Kejang demam
-
Upload
putri-harmen -
Category
Documents
-
view
144 -
download
0
description
Transcript of Kejang demam
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kejang bukan suatu penyakit, tetapi gejala dari suatu atau beberapa
penyakit, yang merupakan manifestasi dari lepasnya muatan listrik yang
berlebihan di sel-sel neuron otak oleh karena terganggu fungsinya.
Kejang merupakan salah satu darurat medik yang harus segera diatasi.
Kejang didefinisikan sebagai gangguan fungsi otak paroksismal yang dapat dilihat
sebagai kehilangan kesadaran, aktivitas motorik abnormal, kelainan perilaku,
gangguan sensoris, atau disfungsi autonom. 1,2 Kejang demam adalah kejang yang
terjadi pada suhu badan yang tinggi, disebabkan oleh kelainan ekstrakranial.
Serangan kejang demam pada anak yang satu dengan yang lain tidak sama,
tergantung dari nilai ambang kejang masing-masing. Setiap serangan kejang pada
anak harus mendapat penanganan yang cepat dan tepat apalagi pada kasus kejang
yang berlangsung lama dan berulang. Karena keterlambatan dan kesalahan
prosedur akan mengakibatkan gejala sisa pada anak atau bahkan menyebabkan
kematian.
Jumlah penderita kejang demam diperkirakan mencapai 2-4% dari jumlah
penduduk di AS, Amerika Selatan, dan Eropa Barat. Namun di Asia dilaporkan
penderitanya lebih tinggi. Sekitar 20% diantara jumlah penderita mengalami
kejang demam kompleks yang harus ditangani secara lebih teliti. Bila dilihat jenis
kelamin penderita, kejang demam sedikit lebih banyak menyerang anak laki-laki.
Penderita pada umumnya mempunyai riwayat keluarga (orang tua atau saudara
kandung) penderita kejang demam.2
1.2. Tujuan
Mahasiswa kepaniteraan klinik senior dapat mampu
mengetahui,memahami, dan menjelaskan tentang :
1. Definisi Kejang demam
2. Epidemiologi Kejang demam
1
3. Etiologi Kejang demam
4. Mekanisme Kejang demam
5. Patofisologi Kejang demam
6. Gejala Klinis Kejang demam
7. Diagnosa Kejang demam
8. Penatalaksanaan Kejang demam
9. Prognosis Kejang demam
1.3. Manfaat
Meningkatkan pengetahuan dan kemampuan dalam mempelajari,
mengidentifikasi, dan mengembangkan teori yang telah disampaikan mengenai
Kejang demam.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (suhu rektal di atas 38˚C) yang disebabkan oleh suatu proses
ekstrakranium.1
Kejang demam berdasarkan definisi dari The International League Againts
Epilepsy (Commision on Epidemiology and Prognosis) adalah kejang yang
disebabkan kenaikan suhu tubuh lebih dari 38,4oC tanpa adanya infeksi susunan
saraf pusat atau gangguan elektrolit akut pada anak berusia di atas 1 bulan tanpa
riwayat kejang sebelumnya.1,2
2.2. Epidemiologi
Kejang demam terjadi pada 2-4% anak berumur 6 bulan – 5 tahun.2 Anak
yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang demam kembali
tidak termasuk dalam kejang demam.3 Kejang disertai demam pada bayi berumur
kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam.3 Bila anak berumur
kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang didahului demam,
pikirkan kemungkinan lain misalnya infeksi SSP, atau epilepsi yang kebetulan
terjadi bersama demam.2,3
2.3. Klasifikasi
Menurut kriteria Nationall Collaborative Perinatal Project, klasifikasi
Kejang demam, yaitu :
1. Kejang demam sederhana (Simple febrile seizure)
Kejang demam sederhana Kejang demam yang berlangsung
singkat, kurang dari 15 menit, dan umumnya akan berhenti sendiri. Kejang
berbentuk umum tonik dan atau klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang tidak
berulang dalam waktu 24 jam. Kejang demam sederhana merupakan 80%
di antara seluruh kejang demam.3,4
2. Kejang demam kompleks (Complex febrile seizure)
3
Kejang demam dengan salah satu ciri berikut ini:
1. Kejang lama > 15 menit
2. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang
parsial
3. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam.
Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau
kejang berulang lebih dari 2 kali dan di antara bangkitan kejang anak tidak sadar.
Kejang lama terjadi pada 8% kejang demam.4,5
Kejang fokal adalah kejang parsial satu sisi, atau kejang umum yang
didahului kejang parsial. Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1
hari, di antara 2 bangkitan kejang anak sadar. Kejang berulang terjadi pada 16% di
antara anak yang mengalami kejang demam.6
2.4. Patofisiologi
Mekanisme dasar terjadinya kejang akibat loncatan muatan listrik yang
berlebihan muatan listrik yang berlebihan dan sinkron pada otak atau depolarisasi
otak yang mengakibatkan gerakan yang berulang. Terjadinya depolarisasi pada
syaraf akibat masukknya Natrium dan depolarisasi terjadi karena keluarnya
kalium melalui membran sel. Untuk mempertahankan potensial membran
memerlukan energi yang berasal dari ATP dan tergantung pada mekanisme
pompa yaitu keluarnya Natrium dan masuknya kalium.2,7,8
Depolarisasi yang berlebihan dapat terjadi paling tidak akibat beberpa hal:
1. Gangguan produksi energi energi dapat mengakibatkan gangguan
mekanisme pompa Natrium dan Kalium. Hipoksemia dan mengakibatkan
penurunan yang tajam produksi energi.
2. Peningkatan eksitasi dibanding inhibisi neurotransmitter dapat
mengakibatkan kecepatan depolarisasi yang berlebihan.2,9
Perubahan fisiologis selama kejang berupa penurunan yang tajam kadar
glukosa otak dibanding kadar glukosa darah yang tetap normal atau meningkat
disertai peningkatan laktat. Keadaan ini menunjukkan mekanisme transportasi
pada otak tidak dapat mengimbangi peningkatan kebutuhan yang ada. Kebutuhan
oksigen dan aliran darah otak juga meningkat untuk mencukupi kebutuhan
oksigen dan g;ukosa. Laktat terakumulasi selama terjadi kejang. Dan PH arteri
4
sangat menurun. Tekanan darah sistemik meningkat dan aliran darah otak naik.
Efek dramatis jangka pendek ini diikuti oleh penurunan struktur sel dan hubungan
sinaptik.2,9
Fenomena kejang pada BBL dijelaskan oleh Volpe karena keadaan
anatomi dan fisiologi pada masa perinatal yang sebagai berikut:
Keadaan Anatomi susunan Syaraf pusat perinatal:
- Susunan dendrit dan remifikasi axonal yang masih dalam proses
pertumbuhan.
- Sinaptogensis belum sempurna
- Mielinisasi pada sistem efferent di cortical belum lengkap.
Keadaan fifiologis perinatal :
- Sinaps exitatori berkembang mendahului inhibisi
- Neuron kortikal dan hipocampal masih imatur.
- Inhibisi kejang oleh sistim substansia nigra belum berkembang.
Tabel 1. Mekanisme penyebab kejang pada BBL
Kemungkinan penyebab Kelainan
Kegagalan mekanisme pompa
Natrium dan Kalium akibat
penurunan ATP
Hipoksemi-iskemik,
Hipoglikemia
Eksitasi neurotransmitter yang
berlebihan
Hipoksemi-iskemik,
Hipoglikemia
Penurunan inhibisi neurotransmitter Ketergantungan piridoksin
Kelainan membran sel yang
mengakibatkan kenaikan
permebilitas Natrium.
