kejuuu

16
TINJAUAN PUSTAKA Keju Keju adalah salah satu produk olahan susu yang mengandung vitamin A, B dan D, serta mineral penting bagi tubuh seperti fosfor dan kalsium. The Food and Agricultural Organization (FAO) mendefinisikan keju sebagai produk segar hasil pemeraman yang didapatkan dengan penirisan sesudah terjadinya koagulasi susu segar, krim dan skim atau campurannya. Keju adalah salah satu bahan pangan yang mempunyai daya simpan yang baik dan kaya akan protein, lemak, kalsium, fosfor, riboflavin, dan vitamin-vitamin lain dalam bentuk pekat, dibandingkan dengan susu yang memiliki kandungan air yang sangat tinggi (Daulay 1991). Konsumsi keju yang dianjurkan yaitu 100 g keju setiap hari cukup untuk mendapatkan mineral penting yang dibutuhkan tubuh. Dalam 70 g keju mengandung jumlah protein yang sama dengan 100 g daging. Keju mudah dicerna karena protein dan lemak yang terkandung di dalamnya telah dipecah oleh bakteri selama proses pembuatan (Winarno & Fernandez 2007). Berdasarkan Solheim and Lawless (1996), konsumsi keju low fat di Negara Amerika meningkat, meskipun berdasarkan segi ekonomi keju lebih mahal daripada daging. Hal ini disebabkan karena semakin meningkatnya teknologi, konsumen lebih memilih jenis pangan dari segi kesehatan, meskipun harga beli tinggi. Keju merupakan makanan yang mengandung konsentrat zat gizi. Kandungan gizinya sangat baik untuk anak-anak yang berada dalam masa pertumbuhan. Selain itu, keju juga baik dikonsumsi untuk kaum vegetarian ( lacto vegetarian), yaitu mereka yang hanya mengkonsumsi sayur-sayuran dan berpantang daging, tetapi masih bisa mengonsumsi susu. Keju dapat digunakan sebagai pengganti daging karena kandungan proteinnya yang tinggi (Winarno & Fernandez 2007). Keju dibuat dengan cara menggumpalkan protein susu menggunakan enzim renin. Bagian dari susu cair yang terkoagulasi membentuk subtansi padat yang disebut curd (dadih), dan sejumlah besar cairan yang disebut whey. Enzim renin dapat diperoleh dalam bentuk renet. Dispersi koloidal kalsium fosfakaseinat dapat diganggu dan dirusak oleh enzim renin. Kerja enzim tersebut menyebabkan terjadinya penggumpalan yang disebut tahu susu. Penyebab penggumpalan adalah adanya ion kalsium sehingga terjadi endapan kalsium kaseinat (Winarno & Fernandez 2007). Suhu susu untuk terjadinya

Transcript of kejuuu

4

TINJAUAN PUSTAKA

Keju

Keju adalah salah satu produk olahan susu yang mengandung vitamin A,

B dan D, serta mineral penting bagi tubuh seperti fosfor dan kalsium. The Food

and Agricultural Organization (FAO) mendefinisikan keju sebagai produk segar

hasil pemeraman yang didapatkan dengan penirisan sesudah terjadinya

koagulasi susu segar, krim dan skim atau campurannya. Keju adalah salah satu

bahan pangan yang mempunyai daya simpan yang baik dan kaya akan protein,

lemak, kalsium, fosfor, riboflavin, dan vitamin-vitamin lain dalam bentuk pekat,

dibandingkan dengan susu yang memiliki kandungan air yang sangat tinggi

(Daulay 1991).

Konsumsi keju yang dianjurkan yaitu 100 g keju setiap hari cukup untuk

mendapatkan mineral penting yang dibutuhkan tubuh. Dalam 70 g keju

mengandung jumlah protein yang sama dengan 100 g daging. Keju mudah

dicerna karena protein dan lemak yang terkandung di dalamnya telah dipecah

oleh bakteri selama proses pembuatan (Winarno & Fernandez 2007).

Berdasarkan Solheim and Lawless (1996), konsumsi keju low fat di Negara

Amerika meningkat, meskipun berdasarkan segi ekonomi keju lebih mahal

daripada daging. Hal ini disebabkan karena semakin meningkatnya teknologi,

konsumen lebih memilih jenis pangan dari segi kesehatan, meskipun harga beli

tinggi. Keju merupakan makanan yang mengandung konsentrat zat gizi.

Kandungan gizinya sangat baik untuk anak-anak yang berada dalam masa

pertumbuhan. Selain itu, keju juga baik dikonsumsi untuk kaum vegetarian (lacto

vegetarian), yaitu mereka yang hanya mengkonsumsi sayur-sayuran dan

berpantang daging, tetapi masih bisa mengonsumsi susu. Keju dapat digunakan

sebagai pengganti daging karena kandungan proteinnya yang tinggi (Winarno &

Fernandez 2007).

Keju dibuat dengan cara menggumpalkan protein susu menggunakan

enzim renin. Bagian dari susu cair yang terkoagulasi membentuk subtansi padat

yang disebut curd (dadih), dan sejumlah besar cairan yang disebut whey. Enzim

renin dapat diperoleh dalam bentuk renet. Dispersi koloidal kalsium fosfakaseinat

dapat diganggu dan dirusak oleh enzim renin. Kerja enzim tersebut

menyebabkan terjadinya penggumpalan yang disebut tahu susu. Penyebab

penggumpalan adalah adanya ion kalsium sehingga terjadi endapan kalsium

kaseinat (Winarno & Fernandez 2007). Suhu susu untuk terjadinya

5

penggumpalan merupakan faktor yang sangat kritis bila susu ditambah enzim

renin. Bila suhu susu di bawah 150C, penggumpalan tidak dapat terjadi. Bila suhu

lebih dari 600C, enzim menjadi tidak aktif. Suhu optimum untuk terjadi

penggumpalan susu adalah 400C.

