru, m a u p u n Wa i m a h u d i N ege r i Pa s s o (Kecamatan Teluk Ambon Baguala, Kota Ambon) sebagai sumber air bersih yang dipakai oleh perusahaan air minum di Kota Ambon untuk wilayah pelayanan Passo dan sekitarnya.

Pembuangan sampah plastik yang tidak terkelola dengan baik dan berakhir di laut akibat aliran atau gerak air, akan membuat sampah plastik dari pesisir Kota Ambon ‘terdampar’ di pesisir wilayah Kabupaten Maluku Tengah maupun sebaliknya. Contoh lainnya, pada kondisi darurat bencana seperti banjir, longsor, atau kebakaran hutan yang terjadi di wilayah Maluku Tengah di Pulau Ambon berpotensi menimbulkan dilema bagi pemerintah Kota Ambon karena bukan menjadi otoritasnya untuk menolong sebab bukan masuk dalam wilayahnya, namun perlu diingat bahwa kondisi bencana dapat menjadi lebih buruk dan berdampak ke wilayah Kota Ambon jika tidak segera dibantu dan hanya menunggu datangnya

bantuan dari Masohi (ibukota Maluku Tengah yang berlokasi di Pulau Seram). Kondisi tersebut memberikan contoh nyata betapa pentingnya membangun simbiosis mutualisme di dua wilayah administratif ini.

Pa d a b u l a n A g u s t u s 2 0 1 8 , U S A I D APIK bersama divisi Penelit ian dan Pembangunan Badan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Maluku, melakukan lokakarya Kerjasama Lintas Batas guna mendorong kolaborasi antar daerah. Kegiatan tersebut merupakan t indak lanjut terhadap hasi l kaj ian ke r e n ta n a n d a n r i s i ko i k l i m ya n g m e n u n j u k k a n m a s a l a h a ta u r i s i ko bersama dan l intas batas terhadap dampak negatif perubahan iklim. Kepala Sub-Bidang Penelitian, Inovasi, Teknologi, dan Kerjasama Pembangunan Bappeda Provinsi Maluku, Armin I Wokanubun, S.Pt, M.Sc menyambut baik lokakarya l i n ta s ba ta s te rs e b u t , “ S e l a m a i n i terkesan pemerintah Provinsi Maluku dan Kabupaten/kota berjalan sendiri-sendiri. Pertemuan lintas batas yang difasilitasi APIK telah melahirkan banyak ide dan gagasan baru yang selama ini tak terpikirkan oleh pemerintah Provinsi Maluku. Banyak informasi yang tertutup dan tidak diketahui oleh pemerintah Provinsi Maluku akhirnya terbuka saat difasilitasi oleh APIK,” ungkapnya.

Lo ka ka r ya te rs e b u t m e l i ba t ka n 1 1 k a b u p a t e n / k o t a d i M a l u k u y a n g saling berbatasan yakni Kota Ambon, Kabupaten Maluku Tengah (di Pulau

Ambon dan Seram), Seram Bagian Barat, Seram Bagian Timur, Kabupaten Buru, Kabupaten Buru Selatan, Kota Tual, Kabupaten Maluku Tenggara, Kabupaten Kepulauan Aru, Kabupaten Maluku Tenggara Barat, dan Kabupaten Maluku Barat Daya. Dalam lokakarya, masing-masing wilayah yang berdampingan membahas permasalahan yang selama ini mereka rasakan secara bersama maupun dampak dari permasalahan yang terjadi di wilayah lain (bertetangga). Dari diskusi yang dilakukan didapatlah tujuh isu besar yakni pertanian, perikanan, persampahan, air minum, infrastruktur, pariwisata, dan kebencanaan. Selama ini permasalahan-permasalahan yang

Tim Pulau Buru (Kabupaten Buru dan Kabupaten Buru Selatan) mendiskusikan permasalahan kebakaran hutan dan pertanian. (Foto: Willy Wicaksono/USAID APIK)

timbul masih menjadi tanggung jawab masing-masing kabupaten/kota dalam menyelesaikannya sendiri dan belum terpikir untuk berkolaborasi. Lokakarya ini merupakan titik awal yang mendorong kerjasama yang melibatkan dua atau lebih wilayah administratif.

