Kematangan beragama, problem keimanan dan gangguan keberagamaan seseorang
-
Upload
santi-susanti -
Category
Documents
-
view
1.851 -
download
5
Transcript of Kematangan beragama, problem keimanan dan gangguan keberagamaan seseorang
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sikap keagamaan merupakan suatu keadaan yang ada dalam diri seseorang
yang mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar ketaatannya
terhadap agama.
Menurut Roham (1995), manusia hidup dilingkari (dipengaruhi) oleh
berbagai kebutuhan dan kekurangan. Iman manusia senantiasa dalam ujian
dan perjuangan sesuai dengan pembelajaran. Kadang-kadang Iman-Islam
seseorang cemerlang diwaktu pagi lalu surut redam pada waktu sore harinya.
Apa yang menyebabkan keagamaan seseorang terganggu? Dan bagaimana
pula seseorang yang matang beragama itu?
Berkenaan dengan urgensi kematangan beragama dan gangguan
keberagamaan, perlu disusun sebuah makalah yang mampu menjadi wahana
untuk memperoleh wawasan, pengetahuan, dan konsep keilmuan berkenaan
dengan hal tersebut. Oleh sebab itu, penulis menulis sebuah makalah yang
bertajuk “Kriteria Kematangan Beragama, Problem Keimanan dan Gangguan-
Gangguan terhadap Keberagamaan Seseorang”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis merumuskan rumusan masalah
sebagai berikut.
1. Apa saja yang termasuk kriteria kematangan beragama?
2. Apa yang dimaksud dengan problem keimanan?
3. Apa saja yang termasuk gangguan-gangguan terhadap keberagamaan
seseorang?
C. Tujuan Penulisan Makalah
Sejalan dengan rumusan masalah di atas, makalah ini disusun dengan
tujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan:
1. kriteria kematangan beragama;
2
2. problem keimanan, dan
3. gangguan-gangguan terhadap keberagamaan seseorang.
D. Manfaat Penulisan Makalah
Makalah ini disusun dengan harapan memberikan kegunaan baik secara
teoritis maupun secara praktis. Secara teoritis makalah ini berguna sebagai
pengembangan konsep tentang kriteria kematangan beragama, problem
keimanan dan gangguan-gangguan terhadap keberagamaan seseorang. Secara
praktis makalah ini diharapkan bermanfaat bagi:
1. penulis, sebagai wahana penambah pengetahuan dan konsep keilmuan
khususnya tentang konsep kriteria kematangan beragama, problem
keimanan dan gangguan-gangguan terhadap keberagamaan seseorang;
2. pembaca/dosen, sebagai media informasi tentang kriteria kematangan
beragama, problem keimanan dan gangguan-gangguan terhadap
keberagamaan seseorang baik secara teoritis maupun secara praktis.
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kriteria Kematangan Beragama
Kemampuan seseorang untuk mengenali atau memahami nilai agama yang
terletak pada nilai-nilai luhurnya serta menjadikan nilai-nilai dalam berikap
dan bertingkah laku merupakan ciri dari kematangan Beragama. Jadi,
kematangan beragama terlihat dari kemampuan seseorang untuk memahami
nilai-nilai luhur agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari.
Kematangan beragama atau kedewasaan seseorang dalam beragama
biasanya ditunjukkan dengan kesadaran keyakinan yang teguh karena
menganggap benar akan agam yang dianutnya dan ia memerlukan agama
dalam hidupnya. Pada dasarnya terdapat dua faktor yang menyebabkan adanya
hambatan; yaitu faktor diri sendiri, dan kapasitas diri dan pengalaman.
Kematangan beragama dapat dipandang sebagai keberagamaan yang
terbuka pada semua fakta, nilai-nilai serta memberi arah pada kerangka hidup,
baik secara teoritis maupun praktek dengan tetap berpegang teguh pada ajaran
agama.
1. Kriteria Orang yang Matang Beragama
a. Kematangan Beragama Berdasarkan Al-Qur’an
1) QS. Al- Mu’minun Ayat 1-10
4
Artinya : Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman,
(yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya, Dan
orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan
perkataan) yang tiada berguna, Dan orang-orang yang
menunaikan zakat, Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya,
Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka
miliki Maka Sesungguhnya mereka dalam hal Ini tiada terceIa
Barangsiapa mencari yang di balik itu Maka mereka Itulah orang-
orang yang melampaui batas. Dan orang-orang yang memelihara
amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. Dan orang-orang
yang memelihara sembahyangnya. Mereka Itulah orang-orang
yang akan mewarisi.
