KELIMPAHAN BINTANG LAUT Protoreaster nodosus PADA ...
Transcript of KELIMPAHAN BINTANG LAUT Protoreaster nodosus PADA ...
KELIMPAHAN BINTANG LAUT Protoreaster nodosus PADA KERAPATAN LAMUN YANG BERBEDA DI
PULAU BARRANG LOMPO
SKRIPSI
ADE FIDYA ASTUTI
L211 13 313
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
DEPARTEMEN PERIKANAN
FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
KELIMPAHAN BINTANG LAUT Protoreaster nodosus PADA KERAPATAN LAMUN YANG BERBEDA DI
PULAU BARRANG LOMPO
Oleh :
ADE FIDYA ASTUTI
Laporan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Di Jurusan Perikanan
Fakultas Ilmu Kelautan Dan Perikanan
Universitas Hasanuddin
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
JURUSAN PERIKANAN
FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
ABSTRAK
Ade Fidya Astuti, L21113313. Kelimpahan Bintang Laut Protoreaster
nodosus Pada Kerapatan Lamun Yang Berbeda di Pulau Barrang Lompo
(dibimbing oleh Dr. Ir. Nadiarti, M.Sc. sebagai pembimbing utama dan Dr.
Yayu Anugrah La Nafie, ST., M.Sc. sebagai pembimbing anggota.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kelimpahan bintang laut Protoreaster nodosus serta perbedaany kelimpahannya, pada kepadatan lamun yang jarang dan agak rapat di perairan Pulau Barrang Lompo, Pelaksanaan penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus sampai Oktober 2017 di Pulau Barrang Lompo. Stasiun di tentukan berdasarkan kerapatan lamun, yaitu daerah lamun jarang (stasiun I) dan daerah lamun agak padat (stasiun II). Pengamatan sampel bintang laut dan lamun dilakukan pada saat air surut terendah di kedua stasiun. Hasil menunjukkan kelimpahan\ rata-rata bintang laut Protoreaster nodosus adalah 0,01 ind/m2 dengan kondisi rata-rata kerapatan lamun sebesar 63,6 (tegakan/m2) pada stasiun I (lamun jarang), sedangkan kepadatan rata-rata Protoreaster nodosus 0.028 ind/m2 dengan rata- rata kerapatan lamun sebesar 284,8 (tegakan/m2) pada stasiun II (lamun agak padat). Hasil uji korelasi antara kelimpahan bintang laut Protoreaster nodosus dengan kerapatan lamun jarang dan agak padat menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat kerapatan lamun, maka akan tinggi pula kelimpahan bintang laut (hubungan posistif). Berdasarkan hasil uji-t, terdapat perbedaan yang nyata (p<0.05) antara kelimpahan bintang laut di lamun jarang (0.01 ind/m2) dengan lamun agak padat (0,028 ind/m2). Hal ini menunjukkan bahwa ekosistem padang lamun di pulau Barrang Lompo masih memiliki peranan ekologis yaitu sebagai habitat bagi bintang laut Protoreaster nodosus.
Kata kunci : Bintang Laut, Protoreaster nodosus, lamun, kelimpahan bintang laut,
kerapatan lamun, Pulau Barrang Lompo
ABSTRACT
Ade Fidya Astuti, L21113313. Starfish Protoreaster nodosus abundance at Different Seagrass Density in Barrang Lompo Island (supervised by Dr. Ir. Nadiarti, M.Sc. (main supervisor) and Dr. Yayu Anugrah La Nafie, ST., M.Sc. (co-supervisor). This study aims to determine the abundance of starfish Protoreaster nodosus at sparce and slightly-dense seagrass density in the waters of Barrang Lompo Island, as well as looking at the differences in the abundance of starfish Protoreaster nodosus at sparce and nearly-dense seagrass density in the waters of Barrang Lompo Island. This research was conducted from August to October 2017 at Barrang Lompo Island. Research sampling stations were determined based on the density of the seagrass, i.e. sparce seagrass (station I), and slightly-densed seagrass (station II). Starfish P. nodosus observation were conducted during low tide, at both stations, as well as seagrass measurement. Results showed that at station I (sparce seagrass), the average density of Protoreaster nodosus starfish was 0.01 ind /m2 with the average seagrass density of 63.6 (shoots /m2). At station II (dense seagrass), the average density of Protoreaster nodosus was found to be greater than that of station I of 0.028 ind /m2 with an average seagrass density of 284.8 (shoots /m2). The results of the correlation test between the abundance of starfish Protoreaster nodosus with sparce and slightly-dense seagrass density indicate that the higher the seagrass density, the higher the starfish abundance (positive relation). Based on the t-test analysis, there was a significant difference (p <0.05) between the abundance of seagrass in sparce seagrass (0.01 ind /m2) with nearly-dense seagrass (0.028 ind /m2). This shows that the seagrass ecosystem on Barrang Lompo Island still has an ecological role as habitats for starfish Protoreaster nodosus. Keywords: Starfish, Protoreaster nodosus, seagrass, starfish abundance, seagrass density, Barranglompo Island
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Ade Fidya Astuti yang merupakan
anak pertama dari empat bersaudara. Terlahir dari pasangan
Nurdin dan Syamsiah. Penulis lahir di Ujung Pandang pada
tanggal 21 Juni 1995. Penulis telah melewati pendidikan
formal sekolah taman kanak – kanak di TK Aisyiah Kec.
Tallo Kota Makassar pada tahun 2000, lanjut sekolah dasar
di SD Negeri Kalukuang I pada tahun 2001 - 2007, lanjut sekolah menengah
pertama di SMP Negeri 04 Makassar pada tahun 2007 - 2010, lanjut sekolah
menengah atas di SMA Negeri 04 Makassar pada tahun 2010 dan lulus pada
tahun 2013. Pada tahun yang sama penulis diterima di Universitas Hasanuddin di
program strata satu Manajemen Sumberdaya Perairan, Departemen Perikanan,
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan melalui jalur ujian Seleksi Bersama Masuk
Perguruan Tinggi Negeri (SBM–PTN).
Selama menjadi mahasiswa penulis pernah mengabdikan diri pada
masyarakat selama kurang lebih dua bulan di Kelurahan Minasate’ne, Kecamatan
Minasate’ne, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan dalam rangka Kuliah Kerja
Nyata (KKN) Reguler Angkatan 93 tahun 2016. Melakukan Praktek Kerja Lapang
(PKL) di Pulau Barrang Lompo, Sulawesi Selatan yang merupakan salah satu
tugas akhir sebelum meraih gelar sarjana.
