Kematangan beragama, problem keimanan dan gangguan keberagamaan seseorang

32
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sikap keagamaan merupakan suatu keadaan yang ada dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar ketaatannya terhadap agama. Menurut Roham (1995), manusia hidup dilingkari (dipengaruhi) oleh berbagai kebutuhan dan kekurangan. Iman manusia senantiasa dalam ujian dan perjuangan sesuai dengan pembelajaran. Kadang-kadang Iman-Islam seseorang cemerlang diwaktu pagi lalu surut redam pada waktu sore harinya. Apa yang menyebabkan keagamaan seseorang terganggu? Dan bagaimana pula seseorang yang matang beragama itu? Berkenaan dengan urgensi kematangan beragama dan gangguan keberagamaan, perlu disusun sebuah makalah yang mampu menjadi wahana untuk memperoleh wawasan, pengetahuan, dan konsep keilmuan berkenaan dengan hal tersebut. Oleh sebab itu, penulis menulis sebuah makalah yang bertajuk “Kriteria Kematangan Beragama, Problem Keimanan dan Gangguan-Gangguan terhadap Keberagamaan Seseorang”. B. Rumusan Masalah

Transcript of Kematangan beragama, problem keimanan dan gangguan keberagamaan seseorang

Page 1: Kematangan beragama, problem keimanan dan gangguan keberagamaan seseorang

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sikap keagamaan merupakan suatu keadaan yang ada dalam diri seseorang

yang mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar ketaatannya

terhadap agama.

Menurut Roham (1995), manusia hidup dilingkari (dipengaruhi) oleh

berbagai kebutuhan dan kekurangan. Iman manusia senantiasa dalam ujian

dan perjuangan sesuai dengan pembelajaran. Kadang-kadang Iman-Islam

seseorang cemerlang diwaktu pagi lalu surut redam pada waktu sore harinya.

Apa yang menyebabkan keagamaan seseorang terganggu? Dan bagaimana

pula seseorang yang matang beragama itu?

Berkenaan dengan urgensi kematangan beragama dan gangguan

keberagamaan, perlu disusun sebuah makalah yang mampu menjadi wahana

untuk memperoleh wawasan, pengetahuan, dan konsep keilmuan berkenaan

dengan hal tersebut. Oleh sebab itu, penulis menulis sebuah makalah yang

bertajuk “Kriteria Kematangan Beragama, Problem Keimanan dan Gangguan-

Gangguan terhadap Keberagamaan Seseorang”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis merumuskan rumusan masalah

sebagai berikut.

1. Apa saja yang termasuk kriteria kematangan beragama?

2. Apa yang dimaksud dengan problem keimanan?

3. Apa saja yang termasuk gangguan-gangguan terhadap keberagamaan

seseorang?

C. Tujuan Penulisan Makalah

Sejalan dengan rumusan masalah di atas, makalah ini disusun dengan

tujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan:

1. kriteria kematangan beragama;

Page 2: Kematangan beragama, problem keimanan dan gangguan keberagamaan seseorang

2

2. problem keimanan, dan

3. gangguan-gangguan terhadap keberagamaan seseorang.

D. Manfaat Penulisan Makalah

Makalah ini disusun dengan harapan memberikan kegunaan baik secara

teoritis maupun secara praktis. Secara teoritis makalah ini berguna sebagai

pengembangan konsep tentang kriteria kematangan beragama, problem

keimanan dan gangguan-gangguan terhadap keberagamaan seseorang. Secara

praktis makalah ini diharapkan bermanfaat bagi:

1. penulis, sebagai wahana penambah pengetahuan dan konsep keilmuan

khususnya tentang konsep kriteria kematangan beragama, problem

keimanan dan gangguan-gangguan terhadap keberagamaan seseorang;

2. pembaca/dosen, sebagai media informasi tentang kriteria kematangan

beragama, problem keimanan dan gangguan-gangguan terhadap

keberagamaan seseorang baik secara teoritis maupun secara praktis.

Page 3: Kematangan beragama, problem keimanan dan gangguan keberagamaan seseorang

3

BAB II

PEMBAHASAN

A. Kriteria Kematangan Beragama

Kemampuan seseorang untuk mengenali atau memahami nilai agama yang

terletak pada nilai-nilai luhurnya serta menjadikan nilai-nilai dalam berikap

dan bertingkah laku merupakan ciri dari kematangan Beragama. Jadi,

kematangan beragama terlihat dari kemampuan seseorang untuk memahami

nilai-nilai luhur agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari.

Kematangan beragama atau kedewasaan seseorang dalam beragama

biasanya ditunjukkan dengan kesadaran keyakinan yang teguh karena

menganggap benar akan agam yang dianutnya dan ia memerlukan agama

dalam hidupnya. Pada dasarnya terdapat dua faktor yang menyebabkan adanya

hambatan; yaitu faktor diri sendiri, dan kapasitas diri dan pengalaman.