Jenis- jenis Keju

Variasi-variasi jenis keju didasarkan pada berat, ukuran, bentuk, tempat

pembuatan, jenis susu yang digunakan, dan sebagainya. Dapat dipastikan

bahwa setiap keju mempunyai karakteristik tertentu seperti ukuran, bentuk,

warna, penampakan eksternal, aroma, cita rasa, dan data analitik untuk

persentase lemak dan bahan kering, persentase kandungan garam, persentase

air dalam subtansi bebas lemak dan sebagainya (Andarwulan & Adawiyah 1992).

Keju dapat dibuat dari berbagai jenis susu, mulai dari susu utuh, krim,

skim, dan whey. Sebagian besar keju dibuat dengan menggunakan renin, tetapi

beberapa keju seperti cream cheese tergolong keju jenis lembut yang dibuat dari

krim dan susu dan cottage cheese yaitu keju lembut dari susu skim, dibuat

dengan menambahkan asam pada susu. Faktor lain yang menentukan jenis keju

adalah komposisi air dan lemak, keterlibatan mikroba, dan apakah keju dilakukan

proses pemeraman atau tidak (Winarno & Fernandez 2007). International Dairy

Federation (IDF) mengklasifikasikan keju berdasarkan bahan baku (jenis susu),

konsistensi, penampakan internal, penampakan eksternal, serta kandungan air

dan lemaknya. Berdasarkan jenisnya, keju dikelompokkan berdasarkan pada

perbandingan antara protein, lemak, dan air yang terkandung di dalam

produknya.

Keju Cottage (cottage cheese) adalah jenis keju lunak tanpa pemeraman

dan pemasakan curd atau dibuat dari susu skim dengan atau tanpa penambahan

krim dan garam (Sugiyono 1992). Dijelaskan lebih lanjut oleh Daulay (1991),

bahwa keju cottage adalah keju muda, yang berarti pada proses pembuatannya

tidak dilakukan pemeraman. Keju peram adalah jenis keju yang melalui proses

pemeraman dalam pembuatannya, baik pemeraman dalam menggunakan

aktivitas bakteri, maupun pemeraman dengan menggunakan aktivitas kapang.

Klasifikasi keju berdasarkan komposisi air dan lemak dapat dilihat pada

Tabel 1. Dalam klasifikasi ini tidak dibedakan antara keju peram dengan keju

tanpa peram dan tidak ada penjelasan mengenai karakteristik - karakteristik

seperti ukuran, berat, bentuk, penampakan, dan sebagainya.

6

Tabel 1 Klasifikasi keju berdasarkan komposisi air dan lemak

Tipe keju Air dalam subtansi bebas lemak (%)

Lemak dalam bahan kering

(%)

Deskripsi kelas

Sangat keras 51 60 Keju berlemak tinggi Keras 49 - 55 45 - 60 Keju susu berlemak Berlemak sedang 53 - 63 25 - 45 Keju berlemak sedang Semi lemak 61 - 68 10 - 25 Keju berlemak rendah Soft 61 10 Keju susu skim

Sumber: R. Scott (1981)

Klasifikasi keju yang berdasarkan kandungan air merupakan indikator dari

daya simpan dan karakteristik pemeraman keju. Pada Tabel 2 dapat dilihat

klasifikasi keju berdasarkan karakteristik pemeraman dan kadar air.

Tabel 2 Klasifikasi keju berdasarkan karakteristik pemeraman dan kadar air

Tipe keju Kadar air (%) Katakteristik pemeraman

Nama contoh keju

Sangat keras 26 - 34 Diperam dengan

bakteri

Keju asiago, parmesan, romano, sapsago, spalen

Keras 35 - 45

a)Diperam dengan bakteri; tekstur

tertutup (tanpa lubang) b) Diperam dengan bakteri; tekstur tertutup (dengan lubang)

Keju cheddar, caciocavallo,

granular, cheese hire Keju swiss, emmentaler, gruyere

Sangat keras 41 - 52

a)Diperam dengan

bakteri b) Diperam dengan kapang biru pada bagian dalam

Keju munster, brick, edam, gouna Keju roquefort,

gorgonzota, stilton

Semi lunak 45 - 55 Diperam dengan bakteri permukaan

Keju limburger, port da salut, dan trappist

Lunak 55 - 80

a) Diperam dengan

kapang permukaan b) Tanpa peram - Berlemak rendah - Berlemak tinggi

Keju camembert,

bric, bel paese, cooked, hand. Keju cottage, pot, bakers Keju krim dan neufchatel amerika

Sumber: Galloway,J.H. & R.J.M Grawford (1985),

Chapman, H.R. dan M.E. Sharp (1981)

Keju lunak segar adalah keju yang paling populer dikonsumsi oleh

masyarakat Hispanik di Amerika Serikat dan Meksiko. Keju ini memiliki

flavour susu segar dan sedikit asin (Carellos et al. 2007). Keju rendah lemak

merupakan keju yang komponen lemaknya lebih rendah dibandingkan dengan

varietas keju lemak penuh (Mistry & Anderson 1993). Dalam keju cheddar rendah

7

lemak, kekurangan dan tidak seimbangnya flavor berhubungan dengan

rendahnya asam lemak diantaranya asam butanoat dan heksanoat serta keton

logam (Banks, Brechany, & Christie 1989). Beberapa jenis keju rendah lemak

tanpa dilakukan pemeraman, seperti krim, cottage, mozzarella yang memiliki

karakteristik tertentu yang kurang disukai konsumen. Kualitas keju ini berkaitan

dengan perbedaan komposisi antara keju rendah lemak dengan keju lemak

penuh (Mistry 2001).

