Kejang Demam Farahiya Nabila 201420401011080

52
BAB 1 PENDAHULUAN Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu aksilar lebih dari 37,5⁰C, suhu rektal lebih dari 38⁰C) akibat suatu proses ekstrakranium, tanpa adanya infeksi pada sistem saraf pusat, gangguan elektrolit, atau metabolik lain. 1,17 Lebih dari 90% kasus kejang demam terjadi pada anak berusia di bawah 5 tahun. Terbanyak bangkitan kejang demam terjadi pada anak berusia antara usia 6 bulan sampai dengan 22 bulan, insiden bangkitan kejang demam tertinggi terjadi pada usia 18 bulan. 6 Kejang demam dikelompokkan menjadi dua, yaitu kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks. 3,17 Setelah kejang demam pertama, 33% anak akan mengalami satu kali rekurensi (kekambuhan), dan 9% anak mengalami rekurensi 3 kali atau lebih. 4 Dalam praktek sehari-hari orang tua sering cemas bila anaknya mengalami kejang demam, karena setiap kejang demam kemungkinan dapat menimbulkan epilepsi dan trauma pada otak. Hampir 62,2% 1

description

gfvjygj

Transcript of Kejang Demam Farahiya Nabila 201420401011080

BAB 1

PENDAHULUAN

Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu aksilar lebih dari 37,5C, suhu rektal lebih dari 38C) akibat suatu proses ekstrakranium, tanpa adanya infeksi pada sistem saraf pusat, gangguan elektrolit, atau metabolik lain.1,17 Lebih dari 90% kasus kejang demam terjadi pada anak berusia di bawah 5 tahun. Terbanyak bangkitan kejang demam terjadi pada anak berusia antara usia 6 bulan sampai dengan 22 bulan, insiden bangkitan kejang demam tertinggi terjadi pada usia 18 bulan.6 Kejang demam dikelompokkan menjadi dua, yaitu kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks.3,17 Setelah kejang demam pertama, 33% anak akan mengalami satu kali rekurensi (kekambuhan), dan 9% anak mengalami rekurensi 3 kali atau lebih.4 Dalam praktek sehari-hari orang tua sering cemas bila anaknya mengalami kejang demam, karena setiap kejang demam kemungkinan dapat menimbulkan epilepsi dan trauma pada otak. Hampir 62,2% kemungkinan kejang demam berulang pada 90 anak yang mengalami kejang demam sebelum usia 12 tahun dan 45% pada 100 anak yang mengalami kejang setelah usia 12 tahun. Kejang demam kompleks dan khususnya kejang demam fokal merupakan prediksi untuk terjadinya epilepsi. Sebagian besar peneliti melaporkan angka kejadian epilepsi kemudian hari sekitar 2 5 %.2 Prognosis kejang demam baik, namun bangkitan kejang demam masih membawa kekhawatiran yang sangat bagi orang tua.5BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Definisi

Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu aksilar lebih dari 37,5C, suhu rektal lebih dari 38C) akibat suatu proses ekstrakranium, tanpa adanya infeksi pada sistem saraf pusat, gangguan elektrolit, atau metabolik lain. Kejang demam terjadi pada 2-4% anak berumur 6 bulan 5 tahun. Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam. Kejang disertai demam pada bayi berumur kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam. Bila anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang didahului demam, pikirkan kemungkinan lain misalnya infeksi SSP, atau epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam. 1,172.2Etiologi

Penyebab kejang demam adalah demam yang terjadi secara mendadak. Demam dapat disebabkan infeksi bakteri, virus, maupun parasit, misalnya infeksi saluran napas atas. Tidak diketahui secara pasti mengapa demam dapat menyebabkan kejang pada satu anak dan tidak pada anak lainnya, namun diduga ada faktor genetik yang berperan. Setiap anak juga memiliki suhu ambang kejang yang berbeda, ada yang kejang pada suhu 38C, ada pula yang baru mengalami kejang pada suhu 40C.7

2.3Epidemiologi

Kejang demam terjadi pada 2-4% anak berumur 6 bulan 5 tahun.1 Anak laki-laki lebih sering dari pada perempuan dengan perbandingan 1,21,6:1. Lebih dari 90% kasus kejang demam terjadi pada anak berusia di bawah 5 tahun. Terbanyak bangkitan kejang demam terjadi pada anak berusia antara usia 6 bulan sampai dengan 22 bulan, insiden bangkitan kejang demam tertinggi terjadi pada usia 18 bulan.6 Hampir 62,2%, kemungkinan kejang demam berulang pada 90 anak yang mengalami kejang demam sebelum usia 12 tahun, dan 45% pada 100 anak yang mengalami kejang setelah usia 12 tahun. Kejang demam kompleks dan khususnya kejang demam fokal merupakan prediksi untuk terjadinya epilepsi. Sebagian besar peneliti melaporkan angka kejadian epilepsi kemudian hari sekitar 2 5 %.2 Di Amerika Serikat dan Eropa prevalensi kejang demam berkisar 2%-5%. Di Asia prevalensi kejang demam meningkat dua kali lipat bila dibandingkan di Eropa dan di Amerika. Di Jepang kejadian kejang demam berkisar 8,3% - 9,9%. Bahkan di Guam insiden kejang demam mencapai 14%.6Riwayat keluarga dengan kejang demam adalah salah satu faktor risiko yang dilaporkan untuk terjadi bangkitan kejang demam. Keluarga dengan riwayat pernah menderita kejang demam sebagai faktor risiko untuk terjadi kejang demam pertama adalah kedua orang tua ataupun saudara kandung (first degree relative). Belum dapat dipastikan cara pewarisan sifat genetik terkait dengan kejang demam, apakah autosomal resesif atau autosomal dominan. Penetrasi autosomal dominan diperkirakan sekitar 60%-80%. Bila kedua orangnya tidak mempunyai riwayat pernah menderita kejang demam, maka risiko terjadi kejang demam hanya 9%. Apabila salah satu orang tua penderita dengan riwayat pernah menderita kejang demam mempunyai risiko untuk terjadi bangkitan kejang demam 20%-22%. Apabila ke dua orang tua penderita tersebut mempunyai riwayat pernah menderita kejang demam maka risiko untuk terjadi bangkitan kejang demam meningkat menjadi 59%-64%. Kejang demam diwariskan lebih banyak oleh ibu dibandingkan ayah, 27% berbanding 7%.6,162.4PatofisiologiTujuan dari pengaturan suhu adalah mempertahankan suhu inti tubuh sebenarnya pada set level sekitar 36,5 37,5C. Berbeda dengan hipertermia pasif, set level meningkat ketika demam. Demam terutama terjadi pada infeksi sebagai reaksi fase akut dan terdapat hubungannya untuk mengatasi infeksi tersebut.9 Demam dapat disebabkan infeksi bakteri, virus, maupun parasit, misalnya infeksi saluran napas atas. Tidak diketahui secara pasti mengapa demam dapat menyebabkan kejang pada satu anak dan tidak pada anak lainnya, namun diduga ada faktor genetik yang berperan. Setiap anak juga memiliki suhu ambang kejang yang berbeda, ada yang kejang pada suhu 38C, ada pula yang baru mengalami kejang pada suhu 40C.7 Perubahan kenaikan temperatur tubuh berpengaruh terhadap nilai ambang

