keluarga barokah

14
Keluarga Barokah.. “Semoga Allah memberkahimu, dan menetapkan keberkahan atasmu, dan mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan.” Do’a ini sarat dengan makna yang mendalam, bahwa pernikahan seharusnya akan mendatangkan banyak keberkahan bagi pelakunya. Namun kenyataannya, kita mendapati banyak fenomena yang menunjukkan tidak adanya keberkahan hidup berumah tangga setelah pernikahan, baik di kalangan masyarakat umum maupun di kalangan keluarga du’at (kader dakwah). Wujud ketidakberkahan dalam pernikahan itu bisa dilihat dari berbagai segi, baik yang bersifat materil ataupun non materil. Munculnya berbagai konflik dalam keluarga tidak jarang berawal dari permasalahan ekonomi. Boleh jadi ekonomi keluarga yang selalu dirasakan kurang kemudian menyebabkan menurunnya semangat beramal/beribadah. Sebaliknya mungkin juga secara materi sesungguhnya sangat mencukupi, akan tetapi melimpahnya harta dan kemewahan tidak membawa kebahagiaan dalam pernikahannya. Seringkali kita juga menemui kenyataan bahwa seseorang tidak pernah berkembang kapasitasnya walau pun sudah menikah. Padahal seharusnya orang yang sudah menikah kepribadiannya makin sempurna; dari sisi wawasan dan pemahaman makin luas dan mendalam, dari segi fisik makin sehat dan kuat, secara emosi makin matang dan dewasa, trampil dalam berusaha, bersungguh- sungguh dalam bekerja, dan teratur dalam aktifitas kehidupannya sehingga dirasakan manfaat keberadaannya bagi keluarga dan masyarakat di sekitarnya.

description

keluarga barokah

Transcript of keluarga barokah

Page 1: keluarga barokah

Keluarga Barokah..

“Semoga Allah memberkahimu, dan menetapkan keberkahan atasmu, dan mengumpulkan

kalian berdua dalam kebaikan.” Do’a ini sarat dengan makna yang mendalam, bahwa

pernikahan seharusnya akan mendatangkan banyak keberkahan bagi pelakunya. Namun

kenyataannya, kita mendapati banyak fenomena yang menunjukkan tidak adanya keberkahan

hidup berumah tangga setelah pernikahan, baik di kalangan masyarakat umum maupun di

kalangan keluarga du’at (kader dakwah). Wujud ketidakberkahan dalam pernikahan itu bisa

dilihat dari berbagai segi, baik yang bersifat materil ataupun non materil.

Munculnya berbagai konflik dalam keluarga tidak jarang berawal dari permasalahan

ekonomi. Boleh jadi ekonomi keluarga yang selalu dirasakan kurang kemudian menyebabkan

menurunnya semangat beramal/beribadah. Sebaliknya mungkin juga secara materi

sesungguhnya sangat mencukupi, akan tetapi melimpahnya harta dan kemewahan tidak

membawa kebahagiaan dalam pernikahannya.

Seringkali kita juga menemui kenyataan bahwa seseorang tidak pernah berkembang

kapasitasnya walau pun sudah menikah. Padahal seharusnya orang yang sudah menikah

kepribadiannya makin sempurna; dari sisi wawasan dan pemahaman makin luas dan

mendalam, dari segi fisik makin sehat dan kuat, secara emosi makin matang dan dewasa,

trampil dalam berusaha, bersungguh-sungguh dalam bekerja, dan teratur dalam aktifitas

kehidupannya sehingga dirasakan manfaat keberadaannya bagi keluarga dan masyarakat di

sekitarnya.

Realitas lain juga menunjukkan adanya ketidakharmonisan dalam kehidupan keluarga, sering

muncul konflik suami isteri yang berujung dengan perceraian. Juga muncul anak-anak yang

terlantar (broken home) tanpa arahan sehingga terperangkap dalam pergaulan bebas dan

narkoba. Semua itu menunjukkan tidak adanya keberkahan dalam kehidupan berumah

tangga.

Memperhatikan fenomena kegagalan dalam menempuh kehidupan rumah tangga

sebagaimana tersebut di atas, sepatutnya kita melakukan introspeksi (muhasabah) terhadap

diri kita, apakah kita masih konsisten (istiqomah) dalam memegang teguh rambu-rambu

berikut agar tetap mendapatkan keberkahan dalam meniti hidup berumah tangga ?