Kematangan beragama dapat dipandang sebagai keberagamaan yang

terbuka pada semua fakta, nilai-nilai serta memberi arah pada kerangka hidup,

baik secara teoritis maupun praktek dengan tetap berpegang teguh pada ajaran

agama.

1. Kriteria Orang yang Matang Beragama

a. Kematangan Beragama Berdasarkan Al-Qur’an

1) QS. Al- Mu’minun Ayat 1-10

Page 4: Kematangan beragama, problem keimanan dan gangguan keberagamaan seseorang

4

Artinya : Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman,

(yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya, Dan

orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan

perkataan) yang tiada berguna, Dan orang-orang yang

menunaikan zakat, Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya,

Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka

miliki Maka Sesungguhnya mereka dalam hal Ini tiada terceIa

Barangsiapa mencari yang di balik itu Maka mereka Itulah orang-

orang yang melampaui batas. Dan orang-orang yang memelihara

amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. Dan orang-orang

yang memelihara sembahyangnya. Mereka Itulah orang-orang

yang akan mewarisi.

2) QS. Al-Furqon Ayat 63-67

Artinya: Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu

(ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah

hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka

mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan. Dan

orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk

Tuhan mereka Dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan kami,

jauhkan azab Jahannam dari kami, Sesungguhnya azabnya itu

adalah kebinasaan yang kekal". Sesungguhnya Jahannam itu

seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman. Dan orang-

orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak

Page 5: Kematangan beragama, problem keimanan dan gangguan keberagamaan seseorang

5

berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu)

di tengah-tengah antara yang demikian.

Kriteria yang diberikan oleh Al-Qur’an bagi mereka yang

dikategorikan orang yang matang beragama islam pada 10 ayat

pertama pada surat Al-Mu’minun dan bagian akhir dari surat Al-

Furkon adalah mereka yang khusyu’ shalatnya; menjauhkan diri

dari hal-hal yang tak berguna; menunaikan zakat menjaga

kemaluannya kecuali kepada istri-istri yang sah; jauh dari

perbuatan melampaui batas; memelihara amanat dan janji yang

dipikulnya; memelihara shalatnya; merendahkan diri dan

berrtawadhu; menghidupkan malam-malamnya dengan bersujud;

selalu takut dan meminta ampun agar jauh dari jahanam;

membelajankan hartanya secara tidak berlebihan dan tidak pula

kikir.

b. Kematangan Beragama menurut Ibnu Qoyyim

Ibnu Qoyyim menyebutkan 9 kriteria bagi orang yang matang

beragama dalam islam, yaitu sebagai berikut.

1) Terbina keimanannya yaitu selalu menjaga fluktualitas keimanan

agar selalu bertambah kualitasnya;

2) Terbina ruhiyahnya yaitu menamkan pada dirinya kebesaran dan

keagungan Allah serta segala yang dijanjikan di akhirat kelak,

sehingga dia menyembunyikan dirinya untuk meraihnya;

3) Terbina pemikirannya sehingga akalnya diarahkan untuk

memikirkan ayat-ayat Allah. Baik al-kaunianya (ciptaan-nya) dan

al-qur’aniyah;

4) Terbina perasaanya sehingga segala ungkapan perasaan ditujukan

kepada Allah, senang atau benci, marah atau rela, semuanya karena

Allah;

Page 6: Kematangan beragama, problem keimanan dan gangguan keberagamaan seseorang

6

5) Terbina akhlaknya dimana kepribaianya di bangun diatas pondasi

akhlak mulia sehingga kalau berbicara dia jujur, bermuka manis,

menyantuni yang tidak mampu, tidak menyakiti orang lain;

6) Terbina kemasyarakatnya karena menyadari sebagai makhluk

sosial, dia harus memperhatikan lingkungannya sehingga dia

berperan aktif mensejahterahkan lingkungannya baik

intektualitasnya, ekonominya, dll;

7) Terbina kemauannya sehingga tidak mengumbar kemauannya ke

arah yang disrtuktif tetapi diarahkan sesui dengan kehendak Allah;

8) Terbina kesehatan badannya karena memberikan hak-hak badan

untuk ketaatan kepada Allah, dan

9) Terbina nafsu seksualnya yaitu diarahkannya perkawinan yang

dihalalkan Allah.

c. Kriteria Orang yang Matang Beragama menurut  Allport (1993)

Allport, selain memberikan defenisi juga menyertakan ciri-ciri

individu yang memiliki kematangan beragama yaitu sebagai berikut:

1) kemampuan melakukan differensi, artinya kemampuan differensi

dengan baik dimaksudkan sebagai individu dalam bersikap dan

berperilaku terhadap agama secara objektif, kritis, reflektif,

berpikir terbuka atau tidak dogmatis. individu yang memiliki

kehidupan beragama yang differensiasi, akan mampu

menempatkan rasio sebagai salah satu bagian dari kehidupan

beragamanya, sehingga pandangan terhadap agama menjadi lebih

kompleks dan realistis, tidak terjebak dengan pemikiran yang

dogmatis;

