Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

100
LAPORAN PENELITIAN TENTANG INTERAKSI SOSIAL KELOMPOK ALIRAN ISLAM MINORITAS DALAM MASYARAKAT DI BERBAGAI DAERAH DI JAWA TENGAH BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PROVINSI JAWA TENGAH 2008

description

Uploaded from Google Docs

Transcript of Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

Page 1: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

LAPORAN PENELITIAN TENTANG INTERAKSI SOSIAL

KELOMPOK ALIRAN ISLAM MINORITAS DALAM MASYARAKAT DI BERBAGAI DAERAH

DI JAWA TENGAH

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

PROVINSI JAWA TENGAH 2008

Page 2: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

1

ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini adalah : a). Mendeskripsikan interaksi sosial kelompok aliran Islam Minoritas dalam kegiatan sosial keagamaan, sosial kemasyarakatan, dan hubungannya dengan pemerintah, b). Mendeskripsikan faktor pendukung dan penghambat kelompok aliran Islam minoritas dalam berinteraksi sosial pada berbagai kegiatan dengan komunitasnya, baik dilihat dari internal aliran tersebut maupun dari pihak eksternal, c). Mendeskripsikan pola pembinaan terhadap kelompok aliran Islam minoritas yang dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat. Penelitian menggunakan pendekatan deskripsi kualitatif dalam menganalisis interaksi sosial pada lima kelompok aliran di enam lokasi kabupaten/kota Jawa Tengah. Hasil dari penelitian ini adalah: Secara umum interaksi sosial aliran Islam minoritas di tengah-tengah masyarakat di Jawa Tengah cukup kondusif, baik interaksi ini dilihat dari interaksi sosial keagamaan, interaksi sosial kemasyarakatan maupun interaksi sosial politik (Pemerintah). Masih terjadi kemungkinan pengerasan paham internal keagamaan pada beberapa kelompok namun stabilitas kerukunan antarumat Islam masih terjaga karena adanya interaksi sosial kemasyarakatan yang kondusif meskipun perlu peningkatan partisipasi aktif anggota aliran dalam interaksi sosial pemerintahan. Terdapat potensi pendukung dan penghambat interaksi sosial secara internal dan eksternal. Pola pembinaan yang ada masih berada dalam tataran internal dan eksternal masih belum ada agenda yang berkelanjutan. Rekomendasi yang diberikan : a). Peningkatan komunikasi, pemutahiran informasi, peningkatan keterlibatan kelompok minoritas dalam kegiatan-kegiatan sosial pemerintahan; b). Pengembangan potensi dan pengurangan hambatan dengan memfasilitasi aktivitas komunikasi lintas aliran Islam; dan c). Peningkatan intensitas komunikasi dan koordinasi untuk meningkatkan pemberdayaan kelompok Islam minoritas. Kata Kunci : Aliran Islam Minoritas, Interaksi Sosial

Page 3: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

2

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ditengah-tengah situasi bangsa Indonesia untuk bangkit dari segala

aspek keterpurukan, baik sosial, politik, budaya maupun keagamaan, maka

stabilitas nasional merupakan salah satu kunci pokok dalam mewujudkan cita-

cita masyarakat yang makmur, sejahtera lahir maupun batin. Stabilitas

nasional pada saat era reformasi ternyata masih sering diuji dengan munculnya

kelompok-kelompok tertentu yang kurang puas atau yang berbeda afiliasi

politik maupun keagamaannya.

Realitas empirik yang terjadi dewasa ini, khususnya dalam kehidupan

masyarakat muslim di Indonesia banyak bermunculan kelompok aliran.

Eksistensi kelompok-kelompok aliran tersebut mendapat simpati dan diikuti

oleh sebagian umat Islam. Hal tersebut tidak terlepas dari keterbukaan dan

kebebasan mengapresiasikan kebutuhan spiritual dalam berbagai dimensi

keagamaan.

Khusus di Jawa Tengah, aliran-aliran yang muncul secara keseluruhan

lebih kurang 93 aliran yang menyebar di seluruh ibukota Kabupaten/Kota.

Sedangkan yang termasuk aliran Islam minoritas lebih dari 10 aliran.1 Hal ini

berbeda dengan organisasi Islam yang telah mencapai 34 organisasi

keagamaan Islam.2 Dan pada organisasi Islam itu sendiri terdapat organisasi

yang identik dengan aliran atau bahkan telah menjadi aliran tersendiri, seperti

LDII dan Gerakan Ahmadiyah Indonesia.

Terdapat tiga segi dalam agama Islam, yaitu segi muamalat (interaksi

sosial), ubudiyyat (ritual) dan ilahiyyat (teologi). Segi muamalat (interaksi

1 Muzayanah, Umi & A.M. Wibowo. Peta Keagamaan Provinsi Jawa Tengah. Balitbang Agama Semarang. 2007. Halaman 50. Dalam laporan hasil penelitian ini hanya memfokuskan pada data yang terdapat pada kejaksaan Tinggi Provinsi Jawa Tengah dan masih ada beberapa organisasi keagamaan maupun aliran yang belum tercover, seperrti Hizbut Tahrir di berbagai Kota/Kabupaten, aliran Syekh Kanjeng Patih Kalajanggel di Kabupaten Brebes, Syahadatain, Qur’an suci di Kabupaten Banyumas, Syi’ah di Kota Pekalongan, Jama’ah Tabligh di Magelang,dll. 2 ibid., Halaman 39.

Page 4: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

3

sosial) tidak dapat dilepaskan dari aspek ”psikologi mayoritas-minoritas"3.

Psikologi semacam itu pada dasarnya mencerminkan kompleks psikologis

yang muncul, berkembang, dan bertahan dalam pengalaman interaksi yang

panjang; dan ia juga menggambarkan ketakutan-ketakutan yang ada dalam

sebuah masyarakat agama vis-a-vis komunitas keagamaan lain yang berbeda.

Psikologi ”kenangan bersama" (collective memory) aliran keagamaan muncul

berkaitan dengan cara pandang yang mendasari pemahaman dan sikap

keagamaan, juga berkaitan erat dengan corak kepribadian masyarakat

pemeluknya. Kepribadian masyarakat dalam suatu sisi akan melahirkan

pelunakan-pelunakan oleh paham keagamaan yang menjunjung tinggi nilai-

nilai toleransi dan moderasi. Tetapi pada sisi yang lain, kepribadian yang

cenderung membatasi diri dalam interaksi akan melahirkan pengerasan budaya

dan keyakinan apalagi jika ada faktor-faktor kasat mata yang berbeda dengan

perilaku umum semisal kasus amuk massa yang terjadi di Desa Brayo,

Kecamatan Wonotunggal, Kabupaten Batang pada tahun 2000. Massa yang

berasal dari desa Brayo, Brotoh, Siwatu dan Wonotunggal serta dari Buaran

kota Pekalongan secara spontan mendatangi pondok pesantren Al-Hadi.

Kedatangan massa yang diperkirakan mencapai ribuan orang itu, tanpa ada

komando yang jelas secara bersama-sama menyerang lokasi kejadian dengan

melempari gedung pondok pesantren dan rumah pengurus yang berada di

sekitar pondok. Contoh lain munculnya kekerasan yang mengatasnamakan

agama berupa aksi perusakan oleh massa terhadap komunitas Ahmadiyah

Kuningan Jawa Barat dan berbagai daerah lain yang bersamaan dengan Idul

adha 1428 H merupakan fenomena yang terkait dengan konflik keyakinan dan

soal kekerasan keberagamaan. Potensi kegelisahan di tengah masyarakat

termanifestasi dalam perilaku kekerasan terhadap kelompok lain. Hal tersebut

bisa mengancam iklim kondusif suatu daerah, begitupun dengan Jawa Tengah

yang cukup memiliki deferensiasi kelompok aliran umat beragama.

Secara normatif, Islam adalah agama rahmah, menjunjung tinggi

keadilan, kemanusiaan dan kesetaraan. Tidak ada sekat-sekat kultural, sosial, 3 Azra, Azyumardi. Psikologi Minoritas-Mayoritas. Gatra Edisi Khusus September 2008.

Page 5: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

4

apalagi ideologis yang memisahkan interaksi sosial. Interaksi sosial yang

terbuka memungkinkan manusia memiliki keimanan dan beragama dengan

baik. Keislaman dan keimanan seseorang tidak terganggu serta dapat

beribadah dengan tenang. Masyarakat akan harmonis dengan sikap dan

kehidupan yang toleran, damai dan terbuka dengan para tetangga, tanpa

prasangka dan curiga.

Islam mengagungkan sikap cinta damai (Q.S. 8: 61) dan manusiawi

(Q.S. 17: 70 dan 95: 4) sehingga dalam berinteraksi sosial manusia diajak

untuk dapat memilah antara persoalan tuntutan kemanusiaan yang bersifat

profane dengan masalah keimanan yang bersifat teologis dan sakral. Nabi

Muhammad menyatakan bahwa, Antum a’lamu biumuurid dunyakum (Engkau

lebih mengerti dalam urusan duniamu). Manusia diberi kepercayaan oleh

Allah SWT untuk mengatur dan membina realitas sosial sesuai kreatifitas dan

konteksnya masing-masing. Artinya, ada ruang toleransi bagi munculnya

keragaman pemahaman terhadap teks-teks agama sepanjang penafsiran

tersebut tidak bertentangan dengan bangunan dasar dari agama.4 Sementara

itu, apabila melihat realitas di masyarakat masih terdapat persoalan perbedaan

interpretasi yang mengarah pada eksklusivisme beragama.

Ajaran Islam diyakini sebagai ajaran yang shoheh fii kulli zamanin wa

makanin (benar di setiap waktu dan tempat), hal ini hanya dapat dibuktikan

jika umat Islam mampu melakukan aktualisasi dan kontekstualisasi karena

dengan cara ini, ajaran Islam bisa dioperasionalkan dalam kondisi apapun dan

saat kapanpun. Nabi Muhammad SAW melihat persoalan kemanusiaan dari

perspektif hubungan antarmanusia (Hablul-minan-naasi) bukan dari perspektif

teologis dan keimanan saja. Perbedaan keimanan bukan menjadi penghalang

melakukan interaksi sosial. Seperti yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad

SAW terhadap orang kafir yang pernah menyakiti, Nabi tetap mau besuk dan

mendoakan, apalagi terhadap tetangga, relasi, dan kawan baik yang tidak

pernah mengganggu.

4 Puslitbang Kehidupan Beragama Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI,

Jurnal Harmoni: Pemikiran dan Gerakan Keagamaan di Indonesia, volume IV, Nomor 13, Januari-Maret, hal. 9

Page 6: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

5

Sikap yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW di atas tidak akan

mengurangi nilai keunggulan ajaran Islam atau merusak keimanan. Bahkan

sebaliknya ajaran Islam justru akan terlihat jika perilaku dan akhlak sosial

umat Islam bisa memberikan ketenangan, ketentraman dan kedamaian kepada

orang lain. Begitu juga kekaguman orang lain kepada suatu aliran dalam Islam

akan muncul jika pengikut aliran tersebut mampu bersikap elegan dan

simpatik dan sebaliknya apabila suatu aliran dalam Islam minim peran di

masyarakat yang didasarkan pada sikap sentimen yang dangkal dan emosional,

serta penuh prasangka, maka akan mengganggu proses interaksi sosial

sekaligus mengkerdilkan ajaran Islam yang mulia dan universal.

Berpijak pada penafsiran pada ajaran Islam yang memihak kepada

kaum yang tertindas dan dipinggirkan, maka setiap struktur sosial yang

mempertahankan praktik ketidakadilan terhadap golongan adalah berlawanan

dengan semangat Islam. Kondisi interaksi sosial yang tidak harmonis

merupakan hambatan bagi realisasi kesetaraan umat beragama, oleh karena itu

faktor-faktor yang menyebabkan permasalahan tersebut muncul harus

diidentifikasi agar dapat diubah dengan semangat relegio-etik. Dengan

demikian, Islam akan hidup dan berkembang menjadi bagian dari peradaban

kemanusiaan.

Ancaman pelemahan peran Islam melalui munculnya aliran minoritas

yang bersifat eksklusif dan memiliki sentimen agama yang kuat dan

memunculkan sikap ketidak tenangan dan ketidak tenteraman dalam

masyarakat seharusnya menjadi tumpuan perhatian pemerintah dan masyarakat

untuk mengubah interaksi yang tidak setara (mayoritas) menjadi kondisi yang

setara agar tidak justru melumpuhkan peran Islam dalam kehidupan

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Untuk menguak secara mendalam

realitas interaksi sosial kelompok-kelompok aliran pada kehidupan

masyarakat dapat dilihat dari beberapa aspek yang dalam penelitian ini

terfokus pada interaksi dalam kegiatan sosial keagamaan, sosial

kemasyarakatan, dan sosial politik (pemerintah).

Bertolak dari tiga aspek interaksi sosial tersebut, maka penelitian ini

juga diharapkan mampu mengidentifikasi potensi dan hambatan interaksional

Page 7: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

6

serta merumuskan formulasi pola pembinaan kelompok aliran Islam itu dalam

kehidupan masyarakat di Jawa Tengah.

B. Rumusan Masalah

Bertolak dari pemikiran dalam latarbelakang di atas, maka dapat

dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah interaksi sosial kelompok aliran Islam minoritas di

berbagai daerah di Jawa Tengah?

2. Apakah faktor pendukung dan penghambat kelompok aliran Islam

minoritas dalam melakukan interaksi sosial dengan komunitasnya?

3. Bagaimana pola pembinaan terhadap kelompok aliran Islam minoritas?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Mendeskripsikan interaksi sosial kelompok aliran Islam Minoritas dalam

kegiatan sosial keagamaan, sosial kemasyarakatan, dan hubungannya

dengan pemerintah.

2. Mendeskripsikan faktor pendukung dan penghambat kelompok aliran

Islam minoritas dalam berinteraksi sosial pada berbagai kegiatan dengan

komunitasnya. baik dilihat dari internal aliran tersebut maupun dari pihak

eksternal

3. Mendeskripsikan pola pembinaan terhadap kelompok aliran Islam

minoritas yang dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat.

D. Manfaat

1. Meningkatkan pemahaman mengenai aliran Islam sebagai bahan

menetapkan kebijakan pembinaan terhadap kelompok-kelompok aliran-

aliran Islam Minoritas dalam masyarakat terkait dengan sistem interaksi

sosial keagamaan, kemasyarakatan, dan hubungannya dengan pemerintah.

2. Meningkatkan pemahaman potensi/faktor pendukung dan penghambat

interaksional internal aliran Islam Minoritas dalam perkembangannya di

berbagai daerah di Jawa Tengah.

3. Diketahuinya pola pembinaan terhadap kelompok aliran Islam Minoritas di

masyarakat.

Page 8: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

7

E. Hasil yang Diharapkan

Adanya data dan kajian penelitian untuk rekomendasi tentang upaya

pembinaan terhadap kelompok-kelompok aliran minritas Islam di masyarakat

dan mengurangi hambatan aliran agama Islam dalam interaksi sosial.

F. Alur Pikir Penelitian

Sosial Politik (Pemerintah)

Kelompok Aliran

Sosial Kemasyarakatan

Sosial Keagamaan

Potensi Kelompok

Hambatan kelompok

KERUKUNAN, TOLERANSI, PARTISIPASI

Pola Pembinaan

Interaksi Sosial

Page 9: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

8

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Interaksi Sosial Aliran Islam

Kata interaksi berasal dari bahasa Inggris “interaction” yang berarti

intermediate action, action on each other, reciprocal action or effect

(Tindakan yang berlanjut, tindakan satu sama lain, tindak lanjut).5 Adapun

yang dimaksud dalam penelitian ini adalah interaksi atau tindakan secara

timbal balik dan berlangsung kontinyu kelompok aliran Islam minoritas

dengan komunitasnya dalam beberapa aspek, yaitu dalam kegiatan sosial

keagamaan, sosial kemasyarakatan dan hubungannya dengan pemerintah.

Kelompok secara harfiah berarti beberapa orang yang berkumpul

menjadi satu.6 Yang dimaksud dengan kelompok dalam penelitian ini adalah

kelompok aliran Islam minoritas yang eksistensinya dalam komunitas

(masyarakat) merupakan jumlah yang relatif lebih sedikit anggotanya

dibandingkan dengan yang lain.7 Kelompok juga berarti golongan-golongan

dalam masyarakat yang berada dihadapan golongan-golongan yang lebih kuat

dan mempunyai kedududukan sosial lebih rendah, kekuasaan, martabat dan

hak yang dibatasi.

Kelompok yang berada dalam masyarakat realitas sosialnya sering

dikucilkan dan menjadi sasaran diskriminasi karena memang atau dianggap

mempunyai perbedaan-perbedaan jasmaniah, budaya dan sosial. Kelompok

seperti itu disebut marginal group yaitu kelompok yang terdiri dari orang-

orang yang mempunyai kedudukan rendah.8 Kelompok aliran dalam

pembahasan ini dipahami sebagai suatu kelompok yang eksisitensinya

merupakan pihak second social dalam struktur kemasyarakatan.

5 Simo & Schuster, Webster Dictionary, Published by New World Dictionary, Printed in The United State

of America. 1972. hal. 955. 6 Poerwadarminto, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN. Balai Pustaka,. 1976. hal. 469. 7 Dewan Redaksi Ensiklopedi Indonesia, Ensiklopedi Indonesia. Pn.PT. Ichtiar Baru – Van Hoeve.

Jakarta. t.t., hal. 2.257. 8 Hendropuspito, D. OC., Sociologi Sistematik, Pn. Kanisius. Yogjakarta. 1989. hal. 74.

Page 10: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

9

Masyarakat merupakan kesatuan terbesar dari manusia-manusia yang

saling bekerjasama untuk memenuhi kebutuhan bersama atas dasar

kebudayaan yang sama.9 Masyarakat lingkupnya lebih luas dari pada lingkup

kelompok sosial. Adapun yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah

masyarakat muslim. Lebih lanjut yang menjadi fokus penelitian ini adalah

interaksi kelompok aliran dalam kegiatan sosial keagamaan, sosial

kemasyarakatan, dan pemerintah.

Kehidupan beragama menurut konsep Wach memandang agama

merupakan suatu sistem kepercayaan, mempunyai suatu sistem kaidah yang

mengikat penganutnya atau peribadatan dan mempunyai sistem perhubungan

dan interaksi sosial atau kemasyarakatan.10 Agama bukan hanya dipandang

sebagai seperangkat aturan mutlak yang datangnya dari Allah, akan tetapi

dipandang sebagai perangkat aturan yang ada di tengah-tengah masyarakat.

Setiap pemeluk agama terikat oleh suatu ajaran tertentu, maka akan

terbentuklah kelompok-kelompok agama tertentu. Bila dalam kehidupan

masyarakat terdapat beberapa pemeluk agama yang berlainan, maka akan

terbentuk pula kelompok-kelompok keagamaan yang berbeda. Kelompok-

kelompok keagamaan tersebut berkembang secara alamiah dan adakalanya

sengaja dibentuk dalam konteks sosial politik tertentu. Masing-masing

kelompok keagamaan tersebut mempunyai aktivitas-aktivitas, yang tidak

hanya dalam aspek peribadatan saja, melainkan juga dalam aspek sosial seperti

kemasyarakatan dan sosial politik.

Kelompok keagamaan tersebut saling berhubungan satu dengan

lainnya. Hubungan ini merupakan suatu proses interaksi sosial, yakni

hubungan timbal balik antara perorangan, antara orang perorangan dengan

kelompok, atau kelompok dengan kelompok dalam masyarakat.11 Naluri ini

merupakan salah satu kebutuhan manusia yang paling mendasar untuk

memenuhi kebutuhan hidupnya. Upaya manusia dalam rangka memenuhi

9 Soekanto, Soerjono. Kamus Sosiologi, CV Rajawali. Jakarta. 1985. hal. 211. 10 Wach, Joachim. Sociology Of Religio, The University Of Cichago Press, London, 1964. Dikutip oleh

D. Hendro Puspito, O.C. dalam Sosiologi Agama, Kanisius, Malang, 1984, hal. 35 11 Ishomuddin, DR., Sosiologi Perspektif Islam, Universitas Muhammadiyah Malang, Malang, 2005, hal.

163.

Page 11: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

10

kebutuhan-kebutuhan hidupnya dilakukan melalui proses sosial yang disebut

interaksi sosial, yaitu hubungan timbal-balik antara orang perorang, antara

orang perorang dengan kelompok, atau kelompok dengan kelompok dalam

masyarakat.12 Interaksi sosial tersebut dibentuk oleh harapan dan respon dari

dan terhadap orang lain sehingga selalu membentuk kehidupan sosial.13

Sedangkan istilah yang sering dipakai untuk menunjukkan subyek

orang dan juga dipergunakan untuk menunjuk pada sekelompok orang yang

menjadi sasaran diskriminasi sering dikaitkan dengan perbandingan jumlah

suatu kelompok yang lebih kecil dengan kelompok yang lebih besar. Di sinilah

muncul golongan yang tidak terlepas dari adanya kelompok dominan.

Pengertian kelompok juga sering didekati dengan size (jumlah) dan power

(kekuasaan).14 Dengan karakteristik antara lain; Pertama, golongan merupakan

segmen dari subordinat dalam suatu entitas yang kompleks. Kedua, golongan

memiliki perilaku yang berbeda dan unsur-unsur kebudayaan yang dimilikinya

dan dinilai lebih rendah oleh golongan mayoritas. Ketiga, bahwa golongan

memiliki kesadaran akan dirinya merupakan suatu kesatuan dengan ciri-ciri

tertentu.15 Berangkat dari karakteristik golongan atau kelompok inilah yang

memberikan pemahaman dalam tulisan ini secara komprehensif, bahwa

kelompok atau golongan yang tidak dominan dengan ciri khas aliran dari

agama tertentu yang berbeda dari agama mayoritas penduduk.

B. Potensi Kerjasama dan Hambatan Aliran Islam Minoritas

Proses interaksi sosial yang terjadi di masyarakat merupakan

fenomena yang dinamis dari kehidupan masyarakat. Menurut Kimball Young,

bahwa bentuk-bentuk interaksi sosial yang berada di masyarakat dapat

dibedakan menjadi dua komponen, yakni kerja sama dan oposisi. Interaksi

sosial yang bersifat kerja sama akan melahirkan asimilasi, sedangkan interaksi

12 Ishomuddin, Sosiologi Perspektif Islam. Universitas Muhammadiyah. Malang. 2005. hal. 162-163 13 Puslitbang Kehidupan Beragama Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama

RI, Jurnal Harmoni: Dinamika Agama-gama di Indonesia , volume II, Nomor 8, Oktober-Desember, hal. 14-15.

14 Schermerhorn, R.A., Comparative Ethnic Relations: A Framework of Theory and Research, Random House, New York, 1970, hal. 13

15 ibid

Page 12: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

11

dalam bentuk oposisi akan melahirkan persaingan dan pertentangan.16 Kerja

sama pada tataran praktis adalah apabila orang menyadari bahwa mereka

mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama dan pada saat bersamaan

mempunyai cukup pengetahuan dan mengendalikan terhadap diri sendiri.

Bentuk kerja sama yang dapat dilihat antara lain: 1) Gotong royong; 2)

Bargaining, yakni pelaksanaan perjanjian mengenai pertukaran barang-barang

dan jasa-jasa antara dua organisasi atau lebih.17

Pada sisi yang lain, interaksi sosial dalam bentuk kerja sama tersebut

juga akan melahirkan asimilasi, yaitu suatu proses sosial yang ditandai dengan

adanya usaha mengurangi perbedaan yang terdapat pada orang perorangan

atau kelompok-kelompok manusia dan juga berusaha untuk mempertinggi

kesatuan tindak, sikap dan proses mental dengan memperhatikan kepentingan-

kepentingan dan tujuan bersama. Proses asimilasi akan timbul bila ada: 1)

kelompok manusia yang berbeda kebudayaannya; 2) orang perorang sebagai

warga kelompok-kelompok itu saling bergaul secara langsung dan intensif

untuk waktu yang lama; 3) kebudayaan dari kelompok-kelompok manusia

tersebut masing-masing berubah dan saling menyesuaikan diri.18

Menurut Soerjono Soekanto, bahwa faktor yang dapat mempermudah

terjadinya suatu asimilasi antara lain adalah: toleransi, memiliki kesempatan di

bidang ekonomi yang seimbang, sikap menghargai orang asing dengan

kebudayaannya, sikap yang terbuka dari golongan yang berkuasa dalam

masyarakat, persamaan dalam unsur-unsur kebudayaan, perkawinan campuran,

dan adanya musuh bersama dari luar.19

Adapun interaksi sosial dalam bentuk oposisi dibagi menjadi dua,

yaitu persaingan dan pertentangan. Oposisi itu sendiri dapat diartikan sebagai

cara berjuang melawan seseorang atau kelompok, untuk mencapai suatu tujuan

tertentu. Persaingan yang lahir dari sebuah oposisi merupakan suatu

16 Kimball Young, Social Cultural Process, dalam Selo Sumarjan, Setangkai Bunga Sosiologi, Fakultas

Ekonomi UI, Jakarta, 1986. Hal. 220. 17 James D. Homson - William, J. Mc Ewen, Organizational Goals Enviroment: Goal Setting As An

Interaction Process, dalam Selo Sumarjan, Ibid., hal. 235-245. 18 Clifford Geertz, Konflik Dan Konfigurasi, dalam Roland Robertson, Agama, Analisa Dan Interpretasi

Sosiologi, terjemahan AF Saifuddin, Rajawali, Jakarta, hal. 215-219. 19 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Penerbit Rajawali, Jakarta, 1986, hal. 70.

Page 13: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

12

perjuangan sosial yang dilakukan oleh individu atau kelompok untuk damai

atau tidak dengan kekuasaan.20 Sedangkan pertentangan merupakan suatu

perjuangan yang dilakukan oleh individu atau kelompok untuk mencapai

tujuan tertentu dengan jalan melukai atau menghancurkan pihak lawan.21

Interaksi sosial dalam bentuk akomodasi adalah suatu usaha manusia

untuk meredakan suatu pertentangan, yaitu usaha untuk mencapai kestabilan.

Bentuk akomodasi adalah 1) Kursif, yakni bentuk akomodasi yang prosesnya

dilaksanakan oleh karena adanya paksaan, dan biasanya salah satu pihak

berada dalam posisi yang lemah; 2) Kompromi ialah dimana pihak yang

terlibat masing-masing mengurangi tuntutannya, agar tercapai suatu

penyelesaian terhadap perselisihan yang ada; 3) Toleransi merupakan bentuk

akomodasi tanpa menggunakan persetujuan yang formal; 4) Arbitrasi ialah

suatu suatu cara untuk mencapai kompromi apabila pihak yang berhadapan

masing-masing tidak sanggup untuk mencapai sendiri, sehingga ada pihak

ketiga yang netral yang bisa mendamaikan.22

Sementara itu, interaksi sosial yang tidak kondusif dan melahirkan

sebuah pertentangan bahkan pada tataran tertentu menjadikan konflik dapat

diakibatkan oleh berbagai faktor. Faktor yang dapat mempertajam konflik

tersebut adalah karena adanya perbedaan ideologi yang mendasar, karena rasa

tidak senang terhadap nilai-nilai kelompok-kelompok lain, adanya perbedaan

dan makin meningkatnya mobilitas status yang cenderung memaksakan kontak

di antara individu-individu dan atau kelompok-kelompok, dan makin

intensifnya perjuangan politik yang cenderung menyuburkan perbedaan agama

dengan kepentingan politik. Adapun faktor-faktor yang meredakannya adalah

adanya perasaan memiliki satu kebudayaan dan adanya toleransi umum yang

didasarkan atas suatu relativisme kontekstual yang menganggap nilai-nilai

tertentu sesuai dengan konteksnya.23

20 Kimball Young, Social Cultur Process, dalam Selo Sumarjan Op.cit., hal. 192. 21 ibid., hal. 193. 22 Kimball Young, Op.cit., hal. 235 – 245. 23 Geertz, Clifford. Konflik Dan Konfigurasi, dalam Roland Robertson, Agama, Analisa dan Interpretasi

Sosiologi, terjemahan AF Saifuddin, Rajawali, Jakarta, hal. 207.

Page 14: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

13

C. Pembinaan Kerukunan, Toleransi, dan Partisipasi

Pluralisme di Indonesia merupakan keniscayaan yang tidak bisa

ditawar-tawar lagi, baik dari kesukuan maupun dari keyakinan beragama.

