Kekerabatan Dalam Hukum Waris Menurut Prof. Hazairin
-
Upload
solihin-panji-buway-pemuka -
Category
Documents
-
view
870 -
download
2
Transcript of Kekerabatan Dalam Hukum Waris Menurut Prof. Hazairin
SISTEM KEKERABATAN DALAM HUKUM WARIS ISLAM
MENURUT PROFESOR HAZAIRIN
A. PENDAHULUAN
Sejarah tidak pernah mengenal adanya agama atau sistem
yang membicarakan keberadaan karib (dzil qurba) yang lebih
mulia daripada Islam. Sungguh Islam telah menegaskan wasiat
(pesan penting) terhadap karib kerabat dan meletakkan wasiat
itu setelah wasiat untuk bertauhid kepada Allah dan beribadah
kepada-Nya. Islam juga menjadikan berbuat baik kepada karib
kerabat itu termasuk sendi-sendi kemuliaan, sebagaimana telah
menjadikan hak karib kerabat untuk mendapatkan hak milik,
karena ia adalah orang yang paling dekat dengan kita. Inilah
yang ditegaskan oleh Al Qur'an dengan cara diulang-ulang lebih
dari satu ayat dalam beberapa surat agar benar-benar difahami
oleh kita sebagai anak cucu Adam.
Konsep kekerabatan telah berwujud sejak beberapa dahulu
lagi bermula dari bapak dan ibu sekalian umat manusia yaitu
Adam dan Hawa yang melahirkan Habil dan Qabil. Dari pasangan
Nabi Adam as dan Hawa ini maka lahirlah keturunan umat
manusia sekaligus bermulalah konsep kekerabatan sehingga
menjadi sistem kekerabatan yang kompleks.1
Kekerabatan merupakan salah satu aspek penting yang
menjadi bidang kajian ilmu sosiologi dan antropologi. Ia
1 Di Barat ataupun di Timur, di Selatan atau di Utara sistem ini masih berwujud dan diamalkan tetapi telah banyak mengalami perubahan. Justeru itu, banyak variasi yang dapat dilihat dalam sistem kekerabatan di kalangan masyarakat di dunia ini. Dalam Islam sistem kekerabatan ini adalah sesuatu yang amat penting dalam kehidupan dan pergaulan umat manusia yang semankin berkembang biak agar silsilah keturunan tidak kacau.
1
merupakan institusi yang terdapat dalam semua lapisan adat
dan atau masyarakat di dunia ini. Kekerabatan lahir dari institusi
perkawinan yang membenarkan hubungan seks antara laki-laki
dan perempuan sehingga anak yang lahir dari perkahwinan
tersebut diterima oleh masyarakat, tidak anggap anak zina atau
anak haram.
Istilah kekerabatan itu ialah sebuah keluarga itu tidak akan
lengkap sekiranya tidak wujud tiga unsur yaitu bapak, ibu dan
anak. Oleh karena itu, keluarga adalah satu unit sosial yang
tekecil bilangannya mengandungi ibu dan bapak serta anak yang
tinggal di dalam sebuah rumah yang sama. Keluarga merupakan
sebuah institusi hasil daripada perkawinan yang disebut sebagai
keluarga asas. ikatan darah atau mempunyai hubungan angkat;
menganggotai sesebuah isi rumah; berhubung antara satu sama
lain berdasarkan peranan sosial masing-masing sebagai suami
dan isteri, ibu dan bapak, anak lelaki dan anak perempuan,
kakak dan adik; dan mewujudkan serta mengekalkan sesuatu
budaya yang sama.
Islam sebagai agama terakhir dan menyempurnakan
ajaran-ajaran agama samawi sebelumnya tidak luput untuk
memberikan konsep kekerabatan ini. Sehingga yang pada
akhirnya bahwa bentuk kekerabatan dalam hukum Islam sangat
menentukan azas yang berlaku dalam hukum kewarisan. Dalam
Al Qur’an maupun Sunnah jika dikaji lebih lanjut memang
kenyataannya tidak menjelaskan secara jelas tentang struktur
kekerabatan tertentu menurut hukum Islam. Namun demikian
dalam realitasnya dihadapkan berbagai macam bentuk susunan
2
kekerabatan, meliputi: patrilineal, matrilineal, dan bilateral,2
yang masing-masing memiliki implikasi terhadap hukum waris
Islam.
B. PEMBAHASAN
1.Tinjauan Umum Tentang Hukum Keluarga
Pengertian keluarga dapat dilihat dari pengertian sempit
dan pengertian luas. Keluarga dalam pengertian sempit adalah
kesatuan masyarakat terkecil yang terdiri dari suami, isteri,
dan anak yang berdiam dalam satu tempat tinggal.3 Dalam
pengertian luas keluarga adalah apabila dalam satu tempat
tinggal berdiam pula pihakk lain sebagai akibat adanya
perkawinan, maka terjadilah kelompok anggota keluarga yang
terdiri dari orang-orang yang mempunyai hubungan karena
perkawinan dan karena pertalian darah.4 Hubungan keluarga
terjadi karena perkawinan dan hubungan darah atau disebut
juga hubungan semenda seperti mertua, menantu, ipar dan
anak tiri, dimana antara suami isteri tidak ada hubungan
darah. Hubungan keluarga karena pertalian darah adalah
hubungan karena keturunan, seperti bapak sampai garis lurus
ke atas, anak sampai garis lurus ke bawah, saudara kandung
dan anak saudara kandung lurus menyamping.
2 Patrilineal merupakan bentuk kekerabatan yang menarik garis nasab hanya melalui jalur bapak atau laki-laki. Matrilineal merupakan bentuk kekerabatan yang menarik garis nasab melalui jalur ibu atau perempuan semata. Sementara bilateral merupakan bentuk kekerabatan yang menentukan garis nasab melalui jalur bapak dan ibu. Lihat Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al Quran dan Hadits, Jakarta: Tintamas,1990, hlm.11. Lihat juga Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran Dalam Hukum Islam, Padang: Angkasa Raya, 1993, hlm.144.
3 Ibid.4 Ibid., h. 64
3
Hubungan darah adalah pertalian darah antara orang
yang satu dan orang lain karena berasal dari leluhur yang
sama (keturunan leluhur).5 Hubungan darah itu ada dua garis,
yaitu hubungan darah menurut garis lurus ke atas disebut
“leluhur”, hubungan darah menurut garis ke bawah disebut
“keturunan” dan hungan darah menurut garis ke samping
disebut “sepupu”. Daftar yang menggambarkan ketunggalan
leluhur antara orang-orang yang mempunyai pertalian darah
disebut “silsilah”. Dari silsilah dapat diketahui jauh dekatnya
hubungan darah antara orang yang satu dan orang yang lain
dari leluhur yang sama. Jauh dekatnya hubungan darah dapat
dinyatakan dengan istilah atau sebutan dalam hubungan
keluarga.
Garis keturunan sebenarnya hanya memberikan
keistimewaan tertentu dalam hubungan keluarga. Ada tiga
hubungan darah dilihat dari garis ketururunan, yaitu :
a. Patrilinial, hubungan darah yang mengutamakan garis ayah;
b. Matrilinial, hubungan darah yang mengutamakan garis ibu;
c. Parental, bilateral, hubungan darah yang mengutamakan
garis ayah dan ibu, atau garis orang tua.
Patrilinial hubungan darah yang mengutamakan garis
keturunan ayah, kedudukan suami lebih utama dari kedudukan
isteri. Dalam perkawinan asabah lebih berperan sebagai wali
nikah, perkawinan dengan sistem jujur, isteri selalu mengikuti
tempat tinggal suami. Dalam kekuasaan orangtua, kekuasaan
ayah (suami) lebih diutamakan daripada kekuasaan ibu (isteri)
5 Ibid., h. 66
4
terhadap anak-anak dalam hubungan keluarga. Dalam
kewarisan, bagian pihak laki-laki selalu lebih besar daripada
bagian perempuan. Dan dalam perwalian, pihakk laki-laki lebih
diutamakan daripada pihak perempuan untuk diangkat
sebagai wali anak-anak. Contoh masyarakat dalam kategori ini
adalah Sumatera Selatan, Tapanuli dan Bugis.