1. Meluruskan niat/motivasi (Ishlahun Niyat)

Motivasi menikah bukanlah semata untuk memuaskan kebutuhan biologis/fisik. Menikah

merupakan salah satu tanda kebesaran Allah SWT sebagaimana diungkap dalam Alqur’an

(QS. Ar Rum:21), sehingga bernilai sakral dan signifikan. Menikah juga merupakan perintah-

Page 2: keluarga barokah

Nya (QS. An-Nur:32) yang berarti suatu aktifitas yang bernilai ibadah dan merupakan

Sunnah Rasul dalam kehidupan sebagaimana ditegaskan dalam salah satu hadits :

”Barangsiapa yang dimudahkan baginya untuk menikah, lalu ia tidak menikah maka tidaklah

ia termasuk golonganku” (HR.At-Thabrani dan Al-Baihaqi). Oleh karena nikah merupakan

sunnah Rasul, maka selayaknya proses menuju pernikahan, tata cara (prosesi) pernikahan dan

bahkan kehidupan pasca pernikahan harus mencontoh Rasul. Misalnya saat hendak

menentukan pasangan hidup hendaknya lebih mengutamakan kriteria ad Dien (agama/akhlaq)

sebelum hal-hal lainnya (kecantikan/ketampanan, keturunan, dan harta); dalam prosesi

pernikahan (walimatul ‘urusy) hendaknya juga dihindari hal-hal yang berlebihan (mubadzir),

tradisi yang menyimpang (khurafat) dan kondisi bercampur baur (ikhtilath). Kemudian dalam

kehidupan berumah tangga pasca pernikahan hendaknya berupaya membiasakan diri dengan

adab dan akhlaq seperti yang dicontohkan Rasulullah saw.

Menikah merupakan upaya menjaga kehormatan dan kesucian diri, artinya seorang yang telah

menikah semestinya lebih terjaga dari perangkap zina dan mampu mengendalikan

syahwatnya. Allah SWT akan memberikan pertolong-an kepada mereka yang mengambil

langkah ini; “ Tiga golongan yang wajib Aku (Allah) menolongnya, salah satunya adalah

orang yang menikah karena ingin menjaga kesucian dirinya.” (HR. Tarmidzi)

Menikah juga merupakan tangga kedua setelah pembentukan pribadi muslim (syahsiyah

islamiyah) dalam tahapan amal dakwah, artinya menjadikan keluarga sebagai ladang beramal

dalam rangka membentuk keluarga muslim teladan (usrah islami) yang diwarnai akhlak Islam

dalam segala aktifitas dan interaksi seluruh anggota keluarga, sehingga mampu menjadi

rahmatan lil ‘alamin bagi masyarakat sekitarnya. Dengan adanya keluarga-keluarga muslim

pembawa rahmat diharapkan dapat terwujud komunitas dan lingkungan masyarakat yang

sejahtera.

2. Sikap saling terbuka (Mushorohah)

Secara fisik suami isteri telah dihalalkan oleh Allah SWT untuk saling terbuka saat jima’

(bersenggama), padahal sebelum menikah hal itu adalah sesuatu yang diharamkan. Maka

hakikatnya keterbukaan itu pun harus diwujudkan dalam interaksi kejiwaan (syu’ur),

pemikiran (fikrah), dan sikap (mauqif) serta tingkah laku (suluk), sehingga masing-masing

dapat secara utuh mengenal hakikat kepribadian suami/isteri-nya dan dapat memupuk sikap

saling percaya (tsiqoh) di antara keduanya.

Hal itu dapat dicapai bila suami/isteri saling terbuka dalam segala hal menyangkut perasaan

dan keinginan, ide dan pendapat, serta sifat dan kepribadian. Jangan sampai terjadi seorang

suami/isteri memendam perasaan tidak enak kepada pasangannya karena prasangka buruk,

Page 3: keluarga barokah

atau karena kelemahan/kesalahan yang ada pada suami/isteri. Jika hal yang demikian terjadi

hal yang demikian, hendaknya suami/isteri segera introspeksi (bermuhasabah) dan

mengklarifikasi penyebab masalah atas dasar cinta dan kasih sayang, selanjutnya mencari

solusi bersama untuk penyelesaiannya. Namun apabila perasaan tidak enak itu dibiarkan

maka dapat menyebabkan interaksi suami/isteri menjadi tidak sehat dan potensial menjadi

sumber konflik berkepanjangan.

