KELEMBAGAAN PERTANIAN DI DESA-DESA …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_96_2009.pdf ·...
-
Upload
nguyenminh -
Category
Documents
-
view
216 -
download
2
Transcript of KELEMBAGAAN PERTANIAN DI DESA-DESA …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_96_2009.pdf ·...
ICASEPS WORKING PAPER No. 96
KELEMBAGAAN PERTANIAN DI DESA-DESA PALAWIJA DI INDONESIA
Supadi
Januari 2009
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian(Indonesian Center for Agricultural Socio Economic and Policy Studies)Badan Penelitian dan Pengembangan PertanianDepartemen Pertanian
1
KELEMBAGAAN PERTANIAN DI DESA-DESA PALAWIJADI INDONESIA
Oleh: Supadi
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan PertanianJalan A. Yani No.70 Bogor 16161
Abstrak
Kelembagaan pertanian di desa palawija di Indonesia. Kelembagaan pertama mempunyai peran strategis dan perlu dikembangkan dan ditata agar dapat meningkatkan jangkauan petani terhadap pengelolaan aset produktif, sumber pembiayaan, dan penerapan teknologi;sehingga mampu meningkatkan produktivitas, pendapatan, dan kesejahteraan petani. Penelitian ini bertujuan menganalisis keberadaan dan kondisi kelembagaan pertanian di perdesaan palawija. Penelitian dilakukan dengan dengan survey di 40 desa palawija terpilih yang mencerminkan representasi nasional. Pengumpulan data primer menggunakan kuesioner terstruktur dengan menggunakan metode FGD yang melibatkan kepala desa, pamong desa, tokoh masyarakat, dan petugas pertanian terkait. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelembagaan pertanian di Jawa relatif berkembang dibandingkan di luar Jawa. Sebagian besar desa di luar Jawa belum dilengkapi kios sarana produksi. Pedagang pengumpul merupakan lembaga usaha yang paling dominan. Pengadaan benih dengan cara beli, produksi sendiri, dan tukar menukar. Pengadaan sarana produksi secara tunai juga dikenal sistem yarnen. Sistem upah biasanya harian. Borongan dominan pada kegiatan pengolahan tanah sedangkan sambatan pada kegiatan tanam dan penyiangan. Sistem pemasaran tebasan hanya dijumpai di sebagian desa. Sistem penguasaan lahan selain milik sendiri yang dominan adalah sewa, disusul sakap, dan gadai. Sewa lahan dalam periode setahun, dibayar dengan uang tunai dan dibayar dimuka. Petani umumnya menggunakan modal sendiri. Pedagang pengumpul, kios saprodi, dan simpan pinjam komunitas merupakanlembaga yang turut membantu pembiayaan modal usahatani. Lembaga pembiayaan formal umumnya berada di luar desa. Sebagian besar desa telah ada peyuluh pertanian dan kelompok tani, namun aktivitasnya masih rendah.
Kata kunci: desa palawija, kelembagaan pertanian, peran strategis.
Abstract
Institutionally agriculture in second crop villages in Indonesia: Institutionally agriculture had the strategic role and must be developed and organized, in order to be able to increase the range of the farmer towards the productive assets management, the source of funding and the application of technology so as to be able to increase the productivity, the income and welfare of the farmer. This research aimed at analyzing the existence and the institutional condition for agriculture in second crop rural areas. The research was carried out with the survey in 40 second crop villages were chosen that reflected the national representation. The primary data collection used the structure questionnaire by using the FGD method that involved the village head/the village administration, the public figure and the official of related agriculture. Results of the research showed that institutional agriculture in Java relative more developing compared with outside Java. Most villages outside Java were not yet equipped the kiosk of production means. The collector's trader was the efforts agency that most dominant. The procurement of the seed by means of bought, the production personally and the exchange. The procurement of production means in cash and the system yarning, the pay system is generally daily, wholesale dominant in the processing activity of the land, whereas assistant in the activity planted and weeding. The marketing system produce both before harvesting (tebasan) only was encountered in village. The system of the land command apart from property personally was rent was followed sharecropper and the security. Payments of land rent in cash by money pay in advance in the period one year. The farmer generally uses capital personally. The collector's trader, the input kiosk, and kept borrowed the community was the agency that took part in helping capital of the farming. The formal funding agency generally was outside the village. Most villages were field worker of agriculture and the farmer's group, but his activity was still low.
Key word: the second crop village, institutional agriculture, strategic role.
2
PENDAHULUAN
Komoditas palawija (jagung, kacang-kacangan, dan umbi-umbian)
memegang peranan strategis sebagai sumber karbohidrat, protein nabati, dan bahan
baku industri, karena itu permintaannya terus meningkat. Namun, kemampuan
produksi dalam negeri belum maksimal, terutama untuk jagung dan kacang-
kacangan yang masih mengimpor dalam jumlah besar (Soedaryono, 2005 dan
Swastika et.al, 2006).
Perkembangan teknologi produksi tanaman palawija relatif pesat terutama
untuk penemuan varietas unggul diikuti oleh teknologi pengelolaan hara dan
teknologi pengendalian hama dan penyakit. Akan tetapi akses petani terhadap
teknologi inovatif tersebut masih rendah karena masalah intern maupun ekstern.