2) berkarakter dinamis, artinaya apabila individu telah berkarakter

dinamis, agama telah mampu mengontrol dan mengarahkan motif-

motif dan aktivitasnya. aktivitas keagamaan semuanya

dilaksanakan demi kepentingan agama itu sediri;

Page 7: Kematangan beragama, problem keimanan dan gangguan keberagamaan seseorang

7

3) konsistensi moral, kematangan beragama ditandai dengan

konsistensi individu pada konsikuensi moral yang dimiliki dengan

ditandai oleh keselarasan antara tingkah laku dengan nilai moral.

salah satunya adalah adanya keselarasan dan kesamaan antara

tingkah laku dengan nilai agama, kepercayaan tentang agama yang

intens akan mampu mengubah atau memtransfomasikan tingkah

laku;

4) komprehensif, keberagamaan yang komprehensif dapat diartikan

segabai kebaragamaan yang luas, universal dan toleran dalam arti

mampu menerima perbedaan;

5) integral, keberagamaan yang matang akan mammpu

mengintegrasikan atau menyatukan agama dengan segenap aspek-

aspek lain dalam kehidupan termasuk di dalamnya dengan ilmu

pengetahuan, dan

6) heuristik, ciri heuristik dari kematangan beragama berarti individu

akan menyadari keterbatasannya dalam beragama, serta selalu

berusaha untuk meningkatkan pemahaman dan penghayatan dalam

beragama. 

B. Problem Keimanan

1. Kualifikasi keimanan

Kadar kekokohan keimanan seseorang dalam agamanya, W.H. Clark,

(1969, 220-224) mengidentifikasi empat tingkat keimanan, yaitu :

a. Keimanan yang verbalistik

Keimanan yang verbalistik, dimulai perkembangannya sejak usia

anak-anak. Dilihat dari bentuknya, keimanan tingkat ini terbatas pada

pemahaman mengenai ucapan-ucapan serta kata-kata majis

keagamaan. Proses penerimaannya langsung melalui prinsip stimulus-

stimulus. Karena itu, proses pembelajarannya berlangsung secara

persuasif yang melibatkan orang tua memberi contoh pengucapan

suatu ucapan keagamaan, kemudian anak mengulangi dan

Page 8: Kematangan beragama, problem keimanan dan gangguan keberagamaan seseorang

8

menirukannya, dan akhirnya anak diberi sesuatu sebagai hadiah atas

kemampuannya.

Meskipun tipe keimanan seperti ini dikatakan mulai berkembang

pada masa anak, namun tidak berarti akan tuntas dengan berakhirnya

masa itu, sehingga banyak juga mereka yang sudah dewasa tapi tipe

keyakinannya masih berada pada fase ini. Satu hal yang perlu dicatat

bahwa juntuk memperlancar proses ini diperlukan adanya otoritas,

sugesti, tekanan sosial serta pengamatan atau monitoring yang

seksama. Pantaslah psikologinya apabila seseorang telah mampu

mengekspresikan ucapan-ucapan keagamaan seperti itu sesuai dengan

kondisi stimulusnya, mereka akan merasa lelah memperoleh jaminan

perlindungan dari orang tuanya atau dari orang lain yang dipandang

menguasainya. Hal itu berarti bahwa fase keimanan seperti ini hanya

sekedar diarahkan untuk memperoleh jaminan keselamatan dan

keamanan psikologis semata-mata.

b. Keimanan yang intelektualistik

Tingkat ini sudah melibatkan pertimbangan proses berfikir secara

kreatif yang lebih sulit dalam mencari kebenaran iman dibanding

dengan tingkat yang pertama diatas. Pada tingkat ini orang terikat oleh

kelogisan dan alsan-alasan yang masuk akal dalam upaya menerima

keyakinan. Akan tetapi penerimaan keyakinan secara intelektual itu

tidak berarti semata-mata intelektual. Artinya sampai batas tertentu

memang diperlukan tuntutan kelogisan dalam upaya menerima

keyakinannya. Selebihnya perlu dipermasalahkan apakah keyakinan

agama itu dicapai melalui proses berfikir murni, sebagaimana tidak

perlu sepenuhnya keyakinan agama itu dikaitkan dengan kenyataan

hidup.

Pada pihak lain, kadar keterlibatan intelektual dalam tipe dan

tingkat keyakinan ini diorientasikan pada bukti-bukti adanya tuhan,

baik secara ontologi, kosmologi, theologi, maupun secara pragmatik.