Dengan adanya kerjasama antar daerah, maka akan meningkatkan ketangguhan k o t a / k a b u p a t e n y a n g b e r b a t a s a n wilayah, serta mendorong percepatan pembangunan sesuai dengan konsep gugus pulau yang telah dicanangkan. Kerja sama antar daerah berbasis gugus pulau juga dapat memperkecil rentang kendali dan berkontribusi positif dalam m e n g u ra n g i r i s i ko b e n ca n a . Pa s ca lokakarya, pertemuan klarifikasi dan pembobotan isu akan dilaksanakan, sebelum dilakukan penandatanganan nota kesepahaman di November 2018.

Armin I Wokanubun, S.Pt, M.Sc dari Bappeda Provinsi Maluku. (Foto: Desi Patty/USAID APIK)

Page 6: KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP Adaptasi Perubahan … fileNEWSLETTER USAID Adaptasi Perubahan Iklim dan Ketangguhan (APIK) Regional Maluku Edisi III / 2018 KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP

6

lebih dari 1.300 pulau dan bekerja sebagai nelayan dan petani. Data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat bencana yang paling sering terjadi di Maluku adalah yang berhubungan dengan cuaca dan iklim, khususnya bencana banjir dan tanah longsor.

Bencana banjir, tanah longsor, dan gelombang tinggi umum terjadi pada musim penghujan atau yang dikenal dengan Musim Timur oleh masyarakat Maluku. Cuaca ekstrem yang terjadi di wilayah kepulauan seringkali menyebabkan negeri (desa) yang berada di pulau-pulau kecil sulit untuk diakses. Dengan adanya potensi bencana akibat perubahan cuaca ekstrem maka penting bagi masyarakat di pulau-pulau kecil untuk memiliki kapasitas kesiapsiagaan yang mumpuni agar mampu merespon bencana secara mandiri , dengan sumberdaya yang ada, sehingga dapat meminimalisir dampak tanpa harus bergantung pada bantuan dari luar.

M e l i h a t ta n ta n g a n t e r s e b u t , A P I K memfasilitasi masyarakat di Maluku lewat berbagai kegiatan untuk meningkatkan k e t a n g g u h a n , m i s a l n y a p e n i l a i a n keta n g g u h a n n e ge r i , k a j i a n r i s i ko bencana, serta penyusunan rencana aksi masyarakat. Dari rencana aksi masyarakat, disebutkan pentingnya penyusunan rencana dan pelatihan penanggulangan bencana. Untuk merealisasikannya, maka APIK memberdayakan anggota masyarakat sebagai fasilitator lokal, yang akan mendampingi masyarakat secara langsung dan dan memfasilitasi peningkatan ketangguhan di negeri mereka masing-masing.

Fasilitator lokal mengikuti pelatihan, d i m a n a m e r e k a m e n g i d e n t i f i k a s i ancaman di negerinya dan memilih satu dengan tingkat ancaman tertinggi untuk dibuatkan rencana kontingensi. Fasilitator la lu memetakan lokasi - lokasi yang terdampak ancaman utama, memetakan sumber daya alam dan manusia yang ada, serta dampak-dampak bencana terhadap aspek manusia, ekonomi, sosial,

Kejadian bencana di Provinsi Maluku selama 2007-2017 yang didominasi oleh bencana terkait cuaca ekstrem. (Sumber: dibi.bnpb.go.id)

RENCANA KONTINGENSI UNTUK KESIAPSIAGAAN MASYARAKATOleh: Nurhana - Team Coordinator Pulau Ambon APIK Maluku dan Wawan Budianto - Disaster Risk Reduction Specialist APIK Maluku

Banjir

25%

Banjirdan Tanah Longsor

10%

GelombangPasang/Abrasi

5%

GempaBumi

5%KecelakaanTransportasi

15%

Kekeringan

2%

Konflik/KerusuhanSosial

6%

PutingBeliung

14%

TanahLongsor

17%

AksiTeror/Sabotase

1%

P r o v i n s i M a l u k u s e b a g a i w i l a y a h kepulauan di timur Indonesia terdiri dari gugus pulau. Dengan lanskap kepulauan, masyarakat Maluku hidup tersebar di

lingkungan, dan infrastruktur. Berkat pelatihan, fasilitator dapat membuat prosedur operasional standar (Standar Operational Procedure/SOP) peringatan dini dan SOP tanggap darurat , dan perencanaan struktur tim kedaruratan. Pe l a t i h a n ya n g d i l a k s a n a k a n ba g i fasilitator tersebut kemudian disusul dengan penyusunan rencana kontingensi (renkon) partisipatif bersama masyarakat di negeri masing-masing fasilitator.