Menurut Hilman et.al (2004) dan Subandi et.al (2004), persoalan yang dihadapi
untuk pengembangan palawija adalah masalah sosial ekonomi dan kelembagaan
diantaranya: 1) harga hasil produksi yang fluktuatif dan cenderung merosot; 2) harga
sarana produksi yang meningkat mahal; 3) lemahnya modal petani, petani
kurang/sulit mengakses modal; 4) insentif usahatani yang belum memadai; dan 5)
keterbatasan prasarana jalan usaha tani farm road di beberapa wilayah sentra
produksi sehingga sulit mengangkut hasil panen (biaya angkut menjadi lebih mahal).
Kelembagaan merupakan faktor penting dalam mengatur hubungan antar-
manusia untuk penguasaan faktor produksi yang langka. Mengingat pentingnya
faktor kelembagaan dalam pembangunan pertanian, maka aspek kelembagaan ini
perlu mendapat perhatian (PSE-KP, 2005).
Kelembagaan pertanian dan perdesaan perlu dikembangkan dan ditata agar
dapat meningkatkan jangkauan petani terhadap pengelolaan aset produktif, sumber
pembiayaan, dan penerapan paket teknologi yang ramah lingkungan yang sekaligus
mampu meningkatkan produktivitas, pendapatan, dan kesejahteraan masyarakat
perdesaan secara lebih merata.
Perkembangan dan dinamika kelembagaan pertanian yang merupakan
jalinan antara masyarakat perdesaan/petani dengan masyarakat nasional sebagai
motor penggerak pembangunan pertanian sangat relevan untuk dicermati. Dinamika
kelembagaan yang terkait dengan usaha pertanian tersebut sangat menentukan
proses pembangunan karena menyangkut status pengambilan keputusan dalam
usaha pertanian, baik dalam kegiatan berproduksi maupun kegiatan investasi pada
umumnya.
Pembangunan pertanian memerlukan bantuan dan pengertian dari semua
pihak. Menurut Kasryno (1997) unsur kelembagaan yang terkait dengan sektor
pertanian merupakan salah satu yang terlemah dibandingkan sektor lain. Kelemahan
3
yang sangat menonjol dari aspek kelembagaan adalah koordinasi yang lemah
antarsektor, pelayanan publik yang belum efisien, dan masih kurangnya saling
percaya antarpihak yang bermitra usaha. Di sisi lain, koordinasi antar lembaga
pemerintah seperti Departemen Pertanian, Departemen Dalam Negeri, Badan
Koordinasi Penanaman Modal (BKPN), dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang
kurang kuat sering menghambat pengembangan agroindustri di suatu wilayah.
Kelemahan dalam pengembangan kelembagaan pertanian dan perdesaan
merupakan salah satu faktor yang menyebabkan rentannya produksi pertanian.
Kelemahan ini juga dapat menyebabkan sistem ekonomi desa dan pertanian rakyat
belum seluruhnya masuk dalam sistem ekonomi moneter.
Upaya pengembangan kelembagaan pertanian dalam rangka
memberdayakan petani dan masyarakat perdesaan merupakan salah satu program
Departemen Pertanian, disamping program peningkatan produksi, produktivitas, dan
efisiensi usahatani dan program peningkatan luas areal tanam dan panen (Swastika
et.al, 2006).
Mencermati peran aktif dan efektivitas kelembagaan pertanian dalam arti
mengetahui keberadaan dan keragamannya sangat penting agar dapat dilakukan
evaluasi terhadap kelembagaan pertanian tersebut, terutama menyangkut
pencapaian misi dan tujuan kelembagaan dan dampaknya terhadap petani dan
usahatani.
Tinjauan Pustaka
Petani adalah subyek utama yang menentukan produktivitas usahatani yang
dikelolanya. Secara naluri, petani menginginkan tingkat produktivitas usahatani yang
akan memberikan manfaat optimal dari sumberdaya yang dimilikinya (lahan, tenaga
kerja, modal, dan manajemen).
Tingkat produktivitas sumberdaya usahatani tergantung dari tingkat kemajuan
teknologi yang diterapkan, maka kemampuan dan kegairahan petani berinovasi
dengan mengadopsi teknologi baru adalah syarat mutlak untuk meningkatkan
produktivitas, dan sumberdaya yang dimiliki sebagian tergantung kepada kondisi
lingkungan yang menyediakan fasilitas dan iklim yang diperlukan kehidupan
berusahatani. Ini berarti bahwa kinerja pertanian ditentukan oleh perilaku petani.
Sementara perilaku petani selain dipengaruhi oleh kemampuannya sendiri juga
dipengaruhi oleh keberadaan kelembagaan yang mengkoordinasikan input dan
output pertanian. Dengan demikian, keberadaan seperangkat kelembagaan
4
pertanian di perdesaan menjadi penting untuk menunjang keberhasilan
pembangunan pertanian (Witjaksono, et.al, 2000).
Menurut Pakpahan (1990) dipandang dari sudut individu kelembagaan
merupakan gugus kesempatan bagi individu dalam membuat keputusan dan
melaksanakan aktivitasnya serta merupakan sistem organisasi dan kontrol terhadap
sumberdaya.