Bahkan pada tataran satu agamapun masih terdapat bagian-bagian atau

kelompok-kelompok yang tidak sefaham. Kebhinekaan inilah yang selamanya

dapat dipersatukan agar terjadi interaksi sosial yang baik dan tercipta

kerukunan umat beragama yang solid. Kerukunan umat beragama yang

dimaksud adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi

toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam

pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat,

berbangsa dan bernegara di dalam negara kesatuan Republik Indonesia

berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.24

Realitasnya sering kemajemukan”perbedaan” tidak mengarah pada

sebuah kerukunan yang pada akhirnya menjadi sebuah kekuatan, akan tetapi

memunculkan sebuah konflik yang dipicu oleh berbagai perbedaan yang ada

pada masyarakat. Sebagai contoh adalah di rusaknya mushalla LDII di Jember

atau dibubarkannya Tarekat Wahidiyah di Jawa Barat dan dibakarnya masjid

Ahmadiyah di Sukabumi. Padahal, apabila dicermati secara mendalam, setiap

agama juga mengajarkan kepada umatnya untuk mengasihi sesama makhluk

hidup dan bersikap positif terhadap alam. Hanya saja agama-agama sering kali

dipahami secara sempit dan eksklusif oleh penganutnya dan disertai perasaan

curiga yang berlebihan terhadap penganut agama lain maupun kelompok lain,

sehingga mengakibatkan terjadinya berbagai macam konflik di masyarakat.

Sementara itu, sikap fanatisme yang berlebihan di kalangan penganut agama

masih sangat dominan sehingga dapat menimbulkan disharmoni yang

merugikan semua pihak, termasuk kelompok penganut agama.25

Hubungan pengaruh mempengaruhi antar agama dengan masyarakat

pada gilirannya melahirkan sikap dan perilaku keagamaan yang bersifat

24 Peraturan Bersama Menteri Agama dan Mendagri Nomor 9 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pelaksanaan

Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama Dan Pendirian Tempat Ibadah.

25 Victor, Y. Tanja, Pluralisme Agama Dan Problem Sosial, 1998, Pustaka Cide Sindo, Jakarta, halaman xx.

Page 15: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

14

dikotomik, yaitu Pertama, sikap dan tingkah laku yang moderat, yakni

memperlihatkan keluwesan baik pada cara berpikir maupun pada perwujudan

tingkah laku, Kedua, sikap dan tingkah laku fanatik ekstrim, yang

menganggap diri dan kelompoknya selalu pada pihak yang benar, serta tidak

memberi kesempatan mengadakan kompromi dengan penganut agama lain.

Sikap dan tingkah laku keagamaan yang disebutkan pertama mengandung

pengertian bahwa agama dapat menjadi sumber persatuan. Sedang sikap dan

tingkah laku keagamaan yang disebutkan kedua mengandung pengertian

bahwa agama dapat menjadi sumber konflik.26

Dengan demikian, pembinaan kerukunan umat beragama pada

masyarakat diharapkan dapat menciptakan situasi yang kondusif dan tercapai

kerja sama dalam bentuk partisipatif, asimilasi, maupun akomodasi. Adapun

faktor yang memiliki peranan penting untuk mewujudkan adalah melalui

jalinan erat para aktor, seperti pemerintah, tokoh-tokoh agama atau organisasi

keagamaan dan tokoh masyarakat.

D. Kebijakan Kerukunan Umat Beragama

Kebebasan beragama di Indonesia dijamin oleh UUD 1945 terutama

pasal 28E, 28I, dan 29. UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

juga mengatur adanya hak-hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia.

Pasal 22 UU Nomor 39 Tahun 1999 menegaskan bahwa: (1) Setiap orang

bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut

agamanya dan kepercayaannya itu; dan (2) Negara menjamin kemerdekaan

setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut

agamanya.

Kebijakan penting yang telah diambil oleh Pemerintah dalam rangka

pemeliharaan kerukunan umat beragama, yaitu kebijakan tentang tugas kepala

daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama, dan kebijakan yang

ditujukan kepada warga Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan warga

masyarakat pada umumnya. Kebijakan itu bukan merupakan intervensi

26 Bachtiar, Harsya W., Agama Dan Perubahan Sosial Di Indonesia, dalam Bulletin “Dialog “ Edisi No.

17, Jakarta, Badan Litbang Agama, 1984, hal. 20.

Page 16: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

15

terhadap keyakinan masyarakat, melainkan upaya untuk memelihara

keamanan dan ketertiban masyarakat.

Kebijakan tentang tugas kepala daerah dalam pemeliharaan

kerukunan umat beragama dituangkan dalam Peraturan Bersama Menteri

Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang

Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam

Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan

Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat. Peraturan ini singkatnya

disebut dengan PBM. Kebijakan ini memberikan pedoman kepada para kepala

daerah dalam memelihara kerukunan umat beragama. Adapun yang diatur

dalam PBM ini bukan aspek doktrin agama, tetapi lalu lintas para warga

negara Indonesia pemeluk suatu agama ketika berinteraksi dengan warga

negara Indonesia lainnya yg memeluk agama berbeda. PBM ini tidak

membatasi kebebasan beragama seseorang dan juga tidak membatasi

seseorang untuk mendirikan rumah ibadat. Adanya persyaratan calon

pengguna 90 orang dewasa untuk pendirian sebuah rumah ibadat semata-mata

untuk mengadministrasikan dan mengetahui siapa saja yang hendak

menggunakan suatu rumah ibadat yang hendak dibangun. Demikianlah

kebebasan itu diberikan secara luas sebagai bagian dari upaya pemeliharaan

kerukunan umat beragama yang menjadi bagian penting dari kerukunan

nasional, yang merupakan salah satu tugas dari daerah, termasuk kepala

daerah, untuk mewujudkannya sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 22 butir

‘a’ UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Terkait dengan pemulihan keamanan dan ketertiban masyarakat

dalam kasus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), Pemerintah telah

mengeluarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan

Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, Nomor 3 Tahun 2008, Nomor

KEP-033/A/JA/6/2008, dan Nomor 199 Tahun 2008, tentang Peringatan dan

Perintah kepada Penganut, Anggota dan/atau Anggota Pengurus Jemaat

Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat tanggal 9 Juni 2008. Perlu

ditegaskan bahwa SKB itu bukanlah bentuk intervensi Pemerintah terhadap

keyakinan warga masyarakat, melainkan upaya Pemerintah untuk memelihara

Page 17: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

16

keamanan dan ketertiban masyarakat yang terganggu karena adanya

pertentangan dalam masyarakat yang terjadi akibat penyebaran paham

keagamaan menyimpang. Bagi Pemerintah, masalah Jemaat Ahmadiyah

Indonesia mempunyai dua sisi. Pertama, Ahmadiyah adalah penyebab lahirnya

pertentangan dalam masyarakat yang berakibat terganggunya keamanan dan

ketertiban masyarakat. Sisi kedua, warga JAI adalah korban tindakan

kekerasan sebagian masyarakat. Kedua sisi ini harus ditangani Pemerintah.

Selain itu SKB juga memerintahkan aparat pusat dan daerah untuk melakukan

langkah-langkah pembinaan dan pengawasan bagi pelaksanaan SKB ini.

Langkah pembinaan ini dimaksudkan memberi kesempatan kepada penganut

JAI untuk memperbaiki perbuatannya yang menyimpang itu. Secara teknis

yuridis, jika terjadi pelanggaran bagi SKB ini, baik dilakukan oleh warga JAI

maupun masyarakat, maka masyarakat dapat melaporkannya kepada aparat

hukum, yang selanjutnya akan mengambil tindak lanjut. Apakah suatu tuduhan

suatu penodaan agama itu telah terjadi atau tidak, akan dilakukan oleh hakim

di Pengadilan dengan tentu saja mendengarkan saksi ahli.

Negara menjamin kebebasan beragama bagi para warganya, dan

tidak mencampuri aspek-aspek doktrinal dari suatu ajaran agama. Negara juga

melindungi seluruh warganya dan menegakkan keamanan dan ketertiban untuk

warganya. Setiap kali kebebasan itu sengaja atau tidak sengaja berujung

kepada terganggunya keamanan dan ketertiban masyarakat, maka negara

termasuk Pemerintah harus tampil untuk mengembalikan keamanan dan

ketertiban masyarakat itu sebagaimana mestinya. Kebebasan beragama adalah

hak yang pelaksanaannya harus diselaraskan dengan tanggung jawab untuk

menegakkan kewajiban dasar manusia seperti memelihara keamanan dan

ketertiban masyarakat.

Page 18: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

17

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini didesain dengan menggunakan pendekatan kualitatif

untuk mendeskripsikan dan menganalisis tentang interaksi sosial kelompok

aliran Islam minoritas dalam masyarakat. Pendekatan kualitatif ini

digunakan dengan pertimbangan hendak mengungkap hakikat yang

sebenarnya tentang bagaimana interaksi kelompok aliran Islam Minoritas

dalam masyarakat.

Dengan pendekatan ini pula diharapkan hasil penelitian ini dapat

memberikan penjelasan tentang interaksi kelompok aliran Islam minoritas di

masyarakatnya. Dengan pertimbangan pemilihan pada pendekatan kualitatif

dalam penelitian tersebut lebih tepat karena dapat menggali data lebih dalam.

B. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data ini adalah dengan wawancara. Teknik ini

dilakukan terhadap tokoh kelompok aliran Islam minoritas, tokoh Islam

diluar aliran minoritas, tokoh masyarakat, dan pihak pemerintah. Hasil

wawancara ini diharapkan dapat mengumpulkan data terkait dengan

pandangannya dalam interaksi sosial keagamaan, interaksi sosial politik, dan

sosial kemasyarakatan berikut dengan hambatan dan potensi yang ada dalam

kelompok Islam minoritas dalam perspektif in group.

Teknik wawancara dengan tokoh masyarakat dan pihak pemerintah

untuk menghimpun informasi interaksi sosial kelompok aliran dalam

perspektif out group, baik dalam interaksi sosial keagamaan, interaksi sosial

politik, dan sosial kemasyarakatan. Di samping itu juga untuk menggali

hambatan dan potensi yang ada dalam kelompok aliran Islam Minoritas di

masyarakat. Wawancara juga dilakukan terhadap pihak Departemen Agama

Kabupaten/Kota dan Pusat untuk menghimpun informasi terkait dengan

kebijakan pola pembinaan kelompok aliran.

Page 19: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

18

Teknik lain dalam menggali data adalah dengan observasi. Observasi

ini dilakukan untuk mengambil data yang terkait dengan hal-hal

sebagaimana dalam wawancara terhadap tokoh atau anggota kelompok aliran

Islam Minoritas di masyarakat. Fokus dari observasi ini adalah mengamati

tindakan-tindakan interaksi kelompok aliran dalam masyarakat dan beberapa

praktik ibadah secara langsung.

Telaah dokumen dilakukan untuk mengambil data yang tercatat, baik

dalam kelompok aliran maupun pemerintah terkait dengan berbagai hal

seperti referensi sumber ajaran dan dokumen kebijakan dalam pembinaan

kelompok aliran.

C. Teknik Analisis Data

Analisis data merupakan upaya mencermati dan mensistematikakan

data-data yang diperoleh melalui wawancara, observasi maupun telaah

dokumen. Analisis dalam penelitian ini dilakukan melalui dua tahap, yaitu

selama di lapangan dan setelah dari lapangan.

Analisis di lapangan ditempuh dengan mempersempit fokus,

menetapkan tipe studi, mengembangkan pertanyaan analitik, menyusun

komentar, dan telaah kepustakaan yang relevan. Analisis setelah dari

lapangan ditempuh dengan membuat kategori-kategori masalah/temuan dari

lapangan dengan cara menata sekuensi atau urutan penelaahannya.

D. Lokasi Penelitian

Lima aliran di enam lokasi penelitian di kabupaten/kota di Provinsi

Jawa Tengah ini dipilih didasarkan pada sebaran perkembangan di

masyarakat, yaitu:

1. Aliran Syi’ah di Kota Pekalongan

2. Majlis Tafsir Al Qur’an (MTA) di Surakarta

3. Kelompok Syahadatain di Kabupaten Banyumas

4. Organisasi Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) di Kabupaten Pati

dan Kabupaten Grobogan

5. Kelompok Jamaah Tabligh di Kabupaten Magelang

Page 20: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

19

BAB IV

GAMBARAN UMUM KEHIDUPAN KEAGAMAAN DAN PROFIL ALIRAN ISLAM MINORITAS

DI JAWA TENGAH

A. Aliran Syi’ah

1. Sejarah Singkat

Salah satu kelompok aliran keagamaan dalam Islam di Jawa Tengah adalah

aliran Syi’ah. Aliran Syi’ah dikembangkan oleh ustadz Ahmad Barakbah di Kota

Pekalolngan. Ustadz Barakbah adalah keturunan Arab generasi ke-6 yang

memiliki latarbelakang keagamaan berfaham Sunni sebagaimana yang dianut oleh

kedua orangtuanya dan keluarganya. Beliau pernah belajar di Universitas Qum

Iran selama ebih dari 5 tahun.

Kecerdasan ustadz Barakbah yang terlebih dahulu belajar di Universitas

Gajah Mada Yogyakarta jurusan Bahasa Arab dan aktivis PII dan HMI ini terlihat

setelah berhasil mendirikan Pondok Pesantren Al Hadi pada tanggal 4 Juli 1989

dan berkiblat ke Iran yang nota bene berfaham Syi’ah. Pendirian pondok

pesantren Al Hadi ini dilatarbelakangi oleh keprihatinan ustadz Barakbah terhadap

umat Islam yang diibaratkan pohon yang rimbun dan berbuah serta memiliki akar

yang kuat akan tetapi tidak pernah merasakan rindangnya pohon dan lezatnya

buah. Latarbelakang lain adalah untuk memberikan pemahaman kepada ummat

Islam terhadap persepsi yang salah atau keliru terhadap faham Syi’ah sekaligus

mengembangkan faham Syi’ah27.

Langkah awal yang dilakukan adalah dengan membentuk pengurus pondok

pesantren yang diketuai oleh ustadz Ahmad Barakbah sendiri, Bidang Pendidikan

dipegang oleh ustadz Abdurrahman Barakbah (adik kandung ustadz Barakbah),

Bidang keuangan dan administrasi ustadz Muhammad Khotib (Teman ustadz

Barakbah dari Qum – Iran), dan dewan guru yang antara lain ustadz Ahmad

27 Mawardi, Marmiati. Hubungan Intern Ummat Beragama di Jawa Tengah ; studi kasus di Kota

Pekalongan. Balai Penelitian Aliran Kerohanian / Keagamaan Semarang. 1999. Halaman 204.

Page 21: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

20

Barakbah, ustadz Muhammad Khotib, ustadz Muhammad Barakbah, ustadz Abdul

Ghoni dan ustadz Ahmad Zaini.

Pada awal berdirinya pondok pesantren, jumlah santri yang ditampung

berjumlah 5 orang dan berkembang menjadi 116 santri pada tahun 1999 dengan

jumlah ustad 11 orang.28 Pada tahun 2008 jumlah santri menurun hanya mencapai

60 santri laki-laki dan perempuan. Asal santri ini tidak ada yang berasal dari

Pekalongan, melainkan dari Tegal, Bengkulu, Kalimantan, Jawa Timur.

2. Paham Keagamaan

Paham keagamaan yang menjadi ”perdebatan” antara lain berkaitan

dengan Aqidah, Syariat, Wilayah, dan Nikah. Bagi ustadz Ahmad Barakbah,

bahwa hal yang paling penting dalam kehidupan manusia adalah taqwa, iman,

ilmu dan jihad. Taqwa secara konsepsional dan praktis harus didasarkan pada Al

Qur’an karena Al Qur’an adalah sumber ajaran utama, iman adalah sesuatu yang

sangat privasi dengan bersumber pada hati, ilmu adalah sesuatu yang sangat

penting sampai-sampai yang akan mengangkat derajatnya adalah Allah SWT

bukan manusia dan jihad adalah berjuang untuk Allah SWT yang tidak hanya

sebatas pada perang membela Islam. Jihad adalah melakukan sesuatu yang

memiliki manfaat bagi dirinya dan juga bagi orang lain.

a. Aqidah

Berkaitan dengan aqidah yang menjadi pokok persoalan adalah rukun

iman di mana pada umat Islam umumnya rukun iman ada 6, hal ini berbeda

dengan yang menjadi dasar dari ajaran Syi’ah. Menurut ustadz Ahmad

Barakbah, bahwa untuk menentukan rukun iman lebih dahulu diambil

pengertian apa itu rukun. Rukun adalah sesuatu yang harus ada sehingga

keberadaannya mengharuskan orang meyakini. Rukun ini berbeda dengan wajib,

karena wajib apabila ditinggalkan dengan sengaja maka akan batal.

Allah SWT dan Rasulullah Muhammad SAW adalah sesuatu yang harus

ada dan harus diimani, oleh karena itu rukun iman hanya 1 yaitu iman kepada

28 Pada tahun 1999 ustadz Barakbah mengembangkan sayapnya dengan mendirikan pondok pesantren di

Kecamatan Wonotunggal Kabupatan Batang. Wilayah ini dipilih karena di wilayah tingkat Kecamatan belum ada pondok pesantren, namun demikian setelah berjalan selama + 10 bulan dibubarkan secara paksa oleh masyarakat yang diindikasikan berasal dari wilayah Pekalongan , hal ini dikarenakan untuk mayarakat sekitar tidak ada permasalahan.

Page 22: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

21

Allah dan Rasul Muhammad SAW. Sedangkan yang lain adalah wajib untuk

diimani, maka orang Islam yang meninggalkan kewajibannya tersebut menjadi

batal imannya. Rukun iman yang 6 sebagaimana yang berkembang pada faham

sunni adalah pemahaman ulama. Persoalan rukun iman ini juga berkembang

pada persoalan imamiyah dimana kelompok Syi’ah meyakini akan adanya imam

yang harus memimpin kekhalifahan.

Imam adalah ahlulbait yang dipilih langsung oleh Allah SWT, sehingga

imam adalah urusan Allah SWT bukan urusan manusia. Imam yang menjadi

panutan oleh kelompok Syi’ah ada 12 imam dan imam yang pertama adalah Ali

bin Abi Thalib dan keturunannya. Adapun nama-nama imam yang disebutkan

berjumlah 12 imam tersebut diperoleh dari berbagai hadis yang

meriwayatkannya. Kepercayaan kepada Ali bin Abi Thalib sebagai imam bukan

berarti mengkafirkan adanya kepemimpinan Khulafaurrasyidin yang lain,

seperti Abu Bakar Asshidiq, Umar ibnul Khattab, dan Usman ibnu Affan.

b. Syari’at

Rukun Islam yang dijadikan dasar dalam ajaran Syi’ah hanya 1, yaitu

Syahadat sebagaimana syahadat yang dijadikan umat Islam pada umumnya.

Sedangkan shalat, puasa, zakat dan haji adalah wajib sehingga apabila

ditinggalkan dengan sengaja maka Islamnya menjadi batal. Sebagai contoh

adalah ketika orang di luar Islam membaca syahadat dengan sendirinya sudah

Islam meskipun belum melakukan shalat, puasa, zakat dan haji.

Syahadat yang sering menjadi persoalan adalah Syahadat yang diakhiri

dengan kalimat Wasyhadu ‘Anna ‘Aliyyan Waliyullah. Menurut ustadz

Barakbah, bahwa kalimat tambahan Wasyhadu ‘Anna ‘Aliyyan Waliyullah hanya

diucapkan ketika mengumandangkan adzan karena adzan itu sendiri hukumnya

bukan wajib sehingga diperbolehkan, akan tetapi ketika dalam shalat maka

kalimat tambahan tersebut tidak dibacakan karena pada dasarnya dalam shalat

bacaan harus sesuai dengan yang dibaca oleh Rasulullah. Posisi Rasulullah

adalah posisi yang dimuliakan.

Shalat yang sering menjadi persoalan adalah pelaksanaan shalat yang

hanya menggunakan 3 waktu. Penetapan waktu ini berdasarkan waktu muktah

dimana shalat Subuh, shalat Dhuhur bersamaan waktu pelaksanaannya dengan

Page 23: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

22

Ashar dan Maghrib dengan Isya. Dalam melakukan shalat tetap sesuai dengan

jumlah raka’at yang telah ditetapkan dan sebagaimana yang dilakukan oleh umat

Islam lainnya. Dalam pelaksanaan shalat ini juga terdapat shalat yang

kewajibannya boleh memilih, yaitu shalat Jum’at. Pelaksanaan shalat Jum’at di

pondok pesantren Al Hadi yang dipimpin oleh ustadz Ahmad Barakbah ini

diganti dengan shalat dhuhur, hal ini dilakukan karena belum ditegakkannya

syari’at Islam.

Shalat Jum’at adalah wajib pilihan (wajib takhyiiri) dan apabila umat

Islam lainnya melaksanakan shalat Jum’at-pun tidak ada masalah, bahkan

santrinyapun diperbolehkan mengikuti shalat Jum’at di masjid manapun.29

Ustadz Ahmad Barakbah sedikit menjelaskan perihal shalat Jum’at yang pada

awal diwajibkannya ketika Nabi Muhammad SAW sedang membina dan

mengatur masyarakat Madinah. Pada saat shalat Jum’at pertama kali dilakukan

imamnya bukan Nabi Muhammad SAW, bahkan Nabi sendiri tidak ikut shalat

Jum’at karena sedang mengatur masyarakat Madinah.

Puasa, Zakat dan Haji yang diterapkan dalam ajaran Syi’ah tidak berbeda

dengan umat Islam lainnya terutama dalam persoalan yang bersifat wajib, seperti

puasa ramadhan, perayaan Idul Fithri, zakat fitrah, perayaan Idul Qurban dengan

pembagian daging qurban untuk masyarakat pada umumnya, dan pelaksanaan

kewajiban haji ke tanah suci.

Persoalan lain yang sering menjadi pembicaraan pada kalangan

masyarakat Islam umumnya adalah pemahaman tentang nikah Mut’ah. Nikah ini

nampak tidak lazim dan merugikan salah satu pihak, terutama perempuan.

Padahal apabila dilihat lebih jauh, nikah mut’ah pada dasarnya menguntungkan

bagi pihak perempuan, hal ini dikarenakan semua yang menentukan adalah

wanita, baik mahar maupun batas waktunya. Begitu juga masalah perwalian

sama dengan nikah yang dilaksanakan oleh umat Islam lainnya.

29 Ustadz Ahmad Barakbah sebelum berangkat ke Iran adalah Khotib jum’at yang dari berbagai masjid

yang ada di Pekalongan dan luar Pekalongan, akan tetapi setelah pulang dari Iran dan mendirikan Ponpes Al Hadi tidak lagi berkhutbah di masjid di Pekalongan, akan tetapi untuk wilayah di luar Pekalongan apabila ada yang memintanya Khutbah jum’at maka ia akan melakukannya. Persoalan tidak khutbah jum’at di Pekalongan bukanlah sebuah pilihan, melainkan karena tidak ada yang memintanya berkhutbah dan tahu dirilah katanya.

Page 24: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

23

Nikah mut’ah adalah suatu jalan keluar untuk menghindari perilaku

perzinahan, sehingga apabila nikah mut’ah menjadi sesuatu yang tidak

dipertentangkan atau dianjurkan, maka perzinahan tidak akan terjadi pada umat

Islam. Nikah mut’ah bukan berarti nikah tanpa syarat sebagaimana nikah

permanen, hanya saja nikah mut’ah lebih membawa kebahagiaan karena setelah

masa kontrak selesai dapat dilanjutkan. Masa kontrak adalah masa untuk

mengetahui lebih jauh perilaku suami yang apabila dipandang baik dan mampu

membawa pada keluarga yang baik dapat dijadikan nikah permanen.

Pandangan kelompok Syi’ah terhadap nikah yang dilaksanakan oleh

umat Islam yaitu dengan nikah permanen tidak ada masalah. Begitu juga

masalah poligami dan nikah sirri tidak ada permasalahan bagi kelompok Syi’ah.

Menurut Kepala Kelurahan Klego Kecamatan Pekalongan Timur, bahwa

kelompok Syi’ah apabila akan mengadakan pernikahan juga tetap mengurus

surat melalui prosedur pemerintah sebagaimana yang dilakukan oleh umat Islam

lainnya. Dengan demikian, pada dasarnya nikah dalam pandangan Syi’ah adalah

sunnah yang bernilai ibadah dan salah satu jalan untuk menghindari perzinahan.

Dari beberapa pemahaman tentang kelompok Syi’ah sesat yang terjadi

pada masyarakat sebenarnya hanya didasarkan pada beberapa literatur yang

sampai ke tangan dan berisi tentang ajaran Syi’ah yang dikategorikan sesat.

Padahal apabila melihat literatur tidak sedikit literatur karya orang sunni yang

juga menunjukan kesesatan. Literatur adalah sangat tergantung penulisnya,

sehingga apabila tidak suka dengan kelompok Syi’ah maka akan menulis

beberapa hal yang mengarah pada kesesatan kelompok Syi’ah.

B. Majlis Tafsir Al Qur’an (MTA)

1. Sejarah Singkat

Majlis Tafsir Al-Qur’an (MTA) didirikan pada tanggal 19 September

1972 oleh Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro. MTA berpusat di kota

Surakarta, tepatnya dijalan Serayu No. 12 Semanggi, Rt 06, RW. 15, Pasar

Kliwon, Surakarta.30

30 Brosur Mengenang 35 Tahun Perjalanan Dakwah MTA, hal. 1

Page 25: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

24

Latar belakang pendirian Majlis Tafsir Al-Qur’an adalah didasarkan pada

kondisi umat Islam pada Akhir dekade tahun 1960-an dan awal dekade tahun

1970-an. Sampai dengan saat itu, umat Islam yang telah berjuang sejak zaman

Belanda untuk melakukan emansipasi, baik secara politik, ekonomi, maupun

kultural, justru semakin terpinggirkan. Ustadz Abdullah Thufail Saputro,

seorang mubaligh yang karena profesinya sebagai pedagang mendapat

kesempatan untuk berkeliling hampir keseluruh Indonesia, kecuali Irian Jaya.

Melihat kondisi umat Islam di Indonesia yang seperti itu, tidak lain disebabkan

umat Islam di Indonesia kurang memahami Al-Qur’an. Oleh karena, sesuai

dengan ucapan seorang ulama bahwa umat Islam tidak akan menjadi baik

kecuali dengan apa yang telah menjadikan umat Islam baik pada awalnya, yaitu

Al-Qur’an. Ustadz Abdullah Thufail Saputro yakin bahwa umat Islam Indonesia

hanya akan dapat melakukan emansipasi di segala bidang apabila umat Islam

Indonesia mau kembali ke Al-Qur’an. Demikian, maka Udtadz Abdullah Thufail

Saputro pun mendirikan MTA sebagai rintisan untuk mengajak umat Islam

kembali ke Al-Qur’an.31

Berasal dari latar belakang pendirian sebagaimana di atas, maka tujuan

didirikannya MTA adalah untuk mengajak umat Islam kembali ke Al-Qur’an.

Sesuai dengan nama dan tujuannya itu, maka pengkajian Al-Qur’an dengan

tekanan pada pemahaman, penghayatan dan pengamalan Al-Qur’an menjadi

kegiatan utama MTA.32

Dalam rangka menghindari negative perception dari pihak lain, maka

MTA tidak dikehendaki menjadi lembaga yang illegal, tidak dikehendaki

menjadi ormas/parpol tersendiri ditengah-tengah ormas-ormas dan orpol-orpol

tertentu. Untuk memenuhi keinginan ini, bentuk badab hukum yang dipilih

adalah yayasan. Oleh karena itulah pada tanggal 23 januari tahun 1974, MTA

resmi menjadi yayasan dengan akta notaris R. Soegondo Notodioejo.

Dengan demikian dapat dipahami lebih jauh bahwa MTA bukan partai

politik dan tidak akan menjadi partai politik, bukan suatu golongan dan tidak

akan menjadi suatau golongan tersendiri dari umat Islam. Seluruh umat Islam

31 Selayang Pandang Yayasan Majelis Tafsir Al Qur’an (MTA), September 2007, hal. 1 32 Ibid, hal. 1

Page 26: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

25

digolongan dan partai manapun adalah saudara. MTA berharap saudar-saudara

yang aktif di golongan dan partai manapun hendaklah selalu menjadikan Al-

Qur’an dan Sunnah sebagai way of life, selalu menyuarakan Islam kepada

Manusia, menjalin ukhuwah Islamiyah, rasa musawah sesama muslim, tanpa

merasa lebih antara satu dengan yang lain. Kepada saudara-saudara kami yang

non muslim, kita bisa berdampingan, saling hormat menghormati tidak saling

mencela dengan berbuat baik serta berlaku adil,selama mereka tidak memusuhi

kita karena agama.

Sampai dengan usianya yang ke 35 tahun ini, MTA yang berpusat di

Kota Surakarta sudah memiliki 29 perwakilan (tingkat kabupaten/kota) dan 139

cabang (tingkat kecamatan ) yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia.33

2. Paham Keagamaan

Sumber ajaran yang dipedomani oleh warga MTA tidak berbeda dengan

kelompok organisasi/umat Islam pada umumnya, yaitu Al Qur’an dan Al Hadits.

Bagi MTA bahwa Al Qur’an dan Al Hadits itu tidak cukup hanya untuk

dipelajari dan dipahami saja. Tetapi lebih jauh dari itu harus diupayakan untuk

dihayati dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Jadi berpedoman Al

Qur’an dan Al Hadits itu tidak bisa di tawar-tawar lagi sebagai pedoman

manusia untuk mengarungi kehidupan di dunia maupun di akhirat kelak.

