KEMANDIRIAN ORGANISATORIS PERLU DISOROT LEBIH …
Transcript of KEMANDIRIAN ORGANISATORIS PERLU DISOROT LEBIH …
•
•
594
Tanggapan Buat Bismar Siregar, S.H.
KEMANDIRIAN ORGANISATORIS PERLU DISOROT LEBIH JAUH, DAN PENGHAYATAN LEBIH DALAM TENTANG
MAKNA KEBEBASAN HAKIM YANG BERTANGGUNGJAWAB !
_________ Oleh: Nommy H.T. Siahaao ________ _
Seorang Hakim yang baik sudah pasti tafkur sejenak sebelum mendentangkan palu terakhirnya:
"UntukMuTuhan, apakah yang bisa kupertanggungjawabkan padaMu, toh dasar keputusanku ini adalah namaMu, dan toh bibirku pun akan menyebutMu ,!"
"Untukmu negara, engkau telah memberikan bagiku mandat bebas menjatuhkan biji, palu ini, tetapi itu toh hanya sebagai penentu keadilan !"
"Untukmu yang kuadili, sudahkah engkau menerima keadilan dariku ?"
Di bawah judul: "KEBEBASAN HAKIM DALAM NEGARA HUKUM BERDASARKAN UUD 45" di majalah ini (Hukum dan Pembangunan No.4 Tahun ke-XIV, 1984), Bismar Siregar, S.H. yang kini sudah menempati pos baru sebagai Hakim Agung, kali ini menyuguhkan tulisan yang lebih banyak mendekati deskripsi kebebasan hakim dari hakikat konstitusional, fungsi dan tujuan pekerjaan hakim yang lebih hakiki. Serta pula interaksi antara: personalitas hakim-produk hukum-keadilan.
Membaca tulisan itu, penulis berharap-harap kiranya Blsmar yang terkenal sebagai j ustisiawan yang " radikalis" itu (tentunya demi memberikan keadilan substansial) mau menyorot lebih jeli ten tang kemandirian hakim dalam konteks tat a organisatoris. Tapi sayang, hingga tulisan itu usai di ujung-
•
nya, konteks yang diharapkan itu ternyata tidak kebonceng.
Harap-harap, kalaulah dalam tulisan yang baik itu diserempet sedikit deskripsi atas kenyataan organisatoris 'dunia peradilan di negeri kita ini. Yaitu adanya kenyataan, lembaga peradilan kita masih memiliki "dua kiblat". Di satu hal berkiblat pada jalur judikatif (Mahkamah Agung), yang lainnya berkiblat pada jalur eksekutif (Departe- . men Kehakiman). J elasnya, mekanisme pengelolaan peradilan kita masih melekat pada dua kebijakan yang datang dari Departemen Kehakiman , di samping yang datang dari Mahkamah Agung.
Kalau Mahkamah Agung se,bagai "kiblat" dari semua urusan-urusan teknis judisil, maka Departemen Kehakiman berkedudukan sebagai "kiblat" yang mengelola semua kebijakan-kebijakan non teknis judisil, berupa anggaran belanja, keuangan, kepegawaian (kepangkatan dan pemudahan para hakim dan panitera) dan urusan-urusan fisik perkantoran pengadilan.
Pola mekanisme peradilan ini memang sangat aneh sekali. Saking anehnya kenyataan ini selalu menjadi bahan "pergunj ingan" yang tidak ha bishabisnya bagi dunia akademis. Pun bukan hanya itu saja, dalam konstelasi praktis pun, masalah ini sering menjadi sorotan umum, khususnya dari kalangan wakil rakyat (DPR).
,
Kebebasan Hakim
Di sinilah memang sQalnya. Dan justru sebuah tema yang menarik, semacam yang dilontarkan Bismar Siregar, maka di situlah seyogyanya tempatnya yang paling relevan. Justru di situ pulalah tepat momennya sebagai reflek positip dari himbauan Ali Said (waktu itu Menteri Kehakiman) bahwa bertambah hari kian membuat nyaringnya suara yang mendambakan tegaknya hukum dan keadilan, yang tidak boleh dibiar- .' kan lalu dan berlarut begitu saja tanpa upaya.