Keju cottage pertama kali dibentuk oleh curd dari susu skim. Krim yang

ditambahkan akan membungkus globula-globula lemak, kemudian curd

menyerap sejumlah kecil globula lemak, sehingga menghasilkan keju cottage

rendah lemak dengan tekstur menyerupai “karet” (kosikowski et al. 1997).

Meskipun keju Mozarella tidak termasuk keju matang, kerusakan pada kasein

masih tergolong tingkat kecil, yang dibutuhkan untuk menghasilkan fungsi dan

tekstur keju. Apabila kandungan lemak dikurangi sampai dengan 15%, maka

proses proteolisis akan menurun dan akan meningkatkan kekerasan keju (Rudan

et al. 1999).

Karakteristik tekstur keju rendah lemak dapat ditingkatkan yaitu dengan

meningkatkan kelembaban dalam curd. Metode untuk meningkatkan kelembaban

diantaranya manipulasi suhu pemanasan dan pengadukan (Bank et al. 1989),

mencuci dan mengaduk curd atau mengaduk curd pada pH tinggi (Guinee et al.

1998).

Cara Pembuatan Keju

Cara pembuatan keju menurut Winarno & Fernandes (2007), pertama kali

yang dilakukan adalah susu diasamkan dan dibiarkan menggumpal. Kemudian

cairan dan bagian menggumpal dipisahkan. Bagian yang menggumpal

dikeringkan dan dicetak dalam cetakan sampai benar-benar kering. Proses lama

pengeringan sangat variatif, tergantung pada suhu dan kelembaban udara. Hal

ini mengakibatkan keju yang dihasilkan berbeda-beda dari segi tekstur, warna,

dan keharuman. Hal ini hanya berlaku pada keju yang dibuat secara tradisional,

tidak tergolong keju yang mengalami proses pengolahan di pabrik dengan

peralatan modern.

Di dunia terdapat beragam jenis keju, seluruhnya memiliki prinsip dasar

yang sama dalam proses pembuatannya. Hal pertama yang dilakukan yaitu,

pasteurisasi susu pada suhu 700C, proses ini dilakukan untuk membunuh bakteri

patogen. Kemudian dilakukan pengasaman susu yang bertujuan agar enzim

8

rennet dapat bekerja optimal. Pengasaman dapat dilakukan dengan

penambahan lemon jus, asam tartrat, cuka, atau bakteri Steptococcus lactis.

Proses fermentasi Steptococcus lactis akan mengubah laktosa (gula susu)

menjadi asam laktat, sehingga derajat keasaman (pH) susu menjadi rendah dan

rennet efektif bekerja. Tahap selanjutnya adalah penambahan enzim rennet.

Rennet memiliki daya kerja yang kuat, dapat digunakan dalam konsentrasi yang

kecil. Perbandingan antara rennet dan susu adalah 1 : 5.000, kurang dari 30

menit setelah penambahan rennet ke dalam susu yang asam, maka terbentuklah

curd (dadih). Bila suhu sistem dipertahankan 400C, maka akan terbentuk curd

yang padat. Kemudian dilakukan pemisahan curd dari whey. Pemisahan ini

dilakukan dengan cara mengepres curd sehingga whey yang berbentuk cair

benar-benar terpisah.

Salah satu proses yang cukup kritis adalah pemisahan antara whey dan

curd. Keju merupakan produk olahan susu yang bernilai ekonomis tinggi. Proses

pemisahan curd melibatkan rennet yang bisa berasal dari lambung anak sapi,

babi, atau produk mikrobial. Setelah curd dipisahkan, masih ada produk lain,

yaitu whey yang masih mengandung tinggi laktosa, sehingga sering digunakan

dalam produk-produk susu olahan atau susu formula.

Tahap terakhir yang dilakukan yaitu proses pematangan keju (ripening).

Untuk menghasilkan keju yang berkualitas, dilakukan proses pematangan

dengan cara menyimpan keju selama periode tertentu. Dalam proses tersebut,

mikroba mengubah komposisi curd, sehingga menghasilkan keju dengan rasa,

aroma, dan tekstur yang spesifik. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi penyimpanan,

seperti temperatur dan kelembaban udara di ruang tempat pematangan. Dalam

beberapa jenis keju, bakteri dapat mengeluarkan gelembung udara, sehingga

menghasilkan keju yang berlubang-lubang.

Bahan Pembuatan Keju

Susu

Sebagian besar keju dibuat dari susu sapi, namun beberapa jenis susu

lain juga dapat dibuat keju. Keju yang terkenal dengan nama French Rojuefar

cheese, dibuat dari susu domba, Gjetost dari Norwegia terbuat dari susu

kambing, Jeu dari Italia dari susu kerbau yang dikenal sebagai Mozzarella

(Winarno & Fernandez 2007).