Bagi MTA berpedoman Al Qur’an dan Al Hadits itu final, oleh karena

warga MTA tidak mudah digoyahkan dan dipengaruhi paham maupun pendapat

pendapat kelompok/organisasi/umat lain. Sebagaimana prinsip MTA bahwa

ketika kita memberikan dakwah sesuai dengan Al Qur’an dan Al Hadits menurut

pemahamannya, kemudian ada pihak lain yang tidak sependapat itu tidak

masalah (lanaa’maluna walakum a’malakum).

Kemudian tentang akidah yang di kembangkan oleh MTA pada

kenyataannya tidak berbeda denngan akidah yang dipedomani oleh umat Islam

di Indonesia, seperti percaya tentang rukun iman yang enam, yaitu iman kepada

Allah SWT, malaikat, rasul, kitab, hari akhir, qodha dan qodar. Apa bila

dipahami secara mendalam , akidah MTA ada identik dengan paham salah satu

33 Hasil wawancara dengan Ketua MTA Al Ustadz Drs. Ahmad Sukino, pada tanggal 25 April 2008

Page 27: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

26

ormas Islam di Indonesia, seperti dalam praktek ibadah, dan kaifiyah salat

subuh.

Terkait dengan syariah (fiqih), warga MTA tanpa ikatan pada salah satu

mazhab. Landasan hukum yang dipedomani dan dilaksanakan oleh warga MTA

harus bersumber dari Al Qur’an dan Al Hadits. Meskipun demikian warga MTA

tidak berarti anti atau tidak mengikuti ajaran mazhab tertentu, tetapi dalam

implementasinya ke syariatan (fiqih) jika berkiblat imam mazhab tertentu, maka

harus dirujuk dulu bagaimana ketetapan dalam Al Qur’an dan Al Hadits

terhadap sustu hukum yang hendak dilakukannya, seperti tentang salat, puasa,

zakat, haji, nikah, dan sebagainya.

Berdasarkan faham keagamaan yang dikembangkan Majlis Tafsir Al

Qur’an (MTA) di atas memberikan deskripsi bahwa betapa ketat dan kuatnya

paham keagamaan warga MTA, yakni tidak sama sekali berani berpedoman

dalam keagamaannya selain pada Al Qur’an dan Al Hadits. Dengan dasar kedua

hal itulah yang menjadikan warga MTA oleh pihak lain, yang belum

memahaminya, diberikan kesan dan stigma sebagai kelompok yang keras dan

ekslusif

Padahal sebenarnya paham yang dikembangkan dan dilaksanakan oleh

warga MTA itu benar-benar berupaya senantiasa sesuai dengan ajaran Al Qur’an

dan Al Hadits. Kemudian jika dulu distigmakan oleh pihak lain bahwa warga

MTA itu sebagai kelompok ingkarussunah, ternyata dalam tatanan kehidupan

dan pahamnya pun tidak lepas dari tuntunan Al Hadists pula.

Munculnya stigma-stigma negatif terhadap paham yang dikembangkan

MTA itu tidak bisa terlepas dari kiprah tokoh pendirinya yang terkesan keras

dan lugas. Hal itu dimungkinkan pemahaman terhadap Al Qur’an dan

implementasinya cenderung murni (apa adanya). Sehingga bagi masyarakat non

warga MTA yang berbeda paham muncul rasa tidak simpati atau bahkan

memusuhi. Selain itu dimungkinkan pula metode dakwah yang lugas oleh para

ustadz waktu itu.

Namun, setelah era reformasi dewasa ini eksistensi dan paham yang

dikembangkan oleh MTA mulai dipahami oleh pihak lain. Sehingga MTA

makin hari semakin berkembang pesat hingga hampir keseluruh wilayah

Page 28: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

27

Indonesia. Hal itu merupakan bukti bahwa bahan yang kembangkan MTA itu

pada dasarnya sama dengan paham yang dikembangkan oleh kelompok lain.

C. Kelompok Syahadatain

1. Sejarah Singkat

Secara nasional Kelompok Jamaah Syahadatain telah terdaftar di

Departemen Agama urutan ke-56 dengan nomor administrasi

D.III/OT.014/174/2001 tanggal 8 Mei 2001. Sedangkan di Departemen Dalam

Negeri telah didaftarkan pada tanggal 28 Maret 2001 dengan Nomor Surat

05/B/DPP/III/2001 dan diterima keberadaannya berdasarkan Surat Nomor

Inventaris : 39/D.I/IV/2001. Dalam surat ini dijelaskan sifat kekhususan adalah

Kesamaan Agama Islam dengan nama organisasi Jamaah Asy Syahadatain

Indonesia.

Keberadaan Syahadatain sebagai kelompok keagamaan yang berada di

Kabupaten Banyumas ini berasal dari Cirebon Provinsi Jawa Barat. Kelompok

ini berdiri pada tahun 1945 di Kabupaten Banyumas tepatnya di Desa Purbadana

Kecamatan Kembaran Purwokerto. Proses berdirinya berawal kepulangan Kyai

Husein (almarhum) dari Pondok Pesantren Tebuireng (Jamsaren) Provinsi Jawa

Timur dan melanjutkan untuk memperdalam ilmu agama ke Cirebon tepatnya

pada Kyai Abah Umar dan Abah Ismail. Pada saat belajar untuk memperdalam

inilah Kyai Husein aktif dipengajian yang didirikan oleh Kyai Abah Umar

dengan nama pengajian AsySyahadatain.34

Berdirinya kelompok Syahadatain di Desa Purbadana adalah diawali

dengan pendirian masjid Syahadatain oleh Kyai Husein yang didukung oleh

34 Pada saat Kyai Husein (almarhum) berangkat ke Cirebon ditemani oleh Kyai Abdul Shomad dan

bersama-sama berguru pada Abah Umar dan Abah Ismail. Namun demikian, setelah pulang keduanya tidak memiliki pemahaman yang sama dalam pengembangan agama melalui dakwah. Kyai Abdul Shomad memilih untuk tidak mengembangkan Syadatain melainkan lebih mengembangkan Tarekat Syadzaliyah dan berdakwah ke berbagai daerah. Kedua Kyai muda tersebut pada akhirnya harus berpisah untuk membawa misi yang berbeda, yaitu Kyai Husein lebih memilih Syahadatain untuk menerapkan metode berdakwah dan menganggap sebagai kelompok yang mempertahankan organisasi Nahdlotul ‘Ulama (istilahnya NU yang konsekuen), sedangkan Kyai Abdul Shomad memilih berdakwah dengan “gaya” NU sebagaimana yang dikembangkan oleh NU umumnya.

Page 29: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

28

adiknya (Kyai Mustangin)35 dan putra-putranya. Proses pendirian masjid ini

tidak dipermasalahkan oleh warga setempat meskipun tidak jauh dari masjid

Syahadatain terdapat masjid yang lebih banyak dikunjungi ketika shalat Jum’at.

Menurut Kepala Desa (Bapak Warsito) keberadaan masjid Syahadatain tidak

mengganggu lingkungan sekitar,36 baik pada saat melakukan kegiatan

Dzikir/Tahlil dan Yasin setiap Kamis malam jum’at maupun tawasulan setiap

hari Minggu malam Senin.

Perkembangan kelompok Syahadatain untuk wilayah Desa Purbadana

tidak terlalu pesat, hal ini dikarenakan proses ”ritual” yang diselenggarakan

ketika dzikir, Tahlil maupun Tawasulan terlalu lama sehingga peminatnya tidak

banyak. Menurut Warsito, bahwa keengganan anggota masyarakat untuk tidak

mengikuti lebih dikarenakan tidak kuat mengikuti acara ”ritual” dzikir maupun

tawasulan. Apabila dilihat dari aspek ibadah shalat tidak ada masalah dan bisa

diikuti oleh seluruh umat Islam.37

Jumlah anggota jamaah kelompok Syahadatain pada awalnya hanya pada

lingkup keluarga Kyai Husein, namun demikian dalam perkembangannya telah

diminati oleh beberapa orang dari berbagai wilayah di luar Kecamatan

Kembaran. Secara administrasi tidak terdapat jumlah yang pasti, hanya saja

menurut Ahmadi (Anggota sekaligus putra Kyai Mustangin) jumlah jamaah

sekitar 200 orang, hal ini akan terlihat ketika penyelenggaraan acara ”Rajaban”

dan acara besar lainnya yang melibatkan seluruh anggota jamaah.

2. Paham Keagamaan

Sumber ajaran yang dipedomani oleh warga Jamaah Kelompok

Syahadatain sama dengan umat Islam pada umumnya, yaitu berpedoman pada

Al Qur’an dan Hadits atau Ahlul Sunnah wal Jamaah. Selain kedua dasar utama

35 Kyai Mustangin adalah adik kandung Kyai Husein yang memiliki kemiripan dari berbagai aspek,

terutama dalam aspek fisik. Kyai Mustangin ini secara otomatis menjadi pimpinan Syahadatain setelah Kyai Husein meninggal dunia pada bulan Maret 2008.

36 Dari hasil pengamatan, bahwa jumlah jamaah shalat jum’at kurang dari 30 orang laki-laki dan 5 orang perempuan. Adapun jamaah yang shalat jum’at lebih banyak dari wilayah yang cukup jauh sehingga kebanyakan mereka memakai kendaraan roda dua, sedangkan anggota masyarakat sekitar lebih memilih shalat jum’at di masjid umum.

37Anggota kelompok Syahadatain termasuk golongan usia yang telah lanjut dan sudah berkeluarga, meskipun ketika shalat terlihat anak muda usia yang berjamaah dan berjubah putih. Sementara itu, orang tua Warsito sebagai Kepala Desa termasuk pengikut setia kelompok Syahadatain.

Page 30: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

29

tersebut juga mengikuti paham Sunni yang melekat pada organisasi Nahdlotul

’Ulama. Bagi Kelompok Jamaah Syahadatain, bahwa Al Qur’an dan Al Hadits

itu sebagai sumber utama yang paling agung, akan tetapi untuk menambah

amalan-amalan ibadah lainnya dibutuhkan pedoman lain yang melekat pada

guru atau berusaha menjalankan amalan seperti yang dijalankan oleh gurunya.

Menurut H. A. Mawardi yang menjadi pengikut sejak tahun 1972 bahwa

ajaran yang dijalankan oleh anggota kelompok Syahadatain adalah sebagaimana

yang dilakukan dan diajarkan oleh guru pendahulunya di Cirebon dengan tidak

mengurangi sedikitpun dan ajaran tersebut sama dengan yang dijalankan oleh

anggota jamaah Nahdlotul ’Ulama (NU). Oleh karena itu, kelompok ini merasa

kelompoknya adalah pengikut NU yang konsisten. Hal ini dilihat dari misi

utamanya adalah mengistiqomahkan masalah sunnah, seperti selalu bersorban

putih, selalu menjalankan sunnah Rowatib dan selalu menjalankan shalat sunnah

Dhuha dan Tahajjud.

Sebagai pelengkap untuk melakukan amalan ibadah setelah shalat fardlu

digunakan buku pedoman yang diberi nama Aurod Asy-Syahadatain. Buku ini

berisi tentang bacaan sebelum melakukan shalat fardlu (puji-pujian), do’a buka

puasa sebagaimana yang dibaca umat islam lainnya, niat shalat sunnah,38niat

shalat fardlu dan beberap do’a pada umumnya.

Selain niat dan do’a di atas, buku ini juga menuntun jamaah untuk

melakukan wirid dengan nama Aurod Ati Saalim yang diawali dengan Syahadat

3 kali, istighfar 100 kali, Dzikir 100 kali, Alloh 100 kali, Huu 100 kali yang

dilanjutkan dengan kalimat Huwalloohu ahad …. Sampai surat al Ikhlas selesai..

Bacaan dilakukan setelah shalat fardlu habis maghrib dan isya terutama malam

Jum’at. Sedangkan bacaan lainnya yang diberi nama tawasulan dibaca setiap

hari Ahad malam Senin.39

38 Dalam pelaksanaan shalat sunnah ini terdapat shalat sunnah Daf’il Balaa’ dan shalat Isyrooq yang

dilakukan dengan dua rokaat. 39 Pelaksanaan pembacaan Aurod ATi Salim setiap malam jum’at adalah dikarenakan setiap hari kamis

sore Ruh orang yang sudah meninggal datang kepada keluarganya, sehingga diupayakan setiap sejak sore sebelum maghrib sudah mulai dibacakan wirid dan do’a-do’a agar ruh yang datang merasa senang. Sedangkan untuk tawasulan dilakukan setiap hari ahad (minggu) malam senin dikarenakan senin adalah hari kelahiran Nabi Muhammad SAW sehingga harus selalu diingat dan dibacakan do’a dengan tawasul agar limpahan rahmat, berkah dan hidayahnya melimpah kepada umatnya terutama kepada yang membaca.

Page 31: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

30

Baik pujian maupun dalam membaca wirid dan bacaan lainnya tidak

semuanya dalam bentuk bahasa Arab melainkan juga bahasa Jawa. Khusus

untuk pujian, sebelum melaksanakan shalat fardlu berbeda lafadz atau bacaan-

bacaan yang dibaca. Misalkan pada saat akan shalat dhuhur pujian yang dibaca

diawali dengan kalimat Robbanaa Dholamna….., dan pada shalat ashar pujian

dalam bentuk shalawatan yang diawali dengan kalimat Alloohumma Sholli ‘Alaa

nuuril anwaari.

a. Aqidah

Terkait dengan akidah yang dikembangkan oleh kelompok

Syahadatain tidak berbeda dengan umat Islam lainnya. Hal ini terlihat dari

keyakinan terhadap rukun iman yang enam, yaitu iman kepada Allah SWT,

malaikat, rasul, kitab, hari akhir, qodha dan qodar. Menurut H. A. Mawardi,

bahwa aqidah yang dikembangkan dalam kelompok Syahadatain sama sekali

tidak ada perbedaan, yaitu tetap menganut pada keyakinan yang 6 sebagai

rukun iman. Keyakinan ini tidak lagi dibicarakan dalam kelompoknya

dikarenakan sudah pasti dan tidak akan ada perubahan.

Keyakinan terhadap rukun iman ini juga nampak dari lafadz-lafadz

yang dibaca setelah shalat wajib dengan menempatkan Malaikat setelah para

Nabi. Sebagai contoh ketika shalat maghrib selesai (Aurod Ba’dal Maghrib)

dilakukan bacaan Syahadat 3x, Istighfar 7 x, Subhanalloh 3 x, Al

Hamdulillah 3 x, Allohu Akbar 3 x, Dzikir 11 x, shalawat 7 x dilanjutkan

dengan bacaan do’a dengan wasilah kepada para Rasul dan juga para

Malaikat.40

b. Syariat

Rukun Islam yang menjadi rujukan atau yang dipedomani oleh

kelompok Syahasdatain juga sama dengan umat Islam lainnya, yaitu

Syahadat, Shalat, Puasa, Zakat dan Haji. Syahadat yang dikenal adalah

Syahadat Tauhid untuk mengesakan Allah SWT dan syahadat Rasul untuk

meyakinan utusan Allah SWT. Begitu juga dalam persoalan shalat,

kelompok Syahadatain berpegang pada adanya shalat wajib (fardlu) dan

40 Aurod Asy-Syahadatain, Buku Pedoman kelompok Syahadatain.

Page 32: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

31

shalat sunnah. Untuk shalat fardlu dilakukan sama dengan umat Islam

lainnya, yaitu 5 waktu (Isa, Subuh, Luhur, Asar dan Maghrib). Sedangkan

untuk shalat sunnah terdapat shalat sunnah yang tidak dikenal oleh ummat

Islam pada umumnya, yaitu shalat sunnah Daf’ul Balaa’ yang dilakukan

setelah shalat Isya dengan jumlah rakaat 2 rakaat.

Dalam shalat sunnah Daf’ul Balaa’ ini terdapat aturan-aturan

tertentu, yaitu bacaan setelah shalat adalah Syahadat 3 kali, istighfar 7 kali

dan surat-surat pendek lainnya, seperti Alqodr, Ayat Kursi, Al Fiil.

Pembacaan surat diawali dengan kalimat Allohumma bihaqqi Alam Taro….

Dilanjutkan shalawat sampai ke khalifah dan dilanjutkan dengan kalimat

bahasa Jawa seperti Abdi Tiyang odo tiyang salah nuhun gendul nuhun

Syafaat kanjeng Nabi Muhammad SAW…… Menawi wonten bala fitnah

saking kilen tidingna ngilen( terus) nyebul ngulon.

Rangkaian selanjutnya dalam melakukan shalat tolak bala’ ini adalah

menghadap ke barat (Madep Ngulan) dengan membaca surat Al Qodr

dilanjutkan Laailaahaillallah Muhammadurrosuulullah menawi wonten bala

saking ler sapunana ngaler – nyebul ngalor. Hal ini dilanjutkan dengan

menghadap ke timur (mdep ngetan), madep ngidul, dan madep ngulon

dangak mundur dengan bacaan yang tidak jauh berbeda.

Dalam shalat wajib secara umum tidak ada perbedaan yang berarti.

Hanya saja ketika shalat Jumat terdapat perbedaan yang nampak dari

keumuman yang dilakukan oleh masyarakat NU. Perbedaan tersebut antara

lain jumlah jamaah shalat Jum’at tidak harus 40 orang sebagaimana yang

dilakukan di masjid NU umumnya, Jamaah kebanyakan berasal dari luar

wilayah desa Purbadana dan shalat sunnah qobliyah maupun ba’diyah

dilakukan secara berjamah.

Puasa, zakat dan haji yang dijadikan pedoman sekaligus dilaksanakan

oleh kelompok Syahadatain tidak berbeda dengan masyarakat Islam pada

umumnya, yaitu puasa wajib dilaksanakan ketika bulan Ramadhan dengan

mengikuti pemerintah untuk mengawali dan mengakhiri. Adapun untuk

shalat Iedul fithri maupun Iedul Adha dilaksanakan di Masjid Syahadatain.

Begitu juga zakat yang dilakukan adalah zakat fitrah sebelum shalat Iedul

Page 33: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

32

Fithri dan Haji diwajibkan bagi yang memiliki kemampuan secara finasial

dan fisik.

D. Organisasi Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) di Kabupaten Pati

1. Sejarah Singkat

Eksistensi LDII bermula sejak masih bernama YAKARIS sekitar tahun

1974-an. Dari nama YAKARI mengikuti perkembangan secara nasional berubah

menjadi LEMKARI yang pada awalnya dirintis (didirikan) oleh Bapak Haji

Suyono, Misman, dan Bapak Sudjadi. Ketiga orang tersebut bersedia merintis

YAKARI di Kabupaten Pati atas adanya motivasi dari Bapak Sarjono dan Bapak

Tulus. Ketika masih bernama YAKARI kepemimpinan dipegang oleh Bapak H.

Anwar Muhammadin dan Bapak H. Jasno. Kemudian ketika berubah menjadi

LEMKARI, kepemimpinan dipegang oleh Bapak Drs. Suratno dan Bapak Drs.

Juhadi.

Jumlah anggota LDII se-Kabupaten Pati pada tahun 1980-an sekitar

7.000 orang. Kemudian perkembangan selanjutnya sampai dengan tahun 1990-

an jumlah anggota sekitar 20.000 orang dan hingga tahun 2008 ini diperkirakan

mencapai 25.000 orang.

Pada tahun 1980 eksistensi anggota LDII berada di wilayah Kecamatan

dan pada tahun 1990 tumbuh berkembang di 20 wilayah kecamatan hingga

sekarang.

2. Paham Keagamaan

Sumber ajaran yang dipedomani oleh anggota LDII adalah berupa Al

Qur’an dan al Hadits. Kedua sumber tersebut senantiasa menjadi landasan

anggota LDII dalam menjalani kehidupan. Oleh karena itu, bagi anggota LDII

harus secara sungguh-sungguh mau mendalami, memahami dan mengamalkan

ajaran yang terkandung dalam kedua ajaran tersebut.

Bagi anggota LDII di Kabupaten Pati untuk meningkatkan kemampuan

dan pengetahuan tentang agama selain bersumber Al Qur’an dan Al Hadits

ternyata juga diajarkan beberapa kitab tafsir Ibnu Abbas, Kutubussittah, Shahih

Buhori, dan Sohih Muslim.

Page 34: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

33

a. Aqidah

Akidah yang dianut oleh anggota LDII tidak berbeda dengan paham

akidah yang dianut oleh umat Islam Indonesia pada umumnya, yakni paham

yang dikembangkan Ahlussunnah wal Jamaah, seperti mereka juga meyakini

bahwa rukun iman itu terdiri dari iman kepada Allah SWT, iman kepada

Malaikat Allah, iman kepada Rasul Allah, iman kepada hari akhir dan iman

kepada qodlo dan qodar.

b. Syariah

Dalam pembahasan syariah yang dipedomani oleh angota LDII di

Kabupaten Pati di sini hanya difokuskan kepada aspek shalat, puasa, zakat,

haji dan nikah. Dalam masalah shalat, anggota LDII melaksanakan shalat

wajib 5 waktu dan melaksanakan shalat sunnah, seperti shalat sunnah Tahajud,

Dhuha dan Hajat. Khusus untuk shalat subuh tidak menggunakan bacaan

qunut dan ketika shalat Jum’at menggunakan dua adzan dengan khutbah

menggunakan teks dalam bahasa Arab, hal ini juga dilakukan ketika shalat

‘Idain yang dilaksanakan di lapangan dengan khutbah menggunakan teks

bahasa Arab. Sedangkan untuk shalat sunnah Tarawih dilakukan dengan 8

rakaat yang ditambah witir 3 rakaat.

Puasa yang dilakukan oleh anggota LDII dalam bulan Ramadhan

mengikuti ketetapan Pemerintah, baik pada awal maupun akhir Ramadahan.

Sedangkan pada rukun Islam yanglain, yaitu Zakat bagi anggota LDII tidak

berbeda pandangan dengan ummat Islam Indonesia umumnya, yakni bahwa

zakat itu wajib dikeluarkan bagi orang yang memiliki harta benda yang sudah

mencapai batas ketentuan (nishab).

Haji bagi anggota LDII ditekankan untuk melaksanakannya apabila

sudah memiliki persyaratan maupun kemampuan. Kemudian tentang haji

amanah bagi anggota LDII diperbolehkan dengan syarat pelaku haji amanah

pernah melaksanakan ibadah haji untuk dirinya.

Nikah bagi anggota LDII senantiasa ditekankan agar ketika melakukan

pernikahan di KUA. Hal ini dikarenakan dengan nikah di kantor KUA berarti

sudah syah secara formal administrasi (Pemerintah) maupun secara agama.

Page 35: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

34

Meskipun demikian bagi anggota LDII berpandangan bahwa nikah secara

agama saja (sirri) adalah syah hukumnya.

E. Organisasi Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) di Kabupaten Grobogan

1. Sejarah Singkat

Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) di Kabupaten Grobogan tidak

diketahui secara pasti kapan mulai muncul. Hal ini dikarenakan anggota LDII

yang masuk ke wilayah Grobogan khususnya di wilayah Purwodadi sebagai pusat

kegiatan tingkat Kabupaten tidak menetap. Menurut Sarwo anggota asal Wonogiri

bahwa, sejak datang ke Purwodadi pada tahun 1974 sudah ada LDII dengan nama

LEMKARI, hanya saja pada saat itu tidak diketahui persis kapan pertama kali

muncul.

Keberadaan LEMKARI pada tahun 1974 yang diketahui oleh Sarwo diakui

oleh Bambang Setyobudi, hanya saja tempatnya berada di wilayah Kelurahan

Brambangan bukan kelurahan Purwodadi seperti yang sekarang ini dan benar-

benar eksis di wilayah Kelurahan Purwodadi tepatnya di RT 07 RW XXI Jetis

Selatan Kelurahan Purwodadi Kecamatan Purwodadi antara tahun 1982. Menurut

Moh. Hasym, S.Pd. (Guru Sejarah pada SMAN 1 dan SMA PGRI Purwodadi)41

embrio munculnya LDII di Kelurahan Purwodadi sebelum tahun 1982 dan pada

saat itu masih sangat eksklusif. Hal ini tergambar dari peristiwa tahun 1982 di

mana ada beberapa siswa dan warga yang shalat di Masjid milik LDII

dipel/dibersihkan setelah selesai melakukan shalat.

Kejadian di atas berkembang pada kejadian yang lain, yaitu tidak maunya

anggota LDII menjemur pakaian bersamaan dengan jemuran milik warga. Kondisi

seperti inilah yang pada saat itu LDII sulit untuk berkembang. Menurut Drs.

Suharman, bahwa tidak maunya anggota LDII menjemur pakaian bersama warga

bukan karena menganggap hasil cucian warga masih najis, melainkan kepantasan

pakaian yang dijemur, yaitu menjemur lebih baik di dalam atau di belakang

rumah, karena apabila di dalam atau dilihat orang lain tidak pantas.

41 Lokasi pusat aktivitas LDII berada di belakang gedung SMAN 1, SMA PGRI, dan juga SMA Nasional.

Page 36: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

35

Keberadaan LDII ini semakin mengalami kemajuan yang cukup pesat

setelah era reformasi, yaitu dapat merehab Masjid, menambah bangunan untuk

perkantoran dan gedung pertemuan atau aula. Kemajuan ini juga terlihat dari

aktifitas yang dikembangkan, yaitu dari pengajian rutin setiap hari Senin, Selasa,

dan Jum’at berkembang dengan penambahan pengajian cabe rawit untuk anak-

anak dan pengajian umum dalam rangka memperingati hari besar Islam.

Persebaran pengurus maupun anggota LDII Kabupaten Grobogan ini

cukup luas hampir di setiap Kecamatan yang ada di Kabupaten Grobogan. Begitu

juga persebaran pengurus maupun anggota yang aktif dalam setiap kegiatan di

pusat kegiatan LDII Kabupaten Grobogan terutama dalam pelaksanaan shalat

Jum’at berasal dari berbagai wilayah desa dan kecamatan yang ada di Kabupaten

Grobogan. Kekompakan dan soliditas inilah yang menggambarkan LDII

Kabupaten Grobogan sangat kuat dan cukup dikenal oleh kalangan masyarakat.

Dan anggota masyarakat merasa terbantu oleh pengurus LDII adalah pada saat

banjir melanda wilayah Kecamatan Purwodadi dimana sebagian masyarakat

mengungsi di aula LDII dengan diberi makan nasi bungkus maupun mie rebus.

2. Paham Keagamaan

Lembaga Dakwah Islam Indonesia sebagai lembaga yang didirikan pada

tanggal 3 januari 1972 memiliki tujuan yang telah dirumuskan dalam musyawarah

nasional. Tujuan LDII adalah meningkatkan kualitas kehidupan bermasyarakat,

berbangsa, dan bernegara yang islami serta turut serta dalam membentuk manusia

Indonesia seutuhnya...(Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga LDII Bab II

pasal 5. Dari tujuan meningkatkan kehidupan yang islami inilah LDII

mendasarkan paham keagamaannya pada al Qur’an dan al Hadits.

Menurut Drs. Suharman, LDII tidak mengenal paham keagamaan seperti

yang dikenal oleh ummat Islam pada umumnya, yaitu Ahlussunnah wal Jamaah

karena yang dikembangkan atau diajarkan dalam ajaran agama adalah hanya

mendasarkan pada al Qur’an dan al Hadits. Dengan demikian, LDII hanya

berprinsip pada ajaran yang diambil hanya dari al Qur’an dan al Hadits. Hal ini

telah ditetapkan dalam program umum LDII pada poin Maksud dan Tujuan yang

hendak dicapai, yaitu meningkatkan penghayatan dan pengamalan ajaran agama

Page 37: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

36

Islam dengan bersumber pada al Qur’an dan Sunnah Rosululloh Sholallahu

‘Alaihi Wassallam

a. Aqidah

Akidah yang dianut oleh anggota LDII tidak berbeda dengan akidah

yang dianut oleh umat Islam Indonesia pada umumnya, yakni berpegang pada

rukun iman yang berjumlah 6. Adapun keenam rukun iman tersebut adalah

iman kepada Allah SWT, iman kepada para Malaikat Allah, iman kepada

Rasul Allah, iman kepada hari akhir dan iman kepada qodlo dan qodar.

Menurut Sarwo, bahwa rukun iman ini tidak bisa ditambah maupun dikurangi

dan harus tetap dipertahankan karena sesuai dengan al Qur’an dan Assunah,

sehingga apabila akan merubah merupakan dosa.

b. Syariah

Pada bidang syariah yang dipedomani oleh angota LDII di Kabupaten

Grobogan berpegang pada rukun Islam yang berjumlah 5, yaitu Syahadat,

Shalat, Puasa, Zakat, dan Haji. Di samping itu, berbagai ajaran yang ada di

dalamnya juga menjadi sebuah kajian, seperti masalah nikah. Shalat yang

dilakukan oleh anggota LDII adalah shalat wajib dan shalat sunnah yang

benar-benar diajarkan atau dilakukan oleh Rasululloh SAW. Adapun dalam

pelaksanaannya sama dengan umat Islam lainnya.