Page 9: Kematangan beragama, problem keimanan dan gangguan keberagamaan seseorang

9

Bukti-bukti ontologi didasarkan atas ide dan pemikiran manusia

tentang tuhan. Bukti kosmologi berlandaskan pada pemikiran bahwa

tuhan adalah maha pencipta. Dan harus ada karena ada alam

ciptaannya. Sementara secara theology, bukti-buktinya didasarkan atas

kesadaran mengenai bedanya pencipta dengan makhluk-Nya. Karena

itu tuhan adalah maha mengetahui dan maha bijaksana. Akhirnya bukti

pragmatik mengenai keyakinan adanya tuhan berakar pada pemahaman

manusia bahwa keyakinan itu dapat membawa pada hasil-hasil baik,

menguntungkan dan menyenangkan.

c. Keimanan yang demonstrative

Pada tingkat ini keimanan lebih banyak diwujudkan dalam bentuk

tingkah laku dan pengalaman agama secara demonstrativa dari pada

hanya dalam bentuk kata-kata. Manifestasi keimanan disini berbeda

dibanding dengan tingkat keimanan yang bersifat verbalistik maupun

yang bertipe intelektualistik. Dasar pemikirannya adalah bahwa

tingkah laku dan pengalaman agama yang ditampilkan secara

demonstrative belum tentu didahului oleh analisis tentang keyakinan

itu akan menjadi penyebab munculnya pengalaman ajaran agama.

Sebabnya adalah bahwa tingkah laku dan pengamalan agama disini

hanya merupakan kebiasaan yang sudah melekat dalam aktifitas

kehidupan sehari-hari. Jadi seorang muslim yang karena kebiasaannya

sejak kecil secara otomatis mengerjakan sholat lima waktu apabila

telah datang waktunya tidak berarti pengamalannya didasarkan atas

hasil analisisnya mengenai besarnya keyakinan yang melandasi

tindakannya. Hanya saja karena pengalaman ajaran agama menuntut

keterlibatan organisme, maka hal itu biasanya mengundang keseganan

dan malas mengerjakannya.

Akibatnya amal yang diperbuatnya itu dirasakan seolah-olah ada

tekanan dan paksaan. Atau bersembunyi sehingga manimbulkan rasa

berdosa apabila tidak melaksanakannya. Namun demikian

dibandingkan dengan dua tingkat dibawahnya.

Page 10: Kematangan beragama, problem keimanan dan gangguan keberagamaan seseorang

10

Keimanan yang diwujudkan dalam bentuk pengamalan ini

dipandang lebih tinggi, mengingat konsekuensi keimanan lebih

berorientasi pada tuntutan pengamalan dari pada hanya dibuktikan

dalam bentuk keterlibatan mental semata-mata.

Apalagi didasari bahwa tidak semua masalah keimanan dapat

dilogokakan, tetapi sebaliknya pembuktian suatu pengakuan dalam

bentuk tindakan konkrit merupakan satu prinsip yang berlaku dalam

kebanyakan lapangan kehidupan.

Lebih tinggi lagi kalau dibandingkan dengan keimanan yang bertipe

verbalistik, sebab kadar kesadarannya masih digantungkan pada

perolehan materi sebagai hadiah atas kemampuannya.

d. Keimanan yang komprehensif integrative

Ketiga tipe dan tingkat keimanan diatas nampak perwujudannya

dalam bentuk ekspresi partikel yang satu sama lainnya terpisah. Justru

karena keterpisahan itu, maka ketiganya tidak dapat memberikan

kepuasan kepada pemiliknya, mengingat masing-masing mengandung

kepincangan. Lain halnya apabila ketiga tipe tersebut menyatu dan

terinternalisasi pada diri orang yang beragama, barulah akan dicapai

keimanan yang komprehensif dan integrative.

Jelasnya apabila seseorang telah menguasai ungkapan-ungkapan

keagamaan, kemudian dipahami dan disadari kebenaran isi

kandungannya, baik dalam kaitan dengan tuntutan hidup lahiriyahnya

maupun kelogisan ketergantungannya terhadap keyakinan sebagai

esensi agama, dan akhirnya dipantulkan dalam wujud pengamalan

ajaran agama, maka tercapailah tingkat keimanan yang keempat ini.

Konotasi komprehensipnya dapat dilihat dari pemahaman dan

kesadaran atas berkumpulnya ketiga tipe keimanan diatas dalam segi

totalitas yang berinternalisasi pada individu yang bersangkutan.

Sedang orientasi integrasinya dapat dipahami dari kenyataan

bersambungnya dan saling memperkuat antara keimanan verbal yang

diinternalisasi karena dipahami melalui proses berpikir kritis, dan

Page 11: Kematangan beragama, problem keimanan dan gangguan keberagamaan seseorang

11

kreatif, serta akibat kesadarannya itu terpatri tuntutan untuk

mewujudkannya dalam bentuk tingkah laku nyata.

Tentu saja konseptional tipe keimanan yang keempat ini

merupakan gambaran kualifikasi keimanan yang tertinggi. Namun hal

ini tidak berarti bahwa semua orang yang memiliki tipe keimanan ini

akan benar-benar dalam dan sempurna, sehingga seolah-olah

melahirkan kekokohan keimanan yang tidak dapat diganggu gugat.

2. Faktor-faktor penyebab problem keimanan seseorang

Kalish mengidentifikasikan lima hal yang dapat mendongkel ketegaran

keimanan orang yang beragama yaitu:

a. kontradiksi antara ilmu dan agama;

b. akibat mempelajari agama lain;

c. kesulitan membatasi kebebasan agama;

d. masalah tujuan hidup; dan

e. arti mati dan hidup sesudah mati.

