Smp bintang laut kelas unggul 24 maret yes hal -
-
Upload
sofiani-warasi-scmm -
Category
Documents
-
view
134 -
download
9
Transcript of Smp bintang laut kelas unggul 24 maret yes hal -
1
BAB IPENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia yang berkualitas adalah manusia yang mampu berkompetisi
secara sehat dan objektif dalam berbagai aspek kehidupan. Di dalam persaingan
diperlukan kualitas individu-individu, sehingga hasil karya atau produk-produk
yang dihasilkan dapat berkompetisi dan mendorong ke arah kualitas yang
semakin lama semakin baik. Kualitas yang baik dan terus meningkat ini hanya
dapat diciptakan oleh manusia-manusia yang mempunyai kemampuan
berkompetisi. Kemampuan untuk berkompetisi ini, juga hanya dihasilkan oleh
pendidikan yang berkualitas dan kondusif bagi lahirnya pribadi-pribadi
berkompetisi pula.
Oleh sebab itu berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah untuk
meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Selain perubahan pada kurikulum
juga muncul modelmodel sekolah dengan label dan karakteristiknya masing -
masing. Sekolah Nasional Bertaraf Internasional (SNBI), Sekolah Terpadu,
Sekolah Plus dan Sekolah Unggulan adalah sederetan nama dan istilah untuk
memberi ciri khas khusus pada sekolah, yang semuanya menawarkan program-
program yang pada dasarnya ingin mengembangkan dan memajukan pendidikan.
Demikian pula upaya yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten Nias
Selatan yang merupakan salah satu kabupaten di kepulauan Nias. Sejak Tahun
Pelajaran 2011/2012 menyelenggarakan Program Pendidikan Kelas Unggulan
yang disingkat dengan PPKU. Program ini dicanangkanan untuk pendidikan
dasar dan pendidikan menengah pada sekolah terpilih, yakni SMP dan SMA
Swasta Bintang Laut Telukdalam.
Tujuan utama dari PPKU ini adalah untuk menghimpun siswa atau peserta
didik dari berbagai tempat di kabupaten Nias Selatan dan sekitarnya yang
memiliki bakat dan kemampuan intelekutual lebih baik dibandingkan dengan
siswa reguler, dengan harapan bahwa melalui PPKU ini segala potensi atau bakat
yang dimiliki siswa tersebut dapat berkembang secara maksimal.Tentu hal ini
sangat relevan dengan tujuan dari pendidikan pada umumnya, yaitu menolong
anak didik untuk mengembangkan potensinya secara maksimal.
2
Namun demikian berdasarkan hasil pengamatan dalam masyarakat dan
juga hasil-hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa sekolah-sekolah yang
memiliki label khusus ini tidak saja membawa kemajuan, tetapi juga membawa
stres yang berat bagi siswa. Sebagaimana dialami oleh siswa yang sekolah di
Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) di SMPN 1 Medan, seperti
dituliskan Rahmawati (2012: 5) ((online) repository.usu.ac.id/bitstream/... /5/
Chapter%20I.pdf,) bahwa diperoleh gambaran mengenai tuntutan yang harus
dijalani oleh siswa RSBI di SMPN 1 Medan, mulai dari bahasa pengantar dalam
belajar yang menggunakan bahasa Inggris, beban pelajaran yang terlalu banyak
dalam sehari, dan tugas ataupun PR yang banyak diberikan kepada siswanya,
standart nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan sekolah umum lainnya dan
jam pulang sekolah yang lebih lama. Olejnik dan Holschuh ( 2007: 101)
menegaskan bahwa kondisi seperti ini dapat menimbulkan stres pada siswa
apabila siswa tidak mampu memenuhi tuntutan yang diberikan padanya.
Kenyataan ini dapat kita lihat pada salahh satu kutipan wawancara yang dituliskan
Rahmawati (2012: 4) ((online) repository. usu.ac.id/ bitstream/ .../5/Chapter
%20I.pdf,):
Standart nilai kami lebih tinggi kak, kami harus dapat nilai 8, kalo sekolah biasa kan kalo gak salah saya pernah nanya sama tetangga saya standart nilai orang itu 7, kalo kami disini standartnya harus dapat 8... , sama jam pulang sekolah kami kan beda kak.. kami pulang jam setengah 4, kalo sekolah biasa kan jam 2 udah pulang kak, capek lah kak sore gitu pulangnya.. (TS, Komunikasi Personal, 09/11/2011).
Selain itu ada juga salah satu RSBI di kota Sibolga yang akhirnya
dialihkan kembali pada sekolah regular atau sekolah umum dengan alasan, bahwa
pemerintah tidak lagi meneruskan program RSBI tersebut karena dinilai kurang
efektif. Maka muncul pertanyaan apakah program Kelas Unggulan ini memiliki
posisi strategis dalam memajukan pendidikan di kabupaten Nias Selatan?. Karena
dana yang dialokasikan pemerintah untuk program ini cukup besar sebab harus
membiayai semua kebutuhan siswa, seperti biaya pendidikan, pemondokan dan
sarana-prasarana belajar yang memadai.
Namun tidak bisa dipungkiri bahwa PPKU ini disambut positip oleh pihak
sekolah terpilih dan masyarakat Nias Selatan, sehingga Kelas Unggulan menjadi
prioritas utama bagi siswa dan orang tua dibandingkan dengan Kelas Regular.
3
Oleh Karena itu dalam penerimaan siswa baru berbagai seleksi dilakukan baik
oleh pemerintah sendiri maupun oleh sekolah terpilih, terutama melalui tes
kemampuan di bidang akademik dengan satu tujuan, bahwa siswa yang lulus
seleksi dapat dididik dan dilatih secara maksimal, sehingga apa yang diharapkan
dapat tercapai.
Kemudian sebagaimana kita ketahui, bahwa tujuan ini hanya dapat
tercapai apabila potensi pribadi dan segala hal yang berpengaruh pada peserta
didik, diketahui oleh pendidik atau guru sebelumnya. Sebab setiap anak memiliki
karakteristik yang berbeda antara satu dengan yang lain. Dengan kata lain agar
dapat menolong peserta didik, maka ia harus dikenal dalam segala aspeknya dan
dalam konteks (situasi) hidupnya di mana ia hidup. Sebab tanpa pengenalan
terhadap pribadi peserta didik, tidak mungkin kita (sebagai pendidik) membuat
rencana yang efektif untuk mengadakan perubahan dalam diri anak tersebut.
Selain mengenal hal-hal yang umum yang terdapat pada peserta didik,
pendidik/guru juga sangat perlu mengenal hal-hal yang unik dan khusus yang
dimiliki oleh anak didiknya seperti, kemampuan intelektual siswa, bagaimana
cara siswa tersebut belajar atau yang kerap diistilahkan sebagai “gaya belajar
siswa” dan bagaimana keyakinan atau efikasi diri siswa yang disebut self-efficacy
dan hal-hal lain yang mempengaruhi siswa dalam mengikuti pelajaran.
Suryasubroto (dalam Irham & Wiyani: 2013:67), mengemukakan bahwa
ketidakmampuan guru melihat dan memperhatikan perbedaan-perbedaan individu
dalam kelas selama proses pembelajaran banyak membawa kegagalan dalam
proses pembelajaran. Sebab hal tersebut berdampak pada proses pembelajaran
yang tidak dapat membina dan menghasilkan tenaga manusia (SDM) yang efektif.
Sebab perbedaan individu merupakan sebuah kenyataan tentang adanya
perbedaan-perbedaan pada setiap siswa. Hal senada ditegaskan juga John W.
Santrock (2011: 487) dengan mengatakan bahwa, “pertimbangan perbedaan
individual anak merupakan salah satu landasan pendidikan yang efektif”.
Kemudian Dalyono, (2012: 172) menjelaskan, mengapa guru/pendidik
perlu mengenal anak didik? Menurutnya guru/pendidik perlu mengenal anak
didik, agar dapat mengetahui sejauh mana kemampuan mereka di dalam
4
menghadapi situasi belajar, sehingga kita (pendidik) dapat menuntun mereka
dengan tepat dan berhasil.
Sardiman (2011: 121), mengemukakan salah satu karakteristik siswa yang
dapat mempengaruhi kegiatan belajarnya, diantaranya adalah gaya belajar. Gaya
belajar merupakan suatu strategi yang dilakukan oleh siswa dalam belajarnya
untuk mencapai tujuan yang diharapkan yaitu hasil belajar yang baik. John
Santrock (2011:158) mengemukakan, bahwa gaya adalah cara murid
menggunakan kemampuannya. Gaya bukan kemampuan tetapi cara yang disukai
seseorang untuk memanfaatkan kemampuannya, maka sangatlah penting jika gaya
belajar siswa menjadi pertimbangan guru dalam pembelajaran. Munif Chatib
(2012: 100) mengatakan, bahwa” Gaya belajar adalah respons yang paling peka
dalam otak seseorang untuk menerima data atau informasi dari pemberi informasi
dan lingkungannya”. Gaya belajar masing-masing siswa berbeda seperti halnya
dengan tanda tangan masing-masing individu. Kita semua tahu bahwa sebagian
orang belajar lebih baik dengan suatu cara, sebagian yang lain dengan cara yang
lain pula. Setiap orang memiliki gaya belajar dan gaya bekerja yang unik.
Sebagian siswa lebih mudah belajar secara visual: melihat gambar dan diagram,
sebagian yang lain lebih mudah belajar secara auditorial: suka mendengarkan, dan
sebagian lagi mungkin ada yang lebih mudah belajar secara kinestetik:
menggunakan indra perasa atau menggerakkan tubuh dan lain sebagainya.
Oleh karena itu guru perlu mengetahuai gaya belajar siswa, karena dengan
mengetahuinya, guru akan dengan mudah mengorganisasikan proses
pembelajaran dengan berbagai metode dan cara mengajar sehingga bisa diterima
dan dipahami seluruh siswa. Gordon Dryden & Jeannette Vos (2000: 99,
terjemahan) mengatakan, “ Saat ini banyak anak-anak yang putus sekolah lanjutan
karena gaya belajar mereka tidak sesuai dengan gaya belajar yang diterapkan di
sekolah”. Renita M. & Y.P Hadiyanto (2006: 101) mengatakan:
Di Indonesia seringkali kita mendengar keluhan dari orang tua yang merasa sudah melakukan berbagai cara untuk membuat anaknya menjadi ‘pintar”. Orang tua berlomba-lomba menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah-sekolah terbaik.Selain itu anak diikutkan dalam berbagai kursus maupun les privat yang terkadang menyita habis waktu yang seharusnya bisa dipergunakan anak atau remaja untuk bermain atau bersosialisasi dengan teman-teman sebayanya.Namun demikian usaha-usaha tersebut sering tidak membuahkan hasil seperti yang diharapkan, bahkan ada yang
5
justru menimbulkan masalah bagi anak atau remaja”.Apa sebenarnya yang terjadi?Mengapa anak-anak tersebut tidak kunjung pintar? Salah satu factor yang dapat menjadi penyebabnya adalah ketidaksesuaian carabelajar (gaya belajar) yang dimiliki oleh sang anak dengan metode belajar yang diterapkan dalam pendidikan yang dijalaninya.
Munif Chatib (2012: 100) juga mengatakan, bahwa “Penyebab utama
seorang anak yang tidak suka bidang studi Matematika dan nilainya pas-pasan,
atau bahkan sering mendapat remedial berkali-kali adalah strategi dan metode
mengajar guru yang masih belum sesuai dengan gaya belajar anak tersebut”.
Factor lain yang juga mempengaruhi hasil belajar siswa adalah efikasi diri
atau diistilahkan sebagai self-efficcacy. Menurut Bandura (Santrock, 2011: 523),
bahwa self-efficacy adalah faktor penting yang mempengaruhi prestasi murid.
Dalam model pembelajaran Bandura dikatakan bahwa faktor person (kognitif)
juga memainkan peran penting. Faktor person (kognitif) yang ditekankan Bandura
(Santrock, 2011: 286) pada masa belakangan ini adalah self-efficacy, yakni
keyakinan bahwa seseorang bisa menguasai situasi dan menghasilkan hasil
positip. Kemudian Hartinah (2008: 96) mengemukakan, bahwa salah satu
karakteristik individu yang memiliki identitas diri adalah self-efficacy (efikasi-
diri). Efikasi diri ini diartikan sebagai kemampuan untuk menyadari, menerima
dan mempertanggungjawabkan semua potensi, ketrampilan atau keahlian secara
tepat. Menurutnya bahwa, orang yang memiliki self-efficacy, akan menempatkan
diri pada posisi yang tepat. Ismanto, dkk (2011: Pengantar), mengatakan,
“kepercayaan diri untuk yakin bahwa Matematika adalah ilmu yang mudah
dipelajari merupakan modal utama bagi kalangan yang takut akan matematika”,
maka di sinilah para pendidik untuk mewujudkan sistem, cara atau metode yang
cocok dalam proses belajar mengajar”.
Wilson & Janes (dalam (online) digilib.unimed.ac.id/.../UNIMED-Master-
26155-8106...), yang menyatakan bahwa self-Efficacy merupakan salah satu faktor
penting dalam menentukan prestasi matematika seseorang. Kemudian Rahmawati
(2012:5) (online) repository.usu.ac.id/bitstream/.../5/Chapter%20I.pdf,bahwaself-
efficacy merupakan keyakinan atau kepercayaan individu mengenai kemampuan
dirinya untuk mengorganisasi, melakukan suatu tugas, mencapai suatu tujuan,
menghasilkan sesuatu dan mengimplementasi tindakan untuk menampilkan
6
kecakapan tertentu. Hal ini sesuai dengan pendapat Bandura (1997) yang
mengatakan bahwa Self-efficacy yang merupakan konstruksi sentral yang akan
mempengaruhi seseorang dalam pengambilan keputusan, dan mempengaruhi
tindakan yang akan dilakukannya. Seseorang cenderung akan menjalankan
sesuatu apabila ia merasa kompeten dan percaya diri.
Makin besar Self-efficacy seseorang, makin besar upaya, ketekunan, dan
fleksibilitasnya. Self-efficacy juga mempengaruhi pola pikir dan reaksi
emosionalnya. Sedangkan seseorang dengan Self-efficacy yang rendah akan
mudah menyerah, cenderung menjadi stres, depresi, dan mempunyai suatu visi
yang sempit tentang apa yang terbaik untuk menyelesaikan masalah itu.
Sedangkan Self-efficacy yang tinggi, akan membantu seseorang dalam
menciptakan suatu perasaan tenang dalam menghadapi masalah atau aktivitas
yang sukar.
Perbedaan tingkat kemampuan siswa dalam bidang akademik juga perlu
menjadi perhatian para pendidik dalam proses pembelajaran. Maka untuk melihat
perbedaan kemampuan siswa pada bidang akademik, peneliti tertarik untuk
meneliti mata pelajaran Matematika. Sebab dewasa ini Matematika bagi siswa
atau peserta didik adalah suatu kebutuhan yang tidak dapat dihindari bahkan
dalam setiap seleksi penerimaan siswa baru pada setiap jenjang pendidikan
hampir selalu memunculkan mata pelajaran Matematika sebagai salah matu mata
pelajaran yang diujikan. Kemudian tak jarang terjadi bahwa pandangan
masyarakat bahkan diantara kaum pelajar dan pendidik/guru, bahwa jika seorang
siswa memiliki nilai mata pelajaran Matematika lebih tinggi dari pada teman-
temannya yang lain, maka siswa tersebut dianggap lebih pintar dan lebih hebat.
Hal ini menunjukkan bahwa seakan kemampuan Matematika seseorang
menentukan prestasi seseorang itu dalam berbagai bidang akademik.
Selanjuntanya Fadjar Shadiq (2014: 3) menuliskan bahwa:
Tidak sedikit orang tua dan orang awam yang beranggapan bahwa Matematika dapat digunakan untuk memprediksi keberhasilan seseorang. Menurut mereka, jika seorang siswa berhasil mempelajari Matematika dengan baik, maka ia diprediksi akan berhasil juga mempelajari mata pelajaran lain. Begitu juga sebaliknya, seorang anak yang kesulitan mempelajari Matematika akan kesulitan juga mempelajari mata pelajaran lain. Peran penting Matematika diakui Cockcroft (1986), yang menulis: if would be very difficult-perhaps impossible-to livea normal life in very many parts of the world in the
7
twentieth century without making usu of Mathematics of some kind”. Akan sangat sulit atau tidaklah mungkin bagi seseorang untuk hidup di bagian bumi ini pada abad ke-20 ini tanpa sedikitpun memanfaatkan Matematika.
Kemudian Ismunamto dkk. ( 2011: Pengantar) mengatakan, “Tanpa Matematika
dunia pendidikan terasa kurang lengkap”. Dan Santoso (dalam Hudojo: 2005: 25),
menuliskan bahwa 60 % - 80 % negara-negara maju hingga sekarang, dominan
menggantungkan diri pada Matematika. Selanjutnya Uno (2007: 130),
mangatakan bahwa “seseorang akan merasa mudah memecahkan masalah dengan
bantuan Matematika, karena ilmu Matematika itu sendiri memberikan kebenaran
berdasarkan alasan logis dan sistimatis”.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ilmu Matematika memegang
peranan penting dalam memberikan berbagai kemampuan kepada siswa untuk
keperluan penataan kemampuan berpikir dan kemampuan memecahkan masalah
dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu diharapkan bahwa memalalui
kemampuan mempelajari mata pelajaran Matematika, dapat menghasilkan
pribadi-pribadi peserta didik yang kreatif, inovatif dan kompetitif.
Tetapi suatu fakta bahwa jika kita melihat level yang dicapai siswa
Indonesia dalam Programme for International Student Assessment (PISA)
Matematika tahun 2009, diperoleh 43,5 % siswa tidak mampu menyelesaikan soal
PISA paling sederhana, sekitar 33,1 % hanya bisa mengerjaan soal jika pertanyaan
dari soal kontekstual diberikan secara eksplisit serta data yang dibutuhkan
diberikan secara tepat dan hanya 0,1 % siswa Indonesia yang mampu
mengembangkan dan mengerjakan pemodelan Matematika yang menuntut
ketrampilan berpikir dan penalaran (Wijaya: 2012). Selanjutnya dari hasil
penelitian Depdiknas (2002) (online) digilib.unimed.ac.id/.../UNIMED-Master-
26155-8106...bahwa rata-rata nasional nilai ebtanas murni (NEM) mata pelajaran
matematika untuk jenjang SLTP dalam 4 tahun terakhir selalu di bawah 6,0. Hal
serupa juga dikemukakan Roheni (2013: 3) (online) repository.upi.edu/.../ S_MT
_0902085_CHAPTER1....bahwa pada kenyataannya kemampuan pemecahan
masalah matematis siswa SMP masih di bawah skor rata-rata Internasional. Hal
ini berdasarkan hasil Third International Mathematics and Science Study (TIMSS)
tahun 2003 menunjukkan bahwa kemampuan siswa Indonesia berada pada
peringkat 34 dari 45 negara. Skor rata-rata yang diperoleh siswa Indonesia adalah
8
411, dimana skor tersebut masih jauh di bawah skor rata-rata internasional yaitu
467 (Mulisetal, 2004). Lebih jauh lagi, pada survey PISA (Programe for
Internasional Student Assesment) tahun 2003 menunjukkan bahwa dari 41 negara
yang di survey untuk bidang kemampuan Matematika dan kemampuan membaca,
Indonesia menempati peringkat ke-39 dengan skor yang diperoleh yaitu 360,2
skor tersebut berada di bawah skor rata-rata Internasional yaitu 500. Kemudian M.
Nawi (2012: 3) menuliskan bahwa jika ditinjau dari persentase siswa mengulang,
maka Matematika masih menjadi mata pelajaran yang sulit bagi siswa dan bahkan
pada TP. 2009/2010 terdapat 3 sekolah di kota Medan dengan persentase
kelulusan pada mata pelajaran Matematika adalah 0 %.
Ismunamto dkk (2011: i) mengatakan bahwa, “bagi siswa atau pelajar
yang menyukai Matematika, kehadiran Matematika dalam dunia pendidikan tidak
dianggap sebagai suatu beban. Namun bagi siswa yang kurang menyukai
Matematika, kehadiran Matematika dianggap sebagai beban berat bahkan
dianggap sebagai sesuatu yang menakutkan, karena susah dipelajari”.
Dari uraian di atas, dapat kita pahami bahwa masing-masing peserta didik
memiliki bakat, kemampuan dan cara belajar yang berbeda. Hal ini menunjukkan
bahwa pada dasarnya pembelajaran yang dilaksanakan guru seharusnya sesuai
dengan kebutuhan atau kondisi peserta didiknya.
Tetapi suatu realita bahwa, pada umumnya sekolah-sekolah di Indonesia
masih melakasanakan pembelajaran secara klasikal. Irham & Wiyani ( 2013: 77)
mengatakan “Perbedaan individu yang sangat kompleks ini tidak sepenuhnya
diperhatikan dalam dunia pendidikan dan pembelajaran, bahkan oleh ahli
pembelajaran sekalipun”. Sardiman (2011:119) mengatakan bahwa, “Sekolah-
sekolah di Indonesia sampai sekarang memang belum berhasil membantu secara
optimal dalam upaya mengembangkan siswa/anak didik secara individual”.
Sistem klasikal yang memperlakukan siswa sebagai kelompok masih banyak
menandai kegiatan belajar mengajar di sekolah-sekolah”. Irham & Wiyani (2013:
107) mengatakan “Perbedaan individu sudah pasti akan berdampak pada tingkat
kecepatan, metode dan aktivitas siswa dalam belajar dan dalam mengikuti proses
pembelajaran. Oleh sebab itu, guru perlu memahami dengan baik kondisi dan
karakteristik belajar siswanya. Menurutnya pembelajaran yang baik dan efektif
9
adalah ketika proses pembelajaran yang dilakukan dapat merespon kebutuhan
individual siswa”. Oleh sebab itu dalam pembelajaran Matematika perlu
mempertimbangkan beberapa hal antara lain: gaya belajar siswa, self-efficacy dan
kemampuan akademik siswa agar dapat menacapai hasil yang maksimal.
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti memandang perlu melakukan
penelitian terhadap gaya belajar siswa, Self- efficcacy siswa dan hasil belajar
siswa pada mata pelajaran Matematika. Peneliti bermaksud meneliti apakah
terdapat perbedaaan mengenai gaya belajar, self-efficcacy dan hasil belajar
Matematika antara siswa Kelas Unggulan dengan siswa Kelas Reguler? apakah
hasil belajar Matematika siswa Kelas Unggulan lebih tinggi dari pada hasil belajar
Matematika siswa Kelas Reguler?.dan bagaimana perbedaan self-efficcacy siswa
terhadap Pelajaran Matematika antara siswa Kelas Unggulan dengan Kelas
Reguler?
Betolak dari uraian di atas, maka penulis ingin melakukan penelitian
dengan judul “ Studi Komparatif Terhadap Gaya Belajar, Self-Efficacy dan
Hasil Belajar Matematika antara siswa Kelas Unggulan dengan Kelas
Reguler di SMP Bintang Laut Telukdalam”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian pada latar balakang di atas, maka peneliti
mengidentifikasi beberapa permasalahan antara lain, yaitu: Apakah
penyelenggaraan Program Pendidikan Kelas Unggulan merupakan posisi yang
strategis bagi kemajuan pendidikan di kabupaten Nias Selatan? Apa saja yang
dilakukan pemerintah kabupaten Nias Selatan dalam menyelenggarakan Kelas
Unggulan? Apa persyaratan yang dimiliki oleh sekolah sehingga dapat
menyelenggarakan Kelas Unggulan? Bagaimana pemerintah mempersiapkan
sekolah terpilih menyelenggarakan Kelas Unggulan ini baik dari segi tenaga
pengajar, sarana pra-sarana dan pembiayaan? Apakah cara yang dilakukan dalam
merekrut siswa yang diterima di Kelas Unggulan sudah efektif ? Apakah ada
perbedaan perlakuan pembelajaran antara siswa Kelas Unggulan dengan siswa
Kelas Reguler? Apakah terdapat perbedaan yang signifikan antara gaya belajar,
self-efficacy dan hasil belajar Matematika antara siswa Kelas Unggulan dengan
10
siswa Kelas Reguler? Apa jenis gaya belajar yang dominan dimiliki oleh siswa
Kelas Unggulan dan siswa Kelas Reguler? Apakah ada hubungan gaya belajar dan
self-efficacy terhadap hasil belajar Matematika? Mana gaya belajar yang
memberikan kontribusi yang besar terhadap hasil belajar Matematika? Seberapa
besar perbedaan self-efficacy terhadap hasil belajar Matematika antara siswa Kelas
Unggulan dengan siswa Kelas Reguler?. Apakah rata-rata hasil belajar
Matematika siswa Kelas Unggulan lebik tinggi dari pada Kelas Regular?.
C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan identifikasi masalah, maka
penelitian ini akan dilaksanakan di SMP Swasta Bintang Laut Telukdalam
Kabupaten Nias Selatan. Dengan penelitian komparatif, yang berfokus terhadap
gaya belajar, self-efficacy dan hasil belajar siswa pada mata pelajaran Matematika.
Agar pelaksanaan penelitian lebih efektif dan efisien, maka penelitan ini dibatasi
pada siswa kelas IX TP. 2014/2015. Dengan demikian gaya belajar siswa sebagai
variable bebas satu (x1 ), self-efficacy sebagai variabel bebas dua (x2 ) , dan hasil
belajar Matematika sebagai variable bebas tiga (x3). Gaya belajar yang dimaksud
pada tulisan ini adalah gaya belajar siswa berdasarkan modalitas belajar yang
dikemukakan oleh DePorter yaitu (a) gaya belajar visual, (b) gaya belajar
auditorial dan (c) gaya belajar kinestetik, serta bagaimana konsekuensinya
terhadap pelajaran Matematika. Demikian juga self-efficacy yang dimaksud adalah
self-efficacy yang dimiliki siswa dan bagaimana kosekuensinya terhadap mata
pelajaran Matematika. Sedangkan hasil belajar Matematika yang dimaksud adalah
hasil penilaian yang dilakukan baik oleh Pendidik (Guru) dan Satuan Pendidikan.
Maka untuk memperoleh data hasil belajar Matematika di sini penulis mengambil
data berdasarkan rata-rata nilai rapor siswa mulai dari nilai Matematika semester I
(satu) di kelas VII sampai dengan nilai Matematika semester I di kelas IX (ada
lima semester) dan nilai hasil tes yang dilakukan oleh peneliti pada materi
pelajaran Matematika SMP Tahun Pelajaran 2014/2015 berdasarkan kurikulum
2006 atau KTSP.
D. Rumusan Masalah
11
Bertolak dari uraian pada latar belakang, identifikasi masalah dan
pembatasan masalah, maka peneliti merumuskan masalah yang akan diteliti
sebagai berikut:
1. Apakah rata-rata hasil belajar Matematika siswa Kelas Unggulan lebih
tinggi (lebih baik) dari pada Kelas Reguler ?.
