KEMANDIRIAN KEKUASAAN KEHAKIMAN DALAM …skripsi.narotama.ac.id/files/12105099 - M U N A R D...
Embed Size (px)
Transcript of KEMANDIRIAN KEKUASAAN KEHAKIMAN DALAM …skripsi.narotama.ac.id/files/12105099 - M U N A R D...

KEMANDIRIAN KEKUASAAN KEHAKIMAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA
A. Latar Belakang Masalah
Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum Republik
Indonesia, sesuai Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman menyebutkan secara gramatikal. Dalam
ketatanegaraan kita, maka kekuasaan kehakiman tersebut dilakukan oleh
sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya
dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan
oleh sebuah Mahkamah Konstitusi, sesuai Pasal 24 ayat (2) Undang-
undang dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 amandemen ketiga.
Kemandirian kekuasaan kehakiman di era reformasi ini
memberikan beban tanggung jawab secara moril dan riil agar supremasi
hukum di negara kita dapat berjalan sesuai visi dan misi di bidang hukum
yang telah digariskan dalam sistem perencanaan pembangunan hasil
musyawarah para wakil rakyat di lembaga legislatif. Sehingga dirasa perlu
adanya perbaikan dan penyempurnaan kinerja Mahkamah Agung sebagai
lembaga peradilan negara tertinggi dalam melaksanakan fungsi-fungsinya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan hal tersebut maka dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah kemandirian kekuasaan kehakiman melalui sistem
peradilan satu atap di bawah Mahkamah Agung ?
2. Bagaimanakah reaktualisasi endepensi penegakan hukum melalui
system satu atap di era reformasi ?

2
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Untuk mengetahui seberapa jauh kemandirian kekuasaan kehakiman
melalui sistem peradilan satu atap di bawah Mahkamah Agung
sehingga dapat digunakan sebagai acuan dan tolak ukur untuk
membenahi lembaga kekuasaan kehakiman secara institusional.
2. Untuk mengetahui reaktualisasi yang dilakukan Mahkamah Agung
dalam penegakan hukum di era reformasi sebagai perwujudan
kemandirian kekuasaan kehakiman dalam supremasi hukum di
Indonesia.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis.
Penelitian ini diaharapkan bermanfaat terhadap pengembangan ilmu
hukum secara pembaharuan hukum system satu atap peradilan pad
umumnya pembenahan dan penyempurnaan sistem peradilan hukum
secara institusional pada lembaga kekuasaan kehakiman.
2. Manfaat Praktis.
Secara praktis bagi masyarakat dan insatansi terkait dan memberikan
masukan upaya-upaya dalam penegakan hukum untuk mewujudkan
supremasi hukum.
E. Tinjauan Pustaka
Dalam memahami hal tersebut, maka akan diuraikan tentang teori
konstitusi, teori demokrasi, teori negara hukum dan ruang lingkup kekuasaan
kehakiman, serta keterkaitan antara satu dengan lainnya.
1. Teori konstitusi.
Pembatasan kekuasaan oleh konstitusi itu diperlukan karena dalam
setiap negara akan terdapat pusat-pusat kekuasaan, baik yang terdapat
dalam supra struktur politik maupun yang terdapat dalam infra struktur
politik. Lord Acton mengatakan bahwa “Power tends to corrupt; and