Renkon berguna untuk meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat dalam kondisi darurat. Renkon disusun melalui proses identifikasi dan perencanaan berdasarkan perkiraan keadaan yang mungkin terjadi. Masing-masing negeri menyusun renkon berdasarkan ancaman prioritas yang dimiliki yang pada umumnya berkisar antara banjir, longsor, gelombang tinggi, dan kekeringan.

Menindaklanjuti pelatihan fasilitator yang dilaksanakan, maka fasil itator bersama kelompok masyarakat (Pokmas) dari Negeri Morella, Kabupaten Maluku Tengah menggelar penyusunan renkon yang melibatkan aparatur negeri, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan perwakilan organisasi kepemudaan. Selama dua hari, para pemangku kepentingan di Negeri Morella menyepakati berbagai upaya kesiapsiagaan seperti skenario bencana banjir, penentuan kebijakan tentang evakuasi dan penyelamatan diri, prosedur dan pembagian peran, pemetaan lokasi rawan dan aman, jalur evakuasi, lokasi titik kumpul, serta lokasi pos-pos. Masyarakat juga menyetujui prosedur tetap peringatan dini yang akan dijalankan berdasarkan informasi cuaca dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), serta prosedur tetap tanggap darurat bencana banjir. Selain itu, Negeri Morella telah membentuk sebuah tim penanggulangan bencana, yang terdiri dari berbagai perwakilan pemerintah negeri, Pokmas, anggota PKK, kader Posyandu, kelompok nelayan, kelompok pertanian, pemuda, saniri (sejenis lembaga legislatif di desa namun dengan kewenangan adat), dan

Page 7: KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP Adaptasi Perubahan … fileNEWSLETTER USAID Adaptasi Perubahan Iklim dan Ketangguhan (APIK) Regional Maluku Edisi III / 2018 KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP

7

Pelatihan fasilitator untuk penyusunan rencana kontingensi (Foto: Nurhanna/USAID APIK)

Ancaman bencana utama di masing-masing negeri yang akan dibuat rencana kontingensinya. (Sumber: USAID APIK)

Proses diskusi penyusunan rencana kontingensi di Negeri Morella (Foto: Nurhanna/USAID APIK)

lain-lain. Tim ini bertanggung jawab untuk menjalankan renkon dan prosedurnya jika bencana terjadi.

Hamis Sasole, Kepala Urusan Pemerintahan Negeri Morela yang juga fasilitator renkon mengungkapkan, “Dokumen renkon ini sangat sejalan dengan dokumen kajian risiko bencana, rencana aksi masyarakat, serta laporan penilaian ketangguhan negeri. Sekarang, Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Negeri juga sudah sejalan dengan dokumen-dokumen t e r s e b u t , s e h i n g g a m e m b u k t i k a n komitmen bagi negeri,”. Lebih lanjut, Hamis menekankan pentingnya kerja sama antar masyarakat dan pemerintah negeri untuk saling mendukung.

Tak hanya di Negeri Morella, renkon kini telah disusun di negeri lainnya yakni Negeri Allang, Hative Besar, Soya, Passo, Leahari, Haruku, Ihamahu, Sirisori Islam, dan Ameth. Dalam proses pembuatan renkon, keterlibatan semua unsur masyarakat a m a t l a h p e n t i n g , t e r u ta m a d a l a m memberikan informasi, data, dan kondisi di negeri. Selain itu masyarakat juga berkontribusi mengalokasikan kebutuhan logistik yang perlu disiapkan saat terjadi kondisi darurat. Selanjutnya, masyarakat negeri akan menguji publik renkon dan melakukan simulasi agar masyarakat semakin tanggap dan tahu apa yang harus dilakukan kala bencana menerpa.