2. Apakah terdapat perbedaan gaya belajar antara siswa Kelas Unggulan
dengan siswa Kelas Reguler merujuk pada angket gaya belajar ?
3. Apakah ada perbedaan tingkat self-efficacy antara siswa Kelas Unggulan
dengan Kelas Reguler merujuk angket self-efficacy siswa terhadap
pelajaran Matematika ?.
4. Mana gaya belajar yang memberikan kontribusi yang besar terhadap hasil
belajar Matematika?.
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka tujuan
penetilian adalah:
1. Untuk mengetahui apakah rata-rata hasil belajar Matematika siswa Kelas
Unggulan lebih tinggi (lebih baik) dari pada Kelas Reguler ?
2. Untuk mengetahui perbedaan gaya belajar antara siswa Kelas Unggulan
dengan siswa Kelas Reguler merujuk pada angket gaya belajar ?
3. Untuk mengetahui perbedaan tingkat self-efficacy antara siswa Kelas
Unggulan dengan Kelas Reguler merujuk angket self-efficacy siswa
terhadap pelajaran Matematika ?.
4. Untuk mengetahui gaya belajar yang memberikan kontribusi yang besar
terhadap hasil belajar Matematika ?.
F. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
a. Manfaat Teoritis
12
Manfaat teoritis dalam penelitian ini adalah untuk menambah
kasanah dan mengembangkan wawasan keilmuan serta untuk
mendukung teori-teori yang telah ada, yang berhubungan dengan
masalah yang diteliti khususnya tentang gaya belajar, self-effccacy
dan hasil belajar siswa pada mata pelajaran Matematika.
b. Manfaat Praktis
1. Bagi peneliti, menambah wawasan, pengetahuan dan ketrampilan dalam
menerapkan ilmu yang telah diperoleh serta dapat memberi sumbangan
berupa informasi tentang data-data yang ada dalam tulisan ini kepada
peneliti berikutnya.
2. Bagi siswa, hasil penelitian ini dapat meningkatkan pemahaman siswa
terhadap gaya belajarnya dan meningkatkan self-efficacy terhadap mata
pelajaran Matematika.
3. Bagi para guru SMP Swasta Bintang Laut, hasil penelitian ini menjadi
bahan kajian atau informasi, refleksi dan evaluasi untuk menentukan
kebijakan sebagai usaha untuk meningkatkan kualitas proses
pembelajaran di sekolah pada umumnya terutama dalam
menyelenggarakan Kelas Unggulan dan juga menjadi pertimbangan bagi
guru dalam kegiatan belajar mengajar sehari-hari.
4. Bagi pemerintah, sekolah-sekolah penyelenggara Pendidikan Program
Kelas Unggulan dan semua stakeholder pendidikan, hasil penilitian ini
menjadi bahan masukan dan pertimbangan dalam merumuskan
kebijakan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran pada umumnya
dan pengembangan program Kelas Unggulan pada khususnya.
5. Bagi masyarakat, memberi gambaran tentang peran Kelas Unggulan di
SMP Swasta Bintang Laut Telukdalam dalam pengembagangan
pendidikan.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS
13
2.1. KAJIAN PUSTAKA
2.1.1 Belajar
1. Konsep Dasar BelajarPengertian dan konsep dasar tentang belajar memiliki tafsiran dan
terjemahan yang berbeda-beda, tergantung siapa dan dari sudut pandangan mana
menafsirkannya. Menurut Irham dan Wiyani (2013: 116), belajar merupakan
sebuah proses yang dilakukan individu untuk memperoleh pengetahuan dan
pengalaman baru yang diwujudkan dalam bentuk perubahan tingkah laku yang
relative permanen dan menetap disebabkan adanya interaksi individu dengan
lingkungan belajarnya. Menurutnya bahwa permasalahan yang muncul
selanjutnya adalah bagaimana proses belajar itu terjadi. Banyak ahli pendidikan
terutama psikologi belajar bersepakat bahwa belajar merupakan sebuah proses
yang kompleks dan rumit. Asri (dalam Irham & Wiyani, 2013: 116) mengatakan “
belajar merupakan suatu proses internal yang mencakup ingatan, retensi dan
pendolahan informasi”. Artinya bahwa proses belajar itu berada berada di dalam
internal siswa terutama otak yang mencakup ingatan, dan pemrosesan informasi
sebagai suatu pengetahuan. Dan dalam proses belajar ini selalu mendapat
dukungan dari ranah fungsi psikomotorik yang meliputi mendengar, melihat dan
mengucapkan.
Beberapa konsep dasar belajar menurut teori psokologi belajar
dikemukakan beberapa tokoh aliran psikologi kognitif antara lain: Gestalt, (dalam
Irham & Wiyani:2013:167), bahwa seseorang memperoleh pengetahuan melalui
sensasi atau informasi dengan melihat strukturnya secara menyeluruh kemudian
menysunnya kembali dalam struktur yang lebih sederhana dan mudah dipahami.
Menurut para ahli psikologi Gestalt (dalam M. Ngalim Purwanto, 2007: 100),
manusia itu bukan hanya sekedar makhluk reaksi yang hanya berbuat atau
bereaksi jika ada rangsangan yang mempengaruhinya. M. Ngalim Purwanto
(2007: 100) mengatakan:
Manusia itu adalah individu yang merupakan kebulatan jasmani-rohani.Sebagai individu manusia bereaksi atau berinteraksi dengan dunia luar dengan kepribadiannya dan dengan caranya yang unik pula. Tidak ada dua orang yang mempunyai pengalaman yang benar-benar sama atau identic terhadap objek atau realita yang sama.
14
Jerome Brunner, dalam Sugihartono dkk (dalam Irham & Wiyani: 2013: 173),
belajar merupakan proses yang bersifat aktif, artinya cara terbaik bagi seseorang
untuk memulai belajar konsep dan prinsip-prinsip tertentu adalah dengan
mengonstruksi sendiri konsep dan prinsip yang dipelajari, yaitu dengan
berinteraksi secara langsung dengan lingkungannya untuk melakukan eksplorasi,
manipulasi, membuat pertanyaan dan melakukan eksperimen terhadap objek yang
dipelajari. Dengan demikian tujuan pokok pendidikan menurut Brunner adalah
guru memerankan diri sebagai pemandu atau fasilitator saja bagi peserta didik,
sehingga peserta didik dapat membangun pengetahuannya sendiri secara aktif dan
bukan karena proses hafalan. Maka Discoveri learning merupakan konsep dasar
teori belajar yang dikemukakan oleh Brunner. Oleh sebab itu biarkan siswa
menemukan arti setiap materi pelajaran bagi dirinya sendiri, mempelajari dan
memahami konsep materi pelajaran dalam bahasa mereka sendiri, biarkan siswa
melakukan pemecahan masalah melalui berbagai kegiatan dan pengalamannya
sendiri (Irham & Wiyani, 2013: 174). Dengan demikian peran guru adalah
mendampingi siswa dan menjamin proses pembelajaran berjalan sesuai dengan
kebutuhan siswa . Robert M. Gagne, (dalam Dalyono, 2012: 211): Belajar terjadi
apabila situasi stimulus bersama dengan isi ingatan mempengaruhi siswa
sedemikian rupa, sehingga perbuatannya (performancenya) berubah dari waktu
sebelum ia mengalami situasi itu ke waktu sesudah ia mengalami situasi tadi.
Selanjutnya pendapat beberapa ahli mengenai definisi belajar
diuangkapkan oleh: Slameto (2010: 2), Belajar adalah suatu proses usaha yang
dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru
secara keseluruhan, sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri di dalam
interaksi dengan lingkungannya. Witherington dalam buku Educational
Psykology (dalam Dalyono, 2012: 211) “belajar adalah suatu perubahan di dalam
kepribadian yang menyatakan diri sebagai suatu pola baru dari pada reaksi yang
berupa kecakapan, sikap, kebiasaan, kepandaian atau suatu pengertian”.
Djamarah (2011: 13), belajar adalah serangkaian kegiatan jiwa raga untuk
memperoleh suatau perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman
individu dalam interaksi dengan lingkungannya yang menyangkut kognitif, afektif
15
dan psikhomotor. Sudjana (dalam Hosnan, 2014: 8) mengatakan, “belajar juga
merupakan proses melihat, mengamati dan memahami sesuatu”.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan suatu
proses yang dilakukan individu untuk memperoleh pengetahuan dan pengalaman
baru yang diwujudkan dalam bentuk perubahan tingkah laku yang relative
permanen dan menetap yang menyangkut kognitif, afektif dan psikhomotor serta
mengonstruksi sendiri konsep dan prinsip yang dipelajari, dengan berinteraksi
secara langsung dengan lingkungan belajarnya.
2. Hakekat Universal dari Belajar
Munif Chatib (2012:168) membagi belajar menjadi tiga kelompok besar,
yakni: (1) Alasan; Mengapa anak belajar? Anak belajar karena kebutuhan otak
dan tuntutan perkembangan fisiknya. Orang tua (guru/pendidik) seharusnya
memahami bahwa anak sebenarnya makhluk pembelajar. Alasan anak ingin terus
belajar adalah kebutuhan otak itu sendiri. Pekerjaan otak selalu menerima
informasi dari manapun. Namun informasi ini ada yang perlu diolah lagi untuk
menjadi sebuah pengetahuan baru dan ada juga informasi yang berdiri sendiri.
Maka kebutuhan otak dikatakan sudah terpenuhi jika informasi tersebut sudah
masuk kedalam memori jangka panjang. Menurutnya, kebutuhan otak merupakan
tuntutan alami dan tidak bisa kita hentikan. Demikian pula fisik anak yang
berkembang secara alami, dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Maka
dengan demikian ia menyimpulkan bahwa semestinya tidak ada anak yang malas
belajar. Jika ada anak yang malas belajar, sebenarnya itu diakibatkan oleh proses
belajar yang salah dan tidak sesuai dengan kondisi anak. (2) Proses belajar;
Bagaimana anak belajar? Anak berhasil dalam belajar jika prosesnya tepat.
Proses tersebut merupakan gabungan antara meteri yang menarik dan cara materi
itu disampaikan yang sesuai dengan gaya belajar anak dan (3) Hasil; Apa hasil
anak belajar. Anak berhasil dalam belajar jika dia menuntaskan hasil belajar yang
diharapkan. Oleh karena itu M. Hosnan (2014: 5) menyimpulkan, bahwa “hakikat
belajar adalah belajar selalu melibatkan tiga hal pokok yakni: ada perubahan
tingkah laku, sifat perubahan relative permanen dan perubahan yang bersifat
aktif”.
16
Selanjutnya (dalam Nana Syaodih Sukmadinata, 2005: 201) merumuskan
empat pilar belajar yaitu: (1) Belajar mengetahui (learning to know), berkenaan
dengan perolehan, penguasaan dan pemanfaatan pengetahuan. Jacques Delors
(dalam Sukmadinata (2005: 202) menegaskan adanya dua manfaat pengetahuan,
yaitu pengetahuan sebagai alat (mean) dan pengetahuan sebagai hasil (end).
Sebagai alat pengetahuan digunakan untuk pencapaian berbagai tujuan.Dan
sebagai hasil, pengetahuan merupakan dasar bagi kepuasan memahami,
mengetahui dan menemukan. (2) Belajar berkarya (learning to do). Belajar
berkaryaadalah individu belajar atau berlatih menguasai ketrampilan dan
kompetensi kerja. (3) Belajar hidup bersama (learning tolive together).Karena
kita berinteraksi dengan aneka kelompok masyarakat, maka agar mampu
berinteraksi, berkomunikasi, bekerjasama dan hidup bersama antar kelompok
tersebut dituntut belajar hidup bersama. (4) Belajar berkembang secara utuh
(learning to be). Tantangan kehidupan yang berkembang cepat dan sangat
kompleks, menuntut pengembangan manusia secara utuh. Manusia yang seluruh
aspek kepribadiannya berkembang secara optimal dan seimbang, intelektual,
emosi, social, fisik, dan moral. Oleh sebab itu setiap individu dituntut untuk
mengembangkan seluruh aspek kepribadiannya. Bahkan perkembangan kehidupan
global bukan hanya menuntut berkembangnya manusia secara menyeluruh dan
utuh, tetapi juga manusia yang utuh dan unggul. Sukmadinata (2005: 203)
menyatakan, bahwa manusia/individu harus berusaha mencapai keunggulan
(being excellence) yang diperkuat dengan moral yang kuat.
Gage & Berliner (dalam Hosnan, 2014: 8), mengemukakan prinsip-prinsip
belajar siswa yang dapat dipakai oleh guru dalam meningkatkan kreativitas belajar
yang mungkin dapat digunakan sebagai acuan dalam proses belajar mengajar,
antara lain meliputi prinsip-prinsip, yaitu: Pemberian Perhatian dan motivasi
siswa, mendorong memotivasi keaktifan siswa, keterlibatan langsung dalam
belajar, pengulangan belajar, pemberian tantangan, pemberian umpan balik dan
penguatan belajar, memperhatikan perbedaan individual siswa. memperhatikan
perbedaan individual siswa ini harus dipandang sebagai individual yang unik dan
berbeda satu sama lain. Maka perbedaan itu berpengaruh terhadap cara dan hasil
belajar siswa. Jadi konsekuensi logis adanya hal ini adalah guru harus mampu
17
melayani setiap siswa sesuai dengan karakterisktik mereka masing-masing. Oleh
sebab itu sistem pendidikan klasikal yang dilakukan di sekolah kurang
memperhatikan masalah perbedaan individual. Pada umumnya pelaksanaan
pembelajaran di kelas melihat siswa sebagai individu dengan kemampuan rata-
rata, kebiasaan yang kurang lebih sama, demikian pula dengan pengetahuannya.
Maka pembelajaran klasikal yang mengabaikan perbedaan individual ini dapat
diperbaiki dengan beberapa cara, misalnya: penggunaan metode atau strategi
belajar-mengajar yang bervariasi, penggunaan metode instruksional, memberikan
tambahan pelajaran atau pengayaan pelajaran bagi siswa pandai dan memberikan
bimbingan belajar bagi anak-anak yang kurang.
Robert M. Gagne, (online) http://staff.uny. ac.id/sites/default/ files/Peng-
embangan Pembelajaran MatematikaUNIT30.pdf. Gagne mengemukakan delapan
fase dalam satu tindakan belajar (learning act), yaitu: (1) Fase Motivasi
(motivatim phase), siswa (yang belajar) harus diberi motivasi untuk belajar
dengan harapan, bahwa belajar akan memperoleh hadiah. Misalnya, siswa-siswa
dapat mengharapkan bahwa informasi akan memenuhi keingintahuan mereka
tentang suatu pokok bahasan, akan berguna bagi mereka ataudapat menolong
mereka untuk memperoleh angka yang lebih baik. (2) Fase Pengenalan
(apperehending phase), Siswa harus memberikan perhatian pada bagian-bagian
yang esensial dari suatu kejadian instruksional, jika belajar akan terjadi. Misalnya,
siswa memperhatikan aspek-aspek yang relevan tentang apa yang ditunjukkan
guru, atau tentang ciri-ciri utama dari suatu bangun datar. (3) Fase Perolehan
(acquisition phase), bila siswa memperhatikan informasi yang relevan, maka ia
telah siap untuk menerima pelajaran. Dan bahwa informasi tidak langsung
disimpan dalam memori. Informasi itu diubah menjadi bentuk yang bermakna
yang dihubungkan dengan informasi yang telah ada dalam memori siswa. Siswa
dapat membentuk gambaran-gambaran mental dari informasi itu, atau membentuk
asosiasi-asosiasi antara informasi baru dan informasi lama. (4) Fase Retensi
(retentim phase) Informasi yang baru diperoleh harus dipindahkan dari memori
jangka pendek ke memori jangka panjang. Ini dapat terjadi melalui pengulangan
kembali (rehearsal), praktek (practice), elaborasi atau lain-lainnya. (5) Fase
Pemanggilan (recall). Mungkin saja kita dapat kehilangan hubungan dengan
18
informasi dalam memori jangka panjang. Jadi bagian penting dalam belajar ialah
belajar memperoleh hubungan dengan apa yang telah kita pelajari, untuk
memanggil (recall) informasi yang telah dipelajari sebelumnya. (6) Fase
Generalisasi. Biasanya informasi itu kurang nilainya jika tidak dapat diterapkan
di luar konteks dimana informasi itu dipelajari. Jadi, generalisasi atau transfer
informasi pada situasi-situasi baru merupakan fase kritis dalam belajar. (7) Fase
Penampilan atau mencoba. Para siswa harus memperlihatkan, bahwa mereka
telah belajar sesuatu melalui penampilan yang tampak. Misalnya, setelah
mempelajari bagaimana menggunakan busur derajat dalam pelajaran matematika,
para siswa dapat mengukur besar sudut. Setelah mempelajari penjumlahan
bilangan bulat, siswa dapat menjumlahkan dua bilangan yang disebutkan oleh
temannya. (8) Fase Umpan Balik. Para siswa harus memperoleh umpan balik
tentang penampilan mereka, yang menunjukkan apakah mereka telah atau belum
mengerti tentang apa yang diajarkan. Umpan balik ini dapat memberikan
reinforsemen pada mereka untuk penampilan yang berhasil.
3. Aktivitas-Aktivitas Belajar Menurut Djamarah (2011: 38), dalam belajar seseorang tidak akan dapat
menghindarkan diri dari suatu situasi. Situasi akan menentukan aktivitas apa yang
dilakukan dalam rangka belajar. Bahkan situasi itulah yang mempengaruhi dan
menentukan aktivitas belajar apa yang dilakukan kemudian. Oleh karena itu
menurut Djamarah, ada beberapa aktivitas belajar, antara lain: (a) Mendengarkan,
adalah salah satu aktivitas belajar bagi setiap orang. Aktivitas mendengarkan
adalah aktivitas belajar yang yang diakui kebenarannya dalam dunia pendidikan
dan pengajaran dalam dunia pendidika formal persekolahan ataupun non-formal,
(b) Memandang, memandang adalah mengarahkan penglihatan ke suatu objek.
Aktivitas memandang berhubungan erat dengan mata. Dalam dunia pendidikan
aktivitas memamndang termasuk dalam kategori aktivitas belajar. Namun tidak
semua aktivitas memandang adalah belajar. Aktivitas memandang dalam arti
belajar yang dimaksud di sini adalah aktivitas memandang yang bertujuan sesuai
dengan kebutuhan untuk mengadakan perubahan tingkah laku yang positip. (c)
Meraba, Membau dan Mencicipi /Mengecap, aktivitas meraba, membau dan
mengecap adalah indra manusia yang dapat dijadikan sebagai alat untuk
19
kepentingan belajar, apabila semua aktivitas itu didorong oleh kebutuhan untuk
mencapai tujuan dengan menggunakan situasi tertentu dalam memperoleh
perubahan tingkah laku. (d) Menulis atau Mencatat, dalam pendidikan
nasional.Mencatat yang termasuk sebagai belajar, yaitu apabila dalam mencatat
itu orang menyadari kebutuhannya dan tujuannya serta menggunakan catatan itu
untuk mencapai tujuannya. (e) Membaca, aktivitas membaca adalah aktivitas
yang paling banyak dilakukan dalam belajar. Cara dan teknik seseorang dalam
membaca selalu menunjukkan perbedaan pada hal-hal tertentu. Intinya bahwa
pemahaman atas diri sendiri sangat penting, sehingga dapat memilih teknik yang
mana yang lebih sesuai dengan karakteristik pribadi dengan tidak mengabaikan
pola-pola umum dalam belajar. (f) Membuat ikhtisar atau ringkasan dan
menggarisbawahi, banyak orang yang merasa terbantu dalam belajarnya
karenamenggunakan ikhtisar-ikhtisar materi yang dibuatnya.Namun belajar
yangintensif, jika hanya membuat ikhtisar adalah belum cukup. (g) Mengamati
table-tabel, diagram-diagram dan bagan-bagan, dalam buku ataupun di
lingkungan lain sering dijumpai table-tabel, diagram, atau bagan-bagan. Materi
non-verbal semacam ini sangat berguna bagi seseorang dalam mempelajari materi
yang relevan. Demikian pula gambar-gambar, peta-peta, dan lain-lain dapat
menjadi bahan ilustratif yang membantu pemahaman seseorang tentang sesuatu
hal. Dengan menghadirkan tabel, diagram, atau bagan dapatmenumbuhkan
pengertian dalam waktu yang relatif singkat. (h) Menyusun paper atau kertas
kerja, dalam menyusun paper tidak bisa sembarangan, tetapi harus metodologis
dan sistematis. Metodologis artinya menggunakan metode-metode tertentu dalam
penggarapannya. Sistematis artinya menggunakan kerangka berpikir yang
logisdan kronologis. (i) Mengingat, mengingat adalah salah satu kemampuan
jiwauntuk memasukkan (learning), menyimpan (retention) dan menimbulkan
kembali (remembering) hal-hal yang telah lampau. Jadi, mengenai ingatan
tersebut adatiga fungsi, yaitu: memasukkan, menyimpan, dan mengangkat
kembali ke alamsadar. Ingatan (memory) seseorang dipengaruhi oleh beberapa
faktor, yaitu sifat seseorang, alam sekitar, keadaan jasmani, keadaan rohani (jiwa),
dan umur seseorang. (j) Berpikir, adalah termasuk aktivitas belajar. Dengan
berpikir orangmemperoleh penemuan baru, setidak-tidaknya orang menjadi tahu
20
tentang hubungan antara sesuatu. (k) Latihan dan praktek, Learning by doing
adalah konsep belajar yang menghendaki adanya penyatuan usaha mendapatkan
kesan-kesan dengan cara berbuat. Belajar sambil berbuat dalam hal ini termasuk
latihan. Latihan termasuk cara yang baik untuk memperkuat ingatan, aktivitas
latihan dapat mendukung belajar yangoptimal
Menurut Sugiyono dan Hariyanto (dalam Irham & Wiyani, 2013: 119)
pada dasarnya aktivitas belajar memiliki beberapa komponen yang selalu
menyertainya yaitu: a) Tujuan. Proses belajar selalu dimulai karena adanya
tujuan-tujuan tertentu yang hendak dicapai. Proses belajar akan lebih efektif
apabila siswa mengerti tujuan dan manfaat dari materi pelajaran yang hendak
dipelajari bersama. Godon Dryden dan Jeannette Vos (2000: 107), mengatakan
bahwa “belajar seharusnya memiliki tiga tujuan yaitu: mempelajari ketrampilan
dan pengetahuan tentang materi-materi pelajaran spesifik dan dapat
melakukannya dengan lebih cepat, lebih baik dan lebih mudah, mengembangkan
kemampuan konseptual umum mampu belajar menerapkan konsep yang sama
atau yang berkaitan dengan bidang-bidang lain, mengembangkan kemampuan dan
sikap pribadi yang secara mudah dapat digunakan dalam segala tindakan kita”.
Selanjutnya Dalyono (2012: 48) juga mengemukakan beberapa tujuan
belajar antara lain: mengadakan perubahan di dalam diri, seperti tingkah laku
yang lebih baik, mengubah kebiasaan dari yang buruk menajdi baik, mengubah
sikap, dari negatip menjadi positip, mengubah keterampilan menjadi lebih baik,
menambah pengetahuan dalam berbagai bidang ilmu, b) Materi Pelajaran, tujuan
belajar yang hendak dicapai akan mudah dicapai siswa apabila ada sumber-
sumber materi pelajaran. Artinya ada materi/bahan yang dipelajari yang sudah
tersusun dan siap dikembangkan, c) Kondisi siswa, kondisi siswa sebagai subjek
belajar merupakan komponen penting, yaitu berhubungan dengan: kesiapan siswa,
kemampuan interprestasi siswa, kemampuan respons siswa, situasi proses belajar,
hasil belajar sebagai konsekuensi, reaksi terhadap kegagalan
4. Siswa yang Mengalami Kesulitan Belajar
21
Siswa dengan berbagai perilaku dan karakteristiknya yang unik akan selalu
dijumpai oleh setiap guru/pendidik dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran.
Misalnya siswa yang sangat aktif, rajin mencatat, rajin mengerjakan tugas-tugas,
sering bertanya dan lain sebagainya. Namun tak jarang juga ditemukan siswa yang
sangat pasif, tidak mau mencatat, pernah mengerjakan tugas bahkan bolos dan
berbagai bentuk perilaku lainnya sehingga hasil belajarnya dalam arti nilainya
selalu rendah. Gejala-gejala siswa yang cenderung kurang baik atau kurang
mendukung proses belajar dan pembelajaran perlu mendapat perhatian khusus dari
guru. Hal ini disebabkan oleh gejala-gejala yang dianggap kurang baik atau tidak
selayaknya dialami atau dilakukan oleh siswa, tetapi dilakukan atau dialaminya
serta menunjukkan pencapaian prestasi yang rendah pada dasarnya menunjukkan
adanya hambatan atau kesulitan belajar pada siswa yang bersangkutan.
Mengenali siswa yang mengalami kesulitan belajar merupakan kegiatan
yang tidak mudah. Menurut Derek Wood dkk (dalam Irham & Wiyani, 2013:
262) terdapat tiga kelompok masalah atau kesulitan siswa dalam belajar yang
kemudian mengelompokkan siswa tersebut berdasarkna kesulitan siswa antara
lain: siswa mengalami kesulitan dalam berbicara dan berbahasa, siswa mengalami
permasalahan dalam hal kemampuan akademik, siswa dengan kesulitan dalam
mengoordinasikan gerak tubuh dan siswa dengan permasalahan belajar lain yang
belum tercakup dalam kategori-kategori tersebut.
Abu Ahmadi dan Widodo Supriyono (dalam Irham & Wiyani, 2013: 263)
berpendapat bahwa siswa yang mengalami kesulitan belajar akan menunjukkan
gejala-gejala: menunjukkan prestasi belajar yang rendah atau berada di bawah
rata-rata yang dicapai oleh siswa lain dalam satu kelasnya, hasil belajar atau
prestasi belajar yang diperoleh tida seimbang dengan usaha yang dilakukan siswa,
siswa lambat dalam melakukan tugas-tugas belajarnya, siswa menunjukka sikap
yang tidak atau kurang wajar selama proses pembalajaran, siswa menunjukkan
perilaku menyimpang dan emosional.
Menurut Balssic & Jones yang ditulis Sugihartono dkk (dalam Iraham &
Wiyani, 2013: 253) mengatakan, “Kesulitan belajar yang dialami siswa
menunjukkan adanya kesenjangan atau jarak antara prestasi akademik yang
diharapkan dengan prestasi akademik yang dicapai oleh siswa pada
22
kenyataannya”. Siswa akan dikatakan mengalami kesulitan belajar apabila
inteligensi yang dimilikinya tergolong rata-rata atau normal, akan tetapi
menunjukkan adanya kekurangan dalam proses dan hasil belajar yang dicapai.