3
absolute power corrupts absolutely”. Kekuasaan itu, bagaimanapun
kecilnya, cenderung disalahgunakan. Semakin kuat kekuasaan semakin
kuat pula kecenderungan penyalahgunaannya. Menyadari akan hal ini
maka para pendiri negara berusaha untuk membatasi dan mencegah
kemungkinan adanya penyalahgunaan kekuasaan oleh mereka yang
nantinya akan berkuasa.1
2. Teori demokrasi.
Pemerintahan demokrasi pada intinya ialah pemerintahan dari
rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.2 Dalam negara demokrasi, rakyat
diikutsertakan dalam pengangkatan (pemilihan) penguasa. Di sini ada
keinginan untuk mendekatkan hubungan antara penguasa dengan rakyat
yang diperintah.3 Demokrasi mempunyai arti penting bagi masyarakat
yang menggunakannya sebab dengan demokrasi ini hak masyarakat untuk
menentukan sendiri jalannya organisasi negara dijamin. Oleh sebab itu
Hak Asasi Manusia semua pengertian yang diberikan untuk istilah
demokrasi ini selalu memberikan posisi penting bagi rakyat kendatipun
secara operasional implikasinya di berbagai negara tidak sama.4
Demokrasi sebagai dasar kehidupan bernegara memberi pengertian bahwa
pada tingkat terakhir rakyat memberikan ketentuan dalam masalah-
masalah pokok mengenai kehidupan, termasuk dalam menilai
kebijaksanaan negara, karena kebijaksanaan tersebut menentukan
kehidupan rakyat.5
3. Teori negara hukum
Menurut Sri Soemantri lebih mempertegas lagi mengenai unsur-unsur
yang terpenting dalam negara hukum yang dirinci menjadi empat unsur,
1 Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni,Bandung, 1987, h.4.
2 Suhino, IlmuNegara, Liberty, Yogyakarta, 1996, h. 204.3 Ibid, hlm. 209.4 Moh. Mahfud, , Demokrasi dan Konstitusi Di Indonesia, Paradigma, Yogyakarta, 1993, h.
19.5 Deliar Noor, Pengantar ke Pemikiran Politik, Rineka Cipta, Jakarta, 1983, h. 207.

4
yaitu :
1. Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus
berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan;
2. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara ;
3. Adanya pemisahan kekuasaan dalam negara ;
4. Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan.6
4. Kekuasaan Kehakiman
Dari tiga teori tersebut telah membuktikan kepada kita betapa
pentingnya lembaga kekuasaan kehakiman bagi suatu negara hukum yang
demokratis konstitusional.
a. Menurut teori konstitusi, dalam suatu negara harus ada pembagian dan
pembatasan kekuasaan negara untuk menjamin Hak Asasi Manusia.
b. Menurut teori demokrasi, kehidupan yang demokratis itu selalu berada
dalam negara hukum. Di dalam negara hukum ada kekuasaan
kehakiman sebagai lembaga penegak demokrasi.
c. Menurut teori negara hukum maka keberadaan lembaga kekuasaan
kehakiman (pengadilan) merupakan ciri utama dan akarnya negara
hukum. Tidak ada negara hukum tanpa ada lembaga kekuasaan
kehakiman. Apalagi dalam negara hukum modern.
F. Metode Penelitian
1. Tipe penelitian
Penulisan tesis ini termasuk penulisan hukum normatif,7 yaitu
penelitian terhadap asas-asas, dasar falsafah dan norma-norma hukum
tentang kekuasaan kehakiman pada umumnya dan Mahkamah Agung RI
pada khususnya untuk menemukan hal-hal baru tentang kemandirian
kekuasaan kehakiman dalam penegakan hukum serta supremasi hukum di
6 Sri Soemantri, Bunga RampaiHukum Tata Negara, Mandar Maju, Bandung, hlm
.29-30
7Jhonny Ibarahim, Teori & Metode Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Pubillshing Malang, 2005, h.19

5
Indonesia.
2. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah yang dipakai sebagai bagian dari usaha analisis
nantinya ialah pendekatan peraturan perundang-undangan yang
berhubungan dengan kemandirian kekuasaan kehakiman antara lain
Undang-Undang Nomor. 35 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor. 4 tahun
2004, Undang-Undang Nomor. 5 Tahun 2004 dan masih banyak lainnya
yang berkaitan dengan sistem pengadilan satu atap dibawah Mahkamah
Agung sebagai pengadilan tertingi. Pendekatan ini nantinya dipergunakan
untuk menjawab permasalahan yang diangkat oleh peneliti.8
3. Bahan Hukum
a. Bahan hukum primer, yakni :
a. Norma dasar dan peraturan dasar dalam Undang-undang Dasar
1945 amandemen IV.
b. Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
c. Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan lembaga
kekuasaan kehakiman dan Mahkamah Agung RI, antara lain
Undang-Undang Nomor. 4 tahun 2004, Undang-Undang No. 5
tahun 2004 dan lain-lain.
b. Bahan hukum sekunder, yakni :
1. Hasil-hasil penelitian yang sudah ada.
2. Karya ilmiah dari kalangan ahli hukum dan lain sebagainya.
c. Bahan hukum tertier mencakup :
a. Bahan-bahan yang memberi petunjuk-petunjuk maupun penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti : kamus,
ensiklopedia dan seterusnya.
b. Bahan-bahan lain di luar hukum yang diperlukan untuk melengkapi
atau menunjang data penelitian, seperti bidang filsafat, etika,
8 Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Renika Cipta, Jakarta,
1998, h.12