Pola Ambiguitas: Momok Bagi Judicial Service.
Kejelasan dari kedudukan peradilan yang bebas bukan tanpa landasan hukum positip. Untuk ini, malahan dari mulai landasan yang paling mendasar (pasal 24 UUD 45) hingga pad a Undang-undang, telah mencanangkan kemandirian atau mencegah cam pur tangan dari pihak apapun termasuk yang datangnya dari kekuasaan eksekutif terhadap peradilan.
UU Pokok Kekuasaan Kehakiman (No. 14 Tahun 1970) bahkan lebih jauh lagi memperinci pengertian kehakiman yang merdeka. Yaitu be bas dari cam pur tangan pihak kekuasaan lai, bebas dari paksaan, be bas dari rekomendasi yang datang dari pihak ekstra juridisil. Di samping itu, keutuhan per-
sonal juga dituntut , yaitu: jujur, merdeka , be rani mengambil keputusan, dan bebas dari pengaruh, apakah itu dari dalam atau dari luar (Lihat MVT Bag. 6 dan pasal I).
Konsekuensi garis-garis yang diberikan ini tentu saja menuntut sistem-sistern yang lebih jauh. Bukan hanya daTi segi penggajian dan ' tunjangan yang lebih khusus , seperti memang telah disinggung Bismar Siregar. Bukan saja seleksi kualitatif atas pribadi-pribadi para hakim, akan tetapi tidak ku-
- ..
595
•
rang urgensinya bila dilihat dari segi kemandirian organ isa to ris. Kemandirian organisatoris badan peradilan justru sangat membawa perubahan-perubahan yang lebih krusial, karen a di sini pulalah terletak kunci keagungan kebebasan peradilan.
-. Mata . kita perlu menyorot ini ka-
rena dalam perspektif kenyataan, sistern organisatoris peradilan negara kita boleh dikatakan masih bersifat ambivalen, sebagai telah disinggung tadi. Beberapa lembaga justisi ternyata masih berada di bawah payung-payung eksek u tiL Selain Pengadilan N egeri , atau Pengadilan Tinggi yang Ikini ma-sih di bawah payung Departemen Kehakiman (baca: Eksek utif) , maka juga peradilan agama (syariah) dan Mahkamah Militer masih tetap melengket pada Departemen Agama dan Hankam (keduanya organ eksekutif).
•
Kendati memang Departemen Kehakiman tidak merasa " involve" terhadap urusan-urusan teknis peradilan Uudicial service), akan tetapi kalau urusan-urusan administrasi peradilan, personalia / kepangkatan/ pemindahan hakim dan panitera, penggajian saranasa rana materil serta sarana-sarana perlengkapan lainnya tidak langsung dipegang badan judikatif, tetapi justru di bawah jalur eksekutif yaitu Departemen Kehakiman (eq: Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum) be tapaplin itu tidak dapat tidak, roda kendali ke be basan dan kemandiran peradilan itu sedikit banyaknya akan terkekang.
Seorang pendahulu Bismar Siregar, Sri Widowati Wiratmo Su.kito (almarhum) bekas Hakim Agung wanita pertama di republik kita ini pernah mengecam soal ini sebagai biang keladi mertimbulkan lambannya kelancaran ,
roda peradilan. Itu karena bidang-bi-dang administrasi , organi~'lsi dan kebebasan menentukan angg . ·.an belanja ti-
•
• ____ 00 . Nopember 1984
•
•
•
•
596
dak dipegang sendiri oleh Lembaga Yudikatif (Mahkamah Agung).