Kelembagaan dibangun sebagai aturan main untuk mengatur perilaku
ekonomi dalam suatu masyarakat. Kelembagaan terpandang penting mengingat
kelembagaan inilah yang mendasari keputusan untuk produksi, investasi, dan
kegiatan ekonomi lainnya yang dibuat oleh seorang individu atau sebuah organisasi
dalam konteks sosial atau saling hubungan dengan pihak lain. Perubahan dalam
kelembagaan akan merubah kesempatan yang dihadapi para pelaku ekonomi
sehingga keragaan ekonomi seperti input, output, kesempatan kerja, dan distribusi
pendapatan akan berubah. Demikian pula perubahan dalam teknologi, preferensi,
pendapatan dan lain-lain menuntut adanya perubahan dalam kelembagaan (Badrun
dan Ngongu, 1994).
Kelembagaan muncul sebagai upaya untuk memecahkan masalah sehingga
kelembagaan tersebut berkembang sesuai dengan semakin kompleksnya masalah
yang dihadapi masyarakat. Pembangunan pertanian di Indonesia juga melalui
mekanisme kelembagaan. Dinamika kelembagaan terus berlangsung berdampingan
dengan perubahan teknologi dan pola kehidupan masyarakat (Gunawan et.al, 1989).
Menurut Tjondronegoro (1994), semakin banyak tujuan yang ingin dicapai suatu
masyarakat, semakin banyak pula organisasi yang khusus dibentuk untuk mencapai
tujuan-tujuan tertentu.
Sistem usaha pertanian di perdesaan melibatkan begitu banyak orang
sehingga perlu campur tangan yang intensif dari pemerintah untuk mengatur dan
mengembangkan wilayah perdesaan tersebut. Kelembagaan merupakan salah satu
strategi yang penting sebagai penggerak dalam pembangunan perdesaan.
Menurut Mubyarto (1987), kelembagaan dalam suatu masyarakat mempunyai
peranan penting dalam menopang perkembangan suatu masyarakat. Dalam
masyarakat pertanian terdapat lembaga yang mempunyai peranan penting dalam
mempengaruhi peri-laku dan tindakan masyarakat petani dalam kegiatan sehari-
harinya maupun dalam usaha mencapai tujuan tertentu. Lembaga yang penting
dalam pertanian, misalnya pemilikan lahan, jual beli, sewa-menyewa lahan, bagi
hasil, gotong-royong, koperasi, arisan, dan lain-lain.
5
Tujuan
Tulisan ini bertujuan menganalisis komparasi keberadaan kelembagaan
pertanian khususnya di perdesaan palawija, sehingga akan diperoleh data dan
informasi tentang kondisi kelembagaan pertanian (kelembagaan petani dan
pendukung) yang ada.
Dari hasil analisis diharapkan dapat terinventarisasi : 1) elemen kelembagaan
pertanian yang sudah ada; 2) penumbuhan elemen kelembagaan yang dibutuhkan
tetapi belum tersedia, dan 3) inventarisasi elemen kelembagaan yang sudah ada
tetapi belum berfungsi secara efektif dan efisien.
Informasi tersebut sangat penting untuk menumbuhkan/membangun
kelembagaan pertanian yang mampu mendukung pertanian, sekaligus membuka
akses bagi petani untuk berpartisipasi dalam pembangunan pertanian.
METODOLOGI PENELITIAN
Lokasi Penelitian
Desa sampel yang terpilih berjumlah 40 desa palawija. Secara statistik desa
terpilih relatif telah dapat mencerminkan representasi secara nasional karena desa-
desa tersebut merupakan desa basis komoditas palawija, baik pada tingkat provinsi
maupun nasional dengan rincian sebagai berikut:
A. Berdasarkan komoditas
1) Desa jagung berjumlah 15 desa tersebar di 6 provinsi, dengan sebaran di
Sumatra Utara 2 desa, di Lampung 1 desa, Jawa Tengah 3 desa, Jawa Timur
5 desa, Sulawesi Selatan 2 desa, dan Nusa Tenggara Timur (NTT) 2 desa.
2) Desa kedelai berjumlah 6 desa tersebar di 3 provinsi, dengan sebaran di
Jawa Barat 1 desa, Jawa Tengah 2 desa, dan Jawa Timur 3 desa.
3) Desa kacang tanah berjumlah 8 desa tersebar di 4 provinsi, dengan sebaran
di Jawa Barat 2 desa, Jawa Tengah 2 desa, Jawa Timur 2 desa, dan
Sulawesi Selatan 2 desa.
4) Desa ubikayu berjumlah 11 desa tersebar di 6 provinsi, dengan sebaran di
Sumatera Utara 1 desa, Lampung 2 desa, Jawa Barat 2 desa, Jawa Tengah
3 desa, Jawa Timur 1 desa, dan NTT 2 desa.
B. Berdasarkan agroekosistem desa-desa pelawija sampel meliputi desa palawija lahan kering 28 desa, desa palawija lahan sawah nonirigasi 8 desa, dan desa palawija sawah irigasi 4 desa.