6
sosiologi dan lain-lain.9
4. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum.
Prosedur pengumpulan bahan hukum yang dilakukan oleh peneliti
berdasarkan studi kepustakaan adalah dengan mengumpulkan bahan-bahan
hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat secara dominan
dalam penelitian ini, yakni berupa norma dasar dan peraturan dasar dalam
Undang-undang Dasar 1945 amandemen IV, ketetapan-ketetapan MPR
dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan lembaga
kekuasaan kehakiman dan Mahkamah Agung RI. Kemudian peneliti
mengumpulkan bahan-bahan hukum sekunder, yaitu yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti hasil-hasil penelitian
yang sudah ada, karya ilmiah dari kalangan ahli hukum dan ahli
wawancara dengan para nara sumber. Dan untuk tahap yang terakhir,
peneliti mengumpulkan bahan-bahan hukum atau bahan hukum
penunjang, yang mencakup seluruh bahan-bahan yang dapat memberi
petunjuk-petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan
sekunder, seperti : kamus, ensiklopedia dan seterusnya dan juga bahan-
bahan lain di luar hukum yang diperlukan untuk melengkapi atau
menunjang data penelitian ini, seperti bidang filsafat, etika, sosiologi dan
lain-lain.10
5. Analisis Bahan Hukum
Kegiatan yang dilakukan dalam analisis data ini ialah :
1. Memilih peraturan-peraturan yang berisi kaedah-kaedah dan norma-
norma hukum yang mengatur masalah kemandirian kekuasaan
kehakiman dalam penegakan hukum melalui sistem peradilan satu atap
dibawah Mahkamah Agung di era reformasi ini.
2. Membuat sistematik dari peraturan-peraturan tersebut sehingga
menghasilkan klasifikasi tertentu yang selaras dengan pembahasan
kemandirian kekuasaan kehakiman tersebut.
9 Ibid, hlm. 13.

7
3. Bahan hukum yang berupa peraturan perundang-undangan ini
dianalisa secara induktif kualitatif.
Kemudian sesuai dengan jenis datanya yang ditumpukan pada data
kepustakaan maka analisis selanjutnya dalam penelitian ini memakai
model analisis kualitatif11.
G. Kemandirian Kekuasaan Kehakiman
Selama Orde Baru, jaminan atas kekuasaan kehakiman yang merdeka
tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. Dalam berbagai perkara yang
berkaitan dengan eksistensi, kebijakan atau kewibawaan kekuasaan
eksekutif, majelis hakim hukan saja dituntut bertindak hati-hati, tetapi ada
kaalanya wajib mengikuti kehendak yang berkuasa. Kekuasaan menjelma
menjadi sesuatu yang tidak pernah dapat bersalah apalagi dipersalahkan
dantidak boleh disentuh oleh perbedaan pendapat dan kritik. Selain karena
tekanan rezim yang begitu kuat, ketiadaan independensi kekuasaan
kehakiman dipandang berakar juga pada sistem pengelolaannya. Bagian-
bagian tertentu dari sistem pengelolaan kekuasaan kehakiman dijalankan
pemerintah, yaitu bidang keorganisasian, administrasi dan finansial.
Reformasi memandang independensi kekuasaan kehakiman sebagai
salah satu obyek yang sangat mendasar yang perlu dipulihkan atau
ditegakkan kembali. Kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan salah
satu pilar untuk memulihkan demokrasi dan negara berdasarkan hukum.
Secara konseptual hal tersebut akan tercapai dengan cara melepaskan
keikutsertaan pemerintah mengelola unsur-unsur keorganisasian,
administrasi dan finansial kekuasaan kehakiman. Segala wewenang
mengelola urusan tersebut, hendaknya disatukan dan dimasukkan menjadi
wewenang Mahkamah Agung sebagai Pengadilan negara tertinggi. Hal ini
kemudian dikenal sebagai politik kebijakan satu atap (one roof system) yang
10 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Rajawali Perss,Jakarta, 1997,h. 83.11 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum , Rajawali Pers, Jakarta, 1982, hlm 250.