2) QS. Al-Furqon Ayat 63-67
Artinya: Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu
(ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah
hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka
mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan. Dan
orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk
Tuhan mereka Dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan kami,
jauhkan azab Jahannam dari kami, Sesungguhnya azabnya itu
adalah kebinasaan yang kekal". Sesungguhnya Jahannam itu
seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman. Dan orang-
orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak
5
berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu)
di tengah-tengah antara yang demikian.
Kriteria yang diberikan oleh Al-Qur’an bagi mereka yang
dikategorikan orang yang matang beragama islam pada 10 ayat
pertama pada surat Al-Mu’minun dan bagian akhir dari surat Al-
Furkon adalah mereka yang khusyu’ shalatnya; menjauhkan diri
dari hal-hal yang tak berguna; menunaikan zakat menjaga
kemaluannya kecuali kepada istri-istri yang sah; jauh dari
perbuatan melampaui batas; memelihara amanat dan janji yang
dipikulnya; memelihara shalatnya; merendahkan diri dan
berrtawadhu; menghidupkan malam-malamnya dengan bersujud;
selalu takut dan meminta ampun agar jauh dari jahanam;
membelajankan hartanya secara tidak berlebihan dan tidak pula
kikir.
b. Kematangan Beragama menurut Ibnu Qoyyim
Ibnu Qoyyim menyebutkan 9 kriteria bagi orang yang matang
beragama dalam islam, yaitu sebagai berikut.
1) Terbina keimanannya yaitu selalu menjaga fluktualitas keimanan
agar selalu bertambah kualitasnya;
2) Terbina ruhiyahnya yaitu menamkan pada dirinya kebesaran dan
keagungan Allah serta segala yang dijanjikan di akhirat kelak,
sehingga dia menyembunyikan dirinya untuk meraihnya;
3) Terbina pemikirannya sehingga akalnya diarahkan untuk
memikirkan ayat-ayat Allah. Baik al-kaunianya (ciptaan-nya) dan
al-qur’aniyah;
4) Terbina perasaanya sehingga segala ungkapan perasaan ditujukan
kepada Allah, senang atau benci, marah atau rela, semuanya karena
Allah;
6
5) Terbina akhlaknya dimana kepribaianya di bangun diatas pondasi
akhlak mulia sehingga kalau berbicara dia jujur, bermuka manis,
menyantuni yang tidak mampu, tidak menyakiti orang lain;
6) Terbina kemasyarakatnya karena menyadari sebagai makhluk
sosial, dia harus memperhatikan lingkungannya sehingga dia
berperan aktif mensejahterahkan lingkungannya baik
intektualitasnya, ekonominya, dll;
7) Terbina kemauannya sehingga tidak mengumbar kemauannya ke
arah yang disrtuktif tetapi diarahkan sesui dengan kehendak Allah;
8) Terbina kesehatan badannya karena memberikan hak-hak badan
untuk ketaatan kepada Allah, dan
9) Terbina nafsu seksualnya yaitu diarahkannya perkawinan yang
dihalalkan Allah.
c. Kriteria Orang yang Matang Beragama menurut Allport (1993)
Allport, selain memberikan defenisi juga menyertakan ciri-ciri
individu yang memiliki kematangan beragama yaitu sebagai berikut:
1) kemampuan melakukan differensi, artinya kemampuan differensi
dengan baik dimaksudkan sebagai individu dalam bersikap dan
berperilaku terhadap agama secara objektif, kritis, reflektif,
berpikir terbuka atau tidak dogmatis. individu yang memiliki
kehidupan beragama yang differensiasi, akan mampu
menempatkan rasio sebagai salah satu bagian dari kehidupan
beragamanya, sehingga pandangan terhadap agama menjadi lebih
kompleks dan realistis, tidak terjebak dengan pemikiran yang
dogmatis;
2) berkarakter dinamis, artinaya apabila individu telah berkarakter
dinamis, agama telah mampu mengontrol dan mengarahkan motif-
motif dan aktivitasnya. aktivitas keagamaan semuanya
dilaksanakan demi kepentingan agama itu sediri;
7
3) konsistensi moral, kematangan beragama ditandai dengan
konsistensi individu pada konsikuensi moral yang dimiliki dengan
ditandai oleh keselarasan antara tingkah laku dengan nilai moral.
salah satunya adalah adanya keselarasan dan kesamaan antara
tingkah laku dengan nilai agama, kepercayaan tentang agama yang
intens akan mampu mengubah atau memtransfomasikan tingkah
laku;
4) komprehensif, keberagamaan yang komprehensif dapat diartikan
segabai kebaragamaan yang luas, universal dan toleran dalam arti
mampu menerima perbedaan;
5) integral, keberagamaan yang matang akan mammpu
mengintegrasikan atau menyatukan agama dengan segenap aspek-
aspek lain dalam kehidupan termasuk di dalamnya dengan ilmu
pengetahuan, dan
6) heuristik, ciri heuristik dari kematangan beragama berarti individu
akan menyadari keterbatasannya dalam beragama, serta selalu
berusaha untuk meningkatkan pemahaman dan penghayatan dalam
beragama.