6
Jenis, sumber, dan analisis data
Jenis data yang digunakan terutama berasal dari data primer yang diperoleh
melalui pengumpulan data dengan metode Focus Group Discussion (FGD), yaitu
melakukan wawancara kelompok yang melibatkan kepala desa/pamong desa, tokoh
masyarakat (pengurus kelompok tani, Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A),
koperasi), petugas pertanian (PPL, KCD, BPP), dan lain-lain. Tujuan FGD untuk
mendapatkan data dan informasi tentang gambaran dan dinamika sosial ekonomi
desa yang berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya yang tersedia dan
kelembagaannya. Hasil wawancara dituangkan dalam kuesioner terstruktur yang
telah disediakan. Temuan-temuan dan informasi dari hasil diskusi dengan instansi
terkait, baik di tingkat provinsi, kabupaten, maupun desa yang belum tercakup dalam
kuesioner dicatat dalam catatan harian.
Data sekunder sebagai pendukung diperoleh dari sejumlah instansi terkait
dan dari hasil penelitian terdahulu. Data sekunder di tingkat desa yang dikumpulkan
terutama yagn berkaitan dengan potensi desa.
Data dianalisis secara deskriptif dan disajikan dengan menampilkan tabulasi
tunggal dan silang terhadap persoalan yang dianalisis.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kelembagaan Usaha/Jasa Pertanian
Kelembagaan usaha dan jasa pertanian sangat dibutuhkan untuk menunjang
usaha yang dilakukan oleh para petani di perdesaan. Tabel 1 menunjukkan bahwa
lembaga usaha agribisnis yang sangat berperan di desa palawija, berturut-turut,
adalah pedagang hasil panen, penggilingan padi, kios sarana produksi, dan jasa
traktor/bajak. Adanya penggilingan padi di sebagian besar desa palawija
menunjukkan bahwa komoditas padi merupakan tanaman yang tetap diusahakan
dan terutama bila desa tersebut mempunyai agroekosistem sawah atau
agroekosistem campuran (lahan kering dan sawah).
Tabel 1. Jumlah Desa yang Mempunyai Usaha Agribisnis (2006)
No. Jenis Usaha Jagung Kedelai K. Tanah Ubikayu Total
1
2
3
4
5
6
7
Penangkar benih
Kios saprotan
Produsen pupuk organik
Jasa traktor/bajak
Jasa pompa air
Pedagang hasil panen
Penggilingan padi
1 (6,7)
7 (46,7)
1 (6,7)
7 (46,7)
2 (13,3)
10 (66,7)
7 (46,7)
1 (16,7)
4 (66,7)
1 (16,7)
4 (66,7)
3 (50,0)
5 (83,3)
5 (83,3)
0 (0,0)
4 (50,0)
1 (12,5)
5 (62,5)
1 (12,5)
8 (100,0)
6 (75,0)
0 (0,0)
5 (45,5)
0 (0,0)
2 (18,2)
0 (0,0)
8 (72,7)
6 (54,5)
2 (5,0)
20 (50,0)
3 (7,5)
18 (45,0)
6 (15,0)
31 (77,5)
24 (60,0)
7
Berdasarkan pembangunan wilayah menurut Jawa dan luar Jawa
menunjukkan bahwa keberadaan lembaga usaha pertanian di Jawa relatif telah lebih
berkembang disbandingkan dengan luar Jawa. Sebagian besar desa palawija di luar
Jawa tidak mempunyai kios sarana produksi. Hal ini bisa berdampak pada kegiatan
produksi pertanian yang dilaksanakan tanpa penerapan teknologi inovatif, karena
ketiadaan kios sarana produksi tidak akan mendorong penggunaan sarana produksi
pertanian. Padahal ketersediaan sarana produksi secara lokal merupakan salah satu
syarat pokok pembangunan pertanian. Jumlah usaha pertanian palawija menurut
wilayah disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Jumlah Desa yang Mempunyai Usaha Agribisnis Menurut Wilayah (2006).
WilayahNo. Jenis Usaha
Jawa (23 desa) Luar Jawa (17 desa)Total (40 desa)
1
2
3
4
5
6
7
Penangkar benih
Kios saprotan
Produsen pupuk organik
Jasa traktor/bajak
Jasa pompa air
Pedagang hasil panen
Penggilingan padi
2 (8,7)
14 (60,9)
1 (4,3)
14 (60,9)
5 (21,7)
20 (87,0)
18 (78,3)
0 (0,0)
6 (35,3)
2 (11,8)
4 (23,5)
1 (5,9)
11 (64,7)
6 (35,3)
2 (5,0)
20 (50,0)
3 (7,5)
18 (45,)0
6 (15,0)
31 (77,5)
24 (60,0)
Kelembagaan Pengadaan Sarana Produksi
Cara pengadaan sarana produksi dirinci menurut 3 cara, yaitu memproduksi
sendiri, beli, dan tukar/ganti. Tabel 3 menunjukkan cara yang paling lazim dalam
pengadaan benih adalah melalui cara beli dan memproduksi sendiri, sedangkan
tukar menukar relatif jarang. Pupuk anorganik umumnya dibeli. Jasa traktor pada
umumnya melalui cara sewa atau menggunakan traktor/bajak milik sendiri.
Sedangkan penggunaan pompa air (milik sendiri selain melalui sewa) relatif jarang
dilakukan.