Hipokalsemia dan
Hipomagnesemia.
2.5. Gejala Klinis
Umumnya kejang demam berlangsung singkat, berupa serangan kejang
klonik atau tonik klonik bilateral. Seringkali kejang berhenti sendiri. Setelah
kejang berhenti anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah
beberapa detik atau menit anak terbangun dan sadar kembali tanpa defisit
5
neurologis. Kejang demam diikuti hemiparesis sementara (Hemeparesis Tood)
yang berlangsung beberapa jam sampai hari. Kejang unilateral yang lama dapat
diikuti oleh hemiparesis yang menetap. Bangkitan kejang yang berlangsung lama
lebih sering terjadi pada kejang demam yang pertama. Kejang berulang dalam 24
jam ditemukan pada 16% pasien.10,11
Gambar 1. Serangan Kejang
Kejang yang terkait dengan kenaikan suhu yang cepat dan biasanya
berkembang bila suhu tubuh (dalam) mencapai 39°C atau lebih. Kejang khas yang
menyeluruh, tonik-klonik beberapa detik sampai 10 menit, diikuti dengan periode
mengantuk singkat pasca-kejang. Kejang demam yang menetap lebih lama dari 15
menit menunjukkan penyebab organik seperti proses infeksi atau toksik yang
memerlukan pengamatan menyeluruh.12
2.6. Diagnosa
Beberapa hal dapat mengarahkan untuk dapat menentukan diagnosis
kejang demam antara lain:4,11,13
1. Anamnesis, dibutuhkan beberapa informasi yang dapat mendukung
diagnosis ke arah kejang demam, seperti:
- Menentukan adanya kejang, jenis kejang, kesadaran, lama kejang,
suhu sebelum dan saat kejang, frekuensi, interval pasca kejang,
penyebab demam diluar susunan saraf pusat.
- Beberapa hal yang dapat meningkatkan risiko kejang demam,
seperti genetik, menderita penyakit tertentu yang disertai demam
tinggi, serangan kejang pertama disertai suhu dibawah 39° C.
6
- Beberapa faktor yang memengaruhi terjadinya kejang demam
berulang adalah usia <15 bulan saat kejang demam pertama,
riwayat kejang demam dalam keluarga, kejang segera setelah
demam atau saat suhu sudah relatif normal, riwayat demam yang
sering, kejang demam pertama berupa kejang demam kompleks.
2. Gambaran Klinis, yang dapat dijumpai pada pasien kejang demam adalah:
- Suhu tubuh mencapai 39°C.
- Anak sering kehilangan kesadaran saat kejang.
- Kepala anak sering terlempar keatas, mata mendelik, tungkai dan
lengan mulai kaku, bagian tubuh anak menjadi berguncang. Gejala
kejang tergantung pada jenis kejang.
- Kulit pucat dan mungkin menjadi biru.
- Serangan terjadi beberapa menit setelah anak itu sadar.