Contoh dari pelaksanaan Syariah adalah ketika menjalankan shalat

Jum’at yang didahului dengan adzan pertama + 5 menit sebelum adzan ke dua.

Sebelum Adzan kedua dikumandangkan, terlebih dahulu Khotib naik mimbar

dan dilanjutkan khutbah dengan bahasa Arab, hal ini sebagaimana yang

dilakukan oleh Rasulullah apabila berkhutbah dengan menggunakan bahasa

Arab. Setelah khutbah pertama selesai, Khotib duduk bersila di atas sajadah

dan berdo’a + 45 detik untuk kemudian dilanjutkan dengan khutbah kedua

yang juga dengan menggunakan bahasa Arab. Khutbah menurut mereka

adalah rangkaian shalat sehingga tidak boleh diselipi bahasa selain bahasa

Arab.

Setelah shalat jum’at selesai, Khotib berdiri dan ceramah dengan

menggunakan bahasa Indonesia + 15 menit. Di tengah-tengah ceramah, para

jamaah melemparkan uang ke arah depan sebagai uang infaq/shadaqoh.

Page 38: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

37

Menurut Suharman, bahwa melempar uang ini untuk menunjukan bahwa

seberapapun uang yang dimiliki untuk diinfakan tidak perlu malu berapa

jumlahnya, yang paling penting adalah keikhlasan beramal. Hal ini berbeda

apabila infaq menggunakan kotak infaq di mana selain akan mengganggu

pelaksanaan shalat Jum’at juga masih ada rasa malu untuk berinfaq apabila

yang diinfaqkan nilainya sedikit.

Rukun Islam lainnya yang diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari

selain Shalat adalah Puasa, Zakat, dan Haji. Puasa yang dilakukan adalah

puasa Wajib setiap bulan Ramadhan dengan mengikuti Pemerintah untuk

penentuan awal dan akhir waktu, Zakat yang ditekankan adalah zakat fithrah

sebelum shalat ‘Idul Fithri dan Haji yang dilaksanakan adalah sebagaimana

umat Islam lainnya. Menurut Suharman, bahwa untuk haji tetap mengikuti

yang dipolakan oleh pemerintah sampai ke tanah suci, hal ini disampaikan

untuk menepis bahwa jamaah LDII setelah sampai di tanah suci akan memisah

dengan jamaah dari Indonesia dan akan bergabung dengan jamaah khusus

LDII.

Persoalan lain di luar rukun Islam di atas adalah masalah nikah.

Persoalan ini perlu mendapat kejelasan dikarenakan terdapat opini di

masyarakat, bahwa anggota LDII apabila akan menikah tidak melalui KUA,

melainkan dinikahkan dalam lingkungan LDII. Menurut para pengruus LDII

Kabupaten Grobogan, bahwa anggota LDII apabila akan menikah sama

dengan umat Islam lainnya, yaitu melalui RT sampai ke KUA. Hal ini

dibenarkan oleh Bambang sebagai Ketua RT, bahwa warga LDII apabila akan

menikah terlebih dahulu meminta surat pengantar dari RT, meskipun demikian

tetap dinikahkan lagi oleh kelompoknya. Bagi Bambang tidak ada persoalan

karena itu hak mereka.

F. Kelompok Jamaah Tabligh

1. Sejarah Singkat

Eksistensi kelompok Jamaah Tabligh mulai tahun 1979, yakni di awali

dengan kedatangan rombongan para Da’i dari Syuriah dalam rangka mengadakan

dakwah selama sekitar 15 hari. Rombongan tersebut pertama kali datang ke masjid

Page 39: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

38

Al Husna desa Prangkoan Kecamatan Mungkid Kabupaten Magelang. Kemudian

dakwah dilanjutkan ke masjid Kauman Payaman Tuguran dan Tegalrejo.

Tokoh utama yang mula-mula mengembangkan Jamaah Tabligh adalah H.

Ahmad Haryanto. Pada tahun 1980 ia sudah mengikuti rombongan Jamaah Tabligh

di atas ke Yogyakarta. Jejak H. Ahmad Haryanto itu kemudian diikuti oleh K.H.

Ahmad Muhlasin yang merupakan pengasuh pondok pesantren Sirojul mukhlasin di

Payaman Kecamatan Secang Kabupaten Magelang.

Kedua orang tersebut di atas (H. Ahmad Haryanto dan K.H. Ahmad

Muhlasin) yang selanjutnya sebagai tokoh yang sekaligus penanggungjawab

perkembangan kegiatan Jamaah Tabligh di daerah Kabupaten Magelang dan

sekitarnya. Hingga kini sentral aktifitas adalah di Pondok Pesantren Jamaah Tabligh

di Payaman I dan Kerincing II. Pada kedua pondok pesantren tersebut merupakan

lembaga pendidikan yang pada intinya adalah kegiatan tahfidz al Quran dan ta’lim.

Kemudian setiap bulan Robiul Awal sebagian santri dan alumni melakukan khuruj

(dakwah keluar) selama 10 hari dan pada setiap bulan Sya’ban selama 40 hari.

Kegiatan kelompok Jamaah Tabligh lebih terlihat gigih mulai tahun 1991 yang

berpusat di pondok pesantren Sirojul Mukhlasin Payaman. Setelah mengalami

perkembangan anggota (jamaah) secara pesat, maka pada tahun 1997 kegiatannya

dipusatkan di pondok pesantren Sirojul Mukhlasin II Kerincing Kecamatan

Secang.42

2. Pedoman dan Kegiatan Jamaah Tabligh43

a. Pedoman

Ada pedoman-pedoman yang melandasi setiap kegiatan dakwah bagi

warga Jamaah Tabligh, yaitu:

Empat hal yang harus diintensifkan, yaitu

1). Dakwah IlaAllah

2). Ta’lim wa Ta’lim

3). Dzikir wal Ibadah

4). Khidmah

Empat hal yang harus dikurangi, yaitu:

42 Hasil wawancara dengan ustadz Moh. Nursalim dan ustadz Ismail pada tanggal 30 Mei 2008. 43 Op.Cit., Halaman 16-17.

Page 40: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

39

1). Masa makan dan minum

2). Masa tidur dan istirahat

3). Masa keluar dari masjid

4). Masa berbicara sia-sia

Empat hal yang harus dijaga, yaitu:

1). Taat kepada pimpinan selama pimpinan taat pada Allah dan Rasul

2). Mendahulukan amal ijtima’ daripada amal pribadi

3). Menjunjung tinggi kehormatan masjid

4). Perasaan sabar dan tahan uji

Empat hal yang harus ditinggalkan, yaitu:

1). Mengharapkan sesuatu selain dari Allah

2). Meminta-minta sesuatu selain kepada Allah

3). Memakai barang orang lain tanpa seijin pemiliknya

4). Mubazir dan boros.

Empat hal yang tidak boleh disentuh, yaitu:

1). Tidak boleh membicarakan masalah politik baik dalam maupun luar negeri

2). Tidak boleh membicarakan masalah status sosial (derajat, pangkat dan

kedudukan) tetapi yang ada hanya tawakkal.

3). Tidak boleh membicarakan masalah khilafiyah atau perbedaan pendapat

dalam masalah agama.

4). Tidak boleh meminta-minta dana dan membicarakan aib masyarakat.

b. Kegiatan

Ada beberapa kegiatan yang dilakukan Jamaah Tabligh selain

pendidikan dalam pondok pesantren (tahfidz dan ta’lim). Adapun kegiatan

tersebut adalah :

1). Bulan Robiul Awal (Maulud)

Kegiatan ini dilakukan selama 10 hari secara berkeliling, baik di pulau jawa

maupun luar jawa. Pelaksana kegiatan ini selain warga pondok pesantren juga

diikuti para alumni manapun siapa saja yang mau mengikutinya

2). Bulan Sya’ban (Ruwah)

Page 41: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

40

Pada bulan sya’ban kegiatan tabligh keliling (khuruj) dilaksanakan

selama 40 hari. Adapun pelaksana kegiatan ini sama dengan pelaksana

kegiatan pada bulan Robiul Awal di atas.

3). Malam Jum’at

Kegiatan pengajian akbar yang diselenggarakan Jamaah Tabligh setiap

malam jum’at ini tidak hanya diikuti oleh warga Jamaah Tabligh saja, tetapi

dari orang-orang non Jamaah Tabligh di Kerincing dan sekitarnyapun banyak

yang mengikutinya. Kegiatan ini dilaksanakan sejak sore sehabis shalat Ashar

hingga pagi hari (Subuh).

4). Ba’da Maghrib

Kegiatan silaturahmi pada setiap ba’da maghrib ini dilakukan oleh warga

pondok pesantren Kerincing. Adapun bentuk kegiatan silaturahmi itu adalah

ke rumah-rumah warga dekat masjid yang berada di sekitar pondok pesantren.

Page 42: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

41

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN

Secara umum interaksi sosial aliran Islam minoritas di tengah-tengah

masyarakat di Jawa Tengah cukup kondusif, baik interaksi ini dilihat dari interaksi

sosial keagamaan, interaksi sosial kemasyarakatan maupun interaksi sosial politik

(Pemerintah). Indikatornya adalah tidak adanya gejolak yang mengarah pada

perpecahan di tengah-tengah masyarakat yang diakibatkan oleh adanya aliran Islam

minoritas tersebut atau terjalinnya kerjasama kelompok aliran dengan masyarakat

dalam kegiatan pendidikan, ekonomi, kemasyarakatan, dan kesehatan.

Sikap kondusifitas masyarakat Jawa Tengah ini tampak dari adanya

keterbukaan (Inclusivitas) bagi anggota aliran maupun bagi warga masyarakat

sekitar. Meskipun dalam beberapa prinsip tetap berpegang pada ajaran yang

diyakininya, namun demikian dalam interaksi sosial kemasyarakatan dan interaksi

sosial politik tetap berjalan baik. Interaksi sosial kemasyarakatan dan interaksi sosial

politik mempengaruhi masyarakat Jawa Tengah menjadi kondusif. Namun

demikian, untuk mengetahui lebih mendalam bagaimana sebenarnya interaksi sosial

keagamaan, interaksi sosial kemasyarakatan maupun interaksi sosial politik antara

aliran islam minoritas dengan pemerintah dalam dilihat pada pembahasan yang lebih

terfokus.

A. Interaksi Sosial Aliran Islam minoritas di beberapa Daerah di Jawa Tengah

1. Interaksi Kelompok Aliran Syi’ah

Persoalan yang sering terjadi di masyarakat terhadap aliran Syi’ah adalah

persoalan interaksi, baik interaksi sosial dalam kaitanya dengan kegiatan sosial

keagamaan, kegiatan sosial kemasyarakatan maupun kegiatan sosial dengan

pemerintah/ sosial politik. Problema interaksi sosial yang terjadi pada aliran

Syi’ah di wilayah Pekalongan ini adalah sebagai berikut:

Page 43: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

42

a. Interaksi Sosial Keagamaan

Interaksi sosial kelompok Syi’ah dengan masyarakat pada umumnya

cukup baik. Hal ini dapat dilihat dari pergaulan keseharian yang saling menyapa

apabila bertemu di jalan antara anggota maupun keluarga pesantren Al Hadi

dengan anggota masyarakat. Adanya anggota masyarakat yang membeli kue

(roti) yang disediakan di rumah ketua/keluarga H. Ahmad Barakbah. Kegiatan

rutin yang terbiasa terjadi dalam perilaku keseharian ini membawa implikasi

pada kegiatan yang lain terutama pada kegiatan sosial keagamaan.

Kegiatan sosial keagamaan yang bekerjasama dengan pemerintah desa

adalah ketika melaksanakan penyembelihan hewan qurban. Menurut Bapak

Bambang (Kepala Kelurahan Klego), bahwa setiap tahun dari keluarga H.

Ahmad Barakbah selalu memberikan kambing qurban yang sudah disembelih

dan diserahkan di kelurahan untuk dibagikan kepada anggota masyarakat sekitar.

Adapun teknis pembagian sepenuhnya diserahkan kepada panitia yang berada di

kelurahan.

Kegiatan lain yang membawa kepada sebuah interaksi adalah ketika

Ponpes Al Hadi mengadakan Peringatan Hari Besar Islam (Mauludan) dan

peringatan hari pengangkatan Ali bin Abi Thalib seminggu setelah hari raya

Haji. Pada peringatan ini pihak ponpes mengundang anggota masyarakat untuk

ikut menghadiri acara tersebut terutama dalam kegiatan pengajian. Menurut

salah seorang pengurus, bahwa dalam peringatan Mauludan biasanya dihadiri

oleh Kepala Kelurahan dan memberikan sambutan.

Adapun kegiatan rutin mingguan yang selalu diadakan dan melibatkan

anggota masyarakat sekitar adalah Pengajian Ahad Sore. Dalam pengajian ini

pihak Ponpes mengundang anggota masyarakat dan bertempat di Masjid Ponpes.

Dari hasil evaluasi selama ini, anggota masyarakat yang datang antara 20 sampai

25 orang. Materi yang disampaikan adalah masalah keislaman, seperti masalah

syari’at dengan metode ceramah dan dialog. Dalam pengajian ini sangat terbuka

dan mempersilahkan siapa saja untuk datang tanpa ada unsur paksaan untuk

mempengaruhi anggota masyarakat untuk memasuki aliran Syi’ah. Menurut H.

Ahmad Barakbah, bahwa keluarga besar Syi’ah tidak akan pernah berusaha

mempengaruhi masyarakat untuk masuk Syi’ah, apalagi dilakukan dengan cara

Page 44: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

43

door to door. Itu adalah suatu pantangan, karena orang mau masuk Syi’ah bukan

dari dakwahnya orang syi’ah melainkan karena kefahaman dan ketertarikan

dengan semangat berislamnya.

Kegiatan sosial keagamaan yang terjalin ketika anggota masyarakat

maupun organisasi lain seperti Al Irsyad mengadakan walimahan dengan

mengundang ponpes Al Hadi atau sebaliknya. Hubungan melalui kegiatan

walimah ini cukup efektif untuk saling memahami dan mengerti tentang adanya

perbedaan dalam beberapa ajaran dalam agama. Bagi kelompok Syi’ah yang

terpenting dalam berinteraksi apapun bentuknya yang dibawa adalah Islamnya

bukan nama kelompoknya.

b. Interaksi Sosial Kemasyarakatan

Pada dasarnya hubungan keluarga pondok pesantren Al Hadi dengan

komunitas masyarakat sekitarnya sangat baik. Hal ini ditandai dengan tidak

sedikitnya anggota masyarakat sekitar yang sering berhubungan, baik dalam

persoalan bisnis, sosial kemanusiaan maupun persoalan keagamaan. Menurut

Ustadz Barakbah, keterbukaan keluarga ponpes Al Hadi dengan anggota

masyarakat ini ditandai dengan lokasi pondok dan rumah yang tanpa pagar dan

terbuka kepada siapapun yang ingin memiliki kepentingan. Memang diakui

pernah terjadi gesekan-gesekan dengan anggota masyarakat sekitar tahun 1998,

akan tetapi gesekan tersebut dipicu oleh seseorang yang bermasalah dan tidak

suka akan keberadaan ponpes.

Pasca terjadinya gesekan terutama penyerangan beberapa anggota

masyarakat yang terprovokasi terhadap pondok pesantren dan masjid di

Wonotunggal Kabupaten Batang pada tahun 1999, kelompok Syi’ah lebih

berhati-hati dan selalu mengadakan sosialisasi melalui berbagai kegiatan, seperti

ikut menyemarakaan kegiatan dalam rangka memperingati HUT Kemerdekaan

RI, Menurut Bambang (Kepala Kelurahan Klego) bahwa setelah terjadinya

pergesekan antara ponpes Al hadi dengan masyarakat sekarang ini komunikasi

sudah dapat berjalan dengan baik dan hubungan sosial kemasyarakatan juga

berjalan dengan baik. Masyarakat sudah tidak lagi membahas tentang bagaimana

aliran Syi’ah perlu dilarang atau tidak, akan tetapi kerukunan yang dibangun

Page 45: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

44

sekarang ini perlu dilestarikan, apalagi dilihat dari hubungan kemasyarakatan

sudah baik.

Hubungan sosial dengan masyarakat menjadi baik juga diungkapkan

oleh salah seorang santrinya, bahwa Ketua RT setempat juga sering bermain ke

pondok dan ngobrol dengan para santri dengan berbagai hal terutama apabila

ada kegiatan berkaitan dengan lingkungan di RT. Begitu juga ketika RT maupun

pihak kelurahan mengadakan kegiatan, maka pihak ponpes pun selalu datang

dan iktu mengisi kegiatan.

c. Interaksi dengan Pemerintahan/Sosial Politik

Ustadz Ahmad Barakbah adalah pimpinan utama kelompok Syi’ah yang

ada di Pekalongan, oleh karena itu segala sesuatu yang berkaitan dengan pihak

luar ponpes, baik masyarakat maupun pemerintah selalu menjadi tokoh utama

yang melayani atau yang berhubungan. Sebagai contoh, Ustadz juga berdialog

dengan pihak kejaksaan ketika isu-isu Syi’ah menjadi sebuah isu yang sepihak.

Hasil dari dialog ini membawa pada hubungan antara ustadz Ahmad Barakbah

pribadi maupun atas nama keluarga besar ponpes Al Hadi dengan pihak

pemerintah (kejaksaan) menjadi baik.

Selain dengan pihak kejaksaan, Ustadz Ahmad Barakbah juga diundang

oleh pihak Departemen Agama dalam berbagai acara terutama berkaitan dengan

pondok pesantren. Dalam acara tersebut pihak ponpes Al hadi selalu datang

meskipun kadang diwakili oleh salah satu pengrusnya. Namun demikian

menurut Kakandepag Kota Pekalongan, bahwa pihak ponpes Al Hadi dalam

beberapa acara yang terkait selalu datang apabila diundang, hanya saja dalam

pertemuan itu mereka tidak aktif dalam berdialog. Ia hanya datang dan berbaur

dengan tamu undangan lainnya sampai acara berahir.

Pada tingkat kelurahan, pihak ponpes juga beberapa kali mendapat

undangan untuk mengikuti kegiatan tertentu, seperti dalam upacara 17 Agustus

maupun kegiatan karnaval atau kegiatan lainya. Menurut Lurah Klego, diakui

bahwa setiap ada kegiatan yang mengundang pihak ponpes Al Hadi selalu

didatangi dan menjadi peserta aktif. Hubungan komunitas Syi’ah dengan pihak

kelurahan terahir adalah ketika anggota Syi’ah akan berangkat ke Iran pada

Page 46: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

45

bulan Januari 2008. Pada saat persiapan pemberangkatan sekitar 10 orang

anggota Syi’ah mengurus surat-surat secara prosedural melalui kelurahan.

Hal yang sampai sekarang belum pernah bersentuhan adalah dengan peta

perpolitikan yang ada di wilayah Pekalongan khususnya. Pihak Kelompok

Syi’ah tidak pernah berhubungan maupun dihubungi oleh partai politik tertentu

untuk ikut bergabung. Namun demikian, sebagai warga negara Indonesia yang

harus taat pada pemerintahan, maka komunitas Syi’ah juga ikut berpartisipasi

dalam pemilihan umum maupun pemelihan daerah. Ketika ada pencoblosan,

komunitas Syi’ah juga ikut mencoblos, hanya saja yang tidak dilakukan adalah

ikut mengkampanyekan partai tertentu maupun kandidat tertentu.

Untuk memberikan pemahaman dan kebebasan pada para santrinya yang

sudah memiliki hak pilih, Ustadz hanya memberikan pendidikan politik melalui

media Televisi. Manurut Ustadz Ahmad Barakbah, bahwa para santri sudah

memiliki kemampuan tersendiri untuk memilih yang terbaik yang tingkat

kemaslahatannya lebih tinggi daripada tingkat kemadhorotannya, sehingga tidak

perlu ada pemahaman maupun penjelasan khusus tentang partai maupun figur

yang harus dipilih. Ustadz Ahmad Barakbah tidak pernah sekalipun

mengarahkan atau mengajak para santrinya untuk cenderung ke partai tertentu

atau memilih tokoh tertentu.

2. Interaksi Kelompok Majlis Tafsir Al Qur’an (MTA)

a. Interaksi Sosial Keagamaan

Perihal interaksi sosial keagamaan warga MTA dengan warga (umat

Islam) sekitar maupun pemerintah setempat dapat dipahami dari beberapa

kegiatan, yaitu pengajian umum, Juma’tan dan PHBI. Pada kegiatan pengajian

umum setiap Ahad pagi yang diselenggarakan oleh MTA Pusat, ternyata

pesertanya tidak hanya warga MTA saja, tetapi umat Islam pada umumnya pun

bebas mengikutinya. Pengajian tersebut pesertanya senantiasa banyak, yakni

diatas 6000 orang setiap minggu. Kemudian pemateri (penceramah) dalam

kegiatan pengajian umum itu tidak selalu oleh Ustad Ahmad Sukino, tetapi

sering mengundang tokoh agama dari luar, seperti Prof. Dr. Dinsyamsudin

(tokoh Muhamadiyah), Ir. Solahuddin Wahid (tokoh NU) dan sebagainya. Jadi

Page 47: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

46

pada kegiatan pengajian umum itu pimpinan MTA berupaya bisa mengundang

tokoh agama dari luar.

Mengenai materi pengajian umum yang diselenggarakan oleh MTA

Pusat itu tergantung tema apa yang diminta atau sesuai kemauan pemateri.

Tetapi yang jelas materi yang disampaikan pada pengajian umum itu bersifat

umum juga (akidah, akhlak dan sejarah).44

Dari kegiatan pengajian umum tersebut memberikan deskripsi bahwa

terdapat interaksi yang baik dan bahkan rutin antara warga MTA dengan umat

lain. Hanya saja dalam hal itu pihak MTA lah yang senantiasa

menyelenggarakan. Tetapi pada kegiatan yang diselenggarakan pihak lain, pihak

MTA belum terlibat.

Dalam kegiatan juma’tan, warga MTA ternyata juga melaksanakannya di

masjid-masjid umat sekitarnya dimana warga MTA berada. Sehingga pada

kegiatan Juma’tan tersebut memang bukan menjadi kendala bagi warga MTA

untuk menyatu dan berinteraksi dengan umat lain. Kemudian pada kegiatan

PHBI, interaksi yang terjadi ternyata belum terjadi ketingkat warga. Tetapi

untuk kegiatan-kegiatan PHBI itu yang biasa terlibat masih pada tatanan

pengurus, baik pada tingkat cabang, perwakilan maupun pusat.45

Realitas empirik menunjukan bahwa interaksi sosial keagamaan warga

MTA dengan umat Islam lainnya memang masih relatif terbatas (sedikit), dan

yang tampak jelas interaksinya pada kegiatan rutin pada pengajian umum Ahad

pagi saja. Sedangkan untuk kegiatan sosial keagamaan lainnya, warga MTA

masih belum tampak keterlibatannya.46

Berdasarkan realitas interaksi sosial keagamaan warga MTA di atas,

menunjukan bahwa dalam perihal kegiatan sosial keagamaan warga MTA masih

belum mencairkan diri untuk berinteraksi dengan umat lainnya. Hal itu

dimungkinkan karena warga MTA masih belum bisa seirama dengan umat lain

dalam hal pemahaman (tafsir) terhadap Al Qur’an, khususnya pada tatanan

penghayan dan pengamalannya. Begitu juga sebaliknya, pihak (umat) lain tadi

44 Hasil wawancara dengan Ustadz Ahmad Sukino, pada tanggal 25 April 2008 45 Ibid. 46 Hasil wawancara dengan informan pada tanggal 25 April 2008

Page 48: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

47

dimungkinkan pula telah terlanjur memberikan stigma bahwa kelompok MTA

itu sebagai pengamal ajaran yang relatif keras, eksklusif dan sebaginya.

Realitas sebagaimana di atas sejak paska era reformasi berangsur-angsur

mulai tereleminasi dan kini bahkan dapat dibilang relatif sudah tidak lagi

menjadi perihal yang dipergunjingkan lagi dalam kehidupan umat Islam

sekitarnya (MTA). Walaupun demikian, bagi pihak yang tidak sepahampun

masih ada komentar miring terhadap MTA. Hal itu wajar terjadi dalam

kehidupan keagamaan umat Islam di Indonesia (khususnya), dimana ketidak

sepahaman terhadap penafsiran ajaran dari sumber utama (Al Quran) merupakan

dinamika yang kiranya sulit dihikangkan.

Sebagai suatu prinsip yang senantiasa dipedomani oleh warga MTA

dalam berinteraksi sosial keagamaan adalah lana a’maluna walakum a’malukum

(bagi kami apa yang kami lakukan dan bagi kalian apa yang kalaian lakukan).

Maksudnya apa yang diamalkan ajaran agama itu untuk diri warga MTA dan

terserah bagi kelompok atau pihak lain mengamalkan ajaran agama yang

dipedomaninya. Dengan prinsip itulah terlihat bahwa warga MTA dalam

berinteraksi sosial keagamaan lebih cenderung menjaga diri agar tidak

menimbulkan konflik dengan pihak lain.

b. Interaksi Sosial Kemasyarakatan

Tentang interaksi sosisl kemasyarakatan warga MTA dapat diketahui

dari berbagai kegiatan senagaimana yang telah disinggung di muka (Bab II).

Dalam kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oeh warga MTA itu seperti kerja

bakti bersama, pemda dan TNI kemudian warga MTA juga secara rutin pertiga

bulan sekali melakukan donor darah, bahkan kadang kala apabila pihak PMI

merasa mendesak untuk kebutuhan darah menghubungi pihak MTA

Selanjutnya interaksi sosial warga MTA dengan masyarakat atau umat

sekitar adalah berupa pemberian santunan kepada korban banjir maupun konflik.

Begitu juga dapat diketahui adanya interaksi sosial kemasyarakatan adalah pihak

MTA menerima pasien dari warga non MTA untuk berobat di Balai Pengobatan

MTA.

Kemudian pada aspek perekonomian antara warga MTA dan umat

sekitarnya dapat terjalin interaksi yang harmonis seperti warung makan warga

Page 49: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

48

non MTA relasinya juga banyak warga MTA. Begitu juga sebaliknya warga

MTA juga biasa berbelanja di kios atau warung warga non MTA, warga MTA

juga biasa beli obat di apotik milik warga MTA dan sebagainya.47

Berdasarkan realitas empirik tentang interaksi sosial kemasyarakatan

warga MTA sebagamana pembahasan di muka, memberikan deskripsi bahwa

perihal interaksi sosial kemasyarakatan MTA dapat dikatakan karena terinspirasi

oleh pemahaman, penghayatan dan pengamalan ajaran Al Qur’an yang

diupayakn untuk diimplementasikan semampu mungkin dalam kehidupan

sehari-hari. Sebagai contoh dalam kegiatan pemberian santunan korban bencana

alam maupun konflik tidak hanya terbatas di daerah sekitar kelompok MTA

saja, tetapi hampir setiap ada bencana alam maupun korban konflik di Indonesia,

warga MTA senantiasa berpartisipasi. Adapun dana untuk kegitan penyantunan

itu murni dari warga MTA yang bersumber dari infak, sodaqoh dan zakat.

Dalam ketiga hal itu (infak, sodaqoh, dan zakat), warga MTA senantiasa

berusaha mengimplementasikan ajaran yang terkandung dalam Al Qur’an,

Berdasarkan sumber dana yang terhimpun dari warga MTA itulah, maka

MTA mampu membeiayai diri dan memberikan santuanan pada pihak lain yang

membutuhkan. Bagi warga MTA berinteraksi sosial dengan masyarakat itu luas

cakupannya, yang termasuk didalamnya adalah tolong menolong dalam

kehidupan. Lebih utama sebagai manusia adalah menjadi pihak yang mampu

menolong atau memberi dari pada pihak yang diberi, sebagaimana ajaran dalam

Islam (Al Hadits) Al yadul ‘ulya khoirun min yadis sufla (tangan diatas lebih

baik dari pada tangan yang berda di bawah).

Interaksi sosial kemasyarakatan yang dibangun oleh warga MTA adalah

dapat dipahami sebagai pengajaran dalam pemahamannya tentang jihad “bi

amwal” maksudnya jihad dengan menggunakan modal harta benda. Hal ini

terbukti dengan cukup banyaknya kegiatan pemberian santunan yang dilakukan

oleh warga MTA untuk kemaslahatan masyarakat pada umumnya.

47 Hasil wawancara dengan Siti asyiyah (warga non MTA) pada tanggal 25 April 2008

Page 50: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

49

c. Interaksi dengan Pemerintahan/Sosial Politik

Interaksi sosial antar wrga MTA dengan pemerintah dapat terjalin antara

pimpinan MTA dengan Pemda, Kodim, diknas, dan Depag. Interaksi itu terjadi

pada kegiatan-kegiatan, seperti PHBI, ulang tahun dan sebagainya. Bentuk

interaksi itu adalah bersifat undang mengundang.

Khusus interaksi MTA dengan pihak Depag dan Diknas biasanya terkait

dengan masalah-masalah kegamaan dan pendidikan. Interaksi dalam bentuk

undang mengundang, konsultasi dan pembinaan. Untuk interaksi MTA dengan

kedua instansi pemerintah tersebut frekuensinya lebih sering dibandingkan

dengan instansi lainnya.