Pengadaan pupuk anorganik umumnya melalui cara beli, karena pupuk jenis
ini merupakan produksi pabrik. Jasa traktor dilaksanakan melalui sewa dan sebagian
kecil menggunakan traktor milik sendiri. Penggunaan pompa air di lahan kering tidak
ditemukan, justru penggunaan pompa air telah banyak digunakan di agroekosistem
sawah. Sedangkan jasa panen dilaksanakan melalui penyewaan. Namun bila melihat
persentase cara penyewaan tersebut sangat rendah dapat diduga karena pada
umumnya panen menggunakan tenaga keluarga sendiri.
8
Tabel 3. Jumlah Desa yang Biasa Melakukan Cara Pengadaan Sarana Produksi dan Jasa
(2006).
No.Cara
Pengadaan BenihPupuk
Anorganik/Obat-obatan
JasaTraktor
Jasa Pompa Air
Jasa Pasca panen
1
2
3
Produksi sendiri
Beli / sewa
Tukar / ganti
25 (62,5)
26 (65,0)
3 (7,5)
0 (0,0)
29 (72,5)
0 (0,0)
7 (17,5)
19 (47,5)
0 (0,0)
2 (5,0)
4 (10,0)
0
4 (10,0)
9 (22,5)
0
Pada umumnya cara pembayaran sarana produksi yang dibeli dilakukan
tunai, disusul dengan cara cara bayar setelah panen (yarnen). Cara yarnen tidak
ditemui pada jasa pompa air dan jasa traktor. Cara bagi hasil terjadi pengadaan
benih, pupuk dan pompa air, terjadi pada kasus penyakapan (Tabel 4).
Tabel 4. Jumlah Desa Menurut Cara Pembayaran Sarana Produksi dan Jasa yang Dibeli/ disewa (2006).
No. Cara Pengadaan BenihPupuk
Anorganik/Obat-obatan
JasaTraktor
Jasa Pompa Air
Jasa Pasca panen
1
2
3
Tunai
Bayar setelah
panen Bagi hasil
27 (67,5)
6 (15,0)
2 (5,0)
30 (75,0)
14 (35,0)
2 (5,0)
26 (65,0)
2 (5,0)
0
24 (60,0)
0
1 (2,5)
7 (17,5)
0
0
Kelembagaan Tenaga Kerja
Pola transaksi tenaga kerja dan jenis kegiatan yang disajikan Tabel 5
menunjukkan bahwa upah harian merupakan pola yang paling dominan diterapkan
pada semua kegiatan, disusul pola borongan. Borongan sangat dominan pada
kegiatan pengolahan tanah dan tanam. Menurut Rachmat, et al (2000), sistem upah
borongan cenderung berkembang di daerah yang mengalami kelangkaan tenaga
kerja yang dekat dengan pusat industri dan siklus produksi yang semakin cepat. Di
beberapa desa, sambatan masih banyak dijumpai, pola sambatan dominan,
terutama pada kegiatan tanam, pengolahan tanah, dan penyiangan. Pola transaksi
kedokan pada usaha tani palawija ada kecenderungan akan menghilang.
Tabel 5. Jumlah Desa Menurut Pola Transaksi Tenaga Kerja dan Jenis Kegiatan Usahatani (2006).
No. Pola transaksi tenaga kerja
Pengolahan tanah
Tanam Pemupukan Pengendalian hama
Penyiangan
1
2
3
4
Sambatan
Kedokan
Upah harian
Borongan
12 (30,0)
0
27 (67,5)
18 (45,0)
16 (40,0)
0
27 (67,5)
6 (15,0)
3 (7,5)
0
11 (27,5)
1 (2,5)
3 (7,5)
0
5 (12,5)
4 (10,0)
9 (22,5)
0
21 (52,5)
3 (7,5)
9
Sistem panen yang lazim dilakukan di semua agroekosistem desa palawija
adalah panen sendiri. Kegiatan sistem panen tebasan hanya ditemui di beberapa
desa palawija lahan kering, sedangkan sistem bawon masih ada di beberapa desa,
baik di lahan kering maupun di lahan sawah (Tabel 6).
Tabel 6. Jumlah Desa Menurut Sistem Panen (2006).
No. Sistem Panen Jumlah Desa1
2
3
4
Tebasan
Bawon
Kedokan
Panen
4 (10,0)
5 (12,5)
0
34 (85,0)
Kelembagaan Pemasaran
Peningkatan produksi pertanian merupakan usaha terpenting dilihat dari segi
kepentingan nasional. Namun perlu diperhatikan bahwa produksi yang meningkat
tidak akan membawa hasil yang berarti bila tidak diimbangi dengan pemasaran hasil
yang efisien. Pemasaran hasil yang efisien ditujukan untuk peningkatan pendapatan
dan kesejahteraan petani.
Produksi hasil usahatani banyak dijual ke pedagang pengumpul desa, diikuti
pedagang luar desa dan pasar luar desa, serta pasar dalam desa. Di beberapa desa
palawija lahan kering dijumpai sistem tebasan. Peranan koperasi, perusahaan inti,
dan pedagang mitra usaha sama sekali tidak ada. Dari 40 desa palawija hanya satu
desa yang menjual hasil ke koperasi (Tabel 7).