B. Problem Keimanan
1. Kualifikasi keimanan
Kadar kekokohan keimanan seseorang dalam agamanya, W.H. Clark,
(1969, 220-224) mengidentifikasi empat tingkat keimanan, yaitu :
a. Keimanan yang verbalistik
Keimanan yang verbalistik, dimulai perkembangannya sejak usia
anak-anak. Dilihat dari bentuknya, keimanan tingkat ini terbatas pada
pemahaman mengenai ucapan-ucapan serta kata-kata majis
keagamaan. Proses penerimaannya langsung melalui prinsip stimulus-
stimulus. Karena itu, proses pembelajarannya berlangsung secara
persuasif yang melibatkan orang tua memberi contoh pengucapan
suatu ucapan keagamaan, kemudian anak mengulangi dan
8
menirukannya, dan akhirnya anak diberi sesuatu sebagai hadiah atas
kemampuannya.
Meskipun tipe keimanan seperti ini dikatakan mulai berkembang
pada masa anak, namun tidak berarti akan tuntas dengan berakhirnya
masa itu, sehingga banyak juga mereka yang sudah dewasa tapi tipe
keyakinannya masih berada pada fase ini. Satu hal yang perlu dicatat
bahwa juntuk memperlancar proses ini diperlukan adanya otoritas,
sugesti, tekanan sosial serta pengamatan atau monitoring yang
seksama. Pantaslah psikologinya apabila seseorang telah mampu
mengekspresikan ucapan-ucapan keagamaan seperti itu sesuai dengan
kondisi stimulusnya, mereka akan merasa lelah memperoleh jaminan
perlindungan dari orang tuanya atau dari orang lain yang dipandang
menguasainya. Hal itu berarti bahwa fase keimanan seperti ini hanya
sekedar diarahkan untuk memperoleh jaminan keselamatan dan
keamanan psikologis semata-mata.
b. Keimanan yang intelektualistik
Tingkat ini sudah melibatkan pertimbangan proses berfikir secara
kreatif yang lebih sulit dalam mencari kebenaran iman dibanding
dengan tingkat yang pertama diatas. Pada tingkat ini orang terikat oleh
kelogisan dan alsan-alasan yang masuk akal dalam upaya menerima
keyakinan. Akan tetapi penerimaan keyakinan secara intelektual itu
tidak berarti semata-mata intelektual. Artinya sampai batas tertentu
memang diperlukan tuntutan kelogisan dalam upaya menerima
keyakinannya. Selebihnya perlu dipermasalahkan apakah keyakinan
agama itu dicapai melalui proses berfikir murni, sebagaimana tidak
perlu sepenuhnya keyakinan agama itu dikaitkan dengan kenyataan
hidup.
Pada pihak lain, kadar keterlibatan intelektual dalam tipe dan
tingkat keyakinan ini diorientasikan pada bukti-bukti adanya tuhan,
baik secara ontologi, kosmologi, theologi, maupun secara pragmatik.
9
Bukti-bukti ontologi didasarkan atas ide dan pemikiran manusia
tentang tuhan. Bukti kosmologi berlandaskan pada pemikiran bahwa
tuhan adalah maha pencipta. Dan harus ada karena ada alam
ciptaannya. Sementara secara theology, bukti-buktinya didasarkan atas
kesadaran mengenai bedanya pencipta dengan makhluk-Nya. Karena
itu tuhan adalah maha mengetahui dan maha bijaksana. Akhirnya bukti
pragmatik mengenai keyakinan adanya tuhan berakar pada pemahaman
manusia bahwa keyakinan itu dapat membawa pada hasil-hasil baik,
menguntungkan dan menyenangkan.
c. Keimanan yang demonstrative
Pada tingkat ini keimanan lebih banyak diwujudkan dalam bentuk
tingkah laku dan pengalaman agama secara demonstrativa dari pada
hanya dalam bentuk kata-kata. Manifestasi keimanan disini berbeda
dibanding dengan tingkat keimanan yang bersifat verbalistik maupun
yang bertipe intelektualistik. Dasar pemikirannya adalah bahwa
tingkah laku dan pengalaman agama yang ditampilkan secara
demonstrative belum tentu didahului oleh analisis tentang keyakinan
itu akan menjadi penyebab munculnya pengalaman ajaran agama.