Kemudian interaksi dengan pihak lain adalah adanya interaksi antara

pimpinan MTA dengan para pimpinan ormas Islam ataupun kelompok Islam.

Interaksi itu terjalin dalam satu wadah kegiatan MUI Kota Surakarta. Dalam

kepengurusan MUI itu dapat diketahui bahwa Ustadz Ahmad Sukino (ketua

umum MTA) duduk sebagai pembuka, ketua II MUI juga dari warga MTA, dan

komandan satgas MTA menjadi pengurus MUI. Selanjutnya di wadah FKUB

ada dua orang dari warga MTA yang menjdi anggota FKUB Kota Surakarta.

Dan ada pula warga MTA yang menjdi anggota pengurus FSUI Surakarta.

Memahami keterlibatan pimpinan MTA dalam beberapa wadah umat

Islam itu, memnunjukan bahwa warga maupun pimpinan MTA terdapat

interaksi dengan pihak lain. Disamping itu MTA ternyata berinteraksi pula

dengan beberapa instansi.

3. Interaksi Kelompok Syahadatain

a. Interaksi Sosial Keagamaan

Masyarakat Purbadana Kecamatan Kembaran termasuk masyarakat yang

relegius dengan kultur paham keagamaan hampir 100 % NU. Oleh karena itu,

interaksi sosial keagamaan yang terjadi tidak jauh berbeda dengan model-model

yang dikembangkan dalam tradisi NU, seperti Tahlilan, Mitungdino,

Matangpuluh, Nyatus dan Nyewu. Begitu juga yang terjadi pada kelompok

Syhadatain yang ”mengaku” NU yang konsisten dengan ajarannya, bahwa

bentuk-bentuk tahlilan, nyewu dan lain sebagainya adalah tradisi yang biasa

Page 51: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

50

dilakukan oleh kelompoknya dan juga berada dalam lingkungan masyarakat

sekitar.

Interaksi sosial keagamaan warga kelompok Syahadatain dengan warga

(umat Islam) sekitar maupun pemerintah setempat secara khusus dapat dipahami

dari beberapa kegiatan, yaitu pengajian umum (PHBI) dan Juma’tan.. Pada

kegiatan pengajian umum yang diselenggarakan oleh masyarakat muslim pada

umumnya, anggota dari kelompok Syahadatain juga aktif, baik sebagai panitia

maupun peserta. Dalam pengajian umum ini biasanya diselenggarakan

mengikuti hari besar Islam, seperti pada saat memperingati Isra’ Mi’raj, Maulid

Nabi maupun ketika menyelenmggarakan malam peringatan nuzulul Qur’an.

Pada saat penyelenggaraan pengajian umum biasanya yang memberikan

ceramah seorang kyai dari luar wilayah kecamatan Kembaran. Menurut Warsito,

bahwa penceramah yang didatangkan biasanya dari kalangan NU, hal ini

dilakukan disamping untuk mempertebal keimanan dan menambah wawasan

keagamaan juga lebih tepat sesuai dengan kondisi masyarakat sekitar.

Masyarakat Purbadana khususnya adalah masyarakat yang memiliki nilai-nilai

sosial keagamaan yang tinggi, sehingga diharapkan isi dari ceramah juga lebih

memperkuat nilai-nilai tersebut.

Menurut Warsito, bahwa prinsip yang dikembangkan sementara ini

untuk mendukung terciptanya suasana yang kondusif adalah tetap menjaga

persatuan dan kesatuan warga dan sejauh mungkin menghindarkan dari hal-hal

yang membuat perpecahan. Sebagai contoh adalah ketika anggota kelompok

Syahadatain terjadi musibah, maka yang membacakan tahlil dan do’a juga dari

anggota masyarakat umumnya di luar anggota Syahadatain. Begitu juga

sebaliknya apabila ada anggota masyarakat yang terkena musibah, maka yang

ikut mengurusi jenazahnya dari awal sampai penguburan melibatkan anggota

kelompok Syahadatain.

Memang diakui terdapat anggota kelompok Syahadatain yang kadang

berlebihan di mana apabila yang terkena musibah bukan kelompoknya, maka

tidak begitu respon untuk membantunya. Namun demikian anggota kelompok

tersebut sudah cukup dikenal di masyarakat memang perilakunya kurang baik

Page 52: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

51

dan hubungan sosial keagamaan dengan masyarakat pada umumnya juga kurang

baik.

Interaksi sosial keagamaan yang tidak mau kompromi adalah pada saat

pelaksanaan shalat jum’at. Ibadah shalat jum’at yang dilaksankan oleh

kelompok Syahadatain ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan

pada masjid sekitarnya, yaitu diawali dengan adzan pertama untuk panggilan

dan adzan kedua ketika khotib memulai khutbahnya. Namun demikian, anggota

masyarakat sekitarnya tidak melakukan shalat Jum’at di masjid Syahadatain.

Begitu juga sebaliknya meskipun agak jauh, bagi anggota kelompok

Syahadatain tetap melakukan shalat jum’at di masjid Syahadatain. Adapun

jumlah jamaah shalat jum’at yang tidak melebihi 40 orang tidak menjadikan

kelompok umat Islam lainnya mengklaim tidak sah. Kondisi seperti inilah

menurut Warsito yang menjadikan interaksi sosial keagamaan dapat berjalan

dengan baik. Klaim kebenaran kelompoknya tidak terjadi.

b. Interaksi Sosial Kemasyarakatan

Interaksi sosial kemasyarakatan warga Syahadatain dapat berjalan

dengan baik. Hal ini terlihat dari kebiasaan anggota masyarakat dalam aktivitas

kerja bakti bersama, ikut berbela sungkawa apabila terdapat anggota

kelompoknya maupun anggota masyarakat pada umumnya yang terkena

musibah, ikut membantu apabila terdapat anggota keluarga dari manapun yang

mempunyai hajat sunatan/ngantenan/syukuran dan saling membantu ketika

terdapat anggota masyarakat yang tidak mampu membangun rumah sebagai

tempat tinggal.

Dalam interaksi sosial kemasyarakatan ini nampak tidak ada kehususan

bagi kelompok Syahadatain untuk memilah-milah. Hal ini dikarenakan, menurut

Imam Nahdi, bahwa ketika berada di masyarakat apapun aktivitasnya adalah

sebagai anggota masyarakat, sehingga tidak bisa dipilah-pilah mana yang

anggota Syahadatain dan mana yang bukan. Interaksi sosial kemasyarakatan

merupakan keharusan bagi seluruh anggota masyarakatan tanpa terkecuali.

Interaksi sosial kemasyarakatan juga terlihat dari hubungan

perekonomian antara anggota kelompok Syahadatain dengan warga sekitarnya.

Jalinan hubungan yang harmonis terlihat adanya warga yang membeli kebutuhan

Page 53: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

52

sehar-hari di warung milik anggota Syahadatain, begitu juga dari anggota

Syahadatain yang melakukan transaksi jual beli dengan anggota masyarakat

pada umumnya. Realitas empirik ini memberikan deskripsi bahwa perihal

interaksi sosial kemasyarakatan yang terjadi sebagai kultur masyarakat pedesaan

yang dikenal sebagai masyarakat paguyuban.

Menurut Drs. Muslimin dari Departemen Agama Kabupaten Banyumas,

bahwa terdapat konsep yang cukup matang dan tepat yang berkembang dan

selalu dikumandangkan dalam berbagai acara di perkotaan maupun di pedesaan,

yaitu konsep Paseduluruan. Konsep ini berasal dari bahasa asli banyumas, yaitu

sedulur yang semua orang paham. Konsep inilah yang membawa pada interaksi

sosial kemasyarakatan seperti tidak ada sekat-sekat, baik organisasi maupun

aliran.

Dilihat dari aspek kepentingan anggota Syahadatain dalam interaksi

sosial kemasyarakatan nampaknya dilakukan dengan kesadaran sebagai anggota

masyarakat bukan karena menjaga hubungan baik dengan warga masyarakat.

Menurut Ahmadi, bahwa semua kegiatan kemasyarakatan tidak ada hubunganya

dengan kegiatan kelompok tertentu, oleh karena itu merupakan tanggungjawab

bersama semua warga untuk memiliki interaksi sosial yang baik dalam

bermasyarakat.

c. Interaksi dengan Pemerintahan/Sosial Politik

Interaksi anggota kelompok Syahadatain dengan pihak pemerintah secara

institusi tidak terjadi. Hal ini dikarenakan kelompok Syahadatain tidak pernah

memiliki kepentingan dengan pemerintah, baik Departemen Dalam Negeri

maupun Departemen Agama. Begitu juga bagi pemerintah, khususnya

Departemen Agama Kabupaten Banyumas yang tidak mengerti keberadaan

kelompok Syahadatain di Desa Purbadana Kecamatan Kembaran.

Menurut Drs. Muslimin, bahwa Departemen Agama Kabupaten

Banyumas belum mendapat laporan dari masyarakat maupun organisasi tertentu

tentang keberadaan Syahadatain, meskipun pada tingkat pusat telah terdaftar

sebagai salah satu organisasi/kelompok dengan sifat kekhususan Kesamaan

Agama Islam. Begitu juga dalam organisasi yang tergabung dalam Forum

Komunikasi Lembaga Dakwah (FKLD) maupun Badan Kerjasama Organisasi

Page 54: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

53

Islam (BKOI) untuk wilayah Kabupaten Banyumas tidak dikenal kelompok

Syahadatain.

Meskipun secara organisasi tidak ada interaksi antara kelompok

Syahadatain dengan pemerintah, namun demikian secara individual interaksi

tersebut dapat berjalan dengan baik. Sebagai salah satu contoh adalah beberapa

anggota kelompok Syahadatain adalah Pegawai Negeri Sipil yang secara

otomatis selalu bekerja untuk pemerintah. Di samping itu, beberapa anggotanya

juga sebagai ketua RT dan pengurus RT dan RW yang selalu aktif berkoordinasi

dengan pihak kelurahan, sehingga apabila ada kebijakan dari pemerintah pada

tingkat atas sampai pada tingkat kelurahan, maka pihak RT selalu mengadakan

sosialisasi.

Menurut H.A.Mawardi, bahwa sebagai warga Negara yang sekaligus

sebagai ketua RT, maka sudah merupakan kewajiban untuk membantu apa yang

diperlukan oleh pemerintah terutama pada level desa. Secara informal,

keberadaan kelompok Syahadatain sudah diakui oleh pemerintah tingkat desa

sehingga segala aktivitas yang dilakukan pihak pemerintahan desa

mengetahuinya. Hal senada juga disampaikan oleh Kepala Desa, bahwa semua

aktivitas yang dilakukan oleh kelompok Syahadatain selalu diketahuinya dan

untuk sementara ini selalu membantu secara langsung maupun tidak langsung

terhadap beberapa program pemerintah, terutama ketika Pilkada maupun Pemilu.

Kesungguhan kelompok Syahadatain dalam pelaksanaan program

pemerintah terutama pada saat Pemilu tanpa memiliki tendensi apapun kecuali

hanya ingin menyukseskan program pemerintah. Menurut Imam Nahdi, bahwa

kelompoknya tidak memiliki afiliasi politik kemanapun dan kepada siapapun,

sehingga menyerahkan kepada anggotanya untuk memilih yang disukai.

Kelompoknya tidak pernah mendapat instruksi secara tertulis maupun lisan

untuk menentukan pilihan pada partai atau seseorang dalam pilihan kepala

daerah maupun dalam pemilu.

Kenetralan kelompoknya terhadap berbagai urusan Pilkada dan Pemilu

memuluskan jalannya interaksi sosial dengan pemerintah. Hal ini nampak dari

petugas lapangan dalam Pemilu maupun Pilkada tidak sedikit dari anggota

kelompok Syahadatain menjadi anggota atau bahkan ketua Panitia Pemungutan

Page 55: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

54

Suara (PPS) tingkat Desa. Menurut Warsito, bahwa peran dari beberapa anggota

kelompok Syahadatain cukup tinggi sehingga dapat membantu pemerintah desa

dalam menyukseskan program pemerintah, apalagi sementara ini kelompok

mereka berada pada posisi yang netral dan tidak mau diikutsertakan dalam salah

satu partai politik maupun tim suskes dalam Pilkada.

4. Interaksi Organisasi Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) di

Kabupaten Pati

a. Interaksi Sosial Keagamaan

Interaksi sosial keagamaan anggota LDII dengan masyarakat muslim

sekitarnya (Daerah Kabupaten Pati) hanya tercipta pada saat LDII

menyelenggarakan kegiatan pengajian minggu pagi, baik pada tingkat PAC,

PC maupun DPD. Hal itu disebabkan karena pihak LDII membebaskan kepada

siapapun untuk mengikutinya. Tetapi pada kenyataannya hanya ada beberapa

orang tertentu saja yang hadir mengikuti pengajian tersebut. Sebaliknya

anggoat LDII tidak pernah mengikuti kegiatan pengajian yang dielenggarakan

oleh masyarakat muslim disekitarnya, baik yang berupa pengajian biasa

maupun penyelenggaraan PHBI.

Dengan demikian dapat dipahami, bahwa anggota LDII dengan

masyarakat muslim sekitarnya kurang ada interaksi, baik dalam bentuk undang

mengundang maupun yang bersifat spontanitas individual dan atau kelompok.

Realitas semacam itu dapat diartikan adanya eksklusifitas anggota LDII untuk

berinteraksi dalam hal kegiatan keagamaan dengan kelompok lain.

b. Interaksi Sosial Kemasyarakatan

Dalam kegiatan sosial kemasyarakatan di mana para anggota LDII

berada di wilayah sekitar Kabupaten Pati ternyata terdapat interaksi antara

kedua belah pihak (anggota LDII dengan masyarakat sekitar). Realitas

menunjukan anggota LDII senantiasa mau melibatkan diri dalam kegiatan-

kegiatan yang diselenggarakan oleh masyarakat umum, seperti kerja bakti,

olah raga, ketetanggaan, dan kemasyarakatan.

Kemudian dalam kegiatan sosial ekonomi, anggota LDII paling tidak

ada jarak ataupun kesungkanan berinteraksi dengan masyakat sekitar. Hal itu

Page 56: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

55

dapat dimengerti dari para anggota LDII tidak merasa ada kesungkanan

berbelanja di toko/warung yang penjualnya anggota LDII. Dilihat dari aktifitas

sosial kemasyarakatan ternyata atribut, simbol maupun paham antara kedua

belah pihak tidak menjadi mekanisme kontrol ketika berinteraksi. Dengan

demikian, interaksi sosial kemasyarakatan antara anggota LDII dengan

masyarakat sekitar dapat tercipta tanpa adanya hambatan atas dasar paham

maupun lainnya.

c. Interaksi dengan Pemerintahan/Sosial Politik

Interaksi anggota maupun pengurus LDII dengan pemerintah pada

kenyataannya juga belum tercipta dengan baik, khususnya dengan Departemen

Agama. Dengan Departemen Agama ini, interaksi terjadi hanya ketika anggota

LDII hendak melakukan pernikahan dan ibadah haji. Selain dari kdua hal

tersebut antara LDII dengan Departemen Agama Kabupaten Pati tidak pernah

ada hubungan (interaksi). Pihak Departemen Agama merasa tidak pernah

diundang maupun mengundang LDII pada kegiatan-kegiatan keagamaan.

Interaksi LDII dengan elemen pemerintah lain dapat tercipta pada saat

menyelenggarakan kegiatan penyuluhan tentang narkoba dan perkemahan

anak sekolah setiap setahun sekali. Adapun bentuk interaksi (hubungan) itu

adalah pihak LDII yang mengundang pihak kejaksaan, POLRI dan

Kesbanglinmas.

5. Interaksi Organisasi Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) di

Kabupaten Grobogan

Secara umum interaksi anggota LDII dengan berbagai pihak berjalan

cukup kondusif, baik dalam interaksi sosial kemasyarakat, sosial keagamaan

maupun dalam interaksi sosial politik. Menurut Bambang Setyobudi, bahwa

interaksi yang dilakukan oleh anggota LDII cukup baik, hal ini dilihat dari

berbaqgai kegiatan yang bersifat kemasyarakatan selalu mengikuti, apalagi

tokoh LDII yang berdiam di wilayahnya termasuk pengurus RT.

Perubahan keterbukaan dalam interaksi ini mulai sangat terasa setelah

LDII menyampaikan surat klarifikasi kepada MUI tentang paradigma baru yang

dilakukan oleh LDII pusat. Meskipun LDII Kabupaten Grobogan belum

Page 57: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

56

menerima salinan surat keputusan dari MUI Kabupaten Grobogan, akan tetapi

sudah bisa memahami isi dari surat tersebut, yaitu yang berisi tentang: LDII

bukan penerus/kelanjutan dari gerakan Islam Jamaah serta tidak menggunakan

ataupun mengajarkan ajaran Islam Jamaah.

Selain di atas, surat klarifikasi tersebut menyebutkan tentang. LDII tidak

menggunakan atau menganut sistem keamiran, LDII tidak menganggap umat

muslim di luar kelompok mereka sebagai kafir dan najis, dan LDII bersedia

bersama ormas-ormas Islam lainnya mengikuti landasan berfikir keagamaan

sebagaimana yang ditetapkan MUI. Klarifikasi tersebut dalam realitas di

masyarakat Grobogan dapat dilihat dari bagaimana interaksi sesungguhnya

warga LDII di tengah-tengah masyarakat.

a. Interaksi Sosial Keagamaan

Interaksi sosial keagamaan anggota LDII dengan masyarakat muslim

sekitarnya berjalan dengan baik. Menurut Ibu Ety Yuni (Ibu rumah tangga)

bahwa kelompok LDII setiap tahun selalu membagikan daging kurban kepada

masyarakat sekitar. Di samping itu, mempersilahkan masyarakat untuk

mengikuti pengajian yang diselenggarakan oleh LDII, terutama bagi anak-anak

untuk ikut aktif dalam kegiatan pengajian al Quran Cabe Rawit di masjid LDII.

Kegiatan sosial keagamaan ini yang bersifat rutin dilaksanakan setiap

hari senin malam, selasa malam dan jum’at malam. Kegiatan ini dilaksanakan

dari habis shalat Isya sampai jam 21.30 WIB kecuali ketika pengajian dalam

rangka memperingati Hari Besar Islam (PHBI) toleransi waktu dapat melebihi

jam masyarakat. Menurut Bambang Setyobudi, untuk sementara ini tidak pernah

ada persoalan dengan kegiatan pengajian yang diadakan oleh kelompok LDII.

Hanya saja ketika masyarakat mengadakan pengajian yang bersifat rutin,

anggota LDII yang berada di wilayahnya tidak mengikuti.

Menurut Bambang, bahwa di RTnya diselenggarakan pengajian dan

tahlil rutin bulan yang diberi nama Al Muqorrobiin. Kegiatan ini berjalan

dengan baik setiap bulan dan diikuti oleh hampir semua warga muslim kecuali

yang menjadi anggota LDII. Bagi Bambang, bahwa selama anggota LDII tidak

menjelekan pengajian yang ada dan tetap melakukan hubungan kemasyarakatan

dengan baik, maka perbedaan tersebut tidak menjadi masalah.

Page 58: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

57

b. Interaksi Sosial Kemasyarakatan

Kegiatan Pengurus maupun anggota LDII Kabupaten Grobogan secara

umum sama dengan anggota masyarakat lainnya dalam kegiatan sosial

kemasyarakatan. Hanya saja secara organisasi kegiatan sosial kemasyarakatan

tidak nampak, hal ini dikarenakan pengurus maupun anggota LDII lebih banyak

bertempat tinggal di luar wilayah Jetis Selatan Kelurahan Purwodadi. Menurut

Ibu Ety Yuni (anggota masyarakat RT 07 RW XXI Jetis Selatan) maupun Moh.

Hasyim S.Pd.48 bahwa pengurus maupun anggota LDII yang berdiam di wilayah

tersebut cukup baik dalam melakukan interaksi sosial kemasyarakatan yang

bersifat harian maupun insidentil, terutama ketika ada penyembelihan hewan

qurban kemudian dagingnya dibagikan ke seluruh warga sekitar dan ketika

terjadi kebanjiran, warga mengungsi di aula milik kantor LDII. Adapun untuk

kebutuhan sehari-hari makan dan minum dibantu oleh pengurus LDII dalam

bentuk nasi bungkus dan mie rebus.

Pendapat berbeda disampaikan oleh Bambang Setyobudi (Ketua RT 07

RW XXI), bahwa pengurus maupun anggota LDII dalam peringatan Idul Qurban

diakui cukup baik, yaitu menyembelih hewan qurban maupun membagikannya

dilakukan sendiri oleh pengurus dan anggota LDII. Namun demikian, dalam

kegiatan kemasyarakatan, terutama ketika ada kegiatan yang bersifat melibatkan

seluruh anggota masyarakat pada tingkat RT pada awalnya sulit untuk aktif.

Melihat kondisi seperti inilah akhirnya salah satu tokoh dari LDII masuk dalam

struktur pengurus RT, yaitu H. Sunar Hidayatullah (Bendahara LDII Kabupaten

Grobogan) dan mulai sejak itulah pengurus maupun anggota LDII di wilayah

Jetis selatan mulai aktif dalam kegiatan kemasyarakatan, seperti berkunjung

terhadap orang yang sakit, kerja bakti, dll.

Keterlibatan anggota LDII dalam kegiatan sosial kemasyarakatan juga

didukung oleh adanya beberapa anggota LDII yang menerima bantuan beras dari

pemerintah melalui RT. Menurut Bambang Setyobudi, bahwa semua warga yang

terdaftar sebagai warga Jetis selatan dan dianggap kurang mampu akan

mendapat bantuan tanpa pandang bulu. Pendekatan seperti inilah, menurut

48 Moh. Hasyim S.Pd. adalah Guru Sejarah pada SMAN 1 Purwodadi yang letaknya berdekatan dengan Kantor Pusat kegiatan LDII Kabupaten Grobogan.

Page 59: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

58

Bambang Setyobudi cukup tepat untuk melibatkan pengurus maupun anggota

LDII dalam seluruh kegiatan yang berkaitan dengan kemasyarakatan. Bahkan

lebih dari itu, kegiatan yang diadakan oleh warga LDII pun harus mengikuti jam

masyarakat agar tidak mengganggu ketenangan warga dan ketika ada kegiatan

Ketua RT di undang atau paling tidak diberitahu secara lisan maupun surat

resmi.

Apabila melihat Anggaran Dasar LDII, yaitu pada Bab IV tentang

Kegiatan dan Usaha pasal 9 diktum 4 berisi tentang Peran serta sosial dan

kemasyarakatan yang diantara isinya adalah meningkatkan kerjasama dan

persaudaraan di kalangan umat Islam, Berupaya meningkatkan kesadaran,

kepekaan dan kesetiakawanan sosial melalui kegiatan sosial dan peningkatan

kesejahteraan yang dimaksudkan untuk memperkecil kesenjangan sosial, maka

tidak ada persoalan lagi interaksi sosial anggota LDII dengan warga masyarakat.

Menurut Suharman (Sekretaris LDII Kabupaten Grobogan), bahwa interaksi

sosial warga LDII Kabupaten Grobogan dengan warga masyarakat sekitarnya

adalah cukup baik, hal ini dapat dibuktikan dalam berbagai even-even kegiatan

kemasyarakatan selalu aktif.

c. Interaksi dengan Pemerintahan/Sosial Politik

Interaksi anggota maupun pengurus LDII dengan pemerintah berkaitan

dengan politik sekarang ini lebih independen. Menurut Drs. Suharman, bahwa

LDII sekarang memiliki paradigma baru untuk menepis isu-isu yang pernah

berkembang, yaitu Dipel/disucikan kembali bagi jamaah shalat yang bukan

anggota LDII shalat di masjid LDII, eksklusive, dan underbow pada salah satu

partai politik tertentu. Masjid LDII sekarang diperbolehkan untuk shalat semua

kalangan umat Islam tanpa harus dipel/disucikan kembali setelah selasai shalat,

anggota LDII lebih terbuka untuk berdialog dengan siapapun dan anggota LDII

dipersilahkan untuk mengikuti partai politik yang disukai.

Dengan paradigma baru tersebut. LDII juga mengadakan hubungan baik

dengan pihak pemerintah, baik berkaitan dengan kewarganegaraan, seperti

mengurus KTP, surat pernikahan, pelaksanaan pernikahan dengan menggunakan

Page 60: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

59

lembaga KUA49, dll. Selain kegiatan yang bersifat individual dengan pihak

pemerintah, secara organisasi LDII juga mengadakan hubungan baik dengan

pemerintah Kabupaten maupun Departemen Agama yaitu lembaga yang

dibentuk oleh pemerintah, seperti Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).

6. Interaksi Kelompok Jamaah Tabligh

a. Interaksi Sosial Keagamaan

Interaksi sosial Jamaah Tabligh di Desa Krincing Kecamatan Secang

Kabupaten Magelang dapat digolongkan menjadi dua, yaitu interaksi warga

Pondok Pesantren Jamaah Tabligh dan Kelompok Tabligh (Khuruj).

1). Warga Pondok Pesantren Jamaah Tabligh

Warga Pondok Pesantren Jamaah tabligh Desa Krincing dapat

dikatakan hanya ada dua macam interaksi sosial keagamaan dengan

masyarakat sekitar, yakni pada malam Jum’at dan sehabis shalat Maghrib.

Hal itu dengan pertimbangan bahwa mereka di pondok memang hanya untuk

ta’lim maupun takhfidz. Oleh karena itu, perihal kehidupan sosial

keagamaan merasa dicukupkan dari pondok pesantren.

Realita semacam itu dapat difahami, bahwa warga pondok tersebut di

atas memang memfokuskan pada pendalaman terhadap materi-materi

keagamaan (Islam) yang bersumber dari kitab-kitab kuning (klasik). Bahkan

menurut salah satu informan menjelaskan, bahwa pondok tersebut memang

mempertahankan sistim salafi. Jadi dalam kehidupan sehari-hari warga

pondok (santri) hanya belajar/mengaji. Oleh karena itu para santripun tidak

pernah dapat melihat TV, membaca koran, menggunakan HP maupun

mendengarkan radio.

Untuk interaksi sosial yang lain yang dilakukan adalah melakukan

silaturahmi ke rumah-rumah warga yang tinggal di sekitar masjid. Adapun

maksud silaturahmi adalah dalam rangka tabligh kepada warga sekitar untuk

memakmurkan masjid khususnya ketika shalat berjamaah.

49 Dalam pelaksanaan pernikahan selain dinikahkan oleh KUA, anggota LDII juga mengadakan pernikahan khusus yang dilaksanakan secara internal. Menurut Bambang S., bahwa pelaksanaan seperti itu tidak ada masalah karena berkaitan dengan keyakinan dan tidak mengganggu lingkungan masyarakat.

Page 61: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

60

2). Kelompok Tabligh (Khuruj)

Jamaah Tabligh di samping mempunyai kegiatan menyelenggarakan

pendidikan dalam pondok pesantren juga terdapat kegiatan yang secara

realitas empirik lebih dikenal luas oleh masyarakat muslim Indonesia, yaitu

berupa Tabligh (dakwah) secara keliling dari masjid ke masjid di seluruh

wilayah Indonesia atau yang oleh warga jamaah Tabligh disebut sebagai

Tabligh Khuruj.

Pelaksanaan tabligh (khuruj) itu dirancang dengan model kelompok-

kelompok yang setiap kelompok terdiri sekitar 10 irang. Kemudian dari

kelompok-kelompok itu melaksanakan tabligh di sebuah masjid tertentu

dalam waktu sekitar 3 hari. Pada kegiatan tabligh khuruj itu mereka biasa

memakai pakaian muslim (gamis).

Setelah selesai melaksanakan tabligh di sebuah masjid daerah

tertentu, kelompok Jamaah Tabligh tersebut berpindah ke masjid daerah

lainnya. Adapun kegiatan yang dilakukan pada tabligh khuruj itu pada

intinya adalah untuk mengajak salat berjamaah anggota masyarakat sekitar

masjid yang menjadi sasaran tabligh. Selain itu, mereka juga melakukan

silaturahmi ke rumha-rumah (door to door) warga muslim di sekitar masjid

itu. Jadi secara sederhana dapat difahami, bahwa kegiatan tabligh khuruj

yang dilakukan oleh Jamaah Tabligh adalah tabligh (dakwah) agar

masyarakat mau dan membiasakan salat berjamaah di masjid.

Berdasarkan dua jenis kegiatan sosial keagamaan Jamaah Tabligh di

muka memberikan deskripsi bahwa kelompok tersebut hanya sebatas pada

saat adanya pengajian akbar setiap malam jum’at yang mempunyai konotasi

sebagai adanya interaksi sosial keagamaan dengan masyarakat sekitar

(daerah Krincing). Sedangkan interaksi sosial keagamaan kelompok

Jamamaah Tabligh dengan masyarakat muslim di sekitar masjid yang

amenjadi sasaran tabligh khuruj juga hanya sebatas silaturahmi dengan

masyarakat.