2.7. Pemeriksaan Penunjang
2.7.1. Pemeriksaan laboratorium13
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang
demam, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi
penyebab demam, atau keadaan lain misalnya gastroenteritis dehidrasi
disertai demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan misalnya
darah perifer, elektrolit dan gula darah (level II-2 dan level III,
rekomendasi D).2,8
2.7.2. Pungsi lumbal
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk me-negakkan atau
menyingkirkan kemungkinan meningitis. Risiko terjadinya meningitis
bakterialis adalah 0,6%-6,7%. Pada bayi kecil seringkali sulit untuk
menegakkan atau menyingkirkan diagnosis meningitis karena manifestasi
klinisnya tidak jelas. Oleh karena itu pungsi lumbal dianjurkan pada:2,9
1. Bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan dilakukan
2. Bayi antara 12-18 bulan dianjurkan
3. Bayi > 18 bulan tidak rutin
7
Bila yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu dilakukan pungsi
lumbal.2,9
2.7.3. Elektroensefalografi
Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi
berulangnya kejang, atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi
pada pasien kejang demam. Oleh karenanya tidak direkomendasikan (level
II-2, rekomendasi E). 2,9
Pemeriksaan EEG masih dapat dilakukan pada keadaan kejang
demam yang tidak khas. Misalnya: kejang demam pada anak usia lebih
dari 6 tahun, atau kejang demam fokal.23
2.7.4. Pencitraan
Foto X-ray kepala dan pencitraan seperti computed tomography scan (CT-
scan) atau magnetic resonance imaging (MRI) jarang sekali dikerjakan,
tidak rutin dan hanya atas indikasi seperti:11
1. Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis)
2. Paresis nervus VI
3. Papiledema13,14,15
2.8. Penatalaksanaan
Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu pasien
datang kejang sudah berhenti. Apabila datang dalam keadaan kejang obat
yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam yang
diberikan secara intravena. Dosis diazepam intravena adalah 0,3-0,5 mg/kg
perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit,
dengan dosis maksimal 20 mg. Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh
orang tua atau di rumah adalah diazepam rektal (level II-2, level II-3,
rekomendasi B). Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam
rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg
untuk berat badan lebih dari 10 kg. Atau diazepam rektal dengan dosis 5 mg
untuk anak dibawah usia 8 tahun atau dosis 7,5 mg untuk anak di atas usia 3
tahun. 15,16,
8
Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat
diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit.
Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan
ke rumah sakit. Di rumah sakit dapat diberikan diazepam intravena dengan
dosis 0,3-0,5 mg/kg. Bila kejang tetap belum berhenti diberikan fenitoin
secara intravena dengan dosis awal 10-20 mg/kg/kali dengan kecepatan 1
mg/kg/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Bila kejang berhenti dosis
selanjutnya adalah 4-8 mg/kg/hari, dimulai 12 jam setelah dosis awal.17,18
Bila dengan fenitoin kejang belum berhenti maka pasien harus dirawat
di ruang rawat intensif. Bila kejang telah berhenti, pemberian obat
selanjutnya tergantung dari jenis kejang demam apakah kejang demam
sederhana atau kompleks dan faktor risikonya.
1. Pemberian obat pada saat demam
a. Antipiretik
Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi
risiko terjadinya kejang demam (level I, rekomendasi D), namun para
ahli di Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan (level
III, rekomendasi B). Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10 –15
mg/kg/kali diberikan 4 kali sehari dan tidak lebih dari 5 kali. Dosis
Ibuprofen 5-10 mg/ kg/kali ,3-4 kali sehari. Meskipun jarang, asam
asetilsalisilat dapat menyebabkan sindrom Reye terutama pada anak
kurang dari 18 bulan, sehingga penggunaan asam asetilsalisilat tidak
dianjurkan (level III, rekomendasi E). 18
b. Antikonvulsan
Pemakaian diazepam oral dosis 0,3 mg/kg setiap 8 jam pada saat
demam menurunkan risiko berulangnya kejang pada 30%-60% kasus,
begitu pula dengan diazepam rektal dosis 0,5 mg/kg setiap 8 jam pada
suhu > 38,5 ˚C (level I, rekomendasi A). Dosis tersebut cukup tinggi
dan menyebabkan ataksia, iritabel dan sedasi yang cukup berat pada
25-39% kasus. 18
9
Fenobarbital, karbamazepin, dan fenitoin pada saat demam tidak
berguna untuk mencegah kejang demam (level II rekomendasi E).17
2. Pemberian obat rumat
a. Indikasi pemberian obat rumat
Pengobatan rumat hanya diberikan bila kejang demam menunjukkan
ciri sebagai berikut (salah satu):
1. Kejang lama > 15 menit
2. Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah
kejang, isalnya hemiparesis, paresis Todd, cerebral palsy, retardasi
mental, hidrosefalus.
3. Kejang fokal
4. Pengobatan rumat dipertimbangkan bila: 2,23
• Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam.
• Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan.
• Kejang demam > 4 kali per tahun
o Sebagian besar peneliti setuju bahwa kejang demam >15 menit
merupakan indikasi pengobatan rumat
o Kelainan neurologis tidak nyata misalnya keterlambatan
perkembangan ringan bukan merupakan indikasi pengobatan rumat
o Kejang fokal atau fokal menjadi umum menunjukkan bahwa anak
mempunyai fokus organik.
b. Jenis antikonvulsan untuk pengobatan rumat
Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif
dalam menurunkan risiko berulangnya kejang (level I). Berdasarkan
bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya dan penggunaan
obat dapat menyebabkan efek samping, maka pengobatan rumat hanya
diberikan terhadap kasus selektif dan dalam jangka pendek
(rekomendasi D). Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat
menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan belajar pada 40-50%
kasus.
10
Obat pilihan saat ini adalah asam valproat. Pada sebagian kecil kasus,
terutama yang berumur kurang dari 2 tahun asam valproat dapat
menyebabkan gangguan fungsi hati. Dosis asam valproat 15-40
mg/kg/hari dalam 2-3 dosis, dan fenobarbital 3-4 mg/kg per hari dalam
1-2 dosis.5,7,10
c. Lama pengobatan rumat
Pengobatan diberikan selama 1 tahun bebas kejang, kemudian
Dihentikan secara bertahap selama 1-2 bulan.5,17
3. Edukasi pada orang tua
Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua.
Pada saat kejang sebagian besar orang tua beranggapan bahwa anaknya telah
meninggal. Kecemasan ini harus dikurangi dengan cara yang diantaranya:
a. Menyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik.
b. Memberitahukan cara penanganan kejang
c. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali
d. Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tetapi harus
diingat danya efek samping obat.11
4. Beberapa hal yang harus dikerjakan bila kembali kejang
a. Tetap tenang dan tidak panik
b. Kendorkan pakaian yang ketat terutama disekitar leher
c. Bila tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan kepala miring.
Bersihkan muntahan atau lendir di mulut atau hidung. Walaupun
kemungkinan lidah tergigit, jangan memasukkan sesuatu kedalam mulut.
d. Ukur suhu, observasi dan catat lama dan bentuk kejang.
e. Tetap bersama pasien selama kejang
f. Berikan diazepam rektal. Dan jangan diberikan bila kejang telah berhenti.
g. Bawa kedokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau
lebih.17
2.9. Prognosis
1. Kemungkinan mengalami kecacatan atau kelainan neurologis.
11
Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah
dilaporkan. Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal
pada pasien yang sebelumnya normal.
Penelitian lain secara retrospektif melaporkan kelainan neurologis
pada sebagian kecil kasus, dan kelainan ini biasanya terjadi pada kasus
dengan kejang lama atau kejang berulang baik umum atau fokal.11,12
2. Kemungkinan mengalami kematian
Kematian karena kejang demam tidak pernah dilaporkan.
3. Kemungkinan berulangnya kejang demam
Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus.
Faktor risiko berulangnya kejang demam adalah :
- Riwayat kejang demam dalam keluarga
- Usia kurang dari 12 bulan
- Temperatur yang rendah saat kejang
- Cepatnya kejang setelah demam
Bila seluruh faktor di atas ada, kemungkinan berulangnya kejang
demam adalah 80%, sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut
kemungkinan berulangnya kejang demam. Hanya 10%-15%. Kemungkinan
berulangnya kejang demam paling besar pada tahun pertama.5,15
BAB III
PENUTUP
12
Penatalaksanaan kejang demam pada anak mencakup dalam tiga hal :
1. Pengobatan fase akut yaitu membebaskan jalan nafas dan memantau fungsi
vital tubuh. Saat ini diazepam intravena atau rektal merupakan obat pilihan utama,
oleh karena mempunyai masa kerja yang singkat. Jika tidak ada diazepam, dapat
digunakan luminal suntikan intramuskular ataupun yang lebih praktis midazolam
intranasal.