SALAHUTU

PULAUSAPARUA

PULAUNUSALAUT

PULAUHARUKU

PULAU AMBON

LEIHITU

LEIHITUBARAT

MORELLABANJIR

WASSUBANJIR

SIRI SORI ISLAMGELOMBANGTINGGI

AMETHGELOMBANGTINGGI

ALLANGLONGSOR HARUKU

LONGSOR

IHAMAHUKEKERINGAN

HATIVE BESARBANJIR LEAHARI

BANJIR

PASSOBANJIR

SOYABANJIR

Page 8: KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP Adaptasi Perubahan … fileNEWSLETTER USAID Adaptasi Perubahan Iklim dan Ketangguhan (APIK) Regional Maluku Edisi III / 2018 KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP

8

uang untuk orang dewasa, dan pukulan rotan bagi anak. Pukulan ini tak keras, namun untuk memberi efek jera. Hukuman yang berlaku membuat adanya kontrol sosial, sehingga masyarakat hingga kini terbiasa menaati sasi.

Buka Sasi Lompa, Pesta yang Selalu Ditunggu-tungguM e n j e l a n g a ca ra p e m b u ka a n s a s i , para kewang sibuk mempersiapkan berbagai kebutuhan yang mendukung terselenggaranya acara, mulai dari membuat simbol sasi, obor dari daun kelapa atau disebut lobe, hingga membacakan aturan adat ke masyarakat saat berjalan keliling kampung untuk menyambut buka sasi. Ada hal yang menarik pada proses pembuatan lobe, yakni daun kelapa yang digunakan tidak boleh diambil dari sembarang tempat, namun setiap pemangku adat harus mengambil dari kebunnya masing-masing dan diwajibkan membawa satu lobe sebagai prasyarat buka sasi. Menjelang matahari terbit, kewang beserta pemangku adat lainnya akan membakar lobe di dekat muara sungai. Kegiatan ini dilakukan setiap hari selama 1–2 bulan hingga buka sasi dilakukan.

Bunyi suara tifa di akhir September 2018 lalu menandai dimulainya buka sasi lompa. Masyarakat baik dari Haruku maupun dari luar pulau berbondong-

Ban kempis harus dipompaPompa saja berulang-ulangDengar buka sasi lompaTanda Haruku panggel pulang

Kalau mau menanam nangkaTanam saja di dalam tanahBeta jua seng pernah sangkaSasi terkenal di mana-mana

‘Kapata’ ini sering di sampaikan Eliza Kissya, kepala kewang (tetua adat) N ege r i H a r u ku , K a b u pa te n M a l u ku Tengah setiap mengisi acara seminar, pertemuan, maupun pendidikan kader di tingkat nasional maupun internasional. Kapata, –ucapan tetua adat yang biasanya disampaikan dalam bentuk pantun– ini juga tak hentinya diucapkan saat menjamu tamu, menggambarkan betapa dijunjungnya adat di Haruku, termasuk di dalamnya tradisi sasi lompa.

Sasi adalah aturan adat di Maluku yang melarang pengambilan sumber daya alam dalam kurun waktu tertentu. Peraturan tersebut lahir sebagai bentuk kepedulian dan penghargaan terhadap alam. Dengan sasi, pengelolaan sumber daya alam diatur sehingga berkelanjutan. Sasi masih diterapkan hingga kini, dengan larangan yang berbeda-beda di setiap wilayah sesuai dengan sumber daya alam yang dianggap berharga bagi masyarakat, misalnya hasil hutan dan ikan tangkap. Pada sasi hutan, di area sekitar hutan diberi tanda agar masyarakat tidak mengambil hasil hutan seperti kelapa, kenari, pinang, dan cempedak. Biasanya sasi berlaku dalam hitungan jangka waktu tertentu, misalnya tiga bulan, enam bulan, atau bahkan hingga tahunan. Kewang bertugas menegakkan sasi dan menimbang jika sasi perlu diperpanjang lewat persidangan adat yang dilakukan setiap minggu.

Di Negeri Haruku, salah satu sasi yang diberlakukan adalah sasi lompa. Sasi lompa adalah larangan menangkap ikan lompa (Thryssa baelama), sejenis ikan sarden kecil. Sasi lompa merupakan

perpaduan sasi laut dan sungai, karena ikan ini hidup di sungai dan laut. Sasi ini sudah berlangsung sejak abad ke-15 dan menjadi identitas Negeri Haruku karena sasi terhadap jenis ikan ini tidak bisa ditemui di tempat lain.