Penulis pernah menjadi asisten laboratorium di mata kuliah Biologi
Perikanan dan Dinamika Populasi. Penulis melakukan penelitian dengan judul
“Kelimpahan Bintang Laut Protoreaster nodosus Pada kerapatan Lamun Yang
Berbeda di Pulau Barrang Lompo” di bawa bimbingan Dr. Ir. Nadiarti M.Sc. dan
Dr. Yayu Anugrah La Nafie, ST., M.Sc.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia yang telah
diberikan-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini yang
berjudul Kelimpahan Bintang Laut Protoreaster nodosus Pada Kerapatan Lamun
Yang Berbeda di Pulau Barrang Lompo.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini dapat diselesaikan berkat
adanya bantuan dari berbagai pihak yang tak henti-hentinya memberikan support
dan sumbangsih kepada penulis. Tanpa itu semua mungkin laporan ini tidak akan
selesai seperti yang ada sekarang ini. Oleh karena itu, ucapan terima kasih
penulis haturkan kepada semua pihak yang telah terlibat dalam penyusunan
laporan ini baik secara langsung maupun tidak langsung, yaitu kepada :
1. Kedua orang tuaku (Ibunda Syamsiah dan Ayahanda Nurdin) yang
selalu memberikan dukungan dan motivasi serta do’a yang tulus kepada
putrinya dalam menyelesaikan skripsi ini.
2. Ibu Dr. Ir. Nadiarti, M.Sc sebagai pembimbing utama dan Yayu Anugrah
La Nafie, ST, M.Sc. sebagai pembimbing lapangan yang telah memberi
bimbingan, arahan dan saran, baik di lapangan maupun dalam proses
pembuatan laporan ini. Sehingga segala kendala yang ditemui dapat
diselesaikan.
3. Ibu Dr. Irmawati, S.Pi, M.Si, ibu Ir. Suwarni, M.Si, Bapak Moh. Tauhid
Umar, S.Pi, MP sebagai dosen penguji yang telah meluangkan waktunya
dan banyak memberikan masukan, kritikan, serta arahan sehingga
proposal penelitian ini menjadi lebih baik.
4. Bapak Dody Priosambodo, S.Si, M.Si yang telah membimbing dan
memberikan arahan tambahan dalam kegiatan penelitian ini.
5. Desti Age Paberu dan kanda Nurul Huda selaku teman selokasi, teman
seperjuangan penelitian dan yang selalu memberikan support dalam
menyelesaikan laporan ini. Terima kasih atas dukungan dan bantuannya.
6. Teman – teman seperjuangan MSP #13 terimakasih atas dukungan dan
bantuannya selama menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan ini tidak terlepas dari segala
kekurangan sehingga kritik dan saran yang bersifat membangun sangat
diharapkan. Semoga kelak laporan ini bisa bermanfaat bagi penulis khususnya
dan pembaca pada umumnya. Wassalam.
Makassar, Juni 2018
Penulis
v
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ........................................................................................................ v
DAFTAR TABEL ................................................................................................ vi
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... vii
I. PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
A. Latar Belakang ......................................................................................... 1 B. Tujuan dan Kegunaan .............................................................................. 2
II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................... 3
A. Bintang Laut Protoreaster nodosus .......................................................... 3 B. Ekosistem Lamun ................................................................................................ 5
III. METODE PENELITIAN ................................................................................. 8
A. Waktu dan Tempat ................................................................................... 8 B. Alat dan Bahan......................................................................................... 8 C. Prosedur Sampling ................................................................................... 9 D. Analisis Data .......................................................................................... 12
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................... 15
A. Kelimpahan Bintang Laut Protoreaster nodosus di Perairan Pulau Barrang Lompo ...................................................................................... 15
B. Kerapatan Lamun di Perairan Pulau Barrang Lompo ............................. 16 C. Analisis Statistik Kelimpahan Bintang Laut Protoreaster nodosus
Pada Kerapatan Lamun Jarang dan Agak Padat .................................... 20 D. Parameter Lingkungan ........................................................................... 22
IV. KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................... 24
A. Kesimpulan ............................................................................................ 24 B. Saran ..................................................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 25
LAMPIRAN ................................................................................................... 28
vi
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1 Kategori tutupan lamun …….................................................. 6
2 Skala kondisi padang lamun berdasarkan kerapatan …………………………………………………......................... 7
3 Klasifikasi dan ukuran sedimen berdasarkan Skala Wentworth…………………………………………………….... 12
4 Kelimpahan bintang laut Protoreaster nodosus..................... 15
5 Kisaran hasil pengukuran kualitas air..................................... 22
6 Karakteristik substrat dasar di lokasi penelitian...................... 23
vii
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1 Anatomi bintang laut Protoreaster nodosus.......................... 3
2 Bintang laut Protoreaster nodosus........................................ 5
3 Peta lokasi penelitian………………....……………………..... 8
4 Skema lokasi pengambilan data di Pulau Barrang Lompo... 10
5 Teknik pengambilan sampel lamun ………………………... 11
6 Kerapatan jenis lamun pada stasiun I.................................. 17
7 Kerapatan jenis lamun pada stasiun II................................. 18
8 Hubungan kelimpahan bintang laut pada kerapatan lamun jarang dan agak rapat …………………………….....……....
21
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Protoreaster nodosus adalah salah satu jenis bintang laut yang berukuran
besar yang banyak ditemukan di perairan Indo-Pasifik. Spesies tersebut
memakan meiofauna, mikroorganisme dan makrofauna pasir, serta memilih
habitat berpasir seperti rataan pasir atau padang lamun (Bos, et al., 2008).
Bintang laut sebagai anggota kelompok Echinodermata, merupakan salah
satu biota yang berasosiasi kuat dengan padang lamun dan berperan dalam
siklus rantai makanan di ekosistem tersebut (Supono dan Arbi, 2010).
Bintang laut memiliki manfaat sebagai bahan campuran untuk membuat
pupuk. Selain itu ada juga nelayan yang memanfaatkan bintang laut sebagai
hiasan di dalam aquarium (Vangistuti, 2012).
Pulau Barrang Lompo merupakan salah satu pulau di kawasan
Kepulauan Spermonde yang berada di wilayah administrasi kota Makassar.
Perairan di Pulau Barrang Lompo memiliki tipe dasar perairan yang landai
dengan hamparan padang lamun kurang lebih 1 km dari bibir pantai hingga tubir.
Perairan di Pulau Barrang Lompo memiliki beberapa jenis bintang laut di padang
lamun (Litaay, et al., 2007) dan paparan terumbu. Hal ini dapat juga dibuktikan
saat masyarakat setempat melakukan aktifitas mencari biota pada saat perairan
surut.
Seiring dengan pertambahan penduduk dan meningkatnya aktivitas
pembangunan di wilayah pesisir, maka tekanan terhadap ekosistem pesisir
khususnya padang lamun juga meningkat, akibatnya berdampak terhadap
rusaknya ekosistem tersebut dan menurunnya peran ekologis dari suatu
ekosistem (Arifin, et al., 2004).
2
Beberapa peneliti (Litaay, et al., 2007) telah melakukan studi tentang
kepadatan bintang laut dengan mengkajinya secara umum, yaitu
makrozoobenthos di padang lamun namun tidak ada informasi mengenai
kepadatan bintang laut Protoreaster nodosus (secara spesifik) yang terdapat di
padang lamun dengan kondisi yang berbeda.
Penelitian ini dilakukan guna mengetahui kepadatan bintang laut
Protoreaster nodosus pada lamun jarang dan agak padat di perairan Pulau
Barrang Lompo.
B. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan penelitian ini dilakukan yaitu untuk mengetahui perbedaan
kelimpahan bintang laut Protoreaster nodosus pada kerapatan lamun yang
jarang dan agak rapat di perairan Pulau Barrang Lompo.
Kegunaan penelitian ini yaitu diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan
dan sumber informasi tentang perbedaan kelimpahan bintang laut Protoreaster
nodosus pada kerapatan lamun yang jarang dan agak rapat di Pulau Barrang
Lompo, Makassar.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Bintang Laut Protoreaster nodosus
1. Klasifikasi
Bintang laut adalah salah satu anggota dari filum Echinodermata dengan
klasifikasi sebagai berikut: (Clark dan Rowe,1971)
Kingdom : Animalia
Filum : Echinodermata
Ordo : Forcipulatida
Famili : Asteridae
Kelas : Asteroidea
Genus : Protoreaster
Spesies : Protoreaster nodosus
2. Morfologi
Gambar 1. Protoreaster nodosus: tampak dorsal (a); celah ambulacral
(b) pedicellaria berbentuk pinset (Puspitasari, et al., 2012)
Seluruh tubuhnya tertutup duri kecuali pada lekuk sisi oral yang disebut
celah ambulakral. Alat gerak berupa tabung telapak, biasanya 4 buah, terletak
dalam celah ambulakral. Dinding selom menonjol sebagai kantong yang disebut
branki atau papulae. Branki muncul di antara papan-papan kapur, dan berfungsi
sebagai alat pernapasan dan eksresi. Pada permukaan tubuhnya terdapat
4
pediselariae, sebagai alat-alat tambahan dan berbentuk seperti angkup (forsep)
yang berguna untuk menghilangkan benda-benda asing pada permukaan
tubuhnya (Brotowidjoyo, 1989).
Bintang laut adalah makhluk hidup yang bebas, namun dikarenakan
ketiadaan organ gerak yang memadai, bintang laut hanya bergerak mengikuti
arus air laut. Bintang laut memiliki kekuatan regenerasi yang mengagumkan.
Apabila satu lengan putus, lengan baru akan tumbuh kembali. Bila cakram
tengah ditempelkan ke tangan yang terpotong, individu baru dapat tumbuh dari
bagian yang terpotong tersebut (Niel, et al., 2003). Sistem reproduksi pada
bintang laut, yaitu dengan sistem fertilisasi yang terjadi di luar (eksternal), yaitu di
dalam air laut atau di luar tubuhnya. Telur yang telah dibuahi akan membelah
secara cepat menghasilkan blastula, dan selanjutnya berkembang menjadi
gastrula. Gastrula ini berkembang menjadi larva. Larva atau disebut juga
bipinnaria berbentuk bilateral simetri. Larva ini berenang bebas di dalam air
mencari tempat yang cocok hingga menjadi branchidaria, lalu mengalami
metamorfosis dan akhirnya menjadi dewasa, setelah dewasa bentuk tubuhnya
berubah menjadi radial simetri.
3. Kelimpahan
Kelimpahan merupakan banyaknya individu dari satu spesies dalam
satuan meter kuadrat. Kelimpahan suatu vegetasi dipengaruhi oleh frekuensi,
kerapatan dan dominasi jenis. Frekuensi suatu jenis menunjukkan penyebaran
suatu jenis dalam suatu areal. Jenis yang menyebar secara merata akan
mempunyai nilai frekuensi yang besar. Kerapatan suatu jenis menunjukkan nilai
yang menggambarkan seberapa banyak atau jumlah jenis per satuan luas.
Semakin besar nilai kerapatan jenisnya maka semakin banyak jumlah individu
yang berada dalam satuan luas tersebut (Krebs, 2000)
5
Gambar 2. Bintang laut Protoreaster nodosus(sumber: pribadi)
B. Ekosistem Lamun
Ekosistem padang lamun merupakan salah satu ekosistem yang memiliki
produktivitas organik yang tinggi. Padang lamun merupakan salah satu
lingkungan yang mampu memberikan dukungan bagi biota-biota yang tinggal di
sekitarnya untuk mencari makan dan tempat berlindung dari ancaman para
predator, terutama saat masih anakan, seperti salah satu contohnya adalah
Echinodermata. (Tomascik et al., 1997).
Lamun (seagrass) merupakan satu-satunya tumbuhan berbunga
(Angiospermae), yang memiliki rhizoma, daun dan akar sejati, yang hidup
terendam di dalam laut. Lamun umumnya membentuk padang lamun yang luas
di dasar laut yang masih dapat dijangkau oleh cahaya matahari yang memadai
bagi pertumbuhannya. Air yang bersirkulasi diperlukan untuk menghantarkan zat-
zat hara dan oksigen, serta mengangkut hasil metabolisme lamun ke luar padang
lamun (Bengen, 2002).
Jumlah jenis lamun di dunia dikelompokkan dalam 12 genus, empatfamili,
dan dua ordo. Perairan Indonesia tercatat memiliki 12 jenis lamun, yaitu
6
Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Enhalus acoroides, Halodule
pinifolia, Halophila decipiens, Halophila ovalis, Halophila spinulosa, Syringodium
isoetiflium, Thalassia hemprichii, dan Thalassodendron ciliatum. Namun, apabila
Halophila beccarri dan Ruppia maritime yang herbariumnya dapat ditemui di
Herbarium Bogoriense-Bogor, maka jumlah jenis lamun di Indonesia adalah 14
jenis (Kiswara dan Winardi, 1994).
Sebagai ekosistem di wilayah pesisir, keberadaan padang lamun di suatu
perairan mempunyai manfaat ganda baik secara ekonomis maupun ekologis.
Secara ekonomis, lamun telah banyak dimanfaatkan sebagai bahan pangan,
pakan ternak, bahan baku kertas, bahan kerajinan, pupuk dan obat (Hutomo dan
Azkab,1987).
1. Pengamatan Kondisi Lamun
Pengamatan terhadap penutupan lamun, merupakan estimasi persentase
luasan dalam plot transek yang tertutupi lamun. Persentase tutupan lamun
adalah proporsi luas substrat yang ditutupi vegetasi lamun dalam satu satuan
luas yang diamati tegak lurus dari atas.
Tabel 1. Kategori tutupan lamun (COREMAP-CTI, 2014)
Persentase penutupan (%) Kategori
0 - 25 Jarang
26 - 50 Sedang
51 - 75 Padat
76 - 100 Sangat Padat
Pengukuran kerapatan lamun dilakukan dengan menghitung jumlah
individu lamun dalam plot transek. Kerapatan lamun adalah jumlah individu
lamun per satuan luas area.
7
Tabel 2. Skala kondisi padang lamun berdasarkan kerapatan (Amran, 2011).
Klas Kerapatan (Ind/m2) Kondisi
5 ≥ 625 Sangat rapat
4 425 – 624 Rapat
3 225 – 424 Agak rapat
2 25 – 224 Jarang
1 < 25 Sangat jarang
8
III. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus – Oktober 2017 di perairan
Pulau Barrang Lompo, yang didahului observasi awal untuk penentuan lokasi.