Dalam masyarakat matrilinial hubungan darah yang
diutamakan garis keturunan ibu, kedudukan pihakk isteri lebih
utama daripada kedudukan suami. Keutamaan itu dapat dilihat
dalam hal, perkawinan meskipun asabah berperan sebagai
wali nikah, laki-laki dijemput oleh perempuan (suami ikut
keluarga isteri). Dalam hal kekuasaan orangtua, saudara laki-
laki isteri mempunyai kekuasaan utama terhadap anak-anak
(kekuasaan paman terhadap anak kemanakan). Dalam
kewarisan saudara laki-laki isteri berperan sebagai mamak
kepala waris. Dan dalam perwalian, saudara laki-laki isteri
lebih berperan sebagai wali terhadap anak kemanakannya.
Contoh masyarakat ini adalah Minangkabau.
Parental atau bilateral darah yang mengutamakan garis
kedua-duanya yaitu ayah dan ibu, kedudukan pihak suami dan
pihak isteri seimbang. Mereka bersama-sama mengurus
keluarga, kebutuhan sehari-hari, harta benda diurus dan
digunakan untuk kepentingan bersama. Kedudukan pihak
suami dan pihak isteri berimbang dalam kehidupan keluarga,
dan dapat dilihat dalam hal perkawinan asabah sebagai wali
nikah, dalam perkawinan tidak dikenal jujur, suami isteri
menentukan bersama tempat tinggal, dalam kekuasaan
orangtua kedua suami isteri mempunyai kekuasaan yang
5
sama dalam keluarga baik terhadap anak maupun harta.
Dalam kewarisan lebih cenderung menuju ke arah asas bagian
yang sama antara laki-laki dan wanita, serta dalam perwalian
kedua suami isteri dapat berperan sebagai wali terhadap anak-
anak mereka, namun dalam pernikahan ayah berperan
sebagai wali nikah karena termasuk asabah. Contoh
masyarakat ini adalah Jawa, Madura dan Sunda.
2.Dasar-dasar dan Sistem Kekerabatan Menurut Al Qur’an
Secara jujur dapat dikatakan bahwa jika dipelajari secara
mendalam dan berdasarkan ilmu pengetahuan tentang
berbagai bentuk sistem masyarakat kaitannya dengan sistem
kekerabatan yang bermuara pada aspek ilmu fiqh munakat
yang merujuk kepada ketentuan larangan-larangan perkawian,
maka sistem kekerabatan yang mana sebenarnya dikehendaki
oleh Al Quran? Untuk kesempatan ini penulis akan
memaparkan ayat-ayatnya terlebih dahulu yakni yang
terdapat dalam Q.S. al-Nisa (4): 22-24, juga didukung oleh
ayat-ayat 11, 12, 176 dalam surat yang sama.
6
11. Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan[272]; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua[273], Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
12. Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika Isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika Saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat
7
olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris)[274]. (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.
[272] bagian laki-laki dua kali bagian perempuan adalah Karena kewajiban laki-laki lebih berat dari perempuan, seperti kewajiban membayar maskawin dan memberi nafkah. (lihat surat An Nisaa ayat 34).
[273] lebih dari dua maksudnya : dua atau lebih sesuai dengan yang diamalkan nabi.
[274] memberi mudharat kepada waris itu ialah tindakan-tindakan seperti: a. mewasiatkan lebih dari sepertiga harta pusaka. b. berwasiat dengan maksud mengurangi harta warisan. sekalipun kurang dari sepertiga bila ada niat mengurangi hak waris, juga tidak diperbolehkan.
22. Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang Telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang Telah lampau.
8
Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).
23. Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan[281]; saudara-saudaramu yang perempuan, Saudara-saudara bapakmu yang perempuan; Saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang Telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang Telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
24. Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki[282] (Allah Telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian[283] (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang Telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah Mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu Telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu[284]. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
[281] maksud ibu di sini ialah ibu, nenek dan seterusnya ke atas. dan yang dimaksud dengan anak perempuan ialah anak perempuan, cucu perempuan dan seterusnya ke bawah, demikian juga yang lain-lainnya. sedang yang dimaksud dengan anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu, menurut Jumhur ulama termasuk juga anak tiri yang tidak dalam pemeliharaannya.
[282] Maksudnya: budak-budak yang dimiliki yang suaminya tidak ikut tertawan bersama-samanya.
[283] ialah: selain dari macam-macam wanita yang tersebut dalam surat An Nisaa' ayat 23 dan 24.
[284] ialah: menambah, mengurangi atau tidak membayar sama sekali maskawin yang Telah ditetapkan.
9
176. Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah)[387]. Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) Saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
[387] kalalah ialah: seseorang mati yang tidak meninggalkan ayah dan anak.
Terjadi perbedaan pendapat dalam memahami maksud kata
akhun, ukhtun dan ikhwatun (saudara) yang ada pada ayat 12 dan
176 surah an-Nisa‟ di atas. Adapun perbedaan tersebut dapat
penulis jabarkan sebagaimana berikut ini:
10
a. Jumhur Fuqaha dan Kompilasi Hukum Islam
Jumhur6 berpendapat bahwa yang dimaksud saudara
dalam ayat 12 adalah saudara seibu, sedangkan yang
dimaksud saudara dalam ayat 176 adalah saudara
sekandung dan seayah. Pengertian saudara seibu pada ayat
12 ini didasarkan kepada petunjuk qira’ah sebagian ulama
salaf antara lain Sa’ad bin Abi Waqqas dan juga penafsiran
Abu Bakar Shiddiq yang dinukilkan oleh Qatadah, bahwa
Abu Bakar menerangkan dalam salah satu khutbahnya:
“Perhatikanlah, bahwa ayat pertama yang diturunkan dalam surah an-Nisa‟ dalam urusan pusaka mempusakai diturunkan oleh Allah mengenai pusaka anak dan orang tua (ayat 11). Ayat kedua diturunkan untuk menjelaskan pusaka suami, istri, dan saudara tunggal ibu (ayat 12). Ayat yang mengakhiri surah An Nisa‟ (ayat 176) diturunkan untuk menjelaskan pusaka-pusaka saudara kandung. ………………”
Pengertian di atas dikuatkan oleh penjelasan Allah
pada akhir ayat 11 yang menyatakan “…. Jika mereka lebih
dari seorang, maka mereka berserikat mendapat 1/3”. Oleh
karena kedudukan saudara-saudara dalam ayat 12 bukan
selaku ashabah, maka memberi pengertian bahwa yang
dimaksud saudara adalah saudara seibu, sebab jika mereka
itu saudara sekandung atau seayah tentulah berkedudukan
selaku ashabah sebagaimana dijelaskan pada akhir ayat
176: (…..”Dan jika mereka terdiri dari saudara laki-laki dan
perempuan, maka untuk yang laki-laki sebanyak bagian dua
orang saudara perempuan”).