Demikian kenyataan yang sering dijumpai pada setiap individu dalam kehidupan
sehari-hari. Maka kesulitan belajar adalah keadaan dimana anak didik / siswa
tidak dapat belajar sebagaimana mestinya dan tidak dapat mencapai tujuan belajar
seperti yang diharapkan. Namun yang perlu disadari oleh guru bahwa setiap
individu tidak ada yang sama. Maka perbedaan individual dalam kesulitan belajar
juga harus mendapat perhatian dari guru/pendidik. Kesulitan belajar ini tidak
selalu disebabkan karena factor inteligensi yang rendah (kelainan mental) akan
tetapi dapat juga disebabkan oleh factor-faktor non-inteligensi. Dengan demikian
IQ yang tinggi belum tentu menjamin keberhasilan belajar. Oleh karena itu dalam
rangka memberikan bimbingan yang tepat kepada setiap peserta didik, maka para
pendidik perlu memahami karakteristik setiap individu dalam belajar, seperti gaya
belajarnya, kepercayaan dirinya, kemampuan intelektualnya dan sebagainya.
Menurut Irham & Wiyani ( 2013: 264) factor-faktor yang dapat
menyebabkan kesulitan belajar pada siswa dapat dikelompokkan menjadi 1)
factor internal (kemampuan intelektual, perasaan dan kepercayaan diri, motivasi,
kematangan untuk belajr, usia, jenis kelamain, kebiasaan belajar/ gaya belajar,
kemampuan mengingat, serta kemampuan mengindra seperti: melihat
mendengarkan, membau dan merasakan), dan 2) factor eksternal (guru, kualitas
pembelajaran, instrument, dan fasilitas pembelajaran serta lingkungan social dan
alam. Dalyono (2012: 230) mengatakan “factor-faktor penyebab kesulitan belajar
dapat digolongkan ke dalam dua golongan yaitu, (1) Factor intern (factor dari
dalam diri manusia itu sendiri) yang meliputi: factor fisiologi (factor yang bersifat
fisik: karena sakit, kurang sehat, cacat tubuh) dan factor psikologi ( inteligensi,
bakat, minat, motivasi, kesehatan mental dan tipe-tipe khusus seorang peserta
didik). Hal serupa juga diungkapkan Iraham & Wiyani (2013: 264), secara garis
besar, factor-faktor yang dapat menyebabkan kesulitan belajar pada siswa adalah:
factor internal, antara lain: kemampuan inteletual, perasaan dan kepercayaan diri
(self-efficacy), motivasi, kematangan untuk belajar, kebiasaan belajar, kemmapuan
mengingat serta kemapuan mengindra: melihat, mendengarkan, membau dan
23
merasakan. (2) Factor eksternal, meliputi factor ekstern (factor dari luar manusia)
meliputi, faktor non- social dan faktor-faktor social.
Gejala-gejala siswa yang cenderung kurang mendukung proses belajar dan
pembelajaran perlu mendapat perhatian khusus dari guru. Mengenali siswa yang
mengalami kesulitan belajar merupakan kegiatan yang sulit dan rumit. Wood dkk
(dalam Irham & Wiyani, 2013: 261) mengatakan “kesulitan belajar sulit
diidentifikasi secara pasti dengan kasat mata karena banyak jenisnya, banyak
kemungkinan factor penyebabnya, banyak jenis gejala serta kemungkinan
penanganannya”.
Menurut Derek Wood, dkk (dalam Irham & Wiayani, 2013: 262), terdapat
tiga kelompok masalah atau kesulitan siswa yang kemudian mengelompokkan
siswa tersebut dalam tiga kelompok yaitu: 1) siswa yang mengalami kesulitan
belajar dalam berbicara dan berbahasa, 2) siswa yang mengalami permasalahan
dalam hal kemampuan akademik, 3) siswa yang mengalami kesulitan dalam
mengoordinasikan gerak tubuh.
5. Modalitas Belajar atau Gaya Belajar
Tipe belajar atau gaya belajar siswa yang berdasarkan sejumlah penelitian
terbukti penting untuk diketahui guru. Suyono & Hariyanto (2012: 147)
menuliskan bahwa, Woolever dan Scott (1988), Dunn, Beaudry dan Klavas (1989)
menemukan sebagai hasil penelitiannya betapa pentingnya bagi guru untuk
memadukan gaya mengajarnya dengan gaya belajar siswa. Setiap siswa memiliki
gaya belajarnya sendiri, diumpakan sebagai tanda tangan yang khas bagi dirinya
sendiri. Menurut Suyono & Hariyanto, dengan mengetahui gaya belajar setiap
siswa, guru akan mampu mengorganisasikan kelas sedemikian rupa sebagai
respon terhadap kebutuhan setiap individu siswanya. Guru yang memahami
modalitas belajar setiap anak akan mampu memilih metode pembelajaran yang
bermakna bagi anak didiknya. Paling tidak guru akan berusaha menerapkan
berbagai metode pembelajaran untuk mengakomodasikan gaya belajar siswanya
Nasution (2013: 93) mengemukakan bahwa penelitian tentang metode
mengajar yang paling sesuai semuanya gagal, karena setiap metode mengajar
bergantung pada cara atau gaya siswa belajar. Maka menurut Nasution, akhir-
24
akhir ini timbul pemikiran baru bahwa mengajar itu harus memperhatikan gaya
belajar atau “ learning style” siswa yakni cara siswa bereaksi dan menggunakan
perangsangan-perangsangan yang diterimanya dalam proses belajar.
Nasution menuliskan bahwa, para peneliti menemukan adanya berbagai
gaya belajar pada siswa yang dapat digolongkan menurut kategori-kategori
tertentu dan menyimpulkan bahwa: setiap siswa belajar menurut cara sendiri yang
kita sebut gaya belajar dan guru juga mempunayi gaya mengajar masing-masing.
Kita dapat menemukan gaya belajar itu dengan instrument tertentu, maka
kesesuaian gaya mengajar dengan gaya belajar mempertinggi efektivitas belajar.
Dengan demikian dalam aktivitas belajar guru harus menyadari bahwa
setiap orang mempunyai cara yang optimal dan berbeda-beda untuk mempelajari
dan memahami informasi baru, bahwa siswa perlu diajarkan cara-cara yang lain
dari metode balajar standar yang telah dialaminya untuk memaksimalkan
informasi yang dapat mereka pahami dalam kegiatan belajar mengajar. Dengan
kata lain tak ada satupun metode yang sesuai bagi semua siswa. Ada yang lebih
suka belajar sendiri, ada yang lebih senang mendengarkan penjelasan dari guru
melalum metode ceramah dan ada yang lebih mudah belajar dengan cara melihat
gambar-gambar dan sebagainya. Oleh karena itu menurut Nasution (2013: 92)
untuk mempetinggi efektivitas proses belajar mengajar perlu diadakan penelitian
yang mendalam tentang gaya belajar siswa.
Seorang pelopor bidang gaya belajar Rita Dunn dalam DePorter (dalam
Hasnan, 2014: 83) mengemukakan ciri khas seseorang dalam belajar yang
dinamakan Modalitas belajar atau yang disebut dengan Gaya belajar. Gaya
belajar adalah kebiasaan yang dilakukan siswa dalam belajar.
Beberapa definisi gaya belajar menurut para ahli antara lain: Nasution (2013: 94):
Gaya belajar adalah cara yang konsisiten yang dilakukan oleh seorang murid
dalam menangkap stimulus atau informasi, cara mengingat, berpikir, dan
memecahkan soal. Munif Chatib (2012: 100). Gaya belajar adalah respons yang
paling peka dalam otak seseorang untuk menerima data atau informasi dari
pemberi informasi dan lingkungannya. Sarasin dalam Sugihartono dkk (dalam
Irham & Wiyani, 2013:98). Gaya belajar merupakan pola perilaku yang spesifik
pada individu dalam proses menerima informasi baru dan mengembangkan
25
keterampilan baru, serta proses penyimpanan informasi atau keterampilan baru
tersebut selama proses belajar berlangsung. Gobai, ((dalam Riadi) (online)
http://www. kajianpustaka. com /2012/11/gaya-belajar.html). Gaya belajar atau
learning style adalah suatu karakteristik kognitif, afektif dan perilaku
psikomotorik sebagai indikator yang bertindak relatif stabil untuk pembelajar
yang saling berhubungan dan bereaksi terhadap lingkungan belajar. Fleming dan
Mills (dalam Minarti ((online) http://minartirahayu. blogspot. com/2013/03/
pengertian-gaya-belajar-berbagai-macam.html,). Gaya belajar merupakan
kecenderungan siswa untuk mengadaptasi strategi tertentu dalam belajarnya
sebagai bentuk tanggung jawabnya untuk mendapatkan satu pendekatan belajar
yang sesuai dengan tuntutan belajar di kelas/sekolah maupun tuntutan dari mata
pelajaran.
Berdasarkan definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa gaya
belajar adalah pola peri laku yang spesifik atau strategi tertentu dari seseorang
(peserta didik) untuk menerima informasi baru yang bersifat kognitif, afektif dan
psikhomotor dalam kegiatan belajar sebagai indikator yang bertindak relatif stabil
untuk pembelajar yang saling berhubungan dan bereaksi terhadap lingkungan
belajar.
Bertolak dari uraian di atas, maka Suyono & Hariyanto (2012: 147)
mengatakan bahwa, “Pertanyaan pokok yang muncul dalam pembelajaran adalah
bagaimanakah agar siswa cerdas, dan bukan apakah siswa sudah cerdas. Dalam
hal ini diperlukan pengetahuan guru tentang bagaimana cara siswa belajar secara
lebih efektif”. Sebab pemahaman, pemikiran dan padangan seorang siswa dengan
siswa yang lain dapat berbeda terhadap dunia sekitar meskipun dalam pengalaman
peristiwa pembelajaran yang sama. Hal ini menjelaskan kepada kita bahwa setiap
orang (peserta didik) memiliki gaya belajar yang berbeda-beda.
(a) Jenis-jenis gaya belajar
Perbedaan gaya belajar pada siswa merupakan sesuatu yang dapat
menjelaskan perbedaan-perbedaan individu siswa tersebut dalam proses belajar
meskipun dalam kondisi dan proses pembelajaran yang sama. Hal ini
menunjukkan bahwa siswa memiliki kebutuhan belajarnya sendiri, belajar dengan
caranya sendiri yang berbeda satu sama lain, dan memproses dengan caranya yang
26
berbeda pula. Pertanyaan mendasar yang muncul kemudian adalah mengapa guru
harus mengetahui perbedaan gaya belajar siswanya. Pertanyaan tersebut telah
lama muncul, sehingga beberapa peneliti seperti Scott, Rita Dunn, Beaudry dan
Kalvas sebagaimana dikutip kembali Sugiyono dan Haryono (dalam Irham &
Wiyani, 2013: 98) menjelaskan bahwa penting bagi seorang guru untuk
mengetahui gaya belajar siswa dan memadukan gaya mengajar dengan gaya
belajar siswa. Oleh karena itu guru perlu mengetahui gaya belajar masing-masing
siswanya, sehingga pembelajaran dapat berlangsung dengan baik. Karena dengan
mengetahui gaya belajar siswa, maka lebih mudah bagi guru mengorganisasikan
proses pembelajaran dengan berbagai metode dan cara mengajar sehingga bisa
diterima dan dipahami oleh seluruh siswa.
Guru yang mampu mengetahui gaya belajar siswanya akan mampu memilih
dan menemukan metode pembelajaran yang bermakna, dan sebaliknya individu
atau siswa yang belajar dengan modalitas/gaya belajarnya akan dapat
mempercepat proses kognitifnya dalam belajar. Informasi akan lebih cepat
diterima oleh otak apabila sesuai dengan gaya belajar seseorang. Jika informasi
yang berisi materi pelajaran sudah diterima oleh otak, dapat dikatakan indicator
hasil belajar seseorang tersebut telah tuntas. Jika guru mengajar dengan metode
yang sesuai dengan belajar siswa, maka semua materi pelajaran akan dipahami
dengan baik oleh siswa. Munif Chatib melukiskannya sebagai berikut:
Jika strategi mengajar guru = gaya belajar siswanya, maka tidak ada pelajaran yang sulit. Matematika, IPA atau materi lain yang dianggap sulit, sebenarnya itu mitos. Sebaliknya, jika strategi mengajar guru ≠ gaya belajar siswanya, dapat dipastikan siswa tidak nyaman menerima informasi dari gurunya dan praktis siswa menganggap pelajaran itu sulit.
Menurut Gardner (dalam Munif Chatib, 2012:170), gaya belajar seseorang
tercermin dari kecenderungan kecerdasan atau multiple-intelligences-nya. Munif
Chatib, (2012:171) mengatakan bahwa “Dengan memberikan instruksi kepada
anak-anak kita melalui kekuatan gaya belajarnya, maka akan terlihat suatu
perubahan sikap yang cepat dan tingkat keberhasilan yang tinggi”. Menurutnya
bahwaada dua cara mengenali gaya belajar, yaitu: dengan pengamatan manual,
untuk melihat kebiasaan yang disukai saat anak belajar. Biasanya cara ini agak
sulit utnuk menentukan dengan tepat gaya belajar anak, sebab gaya balajar itu
27
sendiri banyak ragamnya dan dengan menggunakan alat riset psikologis. Maka
lewat data inilah membantu orangtua/guru dan anak mengetahui gaya belajar yang
dominan yang dimiliki oleh anak.
Menurut Horney dalam Sugihartono dkk (dalam Irham & Wiyani, 2013 :
99) terdapat beberapa model atau pendekatan gaya belajara antara lain: a)
Modalitas belajar (individu dalam belajar hanya memilih bagaimana cara belajar
apakah dengan cara melihat, mendengar, menyentuh/membentuk, atau melakukan
aktivitas fisik saja terhadap apa yang sedang dipelajarinya dan modalitas indra
yang biasa digunakan dalam belajar meliputi mata, telinga, taktill
sentuhan/rabaan dan kinestetik/keterampilan gerak tubuh) b) Belajar social
(individu akan melakukan aktivitas belajarnya melalui sktivitas belajar sendirian,
belajar berdua, belajar berkelompok dengan teman sebaya, belajar bersama
kelompok-kelompok atau komunitas tertentu, belajar dengan bantuan guru atau
bentuk-bentuk kombinasi belajar lainnya), c) Lingkungan belajar (individu
memiliki kecenderungan untu memilih-milih terhadap situasi dan kondisi
lingkungan temapat ia akan belajar), d) Emosi belajar (tipe-tipe lingkungan
belajar yang berbeda, metode pembelajaran yang berbedadan aktivitas selama
proses pembelajaran akan mempengaruhi motivasi, ketahanan dan tanggungjawab
individu dalam belajar), e) Belajar global dan Analitik (individu memilih belajar
dengan mengategorikan secara luas, mengamati secara komprehensif dan
beorientasi pada kelompok).
Salah satu jenis pendekatan gaya belajar yang akan dikaji dalam tulisan ini
adalah gaya belajar berdasarkan modalitas indra yang digunakan. Menurut
DePorter dan Hernacki (dalam Irham & Wiyani, 2013: 105) gaya belajar
berdasarkan modalitas indra, “…adalah mengenali modalitas seseorang dalam
belajar sebagai modalitas visual, auditorial atau kinestetik (V-A-K)”. Menurutnya
pendekatan tentang gaya belajar memiliki cukup banyak bentuk dan ragamnya.
Namun demikian, pendekatan gaya belajar yang paling sering dipakai adalah
pendekatan berdasarkan tiga gaya belajar yakni: gaya belajar visual, gaya belajar
auditorial dan gaya belajar kinestetik”. Selanjutnya Hosnan (2014:83)
mengemukakan tiga gaya belajar menurut Rita Dunn dan DePorter Hernacki
yakni: (*) Gaya belajar Visual. Visual merupakan belajar dengan melihat dan
28
mengamati, lalu mengaitkannya dengan yang sudah dipelajari dengan sesuatu
yang kelihatan. Orang visual terbiasa untuk membayangkan apa yang sedang
dipelajari, dan biasanya sering dianggap sedang melamun. Orang yang memiliki
gaya atau tipe belajar visual artinya harus melihat bukti baru dapat mempercayai
atau dapat terus mengingatnya. Karakteritiknya: kebutuhan melihat sesuatu
secara visul, memiliki kepekaan yang kuat terhadap warna, memahami masalah
artistic, sulit berdialog secara langsung, reaktif terhadap suara, sulit mengikuti
anjuran secara lisan, sering salah menginterpretasikan kata atau ucapan.
Perilaku yang merupakan ciri-ciri dari seorang yang memiliki gaya/tipe
balajar visual adalah: rapih dan teratur, bicara dengan cepat, perencana dan
pengatur jangka panjang yang baik, teliti terhadap detail, mementingkan
penampilan dalam berpakaian maupun dalan prestasi, pengeja yang baik dan dapat
melihat kata-kata yang sebenarnya dalam pikiran mereka, mengingat yang dilihat,
dari pada yang didengar, mengingat denga asosiasi visual, tidak mudah terganggu
oleh keributan, mempunyai masalah untuk mengingat instruksi verbal kecuali jika
ditulis, dan seringkali minta bantuan orang untuk mengulanginya, membaca cepat
dan tekun, lebih suka membaca dari pada dibacakan, membutuhkan pandangan
dan tujuan yang menyeluruh dan bersikap waspada sebelum secara mental pasti
tentang sesuatu masalah, mencoret-coret tanpa arti selam berbicara di telefon atau
rapat, lupa menyampaikan pesan verbal kepada orang lain, sering menjawab
pertanyaan dengan jawaban singkat ya/tidak, lebih suka melakukan demonstrasi
dari pada pidato, lebih suka seni dari pada music.
Menurut Puranti (online) http://nuritaputranti. wordpress.com/2007/ 12/28
/gaya-belajar-anda-visual-auditori-atau-kinestetik/, Strategi untuk mempermudah
proses belajar anak visual adalah: gunakan materi visual seperti, gambar- gambar,
diagram dan peta, gunakan warna untuk menghilite hal-hal penting, ajak anak
untuk membaca buku-buku berilustrasi, gunakan multi-media (contohnya:
komputer dan video), ajak anak untuk mencoba mengilustrasikan ide-idenya ke
dalam gambar. (*) Gaya/tipe belajar Auditori. Auditori merupakan gaya belajar
dengan cara mendengarkan petunjuk lisan atau belajar dengan cara mendengarkan.
Dengan kata lain Gaya belajar auditori mengandalkan pendengaran untuk dapat
memahami dan mengingatnya. Karakteristiknya: menggunakan pendengaran
29
sebagai alat utama untuk menerima informasi atau pengetahaua. Hal ini berarti
bahwa: semua informasi hanya bisa diserap melalui pendengaran, memiliki
kesulitan menerima inforamasi melalui tulisan secara langsung dan memiliki
kesulitan menulis dan membaca.
Perilaku yang merupakan ciri-ciri dari seseorang yang memiliki tipe atau
gaya belajar auditori adalah: saat bekerja suka bicara kepada diri sendiri, sudah
terganggu oleh keributan, menggerakkan bibir dan mengucapkan tulisan di buku
ketikamembaca, senang membaca dengan keras dan mendengarkan, dapat
mengulangi kembali dan menirukan nada, berirama dan warna suara, merasa
kesulitan untuk menulis, tapi hebat dalam bercerita, berbicara dalam irama yang
terpola, biasanya ia pembicara yang fasih, lebih suka music dari pada seni lain,
belajar dengan mendengarkan dan mengingat apa yang didiskusikan dari pada
yang dilihat, suka berbicara, berdiskusi dan menjelaskan sesuatu dengan panjang
lebar, mempunyai masalah dengan pekerjaan-pekerjaan yang melibatkan
Visualisasi, lebih pandai mengeja dengan keras daripada menuliskannya, lebih
suka gurauan lisan dari pada membaca komik.
Menurut Puranti ((online) http://nuritaputranti.wordpress.com/2007/ 12/
28 /gaya-belajar-anda-visual-auditori-atau-kinestetik/), proses belajar anak
auditori : ajak anak untuk ikut berpartisipasi dalam diskusi baik di dalam kelas
maupun di dalam keluarga. dorong anak untuk membaca materi pelajaran dengan
keras, gunakan musik untuk mengajarkan anak, diskusikan ide dengan anak secara
verbal, biarkan anak merekam materi pelajarannya ke dalam kaset dan dorong dia
untuk mendengarkannya sebelum tidur. (*) Gaya/tipe belajar Kinestetik.
Kinestetik merupakan belajar dengan melibatkan anggota tubuh. Orang kinestetik
hampir selalu bergerak, sering dianggap orang yang tak pernah diam. Gaya belajar
ini, mengharuskan individu yang bersangkutan bergerak atau menyentuh sesuatu
yang memberikan informasi tertentu agar ia dapat mengingatnya.
Karakteristiknya: menggunakan tangan sebagai alat penerima informasi utama
agar dapaat terus mengingatnya.
Perilaku yang merupakan ciri-ciri dari seorang yang memiliki gaya/tipe
balajar kinestetik adalah: berbicara perlahan, menanggapi perhatian fisik,
menyentuh orang untuk mendaptkan perhatian mereka, berdiri dekat ketika
30
berbicara dengan orang lain, selalu berorientasi pada fisik dan banyak bergerak,
mempunyai perkembangan awal otot-otot besar, belajar melalui memanipulasi dan
praktek, menghafal dengan cara berjalan dan melihat, menggunakan jari sebagai
petunjuk ketika membaca, banyak menggunakan isyrat tubuh, tidak dapat duduk
diam dalam waktu lama, tidak dapat mengingat geografi, kecuali jika mereka
memang pernah berada di tempat itu, menggunakan kata-kata yang mengandung
aksi, menyukai buku-buku dan mereka mencerminkan aksi dengan gerakan tubuh
saat membaca, kemungkinan tulisannya jelek, ingin melakukan segala sesuatu.
Menurut Puranti (online) http://nuritaputranti. wordpress.com/2007/12/28/
gaya-belajar-anda-visual-auditori-atau-kinestetik/), Strategi untuk mempermudah
proses belajar anak kinestetik: jangan paksakan anak untuk belajar sampai berjam-
jam, ajak anak untuk belajar sambil mengeksplorasi lingkungannya (contohnya:
ajak dia baca sambil bersepeda, gunakan obyek sesungguhnya untuk belajar
konsep baru), izinkan anak untuk mengunyah permen karet pada saat belajar,
gunakan warna terang untuk menghilite hal-hal penting dalam bacaan, izinkan
anak untuk belajar sambil mendengarkan musik.
(b) Memanfatkan Gaya Belajar Sebagai Inovasi PendidikanSetiap pembaharuan atau inovasi, selain membawa kemajuan juga
membawa sejumlah kesulitan dan masalah yang harus dipertimbangkan. Masalah
itu berhubungan dengan waktu, sumber, ruangan, personalia dan lain sebagainya.
Tiap pembaharuan memerlukan waktu yang cukup agar dapat diterima dan
dilaksanakan secara menyeluruh. Khususnya dalam memanfaatkan gaya belajar
siswa, masih timbul sejumlah pertanyaan yang belum diketahui jawabannya,
misalnya: Bagaimanakah gaya belajar dapat dimanfaatkan oleh siswa sendiri?,
Bagaimanakah guru dapat memanfaatkannya dalam proses belajar mengajar? Dan
lain sebagainaya. Maka agar usaha pembaharuan ini berhasil dibutuhkan
keterlibatan semua pihak yang bersangkutan dan harus menyadari bahwa betapa
pentingnya pembaharuan itu.
Nasution (2013: 115) mengatakan, “ Dengan mengetahui gaya belajar
siswa guru dapat menyesuaikan gaya mengajarnya dengan kebutuhan siswa,
misalnya dengan menggunakan berbagai gaya mengajar sehingga murid-murid
semuanya dapat memperoleh cara yang efektif baginya”. Maka agar guru dapat
31
memperhatikan gaya belajar siswa ia harus menguasai keterampilan dalam
berbagai gaya mengajar dan harus sanggup menjalankan berbagai peranan
Selanjutnya Rita Dunn dan Kenneth Dunn (dalam Suyono & Hariyanto,
2012: 162) dalam bukunya yang berjudul Teaching Students Through Their
individual learning Styles: A Practical Approach, mereka menganilisis bahwa
para siswa yang mampu mengidentifikasi gaya belajarnya sendiri, memperoleh
skor yang tinggi dalam tes, memiliki sikap yang lebih baik, dan lebih efisien
dalam pembelajaran yang sesuai dengan gaya belajarnya. Menurut mereka bahwa
menjadi tugas guru untuk mengajar dan menguji siswa sesuai dengan prefrensi
gaya belajarnya. Bahkan lebih lanjut disampaikan bahwa untuk mengakomodasi
berbagai gaya belajar siswa tersebut, guru wajib menyesuaikan rancangan ruang
kelasnya, pengembangan teknik kelompok kecil dan pengembangan “paket
kontrak kegiatan” (contract activity package).
Suyono & Hariyanto (2012: 163) menuliskan bahwa, penelitian lain yang
juga merkomondasikan penerapan gaya belajar yang sesuai dengan setiap pribadi
siswa adalah Merilee Sprenger, dan mengemukakan bahwa untuk mengupayakan
pembelajaran yang efektif dengan menerapkan gaya belajar, ia menyarankan
beberapa hal, antara lain: guru dapat berlaku sebagai pembelajar sedangkan
pembelajar dapat berlaku sebagai guru, setiap pembelajar dapat belajar dengan
baik jika dalam keadaan yang mendukung dan belajar menggembirakan.
Dalam mencoba memadukan gaya belajar siswa dengan gaya mengajar
guru, Morrison dan Rdley dalam Mash (dalam Suyono & Hariyanto (2012: 148)
menyarankan agar guru mempertimbangkan: bagaimanakah cara mengembangkan
konsep pribadi (self-concept) setiap siswa, bagaimana mengembangkan motivasi
siswa, bagaimana caranya agar gaya mengajar guru sesuai dengan perbedaan
individual setiap siswa dalam kebutuhan, minat, kemampuan dan keterampilan
dan bagaimana caranya agar gaya mengajar guru dapat mengembangkan gaya
belajar individusiswa sesuai dengan laju pembelajaran. Suyono & Hariyanto
(2012: 163) mengatakan:
Dampak gaya belajar kepada pendidikan secara umum pada prinsipnya adalah … sebagi tolok ukur keberhasilam pembelajaran. Guru harus benar-benar memperhatikan kesesuaian antara metode pengajaran dengan gaya belajar siswanya. .... Namun guru wajib mengenali gaya belajar setiap siswanya
32
kemudian dilihat mana gaya belajar yang paling dominan, maka hal itulah yang harus disesuaikan dengan metode pengajarannya.
Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa, jika diberikan strategi yang
sesuai dengan gaya belajarnya, maka anak dapat berkembang dengan lebih baik.
6. Hasil Belajar
Belajar merupakan sebuah proses yang dilakukan oleh individu siswa untuk
memperoleh informasi, pengetahuan-pengetahuan baru, ataupun keterampilan dari
lingkungan sekitarnya. Individu akan dikatakan telah belajar apabila telah ada
perubahan yang nyata menuju keadaan yang lebih baik, dalam bentuk adanya
struktur kognitif, afektif dan atau psikhomotorik.
Sukmadinata (2005: 102), hasil belajar atau achievement merupakan
realisasi atau pemekaran dari kecakapan-kecakapan potensial atau kapasitas yang
dimiliki seseorang. Menurutnya penguasaan hasil belajar oleh seseorang dapat
dilihat dari perilakunya, baik perilaku dalam bentuk penguasaan pengetahaun,
ketrampilan berpikir maupun ketrampilan motorik. Di sekolah hasil belajar dapat
dilihat dari penguasaan siswa akan mata pelajaran yang ditempuhnya. Hasil
belajar di sekolah dalam mata pelajaran tersebut dilambangkan dengan angka-
angka seperti 0 -10 atau 10 – 100 pada pendidikan dasar dan menengah sedangkan
padapendidikan tinggi menggunakan huruf A, B, C dan D .
Robert Gagne (dalan Uno, 2007: 137) mengemukakan bahwa hasil belajar
merupakan kapasitas terukur dari perubahan individu yang diinginkan
berdasarkan ciri-ciri atau variable bawaannya melalui perlakuan pengajaran
tertentu. Hal senada diungkapkan Reigeluth sebagaimana dikutip Killer (dalam
Uno : 2007) menyebutkan, bahwa hasil belajar adalah semua efek yang dapat
dijadikan sebagai indicator tentang nilai dari penggunaan suatu metode di bawah
kondisi yang berbeda.
Syarimah (2014: 247) mengemukakan bahwa, hasil belajar adalah penilaian
hasil yang sudah dicapai oleh setiap siswa dalam ranah kognitif, afektif dan
psikhomotor yang diperoleh sebagai akibat usaha kegiatan belajar dan dinilai
dalam periode tertentu. Diantara ketiga ranah tersebut, pada umumnya ranah
kognitif yang paling banyak diperhatikan atau dinilai oleh para guru di sekolah
33
karena berkaitan dengan kemampuan para siswa dalam menguasai isi mata isi
baha pengajaran.
Bertolak dari beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
hasil belajar adalah semua efek yang dapat dijadikan sebagai indicator tentang
nilai dari perubahan yang nyata dalam bentuk adanya struktur kognitif, afektif dan
atau psikhomotorik yang diperoleh sebagai akibat usaha kegiatan belajar dan
dinilai dalam periode tertentu dan dilambangkan dengan angka-angka seperti 0 -
10 atau 10 – 100 pada pendidikan dasar dan menengah sedangkan pada
pendidikan tinggi menggunakan huruf A, B, C dan D.
Dengan demikian hasil belajar yang dimaksud dalam tulisan ini adalah
hasil belajar siswa terhadap struktur kognitif pada mata pelajaran Matematika
sebagai akibat dari pembelajaran yang dilakukan siswa pada mata pelajaran
Matematika dalam kurun waktu tertentu. Dengan kata lain, hasil belajar siswa
pada mata pelajaran Matematika merupakan apa yang diperoleh siswa dari proses
belajar Matematika dalam kurun waktu tertentu yang dinyatakan dalam bentuk
nilai (angka/nominal) yang diperoleh berdasarkan penilaian hasil belajar yang
dialakukan oleh Pendidik (guru) dan oleh Satuan Pendidikan (lembaga/ sekolah).
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.19 tahun 2005, tentang Standar Nasional
Pendidikan bab X Standar Penilaian Pendidikan, bagian kesatu pasal 63
Suryosubroto (2010: 276), menyatakan bahwa penilaian pendidikan pada jenjang
pendidikan dasar dan menengah terdiri atas: (a) Penilaian hasil belajar oleh
Pendidik (Guru) yang dilakukan secara berkesinambungan untuk memantau
proses, kemajuan, dan perbaikan hasil dalam bentuk ulangan harian, ulangan
tengah semester, ulangan akhir semester, dan ulangan kenaikan kelas. Penilaian
ini digunakan untuk: menilai pencapaian kompetensi peserta didik, bahan
penyusunan laporan kemajuan hasil belajar; dan memperbaiki proses
pembelajaran, (b) Penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan, yang bertujuan
menilai pencapaian standar kompetensi lulusan untuk semua mata pelajaran, dan
(c) Penilaian hasil belajar oleh Pemerintah, yang bertujuan untuk menilai
pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam
kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan teknologi dan dilakukan dalam bentuk
ujian nasional.
34
Perlu ditegaskan bahwa penilaian hasil belajar yang dimaksud pada
penelitian ini terbatas pada hasil penilaian yang dilakukan oleh Guru dan Satuan
Pendidikan saja dalam kurun waktu tertentu.
7. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar
Slameto (2010:54), mengatakan bahwa fakotr-faktor yang mempengaruhi
hasil belajar adalah sebagai berikut:
Kondisi fisiologi. Kondisi fisiologi pada umumnya berpengaruh terhadap belajar
seseorang, jika seseorang belajar dalam keadaan jasmani yang segar
akan berbeda dengan seseorang yang belajar dalam keadaan sakit.
Kondisi psikologi. Beberapa faktor psikologis antara lain: Kecerdasan.
Kecerdasan seseorang besar pengaruhnya dalam keberhasilan siswa dalam
mempelajari sesuatu, Bakat. Selain kecerdasan, bakat juga besar pengaruhnya
terhadap proses dan hasil belajar siswa, Minat Jika seseorang mempelajari sesuatu
dengan minat yang besar, maka dapat diharapkan hasilnyaakan lebih baik. Tetapi
jika seseorang belajar dengan tidak berminat maka hasil yang
diperoleh kurang baik, Motivasi. Motiasi adalah dorongan anak atau seseorang
untuk melakukan sesuatu, jadi motivasi adalah kondisi psikologi yang mendorong
seseorang untuk belajar, Kemampuan Kognitif. Kemampuan kognitif atau
kemampuan penalaran yang tinggi akan membantu siswa dapat belajar lebih baik
dari pada siswayang memiliki kemampuan kognitif sedang. Sedangkan Faktor
luar, yaitu faktor yang berasal dari luar diri siswa yang dapat mempengaruhi hasil
belajar siswa. Faktor Lingkungan: Lingkungan alam, yaitu kondisi alamyang
dapat berpengaruhterhadap prosesdan hasil belajar, Lingkungan social, baik yang
berwujud manusia atau yang lainyang langusung dapat mempengaruhi proses dan
hasil belajar. Faktor Instrumen, adalah faktor-faktor yang ada dan penggunaannya
dirancang sesuai dengan hasil belajar yang diharapkan. Faktor-faktor ini meliputi:
Kurikulum, Program yang jelas tujuannya, sasarannya, waktunya mudah
dilaksanakan, akan dapat membantu proses belajar. Sarana dan Fasilitas, keadaan
gedung dan tempat belajar, penerangan, ventilasi, tempat duduk dapat
mempengaruhi keberhasilan belajar. Sarana yang memadai akan membuat iklim
yang kondusif untuk belajar. Guru dan Tenaga Pengajar, kelengkapan jumlah
35
guru, cara mengajar, kemampuan, kedisiplinan yang dimiliki oleh setiap guru
dapat mempengaruhiproses dan hasil belajar siswa. Guru yang professional akan
mengembangkan kemampuannya melalui pendekatan. Pendekatan akan mampu
menciptakan suasana aktif sehinggatujuan yang direncanakan dapat tercapai.
Selanjutnya S.Edstin Liufeto (2012( (online)
repository .library.uksw.edu/ .../T2_ 832008014_ BAB%...) menulisakan bahwa,
Faktor-faktor internal yang mempengaruhi prestasi hasil belajar matematika yang
diraih oleh siswa adalah: Intelegensi. Fungsi intelegensi adalah kemampuan
untuk belajar di dalam situasi-situasi yang beraneka ragam, memahami dan
membandingkan fakta-fakta yang halus dan abstrak dengan cepat dan tepat,
memusatkan proses-proses mental terhadap masalah-masalah dan menunjukan
fleksibilitas dan kecerdikan dalam upaya mencari cara-cara penyelesaian;
Motivasi yakni, keseluruhan daya penggerak psikis dalam diri individu yang
menimbulkan kegiatan belajar, menjamin kelangsungan kegiatan belajar dan
memberikan arah pada kegiatan belajar demi mencapai suatu tujuan (Winkel,
1996); Sikap Siswa, yang bersikap positif terhadap pelajaran matematika
cenderung akan berusaha dan bekerja keras dalam mengerjakan tugas-tugas
matematika dan hal ini berkorelasi signifikan dengan prestasi yang dicapainya;
Self efficacy yakni, keyakinan seseorang akan kemampuan dirinya dalam
menjalankan suatu kegiatan. Keyakinan siswa terhadap pelajaran matematika,
akan berpengaruh dalam pencapaian prestasi hasil belajarnya; Minat, merupakan
salah satu faktor penunjang keberhasilan dalam proses belajar dan berpengaruh
besar terhadap pencapaian prestasi siswa. Kondisi fisik, yang menekankan pada
kesehatan siswa. (b) Faktor eksternal yakni: Guru yang merupakan unsur
manusiawi dalam pendidikan, Keluarg, pola pengasuhan orang tua dapat
mempengaruhi prestasi belajar anak. Oleh karena itu, hubungan yang baik dalam
keluarga perlu dikembangkan sehingga terjalin pengertian dan keharmonisan
dalam keluarga, Sekolah, yang mencakup metode guru mengajar, kurikulum,
hubungan guru dengan siswa, hubungan siswa dengan siswa, disiplin sekolah,
standar pelajaran dan keadaan gedung, Peer group, peran peer group terhadap
prestasi belajar sangat penting. Hal ini dikarenakan siswa mengembangkan self-
36
efficacy yang tinggi dan prestasinya dari observasi terhadap peer groupnya
terutama yang memiliki usia dan jenis kelamin sama.
8. Mitos Tentang Belajar Anak
Setelah mengetahui gaya belajar anak, agar proses belajar berhasil guru
dan orang tua perlu tahu pula sejumlah mitos yang selama ini diyakini
kebenarannya. Tetapi dengan paradigma baru, diharapkan guru dan orang tua bisa
membuat anak lebih nyaman belajar.
Menurut Munif Chatib, (2012:174), ada 8 (delapan) mitos tentang belajar
anak yaitu: (1) Anak belajar jika dia duduk tegak di belakang meja atau bangku
sekolahnya.Penelitian membuktikan bahwa banyak anak malah menghasilkan
kinerja lebih baik dalam lingkungan informal. Anak lebih senang belajardengan
menentukan sendiri gaya dan area belajar informal yang sesuai dengan kebutuhan
mereka. (2) Anak belajar jika berada dalam ruangan dengan cahaya terang
benderang dan mata mereka akan rusak jika belajar dengan penerangan yang
redup. Penelitian menunjukkan bahwa banyak anak punya kinerja belajar yang
lebih baik dalam ruangan dengan penerangan redup sedangkan sinar terang
membuat mereka gelisah, cemas dan hiperaktif. Sebaliknya penerangan redup
menenangkan dan membantu mereka merasa lebih santai dan dapat berpikir lebih
jernih, (3) Anak belajar dengan lebih intensif dan berhasil lebih baik saat belajar
dalam lingkungan yang sama sekali sunyi. Munif menyatakan, suatu penelitian
membuktikan bahwa banyak orang dewasa bahkan anak-anak sekolah dasar
berpikir dan mengingat dengan sangat baik ketika belajar diiringi dengan music,
(4) Anak memeplajari subjek-subjek sulit dengan sangat baik pada pagi hari
ketika mereka dalam kondisi paling waspada. Menurut Munif, penelitian
membuktikan bahwa ketika anak dibiarkan mempelajari konsep sulit dan
menyelesaikan soal tes pada waktu tertentu yang mereka sukai, maka perilaku,
motivasi dan prestasi mereka lebih baik, (5) Anak yang tidak bisa duduk diam
berarti tidak siap belajar. Banyak anak yang perlu bergerak saat belajar. Munif
Chatib ( 2012: 175) “ Ada penelitian yang mengungkapkan bahwa anak yang
banyak bergerak ketika sedang belajar dan dia dibiarkan bergerak dari satu tempat
ke tempat lain sambil menyerap informasi, ternyata secara statistic menyatakan
hasil yang lebih baik dari pada hanya duduk di kursi”, (6) Tidak boleh makan
37
pada saat pelajaran berlangsung. Ada banyak anak yang lebih bisa berkonsentrasi
ketika mereka sedang memakan atau menggigit atau minum sesuatu. Oleh karena
itu guru dan orangtua seharusnya memperhatikan bahwa anak-anak yang
mengunyah saat belajar terutama ketika mereka harus mendengarkan, merasa
bosan atau gugup dapat membantu mereka berkonsentrasi. Sebab otak mengalami
dehidrasi selama proses berpikir, sehingga anak membutuhkan makanan di
mulutnya, (7) Pelajaran efektif memerlukan tujuan yang dinyatakan dengan jelas
dan diikuti penejelasan langkah demi langkah terperinci dan berurutan hingga
anak benar-benar mengerti apa yang diajarkan. Bagi anak yang dominan pengaruh
otak kanan cenderung memahami konsep secara global terlbih dahulu baru
kemudian melengkapinya dengan fakta-fakta dan detail yang sanling
berhubungan. Sedangkan bagi anak yang dominan pengaruh otak kirinya akan
memperhatikan fakta-fakta terlebih dahulu kemudian menggunakan fkata-fakta itu
untuk mengmangkan konsep, (8) Instruksi yang ditujukan kepada seluruh
kelompok adalah cara terbaik dalam mengajar. Sebagian besar anak belajar
dengan baik di dalam sebuah tim atau kelompok, tetapi banyak pula yang lebih
menyukai belajar dengan cara berpasangan, sementara ada juga anak tertentu tidak
bisa berkonsentrasi dengan kebaradaan anak lain di sekelilingnya, bahkan ada
pula anak berbakat yang cenderung lebih suka belajar sendiri. Maka untuk itu
salah satu saran praktis dari Munif dalam membantu anak belajar adalah
“biarkan anak belajar dengan gaya belajarnya sendiri”.
2.1.2 USAHA-USAHA DALAM PENGAJARAN INDIVIDU
1. Memahami peserta didik Menurut Joyce dan Well (dalam Uno & Masri Kuadrat, 2014: 4), mengajar
adalah membantu peserta didik memperoleh informasi, ide , keterampilan, nilai,
cara berpikir, sarana untuk mengeks-presikan dirinya, dan cara-cara belajar
bagaiman belajar. Sedangkan pembelajaran adalah upaya untuk membelajarkan
perserta didik. Pemilihan, penetapan dan pengembangan metode didasarkan pada
kondisi pembelajaran yang ada. Kegiatan-kegiatan ini merupakan inti dari
perencanaan pembelajaran. Dalam hal ini istilah pembelajaran memiliki hakikat
perencaan atau perancangan (desain) sebagai upaya membelajarkan peserta didik.
38
Itulah sebabnya dalam belajar peserta didik tidak hanya berinteraksi dengan guru
sebagai salah satu sumber belajar, tetapi juga berinteraksi dengan keseluruhan
sumber belajar yang lain. Oleh karena itu dalam pembelajaran guru hendaknya
memberi perhatian pada “bagaimana membelajarkan peserta didik”, bukan pada
apa yang dipelajari peserta didik”.
Dengan demikian agar pembelajaran mencapai hasil yang optimal, maka
guru perlu memahami karakteristik setiap peserta didiknya, sehingga dalam
pembelajaran menempatkan peserta didik sebagai subjek bukan sebagai objek.
Menurut Piaget (dalam Santrok, 2011: 105) sejak lahir peserta didik mengalami
tahap-tahap perkembangan kognitif: (1) Sensorimotor, (2) Pra-operasional, (3)
Operasional-konkret dan (4) Operasional- Formal. Piaget meyakini bahwa
perkembangan kognitif terjadi dalam empat tahapan. Setiap tahapan
perkembangan kognitif tersebut mempunyai karateristik yang berbeda yang dapat
dijabarkan dalam tabel berikut:
TABEL 2.1
Tahapan Perkembangan Kognitif Menurut Piaget
Periode Usia Deskripsi perkembangan
1. 0-2 tahun
Membangun pemahaman tentang dunia dengan
mengoordinasikan pengalaman indra dengan
gerakan motor.
Pemgetahuan anak diperoeh melalui interaksi
fisik, baik dengan orang atau objek.
2.
2 - 7 tahun
Pemikiran simbolis meningkat, tetapi pemikiran
operasional belum ada.
Anak mulai menggunakan symbol-simbol untuk
merepresentas dunia (lingkungan) secara kognitif.
Symbol-simbol itu seperti: kata-kata dan bilangan
yang dapat menggantikan objek, peristiwa dan
kegiatan (tingkah laku yang tampak).
39
3.
7-11 tahun
Anak berpikir secara operasional dan penalaran
logis, menggantikan penalaran intuitif meski
hanya dalam situasi konkret.
Kemampuan klasifikasi sudah ada, tetapi belum
bisa memahami problem abstrak.
4. 11tahun-
dewasa
Pemikiran remaja lebih abstrak, idealistis dan
logis.
Remaja dapat mengambangkan hipotesis untuk
memecahkan problem dan menarik kesimpulan
secara sistimatis.
(a) Anak-anak berbakat (anak-anak unggul)
John, W, Santrock (2011: 251) mengatakan, “ anak berbakat punya (gifted)
kecerdasan di atas rata-rata (biasanya punya IQ di atas 130) dan/atau punya bakat
unggul di beberapa bidang, seperti seni, musik atau matematika”. Program untuk
anak berbakat di sekolah biasanya didasarkan pada kecerdasan dan prestasi
akademik.Namun belakangan ini kriteria ini diperluas dengan memasukkan
factor-faktor seperti kreativitas dan komitmen (Renzulli & Reis dalam Santrock
2011: 251).Selanjutnya menurut Castellano & Diaz (dalam Santrock) bahwa
beberapa kritikus mengatakan bahwa terlalu banyak anak dalam program anak
berbakat sebenarnya kurang berbakat dalam area tertentu tetapi hanya agak
cemerlang, biasanya kooperatif dan biasnya anak Kulit Putih non-Latino. Mereka
percaya bahwa sebutan brilian disematkan pada anak yang hanya punya
“kecerdasan normal”.Walaupun inteligensi umum tetap menjadi kriteria utama
dalam menentukan apakah seorang anak harus ditempatkan di program anak
berbakat atau tidak, kini mulai banyak pendukung pendapat bahwa kriteria itu
harus juga memasukkan mulitiple intelligence dari Gender.
(b) Karateristik anak berbakat
Ellen Winner (dalam Santrock, 2011: 251), mengemukakan tiga kriteria
menjadi ciri anak berbakat, yaitu: (*) Dewasa lebih dini (precodity). Anak
40
berbakat adalah anak yang dewasa sebelum waktunya apabila diberi kesempatan
untuk menggunakan bakat atau talenta mereka. Dalam banyak kasus, anak
berbakat dewasa lebih dini karena mereka dilahirkan dengan membawa
kemampuan di domain tertentu dengan harapan bahwa bakat ini tetap dipelihara
dan dipupuk sejak lahir. (*) Belajar menurut kemauan mereka sendiri. Anak
berbakat belajar secara berbeda dengan anak lain tak berbakat. Mereka tidak
membutuhkan banyak dukungan (scaffolding) dari orang dewasa sering kali
mereka tidak mau menerima instruksi yang jelas. Mereka suka memecahkan
masalah sendiri dengan cara yang unik di bidang yang menjadi bakat mereka.
Tetapi boleh jadi bahwa kemampuan mereka di bidang lain normal atau di atas
normal. (*) Semangat untuk menguasai. Anak yang berbakat tertarik untuk
memahami bidang yang menjadi bakat mereka. Mereka memperlihatkan minat
besar dan obsersi, kemampuan kuat focus serta punya motivasi internal yang kuat.
Selain ketiga karakteristik anak berbakat di atas, area keempat dimana mereka
unggul adalah keahlian dalam memproses informasi.Para peneliti telah
menemukan bahwa anak berbakat belajar lebih cepat, memproses informasi lebih
cepat, menggunkana penalaran dengan lebih baik, menggunakan strategi yang
lebih baik dan memantau pemahaman mereka dengan lebih baik ketimbang anak
yang tidak berbakat. Steven Ceci (dalam Santrock 2011: 253) mengatakan, hasil
studi Terman Klasik mengungkap kehidupan banyak anak suskes yang berbakat.
Banyak anak dalam studi Terman bukan hanya punya IQ tinggi saja, tetapi juga
berasal dari keluarga ke atas dimana orang tuanya memantau dan membimbing
prestasi mereka. Menurutnya kebanyakan anak berbakat tidak punya gangguan
emosional.
Selanjutnya Santrock (2011: 260) mengatakan, bahwa “anak berbakat
yang tidak merasa tertantang dapat menimbulkan problem di sekolah”. Banyak
anak berbakat berasal dari keluarga menengah ke atas dan orang tuanya punya
ekpektasi tinggi atas anak mereka dan mau membimbing anak mereka munuju
kesuksesan. Akan tetapi segelintir dari anak berbakat paling sukses dalam studi
Terman ini ternyata berasal dari keluarga menengah ke bawah. Jadi kesuksesan
dalam hidup bagi individu berbakat tidak harus selalu diiringi dengan kekayaan
keluarga (Santrock, 2011: 253).
41
(c) Mendidik anak berbakat
Roselli (dalam Santrock 2011: 253) mengemukakan, bahwa anak berbakat
yang tidak merasa tertantang dapat mengganggu, tidak naik kelas, dan kehilangan
semangat belajar untuk berprestasi. Menurutnya terkadang anak-anak ini suka
membolos, pasif dan apatis terhadap sekolah.
Hertzog (dalam Santrock 2011: 253) mengemukakan empat opsi program
untuk anak berbakat, yakni sebagai berikut: (a) Kelas khusus. Adalah cara yang
lazim untuk mendidik anak berbakat. Kelas khusus selama masa sekolah regular
dinamakan program “pull out”. Beberapa kelas khusus diselenggarakan setelah
sekolah regular atau di masa liburan. (b) Akselerasi dan pengayaan di kelas
regular. Program akselerasi adalah membindahkan murid secepat mungkin sesuai
dengan kemajuan mereka. Program akselerasi mencakup: masuk sekolah lebih
cepat, loncat kelas, mengikuti pelajaran tambahan atau pelajaran kursus lainnya
dan mengikuti penempatan kelas. Sedangkan pengayaan adalah memberi murid
kesempatan untuk mendapatkan pembelajaran yang tidak didapatkan di kurikulum
umum. Kesempatan pengayaan ini dapat disediakan di kelas regular melalui jam
tambahan, khusus, melalui guru khusus pendidikan anak berbakat, melalui studi
independen dan sebagainya. (c) Program mentor dan pelatihan. Beberapa pakar
percaya bahwa ini adalah cara penting yang jarang dipakai untuk memotivasi,
menantang dan mendidik anak berbakat secara efektif. (d) Kerja / studi dan / atau
program pelayanan masyarakat.
Munif Chatib (2012: 134), mengemukakan ciri-ciri bakat anak yakni,
aktivitas yang disukai tidak bisa dibatasi, bakat biasanya memunculkan banyak
momen special, merasa nyaman mempelajar aktivitas yang disuka, bakat itu fast
learner, bakat terus-menerus memunculkan minat untuk memenuhi kebutuhan
anak, bakat selalu mencari jalan keluar, bakat menghasilkan karya dan bakat
menjadikan anak menyukai unjuk penampilan.
Munif Chatib (2012: 131), juga mengemukakan ciri-ciri tindakan yang
dapat membunuh bakat anak, antara lain: larangan melakukan aktivitas yang
disukainya, selalu menyebut anak dengan sebutan negative, tidak memberikan
kebebasan untuk berekspresi kepada anak, hukuman yang tidak mendidik kepada
anak dan tekanan anak terhadap prestasi di sekolah.
42
Beberapa pakar merekomondasikan agar standar di kelas dinaikkan,
sehingga dapat membantu anak berbakat, walaupun program seperti mentoring
dan pelajaran tambahan mungkin diperlukan anak berbakat yang merasa tidak
tertantang. Ellen Winner (dalam Santrock, 2011: 254) mengatakan bahwa
seringkali anak-anak berbakat akan terisolasi secara social dan tidak mendapat
tantangan yang berarti di kelas. Mereka kerap diejek dan dijuluki “kutu buku”
atau ‘orang aneh” (Silverman, 1993).
2. Pembelajaran IndividualPengajaran individual akan senantiasa merupakan masalah yang menarik
perhatian para pendidik. Sebab setiap anak berbeda termasuk gaya belajar dan
tingkat kepercayaan diri/efikasi diri atau dalan tulisan ini di istilahkan sebagai
self-effcacy. Jangankan dalam satu garis keturunan, dua anak lahir kembarpun
terdapat perbedaan. Apalagi yang tidak ada hubungan keluarga. Oleh karena
itulah, setiap anak didik berbeda. Oleh karena itu macam-macam usaha yang telah
dijalankan untuk memenuhi perbedaan individual dalam proses belajar mengajar.
Pengajaran tradisional menitikberatkan pada pengajaran klasikal. Guru
mengajarkan bahan yang sama, dengan metode yang sama dan penilaian yang
sama kepada semua siswa, dan dianggap akan menghasilkan hasil yang sama bagi
semua siswa. Tetapi sekolah-sekolah modern berpandangan sebaliknya. Dianggap
suatu kekeliruan bila ada pandangan bahwa dua atau lebih individu yang belajar
dengan materi yang sama, tempat dan waktu yang sama, akan memperoleh hasil
yang sama. Mereka perpandangan bahwa kendatipun guru mengajar suatu kelas
yang sama namun yang melakukan belajar adalah individu-individu itu sendiri.
Diakui bahwa antara individu-individu terdapat kesamaan, akan tetapi lebih
banyak perbedaannya. Itu sebabnya tidak mungkin kita menuntut hal yang sama
kepada semua siswa. Hamalik (2010: 179) mengatakan bahwa, “ Guru sewajarnya
memperhatikan cara belajar yang dilakukan oleh individu di samping
memperhatikan bahan ajar dan kegiatan-kegiatan belajar lainnya”.