8
didahului oleh lahirnya ketetapan MPR (Tap MPR No. X Th. 1998)
kemudian diatur dalam Undang-Undang nomor 35 Tahun 1999 tentang
Perubahan Undang-Undang nomor 14 Tahun 1970 dan pada puncaknya
disempurnakan melalui Undang-Undang nomor 4 Tahun 2004 tetnang
Kekuasaan Kehakiman (mencabut berlakunya Undang-Undang nomor 14
Tahun 1970 dan Undang-undang nomor 35 Tahun 1999).
Kekuasaan kehakiman tidak hanya bertanggung jawab dalam
menjalankan kekuasaan atau fungsi yudisial, tetapi juga kekuasaan atau
fungsi administrasi negara seperti mengangkat dan memberhentikan
pegawai, melalui pengelolaan keuangan dan lain-lain. Untuk menghindari
kerancuan dan kemurnian Ketua Mahkamah Agung sebagai pelaksana
kekuasaan yudisial, sebaiknya segala pertanggungjawaban dan perbuatan
administrasi negara dilakukan oleh pejabat administrasi negara di
lingkungan Mahkamah Agung atau pengadilan itu sendiri, kecuali keputusan
mengenaihakim. Hal-hal semacam ini nampaknya kurang mendapat sorotan
dari pembentuk undang-undang (terutama DPR). Sering kali DPR terlalu
menekankan pada segi kebijakan politik suatu undang-undang dan kurang
memperhatikan berbagai konsekuensi atau dampak yang akan timbul, baik
dibidang yuridis, administrasi, keuangan atau unsur-unsur managemen pada
umumnya.
H. Sistem Peradilan Satu Atap Dibawah Mahkamah Agung
Ada semacam kekhawatiran bahwa sistem peradilan satu atap akan
melahirkan kesewenang-wenangan pengadilan atau hakim dalam
menegakkan hukum dan keadilan. Kekhawatiran tersebut timbul karena
dengan sistem satu atap, tidak ada lagi yang mengawasi hakim atau
pengadilan. Sehingga sudah menjadi asumsi umum bahwa kekuasaan tanpa
pengawasan akan memunculkan sikap kesewenang-wenangan. Hal ini telah
disadari oleh Montesquieu melalui teori pemisahan kekuasaannya, sehingga
ia menghendaki dikembangkannya pula sistem “checks and balances” yang
kemudian diterapkan di Amerika Seriakt. Kita tidak perlu khawatir akan hal

9
tersebut karena sistem peradilan satu atap tidak terkait dengan fungsiyudisial
(fungsi peradilan). Satu atap hanya menyang kut urusankeorganisasian,
administrasi dan keuangan. Sedangkan fungsi yudisial memang sudah sejak
dahulu satu atap karena fungsi ini hanya menjadi wewenang dari
pengadilan/hakim. Segala bentuk keikutsertaan, apalagi campur tangan atas
kekuasaan yudisial tersebut dilarang. Bahkan Ketua Mahkamah Agung
sekalipun, tidak boleh mencampuri wewenang hakim atau majelis hakim
dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara. Hal ini sebagai aktualisasi
kekuasaan kehakiman yang merdeka, lepas dari segala pengaruh pemerintah
atau kekuasaan lainnya.12. Secara umum, ada dua substansi dalam sistem
pengadilan satu atap, yaitu urusan non yudisial yang mencakup urusan
keorganisasian, administrasi, keuangan dan urusan yudisial yang menyang
kut penyelesaian perkara (putusan_ dan penyelesaian permohonan
(penetapan). Sebenarnya keinginan untuk mengatur dan mengurus diri
sendiri itulah yang nampaknya mendorong para hakim memperjuangkan
sistem satu atap tersebut
I. Wewenang Mahkamah Agung
Berdasarkan amandemen keempat UUD 1945 pasal 24 A maka
Mahkamah Agung memiliki kewenangan untuk :
a. mengadili pada tingkat kasasi;
b. menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
terhadap undang-undang; dan
c. mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.
Disamping itu, Mahkamah Agung diberi kekuasaan dan wewenang oleh
peraturan perundang-undangan untuk :
a. Memeriksa dan memutus permohonan kasasi; sengketa tentang
kewenangan mengadili; dan permohonan peninjauan kembali putusan
12 Hendry P Panggabean, Fungsi Mahkamah Agung Dalam Praktik Sehari-hari, pradnya
paramita, Jakarta, 2001 h8