3. Sikap toleran (Tasamuh)

Dua insan yang berbeda latar belakang sosial, budaya, pendidikan, dan pengalaman hidup

bersatu dalam pernikahan, tentunya akan menimbulkan terjadinya perbedaan-perbedaan

dalam cara berfikir, memandang suatu permasalahan, cara bersikap/bertindak, juga selera

(makanan, pakaian, dsb). Potensi perbedaan tersebut apabila tidak disikapi dengan sikap

toleran (tasamuh) dapat menjadi sumber konflik/perdebatan. Oleh karena itu masing-masing

suami/isteri harus mengenali dan menyadari kelemahan dan kelebihan pasangannya,

kemudian berusaha untuk memperbaiki kelemahan yang ada dan memupuk kelebihannya.

Layaknya sebagai pakaian (seperti yang Allah sebutkan dalam QS. Albaqarah:187), maka

suami/isteri harus mampu mem-percantik penampilan, artinya berusaha memupuk kebaikan

yang ada (capacity building); dan menutup aurat artinya berupaya meminimalisir

kelemahan/kekurangan yang ada.

Prinsip “hunna libasullakum wa antum libasullahun (QS. 2:187) antara suami dan isteri harus

selalu dipegang, karena pada hakikatnya suami/isteri telah menjadi satu kesatuan yang tidak

boleh dipandang secara terpisah. Kebaikan apapun yang ada pada suami merupakan kebaikan

bagi isteri, begitu sebaliknya; dan kekurangan/ kelemahan apapun yang ada pada suami

merupakan kekurangan/kelemahan bagi isteri, begitu sebaliknya; sehingga muncul rasa

tanggung jawab bersama untuk memupuk kebaikan yang ada dan memperbaiki kelemahan

yang ada.

Sikap toleran juga menuntut adanya sikap mema’afkan, yang meliputi 3 (tiga) tingkatan,

yaitu: (1) Al ‘Afwu yaitu mema’afkan orang jika memang diminta, (2) As-Shofhu yaitu

mema’afkan orang lain walaupun tidak diminta, dan (3) Al-Maghfirah yaitu memintakan

ampun pada Allah untuk orang lain. Dalam kehidupan rumah tangga, seringkali sikap ini

belum menjadi kebiasaan yang melekat, sehingga kesalahan-kesalahan kecil dari pasangan

suami/isteri kadangkala menjadi awal konflik yang berlarut-larut. Tentu saja “mema’afkan”

bukan berarti “membiarkan” kesalahan terus terjadi, tetapi mema’afkan berarti berusaha

untuk memberikan perbaikan dan peningkatan.

4. Komunikasi (Musyawarah)

Page 4: keluarga barokah

Tersumbatnya saluran komunikasi suami-isteri atau orang tua-anak dalam kehidupan rumah

tangga akan menjadi awal kehidupan rumah tangga yang tidak harmonis. Komunikasi sangat

penting, disamping akan meningkatkan jalinan cinta kasih juga menghindari terjadinya

kesalahfahaman.

Kesibukan masing-masing jangan sampai membuat komunikasi suami-isteri atau orang tua-

anak menjadi terputus. Banyak saat/kesempatan yang bisa dimanfaatkan, sehingga waktu

pertemuan yang sedikit bisa memberikan kesan yang baik dan mendalam yaitu dengan cara

memberikan perhatian (empati), kesediaan untuk mendengar, dan memberikan respon berupa

jawaban atau alternatif solusi. Misalnya saat bersama setelah menunaikan shalat berjama’ah,

saat bersama belajar, saat bersama makan malam, saat bersama liburan (rihlah), dan saat-saat

lain dalam interaksi keseharian, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan

memanfaatkan sarana telekomunikasi berupa surat, telephone, email, dsb.

Alqur’an dengan indah menggambarkan bagaimana proses komunikasi itu berlangsung dalam

keluarga Ibrahim As sebagaimana dikisahkan dalam QS.As-Shaaffaat:102, yaitu : “Maka

tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim

berkata; Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu.

Maka fikirkanlah apa pendapatmu, Ia menjawab; Hai Bapakku, kerjakanlah apa yang

diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang

sabar”.