Sebabnya adalah bahwa tingkah laku dan pengamalan agama disini
hanya merupakan kebiasaan yang sudah melekat dalam aktifitas
kehidupan sehari-hari. Jadi seorang muslim yang karena kebiasaannya
sejak kecil secara otomatis mengerjakan sholat lima waktu apabila
telah datang waktunya tidak berarti pengamalannya didasarkan atas
hasil analisisnya mengenai besarnya keyakinan yang melandasi
tindakannya. Hanya saja karena pengalaman ajaran agama menuntut
keterlibatan organisme, maka hal itu biasanya mengundang keseganan
dan malas mengerjakannya.
Akibatnya amal yang diperbuatnya itu dirasakan seolah-olah ada
tekanan dan paksaan. Atau bersembunyi sehingga manimbulkan rasa
berdosa apabila tidak melaksanakannya. Namun demikian
dibandingkan dengan dua tingkat dibawahnya.
10
Keimanan yang diwujudkan dalam bentuk pengamalan ini
dipandang lebih tinggi, mengingat konsekuensi keimanan lebih
berorientasi pada tuntutan pengamalan dari pada hanya dibuktikan
dalam bentuk keterlibatan mental semata-mata.
Apalagi didasari bahwa tidak semua masalah keimanan dapat
dilogokakan, tetapi sebaliknya pembuktian suatu pengakuan dalam
bentuk tindakan konkrit merupakan satu prinsip yang berlaku dalam
kebanyakan lapangan kehidupan.
Lebih tinggi lagi kalau dibandingkan dengan keimanan yang bertipe
verbalistik, sebab kadar kesadarannya masih digantungkan pada
perolehan materi sebagai hadiah atas kemampuannya.
d. Keimanan yang komprehensif integrative
Ketiga tipe dan tingkat keimanan diatas nampak perwujudannya
dalam bentuk ekspresi partikel yang satu sama lainnya terpisah. Justru
karena keterpisahan itu, maka ketiganya tidak dapat memberikan
kepuasan kepada pemiliknya, mengingat masing-masing mengandung
kepincangan. Lain halnya apabila ketiga tipe tersebut menyatu dan
terinternalisasi pada diri orang yang beragama, barulah akan dicapai
keimanan yang komprehensif dan integrative.
Jelasnya apabila seseorang telah menguasai ungkapan-ungkapan
keagamaan, kemudian dipahami dan disadari kebenaran isi
kandungannya, baik dalam kaitan dengan tuntutan hidup lahiriyahnya
maupun kelogisan ketergantungannya terhadap keyakinan sebagai
esensi agama, dan akhirnya dipantulkan dalam wujud pengamalan
ajaran agama, maka tercapailah tingkat keimanan yang keempat ini.
Konotasi komprehensipnya dapat dilihat dari pemahaman dan
kesadaran atas berkumpulnya ketiga tipe keimanan diatas dalam segi
totalitas yang berinternalisasi pada individu yang bersangkutan.
Sedang orientasi integrasinya dapat dipahami dari kenyataan
bersambungnya dan saling memperkuat antara keimanan verbal yang
diinternalisasi karena dipahami melalui proses berpikir kritis, dan
11
kreatif, serta akibat kesadarannya itu terpatri tuntutan untuk
mewujudkannya dalam bentuk tingkah laku nyata.
Tentu saja konseptional tipe keimanan yang keempat ini
merupakan gambaran kualifikasi keimanan yang tertinggi. Namun hal
ini tidak berarti bahwa semua orang yang memiliki tipe keimanan ini
akan benar-benar dalam dan sempurna, sehingga seolah-olah
melahirkan kekokohan keimanan yang tidak dapat diganggu gugat.
2. Faktor-faktor penyebab problem keimanan seseorang
Kalish mengidentifikasikan lima hal yang dapat mendongkel ketegaran
keimanan orang yang beragama yaitu:
a. kontradiksi antara ilmu dan agama;
b. akibat mempelajari agama lain;
c. kesulitan membatasi kebebasan agama;
d. masalah tujuan hidup; dan
e. arti mati dan hidup sesudah mati.
C. Gangguan-gangguan terhadap Keberagamaan Seseorang
Pada garis besarnya teori mengungkapkan bahwa sumber jiwa keagamaan
seseorang berasal dari faktor intern dan dari faktor ekstern. Pendapat pertama
menyatakan bahwa manusia adalah homo religius (makhluk beragama),
karena manusia sudah memiliki potensi untuk beragama. Potensi tersebut
bersumber dari faktor intern manusia yang termuat dalam aspek kejiwaan
manusia seperti naluri, akal, perasaan maupun kehendak dan sebagainya.