Setiap individu terlahir berbeda satu sama lain. Perbedaan tersebut
terwujud dalam bentuk perbedaan fisik, sifat, perilaku, kebiasaan-kebiasaan dan
lain sebagainya. Perbedaan-perbedaan tersebut berdampak terhadap proses
pembelajaran di kelas yang mereka ikuti. Oleh sebab itu sebagai tenaga pendidik
43
atau guru diharapkan mampu mengerti dan memahami bentuk-bentuk perbedaan
ysng dimiliki peserta didiknya.Sebab bagaimanapun juga pembelajaran yang
efektif dan efisien adalah pembelajaran yang berfokus pada siswa (Irham &
Wiyani, 2013: 66).
Perbedaan individu dalam pendidikan dan pembelajaran menjelaskan
perbedaan-perbedaan yang berkaitan dengan perbedaan siswa dalam berpikir,
berperasaan dan bertindak dalam satu kelas. Hal ini sangat penting dikaji dan
dipahami oleh guru, sebab salah satu karakteristik pembelajaran yang efektif
adalah proses pembelajaran yang memperhatikan dan merespon kebutuhan siswa.
Sebaliknya proses pembalajran akan terlaksana dengan baik apabila guru mampu
mengerti, memahami dan memperhatikan perbedaan-perbedaan siswa dalam hal
kemampuan (ability), kesiapan dan kematangan (maturity) dan kecepatan
belajarnya. Menurut Suryasubroto (dalam Irham & Wiyani, 2013: 67),
ketidakmampuan guru melihat dan memperhatika perbedaan-perbedaan individu
dalam kelas selama proses pembelajaran banyak membawa kegagalan dalam
proses pembelajaran.
Menurut Hamalik (2010: 186), berbagai cara dapat dilakukan oleh guru
untuk melayani perbedaan individual dalam proses belajar mengajar di sekolah,
antara lain: (a) Akselerasi dan program tambahan. Akselerasi: memberikan
kesempatan kepada siswa bersangkutan untuk naik ke tingkatan kelas berikutnya
lebih cepat (doble promotion) satu atau dua kali sekaligus. Program tambahan:
kepadanya (siswa) diberikan tugas-tugas tambahan di dalam setiap tingkatan
kelas. (b) Pengajaran individual. Ada beberapa jenis pengajaran individual, yaitu:
setiap individu mendapat tugas: pengajaran dan evaluasi dilakukan terhadap
setiap individu, kelas dibagi menjadi beberapa kelompok kecil yang diberi
pengajaran kelompok dan tugas-tugas secara okassional: evaluasi dilakukan
dalam bentuk tes kelompok, setiap siswa maju dengan kecepatan sendiri tapi
masing-masing mempunyai dasar yang sama, yang dilengkapi dengan tugas
tahunan dalam suatu mata pelajaran. Dalam hal ini masing-masing siswa
menyelesaikan tugasnya dalam waktu yang berbeda tergantung pada
kemampuannya. (c) Pengajaran unit. Siswa dibagi menjadi beberapa kelompok
kecil. Tiap individu mendapat tugas sesuai dengan minat dan kemampuannya.
44
Kelompok-kelompok tersebut saling bertukar pengalaman, dan hasil kerja
perorangan pada akhirnya menjadi hasil kerja kelompok dan selanjutnya hasil
kerja kelompok menjadi hasil kerja kelas. (d) Kelas khusus bagi siswa yang
cerdas. Kelas-kelas khusus ini dapat dibentuk baik pada awal tahun pelajaran
berdasarkan hasil tes inteligensi maupun pada akhir tahun sebagai persiapan ke
tahun ajaran berikutnya. (e) Kelas remidi bagi para siswa yang lamban. Para
siswa yang lamban dalam satu atau beberapa mata pelajaran yang sama
dikelompokkan dalam satu kelompok untuk memperoleh bimbingan secara
khusus supaya dapat setingkat dengan siswa laninnya pada mata pelajaran
tersebut. (f) Pengelompokkan berdasarkan abilitas. Kelas dibagi menjadi tiga
kelompok, yaitu kelompok kurang, kelompok sedang dan kelompok pandai.
Berdasarkan kelompok-kelompok abilitas tersebut, guru berkesempatan untuk
menyesuaikan dan mendiferensiasikan bahan pelajaran dan metode mengajar
sesuai dengan individu. (g) Pengelompokan informal (kelompok kecil dalam
kelas). Kelas dibagi dalam beberapa kelompok. Pembentukan kelompok ini
berdasarkan pilihan siswa sendiri. Dalam kelompok ini siswa bekerja dan belajar
lebih menyenangkan dan merangsang. Tugas dikerjakan dalam kelompok dan
guru hanya bertindak sebagai konsultan jika dibutuhkan dan bergerak dari satu
kelompok ke kelompok lain. (h) Supervise periode individualisasi. Metode
adalah suatu periode dimana masing-masing siswa diberi kesempatan membaca
buku yang berbeda atau mengerjakan hal-hal lain dalam mata pelajaran tertentu
sesuai dengan kebutuhan individu dengan bimbingan atau supervisi guru. Dalam
periode ini memungkinkan guru menyesuaikan masalah dan juga memberi
bantuan secara tepat kepada setiap siswa sesuai dengan kebutuhan individu/siswa
tersebut. (i) Memperkaya dan memperluas kurikulum. Siswa yang tergolong
cerdas perlu mendapat kesempatan untuk lebih berkembang sesuai dengan tingkat
inteligensinya dan abilitasnya. Prosedur yang dapat ditempuh adalah memberikan
program tambahan atau memperluas ruang lingkup materi pelajaran yang telah
ada. (j) Pelajaran pilihan (Elective Subjects). Di samping adanya pendidikan
umum untuk semua siswa, hendaknya kurikulum menyediakan sejumlah mata
pelajaran pilihan dalam rangka special interest education.Para siswa dapat
memilih satu atau lebih mata pelajaran yang menarik minatnya dan sesuai dengan
45
kemampuannya. (k) Diferensial pemberian tugas dan pemberian tugas yang
fleksibel. Tugas-tugas diberikan kepada siswa baik untuk menyapaikan
pengetahuan maupun untuk pembentukan keterampilan atas dasar kebutuhan dan
minat siswa. (l) Sistim tutorial (Tutoring system). Suatu system dalam
memberikan bimbingan kepada siswa, terutama kepada siswa yang mengalami
kesulitan tertentu (m) Pelajaran padat. Pelajaran padat diberikan pada waktu
libur. Tujuannya untuk memberikan pelajaran tambahan bagi siswa yang dinilai
cerdas agar dia dapat maju sesuai dengan kesanggupannya. Sedangkan bagi siswa
yang lambat diberikan bimbingan tambahan agar dapat memperbaiki pestasinya.
(n) Bimbingan individual. Bimbingna individual sangat diperlukan bagi siswa
yang laban dan bagi siswa yang mengalami kegagalan belajar. (k) Modifikasi
metode-metode mengajar.
Dengan demikian untuk melayani individual siswa, dapat dilakukan
dengan cara mengadakan perubahan dalam cara-cara mengajar. Slameto
(2010: 46) mengemukakan, bahwa individualitas yang baik harus memiliki
ciri-ciri sebagai berikut: perbedaa-perbedaan vertical, yakni manusia dapat
diklasifikasikan menurut garis naik maupun garis turun, secara jasmaniah
maupun secara mental. Perbedaan mental ialah: inteligensi, kesanggupan
menanggapi sesuatu, kesanggupan memahami bilangan, ingatan, pemikiran
induktif dan lain sebagainya dan Perbedaan-perbedaan kualitatif, yakni:
Perbedaan mengenai kecekatan dan perhatiannya, cara kerja, kecenderungan
terhadap soal-soal intelektual, hal-hal yang estetis dan lain sebagainya.
Kemudian menurutnya, perkembangan prinsip individualitas ini dapat dilihat
pada beberapa hal berikut: Pelaksanaan tugas secara individual, cara
melakukaannya berbeda-beda, Pengelompokkan yang homogen dalam
beberapa taraf, misalnya berdasarkan IQ, MA dan EA (IQ = Intelligence
Quotient, MA = Mental Age, EA = Educational Age), Rencana yang
ditentukan dengan beberapa taraf memungkinkan pilihan yang fleksibel,
pengajaran individual, unit yang besar dengan aktivitas dan pengalaman yang
mungkin ada diantara unit itu, usaha-usaha individual.
Perbedaan individual menunjukkan pada banyaknya variasi dan
variabilitas dari perbedaan-perbedaan yang dimiliki individu. Oemar Hamalik
46
(dalam Irham &Wiyani, 2013: 77), mengemukakan bentuk-bentuk perbedaan
individu yang sering dikaji sehingga perlu diperhatikan dalam pembelajaran,
antara lain: kecerdasan (intelligence), bakat (aptitude), keadaan jasmaniah
(phycical fitness), penyesuaian social dan emosional (social and emotional
adjustment), latar belakang keluarga (home background), hasil belajar (academic
achievement), siswa yang cepat dan lambat dalam belajar atau dapat dikatakan
sebagai gaya belajar siswa, siswa yang mengalamai kesulitan-kesulitan jasmani,
berbicara dan menyesuaikan diri secara social.
Menurut Hartinah (2008: 96), bahwa ciri individu yang memiliki identitas
diri yakni individu tersebut memiliki karakteristik seperti: konsep diri (sel-
concept), Evaluasi, harga diri (self-esteem), efikasi diri (self-effcacy), percaya
diri (self-confidence), tanggungjawab (respon sibility), komitmen pribadi
(commitment), ketekunan (endurance), kemandirian (independence)
Dari berbagai perbedaan yang dikemukakan di atas, Djamarah (2011: 83),
mengklasifikasikannya menjadi tiga aspek, yakni: (1) Perbedaan biologis; atas
dasar pertimbangan perbedaan biologis ini, guru dapat mengambil kebijakan
dalam hal-hal: pendirian gedung, jadwal kegiatan, tempat duduk anak didik.
Pengelompokkan anak didik, pelaksanaan pembelajaran. (2) Perbedaan
intelektual; Intelektual merupakan salah satu aspek yang selalu actual untuk
dibicarakan dalam dunia pendidikan, karena inteligensi adalah unsur yang ikut
mempegaruhi keberhasilan belajar anak didik. Menurut Djamarah, inteligensi itu
adalah suatu kecakapan yang teridiri dari tiga jenis yaitu, a) Kecakapan untuk
menghadapi dan menyesuaikan ke dalam situasi baru dengan cepat dan efektif, b)
kemampuan untuk menggunakan konsep yang abstrak secara efektif dan c)
kemampuan untuk memahami hubungan dan mempelajarinya dengan cepat.
Dalam rangka mengetahui tinggi rendahnya inteligensi seseorang dikembangkan
dengan instrument yang dikenal dengan istilah “Tes inteligensi” dan gambaran
tentang hasil pengetesan dikenal dengan “kuosien inteligensi” (Inteligence
Quotient disingkat dengan IQ).
Berdasarkan hasil bagi inteligensi, maka hasil bagi yang diperoleh dari
pembagian umur kecerdasan dengan umur sebenarnya, yang menunjukkan
kesanggupan rata-rata kecerdasan seseorang adalah sebagai berikut:
47
1. Luar biasa: IQ di atas 140
( jenius)
2. Pintar (begaaf): 110 – 140
3. Normal (biasa): 90 – 110
4. Kurang pintar : 70 – 90
5. Bebal (debil) : 50 – 70
6. Dungu (imbicil) : 30 – 50 7. Pusung (idiot) : di bawah 30
Perbedaan individual dalam bidang intelektual ini perlu guru ketahui dan pahami,
terutama dalam hubungannya dengan pengelompokkan anak yang kecerdasannya
setingkat dengannya, tetapi perlu dimasukkan ke dalam kelompok anak yang
cerdas. Dengan harapan agar anak yang kurang cerdas itu terpacu untuk lebih
kreatif, ikut terlibat langsung dengan motivasi yang tinggi dalam bekerja sama
dengan kawan-kawan sekolompok dengannya. Menurut Djamarah (2011: 91),
dalam pengelolaan pengajaran, aspek perbedaan individual ini perlu mendapatkan
pertimbangan dari pengelolaan pendidikan dan pengajaran. Ia menegaskan bahwa,
“Kesukaran menciptakan interaksi edukatif yang kondusif disebabkan
ketidakpedulian guru terhadap perbedaan intelektual anak didik dalam
pengelolaan pengajaran”. (3) Perbedaan psikologis; di sekolah, perbedaan aspek
psikologi ini tidak dapat dihindari, karena pembawaan dan lingkungan anak yang
berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Dalam pengelolaan pengajaran
aspek psikologi ini sering menjadi ajang persoalan, terutama yang menyangkut
masalah minat dan perhatian anak didik terhadap bahan pelajaran yang diberikan
oleh guru. Persoalan psikologi ini memang sangat kompleks. Sebab menyangkut
apa yang ada di dalam jiwa dan perasaan anak didik. Meski ditemukan kesulitan
untuk memahami fenomena jiwa anak didik, namun bukan berarti tidak ada cara
lain untuk memahaminya, walau tidak seluruhnya. Paling tidak tindakan yang
dapat dilakukan guru adalah mengadakan pendekatan kepada anak didik secara
pribadi. Dengan cara ini hubungan guru dengan anak didik akrab, sehingga guru
dapat lebih mengenal siapa anak didik sebagai individu. Perbedaan psikologi ini
dapat dimanfaatkan oleh guru dalam pengelolaan kelas, seperti penempatan anak
pada tempat duduk dan dalam membentuk kelompok anak.
3. Prinsip Individualitas
Salah satu masalah utama dalam pendekatan belajar mengajar adalah
masalah perbedaan individual. Setiap guru memahami bahwa tidak semua murid
48
dapat mempelajari segala apa yang ingin dicapai oleh guru. Dan biasanya
perbedaan individual itulah yang dijadikan kambing hitam. Daryanto(2013: 201),
mengatakan “Jarang sekali guru menjelaskan bahwa ketidakmampuan murid
dalam belajar itu merupakan akibat dari kelemahan guru dalam mengajar”.
Menurut Bloom (dalam Daryanto, 2013: 201) jika guru memahami
persyaratan kognitif dan ciri-ciri sikap yang diperlukan untuk belajar oleh peserta
didik, dapat diharapkan sebagian besar perserta didik akan dapat mencapai taraf
penguasaan sampai 75% dari yang diajarkan. Oleh sebab itu hendaknya guru
mampu menyesuaikan proses belajar mengajar dengan kebutuhan-kebutuhan
peserta didik secara individual tanpa harus mengajar peserta didik secara
individual.
Mengingat adanya perbedaan-perbedaan tersebut, maka menyamaratakan
semua peserta didik ketika mengajar secara klasikal pada hakikatnya kurang
sesuai dengan prinsip individualitas. Setidak-tidaknya guru harus menyadari
bahwa setiap individu peserta didik memiliki perbedaan. Oleh karena itu guru
hendaknya menyadari dan memaklumi apabila ada peserta didik yang cepat
menerima dan memahami pelajaran yang diberikan dan sebaliknya ada juga
peserta didik yang lemah atau lamban dalam menerima pelajaran bahkan perlu
bimbingan khusus dari guru.
Pengajaran individual bukanlah semata-mata pengajaran yang hanya
ditujukan kepada seorang saja, melainkan dapat saja ditujukan kepada
sekelompok peserta didik atau kelas. Namun mengakui dan melayani perbedaan-
perbedaan peserta didik, sehingga pengajaran memungkinkan berkembangnya
potensi masing-masing peserta didik secara optimal.
Oleh sebab itu, Johon W. Santrock (2011: 487), berpendapat bahwa
pertimbangan perbedaan individual anak merupakan salah satu landasan
pendidikan yang efektif. Menurutnya ada tiga prinsip learner-centered
(pembelajaran yang berpusat pada peserta didik), yakni, a) Perbedaan individual
dalam pembelajaran. Anak punya strategi yang berbeda, pendekatan yang
berbeda dan kemampuan berbeda untuk belajar. Perbedaan ini adalah akibat dari
pengalaman dan herditas (heredity). Anak dilahirkan dengan kemampuan yang
bisa dikembangkan. Melalui pengalaman mereka akan memilih senidri cara untuk
49
belajar dan langkah yang diambil dalam belajar. Akan tetapi preferensi ini tidak
selalu bermanfaat bagi anak untuk mencapai mencapai tujuan pembelajaran
mereka. Guru perlu mengkaji preferensi belajar anak dan mengembangkannya
atau memodifikasinya, b) Pembelajaran dan diversitas. Pembelajaran akan lebih
efektif jika perbedaan bahasa, kultural dan latar belakang social murid ikut
diprtimbangkan. Ketika anak menganggap bahwa perbedaan individual dalam
kemampuan dan latar belakang mereka dihargai dan diakomodasi, motivasi dan
prestasi mereka biasanya bertambah, c) Standard dan penilaian. Menentukan
standar yang tinggi dan menantang serta menilai kemajuan pembelajaran dan
siswa adalah bagian integral dari proses pembelajaran. Pembelajaran yang efektif
terjadi ketika murid ditantang untuk berkeja meraih tujuan yang tinggi dan tepat.
Jadi penilaian kekuatan dan kelemahan kognitif anak, pengetahuan dan
ketrampilannya adalah aspek penting dalam memilih materi instruksional yang
optimal.
2.1.3 MATEMATIKA
1. Apa dan Mengapa Matematika Begitu Penting?
Hudojo (2005:37) Matematika adalah suatu alat ukur untuk
mengembangkan cara berpikir. Karena itu Matematika sangat diperlukan baik
untuk kehidupan sehari-hari maupun dalam menghadapi kemajuan IPTEK,
sehingga Matematika perlu dibekalkan kepada setiap peserta didik. Menurutnya
defenisi tentang Matematika hingga sekarang ini belum merupakan defenisi
tunggal. Hal ini terbukti adanya beberapa defenisi Matematika yang belum
mendapat kesepakatan diantara para matematikawan, karena pengetahuan dan
pandangan dari para ahli berbeda-beda. Selanjutnya Hudojo berpendapat bahwa
Matematika itu berkenaan dengan gagasan berstruktur yang hubungan-
hubungannya diatur secara logis. Hal ini berarti Matematika bersifat sangat
abstrak, yaitu berkenaan dengan konesp-konsep abstrak dan penalaran deduktif.
Pengertian Matematika menurut Pustaka Sekolah (online) http://www.
pustakasekolah.com/pengertian-matematika.html, mengemukakan bahwa
Matematika adalah ilmu yang mempelajari tentang perhitungan, pengkajian dan
menggunakan nalar atau kemampuan berpikir seseorang secara logika dan pikiran
50
yang jernih. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2011: 313), “Matematika
adalah ilmu tentang bilangan-bilangan, hubungan antara bilangan-bilangan, dan
prosedur operasional yang digunakan di penyelesaian masalah mengenai
bilangan”. Nawi (2012 : 9), menyatakan Matematika adalah ilmu tentang
bilangan, hubungan antar bilangan dan prosedur operasional yang digunakan
untuk menyelesaikan masalah mengenai bilangan dengan objek abstrak yang
diatur secara logis yang didapat dengan berpikir.
Dari berbagai pandangan dan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa
Matematika adalah suatu bidang ilmu yang merupakan alat komunikasi yang
singkat dan tidak ambigius, alat berpikir serta mempelajari sistim lambang
bilangan yang formal, konsep-konsep abstrak, perhitungan, gagasan berstruktur
dan prosedur operasional yang digunakan untuk memecahkan berbagai persoalan
praktis, dengan menggunakan penalaran deduktif dan kemampuan berpikir secara
logis.
Fadjar Shadiq (2014: 3) mengemukakan bahwa, sejak masa-masa lalu dan
sampai sekarang tidak sedikit orang tua dan orang awam yang beranggapan bahwa
Matematika dapat digunakan untuk memprediksi keberhasilan seseorang. Menurut
mereka, jika seorang siswa berhasil mempelajari Matematika dengan baik, maka
ia diprediksi akan berhasil juga mempelajari mata pelajaran lain. Begitu juga
sebaliknya, seorang anak yang kesulitan mempelajari Matematika akan kesulitan
juga mempelajari mata pelajaran lain. Peran penting Matematika diakui Cockcroft
(1986), yang menulis: if would be very difficult-perhaps impossible-to livea
normal life in very many parts of the world in the twentieth century without
making usu of Mathematics of some kind”. Akan sangat sulit atau tidaklah
mungkin bagi seseorang untuk hidup di bagian bumi pada abad ke-20 ini tanpa
sedikitpun memanfaatkan Matematika.
Selanjutnya National Research Counsil atau NRC (1989) dan Amerika
Serikat (dalam Fadjar Shadiq, 2014: 3) menyatakan betapa pentingnya
Matematika dengan suatu pernyataan “Mathematics is the key to opportunity”
Matematika adalah kunci ke arah peluang-peluang. Menurut mereka bagi seorang
siswa keberhasilan mempelajarinya akan membuka pintu karier yang cemerlang.
Bagi para warga negara, Matematika akan menunjang pengambilan keputusan
51
yang tepat. Bagi suatu negara, Matematika akan menyiapkan warganya untuk
bersaing dan berkompetisi di bidang ekonomi dan teknologi. Menurut Fadjar
Shadiq, bangsa dan pemerintah Indonesia harus memanfaatkan Matematika agar
bangsa ini dapat ikut berperan aktif dalam persaingan global. Oleh sebab itu
pembelajaran Matematika harus diperhatikan dan memanfaatkan kelebihan
Matematika ini bukan hanya menjadi saringan untuk masa depan peserta didik
tetapi juga ikut aktif dalam persaingan global.
Mengingat begitu pentingnya Matematika bagi setiap individu, masyarakat
dan bangsa maka itulah salah satu alasan mengapa penulis memilih untuk meneliti
hasil belajar Matematika sebagai salah satu variabel dalam penelitian ini.
2. Hakekat Melajar Matematika
Setelah melihat pandangan dan pengertian Matematika di atas, maka
muncul pertanyaan, apa yang menjadi hakekat belajar Matematika? Uno
(2011: 130) mengatakan “Hakekat belajar Matematika adalah suatu aktivitas
mental untuk memahami arti dan hubungan-hubungan serta symbol-simbol
dan kemudian diterapkan pada situasi nyata”. Menurutnya Schoenfeld
(1985) mendefinisikan bahwa belajar Matematika berkaitan dengan apa dan
bagaimana menggunakannya dalam membuat keputusan untuk
menyelesaikan masalah. Matematika melibatkan pengamatan, penyelidikan
dan keterkaitannya dengan fenomena fisik dan social. Oleh sebab itu, maka
belajar Matematika merupakan suatu kegiatan yang bekenaan dengan
penyelesaian himpunan-himpunan dari unsur Matematika yang sederhana
dan merupakan himpunan-himpunan baru dan selanjutnya membentuk
himpunan baru yang lebih rumit. Dengan demikian belajar Matematika
harus dilakukan secara hirarkis.
Kemudian Cockroft (dalam Uno, 2011: 129) menjelaskan mengapa
Matematika perlu diajarkan. Hal ini disebabkan karena (1) Matematika
sangat dibutuhkan dan berguna dalam kehidupan sehari-hari, bagi sains,
perdagangan dan industri, (2) Karena Matematika menyediakan suatu
daya, alat komunikasi yang singkat dan tidak ambigius, dan (3) karena
Matematika sebagai alat untuk mendeskripsikan dan memprediksi.
52
Menurut Uno, Matematika mencapai kekuatannya melalui symbol-
simbolnya, tata bahasa dan kaidah bahasa (syntax) pada dirinya, dan
mengembangkan pola berpikir kritis, aksiomatik, logis dan deduktif.
Wijaya (2012: 14) mendukung penadapat ini dengan pernyataan bahwa,
pemikiran Matematika adalah sebagai suatu kemampuan berpikir yang
berkaitan dengan kemampuan dalam menggunakan penalaran untuk
membangun argumen matematis, kemampuan mengembangkan strategi
atau metode, pemahaman konten Matematika serta kemampuan
mengkomunikasikan gagasan. Menurut Katagiri sebagaimana dikutip
kembali oleh Wijaya, bahwa kemampuan berpikir Matematis merupakan
factor yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan pengetahuan,
tentang penerapan pengetahuan dan keterampilan serta mampu
memunculkan kemampuan untuk belajar mandiri. Maka mengingat
pentingnya kemampuan berpikir matematis, Stacey menegaskan perlunya
menempatkan kemampuan berpikir matematis sebagai tujuan
pembelajaran dan sekaligus sebagai suatu cara untuk pembelajaran
Matematika (a way of learning mathematics).
Uno (2011: 130) mengemukakan bahwa seseorang akan merasa
mudah menyelesaikan masalah dengan bantuan Matematika, dengan
alasan: (1) ilmu Matematika memberikan kebenaran berdasarkan alasan
logis dan sistimatis, (2) proses kerja Matematika dilalui secara berurut
yang meliputi tahap observasi, menebak, menguji hipotesis, mencari
analogi, dan akhirnya merumuskan teorema-teorema, (3) Matematika
memiliki konsep struktur dan hubungan-hubungan yang banyak
menggunakan symbol-simbol. Symbol-simbol ini penting dalam
memanipulasi aturan-aturan yang berlaku dalam struktur dan sebagai
fasislitas komunikasi dalam mendapatkan sejumlah informasi sehingga
akhirnya dapat dibentukk suatu konsep baru dan (4) Bahasa Matematika
merupakan bahasa yang paling universal karena symbol Matematika
memiliki makna yang sama untuk berbgai istilah dari bahasa yang
berbeda, misalnya ketika kita berkata tiga tambah lima sama dengan
delapan, maka hanya orang yang memahami bahasa Indonesia saja yang
53
memahami kalita tersebut, sedangkan ketika kita tuliskan sebagai 3 + 5 =
8, maka setiap orang dengan pengetahuan bahasa yang berbeda pasti dapat
memahami kalimat tersebut.
Fadjar Shahiq (2014: 8) mengemukakan bahwa, di masa kini dan di
masa yang akan datang, diera komunikasi dan teknologi canggih,
dibutuhkan para pekerja cerdas (smarter) dari pada pekerja keras (harder).
Dibutuhkan para pekerja yang telah disiapkan untuk mampu mencerna ide-
ide baru (absorb new ideas), mampu menyesuaikan terhadap perubahan (to
adapt to chage), mampu menangani ketidakpastian (cope with ambiguity),
mampu menemukan keteraturan (perceive patterns) dan mampu
memecahkan masalah yang tidak lazim (solve unconventional problems).