kejang dan eksitabilitas neural, karena kenaikan suhu tubuh berpengaruh pada kanal ion dan metabolisme seluler serta produksi ATP. Setiap kenaikan suhu tubuh satu derajat Celsius akan meningkatkan metabolisme karbohidrat 10%-15%, sehingga dengan adanya peningkatan suhu akan mengakibatkan peningkatan kebutuhan glukosa dan oksigen. Demam tinggi dapat mengakibatkan hipoksia jaringan termasuk jaringan otak.9

Pada keadaan metabolisme di siklus kreb normal, satu molekul glukosa akan menghasilkan 38 ATP. Sedangkan pada keadaan hipoksia jaringan metabolisme berjalan anaerob, satu molukul glukosa hanya akan menghasilkan 2 ATP. Pada keadaan hipoksia akan terjadi kekurangan energi dan mengganggu fungsi normal pompa Na+ serta reuptake asam glutamat oleh sel g1ia. Kedua hal tersebut mengakibatkan masuknya Na+ ke dalam sel meningkat dan timbunan asam glutamat ekstrasel. Timbunan asam glutamat ekstrasel akan mengakibatkan peningkatan permeabilitas membran sel terhadap ion Na+ sehingga semakin meningkatkan ion Na+ masuk ke dalam sel. Ion Na+ ke dalam sel dipermudah pada keadaan demam, sebab demam akan meningkatkan mobilitas dan benturan ion terhadap membran sel. Perubahan konsentrasi ion Na+ intrasel dan ekstrasel tersebut akan mengakibatkan perubahan potensial membran sel neuron sehingga membran sel dalam keadaan depolarisasi. Disamping itu demam dapat merusak neuron GABA-ergik sehingga fungsi inhibisi terganggu. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa demam tinggi dapat mempengaruhi perubahan konsentrasi ion natrium intraselular akibat Na+ influx sehingga menimbulkan keadaan depolarisasi, disamping itu demam tinggi dapat menurunkan kemampuan inhibisi akibat kerusakan neuron GABA-nergik. 10,13

Pada keadaan otak belum matang, reseptor untuk asam glutamat merupakan reseptor eksitator padat dan aktif, sebaliknya reseptor GABA sebagai inhibitor kurang aktif, sehingga pada otak yang belum matang eksitasi lebih dominan dibanding inhibisi.14 Corticotropin releasing hormon (CRH) yang merupakan salah satu eksitator neuropeptid, berpotensi sebagai prokonvulsan. Pada otak belum matang kadar CRH di hipokampus tinggi, sehingga berpotensi untuk terjadi bangkitan kejang apabila terpicu oleh demam.13 Mekanisme homeostasis pada otak belum matang masih lemah, akan berubah sejalan dengan perkembangan otak dan pertambahan umur, oleh karena pada otak belum matang neural Na+/K+ATP ase masih kurang. Pada otak yang belum matang regulasi ion Na+, K+, dan Ca++ belum sempurna, sehingga mengakibatkan gangguan repolarisasi pasca depolarisasi dan meningkatkan eksitabilitas neuron. Eksitator lebih dominan dibanding inhibitor, sehingga tidak ada keseimbangan antara eksitator dan inhibitor. Oleh karena itu, pada masa otak belum matang mempunyai eksitabilitas neural lebih tinggi dibandingkan otak yang sudah matang. Pada masa ini disebut sebagai developmental window sehingga rentan terhadap bangkitan kejang.6,13Riwayat keluarga dengan kejang demam adalah salah satu faktor risiko yang dilaporkan untuk terjadi bangkitan kejang demam. Keluarga dengan riwayat pernah menderita kejang demam sebagai faktor risiko untuk terjadi kejang demam pertama adalah kedua orang tua ataupun saudara kandung (first degree relative). Belum dapat dipastikan cara pewarisan sifat genetik terkait dengan kejang demam, apakah autosomal resesif atau autosomal dominan. Penetrasi autosomal dominan diperkirakan sekitar 60%-80%. Bila kedua orangnya tidak mempunyai riwayat pernah menderita kejang demam, maka risiko terjadi kejang demam hanya 9%. Apabila salah satu orang tua penderita dengan riwayat pernah menderita kejang demam mempunyai risiko untuk terjadi bangkitan kejang demam 20%-22%. Apabila ke dua orang tua penderita tersebut mempunyai riwayat pernah menderita kejang demam maka risiko untuk terjadi bangkitan kejang demam meningkat menjadi 59%-64%. Kejang demam diwariskan lebih banyak oleh ibu dibandingkan ayah, 27% berbanding 7%.6,16Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat 3 interaksi faktor sebagai penyebab kejang demam, yaitu: 1) imaturitas otak dan termoregulator, 2) demam, dimana kebutuhan oksigen dan metabolisme meningkat, 3) predisposisi genetik.172.5Klasifikasi dan Manifestasi KlinisKlasifikasi kejang demam ada dua yaitu: kejang demam sederhana (Simple febrile seizure) dan kejang demam kompleks (Complex febrile seizure). Kejang demam sederhana adalah kejang demam yang lama kejangnya yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit, dan tidak berulang pada satu episode demam. Kejang berbentuk umum, tonik, dan atau klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam. Kejang demam sederhana merupakan 80% di antara seluruh kejang demam.1,2Kejang demam kompleks adalah kejang demam yang lama, lebih dari 15 menit, dapat bersifat fokal, multipel, atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial, serta berulang, atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam. Kejang ini terjadi pada 16% kejang demam.2,6Umumnya kejang demam pada anak berlangsung pada permulaan demam akut, berupa serangan kejang umum atau tonik klonik, singkat dan tidak ada tanda-tanda neurologi post iktal. Bentuk kejang umum yang sering dijumpai adalah mata mendelik atau terkadang berkedip-kedip, kedua tangan dan kaki kaku, terkadang diikuti kelojotan, dan saat kejang anak tidak sadar tidak memberi respons apabila dipanggil atau diperintah. Setelah kejang anak sadar kembali.72.6Diagnosis

Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik diperlukan untuk menunjang diagnosis dalam kejang demam serta memilih pemeriksaan penunjang yang terarah dan tatalaksana berikutnya. Anamnesis dimulai dari menanyakan identitas pasien, riwayat perjalanan penyakit sampai terjadinya kejang (riwayat penyakit sekarang), riwayat penyakit sebelumnya, riwayat penyakit keluarga, ekonomi, psikososial, prenatal, dan perinatal.6,8 Kejang demam terjadi pada anak kurang dari 5 tahun, kejang disertai demam pada bayi berumur kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam, bangkitan kejang yang terjadi berlangsung akibat kenaikan suhu tubuh (suhu aksilar lebih dari 37,5C, suhu rektal lebih dari 38C) pada suatu proses ekstrakranium. Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam. 1 Selain itu pada anamnesis, frekuensi dan lamanya kejang sangat penting untuk diagnosis serta tata laksana kejang. Ditanyakan kapan kejang pertama kali terjadi, apakah kejang itu baru pertama kali atau sudah pernah sebelumnya, bila sudah pernah, berapa kali dan waktu anak berumur berapa. Sifat kejang juga perlu ditanyakan, apakah kejang bersifat tonik, klonik, umum, atau fokal. Ditanyakan pula lama serangan, interval antara dua serangan, kesadaran saat kejang dan pasca kejang. Gejala lain yang menyertai diteliti, termasuk demam, muntah, lumpuh, penurunan kesadaran, kemunduran kepandaian, penyebab demam di luar sistem saraf pusat (gejala infeksi saluran pernafasan akut, infeksi saluran kemih, otitis media akut, dan sebagainya).15Faktor-faktor lain yang berperan dalam risiko terjadinya kejang demam selain faktor demam dan usia, adalah riwayat tumbuh kembang, riwayat apakah pernah terjadi kejang demam dan epilepsi pada keluarga terdekat (first degree relative) yaitu kedua orang tua ataupun saudara kandung, riwayat prenatal (usia saat ibu hamil), serta riwayat perinatal (asfiksia, usia kehamilan, dan bayi berat lahir rendah).6Pemeriksaan fisik dimulai dari keadaan umum dan tingkat kesadaran apakah terdapat penurunan kesadaran. Kemudian dilanjutkan dengan tanda-tanda vital seperti suhu tubuh, tekanan darah (bila dapat dilakukan), jumlah nadi dan pernafasan dalam satu menit. Lihat pula apakah ada tanda-tanda rangsang meningeal, pemeriksaan nervus kranial, tanda peningkatan tekanan intra kranial (ubun-ubun besar menonjol, papil edema), tanda-tanda infeksi di luar sistem saraf pusat (ISPA, ISK, OMA, dan sebagainya), serta pemeriksaan neurologis.15Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai indikasi untuk mencari penyebab kejang demam. Pemeriksaan dapat meliputi pemeriksaan darah perifer lengkap, gula darah, elektrolit, urinalisis, dan biakan darah, urin, atau feses. Pemeriksaan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan meningitis. Pada bayi kecil seringkali sulit untuk menegakkan atau menyingkirkan diagnosis meningitis karena manifestasi klinisnya tidak jelas. Jika yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu dilakukan pungsi lumbal. Pemeriksaan electroenchepalography (EEG) tidak direkomendasikan, namun EEG masih dapat dilakukan pada kejang demam yang tidak khas. Misalnya kejang demam kompleks pada anak berusia lebih dari 6 tahun atau kejang demam fokal. Pencitraan (CT Scan atau MRI kepala) dilakukan hanya jika ada indikasi, misalnya kelainan neurologi fokal yang menetap (hemiparesis) atau kemungkinan adanya lesi struktural di otak (mikroensefali).172.7Diagnosis Banding2.7.1 MeningitisMeningitis merupakan peradangan dari meningen (selaput otak). Radang dapat disebabkan oleh infeksi oleh bakteri, virus, atau juga mikroorganisme lain. Peradangan ini dapat meluas melalui ruang sub arakhnoid, otak, medulla spinalis, dan ventrikel. Penyakit ini seringkali didahului infeksi pada saluran nafas atas atau saluran cerna seperti demam, batuk, diare, pilek, dan muntah.21 Gejala umum dari meningitis adalah sakit kepala yang hebat disertai demam, meningismus dengan atau tanpa penurunan kesadaran, iritabilitas, letargi, malaise, kejang, dan muntah merupakan hal yang sangat sugestif dari meningitis tetapi tidak ada satupun gejala yang khas. Banyak gejala meningitis yang berkaitan dengan usia, misalnya anak kurang dari 3 tahun jarang mengeluh sakit kepala. Pada bayi gejala hanya berupa demam, iritabel, letargi, malas minum, dan high pitched cry. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan ubun-ubun besar yang menonjol, kaku kuduk positif, atau tanda rangsang meningeal yang lain (Brudzinki dan Kernig), kejang, defisit neurologis yang lain. Tanda rangsang meningeal mungkin tidak ditemukan pada anak kurang dari satu tahun.202.7.2 Ensefalitis

Ensefalitis adalah peradangan atau infeksi pada jaringan otak setempat (lokal) atau seluruhnya (difus) yang dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme (virus, bakteri, jamur, dan protozoa). Namun penyebab tersering dan terpenting adalah virus. Ensefalitis berbeda dengan meningitis (radang selaput otak) dalam hal penyebab dan proses terjadinya penyakit. Namun, ensefalitis sering disertai oleh peradangan selaput otak sehingga disebut sebagai meningoensefalitis.20 Gejala ensefalitis akut bervariasi. Gejalanya mulai demam tinggi mendadak, sering ditemukan hiperpireksia, dapat terjadi penurunan kesadaran dengan cepat, kejang yang bersifat umum atau fokal, dapat berupa status konvulsivius, dapat ditemukan gejala peningkatan tekanan intrakranial (muntah proyektil, rewel, ubun ubun menonjol, menangis terus menerus dan lebih buruk jika digendong, dan sakit kepala hebat yang dapat dirasakan pada anak yang lebih besar), perubahan perilaku atau kepribadian, nyeri atau kaku leher, nyeri kepala, silau (fotofobia), penurunan kesadaran, dan kejang.222.8PenatalaksanaanAnak yang sedang mengalami kejang, prioritas utama adalah menjaga agar jalan nafas tetap terbuka. Pakaian dilonggarkan, posisi anak dimiringkan untuk mencegah aspirasi. Sebagian besar kasus kejang berhenti sendiri, tetapi dapat juga berlangsung terus atau berulang. Pengisapan lendir dan pemberian oksigen harus dilakukan teratur, kalau perlu dilakukan intubasi. Keadaan dan kebutuhan cairan, kalori dan elektrolit harus diperhatikan. Suhu tubuh dapat diturunkan dengan kompres air hangat (diseka) dan pemberian antipiretik.2Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu pasien datang kejang sudah berhenti. Indikasi rawat inap apabila ada salah satu kriteria sebagai berikut: 1) saat kejang demam terjadi pada usia dibawah 6 bulan, 2) terjadi hiperpireksia, 3) merupakan kejang demam yang pertama kali, 4) merupakan kejang demam kompleks, dam 5) terdapat kelainan neurologis.17 Saat ini lebih diutamakan pengobatan profilaksis intermitten pada saat demam berupa:1. Pemberian antipiretik

Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi risiko terjadinya kejang demam (level I, rekomendasi D), namun para ahli di Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan (level III, rekomendasi B). Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10-15 mg/kg/kali diberikan 4 kali sehari dan tidak lebih dari 5 kali, atau Ibuprofen dengan dosis 5-10 mg/kgbb/kali, 3-4 kali sehari. Meskipun jarang, asam asetilsalisilat dapat menyebabkan sindrom Reye terutama pada anak kurang dari 18 bulan, sehingga penggunaan asam asetilsalisilat tidak dianjurkan (level III, rekomendasi E).12. Antikonvulsan

Pemakaian diazepam oral dosis 0,3 mg/kgbb setiap 8 jam pada saat demam menurunkan risiko berulangnya kejang pada 30%-60% kasus, begitu pula dengan diazepam rektal dosis 0,5 mg/kgbb setiap 8 jam pada suhu tubuh > 38C (level I, rekomendasi A). Dosis tersebut cukup tinggi dan memiliki efek samping dapat menyebabkan ataksia, iritabel dan sedasi yang cukup berat pada 25-39% kasus.1 Saat ini diazepam merupakan obat pilihan utama untuk kejang demam fase akut, karena diazepam mempunyai masa kerja yang singkat. Diazepam dapat diberikan secara intravena atau rektal, jika diberikan intramuskular absorbsinya lambat.2

Bila diazepam tidak tersedia, dapat diberikan luminal suntikan intramuskular dengan dosis awal 30 mg untuk neonatus, 50 mg untuk usia 1 bulan 1 tahun, dan 75 mg untuk usia lebih dari 1 tahun. Midazolam intranasal (0,2 mg/kg BB) telah diteliti aman dan efektif untuk mengantisipasi kejang demam akut pada anak. Kecepatan absorbsi midazolam ke aliran darah vena dan efeknya pada sistem syaraf pusat cukup baik. Namun efek terapinya masih kurang bila dibandingkan dengan diazepam intravena.183. Pemberian obat jangka panjang atau rumatanIndikasi pemberian obat rumatan hanya diberikan bila kejang demam menunjukkan ciri sebagai berikut (salah satu): 1 Kejang lama > 15 menit

Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang, misalnya hemiparesis, paresis Todd, cerebral palsy, retardasi mental, hidrosefalus.

Kejang fokalPengobatan rumatan atau jangka panjang dipertimbangkan bila:

Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam.

Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan.

Kejang demam > 4 kali per tahun

Penjelasan:

Sebagian besar peneliti setuju bahwa kejang demam > 15 menit merupakan indikasi pengobatan rumatan.

Kelainan neurologis tidak nyata misalnya keterlambatan perkembangan ringan bukan merupakan indikasi pengobatan rumatan.

Kejang fokal atau fokal menjadi umum menunjukkan bahwa anak mempunyai fokus organik.

Jenis antikonvulsan untuk pengobatan rumatan:17Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam menurunkan risiko berulangnya kejang (level I). Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya dan penggunaan obat dapat menyebabkan efek samping, maka pengobatan rumatan hanya diberikan terhadap kasus selektif dan dalam jangka pendek (rekomendasi D). Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan belajar pada 40-50% kasus. Obat pilihan saat ini adalah asam valproat. Pada sebagian kecil kasus, terutama yang berumur kurang dari 2 tahun asam valproat dapat menyebabkan gangguan fungsi hati. Dosis asam valproat 15-40 mg/kg/hari dalam 2-3 dosis, dan fenobarbital 3-4 mg/kg per hari dalam 1-2 dosis. Pengobatan diberikan selama 1 tahun bebas kejang, kemudian dihentikan secara bertahap selama 1-2 bulan.Apabila datang dalam keadaan kejang obat yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara intravena. Dosis diazepam intravena adalah 0,3-0,5 mg/kgbb perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 20 mg. Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atau di rumah adalah diazepam rektal (level II-2, level II-3, rekomendasi B). Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 10 kg. Atau diazepam rektal dengan dosis 5 mg untuk anak dibawah usia 3 tahun atau dosis 7,5 mg untuk anak di atas usia 3 tahun.1Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah sakit. Di rumah sakit dapat diberikan diazepam intravena dengan dosis 0,3-0,5 mg/kg. Bila kejang tetap belum berhenti diberikan fenitoin secara intravena dengan dosis awal 10-20 mg/kg/kali dengan kecepatan 1 mg/kg/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Bila kejang berhenti dosis selanjutnya adalah 4-8 mg/kg/hari, dimulai 12 jam setelah dosis awal. Bila dengan fenitoin kejang belum berhenti maka pasien harus dirawat di ruang rawat intensif. Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari jenis kejang demam apakah kejang demam sederhana atau kompleks dan faktor risikonya.1 2.9Pencegahan Disarankan edukasi kepada orang tua, jika anak menderita demam jangan sampai menjadi demam tinggi yang dapat memicu bangkitan kejang demam, dan dapat mengurangi kecemasan orang tua. Hal ini untuk menurunkan morbiditas, juga untuk menghindarkan adanya dampak buruk bangkitan kejang demam pada anak.6 Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua. Pada saat kejang sebagian besar orang tua beranggapan bahwa anaknya akan meninggal. Kecemasan ini harus dikurangi dengan cara yang diantaranya menyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik, memberitahukan cara penanganan kejang, memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali, pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tetapi harus diingat adanya efek samping. Beberapa hal yang harus dikerjakan bila kembali kejang: 1,61. Tetap tenang dan tidak panik

2. Kendorkan pakaian yang ketat terutama disekitar leher

3. Bila tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan kepala miring. Bersihkan muntahan atau lendir di mulut atau hidung. Walaupun kemungkinan lidah tergigit, jangan memasukkan sesuatu kedalam mulut.