Namun, pendukung teori ini masih berbeda pendapat mengenai faktor mana
yang paling dominan.
Sebaliknya teori kedua menyatakan bahwa jiwa keagamaan manusia
bersumber dari faktor ekstern. Manusia terdorong untuk beragama karena
pengaruh faktor luar dirinya, seperti rasa takut, rasa ketergantungan ataupun
rasa bersalah (sense of guilt). Faktor-faktor inilah yang menurut pendukung
12
teori tersebut kemudian mendorong manusia menciptakan suatu tata cara
pemujaan dan dikenal dengan nama agama.
Berbagai pendekatan yang digunakan tersebut mengisyaratkan bahwa jika
jiwa keagamaan bukan merupakan aspek psikis bersifat instinktif, yaitu unsur
bawaan yang siap pakai. Jiwa keagamaan juga mengalami proses
perkembangan dalam mencapai tingkat kematangannya. Dengan demikian,
jiwa keagamaan tidak luput dari berbagai gangguan yang dapat mempengaruhi
perkembangannya. Pengaruh tersebut baik yang bersumber dari dalam diri
seseorang maupun yang bersumber dari faktor luar.
1. Faktor Intern
Perkembangan jiwa keagamaan ditentukan oleh beberapa faktor
intern. Para ahli psikologi agama mengemukakan beberapa teori
berdasarkan pendekatan masing- masing. Pada dasarnya faktor-faktor yang
ikut berpengaruh terhadap perkembangan jiwa keagamaan antara lain.
a. Faktor Hereditas
Sejak penemuan sifat kebakaan pada tanaman oleh Johann Gregor
Mandel telah dilakukan sejumlah kajian terhadap hewan dan manusia.
kemudian dikembangkan oleh H. Nilson Ehle dan R. Emerson serta
E.East. mereka meneliti tentang pengaruh genetika terhadap warna
kulit.
Secara garis besarnya pembawa sifat turunan terdiri dari genotip
dan fenotip. Genotip merupakan keseluruhan faktor bawaan seseorang
yang walaupun dapat dipengaruhi lingkungan namun tidak jauh
menyimpang dari sifat dasar yang ada. Fenotip adalah karakteristik
seseorang yang tampak dan dapat diukur seperti warna mata, waerna
kulit ataupun bentuk fisik.
Jiwa keagamaan memang bukan secara lagsung sebagai faktor
bawaan yang diwariskan secaraturun- menurun, melainkan terbentuk
dari berbagai unsur kejiwaan lainnya yang mencakup kognitif, afektif,
dan konatif. Tetapi dalam penelitian terungkap bahwa makanan dan
perasaan ibu berpengaruh terhadap kondisi janin yang dikandungnya.
13
Demikian pula Margeth Mead mengemukakan penelitiannya terhadap
suku Mundugumor dan Arpesh bahwa terdapat hubungan antara cara
menyusui dengan sikap bayi. Bayi yang disusukan secara tergesa- gesa
menampilkan sosok yang agresif dan yang disusukan secara wajar dan
tenang akan menampilkan sikap yang toleran.
Menurut Sigmund perbuatan buruk yang dialakukan akan
menimbulkan rasa bersalah dalam diri pelakunya. Bila pelanggaran
yang dilakukan terhadap larangna agama, maka akan menimbulkan
rasa berdosa. Dan perasan ini yang ikut memepengaruhi perkrmbangan
jiwa keagamaan seseorang sebagai unsur hereditas.
b. Tingkat Usia
Dalam bukunya The Development Of Relegius on children Ernest
Harms mengungkapkan bahwa perkembangan pada anak- anak
ditentukan oleh tingkat usia mereka. Perkembangan tersebut
dipengaruhi pula oleh perkembangan berbagai aspek kejiwaan temasuk
perkembangan berpikir. Anak yang menginjak usia berpikir kritis lebih
kritis pula dalam memahami ajaran agama, selanjutnya pada usia
remaja saat mereka menginjak usia kematangan seksual, pengaruh
itupun menyertai perkembangan jiwa keagamaan mereka. Bahkan
menurut Dr. Kinsey sekitar tahun 1950-an remaja Amerika telah
melakukan mesturbasi, homoseksual, dan onani.
Tingkat perkembangan usia dan kondisi yang dialami para remaja
ini menimbulkan konflik kejiwaan, yang cenderung mempengaruhi
tejadinya konversi agama. Bahkan menurut Starbuck memang benar
bahwa pada usia adolesensi sebagai rentang umur tipikal terjadinya
konversi agama. Meskipun menurut Robert H. Thouless bahwa
konversi cenderung dinilai sebagai produk sugestu dan bukan akibat
dari perkembangan kehidupan spiritual seseorang, namun kenyataan
itu tak sepenuhnya dapat diterima.