C. Gangguan-gangguan terhadap Keberagamaan Seseorang

Pada garis besarnya teori mengungkapkan bahwa sumber jiwa keagamaan

seseorang berasal dari faktor intern dan dari faktor ekstern. Pendapat pertama

menyatakan bahwa manusia adalah homo religius (makhluk beragama),

karena manusia sudah memiliki potensi untuk beragama. Potensi tersebut

bersumber dari faktor intern manusia yang termuat dalam aspek kejiwaan

manusia seperti naluri, akal, perasaan maupun kehendak dan sebagainya.

Namun, pendukung teori ini masih berbeda pendapat mengenai faktor mana

yang paling dominan.

      Sebaliknya teori kedua menyatakan bahwa jiwa keagamaan manusia

bersumber dari faktor ekstern. Manusia terdorong untuk beragama karena

pengaruh faktor luar dirinya, seperti rasa takut, rasa ketergantungan ataupun

rasa bersalah (sense of guilt). Faktor-faktor inilah yang menurut pendukung

Page 12: Kematangan beragama, problem keimanan dan gangguan keberagamaan seseorang

12

teori tersebut kemudian mendorong manusia menciptakan suatu tata cara

pemujaan dan dikenal dengan nama agama.

Berbagai pendekatan yang digunakan tersebut mengisyaratkan bahwa jika

jiwa keagamaan bukan merupakan aspek psikis bersifat instinktif, yaitu unsur

bawaan yang siap pakai. Jiwa keagamaan juga mengalami proses

perkembangan dalam mencapai tingkat kematangannya. Dengan demikian,

jiwa keagamaan tidak luput dari berbagai gangguan yang dapat mempengaruhi

perkembangannya. Pengaruh tersebut baik yang bersumber dari dalam diri

seseorang maupun yang bersumber dari faktor luar.

1. Faktor Intern

Perkembangan jiwa keagamaan ditentukan oleh beberapa faktor

intern. Para ahli psikologi agama mengemukakan beberapa teori

berdasarkan pendekatan masing- masing. Pada dasarnya faktor-faktor yang

ikut berpengaruh terhadap perkembangan jiwa keagamaan antara lain.

a. Faktor Hereditas

Sejak penemuan sifat kebakaan pada tanaman oleh Johann Gregor

Mandel telah dilakukan sejumlah kajian terhadap hewan dan manusia.

kemudian dikembangkan oleh H. Nilson Ehle dan R. Emerson serta

E.East. mereka meneliti tentang pengaruh genetika terhadap warna

kulit.

Secara garis besarnya pembawa sifat turunan terdiri dari genotip

dan fenotip. Genotip merupakan keseluruhan faktor bawaan seseorang

yang walaupun dapat dipengaruhi lingkungan namun tidak jauh

menyimpang dari sifat dasar yang ada. Fenotip adalah karakteristik

seseorang yang tampak dan dapat diukur seperti warna mata, waerna

kulit ataupun bentuk fisik. 

Jiwa keagamaan memang bukan secara lagsung sebagai faktor

bawaan yang diwariskan secaraturun- menurun, melainkan terbentuk

dari berbagai unsur kejiwaan lainnya yang mencakup kognitif, afektif,

dan konatif. Tetapi dalam penelitian terungkap bahwa makanan dan

perasaan ibu berpengaruh terhadap kondisi janin yang dikandungnya.

Page 13: Kematangan beragama, problem keimanan dan gangguan keberagamaan seseorang

13

Demikian pula Margeth Mead mengemukakan penelitiannya terhadap

suku Mundugumor dan Arpesh bahwa terdapat hubungan antara cara

menyusui dengan sikap bayi. Bayi yang disusukan secara tergesa- gesa

menampilkan sosok yang agresif dan yang disusukan secara wajar dan

tenang akan menampilkan sikap yang toleran.

Menurut Sigmund perbuatan buruk yang dialakukan akan

menimbulkan rasa bersalah dalam diri pelakunya. Bila pelanggaran

yang dilakukan terhadap larangna agama, maka akan menimbulkan

rasa berdosa. Dan perasan ini yang ikut memepengaruhi perkrmbangan

jiwa keagamaan seseorang sebagai unsur hereditas.

b. Tingkat Usia

Dalam bukunya The Development Of Relegius on children Ernest

Harms mengungkapkan bahwa perkembangan pada anak- anak

ditentukan oleh tingkat usia mereka. Perkembangan tersebut

dipengaruhi pula oleh perkembangan berbagai aspek kejiwaan temasuk

perkembangan berpikir. Anak yang menginjak usia berpikir kritis lebih

kritis pula dalam memahami ajaran agama, selanjutnya pada usia

remaja saat mereka menginjak usia kematangan seksual, pengaruh

itupun menyertai perkembangan jiwa keagamaan mereka. Bahkan

menurut Dr. Kinsey sekitar tahun 1950-an remaja Amerika telah

melakukan mesturbasi, homoseksual, dan onani.