Dengan demikian interaksi sosial keagamaan kelompk Jamaah

Tabligh ada terkesan eksklusif, sebab pada kegiatan-kegiatan keagamaan

yang diselenggarakan oleh masyarakat maupun pemerintah setempat mereka

Page 62: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

61

tidak berpartisipasi. Hal itu memang sesuai dengan misi jamaah Tabligh

bahwa kelompk Jamaah Tabligh yang berada dalam pondok pesantren hanya

untuk mendalami ta’lim dan takhfidz. Sedangkan kelompok Jamaah Tabligh

yang di luar pondok pesantren menurut persepsi masyarakat juga kurang

berinteraksi dalam hal keagamaan.

Bagi masyarakat muslim sekitar sentral kelompok Jamaah Tabligh,

mereka (kelompok Jamaah Tabligh) dalam bertabligh (dakwah) ada satu hal

yang dipandang kurang etis, kurang menarik, dan bahkan sudah tidak

relevan. Adapun model tabligh itu adalah dakwah door to door50.

b. Interaksi Sosial Kemasyarakatan

Ada dua hal yang dapat dipahami dari interaksi sosial kemasyarakatan

kelompok Jamaah Tabligh Desa Krincing Kecamatan Secang Kabupaten

Magelang, yaitu interaksi sosial pada saat melakukan tabligh khuruj (keluar) dan

dalam lingkungan pondok pesantren. Secara otomatis kelompok Jamaah Tabligh

pada saat melakukan kegiatan tabligh khuruj sudah pastu melakukan interaksi

dengan masyarakat muslim di sekitar masjid yang menjadi objek tablighnya.

Interaksi sosial kelompok Jamaah Tabligh dengan masyarakat muslim di

sekitar masjid tersebut sebenarnya bukan merupakan interaksi dalam pengertian

hubungan timbal balik antara dua belah pihak sebagaimana yang telah

didefinisikan oleh pakar interaksi. Tetapi interaksi itu hanya sebatas kegiatan

silaturahmi kelompok Jamaah Tabligh ke rumah-rumah warga muslim di sekitar

masjid dengan maksud untuk mengajak lebih meningkatkan ibadah salat

berjamaah di masjid. Jadi interaksi sosial kemasyarakatan yang dilakukan

kelompok Jamaah Tabligh dalam hal ini hanya sebatas kegiatan silaturahmi.

Oleh karena itu tanpa kegiatan itu, tidak tercipta interaksi antara kelompok

Jamaah Tabligh dengan masyarakat muslim di sekitar masjid yang menjadi

sentral kegiatan.

Dengan kegiatan tabligh khurujyang dilakukan oleh kelompok Jamaah

Tabligh sebagaimana di atas ternyata menimbulkan persepsi pro dan kontra di

kalangan masyarakat. Bagi yang berpersepsi pro mengatakan, bahwa kegiatan

50 Hasil wawancara dengan seorang tokoh agama pada tanggal 31 Mei 2008.

Page 63: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

62

tabligh khuruj door to door itu menunjukan bahwa mereka mempunyai i’tikad

baik dalam bermasyarakat. Sebab apapun bentuk kegiatan yang dilakukan

kelompok Jamaah Tabligh itu (khuruj) berarti mereka hendak menjalani

interaksi positif dengan masyarakat.51

Kemudian bagi yang berpersepsi kontra mengatakan bahwa, kegiatan

tabligh khuruj yang dilakukanJamaah Tabligh dengan model door to door itu

dipandang sebagai hal yang kurang menarik dan bahkan mengganggu

ketenangan masyarakat. Sebab apapun alasannya masyarakat yang didatangi

oleh kelompok Jamaah Tabligh itu akan muncul pertanyaan mau apa dan hendak

mengajak beragama macam apa dan sebagainya. Bagi warga masyarakat yang

kemampuan beragamanya sedang-sedang saja atau bahkan kurang, maka tentu

tidak akan mempermasalahkannya. Tetapi sebaliknya, bagi warga masyarakat

yang kemampuan agamanya sudah tinggi, maka akan menjadi risih dan tidak

simpatik.52

Dengan demikian interaksi sosial kemasyarakatan kelompok Jamaah

Tabligh dalam kegaiatan khuruj itu menimbulkan pro dan kontra dalam

kehidupan masyarakat sekitar masjid. Terlepas adanya persepsi pro dan kontra

itu, dalam pembahasan ini interaksi sosial kemasyarakatan kelompok Jamaah

Tabligh dengan masyarakat muslim sekitar masjid yang menjadi sasaran

tablighnya belum terwujud dengan baik.

Selanjutnya, interaksi sosial kemasyarakatan kelompok Jamaah Tabligh

yang berada dalam pondok pesantren desa Krincing Kecamatan Secang

Kabupaten Magelang dengan masyarakat sekitarnya tampak eksklusif. Sebab

warga pondok Jamaah Tabligh dengan masyarakat sekitar dapat dikatakan

hampir tidak pernah berinteraksi dalam keidupan sehari-harinya. Hal itu

disebabkan bagi warga (kelompok) Jamaah Tabligh dalam pondok pesantren

hanya fokus pada belajar ta’lim dan ahfidz.

c. Interaksi dengan Pemerintah/Sosial Politik

Interaksi kelompok Jamaah Tabkligh dengan pemerintah setempat dapat

dikatakan hampir tidak ada, khususnya bagi warga pondok pesantren. Tetapi

51 Hasil wawancara dengan informan masyarakat tanggal 31 Mei 2008. 52 Hasil wawancara dengan tokoh agama tanggal 30 Mei 2008.

Page 64: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

63

bagi kelompok Jamaah Tabligh yang bukan warga pondok pesantren tersebut

terdapat interaksi dengan pemerintah setempat. Hal ini terbukti dengan adanya

dari anggota kelompok Jamaah Tabligh ada yang menjadi pengurus RT maupun

RW. Kondisi seperti ini menunjukan, bahwa anggota kelompok Jamaah Tabligh

yang non warga pondok pesantren ada interaksi dengan pemerintah setempat.

B. Potensi dan Hambatan Kelompok Aliran Islam Minoritas di Masyarakat

1. Potensi dan Hambatan Kelompok Aliran Syi’ah

a. Potensi

1). Struktur

Struktur pengurus yang berada di kelompok Syi’ah ini terbagi

menjadi dua, yaitu yang termasuk dalam struktur pengurus Yayasan dan

yang masuk dalam pengurus pondok pesantren. Untuk struktur pengurus

Yayasan adalah Ustadz Ahmad Barakbah sebagai Ketua Umum yang

dibantu oleh Ketua I Ustadz Husain Al Atas, Ketua II ustadz Sholeh

Mulaikhula, Sekretaris ustadz Muhammad Khotib, Bendahara ustadz

Ahmad Al Atas. Sedangkan untu penguru Pondok Pesantren diketuai

oleh Ustadz Ahmad Barakbah yang dibantu oleh Dewab Guru ustadz

Ahmad Zubaidi, Sekretaris ustadz Ahmad Zubaidi dan bendahara ustadz

Hasan Musawa.

2). Kepemimpinan

Kepemimpinan yang terdapat di Yayasan maupun pondok

pesantren Al Hadi sejak berdiri pada tanggal 4 Juli 1989 sampai sekarang

masih dipegang oleh Ustadz Ahmad Barakbah. Hal ini dikarenakan

Ustadz Ahmad Barakbah adalah pendiri kelompok Syi’ah dan menjadi

tokoh utama dalam berbagai kegiatan. Ustadz Ahmad barakbah memiliki

akses yang cukup kuat ke negara Iran, sehingga apabila terdapat santri

yang memiliki kemampuan baik dapat melanjutkan ke Iran. Adapun

sistem pergantian kepemimpinan terutama pada bagian tertentu, menurut

Ustadz Ahmad Barakbah ada perubahan.

Page 65: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

64

3). Keanggotaan

Sesuai dengan ide dasar pendirian Syi’ah, yaitu meluruskan

persepsi yang keliru dalam memandang kelompok Syi’ah, maka dalam

perekrutan keanggotaan tidak mengikat dan tidak dikhususkan pada

warga keturunan Arab. Keanggotan yang tidak dilengkapi kartu anggota

ini secara otomatis adalah santri yang mondok di Pondok Pesantren Al

Hadi.

4). Kegiatan

Kegiatan yang dilakukan oleh Kelompok Syi’ah antara lain

bekaitan dengan kegiatan yang dilakukan oleh para santri pondok

pesantren dan pengajian. Kegiatan para santri di pondok pesantren

terutama adalah memperdalam bahasa Arab untuk memperdalam al

Qur’an, Aqidah, Akhlak, Khulashoh Mantiq, dll. Adapun untuk

pengajian dilaksanakan secara rutin untuk internal santri dan untuk

umum. Untuk internal santri lebih kearah pada pendalaman materi,

sedangkan untuk umum adalah pengajian yang bersifat umum seperti

pada pelaksanaan Peringatan Hari Besar Islam (PHBI) maupun pengajian

rutin minggu sore.

5). Sumber Dana

Sumber dana yang diperoleh untuk operasional pelaksanaan

kegiatan utamanya dari para santri, hanya saja karena sangat terbatasnya

dana yang diperoleh dari para santri, maka Yayasan maupun Pondok

Pesantren mencari alternatif dengan donator dan relasi kelompok Syi’ah.

Menurut salah seorang santri, bahwa apabila telah selesai dari pondok

pesantren Al Hadi akan melanjutkan ke Iran dengan memperoleh

beasiswa dan kepada para santri hanya dibebani biaya pengurusan di

dalam negeri. Melihat kondisi ini nampak bahwa peran relasi dari

kawan-kawan ustadz Ahmad Barakbah yang berada di Iran sangat kuat

untuk mendukung pendanaan.

b. Pendukung dan Penghambat Interaksi Sosial

Kegiatan sosial keaagamaan yang dikembangkan oleh kelompok

Syi’ah melalui ponpes Al hadi maupun secara individual sekarang ini

Page 66: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

65

mengalami perbaikan, namun demikian, pada sisi yang lain juga kadang

muncul kendala yang menghambat proses interaksi yang sedang dibangun

pasca pergesekan. Kondisi seperti ini diakibatkan oleh beberapa faktor yang

mendukung maupun yang menghambat

1). Faktor Pendukung dalam Interaksi Sosial Keagamaan

Faktor pendukung terjalinnya interaksi sosial keagamaan dengan

pihak luar adalah sudah semakin diterimanya komunitas kelompok

Syi’ah oleh pihak organisasi keagamaan, pemerintah maupun tokoh

agama di wilayah Pekalongan. Keterbukaan ini dilatarbelakangi oleh

sikap keterbukaan dari pihak kelompok Syi’ah untuk selalu mau diajak

dialog. Hubungan yang sudah mencair melalui kegiatan sosial

keagamaan seperti hubungan timbal balik saling mengundang dalam

acara walimah dengan organisasi Al Irsyad yang nota bene paling keras

untuk membubarkan Syi’ah sampai sekarang berjalan dengan baik.

Interaksi dengan beberapa tokoh-tokoh agama nampak semakin

baik setelah pihak kelompok Syi’ah terbuka kepada siapapun yang ingin

mengajak dialog, apalagi setelah dibuka pengajian setiap minggu sore di

masjid ponpes Al Hadi dan dipersilahkan untuk warga mengkaji Islam

bersama. Dalam pengajian ini selalu dibuka dialog, sehingga apabila

terdapat tokoh masyarakat maupun tokoh agama yang masih

mempertanyakan eksistensi Aliran Syi’ah dilihat dari berbagai ajaran

yang tidak sama dengan umat Islam pada umumnya dapat ditanyakan.

Menurut Ahmad Barakbah, keluarga besar Syi’ah selalu mau

diajak berdialog kapanpun tanpa didahului dengan prasangka. Bahkan

dibukanya pengajian setiap ahad sore adalah lahan untuk mengadakan

dialog yang konstruktif dan menghilangkan dari fanatisme yang tidak

berdasar.

2). Faktor Pendukung dalam Interaksi Sosial Kemasyarakatan

Faktor pendukung dalam interaksi sosial kemasyarakatan adalah

tingkat sosialisasi anggota kelompok aliran Syiah yang mulai terbuka.

Keterbukaan ini tidak hanya dilambangkan dengan posisi pondok

pesantren Al Hadi yang selalu terbuka untuk masyarakat umum, baik

Page 67: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

66

untuk melakukan kegiatan ekonomi, konsultasi agama maupun kegiatan

kebersamaan warga, seperti kerja bakti maupun dalam rangka

memperingati hari Kemerdekaan.

Interaksi sosial dengan anggota masyarakat cukup mencair

seiring dengan komunikasi antar warga masyarakat dengan komunitas

Syi’ah berjalan dengan baik dan ramah apabila bertemu di jalan. Adanya

toko Roti, Rideka (Pusat batik dan karya Khas Pekalongan) dan koperasi

yang ada di wilayah ponpes Al Hadi yang dijual untuk umum

menjadikan interaksi dengan komunitas lain menjadi baik.

Interaksi sosial ini juga didukung oleh kebiasaan pengurus

pondok pesantren Al Hadi yang memberikan daging qurban setiap hari

raya Iedul Adha. Pemberian qurban ini dilakukan di Kelurahan untuk

semua warga yang telah ditentukan oleh pihak kelurahan. Dalam

pemberian hewan qurban yang dilakukan setiap tahun sampai sekarang

ini belum pernah ada yang menolak, baik dari tokoh masyarakat

setempat, tokoh agama maupun dari warga itu sendiri. Kondisi seperti

inilah yang menjadikan .anggota kelompok aliran Syi’ah dapat diterima

di masyarakat.

3). Faktor Pendukung dalam Interaksi dengan Pemerintah

Berkaitan dengan interaksi dengan pemerintah sudah tidak ada

persoalan yang menghambat, karena selama ini sudah berjalan dengan

baik. Faktor yang mendukung adalah karena dari pihak ponpes Al Hadi

selalu mematuhi peraturan yang ada sesuai dengan birokrasi yang ada.

Begitu juga adanya pengurus RT yang sering silaturahmi ke ponpes Al

Hadi menambah interaksi menjadi lebih baik. Menurut Bambang (Kepala

Kelurahan Klego Kecamatan Pekalongan Timur), sementara ini, aktifitas

maupun administrasi yang bersinggungan dengan kepemerintahan tidak

ada persoalan dan berjalan dengan baik. Meskipun demikian, pihak

pemerintah (Kelurahan) yang baru ini belum pernah mendapat undangan

dalam vent-event yang diadakan di ponpes Al Hadi.

Selain dengan pihak kelurahan, faktor pendukung yang selalu

dilakukan dengan pemerintah adalah dengan pihak Departemen Agama,

Page 68: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

67

baik melalui instansi KUA maupun dengan Departemen Agama Kota.

Dengan pihak KUA adalah berkaitan dengan pernikahan, hal ini

dikarenakan pernikahan yang dilakukan oleh warga Syi’ah adalah

melalui KUA terutama berkaitan dengan administrasi.

4). Faktor Penghambat dalam Interaksi Sosial Keagamaan

Meskipun cukup banyak faktor pendukung dalam interaksi

anggota Aliran Syi’ah dengan pihak luar, namun demikian masih

terdapat faktor penghambat yang sering muncul, terutama berkaitan

dalam interaksi sosial keagamaan. Faktor penghambat tersebut lebih

banyak berkaitan dengan ajaran yang masih belum diterima oleh tokoh

agama secara individual maupun secara organisasi yang berimplikasi

pada interaksi sosial yang kurang harmonis.

Faktor penghambat dalam interaksi sosial keagamaan yang masih

sangat menonjol adalah adanya kurang kecocokan antara tokoh dari

Aliran Syiah yang diwakili oleh Ustadz Ahmad Barakbah dengan para

tokoh agama yang tergabung dalam organisasi Ashabul Kahfi. Masih

belum harmonisnya hubungan antara kelompok Syi’ah dengan organisasi

Ashabul Kahfi53 yang dipimpin oleh Zainal dan dibangun oleh

intelektual muslim Pekalongan, seperti Kyai Tohirun, Kyai Nawir (PPP)

dan Kyai Bashori (NU) tidak pernah terjadi dialog dan masing-masing

masih memiliki perasaan apriori terhadap kebenaran yang diyakini,

apalagi dalam Syi’ah terdapat konsep Taqiyah.54

Begitu juga dengan tokoh agama yang sudah apriori terhadap

kelompok Syi’ah, seperti yang diungkapkan oleh Said Sungkar yang

menganggap bahwa kelompok Syi’ah adalah bukan Islam karena

berbagai buku literatur yang dibaca cukup banyak yang menyimpang

53 Organisasi Ashabul Kahfi merupakan satu-satunya organisasi Islam lokal yang menentang keras

keberadaan pondok pesantren AL hadi yang berhaluan Syi’ah. Tokoh dari aliran ini adalah mantan anggota DPRD Kota Pekalongan dan tokoh agama yang cukup berpengaruh di wilayah Kota Pekalongan. Menurut Ustadz Ahmad Barakbah, tokoh dari Ashabul Kahfi merupakan tokoh yang berada di balik peristiwa penyerbuan pondok pesantren di Batang maupun di Jawa Timur.

54 Taqiyah yang dilakukan oleh kelompok Aliran Syi’ah menurut Said Sungkar adalah dibolehkannya berbohong atau menyembunyikan kekeliruannya dengan apa yang berlaku dalam ajaran Islam pada umumnya.

Page 69: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

68

dari ajaran Islam yang sebenarnya. Dengan anggapan literatur yang

menyimpang inilah menjadikan interaksi sosial keagamaan menjadi

terhambat. Sebagai contoh masih terdapatnya warga yang tidak mau

mengikuti kajian ahad sore di pondok pesantren Al Hadi karena khawatir

terbawa menjadi kelompoknya.

Faktor penghambat lainnya adalah adanya komunitas Syi’ah yang

tidak menyelenggarakan shalat Jum’at, sehingga apabila ada anggota

masyarakat lain yang tidak faham tentang ajaran Syi’ah menjadi

menganggapnya sebagai aliran sesat, karena bagaimanapun ajaran Islam

pada umumnya menyatakan bahwa shalat Jum’at adalah wajib

hukumnya.

5). Faktor Penghambat dalam Interaksi Sosial Kemasyarakatan

Untuk interaksi sosial kemasyarakatan anggota kelompok Aliran

Syi’ah dengan warga sekitar sebenarnya sudah tidak ada hambatan. Akan

tetapi, karena peristiwa penyerbuan anggota masyarakat ke pondok

pesantren Al Hadi di Kabupaten Batang yang berdekatan lokasinya

dengan pesantren Al Hadi di Pekalongan dan terjadinya pelemparan batu

beberapa warga ke rumah/pondok pesantren Al Hadi interaksi sosial

kemasyarakatan menjadi terganggu. Kondisi seperti ini sebenarnya

sekarang sudah mulai kondusif kembali.

Faktor lain yang nampaknya menjadi interaksi kurang familiar

dan menjadi sebuah hambatan adalah faktor lokasi atau tempat tinggal

pondok pesantren Al Hadi. Secara geografis, lokasi ponpes berada di

gang dan masuk ke dalam sekitar 15 m. sementara sebelah kanan, kiri

dan depannya adalah bangunan yang tertutup dengan dinding yang

kokoh sehingga terkesan ponpes eksklusif

6). Faktor Penghambat dalam Interaksi dengan Pemerintah

Hubungan secara kelembagaan maupun perseorangan dari

anggota maupun pengurus kelompok Aliran Syi’ah dengan pemerintah

akhir-akhir ini sudah cukup kondusif. Namun demikian, pada tataran

tertentu masih terdapat intrik-intrik yang mengarah pada terjadinya

interaksi. Intrik-intrik tersebut antara lain masih adanya pihak kelurahan

Page 70: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

69

yang masih memandang tidak baik terhadap kelopok Aliran Syi’ah.

Salah satu contoh ketika terjadi konsultasi dengan Kepala Kelurahan

tentang eksistensi kelompok aliran Syi’ah, maka kepala kelurahan

meminta kepada salah satu stafnya untuk berdialog.

Dari hasil dialog dengan staf kelurahan tersebut, apa yang

disampaikan selalu menyudutkan kelompok aliran Syi’ah. Di sinilah

nampak bahwa masih ada ketidak harmonisan hububungan antara pihak

kelompok aliran Syi’ah dengan pihak kelurahan. Hal ini apabil

dikembangkan terus menerus akan menjadi penghambat interaksi sosial

dengan pihak pemerintah setempat secara luas.

2. Potensi dan Hambatan Kelompok MTA di Surakarta

a. Potensi

1). Struktur

Struktur pengurus Majlis Tafsir Al Qur’an (MTA) terdiri dari : MTA

Pusat yang berkedudukan di Surakarta, MTA perwakilan di tingkat

Kabupaten/Kota, dan MTA Cabang di tingkat Kecamatan. Untuk struktur

pengurus pada tingkat pusat dengan Ketua Umum: Drs. Ahmad Sukino,

Ketua I(Suharto, S.Ag), Ketua II (Dahlan Najotaroeno) dan sekretaris( Drs.

Yoyok Mugiytno, M.Si dan Drs. Medi), dan Bendahara (Mansur Masyhuri

dan Sri Sadono).

2). Kepemimpinan

Kepemimpinan MTA di tingkat pusat yang sekarang masih eksis

merupakan kepemimpinan yang masih terinspirasi dari kepemimpinan sejak

berdirinya. Maksudnya, pasca kepemimpinan pendiri MTA (Ustadz

Abdullah Thufail Saputro) hingga kini pucuk pimpinan masih dipegang oleh

Ustadz Ahmad Sukino.

Meskipun demikian, keterpilihan Ustadz Ahmad Sukino ditentukan

oleh hasil musyawarah mufakat pertemuan pengaurus-pengurus tingkat

perwakilan dan cabang. Terpilihnya Ustadz Ahmad Sukino sebagai Ketua

Umum MTA tidak bisa terlepas dari Ketua Umum MTA tidak bisa terlepas

Page 71: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

70

dari kedekatannya dengan Ustadz Abdullah Thufail Saputro ketika masih

memegang pimpinan MTA.

Sistem kepemimpinan yang dikembangkan dalam MTA tampak

sebagai imamiyah. Maksudnya kebijakan dan kepengurusan yang diambil

dan dilaksanakan dominan atas otoritas dan prakarsa imam (Ketua Umum).

Dengan demikian para warga/anggota MTA memiliki sikap ketaatan

(tawadlu’) yang tinggi kepada imam (Ketua Umum). Hanya saja yang perlu

diketahui disini bahwa sistim kepemimpinan yang diimplementasikan tidak

murni dalam bentuk imamah, tetapi masih terkombinasi dengan sistim

permufakatan.

3). Keanggotaan

Dalam kehidupan Majlis Tafsir Al-Qur’an (MTA) tidak

disosialisasikan istilah anggota maupun keanggotaan. Tetapi dalam

kehidupan MTA selain terdapat pengurus juga warga. Bagi warga MTA

tidak dikembangkan adanya Kartu Tanda Anggota/warga. Sehingga jika

dipertanyakan jumlah warga hanya di dasarkan pada absensi dalam kegiatan

pengajian. Apabila ada warga (orang) yang telah mengikuti beberapa kali

kegiatan pengajian, pihak pengaurus memberikan formulir, untuk kesediaan

sebagai warga MTA.

Ada beberapa pernyataan yang harus di taati oleh warga MTA

sebagai berikut:

a). Bersungguh-sungguh dan ihlas dalam mengaji yang diselenggarakan

oleh MTA

b). Benar-benar yakin dan mau mengamalkan ilmu yang telah diperolehnya,

baik secara individu, keluarga maupun dalam masyarakat

c). Sanggup menyebar luaskan ilmu yang telah diperolehnya dengan tanpa

pamrih, tasamuh dan hanya mengharap keridhoan Allah semata.55

4). Kegiatan56

a). Pengajian

55 Hasil wawancara dengan seorang anggota MTA tanggal 25 April 2008 56 Selayang Pandang Yayasan MTA, hal. 1-2 dan Hasil wawancara dengan Al Ustadz Ahmad Sukino

tanggal 25 April 2008

Page 72: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

71

Dalam kegiatan pengajian yang diselenggarakan oleh MTA ada

dua macam, yakni khusus dan umum. Pengajian khusus merupakan

pengajian yang pesertanya terdaftar dan setiap mengikuti kegiatan

diabsen. Pengajian khusus ini diselenggarakan seminggu sekali, baik

ditingkat pusat, perwakilan-perwakilan dan cabang-cabang. Adapun para

guru (ustadz) pengajian itu dikirim dari pusat atau yang disetujui oleh

pusat.

Pada tingkat perwakilan maupuin cabang yang terlalu jauh untuk

dijangkau dari pusat, maka pengajian dengan guru (ustadz) dari pusat

diselenggarakan dua minggu sekali, satu bulan sekali, bahkan satu

semester sekali dengan frekuensi sekali sehari.

Materi yang diberikan dalam pengajian khusus adalah tafsir Al-

Qur’an yang dikeluarkan oleh Departemen Agama dan kitab-kitab tafsir

lain, baik karya ulama Indonesia maupun ulama salaf, seperti Al Manar,

Al Maroghi, dan Ibnu Katsir. Proses belajar mengajar dalam pengajian

khusus itu dilakukan dengan teknik ceramah dan tanya jawab. Guru

(ustadz) menyajikan materi yang disampaikannya, kemudian peserta

mengajukan pertanyaan-pertanyaan.

Berdasarkan tanya jawab itu, maka pokok pembahasan dapat

berkembang ke berbagai hal yang dipandang perlu. Dari kegiatan itulah

kajian tafsir Al Qur’an dapat berkembang ke kajian aqidah, syariat,

akhlak, tarikh, dan masalah aktual yang terjadi sehari-hari. Di samping

itu, pengkajian Tafsir Al Qur’an yang dilaksanakan MTA secara

otomatis mencakup pengkajian Al Hadist. Itu semua bertujuan agar

peserta (warga) MTA memahami, menghayati dan mengamalkan Al

Qur’an secara konsekwen.

Kemudian untuk pengajian yang bersifat umum adalah pengajian

yang dibuka untuk umum. Maksudnya peserta pengajian tidak hanya dari

warga MTA. Untuk kegiatan pengajian umum itu tidak ada absen bagi

peserta. Materi pengajian umum itu lebih ditekankan pada hal-hal yang

diperlukan dalam pengamalan sehari-hari. Adapun pengajian umum

tersebut baru dapat diselenggarakan oleh MTA tingkat pusat, yang

Page 73: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

72

diselenggarakan sekali dalam seminggu (tiap hari minggu pagi) di

Surakarta. Pemateri pada kegiatan pengajian umum itu adalah Ustadz

Ahmad Sukino dan para tokoh agama Islam lain non warga MTA.

b). Kegiatan Lainnya

Pengamalan Al Qur’an membawa kebentuk kehidupan bersama

berdasar Al Qur’an dan Sunah Nabi. Kehidupan bersama ini menuntut

adanya berbagai kegiatan yang terlembaga untuk memenuhi kebutuhan

warga. Oleh karena itulah, di samping menyelenggarakan kegiatan

pengajian, MTA juga menyelenggarakan kegiatan-kegiatan lain. Adapun

kegiatan-kegiatan lain yang diselenggarakan MTA itu adalah pendidikan

formal dari tingkat TK-SMTA, pondok pesantren (pendidikan non

formal), dan kegiatan yang bersifat non formal), dan kegiatan yang

bersifat sosial, seperti kerja bakti dengan Pemda dan TNI, donor darah

rutin ke PMI (setiap tri wulan), pemberian santuna kepada korban

bencana alam dan konflik, pemberdayaan ekonomi umat, kesehatan,

penerbitan buku dan brosur dan siaran radio. Khusus tentang siaran

melalui radio itu, MTA sudah mempunyai pemancar dan studio sendiri

sejak 1 Maret 2007 pada gelombang 107.9 MHz.

Untuk kegiatan sosial tersebut di atas, pada tataran implementasi

dilapangan, pelaksanaannya adalah aktifis satgas MTA. Jadi untuk

kegiatan yang bersifat sosial sebagaimana disinggung dimuka, yang

melaksanakan adalah satgas MTA.

5). Sumber Dana

Banyak pihak yang mempertanyakan tentang dari mana MTA

mendapatkan dana untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang relatif

intensif itu. Bahkan pernah ada isu, bahwa dana kegiatan MTA itu

bersumber dari luar negeri maupun orpol tetentu. Ternyata menurut Ustadz

Ahmad Sukirno (ketua umum) bahwa kegiatan dana MTA itu bersumber

dari warga sendiri.