9

Susu didefinisikan sebagai hasil sekresi dari kelenjar susu hewan

mamalia. Dilihat dari kandungan gizinya, susu mengandung lemak, protein,

laktosa dan mineral. Susu merupakan makanan alami yang dapat dijadikan

sumber gizi sekaligus pelengkap pola makan sehat seimbang. Pola gizi

seimbang inilah yang kini dianggap lebih ideal untuk mendapatkan gizi yang

sehat. Susu adalah sumber pangan penyempurna yang kandungan gizinya

lengkap, demikian juga manfaatnya (Winarno & Fernandez 2007).

Komposisi susu sangat beragam tergantung pada beberapa faktor, yaitu

jenis ternak, waktu pemerahan, musim, umur ternak, waktu laktasi dan pakan

ternak. Selain itu, komposisi susu dipengaruhi oleh faktor-faktor luar seperti

penambahan air atau bahan lain dan aktivitas bakteri (Buckle et al, 1985).

Secara umum komposisi susu sapi dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Komposisi susu sapi

Komponen Komposisi

Lemak 3.5

Protein 3.2

Kalsium 143

Fosfor 60

Air 88.3

Sumber: Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) 2007

Protein susu terbagi menjadi dua kelompok utama yaitu kasein yang

dapat diendapkan oleh asam dan enzim renin dan protein whey yang dapat

mengalami denaturasi oleh panas pada suhu sekitar 65oC. Kasein dalam susu

jumlahnya mencapai sekitar 80% dari total protein. Kasein terdapat dalam bentuk

kasein-kalsium yaitu senyawa kompleks dari kalsium fosfat dan terdapat dalam

bentuk partikel-partikel kompleks koloid yang disebut misel. Kasein terdiri atas

tiga komponen protein, yaitu alpha, beta, gamma dan k-kasein.

Apabila lemak dan kasein dihilangkan dari susu, air sisanya dikenal

sebagai whey. Sekitar 0.5 – 0.7% dari bahan protein yang dapat larut tertinggal

dalam whey yaitu laktalbumin dan laktoglobulin. Laktalbumin berjumlah kira-kira

10% dari total protein susu dan jumlah kedua terbesar setelah kasein.

Laktalbumin mudah dikoagulasikan panas, meskipun pasteurisasi tidak banyak

merusak sifat protein whey.

Lemak susu sapi terdiri atas 97 - 98% trigliserida, selebihnya adalah

fosfolipid, glycolipid, monogliserida, dan digliserida, sterol bebas dan asam lemak

bebas. Sekurang-kurangnya lima puluh macam asam lemak yang berbeda

10

ditemukan dalam lemak susu, dan 60 - 75% bersifat jenuh, 5 - 30% tidak jenuh

dan 4% merupakan asam lemak polyunsaturated. Asam lemak yang paling

banyak adalah asam miristat, palmitat, dan stearat. Asam lemak tak jenuh yang

utama adalah oleat, linoleat, dan linolenat. Asam butirat dan kaproat terdapat

dalam jumlah kecil sebagai trigliserida (Daulay 1991).

Lemak pada susu merupakan sumber dari sebagian komponen-

komponen pembentuk citarasa, aroma, rasa dan kelembutan keju matang.

Pengaruh dari lemak tidak hanya tergantung pada jenis keju tetapi juga dari

komposisi dan karakter fisik lemaknya. Keju yang dibuat dari susu tanpa lemak,

umumnya memiliki tekstur yang keras dan tidak membentuk cita rasa tipikal keju

yang diharapkan. Susu skim yang diperoleh melalui pemisahan krim secara

manual masih mengandung lemak sebanyak 1.0 % sampai dengan 1.75 %,

sehingga beberapa jenis keju (misalnya blue Vinney) yang dibuat dari jenis susu

ini dapat membentuk cita rasa tipikal keju. Keju yang dibuat dari susu skim yang

dipisahkan dengan menggunakan mesin separator krim (kadar lemak 0.1% -

0.2%) tidak mempunyai citarasa selain citarasa laktat digolongkan ke dalam keju

lunak (Daulay 1991).

Susu Skim

Susu skim adalah bagian susu yang tertinggal sesudah krim diambil

sebagian atau seluruhnya. Susu skim mengandung semua komponen gizi,

kecuali lemak dan vitamin-vitamin yang larut dalam lemak (Buckle et al, 1985).

Bagi masyarakat yang menginginkan minum susu dengan kalori rendah maka

sangat cocok mengonsumsi susu skim. Kandungan kalori dalam susu skim

adalah sekitar 55%. Susu skim hanya mengandung sedikit lemak, maka susu

skim dapat disimpan lebih lama. Tabel 4 menunjukkan komposisi rata-rata susu

skim.

Tabel 4 Komposisi rata-rata susu skim

Komponen Komposisi %

Lemak 0.1

Protein 3.5 Kalsium 123 Fosfor 97 Air 90.5 Sumber: Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) 2007

11

Rennet dan Starter

Rennet merupakan ekstrak kasar enzim yang diperoleh dari abomasum

anak sapi yang berumur kurang dari 30 hari. Protease yang utama dalam rennet

adalah rennin, yang mempunyai aktivitas menggumpalkan susu. Berdasarkan

tatanama yang diberikan oleh International Enzyme Nomenclature Committe,

enzim renin diberi nama Khimosin (Chymosin, EC 3.4.4.3) untuk menghindari

kekeliruan dengan hormon rennin yang disekresi oleh ginjal. Rennet

mengandung dua enzim khimosin yang berperan dalam proses koagulasi kasein

susu dan enzim pepsin yang berperan dalam proses hidrolisis keju sewaktu

proses pematangan. Rennet yang diperoleh dari abomasum anak sapi yang

masih menyusui akan mengandung 6 – 12% pepsin dan 88 – 94% khimosin,

sedangkan ekstrak rennet yang diperoleh dari abomasum anak sapi yang lebih

tua atau telah makan pakan lain, mengandung 6 – 12% khimosin dan 90 – 94%

pepsin (Scott 1981).