Berdasarkan hasil observasi tersebut, maka penelitian ini dilakukan pada dua
stasiun dengan kerapatan berbeda yaitu Stasiun I (lamun jarang) terletak di
bagian Barat Pulau Barrang Lompo dan Stasiun II (lamun agak padat) terletak di
bagian Tenggara Pulau Barrang Lompo. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada
Gambar 3 di bawah ini.
Gambar 3. Peta Lokasi Pulau Barrang Lompo
B. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : alat GPS (Global
Positioning System) sebagai alat penentuan titik koordinat untuk lokasi
penelitian, rol meter sebagai alat untuk mengukur penarikan transek dari garis
pantai hingga ditemukannya lamun, plot ukuran 10 x 10 m sebagai pembatas
9
sampel bintang laut, transek kuadrat 0,5 x 0,5 m sebagai pembatas kerapatan
lamun, alat tulis untuk mencatat data yang diambil pada lokasi penelitan, alat
masker dan snorkel untuk membantu pengamatan di laut, kamera underwater
sebagai alat dokumentasi pengamatan di laut, refraktometer untuk mengukur
salinitas air laut, water quality checker untuk mengukur kualitas air laut (suhu,
pH, dan DO), serta pompa yabbiy untuk mengambil substrat dan sedimen.
Adapun bahan yang digunakan di lapangan yaitu bintang laut
Protoreaster nodosus dan tumbuhan lamun.
C. Prosedur Sampling
Prosedur sampling meliputi tahap persiapan, penentuan lokasi penelitian,
pengambilan data lamun, bintang laut, dan pengukuran parameter lingkungan.
1. Tahap persiapan
Menyiapkan alat-alat dan bahan yang akan digunakan serta
pengumpulan referensi sebagai panduan dalam penelitian.
2. Penentuan Stasiun
Berdasarkan hasil observasi awal dengan memperhatikan keadaan lamun
dari lokasi penelitian secara keseluruhan di Pulau Barrang Lompo, penentuan
stasiun pada penelitian ini dilakukan berdasarkan kerapatan lamun yaitu stasiun I
dengan kerapatan lamun jarang dan stasiun II dengan kerapatan lamun agak
rapat. Stasiun I berada di bagian Barat pulau dan Stasiun II berada di bagian
Tenggara pulau. Pengambilan garis transek tiap stasiun dimulai dari tepi pantai
yang ditumbuhi lamun sejauh 10 m ke laut, dan juga sejajar garis pantai
sepanjang 100 m dengan menggunakan rol meter. Penentuan titik garis transek
pada lokasi penelitian menggunakan alat GPS (Global Positioning System).
10
3. Pengamatan Sampel Bintang Laut P. nodosus dan Lamun
Pengamatan sampel bintang laut P. nodosus dilakukan pada dua stasiun,
dimana masing – masing stasiun terdiri atas 10 plot yang berukuran 10 m x 10 m.
Pengamatan lamun dilakukan menggunakan transek kuadran yang berukuran
0,5 m x 0,5 m sebanyak 10 kali pengulangan pada masing-masing stasiun
(Gambar 4).
Gambar 4. Skema lokasi pengambilan data di Pulau Barrang Lompo
Keterangan :
: : Plot 10 m x 10 m
: Transek kuadrat 0,5 m x 0,5 m
Pengamatan sampel bintang laut Protoreaster nodosus pada dua stasiun
dilakukan secara langsung dengan bantuan masker dan snorkel, untuk hasil
pengamatan sampel bintang laut dan lamun dicatat pada sabak menggunakan
alat tulis. Saat melakukan penelitian dilakukan juga pengambilan dokumentasi
11
bintang laut dengan menggunakan kamera under water. Selanjutnya, dilakukan
identifikasi jenis lamun secara langsung dengan mengacu pada panduan
monitoring padang lamun (Hutomo dan Nontji, 2014). Adapun teknik pengamatan
sampel lamun dapat dilihat di bawah ini (Gambar 5).
0,5 m
Gambar 5. Teknik pengamatan lamun
Perhitungan kerapatan lamun dilakukan dengan menggunakan transek
kuadran 0,5 m x 0,5 m di dalam area plot yang berukuran 10 m x 10 m. Pada
stasiun 1 dilakukan pelemparan secara acak sebanyak 10 kali, begitupun dengan
stasiun 2.
4. Parameter Lingkungan
Pengambilan data dilakukan secara insitu, yaitu pengambilan data secara
langsung di lapangan pada saat penelitian. Data parameter lingkungan yang
diukur pada saat penelitian adalah suhu, pH, salinitas, dan DO. Pengukuran
suhu, pH, dan DO dengan menggunakan water quality checker yaitu dengan
cara alat tersebut dicelupkan beberapa centimeter ke dalam laut setelah itu hasil
yang terlihat dicatat pada sabak menggunakan alat tulis, begitu pula dengan
pengukuran salinitas yang menggunakan refraktometer.
12
Pengambilan substrat bertujuan untuk mengetahui sebaran butiran
sedimen. Substrat diambil dengan menggunakan pompa yabby lalu dimasukkan
ke dalam plastik sampel, setelah itu dibawa ke Laboratoriun Kualitas Air,
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, untuk dianalisis.
Substrat disaring dengan menggunakan saringan bertingkat dan
mengklasifikasikan tipe butiran sedimen hasil saringan berdasarkan skala
Wentworth yang dapat dilihat dibawah ini (Tabel 3).
Tabel 3. Klasifikasi dan ukuran sedimen berdasarkan Skala Wentworth (Holme
dan McIntyre 1971 dalam Amrul, 2004)
No. Nama Partikel Ukuran (mm)
1. Batuan(Boulder) >256
2. Batuan bulat (Cobble) 256 – 64
3. Batuan krikil(Pebble) 64 – 4
4. Butiran(Granule) 4 – 2
5. Pasir paling kasar(Very coarse sand) 2 – 1
6. Pasir kasar(Coarse sand) 1 – 0.5
7. Pasir sedang(Medium sand) 0.5 – 0.25
8. Pasir halus(Fine sand) 0.25 – 0.125
9. Pasir sangat halus(Very fine sand) 0.125 – 0.0625
10. Lumpur(Silt) 0.0625 – 0.0039
11. Liat(Clay) <0.0039
D. Analisis Data
1. Analisis data yang digunakan dalam pengamatan lamun yaitu :
Kerapatan jenis lamun dihitung dengan menggunakan rumus (Brower et
al.,1989 dalam Syari, 2005)
Di = ni / A
13
Keterangan :
Di = Kerapatan jenis (tegakan/ m2)
ni = Jumlah total tegakan spesies (tegakan)
A = Luas daerah yang di sampling (m2)
2. Kepadatan Bintang Laut
Kepadatan bintang laut dihitung dengan persamaan :
D =
Keterangan :
D = kepadatan bintang laut (ind/m2)
Ni = jumlah individu bintang laut di setiap stasiun
A = luas daerah pengamatan
3. Analisis Statistik Kelimpahan Bintang Laut P. nodosus Pada Kerapatan
Lamun Jarang dan Agak Padat
Analisa korelasi sederhana dengan menggunakan program Micrososft
Excel, variable (x) adalah kerapatan lamun dan variable (y) adalah kelimpahan
bintang laut P. nodosus. Analisa korelasi ini dilakukan untuk mengetahui
hubungan antara kelimpahan bintang laut P. nodosus pada kerapatan lamun
yang jarang dan agak rapat di perairan Pulau Barrang Lompo. Nilai korelasi (r)
berkisar antara 1 sampai -1, nilai semakin mendekati 1 atau -1 berarti hubungan
anatara dua variable semakin kuat, sebaliknya nilai mendekati 0 berarti
hubungan antara dua variable semakin lemah. Nilai positif menunjukan
hubungan searah (x naik, maka y naik) dan nilai negatif menunjukan hubungan
terbalik (x naik, maka y turun).