Hubungan antara perkembangan usia dengan perkembangan jiwa
keagamaan tamnpaknya tidak dapat dihilangkan begitu saja. Bila
14
konversi lebih dipengaruhi oleh sugesti, maka tentunya konversi lebih
banyak tejadi pada anak- anak, mengingat diusia tersebut mereka lebih
mudahmenerima sugesti. Namun kenyataanya hingga usia baya pun
masih terjadi konversi agama. Bahkan konversi yang terjadi pada
Sidharta Gautama, Marthin Luther terjadi di usia sekitar 40 tahunan.
Kemudian al-Ghazali mengalaminya pada usia yng lebih tua lagi.
Robert H. Thouless membagikonversi menjadi konversi intelektual,
moral, dan sosial.
Telepas dari ada tidaknya hubungan konversi dengan tingkat usia
seseorang, namun hubungan antara tingkat usia dengan perkembanga
jiwa keagamaan barangkali tidak di abaikan begitu saja. Berbagai
penelitian psikologi agama menunjukkan adanya hubungan tersebut,
meskipun tingkat usia bukan merupakan satu- satunya faktor penentu
dalam perkembangan jiwa keagamaan seseorang, yang jelas kenyataa
ini dapat dilihat dari adanya perbedaan pemahaman agama pada
tingkat usia yang berbeda
c. Kepribadian
Kepribadian menurut pandangan psikologi terdiri dari dua unsur,
yaitu unsur hereditas dan pengaruh lingkungan. Hubungan antara
unsur tersebut yang membentuk kepribadian. Adanya keduan unsur
yang membentuk kepribadian itu menyebabkan munculnya konsep
tipologi dan karakter. Tipologi lebih ditekankan pada unsur bawaa,
sedangkan karakter ditekankan pada pengaruh lingkungan.
Tipologi menunjukkan bahwa manusia memiliki kepribadian yang
unik dan besifat masing- masing berbeda. Sebaliknya karakter
menunjukkan bahwa kepribadian manusia terbentuk berdasarkan
pengalaman lingkungan. Dilihat dari pandangan tipologis, kepribadian
manusia tidak dapt diubah karen asudah terbentuk berdasarkan
komposisi dalam tubuh. Sebaliknya dilihat dari pendekata
karakterologis, kepribadian manusia dapat diubah dan tergantung dari
pengaruh lingkungan masing-masing.
15
Berdasarkan pendekatan pertama, Edward Springer, Sheldon, dan
sejumlah psikologi lainnya telah mengidentifikasikan adanya tipe- tipe
kepribadian, Edward Spanger membagi tipe kepribadian menjadi
enam, yaitu: manusia ilmu, manusia sosial, manusia ekonomi, manusia
estesis, manusia polotik, dan manusia relegius. Sebaliknya melalui
pendekata karaterologis, Erich Fromm karakter yang mendasari sifat-
sifat perilaku dan menilai sejauh mana baik buruknya perilaku
terbentuk dari hubungan manusia dengan lingkungannya. Ia membagi
hubungan ini menjadi dua, yaitu hubungan manusia dengan alam
kebendaan dan hubungan sesame manusia yang disebut sosialisasi.
Unsur bawaan merupakan faktor intern yang memberi ciri khas
pada diri seseorang. Dalam kaitan ini, kepribadian sering disebut
sebagai identitas seseorang yang sedikit banyaknya menampilkan ciri-
ciri pembeda dari individu luar dirinya. Dalam kondisi normal,
memang secara individu manusia memiliki perbedaan dalam
kepribadian. Perbedaan ini diperkirakan berpengaruh terhadap
perkembanga aspek- aspek kejiwaan termasuk jiwa keagamaan. Di luar
itu dijumpai pula kondisi kepribadian yang menyimpang seperti
kepribadian ganda (double personality). Dan kondisi seperti ini
bagaimanapun ikut mempengaruhi perkembangan berbagai aspek
kejiwaan pula.
d. Kondisi Kejiwaan
Kondisi kejiwaan ini terkait dengan kepribadian sebagi faktor
intern. Ada beberapa model pendekatan yang mengungkapkan
hubungan ini. Model psikodinamik yang diungkapkan Sigmund freud
menunjukkan gangguan kejiwaan yang ditimbulkan konflik yang
tertekan di alam ketidak sadaran manusia. konflik akan menjadi
sumber gejala kejiwaan yang abnormal. Selanjutnya menurut
pendekata biomedis, fungsi tubuh yang dominan mempengaruhi
kondisi jiwa seseorang. Penyakit ataupun faktor genetik atau kondisi
sistem saraf diperkirakan menjadi sumber munculnya perilaku
16
abnormal. Kemudian pendekatan eksistensial menekankan pada
dominasi pengalaman kekinian manusia. dengan demikian sikap
manusia ditentukan oleh stimulan (rangsangan) lingkungan yang
dihadapinya saat itu.