Ibrah yang dapat diambil dalam kisah tersebut adalah adanya komunikasi yang timbal balik

antara orang tua-anak, Ibrahim mengutarakan dengan bahasa dialog yaitu meminta pendapat

pada Ismail bukan menetapkan keputusan, adanya keyakinan kuat atas kekuasaan Allah,

adanya sikap tunduk/patuh atas perintah Allah, dan adanya sikap pasrah dan tawakkal kepada

Allah; sehingga perintah yang berat dan tidak logis tersebut dapat terlaksana dengan

kehendak Allah yang menggantikan Ismail dengan seekor kibas yang sehat dan besar.

5. Sabar dan Syukur

Allah SWT mengingatkan kita dalam Alqur’an surat At Taghabun ayat 14: ”Hai orang-orang

yang beriman, sesungguhnya diantara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi

musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka. Dan jika kamu mema’afkan dan

tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun

lagi Maha Penyayang.”

Peringatan Allah tersebut nyata dalam kehidupan rumah tangga dimana sikap dan tindak

tanduk suami/istri dan anak-anak kadangkala menunjukkan sikap seperti seorang musuh,

misalnya dalam bentuk menghalangi-halangi langkah dakwah walaupun tidak secara

Page 5: keluarga barokah

langsung, tuntutan uang belanja yang nilainya di luar kemampuan, menuntut perhatian dan

waktu yang lebih, prasangka buruk terhadap suami/isteri, tidak merasa puas dengan

pelayanan/nafkah yang diberikan isteri/suami, anak-anak yang aktif dan senang membuat

keributan, permintaan anak yang berlebihan, pendidikan dan pergaulan anak, dan sebagainya.

Jika hal-hal tersebut tidak dihadapi dengan kesabaran dan keteguhan hati, bukan tidak

mungkin akan membawa pada jurang kehancuran rumah tangga.

Dengan kesadaran awal bahwa isteri dan anak-anak dapat berpeluang menjadi musuh, maka

sepatutnya kita berbekal diri dengan kesabaran. Merupakan bagian dari kesabaran adalah

keridhaan kita menerima kelemahan/kekurangan pasangan suami/isteri yang memang diluar

kesang-gupannya. Penerimaan terhadap suami/isteri harus penuh sebagai satu “paket”, dia

dengan segala hal yang melekat pada dirinya, adalah dia yang harus kita terima secara utuh,

begitupun penerimaan kita kepada anak-anak dengan segala potensi dan kecenderungannya.

Ibaratnya kesabaran dalam kehidupan rumah tangga merupakan hal yang fundamental (asasi)

untuk mencapai keberkahan, sebagaimana ungkapan bijak berikut:“Pernikahan adalah

Fakultas Kesabaran dari Universitas Kehidupan”. Mereka yang lulus dari Fakultas Kesabaran

akan meraih banyak keberkahan.

Syukur juga merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dalam kehidupan berumah tangga.

Rasulullah mensinyalir bahwa banyak di antara penghuni neraka adalah kaum wanita,

disebabkan mereka tidak bersyukur kepada suaminya.

Mensyukuri rezeki yang diberikan Allah lewat jerih payah suami seberapapun besarnya dan

bersyukur atas keadaan suami tanpa perlu membanding-bandingkan dengan suami orang lain,

adalah modal mahal dalam meraih keberkahan; begitupun syukur terhadap keberadaan anak-

anak dengan segala potensi dan kecenderungannya, adalah modal masa depan yang harus

dipersiapkan.

Dalam keluarga harus dihidupkan semangat “memberi” kebaikan, bukan semangat

“menuntut” kebaikan, sehingga akan terjadi surplus kebaikan. Inilah wujud tambahnya

kenikmatan dari Allah, sebagaimana firmannya: Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti

Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka

sesungguhnya azab-Ku sangat pedih (QS. Ibrahim:7).

Mensyukuri kehadiran keturunan sebagai karunia Allah, harus diwujudkan dalam bentuk

mendidik mereka dengan pendidikan Rabbani sehingga menjadi keturunan yang

menyejukkan hati. Keturunan yang mampu mengemban misi risalah dien ini untuk masa

mendatang, maka jangan pernah bosan untuk selalu memanjatkan do’a:

Page 6: keluarga barokah

Ya Rabb kami karuniakanlah kami isteri dan keturunan yang sedap dipandang mata,

dan jadikanlah kami pemimpin orang yang bertaqwa.

Ya Rabb kami karuniakanlah kami anak-anak yang sholeh.

Ya Rabb kami karuniakanlah kami dari sisi Engkau keturunan yang baik.