Menurut Sugiyono (2007), pedoman untuk memberikan interpretasi
koofisien korelasi adalah sebagai berikut :
a. 0,00 - 0,199 = sangat rendah
14
b. 0,20 - 0,399 = rendah
c. 0,40 - 0,599 = sedang
d. 0,60 - 0,799 = kuat
e. 0,80 - 1,000 = sangat kuat
15
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Kelimpahan Bintang Laut P. nodosus di Pulau Barrang Lompo
Pada penelitian ini spesies yang digunakan adalah bintang laut
Protoreaster nodosus. Jumlah bintang laut Protoreaster nodosus pada stasiun I
yaitu lamun jarang (63,6 ind/m2) dan stasiun II yaitu lamun agak padat (284,8
ind/m2) di perairan Pulau Barrang Lompo dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Kelimpahan bintang laut P. nodosus
Plot Stasiun I (lamun jarang)
Stasiun II (lamun agak padat)
Jumlah Kelimpahan Jumlah Kelimpahan
1 2 0.02 4 0.04
2 1 0.01 3 0.03
3 0 0 3 0.03
4 2 0.02 2 0.02
5 1 0.01 2 0.02
6 0 0 3 0.03
7 3 0.03 4 0.04
8 1 0.01 3 0.03
9 0 0 2 0.02
10 0 0 2 0.02
Jumlah 10 0.1 28 0.28
Rata rata (ind/m2) 1 0.01 2.8 0.028
Secara keseluruhan, jumlah bintang laut Protoreaster nodosus yang
didapatkan pada stasiun I yaitu sebanyak 10 individu sedangkan pada stasiun II
yaitu sebanyak 28 individu (Tabel 4) . Rata - rata kelimpahan bintang laut P.
nodosus pada stasiun I yaitu 0,01 ind/m2 sedangkan pada stasiun II yaitu 0,028
ind/m2. Umumnya masing-masing jenis bintang laut memiliki habitat yang spesifik
seperti Protoreaster nodosus sering ditemukan di padang lamun dan sedikit
ditemukan di karang mati, area dengan substrat berpasir dan daerah tubir. Hal ini
disebabkan makanan utamanya adalah detritus (Susetiono, 2007). Berdasarkan
Tabel 4 menunjukkan bahwa pada stasiun I dan II yang terdiri atas 10 plot
pengambilan sampel dimana data bintang laut yang didapatkan yaitu beragam.
16
Jika dibandingkan dengan stasiun I, jumlah individu bintang laut Protoreaster
nodosus pada stasiun II di tiap-tiap plot lebih banyak. Hal ini dimungkinkan oleh
kerapatan lamun yang mengalami keragaman pada tiap – tiap plot di stasiun I
dan II. Menurut Sloan (1980) dalam Puspitasari, et al., (2012) Protoreaster
nodosus ditemukan di daerah padang lamun dan hidup dari alga yang menempel
pada daun lamun yang telah membusuk. Sebagian besar bintang laut
berdasarkan penelitian Puspitasari (2012) mengenai Studi Taksonomi Bintang
Laut (Asteroidea, Echinodermata) Dari Kepulauan Karimunjawa, Jepara
mengatakan bahwa sebagian besar bintang laut termasuk pemakan detritus
salah satunya P. nodosus. Hewan pemakan detritus berperan dalam mendaur
ulang detritus serta mengembalikannya kedalam rantai makanan.
B. Kerapatan Lamun di Perairan Pulau Barrang Lompo
Menurut Amran (2011) skala kondisi padang lamun berdasarkan
kerapatan dikategorikan dalam 5 klas, klas 1 untuk lamun dengan kerapatan <25
tegakan/m2 termasuk dalam kondisi sangat jarang, klas 2 untuk lamun dengan
kerapatan berkisar 25 – 224 tegakan/m2 termasuk dalam kondisi jarang, klas 3
dengan kerapatan berkisar 225 - 424 tegakan/m2 termasuk dalam kondisi agak
rapat, klas 4 dengan kerpatan berkisar 425 – 624 tegakan/m2 termasuk dalam
kondisi rapat, klas 5 dengan kerapatan ≤ 625 termasuk dalam kondisi sangat
rapat. Kerapatan lamun yang dihasilkan di perairan Pulau Barrang Lompo pada
stasiun I yaitu 63,6 tegakan/m2 yang termasuk dalam skala 2 dengan nilai
kerapatan 25 - 224 tegakan/m2 yang berarti lamun yang berada pada stasiun I
tergolong lamun dengan kondisi jarang, skala kerapatan lamun diketahui untuk
menentukan kondisi padang lamun. Jenis lamun yang memiliki kerapatan
tertinggi pada stasiun I adalah Thalassia hemprichii yaitu 41,2 tegakan/m2.
Sedangkan kerapatan lamun pada stasiun II yaitu 284,8 tegakan/m2 termasuk
17
dalam klas 3 dengan kerapatan berkisar 225 - 424 tegakan/m2 yang berarti
lamun pada stasiun II tergolong kondisi agak rapat. Hasil perhitungan rata-rata
kerapatan jenis lamun di stasiun I dapat dilihat pada Gambar 6 di bawah ini.
Gambar 6. Kerapatan jenis lamun pada stasiun I
Berdasarkan hasil perhitungan kerapatan jenis, diperoleh lamun jenis
Thalassia hemprichii memiliki kerapatan yang paling tinggi dibandingkan dengan
lamun jenis lain pada stasiun I (Gambar 6) yaitu dengan nilai kerapatan 41,2
tegakan/m2. Enhalus acoroides dengan nilai kerapatan 15,6 tegakan/m2,
sedangkan Cymodocea rotundata merupakan lamun dengan nilai kerapatan
paling rendah dibandingkan dengan jenis lain yaitu dengan nilai kerapatan 6,8
tegakan/m2. Pada stasiun II (Gambar 7) ditemukan kerapatan jenis lamun yang
tertinggi adalah Cymodocea rotundata yang diikuti dengan Thalassia hemprichii.
Adanya variasi tingkat kerapatan jenis di masing-masing stasiun yang berbeda
menunjukkan adanya tingkat adaptasi yang berbeda-beda dari masing-masing
jenis lamun. Hal tersebut ditemukan pula oleh Feryatun, et al., (2012) di Pulau
Pramuka Kepulauan Seribu, dan Septian, et al., (2016) di perairan Desa Sebong
Pereh Kabupaten Bintan bahwa terdapat tingkat adaptasi yang berbeda-beda
dari masing-masing jenis lamun terhadap lingkungannya.