6 Fatchur Rahman, 1979, Ilmu Waris, Bulan Bintang, Jakarta, hal. 301-304
11
Pendapat Jumhur ini diikuti oleh KHI sebagaimana
diatur dalam pasal 181 dan 182. Pasal 181 KHI
menyebutkan: “ Bila seorang meninggal tanpa
meninggalkan anak dan ayah, maka saudara laki-laki dan
saudara perempuan seibu masing-masing mendapat
seperenam. Bila mereka itu dua orang atau lebih, maka
mereka bersama-sama mendapat sepertiga”. Adapun pasal
182 berbunyi: “Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan
ayah dan anak, sedang ia mempunyai satu saudara
perempuan kandung atau seayah, maka ia mendapat
separoh bagian. Bila saudara perempuan kandung atau
seayah tersebut bersama-sama dengan saudara perempuan
kandung atau seayah dua orang atau lebih, maka mereka
bersama-sama mendapat dua pertiga bagian. Bila saudara
perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara laki-laki
kandung atau seayah, maka bagian saudara laki-laki adalah
dua berbanding satu dengan saudara perempuan”.
Menurut sistem kewarisan Jumhur, semua laki-laki dari
jalur laki termasuk saudara laki-laki berkedudukan sebagai
ashabah bi nafsih. Dasar hukum lembaga ashabah bi nafsih
ini adalah hadits Ibnu Abbas : “Alhiqu al-faraidha bi ahliha,
fama baqiya fa li aula rajulin zakarin” (Berikan saham itu
kepada setiap ahli waris, dan sisanya untuk laki-laki yang
dekat).7 Berdasarkan hadits ini Jumhur menempatkan semua
laki-laki dari jalur laki sebagai ashabah bi nafsih tanpa batas,
artinya betapapun jauhnya hubungan dengan pewaris
mereka selalu tampil sebagai ashabah jika ahli waris yang
7 T.M. Hasby as-Shiddiqie, 1973, Fiqhul Mawaris, Bulan Bintang, Jakarta, hal.172
12
dekat perempuan. Misalnya, ahli waris terdiri dari anak
perempuan dan cicit laki-laki dari paman (ibnul-ibnil-ibnil-
„am), maka anak perempuan mendapat 1/2 dan sisanya
untuk cicit laki-lkai paman. Bahkan jika ahli waris
perempuan yang ada itu diturunkan dari garis perempuan
(seperti cucu perempuan dari anak perempuan), mereka
tidak mendapatkan bagian sama sekali karena dipandang
sebagai zawil arham, sehingga seluruh harta warisan
pewaris jatuh ke tangan ahli waris ashabah.
Kedudukan saudara sekandung, seayah dan seibu
dalam pandangan Jumhur tidak sama. Saudara sekandung
dipandang lebih utama daripada saudara seayah dan seibu,
dan saudara seayah lebih utama dari saudara seibu.
Kekerabatan saudara seibu dipandang paling lemah
sehingga tidak bisa menghijab semua ahli waris zawil furudl
dan tidak bisa menduduki kedudukan ashabah.8 Perbedaan
derajat ini membawa konsekuensi terjadinya hijab-mahjub di
antara mereka.
1). Bagian Saudara Laki-laki Kandung dan Saudara
Laki-laki Seayah
Jumhur menempatkan saudara laki-laki sekandung
dan seayah selalu sebagai zawil ashabah (bi nafsih)
sehingga mereka tidak mempunyai bagian tertentu.
Mereka mendapatkan sisa setelah ahli waris zawil furudl
mengambil bagain masing-masing. Sebagai
konsekuensinya, mereka dapat memperoleh bagian yang
besar, atau memperoleh bagian yang kecil tergantung
8 Fatchur Raman, op cit. hal. 322
13
sisa yang ada, bahkan bisa tidak memperoleh sama
sekali jika harta warisan itu habis diberikan kepada ahli
waris zawil furudl. Saudara laki-laki kandung yang
kedudukannya dipandang lebih utama dari saudara laki-
laki seayah, maka saudara laki-laki seayah terhijab oleh
saudara laki-laki kandung, namun saudara laki-laki seibu
meskipun kedudukannya paling lemah, akan tetapi
mereka tidak terhijab. Mengenai hal ini akan dijelaskan
dalam pembahasan saudara seibu.
2). Bagian Saudara Perempuan Kandung dan Saudara
Perempuan Seayah
Bagian saudara perempuan kandung menurut
Jumhur adalah: 1\2 (setengah) apabila seorang diri, 2/3
(dan dua pertiga) jika dua orang atau lebih, ushubah (bil
ghair) apabila bersama mu‟ashibnya, dan ushubah
(ma‟al ghair) apabila bersama anak perempuan
dan/atau bersama cucu perempuan pancar laki-laki.
Bagian saudara perempuan seayah mirip dengan
saudara perempuan sekandung hanya ditambah dengan
bagain 1/6 sebagai pelengkap dua pertiga apabila
bersama seorang saudara perempuan kandung.
Karena kedudukan saudara sekandung lebih utama
daripada saudara seayah, maka saudara perempuan
seayah tidak mendapat bagian apabila ada saudara laki-
laki kandung, atau dua orang saudara perempuan
kandung, atau seorang saudara perempuan kandung
ketika berkedudukan selaku ashabah ma‟al ghair.
3). Saudara Laki-laki dan Saudara Perempuan Seibu
14
Jumhur dalam prinsip kewarisannya selalu
menerapkan asas 2:1 antara laki-laki dan perempuan,
akan tetapi khusus untuk saudara seibu prinsip tersebut
ditiadakan karena telah bagian mereka telah ditentukan
oleh Allah dalam surah an-Nisa ayat 12. Saudara laki-laki
dan saudara perempuan seibu diberikan kedudukan dan
bagian yang sama yakni 1/6 (seperenam) apabila
seorang diri, dan 1/3 (sepertiga) apabila dua orang atau
lebih.
Saudara seibu hanya dapat tampil sebagai ahli
waris apabila pewaris meninggal dalam keadaan kalalah
sebagaimana dimaksud dalam ayat 12 surah an-Nisa‟,
sebab jika tidak dalam keadaan kalalah saudara seibu
pasti terhijab oleh far‟ul-waris laki-laki maupun
perempuan dan ashlul-waris laki-laki. Namun demikian,
meskipun garis kekerabatan saudara seibu dipandang
paling lemah dibanding dengan saudara sekandung dan
saudara seayah, akan tetapi saudara seibu tidak terhijab
oleh sekandung maupun saudara seayah. Ketentuan ini
didasarkan kepada ayat 12 surah an-Nisa‟ yang
memberikan bagian tetap bagi saudara seibu.
Permasalahan yang dihadapi Jumhur adalah ketika
saudara seibu tampil sebagai ahli waris bersama saudara
sekandung yang berkedudukan sebagai ashabah
sedangkan bagiannya telah habis diberikan kepada zawil
furudl, maka saudara kandung tidak mendapatkan
bagian sama sekali. Untuk memecahkan permasalahan
ini, maka timbullah apa yang disebut prinsip pembagian
15
musyarakah, atau juga dikenal dengan kasus Umariyah,
atau Minbariyah, atau Himariyah, atau Hajariyah atau
Yammiyah.9 KHI tidak mengatur secara detail tentang
bagian saudara kecuali yang ada dalam pasal 181 dan
pasal 182, namun dengan memperhatikan beberapa
pasal yang mengatur tentang saudara, antara lain pasal
174 ayat (1) huruf a yang menetapkan saudara termasuk
kelompok ahli waris hubungan darah, pasal 178 yang
mengatur tentang Gharawain, dapat disimpulkan bahwa
bagian saudara dalam KHI sama dengan pendapat
Jumhur.