Tingkat perkembangan usia dan kondisi yang dialami para remaja

ini menimbulkan konflik kejiwaan, yang cenderung mempengaruhi

tejadinya konversi agama. Bahkan menurut Starbuck memang benar

bahwa pada usia adolesensi sebagai rentang umur tipikal terjadinya

konversi agama. Meskipun menurut Robert H. Thouless bahwa

konversi cenderung dinilai sebagai produk sugestu dan bukan akibat

dari perkembangan kehidupan spiritual seseorang, namun kenyataan

itu tak sepenuhnya dapat diterima.

Hubungan antara perkembangan usia dengan perkembangan jiwa

keagamaan tamnpaknya tidak dapat dihilangkan begitu saja. Bila

Page 14: Kematangan beragama, problem keimanan dan gangguan keberagamaan seseorang

14

konversi lebih dipengaruhi oleh sugesti, maka tentunya konversi lebih

banyak tejadi pada anak- anak, mengingat diusia tersebut mereka lebih

mudahmenerima sugesti. Namun kenyataanya hingga usia baya pun

masih terjadi konversi agama. Bahkan konversi yang terjadi pada

Sidharta Gautama, Marthin Luther terjadi di usia sekitar 40 tahunan.

Kemudian al-Ghazali mengalaminya pada usia yng lebih tua lagi.

Robert H. Thouless membagikonversi menjadi konversi intelektual,

moral, dan sosial.

Telepas dari ada tidaknya hubungan konversi dengan tingkat usia

seseorang, namun hubungan antara tingkat usia dengan perkembanga

jiwa keagamaan barangkali tidak di abaikan begitu saja. Berbagai

penelitian psikologi agama menunjukkan adanya hubungan tersebut,

meskipun tingkat usia bukan merupakan satu- satunya faktor penentu

dalam perkembangan jiwa keagamaan seseorang, yang jelas kenyataa

ini dapat dilihat dari adanya perbedaan pemahaman agama pada

tingkat usia yang berbeda

c. Kepribadian

Kepribadian menurut pandangan psikologi terdiri dari dua unsur,

yaitu unsur hereditas dan pengaruh lingkungan. Hubungan antara

unsur tersebut yang membentuk kepribadian. Adanya keduan unsur

yang membentuk kepribadian itu menyebabkan munculnya konsep

tipologi dan karakter. Tipologi lebih ditekankan pada unsur bawaa,

sedangkan karakter ditekankan pada pengaruh lingkungan.

Tipologi menunjukkan bahwa manusia memiliki kepribadian yang

unik dan besifat masing- masing berbeda. Sebaliknya karakter

menunjukkan bahwa kepribadian manusia terbentuk berdasarkan

pengalaman lingkungan. Dilihat dari pandangan tipologis, kepribadian

manusia tidak dapt diubah karen asudah terbentuk berdasarkan

komposisi dalam tubuh. Sebaliknya dilihat dari pendekata

karakterologis, kepribadian manusia dapat diubah dan tergantung dari

pengaruh lingkungan masing-masing.

Page 15: Kematangan beragama, problem keimanan dan gangguan keberagamaan seseorang

15

Berdasarkan pendekatan pertama, Edward Springer, Sheldon, dan

sejumlah psikologi lainnya telah mengidentifikasikan adanya tipe- tipe

kepribadian, Edward Spanger membagi tipe kepribadian menjadi

enam, yaitu: manusia ilmu, manusia sosial, manusia ekonomi, manusia

estesis, manusia polotik, dan manusia relegius. Sebaliknya melalui

pendekata karaterologis, Erich Fromm karakter yang mendasari sifat-

sifat perilaku dan menilai sejauh mana baik buruknya perilaku

terbentuk dari hubungan manusia dengan lingkungannya. Ia membagi

hubungan ini menjadi dua, yaitu hubungan manusia dengan alam

kebendaan dan hubungan sesame manusia yang disebut sosialisasi.

Unsur bawaan merupakan faktor intern yang memberi ciri khas

pada diri seseorang. Dalam kaitan ini, kepribadian sering disebut

sebagai identitas seseorang yang sedikit banyaknya menampilkan ciri-

ciri pembeda dari individu luar dirinya. Dalam kondisi normal,

memang secara individu manusia memiliki perbedaan dalam

kepribadian. Perbedaan ini diperkirakan berpengaruh terhadap

perkembanga aspek- aspek kejiwaan termasuk jiwa keagamaan. Di luar

itu dijumpai pula kondisi kepribadian yang menyimpang seperti

kepribadian ganda (double personality). Dan kondisi seperti ini

bagaimanapun ikut mempengaruhi perkembangan berbagai aspek

kejiwaan pula.

d. Kondisi Kejiwaan

Kondisi kejiwaan ini terkait dengan kepribadian sebagi faktor

intern. Ada beberapa model pendekatan yang mengungkapkan

hubungan ini. Model psikodinamik yang diungkapkan Sigmund freud

menunjukkan gangguan kejiwaan yang ditimbulkan konflik yang

tertekan di alam ketidak sadaran manusia. konflik akan menjadi

sumber gejala kejiwaan yang abnormal. Selanjutnya menurut

pendekata biomedis, fungsi tubuh yang dominan mempengaruhi

kondisi jiwa seseorang. Penyakit ataupun faktor genetik atau kondisi

sistem saraf diperkirakan menjadi sumber munculnya perilaku

Page 16: Kematangan beragama, problem keimanan dan gangguan keberagamaan seseorang

16

abnormal. Kemudian pendekatan eksistensial menekankan pada

dominasi pengalaman kekinian manusia. dengan demikian sikap

manusia ditentukan oleh stimulan (rangsangan) lingkungan yang

dihadapinya saat itu. 