Sungai Learisa Kayeli adalah tempat yang disakralkan di Negeri Haruku, karena di sungai inilah acara buka dan tutup sasi ikan lompa diselenggarakan setiap tahunnya. Muara sungai menjadi jalur lalu lintas dan tempat berkembang biak ikan lompa, mengikuti siklus pasang surut laut. Ikan tersebut baru bisa dipanen setelah 5–7 bulan dari pertama kali muncul di sungai.

Biasanya di bulan Februari atau Maret, acara tutup Sasi dilakukan. Kewang menancapkan tonggak kayu dengan ujung dililit daun kelapa muda, tanda sasi diberlakukan. Mulai saat itu, masyarakat tidak boleh menangkap ikan lompa di muara sungai sampai beberapa kilometer ke arah laut dengan alat dan cara apapun, tidak boleh menghidupkan mesin motor kapal, membuang sampah, serta mencuci alat dapur di Sungai Laerisa Kayeli karena ditakutkan dapat mencemari air.

Ketaatan masyarakat terhadap sasi bukanlah sesuatu yang teradi begitu saja. Kewang menjatuhkan sanksi adat untuk pelanggar sasi, misalnya denda berupa

SASI LOMPA, KEARIFAN LOKAL PENJAGA ALAM Oleh: Richard Lokollo - Field Coordinator Haruku dan Wassu APIK Maluku

Masyarakat berlomba-lomba menangkap ikan lompa di Sungai Laerisa Kayeli bulan September lalu di Negeri Haruku. (Foto: Richard Lokollo/USAID APIK)

Page 9: KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP Adaptasi Perubahan … fileNEWSLETTER USAID Adaptasi Perubahan Iklim dan Ketangguhan (APIK) Regional Maluku Edisi III / 2018 KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP

9

bondong datang untuk menangkap ikan lompa. Mereka mengambil bagian di sisi sungai, menceburkan diri, dan bergerak cepat menangkap ikan berbekal jala maupun ember. Menurut tradisi, janda dan anak-anak yatim piatu dipersilahkan lebih dulu mengambil ikan sampai mereka merasa cukup, baru kemudian k h a l a y a k u m u m b o l e h m e m a n e n . Kegiatan menangkap ikan berlangsung hingga sore, dan setelahnya masyarakat kembali ke rumah untuk mengolah hasil tangkapan dan mengawetkannya dengan metode pengasapan. Ikan yang diawetkan disimpan sebagai persediaan makanan saat gelombang tinggi (Musim Timur) terjadi dan ikan menjadi sulit

ditangkap. Dengan adanya stok makanan, maka dapat mengurangi kekhawatiran dalam pemenuhan kebutuhan pokok, sehingga masyarakat bisa fokus untuk bekerja di hutan maupun di kebun. Tradisi menyimpan ikan ini merupakan bagian dari upaya ketahanan pangan masyarakat Haruku dalam menghadapi dampak negatif dari perubahan iklim.

Di Negeri Haruku, USAID APIK mendukung langkah masyarakat untuk mewujudkan ke ta h a n a n p a n ga n , s a l a h s a t u n ya dengan bekerja sama dengan kelompok masyarakat (Pokmas) dan kelompok k e w a n g d a l a m m e n g e m b a n g k a n p e r ta n i a n o r ga n i k d i p e k a ra n ga n .

Pemanfaatan halaman untuk menanam sayur merupakan langkah awal untuk menjamin kemandirian pangan tanpa harus bergantung pada pasokan dari luar yang seringkali terkendala oleh c u a ca ya n g s e m a k i n ta k m e n e n tu . Selain itu, isu Adaptasi Perubahan Iklim dan Pengurangan Risiko Bencana juga diarusutamakan dalam Rencana Kerja Pemerintah Desa, terlihat dari penanaman mangrove di sepanjang garis pantai untuk membantu mengatasi ancaman abrasi, rehabilitasi talud, dan pembuatan tambatan perahu. Harapan besarnya tentu saja agar Haruku tak hanya hidup selaras dengan alam namun juga tangguh menghadapi perubahan iklim.