Starter merupakan bakteri asam laktat yang membantu dalam koagulasi

susu. Starter dapat terdiri atas galur tunggal atau galur ganda dari Streptococcus

lactis, Streptococcus cremoris, Streptococcus durans, Streptococcus

thermophillus, atau Streptococcus bulgaricus. Salah satu tujuan penggunaan

starter dalam keju adalah untuk memproduksi komponen asam laktat, cita rasa,

dan aroma. Ditambahkan oleh Foster (1957), bahwa fungsi asam laktat (S. lactis)

selain untuk membantu penyusutan kandungan whey pada curd, adalah untuk

mencegah pertumbuhan bakteri yang tidak diinginkan, membantu penggabungan

partikel-partikel dari curd, dan membantu kerja enzim proteolitik dari rennin

(rennet).

Emulsi Minyak

Emulsi W1/O/W2

Emulsi merupakan sistem heterogen yang terdiri atas dua fase cairan

yang tidak tercampur tetapi cairan yang satu terdispersi dengan baik dalam

cairan yang lain dalam bentuk butiran (droplet/globula) dengan diameter lebih

dari 0.01 µm atau antara 0.01 - 50 µm. Fase yang berbentuk butiran disebut fase

terdispersi atau fase internal atau disebut juga fase diskontinyu, sedangkan fase

cairan tempat butiran terdispersi disebut fase pendispersi atau fase eksternal

atau fase kontinyu (Nawar 1985). Dalam pangan kedua fase tersebut berupa

minyak dan air, bila minyak sebagai fase terdispersi dan air sebagai fase

12

pendispersi maka emulsi yang terbentuk disebut tipe emulsi minyak dalam air

atau oil in water (o/w). Sebaliknya, Menurut Roland et al. (2003) bila fase air

sebagai fase terdispersi dan minyak sebagai fase pendispersi disebut tipe emulsi

air dalam minyak atau water in oil (w/o).

Jenis-jenis emulsi menurut McClements et al. (2007), terdiri dari

conventional emulsion (O/W), multiple emulsions (W/O/W), multilayer emulsions

(M-O/W), solid lipid particles (SLP-O/W), dan filled hydrogel particles (O/W/W).

Emulsi air dalam minyak dalam air (W/O/W) merupakan emulsi ganda, dimana

droplet air yang berukuran kecil terkandung dalam droplet minyak yang

berukuran lebih besar, kemudian akan terdispersi dalam fase air yang kontinyu.

Emulsi air dalam minyak dalam air dituliskan dalam bentuk emulsi W1/O/W2,

dimana W1 merupakan fase air yang berada di dalam, dan W2 merupakan fase

air yang berada di luar, dan keduanya mengandung komposisi yang berbeda

(McClements et al. 2007). Emulsi W/O/W mengandung kedua emulsi W/O dan

O/W, yang membutuhkan dua pengemulsi untuk membentuk dua sistem ketika

menggunakan metode dua langkah, salah satunya harus mangandung nilai HLB

(Hydrophile Lipophile Balance) rendah untuk menstabilkan emulsi W/O dan salah

satu harus mengandung nilai HLB tinggi untuk menstabilkan emulsi O/W.

Surfaktan dengan nilai HLB rendah yang dominan mengandung hidrofobik

ditambahkan ke dalam fase minyak, sedangkan surfaktan dengan nilai HLB

tinggi dominan hidrofilik ditambahkan ke dalam fase air kontinyu. Rasio

konsentrasi dari dua surfaktan, merupakan sesuatu yang penting dalam hal

untuk mempertahankan kestabilan emulsi W/O/W (Jiao & Burges 2003). Pada

Gambar 1 dapat dilihat proses pembentukan emulsi W/O/W.

Gambar 1 Proses pembentukan emulsi W/O/W

13

Dalam proses pembuatan emulsi biasanya ditambahkan bahan kimia

lainnya untuk menstabilkan emulsi. Bahan tersebut tergolong ke dalam bahan

pengemulsi (emulsifier) dan penstabil (stabilizer). Penambahan pengemulsi

bertujuan menurunkan tegangan permukaan antara kedua fase (tegangan

interfasial) sehingga mempermudah terbentuknya emulsi, sedangkan

penambahan penstabil bertujuan untuk meningkatkan viskositas fase kontinyu

agar emulsi yang terbentuk menjadi stabil (Muchtadi 1990). Emulsi merupakan

sistem yang tidak stabil. Oleh karena itu dibutuhkan dua hal untuk membentuk

emulsi stabil, yaitu penggunaan alat mekanis untuk mendispersikan sistem dan

penambahan bahan penstabil/pengemulsi untuk mempertahankan sistem tetap

terdispersi (Bergenstahl & Claesson 1990).

Menurut Nasimhan (1992), emulsi dibentuk oleh pemberian energi

mekanik untuk mencampur dua fase cairan yang tidak saling tercampur sehingga

satu cairan terdispersi dalam butiran yang baik. Energi mekanik awalnya

menggangu interfasial yang membentuk butiran besar, kemudian merusaknya

menjadi butiran-butiran lebih kecil.