Walaupun kemudian ada pendekatan model gabungan. Menurut

pendekatan ini pola kepribadian dipengaruhi oleh berbagai faktor dan

bukan hanya oleh faktor- faktor tertentu saja. Pendekatan- pendekatan

psikologi kepribadian menginformasikan bagaimana hubungan

kepribadian dengan kondisi kejiwaan manusia hubungan ini

selanjutnya mengungkapkan bahwa ada suatu kondisi kejiwaan yang

cenderung bersifat permanen pada diri manusia yang terkadang

bersifat menyimpang (abnormal). Gejala- gejala kejiwaan yang

abnormal ini bersumber dari kondisi saraf (neurosis), kejiwaan

(psycosis), dan kepribadian (personalty). Kondisi kejiwaan bersumber

dari neurose ini menimbulkan gejala kecemasan neirose, absesi dan

kompulasi seta amnesia. Kemudian kondisi kejiwaan yang disebabkan

oleh gejala psikosis umumnya menyebabkan seseorang kehilangan

kontak hubungan dengan dunia nyata. Gejala ini ditemui pada

penderita schizoprenia, paranoia, maniac, serta infantile autism

(berperilau seperti anak- anak).

2. Faktor Ekstern

Manusia sering disebut homo relegius (makhluk beragama).

Pernyataan ini menggambarkan bahwa manusia memiliki potensi dasar

yang dapat dikembangkan sebagai makhluk beragama. Jadi manusia

dilengkapi potensi berupakesiapan untuk menerima pengaruh luar

sehinnga dirinya dpat dibentuk menjadi makhluk yang memiliki rasa dan

perlaku keagamaan.

Potensi manusia yang secara umum disebut fitrah keagamaan,

yaitu berua kecenderungan untuk bertauhid. Sebagai potensi, maka perlu

adanya pengaruh yang bersal dari luar manusia. pengaruh tersebut dapat

berupa bimbingan, pembinaan, latihan, pendidikan, yang secara umum

Page 17: Kematangan beragama, problem keimanan dan gangguan keberagamaan seseorang

17

disebut sosialisasi.

Faktor ekstern yang dinilai berpengaruh dalam perkembanagn jiwa

keagamaan dapat dilihat dari lingkungan di mana seseorang itu hidup.

Umumnya lingkungan tersebut di bagi menjadi tiga, yaitu keluarga,

institusi dan masyarakat.

a. Lingkungan Keluarga

Keluarga merupakan satuan sosial yang paling sederhana dalam

kehidupan manusia. Sigmund Freud dengan konsep Father Image

(citra kebapaan) menyatakan bahwa perkembangan jiwa keagamaan

anak dipengaruhi oleh citra terhadap bapaknya. Jika seseorang

menunjukkan sikap dan tingkah laku baik, maka anak cenderung

mengidentifikasikan sikap dan tingkah laku bapaknya. Demikian pula

sebaliknya.

Pengaruh kedua orang tua terhadap perkembangan jiwa keagamaan

anak dalam pandangan Islam sudah banyak disadari. Oleh karen itu,

sebagai intervensi terhadap perkembangan jiwa keagamaan tersebut,

kedua orang tua diberikan tanggung jawab. Ada semacam ramgkaian

ketentuan yang dianjurkan kepada orang tua, yaitu mengadzankan ke

telinga bayi yang baru lahir, mengaqoqohkan, memberi nama baik,

dsb. Keluarga dinilai sebagai faktor yang paling dominan dalam

meletakkan dasar perkembanga jiwa keagamaan.

b. Lingkungan Institusional

Lingkungan intitusinal yang ikut mempengaruhi perkembangan

jiwa keagamaan berupa intitusi formal seperti sekolah ataupun yang

nonformal seperti berbagai perkumpulan dan organisasi.