Tabel 7. Jumlah Desa Menurut Tempat Penjualan Hasil Panen, (2006)
No. Tempat Penjualan Jumlah Desa1
2
3
4
5
6
7
Pedagang pengumpul desa
Pengolah hasil
Penebas
Koperasi
Mitra usaha
Pasar dalam desa
Pasar luar desa
32 (80,0)
2 (5,0)
4 (10,0)
1 (2,5)
0 (0,0)
3 (7,5)
9 (22,5)
10
Kelembagaan Penguasaan Lahan
Status penguasaan atas lahan garapan yang terdapat di Indonesia cukup
banyak ragamnya. Badan Pusat Statistik (BPS) membuat penggolongan status
penguasaan lahan pertanian menjadi a) lahan milik dan b) lahan yang tidak dimiliki.
Sistem penguasaan lahan yang paling populer, selain milik sendiri, adalah
menggarap lahan yang tidak dimiliki, antara lain : sewa, bagi hasil, dan gadai. Di
desa palawija lahan kering, sistem sewa lebih dominan dibandingkan sistem gadai
dan bagi hasil. Sedangkan di desa palawija sawah nonirigasi, ketiga sistem tersebut
relatif seimbang, sedangkan di desa palawija sawah irigasi bagi hasil lebih populer
(Tabel 8). Dengan berkembangnya sistem penguasaan selain milik sendiri, maka
distribusi penguasaan lahan akan lebih merata dan dapat memberikan kesempatan
kerja kepada petani tuna kisma untuk berusahatani.
Tabel 8. Jumlah Desa Menurut Keberadaan Sistem Penguasaan (2006).No. Sistem Penguasaan Lahan Jumlah Desa
1
2
3
Sewa
Bagi hasil
Gadai
22 (55,0)
18 (45,0)
18 (45,0)
Sistem pembayaran sewa lahan pada umumnya dengan uang tunai dengan
cara bayar dimuka. Periode sewa lahan yang paling umum sewa tahunan, namun
dijumpai juga sebagian yang melakukan transaksi secara musiman.
Sistem bagi hasil yang terdapat di berbagai daerah beragam bahkan di dalam
satu desa dijumpai lebih dari satu sistem. Dilihat dari proporsi pembagian hasil
panen maka sistem sakap yang berlaku terutama adalah sistem mertelu, dimana
hampir semua biaya sarana produksi dan tenaga kerja menjadi tanggungan
penggarap.
Pembayaran sistem sewa di semua agroekosistem di desa palawija pada
umumnya dengan uang tunai dan dengan cara bayar dimuka. Periode sewa lahan
yang paling dominan adalah sewa lahan tahunan. Sistem sewa lahan musiman tidak
ditemui di desa palawija sawah nonirigasi. Hal ini diduga karena kebiasaan saja.
6. Kelembagaan Permodalan
Ketersediaan modal merupakan faktor penting untuk terlaksananya usaha
tani karena tanpa ketersediaan modal, petani yang akan sulit menerapkan teknologi
baru. Lembaga permodalan yang paling menonjol membantu pembiayaan usahatani
adalah pedagang hasil usahatani, diikuti pedagang sarana produksi, dan simpan
pinjam komunitas. Pemanfaatan pelepas uang dijumpai di beberapa desa palawija
11
lahan kering, sedang di desa palawija lahan sawah tidak dijumpai. Di semua
agroekosistem hanya sebagian kecil desa yang telah mendapat bantuan pinjaman
dari koperasi.
Kelembagaan pembiayaan di luar desa yang banyak dimanfaatkan petani
adalah bank umum dan BPR. Lembaga pembiayaan yang dapat diakses petani
adalah bank umum, BPR, pedagang hasil usahatani, dan koperasi. Keberadaan
bank umum dan BPR umumnya berada di luar desa. Keadaan ini memungkinkan
petani yang akses ke lembaga pembiayaan ini relatif sedikit dan terbatas kepada
petani luas.
Tabel 9. Jumlah Desa Menurut Tempat Penjualan Hasil Panen (2006)
Lokasi Lembaga PembiayaanNo. Lembaga Pembiayaan Jumlah Desa
Dalam Desa Luar Desa12345678
Bank umumBPRLembaga syariahKoperasiSimpan pinjam komunitasPelepas uangPedagang sarana produksiPedagang hasil usahatani
21 (42,5)11 (27,5)
09 (22,5)7 (17,5)5 (12,6)5 (12,5)
11 (27,5)
0 (0,0)1 (2,5)
05, (12,5)5 (12,5)3 (7,5)
4, (10,0)11 (27,5)
21 (42,5)10 (25,0)
04 (10,0)2 (5,0)2 (5,0)1 (2,5)0 (0,0)
Pedagang hasil usahatani umumnya berdomisili di dalam desa, sedangkan
koperasi yang dapat diakses sebagai sumber pembiayaan sebagian besar telah ada
di dalam desa. Lembaga pembiayaan yang paling banyak berperan di desa palawija
berturut-turut adalah pedagang hasil usahatani, simpan pinjam komunitas, pelepas
uang, dan pedagang sarana usahatani. Semua lembaga pembiayaan merupakan
lembaga pembiayaan informal, dan sebagian besar lokasinya berada di dalam desa.