Ya Rabb kami karuniakanlah kami dari sisi Engkau keturunan yang Engkau Ridha-i.

Ya Rabb kami jadikanlah kami dan keturunan kami orang yang mendirikan shalat.

Do’a diatas adalah ungkapan harapan para Nabi dan Rasul tentang sifat-sifat (muwashshofat)

ketuturunan (dzurriyaat) yang diinginkan, sebagaimana diabadikan Allah dalam Alqur’an

(QS. Al-Furqon:74; QS. Ash-Shaafaat:100 ; QS.Al-Imran:38; QS. Maryam: 5-6; dan QS.

Ibrahim:40). Pada intinya keturun-an yang diharapkan adalah keturunan yang sedap

dipandang mata (Qurrota a’yun), yaitu keturunan yang memiliki sifat penciptaan jasad yang

sempurna (thoyyiba), ruhaniyah yang baik (sholih), diridhai Allah karena misi risalah dien

yang diperjuangkannya (wali radhi), dan senantiasa dekat dan bersama Allah (muqiimash-

sholat).

Demikianlah hendaknya harapan kita terhadap anak, agar mereka memiliki muwashofaat

tersebut, disamping upaya (ikhtiar) kita memilihkan guru/sekolah yang baik, lingkungan yang

sehat, makanan yang halal dan baik (thoyyib), fasilitas yang memadai, keteladanan dalam

keseharian, dsb; hendaknya kita selalu memanjatkan do’a tersebut.

6. Sikap yang santun dan bijak (Mu’asyarah bil Ma’ruf)

Merawat cinta kasih dalam keluarga ibaratnya seperti merawat tanaman, maka pernikahan

dan cinta kasih harus juga dirawat agar tumbuh subur dan indah, diantaranya dengan

mu’asyarah bil ma’ruf. Rasulullah saw menyatakan bahwa : “Sebaik-baik orang diantara

kamu adalah orang yang paling baik terhadap isterinya, dan aku (Rasulullah) adalah orang

yang paling baik terhadap isteriku.” (HR.Thabrani & Tirmidzi)

Sikap yang santun dan bijak dari seluruh anggota keluarga dalam interaksi kehidupan

berumah tangga akan menciptakan suasana yang nyaman dan indah. Suasana yang demikian

sangat penting untuk perkembangan kejiwaan (maknawiyah) anak-anak dan pengkondisian

suasana untuk betah tinggal di rumah.

Ungkapan yang menyatakan “Baiti Jannati” (Rumahku Syurgaku) bukan semata dapat

diwujudkan dengan lengkapnya fasilitas dan luasnya rumah tinggal, akan tetapi lebih

disebabkan oleh suasana interaktif antara suami-isteri dan orang tua-anak yang penuh santun

dan bijaksana, sehingga tercipta kondisi yang penuh keakraban, kedamain, dan cinta kasih.

Sikap yang santun dan bijak merupakan cermin dari kondisi ruhiyah yang mapan. Ketika

kondisi ruhiyah seseorang labil maka kecenderungannya ia akan bersikap emosional dan

Page 7: keluarga barokah

marah-marah, sebab syetan akan sangat mudah mempengaruhinya. Oleh karena itu

Rasulullah saw mengingatkan secara berulang-ulang agar jangan marah (Laa tagdlob). Bila

muncul amarah karena sebab-sebab pribadi, segeralah menahan diri dengan beristigfar dan

mohon perlindungan Allah (ta’awudz billah), bila masih merasa marah hendaknya berwudlu

dan mendirikan shalat. Namun bila muncul marah karena sebab orang lain, berusahalah tetap

menahan diri dan berilah ma’af, karena Allah menyukai orang yang suka mema’afkan.

Ingatlah, bila karena sesuatu hal kita telanjur marah kepada anak/isteri/suami, segeralah

minta ma’af dan berbuat baiklah sehingga kesan (atsar) buruk dari marah bisa hilang.

Sesungguhnya dampak dari kemarahan sangat tidak baik bagi jiwa, baik orang yang marah

maupun bagi orang yang dimarahi.