10
Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
b. Memberikan pertimbangan dalam bidang hukum baik diminta maupun
tidak, kepada Lembaga Tinggi Negara.
c. Memberikan nasehat hukum kepada Presiden, selaku Kepala Negara
untuk pemberian atau penolakan grasi.
d. Menguji secara materiilhanya terhadapperaturan perundang-undangan
dibawah undang-undang;
e. Melaksanakan tugas dan kewenangan lain berdasarkan Undang-Undang
J. Sistem Pengawasan Pengadilan Di Bawah Satu Atap
Pengawasan sebagai suatu proses pengamatan dari pelaksanaan seluruh
kegiatan organisasi untuk menjamin agar semua kegiatan yang sedang
dilaksanakan dapat berjalan sesuai dengan rencana, dapat dibedakan dalam
dua kelompok besar yaitu :
1). Fungsi pengawasan yang dilaksanakan oleh aparatur pemerintah
dibidang pengawasan dalam membantu Presiden sebagai administrator
pemerintah yang tertinggi dalam mengendalikan administrasi negara;
2). Fungsi pengawasan yang dilaksanakan oleh setiap atasan langsung
terhadap bawahannya dalam mewujudkan manajemen yang sehat di
lingkungan organisasi / unit kerja masing-masing. Dalam teori, fungsi
pengawasan biasanya ditempatkan pada urutan terakhir diantara semua
fungsi administrasi / manajemen.
K. Macam – Macam Pengawasan
Mahkamah agung sebagai institusi pengadilan negara tertinggi
memiliki beberapa macam pengawasan yang ditujukan kepadanya, yaitu :
1). Pengawasan external yang dilakukan oleh aparatur yang ditugaskan
melaksanakan pengawasan seperti BPKP, Irjenbang, dan untuk
Mahkamah Agung sendiri pengawasan nternal adalah Badan Pengawas
Mahkamah Agung,
2). Pengawasan politik yang dilakukan oleh DPR.

11
3). Pengawasan yang dilakukan oleh BPK sebagai pengawasan eksternal
eksekutif.
4). Pengawasan sosial yang dilakukan oleh mass media, ormas, individu dan
anggota masyarakat.
5) Pengawasan melekat yakni penawasan yang dilakukan oleh atasan
langsung terhadap bawahannya.
L. Sistem Pengawasan
Sistem pengawasan adalah keseluruhan proses pemantauan,
pemeriksaan dan evaluasi terhadap sasaran tertentu yang menggambarkan
urutan beberapa unsur yang saling berinteraksi satu dengan yang lain.
Yang penting dalam proses waskat adalah bagaimana mengusahakan
agar hubungan / interaksi antara atasan dan bawahan berlangsung secara
wajar dan mendasarkan pada asas-asas pengawasan yang bersifat manusiawi
dengan saling memperlakukan sebagai subyek , bukan hanya sebagai obyek,
dengan menggunakan asas presumption of inounsence serta memperhatikan
nilai-nilai manusiawi dan budaya yang bersumber dari pandangan hidup
Pancasila.
Dalam pelaksanaan pengawasan diperlukan mekanisme yang dapat
menjamin tingkat efisiensi dan efektivitas yang tinggi bagi terwujudnya
pengawasan yang dapat menjangkau sebanyak-banyaknya pegawai / unit
kerja yang sangat banyak jumlahnya dan tersebar dari pusat sampai ke
daerah. Mekanisme pengawasan harus dilaksanakan secara terpadu dan
saling menunjang, misalnya:
M. Pengawasan Terhadap Peradilan Dibawah Satu Atap
Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
dalam pasal 11 ayat (4) menyebutkan : Mahkamah Agung melakukan
pengawasan tertinggi atas perbuatan Pengadilan dalam lingkungan Peradilan
yang berada dibawahnya berdasarkan ketentuan Undang-Undang. Di dalam
penjelasannya disebutkan yang dimaksud dengan “pengawasan tertinggi”