Sedangkan lembaga pembiayaan formal berturut-turut adalah bank umum, BPR, dan
koperasi. Pada umumnya lembaga pembiayaan tersebut lokasinya berada di luar
desa (Tabel 10).
Tabel 10. Jumlah Lembaga Pembiayaan (2006)
No. Lembaga Pembiayaan Dalam desa Luar desa Total12345678
Bank umumBPRLembaga syariahKoperasiSimpan Pinjam KomunitasPelepas uangPedagang sarana produksiPedagang hasil usahatani
0106
40292570
2210042820
22110
1042372770
12
Kebiasaan meminjam modal usahatani pada umumnya yang dilakukan
karena pada umumnya banyak menggunakan modal sendiri yang berasal dari hasil
usahataninya.
Secara agregat jumlah lembaga pembiayaan yang paling dominan adalah
pedagang hasil usahatani, simpan pinjam komunitas pelepas uang dan pedagang
sarana usahatani (Tabel 10)
Untuk mendapat bantuan modal dari lembaga pembiayaan formal, seperti
bank umum atau BPR, diperlukan agunan, sedangkan pinjam kepada koperasi ada
/sebagian yang tidak mensyaratkan agunan. Pada umumnya untuk meminjam modal
ke lembaga pembiayaan informal tidak perlu menggunakan agunan, tapi tingkat
bunga yang harus dibayar peminjam, sangat tinggi mencapai dua kali lipat lebih.
Kelembagaan Penunjang Usaha Tani
Lembaga penunjang usahatani terdiri dair lembaga pengaturan air, penyuluh,
kelompok tani, pemberantas hama, dan lumbung pangan. Lembaga penunjang yang
paling menonjol adalah penyuluhan, diikuti kelembagaan kelompok tani, karena
kelembagaan-kelembagaan ini sebagian telah lama ada di desa. Kelembagaan
penyuluhan pertanian sangat penting karena merupakan unsur edukatif dan motivatif
bagi petani dalam usaha untuk meningkatkan produksi pertanian. Sedangkan
kelembagaan kelompok tani yang kuat dapat meningkatkan posisi petani dalam
menghadapi konsumen. Namun, bila dilihat dari aktivitasnya, maka keberadaan
kelembagaan penyuluhan dan kelembagaan lainnya masih banyak yang belum
menjalankan fungsinya. Banyak kelompok tani hanya ada namanya saja karena
kebanyakan sudah tidak berfungsi. Demikian pula halnya dengan kelembagaan
lumbung pangan. Keberadaan lembaga penunjang berikut berfungsi tidaknya
kelembagaan-kelembagaan tersebut secara rinci disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11. Jumlah Desa Menurut Lembaga Penunjang Usahatani (2006)
No. Jenis Lembaga Jumlah Desa (%) Yang Aktif (%)
1
2
3
4
5
Pengatur air
Penyuluh pertanian
Kelompok petani
Organisasi pemberantas hama
Lumbung pangan
29 (33,5)
36 (90,0)
26 (65,0)
3 (7,5)
7 (17,5)
7 (17,5)
26 (65,0)
13 (32,5)
2 (5,0)
3 (7,5)
13
KESIMPULAN DAN SARAN
Kelembagaan usaha/jasa pertanian di Jawa relatif lebih berkembangdibandingkan luar Jawa. Pada umumnya sebagian besar desa di luar Jawa belum dilengkapi kios sarana produksi. Pedagang pengumpul merupakan lembaga usaha yang paling dominan. Pengadaan benih disamping berasal dari membeli juga banyakdijumpai yang memproduksi sendiri. Pengadaan sarana produksi dilakukan secara tunai dan yarnen. Cara yarnen sangat dominan pada pengadaan pupuk anorganik (buatan). Cara yarnen dikenakan bunga implisit. Sistem upah harian merupakan pola transaksi tenaga kerja yang diterapkan pada hampir semua kegiatan. Borongan sangat dominan pada kegiatan pengolahan tanah, sedangkan sambatan pada kegiatan tanam, pengolahan tanah dan menyiang. Sistem panen dilakukan sendiri, sistem tebasan hanya terjadi pada beberapa desa (10 persen).
Sistem penguasaan lahan yang dominan adalah sewa disusul sistem bagi hasil. Pembayaran sewa lahan secara tunai dengan uang dibayar di muka dalam periode setahun. Hasil panen terutama dijual kepada pengumpul di dalam desa. Pada umumnya petani menggunakan modal sendiri. Pedagang pengumpul, kios sarana produksi, dan simpan pinjam komunitas merupakan lembaga yang paling menonjol dalam membantu pembiayaan/modal usahatani. Pelepas uang hanya ada di beberapa desa lahan kering. Lembaga pembiayaan formal (Bank Umum dan BPR) umumnya berada di luar desa. Lembaga penunjang usahatani yang menonjol adalah penyuluhan pertanian dan kelompok tani.
Sebagian besar desa telah mempunyai penyuluh pertanian dan kelompok tani. Namun, aktivitas kedua kelembagan tersebut masih rendah. Namun dengan telah dicanang-kannya program revitalisasi penyuluhan, diharapkan kegiatan penyuluhan pertanian dan keberadaan kelompok tani dapat dibenahi lagi.