Sekolah sebagai institusi pendidikan formal ikut mempengaruhi

perkembangan kepribadian anak. Menurut Singgih D. Gunarsa

pengaruh itu dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu: kurikulum dan

anak; hubungan guru dan murid; dan hubungan antar anak. Dilihat dari

kaitannya denagan perkembangan jiwa keagamaan, tampaknya ketiga

kelompok tersebut ikut berpengaruh. Sebab pada prinsipnya

Page 18: Kematangan beragama, problem keimanan dan gangguan keberagamaan seseorang

18

perkambangan jiwa keagamaan tidak dapat dilepaskan dari upaya

untuk membentuk kepribadian yang luhur. Dalam ketiga kelompok

tersebut secar umum tersirat unsur- unsur yang menopang

pembentukan tersebut seperti ketekunan, disiplin, kejujuran, sabar,

simapati, sosiabilitas, toleransi, keteladanan, dan keadilan. Perlakuan

dan pembiasaan bagi pembentukan sifat- sifat seperti itu umumnya

menjadi bagian dari program pendidikan di sekolah.

Melalui kurikulum, yang bersisi materi pengajaran, sikap dan

keteladanan guru sebagi pendidik serta pergaulan antar temandi

sekolah dinilai berperan dalam menanamkan kebiasaan yang baik.

Pembiasaan yang merupakan bagian dari pembentukan moral yang erat

kaitnnya dengan perkmbangan keagamaan seseorang.

c. Lingkungan Masyarakat

Pergaulan di masyarakat umumnya kurang menekankan pada

disiplin atau aturan yang harus dipatuhi secara ketat. Meskipun

tampaknya longgar, namun kehidupan bermasyarakat dibatasi oleh

berbagai norma dan nilai- nilai yang didukung warganya. Karena itu

setiap warga berusaha untuk menyesuaikan sikap dan tingkah laku

dengan nila- nilai dan norma yang ada. Dengan demikian kehidupan

bermasyarakat memeiliki suatu tatanan yang terkondisi untuk dipatuhi

bersama.

Sepintas, lingkungan masyarakat bukan merupakan lingkungan

yang mendukung unsur tanggung jawab, melainkan hanya merupakan

unsur pengaruh belaka. Tetapi, norma dan tata nilai yang ada

terkadang lebih mengikat sifatnya. Bahkan terkadang, pengaruhnya

lebih besar dalam perkembangan jiwa keagamaan baik dalam bentuk

positif maupun negatif. Misalnya lingkungan masyarakat yang

memiliki tradisi keagamaan yang kuat akan berpengaruh positif bagi

perkembangan jiwa keagamaan anak, sebab kehidupan keagamaan

terkondisi dalam tatanan nilai maupun intitusi keagamaan. Keadaan

seperti ini bagaimanapun akan berpengaruh dalam pembentukan jiwa

Page 19: Kematangan beragama, problem keimanan dan gangguan keberagamaan seseorang

19

keagamaan warganya.

Sebaliknya dalam lingkungan masyarakat yang lebih cair atau

bahkan cenderung lebih sekuler, kondisi seperti itu jarang di jumpai.

Kehidupan warganya lebih longgar, sehingga diperkirakan turut

mempengaruhi kondisi kehidupan warganya.

Page 20: Kematangan beragama, problem keimanan dan gangguan keberagamaan seseorang

20

BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan uraian bab sebelumnya penulis dapat mengemukakan

simpulan sebagai berikut.

1. Kriteria kematangan beragama (menurut Allport) yaitu mampu melakukan

differensi, berkarakter dinamis, konsistensi moral, komprehensif, integral

serta heuritik.

2. Problem keimanan yang terjadi pada seseorang menurut W.H. Clark,

(1969, 220-224) sesuai dengan tingkat keimanannya. Ada tingkat

keimanan yang verbalistik, intelektualistik, demonstrative, serta

komprehensif integrative.

3. Gangguan-gangguan dalam keberagamaan seseorang ada yang berasal dari

factor intern, dan ada pula yang berasal dari factor intern.

B. Saran

Sejalan dengan simpulan di atas, penulis merumuskan saran sebagai

berikut:

1. Kita hendaknya menguasai konsep kriteria kematangan beragama,

problem keimanan dan gangguan-gangguan terhadap keberagamaan

seseorang.

2. Marilah kita usahakan supaya kita menjadi orang yang matang beragama

dalam beragama sebab orang yang matang baragama akan mendapat dua

kebahagian dunia dan akhirat, jangan sampai kita termasuk ke dalam orang

yang ikut-ikutan beragama tapi kita tak memahaminya.

Page 21: Kematangan beragama, problem keimanan dan gangguan keberagamaan seseorang

21

DAFTAR PUSTAKA

(t.thn.). Dipetik Juni 6, 2014, dari https://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/13/psikologi-agama-pada-orang-dewasa/

(n.d.). Retrieved Juni 6, 2014, from http://kriteriaorangyangmatangberagama.blogspot.com/

(t.thn.). Dipetik Juni 6, 2014, dari http://santriemoo.blogspot.com/2013/09/gangguan-dalam-perkembangan-jiwa.html

(t.thn.). Dipetik Juni 6, 2014, dari http://shi-senhikari.blogspot.com/2011/12/psikologi-agama-problema-keimanan.html

(n.d.). Retrieved Juni 6, 2014, from http://dendenismail.problem.keimanan.com

Jalaluddin. (1997). Psikologi Agama. Dalam Jalaluddin, Psikologi Agama. Jakarta: Raja Grafindo Persada.