6.8
41.2
15.6
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
Cymodocea rotundata Thalassia hemprichii Enhalus acoroides
Ke
rap
atan
(te
gaka
n/m
2)
Jenis lamun
18
Vegetasi lamun diperairan Pulau Barrang Lompo membentuk suatu
hamparan padang lamun yang tersebar mulai dari pantai utara, pantai barat, dan
pantai selatan. Sedangkan untuk pantai timur vegetasi lamun tidak terlalu luas
sehingga tidak membentuk suatu hamparan padang lamun. Kondisi substrat
yang memiliki kecenderungan mengalami pendangkalan diduga sangat
berpengaruh terhadap sedikitnya vegetasi lamun yang bisa tumbuh pada sisi
timur pulau tersebut (Arifin, et al,. 2004).
Gambar 7. Kerapatan jenis lamun pada stasiun II
Berdasarkan hasil perhitungan kerapatan jenis, diperoleh lamun
Cymodocea rotundata dengan nilai kerapatan 138,8 tegakan/m2 pada stasiun II
sedangkan kerapatan yang terendah yaitu jenis Enhalus acoroides dengan nilai
kerapatan 1,2 tegakan/m2.
Berdasarkan skala kerapatan menurut Amran (2010), Cymodocea
rotundata dengan nilai kerapatan 138,8 tegakan/m2 tergolong dalam skala 2
dengan kerapatan berkisar 25 - 224 tegakan/m2 yang termasuk lamun dengan
kondisi kerapatan jarang. Kerapatan lamun terendah yaitu jenis Enhalus
138.8
80
1.2
60
4.8
0
20
40
60
80
100
120
140
160
Cymodocearotundata
Thalassiahemprichii
Enhalusacoroides
Syringodiumisotifolium
Holoduleuninervis
Ke
rap
atan
(te
gaka
n/m
2)
Jenis lamun
19
acoroides tergolong dalam skala 1 yaitu sangat jarang yaitu < 25 tegakan/m2
yang termasuk lamun dengan kondisi kerapatan sangat jarang.
Pantai barat perairan pulau Barrang Lompo dihuni oleh penduduk yang
cukup padat serta pada perairan pantainya merupakan daerah tambatan perahu
terutama pada musim timur. Fenomena ini berdampak terhadap kondisi vegetasi
lamun di daerah tersebut (Arifin, et al., 2004).
Kerapatan lamun pada stasiun II memiliki nilai yang cukup tinggi
dibanding pada stasiun I. Perbedaan kerapatan lamun pada tiap stasiun
kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor seperti topografi pantai, aktivitas
manusia/penduduk pada setiap sisi pulau.
Menurut Nienhuis, et al., (1989) dalam Kiswara (2010) menemukan
bahwa kerapatan tunas lamun per luasan area tergantung pada jenisnya. Jenis
lamun yang mempunyai morfologi besar seperti Enhalus acoroides mempunyai
kerapatan yang rendah dibandingkan dengan jenis lamun yang mempunyai
morfologi kecil seperti jenis Cymodocea rotundata dengan kerapatan yang tinggi.
Menurut Tomascik et al., (1997) dalam Wicaksono (2012), jenis T.
hemprichii sering ditemukan melimpah pada daerah yang memiliki substrat dasar
pasir lanau, pasir kasar, dan pecahan karang. Menurut Lanyon (1986), secara
morfologis jenis ini memiliki rimpang yang tebal dan kokoh sehingga
memungkinkan untuk tumbuh pada substrat yang bervariasi.
Menurut Romimohtarto dan Juwana (2001), lamun Halophila terdapat di
pantai berpasir, di paparan terumbu, dan di pasir berlumpur dari paras pasang
surut rata-rata sampai batas bawah dari mintakat pasang surut. Jenis E.
acoroides tumbuh di perairan yang memiliki dasar pasir berlumpur pada
lingkungan terlindung di pinggir bawah dari mintakat pasang surut dan di batas
atas mintakat litoral, sedangkan jenis C. rotundata tumbuh pada pantai berpasir
dan pasir berlumpur.
20
C. Analisis Statistik Kelimpahan Lamun Pada Kerapatan Lamun Jarang
dan Agak Padat
Salah satu fungsi lamun bagi organisme asosiasinya adalah sebagai
habitat (tempat tinggal). Berdasarkan hasil uji-t (Lampiran 4), terdapat perbedaan
yang nyata (p<0.05) antara kelimpahan bintang laut di lamun jarang-sedang
(0.01 ind/m2) dengan lamun agak padat (0,028 ind/m2). Hal ini menunjukkan
bahwa ekosistem padang lamun di pulau Barrang Lompo masih memiliki peranan
ekologis yaitu sebagai habitat bagi bintang laut P. nodosus. Namun, bila
dibandingkan dengan hasil studi sepuluh tahun lalu di pulau yang sama,
kelimpahan P. nodosus di padang lamun sebesar 0,2-0,4 ind/m2 (Litaay, et al.,
2007) dapat menunjukkan bahwa bintang laut P. nodosus di Pulau Barrang
Lompo telah mengalami tekanan populasi yang sangat besar akibat terjadinya
penurunan kerapatan lamun di perairan Pulau Barrang Lompo.
Untuk melakukan analisa korelasi sederhana antara kelimpahan bintang
lau Protoreaster nodosus dengan kerapatan lamun jarang dan padat yaitu
dengan menggunakan program Micrososft Excel, variable (x) adalah kerapatan
lamun dan variable (y) adalah kelimpahan bintang laut P. nodosus.
Hasil analisa korelasi sederhana (r) antara kelimpahan bintang laut P.
nodosus dengan kerapatan lamun jarang (Lampiran 5), nilai (r) yang diperoleh
sebesar 0,2246. Menurut Sugiyono (2007) pada rentang nilai (r) = 0,00 - 0,199
termasuk dalam rentang hubungan yang rendah. Arah hubungan adalah positif
karena nilai (r) positif, artinya semakin tinggi tingkat kerapatan lamun maka akan
tinggi pula kelimpahan bintang laut P. nodosus. Hubungan kelimpahan bintang
laut pada kerapatan lamun jarang dan agak padat dapat dilihat pada Gambar 9.