Peralatan yang umum digunakan untuk pembuatan emulsi adalah mixer

dan homogenizer. Pemilihan peralatan tersebut biasanya tergantung pada

penggunaan emulsinya (Muchtadi 1990). Selain peralatan, pemilihan jenis

penstabil sangat penting dalam pembentukan emulsi. Cowles (1998)

memberikan cara-cara pemilihan bahan pengemulsi: (1) menentukan sistem

emulsi bertipe o/w atau w/o dengan tujuan untuk memilih jenis pengemulsi

berdasarkan nilai HLB (hydrophilic-liphopilic balance). Secara umum jika emulsi

tipe w/o dibutuhkan pengemulsi dengan nilai HLB <7 dan jika terbentuk emulsi

o/w dibutuhkan pengemulsi dengan nilai HLB >7; (2) menentukan pengemulsi

mempunyai nilai pH < 4 atau kadar sodium >2 - 3 (%), kondisi yang demikian

menyebabkan penggunaan pengemulsi yang bersifat amfortir tidak bermanfaat;

dan (3) pertimbangan penggunaan kombinasi dua atau lebih pengemulsi bila

penggunaan satu emulsi tidak berhasil dengan baik.

Pengaruh bahan pengemulsi terhadap pembentukan emulsi adalah

menurunkan jumlah energi yang dibutuhkan untuk emulsifikasi dengan cara

menurunkan tegangan interfasial. Tegangan interfasial tersebut tidak berada

pada nilai kesetimbangan dan akan bergantung pada laju absorpsi bahan

pengemulsi (Narsimhan 1992). Menurut Noerono (1990), jika terdapat

pengemulsi yang cukup maka molekul pengemulsi akan terabsorpsi pada setiap

14

batas antar permukaan globula-globula yang terbentuk dan membentuk lapisan

film yang utuh, dengan demikian memberikan perlindungan yang cukup terhadap

globula-globula. Tabel 5 menunjukkan nilai HLB beberapa bahan pengemulsi.

Tabel 5 Nilai beberapa komponen bahan pengemulsi

No Komponen Nila HLB

1 Asam oleat 1.0 2 Sorbitol trisrearat 2.1 3 Stearil monogliserida 3.1

4 Gliserol monostearat (GMS) 3.8 5 Sorbitol monostearat 4.7 6 Sorbitol monolaurat 8.6 7 Gelatin 9.8 8 Gum arab 10.0 9 Polioksietilen sorbitol stearat 10.5

10 Metilselulosa (CMC) 10.5 11 Polioksietilen sorbitol stearat (tween-60) 14.9 12 Polioksietilen sorbitol monooleat (tween 80) 15.0 13 Sodium oleat 18.0 14 Potasium oleat 20.0

Sumber: Belitz dan Grosch (1987)

Kestabilan Emulsi

Kestabilan emulsi pangan merupakan fenomena yang kompleks karena

melibatkan berbagai sistem yang luas. Emulsi dari dua fase cairan secara

termodinamika tidak bersifat stabil. Pengertian emulsi stabil secara

termodinamika adalah bahwa emulsi secara spontan terbentuk kembali setelah

dilakukan pemisahan dengan sentrifugasi atau alat lain. Dengan demikian

pengertian emulsi stabil mengacu pada proses pemisahan yang berjalan lambat

sedemikian sehingga proses tersebut tidak teramati pada selang waktu tertentu

yang diinginkan, biasanya 2 - 3 tahun (Friberg et al. 1990). Gambar 1

menunjukkan beberapa konsep yang menggambarkan sebuah emulsi dari

sebelum terbentuk hingga terjadinya ketidakstabilan emulsi.

Keterangan:

A: Proses sebelum emulsi (fase I)

B: Fase II dalam proses emulsi

C: Emulsi yang tidak stabil

D: Emulsi yang stabil

Gambar 2 Diagram yang menggambarkan konsep dari emulsi (Anonim 2011)

15

Selama suatu emulsi disimpan, dapat terjadi perubahan-perubahan fisik

di dalam butiran-butiran terdispersinya yang berakibat pada penurunan mutu.

Perubahan stabilitas suatu emulsi dapat terjadi melalui proses kriming, flokulasi

dan koalesan (Muchtadi 1990). Kriming adalah pemisahan yang terjadi karena

gerakan globula-globula ke atas/ke bawah, terjadi karena gaya grafitasi terhadap

fase-fase yang berbeda densitasnya. Flokulasi merupakan agregasi dari droplet.

Pada flokulasi tidak terjadi pemutusan film antar permukaan, sehingga jumlah

dan ukuran globula tetap. Terjadinya flokulasi dapat mempercepat laju kriming.

Koalesan merupakan penggabungan globula-globula menjadi globul yang lebih

besar. Pada tahap ini terjadi pemutusan film antar permukaan sehingga jumlah

dan ukuran globula berubah (Nawar 1985).

Faktor-faktor yang mempengaruhi kestabilan emulsi menurut Glicksman

(1982) adalah: (1) faktor-faktor yang tidak dapat dikontrol yang meliputi

perbedaan densitas antar fase, kohesi fase internal (terdispersi), persentase solid

emulsi, dan ekspos suhu yang ekstrim, dan (2) faktor-faktor yang dapat dikontrol

meliputi ukuran globula fase internal, viskositas fase kontinyu (pendispersi),

muatan fase terdispersi, disribusi ukuran globula fase internal, dan tegangan

antarmuka (interfasial) antara kedua fase.