2. Prof. Hazairin
Hazairin10 tidak sependapat dengan Jumhur dan
menolak pembedaan antara saudara sekandung dan seayah
dengan saudara seibu. Menurutnya, saudara sekandung,
seayah dan seibu mempunyai kedududkan sederajat
sehingga tidak dibedakan antara mereka selaras dengan
sistem kewarisan bilateral menurut al-Qur‟an. Argumentasi
yang diajukan Hazairin, bahwa kata-kata yang digunakan
dalam al-Qur‟an tidak memberikan perincian tentang
hubungan perasaudaraan, apakah sekandung, seayah atau
seibu. Oleh sebab itu yang dimaksud akhun, ukhtun,
ikhwatun adalah saudara dalam semua jenis hubungan
persaudaraan, baik karena adanya pertalian darah dengan
ayah maupun pertalian darah dengan ibu. Perbedaan bagian
saudara antara ketentuan ayat 12 dengan ayat 176, bukan
9 Fatchur Rahman, op cit. hal. 325 9 Hazairin, op cit. hal 50-5610 Hazairin, op cit. hal 50-56
16
karena perbedaan pertalian darah antara ayah dan ibu
(sekandung, seayah dan seibu), melainkan karena
perbedaan keadaan (kasus) yang terjadi. Artinya kasus
kalalah pada ayat 12 tidak sama dengan kasus kalalah pada
ayat 176.
Kalalah dalam ayat 12 menurutnya adalah seorang
meninggal dunia dengan tidak meninggalkan anak tetapi
meninggalkan saudara dan ayah masih hidup (bisa ibu
sudah meninggal dan bisa ibu masih hidup sehingga
saudara bisa bersama ayah dan ibu sekaligus atau hanya
bersama ayah saja). Bagian saudara 1/6 jika satu orang, dan
1/3 jika lebih satu orang. Ahli waris lain yang ada, mendapat
bagian sesuai dengan ketentuan fardlnya, sedang ayah
mendapat sisa selaku zawil iqrabat.
Adapun kalalah dalam ayat 176 oleh Hazairin
dimaknai, seorang meninggal dunia dengan tidak
meninggalkan anak tetapi meninggalkan saudara dan ayah
sudah meninggal (mungkin ibu masih hidup dan mungkin
sudah meninggal, tetapi yang pasti ayah sudah meninggal).
Dalam keadaan ini, bagian saudara 1/2 jika satu orang, dan
2/3 jika lebih satu orang. Ahli waris lain yang ada misalnya
ada janda, duda dan ibu memperoleh fardlnya masing-
masing.
Hazairin juga menolak hadits Ibnu Abbas tentang
ashabah. Pemberian kedudukan ashabah kepada kaum laki-
laki tanpa batas seperti itu tidak sejalan dengan sistem
kewarisan al-Qura‟an yang berbentuk bilateral. Hazairin
mengemukakan dua permasalahan yang dijadikan dasar
17
penolakan hadits tersebut. Pertama, apa ukuran bagi aula
(yang lebih dekat atau utama)?. Kedua, benarkah hadits
tersebut memberikan garis hukum yang berlaku umum, atau
hanya menggambarkan suatu kasus tertentu sehingga
hanya berlaku untuk kasus tertentu itu pula?.
Hazairin memberikan analisis bahwa kata “aula” pada
hadits yang berbunyi : “alhiqu al-faraidha bi ahliha, fama
baqiya fa li aula rajulin zakarin”. Pemberian makna laki-laki
yang lebih utama/dekat dalam hadits itu harus diukur
dengan ukuran yang telah ditetapkan oleh al-Qur‟an, bukan
oleh seseorang yang hanya berdasarkan anggapan
masyarakat. Al-Qur‟an telah menetapkan secara sistematis
mengenai kedekatan hubungan kekerabatan dengan
membagi ke dalam beberapa kelompok keutamaan.
Menurutnya, kelompok keutamaan antara orang-orang
yang sehubungan darah itu tidak semata-mata tergantung
kepada jauh-dekatnya antara mereka (misalnya antara cucu
dan anak, meskipun cucu lebih jauh daripada anak tetapi
keutamaan mereka sama, kemudian cucu dengan saudara,
meskipun sama-sama dua derajat jauhnya dari si mati,
tetapi cucu lebih utama daripada saudara), dan tidak pula
tergantung kepada jenis kelamin antara laki-laki dengan
perempuan (misalnya antara cucu melalui anak perempuan
dengan cucu melalui anak laki-laki, mereka sama-sama
behak mewarisi).
Hazairin juga memberikan analisis dari sudut pandang
teori pertumbuhan garis hukum dalam penyelesaian kasus.
Kasus menurutnya ialah suatu perkara tertentu yang
18
diputuskan hakim. Keputusan itu jika tidak ada cacatnya
dapat diterapkan dalam menyelesaikan kasus-kasus lainnya
sehingga akan menjadi yurisprudensi dan merupakan garis
hukum ciptaan hakim yang berlaku umum.
Dalam garis hukum Islam, Rasul mempunyai
kewenangan menetapkan hukum dan hukum yang ditatpkan
oleh Rasul wajib diikuti oleh umatnya. Akan tetapi
kewenangan Rasul menetapkan hukum itu apabila Allah
belum memberikan ketetapan yang pasti dan ketetapan
Rasul itu tidak boleh dan tidak mungkin berseberangan
dengan kehendak Allah karena apa yang diputuskan oleh
Rasul selalu didasarkan kepada wahyu (Q.S. an-Najm:3). Jika
ada ketetapan Rasul yang tidak sejalan dengan ketetapan
Allah, maka harus diduga bahwa ketetapan itu bukan dari
Rasul, melainkan orang yang mengatakan adanya ketatapan
itulah yang bohong.
Untuk menguji kebenaran hadits di atas, Hazairin
menyatakan perlu dihadapkan dengan ketentuan al-Qur‟an
yang berhubungan dengannya yaitu ayat 6 dari surah al-
Ahzab dan ayat 75 surah al-Anfal dimana dalam kedua ayat
tersebut ada bagian kalimat yang berbunyi: “…. dan orang-
orang yang sepertalian darah sebagiannya lebih dekat -
lebih utama - dari yang lainnya menurut ketetapan Allah
dalam al-Qur‟an”. Yang dimaksud pertalian darah menurut
al-Qur‟an, Hazairin memberikan pengertian “pertalian darah
menurut sistem bilateral”, dan bukan menurut sistem
patrilineal atau matrilineal atau yang lain.
19
Lebih lanjut Hazairin mengomentarinya, bahwa karena
hadits Ibnu Abbas di atas tidak memberikan penjelasan
mengenai maksud dari “orang laki-laki yang lebih dekat -
utama - dari yang lain,”, maka keutamaan itu harus
dipahami bahwa dengan menggunakan ketentuan yang
ditetapkan al-Qur‟an. Demikian pula yang dimaksud laki-laki
dalam hadits itu haruslah laki-laki yang lebih dekat dari
pada laki-laki lainnya, misalnya anak laki-laki lebih dekat
dengan saudara laki-laki, saudara laki-laki lebih dekat dari
pada paman dan seterusnya.
Berdasarkan analisisnya ini, Hazairin menyimpulkan
bahwa hadits Ibnu Abbas tersebut merupakan ketetapan
Nabi dalam menyelesaikan kasus dimana ada beberapa laki-
laki yang derajat keutamaannya berbeda, sehingga laki-laki
yang lebih dekat atau lebih utama yang menerima sisa dari
harta warisan setelah dibagikan kepada zawil furudl.
Lebih lanjut Hazairin memberikan penjelasan bahwa
semua hadits tidak boleh dan tidak mungkin bertentangan
dengan al-Qur‟an. Jika ada hadits yang bertentangan
dengan al-Qur‟an, maka orang yang mengkhabarkan hadits
itu yang bohong sehingga khabar atau hadits itu merupakan
kabar bohong. Selain itu juga harus dipahamkan bahwa laki-
laki- yang lebih utama itu adalah laki-laki yang lebih dekat
dari pada laki-laki lain.
Berdasarkan pemikirannya itu Hazairin mengambil
kesimpulan bahwa hadits tentang ashabah di atas hanyalah
mengenai kasus tertentu yang tunduk kepada sistimatika al-
20
Qur‟an tentang kelompok keutamaan, di mana beberapa
laki-laki tampil ke depan berkonkurensi.