21
(a)
(b)
Gambar 8. Hubungan kelimpahan bintang laut pada (a) kerapatan lamun jarang dan (b) kerapatan lamun agak padat
Hasil analisa korelasi sederhana (r) didapatkan korelasi antara
kelimpahan bintang laut P. nodosus dengan kerapatan lamun agak padat
(Lampiran 5), nilai (r) yang diperoleh sebesar 0,2004. Menurut Sugiyono (2007)
pada rentang nilai (r) = 0,20 - 0,399 termasuk dalam rentang hubungan yang
rendah. Arah hubungan adalah positif karena nilai (r) positif, artinya semakin
tinggi tingkat kerapatan lamun maka akan tinggi pula kelimpahan bintang laut P.
nodosus, mengingat ekosistem lamun merupakan daerah untuk mencari makan,
daerah asuhan dan daerah perlindungan bagi organisme bentik khususnya
y = 0.0005x + 0.0038 R² = 0.0505
0
0.005
0.01
0.015
0.02
0.025
0.03
0.035
0 5 10 15 20 25
Ke
rap
atan
lam
un
(te
gaka
n/m
2 )
Kelimpahan bintang laut (ind/m2)
y = 0.0002x + 0.0188 R² = 0.0402
0
0.005
0.01
0.015
0.02
0.025
0.03
0.035
0.04
0.045
0 10 20 30 40 50 60 70 80
Ke
rap
atan
lam
un
(te
gaka
n/m
2)
kelimpahan bintang laut (ind/m2)
22
epifauna, hal tersebut diperkuat oleh Bengen (2001), yang menyatakan bahwa
ekosistem lamun mempunyai fungsi penting bagi wilayah pesisir dan laut
diantaranya adalah sebagai produsen detritus dan zat hara, sedimen yang
menstabilkan substrat yang lunak dengan mengikat system perakaran yang kuat
(padat dan saling menyilang) sebagai tempat berlindung, mencari makan,
tumbuh besar, dan memijah bagi beberapa jenis biota laut. Selain itu lamun juga
sebagai pelindung yang melindungi penghuni padang lamun dari sengatan
matahari.
D. Parameter Lingkungan
Parameter lingkungan yang akan diukur pada kelimpahan bintang laut
yaitu: suhu, pH, salinitas, DO, dan substrat. Kualitas air yang diukur pada lokasi
penelitian dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Kisaran hasil pengukuran kualitas air
Kisaran nilai kualitas air
Suhu (oC) 28 - 31.5
Salinitas 32 – 33
pH 7.4 - 7.8
DO (ppm) 3.6 - 4.9
Berdasarkan hasil pengukuran suhu perairan Pulau Barrang Lompo
didapatkan suhu dari stasiun I dan II yaitu berkisar antara 28 – 31,5 oC, lalu hasil
pengukuran pH perairan Pulau Barrang Lompo didapatkan dari stasiun I dan II
berkisar 7,4 – 7,8. pH merupakan faktor pembatas bagi organisme yang hidup di
suatu perairan, perairan dengan pH yang terlalu tinggi atau rendah akan
mempengaruhi ketahanan hidup organisme yang hidup didalamnya (Odum,
1994).
23
Kisaran salinitas perairan pada stasiun I dan stasiun II adalah 32 – 33.
Kisaran salinitas tersebut masih tergolong normal, karena kisaran salinitas yang
masih mendukung kehidupan organisme perairan khususnya fauna
makrobenthos termasuk echinodermata adalah 15-35 ppt (Hutabarat dan
Evans,1985). Selain suhu, salinitas juga merupakan faktor abiotik yang sangat
menentukan penyebaran biota laut.
Selain pengukuran beberapa parameter kualitas perairan (Tabel 6), hasil
pengukuran komposisi substrat dasar perairan Pulau Barrang Lompo dapat
dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Karakteristik Substrat Dasar di Lokasi Penelitian
Tekstur sedimen Komposisi (%)
Pasir (sand) 92 – 95
Silt (lanau) 2 – 6
liat 2 – 4
Fraksi substrat yang dihasilkan ada tiga yaitu pasir, silt, dan liat. Fraksi
pasir mendominasi kedua stasiun yang memiliki komposisi sebanyak 92 – 95 %
diikuti oleh fraksi silt yang sangat jauh perbedaan nilainya dari pasir yaitu 2 – 6
%, lalu nilai yang paling rendah terdapat pada liat yaitu 2 – 4 %. Secara umum,
biota laut seperti echinodermata menyukai substrat yang agak keras juga
substrat campuran terutama terdiri dari campuran pasir dan pecahan karang.
Substrat dasar atau tekstur tanah merupakan komponen penting bagi kehidupan
organisme. Substrat di dasar perairan akan menentukan kelimpahan dan
komposisi jenis dari hewan bentos (Odum, 1994).
24
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Dapat disimpulkan bahwa pada stasiun I (lamun jarang) dihasilkan
kelimpahan bintang laut P. nodosus lebih rendah yaitu 0,01 ind/m2 dibandingkan
pada stasiun II (lamun agak padat) yang menghasilkan lebih tinggi kelimpahan
bintang laut Protoreaster nodosus yaitu 0.028 ind/m2.
B. Saran
Adapun saran dari penelitian ini adalah : untuk penelitian selanjutnya, titik
pengambilan sampel atau lokasi penelitian sebaiknya dilakukan dalam beberapa
transek dengan titik yang berbeda kemudian bandingkan agar informasi yang
didapatkan lengkap.
25
DAFTAR PUSTAKA
Amran, M. A . 2011. Estimasi Kondisi Padang Lamun Berbasis Transformasi Nilai
Radiansi Citra Quiqbird dan Alos Avnir-2. Disertasi. Institut Tekonologi Bandung.
Amrul. N, Z, M, H. 2004. Kualitas Fisika Kimia Sedimen serta hubunganya terhadap Struktur Makrozoobentos di Estuaria Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang. Institut Pertanian Bogor. Arifin, La Nafie YA dan Supriadi. 2004. Studi kondisi dan potensi ekosistem
padang lamun sebagai daaerah asuhan berbagai jenis biota laut di perairan Pulau Barrang Lompo Makassar.
Bengen, D. G. 2001. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan laut. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Bengen, DG. 2002. Sinopsis: Ekosistem Dan Sumberdaya Alam Pesisir Dan Laut Serta Prinsip Pengelolaannya, Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir Dan Lautan, Institut Petanian Bogor (IPB), Bogor. Bos, A.R., Gumanao, G.S., Alipoyo, J.C.E., Cardona, L.T. 2008. Populatoin
dynamics,reproduction and growth of the Indo-Pacific horned sea star, Protoreaster nodosus (Echinodermata; Asteroidea ), Marine Biology 156 (2008) 55-63.
Brotowidjoyo, Mukayat Djarubito.1989. “Zoology Dasar”, PT. Glora Aksara
Pratama: Erlangga, h. 119 Clark, A. M and F. W. E. Rowe. 1971. Monograph of Shallow Water Indo West
Echinoderms. Trustees of the British Museum (Natural Histori). London. 238 p.
Feryatun, F., Hendrarto, B., Widyorini, N. 2012. Kerapatan Dan Distribusi Lamun (Seagrass) Berdasarkan Zona Kegiatan Yang Berbeda Di Perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Jurnal. Universitas Diponegoro. Hutabarat, S. dan S.M. Evans. 1985. Pengantar Oseanografi. UI-Press, Jakarta. Hutomo, M. dan M. H. Azkab. 1987. Peranan Lamun di Lingkungan Laut Dangkal. Oseana, 12(1): 13-23. Hutomo, M dan Nontji, A. 2014. Panduan Monitoring Lamun. COREMAP-CTI.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Kiswara, W. dan Winardi. 1994. Keanekaragaman dan sebaran lamun di Teluk Kuta dan Teluk Gerupuk, Lombok Selatan. Indonesian Institute of Science.