7. Kuatnya hubungan dengan Allah (Quwwatu shilah billah)

Hubungan yang kuat dengan Allah dapat menghasilkan keteguhan hati (kemapanan ruhiyah),

sebagaimana Allah tegaskan dalam QS. Ar-Ra’du:28. “Ketahuilah dengan mengingat Allah,

hati akan menjadi tenang”. Keberhasilan dalam meniti kehidupan rumah tangga sangat

dipengaruhi oleh keteguhan hati/ketenangan jiwa, yang bergantung hanya kepada Allah saja

(ta’alluq billah). Tanpa adanya kedekatan hubungan dengan Allah, mustahil seseorang dapat

mewujudkan tuntutan-tuntutan besar dalam kehidupan rumah tangga. Rasulullah saw sendiri

selalu memanjatkan do’a agar mendapatkan keteguhan hati: “Yaa muqollibal quluub tsabbit

qolbiy ‘alaa diinika wa’ala thoo’atika” (wahai yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah

hatiku untuk tetap konsisten dalam dien-Mu dan dalam menta’ati-Mu).

Keteguhan hati dapat diwujudkan dengan pendekatan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah),

sehingga ia merasakan kebersamaan Allah dalam segala aktifitasnya (ma’iyatullah) dan selalu

merasa diawasi Allah dalam segenap tindakannya (muraqobatullah). Perasaan tersebut harus

dilatih dan ditumbuhkan dalam lingkungan keluarga, melalui pembiasaan keluarga untuk

melaksanakan ibadah nafilah secara bertahap dan dimutaba’ah bersama, seperti : tilawah,

shalat tahajjud, shaum, infaq, do’a, ma’tsurat, dll. Pembiasaan dalam aktifitas tersebut dapat

menjadi sarana menjalin keakraban dan persaudaraan (ukhuwah) seluruh anggota keluarga,

dan yang penting dapat menjadi sarana mencapai taqwa dimana Allah swt menjamin orang-

orang yang bertaqwa, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Ath-Thalaaq: 2-3.

“Barangsiapa bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan bagi-nya jalan keluar

(solusi) dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan barangsiapa yang

bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupi (keperluan) nya.”

Wujud indahnya keberkahan keluarga

Page 8: keluarga barokah

Keberkahan dari Allah akan muncul dalam bentuk kebahagiaan hidup berumah tangga, baik

kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Kebahagiaan di dunia, boleh jadi tidak selalu identik

dengan kehidupan yang mewah dengan rumah dan perabotan yang serba lux. Hati yang selalu

tenang (muthma’innah), fikiran dan perasaan yang selalu nyaman adalah bentuk kebahagiaan

yang tidak bisa digantikan dengan materi/kemewahan.

Kebahagiaan hati akan semakin lengkap jika memang bisa kita sempurnakan dengan 4

(empat) hal seperti dinyatakan oleh Rasulullah, yaitu : (1) Isteri yang sholihah, (2) Rumah

yang luas, (3) Kendaraan yang nyaman, dan (4) Tetangga yang baik.

Kita bisa saja memanfaatkan fasilitas rumah yang luas dan kendaraan yang nyaman tanpa

harus memiliki, misalnya di saat-saat rihlah, safar, silaturahmi, atau menempati rumah dan

kendaraan dinas. Paling tidak keterbatasan ekonomi yang ada tidak sampai mengurangi

kebahagiaan yang dirasakan, karena pemilik hakiki adalah Allah swt yang telah menyediakan

syurga dengan segala kenikmatan yang tak terbatas bagi hamba-hamba-Nya yang bertaqwa,

dan menjadikan segala apa yang ada di dunia ini sebagai cobaan.

Kebahagiaan yang lebih penting adalah kebahagiaan hidup di akhirat, dalam wujud

dijauhkannya kita dari api neraka dan dimasukkannya kita dalam syurga. Itulah hakikat

sukses hidup di dunia ini, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-Imran : 185

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah

disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan kedalam

syurga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah

kesenangan yang memperdayakan.”

Selanjutnya alangkah indahnya ketika Allah kemudian memanggil dan memerintahkan kita

bersama-sama isteri/suami dan anak-anak untuk masuk kedalam syurga; sebagaimana

dikhabarkan Allah dengan firman-Nya:

“Masuklah kamu ke dalam syurga, kamu dan isteri-isteri kamu digembirakan”. (QS, Az-

Zukhruf:70)

“Dan orang-orang yang beriman dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam

keimanan, kami hubungkan (pertemukan) anak cucu mereka dengan mereka (di syurga), dan

Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan

apa yang dikerjakannya. (QS. Ath-Thuur:21).

Inilah keberkahan yang hakiki. []

Redaktur: Samin Barkah, Lc., ME

Page 9: keluarga barokah