Pendapat Hazairin yang tidak membedakan antara
saudara sekandung, seayah dan seibu ini diikuti oleh Buku II
sebagaimana disebutkan pada ketentuan huruf (a) angka (6)
dan (7) halaman 240. Ketentuan angka (6) menyebutkan:
“Seorang saudara perempuan atau laki-laki (baik
sekandung, seayah atau seibu) mendapat 1/6 (seperena)
bagian, apabila terdapat dua orang atau lebih saudara (baik
sekandung, seayah atau seibu) mendapat 1/3 (sepertiga)
bagian, jika saudara (baik sekandung, seayah atau seibu)
mewarisi bersama ibu”.
Pada angka (7) menyatakan: “Seorang saudara
perempuan (baik sekandung, seayah atau seibu) mendapat
1/2 (setengah) bagian, dua orang atau lebih saudara
sekandung, seayah “atau seibu” (teks aslinya tidak
menyebut kata seibu) mendapat 2/3 (dua pertiga) bagian,
jika saudara perempuan tersebut mewarisi tidak bersama
ayah dan tidak bersama saudara laki-laki atau keturunan
laki-laki dari saudara laki-laki“.
Meskipun Hazairin tidak membedakan antara saudara
sekandung, seayah dan seibu, namun dalam menetapkan
bagian terdapat perbedaan yang menyolok. Bagian saudara
menurut Hazairin:
- 1/6 (seperenam) jika seorang diri, dan 1/3 (sepertiga) jika
dua orang atau lebih ketika “saudara bersama ayah, atau
bersama ayah dan ibu“ berdasarkan an-Nisa‟ ayat 12,
dan
21
- 1/2 (setengah) jika seorang diri, dan 2/3 (dua pertiga) jika
dua orang atau lebih ketika “saudara bersama ibu“
berdasarkan an-Nisa‟ ayat 176).
Menurut Hazairin bagian saudara 1/6 (seperenam) jika
seorang diri, dan 1/3 (sepertiga) jika dua orang atau lebih
menurut ketika “bersama ayah. Bagian saudara ketika
“bersama ibu“ menurut Hazairin adalah 1/2 (setengah) jika
seorang diri, dan 2/3 (dua pertiga) jika dua orang atau lebih.
Ketentuan huruf (a) angka (7) menyebutkan: “Seorang
saudara perempuan (baik sekandung, seayah atau seibu)
mendapat 1/2 (setengah) bagian, dua orang atau lebih
saudara sekandung, seayah “atau seibu” mendapat 2/3 (dua
pertiga) bagian, jika saudara perempuan tersebut mewarisi
tidak bersama ayah dan tidak bersama saudara laki-laki
atau keturunan laki-laki dari saudara laki-laki“. (teks aslinya
tidak ada kata seibu yang bergaris bawah). Pengertian
“tidak bersama ayah” berarti “bersama ibu”. Jika demikian
berarti ketentuan huruf (a) angka (7) sama dengan
ketentuan huruf (a) angka (6) yakni sama-sama saudara
bersama ibu. Untuk lebih jelasnya dapat diikuti penjelasan
berikut.
Ketentuan huruf (a) angka (6) mengatur tentang
“saudara bersama ibu” tanpa membedakan antara saudara
laki-laki dan saudara perempuan. Dalam kasus huruf (a)
angka (6) ini kita ambil contoh ahli warisnya “seorang
saudara perempuan dan ibu”. Adapun ketentuan huruf (a)
angka (7) mengatur tentang saudara perempuan tidak
bersama ayah (berarti bersama ibu). Dalam untuk kasus
22
huruf (a) angka (7) ini kita ambil contoh ahli warisnya
“seorang saudara perempuan dan ibu”.
Dari dua contoh kasus di atas, nyatalah antara contoh
kasus huruf (a) angka (6) dengan contoh kasus huruf (a)
angka (7) tidak berbeda yaitu sama-sama ahli warisnya
“seorang saudara perempuan dan ibu”. Tentu saja tidak
boleh terjadi adanya dua ketentuan yang berbeda mengatur
kasus yang sama.
Permasalahan lain yang perlu mendapat perhatian
adalah ketentuan huruf (b) angka (3) halaman 240 yang
intinya menyatakan: Termasuk ahli waris yang tidak
ditentukan bagiannya adalah saudara laki-laki bersama
saudara perempuan bila pewaris tidak meninggalkan
keturunan dan ayah. Ketentaun ini memberikan pengertian
bahwa saudara laki-laki dan perempuan dalam kasus kalalah
berkedudukan selaku zawil ashabah (bil-ghair). Penempatan
saudara laki-laki bersama saudara perempuan selaku
ashabah ini tidak sejalan dengan ketentuan huruf (a) angka
(6) yang menempatkan mereka selaku zawil furudl dengan
bagian 1/3.
Dalam ketentuan huruf (a) angka (6) dinyatakan:
“Seorang saudara perempuan atau laki-laki (baik
sekandung, seayah atau seibu) mendapat 1/6 (seperena)
bagian, apabila terdapat dua orang atau lebih saudara (baik
sekandung, seayah atau seibu) mendapat 1/3 (sepertiga)
bagian, jika saudara (baik sekandung, seayah atau seibu)
mewarisi bersama ibu”. Ketentuan ini tidak membedakan
apakah saudara yang jumlahnya dua orang atau lebih itu
23
semuanya laki-laki atau semuanya perempuan, atau
campuran laki-laki dan perempuan. Sepanjang jumlahnya
dua orang atau lebih dan mewarisi bersama ibu, baik
semuanya laki-laki atau semuanya perempuan, atau
campuran laki-laki dan perempuan, mereka mendapat 1/3
bagian.
Dari penjelasan diatas tampak adanya ambiguitas
kedudukan saudara dalam kasus kalalah. Menurut ketentuan
huruf (a) angka (6) saudara laki-laki bersama saudara
perempuan ditempatkan dalam kedudukan ashabah bil-
ghair, sedangkan menurut ketentuan huruf (b) angka (3)
saudara laki-laki bersama saudara perempuan ditempatkan
dalam kedudukan zawil furudl.
Kalimat yaitu dihalalkan
artinya boleh dilarang dan tidak boleh dicela, semua macam
perkawinan yang tidak termasuk ke dalam
perincianlarangan-larangan Quran itu. Dari ayat ini diperoleh
petunjuk bahwa semua bentuk perkawinan sepupu tidaklah
dilarang, baik cross-cousins11 maupun parallel cousins.12
Dengan dibolehkannya perkawinan sepupu ini berarti
tidak berlaku syarat exogami13 yang menjadi benteng dan
dasar bagi sistem clan dalam masyarakat yang menganut
11 Cross cousins adalah perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang senenek atau sedatuk, manakala bapak dari pihakk yang satu merupakan saudara dari ibu pihakk yang lain. Lebih konkritnya, ibu suami adalah saudara dari ayah isteri ataupun sebaliknya. Hubungan persaudaraan ini bisa karena seibu, sebapak, atau sekandung. Lihat Hazairin, Hendak,…hlm. 5 dan hlm. 20-21, lhat juga Hazairin, Hukum Kewarisan ...... hlm. 13-14
12 Parallel cousins adalah perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang senenek atau sedatuk manakala ayah mereka masing-masing bersaudara atau ibu mereka bersaudara, baik persaudaraan ini seibu, sebapak, maupun sekandung.