Minyak Nabati

Minyak Jagung

Minyak nabati merupakan minyak yang berasal dari tumbuhan. Salah

satu jenis minyak nabati adalah minyak jagung. Minyak jagung merupakan hasil

penggilingan jagung (zea mays) secara kering atau basah. Minyak jagung

mengandung 12 - 18 persen asam lemak jenuh dan 82 - 88 persen asam lemak

tidak jenuh (Sonntag 1979). Minyak jagung dapat digunakan untuk seseorang

yang melakukan pengaturan diet, karena minyak jagung merupakan sumber

energi, yaitu sekitar 120 kkal/satu sendok makan (14 g). Selain itu, minyak

jagung mudah dicerna, mengandung asam lemak essensial, dan mengandung

vitamin E (Dupont et al. 1990). Minyak jagung merupakan minyak goreng yang

tahan terhadap ketengikan (stabil) karena adanya tokoferol yang larut dalam

minyak. Minyak jagung merupakan trigliserida yang disusun oleh gliserol dan

asam-asam lemak. Persentase trigliserida sekitar 98,6%, sedangkan sisanya

merupakan bahan non minyak, seperti abu, zat warna atau lilin. Asam lemak

16

yang menyusun minyak jagung terdiri dari asam lemak jenuh dan asam lemak

tidak jenuh (Keraten 1968).

Minyak jagung mudah dicerna, menyediakan energi dan mengandung

Asam Lemak Esensial (ALE). Asam linoleat merupakan asam lemak esensial

yang diperlukan untuk integritas kulit, membran sel, sistem kekebalan, dan untuk

sintesis icosanoid. Icosanoid penting untuk fungsi-fungsi reproduksi,

kardiovaskuler, ginjal, pencernaan dan ketahanan terhadap penyakit. Minyak

jagung efektif dalam menurunkan kadar kolesterol darah. Hal ini karena minyak

jagung mengandung Saturated Fatty Acid (SFA) rendah dan mengandung

Polyunsaturated Fatty Acid (PUFA) tinggi. Konsumsi minyak jagung dapat

mengganti SFA dengan PUFA, dan kombinasinya lebih efektif dalam

menurunkan kolesterol dibandingkan dengan sekadar mengurangi konsumsi

SFA (Subroto 2000). Poli Unsaturated Fatty Acid (PUFA) bermanfaat untuk

menurunkan LDL (Low Density Lipoprotein) kolesterol (kolesterol jahat) yang

bersifat atherogenik. Sebuah studi menunjukkan bahwa PUFA memiliki efek kecil

terhadap LDL kolesterol (kolesterol baik) yang bersifat protektif terhadap

atherosclerosis (Lacono et al. 1993). Rekomendasi minimum untuk pencegahan

penyakit jantung adalah dengan mengonsumsi makanan yang mengandung 8 -

10% minyak jagung dari kebutuhan energi (Subroto 2000).

Medium Chain Triglyseride (MCT)

Lemak merupakan sumber makanan kaya energi kedua bagi manusia.

Konsumsi lemak di dunia berkisar antara 10 – 45% dari total energi (Trugo &

Torres 2003). Trigliserida menjadi bahan lemak yang memiliki kemudahan

dicerna paling tinggi serta mengandung energi yang paling tinggi, yaitu sebesar 9

kkal/g. Lemak memiliki cita rasa yang dapat membangkitkan selera makan,

sehingga seseorang kesulitan mengontrol asupan lemak. Untuk mengatasi hal

tersebut, telah banyak dilakukan penelitian mengenai berbagai produk pengganti

lemak yang lebih sehat dan rendah kalori namun memiliki cita rasa lemak. Salah

satu minyak nabati pengganti lemak hewani adalah Medium Chain Triglyceride.

Medium Chain Triglyceride merupakan asam lemak khusus yang memiliki

rantai karbon C6 - C12 yang bersifat jenuh (asam kaproat, kaplirat, kaprat, dan

laurat). Medium Chain Triglyceride diperoleh melalui proses esterifikasi gliserol

(diturunkan dari minyak nabati) dengan asam lemak yang mempunyai rantai

karbon C8:0 – C12. Minyak tersebut diturunkan dari minyak berkadar laurat

tinggi, terutama minyak kelapa dan minyak kelapa sawit. Asam lemak dalam

17

MCT lebih pendek daripada asam lemak C16 dan C18 yang banyak ditemukan

serta mendominasi LCT (Long Chain Trigliceride). Medium Chain Triglyceride

memiliki sifat fisik yang unik, contohnya MCT lebih polar (lebih cepat melepas ion

H) daripada LCT, sehingga lebih mudah larut dalam air.

Medium Chain Triglyceride lebih mudah dimetabolisme di dalam tubuh

dengan cara yang berbeda dari LCT, karena pengaruh perbedaan kelarutan

dalam air. Sifat kelarutan MCT di dalam air yang lebih tinggi daripada LCT,

mengakibatkan MCT dapat masuk ke dalam hati secara langsung melalui

pembuluh darah balik (vena) dan dengan cepat dibakar menjadi energi. Hal ini

mengakibatkan MCT tidak tersimpan (tertimbun) di dalam jaringan tubuh,

sedangkan minyak konvensional dihidrolisis dalam usus kecil bersama dengan

lemak rantai panjang yang dikombinasikan dengan gliserol dalam sel usus. Long

Chain Trigliceride dalam minyak konvensional kemudian diangkut ke hati untuk

dioksidasi dan LCT yang tidak digunakan akan tersimpan (tertimbun) sebagai

cadangan lemak di dalam tubuh. Individu yang bermasalah dengan penyerapan

lemak, tidak mampu memecah LCT menjadi asam lemak rantai sedang agar

terserap langsung ke dalam usus. Oleh karena itu, individu tersebut tidak mampu

manyerap lemak dan vitamin yang larut di dalam lemak sebagai gizi.