12
dalam ketentuan ayat ini meliputi pengawasan internal Mahkamah Agung
terhadap semua badan peradilan dibawahnya.
N. Obyek Pengawasan
Kewenangan pengawasan meliputi 3 (tiga) bidang obyek Pengawasan
yaitu : bidang teknis peradilan yang bertujuan untuk peningkatan kemampuan
teknis Hakim dalam menangani perkara dan kualitas putusannya serta dalam
melaksanakan eksekusi putusan; bidang administrasi peradilan yang
bertujuan untukmeningkatkan pelayanan hukum kepada para justitiabelen /
pencari keadilan dan bidang perbuatan & tingkah laku Hakim & Pejabat
Kepaniteraan Pengadilan.
O. Keadilan Dalam Penegakan Hukum
Wewenang membentuk hukum tidak hanya diberikan pada cabang
kekuasaan legislatif, tetapi juga kepada kekuasaan administrasi negara
(eksekutif) dalam bentuk peraturan administrasi negara atau peraturan yang
dibuat berdasarkan pelimpahan dari badan legislatif (delegated legislation).
Bahkan terdapat kecenderungan yang menunjukkan bahwa cabang
kekuasaan membentuk undang-undang makin lambat atau tidak berjalan
sebanding dengan kecepatan pembentukanhukum oleh administrasi negara
(eksekutif). Demikian pula pembentukan hukum melalui hakim. Hakim-
hakim bukan sekedar mulut atau corong peraturan tetapi menjadi
penterjemah atau pemberi makna melalui penemuan hukum (rechtsvinding)
atau konstruksi hukum (rechtsconstructie) dalam bentuk-bentuk penafsiran,
analogi, penghalusan hukum dan lain-lain, bahkan menciptakan hukum baru
(rechtschepping) melalui putusan-putusannya (judge made law). Hal-hal
diatas menunjukkan betapa eratnya hubungan antara hukum dengan
kekuasaan. Hukum bukan saja suatu bentuk kegiatan kekuasaan melainkan
suatu fungsi kekuasaan.

13
P. Profesionalisme Dalam Penegakan Hukum
Mutu hakim harus dilihat secara integral yaitu mulai dari pendidikan
dan latihan sejak menjadi mahasiswa hukum. Lembaga pendidikan tinggi
hukum bertanggungjawab atas mutu hakim, bahkan mutu sarjana hukum pada
umumnya. Mutu hakim mencakup tingkat penguasaan (ilmu) hukum,
ketrampilan, dan kepribadian atau integritas. Betapa penting pendidikan
moral, menumbuhkan kesadaran beragama dan berbagai sumber budi luhur
lainnya. Tetapi harus pula disadari. Hakim dan pejabat pengadilan adalah
manusia biasa. Hakim tidak hanya menghadapi godaan dari sekelilingnya
yang dihadapi. Tanggungjawabnya sebagai suami atau isteri atau sebagai
ayah atau ibu yang dapat memberikan kebutuhan dasar yang wajar kepada
anak-anaknya sangat layak untuk diperhatikan.
Q. Peradilan Yang Bersih Dan Berwibawa
Sehubungan dengan pengertian good governance untuk membangun suatu
pemerintahan yang baik maka dapat dikatakan bahwa ada hubungan antara
good governance dengan pengadilan, dimana good governance dapat
sekaligus bersifat dan bersumber ganda. Good governance sebagai sistem atau
sub sistem dalam tatanan pengadilan itu sendiri dan good governance yang
bersifat dan bersumber dari luar pengadilan seperti sistem perundang-
undangan, sistem administrasi negara, sistem politik atau budaya. Tetapi sifat
ganda tersebut sekaligus memuat suatu fungsi good governance sebagai
kondisi (bahkan pra kondisi) bagi tatanan pengadilan yang baik (bersih dan
berwibawa).13
Berbagai kondisi dan faktor-faktor di atas merupakan unsur good
governance yang harus selalu hadir agar peradilan dapat berjalan dengan baik,
bermutu, berwibawa, terhormat, dan dihormati.
Berdasarkan uraian-uraian diatas, maka penegakan hukum di era
13 Suwoto Mulyosudarmo , Kapita Selekta Problematika Hukum Tata Negara Di Era
Pemerintahan Transisi, Karya Anda, Surabaya, 2001, h.251