24
sistem patrilineal dan matrilinial. Jika clan telah tumbang
maka timbullah masyarakat yang bercorak bilateral. Pada
ketentuan ayat 11 QS An Nisa’ di atas menjadikan semua
anak keturunan, baik itu laki-laki maupun perempuan
sebagai ahli waris bagi ayah dan ibunya. Hal mana ini
merupakan suatu bentuk sistem kekerabatan bilateral,
karena dalam patrilineal prinsipnya sebagaimana yang
diuraikan di atas hanya anak laki-laki saja yang berhak
mewaris harta benda, sedangkan dalam sistem kekerabatan
matrilineal anak-anak hanya mewaris dari ibunya, tidak dari
bapaknya. Kemudian dalam dalam ayat 12 dan 176 QS An
Nisak juga mendukung sistem bilateral, yaitu dengan
menjadikan saudaranya ahli waris bagi saudaranya yang
mati punah (tak berketurunan), tidak dibedakan apakah
saudara itu laki-laki atau perempuan.14
Dengan demikian merujuk pada ayat-ayat munakahat
dan jika dikorelasikan dengan ayat kewarisan tersebut
ternyata sistem kekerabatan yang diinginkan oleh al Qur’an
yaitu sistem kekerabatan bilateral yang mengutamakan
garis kedua-duanya yaitu bapak dan ibu, kedudukan pihak
suami dan pihak isteri seimbang. Mereka bersama-sama
mengurus keluarga, kebutuhan sehari-hari, harta benda
diurus dan digunakan untuk kepentingan bersama.
Kedudukan pihak suami dan pihak isteri berimbang dalam
kehidupan keluarga, dan dapat dilihat dalam hal perkawinan
asabah sebagai wali nikah, dalam perkawinan tidak dikenal
13 Exogami artinya larangan untuk mengawini anggota se-clan, atau dengan kata lain keharusan kawin dengan orang di luar clan.
14 Hazairin, Hukum Kewarisan, hlm. 13-14.
25
jujur, suami isteri menentukan bersama tempat tinggal,
dalam kekuasaan orangtua kedua suami isteri mempunyai
kekuasaan yang sama dalam keluarga baik terhadap anak
maupun harta. Dalam kewarisan lebih cenderung menuju ke
arah asas bagian yang sama antara laki-laki dan wanita,
serta dalam perwalian kedua suami isteri dapat berperan
sebagai wali terhadap anak-anak mereka, namun dalam
pernikahan ayah berperan sebagai wali nikah karena
termasuk asabah.
3. Implikasi Sistem Kekerabatan Menurut Prof. Hazairin
terhadap Sistem Kewarisan
Berdasarkan pada ketentuan ayat tersebut di atas dan
jika dipelajari pola pemikiran Prof. Hazairin, bahwa sistem
kekerabatan yang dikehendaki Al Qur’an adalah sistem
kekerabatan bilateral, maka secara tak lansung juga
membawa implikasi terhadap tentang sistem kewarisan.
Menurut Hazairin karena sistem kekerabatan yang dikehendaki
Al Qur’an adalah sistem kekerabatan bilateral, maka sistem
kewarisan Islam juga berbentuk sistem kewarisan bilateral.15
Prof. Hazairin lebih dikenal dalam bidang pakar ilmu hukum,
terlebih dalam hukum adat. Selain itu pengetahuannya
tentang tentang hukum Islam sangat mendalam dan
khususnya bidang kewarisan. Melalui keahliannya dalam
bidang hukum adat dan hukum Islam beliau diangkat sebagai
Guru Besar Universitas Indonesia bidang hukum adat dan
hukum Islam pada fakultas hukum pada sidang senat terbuka
15 Hazairin yang dikenal sebagai pencetus ide bentuk kewarisan bilateral.
26
tahun 1952. Keahliannya dalam bidang hukum adat dan
hukum Islam, ia sangat faham dengan situasi dan kondisi
hukum Islam di Indonesia bila korelasikan dengan hukum adat.
Snouck Hurgronje dengan teori resepsi (Receptie
Teory)16 yang dicetuskan pada akhir abad XIX telah
menjadikan hukum Islam di Indonesia terpingirkan oleh hukum
adat, yang sebelumnya berlaku Teori Reception in Complexu
yang dimunculkan oleh Van Den Berg.17 Prof. Hazairin tampil
dengan tidak segan-segan untuk menyebut teori ini Snouck
Hurgronje sebagai “Teori Iblis”.18 Untuk mengimbangi teori ini,
kemudian beliau mencetuskan teori baru dengan nama
Receptie Exit,19 yang kemudian ditindak lanjuti oleh Sajuti
Thalib, S.H, dengan teori Receptie a Contrario.20
Dalam pemikirannya tentang hukum kewarisan Islam
dkenal dengan teori hukum kewarisan bilateral menurut Al
Qur’an telah dipresentasikan pada tahun 1957. Prof. Hazairin
mempertanyakan tentang kebenaran hukum kewarisan yang
16 Teori ini menyatakan bahwa hukum yang berlaku bagi rakyat jajahan (pribumi) adalah hukum adat. Hukum Islam hanya menjadi hukum jika telah diterima oleh masyarakat sebagai hukum adat. Lihat Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000),hlm. 16
17 Hukum Islam diterima (direpsi) secara menyeluruh oleh umat Islam. Lihat Ibid, hlm. 13
18 Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional, Jakarta: Tintamas, 1968, hlm. 5
19 Teori ini menyatakan bahwa teori Receptie harus keluar dari teori hukum nasional Indonesia karena bertentangan dengan UUD 1945 (terutama pembukaan dan pasal 29) serta bertentangan dengan Al Quran dan Sunnah. Penjelasan Hazairin tentang teori ini lihat H. Ichtijanto, Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia, dalam Djuhana S. Pradja (Pengantar), Hukum Islam di Indonesia: Perkembangan dan Pembentukan, (Bandung: Rosda Karya, 1994, hlm. 102 dan hlm. 127-131
20 Teori ini merupakan kebalikan dari teori Receptie, maksudnya hukum yang berlaku bagi rakyat (pribumi) adalah hukum agamanya. Lihat Ichtijanto, “Pengembangan”, hlm. 131-136. Lihat juga Ahmad Rofiq, Op.,Cit.
27
dianut kalangan Sunni yang bercorak patrilineal bila
dihadapkan dengan Qur’an. Dengan keahliannya dalam bidang
hukum adat, hukum Islam, antropologi hukum dan sosiologi
hukum beliau mencoba untuk mengkaji dan mendalami ayat-
ayat tentang perkawinan dan kewarisan.
Menurutnya, Al Qur’an hanya menghendaki sistem sosial
atau kekerabatan yang bercorak kea rah system kekerabatan
bilateral. Dengan demikian hukum kewarisan yang dikehendaki di
dalamnya juga bercorak bilateral, bukan patrilineal seperti yang
biasa dikenal selama ini. Prof. Hazairin mencoba memberikan
pemahaman yang baru terhadap hukum kewarisan dalam Islam
secara total dan komprehensif dengan asumsi dasar sistem
bilateral yang dikehendaki Al Quran. Tentu saja sistem ini
mempunyai dampak sosial yang luas bila dapat diterapkan dalam
kehidupan khususnya dalam model sistem kewarisan. Suatu hal
yang sangat menarik, bahwa teori ini lebih dekat dengan rasa
keadilan masyarakat adat Indonesia pada umumnya, jika
dibandingkan dengan sistem kewarisan bercorak patrilinial yang
selama ini dikenal dalam hukum adat Indonesia.
Sistem kewarisan yang dianut kalangan Sunni
sebenarnya terbentuk dari struktur budaya Arab yang
bersendikan sistem kekerabatan yang bercorak patrilineal.