Untuk mencapai hal-hal tersebut di atas, Da Lange (2004) seperti
dikutip kembali oleh Fadjar Shahid, mengemukakan beberapa kompetensi
atau kemampuan yang harus dipelajari dan dikuasai para peserta didik
selama proses pembelajaran Matematika di kelas yakni: berpikir dan
bernalar secara matematis (mathematical thinking and reasoning),
berargumentasi secara matematis (mathematical argumentation) dalam arti
memahami pembuktian, mengetahui bagaimana cara membuktikan,
mengikuti dan menilai rangkaian argumentasi, memiliki kemampuan
menggunakan heuristics (strategi) dan menyususn arguemantasi,
berkomunikasi secara matematis (mathematical communication),
pemodelan (modelling), menyusun model Matematika dari suatu keadaan
atau situasi, menginterpretasikan model Matematika dalam konteks lain
atau pada kenyataan sesungguhnya, penyusunan dan pemecahan masalah
(problem posing and solving), representasi (representation), symbol
(symbols), menggunakan bahasa dan operasi yang menggunakan symbol
baik formal maupun teknis, alat dan teknologi (tools and technology),
menggunakan alat bantu dan alat ukur termasuk menggunakan dan
mengaplikasikan tekonologi. Dalam peraturan lampiran Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional (Permendiknas) No. 20 tahun 2006 tentang Standar
Isi (dalam Wijaya , 2012: 16) mengemukakan bahwa, pembelajaran
Matematika bertujuan supaya siswa memiliki kemampuan: memahami
54
konsep Matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan
mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes, akurat dan tepat
dalam menyelesaikan masalah, menggunakan penalaran pada pola dan
sifat, melakukan manipulasi Matematika dalam membuat generalisasi,
menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan Maematika,
memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,
merncang model Matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan
solusi yang diperoleh, mengomunikasikan gagasan dengan symbol, tabel,
diagram atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah, dan
memiliki sikap mengahargai kegunaan Matematika dalam kehidupan yaitu
dengan memiliki rasa ingin tahu, perhatian dan minat dalam mempelajari
Matematika, sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
Selanjutnya tujuan pembelajaran Matematika yang dituntut dalam
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) adalah: melatih cara berpikir dan
bernalar dalam menarik kesimpulan, misalnya melalui kegiatan
penyelidikan, eksplorasi, eksperimen, menunjukkan kesamaan, perbedaan,
konsisten dan inkonsistensi, mengembangkan aktivitas kreatif yang
melibatkan imajinasi, intuisi dan penemuan dengan mengembangkan
pemikiran diverger, orisinal, rasa ingin tahu, membuat prediksi dan
dugaan, serta mencoba-coba, mengembangkan kemampuan pemecahan
masalah dan mengembangkan gagasan antara lain melalui pembicara lisan,
catatan, grafik, peta, diagram, dan menjelaskan gagasan.
Menurut Robert Gagne (dalam Uno: 2011) ada delapan tipe belajar
yang dilakukan secara prosedural atau hierarki dalam belajar Matematika,
yakni: (1) Belajar sinyal/isyarat(signal learning), adalah kegiatan belajar
yang terjadi secara tidak disadari, sebagai akibat adanya suatu stimulus
tertentu. Sebagai contoh, jika seorang siswa mendapatkan komentar
bernada positif dari guru Matematika, maka secara tidak langsung siswa
itu akan cenderung menyukai pelajaran matematika. (2) belajar stimulus
respon (stimulus-respons learning), adalah kegiatan belajar yang terjadi
secara disadari, yang berupa dilakukannya suatu kegiatan fisik sebagai
suatu reaksi atas adanya suatu stimulus tertentu. (3) Belajar merangkai
55
tingkah laku/rangkaian gerakan (behavior chaining learning), merupakan
kegiatan yang terdiri atas dua gerakan fisik atau lebih yang dirangkai
menjadi satu secara berurutan, dalam upaya untuk mencapai sesuatu tujuan
tertentu. (4) Belajar asosiasi verbal/Rangkaian verbal (verbalchaining
learning), merupakan kegiatan merangkai kata-kata atau kalimat-kalimat
secara bermakna. Misalnya kegiatan mendeskripsikan sifat-sifat suatu
bangun geometri, kegiatan menyebutkan nama benda-benda tertentu, dan
sebagainya. (5) Belajar diskriminasi/Belajar membedakan (discrimination
learning), merupakan kegiatan mengamati perbedaan antara sesuatu objek
yang satu dengan sesuatu objek yang lain, misalnya membedakan lambang
‘3’ dengan lambang ‘8’, membedakan bilangan bulat dengan bilangan
prima, dan sebagainya. (6) Belajar konsep (concept learning), merupakan
kegiatan mengenali sifat yang sama yang terdapat pada berbagai objek
atau peristiwa, dan kemudian memperlakukan objek-objek atau peristiwa
itu sebagai suatu kelas, disebabkan oleh adanya sifat yang sama tersebut.
(7) Belajar aturan (rule learning). Contoh aturan dalam Matematika antara
lain: Untuk sembarang dua bilangan real a dan b berlaku a x b = b x a, dan
masih banyak aturan lain dalam Matematika. (8) Pemecahan masalah
(problem solving learning), merupakan kegiatan belajar yang paling
kompleks. Untuk dapat memecahkan suatu masalah, seseorang
memerlukan pengetahuan-pengetahuan dan kemampuan-kemampuan yang
ada kaitannya dengan masalah tersebut. Pengetahuan dan kemampuan
tersebut harus diramuskan dan diolah secara kreatif dalam rangka
memecahkan masalah yang bersangkutan.
Dari uraian di atas, menunjukkan bahwa betapa pentingnya
mempelajari Matematika pada setiap jenjang pendidikan dalam menata
kemampuan berpikir para peserta didik atau para siswa.
3. Karakteristik Matematika
Setelah melihat mengetahui betapa pentingnya Matematika dalam
kehidupam setiap individu, maka sekarang muncul pertanyaan, apa yang
menjadi karakteristik berpikir secara Matematis, sehingga hasil belajar
56
Matematika menjadi fokus dalam penelitian ini. Nesher (dalam Uno, 2011:
130) memberikan konsep karakteristik dari Matematika adalah terletak
pada kekhususannya dalam mengkomunikasikan ide Matematika melalui
bahasa numerik. Sebab dengan bahasa numeric ini memungkinkan
seseorang dapat melakukan pengukuran secara kuantitaif. Sedangkan
kekuantitifan dari Matematika tersebut dapat memberikan kemudahan bagi
seseorang dalam menyelesaikan masalah, sehingga Matematika selalu
memberikan jawaban yang lebih bersifat eksak dalam menyelesaikan
masalah. Kemudian sistim Matematika adalah konsisten terhadap dirinya
dan bebas dari kontradiksi terdahap dirinya. Maka karakteristik
pendekatan logic yang dipergunakan dalam Matematika adalah mulai dari
definisi-definisi dan aksioma-aksioma, lalu menyusun suatu teorema yang
dinyatakan dalam penyataan yang dapat dibuktikan dengan menggunakan
penalaran deduktif.
Uno dan Masri Kuadrat (2014: 11) menjelaskan bahwa, kecerdasan
logis Matematis memuat kemampuan seseorang dalam berpikir secara
induktif dan deduktif, berpikir menurut aturan logika, memahami dan
menganalisis pola angka-angka, serta memecahkan masalah dengan
menggunakan kemampuan berpikir. Peserta didik dengan kecerdasan logis
tinggi cenderung menyenangi kegiatan menganalisis dan mempelajari
sebab akibat terjadinya sesuatu. Peserta didik semacam ini cenderung
menyukai aktivitas berhitung dan memiliki kecepatan tinggi dalam
menyelesaikan problem Matematika.
Jadi ciri-ciri khusus atau karakteristik Matematika yang
merangkum secara umum (dalam Bagus Blogspot (online)
http://www .masbied.com/ 2011/ 02/20/contoh-proposal-skripsi-
pendidikan-matematika pende katan-keterampilan-proses, yaitu: (a)
Memiliki objek abstrak, dalam matematika obyek dasar yang dipelajari
adalah abstrak, sering juga disebut obyek mental. Obyek-obyek itu
meliputi obyek pikiran yang meliputi fakta-fakta, konsep, operasi ataupun
relasi dan prinsip. Selanjutnya dari obyek dasar itulah dapat disusun suatu
pola dan struktur matematika, (b) Bertumpu pada kesepakatan, dalam
57
matematika kesepakatan yang amat mendasar adalah aksioma dan prinsip
primitif. Aksioma diperlukan untuk menghindari kekeliruan dalam
pendefinisian dimana konsep primitif itu tidak perlu didefenisikan, (c)
Berpola pikir deduktif: dalam matematika sebagai ilmu hanya menerima
pola pikir deduktif. Pola pikir secara deduktif secara sederhana dapat
dikatakan pemikiran yang pangkal dari hala bersifat umum diterapkan atau
diarahkan kepada hal yang bersifat khusus, (d) Memiliki simbol yang
kosong dari arti: artinya dalam Matematika terlihat banyak sekali simbol
yang digunakan, baik berupa huruf ataupun bukan huruf. Rangkaian
simbol-simbol dalam matematika dapat membentuk suatu model dalam
Matematika. Makna huruf dan tanda dalam model itu bergantung dari
permasalahan yang mengakibatkan terbentuknya model tersebut.
Kosongnya arti simbol maupun tanda dalam model-model Matematika itu
justru memungkinkan intervensi ke dalam berbagai ilmu pengetahuan, (e)
Memperhatikan semesta pembicaraan: sehubungan dengan kosongnya
pengertian tentang arti dari simbol-simbol dalam matematika di atas,
menunjukkan dengan jelas bahwa dalam menggunakan Matematika
diperlukan kejelasan dalam lingkup apa model itu dipakai. Lingkup
pembicaraan itulah yang disebut semesta pembicaraan. Benar atau salah
ataupun ada tidaknya penyelesaian suatu model Matematika sangat
ditentukan oleh semesta pembicaranya, dan (f) Konsisten dalam sistemnya:
dalam Matematika terdapat banyak sistem. Adanya sistem yang
mempunyai kaitan satu sama lain, tetapi ada juga sistem yang dapat
dipandang terlepas satu sama lain. Dari masing-masing sistem tersebut
berlaku konsisten.
2.1.4 Self-Efficcacy (Efikasi diri)
1. Pengertian Self-Efficacy
Konsep Self-Efficacy menurut Bandura (dalam Santrock, 2011: 523)
adalah keyakinan bahwa seseorang dapat menguasai situasi dan memproduksi
hasil positip. Kemudian Suyanto & Asep Jihad (2013: 54) yang menyebutkan self-
efficacy itu sebagai kepercayaan diri, mengatakan bahwa “kepercayaan diri
58
merupakan keyakinan seseorang akan kemampuannya yang dimiliki untuk
menampilkannya secara baik di hadapan orang lain”. Menurutnya kepercyaan diri
siswa bukan bakat melainkan sebuah kualitas mental (pencapaian yang dihasilkan
dari proses pendidikan atau pemberdayaan). Artinya setiap siswa bisa dilatih dan
dididik untuk menjadi lebih percaya diri. Bandura (1997, 2000, 2001) percaya
bahwa Self-Efficacy adalah faktor penting yang dapat mempengaruhi prestasi
murid. Self-Efficacy punya kesamaan dengan motivasi untuk menguasai dan
memotivasi intrinsik. Self-Efficacy adalah keyakinan bahwa “Aku bisa”;
sedangkan ketakberdayaan adalah keyakinan bahwa “Aku tidak bisa” (Stipek &
Maddux, dalam Santrock 2011: 523). Murid dengan Self-Efficacy tinggi setuju
dangan pernyataan seperti “saya tahu bahwa saya akan mampu menguasai materi
ini” dan “saya akan bisa mengerjakan tugas ini”.
Riswanda Setiadi (Online) file.upi.edu/.../ EFIKASI _DIRI_ DAN_
KINERJA_GUR....,Self-Efficacy (Efikasi diri) adalah sebuah konsep yang
dirumuskan oleh Albert Bandura (1997), guru besar psikologi di Standford
University, dan bersumber dari social learning theory. Menurut Bandura (1997,
3), “efficacy is a major basis of action. People guide their lives by their beliefs of
personal efficacy. Self-efficacy refers to beliefs in one‟s capabilities to organize
and execute the courses of action required to produce given attainments.” Dengan
demikian, efikasi ini merupakan satu keyakinan yang mendorong individu untuk
melakukan dan mencapai sesuatu. Efikasi diri hanya merupakan satu bagian kecil
dari seluruh gambaran kompleks tentang kehidupan manusia, tetapi dapat
memberikan pemahaman yang lebih baik tentang kehidupan itu dari segi
kemampuan manusia. Keragaman kemampuan manusia ini diakui oleh teori
efikasi diri. Menurutnya teori efikasi diri merupakan upaya untuk memahami
keberfungsian kehidupan manusia dalam pengendalian diri, pengaturan proses
berpikir, motivasi, kondisi afektif dan psikologis (Bandura, 1997, p. 36). Melalui
perspektif ini, efikasi diri diyakini dapat membuat individu mampu menafsirkan
dan menerjemahkan faktor-faktor internal dan eksternal ke dalam tindakan nyata.
Namun perlu ditegaskan bahwa individu-individu yang berbeda memiliki
kemampuan yang berbeda dalam membaca pikiran mereka dan memandang
lingkungan mereka. Dale Schunck (dalam Santrock, 2011: 523), mengaplikasikan
59
konsep Self-Efficacy pada banyak aspek dari prestasi murid. Menurutnya, konsep
ini mempengaruhi pilihan aktivitas oleh murid. Murid dengan Self-Efficacy rendah
mungkin menghindari banyak tugas belajar, khususnya yang menantang dan sulit,
sedangkan murid dengan level Self-Efficacy tinggi mau mengerjakan tugas-tugas
seperti itu dan bahkan mungkin lebih tekun berusaha menguasai tugas
pembelajaran ketimbang murid dengan Self-Efficacy rendah.
Menurut Riswanda Setiadi, dalam beberapa dekade terakhir, para peneliti
dan praktisi pendidikan mencurahkan perhatian pada perspektif tentang
keberfungsian perilaku manusia untuk memperbaiki proses dan hasil
pembelajaran. Albert Bandura adalah salah satu pakar yang telah membuka jalan
untuk membuat terobosan dalam menyajikan perspektif yang lebih luas dalam
bidang pendidikan. Dalam bidang akademik, pentingnya teori efikasi diri telah
diakui oleh banyak peneliti meskipun masih dipandang sebagai konsep yang
relatif baru. Namun demikian, konsep ini telah terbukti memberikan dampak kuat
terhadap prestasi akademik guru dan siswa (Bandura, 1986, 1997; Tschannen-
Moran and Woolfolk Hoy, 2001, Pajares, 1996).
Kemudian menurut Ashton & Webb (dalam Santrock, 2011: 524), bahwa
dalam sebuah studi Self-Efficacy instrusional dari guru berhubungan dengan
prestasi akademik murid untuk pelajaran Matematika dan Bahasa. Murid banyak
belajar dari guru yang merasa yakin pada dirinya sendiri ketimbang guru yang
ragu-ragu pada dirinya sendiri. Guru yang tingkat keyakinan dirinya tinggi
cenderungmemandang murid bermasalah sebagai murid yang bisa diajar dan
dijangkau. Menurut mereka menganggap problem pembelajaran masih bisa diatasi
dengan usaha yang lebih baik dan strategi yang lebih tepat untuk membantu
murid. Berbeda dengan guru dengan Self-Efficacy rendah, cenderung mengatakan
bahwa kemampuan murid yang rendah adalah penyebab dari ketidakmampuan
murid dalam belajar.
Bandura (dalam Santrock, 2011: 524) mengemukakan, kemampuan untuk
menyampaikan mata pelajaran adalah salah satu dari aspek Self-Efficacy
instruksional, tetapi Self-Efficacy instruksional ini juga mencakup keyakinan
bahwa seseorang dapat mengelola kelas menjadi tempat menyenangkan untuk
belajar dan keyakinan bahwa adalah mungkin untuk mendapatkan SDM yang baik
60
dan mengajak orang tua terlibat dalam pembelajran anak. Menurut Bandura
karakteristik sekolah atau kelas yang penuh dengan atmosfir keyakinan diri, maka
pimpinan sekolah akan cenderung mencari cara untuk meningkatkan pengajaran.
Mereka mencari cara untuk mempengaruhi dan mengubah kebijakan serta regulasi
yang menghambat inovasi akademik. Menurutnya kepala sekolah yang peduli
pada mutu akademik ini akan membuat guru lebih percaya pada kemampuan
mengajar mereka, sehingga kepala sekolah hanya berfungsi sebagai administrator
belaka (Coladarci, 1992).
Santrock (2011: 524), menyatakan sekolah dengan tingkat Self-Efficacy
tinggi akan memiliki ekspektasi dan standar tinggi dalam hal prestasi. Menurutnya
guru memandang siswa sebagai anak didik yang mampu mencapsi prestasi tinggi.
Guru menentukan standar akademik yang menantang bagi siswa dan memberi
bantuan kepada mereka untuk mencapai standar yang sudah ditentukan oleh guru
dan sekolah. Sebaliknya sekolah dengan Self-Efficacy rendah tidak banyak
berharap pada prestasi akdemik siswa, gurunya tidak benyak meluangkan waktu
untuk mengajar dan memonitor kemajuan akdemik siswa dan cenderung
menganggap bahwa kebanyakan siswanya susah diajar. Tidak mengherankan
siswa di sekolah semacam ini memiliki Self-Efficacy rendah dan lemah secara
akademik.
Suyanto & Asep Jihad (2013: 55) menjelaskan mengapa perlu melatih
kepercayaan diri? Secara umum siswa yang mempunyai rasa percaya diri
cenderung berhasil meraih kesuksesan dibanding dengan siswa yang kepercayaan
dirinya rendah. Hal ini disebabkan karena Rasa percaya diri siswa, berhubungan
dengan:(a) pilihan sikap mentalnya terhadap tugas atau tantangan yang dihadapi.
Siswa yang kepercayaan dirinya tinggi akan memilih sikap mental “saya bisa”.
Tetapi sebaliknya siswa yang memiliki rasa percaya diri rendah mesikpun dia
bisa, akan merasa susah “tidak bisa”, “takut salah” dan berbagai ungkapan yang
senada, (b) persepsi yang terbangun di dalam diri siswa saat menghadapi tugas
atau tantangan. Siswa dengan rasa percaya diri yang bagus akan memandang
tantangan atau tugas sebagai sesuatu yang lebih kecil dari kemampuan dirinya,
sehingga muncul keharusan untuk menaklukannya. (c) gejolak psikologi locus of
control. Selama manusia hidup di dunia ini, pasti dihadapkan pada hal-hal yang
61
sudah tidak bisa diubah lagi atau biasa disebut “nasib”. Maka siswa dengan rasa
percaya dirinya bagus akan memunculkan sebanyak mungkin pemahaman yang
kuat bahwa nasib dirinya lebih banyak ditentukan oleh pilihannya atau
meletakkan locus of controlke dalam dirinya. Dia berpandangan bahwa setiap
keputusan ada konsekuensinya, tetapi melakukannya akan lebih baik sekalipun
gagal. Selanjutnya Suyanto& Asep Jihad (2013: 56), mengemukakan beberapa
pembelajaran yang kurang mendukung dalam membangun kepercayaan diri
siswa, antara lain, sering memberikan label negatip atau minor pada siswa, sering
memotong proses eksplorasi dan pengalaman yang dilakukan siswa denga cara
terlau cepat mengeluarkan larangan “jangan”, guru menciptakan perbandingan
negatip, mengabaikan prestasi siswa, memberikan ancaman dan menciptakan rasa
takut.
Selanjutnya Bandura (dalam Suharsono & Istiqomah (online), 2014: 146)
mengemukakan bahwa ada tiga dimensi Self-Efficacy, yakni: (1) Dimensi
Tingkat (level): berkaitan dengan derajat kesulitantugas yang dihadapi individu.
Penerimaan dan keyakinan seseorang terhadap Self-efficacy individu dalam
mengerjakan suatu tugas berbeda dalam tingkat kesulitan tugas. Individu yang
memiliki self-efficacy yang tinggi pada tugas yang mudah dan sederhana, atau
juga pada tugas-tugas yang rumit dan membutuhkan kompetensi yang tinggi.
Individu yang memiliki self-efficacy yang tinggi cenderung memilih tugas yang
tingkat kesukarannya sesuai dengan kemampuannya. (2) Dimensi Keluasan
(generality): merupakan perasaan kemampuan yang ditunjukkan indivisu pada
konteks tugas yang berebeda-beda, baik itu melalui tingkah laku, kognitif dan
afektifnya. (3) Dimensi Kekuatan (strength): merupakan kuatnya keyakinan
seseorang mengenai kemampuan yang dimiliki. individu yang memiliki keyakinan
dan kemantapan kuat terhadap kemampuannya untuk mengerjakan suatu tugas
akan terus bertahan dalam usahanya meskipun mengalami baanyak kesulitan dan
tantangan.
2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Self-efficacy
Bandura (dalam Rahmawati:4 (online)) repository.usu.ac.id
/bitstream /123456789/26802/4/Chapter%20II.pdf, menjelaskan bahwa
62
self-efficacy individu didasarkan pada empat hal, yaitu: (a) Pengalaman
akan kesuksesan, pengalaman akan kesuksesan adalah sumber yang
paling besar pengaruhnya terhadap self-efficacy individu karena
didasarkan pada pengalaman otentik. Pengalaman akan kesuksesan
menyebabkan self-efficacy individu meningkat, sementara kegagalan yang
berulang mengakibatkan menurunnya self-efficacy, khususnya jika
kegagalan terjadi ketika self-efficacy individu belum benar-benar terbentuk
secara kuat. Kegagalan juga dapat menurunkan self-efficacy individu jika
kegagalan tersebut tidak merefleksikan kurangnya usaha atau pengaruh
dari keadaan luar. (b) Pengalaman individu lain, individu tidak
bergantung pada pengalamannya sendiri tentang kegagalan dan kesuksesan
sebagai sumber self-efficacynya. Self-efficacy juga dipengaruhi oleh
pengalaman individu lain. Pengamatan individu akan keberhasilan
individu lain dalam bidang tertentu akan meningkatkan self-efficacy
individu tersebut pada bidang yang sama. Individu melakukan persuasi
terhadap dirinya dengan mengatakan jika individu lain dapat
melakukannya dengan sukses, maka individu tersebut juga memiliki
kemampuan untuk melakukanya dengan baik. Pengamatan individu
terhadap kegagalan yang dialami individu lain meskipun telah melakukan
banyak usaha menurunkan penilaian individu terhadap kemampuannya
sendiri dan mengurangi usaha individu untuk mencapai kesuksesan. Ada
dua keadaan yang memungkinkan self-efficacy individu mudah
dipengaruhi oleh pengalaman individu lain, yaitu kurangnya pemahaman
individu tentang kemampuan orang lain dan kurangnya pemahaman
individu akan kemampuannya sendiri. (c) Persuasi verbal, persuasi verbal
dipergunakan untuk meyakinkan individu bahwa individu memiliki
kemampuan yang memungkinkan individu untuk meraih apa yang
diinginkan. (d) Keadaan fisiologis, penilaian individu akan
kemampuannya dalam mengerjakan suatu tugas sebagian dipengaruhi oleh
keadaan fisiologis. Gejolak emosi dan keadaan fisiologis yang dialami
individu memberikan suatu isyarat terjadinya suatu hal yang tidak
diinginkan sehingga situasi yang menekan cenderung dihindari. Informasi
63
dari keadaan fisik seperti jantung berdebar, keringat dingin, dan gemetar
menjadi isyarat bagi individu bahwa situasi yang dihadapinya berada di
atas kemampuannya.
3. Proses-Proses Self-efficacy
Bandura (dalam Rahmawati: 23(online) repository.usu.ac.id/bitstream
/123456789/26802/4/Chapter%20II.pdf) menguraikan proses psikologis self-
efficacy dalam mempengaruhi fungsi manusia. Proses tersebut dijelaskan melalui
cara-cara: (a) Proses kognitif. Dalam melakukan tugas akademiknya, individu
menetapkan tujuan dan sasaran perilaku sehingga individu dapat merumuskan
tindakan yang tepatuntuk mencapai tujuan tersebut. Penetapan sasaran pribadi
tersebut dipengaruhi oleh penilaian individu akan kemampuan kognitifnya. Fungsi
kognitif memungkinkan individu untuk memprediksi kejadian-kejadian sehari-
hari yang akan berakibat pada masa depan. Asumsi yang timbul pada aspek
kognitif ini adalah semakin efektif kemampuan individu dalam analisis dan dalam
berlatih mengungkapkan ide-ide atau gagasan-gagasan pribadi, maka akan
mendukung individu bertindak dengan tepat untuk mencapai tujuan yang
diharapkan. (b) Proses motivasi. Motivasi individu timbul melalui pemikiran
optimis dari dalam dirinya untuk mewujudkan tujuan yang diharapkan. Individu
berusaha memotivasi diri dengan menetapkan keyakinan pada tindakan yang akan
dilakukan, merencanakan tindakan yang akan direalisasikan. Terdapat beberapa
macam motivasi kognitifyang dibangun dari beberapa teori yaitu atribusi
penyebab yang berasal dari teori atribusi dan pengharapan akan hasil yang
terbentuk dari teori nilai-pengharapan. Self-efficacy mempengaruhi atribusi
penyebab, dimana individu yang memiliki self-efficacy akademik yang tinggi
menilai kegagalannya dalam mengerjakan tugas akademik disebabkan oleh
kurangnya usaha, sedangkan individu dengan self-efficacy yang rendah menilai
kegagalannya disebabkan oleh kurangnya kemampuan.Teori nilai-pengharapan
memandang bahwa motivasi diatur oleh pengharapan akan hasil (outcome
expectation) dan nilai hasil (outcome value) tersebut. Outcome expectation
merupakan suatu perkiraan bahwa perilaku atau tindakan tertentu akan
menyebabkan akibat yang khusus bagi individu. Hal tersebut mengandung
64
keyakinan tentang sejauhmana perilaku tertentu akanmenimbulkan konsekuensi
tertentu.Outcome value adalah nilai yang mempunyai arti dari konsekuensi-
konsekuensi yang terjadi bila suatu perilaku dilakukan.Individu harus memiliki
outcome value yang tinggi untuk mendukung outcome expectation. (c) Proses
afeksi. Afeksi terjadi secara alami dalam diri individu dan berperan dalam
menentukan intensitas pengalaman emosional.Afeksi ditujukan dengan
mengontrol kecemasan dan perasaan depresif yang menghalangi pola-pola pikir
yang benar untuk mencapai tujuan. Proses afeksi berkaitan dengan kemampuan
mengatasi emosi yang timbul pada diri sendiri untuk mencapai tujuan yang
diharapkan. Kepercayaan individu terhadap kemampuannya mempengaruhi
tingkat stres dan depresi yang dialami ketika menghadapi tugas yang sulit atau
bersifat mengancam. Individu yang yakin dirinya mampu mengontrol ancaman
tidak akan membangkitkan pola pikir yang mengganggu. Individu yang tidak
percaya akan kemampuannya yang dimiliki akan mengalami kecemasan karena
tidak mampu mengelola ancaman tersebut. (d) Proses seleksi. Proses seleksi
berkaitan dengan kemampuan individu untuk menyeleksi tingkah laku dan
lingkungan yang tepat, sehingga dapat mencapai tujuan yang diharapkan.