Kepala Kewang, Eliza Kissya menyiapkan pelepah daun kelapa untuk tonggak lambang sasi. (Foto: Richard Lokollo/USAID APIK)

Bersama-sama mengangkat jala berisi ikan lompa. (Foto: Maun Kusnandar/USAID APIK)

Memilah hasil tangkapan. (Foto: Maun Kusnandar/USAID APIK)

MEMBERI NANAKU DASAR ILMIAH Oleh: Maun Kusnandar – Community Based Adaptation Specialist APIK Maluku

Lokakarya “Penguatan Nanaku”, 7 Juli 2018. (Foto: Yayasan Walang Perempuan)

“Jang pi panggayo karna bulang tarang, katong seng bisa pi mangael ikang karna arus kancang dan ikang seng bisa makang” atau artinya “Jangan pergi melaut saat bulan terang, kita tidak akan bisa memancing ikan karena arus sangat kuat dan ikan tidak akan makan umpan,”. Nasihat tersebut teruncap dari mulut Demi Huwae, seorang anggota Saniri –lembaga sejenis legislatif dengan kewenangan termasuk urusan adat– di Negeri Allang, Kabupaten Maluku Tengah.

Nanaku adalah sebuah kepercayaan untuk memaknai tanda-tanda alam. Diwariskan secara turun-temurun, nanaku seringkali dikaitkan dengan kejadian tertentu dan dipercayai kebenarannya karena terbukti dalam memperkirakan sebuah peristiwa. Kearifan lokal dalam bentuk pengetahuan semacam nanaku lahir secara verbal m e l a l u i tu tu r pa ra l e l u h u r. Tra d i s i mewariskan secara verbal ini dikenal

dengan istilah ‘kapata’. Dalam nanaku, terdapat waktu terlarang untuk melakukan akt iv itas tertentu, dan masyarakat percaya jika hal tersebut dilanggar, maka kegiatan tersebut tidak mendapatkan hasil maksimal. Hingga kini, nanaku terus digunakan dalam aktivitas sehari-hari

masyarakat seperti menangkap ikan di laut maupun bercocok tanam.

USAID APIK bersama Yayasan Walang Perempuan berupaya mencari tahu lebih mendalam tentang nanaku serta mendudukkan bersama dua dimensi

Page 10: KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP Adaptasi Perubahan … fileNEWSLETTER USAID Adaptasi Perubahan Iklim dan Ketangguhan (APIK) Regional Maluku Edisi III / 2018 KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP

10

antara pengetahuan lokal nanaku dengan basis ilmiah. Upaya ini dilakukan untuk mengangkat kembali nilai-nilai kebijakan tradisional melalui pendokumentasikan nanaku serta mengumpulkan ahli-ahli untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi dari kacamata ilmu pengetahuan. Proses tersebut dimulai dengan mendata nanaku di beberapa negeri di Pulau Ambon, menelusuri manuskrip, serta kapata yang jumlahnya tak lagi banyak dan seringkali tercecer. Selanjutnya, pencatatan nanaku tersebut dipelajari oleh tim dari Universitas Pattimura, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dinas Pertanian dan Dinas Perikanan setempat. Masing-masing nanaku lalu dilengkapi dengan penjelasan ilmiah sehingga terlihat relevansi antara gejala alam yang terjadi dengan makna yang disematkan para leluhur dalam nanaku.

Sebagai kelanjutannya, USAID APIK berkolaborasi dengan BMKG menggelar lokakarya “Penguatan Nanaku” yang dilaksanakan tanggal 7 Juli 2018 di Ambon. Lokakarya ini bertujuan untuk menguatkan gagasan pentingnya pengakuan dan penghormatan terhadap peran pengetahuan lokal dalam membangun ketangguhan iklim di Pulau Ambon. Selain itu, lokakarya menjadi wadah bertemunya para pewaris nanaku dari Negeri Lima, Allang, Hative Besar, Leahari, Passo, dan Soya dengan para praktisi ilmiah untuk berdiskusi. Ditambah lagi, lokakarya memberikan gambaran apa yang dibutuhkan atas layanan informasi

cuaca dan iklim di masyarakat. Harapannya, lokakarya tersebut mampu menjawab tantangan untuk beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim, salah satunya melalui upaya menghidupkan kembali pengetahuan dan praktik yang mengakar pada tradisi.