Dalam struktur institusional yang bersifat "ambiquity" bukan tidak jarang kita temukan misalnya keterlambatan pengangkatan/ mutasi para fungsionaris pengadilan, kurang lancarnya penjatahan biaya-biaya kantor, kurangnya fasilitas yang sangat diperlukan pengadilan dan lain sebagainya.
Suasana ini mestinya sudah waktunya diselesaikan tuntas. Kewenangan dan policy non judisil (administratif, organisatoris dan perbelanjaan) sebaiknya diintegrasikan pada satu payung kekuasaan di bawah MahkamahAgung sebagai organ tertinggi lembaga peradilan. Mengintegrasikan kedua fungsi, fungsi pokok (judicial service) dan fungsi penunjang (administrative service) dalam skala ini akan menghasilkan dampak ganda. Selain lebih terjaminnya asas kebebasan peradilan juga akan merealisir target yang dicanangkan seJalan dengan prinsip peradilan : sederhana, cepat dan biaya ringan. Tanpa itu , semua semboyan peradilan hanya akan tetap beku dalam lautan
. angan-angan.
Putusan Hakim: HasiI Yang Mempertaruhkan Tuhan.
Sependapat dengan Bismar Siregar bahwa kebebasan para hakim dalam menjatuhkan "palu" nya memang sung-
. "guh sangat menentukan terciptanya hak-hak asasi seseorang di negara yang berlandaskan hukum seperti negara kita. Malahan menurut hemat pen ulis, Ie bih dari itu pula akan terpelihar.anya iklim demokrasi'; baik demokrasi sosio politik, demokrasi sosio ekonomi, dem.okrasi sosio budaya, demokrasi sosio religis dan semua ragam uneg-uneg demokrasi so sial. Semua itu memang telah bersumber dari landas
. an yang paling mendalam , yang dibe-
Hukum dan Pembangunan
rikan secara legal-otentik oleh sistem konstitusi kit a (UUD 45).
Kunci-kunci pengembangan hakhak asasi dan demokratisasi terletak dari sejauh mana ruang gerak kebebasan dari pada hakim untuk menentukan putusannya. Itu berarti bahwa semakin terciptanya gelanggang kekuasaan dan keleluasaan hakim memberikan putusannya, tentunya semakin menegakkan wibawa individual dalam kerangka menemukan hak-hak asasinya secara sempurna. Semakin dengan itu pula maka akan kian memberikan umpan balik bagi demokratisasi yang dicanangkan lewat kerangka ideologi . (Pancasila) dan konstitusional (UUD 45).
Tentunya semua pihak (termasuk aparat hakim sendiri) tet,ap menjunjung hasrat diberikannya batas-batas dari sis tim kebebasan hakim. Berbicara tentang kebebasan hakim, maka sebetulnya telah pula sekaligus membicarakan batas-batas dari ruang gerak kebebasannya. Tentang batas-batas dari kebebasan hakim penulis dapat menyimpulkan bahwa professi hakim, dalam arti bahwa setiap hakim dalam menjatuhkan putusannya ia harus selalu dipertautkan dan diperhadapkan pada Tuhan, karena menjelang palu terakhirnya diketok , saat itu hakim kalimat yang maknanya sang at menda
lam : " DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA" .
Kalimat itu adalah batasan ruang gerak hakim yang paling hakiki. Dan itu berarti bahwa bukan hanya karena dengan mengucapkan itu saja maka semuanya seakan sudah terhubungkan
dengan nilai Pancasila (nilai horisontal, sesama manusia), tetapi lebih daripada itu adalah sudah terhubungkan pula dengan nilai pertanggungjawaban "baik pada Tuhan AI Chalik nya maupun
•
Aebebasan Hakim
pada dirinya sendiri at au bathinnya vertikal Hakim mempertaruhkan Tuhannya pada putusan yang ia berikan. Kalau hakim itu seorang Muslim maka saat ia mengucapkan putusannya, saat itu pula ia diperhadapkan dan mempertanggungjawabkan putusannya (pekerjaannya) tersebut pada Allah Subhanahu wata'ala, dan kalau ia seorang Kristen maka saat itu pula ia memberi pertanggungjawabannya pada Allahnya. Demikian pula kalau sang hakim 0
itu menganut kejawen atau seorang mistikis, atau pemuja setan sekalipun maka kepada kekuatan yang dia percayai itu, sang hakim akan pula mem-
A
P
masyarakat pcncari keadilan
Q
Skema Interaksi Sikluk Pertanggungjawaban Hakim.