Pengembangan kelembagaan pertanian sebagai upaya memberdayakan petani dan masyarakat perdesaan merupakan salah satu program disamping program peningkatan produksi, produktivitas, dan efisiensi usahatani dan program meningkatkan luas areal tanam dan panen. Sebagian besar desa di luar Jawa belum dilengkapi dengan kios sarana produksi pertanian. Keadaan ini perlu segera mendapat perhatian karena keberadaan kios sarana produksi pertanian secara lokal akan mendorong penggunaan input sesuai dengan kebutuhan sehingga pada gilirannya berdampak pada kegiatan usahatani yang dilaksanakan dengan penerapan teknologi inovatif sehingga dapat meningkatkan produktivitas usahatani. Upaya peningkatan produksi pangan khususnya palawija memerlukan dukungan: 1) perbaikan infrastruktur, 2) penyediaan sumber modal yang mudah diakses petani, 3) penyuluhan pertanian, 4) promosi penggunaan benih/varietas unggul, 5) perbaikan sistem distribusi sarana produksi, 6) mendorong swasta untuk berinvestasi di bidang agroindustri di perdesaan, 7) membangun pola kemitraan yang sinergis antara petani dengan pengusaha swasta, 8) pemberlakuan tarif impor dan peraturan waktu impor disertai penegakan hukum yang konsisten.
14
DAFTAR PUSTAKA
Badrun dan M.A. Ngongu. 1994. Menanggulangi Kemiskinan melalui Pengembangan Kelembagaan Pertanian di Daerah NTB. Prosiding Seminar Pembangunan Pertanian dalam Menanggulangi Kemiskinan. Sapuan dan C. Silitonga (Penyunting). Perhepi.
Gunawan, M., A. Pakpahan dan E. Pasandaran. 1989. Perubahan Kelembagaan Pertanian pada Pasca Adopsi Padi Unggul. Prosiding Patanas: Evaluasi Kelembagaan di Tengah Perkembangan Teknologi Pertanian. Puslit Agro Ekonomi. Badan Litbang Pertanian, hal 33-46.
Hilman, Y. A. Kasno dan N. Saleh. 2004. Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Kontribusi Terhadap Ketahanan Pangan dan Perkembangan Teknologinya Dalam: Inovasi Pertanian Tanaman Pangan. 30 Tahun Badan Litbang Pertanian. Puslitbangtan, hal 95-132.
Kasryno, F. 1997. Meningkatkan Pemanfaatan Sumberdaya Pertanian dan Pengembangan Sistem Pertanian Menuju Era Globalisasi Ekonomi. Prosiding Agribisnis Dinamika Sumberdaya dan Pengembangan Sistem Usahata Pertanian. Buku I. Puslit Sosek Pertanian. P. Simatupang et.al (Eds).
Mubyarto. 1987. Pengantar Ekonomi Pertanian. LP3ES, Jakarta.
Pakpahan, A. 1990. Rekayasa Sosial Ekonomi dalam Perspektif Ekonomi Institusi Majalah Masyarakat Indonesia, Tahun XVII, No. 1 PPSEP Badan Litbang Pertanian.
PSEKP 2005. Rencana Strategis Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. 2005-2009, Badan Litbang Pertanian,Departemen Pertanian.
Rachmat, M., Supriyati dan Hendiarto. 2000. Dinamika Kelembagaan Lahan dan Hubungan Kerja Pertanian. Prosiding Perspektif Pembangunan Pertanian dan Perdesaan dalam Era Otonomi Daerah. I W Rusastra, et al. (Eds) Puslit Sosek Pertanian hal. 226-228.
Subandi, S., Saenong, Bahtiar dan Zubachtirodin. 2004. Peran Inovasi dalam Produksi Jagung Nasional Dalam: Inovasi Pertanian Tanaman Pangan. 30 Tahun Badan Litbang Pertanian 1974-2004. Puslitbangtan, hal 67-94.
Sudaryono. 2005. Kontribusi Ilmu Tanah dalam Mendorong Pengembangan Agribisnis Kacang Tanah di Indonesia. Orasi Pengukuhan Ahli Peneliti Utama Bidang Ilmu Tanah. Badan Litbang Pertanian.
Swastika, DKS., J. Wargiono, B. Sayaka, A. Agustian dan V. Darwis. 2006. Kinerja dan Prospek Pembangunan Tanaman pangan di Indonesia. Seminar Nasional Kinerja Pembangunan Pertanian 2006 dan Prospek 2007. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Litbang Pertanian.
Tjondronegoro, SMP. 1994. Aspek Kelembagaan dan Sosial Budaya dalam Pengembangan Kualitasa Sumberdaya Manusia Pertanian. Prosiding Lokakarya Peningkatan Kualitas Sumberdaya Manusia dalam Pembangunan Pertanian, MH. Sawit, et.al (Eds). Perhepi, hal 60-69.
Witjaksono, J., E. Sutisna dan Rustana S. 2000. Kelembagaan Ekonomi Trasidis\ional dalam Perspektif Pembangunan Pertanian di Sulawesi Tenggara. Prosiding Perspektif Pembangunan Pertanian dan Perdesaandalam Era Otonomi Daerah. IW. Rusastra et.al (Eds). Puslit Sosek Pertanian, Badan Litbang Pertanian, hal 350-355.