Walaupun kemudian ada pendekatan model gabungan. Menurut
pendekatan ini pola kepribadian dipengaruhi oleh berbagai faktor dan
bukan hanya oleh faktor- faktor tertentu saja. Pendekatan- pendekatan
psikologi kepribadian menginformasikan bagaimana hubungan
kepribadian dengan kondisi kejiwaan manusia hubungan ini
selanjutnya mengungkapkan bahwa ada suatu kondisi kejiwaan yang
cenderung bersifat permanen pada diri manusia yang terkadang
bersifat menyimpang (abnormal). Gejala- gejala kejiwaan yang
abnormal ini bersumber dari kondisi saraf (neurosis), kejiwaan
(psycosis), dan kepribadian (personalty). Kondisi kejiwaan bersumber
dari neurose ini menimbulkan gejala kecemasan neirose, absesi dan
kompulasi seta amnesia. Kemudian kondisi kejiwaan yang disebabkan
oleh gejala psikosis umumnya menyebabkan seseorang kehilangan
kontak hubungan dengan dunia nyata. Gejala ini ditemui pada
penderita schizoprenia, paranoia, maniac, serta infantile autism
(berperilau seperti anak- anak).
2. Faktor Ekstern
Manusia sering disebut homo relegius (makhluk beragama).
Pernyataan ini menggambarkan bahwa manusia memiliki potensi dasar
yang dapat dikembangkan sebagai makhluk beragama. Jadi manusia
dilengkapi potensi berupakesiapan untuk menerima pengaruh luar
sehinnga dirinya dpat dibentuk menjadi makhluk yang memiliki rasa dan
perlaku keagamaan.
Potensi manusia yang secara umum disebut fitrah keagamaan,
yaitu berua kecenderungan untuk bertauhid. Sebagai potensi, maka perlu
adanya pengaruh yang bersal dari luar manusia. pengaruh tersebut dapat
berupa bimbingan, pembinaan, latihan, pendidikan, yang secara umum
17
disebut sosialisasi.
Faktor ekstern yang dinilai berpengaruh dalam perkembanagn jiwa
keagamaan dapat dilihat dari lingkungan di mana seseorang itu hidup.
Umumnya lingkungan tersebut di bagi menjadi tiga, yaitu keluarga,
institusi dan masyarakat.
a. Lingkungan Keluarga
Keluarga merupakan satuan sosial yang paling sederhana dalam
kehidupan manusia. Sigmund Freud dengan konsep Father Image
(citra kebapaan) menyatakan bahwa perkembangan jiwa keagamaan
anak dipengaruhi oleh citra terhadap bapaknya. Jika seseorang
menunjukkan sikap dan tingkah laku baik, maka anak cenderung
mengidentifikasikan sikap dan tingkah laku bapaknya. Demikian pula
sebaliknya.
Pengaruh kedua orang tua terhadap perkembangan jiwa keagamaan
anak dalam pandangan Islam sudah banyak disadari. Oleh karen itu,
sebagai intervensi terhadap perkembangan jiwa keagamaan tersebut,
kedua orang tua diberikan tanggung jawab. Ada semacam ramgkaian
ketentuan yang dianjurkan kepada orang tua, yaitu mengadzankan ke
telinga bayi yang baru lahir, mengaqoqohkan, memberi nama baik,
dsb. Keluarga dinilai sebagai faktor yang paling dominan dalam
meletakkan dasar perkembanga jiwa keagamaan.
b. Lingkungan Institusional
Lingkungan intitusinal yang ikut mempengaruhi perkembangan
jiwa keagamaan berupa intitusi formal seperti sekolah ataupun yang
nonformal seperti berbagai perkumpulan dan organisasi.
Sekolah sebagai institusi pendidikan formal ikut mempengaruhi
perkembangan kepribadian anak. Menurut Singgih D. Gunarsa
pengaruh itu dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu: kurikulum dan
anak; hubungan guru dan murid; dan hubungan antar anak. Dilihat dari
kaitannya denagan perkembangan jiwa keagamaan, tampaknya ketiga
kelompok tersebut ikut berpengaruh. Sebab pada prinsipnya
18
perkambangan jiwa keagamaan tidak dapat dilepaskan dari upaya
untuk membentuk kepribadian yang luhur. Dalam ketiga kelompok
tersebut secar umum tersirat unsur- unsur yang menopang
pembentukan tersebut seperti ketekunan, disiplin, kejujuran, sabar,
simapati, sosiabilitas, toleransi, keteladanan, dan keadilan. Perlakuan
dan pembiasaan bagi pembentukan sifat- sifat seperti itu umumnya
menjadi bagian dari program pendidikan di sekolah.