TidakPeriu Stereotif. Kalau demikian , melihat sikluk in
teraksi o pertanggungjawaban hakim di atas, andai kata ada beberapa gelintir hakim yang menyimpang secara sadar dari kewajiban yang diem ban, maka di situ ia dengan sendirinya dan sekaligus telah menodai interaksi dan komunikasi sucinya pad a Tuhannya, di samping itu pada falsafah Pancasila, pad a nt;gara sebagai pemberi mandat, etis hukum , etis professi, bathinnya, ma-
•
597
berikan pertanggungjawabannya. Nampaklah bahwa betapa beratnya
tugas seorang hakim. Hakimlah satusatunya jabatan yang memberikan keputusan yang diawali dengan serangkaian kalimat : KETUHANAN YANG MAHA ESA.
Ini berarti bahwa walau tampaknya sudah diberi mandat yang merdeka, tetapi dilihat dari dimensi-dimensi pertanggungjawaban, seorang hakim dalam tugasnya akan sekaligus diperhadapkan pada : Tuhannya, dirinya sendiri (bathin) , pemberi mandat (negara), masyarakat pencari keadilan (justiabelen), tata etis hukum.
,
. Keterangan: P = Hakim. A = Tuhan. B = Pancasila. C = Negara (Pemberi mandat). 0
D = Tata Etis Hukum. E = . Etis Profesi. F = Batin/Diri Hakim. G = Tata Nilai/Moral Lainnya. Q = Masyarakat Pencari
Keadilan (J ustiabelen).
syarakat pencari keadilan serta tata nilai moral sosiallainnya.
Itulah karenanya sangat kita maklumi bila Almarhum Mudjono , SoH . (bekas Ketua Mahkamah Agung) sema~ sa hidupnya sempat agak emosional o
mengatakan bahwa nan tiny a yangg akan menghuni neraka bukan lagi penjahat atau WTS tetapi penuh dengan para hakim. Gambaran yang diberi almarhum terse but adalah gam-
Nopember 1984
598
baran bagaimana ketatnya kaitan tugas-kewajiban dan kebebasan yang ada
•
pada hakim. Melihat itu jelas pulalah kini, bah
wa sungguh tidak beralasan bila sebagian masyarakat begitu stereotif dan emosional melihat perkembangan-perkembangan di lapangan judikatif dewasa ini. Sungguh sebetulnya masyarakat tidak usah terbawa oleh arus asosiasi
•
pikrran dan tafsiran yang terlalu jauh apabila rriisalnya hakim Abdul Kadir Mappong menjatuhkan putusan bebas
•
bagi Yos Sutomo, si raja kayu dari Ka-limantan itu. Toh para hakim yang
Hukum dan Pembangunan
mengadilinya, pada dirinya masiog-ma.sing akan selalu dikelilingi tern boktembok pertanggungjawaban sebagaimana yang telah tergambarkan di atas. Yang jelas, rada saat putusan telah terketuk palu , tidak terkecuali putusan itu sesuai dengan kebenaran at au nyata-nyata menyimpang, di hadapan sang hakim telah berdiri Tuhannya untuk menuntut pertanggungjawaban. Tugas hakim memang sungguh berat! Tapi hakim yang baik tentu akan selalu tafakur dulu di hadapan Tuhannya setiap akan melaksanakan professinya !
•
•
----::==-.-
, '.
•
•
•
•
,
•
REP. SINAR HARAPAN
,