Pada masa awal terbentuknya fiqh, ilmu pengetahuan
mengenai bentuk-bentuk masyarakat belumlah berkembang
seperti zaman sekarang, dengan kata lain kecenderungan pola
pemikiran Sunni sangatlah dipengaruhi situasi zamannya yaitu
zaman awal Islam dimana corak kekerabatan tidak terlepas
dari kultur sosiologi dan antropologi masyarakat Arab waktu
28
itu. Sehingga para Fuqahak dalam berbagai mazhab fiqh yang
dapat kita baca, belum memperoleh perbandingan mengenai
berbagai sistem kewarisan dalam berbagai bentuk masyarakat
satu daerah dengan daerah lainnya. Oleh karena itu tidaklah
mengherankan bila hukum kewarisan yang kemudian disusun
bercorak patrilineal.21 Dalam berbagai kitab fiqh Sunni,
terdapat tiga pola dan prinsip dalam kewarisan, yaitu :
a. Ahli waris perempuan tidak dapat menghalangi menghijab
ahli waris laki-laki yang lebih jauh. Contohnya, ahli waris
anak perempuan tidak dapat menghalangi saudara laki-laki.
b. Hubungan kewarisan melalui garis keturunan pihak laki-laki
lebih diutamakan daripada garis keturunan perempuan.
Pengelompokkan ahli waris model ini menjadikan ahli waris
terdiri dari ashabah dan zawu al-arham merupakan contoh
yang jelas. Ashabah merupakan ahli waris menurut sistem
patrilineal murni, sedangkan zawu al-arham adalah
perempuan-perempuan yang bukan zawu al-faraid dan
bukan pula ashabah.22
c. Dalam konsep Sunni ini tidak mengenal ahli waris pengganti
(mal waris), semua mewaris karena dirinya sendiri. Sehingga
cucu yang orangtuanya meninggal lebih duhulu daripada
kakeknya, tidak akan mendapat warisan ketika kakeknya
21 Hazairin, Hendak Kemana Hukum Islam, Jakarta: Tintamas, 1976), hlm. 3 dan hlm. 11-12. Di sini Hazairin menjelaskan bahwa ilmu pengetahuan mengenai bentuk-bentuk kemasyarakatan yang dimaksud adalah anthropologi sosial (etnologi) yang baru ada pada abad XIX. Jadi jauh dari masa Islam klasik.
22 Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al Quran dan Hadits, Jakarta: Tintamas,1990. hlm. 76-77
29
meninggal. Sementara saudara-saudara dari orang tua sang
cucu tetap menerima warisan.
Sistem kewarisan Sunni yang bercorak patrilineal
tersebut tidaklah relevan rasanya dengan konsep keadilan
masyarakat di Indonesia yang umumnya bercorak bilateral.
Bagi masyarakat patrilineal seperti Batak, bukan berarti tidak
ada konflik dengan sistem kewarisan kalangan Sunni. Apalagi
bagi masyarakat matrilineal seperti Minangkabau, tentu lebih
berat lagi untuk menerima sistem kewarisan ini. Prof. Hazairin
mencoba untuk memikirkan sistem bagaimanakah yang
sebenarnya dikehendaki oleh Al Qur’an. Menurutnya, hal
mustahil Al Qur’an memberikan ketentuan yang tidak adil dan
melukai rasa keadilan masyarakat. Berdasarkan ayat tentang
perkawinan dan kewarisan akhirnya beliau mempunyai
kesimpulan dan keyakinan bahwa Al Qur’an menghendaki
sistem kekerabatan bilateral.23
Dalam al Qur’an sistem kewarisan yang dikehendaki di
samping bilateral juga individual. Maksudnya masing-masing
ahli waris berhak atas bagian yang pasti dan bagian-bagian
tersebut wajib diberikan kepada mereka. Di sinilah muncul
istilah nasiban mafrudan, fa atuhum nasibuhum, al-qismah, di
samping terdapat bagian-bagian tertentu (furud al-
muqaddarah) dalam ayat-ayat tersebut. Jadi sistem kewarisan
yang dikehendaki dalam Al Qur’an adalah individual bilateral.24
Dengan teorinya ini Prof. Hazairin agaknya ingin mengajak
umat Islam untuk memperbaharui pemahaman terhadap ayat-
23 Teorinya ini berdasarkan pada Q.S. al-Nisa (4): 7-8, 11-12 22-24 176.24 Ibid., hlm. 16-17.
30
ayat tentang kewarisan. Pembaharuan dalam ilmu waris yang
digagas oleh Prof. Hazairin pada dasarnya berintikan:
a. Ahli waris perempuan sama dengan laki-laki dapat menutup
ahli waris kelompok keutamaan yang lebih rendah. Jadi,
selama masih ada anak, baik laki-laki maupun perempuan,
maka datuk saudara baik laki-laki maupun perempuan
sama-sama ter-hijab.
b. Hubungan kewarisan melalui garis laki-laki sama kuatnya
dengan garis perempuan. Karenanya penggolongan ahli
waris menjadi ashabah dan zawu al-arham tidak diakui
dalam teori ini.
c. Ahli waris pengganti selalu mewaris, tidak pernah tertutup
oleh ahli waris lain (utama). Jadi, cucu dapat mewaris
bersama dengan anak manakala orangtuanya meninggal
lebih duhalu daripada kakeknya dan bagian yang
diterimanya sama besarnya dengan yang diterima oleh
orangtuanya (seandainya masih hidup).25
Berdasarkan teori ini pula Prof. Hazairin mencoba
membagi ahli waris menjadi tiga kelompok, yakni:
a. Dzawu al-faraid adalah ahli waris yang telah ditetapkan
bagiannya dalam Al Quran. Dalam hal ini hampir seluruh
mazhab fiqh menyepakatinya, baik Sunni maupun Syiah.
Bagian mereka ini dikeluarkan dari sisa harta setelah harta
25 Prinsip-prinsip dalam teori kewarisan bilateral ini hampir sama dengan yang terdapat dalam fiqh Ja’fari. Hanya saja dalam fiqh ini ahli waris pengganti hanya diakui adanya manakala para ahli waris sederajat di atasnya sudah meninggal seluruhnya. Jadi cucu akan tetap terhijab untuk memperoleh warisan dari kakeknya selama masih ada anak.
31
peninggalan dibayarkan untuk wasiat, hutang, dan biaya
kematian.
b. Dzawu al-qarabat adalah ahli waris yang tidak termasuk
zawu al-faraid menurut sistem bilateral. Bagian mereka
dikeluarkan dari sisa harta peninggalan setelah dibayar
wasiat, hutang, onkos kematian, dan bagian untuk zawu al-
faraid. Sedangkan mawali adalah ahli waris pengganti, yang
oleh Hazairin konsep ini di-istinbat-kan dari Q.S. al-Nisa (4):
33.
c. Mawali (ahli waris pengganti) ini merupakan konsep yang
benar-benar baru dalam ilmu faraid (waris).26
Mawali (ahli waris pengganti) di sini adalah ahli waris
yang menggantikan seseorang untuk memperoleh bagian
warisan yang tadinya akan diperoleh orang yang akan
digantikan tersebut. Hal ini terjadi karena orang yang
digantikan tersebut telah meninggal lebih duhalu daripada si
pewaris. Orang yang digantikan ini merupakan penghubung
antara yang menggantikan dengan pewaris (yang
meninggalkan harta warisan). Adapun yang dapat menjadi
mawali yaitu keturunan anak pewaris, keturunan saudara
pewaris, ataupun keturunan orang yang mengadakan
26 Hazairin, Hukum Kewarisan, hlm. 18 dan hlm. 28-36, konsep yang dipandang agak mendekati mawali ini adalah konsep wasiat wajibah yang diberlakukan di beberapa negara Timur Tengah mulai tahun 1946, yaitu: Mesir, Syria, Tunisia, Maroko, dan Pakistan. Meskipun bentuk dan rinciannya berbeda-beda di antara negara-negara tersebut, namun substansinya sama yaitu mengakui adanya ahli waris pengganti bagi anak (baca: cucu), dan tidak diatur ahli waris pengganti bagi saudara. Bandingkan dengan M. Atho Mudzhar, Letak Gagasan Reaktualisasi Hukum Islam Munawir Sjadzali di Dunia Islam, dalam Muhammad Wahyuni Nafis et. al., Kontekstualisasi Ajaran Islam: 70 Tahun Prof. Dr. Munawir Sjadzali, MA., Jakarta: Paramadina-IPHI, 1995. hlm.316
32
semacam perjanjian (misalnya dalam bentuk wasiat) dengan si
pewaris.27
Secara rinci Prof. Hazairin membuat pengelompokkan
ahli waris kepada beberapa kelompok keutamaan secara
hierarkhis, berdasarkan ayat-ayat kewarisan (Q.S. al-Nisa (4):
11,12,33, dan 176), sebagai berikut: 1. Keutamaan pertama:
anak, mawali anak, orangtua, dan duda atau janda. 2.