4. Ukur suhu, observasi dan catat lama dan bentuk kejang.

5. Tetap bersama anak selama kejang

6. Berikan diazepam rektal. Dan jangan diberikan bila kejang telah berhenti.

7. Bawa kedokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau lebih.2.10Prognosis dan KomplikasiPrognosis kejang demam umumnya baik, namun demam tinggi yang dapat memicu bangkitan kejang demam masih dapat menimbulkan morbiditas dan dampak buruk pada anak.6 Berbagai morbiditas dan dampaknya adalah.11) Kemungkinan berulangnya kejang demam. Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor risiko berulangnya kejang demam adalah riwayat kejang demam dalam keluarga, usia kurang dari 12 bulan, temperatur yang rendah saat kejang, dan cepatnya kejang setelah demam. Bila seluruh faktor tersebut ada, kemungkinan berulangnya kejang demam adalah 80%, sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan berulangnya kejang demam hanya 10%-15%. Kemungkinan berulangnya kejang demam paling besar adalah pada tahun pertama.2) Faktor risiko terjadinya epilepsi. Faktor risiko lain adalah terjadinya epilepsi di kemudian hari. Faktor risiko menjadi epilepsi adalah: kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang demam pertama, kejang demam kompleks, dan riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung. Masing-masing faktor risiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi sampai 4%-6%, kombinasi dari faktor risiko tersebut meningkatkan kemungkinan epilepsi menjadi 10%-49% (Level II-2). Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat dicegah dengan pemberian obat rumat pada kejang demam.

3) Kemungkinan mengalami kecacatan atau kelainan neurologis. Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan. Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya normal. Penelitian lain secara retrospektif melaporkan kelainan neurologis pada sebagian kecil kasus, dan kelainan ini biasanya terjadi pada kasus dengan kejang lama atau kejang berulang baik umum atau fokal.BAB 3

LAPORAN KASUS

3.1Identitas Pasien

Nama

: An. Shalom Miracle Wicaksono PalinggiJenis Kelamin

: Perempuan

Umur

: 11 bulan, 9 hariTempat, Tgl. Lahir: Kediri, 5 Maret 2014

Anak ke

: 2Alamat

: Jalan Trunojoyo IV/12 RT/RW 007/002

Pakelan Kota KediriAgama

: KristenTgl. MRS

: 14 Februari 2015Tgl. KRS

: 19 Februari 2015

Nama Ayah

: Tn. Gatut WicaksonoNama Ibu

: Ny. Hermin Patandean Palinggi

Pekerjaan Ayah: Wirasawasta

Pekerjaan Ibu

: Ibu Rumah Tangga

3.2Anamnesis

3.2.1Keluhan Utama

Kejang demam.3.2.2Riwayat Penyakit Sekarang

Kejang (+) saat demam, 2 kali. Satu kali di rumah, durasi kurang dari 1 menit, satu kali di puskesmas Balowerti, durasi kurang dari 5 menit, jarak interval antar kejang 30 menit-1 jam, setelah kejang anak sadar, saat kejang tangan anak kaku, dan mata melotot ke atas, panas (+) mendadak, sejak Jumat sore, batuk (+), dahak (-), pilek (+) sejak beberapa hari yang lalu. Riwayat pemberian obat (+), paracetamol, panas sempat turun kemudian menetap. Sesak nafas (-), mual muntah (-), BAB BAK baik, makan minum menurun, keluhan lain (-).3.2.3Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat kejang demam sebelumnya (-).3.2.4Riwayat Penyakit Keluarga

Dari pihak ayah saat kecil ada riwayat pernah kejang demam.Riwayat batuk pilek di keluarga atau sosial (-).

3.2.5Riwayat PersalinanAnak ke 2, lahir secara normal pervaginam, di RS Aura Syifa, cukup bulan, berat badan lahir 3100 gr, perempuan.3.2.8Riwayat ImunisasiBCG

+

DPT I/II/III

+/+/+

Polio I/II/III

+/+/+

Campak

+

Hepatitis I/II/III+/+/+

3.2.9Riwayat Tumbuh Kembang

Z score :

BB/U: 8,6 kg / 11 bulan 9 hari= -1 SD s/d +1 SD= Gizi baikMotorik Kasar: Dapat berdiri dengan berpegangan.

Motorik Halus: Dapat meraih, menggapai mainan, dan memegang mainan.Verbal

: Dapat menoleh ke suara, memanggil mama papa.Sosial

: Dapat bertepuk tangan, bermain dengan orang lain.3.2.7Riwayat Pemberian Nutrisi

Saat ini susu formula dan makanan lunak padat.

3.3Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum di IGD jam 17.00

Keadaan umum: Sakit sedang

Kesadaran

: Composmentis

Vital Sign

Nadi: 120 x/menit

Suhu: 38,8 C

RR: 46 x/menit

Keadaan Umum di Ruangan Anggrek jam 18.00

Keadaan umum: Sakit ringanKesadaran

: ComposmentisVital Sign

Nadi: 120 x/menit

Suhu: 37,8 C

RR: 30 x/menit

BB: 8,6 kg

Cranium/ Colli Anemis (-), icterus (-), cyanosis (-), dyspneu (-) Telinga: Sekret (-), edem (-), hiperemis (-) Hidung: Sekret (+), cair (+), bening. Mulut: Sianosis (-), stomatitis (-), mukosa bibir kering (-), pucat (-) Tenggorokan: Tonsil T1/T1 hiperemis (-), faring hiperemis (-) Leher: Pembesaran KGB (-), nyeri tekan (-), kaku kuduk (-)Thorax Inspeksi : bentuk normal, gerak simetris, retraksi dinding dada (-), perubahan warna (-) Palpasi : fremitus sama kuat

Perkusi : sonor

Auskultasi : rhonkhlen +/+ ; wheezing -/- Jantung Inspeksi : iktus cordis (-)

Palpasi : iktus cordis teraba pada sela ICS V midclavikula line sinistra Perkusi : redup, batas jantung kiri terdapat pada ICS V midclavicula line sinistra, batas jantung kanan terdapat pada ICS IV parasternal, batas jantung atas terdapat pada ICS III parasternal line sinistra Auskultasi : S1-S2 tunggal, murmur (-), gallop (-)

Abdomen Inspeksi : tampak datar, distended (-), perubahan warna (-) Palpasi : hepar tidak teraba, lien tidak teraba, massa intra abdominal (-), nyeri tekan abdomen (-) Perkusi : timpani, meteorismus (+)