Dalam lokakarya tersebut para pewaris nanaku berdiskusi dan membandingkan tentang nanaku yang berlaku di negerinya. Misalnya di Negeri Hative Besar, munculnya bulan purnama menandai waktu yang tepat untuk menanam, sedangkan di Negeri Lima, keputusan menanam diambil setelah melihat awan bergumpal dengan warna kuning seperti kasbi (singkong) atau keladi. Ashar S.Kom, Kepala Seksi Observasi dan Informasi Stasiun Meteorologi Kelas II Pattimura, Ambon memberikan contoh penjelasan ilmiah untuk nanaku yang menjelaskan tentang larangan untuk menangkap ikan di laut di waktu tertentu. Ilmu pengetahuan modern menjelaskan bahwa pada saat bulan purnama, hari ke-14 sesuai kalender hijriah, nelayan dilarang memancing sebab arus laut sangat kuat. Arus ini dipengaruhi gaya tarik air laut ke bulan sehingga berdampak pada pasangnya air laut. Kondisi ini berbahaya untuk perahu kecil jika dipaksakan melaut. Larangan ini juga terkait dengan aktivitas migrasi ikan, di mana ikan tipe nokturnal (aktif mencari makan malam hari) akan cenderung berada di perairan yang lebih dalam guna menghindari cahaya terang bulan dan menjauh dari predatornya. Akibatnya, nelayan akan kesulitan menemukan ikan

atau gerombolan ikan di daerah dekat permukaan yang dapat dijangkau oleh jaring atau alat tangkap mereka.

Penjelasan ilmiah terhadap sebuah nanaku tersebut menunjukan bahwa pengetahuan lokal berdasar tradisi dan ilmu pengetahuan tidaklah melulu kontradiktif. Keduanya seringkali berjalan beriringan dan saling menguatkan. Pengetahuan lokal yang karakternya dipandang tidak logis dan subyektif ternyata dapat didukung oleh argumentasi pengetahuan modern. Meskipun tidak semua pengetahuan lokal dapat dirasionalkan, setidaknya langkah mendiskusikan nanaku meberikan wahana untuk berdiskusi dan memberikan pencerahan, bahwa apa yang saat ini diyakini oleh masyarakat khususnya dalam upaya-upaya adaptasi terhadap dampak perubahan iklim yang berbasis kearifan lokal tervalidasi oleh ilmu pengetahuan modern.

Di akhir lokakarya, lahir keinginan kolektif peserta untuk menyebarluaskan hasil pendokumentasian nanaku tak hanya di enam negeri tersebut di atas, namun di negeri-negeri yang lain dengan melibatkan banyak pihak, dari mulai akademisi, d a n i n s ta n s i te r ka i t s e p e r t i D i n a s Perikanan dan Pertanian. Saat ini hasil pendokumentasian nanaku telah masuk pada tahapan rancangan akhir. Namun, dengan format bersifat laporan penelitian, maka pengemasan dalam bahasa yang lebih sederhana penting dilakukan agar informasi menjadi lebih mudah dipahami saat disebarluaskan ke banyak pihak.

Nelayan di Maluku seringkali menggunakan nanaku sebagai panduan mencari ikan. (Foto: Maun Kusnandar/USAID APIK)

Page 11: KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP Adaptasi Perubahan … fileNEWSLETTER USAID Adaptasi Perubahan Iklim dan Ketangguhan (APIK) Regional Maluku Edisi III / 2018 KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP

11

pendanaannya baik dari Dana Desa maupun dari sumber lainnya, dapat membantu penanganan sampah, namun yang terpenting, kesadaran masyarakat harus dibangun. Hal tersebut mengingat bahwa keberhasilan penanganan sampah sangat ditentukan oleh niat dan komitmen seluruh pihak. Sosialisasi penyadaran masyarakat dapat dilakukan melalui jalur formal maupun informal seperti di sekolah maupun di masyarakat dengan forum musyawarah negeri, forum keagamaan dan kegiatan-kegiatan lainya.