Melalui kurikulum, yang bersisi materi pengajaran, sikap dan
keteladanan guru sebagi pendidik serta pergaulan antar temandi
sekolah dinilai berperan dalam menanamkan kebiasaan yang baik.
Pembiasaan yang merupakan bagian dari pembentukan moral yang erat
kaitnnya dengan perkmbangan keagamaan seseorang.
c. Lingkungan Masyarakat
Pergaulan di masyarakat umumnya kurang menekankan pada
disiplin atau aturan yang harus dipatuhi secara ketat. Meskipun
tampaknya longgar, namun kehidupan bermasyarakat dibatasi oleh
berbagai norma dan nilai- nilai yang didukung warganya. Karena itu
setiap warga berusaha untuk menyesuaikan sikap dan tingkah laku
dengan nila- nilai dan norma yang ada. Dengan demikian kehidupan
bermasyarakat memeiliki suatu tatanan yang terkondisi untuk dipatuhi
bersama.
Sepintas, lingkungan masyarakat bukan merupakan lingkungan
yang mendukung unsur tanggung jawab, melainkan hanya merupakan
unsur pengaruh belaka. Tetapi, norma dan tata nilai yang ada
terkadang lebih mengikat sifatnya. Bahkan terkadang, pengaruhnya
lebih besar dalam perkembangan jiwa keagamaan baik dalam bentuk
positif maupun negatif. Misalnya lingkungan masyarakat yang
memiliki tradisi keagamaan yang kuat akan berpengaruh positif bagi
perkembangan jiwa keagamaan anak, sebab kehidupan keagamaan
terkondisi dalam tatanan nilai maupun intitusi keagamaan. Keadaan
seperti ini bagaimanapun akan berpengaruh dalam pembentukan jiwa
19
keagamaan warganya.
Sebaliknya dalam lingkungan masyarakat yang lebih cair atau
bahkan cenderung lebih sekuler, kondisi seperti itu jarang di jumpai.
Kehidupan warganya lebih longgar, sehingga diperkirakan turut
mempengaruhi kondisi kehidupan warganya.
20
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan uraian bab sebelumnya penulis dapat mengemukakan
simpulan sebagai berikut.
1. Kriteria kematangan beragama (menurut Allport) yaitu mampu melakukan
differensi, berkarakter dinamis, konsistensi moral, komprehensif, integral
serta heuritik.
2. Problem keimanan yang terjadi pada seseorang menurut W.H. Clark,
(1969, 220-224) sesuai dengan tingkat keimanannya. Ada tingkat
keimanan yang verbalistik, intelektualistik, demonstrative, serta
komprehensif integrative.
3. Gangguan-gangguan dalam keberagamaan seseorang ada yang berasal dari
factor intern, dan ada pula yang berasal dari factor intern.
B. Saran
Sejalan dengan simpulan di atas, penulis merumuskan saran sebagai
berikut:
1. Kita hendaknya menguasai konsep kriteria kematangan beragama,
problem keimanan dan gangguan-gangguan terhadap keberagamaan
seseorang.
2. Marilah kita usahakan supaya kita menjadi orang yang matang beragama
dalam beragama sebab orang yang matang baragama akan mendapat dua
kebahagian dunia dan akhirat, jangan sampai kita termasuk ke dalam orang
yang ikut-ikutan beragama tapi kita tak memahaminya.
21
DAFTAR PUSTAKA
(t.thn.). Dipetik Juni 6, 2014, dari https://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/13/psikologi-agama-pada-orang-dewasa/
(n.d.). Retrieved Juni 6, 2014, from http://kriteriaorangyangmatangberagama.blogspot.com/
(t.thn.). Dipetik Juni 6, 2014, dari http://santriemoo.blogspot.com/2013/09/gangguan-dalam-perkembangan-jiwa.html
(t.thn.). Dipetik Juni 6, 2014, dari http://shi-senhikari.blogspot.com/2011/12/psikologi-agama-problema-keimanan.html
(n.d.). Retrieved Juni 6, 2014, from http://dendenismail.problem.keimanan.com
Jalaluddin. (1997). Psikologi Agama. Dalam Jalaluddin, Psikologi Agama. Jakarta: Raja Grafindo Persada.