Auskultasi : bising usus (+) normal

Ekstremitas : turgor normal, CRT < 2 detik, akral hangat, perubahan warna (-)3.4Laboratorium

a. Darah Lengkap Tanggal periksa: 15 Februari 2015

Parameter

Nilai Nilai Rujukan

WBC 10,45 x 10/ ul 4,8 - 10,0

RBC 4,24 x 106 /ul 3,80 - 6,00

HB 10,7 gr/dl 11,0 - 16,5

HCT 31,3 % 37 - 52

MCV73,8 fl81,0 - 99,0

MCH25,2 pg27,0 31,0

MCHC34,2 g/dl33,0 37,0

PLT (Platelet) 176 10 / ul 150 - 450

NEUT#3,51 10 / ul1,5 - 7

NEUT%33,6 %40 - 74

LYMPH#5,56 10 / ul1 3,7

LYMPH%53,2 %19 - 48

MONO#1,37 10 / ul0,16 - 1

MONO%13,1 %3-9

EO#0,00 10 / ul0,08

EO%0,0 %0 - 7

BASO#0,010 - 0,2

BASO%0,10 - 1

Tanggal periksa: 16 Februari 2015

Parameter

Nilai Nilai Rujukan

WBC 9,46 x 10/ ul 4,8 - 10,0

RBC 4,07 x 106 /ul 3,80 - 6,00

HB 10,2 gr/dl 11,0 - 16,5

HCT 30,9 % 37 - 52

MCV75,9 fl81,0 - 99,0

MCH25,1 pg27,0 31,0

MCHC33,0 g/dl33,0 37,0

PLT (Platelet) 225 10 / ul 150 - 450

NEUT#2,52 10 / ul1,5 - 7

NEUT%26,7 %40 - 74

LYMPH#6,08 10 / ul1 3,7

LYMPH%64,3 %19 - 48

MONO#0,75 10 / ul0,16 - 1

MONO%7,9 %3-9

EO#0,05 10 / ul0,08

EO%0,5 %0 - 7

BASO#0,060 - 0,2

BASO%0,60 - 1

3.5Problem List

1. Kejang2. Febris3. Batuk4. Pilek3.6Initial Diagnosis

Kejang demam kompleks + infeksi saluran nafas akut3.7Differential Diagnosis

Kejang demam kompleks + bronchopneumonia Kejang demam kompleks + bronkhitis Meningitis Ensefalitis3.8Planning

3.8.1Diagnosis

Darah lengkap Foto thorax AP lateral

Kultur bakteri3.8.2Terapi

Rehidrasi maintenance infus D5 + NS 860 cc / 24 jam, 12 tpm Makro Paracetamol syr 125 mg/5ml 3 x cth prn diaz 5 mg rect/ 8 jam saat panas Ambroxol syr 3 x cth Amoxicillin 250 mg IV/ 12 jam

3.8.3Monitoring

Monitoring keluhan pasien (kejang, febris, batuk, pilek)

Vital Sign (N, RR, suhu, BB)

3.8.4Edukasi

Menjelaskan penyakit yang diderita pasien

Menjelaskan pemeriksaan yang akan dilakukan

Menjelaskan penatalaksaan yang akan dilakukan, cara penggunaan obat, tujuan dan manfaat, serta efek samping obat

Menjelaskan prognosis serta komplikasi penyakit

3.9Follow Up

15/2/1508.0016/2/1508.0017/2/1508.0018/2/1508.0019/2/15

08.00

Subyektif:

Kejang(-)(-)(-)(-)(-)

PanasMasihMasih, kemarin sore masih panasMasih, kemarin malam panasMasih, kemarin siang panas,Sejak kemarin sudah tidak panas lagi

Batuk+++++++++++++++

Dahak -+++++++

PilekMasih, banyakMasih, sedikitMasih, sedikitberkurangberkurang

Mual muntah(-)(-)(-)(-)(-)

Makan/minumMasih menurunMasih menurunMau, sedikitMau, sedikitNafsu makan baik, banyak

BAB/BAKBaikBaik BaikBaik Baik

Keluhan Lain(-)(-)(-)(-)(-)

Obyektif:

Keadaan umumSakit ringan Sakit ringanSakit ringan BaikBaik

Kesadarancomposmentiscomposmentiscomposmentiscomposmentiscomposmentis

Suhu (C)3636,937,237,337,3

Nadi (x/menit)100120100110110

RR (x/menit)2628282827

K/L

Anemis(-)(-)(-)(-)(-)

Cyanosis(-)(-)(-)(-)(-)

Icterus(-)(-)(-)(-)(-)

Dyspneu(-)(-)(-)(-)(-)

Pembesaran KGB(-)(-)(-)(-)(-)

HidungSekret (+) cair, bening

banyakSekret (+) cair, bening, sedikitSekret (+) cair, bening, sedikitSekret (-) Sekret (-)

FaringHiperemis (-)Hiperemis (-)Hiperemis (-)Hiperemis (-)Hiperemis (-)

Thorax

Bentuk dadaNormalNormalNormalNormalNormal

Gerak dadaSimetrisSimetrisSimetrisSimetrisSimetris

Retraksi(-)(-)(-)(-)(-)

Sonor(+)(+)(+)(+)(+)

Wheezing(-)(-)(-)(-)(-)

Ronkhlen+/++/++/++/++/+

CorNormal, S1 dan S2 tunggalNormal, S1 dan S2 tunggalNormal, S1 dan S2 tunggalNormal, S1 dan S2 tunggalNormal, S1 dan S2 tunggal

Abdomen

BentukSupel, flatSupel, flatSupel, flatSupel, flatSupel, flat

Perubahan warna(-)(-)(-)(-)(-)

Nyeri tekan (-)(-)(-)(-)(-)

Meteorismus(-)(-)(-)(-)(-)

Timpani(+)(+)(+)(+)(+)

Hepar lienTidak terabaTidak terabaTidak terabaTidak terabaTidak teraba

Bising usus(+) normal(+) normal(+) normal(+) normal(+) normal

Ekstremitas

TurgorNormalNormalNormalNormalNormal

CRT< 2 detik< 2 detik< 2 detik< 2 detik< 2 detik

AkralHangatHangatHangatHangatHangat

Perubahan abnormal lain(-)(-)(-)(-)(-)