Gerakan penyadaran masyarakat dalam penanganan sampah secara mandiri dan berkelanjutan di wilayah pulau-pulau kecil menjadi penting untuk dilakukan, karena j ika dibiarkan sampah akan menjadi masalah, mengingat terbatasnya

Peningkatan jumlah penduduk di suatu daerah pada umumnya berbanding positif dengan pertambahan volume sampah. Hal serupa terjadi di negeri (desa) Sirisori Islam, Pulau Saparua, Kabupaten Maluku Tengah, yang populasinya mencapai 1.436 jiwa. Pola konsumsi masyarakat, aktivitas pendidikan, kegiatan ekonomi, semuanya berkontribusi menimbulkan jenis sampah yang semakin beragam, termasuk sampah kemasan yang sulit diurai di alam.

Sebagian besar masyarakat Neger i Sirisori Islam di Pulau Saparua masih memandang sampah sebagai barang sisa yang tidak berguna, bukan sebagai sumber daya yang bisa dimanfaatkan. Selain itu sampah belum dilihat sebagai dari sumber masalah, dan dalam perlakuannya masih bertumpu pada pendekatan akhir, yaitu dikumpulkan, diangkut , dibuang ke tempat pemrosesan akhir sampah, dan dibakar. Bahkan, ada juga sampah yang dikumpulkan kemudian dibuang ke laut. Hal ini berkontribusi terhadap pencemaran lingkungan, mengganggu ekosistem laut, dan mengganggu aktivitas transportasi wilayah perairan. Jika dihitung rata-rata dengan jumlah sekitar 300 kepala keluarga dan produksi sampah per rumah tangga adalah sekitar 0,2 kg, maka timbunan sampah di negeri Sirisori Islam dalam sebulan bisa mencapai 1,8 ton. Jika terus dibiarkan dan tidak dipikirkan solusinya, sampah akan menjadi masalah besar yang dihadapi masyarakat negeri.

Oleh karena itu diperlukan gerakan untuk merubah cara pandang masyarakat negeri dalam memperlakukan sampah. Sudah seharusnya masyarakat negeri S i r i s o r i I s l a m m e m a n d a n g s a m pa h sebagai sumber daya yang mempunyai nilai ekonomi dan dapat dimanfaatkan, misalnya untuk pupuk kompos atau bahan baku lainnya. Mencermati aspek permasalahan sampah yang ada di negeri Sirisori Islam, diperlukan beberapa upaya yang harus dilakukan, meliputi pembuatan regulasi pengelolaan sampah, penyediaan anggaran, keterlibatan semua pihak termasuk lembaga di tingkat negeri, penyediaan teknologi ramah lingkungan, serta gerakan penyadaran masyarakat.

Tersedianya kebijakan di tingkat negeri telah tersedia, ditambah dengan alokasi

PERSOALAN SAMPAH BAGI MASYARAKAT KEPULAUAN Oleh: Abdul Basir Patty - Ketua Kelompok Masyarakat Adaptasi Perubahan Iklim dan Pengurangan Risiko Bencana Negeri Sirisori Islam

Sampah berserak tidak karuan di Negeri Sirisori Islam. (Foto: Usman Laputi/USAID APIK)

Penulis menunjukkan tumpukan sampah di pantai. (Foto: Usman Laputi/USAID APIK)

lahan untuk tempat pembuangan akhir, sehingga sebagai gantinya masyarakat membuang sampah ke laut, yang jelas tidak menyelesaikan masalah dan bahkan menambah permasalahan baru. Isu tentang sampah telah teridentifikasi dalam Kajian Risiko Bencana tingkat komunitas yang dilakukan bersama USAID APIK pada Juli 2017. Isu ini juga masuk sebagai salah satu prioritas rencana aksi komunitas, namun diskusi dengan pemerintah negeri belum dilakukan karena pergantian pimpinan dan aparatur daerah. Diharapkan permasalahan sampah segera dapat ditindaklanjuti karena kian mengkhawatirkan.

Page 12: KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP Adaptasi Perubahan … fileNEWSLETTER USAID Adaptasi Perubahan Iklim dan Ketangguhan (APIK) Regional Maluku Edisi III / 2018 KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP

USAID APIK Regional Maluku Jl. Pitu Ina no. 1 A

Karang Panjang - Ambon 97121

D www.apikindonesia.or.id

F USAID APIK L @USAID_APIK I @USAID_APIK