14
reformasi ini sangat tergantung pada penegakan hukum yang adil dan
berkeadilan, dimana hal tersebut dapat terwujud apabila pelaku penegakan
hukum mempunyai profesionalisme dan moral yang handal dengan didukung
pranata peradilan yang matap dan lingkungan berlakunya hukum atau
masyarakat umum telah mempunyai kesadaran dan kepatuhan terhadap
hukum. Sistem peradilan satu atap dibawah Mahkamah Agung merupakan
bagian yang tak terpisahkan dari penegakan hukum di Indonesia.
R. Kesimpulan
Bahwa kemandirian kekuasaan kehakiman melalui sistem satu atap
adalah ajaran pemisahan kekuasaan masing-masing alat kelengkapan negara
(Legislatif, eksekutif, dan yudikatif) kekuasaan kehakiman yang mandiri dan
merdeka merupakan salah satu pilar untuk memulihkan negara yang
demokratis berdasarkan hukum. pada era reformasi ini telah berhasil
melakukan reformasi di bidang hukum terbukti dengan diundangkannya
Undang Undang Nomor 14 Tahun 2004 tentang KekuasaanKehakiman,
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang Undang Nomor 2 Tahun
1986 tentang peradilan Umum, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Untuk
melaksanakan Undang undang tersebut telah ditindaklanjuti dengan berbagai
Keputusan Presiden. Dengan beberapa peraturan perundang-undangan itu
kemandirian kekuasaan kehakiman ternyata telah dilaksanakan berdasarkan
ajaran pemisahan kekuasaan masing-masing alat kelengkapan negara, dan
ternyata membawa dampak yang positif di dalam memulihkan demokrasi dan
negara berdasarkan atas hukum.
Bahwa penegakan hukum di dalam sistem satu atap di Indonesia
dibawah kekuasaan kehakiman tertinggi dibawah Mahkamah Agung telah

15
dilakukan hal ini dipengaruhi oleh aturan hukum, pelaku hukum lingkungan
tempat proses penegakan hukum, maka tidak mungkin ada pemecahan
persoalan penegakan hukum apabila hanya melihat pada proses penegakan
hukum, dalam penegakan hukum perlu memperhatikan cara penegakan hukum
dan hasil penegakan hukum serta aturan-aturan hukum yang mendukung.
sampai saat ini penegakan hukum di Indonesia masih ada kelemahan baik dari
sisi internal maupun eksternal.
Dari internal mengenai penegakan hukum masih sangat tergantung pada
kwalitas pribadi para penegak hukum yang mempengaruhi penegakan hukum.
dari eksternal, pada aturan hukum yangkadang menimbulkan ketidakpastian
hukum dan pengaruh dari lingkungan. akan tetapi penegakan hukum di
Indonesia akan berjalan dengan baik bila penegak hukumnya profesional,
sistem peradilan satu atap dibawah Mahkamah Agung merupakan bagian tak
terpisahkan dari terlaksananya penegakan hukum di Indonesia.
S. Saran
Merealisasikan sistem peradilan satu atap dibawah Mahkamah Agung
bukan hanya sekedar memenuhi tuntutan masyarakat akan tetapi adalah
sebagai konsekuensi sebagai negara hukum yang berusaha untuk
melaksanakan teori pemisahan kekuasaan dalam sebuah tatanan suatu negara,
sehingga faktor yang menjadi penghambat demi terlaksananya kemandirian,
dalam peradilan satu atap ditiadakan dan ditata kembali.
Untuk membentuk citra peradilan yang bersih dan berwibawa perlu
adanya aturan baku dalam perekturtan aparat penegak hukum khususnya
hakim, selain kecerdasan perlu diseleksi akhlak para hakim dengan diterbitkan
undang undang tentang penghinaan terhadap kekuasaan kehakiman.
Memutuskan segala aturan yang menyangkut masalah organisasi dan
tata kerja internal Mahkamah Agung serta peradilan dibawahnya secara
mandiri tidak turut campurnya lembaga lain untuk mewujudkan lembaga
peradilan yang mandiri bebas dari pengaruh eksekutif maupun lembaga lain.