Ketidakmampuan individu dalam melakukan seleksi tingkah laku membuat
individu tidak percaya diri, bingung, dan mudah menyerah ketika menghadapi
masalah atau situasi sulit. Self-efficacy dapat membentuk hidup individu melalui
pemilihan tipe aktivitas dan lingkungan. Individu akan mampu melaksanakan
aktivitas yang menantang dan memilih situasi yang diyakini mampu menangani.
Individu akan memelihara kompetensi, minat, hubungan sosial atas pilihan yang
ditentukan. Selanjutnya Riswanda Setiadi, (on line) file.upi.edu/.../ EFIKASI
_DIRI_ DAN_ KINERJA_GUR....,Efikasi diri tidak tumbuh dengan sendirinya,
tetapi terbentuk dalam hubungan segitiga antara karakteristik pribadi, pola
perilaku dan faktor lingkungan (Bandura, 1997). Dengan demikian, hubungan ini
bersifat alami, personal dan sosial, dan mungkin terjadi proses yang panjang dan
kompleks untuk menciptakan hubungan ini. Menurut Bandura (1997), ada empat
sumber informasi yang memberikan kontribusi penting terhadap pembentukan
efikasi diri: (1) pengalaman tentang keberhasilan pribadi (enactives mastery
experiences), (2) pengalaman keberhasil orang lain yang dijadikan model
65
(vicarious experiences), (3) pujian dan penghargaan sosial (verbal persuasion and
other related social recognitions), dan (4) keadaan psikologis dan afektif individu
(physiological and affective states).
2.1.5 Program Pendidikan Kelas Unggulan
1. Pengertian Kelas Unggulan
Sebagaimana telah diutarakan pada latar belakang bahwa salah satu
usaha pemerintah kabupaten Nias Selatan untuk meningkatkan mutu
pendidikan adalah menyelenggarakan Program Pendidikan Kelas
Unggulan. Oleh karena itu perlu dikaji hal-hal yang berkaitan dengan
program pendidikan Kelas Unggulan tersebut agar memperoleh
pemahaman yang benar baik bagi peneliti, bagi sekolah penyelenggara
Kelas Unggulan maupun bagi masyarakat luas pada umumnya.
Ada beberapa konsep tentang perlunya penempatan anak yang
memiliki kemampuan unggul pada satu kelas tersendiri yang sering
disebut dengan kelas unggulan atau Kelas Unggulan, diungkapkan oleh
beberapa ahli antara lain, (Onlin) (http://anginsepoi.
wodpress.com/2008/03 /26/plusminuskelas unggulan pendapatparapakar/),
Liek Wilardjo (Fisikawan dari UKSW), mengungkapkan bahwa: (*)
anak-anak berbakat dan berotak cemerlang perlu mendapatkan perhatian
khusus agar mereka dapat menumbuhkembangkan talenta dan
kecerdasannya. Jika anak -anak berbakat dijadikan satu dengan anak-anak
yang lamban, mereka akan kehilangan semangat belajar karena jenuh
dengan proses pembelajaran yang lamban, anak-anak yang kurang pandai
akan mengalami kerepotan jika dibiarkan bersaing dengan siswa-siwa
pintar. (*) Kelas heterogen justru akan mempersubur mediokritas, di mana
anak-anak cemerlang tidak bisa mengembangkan talenta dan
kecerdasannya, mengalami stagnasi dan pemandulan intelektual.
Sementara anak-anak lamban hanya “ jalan di tempat”. (*) Kekhawatiran
bahwa siswa yang masuk dalam Kelas Unggulan ini akan dihinggapi rasa
minder dianggap terlalu berlebihan, karena baru berdasarkan asumsi yang
belum diuji kebenarannya. (*) Pengelompokkan siswa lamban di dalam
66
kelas tersendiri – seperti halnya yang terjadi di Inggris – justru diyakini
dapat memudahkan penanganannya secara khusus. Conny R Semiawan
(1992): (*) perlunya pengembangan kurikulum berdiferensiasi, di mana
peserta didik yang berkemampuan unggul perlu mendapatkan perhatian
khusus. (*) kurikulum berdiferensiasi dapat mewujudkan seseorang sesuai
dengan kemampuan yang ada padanya, dapat menghadapi masalah dan
kompleksitas kehidupan yang berubah akibat peningkatan teknologi dan
perubahan nilai-nilai sosio-kultural. Dan Budisatyo: mengemukakana
bahwa, Kelas Unggulan adalah kelas yang secara terus menerus
meningkatkan kualitas kepandaian dan kreatifitas anak didik sekaligus
menggunakan sumber daya yang dimiliki untuk mendorong prestasi
anak didik secara optimal.
Kelas Unggulan yang dikembangkan untuk mewadahi peserta
didik yang memiliki potensi kecerdasan yang tinggi ini, menurut
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (1994: 44)
Kelas Unggulan memiliki ciriciri: (a) masukan atau raw input adalah
peserta didik yang diseleksi secara baik dengan menggunakan kriteria dan
prosedur yang dapat dipertanggungjawab- kan yang mampu membedakan
antara anak yang memiliki potensi kecerdasan yang tinggi atau
memiliki kebakatan yang istimewa dengan anak yang hanya memiliki
kecerdasan normal, Kriteria yang biasa digunakan adalah hasil belajar
dan hasil psikotest. (b) Sarana dan prasarana yang menunjang untuk
memenuhi belajar peserta didik, baik dalam kegiatan intra maupun
ekstra kurikuler. (c) Lingkungan belajar yang menunjang untuk
berkembangnya potensi keunggulan, baik lingkungan fisik maupun sosial
psikologis. (c) Guru dan tenaga kependidikan yang ungguldari penguasaan
materi pelajaran, penguasaan metode mengajar dan komitmen dalam
melaksanakan tugas. (d) Kurikulum yang digunakan adalah kurikulum
nasional yang diperkaya, dengan tetap berpegang pada kurikulum
nasional yang baku, dilakukan pengayaan yang optimal sesuai dengan
tuntutan belajar peserta didik yang memiliki kecepatan dan motivasi
belajar yang tinggi. (e) Jumlah jam waktu belajar di sekolah yang lebih
67
lama dibandingkan kelas lain pada umumnya. (f) Proses belajar
mengajar yang bermutu dan hasilnya selalu dapat dipertanggung-jawabkan
kepada peserta didik, lembaga maupun masyarakat. (g) Pembinaan
kemampuan kepemimpinan yang menyatu dalam keseluruhan sistem
pembinaan peserta didikdan melalui praktek langsung dalam kehidupan
seharihari. Dengan adanya syarat yang ditetapkan dalam
penyelenggaraan Kelas Unggulan maka setiap sekolah penyelenggaraan
Kelas Unggulan harus berusaha memenuhi persyaratan yang dimaksud
tersebut. Dengan demikian bukan hanya prestasi akademis yang
ditonjolkan melainkan sekaligus potensi psikis, etik, moral, religi,
emosi, spirit, kreatifitas dan intelegensinya. Direktorat Pendidikan Dasar,
yang ditulis kembali Supriyono (online) (http://zanuraini-rental.blogspot.
com/ 2011/08/pengaruh-kelas-unggulan-terhadap hasil1031.html), bahwa
”sejumlah anak didik yang karena prestasinya menonjol dikelompokkan di
dalam satu kelas tertentu kemudian diberi program pengajaran yang sesuai
dengan kurikulum yang dikembangkan dan adanya tambahan materi pada
mata pelajaran tertentu”.
Berdasarkan beberapa pengertian dan pandangan para ahli tersebut
di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Program Pendidikan Kelas
Unggulan adalah kelas yang dirancang sedemikian rupa yang
diperuntukkan bagi siswa yang memiliki potensi kecerdasan yang
tinggi/otak cemerlang, berkemampuan, berbakat, memiliki kreativitas dan
prestasi yang menonjol dibandingkan dengan siswa lainnya kemudian
diberi program pengajaran yang sesuai dengan kurikulum yang
dikembangkan dan adanya tambahan materi pada mata pelajaran tertentu,
dengan tujuan agar potensi yang dimiliki siswa dapat berkambang secara
optimal.
1. Landasan Penyelenggaraan Kelas Unggulan
Penyelenggaraan Kelas Unggulan memiliki beberapa landasan, antara
lain:
Landasan hukum.
68
Landasan hukum tentang penyelenggaran kelas Unggulan adalah Undang -
Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional sebagai pengganti Undang Undang Republik Indonesia Nomor 2
tahun 1989 pada Bab IV bagian kesatu Pasal 5 Ayat 4 mengamanatkan,
”Warga negara yang memiliki kecerdasan dan bakat istimewa berhak
mendapatkan pendidikan khusus”. Selanjutnya pada Bab V pasal 12 Ayat 1.b
menegaskan bahwa, setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak
mendapatkan layanan pendidikan sesuai bakat, minat dan kemampuannya.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan membuat keputusan untuk mengatur
tentang pelayanan pendidikan untuk mewadahi peserta didik yang memiliki
potensi kecerdasan yang tinggi atau kebakatan yang istimewa dengan SK
Nomor: 054/U/1993 seperti yang disebutkan dalam pasal 15 yaitu: (a)
Pendidikan bagi peserta didik yang memiliki bakat istimewa dan
kecerdasan luar biasa dapat diberikan melalui jalur pendidikan sekolah
dan jalur pendidikan luar sekolah, pelayanan pendidikan peserta didik
yang memiliki bakat istimewa dan kecerdasan luar biasa melalui jalur
pendidikan sekolah dapat diberikan dengan menyelenggarakan program
khusus dan program kelas khusus.
Landasan teoritis.
Pada SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang mengatur tentang
pelayanan pendidikan mewadahi peserta didik yang memiliki potensi
kecerdasan yang tinggi atau kebakatan yang istimewa dengan SK Nomor:
054/U/1993 seperti yang disebutkan dalam Pasal 15 menyebutkan bahwa
pelayanan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki bakat istimewa dan
kecerdasan yang luar biasa melalui jalur pendidikan sekolah dengan
menyelenggarakan program khusus dan program kelas khusus. Penggunaan
istilah potensi kecerdasan dan bakat istimewa erat kaitannya. Dengan latar
belakang teoritis yang digunakan. Potensi kecerdasan erat kaitannya dengan
inteligensi atau intelektual, selain itu juga ada potensi kecerdasan lainnya,
seperti kecerdasan musical, kecerdasan linguistik, kecerdasan logical,
matematikal dan kecerdasan intrapersonal. (Buku Pedoman Penyelenggaraan
Peserta Didik Kelas Unggulan SD, SMP dan SMA, 2003: 12).
69
Landasan empiris.
Anak yang memiliki bakat istimewa dan kecerdasan yang tinggi mempuyai
kebutuhan pokok akan pengertian, penghargaan dan perwujudan diri. Jika
kebutuhan tersebut tidak terpenuhi maka anak akan mengalami kecemasan dan
keraguraguan. Menurut Soegoe yang dikutip oleh Martinson (2003:7)
memberikan gambaran bahwa ciriciri tertentu dari peserta didik yang memiliki
bakat istimewa dan kecerdasan luar biasa yang tidak terpenuhi kebutuhannya
dapat menimbulkan masalahmasalah seperti: kemampuan kritis dapat
mengarahkan kearah sikap meragukan (skeptis) baik terhadap diri sendiri
maupun terhadap orang lain, kemampuan kreatif dan minat untuk
melakukan halhal yang baru bisa menyebabkan mereka tidak menyukai dan
cepat bosan terhadap tugas yang rutin, peri laku yang ulet dan terarah pada
tujuan dapat menjurus ke keinginan untuk memaksakan dan
mempertahankan kehendaknya, kepekaan yang tinggi dapat membuat
mereka menjadi mudah tersinggung atau peka terhadap kritik, semangat,
kesigapan mental, dan inisiatif yang tinggi dapat membuat kurang sabar
dan kurang tenggang rasa jika tidak ada kegiatan atau jika kurang tampak
kemajuan dalam kegiatan yang sedang berlangsung, dengan kemampuan
dan minat yang beraneka ragam, mereka membutuhkan keluwesan serta dukun
gan untuk menjajaki dan mengembangkan diri, keinginan mandiri untuk
belajar dan bekerja, serta kebutuhan akan kebebasan, dapat menimbulkan
konflik karena tidak mudah menyesuaikan diri atau tunduk terhadap tekanan
orang tua sekolah, atau temantemannya. Ia juga bisa merasa ditolak atau
kurang dimengerti oleh lingkungannya, sikap acuh tak acuh dan malas, dapat
timbul karena pengajaran yang diberikan di sekolah kurang mengundang tanta
ngan baginya, masalahmasalah yang dialami oleh anak yang memiliki bakat
istimewa dan kecerdasan yang tinggi dapat terjadi karena mereka belum
mendapatkan pelayanan pendidikan yang sesuai dengan kemampuan potensi
peserta didik. Untuk menghindari permasalahan yang ada pada anak tersebut
maka perlu diusahakan pendidikan yang disesuaikan dengan bakat, minat
kemampuan, dan kecerdasan anak yang memiliki bakat istimewa. Salah satu
bentuk pelayanan pendidikan tersebut adalah penyelenggaraan Kelas
70
Unggulan. Menurut Aripin Silalahi, tujuan penyelenggaraan Kelas Unggulan
diantaranya: mengembangkan dan meningkatkan kualitas pendidikan,
menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas, meningkatkan
kemampuan dan pengetahuan tenaga pendidik, mengembangkan potensi yang
dimiliki sekolah, meningkatkan kemampuan untuk menghadapi persaingan di
dunia.
2. Karakteristik Kelas Unggulan
Penyelenggaraan Kelas Unggulan berpedoman pada Petunjuk
Penyelenggaraan Program Kelas Unggulan yang dikeluarkan oleh
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1994) yang ditulis kembali oleh
Suhartono dan Ngadirun (dalam Zanuraini, http://zanuraini
rental.blogspot.com /2011/08/ pengaruh-kelas-unggulan-terhadap-
hasil1031.html), Kelas Unggulan harus memiliki karakteristik sebagai
berikut: masukan diseleksi secara ketat dengan menggunakan kriteria yang
dapat dipertanggung-jawabkan, sarana dan prasarana menunjang untuk
pemenuhan kebutuhan belajar dan penyaluran minat dan bakat siswa,
lingkungan belajar yang kondusif untuk berkembangnya potensi
keunggulan menjadi keunggulan yang nyata, memiliki kepala sekolah dan
tenaga kependidikan yang unggul, baik dari segi penguasaan materi
pelajaran, metode mengajar, maupun komiten dalam melaksanakan tugas,
kurikulum yang diperkaya, yakni melakukan pengembangan dan
improvisasi kurikulum secara maksimal sesuai dengan tuntutan belajar,
rentang waktu belajar di sekolah yang lebih panjang dibandingkan kelas
lain dan tersedianya asrama yang memadai, proses pembelajaran yang
berkualitas dan hasilnya selalu dapat dipertanggungjawabkan kepada
siswa, lembaga, maupun masyarakat, adanya perlakuan tambahan di luar
kurikulum, program pengayaan dan perluasan, pengajaran remedial,
pelayanan bimbingan dan konseling yang berkualitas, pembinaan
kreativitas, dan disiplin, sistem asrama, serta kegiatan ekstrakurikuler
lainnya, pembinaan kemampuan kepemimpinan yang menyatu dalam
71
keseluruhan sistem pembinaan siswa melalui praktik langsung dalam
kehidupan sehari-hari.
Dengan bahasa yang agak berbeda, Supriyono merincikan
karakteristik Kelas Unggulan adalah: masukan atau raw input adalah
peserta didik yang diseleksi secara baik dengan menggunakan kriteria dan
prosedur yang dapat dipertanggungjawabkan yang mampu membedakan
antara anak yang memiliki potensi kecerdasan yang tinggi atau memiliki
bakat yang istimewa dengan anak yang hanya memiliki kecerdasan
normal, kriteria yang biasa digunakan adalah hasil belajar dan hasil
psikotest, sarana dan prasarana yang menunjang untuk memenuhi belajar
peserta didik, baik dalam kegiatan intra maupun ekstrakurikuler,
lingkungan belajar yang menunjang untuk berkembangnya potensi
keunggulan, baik lingkungan fisik maupun sosial psikologis, guru dan
tenaga kependidikan yang unggul dari penguasaan materi pelajaran,
penguasaan metode mengajar dan komitmen dalam melaksanakan tugas,
kurikulum yang digunakan adalah kurikulum nasional yang diperkaya,
dengan tetap berpegang pada kurikulum nasional yang baku, dilakukan
pengayaan yang optimal sesuai dengan tuntutan belajar peserta didik yang
memiliki kecepatan dan motivasi belajar yang tinggi, jumlah jam waktu
belajar di sekolah yang lebih lama dibandingkan kelas lain pada umumnya,
proses belajar mengajar yang bermutu dan hasilnya selalu dapat
dipertanggungjawabkan kepada peserta didik, lembaga maupun
masyarakat, pembinaan kemampuan kepemimpinan yang menyatu dalam
keseluruhan sistem pembinaan siswa melalui praktik langsung dalam
kehidupan sehari-hari.
Selanjutnya Silalahi meneguhkan pandangan itu dengan
memberikan acuan tentang karakteristik Kelas Unggulan sebagai berikut:
Unggul Potensi siswa
Unggul potensi siswa maksudnya ialah ”siswa yang tergabung dalam kelas
unggulan memiliki kapasitas sangat baik sehingga dengan suntikan sedikit saja
mereka langsung termotivasi untuk belajar mandiri, sesuai dengan potensi
72
unggulannya”.Potensi siswa bisa dilihat dari berbagai dimensi. Perspektif paling
poluler dewasa ini adalah faktor kecerdasan.
Ada beberapa kategori kecerdasan yang lazim dikemukakan untuk
kepentingan pembelajaran: kecerdasan verbal linguistik (word smart)
adalah kemampuan menggunakan kata-kata secara efektif, kecerdasan
logis matematis (number smart), melibatkan ketrampilan mengolah angka
atau kemahiran menggunakan logika atau akal sehat, kecerdasan spasial
(picture smart) adalah kecerdasan gambar dan visualisasi, kecerdasan
kinestetik–jasmani (body smart) adalah kecerdasan seluruh tubuh (atlet,
penari, seniman pantonim dan juga kecerdesan tangan (montir, penjahit,
tukang kayu, ahli bedah dan lain-lain), kecerdasan musical (music smart)
melibatkan kemampuan menyanyikan sebuah lagu, mengingat melodi
musik, mempunyai kepekaan akan irama atau sekedar menikmati musik,
kecerdasan antar pribadi (people smart), melibatkan kemampuan untuk
memahami dan bekerja dengan orang lain, kecerdasan intrapribadi (self
smart) adalah kecerdasan memahami diri sendiri, mengetahui siapa diri
sendiri, kecerdasan naturalis (nature smart) melibatkan kemampuan
mengenali bentuk-bentuk alam di sekitar kita, burung, bunga, pohon,
hewan dan fauna serta flora lain. Proses menentukan siswa Kelas
Unggulan adalah melalui: seleksi administartif, seleksi potensi kecerdasan
siswa, deskripsi hasil seleksi potensi, penentuan siswa kelas unggul,
menyusun standar aktivitas siswa unggul, orientasi siswa Kelas Unggul,
dan pelaksanaan Kelas Unggul.
Unggul Kompetensi Guru
Unggul kompetensi guru maksudnya ialah ”Bahwa guru yang mengajar di Kelas
Unggulini merupakan pribadi yang memiliki, kewibawaan, kasih sayang yang
tulus, keteladanan, penguatan, ketegasan yang mendidik, serta menguasai secara
teknis alat-alat pembelajaran seperti, kurikulum, teknologi pendidikan, alat bantu
pembe-lajaran, lingkungan pembelajaran dan peni-laian hasil pembelajaran.
Keunggulan kepribadian guru terletak pada terdapat tidaknya alat pendidikan
dalam karakternya.
73
Unggul Program Pembelajaran. Unggul program pembelajaran maksudnya
ialah rancangan pembelajaran efektif mewujudkan hasil belajar prima sesuai
dengan tujuan Kelas Unggulan.
Unggul Sarana Prasarana. Unggul saran dan prasarana maksudnya ialah
tersedianya sarana dan prasarana yang memadai serta pemanfaatannya dengan
baik untuk mendukung kegiatan pembelajaran, antaral lain tersedia ruangan
perpustakaan, ruang baca yang memadai, ruang diskusi, ruang multimedia,
laboratorium sesuai kebutuhan, serta sarana prasarana lain yang dibutuhkan
untuk kegiatan pembelajaran, seni dan olah raga.
Unggul Kemitraan. Unggul kemitraan maksudnya ialah sekolah, masyarakat,
komite sekolah, maupun pemerintah memiliki visi dan semangat yang sama
untuk membangun pendidikan bermutu di sekolah.
Unggul Dukungan Dana. Unggul dukungan dana maksudnya ialah
tersedianya dana serta penggunaan yang relevan dan transparan untuk
kepentingan kegiatan dan tujuan program pendidikan Kelas Unggulan.
Dengan demikian dari beberapa pendapat atau pandangan tentang
karakteristik Kelas Unggulan yang diuraikan di atas, dapat disimpulkan
bahwa karakteristik Kelas Unggulan adalah: siswa di dalam kelas
merupakan siswa terpilih hasil seleksi, kelas memiliki fasilitas yang
menunjang untuk memenuhi kebutuhan belajar siswa, kelas memiliki
kondisi yang kondusif bagi siswa dalam belajar, kepala sekolah di kelas
unggulan merupakan kepala sekolah yang profesional, guru yang mengajar
memiliki kemampuan dalam melaksanakan tugas mengajar, kurikulum
kelas unggulan dikembangkan untuk menunjang belajar siswa, kelas
unggulan memiliki rentang waktu belajar yang lebih panjang, di dalam
kelas unggulan proses pembelajaran memiliki kualitas yang tinggi, kelas
unggulan mendapatkan dukungan dari orang tua siswa, Kelas Unggulan
ditunjang dengan pendanaan yang memadai, siswa diberikan perlakuan
tambahan di luar jam belajar, siswa diberikan pembinaan kemampuan
kepemimpinan, siswa diberikan evaluasi untuk mengukur hasil belajar.
2.1.6 Penelitian Yang Relevan
74
1. Joan Lipsitz (dalam Santrock, 2003: 260) mengatakan bahwa pada tahun
1984 berkeliling ke seluruh negeri untuk mencari sekolah-sekolah menengah
yang terbaik. Berdasarkan rekomondasi dari para ahli pendidikan dan hasil
observasinya di sekolah-sekolah yang tersebar di Amerika Serikat, empat
sekolah menengah kemudian dipilih sebagai sekolah unggulan karena
kemampuan yang luar biasa dalam pendidikan para siswa remaja muda.
Menurutnya, salah satu karakteristik yang menyolok dari keempat sekolah ini
adalah kesediaan dan kemampuan sekolah untuk menyesuaikan semua
kegiatan sekolah dengan perbedaan individual siswa-siswinya dalam hal
perkembangan fisik, kognitif, maupun social. Sekolah-sekolah ini
menanggapi secara serius hasil penelitian mengenai remaja muda. Keseriusan
tampak dari keputusan-keputusan yang diambil sekolah menganai berbagai
aspek kehidupan sekolah. Sebagai contoh, salah satu sekolah menengah
berjuang untuk memberikan mata pelajaran tambahan (mini –coursis) pada
hari Jumat, sehingga setiap siswa dapat bersama teman-tamannya dan
melakukan apa yang sesuai dengan minat mereka masing-masing. Dua
sekolah menengah lainnya mengelola sekolahnya sedemikian rupa dengan
membentuk kelompok-kelompok kecil siswa yang bekerja sama dengan
kelompok kecil guru dimana irama dan kecepatan dalam mengajar dalam satu
hari sekolah dapat berbeda-beda antar kelompok, tergantung pada kebutuhan-
kebutuhan siswa. Sekolah menengah lainnya mengemabangkan suatu skema
bimbingan, sehingga setiap siswa dapat melakukan kontak dengan satu orang
dewasa yang mau mendengarkan, menjelaskan menenangkan dan memberi
dukungan pada remaja setiap harinya. Kebijaksanaan-kebijaksanaan sekolah
seperti ini menurut beliau menunjukkan adanya perhatian dan kepedulian
secara pribadi dari sekolah pada individu yang kebutuhan perkembangannya
sedang sangat mendesak.
2. Sternberg & clickenbeard (dalam Santrock , 2011: 252), menyatakan para
peneliti telah menemukan bahwa anak berbakat belajar lebih cepat,
memproses informasi lebih cepat, menggunakan penalaran dengan lebih baik,
menggunakan strategi yang lebih baik dan memantau pemahaman mereka
denga lebih baik ketimbang anak yang tidak berbakat.
75
3. Suyono & Hariyanto (2012: 147) mengemukakan bahwa, tipe belajar atau
gaya belajar siswa yang berdasarkan sejumlah penelitian terbukti penting
untuk diketahui guru. Woolover dan Scott (1988), Dunn, Beaudry dan
Klavas (1989) menemukan sebagai hasil penelitiaanya betapa pentingnya
bagi guru untuk memadukan gaya mengajarnya dengan gaya belajar siswa.
Setiap siswa memiliki gaya belajarnya sendiri. Dengan mengetahui gaya
belajar setiap siswa, guru akan mampu mengorganisasikan kelas sedemikian
rupa sebagai respon terhadap kebutuhan setiap individu siswanya.
4. Ashton & Webb (dalam Santrock, 2011: 524), bahwa dalam sebuah studi
Self-Efficacy instrusional dari guru berhubungan dengan prestasi akademik
murid untuk pelajaran Matematika dan Bahasa. Murid banyak belajar dari
guru yang merasa yakin pada dirinya sendiri ketimbang guru yang ragu-ragu
pada dirinya sendiri. Guru yang tingkat keyakinan dirinya tinggi cenderung
memandang murid bermasalah sebagai murid yang bisa diajar dan dijangkau.
Menurut mereka menganggap problem pembelajaran masih bisa diatasi
dengan usaha yang lebih baik dan strategi yang lebih tepat untuk membantu
murid. Berbeda dengan guru dengan Self-Efficacy rendah, cenderung
mengatakan bahwa kemampuan murid yang rendah adalah penyebab dari
ketidakmampuan murid dalam belajar.
2.2 Keragka Konseptual dan Hipotesis
2.2.2 Kerangka Konseptual
Sekolah memiliki pengaruh besar bagi anak-anak dan remaja.