26
Kiswara, W. 2010. Studi Pendahuluan: Potensi Padang Lamun sebagai Karbon Rosot dan Penyerap Karbon di Pulau Pari, Teluk Jakarta. LIPI. 36(3): 361-376 Krebs, C. J. Ecologycal Methodology. Newyork : Haeper and Publisher. 2000. Litaay, M., Priosambodo, D., Asmus, H., dan Saleh, A. 2007. Jurnal Berita Biologi: Makrozoobentos Yang Berasosiasi dengan Padang Lamun di Perairan Pulau Barrang Lompo, Makassar, Sulawesi Selatan. Pusat Penelitian Biologi-LIPI. Bogor. Vol:8(4). Niel AC, Jane BR, Lawrence GM. 2003. Biologi. 5th edition. Jakarta: Penerbit
Erlangga.
Odum EP. 1994. Dasar-dasar Ekologi. Samingan T, penerjemah; Srigandono B,
editor. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Fundamental of Ecology.
Puspitasari, Suryanti, dan Ruswahyuni. 2012. Studi Taksonomi Bintang Laut (Asteroidea, Echinodermata) Dari Kepulauan Karimunjawa, Jepara. 1(1) :5 Romimohtarto, K. dan Juwana, S. 2001. Biologi Laut. Ilmu pengetahuan tentang biota laut.Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi-LIPI. Jakarta, Septian, E.A., Azisah, D., dan Apriadi, T. 2016. Tingkat Kerapatan Dan Penutupan Lamun Di Perairan Desa Sebong Pereh Kabupaten Bintan. Jurnal. Sloan, N.A. 1980. Aspect of The Feeding Biology of Asteroids. Oceanogr. Mar. Biol. Ann. Rev., 18:57-124. Sugiyono. 2007. Metode Penelitian . CV. Alfabeta. Bandung Supono dan U. Y. Arbi. 2010. Struktur Komunitas Echinodermata di Padang
Lamun Perairan Kema, Sulawesi Utara. Oseonologi dan Limnologi Indonesia.
Suryanti., Ain, C., Tishmawati, C.N. 2014. Hubungan Kerapatan Lamun
(Seagrass) Dengan Kelimpahan Syngnathidae di Pulau Panggang Kepulauan Seribu. Dipoegoro Journal of Maquares.
Susetiono. 2007. Lamun dan Fauna Teluk Kuta, Pulau Lombok. Pusat Penelitian
Oseanografi – LIPI. Jakarta : 99 hal Syari, I.A. 2005. Asosiasi Gastropoda di Ekosistem Padang Lamun. Departemen
Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB, Bogor
Tomascik, T., A.J. Mah, A. Nontji and M.K. Moosa. 1997. The Ecology of the Indonesian Seas. The Ecology of Indonesian Fisheries. Vol III. Periplus Edition (Hk) Ltd., Singapore. 1388 p.
27
Vangistuti, D., Irawan, H., Yandri, F. 2012. Jurnal Studi Biologi Bintang Laut(Asteroidea) di Perairan Teluk dalam Desa Malang Rapat Kecamatan Gunung Kijang Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau. Maritime Raja ,Ali Haji University. Wicaksono, S.G. dan S.T.H. Widianingsih,. 2012. Struktur Vegetasi dan Kerapatan Jenis Lamun di Perairan Kepulauan Karimunjawa Kabupaten Jepara. (Journal of Marine Research). 1(2): 1-7.
28
29
Lampiran 1. Kerapatan lamun pada stasiun I dan II di perairan Pulau Barrang Lompo, Provinsi Sulawesi Selatan
Stasiun I
Spesies Plot
Rata-Rata P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 P10
Cymodocea rotundata 0 8 4 8 4 4 8 8 12 12 6.8
Thalassia hemprichii 72 36 68 52 60 52 36 4 16 16 41.2
Enhalus acoroides 8 12 28 12 24 12 28 12 4 16 15.6
Syringodium isotifolium 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Holodule uninervis 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Total 80 56 100 72 88 68 72 24 32 44 63.6
Rata-Rata 16 11.2 20 14.4 17.6 13.6 14.4 4.8 6.4 8.8
Stasiun II
Spesies Plot
Rata- rata P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 P10
Cymodocea rotundata 172 192 84 140 140 76 204 116 160 104 138.8
Thalassia hemprichii 112 100 56 52 88 88 112 80 84 28 80
Enhalus acoroides 4 4 0 0 0 0 0 4 0 0 1.2
Syringodium isotifolium 24 8 128 84 136 96 0 12 48 64 60
Holodule uninervis 0 0 12 12 0 0 12 12 0 0 4.8
Total 312 304 280 288 364 260 328 224 292 196 284.8
Rata-Rata 62.4 60.8 56 57.6 72.8 52 65.6 44.8 58.4 39.2
30
Lampiran 2. Jumlah bintang laut Protoreaster nodosus pada stasiun I dan II di perairan Pulau Barrang Lompo
Spesies STASIUN 1
JUMLAH P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 P10
Protoreaster nodosus 2 1 0 2 1 0 3 1 0 0 10
Spesies STASIUN 2 Jumlah
P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 P10
Protoreaster nodosus 4 3 3 2 2 3 4 3 2 2 28
31
Lampiran 3. Kelimpahan bintang laut P. nodosus pada kerapatan lamun jarang dan agak padat di perairan Pulau Barrang Lompo
Stasiun I
Kerapatan Lamun Jarang Kelimpahan Bintang Laut
16 0.02
11.2 0.01
20 0
14.4 0.02
17.6 0.01
13.6 0
14.4 0.03
4.8 0.01
6.4 0
8.8 0
Stasiun II
Kerapatan Lamun Agak Padat Kelimpahan Bintang Laut
62.4 0.04
60.8 0.03
56 0.03
57.6 0.02
72.8 0.02
52 0.03
65.6 0.04
44.8 0.03
58.4 0.02
39.2 0.02
32
Lampiran 4. Uji t- Test Paired Two Sample For Means Kelimpahan Bintang Laut
t-Test: Paired Two Sample for Means
BINTANG LAUT BINTANG LAUT
Mean 0.01 0.028
Variance 0.000111111 6.22222E-05
Observations 10 10
Pearson Correlation 0.534522484 Hypothesized Mean Difference 0 df 9 t Stat -6.194224815 P(T<=t) one-tail 7.99857E-05 t Critical one-tail 1.833112923 P(T<=t) two-tail 0.000159971 t Critical two-tail 2.262157158
33
Lampiran 5. Analisa korelasi kelimpahan bintang laut Protoreaster nodosus pada kerapatan lamun jarang dan agak padat
Stasiun I (Lamun jarang)
Kerapatan Lamun Jarang Kelimpahan Bintang Laut
Kerapatan Lamun Jarang 1
Kelimpahan Bintang Laut 0.224639321 1
Stasiun II (Lamun agak padat)
Kerapatan Lamun Agak Padat Kelimpahan Bintang Laut Kerapatan Lamun Agak Padat 1
Kelimpahan Bintang Laut 0.200445931 1