Keutamaan kedua: saudara, mawali saudara, orangtua, dan
duda atau janda. 3. Keutamaan ketiga: orangtua dan duda
atau janda. 4. Keutamaan keempat: janda atau duda, mawali
untuk ibu dan mawali untuk ayah.
Masing-masing ahli waris dalam keutamaan ini berbeda-
beda statusnya, ada yang sebagai zawu al faraid dan ada pula
yang sebagai zawu al qarabat.28 Setiap kelompok keutamaan
di atas dirumuskan secara komplit, artinya kelompok
keutamaan yang lebih rendah tidak dapat mewaris bersama-
sama dengan kelompok keutamaan yang lebih tinggi. Karena
kelompok keutamaan yang lebih rendah tertutup oleh
kelompok keutamaan yang lebih tinggi. Inti dari kelompok
keutamaan pertama adalah adanya anak dan atau mawali-
nya. Tidak adanya anak dan atau mawali-nya berarti bukan
kelompok keutamaan pertama. Inti kelompok keutamaan
kedua adalah adanya saudara dan atau mawali-nya. Sedang
inti dari kelompok keutamaan ketiga adalah adanya ibu dan
27 Sajuti Thalib SH, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 1993. hlm. 80-81.
28 Hazairin, Hukum Kewarisan, hlm. 37. Adanya konsep tentang kelompok keutamaan ini pada dasarnnya untuk menentukan ahli waris mana yang harus didahulukan manakala terdapat bagitu banyak ahli waris yang ada. Konsep ini dalam fiqh sunni lebih dikenal dengan konsep hijab di antara ahli waris.
33
atau bapak. Adapun janda atau duda meskipun selalu ada
dalam setiap kelompok keutamaan, ia menjadi penentu bagi
kelompok keutamaan keempat. Demikianlah cara kewarisan
bilateral menyelesaikan persoalan waris jika terdapat ahli
waris yang cukup banyak dan lengkap.29
Dengan sistem kelompok keutamaan seperti yang
dikemukakan oleh Prof. Hazairin ini, saudara dapat mewaris
bersama dengan orangtua (bapak ataupun ibu), suatu hal
yang tidak mungkin terjadi pada hukum kewarisan Sunni yang
bercorak patrilineal. Di samping itu tidak mungkin menjadikan
ayah dari ayah atau ibu dari ayah sebagai zawu al-faraid,
demikian pula terhadap cucu perempuan, seperti dalam sistem
ilmu waris kalangan Sunni. Problem kasus kewarisan yang
dianggap rumit, seperti ahli waris kakek bersama saudara (al-
jadd ma’a ikhwan) yang banyak memunculkan variasi
pendapat dalam sistem Sunni tidak akan pernah terjadi dalam
sistem bilateral.30
C. PENUTUP
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan:
1. Hazairin adalah salah seorang tokoh pembaharu hukum Islam
di Indonesia, dengan membuka pintu ijtihad, terutama
kaitannya dengan hukum Islam dan hukum adat, di dalamnya
membahas hukum kewarisan.
29 Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan.. hlm. 8830 Hazairin, Hukum Kewarisan…hlm. 44
34
2. Kewarisan yang ditawarkan Hazairin adalah kewarisan sistem
bilateral, sehingga membawa warna alternatif dalam
mengambil keputusan hukum tentang hukum kewarisan.
Hukum kewarisan Ahlu Sunnah Wal Jamah/Imam Syafi’i yang
lebih patrilinela atau Hazairin yang bilateral.
3. Hazairin dapat digolongan salah seorang tokoh moderat,
dengan melihat bahwa hukum itu harus berlandaskan Al
Qur’an dan Hadits untuk dipahami berdasarkan kaidah ijtihad
dan mengandalkan nalar. Ia mengusulkan agar bebas
madzhab. Fiqh klasik (Ahlu Sunnah Wal Jamaah) dan hukum
adat di Indoensia, berkat ijtihad dapat dilaksanakan unuytk
masa kekiniaan. Hazairin membuktikan dirinya sebagai
seorang yang agamis dan Indonesianis;
4. Pemikiran Hazairin tentang kewarisan dan kekeluargaan
dilatar belakangi oleh teori resepsi sehingga secara tidak
langsung beliau ingin membuktikan bahwa Adat tidak
selamanya bertentangan dengan Syariat tetapi justru saling
mendukung satu sama lainnya, dan pernyataan tersebut juga
disebabkan, pandangan beliau bahwa al-Quran tidak
memaparkan secara jelas bentuk keluarga yang diinginkan;
5. Pemikiran Hazairin dihasilkan dengan mengesampingkan
kaidah ushuliyah, hal ini mungkin dikarenakan keinginan
beliau untuk membuktikan antropologi dapat mendukung
pernyataan yang ada dalam al-Quran.
35
36
DAFTAR PUSTAKA
A. Mukti Arto, Hukum Waris Bilateral Dalam Kompilasi Hukum Islam, Solo: Balqis Queen. 2009.
A. Sukris Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, Jakarta: Rajawali Pers, 1997.
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993.
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000.
Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Mualamat (Hukum Perdata Islam), Yogyakarta: FH-UII, 1993
Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran Dalam Hukum Islam, Padang: Angkasa Raya, 1993.
Departemen Agama RI, Al Quran dan Terjemahannya (Al Qur’an wa Tarjamah Ma’nihi ila Al Lughah al Indonesiyyah), Makkah : Khadim Al Haramain Asy Syarifain Al Malik Fadh bin Abdul Aziz As Su’udi Ath Thaba’ah al Mushah Asy Syarif, 1412 .
Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional, Jakarta: Tintamas, 1968.
----------, Hendak Kemana Hukum Islam, Jakarta: Tintamas, 1976.
----------, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al Quran dan Hadits, Jakarta: Tintamas,1990.
Ichtijanto, Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia, dalam Djuhana S. Pradja (Pengantar), Hukum Islam di Indonesia: Perkembangan dan Pembentukan, Bandung: Rosda Karya, 1994.
M. Atho Mudzhar, Letak Gagasan Reaktualisasi Hukum Islam Munawir Sjadzali di Dunia Islam, dalam Muhammad Wahyuni Nafis et. al., Kontekstualisasi Ajaran Islam: 70 Tahun Prof. Dr. Munawir Sjadzali, MA., Jakarta: Paramadina-IPHI, 1995.
Sajuti Thalib SH, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 1993.
37
SISTEM KEKERABATAN DALAM HUKUM WARIS ISLAM
MENURUT PROFESOR HAZAIRIN
Revisi Makalah ini disusun untuk memenuhi Tugas Akhir
Mata Kuliah Hukum Waris dan Wakaf di Dunia Islam
Oleh :
Solihin
NPM : 1101702
Dosen Pengampu :
Prof. Dr. H. M. Damrah Khair, M.A.
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
PROGRAM PASCA SARJANA (S-2)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
JURAI SIWO
METRO
TAHUN 1433 H/2012 M
38