16
DAFTAR PUSTAKA
A. Literatur
A. Mukti Arto, Konsepsi Ideal Mahkamah Agung, Liberty, Yogyakarta. 2001.
Abdurrahman, Aneka Masalah Dalam Praktek Penegakan Hukum di Indonesia, Renika Cipta, Bandung. 1980.
Ali Aspandi, Menggugat Sistem Hukum Peradilan Indonesia Yang Penuh Ketidakpastian, L:uftansah, Surabaya, 2002.
Bagir Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu negara, Alumni, Bandung. 1995.
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta. 1997.
C.F Strong,. Modern Political Constitutions, Gunung Agung, Jakarta. 1966.
Deliar Noor, Pengantar ke Pemikiran Politik, Rineka Cipta, Jakarta. 1983.
F. Magnis Suseno, Mencari Sosok Demokrasi Sebuah Telaah Filosofis, Rineka Cipta, Jakarta. 1995.
Henry Panggabean, Fungsi Mahkamah Agung Dalam Praktik Sehari-hari, Pradnya Paramita, Jakarta. 2001.
Johnny Ibrahim, Teori & Metode Penelitian Hukum Normatif, Balai Pustaka, Malang. 2005.
Lewis Anthony, Peranan Mahkamah Agung di Amerika Serikat, Pradnya paramita, Jakarta. 1973.
Mahfud, Moh, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Paradigma, Yogyakarta. 1993.
Mahkamah Agung, Undang-undang RI no. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Jakarta. 2004.
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 1988.
Purwoto S Gandasubrata, Renungan Hukum, Balai Pustaka, Jakarta. 1998.77

17
Romli Atmasasmita, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia & Penegakan Hukum, Alumni, Bandung, 2001.
Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Renika Cipta, Jakarta. 1998.
Satjipto Rahardjo, Wajah Hukum Di Era Reformasi, Citra Aditya Bakti, Bandung. 2000.
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta. 1982.
-----, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Pers, Jakarta. 2001.
Soemantri, Sri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni, Bandung. 1987.
-----, Fungsi Konstitusi Dalam Pembatasan Kekuasaan, Alumni, Bandung. 1998
-----, Bunga Rampai Hukum Tata negara, Mandar Maju, Bandung. 1992.
Suwoto Mulyosudarmo, Kapita Selekta Problematika Hukum Tata negara di Era Pemerintah Transisi, Karya Anda, Surabaya. 2001.
Subekti, Kekuasaan Mahkamah Agung RI, Intermasa, Bandung. 1995.
Suhino, Ilmu negara, Liberty, Yogyakarta. 1996.
Tresna, Peradilan di Indonesia Dari Abad ke Abad, Pradnya Paramita, Jakarta. 1980.
B. Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2004.
--------, Undang-undang RI No. 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Jakarta. 2004.
--------, Undang-undang RI No. 8 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-

18
Undang No. 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum, Jakarta. 2004.--------, Undang-undang RI No.3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang
Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama Jakarta 2006--------, Undang-undang RI No.9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang
Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, jakarta 2004

19
TESIS
KEMANDIRIAN KEKUASAAN KEHAKIMANDALAM PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA
Oleh :M U N A R D INIM. 12.105.099
PROGRAM MASTER ILMU HUKUMPROGRAM PASCASARJANAUNIVERSITAS NAROTAMA
SURABAYA2007

20
DAFTAR ISI
A. Latar Belakang Masalah......................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.................................................................................. 1
C. Tujuan Penelitian ................................................................................... 2
D. Manfaat Penelitian ................................................................................. 2
E. Landasan Teoritis................................................................................... 2
1. Teori konstitusi ................................................................................. 2
2. Teori demokrasi ................................................................................ 3
3. Teori negara hukum .......................................................................... 3
4. Kekuasaan Kehakiman ...................................................................... 3
F. Metode Penelitian .................................................................................. 4
1. Tipe penelitian .................................................................................. 4
2. Pendekatan masalah .......................................................................... 5
3. Bahan hukum .................................................................................... 5
4. Prosedur pengumpulan bahan hukum ................................................ 6
5. Analisis bahan hukum ....................................................................... 6
G. Kemandirian kekuasaan kehakiman ....................................................... 7
H. Sistem peradilan satu atap di bawah Mahkamah Agung ......................... 8
I. Wewenang Mahkamah Agung ............................................................... 9
J.. Sistem Pengawasan Pengadilan Di Bawah Satu Atap ............................. 10
K. Macam-macam pengawasan................................................................... 10
L. Sistem pengawasan ................................................................................ 11
M. Pengawasan terhadap peradilan dibawah satu atap ................................. 11
N. Obyek Pengawasan ................................................................................ 12
O. Keadilan dalam penegakan hukum ......................................................... 12
P. Profesionalisme dalam penegakan hukum .............................................. 13
Q. Peradilan yang bersih dan berwibawa..................................................... 13
R. Kesimpulan ........................................................................................... 14
S. Saran...................................................................................................... 15
Daftar Pustakavii i