Terapi-Infus N4 12 tpm makro

- Paracetamol syr 125 mg/5ml 3 x cth prn- Diazepam 5 mg rect/8 jam saat panas

- Ambroxol syr 3 x cth-Amoxicillin 250 mg IV/ 12 jam-Infus N4 12 tpm makro

- Paracetamol syr 125 mg/5ml 3 x cth prn- Diazepam 5 mg rect/8 jam saat panas

- Ambroxol syr 3 x cth-Amoxicillin 250 mg IV/ 12 jam-Infus N4 12 tpm makro

- Paracetamol syr 125 mg/5ml 3 x cth prn- Diazepam 5 mg rect/8 jam saat panas

- Ambroxol syr 3 x cth-Amoxicillin 250 mg IV/ 12 jam-Infus N4 12 tpm makro

- Paracetamol syr 125 mg/5ml 3 x cth prn- Diazepam 5 mg rect/8 jam saat panas

- Ambroxol syr 3 x cth-Amoxicillin 250 mg IV/ 12 jam-Infus N4 12 tpm makro

- Paracetamol syr 125 mg/5ml 3 x cth prn- Diazepam 5 mg rect/8 jam saat panas

- Ambroxol syr 3 x cth-Amoxicillin 250 mg IV/ 12 jam

BAB 4PEMBAHASAN KASUSPada hari Sabtu 14 Februari 2015 pukul 17.00 seorang anak perempuan bernama Shalom Miracle Wicaksono Palinggi, berusia 11 bulan 9 hari datang dengan keluarganya ke IGD RSUD Gambiran Kediri. Menurut data anamnesis (aloanamnesis) yang telah dilakukan, didapatkan keluhan utama kejang saat demam berjumlah 2 kali. Satu kali di rumah, dengan durasi kurang dari 1 menit, dan satu kali di puskesmas Balowerti dengan durasi kurang dari 5 menit, jarak interval antar kejang 30 menit-1 jam, saat kejang tangan anak kaku, mata melotot ke atas, panas (+) dan setelah kejang anak sadar. Sejak beberapa hari yang lalu ibu mengeluhkan anak batuk, tidak berdahak, pilek, dan saat Jumat sore anak panas mendadak. Ibu sudah meminumkan obat paracetamol ke anak, panas sempat menurun kemudian menetap dan semakin panas. Nafsu makan anak menurun, frekuensi, jumlah, serta konsistensi buang air besar/ buang air kecil anak baik, dan tidak ada keluhan lain. Anak tidak pernah kejang demam sebelumnya. Pada pemeriksaan fisik keadaan umum anak sakit sedang, composmentis dengan GCS 4-5-6 dan tidak didapatkannya kelainan pada neurologis. Suhu tubuh anak 39,8 C, nadi 120 kali/menit, respiratory rate 46 kali/menit. Pada pemeriksaan head to toe ditemukan terdapat sekret, cair, bening pada hidung, kaku kuduk leher negatif, ronkhlen +/+ di thoraks, dan akral hangat.

Hal ini sesuai dengan kriteria diagnosis kejang demam yang merupakan bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu aksilar lebih dari 37,5C, suhu rektal lebih dari 38C) akibat suatu proses ekstrakranium yang dapat disebabkan infeksi bakteri misalnya infeksi saluran pernapasan atas. 1,17 Kejang demam yang terjadi masuk dalam klasifikasi kejang demam kompleks. Kejang ini dapat bersifat fokal, multipel, atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial, serta berulang, serta lebih dari 1 kali dalam 24 jam.2,6

Umumnya kejang demam pada anak berlangsung pada permulaan demam akut, berupa serangan kejang umum atau tonik klonik, singkat dan tidak ada tanda-tanda kelainan neurologi post iktal, saat kejang anak tidak sadar atau tidak memberi respons apabila dipanggil atau diperintah, namun setelah kejang anak sadar kembali.7 Dalam riwayat penyakit keluarga maupun sosial dari pihak ayah saat kecil terdapat riwayat pernah kejang demam. Hal ini senada dengan salah satu faktor risiko bangkitan kejang demam pada anak, yaitu adanya riwayat kejang demam pada keluarga (first degree relative). Penetrasi autosomal dominan yang diperkirakan dapat mrnurunkan bangkitan kejang demam pada anak sekitar 60%-80%. Apabila salah satu orang tua penderita dengan riwayat pernah menderita kejang demam, anak mempunyai risiko untuk terjadi bangkitan kejang demam sebesar 20%-22%.6,16

Hasil pemeriksaan darah lengkap didapatkan adanya sedikit peningkatan jumlah leukosit (leukositosis) yang dimungkinkan terjadinya inflamasi pada pasien ini. Jumlah leukosit yang mengalami peningkatan ialah limfosit dan monosit. Pada kasus ini, pasien tidak mengalami komplikasi yang bisa membahayakan pasien. Hal ini karena pasien cepat mendapatkan pertolongan sehingga komplikasi-komplikasi yang berbahaya seperti yang disebut pada tinjauan pustaka di atas tidak terjadi. Prognosis pasien pada kasus ini cukup membaik, hal ini berdasarkan pada perkembangan yang ditampakkan oleh pasien dari hari ke hari berupa berkurangnya keluhan-keluhan berupa kejang, panas, batuk, dan pilek.Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa diagnosis sementara pada kasus ini adalah kejang demam kompleks disertai infeksi saluran pernafasan atas. Diagnosis tersebut didasarkan pada Pedoman Pelayanan Medis (2009) tentang kejang Demam dan Konsensus Penatalaksanaan Kejang Demam (2006) Ikatan Dokter Anak Indonesia yang menyebutkan tentang gejala klinis kejang demam kompleks : bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu aksilar lebih dari 37,5C, suhu rektal lebih dari 38C ) akibat suatu proses ekstrakranium kejang demam terjadi pada anak berusia di bawah 5 tahun dapat bersifat fokal, multipel, atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial, serta berulang

lebih dari 1 kali dalam 24 jam tidak ada riwayat kejang tanpa demam atau kejang dengan demam sebelumnya

Pada kasus ini pasien sangat perlu untuk dirawat di rumah sakit (MRS) hal ini sesuai dengan salah satu indikasi dimana anak yang mengalami kejang demam kompleks dan kejang demam pertama kali merupakan indikasi untuk rawat inap.17 Penanganan awal yang dilakukan adalah dengan memasang infus untuk rehidrasi maintenance, pemberian asupan cairan serta mempermudah dalam memberikan pengobatan secara injeksi. Infus yang diberikan adalah N4 (D5 + NS) yang bertujuan selain memenuhi kebutuhan cairan juga memnuhi kebutuhan energi. Kemudian diberikan anti panas yaitu paracetamol syr 125 mg/5ml 3 x cth bila panas. Untuk mengatasi batuk pilek (infeksi saluran pernafasan akut) diberikan ambroxol sirup sebanyak sendok teh dan amoksisislin 250 mg IV/ 12 jam.