Bagaimanakah MTA mampu memberikan motivasi kepada warganya

untuk berpartisipasi dana dalam setiap kegiatan? Ternyata salah satu ajaran

yang diberikan kepada warga benar-benar dipahami dan diamalkan. Adapun

Page 74: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

73

ajaran yang dimaksud adalah bahwa sesungguhnya jihad itu terdiri atas dua

unsur, yaitu jihad bi amwal (harta) dan jihad bi anfus (jiwa). Apabila jihad bi

amwal (harta) dihayati dengan baik dan diamalkannya secara konsekuen dan

konsisten, maka umta Islam tidak pernah akan kekurangan dana untuk

membiayai kegiatan-kegiatannya. Warga MTA senantiasa ingin

berpartisipasi dalam setiap kegiatan dan berani berjihad bukan hanya dengan

anfus, tetapi juga bi amwal, sebab memang demikianlah yang dicontohkan

oleh Nabi dan para sahabatnya.57

b. Pendukung dan Penghambat Interaksi Sosial

1). Faktor Pendukung dalam Interaksi Sosial Keagamaan

Faktor pendukung dalam interaksi sosial kemasyarakatan warga

MTA dengan umat lainnya adalah dibukanya kebebasan umat lain untuk

mengikuti kegiatan pengajian umum setiap minggu pagi. Selain itu pihak

MTA membuka lebar pintu bagi para tokoh agama Islam yang berskala

Nasional maupun regional untuk menjadi penceramah pada kegiatan

tersebut. Hal ini dilakukan untuk menunjukan bahwa MTA sebenarnya

sangat terbuka untuk memperoleh masukan melalui pengajian yang

diselenggarakan.

Prinsip lana a’maluna wa lakum a’malukum yang tertanam dalam

diri warga MTA menjadikan pihak lain tidak merasa terganggu. Sehingga

dalam kehidupan sosial keagamaan warga MTA dengan umat lain tidak

pernah terjadi konflik. Prinsip inilah yan senantiasa dikembangkan oleh

warga MTA untuk menjaga keberlangsungannya dalam berinteraksi sosial

dengan masyarakat yang didasarkan pada ajaran agama. Prinsip saling

mengerti dalam keberbedaan dan tidak menggangu umat lain melakukan

sesuai dengan amalnya merupakan langkah fleksibiltas warga MTA.

2). Faktor Pendukung dalam Interaksi Sosial Kemasyarakatan

Faktor pendukung terciptanya interaksi warga MTA dengan pihak

lain adalah adanya motivasi jihad bi amwal yang tertanam pada diri warga

MTA. Selain itu penghimpunan dana yang relatif mudah dari warga MTA

57 Selayang Pandang Yayasan MTA, op-cit, hal. 3-4

Page 75: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

74

menjadikan MTA sering melakukan kegiatan yang bersifat sosial, seperti

pemberian santunan, donor darah dan pemberdayaan warga setempat. Dari

kegiatan-kegiatan itulah tercipta interaksi yang baik antara warga MTA

dengan puhak lain.

3). Faktor Pendukung dalam Interaksi Dengan Pemerintah dan Pihak Lain

Faktor pendukung adanya interaksi MTA dengan pihak pemerintah

adalah potensi yang dimilii maupun usaha-usaha yang dilakukan oleh MTA

dapat memberi manfaat bagi masyarakat luas, seperti usaha dibidang

penddikan, kesehatan dan pemberian santunan. Kemudian terciptanya

interaksi pimpinan MTA dengan para pimpinan ormas maupun kelompok

lain adalah adanya tokoh-tokoh religius Islam yang menjadi relawan dalam

upaya menciptakan kerukunan (ukhuwah) sesama umat muslim Surakarta.

4). Faktor Penghambat dalam Interaksi Sosial Keagamaan

Penghambat interaksi sosial keagamaan warga MTA dengan

kelompok atau umat lain adalah kurang elastisnya pemahaman dan

pengamalan ajaran Al Quran ketika menghadpi perbedaan dengan kelompok

atau umat lain. Kemudian warga MTA juga belum mau mengikuti kegiatan-

kegiatan keagamaan yang diselenggarakan pihak lain, selain jumatan.

5). Faktor Penghambat dalam Interaksi Sosial Kemasyarakatan

Untuk interaksi sosial kemasyarakatan warga MTA dengan pihak

lain relatif hampir tidak ada. Hanya ada satu hal yang menjadi penghambat

berinteraksi sosial kemasyarakatan warga MTA dengan pihak lain, yaitu

kegiatan kaum wanita (ibu). Oleh karena mempunyai pandangan bahwa

kegiatan Dasa Wisma PKK itu merupakan hal yang mubazir, maka bagi

kaum wanita MTA kurang berinteraksi dengan warga sekitarnya.

6). Faktor Penghambat dalam Interaksi dengan Pemerintah dan Pihak Lainnya.

Masih adanya persepsi yang tidak sepaham terhadap pemahaman dan

pengamalan ajaran Al Qur’an warga MTA, baik oleh oknum pejabat maupun

kelompok atau armas tertentu, maka hal itu kurang mendukung dan bahkan

berakibat menyebabkan kurang harmonisnya hubungan interaksi kedua belah

pihak.

Page 76: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

75

3. Potensi dan Hambatan Kelompok Syahadatain

a. Potensi

1). Struktur

Sejak berdiri sampai sekarang, kelompok Syahadatain tidak memiliki

struktur pengurus yang jelas. Kelompok ini hanya memiliki satu pemimpin,

yaitu Kyai Husein. Namun demikian sepeninggal Kyai Husein juga tidak ada

pemilihan siapa yang menggantikan posisi Kyai Husein. Menurut Ahmadi,

bahwa kepemimpinan dalam kelompok Syahadatain bersifat otomatis, yaitu

Kyai Husein sebagai pendiri maka dengan sendirinya menjadi pemimpin dan

sekarang sepeninggal Kyai Husein, maka kepemimpinan dipegang oleh

adiknya, yaitu Kyai Mustangin. Memang ada pemikiran sekarang ini untuk

membentuk struktur kepengurusan yang jelas sebagaimana yang berada di

tingkat pusat.

2). Kepemimpinan

Kepemimpinan yang dikembangkan oleh kelompok Syahadatain

adalah kepemimpinan kharismatis dalam kelompok tersebut. Oleh karena

itu, yang menjadi pemimpin adalah yang paling berwibawa terutama dari

trah keturunan/keluarga Kyai Husein sebagai pendiri utama. Namun

demikian apabila dalam perkembangannya tidak ada dari keluarga Kyai

Husein yang memiliki kewibawaan terutama dalam usia dan kekhusuan,

maka pemimpin dapat diambil dari anggota kelompok yang lain yang

dipandang berwibawa dan cukup baik ilmu agamanya.

Menurut Ahmadi, bahwa organisasi tidaklah begitu penting karena

yang paling penting adalah keistiqomahan dalam menjalankan sunnah-

sunnah Nabi Muhammad SAW secara konsisten, seperti bersorban,

melakukan shalat tahajud dan dilanjutkan shalat dhuha. Dan yang sekarang

mampu melakukannya adalah Kyai Mustangin di mana pada setiap tengah

malam sudah berada di masjid shalat tahajud dilanjutkan shalat shubuh dan

dzikir/wirid sampai pada waktu dhuha.

3). Keanggotaan

Keanggotaan dalam kelompok Syahadatain tidak diatur sebagaimana

organisasi Islam pada umumnya, seperti melalui trining maupun pemberian

Page 77: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

76

kartu anggota. Keanggotaan di sini bersifat sukarela tanpa ada unsur paksaan

dan siap mengikuti berbagai aktivitas yang dilakukan oleh kelompoknya.

Bahkan anggota masyarakat yang ikut dalam kegiatan yang dilakukan oleh

kelompok Syahadatain, seperti mengikuti peringatan hari besar Islam, ikut

shalat Jum’at atau halat fardlu lainnya secara berjamaah, ikut dzikir dan

wirid tidak secara otomatis sebagai anggotanya.

Seseorang yang bisa dijadikan anggota adalah yang selalu mengikuti

kegiatan yang diadakan kelompok Syahadatain dan secara lisan

menyampaikan kepada pimpinan. Namun demikian, secara umum dapat

dilihat bahwa anggota kelompok Syahadatain selalu memakai sorban putih

ketika akan melaksanakan shalat sehingga bagi anggota masyarakat yang

ingin bergabung cukup dengan berpakaian sebagaimana kelompok

Syahadatain dan mengikuti kegiatan yang diselenggarakan oleh

kelompoknya.

4). Kegiatan58

Kegiatan yang dilakukan oleh kelompok Syahadatain terbagi menjadi

tiga, yaitu dalam bentuk pengajian, kegiatan rutin (tahlil, dzikir dan wirid

setiap hari kamis malam dan tawasulan setiap hari minggu malam) dan temu

nasional. Untuk pengajian dilakukan setiap kali habis membaca tahlil,

Yasiin dan wirid lainnya pada hari kamis malam jum’at dan apengajian

dalam rangka memperingati hari besar Islam. Adapun yang memberi materi

adalah Kyai Mustangin untuk kegiatan pengajian rutin sedangkan pengajian

lainnya oleh anggota lainnya. Kegiatan lain adalah Tawasulan yang

dilakukan setiap hari minggu malam senin.

Khusus untuk kegiatan temu nasional diadakan di daerah Panuragan

Wetan Kabupaten Cirebon yang dilaksanakan setiap bulan Mulud.

Pertemuan ini merupakan ajang silaturahim kelompok Syahadatain tingkat

nasional bukan dalam rangka pergantian pengurus. Pada temu nasional ini

sebenarnya kegiatannya sama dengan yang dilakukan oleh masing-masing

58 Selayang Pandang Yayasan MTA, hal. 1-2 dan Hasil wawancara dengan Al Ustadz Ahmad Sukino

tanggal 25 April 2008

Page 78: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

77

kelompok Syahadatain di berbagai daerah pada saat menyambut kedatangan

bulan Maulid Nabi Muhammad SAW.

Dalam menyelenggarakan seluruh kegiatan yang dilakukan oleh

kelompok Syahadatain dibiayai oleh anggotanya secara sukarela. Sebagai

contoh ketika ada kegiatan kamis malam Jum’at yang membutuhkan

konsumsi cukup banyak, maka seluruh hidangan yang disajikan adalah dari

anggota yang kebetulan memiliki rizki yang cukup. Begitu juga ketika

pembangunan/pemekaran Masjid Syahadatain lebih banyak didanai oleh

anggotanya, meskipun juga ada beberapa kaum muslimin di luar anggotanya

yang ikut membantu.

Sebenarnya dalam kegiatan maupun pendanaan untuk semua

kegiatan pengajian, tawasulan/tahlil dan rehab Masjid, kelompok

Syahadatain sangat terbuka, yaitu siap menerima bantuan dari manapun dan

dari siapapun termasuk dari pemerintah. Kelompok Syahadatain pada

dasarnya terbuka kepada siapapun untuk keperluan apapun, yang paling

penting menurut Ahmadi jangan mengatakan kelompok Syahadatain adalah

sesat.

b. Pendukung dan Penghambat Interaksi Sosial

1). Faktor Pendukung dalam Interaksi Sosial Keagamaan

Faktor pendukung dalam interaksi sosial keagamaan yang terjadi

antara kelompok Syahadatain dengan masyarakat sekitar adalah sama-sama

berada dalam kultur yang sama, yaitu kultur NU, sehingga pengamalan

agamanya tidak jauh berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Begitu

juga dalam kegiatan yang bersifat sosial keagamaan, seperti dalam

pengurusan jenazah dari memandikan sampai pada pemakaman dilakukan

sebagaimana yang dilakukan oleh masyarkat pada umumnya, yaitu selain

dimandikan dan dikafani serta di shalati juga terdapat kegiatan Talqin

terhadap jenazah.

2). Faktor Pendukung dalam Interaksi Sosial Kemasyarakatan

Untuk kegiatan sosial kemasyarakatan bagi kelompok Syahadatain

tidak ada masalah, sehingga interaksi sosial kemasyarakatan juga dapat

terjalin dengan baik. Faktor pendukung yang kuat dalam interaksi sosial

Page 79: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

78

kemasyarakatan adalah sebagian anggota kelompok Syahadatain sebagai

Ketua RT dan pengurus RT dan RW. Posisi sebagai pengurus di wilayah RT

dan RW inilah yang memudahkan untuk berinteraksi dengan anggota

masyarakat lainnya, apalagi sebagai pelayan masyarakat selalu siap

menerima persoalan yang dihadapi oleh anggota masyarakat terutama

berkaitan dengan surat menyurat.

3). Faktor Pendukung dalam Interaksi dengan Pemerintah dan Pihak Lain

Hubungan kelompok Syahadatain dengan pemerintah secara

organisasi tidak ada, namun demikian terdapat faktor yang cukup kondusif

untuk berhubungan dengan pihak pemerintah terutama pemerintahan tingkat

desa. Faktor yang cukup dominan dalam interaksi anggota kelompok

Syahadatain dengan pemerintah adalah dilatarbelakangi oleh kedudukan

beberapa anggota kelompok Syahadatain yang menjadi ketua RT maupun

pengurus pada level RT dan RW. Dengan posisi inilah menjadi dukungan

yang kuat interaksi kelompok Syahadatain dengan pemerintah.

4). Faktor Penghambat dalam Interaksi Sosial Keagamaan

Meskipun tidak ada persoalan dalam berbagai interaksi, akan tetapi

apabila ditelusuri lebih jauh terdapat beberapa unsur yang menjadi faktor

penghambat dalam interaksi sosial keagamaan. Faktor yang sangat

memungkinkan menjadi penghambat dalam interaksi sosial keagamaan

dengan anggota masyarakat umumnya adalah adanya anggota dari kelompok

Syahadatain yang dikenal tidak memiliki toleransi dengan anggota

masyarakat umumnya, terutama ketika ada kematian, shalat janazah, dan

tahlilan.

Menurut Warsito, diakui bahwa ada anggota Syahadatain yang sering

tidak mengikuti tahlilan atau membantu orang yang terkena musibah karena

orang yang terkena musibah bukan dari kelompoknya. Hal ini sedikit akan

mengganggu interaksi sosial keagamaan yang ada di masyarakat. Namun

demikian, diakuinya tidak semua anggota kelompok Syahadatain seperti itu.

Masih banyak anggota kelompok Syahadatain yang baik bahkan sangat giat

dalam membantu anggota masyarakat yang terkena musibah. Sementara itu

Page 80: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

79

yang memiliki karakter tidak baik di atas juga dimiliki pada kelompok

keagamaan atau organisasi keagamaan lainnya.

Ia menambahkan, bahwa sesuatu yang memungkinkan akan menjadi

penghambat dalam interaksi sosial keagamaan adalah kegiatan tahlil, dzikir

maupun wirid yang dilakukan di masjid Syahadatain melewati jam 21.00

WIB. Untuk sementara tidak ada masalah, akan tetapi dikhawatirkan ketika

terdapat warga sekitar yang merasa terganggu, sementara jamaah yang

sedang beraktivitas bukan dari wilayah sekitar, maka akan memunculkan

masalah yang dengan sendirinya berakibat pada interaksi sosial keagamaan

yang lain.

Selain hambatan di atas, juga terdapat persoalan yang mengarah pada

munculnya hambatan, yaitu eksklusifitas dalam kegiatan beribadah. Sebagai

contoh dilihat dari segi berpakaian bagi laki-laki adalah dengan jubah dan

bersorban putih, melakukan shalat Jum’at tanpa bercampur di masjid yang

dimiliki oleh masyarakat, padahal pelaksanaan shalat jum’at di masjid

Syahadatain hanya diikuti oleh kurang dari 40 orang di mana dalam paham

ahlussunnah Wal jamaah yang dipahami oleh sebagian besar kalangan NU

harus lebih dari 40 orang.

Begitu juga adanya shalat sunnah Ba’diyah maupun qobliyah yang

mengiringi shalat wajib yang dilakukan dengan berjamaah, padahal shalat

sunnah tersebut biasanya dilakukan dengan sendiri-sendiri (munfaridan). Di

sinilah dengan eksklusifitas dalam beribadah, melakukan shalat jum’at

kurang dari 40 orang dan melakukan shalat sunnah secara berjamaah akan

memunculkan faham baru, apalagi dari kelompok Syahadatain ini tidak ada

yang ikut shalat jum’at di masjid milik masyarakat.

5). Faktor Penghambat dalam Interaksi Soaial Kemasyarakatan

Interaksi sosial kemasyarakatan antara kelompok Syahadatain

dengan anggota masyarakat pada umumnya tidak ada hambatan yang berarti.

Interaksi ini berjalan dengan baik yang ditunjukan dalam kegiatan kerja

bakti, saling menengok apabila ada anggota masyarakat yang sakit dan aktif

dalam kegiatan yang bersifat kebersamaan antar warga, seperti lomba dalam

Page 81: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

80

rangka 17 Agustus maupun dalam kegiatan lain dengan menyediakan

konsumsi secara suka rela.

6). Faktor Penghambat dalam Interaksi sosial dengan Pemerintah

Interaksi sosial kelompok Syahadatain dengan Pemerintah tidak ada

hambatan. Hal ini dikarenakan sebagian anggota kelompok Syahadatain

yang dituakan adalah pengurus Ketua RT dan pengurus RW. Jabatan di RT

maupun RW menurut H. Ahmad Mawardi (Ketua RT dan anggota kelompk

Syahadatain) tidak bersifat politis agar anggota kelompoknya memiliki

pengaruh di masyarakat. Jabatan ini murni jabatan hasil pilihan anggota

masyarakat yang bukan anggota kelompok Syahadatain, sehingga dalam

melaksanakan tugasnya didasarkan pada amanat. Dengan demikian

hubungan kelompoknya dengan pemerintah secara otomatis baik, begitu juga

dengan anggota masyarakat.

4. Potensi dan Hambatan Organisasi LDII di Kabupaten Pati

a. Potensi

1). Struktur

Untuk pembahasan ini, struktur keorganisasian LDII yang dikemukakan

adalah struktur yang paling akhir (periode tahun 2004-2009). Struktur

kepengurusan LDII Kabupaten Pati terdiri dari struktur Dewan Penasehat

dan Pengurus Harian. Ketua Dewan Penasehat adalah K.H. Anwar

Muhammadin dan Ketua Pengurus Harian adalah Agus Priyono, B.Sc.

Pengurus harian terbagi dalam bidang-bidang, yaitu: Organisasi,

Keanggotaan dan Kaderisasi; Penerangan dan Mass Media; Pendidikan

Umum dan Pelatihan; Pemuda Olah raga, Seni dan Budaya; Peranan Wanita

dan Kesejahteraan Wanita; dan Koperasi, Wiraswasta dan Kesejahteraan

Sosial; serta Pelatihan dan Bantuan Hukum.

2). Kegiatan59

Kegiatan yang dilaksanakan oleh LDII Kabupaten Pati paling tidak

ada dua, yaitu pengajian rutin dan kegiatan yang berkaitan dengan kegiatan

59 Selayang Pandang Yayasan MTA, hal. 1-2 dan Hasil wawancara dengan Al Ustadz Ahmad Sukino

tanggal 25 April 2008

Page 82: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

81

sosial. Untuk kegiatan pengajian bagi anggota LDII dilaksanakan dalam tiga

tingkatan, yaitu PAC, PC dan DPD. Untuk tingkat PAC dilaksanakan 3 kali

dalam seminggu, yakni malam Selasa, malam Kamis dan malam Sabtu.

Pengajian tingkat PC dilaksanakan 3 kali dalam sebulan, yakni minggua ke

II, III dank e IV. Sedangkan pengajian tingkat DPD dilaksanakan sebulan

sekali setiap Minggu I.

Untuk kegiatan sosial bagi anggota LDII dilakukan dengan

memberikan santunan pada kaum Dhuafa dan memberikan bantuan berupa

uang maupun natura setiap ada korban bencana alam di Indonesia.

b. Pendukung dan Penghambat Interaksi Sosial

1). Faktor Pendukung

Faktor pendukung adanya interaksi sosial antara anggota LDII

dengan masyarakat sekitarnya adalah adanya fatwa MUI yang harus

dilaksanakan oleh LDII. Selain itu, sikap toleran masyarakat muslim

sekitarnya terhadap kegiatan-kegiatan keagamaan yang diselenggarakan oleh

LDII. Begitu juga adanya sikap solidaritas anggota LDII dalam kegiatan

sosial kemasyarakatan.

2). Faktor Penghambat

Perihal yang menghambat terciptanya interaksi antara anggota LDII

dengan masyarakat sekitar adalah adanya dua hal yang cukup sulit untuk

segera dinetralisir, yaitu:

a). Masih adanya eksklusivitas anggota LDII dalam hal keberagamaan

b). Adanya praduga negatif dari masyarakat terhadap anggota LDII terkait

dengan implementasi keagamaan, seperti nikah dan penggunaan tempat

peribadatan oleh kelompok lain.

5. Potensi dan Hambatan Organisasi LDII di Kabupaten Grobogan

a. Potensi

1). Struktur

Berdasarkan surat keputusan Dewan Pimpinan Daerah LDII Propinsi Jawa

Tengah Nomor: Kep-6/K/V/2006 tentang Pengesahan Komposisi Personalia

Page 83: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

82

Dewan Pimpinan Daerah LDII Kabupaten Grobogan Periode 2004 – 2009

dengan ketua Dewan Penasehat adalah Erman Suharto, S.Sos. dan Ketua

Pengurus Harian adalah H. Moch Kadam. Struktur Pengurus Harian terdiri dari

bagian-bagian, yaitu: Organisasi, Keangotaan dan Kaderisasi; Hubungan Antar

Lembaga; Komunikasi, Informasi dan Media; Pendidikan Agama dan Dakwah;

Pendidikan Umum dan Pelatihan; Iptek, Lingkungan Hidup dan Kajian

Strategis; Ekonomi dan Pemberdayaan Masyarakat; Pemuda Olah Raga dan Seni

Budaya; Bantuan Hukum dan HAM; serta Pemberdayaan Wanita dan

Kesejahteraan.

2). Kepemimpinan

Kepemimpinan yang dikembangkan dalam organisasi LDII secara

umum sama dengan organisasi lain yang mengikuti aturan pemerintah

berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi

Kemasyarakatan. Oleh karena itu, sistim musyawarah sangat dikembangkan

untuk menetapkan kepemimpinan dari satu periode ke periode berikutnya.

Sebagai contoh adalah yang dilakukan untuk kepemimpinan periode 2004–

2009 LDII Kabupaten Grobogan didasarkan pada hasil musyawarah Dewan

Pimpinan Daerah LDII Kabupaten Grobogan pada tanggal 15 Desember

2004. Namun demikian untuk menetapkan secara sah dilakukan oleh DPD

tingkat atasnya, yaitu Jawa Tengah.

Model kepemimpinan yang didasarkan pada asas musyawarah ini

merupakan penetapan yang telah disahkan melalui Musyawarah Nasional

LDII. Hal ini termaktub dalam AD/ART Bab VII Pasal 19 yang berbunyi

bahwa organisasi ini mempunyai 5 (lima) tingkatan musyawarah dari

musyawarah tingkat nasional atau yang disingkat dengan MUNAS, MUSDA

Tk. I, MUSDA Tk. II, MUSCAB dan musyawarah tingkat anak cabang atau

disingkat MUSACAB.

Dengan adanya penetapan tersebut juga berimplikasi pada sikap

dalam pengambilan Keputusan. Hal ini tetruang dalam Bab IX tentang

Pengambilan Keputusan pasal 22 yang berbunyi antara lain

Musyawarah/rapat adalah sah apabila dihadairi lebih dari setengah yang

Page 84: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

83

wajib hadir dan Keputusan diambil atas dasar mufakat apabila tidak

terpenuhi diambil dengan suara terbanyak.

3). Keanggotaan

Menurut Drs. Suharman, bahwa segala keputusan yang berkaitan

dengan organisasi diambil sesuai dengan AD/ART yang telah disahkan.

Begitu juga masalah keanggotaan dalam LDII bersifat suka rela dan tidak

mengikat serta terbuka untuk setiap warga negara Indonesia dan yang

disebut anggota dalam LDII adalah orang yang bersedia mengikuti kegiatan

LDII dan menyetujui AD/ART, program kerja dan seluruh keputusan hasil

musyawarah/rapat-rapat dan peraturan organisasi.

4). Kegiatan

Kegiatan yang dilaksanakan oleh LDII Kabupaten Grobogan lebih

banyak pada internal anggota dan bersifat pendalaman materi keagamaan

yang didasarkan pada al Qur’an dan al Hadits. Meskipun demikian terdapat

kegiatan yang lebih menekankan pada konsolidasi pengurus sekaligus

membahas pengajian, pembangunan fisik gedung, yaitu dengan pertemuan

pengurus setiap satu bulan sekali.

Kegiatan yang bersifat keagamaan dalam bentuk pengajian

dilaksanakan setiap hari Senin, Selasa dan Jum’at. Adapun waktu pengajian

dilaksanakan setiap habis shalat Isya antara pukul 19.30 sampai dengan

21.00 WIB. Di samping itu, juga terdapat pengajian Cabe Rawit yang

dilaksanakan setiap hari setelah shalat Ashar dengan materi Iqro’, hafalan

do’a dan baca tulis al Qur’an (BTA). Pengajian cabe rawit ini sama dengan

Taman Pendidikan Al qur’an (TPQ) dan diperuntukan bukan hanya untuk

putra-putra angota LDII, melainkan terbuka untuk umum.

Selain kegiatan di atas juga terdapat kegiatan rutin setiap hari Jum’at,

yaitu shalat Jum’at berjamaah. Dalam shalat Jum’at ini dilakukan

sebagaiman shalat Jum’at pada umumnya dengan adzan dua, hanya saja isi

khutbah dibacakan dalam bahasa Arab dengan teks buku yang telah tersedia

di mimbar. Setelah khutbah pertama selesai, Khotib duduk sambil berdo’a

dengan bacaan sirri selama kurang lebih 45 detik dan dilanjutkan dengan

khutbah kedua juga dengan bahasa Arab.

Page 85: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

84

Setelah selesai shalat Jum’at, Khotib berdiri dan menyampaikan

pengajian dengan bahasa Indonesia yang isinya menjawab pertanyaan dari

salah seorang jamaah di luar pembahasan Jum’at. Ketika Khotib sedang

menyampaikan ceramahnya, para jamaah melemparkan uang ke arah depan

seusia dengan keikhlasannya. Menurut para jamaah bahwa pelemparan uang

tersebut adalah infaq yang menggambarkan keikhlasan sesuai dengan

kemampuan uang yang dimiliki dan ketika dilemparkan berarti benar-benar

menyerahkan uang tersebut. Hal ini berbeda apabila menggunakan kotak

infaq yang selain mengganggu juga merasa kurang ikhlas karena beramal

dengan ditutupi pakai tangan atau bahkan ada jamaah yang gengsi dan risih

akhirnya memasukan bukan karena Allah melainkan karena gengsi atau

risih.

5). Sumber Dana

Sumber dana untuk semua kegiatan maupun untuk pembangunan

fisik masjid dan gedung lainnya berasal dari anggota tanpa ditentukan berapa

jumlahnya. Pendanaan ini termasuk dari infaq shalat jum’at dan para donatur

kaum muslim yang ingin menginfakan dananya melalui LDII. Menurut Drs.

Suharman, sementara ini belum terfikirkan untuk mengadakan penarikan

infaq rutin yang dibebankan kepada para anggota. Bahkan informasi yang

berkembang di masyarakat tentang diambilkan dari zakat penghasilan

anggotanya sebanyak 20 % adalah belum juga terfikirkan.

Diakui ada dana yang bersifat rutin yang diterima oleh Pengurus

LDII Kabupaten Grobogan, namun demikian jumlahnya juga tidak dapat

diprediksikan. Dana-dana rutin yang setiap bulan diperoleh tersebut berasal

dari cabang-cabang. Namun demikian tidak semua cabang selalu

mengirimkan iuran setiap bulan, hal ini sangat tergantung pada kondisi

keuangan dari cabang itu sendiri. Berangkat dari kondisi seperti inilah,

menurut Drs. Suharman bahwa iuran yang diberikan oleh cabang-cabang

tersebut bersifat insidential

b. Pendukung dan Penghambat Interaksi Sosial

1). Faktor Pendukung dalam Interaksi Sosial Keagamaan

Page 86: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

85

Pada awalnya interaksi sosial keagamaan yang dilakukan oleh LDII

agak kesulitan, hal ini diakui karena masih ada opini di masyarakat yang

berkembang, bahwa LDII eksklusif, masjidnya tidak boleh untuk shalat yang

bukan anggotanya dan dalam mencuci tidak boleh di jemur bersama-sama

yang bukan anggota LDII. Namun demikian, dalam perkembangannya

interaksi sosial keagamaan sudah mulai membaik. Hal ini didukung oleh

sifat terbukannya LDII setelah menggunakan paradigma baru yang

menerima semua orang Islam secara umum.

Faktor pendukung lainnya dalam interaksi sosial keagamaan ini

adalah terbukanya masjid untuk umum pada saat shalat maupun pengajian,

membagikan daging qurban ke masyarakat yang dilakukan oleh anggota

LDII dan adanya pengajian cabe rawit yang diperuntukan untuk semua anak-

anak muslim tanpa terkecuali dan kondisi pusat kegiatan keagamaan LDII

yang secara geografis dilalui oleh anggota masyarakat pada umumnya.