2. Mencari dan mengobati penyebab dengan melakukan pemeriksaan pungsi
lumbal pada saat pertama sekali kejang demam. Fungsi lumbal juga dianjurkan
pada anak usia kurang dari 2 tahun karena gejala neurologis sulit ditemukan.
Pemeriksaan laboratorium penunjang lain dilakukan
sesuai indikasi.
3. Pengobatan profilaksis
a. Intermittent : anti konvulsan segera diberikan pada waktu pasien demam (suhu
rektal lebih dari 380 C) dengan menggunakan diazepam oral / rektal, klonazepam
atau kloralhidrat supositoria.
b. Terus menerus, dengan memberikan fenobarbital atau asam valproat tiap hari
untuk mencegah berulangnya kejang demam. Pemberian obat-obatan untuk
penatalaksanaan kejang demam pada anak, harus dipertimbangkan antara khasiat
terapeutik obat dan efek sampingnya.
DAFTAR PUSTAKA
13
1. Ismael S. KPPIK-XI, 1983; Soetomenggolo TS. Buku Ajar Neurologi
Anak 1999.
2. Nelson KB dan Ellenberg JH. Prognosis in children with febrile seizure.
Pediatr 1978; 61:720-7.
3. Annegers JF, Hauser W, Shirts SB, Kurland LT. Factors prognostic of
unprovoked seizures after febrile convulsions. NEJM1987; 316:493-8.
4. Shinnar S. Febrile seizures Dalam: Swaiman KS, Ashwal S,eds. Pediatric
Neurology principles and practice.St Lois: Mosby 1999. h. 676-82.
5. Wong V, dkk. Clinical Guideline on Management of Febrile Convulsion.
HK J Paediatr 2002;7:143-151
6. Dieckman J. Rectal diazepam for prehospital status epilepticus. An Emerg
Med 1994; 23:216-24
7. Knudsen FU. Practical management approaches to simple and complex
febrile seizures. Dalam: Baram TZ, Shinnar S, eds, Febrile seizures. San
Diego: Academic Press 2002. h. 1-20.
8. Soetomenggolo TS. Buku Ajar Neurologi Anak.1999
9. Fukuyama Y, dkk. Practical guidelines for physician in the management of
febrile seizures. Brain Dev 1996; 18:479-484.
10. Camfield PR, dkk. The first febrile seizures-Antipyretic instruction plus
either phenobarbital or Placebo to prevent recurrence. J Pediatr 1980;
97:16-21.
11. Uhari M, dkk. Effect of acetaminophen and of low intermittent doses of
diazepam on Prevention of recurrences of febrile seizures. J Pediatr 1995;
126:991-5.
12. Kesepakatan Saraf Anak, 2005
13. Rosman NP dkk. A controlled trial of diazepam administered during
febrile illneses to prevent Recurrence of febrile seizures. NEJM
1993;329:79-84
14. Zempsky WT. Pediatrics, febrile seizures.
Http://www.emedicine.com/emerg/topic 376.htm.
14
15. Stafstrom CE. The incidence and prevalence of febrile seizures. Dalam:
Baram TZ, Shinnar S, eds, febrile seizures, San Diego: Academic Press
2002. h. 1-20.
16. Hardiono D Pusponegoro, Dwi Putro Widodo, Sofyan Ismael. 2009. Unit
Kerja Koordinasi Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia.
17. M. Sholeha Kosim, dkk. 2010. Buku Ajar Neonatologi. Cetakan Kedua.
Ikatan Dokter anak Indonesia. Badan penerbit IDAI.
18. Knudsen FU. Intermitten diazepam prophylaxis in febrile convulsions:
Pros and cos. Acta Neurol Scand 1991; 83(suppl.135):1-24.
15