Pengaruh sekolah dewasa ini lebih kuat dibandingkan pada generasi-
generasi sebelumnya, karena lebih banyak individu yang lebih lama
menghabiskan waktunya di sekolah. Anak-anak dan remaja mengahbiskan
waktu bertahun-tahun bersekolah sebagai anggota dari suatu masyarakat
kecil dan menyelesaikan beberapa tugas, ada orang yang dikenal dan
mengenal dirinya serta peraturan yang menjelaskan dan membatasi
perilaku, perasaan dan sikap mereka. Pengalaman yang diperoleh anak-
anak dan remaja ini memiliki pengaruh yang besar dalam perkembangan
identitasnya, keyakinan atas kompetensi dirinya, gambaran hidup dan
76
kesempatan berkarier, hubungan-hubungan sosial, batasan menganai yang
benar dan yang salah serta pemahaman mengenai bagaimana sistim social
di luar lingkup kelauarga berfungsi.
Penyelengaraan Program Pendidikan Kelas Unggulan merupakan
salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan
dasar dan pendidikan menengah. Peserta didik yang diterima adalah siswa
yang sudah melalui bebagai seleksi terutama seleksi dalam bidang
akademik.Siswa yang berada di Kelas Unggulan ini diharapkan bahwa
segala potensi yang dimiliki dapat berkembang secara maksimal.
Bertolak dari berbagai tulisan sebagai hasil penelitian para pakar
terdahulu bahwa hasil belajar dan potensi siswa akan lebih berkembang
apabila siswa tersebut mengalami pembelajaran sesuai dengan
kebutuhannya atau sesuai dengan kondisi siswa bersangkutan atau dengan
kata lain pembelajaran yang dilakukan oleh pendidik sesuai dengan
karakteristik siswa bersangkutan, seperti: kecerdasan intelektualnya,
kondisi fisik, kondisi psikologis, gaya balajarnya, efikasi diri atau
kepercayaan diri siswa, lingkungan dan lain sebagainya. Oleh sebab itu
agar siswa dapat memperoleh hasil belajarnya yang maksimal maka
diharapkan guru atau pendidik harus mengetahui karakteritik masing-
masing peserta didiknya, sehingga gaya mengajarnya disesuaikan dengan
kebutuhan/kondisi siswanya.
Salah satu bidang akademik yang menjadi focus perhatian para
guru/pendidik dalam melakukan seleksi calon siswa baru adalah hasil
belajar Matematika siswa yang bersangkutan. Kemudian ada anggapan
atau pandangan yang sering terungkap dalam masyarakat umum, bahwa
siswa yang memiliki nilai Matematika tinggi atau baik dianggap sebagai
siswa cerdas atau pintar dan sebaliknya siswa bersangkutan juga muncul
perasaan bangga bahkan cenderung memiliki perasaan bangga yang
berlebihan apabila nilai Matematikanya tinggi.
Dalam tulisan ini peneliti membatasi kajiannya pada gaya belajar
dan self-efficacy/kepercayaan diri siswa saja. Apakah siswa yang
dikategorikan cerdas secara intelektual memiliki cirikhas gaya belajar jika
77
dibandingkan dengan siswa lainnya?. Selanjutnya peneliti ingin
mengetahui apakah siswa yang dikategorikan cerdas secara intelektual
tingkat self-efficacynya terhadap pelajaran Matematika jauh lebih tinggi
atau lebih baik jika dibandingkan dengan siswa lainnya? Dan apakah rata-
rata nilai Matematika siswa yang dikategorikan cerdas secara akademik
jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan siswa lainnya? Apabila hal ini
benar, maka hasil penelitian ini dapat menjadi pertimbangan kepada para
guru/panitia perekrutan siswa baru Kelas Unggulan dan sejenisnya, untuk
memprioritaskan nilai Matematika sebagai faktor utama dalam melakukan
seleksi calon siswa baru. Selanjutnya kondisi dan karakteristik peserta
didik terutama gaya belajarnya menjadi pertimbangan yang tidak boleh
diabaikan oleh para guru/pendidik dalam proses pembelajaran.
Dengan demikian diharapkan bahwa, nilai Matematika siswa
menjadi prioritas utama dalam menyeleksi calon siswa baru Kelas
Unggulan. Kemudian diharapkan bahwa dengan program Kelas Unggulan
ini segala potensi yang dimiliki siswa yang berada di kelas tersebut dapat
berkembang secara maksimal, dan pembelajaran yang dilakukan oleh para
guru/pendidik semakin menyesuaikan dengan kebutuhan/kondisi atau
karakteristik peserta didiknya, sehingga kualitas pendidikan di kabupaten
Nias Selatan khususnya dan di Indonesia pada umumnya semakin lebih
baik.
2.2.3 Hipotesis Penelitian
Sugiyono (2011: 117) mengatakan “ Menguji hipotesis komparatif
berarti menguji parameter populasi yang berbentuk perbandingan melalui
ukuran sampel yang juga berbentuk perbandingan”. Menurutnya dapat
juga berarti menguji kemampuan generalisasi (signifikan hasil penelitian)
yang berupa perbandingan keadaan variabel dari dua sampel atau
lebih.Dan dalam penilitian ini dimaksud adalah komparatif dalam dua
sampel yaitu sampel independen/bebas ( sampelnya berbeda). Oleh sebab
itu rumusan hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut:
Hipotesis I:
78
1. Terdapat perbedaan yang signifikan hasil belajar Matematika antara Kelas
Unggulan dengan Kelas Regular.
2. Hasil belajar Matematika siswa Kelas Unggulan lebih tinggi dari pada hasil
belajar siswa Kelas Reguler ?
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Tempat pelaksanaan penelitian ini adalah SMP Swasta Bintang
Laut Telukdalam Kabupaten Nias Selatan. Penelitian ini dilaksanakan
pada minggu ketiga bulan April tahun 2015.
3.2 Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi dalam penelitian adalah seluruh siswa SMP Swasta
Bintang Laut Telukdalam berjumlah 650 orang. Sedangkan Sampel dalam
penelitian ini adalah siswa kelas IX Program Pendidikan Kelas Unggulan
79
dan siswa kelas IX Program Pendidikan Kelas Regular Tahun Pelajaran
2014/2015.
3.3 Desain Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian kuantitatif dengan metode
komparatif, yakni metode penelitian yang diarahkan untuk mengetahui apakah
antara dua variable ada perbedaan dalam suatu aspek yang diteliti. Dalam
penelitian ini tidak ada manipulasi dari peneliti. Penelitian dilakukan secara alami,
dengan mengumpulkan data dengan suatu instrument. Hasilnya dianalisis secara
statistik untuk mencari perbedaan variable yang diteliti.
3.4 Definisi Operasional dan variabel penelitian
Definisi Operasional(i) Program Pendidikan Kelas Unggulan, adalah program pembelajaran terhadap
peseta didik yang dirancang sedemikian rupa, yang diperuntukkan bagi siswa
yang memiliki potensi kecerdasan yang tinggi/otak cemerlang,
berkemampuan, berbakat, memiliki kreativitas dan prestasi yang menonjol
dibandingkan dengan siswa lainnya kemudian diberi program pengajaran yang
sesuai dengan kurikulum yang dikembangkan dan adanya tambahan materi
pada mata pelajaran tertentu, dengan tujuan agar potensi yang dimiliki siswa
dapat berkambang secara optimal.
b. Kelas Unggulan, adalah kelas yang ditempati oleh siswa yang dianggap
memiliki kecerdasan intelektual tinggi dan telah lulus seleksi terutama dalam
bidang akademik baik oleh pemerintah maupun oleh lembaga pendidikan
SMP Bintang Laut.
c. Program pendidikan Kelas Reguler
……
d. Gaya belajar. Gaya belajar adalah pola peri laku atau cara belajar yang
spesifik pada diri seseorang (peserta didik) untuk menerima informasi baru
yang bersifat kognitif, afektif dan psikhomotor dalam kegiatan belajarnya.
Dalam penelitian ini penulis mengkaji gaya belajar menurut pendapat
DePorter dan Hernacki yang terdiri dari tiga jenis gaya belajar, yakni:
80
Gaya belajar Auditori, Gaya belajar Visual, Gaya belajar Kinestetik.
Pengkategorian ini bukan berarti bahwa individu hanya memiliki salah satu
karakteristik gaya belajar tertentu, sehingga tidak memiliki karakteristik gaya
belajar yang lain. Pengkategorian ini merupakan pedoman bahwa individu
memiliki salah satu karakteristik yang paling menonjol atau dominan,
sehingga jika individu mendapat rangsangan yang sesuai dengan gaya
belajarnya, maka akan memudahkannya untuk menyerap pelajaran. Dengan
kata lain jika sang individu menemukan metode belajar yang sesuai dengan
karakteristik gaya belajarnya, maka ia akan cepat menjadi “pintar”.
e. Self-efficacy. Pengertian Self-efficacy (efikasi diri) dalam tulisan ini dapat
berarti rasa peracaya diri yang kuat atau keyakinan seseorang atas kualitas
dirinya atau suatu keyakinan diri atau rasa percaya diri siswa bahwa ia dapat
menguasai situasi dan memproduksi hasil positip atau dengan kata lain Self-
efficacy adalah keyakinan seseorang atas kapasitas atau kualitas dirinya untuk
bisa menjalankan tugas atau menangani persoalan dengan hasil yang bagus
(to succeed), misalnya keyakinan dirinya atas kemampuannya terhadap mata
pelajaran Matematika.
f. Hasil belajar Matematika. Hasil belajar Matematika yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah rata-rata nilai Matematika siswa dari semester I (satu)
kelas VII sampai dengan semester I di kelas IX (ada 5 semester) dan juga
berdasarkan nilai hasil tes yang dilakukan oleh peneliti.
Variabel penelitian
Variabel penelitian dalam tulisan ini adalah:
o Gaya belajar siswa Kelas Unggulan (x1 ) dan gaya belajar siswa Kelas
Reguler (x2 )
o Self-efficacy siswa Kelas Unggulan (xa ) dan Self-efficacy siswa Kelas
Reguler (xb )
o Rata-rata nilai hasil belajar Matematika siswa Kelas Unggulan (x t ) dan
rata-rata nilai hasil belajar Matematika siswa Kelas Reguler (xu )
81
g. Instrumen Tes. Tes adalah suatu pertanyaan, tugas, atau seperangkat tugas
yang direncanakan untuk memperoleh informasi, yang setiap butir pertanyaan
mempunyai jawaban dan memberikan implikasi bahwa setiap butir tes
menuntut jawaban dari orang yang dites. Instrumen tes pada umumnya
digunakan untuk menilai hasil belajar kognitif (pengetahuan). Maka instrumen
tes dalam tulisan ini adalah suatu pertanyaan atau seperangkat soal-soal
Matematika yang disusun berdasarkan materi pelajaran Matematika
Matematika SMP sesuai dengan kurikulum 2006 (KTSP).
h. Tes hasil belajar, merupakan jenis tes yang diberikan kepada siswa oleh guru
untuk mengetahui tingkat penguasaan bahan atau materi pelajaran yang telah
disampaikan selama proses pembalajaran dalam bentuk ulangan, ujian ataupun
dalam bentuk kegiatan evaluasi lainnya. Hasil tes menggambarkan
kemampuan siswa dalam menguasai materi pelajaran. Hasil ini juga
menggambarkan siswa yang memiliki masalah atau kesulitan belajar siswa
yang biasanya diidentifikasi dari capaian nilai yang rendah dibandingkan
siswa lainnya. Rumus yang digunakan untuk menghitung nilai tes hasil belajar
Matematika adalah sebagai berikut:
3.5 Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian, data dikumpulkan oleh peneliti melalui dua bentuk
kegiatan yaitu:
N = B - S
n−1Keterangan: N = Nilai tesB = Jumlah butir yang dijawab benarS = Jumlah butir yang dijawab salahN = banyaknya pilihan jawaban (option)1 = bilangan tetap (konstanta)
82
(1) Menyusun dua macam instrumen dalam bentuk kuesioner yaitu instrumen untuk
memperoleh data tentang gaya belajar siswa (Auditori, visual atau kinestetik)
baik Kelas Unggulan maupun Kelas Reguler dan instrumen self-efficacy siswa
terhadap mata pelajaran Matematika.
(2) Untuk memperoleh data mengenai rata-rata hasil belajar siswa pada mata
pelajaran Matematika, peneliti melakukan dua cara, yakni:
b. Studi pustaka atau studi literatur untuk memperoleh data tentang rata-rata
hasil belajar siswa pada mata pelajaran Matematika yaitu siswaKelas IX TP
2014/2015 Program Pendidikan Kelas Unggulan dan nilai siswa Kelas IX
Reguler TP. 2014/2015. Data yang dimaksud diperoleh berdasarkan daftar
nilai dan rapor siswa mulai dari kelas VII sampai dengan semester satu di
kelas IX.
c. Melakukan tes tertulis yang disusun berdasarkan materi pelajaran
Matematika Sekolah Menengah Pertama (SMP) sesuai dengan kurikulum
2006 atau KTSP.
3.6 Prosedur Penelitian
Pelaksanaan penelitian ini dilakukan setelah mendapat izin resmi dari
Kepala Sekolah SMP Swasta Bintang Laut dan Surat Rekomondasi dari Ketua
Prodi Pendidikan Dasar. Untuk memperoleh data-data tentang siswa disesuaikan
jadwal pelajaran sekolah yang bersangkutan dengan harapan tidak merugikan
siswa dilihat dari waktu yang dibutuhkan. Pelaksanaan perlakuan dalam penelitian
dilaksanakan satu kali untuk setiap variabel yang diteliti, baik untuk siswa Kelas
Unggulan maupun Kelas Reguler, sehingga membutuhkan waktu minimal 1
(satu) minggu.
a. Prosedur pengambilan data tentang Gaya Belajar siswa.
Format atau instrumen tentang Gaya Belajar yang telah disusun Peneliti
dibagikan kepada masing-masing siswa untuk diisi oleh siswa secara bebas
sesuai dengan keadaanya. Berdasarkan jawaban siswa peneliti akan
mengelompokkan jawaban tersebut sesuai dengan unsur-unsur dari tiga jenis
Gaya Belajar (Visual, Auditori dan Kenestetik). Maka sesui dengan
83
penjelasan sebelumnya, bahwa unsur-unsur yang dominan dari ketiga jenis
Gaya belajar adalah menjadi Gaya belajar siswa bersangkutan.
b. Prosedur pengambilan data hasil belajar Matematika.
Untuk memperoleh rata-rata hasil belajar Matematika dari dari semester I
(satu) Kelas VII s/d Semester I (satu) Kelas IX, peneliti memperolehnya
melalui Dokumentasi sekolah, yaitu: Buku daftar nilai dan buku rapor siswa.
Selanjutnya peneliti membandingkan dengan nilai siswa dari soal tes yang
diberikan.
Untuk mengetahui kelayakan soal tes hasil belajar Matematika pada materi
pelajaran Matematika semester I (satu) kelas IX, maka sebelumnya akan
dilakukan uji coba pada siswa SMP St. Yoseph di Medan, dan berdasarkan itu
dapat dilihat validitas dan reliabelitas soal tersebut. Kegiatan menyelesaikan
soal tes hasil belajar Matematika dilakukan pada jam pelajaran Matematika.
c. Prosedur pengambilan data tentang self-efficacy siswa terhadap mata
pelajaran Matematika.
Agar jawaban yang diberikan siswa terhadap instrumen self-efficacynya pada
pelajaran Matematika dianggap lebih valid, maka setelah menyelesaikan soal
tes Matematika akan disusul dengan pengisian instrumen self-efficacy
terhadap pelajaran Matematika.
3.7 Teknik Analisa Data
Untuk menganalisa data yang diperoleh, peneliti melakukan tiga
cara:
a. Analisa data tentang gaya belajar, peneliti melihat unsur-unsur gaya belajar
yang dominan yang dimiliki oleh siswa dari ketiga jenis gaya belajar, yaitu
Kinestetik, Auditori atau Visual, maka unsur dari gaya belajar yang doninan
merupakan gaya belajar siswa bersangkutan. Agar peneliti dapat melakukan
proses penilaian berdasarkan skor siswa, maka butir soal disususn sedemikian
rupa secara berurut dalam tabel, sesuai dengan butir-butir pada masing-masing
ketiga tipe gaya belajar. Urutan butir soal 1-12 adalah mencakup tipe gaya
belajar visual (ada 12 butir soal), nomor 13- 24 adalah tipe gaya belajar
auditori (ada 12 butir soal) dan no urut 25 – 35 adalah tipe gaya belajar
84
kinestetik (ada 11 butir soal). Skor maksimum untuk masing-masing butir
(SS) = 4 dan Skor Minimum (STS) = 1. Penentuan tipe gaya belajar yang
menjadi karakter siswa didasarkan pada persentase tertinggi dari ketiga tipe
gaya belajar tersebut dengan langkah-langkah sebagai berikut:
Tabel: 3.1Tabel gaya belajar siswa
NO.NAMA SISWA
Kelas Unggulan Kelas Reguler
Jenis Gaya Belajar Jenis Gaya Belajar
Visual Auditori Kinestetik Visual Auditori Kinestetik
Jlh.Skor %
Jlh.Skor %
Jlh. Skor %
Jlh.Skor %
Jlh.Skor %
Jlh. Skor %
12345
Selanjutnya akan tunjukkan dalam diagaram batang atau diagram lingkaran
tingkat persentase dari tiga jenis gaya belajar untuk Kelas Unggulan dan Kelas
Reguler.
b. Analisa data tentang tingkat self-efficacy siswa terhadap mata pelajaran
Matematika, peneliti membuat Kriteria/Penggolongan/pengelompokkan
jumlah skor sebagai berikut :
Skor ini diperoleh berdasarkan jawaban siswa pada setiap butir
instrumen self-efficacy. Ketentuan penilaian untuk setiap item adalah:
Skor maksimal untuk pernyataan positip (+), yaitu SS = 4 skor dan skor
minimal (STS) = 1. Tetapi sebaliknya Skor maksimal untuk pernyataan
negatip (-) yaitu (STS) = 4 sedangkan skor minimal (SS) = 1.
Skor 101 -125 : Memiliki self-efficacy penuh (sangat tinggi)
Skor 76 -100 : Memiliki self-efficacy tinggi
Skor 51-75 : Memiliki self-efficacy sedang
Skor 26 - 50 : Memiliki self-efficacy rendah
Skor 1- 25 : Tidak memiliki self-efficacy
Tabel: 3.2
85
Angket Self-efficacy
Variabel Jlh. Item
= 30
No. Item/pernyataan
(+) (-)
Self-efficacyItem (+) = 15
Item (-) = 15
4, 5, 7, 8, 10, 13, 14,
15, 17, 21, 25, 26,
28, 29, 30.
1, 2, 3, 6, 9, 11, 12,
16, 18, 19, 20, 22,
23, 24, 27.
c. Sedangkan analisa data rata-rata nilai hasil belajar Matematika siswa, peneliti
melanjutkan pengolahan data dengan langkah-langkah sebagai berikut:
Membuat tabel analisa data seperti berikut.
Tabel: 3.3
Persentase rata-rata hasil belajar Matematika berdasarkan nilai rapor
Kategori Nilai:Rata-rata Nilai
Rapor
Kelas Unggulan Kelas Reguler
Jumlah
Siswa
Proporsi
(%)
Jumlah
Siswa
Proporsi
(%)
(0 - 45)
(46 - 55)
(56 -74)
(75 - 84)
(85 -100)
T o t a l :
Tabel: 3. 4Persentase tes hasil belajar Matematika
86
Kategori Nilai:
Tes Hasil Belajar
Matematika
Kelas Unggulan Kelas Reguler
Jumlah
Siswa
Proporsi
(%)
Jumlah
Siswa
Proporsi
(%)
(0 - 45)
(46 - 55)
(56 -74)
(75 - 84)
(85 -100)
T o t a l :
Tabel: 3.5Persentase hasil belajar Matematika berdasarkan rata-rata nilai rapor dan nilai hasil tes.
Kategori Nilai:Rata-rata Nilai
Rapor&
Nilai Hasil Tes
Kelas Unggulan Kelas Reguler
Jumlah
Siswa
Proporsi
(%)
Jumlah
Siswa
Proporsi
(%)
(0 - 45)
(46 - 55)
(56 -74)
(75 - 84)
(85 -100)
T o t a l :
d. Selanjutnya karena data hasil belajar Matematika sudah dalam bentuk data
interval dari dua sampel yang tidak berkorelasi atau sampel independen
dengan jumlah masing-masing sampel ≥ 30, maka teknik statistik yang
digunakan untuk analisa data adalah statistik parametrik dengan syarat jika
87
data terdistribusi normal dan kedua simpangan baku homogen, maka untuk
mengalisa data dalam arti menguji kesamaan dua rata-rata dari kedua sampel
digunakan statistik ”t”. Namun jika data terditribusi normal, tetapi kedua
simpangan bakunya tidak homogen, maka statistik yang digunakan untuk
menganalisa datanya adalah statistik ”t'”.
(3) Jadwal Penelitian: ........Terlampir
Daftar Pustaka
Ahmadi, A. & Supriyono, W. 2008. Psikologi Belajar Edisi Revisi. Jakarta:
Rineka Cipta.
88
Chatib, M. 2012. Orangtuanya Manusia. Bandung: Kaifa
Chatib, M. 2014. Gurunya Manusia.Bandung: Kaifa.
Dalyono, M. 2012. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Daryanto. 2013. Inovasi Pembelajaran Efektif. Bandung: Yrama Widya.
Djamarah, S, B. 2011. Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Dryden, G. & Vos, J. 2000. Revolusi Belajar (The Learning Revolution).
Bandung: Kaifa.
Hamalik, O. 2010.Prose Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Asksara
Hasratuddin dkk. 2014. PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Matematika
Berbasis PISA. Unimed: Unimed Press.
Hartinah, Hj, S. 2008. Perkembangan Peserta Didik. Bandung: Refika Aditama.
Hosnan, M. 2014. Pendekatan Saintifik dan Kontekstual Dalam Pembelajaran
Abad 21. Bogor: Ghalia Indonesia.
Hudojo, H. 2005.Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika.
Malang:
Irham, M.& Wiyani,N, A. 2013. Psikologi Pendidikan Teori dan Aplikasi Dalam
Proses Pembelajaran. Jogjakarta: AR. RUSSMEDIA.
Ismunamto, A, dkk. 2011. Ensiklopedia Matematika. Jakarta: Lentera Abadi.
Khairani, H, M. 2013. Psikologi Belajar.Slamet, Yogyakarta: Aswaja Pressindo.
Muhibbin Syah. 2006. Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru. Bandung:
REMAJA ROSMADAKARYA.
Nawi, M. 2012. Pengaruh Strategi Pembelajaran dan Kemampuan Penalaran
Formal Terhadap Hasil Belajar Matematika. Medan. Tesis Program
Pascasarjana UNIMED.
Purwanto, M,N. 2007. Psikologi Pendidikan. Bandung: REMAJA
ROSDAKARYA.
Sardiman. 2011. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Rajawali Pers.
Shadiq, F. 2014. Pembelajaran Matematika. Yogyakarta: GRAHA ILMU.
Slameto. 2010. Belajar & Fakotr-faktor Yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka
Cipta.
Slameto. 2013. Belajar & Fakotr-faktor Yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka
Cipta.
89
Sanjaya, W. 2011.Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses
Pendidikan. Jakarta: Kencana.
Santrock, J.W. 2003. ADOLESCENCE Perkembangan Remaja. Jakarta:
Erlangga.
Santrock, J.W. 2011. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Kencana
Setiawan, P. 2014. Siapa Takut Tampil Percaya Diri .Yogyakarta.Parasmu.
Suharso & Retnoningsih, A. 2011. Kamus Besara Bahasa Indonesia. Semarang:
Widya Karya.
Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif,
Kualitattif dan R &D. Bandung: ALFABETA
Suryosubroto, B. 2010.Beberapa Aspek Dasar-dasar Kependidikan. Jakarta:
Rineka Cipta.
Sukmadinata, N, S. 2005. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung:
REMAJA ROSDAKARYA.
Suyanto & Asep Jihad. 2013. Menjadi Guru Profesional Strategi Meningkatkan
Kualifikasi dan Kualitas Guru di Era Globalisasi.Jakarta:
Erlangga.
Suyono & Hariyanto. 2012. Belajar dan Pembelajarn. Bandung: REMAJA
ROSDAKARYA
Tilaar, H, A, R. 2012. Standarisasi Pendidikan Nasional Suatu Tinjauan
Kritis.Jakarta. Rineka Cipta.
Uno, H, B. 2011. Model Pembelajaran Menciptakan Proses Belajar Mengajar
yang Kreatifdan Efektif. Jakarta: PT Buni Aksara
Wijaya, A. 2012.Pendidikan Matematika Realistik Suatu Alternatif Pendekatan
Pembelajaran Matematika. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Minarti (online) http://minartirahayu.blogspot.com/2013/03/pengertian-gaya-
belajar-berbagai-macam.html. diakses tanggal 03 April 2014.
M. Fakhruddin. (online) https://ml.scribd.com/doc/.../Layanan-Program-Aksele...
Diakses tanggal 17 Januari 2015.
90
Purwoko. (Online) http://staff.uny.ac.id/ sites/default/files/ Pengembangan
PembelajaranMatematika_UNIT_3_0.pdf. Diakses tanggal 23 Oktober 2014
http://repository. usu.ac.id/ bitstream/.../5/Chapter%20I.pdf,
Diakses tanggal 21 September 2014.
Roheni.(2013). (online) http://repository .upi.edu/1518/4/S _MTK_0902085
CHAPTER1.pdf. Diakses tanggal 22 September 2014.
Setiadi, R (online) file.upi.edu/.../EFIKASI_DIRI_DAN_KINERJA_GUR....
Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung. diakses 22 Jan 2015
http://digilib.unimed.ac.id/public/UNIMED-Master-26155 8106171015 %20 Bab
%20I.pdf. Diakses tanggal 22 September 2014.
Sri Hastuti Noer1 (Online) Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan
Matematika FMIPA UNY Yogyakarta, 10 November 2012) FKIP
Universitas Lampung. Diakses 09 Maret 2014.
Syatra, N,Y. 2013. Desain Relasi Efektif Guru dan Murid. Jogjakarta:
BUKUBIRU.
Pustaka Sekolah. (Online) http://www.pustakasekolah.com/pengertian-
matematika.html ), diakses tanggal 09 Maret 2014
Jurnal vol Yudi suharsono dan I Validitas dan reliabilitas skala self efficacy
(online)https://www. ejournal.unsrat. ac . id /index.php/ egigi/article
/download/1927/2166. Diakses tanggal 09 Sep 2014
Suharsono, Y.& Istiqomah. 2014. (online) Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan.
Fakultas Psikologi Muhammadiyah: Malang.
http://p4tkmatematika.org/file/Bermutu%202011/SD/13.PENERAPAN%20
TEORI%20BELAJAR%20DALAM%20PEMBELAJARAN%20...pdf
Better Education through Reformed Management and Universal Teacher
Upgrading Better Education through Reformed Management and
Universal Teacher Upgrading.
91