2). Faktor Pendukung dalam Interaksi Sosial Kemasyarakatan

Berkaitan dengan interaksi sosial kemasyarakatan diakui oleh

Bambang Setyobudi (Ketua RT) pada awalnya aga kesulitan karena tidak

mau bergabung, baik dalam acara rapat bulanan maupun dalam acara kerja

bakti. Hal ini dimaklumi karena kebanyakan anggota LDII bertempat tinggal

di luar wilayahnya, Namun demikian setelah tokoh LDII dijadikan pengurus

RT dan ada beberapa anggota LDII yang mendapat bantuan dari pemerintah

melalui RT, maka interaksi sosial kemasyarakatnya menjadi baik.

Disinilah masuknya tokoh LDII yang menjadi pengurus RT dan

adanya anggota LDII yang menerima bantuan dari pemerintah menjadikan

interaksi sosial kemasyarakatan menjadi baik. Bahkan akhir-akhir ini telah

terjadi pembauran antara anggota LDII dengan anggota masyarakat di luar

LDII ketika ada lomba-lomba yang bersifat umum, seperti pada saat 17

Agustusan.

3). Faktor Pendukung dalam Interaksi dengan Pemerintah dan Pihak Lain

Hubungan organisasi LDII dengan pemerintah secara organisasi tidak

ada, akan tetapi hubungan dengan pemerintah terutama pada tataran RT

adalah baik. Hal ini didukung oleh semakin terbukanya anggota LDII untuk

Page 87: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

86

mengikuti aturan pemerintah dalam persoalan yang berkaitan dengan

pemerintahan, seperti dalam pembuatan KTP dan Pernikahan. Selain itu,

sebenarnya ada faktor pendukung lainnya, yaitu sebagian tokoh utama LDII

adalah PNS yang bekerja di berbagai lini kepemerintahan, sehingga

bagaimanapun autran-aturan yang harus dilaksanakan berkaiatan dengan

pemerintahan harus diselesaikan sesuai dengan procedural.

4). Faktor Penghambat dalam Interaksi Sosial Keagamaan

Meskipun interaksi sosial keagamaan anggota LDII sudah dapat

dikatakan baik, namun demikian masih terdapat persoalan yang bisa menjadi

penghambat. Menurut Bambang Setyobudi, bahwa di wilayah RT 07 yang

juga sebagai pusat kegiatan keagamaan LDII terdapat pengajian rutin atau

yang lebih dikenal dengan Jamaah Tahlil Al Muqorrobiin yang

diselenggarakan setiap hari Kamis malam jum’at. Selama ini pengurus

maupun anggota LDII tidak ada yang mau mengikuti jamaah tahlil tersebut

tanpa alasan yang jelas. Di samping itu, juga beredar opini masyarakat,

bahwa pernikahan yang dilakukan oleh anggota LDII tidak hanya di KUA

melainkan juga dilakukan di kelompoknya, sehingga pernikahan dilakukan

dua kali. Kondisi seperti inilah paling tidak menjadi pembicaraan

masyarakat tentang anggota LDII yang tidak mau bercampur dengan

masyarakat ketika ada kegiatan keagamaan di RT.

5). Faktor Penghambat dalam Interaksi Sosial Kemasyarakatan

Dalam minteraksi sosial kemasyarakatan sebenarnya sudah tidak ada

persoalan lagi sehingga hambatan-hambatan itu tidak muncul. Apalagi

setelah peristiwa kebanjiran dan banyak anggota masyarakat mengungsi di

aula LDII, maka semakin tidak ada jarak antara anggota LDII dengan

anggota masyarakat. Namun demikian kesan LDII eksklusif yang kadang

muncul dan sampai kepada masyarakat inilah sering menjadi faktor

penghambat. Sebagai contoh ketika shalat jum’at masih terdapat warga yang

berada di sekitar masjid LDII tidak mau mengikuti shalat jum’at di masjid

LDII, akan tetapi lebih memilih di masjid lainnya yang relatif lebih jauh.

Page 88: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

87

6. Potensi dan Hambatan Kelompok Jamaah Tabligh

a. Potensi

1). Struktur

Menurut ustadz Ismail dan ustadz Abdul Ala, bahwa dalam Jamaah

Tabligh tidak terdapat struktur kepengurusan secara formal atau

sebagaimana organisasi pada umumnya. Namun dalam kegiatannya

senantiasa ada penanggung jawab maupun pembantu-pembantu pada saat

tabligh khuruj maupun pengelolaan di pondok pesantren.

Kepengurusan Jamaah Tabligh di Kabupaten Magelang terdiri dari

penanggungjawab, sekretaris dan pembantu-pembantu, yaitu istiqbal,

tafahud, tasykil, i’lam, mimbar wala, dan hidmah. Istiqbal adalah bertugas

menerima tamu, tafakhud seorang yang betrugas menyeleksi orang-orang

yang akan keluar di jalan Allah (khuruj), Tasykil adalah seorang yang

bertugas memberikan pengumuman di markas (masjid dakwah), mimbar

wala adalah seorang yang bertugas sebagai protokol dalam dalam

musyawarah, Khidmah adalah seorang yang bertugas memberikan pelayanan

kepada para anggota jamaah.60

b. Pendukung dan Penghambat Interaksi Sosial

1). Faktor Pendukung dalam Interaksi Sosial Keagamaan

Faktor pendukung interaksi social keagamaan kelompok Jamaah

Tabligh dengan masyarakat muslim sekitar adalah adanya kegiatan pengajian

akbar setiap hari Kamis malam Jum’at. Hal itu disebabkan pada kegiatan

pengajian tersebut pihak kelompok Jamaah Tabligh membuka pengajian

yang diperuntukan untuk umum dan secara terbuka bagi kaum muslimin di

luar kelompoknya diminta untuk mengikuti kegiatan tersebut.

2). Faktor Penghambat

Faktor penghambat interaksi social keagamaan maupun interaksi

social kemasyarakatan kelompok Jamaah Tabligh dengan masyarakat

muslim sekitar adalah adanya eksklusifitas kelompok tersebut. Dengan

60 Sulaiman, Jamaah Tabligh di desa Kerincing Kecamatan Secang Kabupaten Magelang. Balitrohag. Semarang. 1997. Halaman 12-13.

Page 89: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

88

demikian cukup sulit anggota kelompok Jamah Tabligh untuk berinteraksi

secara bebas dengan anggota masyarakat pada umumnya.

C. Pola Pembinaan dan Pengembangan Kelompok Aliran Islam Minoritas

1. Pola Pembinaan dan Pengembangan Kelompok Aliran Syi’ah

Pola pembinaan yang dikembangkan di ponpes Al Hadi sementara ini

lebih banyak dilakukan di internal ponpes. Sedangkan Departemen Agama

Kota Pekalongan sebagai institusi pemerintah tidak pernah secara langsung

mengadakan pembinaan. Menurut Kakandepag Kota Pekalongan, bahwa tidak

ada dana khusus yang diperuntukan pembinaan terhadap kelompok aliran

dalam keagamaan, namun demikian secara tidak langsung, seperti diundang

dalam rangka pertemuan pengasuh ponpes se kota Pekalongan maupun acara

yang berkaitan dengan ponpes selalu mengundang ponpes Al Hadi.

a. Internal

Secara internal pola pembinaan yang dikembangkan dalam

kelompok aliran Syi’ah dilakukan melalui proses pembelajaran yang

diselenggarakan di ponpes Al hadi. Dengan demikian, pembinaan yang

bersifat ke dalam ini dilakukan cukup intensi, yaitu setiap waktu dan

setiap, kecuali hari Kamis dan Jum’at yang merupakan hari libur

pembelajaran.

Dalam pembinaan internal lebih banyak dilakukan oleh dewan

ustadz, hal ini dikarenakan ustadz Ahmad Barakbah sering mendatangi

undangan di luar kota bahkan luar negeri (Negara Iran). Adapun jenis

pembinaan dilakukan dengan pembelajaran di kelas melalui kajian kitab

sesuai dengan jadwal pelajaran, majlis ta’lim yang diadakan setiap hari

minggu sore dan mengirim santri apabila ada undangan dari luar, seperti

diskusi maupun acara yang diselenggarakan khusus oleh Departemen

Agama

Berkaitan dengan interaksi sosial, secara khusus pihak pengelola

pondok pesantren tidak pernah mengadakan pembinaan. Namun demikian

secara alamiah para ustadz maupun para santri tidak ada larangan untuk

berinteraksi sosial dengan anggota masyarakat lainya sehingga ustadz

Page 90: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

89

maupun santri dibebaskan untuk memenuhi kebutuhannya dibeli dari luar.

Bahkan ustadz membebaskan para ustadz maupun santrinya untuk shalat

jum’at di masjid umat islam pada umumnya, hal ini dikarenakan pada hari

jum’at merupakan hari libur pembelajarn formal.

b. Eksternal

Pembinaan yang bersifat eksternal terhadap kelompok aliran Syi’ah

yang dilakukan di luar proses pembelajaran yang bersifat internal adalah

ketika mengadakan kegiatan hari besar Islam, seperti peringatan maulid

Nabi Muhammad SAW dan pengajian setiap hari Ahad sore. Dalam

kegiatan ini pihak ponpes mengundang pihak luar, baik anggota

masyarakat maupun pihak pemerintah. Dengan demikian antara pihak

anggota kelompok aliran Syi’ah dapat berbaur dan berinteraksi dengan

anggota masyarakat pada umumnya.

Sedangkan bentuk pembinaan yang bersifat mengembangkan

anggota kelompok aliran Syi’ah dengan masyarakat sekitar secara

langsung tidak ada. Menurut salah seorang santri, bahwa secara kebetulan

di wilayahnya tidak pernah ada kerja bakti sehingga pembinaan dalam

kerangka sosial kemasyarakatan dan terjun langsung di lapangan tidak

terjadi. Meskipun demikian dalam kegiatan yang bersifat keadministrasian

di lingkungan, seperti donatur kegiatan 17 Agustusan maupun iuran rutin

bulan di RT selalu dipenuhi.

2. Pola Pembinaan dan Pengembangan Kelompok MTA

a. Internal

Pembinaan internal warga MTA terkait dengan keagamaan adalah

melalui pengajian umum dan khusus. Di samping itu pembinaan

keagamaan juga melalui lembaga-lembaga pendidikan yang

diselengarakannya. Mengenai materi pembinaan keagamaan itu terkait

dengan masalah akidah, akhlak dan syariah dengan sumber utama Al

Qur’an.

Kemudian pembinaan yang terkait dengan interaksi sosial adalah

melalui pertemuan-pertemuan warga MTA yang di dalamnya diberikan

Page 91: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

90

materi ukhuwah, baik dalam bertetangga, bersaudara, bermasyarakat

maupun bernegara.

b. Ekternal

Pembinaan keagamaan secara ekternal bagi warga MTA baik yang

berupa masalah keagamaan maupun sosial kemasyarakatan dapat

dikatakan tidak ada. Hal itu memang secara riil selama ini tidak ada

pembinaan dari ekternal yang bersifat khusus untuk warga maupun

pimpinan MTA. Sedangkan jika pernah ad itu pun sifatnya untuk pimpinan

kelompok atau pun organisasi secara umum, seperti yang diselenggarakan

oleh Depag dan Diknas.

3. Pola Pembinaan dan Pengembangan Kelompok Syahadatain

a. Internal

Pembinaan internal anggota kelompok Syahadatain terkait dengan

keagamaan dilakukan paling tidak seminggu dua kali, yaitu pada hari

Kamis dan Minggu. Pada hari Kamis kegiatanya adalah tahlil, dzikir dan

wirid dan pada hari minggu dilakukan tawasulan. Dalam setiap kegiatan

ini selain terdapat bacaan lanjutan dengan bahasa jawa seperti “... Abdi

tiyang bodo, tiyang salah muhun syafaate kanjeng Nabi... nuhun diparingi

waras... Dawuh gusti sampun wekas sampun weling duwe kuping ojo

budeg gege eling... iki zaman sampun rupek... tetepana hak kang bener

tetep mulya...” juga selalu diisi ceramah oleh Kyai Mustangin. Adapun isi

ceramah yang selalu disampaikan adalah tentang istiqomah dalam

melaksanakan perintah Allah SWT dan selalu mohon ampunan.

b. Ekternal

Pembinaan yang bersifat eksternal terhadap anggota kelompok

Syahadatain adalah diikutsertakannya anggota dalam kegiatan temu

nasional yang diadakan di daerah Panuragan Wetan Kabupaten Cirebon.

Kegiatan ini dilakukan setahun dua kali, yaitu setiap bulan Mulud dan

bulan Rajab. Pertemuan ini merupakan ajang silaturahim kelompok

Syahadatain tingkat nasional untuk menguatkan keyakinan anggotanya

terhadap eksistensi kelompok Syahadatain. Menurut H. Mawardi,

Page 92: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

91

pertemuan di Cirebon sangat penting sehingga diupayakan seluruh anggota

dapat mengikutinya, sehingga dapat memahami ajaran kelompok

Syahadatain yang datang dari gurunya tanpa ditambahi dan dikurangi

sedikitpun.

4. Pola Pembinaan dan Pengembangan Organisasi LDII di Kabupaten Pati

a. Internal

Pembinaan sosial keagamaan, kemasyarakatan dan pemerintahan

dilakukan oleh para mubaligh maupun pengurus terhadap anggota LDII

adalah melalui kegiatan, pengajian, raker maupun silaturahmai informal.

b. Ekternal

Pembinaan yang dilakukan oleh pihak ekternal terhadap anggota

LDII di Kabupaten pati hanya dilakukan oleh pihak Kesbanglinmas

setempat yang secara rutin melibatkannya bersama dengan kelompok

lainnya. Sedangkan pihak Departemen Agama sendiri tidak pernah

melakukan pembinaan, bahkan tidak ada program sama sekali untuk

pembinaan terhadap anggota LDII.

5. Pola Pembinaan dan Pengembangan Organisasi LDII di Kabupaten

Grobogan

a. Internal

Pola pembinaan yang dilakukan oleh pengurus maupun mubaligh

LDII dalam rangka pembinaan di bidang sosial keagamaan,

kemasyarakatan dan pemerintahan dilakukan melalui pengajian-pengajian

yang diselenggarakan, baik pengajian rutin setiap hari Senin, Selasa, dan

Jum’at maupun melalui konsolidasi organisasi yang sekaligus membahas

program pengajian. Pembinaan ini juga dimulai sejak anak-anak melalui

pengajian cabe rawit.

Pembinaan juga dilakukan setelah shalat Jum’at dengan ceramah

dalam suasana yang akrab. Ceramah habis shalat Jum’at ini untuk

Page 93: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

92

menambah wawasan keagamaan anggota meskipun ketika khutbah Jum’at

dengan bahasa Arab sudah dapat dimengerti isinya. Menurut salah seorang

jamaah yang sekaligus anggota LDII, bahwa meskipun khutbah Jum’at

dengan bahasa Arab akan tetapi apa yang disampaikan sudah pernah

disampaikan dalam kajian keislaman melalui pegajian tafsir al Qur’an

maupun al Hadits.

b. Ekternal

Pembinaan secara ekternal terhadap anggota LDII di Kabupaten

Grobogan ini secara khusus tidak pernah dilakukan, baik oleh Departemen

Agama, MUI maupun instansi pemerintah lainnya. Hanya saja hubungan

pengurus dengan pimpinan MUI maupun Kepala Departemen Agama

Kabupaten Grobogan cukup baik.

6. Pola Pembinaan dan Pengembangan Jamaah Tabligh

a. Internal

Secara interanal pembinaan anggota Jamaah Tabligh dilakukan

secara intensif pada aspek penguatan keagamaan. Sedangkan pada aspek

kemasyarakatan terlihat kurang mendapatkan perhatian yang baik, hal ini

terbukti khususnya anggota Jamaah Tabligh yang tinggal dalam pondok

pesantren hampir tidak pernah melakukan sosialisasi dengan masyarakat

sekitar, seperti pada kegiatan kerja bakti, peringatan Hari Ulang Tahun

Kemerdekaan RI setiap tanggal 17 Agustus.

b. Ekternal

Pembinaan yang dilakukan oleh pihak luar, seperti Kandepag dan

Kesbanglinmas terhadap kelompok Jamaah Tabligh di daerah Kerincing

selama ini dapat dikatakan tidak ada. Hal itu secara jujur dikatakan oleh

informan, bahwa selama ini tidak ada pembinaan terhadap kelompok

Jamaah Tabligh tersebut.61 Selama ini tidak pernah ada pembinaan khusus

dari Kakandepag setempat.62

61 Hasil wawancara Kasi Penamas Departemen Agama Kabupaten Magelang pada tanggal 30 Mei 2008. 62 Hasil wawancara dengan anggota jamaah Tabligh pada tanggal 31 Mei 2008.

Page 94: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

93

BAB VI

SIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Simpulan

1. Interaksi Sosial

a. Masih terjadi kemungkinan pengerasan paham keagamaan di internal aliran

khususnya untuk kelompok aliran Syi’ah, LDII, MTA, dan Jamaah Asy

Syahadatain. Pada aliran Syi’ah masih terdapat ajaran yang dianggap tidak

sesuai dengan ajaran Islam pada umumnya, seperti terlalu mengangungkan

Ali bin Abi Thalib dan mensyahkan nikah mut’ah, adanya anggapan

sebagian masyarakat yang apabila melakukan shalat di masjid milik jamaah

LDII akan disucikan kembali, adanya anggapan MTA hanya menggunakan

dalil-dalil al Qur’an, dan pada Syahadatain terlalu eksklusif karena para

anggotanya tidak mau shalat Jum’at di masjid milik masyarakat dan

mendirikan shalat jum’at sendiri meskipun jumlah jamaahnya tidak ada 40

orang sebagaimana disyaratkan dalam madzab imam Syafi’i. Sementara itu,

untuk interaksi sosial dengan anggota masyarakat sekitarnya sangat

dianjurkan oleh pimpinan kepada semua santri maupun anggotanya,

sehingga tidak sedikit anggota jamaahnya yang menjadi pengurus RT

maupun RW.

b. Basis stabilitas kerukunan antarumat Islam di Jawa Tengah adalah interaksi

sosial kemasyarakatan, interaksi sosial pada umumnya tercipta dalam aspek

pendidikan, perekonomian, kesehatan, dan bakti sosial. Pada aspek

pendidikan terlihat anggota aliran maupun putra dari pimpinan jamaah yang

melanjutkan pendidikan pada sekolah yang ada di masyarakat, pada aspek

perekonomian terjadi transaksi jual beli antar anggota masyarakat dengan

anggota aliran Islam minoritas melalui koperasi yang dimiliki kelompok

Islam minoritas maupun usaha yang dilakukan oleh anggota masyarakat

pada umumnya, pada aspek kesehatan hampir semua anggota aliran Islam

minoritas yang berobat ke Puskesmas milik pemerintah maupun ke dokter

Page 95: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

94

yang bukan anggotanya, dan pada kegiatan bakti sosial sebagai sarana yang

dilakukan oleh para anggota aliran Islam minoritas untuk berinteraksi sosial

dan menjaga kerukunan antar umat beragama.

c. Masih kurangnya partisipasi aktif anggota aliran dalam interaksi sosial

pemerintahan dalam proses pembuatan kebijakan terlihat pada kurangnya

keaktifan dan kehadiran mengikuti kegiatan rapat pemerintahan dimulai dari

tingkat administrasi desa/kelurahan. Meskipun demikian, untuk administrasi

yang berkaitan dengan pemerintahan tetap dilakukan secara prosedural,

seperti ketika santri Syi’ah akan berangkat ke Iran secara legal melalui pihak

pemerintahan setempat.

2. Potensi dan Hambatan

a. Potensi pendukung interaksi sosial secara internal adalah mulai adanya

pelunakan pemahaman tentang perbedaan muamalat bukan merupakan

prinsip dalam beragama. Sedangkan secara eksternal, masyarakat secara

umum mulai menerima eksistensi kelompok minoritas khususnya dalam

kehidupan sosial kemasyarakatan.

b. Hambatan interaksi sosial secara internal adalah kelompok minoritas masih

lebih mementingkan pengembangan ilmu keagamaan dalam komunitasnya.

Sedangkan secara eksternal, masih adanya sebagian kelompok masyarakat

muslim yang belum bisa menerima peran kelompok Islam minoritas dalam

kehidupan sosial keagamaan dan pemerintahan.

3. Pola Pembinaan

a. Pola pembinaan yang ada masih berada dalam tataran internal aliran maka

posisi tokoh dan pengurus sangat strategis sebagai fasilitator bagi intervensi

kebijakan untuk pemberdayaan umatnya

b. Pola pembinaan dari lingkup eksternal masih dalam tataran ketersediaan

mekanisme dan saluran formal misalkan Kantor Urusan Agama atau Depag

Kaupatenb/Kota namun belum ada agenda aksi yang jelas dan berkelanjutan.

B. Rekomendasi

1. Interaksi Sosial

Page 96: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

95

a. Peran MUI dan Kanwil Depag untuk menggalakkan aktivitas komunikasi

untuk mewujudkan ukuwah islamiyah antarkelompok Islam dengan

melibatkan aliran minoritas dalam penentuan kebijakan keagamaan,

misalkan penentuan awal dan akhir Ramadhan.

b. Badan Kesbangpol dan linmas dan Kejaksaan perlu melakukan pemutahiran

data informasi tiap organisasi sosial keagamaan sehingga perkembangan dan

peran organisasi dapat diketahui. Perkembangan dan kecenderungan tingkat

potensi konflik di masyarakat perlu diketahui.

c. Pemerintah daerah perlu mendorong peningkatan keterlibatan kelompok

minoritas dalam kegiatan-kegiatan sosial pemerintahan seperti pengurusan

identitas kartu tanda penduduk, data kelahiran, pelayanan pendidikan dan

pelayanan kesehatan oleh pemerintah.

2. Potensi dan Hambatan

a. Potensi yang sudah dimiliki oleh kelompok Syi’ah, MTA, Syahadatain, LDII

maupun Jamaah Tabligh hendaknya dikembangkan dan ditingkatkan agar

lebih memberi manfaat bagi keluarga besar kelompok sendiri maupun pihak

lain, seperti usaha bidang kesehatan, pendidikan dan kegiatan sosial

kemasyarakatannya.

b. Biro Mental dan Spiritual Setda, Kanwil Depag, FKUB Provinsi, Kepolisian

Daerah, Kajaksaan Tinggi dan MUI Provinsi untuk menfasilitasi aktivitas

komunikasi lintas aliran Islam.

3. Pola Pembinaan

a. Perlu meningkatkan intensitas komunikasi dan koordinasi antara Kejaksaan

tinggi, Kawil Depag Provinsi, dan Gubernur untuk meningkatkan upaya

pembinaan pada kelompok minoritas.

b. Revitalisasi pembagian peran antara Kanwil Depag (Urais: urusan agama

Islam), Depag Kab/Kota, dan KUA terkait dengan lingkup pembinaan

terhadap kelompok minoritas dan masyarakat sekitar.

c. Perencanaan program pembangunan khususnya bidang keagamaan

(Musrenbangda) perlu mengakomodasi kepentingan dan gagasan-gagasan

semua kelompok keagamaan.

Page 97: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

96

DAFTAR PUSTAKA

Basyuni, Muhammad M. Kebijakan dan Strategi Kerukunan Umat Beragama. Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, Jakarta, 2006.

Dewan Redaksi Ensiklopedi Indonesia, Ensiklopedi Indonesia. Pn.PT. Ichtiar Baru – Van Hoeve. Jakarta. t.t.

Geertz, Clifford. Konflik Dan Konfigurasi, dalam Roland Robertson, Agama, Analisa Dan Interpretasi Sosiologi, terjemahan AF Saifuddin, Rajawali, Jakarta.tt.

Ishomuddin., Sosiologi Perspektif Islam, Universitas Muhammadiyah Malang, Malang, 2005.

Mawardi, Marmiati. Hubungan Intern Ummat Beragama di Jawa Tengah; studi kasus di Kota Pekalongan. Balai Penelitian Aliran Kerohanian/Keagamaan Semarang. 1999.

Muzayanah, Umi dan A.M. Wibowo. Peta Keagamaan Provinsi Jawa Tengah. Balitbang Agama Semarang. 2007

Poerwadarminto, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN. Balai Pustaka,. 1976.

Puspito, D. Hendro OC., Sociologi Sistematik, Pn. Kanisius. Yogjakarta. 1989.

Schermerhorn, R.A., Comparative Ethnic Relations: A Framework of Theory and Research, Random House, New York, 1970.

Simo & Schuster, Webster Dictionary, Published by New World Dictionary, Printed in The United State of America. 1972.

Soekanto, Soerjono, Kamus Sosiologi, CV Rajawali. Jakarta. 1985.

Sulaiman, Jamaah Tabligh di desa Kerincing Kecamatan Secang Kabupaten Magelang. Balitrohag. Semarang. 1997.

Sumarjan, Selo, Setangkai Bunga Sosiologi, Fakultas Ekonomi UI, Jakarta, 1986.

Victor, Y. Tanja, Pluralisme Agama Dan Problem Sosial, 1998, Pustaka Cide Sindo, Jakarta.tt

Wach, Joachim, Sociology Of Religio, The University Of Cichago Press, London, 1964.

Young, Kimball, Social Cultural Process, dalam Selo Sumarjan, Setangkai Bunga Sosiologi, Fakultas Ekonomi UI, Jakarta. tt

Azra, Azyumardi. Psikologi Minoritas-Mayoritas. Gatra Edisi Khusus September 2008.

Page 98: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

97

Bachtiar, Harsya W., Agama Dan Perubahan Sosial Di Indonesia, dalam Bulletin “Dialog “ Edisi No. 17, Jakarta, Badan Litbang Agama, 1984.

Puslitbang Kehidupan Beragama Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI, Jurnal Harmoni: Dinamika Agama-gama di Indonesia , volume II, Nomor 8, Oktober-Desember 2002, hal. 14-15.

Puslitbang Kehidupan Beragama Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI, Jurnal Harmoni: Pemikiran dan Gerakan Keagamaan di Indonesia, volume IV, Nomor 13, Januari-Maret 2005.

Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri, Nomor: 9 Tahun 2006 dan Nomor: 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah.

SKB (Surat Keputusan Bersama) 3 Menteri (Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri RI) Nomor: 3 Tahun 2008, Nomor: KEP-033/A/JA/6/2008, dan Nomor: 199 Tahun 2008 Tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, Dan/Atau Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat.

Page 99: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

98

Lampiran 1

KEPUTUSAN

KOMISI FATWA

Nomor : 03 / Kep / FK – MUI / IX 2006

Tentang

LEMBAGA DAKWAH ISLAM INDONESIA

Bismillaahirrohmaanirrohiem

Komisi Fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI) dalam rapat Pleno pada

hari Senin tanggal 11 Sya’ban 1427 H / 4 September 2006 M., setelah :

MENDENGAR : Penjelasan pimpinan harian MUI tentang hasil

pertemuan Pimpinan MUI dengan Dewan Pimpinan

LDII Pusat tanggal 4 Juni 2006 dan kunjungan pusat

LDII

MEMBACA : 1. Fatwa MUI tentang Islam Jamaah

2. Surat pernyataan klarifikasi dari Dewan Pimpinan

LDII Pusat yang ditandatanganiKetua umum dan

Sekjenya

MEMPERHATIKAN : Pendapat dan usul peserta rapat Komisi Fatwa MUI

tanggal 11 Sya’ban 1427 H . 4 September 2006 M.

MEMUTUSKAN

MENETAPKAN:

1. Dapat menerima pernyataan klarifikasi tingkat nasional dari pimpinan LDII

Pusat yang menyatakan bahwa:

a. LDII telah menganut paradigma baru

b. LDII bukan penerus/kelanjutan dari gerakan Islam Jamaah serta tidak

menggunakan ataupun mengajarkan ajaran Islam Jamaah.

c. LDII tidak menggunakan atau menganut sistem keamiran.

d. LDII tidak menganggap umat muslim di luar kelompok mereka sebagai

kafir dan najis.

Page 100: Kelompok Islam Minoritas Jawa Tengah

99

e. LDII bersedia bersama ormas-ormas Islam lainnya mengikuti landasan

berpikir keagamaan sebagaimana yang ditetapkan MUI.

2. Mengharuskan agar klarifikasi dilakukan juga oleh pengurus LDII tingkat

Propinsi dan Kabupaten / Kota sebagaimana telah dilakukan oleh Dewan

Pimpinan LDII Pusat kepada MUI. Klarifikasi di tingkat Propinsi dan

Kabupaten/Kota dilakukan oleh masing-masing tingkatan yang sama.

3. Menyarankan:

a. Agar Dewan Pimpinan LDII Pusat segera mungkin melakukan Munas /

Rakernas dan membuat keputusan mengenai hal tersebut sehingga terjadi

persamaan persepsi di LDII sampai pada tingkat yang terbawah

b. Melakukan konferensi Pers (Pers Conference) mengenai pernyataan

klarifikasi tersebut untuk diketahui oleh semua warga LDII khususunya

dan umat Islam pada umunya.

Jakarta, 11 Sya’ban 1427 H.

04 September 2006 M.

MAJLIS ULAMA INDONESIA

KOMISI FATWA,

Ketua Sekretaris

KH. Ma’ruf Amin Hasanuddin