Berbeda dengan LCT, MCT diserap usus, sehingga tidak memerlukan

enzim atau asam bile (asam empedu) seperti dalam proses metabolisme LCT.

Dengan demikian, individu yang tidak mampu memetabolisme LCT dapat

memperoleh lemak dan vitamin yang larut dalam lemak dengan mengonsumsi

MCT. Medium Chain Trigliceride mempunyai kekentalan (viskositas) lebih rendah

(25 – 31 cp pada suhu 200C) daripada minyak konvensional lainnya. Hal ini

disebabkan karena karena panjang rantai asam lemak MCT lebih pendek dan

terkait dengan ukuran molekulnya yang lebih kecil. Sifat viskositas MCT lebih

rendah menyebabkan MCT mudah tersebar dan melekat di permukaan dengan

baik, serta menghasilkan keseragaman permukaan. Hal ini yang menyebabkan

jumlah MCT yang dibutuhkan lebih sedikit daripada LCT pada penggunaan yang

sama.

Sifat utama MCT adalah stabilitas oksidatifnya yang tinggi, yang dapat

memperpanjang umur simpan pada produk akhir. Medium Chain Trigliceride

memiliki nilai AOM (Active Oxygen Method) lebih besar dari 500 jam

dibandingkan dengan minyak kedelai yang hanya mempunyai nilai AOM 19 jam.

Nilai AOM MCT yang tinggi menunjukkan bahwa MCT lebih tahan terhadap

18

reaksi oksidasi. Medium Chain Trigliceride dapat digunakan untuk memperbaiki

stabilitas oksidatif minyak konvensional. Perbaikan sifat stabilitas oksidatif

minyak konvensional dibutuhkan untuk mencegah terjadinya ketengikan pada

minyak. Nilai OSI (Oxidative stability Index) dari campuran antara minyak

konvensional dan MCT meningkat seiring dengan peningkatan jumlah MCT

dalam campuran.

Medium Chain Trigliceride berbeda dengan lemak dan minyak

konvensional dalam dua hal penting sebagai berikut; (1) Medium Chain

Trigliceride tidak termetabolisme melalui pembakaran seperti lemak dan minyak

konvensional. Oleh karena itu, MCT tidak tersimpan sebagai cadangan lemak,

melainkan dibakar sebagai energi. Dengan alasan tersebut, masyarakat memilih

MCT sebagai sumber energi yang mudah diserap, sehingga energinya dapat

segera digunakan, (2) Lemak dan minyak konvensional menghasilkan energi 9,0

kkal/g, sedangkan MCT menghasilkan energi 8.3 kkal/g. Medium Chain

Trigliceride memiliki kandungan energi yang lebih rendah daripada lemak dan

minyak biasa, karena itu MCT tidak termetabolisme seperti lemak, sehingga tidak

akan tersimpan di dalam jaringan tubuh. Penelitian menunjukkan bahwa, pola

makan dengan kandungan MCT sampai dengan 100 g/hari masih dalam batas

toleransi (Alam Syah 2005).

Medium Chain Triglyceride memiliki banyak manfaat dibidang kesehatan

dan industri pangan, karena MCT tidak tersedia secara alamiah di alam sehingga

perlu disintesis. Medium Chain Triglyceride memiliki beberapa keunggulan

sehingga bisa digunakan sebagai bahan pengganti lemak. Keunggulan-

keunggulan dan karakteristik unik MCT menyebabkan penggunaan MCT

semakin luas. Medium Chain Triglyceride digunakan sebagai zat gizi khusus bagi

balita dalam masa pertumbuhan dan penderita sindrom malabsorpsi, suplemen

berenergi tinggi yang sangat direkomendasikan bagi pasien dalam masa

penyembuhan, dan bayi prematur, pelarut rasa dalam industri pangan, pelarut

warna pada vitamin dan obat-obatan, dan pelapis bahan pangan (Alam Syah

2005).

Medium Chain Triglyceride dapat dengan mudah disubtitusikan untuk

penggunaan larutan flavor secara frekuentatif seperti minyak nabati, glikol

propilen, iriacetin, minyak bumi, dan benzyl alcohol. Kelebihan lain yang dimiliki

MCT adalah asam lemak rantai sedang bersifat jenuh secara alami, sehingga

tidak mengandung lemak trans yang bisa menyebabkan penyakit jantung.

19

Medium Chain Trigliceride sangat stabil pada suhu yang rendah dan suhu tinggi,

misalnya tidak mengental meskipun dalam waktu yang lama digunakan pada

suhu penggorengan. Warna MCT juga tidak berubah hitam akibat penambahan

panas. Sebaliknya, sebagian besar minyak nabati apabila dipanaskan pada suhu

tinggi akan berubah warna serta menjadi tebal dan kental, MCT juga masih

berwujud cairan jernih dan tidak mengental meskipun berada pada suhu 00C

(Alam Syah 2005).