Keesokan harinya dilakukan pemeriksaan darah lengkap untuk mengetahui perkembangan selanjutnya. Pada follow up hari terakhir pasien di rumah sakit, didapatkan sudah stabil panasnya selama dua hari ini, nafsu makan telah membaik, batuk pilek lebih berkurang, dan tidak pernah ada kejang demam kembali. Dari temuan ini dapat disimpulkan bahwa kondisi pasien semakin membaik dan dapat dilanjutkan dengan rawat jalan di rumah.

DAFTAR PUSTAKA

1. Unit Kerja Koordinasi Neurologi. 2006. Konsensus Penatalaksanaan Kejang Demam. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Cetakan ke Dua. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.

2. Melda Deliana. 2002. Tata Laksana Kejang Demam pada Anak. Sari Pediatri, vol. 4, no. 2, hal: 59-62.3. Lewis DW. 2011. Neurologi: Kejang (Serangan Paroksisimal). Dalam Ilmu Kesehatan Anak Essensial Nelson. Edisi Keenam. Oleh Marcdante KJ, Kliegman RM, Jenson HB, Behrman RE. Singapore: Elsivier. hal. 736-743

4. Reza M, Eftekhaari TE, Farah M. 2008. Febrile Seizures: Faktors Affecting Risk of Recurrence. J Pediatr Neurol, vol. 6, page: 341-344.

5. Knudsen FU. 2000. Febrile Seizures: Treatment and Prognosis. Epilepsia, vol. 41, page: 2-9.

6. Fuadi, Bahtera T, Wijayahadi N. 2010. Faktor Risiko Bangkitan Kejang Demam pada Anak. Sari Pediatri, vol. 12, no. 3, hal: 142-149.7. Soebandi, A. 2014. Kejang Demam Tidak Seseram yang Dibayangkan. Diunduh tanggal 10 Maret 2015. http://idai.or.id/public-articles/klinik/keluhan-anak/kejang-demam-tidak-seseram-yang-dibayangkan.html8. Kania, N. 2007. Kejang pada Anak. Disampaikan pada acara Penanganan Kejang pada Anak di AMC Hospital, Bandung, 12 Februari 2007.

9. Sibernagl, S. 2007. Suhu, Energi: Demam. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal 20-22.10. Murray, R.K., Granner D.K 2003. Membran: Struktur, Susunan, Dan Fungsinya, Dalam Murray R.K., Dkk. Biokimia Harper. 25th. Ed Terjemahan oleh: Hartono, Andry. Jakarta Indonesia: EGC. Hal: 501-504.11. Sadler, T.W. 2010. Langmans Medical Embryology: Central Nerveous System. 11st Ed. Lippincott Williams And Wilkins, Philadelphia, United States Of America, page. 293-325.12. Johnston, M.V. 2007. Seizures In Chilhood. In Kliegman, R.M Dkk (Editor). Nelson Textbook Of Pediatrics 18th Ed. Elsivier Inc. Philadelphia, United States Of America, page. 2457-2471.13. Chen Y, Beder RA, Baram TZ. 2001. Novel And Transient Populations Of Corticotrophin Releasing Hormone Expressing Neurons In Developing Hippocampus Suggest Unique Functional Roles: A Quantitative Spatiotemporal Analysis. J Neurosc In Press.14. Berg AT. Recurrent Febril Seizures in Baram FZ, Sinnar S. 2002. Febril Seizures. San Diego: Academic Pres. page.37-49.

15. Matondang CS, Wahidiyat I, Sastroasmoro S. 2013. Diagnosis Fisik pada anak. Jakarta: Penerbit Sagung Seto. Hal: 1-17.16. Menkes JH, Sankar R. 2000. Paroxysmal Disorders in Child Neurology. 6th Ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins JR. page. 987-91.

17. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2009. Kejang Demam. Pedoman Pelayanan Medis. hal: 150-153.18. Berkovitch M. 2000. Comparison Of Intranasal Midazolam With Intravenous Diazepam For Treating Febrile Seizures In Children: Prospective Randomized Study. Br Med J. No. 321, page: 83-86.19. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2009. Ensefalitis. Pedoman Pelayanan Medis. hal: 67-69.20. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2009. Meningitis Bakterial. Pedoman Pelayanan Medis. hal: 189-192.21. Lewis DW. 2011. Neurologi: Meningitis. Dalam Ilmu Kesehatan Anak Essensial Nelson. Edisi Keenam. Oleh Marcdante KJ, Kliegman RM, Jenson HB, Behrman RE. Singapore: Elsivier. hal. 736-743.

22. Lewis DW. 2011. Neurologi: Ensefalitis. Dalam Ilmu Kesehatan Anak Essensial Nelson. Edisi Keenam. Oleh Marcdante KJ, Kliegman RM, Jenson HB, Behrman RE. Singapore: Elsivier. hal. 743-746.

LAMPIRANTingkat evidensI. Evidens yang didapat dari minimal satu randomized controlled trials.

II-1. Evidens yang didapat dari non-randomized controlled trials.

II-2. Evidens yang didapat dari penelitian cohort atau case control, terutama yang diperoleh lebih dari satu pusat atau kelompok penelitian.

II-3. Evidens yang diperoleh dari perbandingan tempat atau waktu dengan atau tanpa intervensi. Contoh: uji yang tidak terkontrol yang menghasilkan hasil yang cukup mengejutkan seperti hasil pengobatan dengan penicillin pada tahun 1940 dapat dimasukkan dalam kategori ini.

III. Konsensus, penelitian deskriptif, pengamalan klinis.

Kualitas rekomendasiA. Terdapat fakta yang bagus kualitasnya (good) untuk mendukung rekomendasi bahwa intervensi tersebut dapat diterapkan.

B. Terdapat fakta yang cukup berkualitas (fair) untuk mendukung rekomendasi bahwa intervensi tersebut dapat diterapkan.

C. Terdapat fakta yang tidak berkualitas (poor) dalam hal nilai atau harm dari intervensi, rekomendasi dapat dilakukan pada bidang lain.

D. Terdapat fakta cukup berkualitas (fair) untuk mendukung rekomendasi bahwa intervensi tersebut tidak dapat diterapkan.

E. Terdapat fakta yang bagus kualitasnya (good) untuk mendukung rekomendasi bahwa intervensi tersebut tidak dapat diterapkan.34